• Tidak ada hasil yang ditemukan

Induksi variasi somaklonal dan seleksi in vitro menggunakan peg untuk identifikasi varian kacang tanah yang toleran cekaman kekekringan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Induksi variasi somaklonal dan seleksi in vitro menggunakan peg untuk identifikasi varian kacang tanah yang toleran cekaman kekekringan"

Copied!
312
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Komoditas ini adaptatif di daerah tropis, dan mempunyai arti penting sebagai bahan pangan bergizi tinggi, pakan ternak yang potensial, dan tanaman rotasi yang efektif. Sebagai bahan pangan biji kacang tanah mengandung lemak, protein, vitamin B dan E yang relatif tinggi (Maesen dan Somaatmadja 1993, Moss dan Rao 1995). Antara tahun 2000 – 2004 produksi kacang tanah Indonesia berkisar antara 736,5 – 839,1 ton, dengan hasil panen faktual rata-rata sebesar 1,08 – 1,16 ton per hektar (BPS 2005), lebih rendah dibandingkan hasil panen dalam skala penelitian yang dapat mencapai lebih dari 2 ton per hektar (Hidajat et al. 1999). Hal tersebut menyebabkan Indonesia harus mengimpor kacang tanah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya peningkatan produksi kacang tanah.

Upaya peningkatan produksi kacang tanah baik melalui perluasan lahan penanaman maupun peningkatan produktivitas menghadapi berbagai cekaman abiotik. Cekaman abiotik utama adalah kekeringan yang pada masa mendatang diduga akan semakin parah karena berkurangnya distribusi air ke sektor pertanian akibat besarnya kebutuhan air pada sektor non-pertanian, menurunnya daya retensi tanah dan kualitas lingkungan (Makarim 2005). Di samping itu usaha tani kacang tanah, yang bukan merupakan tanaman pangan utama di Indonesia, pada umumnya dilakukan di lahan kering atau pada akhir musim penghujan, sehingga berpeluang besar mengalami kekurangan air atau cekaman kekeringan.

Air merupakan faktor pembatas utama yang menentukan tercapai tidaknya potensi hasil tanaman. Bila air yang terserap tanaman berkurang, maka semua proses biokimia di dalam tanaman akan terhambat dan pertumbuhan serta produksi akan menurun. Produksi kacang tanah dapat menurun hingga 50% akibat cekaman kekeringan (Makarim 2005). Periode kritis tanaman kacang tanah terhadap kekeringan adalah umur 3, 25, 50 dan 75 hari (Balitkabi 2004).

(2)

ditoleransi, cekaman kekeringan tidak menimbulkan pengaruh seperti yang terjadi pada kultivar peka. Oleh karena itu untuk budidaya kacang tanah di lahan kering atau musim kering diperlukan kultivar yang toleran cekaman abiotik, terutama cekaman kekeringan, sehingga peningkatan hasil yang diharapkan dapat terwujud.

Sampai saat ini, di antara 22 kultivar kacang tanah yang dilepas Departemen Pertanian, hanya enam kultivar yaitu Komodo, Biawak, Jerapah, Panther, Singa dan Turangga yang diidentifikasi toleran terhadap cekaman kekeringan (Hidajat et al. 1999). Pada umumnya mekanisme toleransi yang dilakukan oleh kultivar toleran adalah melalui pembentukan akar yang intensif sehingga dapat menurunkan hasil. Kultivar toleran dengan mekanisme yang tidak menurunkan hasil lebih diinginkan (Williams dan Boote 1995). Karakter tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk diupayakan pada kacang tanah sebab genotipe dengan potensial daya hasil tinggi pada kondisi irigasi optimum biasanya sangat peka terhadap kekeringan. Sebaliknya, genotipe yang memberikan hasil baik pada kondisi tercekam kekeringan, mungkin tidak menjamin hasil yang lebih baik pada kondisi irigasi optimum (Gupta 1997) karena besarnya kemampuan pertumbuhan biomassa (perakaran). Berdasarkan hal itu pengembangan kultivar kacang tanah toleran kekeringan masih diperlukan.

Untuk mengembangkan kultivar yang toleran terhadap kekeringan dengan mekanisme yang berbeda diperlukan keragaman baru sifat toleransi pada plasma nutfah kacang tanah. Peningkatan keragaman sifat toleransi dapat dilakukan secara in vitro melalui kultur jaringan. Teknik ini berpotensi untuk menghasilkan varian somaklonal yang mempunyai karakteristik tertentu. Varian yang secara alamiah terjadi acak pada berbagai karakter tersebut kemudian diseleksi dalam media selektif yang sesuai sehingga diperoleh varian dengan sifat yang diinginkan. Dengan menggunakan seleksi in vitro, intensitas seleksi lebih besar dan homogen sehingga dapat meningkatkan efisiensi didapatkannya varian tanaman dengan sifat-sifat yang diharapkan (Specht dan Graef 1996).

(3)

ketersediaan eksplan dan tidak mengakibatkan khimera (Maluszynski 1995). Pada regenerasi embrio somatik eksplan diinduksi berturut-turut menjadi kalus, embrio somatik, dan tunas. Karena embrio somatik berasal dari sel tunggal, maka frekuensi terbentuknya varian relatif besar.

Untuk mendapatkan varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan digunakan bahan seleksi yang dapat mensimulasikan kondisi kekeringan di lapang. Ada beberapa bahan seleksi yang dapat digunakan, antara lain manitol, sorbitol, dan PEG (poly ethylene glycol). Dibandingkan agen seleksi yang lain, PEG (terutama yang mempunyai berat molekul lebih dari 3500) mempunyai kelebihan yaitu tidak dapat diserap oleh tanaman. PEG yang ditambahkan ke dalam media kultur dapat menurunkan potensial air media secara homogen karena sifatnya yang larut sempurna dalam air. Besarnya penurunan potensial air tergantung pada konsentrasi dan berat molekul PEG (Michel dan Kaufmann 1973, Steuter 1981). Bila varian yang toleran terhadap potensial air rendah tersebut dapat diperoleh dan dapat diregenerasikan menjadi tanaman maka kemungkinan besar akan berkembang menjadi tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan.

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui metode seleksi in vitro yang efektif dalam rangka memperoleh ES kacang tanah yang toleran terhadap potensial air rendah

2. Mengetahui indikasi varian somaklonal kacang tanah

3. Memperoleh populasi tanaman varian somaklonal hasil seleksi in vitro

4. Memperoleh populasi tanaman varian somaklonal yang toleran terhadap cekaman kekeringan

5. Menduga mekanisme toleransi tanaman kacang tanah terhadap cekaman kekeringan secara fisiologis

Pendekatan Masalah dan Strategi Penelitian

Untuk mencapai tujuan tersebut harus dilakukan tahap-tahap seperti disebut di bawah ini.

1. Mengembangkan populasi embrio somatik (ES) kacang tanah dan varian somaklonal

(4)

3. Menyeleksi populasi varian dalam media selektif in vitro untuk mengidentifikasi varian yang toleran terhadap potensial air rendah

4. Meregenerasikan varian yang toleran terhadap potensial air rendah menjadi populasi tanaman lengkap

5. Mengevaluasi karakter kualitatif dan kuantitatif populasi tanaman yang diregenerasikan dari ES varian hasil seleksi in vitro untuk mengidentifikasi adanya variasi di antara populasi tanaman yang diperoleh

6. Mengevaluasi respon tanaman hasil seleksi in vitro terhadap cekaman kekeringan dengan beberapa pendekatan, untuk mengidentifikasi adanya tanaman varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan

7. Menganalisis secara fisiologis populasi tanaman yang toleran untuk menentukan mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan.

Untuk dapat melakukan tahap-tahap tersebut dibutuhkan:

1. metode induksi ES dan variasi somaklonal untuk memperoleh ES varian somaklonal,

2. metode seleksi in vitro untuk mendapatkan ES varian somaklonal yang toleran cekaman kekeringan,

3. metode regenerasi ES menjadi tanaman lengkap,

4. indikasi adanya varian somaklonal pada karakter kualitatif dan kuantitatif 5. metode evaluasi respon tanaman terhadap cekaman kekeringan, dan

6. metode analisis fisiologis untuk penentuan mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan.

Metode induksi ES kacang tanah yang efektif telah berhasil dikembangkan menggunakan eksplan leaflet dengan media MS-P16 yaitu media MS (Murashige – Skoog) ditambah zat pengatur tumbuh golongan auksin yaitu pikloram (amino trichloropicolinic acid) sebanyak 16 μM/l. Metode ini terbukti cukup efektif menginduksi ES primer dan sekunder paling tidak untuk 16 kultivar kacang tanah yang diuji (Nursusilawati 2003).

(5)

dapat digunakan sebagai bahan penyeleksi kacang tanah dalam kondisi ex vitro untuk memperoleh tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan, namun efektivitasnya secara in vitro masih perlu diteliti.

Metode regenerasi tanaman kacang tanah dari ES telah dapat dikembangkan secara efektif, yang meliputi tahap maturasi, perkecambahan, dan pengakaran. Maturasi dilakukan dengan menumbuhkan ES dalam media MSAC, yaitu media MS tanpa fitohormon ditambah active charcoal (arang aktif) 2 g/l agar ES berkembang sempurna. ES sekunder yang telah mengalami tahap maturasi kemudian dikecambahkan dalam media MS yang ditambah BAP (6-benzylamino purine, zat pengatur tumbuh sejenis sitokinin) sebanyak 22 μM sampai terbentuk tunas. Tunas yang tumbuh dipilih yang mempunyai panjang 2 – 3 cm, kemudian dipindahkan ke media pengakaran yang tersusun dari media MS ditambah NAA (naphtalene acetic acid, zat pengatur tumbuh sejenis auksin) sebanyak 10 mg/l selama satu minggu. Setelah itu dipindahkan lagi ke MSAC dan ditumbuhkan sampai membentuk akar yang sempurna yang biasanya berlangsung selama 4 minggu. Dalam semua tahap tersebut kultur diinkubasikan dalam ruang kultur dengan temperatur konstan 24o C dalam kondisi terang terus menerus. Tunas yang telah berakar akan berkembang menjadi plantlet yang siap diaklimatisasi (Nursusilawati 2003).

Berdasarkan hal-hal tersebut maka strategi penelitian yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

1. mengembangkan metode seleksi in vitro dalam rangka memperoleh ES kacang tanah yang toleran terhadap potensial air rendah dengan mengkaji pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertumbuhan jaringan kacang tanah secara in vitro, dan menentukan konsentrasi sub-letal PEG pada sejumlah kultivar kacang tanah yang dilaporkan sebagai kultivar toleran, medium dan peka terhadap cekaman kekeringan,

2. menginduksi terjadinya ES sekunder dan varian somaklonal tanpa seleksi PEG dan meregenerasikannya menjadi tanaman lengkap untuk mengetahui indikasi varian somaklonal kacang tanah,

(6)

4. mengevaluasi respon tanaman varian somaklonal terhadap cekaman kekeringan yang dilakukan secara ex vitro di rumah kaca untuk memperoleh populasi tanaman varian somaklonal yang toleran terhadap cekaman kekeringan, dan

5. menganalisis secara fisiologis untuk mengetahui mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan.

(7)
(8)

Gambar 1. Diagram alir strategi penelitian dan keterkaitan antar percobaan dari seluruh kegiatan penelitian

PERCOBAAN 1 Evaluasi efektivitas PEG untuk mensimulasikan cekaman kekeringan

PERCOBAAN 2A

Penentuan konsentrasi sub letal PEG

MEDIA SELEKSI IN VITRO

PERCOBAAN 2B

Seleksi ES varian dalam media selektif dan regenerasi ES insensitif menjadi

tanaman R0

PERCOBAAN 3A Induksi ES varian somaklonal dan regenerasinya menjadi tanaman R0

TANAMAN R0 VARIAN TANPA SELEKSI DAN DENGAN SELEKSI (INSENSITIF PEG)

PERCOBAAN 3B

Regenerasi tanaman R1 dan R2 serta evaluasi karakter varian pada tanaman R0, R1 dan R2

KARAKTER VARIAN KUALITATIF DAN

KUANTITATIF

POPULASI TANAMAN VARIAN SOMAKLONAL GENERASI R1 DAN R2

PERCOBAAN 4 Evaluasi toleransi terhadap cekaman PEG dan mekanisme

toleransinya

PERCOBAAN 5

Evaluasi toleransi terhadap cekaman kekeringan dan mekanisme

toleransinya

(9)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

Variasi Somaklonal Kacang Tanah

Pengembangan galur tanaman yang mempunyai karakter tertentu dapat

dilakukan apabila di dalam plasma nutfah terdapat materi genetik yang

mengendalikan mekanisme karakter yang diinginkan. Semakin besar keragaman

genetik dalam plasma nutfah, semakin besar pula peluang untuk mendapatkan

materi genetik yang diharapkan. Peningkatan keragaman genetik dapat

dilakukan melalui kultur jaringan. Media kultur jaringan dapat menginduksi

perubahan genetik karena kondisi in vitro memungkinkan pembelahan sel terjadi sangat cepat sehingga memberi peluang terjadinya error yang tinggi. Dalam kegiatan pemuliaan perubahan ini justru memberi keuntungan karena

meningkatkan keragaman sifat. Keragaman ini disebut variasi somaklonal (Larkin

dan Scrowcrot 1981, Larkin et al. 1989, Bouharmont 1994, Wikipedia 2006). Pengembangan keragaman genetik tanaman melalui induksi variasi

somaklonal pada hakekatnya hampir sama dengan pengembangan dengan

teknik mutasi. Tingkat mutasi yang terjadi secara alamiah, buatan maupun

dalam kultur in vitro rata-rata sebesar 0,0001% (Duncan et al. 1995), namun dibandingkan mutasi alamiah dan buatan, frekuensi terjadinya mutasi pada kultur

in vitro jauh lebih tinggi (Larkin et al. 1989) karena populasi yang ditangani berjumlah sangat besar. Pada satu botol kultur terdapat jutaan sel dan setiap sel

mempunyai peluang mengalami mutasi atau membentuk sel varian. Keduanya,

teknik mutasi dan induksi variasi somaklonal, menghasilkan tanaman regeneran

dengan perubahan sifat yang menguntungkan ataupun merugikan, namun

perubahan yang merugikan pada variasi somaklonal terbukti lebih sedikit

(Duncan et al. 1995).

Variasi somaklonal merupakan fenomena umum yang dapat terjadi pada

semua sistem regenerasi tanaman yang melibatkan fase kalus. Sebagian besar

variasi somaklonal yang tampak pada tanaman regeneran dihasilkan selama

tahap kultur jaringan. Hal ini dapat dilihat melalui peningkatan frekuensi

kromosom yang abnormal sejalan dengan lamanya kultur. Beberapa variasi yang

terjadi pada tanaman varian mungkin dihasilkan pula dari variasi yang ada pada

eksplan. Perubahan genetik seperti mutasi gen, duplikasi, aneusomatik dan

(10)

10

variasi yang muncul dalam kondisi in vivo dan in vitro. Kontribusi relatif keduanya mungkin berbeda antar kasus, tergantung pada genotipe tanaman,

tipe kultur, medium kultur, umur kultur dan sebagainya (Larkin dan Scowcroft

1981, Larkin et al. 1989, Wikipedia 2006).

Perubahan genetik selama pertumbuhan dan regenerasi in vitro dapat terjadi pada genom inti maupun genom organela. Perubahan-perubahan tersebut

ada beberapa tipe, yaitu perubahan jumlah genom (monoploid, diploid, sampai

poliploid), perubahan jumlah kromosom (monosomi, trisomi, tetrasomi atau

nulisomi), perubahan struktur kromosom (translokasi, duplikasi, delesi, inversi,

kromosom disentrik atau telosentrik) dan perubahan struktur DNA yang meliputi

mutasi gen, pindah silang mitotik, metilasi yang mengakibatkan inaktivasi gen,

dan mutasi insersi akibat transposon (Bouharmont 1994, Karp 1995) .

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ada tidaknya dan

intensitas variasi yang dihasilkan dari kultur. Menurut Karp (1995), faktor-faktor

tersebut berasal dari (1) eksplan, yang meliputi tingkat perkembangan eksplan,

jenis eksplan, konstitusi genetik atau genotipe tanaman, dan dari (2) kondisi

kultur, yang meliputi panjang waktu kultur, penambahan zat pengatur tumbuh

dan bahan penyeleksi dalam media kultur. Tingkat perkembangan merupakan

faktor kunci variasi somaklonal. Pada tingkat perkembangan yang belum

terorganisasi mekanisme instabilitas genetik lebih mudah terjadi. Jadi makin

awal tingkat perkembangan eksplan dan makin panjang waktu yang diperlukan

dalam tahap ini, makin besar peluang untuk menghasilkan variasi somaklonal.

Selain itu jenis, paduan dan konsentrasi hormon yang dipakai dalam media

kultur, serta konsentrasi nutrien seperti Ca dan EDTA juga mempengaruhi

terjadinya variasi somaklonal.

Melalui induksi variasi somaklonal diharapkan dapat diperoleh varian

dengan sifat-sifat yang diinginkan dalam jumlah yang memadai. Sepuluh dari 100

varian somaklon pada tembakau mempunyai sifat-sifat agronomi yang positif

(Larkin dan Scowcroft 1981). Pada tanaman gandum regeneran terjadi variasi

somaklonal sebesar 5% untuk sifat morfologi dan biokimia. Karakter tersebut,

baik yang dikendalikan secara monogenik maupun poligenik, terbukti diturunkan

sampai dua generasi (Larkin et al. 1984). Frekuensi variasi somaklonal pada tanaman kedelai antara lain dipengaruhi oleh konsentrasi auksin dalam media

tumbuh. Pada media dengan 22,5 μM 2.4.D terbentuk varian sebesar 40%,

(11)

11

al. 1991). Penelitian Claxton et al. (1998) menunjukkan bahwa pada Rorippa nasturtium-aquaticum terjadi 25% variasi somaklonal dalam beberapa karakter morfologi dan ploidi. Frekuensi varian somaklonal sebesar 1,0% diketahui terjadi

pada Picea mariana dan 1,6% pada P. glauca, yang dapat dikelompokkan menjadi 9 tipe sifat morfologi dan fisiologi (Tremblay et al. 1999).

Intensitas perubahan karakter yang tampak pada tanaman varian

somaklonal tidak sama antar kasus. Perubahan tersebut dapat sangat besar

sehingga tanaman tampak abnormal, namun mungkin pula hanya sebagian kecil

sedangkan sebagian besar karakter lain tetap menyerupai induknya. Varian

yang fungsional untuk perbaikan sifat tanaman adalah yang mengalami

perubahan kecil (yang positif/diinginkan) yang bersifat stabil, durable, dan diwariskan secara Mendelian, dengan tetap mempertahankan sebagian besar

sifat seperti induknya. Hal ini dilaporkan dapat terjadi sehingga variasi

somaklonal memungkinkan untuk mengubah satu atau beberapa karakter

tertentu yang diinginkan dengan tetap mempertahankan karakter unggul yang

dimiliki induk (Hawbaker et al. 1993, Duncan et al. 1995).

Karakter yang berubah pada variasi somaklonal dapat merupakan karakter

morfologi, biokimia, fisiologi maupun molekuler. Variasi morfologi dan fisiologi

yang dihasilkan dari variasi somaklonal yang telah diteliti pada berbagai tanaman

meliputi perubahan ukuran dan warna bunga, warna dan morfologi daun, tinggi

tanaman, resistensi terhadap penyakit dan waktu panen (Wikipedia 2006).

Variasi morfologi dan fisiologi meliputi filotaksis, jumlah anak daun, jumlah

percabangan, sterilitas polen, dan kadar prolin tampak pada somaklon kedelai

(Widoretno 2002). Varian yang tampak pada varian kacang tanah adalah jumlah

cabang, panjang gynofor, jumlah anak daun, dan ukuran polong (Yusnita 2005).

Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Tanaman

Ditinjau dari segi agronomi kekeringan merupakan kondisi ketersediaan air

yang tidak memadai baik jumlah maupun distribusinya, meliputi simpanan air

bawah tanah dan kelembaban tanah, yang terjadi pada sebagian atau

sepanjang siklus hidup tanaman sehingga tanaman tidak dapat mengekspesikan

potensi genetiknya (Mitra 2001). Kekeringan mengakibatkan cekaman osmotik

pada tanaman yaitu mengurangi aktivitas air dan menyebabkan hilangnya turgor

sel. Cekaman osmotik merupakan cekaman multidimensi yang dapat

(12)

12

perkembangan karena air berperan sangat vital dalam kehidupan tanaman. Air

merupakan komponen penting dalam metabolisme, yaitu sebagai komponen

protoplasma, bahan fotosintesis, pelarut sebagian besar senyawa, media

transportasi, pengatur suhu dan faktor yang memungkinkan terjadinya reaksi

kimia. Oleh karena itu pengaruh kekurangan air pada tanaman bersifat sangat

kompleks (Salisbury dan Ross 1992, Blum 1996, Mundree et al. 2002).

Intensitas pengaruh cekaman kekeringan terhadap tanaman ditentukan oleh

tingkat cekaman dan fase pertumbuhan tanaman saat mengalami cekaman.

Cekaman kekeringan dapat mempengaruhi berbagai mekanisme seluler,

biokimia dan fisiologi. Pada tingkat seluler kekeringan mengakibatkan kehilangan

air protoplasmik sehingga konsentrasi ion meningkat, menghambat fungsi-fungsi

metabolik, dan meningkatkan kemungkinan terjadinya interaksi antar molekul

yang dapat menyebabkan denaturasi protein dan fusi membran (Mundree et al. 2002). Selain itu kekeringan menurunkan kandungan klorofil daun, kadar protein

khlorofil dan fotosistem II pada gandum (Shimada et al. 1992; Gaspar et al. 2002), degradasi protein D1 pada pusat reaksi fotosistem II dan kerusakan

membran serta dinding sel (Pieters et al. 2003).

Pengaruh kekeringan terhadap mekanisme biokimia dan fisiologi antara lain

menurunkan kecepatan fiksasi dan akumulasi N (Masyudi dan Peterson 1991),

transportasi fotosintat dan transpirasi (Pookpadi et al. 1990; Vieira et al. 1992), dan kecepatan fotosintesis (Loggini et al. 1999). Menurut Mundree et al (2002) cekaman kekeringan cenderung merusak sistem transport elektron sehingga

mendorong terbentuknya radikal oksigen bebas (reactive oxygen species atau ROS) pada organela tempat terjadinya metabolisme yang melibatkan transport

elektron atau yang melakukan oksidasi, yaitu khloroplas, mitokhondria dan

mikrobodi. ROS pada umumnya merusak komponen penting dalam sel seperti

DNA, protein dan lipid, serta mengakibatkan gangguan pada integritas

membran, aktivitas enzim dan struktur intra seluler.

Pengaruh cekaman kekeringan pada tahap perkembangan vegetatif dan

generatif tampak pada berbagai organ. Menurut Blum (1996) kekeringan

berpengaruh terhadap vigor dan pemunculan kecambah di atas tanah, namun

pada kecambah jagung justru meningkatkan diameter akar utama (Schmidhalter

et al. 1998). Kekeringan menurunkan pemanjangan daun (Schmidhalter et al. 1998) dan pertumbuhan primordia daun pertama pada jagung (Zhongjin dan

(13)

13

relatif, dan luas daun Phaseolus vulgaris (Franca et al. 2000), luas helaian daun, jumlah daun per tanaman, luas daun total per tanaman, dan rasio

akar/batang pada empat spesies Quercus (Fotelli et al. 2000). Cekaman kekeringan menurunkan bobot biji dan bobot kering polong (Pookpadi et al. 1992), kualitas biji (Franca-Neto et al. 1993), volume bunga dan nektar serta konsentrasi gula dalam nektar Epilobium angustifolium (Caroll et al. 2001). Pada jagung cekaman kekeringan menurunkan hasil karena mengurangi efisiensi

penggunaan cahaya (Earl et al. 2003).

Pada kacang tanah kekeringan mempengaruhi penyerapan kalsium oleh

polong dan fiksasi nitrogen. Jika kekeringan terjadi pada tanaman yang telah

mencapai tahap panen, ada kemungkinan biji terkontaminasi oleh aflatoksin yang

mengakibatkan biji beracun dan tidak layak makan baik oleh manusia maupun

ternak (Sharma dan Lavanya 2002, Ham 2004). Vorasoot et al. (2003) mengemukakan bahwa pada empat kultivar kacang tanah di Thailand kekeringan

berpengaruh pada hasil dan beberapa karakter agronomi. Kekeringan tingkat

sedang (kadar air setengah kapasitas lapang) menurunkan jumlah polong,

jumlah biji per tanaman, ukuran biji dan berat biji. Pada cekaman kekeringan

tingkat tinggi (kadar air ¼ kapasitas lapang) hampir semua polong gugur.

Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Mekanisme respon terhadap cekaman kekeringan terjadi melalui proses

signal transduction. Proses tersebut melibatkan reseptor sebagai penerima signal, phosphoprotein cascade sebagai penghantar signal, dan trans-acting factor sebagai pengaktif gen yang mengendalikan respon. Pada tanaman tertentu ABA (absisic acid) berperan sebagai reseptor sekunder yang menghubungkan reseptor utama di membran dengan phosphoprotein cascade, namun pada tanaman lain ABA tidak berperan (Mundree et al. 2002).

Menurut Mitra (2001) mekanisme respon terhadap kekeringan dapat

dibedakan menjadi tiga yaitu mekanisme escape (pelarian), avoidance (ketahanan) dan tolerance (toleransi). Pelarian merupakan kemampuan tanaman untuk menyelesaikan siklus hidupnya sebelum terjadi cekaman

kekeringan sehingga tidak mengalami cekaman. Ketahanan adalah

kemampuan tanaman untuk mempertahankan potensial air jaringan yang relatif

tinggi pada saat mengalami kekeringan, sedangkan toleransi adalah kemampuan

(14)

14

Pada umumnya tanaman melakukan lebih dari satu mekanisme respon

dalam waktu yang sama. Mekanisme ketahanan pada berbagai tanaman

merupakan faktor penting dalam menghadapi cekaman kekeringan. Hasil tinggi

di bawah kondisi cekaman kekeringan pada beberapa tanaman tertentu lebih

disebabkan oleh mekanisme ketahanan dibandingkan mekanisme toleransi

cekaman kekeringan (Ndunguru et al. 1995). Ketahanan dilakukan dengan cara mengurangi kehilangan air lewat daun dan meningkatkan kemampuan akar

dalam menyerap air tanah. Faktor yang memiliki kontribusi pada ketahanan

terhadap cekaman kekeringan adalah (1) pertumbuhan akar yang ekstensif dan

dalam (sering kali menjadi faktor yang paling penting); (2) penutupan stomata

untuk mengurangi kehilangan air; (3) penggulungan daun untuk mengurangi luas

daun yang terpapar lingkungan; (4) deposit lilin pada epicuticular untuk menghambat kehilangan air (Sullivan 1983).

Mekanisme toleransi juga mempunyai kontribusi yang tinggi dalam

mempertahankan hasil di bawah kondisi cekaman. Pada hakekatnya toleransi

meliputi aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk mencegah atau mengurangi

kerusakan, menjaga kondisi homeostatik, dan mempertahankan agar

pertumbuhan dapat tetap berlangsung meskipun dengan kecepatan yang lebih

rendah. Untuk mencapai tujuan tersebut, aktivitas dalam mekanisme toleransi

dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1) detoksifikasi khususnya terhadap ROS

melalui pembentukan protein stres dan osmolit yang kompatibel, (2) menjaga

keseimbangan osmotik, dan (3) regulasi pertumbuhan dengan menurunkan

kecepatan fotosintesis, pembelahan dan pembentangan sel (Mundree et al 2002).

Protein stres yang dibentuk dalam menghadapi cekaman kekeringan dapat

dibedakan menjadi (a) protein fungsional, antara lain berupa enzim kunci

biosintesis osmolit, enzim antioksidan, protein proteksi, dan (b) protein regulator,

antara lain berupa trans acting factor. Osmolit selain berperan dalam detoksifikasi, juga berperan dalam keseimbangan osmotik yaitu

mempertahankan tekanan turgor sel (Serraj dan Sinclair 2002, Mundree et al 2002).

Respon tanaman terhadap cekaman kekeringan sangat bervariasi tergantung

pada spesies, tingkat cekaman, lamanya cekaman, tahap perkembangan

tanaman ketika terjadi cekaman dan tingkat toleransi tanaman (Mullet dan

(15)

15

terhadap ROS secara efisien dengan membentuk enzim-enzim anti-oksidan

(misalnya katalase, peroksidase, dismutase), membentuk senyawa penghilang

radikal (misalnya karotenoid, askorbat, tokoferol-glutation tereduksi); dan

mengembangkan struktur untuk meminimalkan pembentukan ROS. Pada

tanaman rentan sistem penghilangan radikal cepat jenuh dan akibatnya

kerusakan tidak dapat dihindari (Mundree et al. 2002).

Pada gandum yang mengalami kekeringan terjadi penurunan kandungan

glutation baik pada kultivar yang rentan maupun toleran terhadap kekeringan,

namun kultivar yang rentan menunjukkan peningkatan aktivitas glutation

reduktase (Loggini et al. 1999). Stres kekeringan menginduksi akumulasi ABA dan meningkatkan pembentukan ROS serta aktivitas enzim-enzim antioksidan

seperti SOD (superoxide dismutase), CAT (catalase), APX (ascorbate peroxidase) dan GR (gluthatione reductase) pada daun jagung (Mingyi dan Jianhua 2002).

Detoksifikasi senyawa radikal juga dilakukan dengan pembentukan osmolit

yang kompatibel yang dapat berperan sebagai penghilang radikal, agen

proteksi untuk stabilisasi protein selama cekaman dan pelindung DNA dari efek

degradasi akibat ROS. Selain itu osmolit juga berperan dalam menjaga

homeostasi osmotik agar sel tetap turgor. Oleh karena itu osmolit disebut pula

osmoprotektan. Ada bermacam-macam senyawa osmolit antara lain dari

kelompok polyol (sorbitol), gula (rafinose, sukrose, trehalose), asam amino

(prolin), betain dan komponen lain yang terlarut dalam plasma sel. Molekul gula

selain berperan sebagai osmoprotektan, juga dapat mempertahankan stabilitas

membran sel dengan menjaga permukaan membran dari hidrasi dan mencegah

fusi komponen-komponen membran (Munns 2002, Serraj dan Sinclair 2002).

Osmolit yang dibentuk oleh spesies bersifat spesifik, misalnya alfalfa, padi,

dan canola membentuk prolin (Girousse et al. 1996, Iyer dan Caplan 1998, Gibon et al. 2000); Populus membentuk protein sejenis dehidrin (Pelah et al. 1997), prolin dan sukrose (Watanabe et al. 2000); kedelai mengakumulasi pinitol yang merupakan senyawa inositol (Guo dan Osterhuis 1997) dan prolin (Zheng dan Li

2000; Widoretno 2002); jagung membentuk sukrose (Zinselmeier et al. 1999) dan prolin (Verslues dan Sharp 1999). Ryegrass yang mengalami kekeringan mengakumulasi fruktan pada jaringan daun, khususnya pada bagian pelepah

dan dasar daun yang meristematik, tetapi tidak meningkatkan pembentukan

(16)

16

sukrose mengalami peningkatan (Amiard 2003). Kacang tanah kultivar Jerapah

dan Singa yang sebelumnya dilaporkan toleran, jika mengalami cekaman

kekeringan mengakumulasi prolin jauh lebih besar dibanding kultivar yang

rentan. Kultivar toleran dapat mempertahankan kandungan gula total saat

tercekam kekeringan, sementara pada kultivar rentan kandungan gula total

menurun (Sudarsono et al. 2004).

Homeostasi atau keseimbangan ionik bertujuan untuk mempertahankan

konsentrasi ion di tingkat seluler, jaringan dan tanaman. Hal tersebut dilakukan

dengan menambah jumlah vakuola, mengaktifkan mekanisme pompa ion,

saluran ion, transporter ion dan ATP-ase vakuolar. Konsentrasi ion di sitoplasma

dipertahankan pada rentang tertentu sehingga proses-proses fisiologi normal

dapat dilakukan (Mundree et al. 2002). Pada tanaman yang rentan, jika terjadi cekaman kekeringan turgor sel turun sehingga menimbulkan hambatan mekanik

pada dinding dan membran sel yang tidak dapat balik. Tetapi pada tanaman

yang toleran, kerusakan mekanik dapat ditanggulangi antara lain dengan

mengurangi volume sel secara signifikan akibat mengerutnya dinding sel, atau

mempertahankan volume sel dengan pembentukan vakuola kecil dalam jumlah

banyak (Mundree et al. 2002).

Regulasi pertumbuhan pada umumnya dilakukan melalui pengaturan

pembukaan stomata dan aktivitas ABA untuk menurunkan intensitas fotosintesis

dan perbanyakan sel. Kultivar kapas yang toleran dapat mempertahankan

konduktan stomata dan fotosintesis seperti tanaman yang tidak mengalami

cekaman sehingga hanya mengalami penurunan potensial osmotik sebesar 20–

25%, sedangkan potensial air tidak nyata menurun. Sebaliknya pada kultivar

yang rentan potensial osmotik relatif tetap, sedangkan potensial air nyata

menurun (Nepomuceno et al. 1998). Pada kultivar buncis yang rentan, stomata menutup sangat cepat dan menutup sempurna pada potensial osmotik –0,6

MPa, sedangkan pada kultivar yang toleran mekanisme tersebut terjadi pada -0,9

MPa. Akibatnya pada kondisi kekeringan, NAR (net assimilation rate) pada kultivar toleran lebih tinggi dibanding kultivar rentan (Franca et al. 2000). Jagung mempertahankan proses pemanjangan akar pada saat kekeringan

melalui perubahan beberapa mekanisme penting dari homeostasi ion. Akumulasi

ABA memainkan peranan penting dalam pengaturan proses transpor ion (Ober

(17)

17

Pada kacang tanah di Argentina terdapat perbedaan dalam hal kemampuan

penyerapan air dan efisiensi penggunaan air antara varitas yang toleran dengan

yang rentan terhadap kekeringan. Dibandingkan varitas rentan, varitas toleran

menyerap lebih banyak air selama periode kekeringan karena kemampuannya

‘menghabiskan’ air tanah yang sangat tinggi. Selain itu akibat tahap

perkembangan peg (calon polong) yang berlangsung lebih awal mengakibatkan polong segera dapat masuk ke lapisan tanah, sehingga meningkatkan

pembagian asimilat ke polong. Akibatnya produksi polong lebih tinggi

dibandingkan varitas rentan (Collino et al. 2000).

Seleksi In vitro untuk Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan Variasi somaklonal terjadi secara acak dan tidak terarah, sehingga untuk

memperoleh variasi yang diinginkan perlu dilakukan seleksi. Seleksi semacam

ini sangat bermanfaat untuk memperbaiki karakter toleransi terhadap cekaman

lingkungan (Skirvin et al. 2001). Seleksi dilakukan secara in vitro dalam media yang mengandung bahan selektif yang efektif, yaitu bahan yang dapat

mensimulasikan kondisi yang diinginkan dengan tepat, yang efektivitasnya dapat

dilihat dari kemampuan bahan tersebut memisahkan varian yang diinginkan

dengan yang tidak diinginkan.

Dalam mekanisme seleksi in vitro terdapat dua pendekatan utama, yaitu seleksi positif dan seleksi negatif. Seleksi positif hanya memungkinkan sel-sel

varian dengan sifat yang diinginkan hidup dan berkembang, sedangkan sel-sel

dengan sifat yang tidak diinginkan akan mati karena tekanan bahan selektif.

Sebaliknya pada seleksi negatif, sel-sel dengan sifat yang tidak diinginkan dapat

hidup dan membelah terus menerus sehingga justru akan mati akibat tekanan

bahan seleksi, sedangkan sel varian dengan sifat yang diinginkan tetap hidup

tetapi tidak mampu membelah sehingga terhindar dari tekanan bahan seleksi.

Sel ini kemudian dipindahkan ke media penyelamatan (Wikipedia 2006).

Pendekatan seleksi positif dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu

seleksi langsung, seleksi dengan penyelamatan, seleksi ganda dan seleksi

bertahap. Dalam seleksi langsung, sel varian dengan sifat yang diinginkan dapat

hidup dan berkembang membentuk koloni, sebaliknya sel yang tidak diinginkan

mati akibat tekanan bahan selektif. Seleksi dengan penyelamatan hampir sama

dengan seleksi langsung. Meskipun sel dengan sifat yang diinginkan hidup tetapi

(18)

18

dipindahkan ke media non selektif dalam rangka recovery. Seleksi ganda pada prinsipnya juga hampir sama dengan seleksi langsung. Sel-sel yang diinginkan

tidak hanya sel yang mampu hidup dan membelah saja, melainkan juga yang

mempunyai karakter visual tertentu. Dalam seleksi bertahap, konsentrasi bahan

selektif dinaikkan secara gradual dari konsentrasi yang relatif rendah hingga

konsentrasi yang bersifat sub-letal. Sel yang tahan pada media dengan tekanan

seleksi tertentu, diseleksi lagi dalam media dengan tekanan seleksi yang lebih

tinggi sampai diperoleh sel yang hidup dan mampu membelah dalam media

selektif dengan konsentrasi tinggi (Wikipedia 2006).

Seleksi in vitro menuntut penggunaan bahan selektif yang dapat mensimulasi kondisi ex vitro secara tepat. Senyawa PEG (polyethylene glycol) diketahui merupakan senyawa yang dapat mensimulasi kondisi kekeringan

dengan tepat karena merupakan senyawa yang terlarut sempurna dalam air.

PEG merupakan polimer etilen oksida (-CH2-O-CH2-). Dalam rantai polimer PEG

kekuatan matriks monomer etilen oksida merupakan faktor penting yang

mengontrol potensial air. Atom oksigen pada monomer tersebut dapat mengikat

molekul air melalui ikatan hidrogen, sehingga energi bebas H2O secara proporsional menurun sesuai panjangnya rantai polimer PEG (Steuter et al. 1981). Akibatnya penurunan potensial air dapat terjadi secara homogen.

Meskipun kekuatan osmotik juga muncul, kekuatan matriks merupakan

komponen utama potensial air dalam larutan PEG. Oleh karena itu PEG lebih

berperan sebagai matrikum daripada sebagai osmotikum sehingga penurunan

potensial air dalam media yang mengandung PEG sesuai dengan penurunan

potensial air dalam tanah yang mengalami cekaman kekeringan.

PEG tersedia dalam kisaran berat molekul (BM) yang cukup luas sampai

dengan BM 20.000. Michel dan Kaufmann (1973) menyatakan bahwa PEG 6000

paling tepat digunakan untuk penelitian dengan tanaman jika dibandingkan PEG

dengan BM yang lebih rendah. Penggunaan PEG dengan BM sama atau lebih

dari 6000 dalam jangka panjang tidak menyebabkan terserapnya PEG ke

jaringan tanaman. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian Chazen dan

Neumann (1994) yang memperlihatkan bahwa PEG 6000 tidak dapat masuk ke

jaringan, karena menurut Hardegree dan Emmerich (1992) dinding selulosa

hanya dapat mengeksklusi atau menginklusi molekul maksimal dengan BM 3500.

Berdasarkan hal tersebut penambahan PEG 6000 dalam media kultur dapat

(19)

19

air tergantung pada konsentrasi dan BM PEG, makin tinggi konsentrasi dan BM

makin besar penurunan yang terjadi (Michel dan Kaufmann 1973; Steuter et al. 1981).

Efektivitas penggunaan PEG untuk mensimulasikan kondisi kekeringan

secara in vitro dapat dievaluasi dengan mengamati pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa perlakuan konsentrasi larutan PEG berpengaruh nyata terhadap peubah

perkecambahan benih (Verslues et al. 1998; Zhongjin dan Neumann 1999; Widoretno et al. 2002). Penyiraman PEG secara in vivo juga telah terbukti dapat digunakan untuk menapis respon kacang tanah terhadap cekaman

kekeringan (Nursusilawati 2003). Penggunaan PEG dalam media in vitro dilaporkan dapat menapis ketahanan terhadap stres kekeringan pada anggur

(Dami dan Hughes 1997), Tagetes minuta (Mohamed et al. 2000) dan kedelai (Widoretno et al. 2002).

(20)

KACANG TANAH TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

DALAM MEDIA IN VITRO *)

Abstrak

Penelitian bertujuan menguji efektivitas PEG sebagai bahan penyeleksi dalam media in vitro dengan mengevaluasi respon kecambah dan tunas kacang tanah terhadap kondisi cekaman oleh PEG, menentukan konsentrasi PEG yang efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan jaringan, serta perubahan kandungan prolina total jaringan akibat cekaman PEG. Tiga macam organ dari sembilan kultivar kacang tanah, yaitu kecambah, TDK (tunas dari pertumbuhan sumbu embrio dengan kotiledon) dan TTK (tunas dari pertumbuhan sumbu embrio tanpa kotiledon) digunakan sebagai eksplan. Eksplan ditanam dalam media MS-0 cair dengan penambahan PEG (0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%) dan diamati pertumbuhan serta perkembangannya selama 6 – 8 minggu. Pada saat panen dilakukan pengamatan terhadap panjang epikotil, panjang akar primer, jumlah akar cabang, jumlah daun sempurna, bobot basah dan kering kecambah; pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, tingkat kerusakan dan kandungan prolina jaringan tunas. Hasil percobaan menunjukkan penambahan larutan PEG ke dalam media MS-0 menghambat pertumbuhan kecambah dan perkembangan tunas. Meningkatnya konsentrasi PEG menurunkan semua peubah pertumbuhan, tetapi meningkatkan skor kerusakan tunas dan kandungan prolina. Sembilan kultivar kacang tanah yang diuji memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan konsentrasi PEG. Kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah menunjukkan respon toleran; kacang tanah cv. Kelinci dan Gajah menunjukkan respon medium; sedangkan kacang tanah cv. Trenggiling, Macan, Simpai dan Badak menunjukkan respon peka terhadap cekaman kekeringan. Dari hasil percobaan disimpulkan bahwa penambahan larutan PEG dalam media in vitro memberikan kondisi cekaman yang ditandai dengan terhambatnya perkembangan eksplan dan peningkatan kandungan prolina dalam jaringan seperti respon terhadap cekaman kekeringan. Konsentrasi PEG 15% efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan jaringan eksplan. Respon kecambah dan tunas terhadap medium yang mengandung PEG 15% dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk menapis toleransi kacang tanah terhadap kekeringan. Kecambah, TDK maupun TTK dapat digunakan sebagai eksplan, dan pertambahan tinggi (TTK), pertambahan jumlah daun (TDK dan TTK), jumlah daun layu (TDK dan TTK), jumlah akar (TDK), dan skor kerusakan tunas TDK dapat digunakan sebagai kriteria toleransi terhadap kekeringan.

Kata kunci : respon cekaman kekeringan, seleksi in vitro, cekaman PEG, prolina total

(21)

Abstract

The objectives of this experiments were to evaluate the effectiveness of polyethylene glycol (PEG)-6000 as in vitro selective agent, determine response of seedling and epycotyl of nine peanut cultivars against PEG-6000 induced stress under in vitro conditions, effective concentration of PEG to inhibit growth and development of seedling and epycotyl, evaluate tolerance of the cultivars against PEG stress, and evaluate changes in total proline content due to PEG stress. Seedling, growing epycotyls from nine peanut cultivars seeds (TDK) or from embryo axis (TTK) were planted on liquid MS-0 medium containing PEG 6000 (0%, 5%, 10%, 15%, and 20%). Growth, development, and the tissue damage score of the epycotyl were observed after six weeks. Total content of proline were analyzed for stressed and non stressed epycotyl to determine effect of PEG stress on proline accumulation. Results of the experiment indicated that addition of PEG 6000 in to MS-0 medium inhibited growth and development of peanut seedling and epycotyl, and increased the tissue damage score and total proline content of epicotyl. Addition of PEG 6000 might be used to simulate drought stress under in vitro condition. PEG at 15% concentration was effective for inhibiting growth and development of epycotyl explant. The response of peanut epycotyls against medium containing 15% PEG 6000 might be used as alternative methods for screening peanut tolerance against drought stress. The TDK and TTK might be used as explant, while increased in shoot length (TTK), in leaf number (TDK and TTK), in milted leaf number (TDK and TTK), in root number (TDK) and score of tissue damage (TDK) might be used as criteria for drought tolerance.

(22)

Pendahuluan

Ketersediaan air merupakan faktor pembatas utama dalam budi daya

tanaman. Pada genotipe tanaman yang toleran cekaman kekeringan, penurunan

daya hasil akibat cekaman tidak sebesar yang terjadi pada genotipe peka

sehingga penggunaan genotipe yang toleran mempunyai arti penting dalam

budidaya tanaman di lahan kering.

Untuk menghadapi cekaman kekeringan, pada umumnya tanaman

melakukan mekanisme avoidance (ketahanan) dengan cara meningkatkan pertumbuhan biomasa akar untuk menjangkau kedalaman tanah yang kadar

airnya lebih tinggi (Monneaux dan Belhassen, 1996), tetapi mekanisme ini

kurang efektif karena pertumbuhan biomasa akar yang berlebihan dapat

menurunkan daya hasil tanaman. Mekanisme toleransi terhadap cekaman

kekeringan yang tidak berpengaruh negatif terhadap daya hasil lebih diinginkan

dibandingkan dengan mekanisme ketahanan.

Genotipe kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan relatif

terbatas jumlahnya (Hidajat et al. 1999), sehingga pengembangan plasma nutfah dengan sifat toleran masih perlu dilakukan. Seleksi in vitro dapat menjadi alternatif cara untuk mengembangkan plasma nutfah kacang tanah yang toleran

cekaman kekeringan.

Penggunaan seleksi in vitro untuk mendapatkan plasma nutfah kacang tanah yang toleran cekaman kekeringan memerlukan tersedianya teknik kultur

jaringan yang efektif untuk menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak dan

untuk menginduksi variasi somaklonal. Selain itu, selective agent yang dapat menapis sel/jaringan varian dengan sifat toleran diantara sel/jaringan yang peka

cekaman kekeringan perlu tersedia. Manitol, sorbitol, garam, dan polietilena

glikol (PEG) telah digunakan sebagai bahan penyeleksi dalam seleksi in vitro untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan (Gulati dan Jaiwal 1993,

Rajashekar et al. 1995, Dami dan Hughes 1997).

Senyawa PEG merupakan senyawa yang dapat menurunkan potensial

osmotik larutan melalui aktivitas matriks sub-unit etilena oksida yang mampu

mengikat molekul air dengan ikatan hidrogen. Penyiraman larutan PEG ke dalam

media tanam diharapkan dapat menciptakan kondisi cekaman karena

ketersediaan air bagi tanaman menjadi berkurang. Ukuran molekul dan

konsentrasi PEG dalam larutan menentukan besarnya potensial osmotik larutan

(23)

konsentrasi 5% mempunyai potensial osmotik -0,13 MPa (1,26 bar) sedangkan

konsentrasi 20% mempunyai potensial osmotik -0,71 MPa (7,06 bar). Tanah

dalam kondisi kapasitas lapang mempunyai potensial osmotik 0,33 bar dan

dalam kondisi titik kelembaban kritis (koefisien layu) mempunyai potensial

osmotik 15 bar. Penggunaan larutan PEG 6000 dengan konsentrasi 5%-20%

diharapkan dapat menciptakan potensial osmotik yang setara dengan kondisi

tanah kapasitas lapang dan titik kelembaban kritis.

Sebagai bahan penyeleksi, PEG 6000 dilaporkan lebih unggul

dibandingkan manitol, sorbitol, atau garam karena tidak bersifat toksik terhadap

tanaman (Verslues et al. 1998), tidak dapat diserap oleh sel akar (Chazen dan Neumann 1994), dan secara homogen menurunkan potensial osmotik larutan.

Penambahan larutan PEG dalam media in vitro diharapkan dapat mensimulasi kondisi cekaman kekeringan. Eksplan yang ditanam dalam media selektif

dengan penambahan PEG diharapkan memberikan respon yang sama dengan

yang mengalami cekaman kekeringan. Evaluasi untuk menentukan respon

eksplan kacang tanah terhadap cekaman PEG dalam media in vitro perlu dilakukan sebagai langkah awal penggunaan PEG dalam seleksi in vitro.

Salah satu respon tanaman terhadap cekaman kekeringan adalah

meningkatkan kandungan osmolit dalam sel, antara lain dengan

mengakumulasikan senyawa prolina (Mundree et al. 2002). Enam kultivar kacang tanah Indonesia yang diuji juga menunjukkan peningkatan akumulasi

senyawa prolina sebagai respon terhadap cekaman kekeringan (Sudarsono et al. 2004). Terjadinya peningkatan kandungan prolina jaringan eksplan kacang tanah

yang ditanam dalam media dengan penambahan PEG dapat digunakan sebagai

indikator kemampuan senyawa PEG untuk mensimulasikan cekaman kekeringan

dalam media in vitro.

Penelitian bertujuan menguji efektivitas PEG sebagai bahan penyeleksi

dalam media in vitro dengan mengevaluasi respon kecambah dan tunas sembilan kultivar kacang tanah Indonesia terhadap kondisi cekaman oleh PEG,

menentukan konsentrasi PEG yang efektif menghambat pertumbuhan dan

perkembangan eksplan, mengevaluasi toleransi sembilan kultivar kacang tanah

yang diuji terhadap cekaman PEG dan perubahan kandungan prolina total

(24)

Bahan dan Metode Bahan Tanaman dan Perlakuan PEG

Bahan tanaman terdiri atas benih sembilan kultivar, yaitu kacang tanah cv.

Singa, Komodo, dan Jerapah yang dilaporkan toleran terhadap cekaman

kekeringan (Hidajat et al. 1999, Nursusilawati 2003), Kelinci, Trenggiling dan Gajah yang bersifat medium toleran, Simpai dan Macan yang dilaporkan peka

terhadap cekaman kekeringan (Nursusilawati 2003) serta Badak yang belum

diketahui responnya terhadap cekaman kekeringan. Benih diperoleh dari Balai

Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika (Balitbiogen) Bogor.

Konsentrasi PEG yang ditambahkan dalam media in vitro terdiri atas 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%; yang masing-masing setara dengan potensial

osmotik 0; -0,13; -0,19; -0,41 dan -0,67 MPa (Michel dan Kaufmann 1973).

Perkecambahandan Pertumbuhan Tunas

Pada sebagian percobaan, poros embrio yang diisolasi dari benih kacang

tanah steril, dikecambahkan pada media MS-0 (Murashige and Skoog 1962,

tanpa zat pengatur tumbuh tanaman) padat, diinkubasikan dalam ruang kultur

bersuhu 25oC dan penyinaran 1000 lux selama 24 jam (untuk selanjutnya inkubasi dalam ruang kultur selalu dilakukan dengan kondisi tersebut, kecuali

dinyatakan lain). Kecambah dengan panjang epikotil 1 cm digunakan sebagai

eksplan tipe I (eksplan kecambah). Pada sebagian percobaan yang lain, benih

(poros embrio beserta kotiledon) dikecambahkan, epikotil yang tumbuh dipotong

2 cm dari ujung dan digunakan sebagai eksplan tunas kacang tanah tipe II

(eksplan TDK, tunas dari benih dengan kotiledon). Pada percobaan berikutnya,

poros embrio dikecambahkan, epikotil dipotong 2 cm dari ujung dan digunakan

sebagai eksplan tunas kacang tanah tipe III (eksplan TTK, tunas dari poros

embrio tanpa kotiledon).

Respon Eksplan terhadap Cekaman PEG

Percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap dua faktor, yaitu

sembilan kultivar dan lima konsentrasi PEG. Unit percobaan terdiri atas satu

botol kultur yang ditanami empat eksplan kecambah, atau dua TDK, atau dua

TTK. Untuk setiap kombinasi perlakuan diulang lima kali.

Media yang digunakan terdiri atas media MS-0 cair ditambah PEG 6000

dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%. Media sebanyak 35 ml

dituangkan dalam botol kultur (volume 150 ml) dan di atasnya diletakkan

(25)

kedua, kemudian disterilkan. Eksplan tipe I, tipe II atau tipe III ditanam dalam

lubang berdiameter 2 mm pada lapisan busa yang kedua (Gambar 2). Kultur

dipelihara selama enam minggu.

Pengamatan dan Analisis Data

Pengamatan dilakukan terhadap beberapa peubah pertumbuhan

kecambah, yaitu panjang epikotil, panjang akar primer , jumlah akar cabang,

jumlah daun yang membuka sempurna, bobot basah, bobot kering, persentase

kecambah yang epikotilnya tumbuh (PET), persentase kecambah yang

akar-cabangnya tumbuh (PAT), dan persentase kecambah yang daunnya tumbuh

sempurna (PDT). Panjang epikotil diukur dari pangkal kotiledon hingga ujung

epikotil.

Bobot kering ditimbang setelah kecambah disimpan dalam oven dengan

suhu 70oc selama tiga hari. PET dan PAT berturut-turut dihitung dengan menentukan rasio antara jumlah kecambah yang epikotil atau akar cabangnya

tumbuh dengan jumlah kecambah yang ditanam. Epikotil dianggap tumbuh bila

panjangnya lebih dari satu sentimeter, sedang akar cabang dianggap tumbuh

bila terdapat minimal satu akar cabang dengan panjang ≥ 0.5 cm. PDT

ditentukan dengan menghitung rasio antara kecambah yang minimal satu

daunnya tumbuh membuka sempurna dengan seluruh kecambah yang ditanam.

Gambar 2. Media selektif berupa media cair MS (Murashige-Skoog 1962) tanpa zat pengatur tumbuh (MS-0) dengan penambahan berbagai konsentrasi PEG 6000. (a) Eksplan tunas kacang tanah kultivar Macan yang ditanam pada media selektif dengan penambahan PEG 15%. (b) Eksplan tunas kacang tanah cv. Singa yang ditanam pada media selektif dengan penambahan PEG 15%, setelah dibuka penutupnya. 1. lembaran busa pertama, 2. kertas saring, 3. lembaran busa kedua, dengan lubang untuk menanam eksplan tunas, 4. eksplan tunas yang mati setelah enam minggu ditanam dalam media selektif dengan PEG 15%, 5. eksplan tunas yang tumbuh normal setelah enam minggu dalam media selektif dengan PEG 15%.

4

3 2 1

5

3 2 1

(26)

Gambar 3. Kriteria penentuan skor kerusakan eksplan tunas kacang tanah setelah ditanam dalam media selektif selama enam minggu. (a) skor 0: tunas sehat, terjadi kerusakan < 5% dan eksplan tunas mampu berakar, (b) skor 1: terjadi kerusakan 5% - 25% pada daun atau sebagian batang, (c) skor 2: terjadi kerusakan 25% - 50% pada daun dan sebagian batang, (d) skor 3: terjadi kerusakan 50% - 75% pada daun dan sebagian atau seluruh batang, dan (e) skor 4: terjadi kerusakan > 75% pada daun dan seluruh batang, tunas telah mati

Pertumbuhan dan perkembangan eksplan TDK dan TTK diamati dengan

mencatat pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, jumlah daun yang

layu, jumlah akar cabang yang terbentuk, dan tingkat kerusakan tunas. Tingkat

kerusakan tunas diukur dengan sistem skoring (Gambar 3), yaitu: skor 0 (eksplan

mengalami kerusakan <5%), skor 1 (kerusakan antara 5%-25%), skor 2

(kerusakan antara 25%-50%), skor 3 (kerusakan antara 50%-75%), dan skor 4

(kerusakan >75%).

Pengukuran Kandungan Prolina Jaringan Eksplan

Pada akhir pengamatan, tunas TTK yang tumbuh dalam media selektif

dipanen dan dikeringkan selama 1 minggu dalam kantong plastik yang berisi

silica gel. Contoh tanaman dari satu perlakuan yang sama yang telah kering dijadikan sebagai contoh komposit, disimpan dalam kantong plastik bersegel,

diberi label sesuai perlakuan, dan disimpan dalam freezer (-20oC) hingga saat dilakukan analisis kandungan prolina.

Analisis kandungan prolina dilakukan menggunakan metode yang

dikembangkan oleh Bates et al. (1973). Sekitar 0,5 g jaringan contoh digerus dalam mortar porselin, dihomogenisasi dengan 10 ml asam sulfosalisilat 3%, dan

disaring dengan kertas saring Whatman no. 42. Sebanyak 2 ml filtrat yang

(a) (b)

(27)

didapat direaksikan dengan campuran asam ninhidrin 2 ml dan asam asetat

glasial 2 ml dalam tabung reaksi. Campuran dipanaskan hingga 100oC dalam air mendidih selama 1 jam dan didinginkan dalam air es selama 5 menit. Setelah

dingin, larutan diekstraksi menggunakan toluena 4 ml dan dihomogenisasi

selama 15-20 detik menggunakan vorteks sampai terbentuk kromofor berwarna

merah jambu hingga merah. Kromofor yang terbentuk diukur absorbansinya

pada panjang gelombang 520 nm.

Untuk menentukan konsentrasi kandungan prolina digunakan kurva

standar menggunakan larutan prolina dengan konsentrasi antara 0 -1,0 µg.

Prolina dalam larutan standar diekstraksi dengan cara yang sama sebagaimana

yang dilakukan untuk jaringan tunas kacang tanah. Kandungan prolina jaringan

dinyatakan dalam µg/g bobot jaringan kering.

Hasil

Respon Eksplan Kecambahterhadap Cekaman PEG

PET kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah yang dilaporkan toleran

cekaman kekeringan, nyata menurun pada konsentrasi PEG 15%, 10% dan 5%.

Untuk kacang tanah cv. Kelinci dan Trenggiling (medium toleran) masing-masing

mengikuti pola seperti Singa dan Komodo, sedangkan PET Gajah (medium),

Simpai (peka) dan Badak mengikuti pola seperti Jerapah. Pada kacang tanah cv.

Singa dan Komodo (yang dilaporkan toleran) serta Trenggiling (medium toleran)

PDT menurun nyata pada konsentrasi PEG 10% (Tabel 1).

Penurunan PDT kacang tanah cv. Kelinci (medium) terjadi pada

konsentrasi PEG 15%; sedangkan untuk Simpai (peka), Jerapah, Gajah, Macan

dan Badak penurunan terjadi pada konsentrasi PEG 5%. PAT untuk kacang

tanah cv. Singa dan Komodo (toleran), serta Kelinci dan Trenggiling (medium)

nyata menurun pada konsentrasi PEG 15%, untuk Simpai (peka) nyata menurun

pada konsentrasi PEG 5% (Tabel 1).

Panjang epikotil kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah yang pada

penelitian sebelumnya diidentifikasi toleran serta Kelinci dan Trenggiling

(medium toleran) menurun bertahap sejalan dengan meningkatnya konsentrasi

PEG, namun pada Gajah (medium), Simpai (peka), Macan dan Badak

peningkatan konsentrasi PEG 10%, 15% dan 20% tidak lagi menyebabkan

(28)

Tabel 1. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap PET, PDT dan PAT dari sembilan kultivar kacang tanah

Konsentra-si PEG

(%)

Peubah pertumbuhan dan perkembangan eksplan kecambah kacang tanah

Sng Kmd Jrph Klc Gjh Trg Smp Mcn Bdk PET (Persentase kecambah dengan panjang epikotil > 1 cm)

0 100 100 100 100 100 100 98 100 100

5 100 71 5 100 45 100 0 34 9 10 100 8 0 94 0 40 0 22 0 15 8 0 0 41 0 35 0 4 0 20 0 0 0 17 0 0 0 0 0

PDT (Persentase kecambah dengan daun membuka > 1)

0 100 100 100 100 100 100 40 100 90

5 85 75 0 100 0 95 0 10 50 10 65 40 0 80 0 50 0 0 25 15 0 0 0 10 0 10 0 0 20 20 0 0 0 5 0 0 0 0 0

PAT (Persentase kecambah dengan akar cabang > 1)

0 100 100 100 100 100 100 100 100 100

5 100 100 95 100 65 100 20 95 95

10 100 100 55 100 35 100 0 0 95 15 45 20 0 100 20 50 0 0 65 20 20 10 0 95 0 0 0 0 20 Keterangan :

PET : Persentase kecambah dengan panjang epikotil > 1 cm, PDT : Persentase kecambah dengan daun membuka > 1, PAT : Persentase kecambah dengan akar cabang > 1

Pada peubah pertumbuhan akar cabang dan daun sempurna, kacang

tanah cv. Singa dan Komodo yang dilaporkan toleran serta Kelinci dan

Trenggiling (medium toleran) menunjukkan pola penurunan yang sama dengan

pola penurunan pertumbuhan epikotil. Untuk kacang tanah cv. Simpai dan

Macan masing-masing mulai konsentrasi PEG 5% dan 10% tidak mampu

membentuk akar cabang dan daun sempurna (Tabel 2, Gambar 5).

Untuk kacang tanah cv. Singa dan Komodo yang dilaporkan toleran

cekaman kekeringan, penurunan nyata panjang akar primer terjadi pada

perlakuan PEG 15% dan Jerapah (toleran) pada konsentrasi PEG 5%. Untuk

kacang tanah cv. Kelinci (medium toleran) penurunan nyata panjang akar primer

terjadi pada perlakuan PEG 15%, Gajah dan Trenggiling (medium toleran) serta

Badak pada konsentrasi PEG 10%, sedangkan Simpai (peka) pada perlakuan

5% (Tabel 2). Bobot basah dan kering kecambah juga dipengaruhi oleh

konsentrasi PEG (data tidak ditampilkan). Pada hampir semua kultivar kedua

peubah tersebut menurun sejalan dengan meningkatnya konsentrasi PEG,

(29)

Tabel 2. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap panjang epikotil, panjang akar primer, jumlah akar cabang dan jumlah daun kecambah sembilan kultivar kacang tanah serta nilai relatifnya terhadap perlakuan PEG 0%

Kultivar Peubah pertumbuhan dan perkembangan eksplan kecambah kacang tanah dan nilai relatif (%) terhadap perlakuan PEG 0%

0 5 10 15 20

Panjang epikotil (cm)

Singa 3,4 a (100) 1,4b (41) 1,4 b (41) 0,2 c ( 6 ) 0,1 c ( 3 ) Komodo 1,7 a (100) 0,9 b (53) 0,3 c (18) 0,2 c (12) 0,1 c ( 6 ) Jerapah 2,8 a (100) 0,5 b (18) 0,1 b ( 4 ) 0,1 b ( 4 ) 0,0 b ( 0 ) Kelinci 3,9 a (100) 2,4 b (62) 1,4 c (36) 0,6 d (15) 0,4 d ( 0 ) Gajah 1,4 a (100) 0,5 b (36) 0,1 b ( 7 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Trenggiling 1,9 a (100) 1,2 b (63) 0,5 c (26) 0,5 c (26) 0,0 d ( 0 ) Simpai 2,7 a (100) 0,2 b ( 7 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Macan 3,6 a (100) 0,5 b (14) 0,3 b ( 8 ) 0,3 b ( 8 ) 0,0 b ( 0 Badak 1,3 a (100) 0,4 b (31) 0,2 b (15) 0,4 b (31) 0,0 b ( 0 )

Panjang akar primer (cm)

Singa 4,1 a (100) 4,2 a 3,9 a (95) 2,7 b ( 66) 0,7 c (17) Komodo 1,9 a (100) 2,0 a (105) 1,6 b (84) 1,1 b ( 58) 1,1 b (58) Jerapah 6,6 a (100) 5,0 b (132) 2,3cd (46) 3,2 c ( 64) 2,0 d (40) Kelinci 5,2 a (100) 5,1 a ( 98 ) 4,8 a (92) 4,3 b ( 83) 1,7 c (33) Gajah 8,4 a (100) 9,3 a (111) 2,9 b (35) 3,5 b ( 42) 0,0 c ( 0 ) Trenggiling 10,1a (100) 9,7 a ( 96 ) 7,6 b (75) 6,4 b ( 63) 2,0 c (20) Simpai 6,4 a (100) 1,7 b ( 76 ) 1,3 b (82) 1,4 b ( 6 ) 0,1 c ( 0 ) Macan 4,3 a (100) 2,5 b ( 58 ) 0,5 c (12) 0,5 c ( 12) 0,4 c ( 9 ) Badak 3,3 a (100) 2,9 a ( 88 ) 2,0 b (61) 1,6 c ( 48) 1,3 b (39)

Jumlah akar cabang

Singa 15,5a (100) 8,3 b ( 54 ) 3,2cd ( 21) 1,0 d ( 6 ) 0,5 d ( 3 ) Komodo 9,2 a (100) 6,3 b ( 68 ) 4,4 b ( 48) 0,3 c ( 3 ) 0.1 c ( 1 ) Jerapah 8,6 a (100) 5,5 b ( 64 ) 2,8 c ( 33) 0 d ( 0 ) 0,0 d ( 0 ) Kelinci 18,1a (100) 8,9 b ( 49 ) 7,6 b ( 42) 6,9 b (38) 3,1 c ( 17) Gajah 8,3 a (100) 4,0 b ( 48 ) 3,8 b ( 46) 2,9 c (35) 0.8 c ( 10) Trenggiling 10,6a (100) 6,5 b ( 61 ) 5,5 b ( 52) 2,3 c (22 ) 0,0 c ( 0 ) Simpai 6,4 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Macan 13,4a (100) 4,8 b ( 36 ) 0,0 c ( 0 ) 0 c ( 0 ) 0,0 c ( 0 ) Badak 6,1 a (100) 4,0 b ( 66 ) 3,8 b ( 62) 2,9bc (48) 0,8 c ( 13)

Jumlah daun yang membuka sempurna

Singa 3,5 a (100) 1,8 b (51) 1,3 b (37) 0,0 c ( 0 ) 0,0 c ( 0 ) Komodo 2,4 a (100) 1,5 b (63) 0,8 b (33) 0,0 c ( 0 ) 0,0 c ( 0 ) Jerapah 3,3 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Kelinci 3,2 a (100) 2,6 b (81) 1,4 b (44) 0,2 c ( 6 ) 0,1 c ( 3 ) Gajah 3,8 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Trenggiling 3,4 a (100) 1,9 b (56) 1,0 c (29) 0,0 d ( 0 ) 0,0 d ( 0 ) Simpai 1,2 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Macan 4,2 a (100) 0,2 b ( 5 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Badak 1,8 a (100) 1,0 b (56) 0,5bc (28) 0,4bc ( 0 ) 0,0 c ( 0 ) Keterangan :

(30)

Respon Eksplan TDK terhadap Cekaman PEG

Penambahan PEG dalam media in vitro nyata berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan eksplan tunas kacang tanah tipe I (TDK) yang ditanam

secara in vitro. Perlakuan PEG 5% nyata menurunkan pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar primer semua kultivar kacang tanah yang diteliti, serta

menurunkan pertambahan jumlah daun pada kacang tanah cv. Gajah,

Trenggiling, Macan, Simpai dan Badak. Konsentrasi PEG 15% nyata

menurunkan pertambahan jumlah daun pada kacang tanah cv. Singa, Komodo,

[image:30.612.124.527.255.662.2]

Jerapah dan Kelinci (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertambahan tinggi, jumlah daun dan jumlah akar primer pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) dan nilai relatifnya terhadap konsentrasi PEG 0%

Peubah dan kultivar

TT Respon terhadap media dengan PEG Nilai relatif terhadap PEG 0% 0 5 10 15 20 0 5 10 15 20 Pertambahan tinggi tunas (cm) per eksplan

Singa T 8,5a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Komodo T 7,9a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Jerapah T 8,2a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Kelinci M 7,0a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Gajah M 6,3a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Trenggiling M 6,7a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Simpai P 6,3a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Macan P 6,9a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Badak - 6,3a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0

Pertambahan jumlah daun per botol

Singa T 10,4a 10,4a 9,6a 2,4b 0,0b 100 100 92 23 0 Komodo T 10,0a 9,6a 8,0a 0,0b 0,0b 100 96 80 0 0 Jerapah T 10,4a 9,6a 8,8a 1,6b 0,0b 100 92 85 15 0 Kelinci M 8,8a 7,6a 7,6a 0,0b 0,0b 100 86 86 0 0 Gajah M 8,0a 4,8b 2,8c 0,0d 0,0d 100 60 35 0 0 Trenggiling M 8,0a 5,6b 3,2c 0,0d 0,0d 100 70 40 0 0 Simpai P 8,0a 0,8b 0,0b 0,0b 0,0b 100 10 0 0 0 Macan P 7,2a 2,0b 0,0c 0,0c 0,0c 100 28 0 0 0 Badak - 7,6a 2,0b 0,8c 0,0c 0,0c 100 26 10 0 0

Jumlah akar primer per eksplan

Singa T 9,2 a 3,3 b 0 c 0 c 0 c 100 36 0 0 0 Komodo T 9,0 a 3,0 b 0 c 0 c 0 c 100 33 0 0 0 Jerapah T 8,8 a 3,5 b 0 c 0 c 0 c 100 40 0 0 0 Kelinci M 7,3 a 0,2 b 0 b 0 b 0 b 100 3 0 0 0 Gajah M 7,2 a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Trenggiling M 6,8 a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Simpai P 5,9 a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Macan P 6,4 a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0

Badak - 6,3 a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0

Keterangan:

(31)

Kultivar kacang tanah yang diuji menunjukkan respon yang berbeda

terhadap suatu konsentrasi PEG untuk peubah pertambahan jumlah daun,

jumlah daun layu dan tingkat kerusakan tunas. Kacang tanah cv. Singa, Jerapah,

Komodo yang toleran dan Kelinci yang medium toleran terhadap cekaman

kekeringan mulai mengalami penurunan jumlah daun pada konsentrasi PEG 10 -

15%, sedangkan lima kultivar yang lain pada konsentrasi PEG 5% (Tabel 3).

Semua kultivar kacang tanah yang diuji mempunyai pertambahan tinggi

tunas dan jumlah akar primer yang tidak berbeda. Pertambahan tinggi tunas dan

jumlah akar primer nyata menurun pada perlakuan penambahan PEG 5%

dibandingkan dengan PEG 0%. Pada perlakuan PEG 5%, tunas kacang tanah

cv. Singa, Komodo, dan Jerapah yang toleran serta Kelinci yang medium toleran

masih mempunyai akar primer, sedangkan kacang tanah yang lain tidak

mempunyai akar primer (Tabel 3).

Dampak yang nyata terhadap peningkatan jumlah daun layu dan skor

kerusakan tunas terjadi akibat penambahan PEG 10%, 15%, atau 20% (Tabel

4). Jumlah daun layu nyata meningkat pada konsentrasi PEG 15% untuk kacang

tanah cv. Singa, Komodo, Jerapah yang toleran, serta Kelinci, Gajah dan

Trenggiling yang medium toleran. Untuk kacang tanah cv. Simpai dan Macan

yang peka serta Badak, jumlah daun layu telah nyata meningkat pada

konsentrasi PEG 10% (Tabel 4).

Skor kerusakan tunas pada kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah

yang toleran, Kelinci dan Trenggiling yang medium toleran telah nyata meningkat

pada konsentrasi PEG 20%, kacang tanah cv. Gajah yang medium toleran dan

Badak, meningkat pada PEG 15%; sedangkan kacang tanah cv. Simpai dan

Macan yang peka, meningkat pada PEG 10% (Tabel 4).

Respon Eksplan TTK terhadap Cekaman PEG

Kultivar kacang tanah yang diuji menunjukkan respon yang berbeda

terhadap konsentrasi PEG untuk peubah pertambahan jumlah daun dan jumlah

daun layu. Jumlah daun layu nyata meningkat pada konsentrasi PEG 10%–15%

untuk kacang tanah cv. Singa, Komodo, Jerapah yang toleran dan Trenggiling

yang medium toleran, sedangkan lima kultivar lain telah meningkat pada

konsentrasi PEG 5% (Tabel 5).

(32)
[image:32.612.134.503.104.345.2]

Tabel 4. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap jumlah daun layu dan skor kerusakan tunas pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) Peubah dan

kultivar

Tole- ransi

Respon terhadap media dengan PEG

0% 5% 10% 15% 20% Jumlah daun layu per botol

Singa T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,0 b 2,0 c

Komodo T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,5 b 3,0 c

Jerapah T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 2,5 b

Kelinci M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 2,0 b 3,5 c

Gajah M 0,0 a 0,0 a 1,0 a 3,5 b 4,5 b

Trenggiling M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 3,0 b 4,0 c

Simpai P 0,0 a 0,0 a 1,5 b 5,0 c 7,0 d

Macan P 0,0 a 0,0 a 3,0 b 5,5 c 6,5 d

Badak - 0,0 a 0,0 a 2,5 b 5,5 c 6,0 d

Skor kerusakan tunas per eksplan

Singa T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,8 b

Komodo T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,0 b

Jerapah T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,0 b

Kelinci M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,3 a 1,2 b

Gajah M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,5 b 1,6 c

Trenggiling M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,2 a 1,5 b

Simpai P 0,0 a 0,0 a 1,0 b 2,2 c 3,0 c

Macan P 0,0 a 0,0 a 1,2 b 2,5 c 3,4 c

Badak - 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,7 b 2,3 c

Keterangan:

T: toleran, M: medium toleran, P: peka terhadap cekaman kekeringan (Hidayat dkk. 1999, Nursusilawati 2003). Data dalam satu baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT taraf signifikansi 5%

Kacang tanah cv. Singa, Jerapah, dan Komodo yang toleran mulai

mengalami penurunan jumlah daun pada media selektif dengan penambahan

PEG 10%, Kelinci yang medium toleran mulai menurun pada media dengan PEG

15%, sedangkan Gajah dan Trenggiling yang medium toleran, Simpai dan Macan

yang peka serta Badak mulai menurun pada konsentrasi PEG 5% (Tabel 6).

Tidak ada perbedaan pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar primer

antar kultivar. Pertambahan tinggi tunas nyata menurun pada konsentrasi PEG

5%, dengan persentase penurunan yang bervariasi antar kultivar. Pada kultivar

kacang tanah yang diidentifikasi toleran (Singa, Komodo dan Jerapah)

pertambahan tinggi pada konsentrasi PEG 5% mencapai 75% – 88%, sedangkan

pada kultivar yang peka (Macan, Simpai) hanya mencapai 17% – 67%

dibandingkan kontrol (Tabel 6).

Akumulasi Prolina Akibat Cekaman PEG

Penambahan PEG dalam media in vitro berpengaruh meningkatkan kandungan prolina total jaringan eksplan semua kultivar kacang tanah yang diuji.

Pada semua kultivar kacang tanah yang diuji, peningkatan kadar prolina total

(33)

Tabel 5. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap jumlah daun layu per botol pada eksplan tunas yang berasal dari poros embrio tanpa kotiledon (TTK)

Peubah dan kultivar

Toleransi Respon terhadap media dengan PEG

0% 5% 10% 15% 20%

Singa T 0,0 a 0,0 a 1,0 b 1,5 b 4,0 c

Komodo T 0,0 a 0,0 a 1,0 ab 1,0 b 5,0 c

Jerapah T 0,0 a 1,0 a 1,0 a 2,5 b 5,0 c

Kelinci M 0,0 a 1,0 ab 1,0 b 3,0 b 4,0 c

Gajah M 0,0 a 2,5 b 3,5 c 6,0 d 7,0 d

Trenggiling M 0,0 a 1,0 a 1,0 a 3,5 b 5,0 c

Simpai P 0,0 a 3,5 b 6,0 c 6,0 c 7,0 c

Macan P 0,0 a 1,5 b 4,0 c 6,0 d 7,0 d

Badak - 0,0 a 2,5 b 5,0 c 7,0 cd 8,0 d

Keterangan:

T: toleran, M: medium toleran, P: peka terhadap cekaman kekeringan (Hidayat dkk. 1999, Nursusilawati 2003). Data dalam satu baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT taraf signifikansi 5%

Tabel 6. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap pertambahan tinggi dan jumlah daun pada eksplan tunas yang berasal dari poros embrio tanpa kotiledon (TTK) dan nilai relatifnya terhadap konsentrasi PEG 0%

Peubah dan kultivar

Tole-ransi

Respon terhadap media dengan PEG Nilai relatif terhadap PEG 0%:

0% 5% 10% 15% 20% 0 5 10 15 20 Pertambahan tinggi tunas (cm) per eksplan

Singa T 0,9 a 0,8ab 0,7b 0,4c 0,0d 100 88 77 44 0 Komodo T 0,8 a 0,6 b 0,5c 0,2d 0,0e 100 75 62 25 0 Jerapah T 0,6 a 0,5 b 0,3c 0,0d 0,0d 100 83 50 0 0 Kelinci M 0,4 a 0,3 b 0,2c 0,1d 0,0d 100 75 50 25 0 Gajah M 0,4 a 0,3 b 0,1c 0,0d 0,0d 100 75 25 0 0 Trenggiling M 0,6 a 0,4 b 0,1c 0,0c 0,0c 100 67 17 0 0 Simpai P 0,3 a 0,2 b 0,0c 0,0c 0,0c 100 67 0 0 0 Macan P 0,6 a 0,1 b 0,1b 0,0b 0,0b 100 17 17 0 0 Badak - 0,4 a 0,2 b 0,1c 0,1c 0,0d 100 50 26 25 0 Pertambahan jumlah daun per botol

Singa T 3,2a 2,8 a 0,4b 0,4b 0,0b 100 88 13 13 0 Komodo T 3,2a 2,8 a 0,8b 0,0b 0,0b 100 88 25 0 0 Jerapah T 2,0a 1,6 a 0,0b 0,0b 0,0b 100 80 0 0 0 Kelinci M 2,4a 1,6 a 1,6a 0,4b 0,0b 100 67 67 17 0 Gajah M 1,6a 0,8 b 0,0c 0,0c 0,0c 100 50 0 0 0 Trenggiling M 2,8a 1,2 b 0,0c 0,0c 0,0c 100 43 0 0 0 Simpai P 2,0a 0,0 b 0,0b 0,0b 0,0b 100 0 0 0 0 Macan P 1,6a 0,4 b 0,0b 0,0b 0,0b 100 25 0 0 0 Badak - 1,2a 0,0 b 0,0b 0,0b 0,0b 100 0 0 0 0 Keterangan:

(34)

Kacang tanah cv. Singa dan Komodo yang toleran, serta Kelinci dan Gajah

yang medium toleran secara umum mempunyai kandungan prolina total lebih

rendah dibandingkan kacang tanah tanah cv. Simpai yang peka terhadap

cekaman kekeringan pada semua perlakuan PEG. Peningkatan kandungan

prolina jaringan pada perlakuan PEG 20% untuk kacang tanah cv. Singa,

Komodo, Kelinci dan Gajah menyamai kandungan prolina pada perlakuan PEG

5% untuk kacang tanah cv. Simpai. Hal ini mengindikasikan kacang tanah yang

peka telah mengalami cekaman kekeringan pada perlakuan PEG 5%, sedangkan

pada kacang tanah yang toleran dan medium toleran perlakuan PEG yang sama

belum mampu menginduksi kondisi cekaman. Akibatnya tunas yang ditanam

belum mengaktifkan respon terhadap cekaman yang antara lain dengan

meningkatkan kandungan prolina. Kacang tanah cv. Badak cenderung

mempunyai pola respon yang sama dengan Simpai (Gambar 4).

[image:34.612.121.503.55.766.2]

(35)
[image:35.612.139.492.99.499.2]

Gambar 5. Morfologi kecambah yang tumbuh pada media selektif yang mengandung PEG (dari kiri ke kanan) konsentrasi 0,

Gambar

Tabel 3.  Pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertambahan tinggi, jumlah daun dan
Tabel 4.  Pengaruh konsentrasi PEG terhadap jumlah daun layu dan skor kerusakan tunas pada  eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) Peubah dan Tole- Respon terhadap media dengan  PEG
Gambar 4. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap kadar prolina total jaringan pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) kacang tanah cv
Gambar 5. Morfologi kecambah yang tumbuh pada media selektif yang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul “ Upaya Meningkatkan Kemampuan Menyundul Bola Melalui Pantulan Bola ke Tembok Dengan Menggunakan Target

Aplikasi yang digunakan adalah Compiler CodeVision AVR, yang terdiri atas beberapa bagian yaitu : program utama, empat program seven segment , program penyalaan

[r]

Kelebihan model CBL dalam meningkatkan keterampilan proses sains yaitu dalam pembelajarannya lebih berpusat pada siswa, guru berperan sebagai fasilitator, karena

kemudahaan dalam penggunaan yang digunapakai untuk melihat respon masyarakat terhadap pembayaran eletronik adalah tinggi dengan nilai berada pada tahap 90 peratus ke atas

Dalam tomografi gelombang permukaan data yang digunakan bisa berupa rekaman seismik yang ditimbulkan oleh kejadian gempa ataupun dari sumber noise (bising) yang ada di sekitar

Sementara itu, A dan B pada persamaan (8a) dan (8b) adalah parameter yang menyatakan fraksi lengkap dari radiasi gelombang ungu terabsorbsi masing-masing oleh atmosfer dan

[r]