PENGARUH Garcinia mangostana TERHADAP PAPARAN BISING YANG DINILAI DARI PEMERIKSAAN SCANNING ELECTRON MICROSCOPE
(SEM) PADA Rattus norvegicus
OLEH: FUJI RAMADHANI
110100081
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGARUH Garcinia mangostana TERHADAP PAPARAN BISING YANG DINILAI DARI PEMERIKSAAN SCANNING ELECTRON MICROSCOPE
(SEM) PADA Rattus norvegicus
KARYA TULIS ILMIAH
“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”
OLEH: FUJI RAMADHANI
110100081
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
PENGARUH Garcinia mangostana TERHADAP PAPARAN BISING YANG DINILAI DARI PEMERIKSAAN SCANNING ELECTRON MICROSCOPE
(SEM) PADA Rattus norvegicus
NAMA : Fuji Ramadhani
NIM : 110100081
Pembimbing
dr. H. R. Yusa Herwanto, Sp.THT-KL.MKed (ORL-HNS)
NIP. 196701261997071001
Penguji I Penguji II
dr. Savita Handayani, Sp.PD dr. Feby Yanti Harahap, Sp.PA
NIP. 196805291997032001 NIP. 197501202003122001
Medan,Januari 2015
Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH
ABSTRAK
Bising merupakan salah satu etiologi yang dapat menimbulkan kondisi gangguan pendengaran. Target organ yang sering mengalami kerusakan adalah organ korti di koklea. Perubahan struktur yang terjadi diyakini melibatkan proses oksidasi dari radikal bebas.
Tujuan penelitian ini untuk membuktikan efek ekstrak kulit Garcinia mangostana sebagai antioksidan yang efektif dan aman untuk mencegah kerusakan organ korti koklea yang dapat mengakibatkan GPAB ditinjau dari gambaran ultrasttukturnya.
Penelitian merupakan studi eksperimental in vivo dengan rancangan post test only group dengan menggunakan hewan coba tikus putih Rattus norvegicus galur Wistar. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor tikus yang dibagi menjadi 6 kelompok, 3 kelompok memperoleh aquadest dan selebih nya mendapatkan ekstrak selama 16 hari. Masing-masing kelompok diberikan intensitas bising yang berbeda yakni, 25-50 dB, 55-80 dB, dan 85-110 dB dengan durasi 8 jam selama 8 hari secara kontinu. Semua sampel dilakukan pemeriksaan ultrastuktur melalui SEM.
Hasil Pemeriksaan diperoleh tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) untuk semua kelompok perlakuan.
Pemberian ekstrak kulit Garcinia Mangostana dengan dosis 21,6 mg selama 16 hari secara per oral tidak memberikan efek pencegahan yang signifikan dalam mengurangi kerusakan organ korti koklea, terutama pada pemberian intensitas bising 85-110 dB selama 8 hari (p=0,127).
ABSTRACT
Noise is one of etiology that may cause hearing loss. Target organ which usually become damage are organ of corti in cochlear. Structural changes that occur are believed to involve oxidation of free radicals.
The purpose of this study is to prove the effect of pericarp extract of Garcinia mangostana as an effective antioxidant and secure to prevent the damage to the cochlear organ of corti which may lead to NIHL viewed from its SEM examination.
An in vivo laboratory experimental study with post test only group design used Wistar strain of white rats (Rattus norvegicus). The samples were 24 rats divided into 6 groups: 3 groups had aquadest and the others had pericarp extract of Garcinia mangostana for 16 days. In every 8 hours, each groups had exposed by different intensity of noise exposure (25-50 dB, 55-80 dB, and 85-110 dB) for next 8 days continually. All samples were examined for the ultrastructure image of organ corti by SEM.
Examination result obtained showed no significant difference (p>0,05) between experiment groups.
The oral administration of pericarp extract of Garcinia mangostana at doses 21.6 mg for 16 days per day showed no significant effect in the way to prevent damage of organ corti, especially in 85-110 dB intensity for 8 days (p=0,127).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan karya tulis ilmiah (KTI) ini. Sebagai salah satu area kompetensi dasar
yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum, penyusunan karya tulis ilmiah
merupakan rangkaian tugas akhir yang menjadi kewajiban dalam menyelesaikan
pendidikan di program studi Sarjana Kedokteran, Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyusunan KTI ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
masukan dari berbagai pihak, untuk itu perkenankan penulis mengucapkan terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku DekanFakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Dosen pembimbing dalam penulisan proposal KTI ini, dr. H. R. Yusa
Herwanto, Sp.THT-KL.Mked (ORL-HNS) yang dengan sepenuh hati telah
meluangkan segenap waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis.
3. Prof. Dr.SyafruddinIlyas, M.Biomed, selaku Dosen jurusan Biologi Universitas Sumatera Utara yang juga merupakan narasumber dari
penelitian ini.
4. dr. Savita Handayani, Sp.PD, dr. M. Fahdy, Sp.OG, dan dr. Feby Yanti
Harahap, Sp.PA selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dalam
memperbaiki penelitian ini.
5. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara atas bimbingan selama perkuliahan hingga
penyelesaian studi.
6. Orang tua dan keluarga besar penulis yang senantiasa selalu memberikan
doa, semangat, serta dukungan yang luar biasa kepada penulis terutama
7. Yayasan Beasiswa Penelitian Medica Carita dan SCORE PEMA FK USU
yang telah memberikan beasiswa dalam menunjang keberhasilan
penelitian ini.
8. Teman-teman penulis yang senantiasa mendukung, menginspirasi, dan
memberikan bantuan dalam menyelesaikan KTI ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan karya tulis ilmiah ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan berbagai kritik
dan saran dari pembaca sebagai sarana evaluasi kedepannya.
Medan, 10Desember 2014
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR SINGKATAN ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 7
2.1 Anatomi Sistem Pendengaran ... 7
2.1.1 Anatomi Koklea ... 9
2.2 Fisiologi Pendengaran ... 12
2.2.1 Mekanoelektrik Transduksi Koklea ... 13
2.3 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB) ... 15
2.3.2 Stres Intraseluler ... 19
2.3.3 Pengaruh Bising terhadap Organ Pendengaran ... 21
2.4 Garcinia mangostana ... 23
2.4.1 Sifat Kimia, Fisika, dan Zat Aktif ... 24
2.4.2 Manfaat xanthone ... 25
2.4.3 Dosis Terapi xanthone ... 27
2.5 Scanning Electron Microscope (SEM) ... 28
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 30
3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 30
3.2 Variabel dan Defenisi Operasional ... 30
3.3 Hipotesis ... 33
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 34
4.1 Jenis Penelitian ... 34
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 35
4.3 Populasi dan Sampel ... 35
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 35
4.4.1 Kriteria Inklusi ... 35
4.4.2 Kriteria Eksklusi ... 35
4.5 Besar Sampel ... 36
4.6 Alat dan Bahan Penelitian ... 36
4.7 Prosedur Penelitian ... 37
4.7.1 Tahap Persiapan ... 37
4.7.2 Tahap Pemeriksaan OAE ... 37
4.7.3 Tahan Pembuatan Ekstrak KulitGarcinia mangostana ... 38
4.7.4 Tahap Perlakuan pada Tikus ... 39
4.7.6 Tahap Pembuatan Sediaan ... 39
4.7.7 Tahap Pemeriksaan SEM ... 39
4.8 Metode Pengolahan dan Analisa Data ... 39
4.9 Alur Penelitian ... 40
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41
5.1 Hasil Penelitian ... 41
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 41
5.1.2 Karakteristik Sampel ... 41
5.1.3 Gambaran Ultrastruktur Jaringan Koklea ... 41
5.1.4 Hasil Analisis Statistik ... 47
5.2 Pembahasan ... 49
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 54
6.1 Kesimpulan ... 54
6.2 Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 56
DAFTAR TABEL
Judul Halaman
Tabel 2.1 Komposisi Cairan Koklea ... 9
Tabel 2.2 Bising NR-15 ... 17
Tabel 4.1 Konversi Dosis ... 38
Tabel 5.1 Perbandingan Kelompok P0 dan P3 ... 42
Tabel 5.2 Perbandingan Kelompok P1 dan P4 ... 42
Tabel 5.3 Perbandingan Kelompok P2 dan P5 ... 43
DAFTAR GAMBAR
Judul Halaman
Gambar 2.1 Anatomi Telinga ... 8
Gambar 2.2 Anatomi Koklea ... 11
Gambar 2.3 Transmisi Suara ke Koklea ... 13
Gambar 2.4 Stimulasi Sel Rambut ... 14
Gambar 2.5 Stres Oksidatif ... 21
Gambar 2.6 Sel Rambut Luar Koklea ... 22
Gambar 2.7 Garcinia mangostana ... 24
Gambar 2.8 Struktur Kimia Xanthone ... 26
Gambar 2.9 Scanning Electron Microscope ... 29
Gambar 5.1 Ultrastruktur kelompok P0 ... 44
Gambar 5.2 Ultrastruktur kelompok P3 ... 44
Gambar 5.3 Ultrastruktur kelompok P1 ... 45
Gambar 5.4 Ultrastruktur kelompok P4 ... 45
Gambar 5.5 Ultrastruktur kelompok P2 ... 46
Gambar 5.6 Ultrastruktur kelompok P5 ... 46
DAFTAR SINGKATAN
dB : Desibel
GPAB : Gangguan Pendengaran Akibat Bising
PTS : Permanent Treshold Shift
ROS : Reactive Oxygen Species
SEM : Scanning Electron Microscope
TTS : Temporary Treshold Shift
HSR : Heat Shock Response
HSP : Heat Shock Protein
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Riwayat Hidup Peneliti
Lampiran 2 Surat Izin Penelitian
Lampiran 3 Ethical Clearance
Lampiran 4 Hasil Output
ABSTRAK
Bising merupakan salah satu etiologi yang dapat menimbulkan kondisi gangguan pendengaran. Target organ yang sering mengalami kerusakan adalah organ korti di koklea. Perubahan struktur yang terjadi diyakini melibatkan proses oksidasi dari radikal bebas.
Tujuan penelitian ini untuk membuktikan efek ekstrak kulit Garcinia mangostana sebagai antioksidan yang efektif dan aman untuk mencegah kerusakan organ korti koklea yang dapat mengakibatkan GPAB ditinjau dari gambaran ultrasttukturnya.
Penelitian merupakan studi eksperimental in vivo dengan rancangan post test only group dengan menggunakan hewan coba tikus putih Rattus norvegicus galur Wistar. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor tikus yang dibagi menjadi 6 kelompok, 3 kelompok memperoleh aquadest dan selebih nya mendapatkan ekstrak selama 16 hari. Masing-masing kelompok diberikan intensitas bising yang berbeda yakni, 25-50 dB, 55-80 dB, dan 85-110 dB dengan durasi 8 jam selama 8 hari secara kontinu. Semua sampel dilakukan pemeriksaan ultrastuktur melalui SEM.
Hasil Pemeriksaan diperoleh tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) untuk semua kelompok perlakuan.
Pemberian ekstrak kulit Garcinia Mangostana dengan dosis 21,6 mg selama 16 hari secara per oral tidak memberikan efek pencegahan yang signifikan dalam mengurangi kerusakan organ korti koklea, terutama pada pemberian intensitas bising 85-110 dB selama 8 hari (p=0,127).
ABSTRACT
Noise is one of etiology that may cause hearing loss. Target organ which usually become damage are organ of corti in cochlear. Structural changes that occur are believed to involve oxidation of free radicals.
The purpose of this study is to prove the effect of pericarp extract of Garcinia mangostana as an effective antioxidant and secure to prevent the damage to the cochlear organ of corti which may lead to NIHL viewed from its SEM examination.
An in vivo laboratory experimental study with post test only group design used Wistar strain of white rats (Rattus norvegicus). The samples were 24 rats divided into 6 groups: 3 groups had aquadest and the others had pericarp extract of Garcinia mangostana for 16 days. In every 8 hours, each groups had exposed by different intensity of noise exposure (25-50 dB, 55-80 dB, and 85-110 dB) for next 8 days continually. All samples were examined for the ultrastructure image of organ corti by SEM.
Examination result obtained showed no significant difference (p>0,05) between experiment groups.
The oral administration of pericarp extract of Garcinia mangostana at doses 21.6 mg for 16 days per day showed no significant effect in the way to prevent damage of organ corti, especially in 85-110 dB intensity for 8 days (p=0,127).
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perhatian dunia kini semakin tertuju pada salah satu faktor penyebab
menurunnya kualitas hidup seseorang yaitu gangguan pendengaran. Berdasarkan
data yang dilansir oleh World Health Organization (WHO), dikisarkan 360 juta (5.3%) jiwa di dunia menderita gangguan pendengaran, dimana 328 juta (91%)
adalah orang dewasa dan 32 juta (9%) diderita oleh anak-anak. Disimpulkan
bahwa peningkatan prevalensi gangguan pendengaran berbanding lurus dengan
laju pertambahan usia (Kemenkes,2013).
Permasalahan yang sama juga terjadi di Indonesia, didapati kelompok usia
75 tahun ke atas (36,6%) menduduki posisi tertinggi prevalensi gangguan
pendengaran, kemudian dilanjutkan oleh usia 65-74 tahun (17,1%) ; usia 55-64
tahun (5,7%) ; usia 45-54 tahun (2.3%). Sedangkan kelompok usia 5-14 tahun
dan 15-24 tahun memiliki angka prevalensi terkecil yakni masing-masing 0,8%.
Dari data tersebut Provinsi Sumatera Utara (2,6%) menduduki posisi 10 besar
provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi gangguan pendengaran tertinggi
(Riskesdas,2013).
Kebisingan merupakan polutan lingkungan yang memiliki efek secara
global. Tentu saja hal ini berdampak khusus pada kualitas kesehatan individu,
terutama di negara-negara industri. Menurut hasil penelitian mengenai gangguan
pendengaran akibat bising (GPAB), stres oksidatif diyakini menjadi kausa utama
yang mampu menimbulkan gangguan pada telinga sehingga berdampak buruk
pada kualitas hidup seseorang (Seidman&Standring, 2010). Kerusakan yang
timbul lebih sering mengenai kedua telinga, bersifat tidak dapat kembali ke
keadaan semula, serta semakin memburuk bila terpapar bising secara kontinu
Gejala utama yang dikeluhkan oleh penderita GPAB adalah kesulitan dalam
hal komunikasi sehingga mengganggu kehidupan sosialnya. Ketidakmampuan
dalam menentukan sumber suara, lokasi, dan jarak dari sumber suara menjadi
suatu keterbatasan yang bermakna bila dialami oleh seseorang dengan profesi
yang berhubungan dengan penyelamatan dan keamanan. Sehingga gangguan
pendengaran dapat berdampak buruk pada individualjuga melibatkan keluarga dan
komunitas sosialnya (Hong et al.,2013).
Menurut The Occupational Safety and Health Administration (OSHA) intensitas bising yang diizinkan bagi seseorang yang tidak menggunakan alat
pelindung pendengaran adalah 90dB selama 8 jam. Akan tetapi untuk intensitas
bising 90dB, di Brazil hanya diperbolehkan selama 4jam dan waktu 8jam hanya
diizinkan jika intensitas bising mencapai 85dB (Metidieri,2013). Di Indonesia
ketetapan intensitas bising yang termasuk kategori aman adalah 85dB selama 8
jam per hari atau setara dengan 40jam seminggu (Bashiruddin,2010).
Paparan bising yang berlebihan dari ambang batas aman memicu terjadinya
stres oksidatif pada organ pendengaran. Sel rambut terluar koklea menjadi
kehilangan integritasnya terhadap spiral ganglional neuron. Perubahan anatomi
juga dialami oleh neuron auditori piramidal dimana dijumpai pemanjangan
dendrit dan penurunan densitas tulang belakang di apeks dan basal lapisan neuron
piramidal II-III dan V-VI di daerah korteks. Penilaian status redoks koklea
menunjukkan peningkatan produksi superoksida dan lipid peroksidase di sel
rambut dan spiral ganglional neuron (Fetoni et al.,2013).
GPAB merupakan penyakit yang dapat dicegah. Upaya deteksi dini dengan
melakukan pemeriksaan audiometri secara berkala memiliki peranan penting
dalam menjaga kualitas pendengaran, terutama pada pekerja di lingkungan yang
memiliki tingkat kebisingan tinggi. The Occupational Safety and Health Administration (OSHA) juga menetapkan beberapa program konservasi bagi pekerja di lingkungan bising dengan intensitas diatas 85dB untuk waktu yang
teknisi dan administrasi, alat proteksi pendengaran, evaluasi melalui audiometri,
serta program edukasi dan pelatihan (Hong et al.,2013).
Sound Hearing 2030 merupakan program penanggulangan gangguan pendengaran rancangan WHO yang diresmikan pada 4 Oktober 2005. Dalam
menanggapi program tersebut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
membentuk Komite Pusat Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian
(PGPKT). Salah satu strategi yang menjadi prioritas utama adalah penguatan
advokasi, komunikasi, dan sosialisasi dengan semua sektor untuk upaya
penanggulangan gangguan pendengaran sehingga tujuan mengurangi prevalensi
gangguan pendengaran sebesar 90% pada tahun 2030 dapat diwujudkan
(KNPGPKT,2008).
Berbagai program konservasi yang bermaksud untuk mencegah terjadinya
GPAB sudah seharusnya dilaksanakan secara maksimal. Tentu saja bila program
tersebut berjalan secara optimal, maka penurunan prevalensi pun bukanlah
merupakan hal yang mustahil. Sementara itu, kurangnya fungsi kontrol oleh
pihak-pihak yang berwenang menimbulkan kendala pada upaya pelaksanaan
program-program tersebut misalnya, di lingkungan pemadam kebakaran, proyek
pembangunan, dan industri pertanian. (Hong et al.,2013).
Pemanfaatan potensi dari berbagai sektor diharapkan dapat mendukung
upaya pencegahan GPAB, termasuk dalam melibatkan sumber daya alam. Sebagai
negara yang dikenal kaya akan hutan hujan tropis, Indonesia memiliki sumber
daya alam yang luar biasa dan sudah seharusnya menjadi ladang ilmu bagi para
akademisi. Garcinia mangostana atau lebih sering dikenal dengan sebutan buah manggis, sangat mudah dijumpai di seluruh wilayah Indonesia. Biasanya buah ini
lebih sering dijadikan sebagai panganan sehat dan kulitnya dimanfaatkan sebagai
pewarna alami (Valadez et al.,2009).
Mangostin merupakan senyawa yang paling banyak dipelajari karena mempunyai
banyak aktivitas farmakologis, selain memiliki efek antiinflamasi juga sebagai
analgetik, antioksidan, antitumor, dan efek vasorelaksan. Saat ini pemakaian
produk ekstrak buah-buahan dan sayur-sayuran semakin digemari untuk
digunakan sebagai pencegahan berbagai kondisi gangguan kesehatan. Hal ini
disebabkan karena produk organik lebih dapat ditoleransi oleh tubuh walaupun
dalam konsentrasi yang tinggi (Reanmongkol & Wattanapiromsakul,2008).
Pada penelitian in vitro, γ-mangostin bekerja sebagai COX-inhibitor kompetitif. Aktivitas penurunan kuantitas lipopolisakarida yang menginduksi
ekspresi gen COX-2 juga dapat dijumpai pada penelitian tersebut. Proses ini tentu
sangat mempengaruhi peranan ekstrak Garcinia mangostana sebagai antiinflamasi (Reanmongkol & Wattanapiromsakul,2008). Hal yang serupa juga ditemukan dalam peranan α-mangostin sebagai antiinflamasi. Zat aktif ini mampu menurunkan aktivitas IL-1, mitogen-activated protein kinase (MEK), c-Jun N-Terminal Kinase (JNK), Extracellular signal-regulated kinase (ERK), signal transducer and activator of transcription 1 (STAT-1), dan activator protein 1 (AP-1) (Orozco et al.,2013).
Aktivitas antioksidan dari ekstrak kulit Garcinia Mangostana juga melibatkan kandungan polifenolik seperti epikatekin dan tannin. Kandungan ini
memperlihatkan efek yang sensitif terhadap radikal bebas. Kinerja yang sama juga
ditunjukkan oleh mangostin. Disimpulkan bahwa ekstrak berbahan pelarut air
memiliki efek antioksidan lebih baik dibandingkan dengan ekstrak berpelarut
etanol (Ngawirhunpat et al.,2010).
Mekanisme antioksidan spesifik juga ditunjukkan oleh α-mangostin. Kemampuannya untuk mencegah proses peroksidasi lipid yang dipengaruhi oleh
ROS semakin menguatkan potensinya dalam mencegah disfungsi pada
mitokondria sel. Beberapa jenis toksin peroksida seperti: FeSO4, asam quinolat,
dan asam 3-nitropropionat telah diujikan pada hewan coba dan diteliti bagaimana
menetralkanradikal bebas tersebut dan menimbulkan efek proteksi secara luas
(Valadez et al.,2009).
Pengembangan potensi xanthone dalam menghambat proses karsinogenesis mengalami banyak kemajuan. Kemampuannya untuk bisa menginhibisi
target-target molekuler pada sel tumor termasuk kinase, COX, ribonukleotida reduktase,
dan DNA polimerase, penghentian siklus sel, menekan laju proliferasi,
menghambat metastasis, invasi, dan adesi, serta menginduksi proses apoptosis dan
differensiasi menjadikannya istimewa dalam hal pemanfaatan sebagai antikanker.
Turunan xanthoneyang memiliki aktivitas antikanker merupakan golongan tetraoksigen dengan dua unit C5 pada cincin A dan C (Shanet al.,2011).
Rattus norvegicus digunakan sebagai hewan coba karena memiliki struktur telinga yang mirip dengan manusia, sehingga dapat digunakan sebagai model
penelitian. Selain itu jenis tikus ini juga mempunyai kesamaan >70% gen dan
sekuensnya, maka studi mengenai ketulian genetik dapat dilakukan (Haryuna,
2013).
Efek proteksi ekstrak kulitGarcinia mangostana terhadap paparan bising sampai sekarang belum banyak diteliti. Pemeriksaan sel rambut luar koklea
dengan menggunakan Scanning Electrone Microscope (SEM) diperkirakan dapat menilai pengaruh antar dua perlakuan tersebut secara kualitatif. Oleh sebab itu,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian
ekstrak kulitGarcinia mangostana terhadap organ korti tikus putih yang terpapar bising dan diperiksa melalui SEM.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pemberian ekstrak kulitGarcinia mangostanadengan paparan bising secara terus menerus sebagai proteksi dari kerusakan organ korti koklea.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Membuktikan ekstrak kulitGarcinia mangostana dapat mencegah kerusakan organ korti koklea.
2. Menilai perbedaan secara kualitatif kerusakan organ korti koklea akibat
paparan bising tanpa diberi ekstrak kulitGarcinia mangostana dengan paparan bising yang diberi ekstrak kulitGarcinia mangostana.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Mendapatkan penjelasan mengenai perbedaan kerusakan organ korti
koklea secara kualitatif akibat paparan bising tanpa diberi ekstrak
kulitGarcinia mangostana dengan paparan bising yang diberi ekstrak kulitGarcinia mangostana.
2. Apabila berhasil dilakukan pada hewan coba, diharapkan ekstrak
kulitGarcinia mangostana bisa menjadi salah satu topik yang dapat dijadikan bahan penelitian lanjutan.
3. Memberi informasi kepada pengampu kebijakan dan masyarakat untuk
memanfaatkan ekstrak kulitGarcinia mangostana sebagai salah satu pilihan untuk meminimalisasi kerusakan sel rambut luar koklea pada
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Anatomi Sistem Pendengaran
Telinga merupakan organ pendengaran yang menjadi salah satu indra
khusus pada manusia. Memahami struktur telinga secara keseluruhan dapat
membantu kita dalam menilai suatu keadaan abnormal, menegakkan diagnosis,
serta penatalaksanaan yang tepat (Harkin & Kelleher, 2011). Secara umum telinga
dapat dibagi menjadi 3 regio utama yaitu: telinga luar, telinga tengah, dan telinga
dalam. Pada bagian terluar terdapat daun telinga (pinna) dan lubang telinga luar
(external acoustic meatus). Struktur daun telinga menyerupai bentuk oval dan sisi lateralnya merupakan daerah cekung yang tidak beraturan dengan memiliki
beberapa lekukan menonjol yang disebut helix. Tulang rawan adalah materi
penyusun dominan dari daun telinga, selain otot, ligamen, dan jaringan fibrosa.
Daerah yang memanjang hingga membran timpani disebut lubang telinga luar
dengan karakteristik panjang sekitar 4cm dari tragus, berbentuk seperti huruf S,
dilapisi oleh kulit, mempunyai kelenjar serumen, dan seperti tabung silindris.
Daerah ini sebagian dibentuk oleh kartilago, sedangkan sisi yang lebih medial
disusun oleh tulang. Dijumpai penyempitan pada bagian ujung saluran ini yang
mana membentuk daerah miring atau disebut sebagai sulkus timpanikus. Di
tempat tersebut menempel suatu membran yang dinamakan membran timpani
telinga (Gray, 2000).
Regio tengah dari telinga atau lebih dikenal sebagai kavum timpani terdiri
dari membran timpani, tuba eustachius serta tiga buah tulang pendengaran yaitu
malleus, inkus, dan stapes yang masing-masing membentuk suatu persendian
sinovial (Harkin & Kelleher, 2011). Suatu membran yang tipis dan
semitransparan, berbentuk oval dengan bagian atas lebih luas daripada bagian
bawah, posisi oblik terhadap kedudukan dasarnya dinamakan sebagai membran
malleus, adapun sisi lateralnya yang berbentuk cekung dikenal sebagai umbo.
Tulang-tulang kecil penyusun kavum timpani merupakan kelompok tulang yang
dapat membentuk gerakan berupa getaran yang dihantar dari membran timpani
dengan bantuan otot-otot di kavum timpani. Posisi tulang pendengaran malleus,
inkus, dan stapes terbentuk sedemikian rupa sehingga menyusun pola persendian
yang khas. Sendi yang dibentuk oleh inkudomalleolar adalah sendi pelana yang
diarthrosis, akan tetapi hubungan inkudostapedial dibentuk oleh sendi yang
enarthrosis(Gray, 2000).
Keistimewaan dari telinga terdapat pada kedudukan fungsi gandanya, tidak
hanya dapat digunakan sebagai fungsi pendengaran, telinga juga mengatur fungsi
keseimbangan tubuh manusia. Organ-organ sensori tersebut berada di bagian
telinga dalam, yang dibentuk oleh kanalis semisirkularis yang mampu mendeteksi
pergerakan angular dan makula untuk pergerakan linear. Secara garis besar fungsi
keseimbangan juga dipengaruhi oleh kerja otot, sendi, tendon, dan ligamen yang
saling memberikan respon sinergis terhadap stimulus dari organ lain, misalnya
mata(Harkin & Kelleher, 2011).
Gambar 2.1. Anatomi Telinga (Harkin & Kelleher, 2011)
Susunan koklea terdiri dari tulang berbentuk saluran melingkar yang
simetris dan berisi cairan. Panjang keseluruhan saluran tersebut berkisar 3-4 cm
dan koklea terletak di petrous pyramid pada tulang temporal. Secara keseluruhan koklea dikelilingi oleh tulang yang keras dan kapsul otik. Tulang tersebut terdiri
atas susunan trilamellar, dengan modifikasi oleh tulang rawan dan kandungan
mineral yang tinggi sehingga meningkatkan kekakuan pada tulang labirin. Hal ini
sangat mempengaruhi penyaluran getaran suara dari tulang-tulang pendengaran
agar tidak diserap oleh tulang temporal. Membran basilaris dan membran reissner
membagi saluran koklea menjadi beberapa ruangan yaitu skala vestibuli, skala
media, dan skala timpani. Perilimfe adalah cairan yang berada di dalam skala
vestibuli dan timpani. Cairan ini terhubung dengan cairan serebrospinal melalui
cochlear aqueduct dan dengan apeks koklea melalui helikotrema, sedangkan pada skala media diisi oleh cairan endolimfe yang sebagian besar komposisinya adalah
kalium (Andersen, et al., 2012).
Tabel 2.1. Komposisi Cairan Koklea
KOMPONEN ENDOLIMFE SKALA
Membran basilaris terdiri atas susunan serat elastik yang menyerupai seperti
trampolin, membran ini terletak diantara modiolus dan dinding lateral. Susunan
kolagen, proteoglikan, dan fibronektin dijumpai pada matriksnya. Bagian basis
membran tersebut sempit dan memiliki ketebalan sekitar 0,1mm, sedangkan
apeksnya memiliki struktur yang lebih tebal yakni 0,5 mm. Terdapat ligamen
spiralis yang menguatkan (anchor) posisi membran basilaris pada bagian lateral kapsul otik. Ligamen ini juga berfungsi untuk suplai dan drainase cairan
perilimfe, hal tersebut dapat berlangsung karena ligamen spiralis mampu
mengatur keseimbangan ion melalui gap junction dan pompa Na+/K+-ATPase (Andersen, et al., 2012).
Lapisan sel epitel pada skala media dan sel mesotelial pada skala vestibuli
disebut sebagai membran reissner, membran ini membentuk sebuah sawar antara
dua cairan yang berbeda komposisi ion penyusunnya. Membran reissener menjaga
fungsi homestasis dan distribusi cairan. Integritas dari membran ini penting untuk
pendengaran karena dapat menjaga potensial dari endokoklea (+80mV). Stria
vaskularis terdiri dari tiga jenis sel yaitu: sel marginal, sel intermediate, dan sel basal. Ketiga jenis sel tersebut merupakan jaringan yang memiliki metabolisme
tinggi berbentuk anyaman kapiler dan terletak diantara skala media dan membran
reissner. Peranan penting dari stria vaskularis adalah fungsi pengaturan dari
potensial endokoklea (Andersen et al., 2012).
Matriks ekstraseluler yang dapat menyebabkan pergerakan dari stereosilia
saat getaran dihantarkan ke koklea disebut sebagai membran tektorial.
Komposisinya terdiri dari kolagen tipe II dan tipe IX yang tidak bercabang dan
kolagen tipe V yang bercabang. Matriks penyusunnya menyerupai gel disebabkan
karena terdapat beberapa jenis glikoprotein, misalnya tektorin dan otogelin
Gambar 2.2. Anatomi Koklea (Despopoulos & Silbernagl, 2008)
Keistimewaan fungsi koklea sebagai organ pendengaran dipengaruhi karena
adanya struktur organ korti yang terletak di membran basilaris koklea. Penyusun
organ korti adalah sel-sel mekanoreseptor yang terdiri dari satu baris sel rambut
dalam dan tiga sampai empat baris sel rambut luar. Terdapat sekitar 3.400 sel dan
12.000 sel masing-masing untuk sel rambut dalam dan sel rambut luar. Sel-sel
rambut dikelilingi oleh beberapa sel penyokong yang memperkuat hubungan
sel-sel rambut dengan membran basilaris. Sel merupakan sel-sel pillar yang mengandung
susuran filamen tubular (tonofibril) sehingga membentuk saluran dari organ korti.
Terdapat juga kumparan rambut-rambut halus pada daerah apikal dari reseptor sel
sensori yang disebut sebagai stereosilia. Posisi stereosilia pada membran tektorial
adalah berpasangan sehingga getaran dari membran basilar menyebabkan defleksi
dari kumparan rambut. Gerakan tersebut tidak berjalan secara seragam untuk
semakin menyempit dan agak kaku pada bagian dasarnya akan tetapi pada daerah
yang mendekati apeks saluran koklea, membran basillaris menjadi lebih lebar
(Andersen et al., 2012).
Sel rambut dalam merupakan sel sensori aferen primer dalam proses
pendengaran yang memiliki 50-70 stereosilia di daerah basal dan 100 di apeksnya.
Inervasi sel rambut luar diambil alih oleh neuron di spinal ganglion, dimana
maksimal terdapat 15 serabut saraf untuk tiap-tiap sel rambut dalam. Secara
keseluruhan densitas inervasi aferen adalah 1.400 serabut saraf/mm.
Masing-masing terminal saraf membentuk sinaps dengan satu sel rambut luar. Serabut
terminal eferen hanya membentuk sinaps dengan dendrit aferen, sehingga hanya
sedikit dari serabut terminal eferen yang mencapai sel rambut dalam (Andersen et al., 2012).
Pada sel rambut luar sangat sedikit dijumpai serabut saraf aferen atau
serabut saraf basilaris. Pada bagian bawah sel rambut luar ditemukan serabut
spiral luar yang berorientasi pada serabut saraf dari kelompokan antara sel deiter,
tersusun atas neurokanalikuli yang memiliki ketebalan 0,1 µm. Beberapa serabut
saraf eferen melalui kumparan sel ini. Jumlah serabut saraf spiral meningkat pada
daerah apeks yaitu sebanyak 300. Basis sel rambut luar, terdapat ujung saraf
aferen yang kecil. Hal tersebut memungkinkan untuk terjadi sinkronisasi antara
serabut spiral luar dengan organ korti dalam merespon stimulus pendengaran
(Andersen et al., 2012).
2.2 Fisiologi Pendengaran
Gelombang suara yang ada dilingkungan akan ditangkap dan dikumpulkan
oleh telinga luar untuk seterusnya dihantarkan menuju telinga tengah melalui
membran timpani. Getaran yang disebabkan oleh gelombang suara tadi akan
menggerakkan membran timpani, selanjutnya diikuti oleh pergerakan
stapes akan berkontraksi pada suara yang kuat dan secara efektif akan
menurunkan frekuensinya saat gelombang ditransmisi ke telinga dalam, hal ini
bertujuan untuk menjaga keutuhan organ-organ pendengaran. Pada manusia
rentang pendengarannya adalah 20-20.000 Hz dan mencapai 10 oktaf (R.Baiduc et al,.2013).
Gambar 2.3. Transmisi Suara ke Koklea (Despopoulos & Silbernagl, 2008)
2.2.1 Mekanoelektrik Transduksi Koklea
Stimulus pendengaran akan dihantarkan dari stapes dan foramen ovale
menuju telinga dalam atau koklea. Perpindahan stimulus ini berlangsung secara
mekanik karena getaran yang dihantarkan oleh tulang-tulang pendengaran akan
ditangkap oleh cairan yang berada di dalam koklea, sehingga menghasilkan
gelombang disepanjang membran basilaris. Tonotopik adalah sifat mekanik dari
membran basilaris yangmana bila mendapat rangsangan-rangsangan dengan
lokasi tertentu di membran basilaris. Frekuensi tertinggi gelombang bunyi dapat
dideteksi di daerah yang sangat dekat dengan stapes. Kecepatan dan panjang
gelombang yang masuk melalui oval window secara kontinu akan semakin mengalami penurunan ketika merambat di koklea, sedangkan amplitudo dari
gelombang tersebut mencapai nilai maksimal (Despopoulos & Silbernagl, 2008).
Gambar 2.4. Stimulasi Sel Rambut (Despopoulos & Silbernagl, 2008)
Pergeseran antara membran basilaris dan membran tektorial yang
disebabkan oleh getaran di saluran koklea akan mendorong pergerakan stereosilia
di sel-sel rambut luar. Gerakan searah dari stereosilia yang pendek menuju
stereosilia yang paling tinggi akan mengaktifkan tip link (Despopoulos & Silbernagl, 2008). Tip link merupakan jalinan filamen aktin yang terdapat di ujung stereosilia (Gillespie, 2006 ; Haryuna, 2013). Proses aktivasi tersebut akan
sehingga terjadi peningkatan konsentrasi K+ (Despopoulos & Silbernagl, 2008).
Hal ini akan memicu pergerakan ion K+ dan Ca2+ menuju membran dan sel-sel
rambut luar akan memendek sehingga timbul proses depolarisasi. Sel rambut
dalam terhubung dengan saraf aferen dan saat proses depolarisasi berlangsung,
glutamat akan dilepaskan dan sinyal auditorik akan ditransmisikan menuju otak
(R.Baiduc et al,.2013).
Terbukanya kanal K+tension-dependent (KCNQ4) di perilimfe, maka proses repolarisasi pada membran berlangsung. Aliran ion K+ yang keluar akan
ditangkap oleh K-Cl kotransporter (KCC4) di sel penyokong dan selanjutnya di
resirkulasi melalui gap junction yang terdapat di stria vaskularis. Gerakan defleksi dari stereosilia yang mendekati modiolus, ekstensi dari sel rambut luar, serta
penutupan dari kanal transduksi mekanoelektrik menandakan terjadinya
hiperpolarisasi di koklea (Despopoulos & Silbernagl, 2008).
2.3 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB)
2.3.1 Definisi
Bising adalah suatu bunyi yang tidak dikehendaki, bersifat mengganggu,
serta secara fisik berupa susunan bunyi yang kompleks dan tidak beraturan
(Seidman, 2010). Klasifikasi bising menurut Buchari (2007) dapat dibedakan
menurut sifat dan spektrum frekuensi bunyi, yakni:
1. Bising Kontinu yang memiliki spektrum frekuensi yang lebar. Karakteristiknya
terbatas pada intensitas 5dB untuk periode 0,5 detik berturut-turut.
2. Bising Kontinu yang memiliki spektrum frekuensi yang sempit. Bersifat tetap
pada frekuensi tertentu seperti 500, 1000, dan 4000Hz.
3. Bising Intermitten yang digambarkan sebagai bising dengan periode tenang.
Bising jenis ini tidak secara terus menerus terjadi, terdapat fase tenang
4. Bising Impulsif yang karakteristiknya berlangsung sangat cepat, bersifat
mengejutkan dengan intensitas bunyi lebih dari 40 dB.
5. Bising Impulsif Berulang memiliki mekanisme yang sama dengan bising
impulsif, akan tetapi jenis ini berlangsung secara berulang-ulang.
Gangguan pendengaran akibat bising adalah bentuk menurunnya fungsi
pendengaran sensorineural, disebabkan oleh paparan bising yang merusak sel
rambut koklea. Paparan bising berulang dan sering tidak disadari akan
berakumulasi sehingga menambah risiko terjadinya GPAB (Boger et al,.2009). Jumlah kejadian GPAB semakin meningkat seiring dengan fenomena krisis
ekonomi dan penurunan kualitas kehidupan manusia (Li et al,.2011). Munculnya efek perubahan struktur organ pendengaran yang diakibatkan oleh kasus ini,
menimbulkan banyak spekulasi berbeda dan hipotesis yang berkembang, salah
satunya adalah teori stres oksidatif (Fetoni et al,. 2013).
Banyak literatur yang mengatakan bahwa durasi dari pajanan bising sangat
berhubungan dengan onset dari GPAB. Merujuk kepada WHO (World Health Organization), masalah-masalah kesehatan yang dapat disebabkan oleh pajanan bising berulang dalam durasi yang lama adalah stres oksidatif pada organ
pendengaran, peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan kontraksi otot,
peningkatan produksi adrenalin, iritabilitas, stres, insomnia, serta kecemasan.
Fenomena tersebut berdasarkan studi epidemiologi sering ditemukan pada
pekerja-pekerja yang memiliki jam kerja yang lama dengan tingkat kebisingan
lingkungan kerja yang tinggi seperti pabrik besi, pabrik tekstil, pabrik bahan
kimia, transportasi umum, dan industri yang memiliki tingkat bising yang tinggi
(Boger et al,.2009).
GPAB merupakan penurunan fungsi pendengaran yang bersifat progresif,
biasanya dimulai dari frekuensi 3, 4, dan 6 kHz dan berlanjut hingga 0,25 kHz.
Peristiwa ini bisa mencapai rentang plateu kira-kira selama 10-15 tahun (Metidieri
efek dari bising yaitu menyebabkan trauma akustik, perubahan ambang batas
pendengaran secara temporer, serta menurunnya fungsi pendengaran (Maia, 2006
; Metidieri et al,.2013).
Kunci utama untuk menurunkan kejadian GPAB adalah mencegah
munculnya kerusakan yang ditimbulkan oleh bising yang lama dan berulang.
Proses evaluasi yang dilakukan secara berkala mulai dari perekrutan pekerja dan
dalam masa bekerjapun harus dilakukan, upaya ini bertujuan untuk memonitoring
bila muncul tanda-tanda kecendrungan GPAB di tempat kerja. Analisa harus
dilakukan secara hati-hati agar pekerja yang terjaring evaluasi GPAB dapat di
rehabilitasi dengan tepat. Aksi yang tepat sasaran untuk mengontrol jumlah bising
di lingkungan merupakan langkah preventif yang sangat disarankan untuk
dilakukan oleh pemegang kebijakan di tempat-tempat yang rawan dengan paparan
bising berfrekuensi tinggi (Metidieri et al,.2013).
Tabel 2.2. Bising NR (Noise Reduction)-15
Bising (dB) Pajanan Maksimum/Hari
85 8 jam
86 7 jam
87 6 jam
88 5 jam
89 4 jam 30 menit
90 4 jam
91 3 jam 30 menit
92 3 jam
94 2 jam 15 menit
95 2 jam
96 1 jam 45 menit
98 1 jam 15 menit
100 1 jam
102 45 menit
104 35 menit
106 30 menit
108 20 menit
110 15 menit
112 10 menit
114 8 menit
115 7 menit
Sumber: (Metidieri et al,. 2013)
Menurut National Institute of Safety and Health (NIOSH), untuk pencegahan GPAB dimulai dari membatasi intensitas waktu paparan terhadap
tingkat bising yang tinggi. Pada tingkatan bising yang mencapai intensitas 85 dB,
waktu pajanan yang diperbolehkan maksimal adalah 8 jam. Penurunan setengah
durasi waktu pajanan sebanding dengan peningkatan tiap 3dB intensitas bising.
Faktor-faktor lain juga diyakini dapat memperburuk kondisi dan keparahan GPAB
yaitu: terpapar bahan kimia berbahaya, intoksikasi obat-obatan, merokok,
penyakit kardiovaskuler, gangguan ginjal, serta gangguan imunitas tubuh. Faktor
terpapar intensitas bunyi yang tinggi menderita penyakit ini, beberapa peneliti
meyakini bahwa terdapat beberapa varian genetik yang terlibat (Philips et.al.,
2010).
Cedera pada telinga dalam yang disebabkan karena trauma bising dapat
menyebabkan pergeseran ambang batas pendengaran yaitu secara sementara atau
temporary treshold shift (TTS) dan permanent treshold shift (PTS). Pada TTS kondisi GPAB dapat reversibel dalam waktu 24 – 48 jam. Akan tetapi TTS yang
dialami oleh anak usia muda akan mempercepat resiko munculnya ketulian.
Kehilangan pendengaran ringan (15 – 20 dB) pada penderita GPAB jenis PTS
tidak terlalu memiliki dampak yang signifikan terhadap aktivitas harian,
akantetapi secara umum bisa mengganggu bila melakukan percakapan di
lingkungan yang ramai. Pada tingkatan yang lebih parah, gangguan yang terjadi
bisa melibatkan kelainan persepsi bicara dan ketulian (Oishi & Schacht, 2011).
2.3.2 Stres Intraseluler
Stres lingkungan yang dipicu oleh intensitas bising yang tinggi akan
menimbulkan respon tubuh untuk mempertahankan diri atau lebih sering disebut
sebagai heat shock response (HSR), salah satunya melalui sintesis protein asing heat shock protein (HSP). Protein ini merupakan jenis molekul chaperon yang pada keadaan fisiologis berfungsi untuk melindungi protein dari proses denaturasi
akibat stres, sintesis dan transport protein (Gong et al., 2012). Terdapat beberapa jenis HSP yang telah diidentifikasi, yakni: HSP 60, HSP 70, dan HSP 90,
yangmana secara keseluruhan memiliki peranan penting dalam aktivasi makrofag
dan limfosit (Tsan & Gao, 2009). HSP 70 merupakan protein chaperon yang berperan dominan dalam menjaga fungsi kontrol sel. Bila terdapat stimulasi
akustik yang berlebihan, maka koklea akan menginduksi pembentukan HSP untuk
melindungi koklea dari kerusakan. Salah satu molekul yang membantu dalam hal
pelepasan HSP adalah geranylacetone (Konings, 2009).
yaitu kesalahan dalam pelipatan protein sel, kelainan homeostasi sintesis protein,
dan perubahan potensial redoks intraselular akibat stres. Akantetapi proses ini
dapat diinhibisi bila HSF-1 telah berikatan dengan HSP-70 dan HSP-90 dan
mencapai kadar tertentu di dalam darah. Pada keadaan patologis dimana terjadi
peningkatan pada ekspresi HSP-70 dan HSP-90 akan mengakibatkan
pemberhentian ekspresi gen heat shock. Keterlibatan jalur fosforilasi juga mampu menghambat aktivasi HSF-1 melalui mekanisme umpan balik via jalur protein
kinase (Haryuna, 2013).
Terbentuknya radikal bebas reactive oxygen species (ROS) akibat paparan bising intensitas tinggi merupakan akibat dari stres metabolik dan mekanik dari
telinga yang memicu terjadinya kerusakan sel. Pada umumnya, pembentukan
ROS akan diikuti dengan aktivasi sinyal apoptosis dan kematian sel (Oishi &
Schacht, 2011). ROS yang telah berinteraksi dengan DNA, protein, dan lemak
akan merangsang respon HSF dan pelepasan HSP-70. Protein yang telah
teroksidasi oleh ROS akan berkompetisi dengan HSF-1 untuk mengikat protein
chaperon (Gong et al,. 2012). ROS mampu bertahan 7-10 hari setelah pajanan bising yang lama dan menyebar dari daerah basal organ korti, sehingga
menimbulkan kerusakan yang luas. Salah satu kemampuan radikal bebas yang
merugikan tubuh adalah kemampuan membuat vasokonstriksi. Hal ini dapat
terjadi karena pengaruh kandungan peroksidase lemak yang bersifat vasoaktif,
misalnya isoprostan. Apabila terjadi pada koklea, tentu saja akan mengurangi
aliran darah dan mengganggu proses perfusi jaringan (Oishi & Schacht, 2011).
Kerusakan juga dialami khususnya oleh sel rambut luar diakibatkan
terjadinya peningkatan kadar Ca2+ secara tiba-tiba setelah mendapatkan
rangsangan akustik secara berlebihan. Berlebihnya kadar Ca2+ mampu
merangsang apoptosis dan kematian sel yang independen terhadap pembentukan
ROS. Calcineurin merupakan golongan Ca2+ atau calmodulin dependen protein fosfatase yang aktif setelah terpapar bising dan juga bisa mengaktifkan
dari segi neurotransmitter yang terlibat. Produksi glutamat di sel rambut dalam
yang berlebihan dapat memicu timbulnya eksotoksisitas yang merusak sinaps di
serabut saraf auditori (ganglion spinal). Adanya perubahan pada sensitivitas
akustik setelah pajanan bising intensitas tinggi dapat menurunkan ekspresi dari
reseptor glutamat (AMPA) (Oishi & Schacht, 2011).
Gambar 2.5. Stres Oksidatif (Silbernagl & Lang, 2010)
2.3.3 Pengaruh Bising terhadap Organ Pendengaran
Kerusakan yang disebabkan karena paparan bising intensitas tinggi
(>130dB) tidak hanya dijumpai pada sel rambut, melainkan juga terjadi pada
membran reissner, memban tektorial dan sel-sel penyokong. Penumpukan radikal
bebas dan neurotransmitter di cairan perilimfe dan endolimfe mengakibatkan
degenarasi sel saraf auditori dan kerusakan jaringan, khususnya telinga dalam.
secara mekanik bila terpapar stres yang kontinu. Kelelahan metabolik dapat
timbul akibat kerja mitokondria untuk menghasilkan energi secara berlebihan dan
meningkatnya produksi vakuola retikulum endoplasma akibat rendahnya sintesis
protein. Perubahan struktur pada sel rambut luar terjadi ketika diberi paparan
bising 130 dB selama 1jam. Hal serupa juga ditemukan pada serabut aferen yang
mengalami pembengkakan akibat hipoksia dan peningkatan jumlah granul
lisosom. Paparan yang berat akan merangsang sinyal apoptosis sehingga sel akan
degenerasi secara keseluruhan. Pada keadaan fisiologis, sel stereosilia secara utuh
tersusun di membran tektorial. Hubungan antar sel membentuk persilangan pada
ujungnya dan mengokohkan posisi sel rambut luar . Trauma akustik yang diterima
oleh sel ini mengakibatkan kerusakan struktur, sehingga posisinya bisa terlepas
dari membran tektorial. Filamen aktin yang terdapat di ujung stereosilia
mengalami denaturasi dan menjadi kaku (Harrison, 2012).
Pengamatan lebih baik dilakukan pada daerah 10-30mm dari foramen ovale
atau tingkap bundar. Hal ini disebabkan karena pada daerah tersebut frekuensi
suara 3-6kHz diterima dan gambaran kerusakan dapat dengan mudah dijumpai
setelah terpapar bising (Maltby, 2005).
Gambar 2.6 Sel rambut luar normal (a) dan sel rambut luar setelah diberi paparan
Salah satu mekanisme yang terlibat dalam proses perubahan struktur organ
pendengaran akibat trauma akustik adalah mekanisme hidrodinamika. Sebaran
gelombang bunyi dari pajanan bising akan dijumpai di membran basilaris secara
merata dan radial, sehingga terjadi regangan sepanjang tepi ligamentum spiralis
yang memicu timbulnya fleksi pada membran tersebut. Ketiadaan struktur yang
menompang daerah tengah membran spiralis menghasilkan getaran yang lebih
kuat dibandingkan dengan daerah lain. Padahal pada daerah yang sama banyak
ditemukan bagian basal sel rambut, sehingga kerusakan struktur setelah mendapat
pajanan bising intensitas tinggi tidak dapat dielakkan (Haryuna, 2013).
2.4 Garcinia mangostana
Garcinia mangostana atau yang lebih dikenal dengan sebutan manggis adalah salah satu jenis buah-buahan yang banyak tumbuh di wilayah Asia
Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Sri Lanka, Filipina, dan Thailand. Buah ini
termasuk jenis tumbuh-tumbuhan tropis yang kaya akan nutrisi dan rasa. Manfaat
yang dimilikinya tidak terbatas pada daging buahnya saja, akantetapi sejak zaman
dahulu pemanfaat kulit Garcinia mangostana telah banyak dilakukan, misalnya untuk pengobatan tradisional (Xu et al.,2014).
Menurut Tjitrosoepomo (1994), dalam taksonomi Garcinia mangostana diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Guttiferanales
Genus : Garcinia
Spesies : Garcinia mangostana Linn.
Gambar 2.7.Garcinia mangostana (Shibata et al,. 2011)
2.4.1 Sifat Kimia, Fisika, dan Zat Aktif
Saat ini penelitian mengenai potensi dari ekstrak kulit Garcinia mangostana sangat berkembang pesat. Beberapa studi berhasil membuktikan bahwa ekstrak
tersebut memiliki potensi sebagai antimikroba, antiproliferatif, antioksidan dan
antiinflamasi. Kesimpulan tersebut didasari atas hasil studi fitokemikal yang
menemukan beberapa zat aktif seperti xanthone, flavonoid, dan vitamin c (Ngawhirunpat et al,. 2010).
Manfaat xanthone juga dibuktikan dalam pengembangan potensinya sebagai antidiabetes. Zat aktif yang terkandung dalam kulit Garcinia mangostana ini dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus percobaan yang dikondisikan
untuk mengidap penyakit diabetes mellitus tipe II. Hal ini bisa terjadi karena
2.4.2 Manfaat xanthone
Pada ekstrak kulit Garcinia mangostana terdapat lebih dari 68 jenis xanthone, akantetapi α-, β-, dan γ-mangostin, garcinon E, 8-deoxygartanin dan gartanin adalah konstituen yang banyak dikembangkan (Xu, 2014). Diantara
semua golongan xanthone, α-mangostin merupakan zat aktif yang kadarnya paling banyak ditemukan pada ekstrak non-polar. Karakteristik dari α-mangostin adalah tidak larut dalam air dan memiliki perbedaan tingkat kelarutan pada pelarut
nonpolar (Ngawhirunpat et a,. 2010). Kemampuan antioksidan menjadi potensi utama dari zat aktif α-mangostin. Diketahui bahwa α-mangostin dapat menurunkan kadar oksidasi LDL yang dipicu oleh radikal bebas, menurunkan
konsumsi tocopherol sel, mampu menghambat oksidasi karena anion peroksinitrit (Valadez et al.. 2009). Upaya menghambat aktivitas peroksidasi lemak adalah mekanisme utama sebagai antioksidan, hal ini dapat terjadi karena secara tidak
langsung ROS memulai lipid peroksidasi sebagai prekursor untuk molekul
oksigen bebas dan OH (Ngawhirunpat et al ,. 2010).
Kandungan α-mangostin (C24H26O6) yang diekstrak dari kulit Garcinia
mangostana juga menunjukkan peranannya dalam mempengaruhi siklus sel dan proses apoptosis pada sel kanker. Jaras yang mengatur proses apoptosis dibedakan
menjadi dua jalur yakni jalur ekstrinsik yang dieksekusi oleh caspase-8 dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria dengan caspase-9 sebagai eksekutornya. Pada retikulum endoplasma terdapat caspase-12 yang bisa mengubah arah sinyal dari jalur pro-survival ke pro-apoptosis, sedangkan caspase-3 adalah eksekutor terakhir dalam rangkaian proses apoptosis. Pemberian α-mangostin setelah 24 jam terbukti meningkatkan kadar caspase-3, caspase-8, caspase-9, dan sitokrom c. Selanjutnya melalui jalur mitokondria atau instrinsik, sitokrom c akan berikatan
dengan apoptosis protease activating factor-1 (Apaf-1) dan caspase-9 akan teraktifkan (Shibata et al,. 2011).
Adanya hubungan antara jalur inflamasi dengan karsinogenesis
meningkatkan rasa keingintahuan peneliti dalam mengetahui lebih lanjut efek dari α-mangostin. Beberapa tahapan penelitian mendapatkan bahwa zat aktif α -mangostin dapat menurunkan ekspresi gen LPS-induced inflammatory dari TNF, IL-1b, IL-6, IL-8, monosit kemoattraktan protein-1, Toll-like receptor-2 (TLR-2), secara keseluruhan efek hambatan tersebut dipengaruhi oleh keterlibatan mitogen-activated kinase (MAPK), c-jun NH2-terminal kinase (JNK), extracellular signal-related kinase (ERK), p38, activator protein (AP)-1, dan NF-κB (Shan et al.,2011).
Efek proteksi yang dijumpai pada ekstrak kulit Garcinia mangostana juga dikonfirmasi oleh Sattayasai (2013) yang melakukan percobaan efek proteksi
ekstrak kulit Garcinia mangostana terhadap kultur sel yang diberi toksin β -amiloid peptida. Kadar ROS dan aktivitas dari caspase-3 dapat diturunkan oleh ekstrak tersebut. Hasil yang konsisten dengan percobaan sebelumnya juga
ditemukan pada percobaan yang menggunakan toksin H2O2. Zat kimia yang dapat
memicu proses apoptosis tersebut secara signifikan dapat dicegah oleh ekstrak
2.4.4 Dosis Terapi xanthone
Pemberian α-mangostin selama 6 hari dengan dosis 200mg/kg menunjukkan efek proteksi terhadap enzim lipid peroksidase dan berperan sebagai antioksidan
terhadap kerusakan yang mempengaruhi infark miokardiak pada tikus (Ibrahim et
al., 2014). Ekstrak Garcinia mangostana yang diberikan pada tikus mencapai 84
hari dengan dosis 50 sampai 500 mg/kg tidak menampakkan efek toksisitas yang
signifikan. Hasil tersebut juga dikuatkan melalui percobaan dengan memberikan
ekstrak secara intragastrik dengan dosis 2 – 5 gr/kg berat badan. Penelitian yang
dipublikasikan ini menyatakan bahwa pada dosis tersebut tidak dijumpai
toksisitas, mortalitas, bahkan efek samping pada laju pertumbuhan tikus
(Sattayasaiet al., 2013).
Penelitian pada tikus selama 14 hari, dimana tikus diberikan α-mangostin dengan dosis 20 mg/kg/hari melalui bantuan alat pompa osmotik mini memiliki
efek klinis yaitu peningkatan efek apoptosis yang signifikan pada tikus yang
dikondisikan menderita tumor payudara. Hal ini berkaitan dengan peningkatan
ekspresi caspase-3 dan caspase-9 dan penekanan aktivitas siklus sel yang
dimediasi oleh mitokondria sehingga fase G1 dan fase S dari siklus sel dapat
diberhentikan (Shibataet al., 2011).
Penelitian mengenai ekstrak Garcinia mangostana menunjukkan bahwa
toksisitas Garcinia mangostana tidak signifikan. Pada tikus yang diberikan ekstrak
secara oral dengan dosis 1-3 gr/kg berat badan dan diobservasi setiap jam untuk
24 jam pertama dan setiap hari untuk 14 hari berikutnya, tidak memberi
perubahan pada aktivitas dan mortalitas. Pemeriksaan darah dan serum juga
dilakukan untuk dilihat secara biokimia dan analisis enzim. Tidak ada efek yang
organ, pemeriksaan histopatologi, serta pemeriksaan hematologi bila sampel
dibandingkan dengan kontrol (Priya et al., 2010).
2.5 Scanning Electron Microscope (SEM)
SEM adalah salah satu mikroskop elektron yang memiliki resolusi lebih
tinggi bila dibandingkan dengan mikroskop optik. SEM bekerja dengan cara
menembakkan elektron pada permukaan obyek dan menangkap elektron sekunder
yang dipantulkan kembali dari segala arah, serta menentukan derajat pantulan
yang berintensitas tinggi untuk menangkap sinyal kemiringan obyek. Gambaran
yang ditangkap oleh detektor pada SEM dapat diolah melalui suatu komputer
khusus. Bayangan yang jelas digambarkan oleh SEM minimal berukuran 0,5 nm
namun, bila ukurannya lebih kecil maka bayangan yang tampak akan tidak jelas.
Permukaan obyek yang diamati haruslah mampu untuk memantulkan elektron
sekunder ke detektor SEM, biasanya kekhasan ini dimiliki oleh logam. Pada
obyek yang bukan termasuk jenis logam, maka sebelum diamati terlebih dahulu
sediaan dilapisi oleh logam pelapis misalnya emas. (Abdullah & Khairurrijal,
2009).
Sinyal elektron yang dipantulkan oleh obyek dinamakan elektron sekunder
yang akan diterima oleh scintillator. Sinyal ini akan dikonversikan menjadi sinyal
foton (cahaya tampak) kemudian dihantarkan menuju Photon Multiplier Tube
(PMT) yang akan mengonversikan kembali sinyal tersebut menjadi elektron.
Lingkungan pemeriksaan SEM haruslah merupakan suatu lingkungan yang
terisolasi atau vakum, hal tersebut bertujuan agar elektron tidak menyebar ke
Gambar 2.9. Scanning Microscope Electron (Nano, 2014)
Pengamatan yang bertujuan untuk melihat struktur mikro-morfologi
membutuhkan alat yang dapat menghasilkan gambar dengan resolusi yang sangat
tinggi. Bila dibandingkan dengan mikroskop optik, kelebihan yang mendasar dari
SEM adalah kemampuan pembesaran gambarnya. Penggunaan SEM dapat
menggunakan pembesaran mencapai 2x105 kali. Hal ini dipengaruhi oleh panjang
gelombang de Broglie dari elektron. Diketahui bahwa elektron mempunyai
panjang gelombang yang lebih pendek dari gelombang optik, sehingga resolusi
gambar akan semakin tinggi apabila kita menggunakan panjang gelombang yang
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan tinjauan pustaka penelitian di atas maka kerangka konsep
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
3.2 Variabel dan Definisi Operasional
3.2.1 Variabel
a. Variabel Dependen
Gambaran SEMorgan korti koklea
b. Variabel Independen
Bising selama 8 jam
Ekstrak kulitGarcinia mangostana dosis 21,6 mg per hari
Variabel Independen Variabel Dependen
Bising selama 8 jam
o 25-50 dB
o 55-80 dB
o 85-110 dB
Ekstrak
kulitGarcinia
mangostana dosis 21,6
Gambaran SEM
c. Variabel Terkendali
Tikus galur wistar
Jenis kelamin tikus
Kandang tikus terpisah
Berat badan tikus
Makanan dan minuman tikus
Cara pemberian perlakuan pajanan bising
Cara pemberian Garcinia mangostana
Prosedur penelitian
Cara pemeliharaan hewan coba
3.2.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
N
Hasil Pengukuran Skala
1 Skrining pada 3 frekuensi yaitu:
diinginkan
pada sel rambut luar,
rusak.
3.3 Hipotesis
Adanya pengaruh pemberian ekstrak kulitGarcinia mangostanasebagai faktor proteksi terhadap penurunan derajat kerusakan organ korti koklea Rattus norvegicus yang diberi paparan bising.
BAB 4
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan studi eksperimental murni in vivo yang
dikerjakan di laboratorium dengan disain mengikuti rancangan penelitian post test only group laboratory experimental design. Terdapat 6 (lima) kelompok perlakuan dan 24 ekor tikus jenis Rattus norvegicus, yakni:
a. Kelompok I (P0) = terdiri dari 4 ekor tikus jantan dewasa yang
diberikan Aquadest selama 8 hari, kemudian 8 hari berikutnya diberi
Aquadest dan paparan bising sebesar 25-50 dB
b. Kelompok II (P1) = terdiri dari 4 ekor tikus jantan dewasa yang
diberikan Aquadest selama 8 hari, kemudian 8 hari berikutnya diberi
Aquadest dan paparan bising sebesar 55-80 dB
c. Kelompok III (P2) = terdiri dari 4 ekor tikus jantan dewasa yang
diberikan Aquadest selama 8 hari, kemudian 8 hari berikutnya diberi
Aquadest dan paparan bising sebesar 85-110 dB
d. Kelompok IV (P3) = terdiri dari 4 ekor tikus jantan dewasa yang
diberikan ekstrak kulit Garcinia mangostana selama 8 hari, kemudian 8 hari berikutnya diberi paparan bising sebesar 25-50dB
bersamaan pemberian ekstrak kulit Garcinia mangostana
e. Kelompok IV (P4) = terdiri dari 4 ekor tikus jantan dewasa yang
diberikan ekstrak kulit Garcinia mangostana selama 8 hari, kemudian 8 hari berikutnya diberi paparan bising sebesar 55-80dB
bersamaan pemberian ekstrak kulit Garcinia mangostana
f. Kelompok V (P5) = terdiri dari 4 ekor tikus jantan dewasa yang
diberikan ekstrak kulit Garcinia mangostana selama 8 hari, kemudian 8 hari berikutnya diberi paparan bising sebesar 85-110dB
bersamaan pemberian ekstrak kulit Garcinia mangostana
Penelitian dilakukan di laboratorium yang memiliki peralatan lengkap dan
fasilitas pemeliharaan hewan coba yaitu di laboratorium FMIPA Biologi
Universitas Sumatera Utara dan pemeriksaan sampel dilakukan di laboratorium
FMIPA Biologi Universitas Negeri Padang dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Penelitian direncanakan mulai Juli 2014 s/d November 2014.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah tikus jenis Rattus norvegicus galur wistar. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dan ada kontrol pembanding
serta bersifat double blind.
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.4.1 Kriteria Inklusi:
a. Galur wistar
b. Berat badan 150-250 gram
c. Jenis kelamin jantan
d. Pass pada hasil skrining OAE e. Umur 2-3 bulan.
4.4.2 Kriteria eksklusi
a. Hewan berpenyakit.
b. Hewan memiliki kelainan bawaan.
c. Hewan berperilaku agresif dan sering menyerang anggota kelompok lain.
Pengambilan sampel dilakukan secara random sederhana dan jumlahnya
dihitung dengan menggunakan rumus Ferderer yaitu (k-1)(n-1) ≥ 15, dengan k=jumlah perlakuan, n=jumlah sampel tiap perlakuan.
(k-1)(n-1) ≥ 15
(6-1)(n-1) ≥ 15
5n – 5 ≥ 15
N ≥ 4(minimal)
Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 24 ekor tikus.
4.6 Alat dan Bahan Penelitian
4.6.1 Alat
a. Kotak perlakuan sampel yang terbuat dari gabus dilapisi busa serta triplek
polywood yang kedap suara. Pada atap kotak ditempeli speaker yang mengarah ke bawah. Permukaan kotak dilubangi sebagai tempat ventilasi
dan mengukur intensitas bising. Pengukuran intensitas akan dilakukan di
dua tempat yang berbeda dan perbedaan intensitas tidak boleh melebihi
1dB.
b. Sound level meter Luxtron S1-4001 buatan Taiwan
c. Multi player 3 yang berisi rekaman bising dengan frekuensi 1 – 110 kHZ d. Amplifier
e. Timer
f. Timbangan digital
g. Jarum oral (gavage)
h. Pisau bedah
i. Syringe
l. Cawan petri
m. Mikrotom
n. Object glass o. Cover glass p. SEM
q. Automated OAE Grason-Stadler GSI 70 buatan USA
4.6.2 Bahan
- Ekstrak kulit Garcinia mangostana yang berupa serbuk, diberikan dengan dosis 21,6 mg perhari perekor tikus.
4.6.3 Hewan Coba yang Dikenai Perlakuan
Dilakukan pengawasan terhadap sampel yang telah memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Hal-hal yang diawasi yaitu: prilaku makan dan minum,
kondisi mental, tanda klinis, kondisi lingkungan, persediaan makanan, efek
samping setelah pemberian perlakuan.
4.7.1 Tahap Persiapan
Memastikan bahwa penelitian telah mendapat persetujuan oleh komisi Etik
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
4.7.2 Tahap Pemeriksaan OAE
Dilakukan pemeriksaan OAE pada sampel sebagai proses skrining untuk
memastikan kondisi pendengarannya berada dalam keadaan baik atau “pass”.
4.7.3 Tahap Pembuatan Larutan Ekstrak Kulit Garcinia mangostana
Ekstrak Garcinia mangostana yang berbentuk bubuk terlebih dahulu ditentukan jumlah dosisnya dengan menggunakan tabel konversi (Laurence &
Bacharach, 1964) dosis berdasarkan luas permukaan tubuh. Diketahui bahwa
dosis ekstrak harian untuk manusia yaitu 1200 mg, jadi bila dikalikan dengan
faktor konversi untuk tikus galur wistar yakni 0,018 diperoleh dosis 21,6 mg per
ekor per hari. Setelah itu, ekstrak dilarutkan dalam 0,5 ml aquadest untuk
mempermudah pemberian ekstrak melalui gavage atau jarum oral. Pemberian ekstrak pada sampel dilakukan pada sore hari.
Tabel 4.1. Perbandingan luas permukaan tubuh hewan percobaan untuk konversi
1,5Kg
Sumber: (Laurence & Bacharach, 1964)
4.7.4 Tahap Perlakuan pada tikus
2 minggu setelah proses adaptasi di lingkungan laboratorium, tikus putih
dapat diberi perlakuan sesuai dengan kelompok yang direncanakan.
4.7.5 Tahap Pengambilan Jaringan Koklea Tikus
Sebelum dilakukan pembedahan, tikus diberikan inhalasi eter. Selanjutnya
dilakukan nekropsi jaringan tulang temporal. Setelah sampel jaringan diambil,
maka segera dilakukan fiksasi dengan larutan buffer formalin 10%.
4.7.6 Tahap Pembuatan Sediaan
Sediaan terlebih dahulu difiksasi menggunakan larutan formalin selama
lebih dari 48 jam. Proses selanjutnya yaitu dehidrasi, kandungan air pada sediaan
diganti dengan pelarut organik seperti etanol atau aseton. Dilakukan secara
bertahap mulai dari konsentrasi 60%, 70%, 80%, 90%, 95%, 100% selama 4-6
dibutuhkan pada proses berikutnya yaitu “Freeze Drying” yang akan mengurangi
pembentukan kristal es selama pendinginan. Sediaan disimpan dalam tabung
sampel yang terbuat dari plastik.
4.7.7 Tahap Pemeriksaan Scanning Electron Microscope
Pemeriksaan sampel dilakukan di laboratorium FMIPA Biologi
Universitas Negeri Padang dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Gambaran yang akan diamati yaitu struktur mikro morfologi sel rambut
luar koklea dari sampel yang telah diberi perlakuan.
4.8 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Pada penelitian ini, hasil dari pemeriksaan Scanning Electron Microscope (SEM) dianalisa secara statistik dengan program SPSS 17 dan disajikan dalam
bentuk tabel, narasi serta gambar.
4.9 Alur Penelitian
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi FMIPA Universitas
Sumatera Utara dan Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Negeri Padang.
5.1.2. Karakteristik Sampel
Populasi penelitian ini adalah tikus jenis Rattus norvegicus galur wistar. Berjenis kelamin jantan, umur 2-3 bulan dengan berat badan 150-250 gram, serta
menunjukkan hasil normal pada pemeriksaan skrining pendengaran dengan
menggunakan alat OAE. Sampel dalam kondisi yang sehat dan dikembang
biakkan di Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara. Total
sampel yang digunakan adalah sebanyak 24 ekor yang terbagi dalam enam
kelompok perlakuan.
5.1.3. Gambaran Ultrastruktur Jaringan Koklea
Gambaran Scanning Electron Microscope (SEM) koklea Rattus norvegicus galur wistar setelah pemberian paparan bising intensitas rendah (25-50 dB), sedang (55-80 dB), dan tinggi (85-110) selama 8 hari sekaligus ditambah
Tabel 5.1. Perbandingan Ultrastruktur Koklea pada Kelompok P0 dan P3
Kelompok Bising (dB)
Gambaran Koklea
P0 (Aquadest) P3 (Ekstrak)
U1 25-50 Normal Normal
U2 25-50 Normal Normal
U3 25-50 Normal Normal
U4 25-50 Normal Normal
Berdasarkan pengamatan pada kelompok P0 secara ultrastruktur terlihat
bahwa tidak terjadi kerusakan pada organ korti koklea tikus. Pada gambaran
dijumpai posisi organ korti yang masih intak. Hal serupa juga dijumpai pada
kelompok P3. Ditemukan gambaran khas yang masih sama dengan kelompok P0.
Tidak dijumpai kerusakan yang bermakna pada struktur organ korti dari koklea
tikus.