iii
expenditure and the budget for capital expenditure was lower than expenses for employee salaries make allocation of capital expenditure are not optimal.
The purpose of this study was to determine The Effect Of Economic Growth, Regional Income And Fund Balance For Capital Expenditure Budget in the government of Kabupaten Bandung.
The method used in this research is descriptive analysis and verification. Statistical tests used in the multiple regression analysis through the testing phase classical assumption test, regression analysis, partial correlation analysis, coefficient of determination analysis and hypothesis testing using SPSS 13.00 for Windows.
The results of hypothesis in this study show that (1) Economic Growth effect on Allocation Of Capital Expenditure Budget , (2) Regional Income effect on Allocation Of Capital Expenditure Budget, (3)Fund Balance effect on Allocation Of Capital Expenditure Budget.
iv
Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tidak selalu diikuti dengan peningkatan belanja modal serta anggaran untuk belanja modal yang masih lebih rendah dibandingkan pengeluaran untuk gaji pegawai membuat alokasi belanja modal tidak optimal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal pada Kabupaten Bandung.
Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan verifikatif. Uji statistik yang digunakan dalam analisis regresi berganda melalui tahap pengujian uji asumsi klasik, analisis regresi, analisis korelasi parsial, analisis koefisien determinasi dan pengujian hipotesis menggunakan SPSS (Statistic Product and Service Solution) 13.00 for Windows.
Hasil dari pengujian hipotesis dalam penelitian ini menujukan bahwa (1) Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten Bandung, (2) Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten Bandung, (3) Dana Perimbangan berpengaruh terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten Bandung.
CAPITAL EXPENDITURE BUDGET (Case Study of Kabupaten Bandung)
Oleh Sandria Juliansa
21110777
Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Komputer Indonesia
ABSTRACT
The Increased ofeconomic growthis notalwaysfollowedby an increase incapital expenditureandthe budgetforcapital expenditurewas lower thanexpensesforemployee salariesmakeallocation ofcapital expenditure are not optimal.
The purpose of this study was to determine The Effect Of Economic Growth, Regional Income And Fund Balance For Capital Expenditure Budget in the government of Kabupaten Bandung.
The method used in this research is descriptive analysis and verification. Statistical tests used in the multiple regression analysis through the testing phase classical assumption test, regression analysis, partial correlation analysis, coefficient of determination analysis and hypothesis testing using SPSS 13.00 for Windows.
The results of hypothesis in this study show that (1) Economic Growth effect on Allocation Of Capital Expenditure Budget, (2) Regional Income effect on Allocation Of Capital Expenditure Budget, (3)Fund Balance effect on Allocation Of Capital Expenditure Budget.
Keywords: Economic Growth, Regional Income, Fund Balance and Capital Expenditure Budget
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2001 membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah, salah satu perubahan itu adalah pemberian kewenangan dan keleluasaan kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal (Andirfa, 2009). Otonomi Daerah bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, meminimalisasi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kuantitas pelayanan publik (Andirfa, 2009).
Dalam penyelenggaraan desentralisasi fiskal, Pemerintah Daerah harus mampu memberikan fasilitas pelayanan publik yang lebih baik untuk masyarakat lokal (Gunantara dan Dwirandra, 2014). Infrastruktur merupakan kunci dari Pertumbuhan Ekonomi, dengan menyiapkan infrastruktur yang baik, maka akan meningkatkan produktivitas (Modebe et al,
tak langsung Rp 1,533 triliun (Triska Hendriawan,2013). Hampir 65 persen APBD Kab. Bandung tersedot untuk gaji sebanyak 20.981 orang pegawai negeri sipil (PNS), anggaran untuk infrastruktur masih di bawah pengeluaran untuk gaji pegawai (Triska Hendriawan,2013).
Anggaran untuk belanja langsung yang terbilang sedikit dibanding belanja tidak langsung tersebut akan difokuskan pada sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur yang telah menjadi komitmen Pemkab Bandung dan DPRD Kabupaten Bandung (Triska Hendriawan,2013). Dengan ditambahnya infrastruktur dan perbaikan infrastruktur yang ada oleh pemerintah daerah, diharapkan akan memacu pertumbuhan perekonomian di daerah (Harianto dan Adi, 2007). Pertumbuhan ekonomi daerah akan merangsang meningkatnya pendapatan penduduk di daerah yang bersangkutan, seiring dengan meningkatnya pendapatan penduduk akan berdampak pada meningkatnya pandapatan per Kapita (Harianto dan Adi, 2007).
Kenyataan yang terjadi dalam pemerintah daerah saat ini adalah dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi ternyata tidak selalu diikuti dengan peningkatan belanja modal hal ini dapat dilihat dari kecilnya jumlah belanja modal yang dianggarkan dibandingkan dengan total anggaran belanja daerah (Arwati dan Hadiati, 2013).
Tingkat belanja modal yang tidak semua dapat terealisasi ini sangat berpengaruh bagi pemerintah karena akan mengalami kendala pada saat analisis investasi publik nantinya (Mardiasmo, 2009). Kebijakan pemerintah untuk menetapkan anggaran belanja modal ini menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintah telah mengalokasikan sumber daya dengan tepat atau tidak (Mardiasmo, 2009). Karena itu perlu dilakukan analisis investasi dengan cermat, analisis yang mendalam sebelum dilakukan investasi sangat penting dilakukan karena investasi publik berkaitan erat dengan masalah transparansi dan kewajaran suatu anggaran (Mardiasmo, 2009).
Sumber-sumber dana yang digunakan untuk membiayai belanja modal tersebut terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Dana Perimbangan (Wandira,2013). Pendapatan Asli Daerah didapatkan dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Untuk itu, dalam masa desentralisasi seperti ini, pemerintah daerah dituntut untuk bisa mengembangkan dan meningkatkan PAD-nya masing-masing dengan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki supaya bisa membiayai segala kegiatan penciptaan infrastruktur atau sarana prasarana daerah melalui alokasi belanja modal pada APBD (Wandira,2013). Semakin baik PAD suatu daerah maka semakin besar pula alokasi belanja modalnya (Wandira,2013).
Dana perimbangan keuangan merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.Pemerintah daerah dapat menggunakan dana perimbangan keuangan (DAU) untuk memberikan pelayanan kepada publik yang direalisasikan melalui belanja modal (Wandira,2013).
Kemampuan keuangan setiap daerah tidak sama dalam mendanai berbagai macam kegiatannya, hal tersebut menimbulkan adanya kesenjangan fiskal antar satu daerah dengan daerah lainnya (Arwati dan Hadiati, 2013).
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan berjudul:
2.1.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menurut Erlina dan Rasdianto (2013:93) menjelaskan Pendapatan Asli Daerah adalah Kelompok Pendapatan Asli Daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
2.1.3 Dana Perimbangan
Menurut Darise (2008:38) Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
2.2 Kerangka Pemikiran
2.2.1 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengalokasian Belanja Modal
Kuncoro (2004:68) berpendapat bahwa, syarat untuk pertumbuhan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan penduduk. Bertambahnya infrastruktur dan perbaikannya oleh pemerintah daerah diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi daerah.
Mulia Adirfa (2009), melalui hasil penelitiannya menunjukan bahwa Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Lain-Lain Pendapatan Yang Sah Mempunyai hubungan sangat kuat dengan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada Kabupaten/Kota Pemerintah Aceh.
1.2.2 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal
Y. Sri Pudyatmoko (2009:67) menyatakan bahwa, sebagaimana umumnya, dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), uang hasil retribusi masuk ke bagian pendapatan. Pendapatan dari retribusi perizinan ini bersama-sama dengan pendapatan dari sumber lain digunakan untuk menopang kebutuhan belanja daerah.
Bahtiar Arif, Muchlis dan iskandar (2009:171) menyatakan Pendapatan merupakan bagian utama dari suatu anggaran, baik untuk entitas bisnis maupun pemerintahan. Anggaran pendapatan merupakan target yang akan dicapai untuk membiayai anggaran belanja-belanja diantaranya termasuk belanja modal.
2.2.3 Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Pengalokasian Belanja Modal
Menurut Carol J.pierce (2005:176), Dana Perimbangan dimaksudkan untuk mengatasi ketidakseimbangan vertical antar tingkat pemerintah (dana bagi hasil & dana alokasi umum) menyamakan kemampuan fiscal pemerintah daerah mendorong belanja daerah untuk kegiatan-kegiatan prioritas pembangunan nasional, mendorong pencapaian pelayanan & standar minimum, & merangsang mobilisasi pendapatan.
2.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka Penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1: Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal.
H2: Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal.
H3: Dana Perimbangan berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal. 3.1 Metode Penelitian
X1 = Pertumbuhan Ekonomi
X2= Pendapatan Asli Daerah (PAD)
X3= Dana Perimbangan
Variabel dependen (Dependent variable) merupakan variabel yang tergantung atau dapat dipengaruhi oleh variabel lain. Sehingga yang menjadi variabel dependen dalam penelitian ini adalah Belanja Modal.
3.3 Sumber Data
Sumber data yang diambil dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, di mana data yang diperoleh penulis merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung, artinya data-data tersebut berupa data-data kedua yang telah diolah lebih lanjut dan data-data yang disajikan oleh pihak lain. Data-data yang digunakan diperoleh dari laporan-laporan yang berhubungan dan sudah dipublikasikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung.
3.4 Populasi, Sampel dan Tempat serta Waktu Penelitian 3.4.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan tahun 2001 -2013 dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bandung tahun 2001 --2013.
3.4.2 Penarikan Sampel
Dalam penelitian ini adalah menggunakan pengambilan sampel dengan teknik Sampling jenuh atau sensus, karena semua anggota populasi sebagai sampel yaitu Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan Kabupaten Bandung tahun anggaran 2001-2013 dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bandung tahun anggaran 2001-2013.
3.4.3 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pemerintah Kabupaten Bandung. Waktu penelitian dimulai pada bulan Maret 2015 sampai dengan April 2015.
3.5 Metode Pengujian Data
3.5.1 Analisis Regresi Linier Berganda (Multipel)
Analisis regresi ganda digunakan untuk meramalkan bagaimana keadaan (naik turunnya) variabel dependen, bila dua atau lebih variabel independen sebagai indikator. Analisis ini digunakan dengan melibatkan dua atau lebih variabel bebas antara variabel dependen (Y) dan variabel independen (X1,X2danX3). Persamaan regresinya sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2+b3X3
(Sumber: Sugiyono, 2009) Dimana :
Y =variabel tak bebas (Belanja Modal)
a =bilangan berkonstanta
b1,b2,b3 =koefisien arah garis
X1 =variabel bebas (Pertumbuhan Ekonomi)
X2 = variabel bebas (PAD)
X3 = variabel bebas (Dana Perimbangan)
Besarnya koefisien korelasi adalah -1 r 1 :
a) Apabila (-) berarti terdapat hubungan negatif b) Apabila (+) berarti terdapat hubungan positif Interprestasi dari nilai koefisien korelasi :
a) Kalau r = -1 atau mendekati -1, maka hubungan antara kedua variabel kuat dan mempunyai hubungan yang berlawanan (jika X naik maka Y turun atau sebaliknya).
b) Kalau r = +1 atau mendekati +1, maka hubungan yang kuat antara variabel X dan variabel Y dan hubungannya searah.
Sedangkan harga r akan dikonsultasikan dengan table interprestasi nilai r sebagai berikut :
Pedoman Untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199
Analisis Koefisiensi Determinasi (KD) digunakan untuk melihat seberapa besar variabel independen (X) berpengaruh terhadap variabel dependen (Y) yang dinyatakan dalam persentase.
Besarnya koefisien determinasi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kd = r2 x 100%
Dimana :
KD = Seberapa jauh perubahan variabel Y dipergunakan oleh variabel X r² = Kuadrat koefisien korelasi
3.6 Pengujian Hipotesis
Berdasarkan identifikasi masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka dalam penelitian ini penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut:
A. Hipotesis Penelitian
a) Hipotesis parsial antara variabel bebas Pertumbuhan Ekonomi terhadap variabel terikat Pengalokasian Belanja Modal
H0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengalokasian
Belanja Modal..
H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengalokasian Belanja
Modal.
Pengalokasian Belanja Modal
H0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan Dana Perimbangan terhadap Pengalokasian
Belanja Modal.
H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan Dana Perimbangan terhadap Pengalokasian Belanja
Modal.
B. Hipotesis Statistik
Pengujian Hipotesis Secara Parsial (Uji Statistik t).
Dalam pengujian hipotesis ini menggunakan uji satu pihak (one tail test) dilihat dari bunyi hipotesis statistik yaitu hipotesis nol (H0) : β= 0 dan hipotesis alternatifnya (H1) : β ≠ 0
H0: β=0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan Pertumbuhan Ekonomi terhadap
H1: β ≠ 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan Dana Perimbangan terhadap Pengalokasian
Belanja Modal.
3.6.1 Menetapkan Tingkat Signifikan
Dasar pengambilan keputusan berdasarkan angka signifikan menurut tingkat signifikansi dapat ditentukan dengan melakukan pengujian terhadapdua pihak. Untuk menguji diterima atau ditolaknya hipotesis, maka dilakukan dengan cara pengujian dua pihak dengan tingkat signifikan = 5%.
3.6.2 Uji Hipotesis (uji t)
Untuk mengetahui tingkat signifikansi dari koefisien korelasi, maka penulis menggunakan
statistik Uji „t‟ dengan rumus sebagai berikut:
Dimana :
t = hasil uji tingkat signifikansi r = koefisien korelasi
uji Kolmogorov smirnov. Berikut disajikan hasil output program SPSS 13.0 uji normalitas data dengan menggunakan uji normal p-plot.
Berdasarkan pada normal p-plot residual terlihat bahwa residual berdistribusi secara normal. Hal ini terlihat dari data yang menyebar dekat dari diagonal atau mengikuti arah garis diagonal. Jadi dapat disimpulkan model regresi memenuhi asumsi normalitas residual.
Asumsi normalitas berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian Kolmogorov smirnov
pada model sebesar 0,996, yang lebih besar dari α (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa residual data pada model berdistribusi normal (asumsi normalitas terpenuhi). Dari hasil uji normalitas terhadap kelompok data tersebut di atas dapat diketahui bahwa tidak terdapat pelanggaran terhadap asumsi pengujian parametrik, maka analisis regresi selanjutnya dapat dilakukan.
2. Uji Autokorelasi
Secara harfiah autokorelasi berarti adanya korelasi antara anggota observasi satu dengan observasi lain yang berlainan waktu. Dalam kaitannya dengan asumsi metode kuadrat terkecil (OLS), autokorelasi merupakan korelasi antara satu residual dengan residual yang lain. Sedangkan satu asumsi penting metode OLS berkaitan dengan residual adalah tidak adanya hubungan antara residual satu dengan residual yang lain
Tidak terdapat autokorelasi dU < d < 4-dU
Ragu-ragu 4-dU < d < 4-dL
Terdapat autokorelasi negatif 4-dL < d
Dengan menggunakan program SPSS 13.00 for windows, diperoleh nilai statistik d = 1,990
Dari tabel di atas diperoleh nilai d sebesar 1,990. Nilai ini kemudian dibandingkan dengan nilai dL dan dU pada tabel Durbin-Watson. Untuk α = 0.05, k = 3 dan n = 13, diperoleh dL=
0,72 dan dU = 1,82 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi dalam data. 3. Uji Heteroskedastistas
Dengan menggunakan metode uji scaterplot, pertama-tama dengan menggunakan SPSS dilakukan analisis regresi untuk masing-masing variabel X1, X2, X3 terhadap variabel Y
yang kemudian akan dilakukan scaterplot antara nilai absolut residu pada masing-masing hasil regresi dengan variabel independennya. Berikut hasil yang diperoleh dari analisis scaterplot.
Berdasarkan grafik hasil penelitian di atas terlihat bahwa distribusi data tidak membentuk pola-pola tertentu, serta tersebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi ini tidak terdapat gejala heteroskedastisitas. Atau dengan kata lain, model regresi telah memenuhi asumsi homoskedastisitas
Model Summaryb
,971a ,943 ,923 1,29865 1,990
Model
1 R R Square
Adjusted
R Squarethe EstimateStd. Error of Watson Durbin-Predictors: (Constant), Dana Perimbangan, Pendapatan A Pertumbuhan Ekonomi
a.
variabel bebas sama dengan nol.
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinieritas di dalam model regresi dapat dilihat dari nilai tolerance dan lawannya, yaitu variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel bebas manakah yang dijelaskan oleh variabel bebas lainnya. Dalam pengertian sederhana setiap variabel bebas menjadi variabel terikat dan diregres terhadap variabel bebas lainnya. Tolerance mengukur variabilitas variabel bebas yang terpilih yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel bebas lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF yang tinggi (karena VIF = 1/tolerance) dan menunjukkan adanya kolinieritas yang tinggi. Nilai cut-off yang umum dipakai adalah nilai tolerance 0,10 atau sama dengan nilai VIF diatas 10 (Ghozali, Imam, Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM SPSS19, 2011: 105).
Dengan menggunakan program SPSS 13.0 for Windows, didapat output nilai VIF untuk masing-masing variabel bebas sebagai berikut.
Hasil diatas menunjukkan bahwa nilai VIF masing-masing variabel bebas jauh di bawah 10, yakni X1 = 3,585, X2 = 2,921dan X3= 1,413. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
multikolinieritas antar variabel bebas dalam model regresi.
4.1.2 Analisis Koefisien Determinasi
Setelah diketahui nilai R sebesar 0,971, maka koefisien determinasi dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
KD = R2 X 100% = (0,971)2 X 100% = 94,3%
Dengan demikian, maka diperoleh nilai KD sebesar 94,3% yang menunjukkan arti bahwa Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan memberikan pengaruh
Coefficientsa
R Squarethe EstimateStd. Error of
Predictors: (Constant), Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Ekon a.
1. Variabel X1 = 0,456 x 0,918 = 0,4188 = 41,88%
2. Variabel X2 = 0,392 x 0,818 = 0,3203 = 32,03%
3. Variabel X2 = 0,328 x 0,620 = 0,2035 = 20,35%
Dari hasil uji individu diatas diketahui bahwa variabel X1 (Pertumbuhan Ekonomi)
terhadap variabel Y (Belanja Modal) memiliki pengaruh positif sebesar 0,4188 atau 41,88% dan X2 (Pendapatan Asli Daerah) terhadap variabel Y (Belanja Modal) memiliki pengaruh positif
sebesar 0,3203 atau 32,03% dan X3 (Dana perimbangan) terhadap variabel Y (Belanja Modal)
memiliki pengaruh positif sebesar 0,2035atau 20,35%.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Belanja Modal Secara Parsial
Untuk melihat seberapa berhasilnya kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah, dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonominya (economic growth). Tingkat pertumbuhan ekonomi atau kenaikan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator makro..
Berdasarkan hasil uji statistik-t mengenai pengujian parsial dapat diketahui bahwa Pertumbuhan Ekonomi secara statistik berpengaruh terhadap pengalokasian Anggaran Belanja Modal dan terdapat pengaruh secara parsial dari Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada Kabupaten Bandung dengan nilai thitung untuk X1
sebesar 3,014 dan ttabel 2,262. Dikarenakan nilai thitung > ttabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima,
artinya Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh signifikan terhadap Pengalokasian Belanja Modal. Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bandung selama periode tahun 2001-2013 berasal dari pendapatan pajak daerah, lalu retribusi, lain-lain PAD, serta kekayaan daerah yang dipisahkan. Kabupaten Bandung sangat memungkinkan untuk menggali Pendapatan Asli Daerah-nya dari sektor pendapatan pajak daerah sebab melihat kondisi aktivitas perdagangan, industri, dan jasa di daerah Kabupaten Bandung yang terus berkembang, sehingga keadaan seperti ini menjadi peluang bagi Kabupaten Bandung menggali pajak daerahnya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah-nya.
Dari hasil uji statistik-t mengenai pengujian parsial dapat diketahui bahwa Pendapatan Asli Daerah signifikan terhadap pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada Kabupaten Bandung dengan nilai thitung X2 sebesar 2,869 dan ttabel 2,262. Dikarenakan nilai thitung > ttabel,
maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap
Pengalokasian Belanja Modal. Hasil uji tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Darwanto & Yustikasari (2007) yang menghasilkan bahwa Pendapatan Asli Daerah memiliki korelasi positif dan signifikan terhadap belanja modal.
Melihat hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pendapatan penting bagi daerah dalam memenuhi kebutuhan belanjanya.
Dengan meningkatnya Pendapatan Asli Daerah dapat memberi keleluasaan kepada kabupaten bandung untuk mengalokasikan pendapatannya pada kegiatan atau pengeluaran yang berdampak terhadap peningkatan pembangunan Kabupaten Bandung terutama pembangunan infrastruktur. Peningkatan alokasi Belanja Modal dalam bentuk aset tetap seperti infrastruktur dan peralatan sangat penting untuk dapat meningkatkan produktivitas perekonomian daerah karena semakin tinggi Belanja Modal maka akan semakin tinggi pula produktivitas perekonomiandi daerah tersebut. Dengan adanya peningkatan produktivitas perekonomian daerah maka akan memberi dampak positif pada peningkatan pendapatan daerah tersebut.
Dana perimbangan merupakan modal yang berasal dari perolehan APBN yang diperuntukkan bagi daerah dalam upaya menbiayai kepentingan daerah sebagai bentuk pengimplementasian asas desentralisasi. Dana perimbangan terbagi menjadi dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Otonomi daerah sampai saat ini masih menyumbangkan beragam persoalan. Keadaan geografis dan perbedaan potensi daerah yang menciptakan disparitas kemampuan keuangan untuk memenuhi kebutuhannya, atau yang sering dikatakan sebagai celah fiskal, UU No. 33/2004. Dana Perimbangan bertindak sangat vital dalam mempengaruhi perekonomian regional. Perimbangan finansial antara pemerintah pusat dengan pemerintah regional ialah suatu metode pengalokasian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien, dengan mempertimbangkan kemampuan, keadaan, dan keperluan daerah, UU No. 33/2004.
Berdasarkan hasil uji statistik-t diatas mengenai pengujian parsial pada Dana Perimbangan diperoleh nilai thitung untuk X3 sebesar 3,455 dan ttabel 2,262. Dikarenakan nilai thitung
> ttabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya Dana Perimbangan berpengaruh terhadap
Pengalokasian Belanja Modal. Hasil uji tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosy Puspita Sari dan I Gusti Bagus Indrajaya (2014) yang menghasilkan bahwa Dana Perimbangan berpengaruh signifikan terhadap belanja modal.
Pada Kabupaten Bandung dana perimbangan yang diperoleh cukup besar dan mengalami peningkatan hampir setiap tahunnya. Perolehan dana perimbangan Kabupaten Bandung dapat lebih dialokasikan untuk penambahan aset tetap dan infrastuktur di Kabupaten Bandung. Sebab apabila diamati dari aspek kegunaannya, alokasi anggaran ke pos aset tetap dan infrastuktur lebih memberikan manfaat nyata yang dapat dirasakan masyarakat. Sebab alokasi belanja langsung digunakan untuk kegiatan pembangunan yang mengutamakan kepentingan publik.
4.2.2 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Pengalokasian Belanja Modal Secara Simultan
Berdasarkan hasil Uji-F di atas diketahui nilai Fhitung sebesar 49,214 dengan p-value (sig)
0,000. Dengan α=0,05 serta derajat kebebasan v1 = 9 = (n-(k+1)) dan v2 = 3, maka di dapat Ftabel
3,863. Dikarenakan nilai Fhitung > Ftabel (49,214> 3,863) maka H0 ditolak, artinya variabel
Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan secara simultan berpengaruh terhadap Pengalokasian Belanja Modal.
V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai “PertumbuhanEkonomi(X1), PendapatanAsli Daerah(X2)
berpengaruh terhadap Pengalokasian Belanja Modal ke arah positif.
3. Dari hasil pengujian parsial dapat disimpulkan bahwa variabel Dana Perimbangan berpengaruh terhadap Pengalokasian Belanja Modal ke arah positif.
4. Dari hasil pengujian simultan yang dilakukan penulis membuktikan adanya pengaruh antara Pertumbuhan Ekonomi,Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Perimbangan terhadapPengalokasian Belanja Modal.
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat peneliti sampaikan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan keterbatasan-keterbatasan yang ada, sebagai berikut:
1. Saran untuk peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik melakukan penelitian dengan permasalahan yang serupa, disarankan agar penelitian dilakukan pada objek lain yang lebih luas, tidak hanya di pemerintah daerah Kabupaten Bandung dan penggunaan data yang lebih lengkap dengan rentang periode waktu penelitian yang lebih panjang sehingga lebih mampu untuk dapat dilakukan generalisasi atas hasil penelitian tersebut.
2. Rekomendasi bagi pemerintah
Dalam pengalokasian dana belanja Kabupaten Bandung diharapkan dapat menggali potensi pendapatan daerahnya dengan cara mengalokasikan anggaran belanjanya pada pembangunan infrastruktur agar lebih meningkatkan produktivitas masyarakat sehingga diharapkan berdampak pada pendapatan daerahnya.
IV DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. 2004. Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Revisi. Salemba Empat: Jakarta. Abdul Halim dan Syukriy Abdullah. 2006. Studi atas Belanja Modal Pada Anggaran Pemerintah
Daerah dan Hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan dan Sumber Pendapatan.
Jurnal Akuntansi Pemerintah.
Abdul Halim & Syam Kusufi.(2012). Akuntansi Sektor Publik : teori, konsep dan aplikasi. Jakarta:Salemba Empat.
Andi,Supangat.2007. Statistik dalam Kajian Deskriptif, Inferensi, dan Nonparametrik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Andirfa, Mulia. 2009. Pengaruh pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah terhadap pengalokasian anggaran belanja modal.
Arif, Bahtiar, Muchlis dan Iskandar. 2009. Akuntansi Pemerintahan. Jakarta : Akademia. Arsyad. 1997. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: STIE YKPN
Triska Hendriawan.2012.65 Persen APBD Kab Bandung Dihabiskan untuk Biayai PNS. 26 Oktober 2012.(http://www.pikiran-rakyat.com/)
Boediono, 2010, Ekonomi Indonesia Mau ke Mana?, Kumpulan Esai Ekonomi, Edisi Ketiga, Jakarta, KPG (KeputakaaanPopuler Gramedia).
Carol, Colfer J. Pierce. 2005. Desentralisasi Kehutanan. Jakarta : Salemba Empat.
Gujarati, Damodar, 2003, Ekonometri Dasar. Terjemahan: Sumarno Zain, Jakarta: Erlangga. Darwanto dan Yustikasari, 2007. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Asli Daerah dan
Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal, Simposium Nasional Akuntansi, Juli, Makasar.
pendapatan asli daerah dan pendapatan perkapita.
I G A Gede Wertianti danA.A.N.B Dwirandra. 2013. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Pada Belanja Modal Dengan PAD dan DAU Sebagai Variabel Moderasi.
I Putu Ngurah Panji Kartika Jayadan A.A.N.B Dwirandra .2014. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Pada Belanja Modal Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel Pemoderasi.
Gunantara,Putu Candra dan A.A.N.B. Dwirandra.2014.Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Dan Dana Alokasi Umum Pada Pertumbuhan Ekonomi Dengan Belanja Modal Sebagai Variabel Pemoderasi Di Bali.
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi. Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta : ANDI.
Mudrajat Kuncoro. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Penerbit Erlangga.
Narimawati, Umi. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Bandung.
Narimawati, Umi. 2010. Penulisan Karya Ilmiah, Jakarta, Genesis.
Ridwan dan Sunarto.2007. Pengantar Statistik untuk Penelitian Sosial Ekonomi, Komunikasi dan Bisnis.Bandung:Alfabeta.
Rosy Puspita Sari dan I Gusti Bagus Indrajaya.2014. Pengaruh Dana Perimbangan Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Daerah Kabupaten Badung.
Sugiyono.2010.Metode Penelitian pedidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D.Bandung: ALFABETA.
Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung, Penerbit CV. Alfabeta.
Umar, Husein. 2011. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: Rajawali Pers. Untoro, Joko, 2010, Ekonomi, Jakarta: Kawahmedia.
Wandira, Arbie Gugus. 2013. Pengaruh Pad, Dau, Dak, Dan Dbh Terhadap Pengalokasian Belanja Modal.
1 1.1 Latar Belakang Penelitian
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak
tahun 2001 membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah,
salah satu perubahan itu adalah pemberian kewenangan dan keleluasaan kepada
daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal
(Andirfa, 2009). Otonomi Daerah bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan daerah, meminimalisasi kesenjangan antar daerah dan
meningkatkan kuantitas pelayanan publik (Andirfa, 2009).
Dengan adanya otonomi daerah, maka terjadi pemisahan fungsi antara
Pemerintahan Daerah (Eksekutif) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Legislatif) (Halim, 2006). Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut, menunjukkan
antara legislatif dan eksekutif terjadi hubungan keagenan, eksekutif melakukan
perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas anggaran daerah, yang merupakan
manifestasi dari pelayanan kepada publik, sedangkan legislatif berperan aktif
dalam melaksanakan legislasi, penganggaran, dan pengawasan (Halim, 2006).
Pemberian otonomi daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu daerah. karena memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk
membuat rencana keuangannya sendiri dan membuat kebijakan-kebijakan yang
dapat berpengaruh pada kemajuan daerahnya (Kuncoro,2004). Pertumbuhan
dengan mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan
dengan masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang akan
mempengaruhi perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Kuncoro,
2004).
Tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan penting
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat (Harianto dan Adi, 2007). Upaya
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah tidak akan memberikan arti apabila
tidak diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah (Harianto dan
Adi, 2007).
Dalam penyelenggaraan desentralisasi fiskal, Pemerintah Daerah harus
mampu memberikan fasilitas pelayanan publik yang lebih baik untuk masyarakat
lokal (Gunantara dan Dwirandra, 2014). Infrastruktur merupakan kunci dari
Pertumbuhan Ekonomi, dengan menyiapkan infrastruktur yang baik, maka akan
meningkatkan produktivitas (Modebe et al, 2012).
Belanja Modal memiliki peran yang sangat penting guna meningkatkan
infrastruktur publik, sehingga dapat mendukung peningkatan Pertumbuhan
Ekonomi (Gunantara dan Dwirandra, 2014). Alokasi belanja modal untuk
pengembangan infrastruktur penunjang perekonomian, akan mendorong tingkat
produktifitas penduduk (Harianto dan Adi, 2007).
Dalam pengantar nota keuangan Raperda tentang APBD Kabupaten
Bandung 2013 disebutkan, besaran APBD ini terdiri atas belanja langsung sebesar
Rp 753 miliar dan belanja tak langsung Rp 1,533 triliun (Triska
sebanyak 20.981 orang pegawai negeri sipil (PNS), anggaran untuk infrastruktur
masih di bawah pengeluaran untuk gaji pegawai (Triska Hendriawan,2013).
Anggaran untuk belanja langsung yang terbilang sedikit dibanding belanja
tidak langsung tersebut akan difokuskan pada sektor kesehatan, pendidikan, dan
infrastruktur yang telah menjadi komitmen Pemkab Bandung dan DPRD
Kabupaten Bandung (Triska Hendriawan,2013).
Dengan ditambahnya infrastruktur dan perbaikan infrastruktur yang ada
oleh pemerintah daerah, diharapkan akan memacu pertumbuhan perekonomian di
daerah (Harianto dan Adi, 2007). Pertumbuhan ekonomi daerah akan merangsang
meningkatnya pendapatan penduduk di daerah yang bersangkutan, seiring dengan
meningkatnya pendapatan penduduk akan berdampak pada meningkatnya
pandapatan per Kapita (Harianto dan Adi, 2007).
Sumber : BPS Kabupaten Bandung 2001-2013
Gambar 1.1
Rata-rata Perolehan Produk Domestik Regional Bruto per Kapita (PDRB per Kapita) Kabupaten Bandung tahun 2001-2013
2,000,000.00 4,000,000.00 6,000,000.00 8,000,000.00 10,000,000.00 12,000,000.00 14,000,000.00 16,000,000.00 18,000,000.00 20,000,000.00
Kenyataan yang terjadi dalam pemerintah daerah saat ini adalah dengan
adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi ternyata tidak selalu diikuti dengan
peningkatan belanja modal hal ini dapat dilihat dari kecilnya jumlah belanja
modal yang dianggarkan dibandingkan dengan total anggaran belanja daerah
(Arwati dan Hadiati, 2013).
Diberlakukannya otonomi daerah memberikan kesempatan pemerintah
daerah untuk lebih mengembangkan potensi daerah (Wandira,2013). Untuk
mengembangkan potensi daerah tersebut maka pemerintah daerah perlu
meningkatkan anggaran belanja modal (Wandira,2013).
Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan
pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan
publik (Darwanto dan Yustikasari, 2007). Pergesaran ini ditujukan untuk
peningkatan investasi modal dalam bentuk aset tetap, yakni peralatan, bangunan,
infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal
diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik, karena aset tetap yang
dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasyarat utama dalam
memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah (Darwanto dan Yustikasari,
2007).
Tabel 1.1
Anggaran dan Realisasi Belanja Modal Kabupaten Bandung Tahun 2001-2013 (rupiah)
Sumber: Data APBD Kabupaten Bandung 2007-2013
Tingkat belanja modal yang tidak semua dapat terealisasi ini sangat
berpengaruh bagi pemerintah karena akan mengalami kendala pada saat analisis
investasi publik nantinya (Mardiasmo, 2009). Kebijakan pemerintah untuk
menetapkan anggaran belanja modal ini menimbulkan pertanyaan, apakah
pemerintah telah mengalokasikan sumber daya dengan tepat atau tidak
(Mardiasmo, 2009). Karena itu perlu dilakukan analisis investasi dengan cermat,
analisis yang mendalam sebelum dilakukan investasi sangat penting dilakukan
karena investasi publik berkaitan erat dengan masalah transparansi dan kewajaran
suatu anggaran (Mardiasmo, 2009).
Tahun Anggaran
Jumlah(Rp) Bertambah/Berkurang
Anggaran Realisasi Rp %
2001 62.272.053.000 55.490.739.833 ( 6.781.313.167) 89,11
2002 91.002.370.000 80.080.694.209 (10.921.675.791) 87,90
2003 65.316.802.424 48.802.218.504 (16.514.583.920) 74,71
2004 140.235.446.000 126.972.007.251 (13.263.438.749 ) 90,54
2005 64.004.184.000 49.175.331.282 (14.828.852.718 ) 76,83
2006 225.270.596.000 150.896.093.585 (74.374.502.415 ) 66,98
2007 453.953.785.125 370.894.040.025 (83.059.745.100) 81,70
2008 218.790.299.248 180.480.211.408 (38.310.087.840) 82,49
2009 195.100.983.439 148.925.370.067 (46.175.613.372) 76.33
2010 335.483.606.665 198.090.778.260 (137.392.828.405) 59,05
2011 285.836.190.927 172.470.535.785 (113.365.655.14) 60,34
2012 564.591.683.234 489.588.416.448 (75.003.2.66.786) 86,72
Sumber-sumber dana yang digunakan untuk membiayai belanja modal
tersebut terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Dana Perimbangan
(Wandira,2013).
Pendapatan Asli Daerah didapatkan dari hasil pajak daerah, hasil retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD
yang sah. Untuk itu, dalam masa desentralisasi seperti ini, pemerintah daerah
dituntut untuk bisa mengembangkan dan meningkatkan PAD-nya masing-masing
dengan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki supaya bisa membiayai segala
kegiatan penciptaan infrastruktur atau sarana prasarana daerah melalui alokasi
belanja modal pada APBD (Wandira,2013). Semakin baik PAD suatu daerah
maka semakin besar pula alokasi belanja modalnya (Wandira,2013).
Dana perimbangan keuangan merupakan konsekuensi adanya penyerahan
kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian,
terjadi transfer yang cukup signifikan dalam APBN dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah.Pemerintah daerah dapat menggunakan dana perimbangan
keuangan (DAU) untuk memberikan pelayanan kepada publik yang direalisasikan
melalui belanja modal (Wandira,2013).
Kemampuan keuangan setiap daerah tidak sama dalam mendanai berbagai
macam kegiatannya, hal tersebut menimbulkan adanya kesenjangan fiskal antar
satu daerah dengan daerah lainnya (Arwati dan Hadiati, 2013).
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 Dana Perimbangan terdiri dari Dana
Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum(DAU), dan Dana Alokasi Khusus
Pusat ini diharapkan Pemerintah Daerah bisa lebih mengalokasikan PAD yang
didapatnya untuk membiayai belanja modal di daerahnya (Arwati dan Hadiati,
2013). Namun, pada praktiknya, transfer dana yang bersumber dari APBN
merupakan sumber pendanaan utama Pemerintah Daerah untuk membiayai
operasi utamanya sehari-hari (Arwati dan Hadiati, 2013).
Tabel 1.2
Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan Kabupaten Bandung Tahun 2001-2013 (rupiah)
Tahun Anggaran
PAD DANA PERIMBANGAN
Jumlah(Rp) Bertambah/
Berkurang Jumlah(Rp)
Bertambah/ Berkurang
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian
dengan berjudul :
“Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan
Dana Perimbangan terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Kasus Pada Kabupaten Bandung)”.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka masalah yang dapat
diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak selalu diikuti dengan
peningkatan belanja modal
2. Anggaran untuk infrastruktur masih lebih rendah dibandingkan
pengeluaran untuk gaji pegawai
3. Daerah masih bergantung pada transfer dana dari pusat sebagai
sumber pendanaannya sehari-hari
1.3 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat oleh penulis dalam penulisan ini
adalah sebagai berikut:
1. Seberapa besar pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Belanja Modal
pada Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung.
2. Seberapa besar pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal
3. Seberapa besar pengaruh Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal pada
Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung.
1.4 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.4.1 Maksud Penelitian
Maksud dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk memberi bukti
empiris tentang Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana
Perimbangan dan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal.
1.4.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang dilakukan oleh penulis ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Belanja
Modal pada Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung.
2. Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja
Modal pada Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung.
3. Untuk mengetahui pengaruh Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal
pada Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung.
1.5 Kegunaan Penelitian 1.5.1 Kegunaan Praktis
1. Bagi penulis
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan
pusat dengan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah, yang
berkaitan dengan pembangunan daerah otonom sesuai dengan konsep
desentralisasi.
2. Bagi pemerintah daerah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan mengenai
pengembangan peningkatan PAD, sehingga daerah otonom dapat
mengembangkan dan membangun daerahnya dengan sumber pendanaan dan hasil
kekayaan daerah masing-masing. Diharapkan dimasa mendatang Pemerintah
daerah tidak menggantungkan diri kepada pemerintah pusat terus-menerus atau
setidaknya mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat sehingga tujuan
desentralisasi dapat terwujud.
3. Bagi pihak lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi, bahan
rujukan dan referensi bagi pengembangan konsep tentang bagaimana pengaruh
Pertumbuhan Ekonomi, Dana Perimbangan dan PAD terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal.
1.5.2 Kegunaan Akademis
Kegunaan akademis dari penelitian ini adalah agar dapat memberikan
informasi bahan rujukan dan referensi bagi peneliti lain mengenai Pertumbuhan
11 2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi
2.1.1.1 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Boediono (2010:28), pertumbuhan ekonomi adalah:
“Pertumbuhan ekonomi, yang berarti perluasan kegiatan ekonomi, adalah
satu-satunya cara untuk meningkatkan penghasilan anggota masyarakat
dan membuka lapangan kerja baru”.
Sedangkan Pengertian Pertumbuhan ekonomi menurut Joko Untoro
(2010:39) adalah:
“Pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan dalam
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam
masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat dalam
jangka panjang”.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan
ekonomi merupakan kegiatan dalam perekonomian dimana terjadinya
peningkatan/ perubahan pendapatan/penghasilan anggota masyarakat dari suatu
2.1.1.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Indikator dari pertumbuhan ekonomi adalah Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB). Menurut Arsyad (1997:152) pengertian Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) secara umum adalah:
“Jumlah seluruh nilai tambah (produk) yang ditimbulkan oleh berbagai
kegiatan usaha disuatu daerah (region) tanpa memperhatikan pemilikan
atas faktor produksi”.
2.1.1.3 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
1. Tanah dan kekayaan alam.
Tanah dan kekayaan alam suatu Negara meliputi luas tanah, kesuburan
tanah, kondisi iklim, dan cuaca, kekayaan hasil hutan, dan kekayaan
barang tambang. Kekayaan alam sangat berarti terutama pada tahap
awal pembangunan. Secara umum Negara yang memilki kekayaan
alam melimpah akan lebih mudah meningkatkan laju pertumbuhan
ekonominya dibandingkan Negara yang kurang memiliki kekayaan
alam. Namun, kekayaan alam yang berlimpah tidak akan berarti jika
tidak memiliki modal, teknologi yang maju, sumber daya manusia
yang memadai, dan pasar yang potensial.
2. Kuantitas dan kualitas penduduk dan tenaga kerja
Pertambahan penduduk dari waktu ke waktu dapat menjadi motor
penggerak pertumbuhan ekonomi. Pertambahan penduduk akan
mendukung kegiatan produksi. Dengan pendidikan dan pelatihan yang
memadai, akan dihasilkan sumber daya manusia yang terlatih dan
terampilan sehingga mampu menjadi pionir dalam pembangunan.
Jumlah penduduk yang besar juga akan meningkatkan permintaan
barang yang diikuti dengan perluasan pasar. Disamping itu, banyaknya
pengusaha di suatu Negara akan mampu menciptakan banyak kegiatan
ekonomi yang bermanfaat. Selain mencari keuntungan-keuntungan
pribadi, pengusaha turut member kontribusi terhadap produksi
nasional. Akan tetapi, hal tersebut banyak mendapat tantangan dari
tingginya angka pengangguran, rendahnya produktivitas, dan laju
pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi dari pada peningkatan
pendapatan per kapita.
3. Kepemilikan barang modal dan penguasaan teknologi
Pada masyarakat yang kurang maju, kepemilikan modal seperti
cangkul, bajak, dan parang sangat berperan penting untuk kegiatan
berburu dan bertani. Pada masyarakat modern, peranan modal sangat
menentukan dalam peningkatan produktivitas. Akan tetapi,
penggunaan modal harus disertai dengan penerapan teknologi maju.
4. Sistem sosial dan sikap masyarakat.
Sistem sosial dan sikap masyarakat memegang peranan yang penting
dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Hasil identifikasi di
Negara-negara berkembang menunjukan bahwa sistem sosial dan sikap
istiadat yang kental pada masyarakat tradisioanal berupa upacara untuk
berbagai kegiatan dan acara dianggap memperlambat pertumbuhan
ekonomi.
2.1.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
2.1.2.1 Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menurut Halim dan Kusufi (2012:101) menjelaskan Pendapatan asli
daerah sebagai berikut :
“Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah
yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah”.
Sedangkan menurut Erlina dan Rasdianto (2013:93) menjelaskan
Pendapatan Asli Daerah sebagai berikut:
“Kelompok Pendapatan Asli Daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang
terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah”.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendapatan asli
daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah,
hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah yan sesuai dengan peraturan perundang-
2.1.1.2 Sumber-sumber Pendapatan Asli daerah
Menurut Halim dan Kusufi (2012:101) kelompok Pendapatan Asli Daerah
dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu :
1. Pajak Daerah
Pajak daerah merupakan pendapatan daerah yang bersal dari pajak.
Pajak daerah itu sendiri meliputi:
a. pajak hotel
b. pajak restoran
c. pajak hiburan
d. pajak reklame
e. pajak penerangan jalan
f. pajak pengambilan bahan galian golongan c
g. pajak lingkungan
h. pajak mineral bukan logam dan batuan
i. pajak parkir
j. pajak sarang burung walet
k. pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan
l. BPHTB.
2. Retribusi Daerah
Retribusi Daerah merupakan pendapatan yang diperoleh dari Retribusi
Daerah. Retribusi Daerah meliputi:
a. Retribusi pelayanan kesehatan
c. Retribusi penggantian biaya cetak ktp dan beban cetak akta catatan
sipil
d. Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat
e. Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum
f. Retribusi pelayanan pasar
g. Retribusi pengujian kendaraan bermotor
h. Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran
i. Retribusi penyediaan dan/atau penyedotan kakus
j. Retribusi pemakaian kekayaan daerah
k. Retribusi jasa usaha terminal
l. Retribusi jasa usaha tempat potong hewan
m. Retribusi jasa usaha tempat rekreasi dan olahraga
n. Retribusi jasa usaha penjualan produksi usaha daerah.
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan
penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
meliputi:
a. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
daerah/BUMD
b. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
c. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta
atau kelompok masyarakat.
4. Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah
Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari
lain-lain milik pemerintah daerah. Lain-lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang
Sah meliputi:
a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan
b. Jasa giro
c. Pendapatan bunga
d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan dan atau pengadaan barang dan atau jasa oleh daerah.
2.1.3 Dana Perimbangan
2.1.3.1 Pengertian Dana Perimbangan
Menurut Darise (2008:38) menyebutkan bahwa :
“Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.”
Menurut Erlina dan Rasdianto (2013:93) Dana Perimbangan adalah:
“Kelompok pendapatan dana perimbangan dibagi menurut jenis
pendapatan yang terdiri atas Dana Bagi Hasil pajak/bagi hasil bukan pajak,
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa dana perimbangan adalah
dana yang berumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri atas
pendapatan Dana Bagi Hasil pajak/bagi hasil bukan pajak, Dana Alokasi Umum,
dan Dana Alokasi Khusus.
2.1.3.2 Jenis - jenis Dana Perimbangan
Menurut Erlina dan Rasdianto (2013:93) Dana Perimbangan dibagi
menjadi:
1. Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil merupakan dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka
peresentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Dana bagi hasil bersumber dari pajak dan
sumber daya alam.
Penerimaan pajak yang termasuk dalam komponen pendapatan bagi
hasil sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 adalah :
1) Penerimaan Pajak
a) Pajak bumi dan bangunan (PBB)
Penerimaan negara dari pajak bumi dan bangunan dibagi
dengan imbangan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk
sebagaimana dimaksud diatas dibagi dengan rincian sebagai
berikut :
a. 16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan
b. 64,8% untuk kabupaten/kota yang bersangkutan
c. 9% untuk biaya pemungutan Selanjutnya 10% penerimaan
pajak bumi dan bangunan bagian pemerintah pusat
sebagaimana pembagian diatas dialokasikan kepada seluruh
kabupaten dan kota dengan rincian sebagai berikut:
1) 6,5% dibagikan secara merata kepada seluruh
kabupaten dan kota
2) 3,5% dibagikan secara intensif kepada kabupaten
dan/atau kota yang realisasi penerimaan pajak bumi dan
bangunan sektor pedesaan dan perkotaan sebelumnya
mencapai/melampaui rencana penerimaan yang
ditetapkan.
b) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Penerimaan negara dari bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah
pusat dan 80% untuk daerah. DBH BPHTB untuk daerah
sebesar 80% dibagi untuk daerah dengan rincian
1) 16% untuk provinsi yang bersangkutan
Selanjutnya bagian pemerintah sebesar 20% dialokasikan dengan
porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota.
c) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang
pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21
Dana bagi hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 yang
merupakan bagian dari daerah adalah sebesar 20% dengan rincian
1) 60% untuk kabupaten/kota
2) 40% untuk provinsi
2) Penerimaan Bukan Pajak (Sumber Daya Alam)
a. Sektor kehutanan
Penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak
Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan
(PSDH) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang
bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen)
untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk
daerah. Penerimaan kehutanan yang berasal dari dana reboisasi
dibagi dengan imbangan sebesar 60% (enam puluh persen)
untuk pemerintah dan 40% (empat puluh persen) untuk daerah.
b. Sektor Pertambangan Umum
Penerimaan pertambangan umum yang dihasilkan dari wilayah
puluh persen) untuk pemerintah dan 80% (delapan puluh
persen) untuk daerah.
c. Sektor Pertambangan Minyak Bumi
Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari
wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen
pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan
perundangundangan, dibagi dengan imbangan 84,5% (delapan
puluh empat setengah persen) untuk pemerintah dan 15,5% (
lima belas setengah persen) untuk daerah.
d. Sektor Pertambangan Gas Bumi
Penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari
wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen
pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 69,5% (enam
puluh sembilan setengah persen) untuk pemerintah dan 30, 5%
(tiga puluh setengah persen) untuk daerah.
e. Sektor Perikanan
Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi
dengan perimbangan 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah
dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah.
f. Sektor Pertambangan Panas Bumi
Pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah
pajak, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk
pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah.
2. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum merupakan Dana yang berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah untuk
membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
3. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus merupakan Dana Perimbangan yang
digunakan untuk menutup kesenjangan pelayanan publik antar daerah
dengan memberi prioritas pada bidang pendidikan, kesehatan,
infrastruktur, kelautan dan perikanan, pertanian, prasarana pemerintahan
daerah, dan lingkungan hidup.
2.1.4 Belanja Daerah
Menurut Erlana dan Rasdianto,(2013:120) belanja daerah adalah:
“Kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurangan nilai
kekayaan bersih”.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 dan adanya
perubahan kedua dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011
1. Belanja Langsung.
Belanja Langsung adalah belanja yang dianggarkan terkait secara
langsung dengan program dan kegiatan. Belanja Langsung terdiri dari
belanja:
a. Belanja pegawai,
b. Belanja barang dan jasa,
c. Belanja modal.
2. Belanja Tidak Langsung.
Belanja Langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait
secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok
belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:
a. Belanja pegawai,
b. Belanja bunga,
c. Belanja subsidi,
d. Belanja hibah,
e. Belanja bantuan sosial,
f. Belanja bagi hasil kepada provinsi/kabupaten/kota dan
pemerintahan desa.
2.1.5 Pengalokasian Belanja Modal 2.1.5.1 Pengertian Belanja Modal
Belanja modal menurut Halim & Kusufi (2012:107) adalah :
“Belanja modal merupakan pengeluaran untuk perolehan aset lainnya yang
termasuk, 1) belanja tanah, 2) belanja peralatan dan mesin, 3) belanja modal gedung dan bangunan 4) belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan,
5) belanja aset tetap lainnya”.
Sedangkan menurut Erlina dan Rasdianto (2013:121) Belanja Modal
merupakan:
“Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang meberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.Nilai aset tetap dalam belanja modal yaitu sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/ pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan”.
Dapat disimpulkan bahwa Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran
untuk perolehan aset tetap berwujud yang meberi manfaat lebih dari satu periode
akuntansi, digunakan dalam kegiatan pemerintahan dan selanjutnya akan
menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok
belanja administrasi umum.
2.1.5.2 Jenis-jenis Belanja Modal
Menurut Erlina dan Rasdianto (2013:121)) Belanja Modal meliputi:
1. Belanja Modal Tanah
Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk
pengadaan/pembeliaan/pembebasan penyelesaian, balik nama dan
sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah,
pembuatan sertipikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan
perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi
2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan, penambahan, penggantian, dan
peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang
memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai
peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai.
3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran/ biaya yang
digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan termasuk
pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan
pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai
gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/biaya
yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/
peningkatan pembangunan/ pembuatan serta perawatan, dan termasuk
pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan
irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan
jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
5. Belanja Modal Fisik Lainnya
Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian/ peningkatan
tidak dapat dikategorikan kedalam kriteria belanja modal tanah,
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan
jaringan, termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak
sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan
barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan
jurnal ilmiah.
2.2 Kerangka Pemikiran
2.2.1 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengalokasian Belanja Modal
Kuncoro (2004:68) berpendapat bahwa, syarat untuk pertumbuhan
ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan
pertambahan penduduk. Bertambahnya infrastruktur dan perbaikannya oleh
pemerintah daerah diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi daerah.
Mulia Adirfa (2009), melalui hasil penelitiannya menunjukan bahwa
Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Lain-Lain
Pendapatan Yang Sah Mempunyai hubungan sangat kuat dengan Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal pada Kabupaten/Kota Pemerintah Aceh.
2.2.2 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal
Y. Sri Pudyatmoko (2009:67) menyatakan bahwa, sebagaimana umumnya,
masuk ke bagian pendapatan. Pendapatan dari retribusi perizinan ini
bersama-sama dengan pendapatan dari sumber lain digunakan untuk menopang kebutuhan
belanja daerah.
Bahtiar Arif, Muchlis dan iskandar (2009:171) menyatakan Pendapatan
merupakan bagian utama dari suatu anggaran, baik untuk entitas bisnis maupun
pemerintahan. Anggaran pendapatan merupakan target yang akan dicapai untuk
membiayai anggaran belanja-belanja diantaranya termasuk belanja modal.
2.2.3 Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Pengalokasian Belanja Modal
Menurut Carol J.pierce (2005:176), Dana Perimbangan dimaksudkan
untuk mengatasi ketidakseimbangan vertical antar tingkat pemerintah (dana bagi
hasil & dana alokasi umum) menyamakan kemampuan fiscal pemerintah daerah
mendorong belanja daerah untuk kegiatan-kegiatan prioritas pembangunan
nasional, mendorong pencapaian pelayanan & standar minimum, & merangsang
mobilisasi pendapatan.
Abdullah dan Halim (2006:26) menyatakan bahwa pendapatan dari
pemerintah pusat berupa dana perimbangan di pemerintah daerah di Indonesia
merupakan sumber pendapatan utama dalam APBD. Sayangnya kontribusi Dana
Alokasi Umum (DAU) terhadap belanja modal masih belum efektif sehingga
masih banyak daerah yang belum merata pembangunannya, juga masih kurangnya
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Paradigma Penelitian
1. Y. Sri Pudyatmoko (2009)
2. Bahtiar Arif, Muchlis & Iskandar (2009)
Pertumbuhan Ekonomi (X1)
Pendapatan Asli Daerah (X2)
Dana Perimbangan (X3)
Belanja Modal (Y)
1. Kuncoro (2004)
2. Mulia Adirfa(2009)
2.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian merupakan dugaan sementara dengan menggunakan
statistika untukmenganalisnya. Menurut Sugiyono (2010:84) pengertian hipotesis
penelitian adalah:
“Hipotesis penelitian merupakan dugaan sementara yang
digunakansebelum dilakukannya penelitian”.
Berdasarkan landasan teori diatas maka menghasilkan hipotesis sebagai
berikut:
H1 :Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh terhadap pengalokasian
anggaran Belanja Modal.
H2 : Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap pengalokasian
anggaran Belanja Modal.
H3 : Dana Perimbangan berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran
30
3.1 Metode Penelitian
Jenis metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
karena tujuan dari penelitian ini bersifat suatu paparan pada variabel-variabel
yang diteliti. Sehingga akan menghasilkan informasi yang komprehensif
mengenai variabel yang diteliti. Pengertian metode deskriptif menurut Sugiyono
(2011:147) adalah sebagai berikut:
“Metode deskriptif adalah metode yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan
yang berlaku untuk umum atau generalisasi”.
3.2 Operasionalisasi Variabel Penelitian
Operasionalisasi variabel diperlukan untuk menentukan jenis, indikator,
serta skala dari variabel-variabel yang terkait dalam penelitian, sehingga
pengujian hipotesis dengan alat bantu statistik dapat dilakukan secara benar sesuai
dengan judul penelitian. Variabel itu sendiri dalam konteks penelitian menurut
Sugiyono (2010:38) sebagai berikut:
“Segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut,