Larangan Merokok di Lingkungan Kampus)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Strata 1 (S1) Pada program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Humas
Oleh :
Natacha Frederik Wouthuyzen NIM. 41809154
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI HUMAS FAKULTAS ILMU SOSIL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG
ix
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 11
1.2.1 Pertanyaan Makro ... 11
1.2.2 Pertanyaan Mikro ... 11
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 12
1.3.1 Maksud Penelitian ... 12
1.3.2 Tujuan Penelitian ... 12
1.4 Kegunaan Penelitian ... 13
1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 13
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 13
x
2.1.1 Tinjauan Penelitian Sebelumnya ... 15
2.2 Tinjauan Tentang Komunikasi ... 18
2.2.1 Komunikasi Sebagai Ilmu ... 18
2.2.2 Pengertian Komunikasi ... 19
2.2.3 Proses Komunikasi ... 22
2.2.4 Fungsi Komunikasi ... 25
2.2.5 Tujuan Komunikasi ... 27
2.2.6 Jenis Komunikasi ... 29
2.2.7 Bentuk Komunikasi ... 31
2.2.8 Konteks Komunikasi ... 34
2.2.9 Konteks Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal ... 38
2.3 Tinjauan Tentang Persepsi ... 43
2.3.1 Definisi Tentang Persepsi ... 44
2.3.2 Faktor yang Menentukan Persepsi ... 50
2.4 Tinjauan Tentang Mahasiswa ... 55
2.4.1 Pengertian Mahasiswa ... 55
2.4.2 Peran dan Fungsi Mahasiswa ... 56
2.5 Tinjauan Tentang Rokok ... 57
2.5.1 Pengertian Rokok ... 57
2.5.2 Efek Rokok ... 58
2.5.3 Undang-undang No. 32 Tahun 2010 ... 60
xi
BAB III OBJEK PENELITIAN DAN METODE PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian ... 70
3.1.1 Sejarah UNIKOM ... 70
3.1.2 Logo dan Arti Logo UNIKOM ... 73
3.1.3 Visi, Misi, Tujuan, Motto dan Budaya UNIKOM ... 74
3.1.3.1 Visi ... 74
3.1.3.2 Misi ... 75
3.1.3.3 Tujuan ... 75
3.1.3.4 Motto ... 75
3.1.3.5 Budaya ... 75
3.1.4 Susunan Pimpinan UNIKOM ... 75
3.1.5 Pimpinan Fakultas ... 76
3.1.6 Direktorat UNIKOM ... 76
3.1.7 Senat UNIKOM ... 76
3.1.8 Biro Administrasi Umum ... 77
3.1.9 Struktur Organisasi UNIKOM ... 78
3.1.10 Larangan Merokok di Lingkungan Kampus ... 79
3.1.11 Persepsi Mahasiswa UNIKOM ... 81
3.2 Metode Penelitian ... 83
3.2.1 Desain Penelitian ... 83
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 86
3.2.2.1 Studi Pustaka ... 86
xii
3.2.3 Teknik Penentuan Informan ... 89
3.2.4 Teknik Analisa Data ... 92
3.2.5 Teknik Validasi Data ... 94
3.2.6 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 96
3.2.6.1 Lokasi Penelitian ... 96
3.2.6.2 Waktu Penelitian ... 96
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Identitas Informan ... 101
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 110
4.2.1 Latar Belakang Budaya ... 110
4.2.2Pengalaman Masa Lalu ... 115
4.2.3 Nilai- nilai yang Dianut... 118
4.2.4 Berita-berita yang Berkembang ... 121
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 135
4.3.1 Latar Belakang Budaya ... 141
4.3.2 Pengalman Masa Lalu ... 144
4.3.3 Nilai-nilai yang Dianut... 146
4.3.4 Berita-berita yang Berkembang ... 148
BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan ... 154
5.2 Saran ... 156
5.2.1 Instansi UNIKOM ... 156
xiii
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Data Informan Awal ... 82
Tabel 3.2 Tabel Kronologi Sosiometri ... 84
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kandungan Rokok ... 58
Gambar 2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi ... 67
Gambar 3.1 Logo UNIKOM ... 71
Gambar 3.2 Struktur Organisasi UNIKOM ... 78
Gambar 3.2 Sign System ... 79
Gambar 3.4 Model Teknik Analisa Data ... 94
Gambar 4.1 Rizal Makbul Mahasiswa UNIKOM ... 102
Gambar 4.2 Fauziah Mahasiswa UNIKOM ... 103
Gambar 4.3 Fajar Nugraha UNIKOM ... 104
Gambar 4.4 Gugah Mahasiswa UNIKOM ... 105
Gambar 4.5 Rizky Mahasiswa UNIKOM ... 106
Gambar 4.6 Dera Mahasiswa UNIKOM ... 107
Gambar 4.7 Bisma Mahasiwa UNIKOM ... 108
Gambar 4.8 Pak Hadi Purnomo Kabag Security dan Cleaning Service... 109
v
Karena atas berkat, dan perkenannya, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan
penyusunan skirpsi ini dengan judul “Persepsi Mahasiswa UNIKOM Mengenai Larangan Merokok di Lingkungan Kampus (Studi Deskriptif Tentang Persepsi Mahsasiwa Mengenai Larangan Merokok di Lingkungan Kampus)”.
Adapun pembuatan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan
dari beberapa pihak. Terutama untuk orang tuaku, Alm. Ayah Frederik Wouthuyzen dan Ibu Mu’ananiyah, serta kakak Jerry Melvin Frederik Wouthuyzen yang sudah membantu dengan doa dan dukngan moril serta materil atas terselesaikannya skripsi ini.
Penyusunan skripsi ini tidak dapat terlaksana juga tanpa dukungan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu peneliti ingin mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Yang Terhormat Bapak Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., M.A Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UNIKOM yang telah
memberikan dukungan kepada peneliti dengan memberikan berbagai
kebutuhan sehubungan dengan surat pengantar untuk melakukan penelitian
ini.
menandatangani berbagai surat-surat yang diperlukan untuk melakukan
penelitian.
3. Ibu Melly Maulin P, S.Sos., M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi, UNIKOM yang telah memberikan dukungan dengan
memberikan pengarahan-pengarahan yang diperlukan bagi peneliti selama
melakukan penelitian.
4. Bapak Arie Prasetio, S.Sos., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah memberikan segenap waktu, arahan, ilmu, serta perhatiannya
kepada peneliti, selama proses penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Desayu Eka Surya, S.Sos,. M.Si selaku dosen wali penulis, yang turut mengarahkan penulis dan memberikan dukungan moril kepada
penulis sejak awal peneliti menempuh pendidikan sebagai mahasiswa
UNIKOM sampai pada saat peneliti mulai melakukan penelitian.
6. Seluruh staf dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UNIKOM, yang telah berbagi ilmu selama peneliti melakukan proses belajar.
7. Seluruh staf karyawan pada Program Studi Ilmu Komunikasi UNIKOM Bandung yang telah membantu berjalannya berbagai urusan admisnistrasi
dengan baik.
8. Stefanus Julianto sebagai pria terbaik yang peneliti miliki dan telah memberikan dukungan moril, doa dan selalu ada untuk membantu peneliti
9. Konfrikardo, Naomi, Penina sebagai sahabat-sahabat terbaik peneliti yang telah senantiasa hadir, dan memberikan motivasi serta doa kepada
peneliti.
10.Philosiyus dan Lucky kakak sekaligus sahabat terdekat peneliti yang telah memberikan dukungan rohani kepada peneliti.
11.Bandung English Congregation sebagai keluarga rohani peneliti yang juga telah memberikan dukungan rohani kepada peneliti.
12.Rina Fikriza sebagai teman dekat dan terbaik peneliti yang selalu berjuang bersama peneliti dan memberikan motivasinya kepada peneliti
sejak awal peneliti masuk sebagai mahasiswa di UNIKOM.
13.Rio R. Tuasikal sebagai teman sekaligus rekan kerja yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga dan ilmu kepada peneliti.
14.Anggi Rahma Putra, Adam, Agglien Aprilya K, Ricky Ichsan, Ryan Y dan Taufik Kurochman sebagai teman-teman seperjuangan peneliti yang telah membantu peneliti dan turut berjuang bersama.
15.Aditya P. kakak senior yang membantu dan memberikan pengarahan kepada peneliti selama melakukan penelitian.
16.Fauziah, Rizal Makbul, Rizky, Rizal, Fajar, Gugah, Dera dan Bisma sebagai informan peneliti yang telah bersedia berkorban waktu, tenaga
serta pemikiran, dan bekerja sama dengan baik kepada peneliti selama
melakukan proses wawancara, serta dokumentasi guna menyempurnakan
17.Semua pihak yang turut membantu peneliti selama melakukan penelitian, yang tidak dapat ditulis satu-persatu.
18.Rekan-rekan IK Humas 1 dan IK 4 (2009) yang telah berjuang bersama-sama dari awal peneliti kuliah sampai saat peneliti melakukan
penelitian.
Akhir kata, peneliti mengharapkan semoga segala kebaikan dari segala
pihak mendapat balasan dari Yang Maha Kuasa. Untuk kesempurnaan skripsi ini,
peneliti mengharapkan saran dan koreksi yang membangun, sehingga dimasa
yang akan datang dapat menjadi bahan yang lebih menarik dan lebih bermanfaat
lagi. Amin.
Bandung, Agustus 2013
158
DAFTAR PUSTAKA Buku:
Alwasilah, A. Chaedar. 2000. Pokoknya Kualitatif, Rancangan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.
Bogdan, Robert C. Dan Steven J. Taylor, 1992, Introduction to Qualitative Research Methotds :A Phenomenological Approach in the Social Sciences, alih bahasa Arief Furchan, John Wiley dan Sons, Surabaya, Usaha Nasional.
Briggs, Asa & Burke, Peter. 2006. Sejarah Sosial Media: Dari Gutenberg sampai Internet. Terjemahan A. Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Bungin, Burhan. 2001. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada.
Craib, Ian. 1984. Teori-Teori Sosial Modern Dari Parsons Sampai Habermas. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Creswell, J. W., Pengantar oleh Supardi, Suparlan, 2002, Research Qualitative & Quantitative Approaches (Desain Penelitian Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif), Jakarta, KIK Press.
Daymon, Christine., dan Immy Holloway. 2008. Metode-metode Riset Kualitatif: dalam Public Relations dan Marketing Communications. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Effendy, Uchjana Onong. 2004. Ilmu Komunikasi Teori dan Prkatek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Fajar, Marhaeni. 2009. Ilmu komunikasi: Teori & Praktek. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kasali, Rhenald. 2005. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran. 113
Liliweri, Alo. 2011. Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Bandung: Kencana Prenada Media Group
Morissan, Wardhani Corry Andy, dkk. Teori Komunikasi Massa. Bogor: Ghalia Indonesia.
Mulyana, Deddy. 1996. Human Communication Prinsip-prinsip Dasar. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Severin, J. Werner. 2001. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, & Terapan di Dalam Media Massa, Edisi Kelima. Jakarta: Kencana Perdana Media Group.
Soekanto, Soejono. 1982. Sosiologi. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Wood, Julia T. 2006. Communication in Our Lives, fourth edition. Australia: Thomson Wadsworth.
Sumber Lain Skripsi:
Istyawati, Diah, 2008, PERSEPSI TERHADAP LARANGAN MEROKOK (Kasus : Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Perapatan, Kotamadya Jakarta Selatan)
Sudrajat, Aris, 2012, PERSEPSI PUBLIK PENGGUNA JALAN RAYA TENTANG POLISI LALU LINTAS DI KOTA BANDUNG (Studi Deskripif Kualitatif Persepsi Publik Pengguna Jalan Raya Tentang Polisi Lalu Lintas)
Modul:
Elyane, Ine, Modul Komunikasi Kelompok, Komunikasi Massa, Komunikasi Antarpersonal. Universitas Komputer Indonesia. Bandung
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Rokok menjadi salah satu permasalahan yang tidak pernah tuntas bila
dibicarakan tentang cara penanganan yang tepat. Bagi beberapa pria dan wanita di
Indonesia, rokok membentuk suatu kebudayaan tersendiri, mereka pasti akan
merokok ketika sedang menunggu atau merokok sebelum atau sesaat setelah
makan. Uniknya, rokok menjadi benda fenomenal di Indonesia karena dipuja
sekaligus dicerca. Hal ini dibuktikan dengan fakta, bahwa sekalipun banyak orang
sadar akan bahaya rokok bagi kesehatan mereka, masih banyak orang yang tetap
bersikeras meneruskan kebiasaannya merokok. Tidak dapat dipungkiri, bahwa
bagi sebagian orang rokok begitu dibutuhkan tetapi pada sisi lain menjadi musuh
bagi orang-orang yang menyadari akan bahaya dari rokok.
Tembakau atau rokok membunuh separuh dari masa hidup perokok dan
separuh perokok mati pada usia 35-69 tahun.1 Data epidemi tembakau di dunia
menunjukkan tembakau membunuh lebih dari lima juta orang setiap tahunnya.
Jika hal ini berlanjut terus menerus, pada tahun 2020 diperkirakan terjadi sepuluh
juta kematian dengan 70 persen terjadi di negara berkembang. Rokok juga telah
menyebabkan berbagai penyakit tidak menular seperti jantung dan gangguan
pembuluh darah, stroke, kanker paru, dan kanker mulut. Selain itu, rokok juga
menyebabkan penurunan kesuburan, peningkatan insidens hamil di luar
1
kandungan, pertumbuhan janin (fisik dan IQ) yang melambat, kejang pada
kehamilan, gangguan imunitas bayi dan peningkatan kematian perinatal. Jangan
dilupakan juga efek yang ditimbulkan bagi mereka, perokok pasif yang secara
tidak sengaja berada disekitar perokok aktif. Hal ini tentu memberikan dampak
yang buruk pula bagi kesehatan mereka, padahal mereka tidak menghisap rokok
sama sekali.
Berdasarkan temuan Global Adult Tobacco Survey (GATS), 86 persen orang dewasa di Indonesia menyadari bahaya merokok bagi kesehatan dan dapat
menyebabkan penyakit serius. Bahkan, sebanyak 73,7 persen orang dewasa
menyadari bahwa asap rokok sekunder dapat menyebabkan penyakit serius pada
orang-orang yang bukan perokok. Sementara, menurut data The Global Youth Survey tahun 2006, 6 dari 10 pelajar (62,4 persen) yang setelah dilakukan survei terpapar asap rokok selama mereka berada di rumah. Lebih dari sepertiga (37,3
persen) merokok, bahkan 3 dari antara 10 pelajar atau 30,9 persen pertama kali
merokok pada umur dibawah 10 tahun.2 Hasil temuan tersebut memberikan fakta
lain kepada kita bahwa kesadaran akan bahaya merokok tidak cukup kuat
membuat seseorang benar-benar berhenti merokok. Faktanya tingginya kesadaran
seseorang akan bahaya rokok tidak diimbangi dengan penurunan konsumsi rokok
di masyarakat.
Menurut Menteri Kesehatan dr. Endang R. Sedyaningsih, MPH, Dr. PH,
tingginya populasi dan konsumsi rokok menempatkan Indonesia menduduki
2
urutan ke-5 konsumsi tembakau tertinggi di dunia setelah China, Amerika Serikat,
Rusia, dan Jepang dengan perkiraan konsumsi 220 milyar batang pada tahun
2005.3 Pada negara-negara maju kawasan ASEAN misalnya, telah mengalami
penurunan dalam hal jumlah konsumsi rokok, tetapi tidak demikian halnya
dengan Indonesia. Survei menunjukkan bahwa 67,4 persen pria dan 2,7 persen
wanita di Indonesia adalah perokok aktif. Hal ini berarti 61,4 juta orang dewasa di
Indonesia adalah perokok. Jumlah perokok di Indonesia masih lebih tinggi jika
dibandingkan dengan India, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Polandia.4
Konsumsi rokok sendiri dianggap sebagai suatu indikator kemiskinan
masyarakat di Indonesia. Konsumsi rokok telah terbukti mengurangi pendapatan,
belanja bulanan keluarga, hingga pada akhirnya berujung pada kematian.
Misalnya, seorang sopir yang berpenghasilan Rp 50.000,00 sehari, mampu
menghabiskan Rp 24.000,00 per-hari untuk membeli tiga pak rokok. Sementara,
Ia memberi istrinya uang belanja sebesar Rp 20.000,00 sehari, demikian hasil
penelitian yang didapat dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.5 Fenomena inilah yang memang terjadi di kalangan masyarakat miskin
di Indonesia. Pendapatan yang terbatas, tidak berarti terbatas pula konsumsi
rokok. Masyarkat Indonesia nyatanya lebih memilih membeli rokok ketimbang
harus menggunakan uang mereka untuk hal-hal lain yang lebih penting.
Rokok memang telah terbukti secara ilmiah dapat merusak kesehatan dan
jika dilihat dari segi ekonomi, rokok juga telah mengurangi pendapatan seseorang
yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli berbagai makanan yang sehat
3
ibid
4
http://doktersehat.com (Diakses pada, Sabtu, 23 Maret 2013, pukul 18.15) 5
dan bergizi, atau digunakan untuk biaya sekolah dan berbagai hal lain yang
penting. Tinginya konsumsi rokok dipercaya dapat menimbulkan implikasi
negatif yang sangat luas, tidak saja terhadap kualitas kesehatan tetapi juga
menyangkut kehidupan sosial dan ekonomi. Konsumsi rokok jelas-jelas
menimbulkan kerugian langsung bagi perokok dan keluarganya, terlebih lagi bagi
keluarga miskin. Karena selaras dengan penjelasan sebelumnya, rata-rata
pengeluaran keluarga miskin untuk konsumsi rokok cukup besar. Masalah yang
ditimbulkan oleh rokok tidaklah sebanding dengan kenikmatan sesaat yang
diberikan. Fakta-fakta tersebut seharusnya menumbuhkan kesadaran masyarakat
untuk berhenti merokok, bukan hanya sekedar meningkatkan kesadaran tentang
bahaya yang ditimbulkan dari rokok.
Masalah rokok di Indonesia tampaknya memang tidak dapat lagi diatasi
dengan hanya sekedar mengingatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya dari
merokok, entah melalui seminar-seminar, penyuluhan, atau kampanye. Cara
demikian nyatanya tidak lagi ampuh memberikan efek takut atau jera kepada
masyarakat Indonesia untuk mengkonsumsi rokok. Sudah selayaknya pemerintah
mulai memikirkan berbagai cara lain yang lebih mampu mengatasi tingginya
tingkat konsumsi rokok pada kalangan masyarakat Indonesia.
Pemerintah harus mulai mengambil langkah-langkah cepat dan tepat
perihal mengatasi konsumsi rokok di Indonesia. Salah satunya dengan menaikkan
harga cukai rokok, melarang total iklan rokok, dan memasang peringatan
lain seperti Thailand, yang sukses melarang iklan rokok secara total, dan
mengikuti jejak ke-164 negara di dunia yang memiliki payung hukum sehubungan
dengan penanggulangan rokok. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesuksesan
negara-negara tersebut tentu dibantu dengan adanya kerjasama yang baik antara
masarakat dan juga pemerintah. Komitmen yang kuat diperlukan dari para
pemimpimpin baik itu pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tokoh
masyarakat, artis, LSM, dan masyarakat Indonesia sendiri, yang akhirnya
berujung pada pembentukan Undang-undang (UU) mengenai rokok.
World Health Organization (WHO) sehubungan dengan hal ini, telah mencanangkan program “Kawasan Tanpa Rokok” (KTR) di tempat-tempat
umum. Program seperti ini layak diterapkan di negara-negara seluruh dunia,
termaksud ASEAN. Di Malaysia contohnya, orang merokok di tempat umum
didenda 500 ringgit, di Bangkok didenda 2.000 baht. Indonesia mungkin belum memiliki sanksi tegas tentang merokok di tempat-tempat umum, seperti yang
dimiliki Malaysia atau beberapa negara lainnya, tetapi Indonesia telah mengatur
mengenai larangan merokok di tempat umum pada Undang-udang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2010.6
Tempat-tempat yang dimaksud pada Undang-undang ini adalah sebagai
berikut:
a) Tempat umum,
b) Tempat kerja,
c) Tempat proses belajar mengajar,
6
d) Tempat pelayanan kesehatan,
e) Arena kegiatan anak-anak,
f) Tempat ibadah, dan
g) Angkutan umum.
Berdasarkan sebuah poling mengenai opini masyarakat Indonesia terhadap
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di gedung Nusantara III DPR, sebanyak 68 persen masyarakat Indonesia percaya bahwa menghirup rokok
orang lain dapat mengancam kesehatan orang yang tidak merokok. Mayoritas
penduduk juga mendukung larangan merokok di ruang publik lainnya, seperti di
restoran (81 persen), dan tempat publik seperti lokasi perbelanjaan, terminal bus,
dan stasiun kereta api (75 persen). Bahkan, ada 99 persen masyarakat Indonesia
yang menyetujui larangan merokok di rumah sakit dan klinik serta di perkantoran
dan ruang kerja yang tertutup. Sebanyak 96 persen juga mendukung larangan
pejualan rokok yang ditujukan untuk anak di bawah usia 18 tahun.
Selaras dengan adanya larangan tersebut, seharusnya masyarakat
mendukung niat baik pemerintah untuk menurunkan jumlah angka perokok,
terutama perokok di usia muda karena hal ini bertujuan untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat dengan terciptanya kualitas udara yang bersih dan sehat
serta bebas asap rokok, serta menurunkan jumlah penyakit dan kematian yang
memainkan peranan yang penting bagi kesuksesan terselenggaranya
Undang-undang Larangan Merokok di Indonesia.
Salah satu bukti bahwa pemerintah serius dengan Undang-undang yang
mereka buat adalah diterapkannya larangan merokok di gedung DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat).7 Gedung DPR kini mulai ramai dengan pamflet larangan
merokok, yang berbunyi, “Kawasan Tanpa Rokok (UU Kesehatan No. 36 Tahun
2009). Terimakasih Untuk Tidak Merokok.” Pamflet-pamflet tersebut ditempel
diberbagai tempat, seperti di tiang-tiang Gedung Nusantara III, pintu masuk,
ruang komisi, dan ruang pimpinan. Hampir seluruh penjuru Gedung DPR-RI
ditempeli tulisan larangan merokok. Mulai dari lobi gedung, ruangan
komisi-komisi, ruangan paripurna, ruang wartawan hingga ruang pimpinan DPR.
Dimulainya penyebaran pamflet sehubungan larangan merokok dijajaran
pemerintah, menunjukan kepada kita bahwa pemerintah ingin memberikan contoh
kepada masyarakat, yang seharusnya ditanggapi positif dan didukung oleh
masyarakat.
Permasalahan tentang larangan merokok, selaras dengan Undang-undang
yang telah berlaku di Indonesia, menjadi hal yang sangat fenomenal. Bagi
beberapa orang non-perokok dan dalam hal ini menjadi perokok pasif, tentu
adanya larangan dalam Undang-undang yang diatur pemerintah membuat
keuntungan tersendiri bagi mereka. Tetapi, bagi para perokok aktif, adanya
larangan merokok demikian tentu memberikan pengekangan bagi mereka. Bahkan
mereka mengangap larangan merokok sebagai suatu bentuk larangan terhadap
7
suatu Hak Asasi Manusia. Larangan merokok ini tentu membentuk persepsi yang
berbeda-beda dikalangan masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa bagi
para perokok aktif larangan merokok akan membentuk persepsi mereka bahwa
larangan tersebut melanggar Hak Asasi Manusia. Bagi perokok pasif atau
non-perokok, persepsi yang terbentuk dengan adanya larangan merokok juga akan
sangat berbeda dengan perokok aktif.
Persepsi masyarakat yang berbeda-beda terhadap adanya larangan
merokok ini, menarik perhatian peniliti untuk mengetahui lebih jauh seperti apa
persepsi yang timbul dikalangan masyarakat apabila larangan merokok ini
diterapkan di lingkungan proses belajar mengajar, dalam hal ini jajaran
Universitas. Tetapi, pada penelitian ini, persepsi yang akan peneliti lihat adalah
persepsi yang terbentuk pada kalangan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa dipilih
peneliti untuk diteliti persepsinya, karena merekalah yang mendapat dampak dari
adanya larangan merokok di lingkungan kampus.
UNIKOM adalah salah satu jajaran Universitas yang mendukung
Undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut. Sehingga, peneliti melakukan
dalam melakukan penelitian ini akan menjadikan UNIKOM sebagai objek
penelitian, yaitu tentang sejauh mana persepsi mahasiswa UNIKOM dengan
diberlakukannya larangan merokok di lingkungan kampus.
Selain itu, peneliti mengganggap UNIKOM sebagai Universitas yang tepat
untuk melakukan penelitian, mengingat UNIKOM merupakan Universitas yang
secara tegas sehubungan dengan larangan merokok. Jika beberapa kampus hanya
tegas memberlakukan sebuah teguran bagi mereka yang merokok di lingkungan
kampus. Bahkan, peneliti sempat memperhatikan bahwa beberapa aparat satpam
dikerahkan untuk berpatroli untuk melihat sejauh mana mahasiswa UNIKOM
patuh terhadap peraturan yang diberikan. Aparat ini tidak akan segan-segan
menegur siapapun yang merokok disekitaran kampus.
Melihat fakta tersebut, maka UNIKOM memang menarik perhatian
peneliti untuk akhirnya melakukan penelitian. Dan, sebagai dampak dari adanya
peraturan yang dikeluarkan tersebut, mahasiswa UNIKOM mulai merasa
kebebasannya terkekang. Jika, sebelumnya mahasiswa dapat merokok dimana saja
yang mereka mau, saat ini dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, mahasiswa
mulai mencari berbagai tempat yang mereka anggap sudah bukan lagi lingkungan
kampus. Mahasiswa mulai terlihat merokok dipinggiran jalan sekitar kampus
UNIKOM. Sesungguhnya, hal ini bisa menjadikan citra yang negatif bagi
UNIKOM, mengingat mahasiswa UNIKOM berada di pinggir-pinggir jalan
seperti orang-orang yang tidak berpendidikan.
Beberapa mahasiswa khususnya mereka yang merupakan perokok, ketika
peneliti tanya sehubungan dengan diberlakukanya peraturan larangan merokok ini
sesungguhnya terlihat tidak siap dengan diberlakukannya peraturan tersebut.
Peraturan tersebut dianggap oleh mereka sebagai pengekangan terhadap hak asasi
mereka untuk merokok. Peneliti dapat melihat, bagaimana pada akhirnya para
mahasiswa begitu merasa terganggu dengan adanya larangan merokok di
bahwa seharusnya ada solusi yang pihak UNIKOM berikan bagi mahasiswa
ketika mereka akan mengeluarkan peraturan-peraturan demikian.
Sesungguhnya sekalipun mahasiswa tidak nampak menunjukkan sikap pro
dan kontra, mereka tentu memiliki berbagai persepsi dengan timbulnya peraturan
larangan merokok tersebut. Persepsi yang mereka miliki sekalipun tidak
menghasilkan sikap-sikap tertentu, persepsi ini akhirnya menjadi sangat penting
dalam penentuan sikap apa yang selanjutnya akan seseorang lakukan. Itulah
alasan lain mengapa akhirnya persepsilah yang peneliti ingin teliti dan dalam hal
ini peneliti ingin mengetahui seperti apa persepsi mahasiswa UNIKOM mengenai
larangan merokok di lingkungan kampus.
Sebelum akhirnya persepsi terhadap suatu pesan atau suatu fenomena yang
mereka terima atau lihat terbentuk, tentu ada beragam hal yang sebelumnya
mempengaruhi terbentuknya persepsi. Maka, persepsi mahasiswa yang akan
diteliti pada penelitian ini akan dilihat dari beberapa faktor yang menentukan
persepsi berdasarkan Rhenald Kasali dalam bukunya Manajemen Public Relations, yaitu sebagai berikut:
1. Latar belakang budaya,
2. Pengalaman masa lalu,
3. Nilai-nilai yang dianut, dan
4. Berita-berita yang berkembang.
Pada pokok bahasan selanjutnya, peneliti akan menjelaskan bagaimana
faktor-faktor tersebut menentukan pembentukan dalam persepsi mahasiswa
bagaimana persepsi mahasiswa terhadap larangan merokok di lingkungan kampus
UNIKOM.
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Pertanyaan Makro
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut :
“Bagaimana persepsi mahasiswa UNIKOM mengenai larangan merokok
di lingkungan kampus?”
1.2.2 Pertanyaan Mikro
Berdasarkan uraian di atas, peneliti membatasi masalah ke dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana latar belakang budaya mahasiswa UNIKOM dalam
membentuk persepsi mengenai larangan merokok di lingkungan
kampus?
2. Bagaimana pengalaman masa lalu mahasiswa UNIKOM dalam
membentuk persepsi mengenai larangan merokok di lingkungan
kampus?
3. Bagaimana nilai-nilai yang dianut mahasiswa UNIKOM dalam
membentuk persepsi mengenai larangan merokok di lingkungan
4. Bagaimana berita-berita yang berkembang di kalangan mahasiswa
UNIKOM membentuk persepsi mengenai larangan merokok di
lingkungan kampus?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang dibuat dalam penelitian ini peneliti
memiliki beberapa maksud dan tujuan yang ingin dicapai. Maksud dan tujuan
penelitian tersebut adalah:
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan atau menjelaskan
mengenai persepsi mahasiswa terhadap larangan merokok di lingkungan kampus.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Bentuk dari identifikasi masalah diatas, maka peneliti merumuskan tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Untuk mengetahui latar belakang budaya mahasiswa UNIKOM yang
membetuk persepsi mengenai larangan merokok di lingkungan
kampus.
2. Untuk mengetahui pengalaman masa lalu mahasiswa UNIKOM yang
membentuk persepsi mengenai larangan merokok di lingkungan
kampus.
3. Untuk mengetahui nilai-nilai yang dianut mahasiswa UNIKOM yang
membentuk persepsi mengenai larangan merokok di lingkungan
4. Untuk mengetahui berita-berita yang berkembang di kalangan
mahasiswa UNIKOM yang membentuk persepsi mengenai larangan
merokok dilingkungan kampus UNIKOM.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis
Menambah pengetahuan, pengalaman dan wawasan serta bahan dalam
penerapan ilmu yang telah dipelajari dalam ruang lingkup Ilmu Komunikasi.
Penelitian ini juga diharapkan dapat mengembangkan lebih mendalam lagi ilmu
pengetahuan tentang adanya larangan merokok dalam upaya mewujudkan
masyarakat Indonesia yang sehat dan lingkungan yang bebas asap rokok sesuai
dengan Undang-undang yang berlaku.
1.4.1 Kegunaan Praktis 1. Bagi Peneliti :
Hasil penelitian diharapkan dapat membantu memberikan kontribusi dalam
menambah wawasan serta sebagai salah satu sumber untuk meneliti lebih
lanjut dari sisi dan masalah penelitian yang sama dalam konteks persepsi.
2. Bagi Lembaga Akademik :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi kepustakaan mengenai
persepsi mahasiswa UNIKOM mengenai larangan merokok di lingkungan
kampus, serta dapat menjadi bahan informasi bagi pihak yang
3. Bagi Masyarakat :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan umum yang
memperluas wawasan msyarakat mengenai pengendalian perilaku merokok,
15 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Tinjauan Penelitian Sebelumnya
Judul : PERSEPSI TERHADAP LARANGAN
MEROKOK (Kasus : Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang, Kecapatan Mampang Prapatan, Kotamadya Jakarta Selatan)
Oleh : Dyah Istyawati (A 1402002)
Prodi / Fakultas : Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat / Fakultas Pertanian (Institut Pertanian Bogor)
Keterangan :
Rokok menjadi isu yang tidak pernah tuntas penanganannya. Rokok telah menjadi bagian dari budaya masyarakat di Indonesia. Di sejumlah negara, baik di negara maju maupun di kawasan ASEAN, konsumsi rokok mengalami penurunan kecuali di Indonesia. Maka, salah satu cara untuk membatasi perilaku merokok, Gubernur DKI Jakarta mencanangkan program “Kawasan Tanpa Rokok” (KTR) di tempat-tempat umum.
perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok dengan implementasi (penerapan) perilaku merokok.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar perokok aktif memiliki persepsi tidak setuju terhadap peraturan larangan merokok karena jumlah denda yang terlalu besar dan ancaman pidana yang terlalu berat. Perokok aktif merasa dengan adanya peraturan larangan merokok ruang lingkup merokok dibatasi karena para perokok jika ingin merokok harus di ruangan khusus merokok.
Karakteristik individu pada jenis kelamin tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dimana sama-sama memiliki persepsi tidak setuju pada peraturan larangan merokok. Sebagian besar responden memiliki pendidikan akhir perguruan tinggi dimana diharapkan lebih memahami dan menaati peraturan larangan merokok tetapi mereka umumnya tidak menyetujui diterapkannya peraturan larangan merokok. Tingkat pendapatan tidak mempengaruhi dalam mengurangi kebiasan merokok dikarenakan merokok bagi responden sudah menjadi kebiasaan. Motif merokok karena pengaruh orangtua merokok dan teman merokok berpengaruh besar terhadap munculnya keinginan menjadi perokok aktif.
Judul : PERSEPSI PUBLIK PENGGUNA JALAN RAYA TENTANG POLISI LALU LINTAS DI KOTA BANDUNG (Studi Deskripif Kualitatif Persepsi Publik Pengguna Jalan Raya Tentang Polisi Lalu Lintas)
Oleh : Aris Sudrajat (40808031)
Prodi / Fakultas : Ilmu Komunikasi / Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (UNIKOM)
Keterangan :
2.2 Tinjauan Tentang Komunikasi 2.2.1 Komunikasi Sebagai Ilmu
Komunikasi merupakan satu dari beragam disiplin ilmu yang paling tua
tetapi paling baru. Komunikasi sendiri merupakan suatu aktifitas, sebuah ilmu
sosial, sebuah seni liberal, dan sebuah profesi. Communication begitulah komunikasi disebut dalam bahasa Inggris, dan bersumber dari kata communis yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sama. Sama yang
dimaksud pada kata tersebut berarti kesamaan makna. Artinya, ketika dua orang
atau lebih sedang terlibat dalam sebuah komunikasi, misalnya dalam bentuk
percakapan, maka komunikasi tersebut dapat dinyatakan berlangsung dengan baik
apabila terjadi kesamaan dalam hal topik percakapan. Komunikasi juga dapat
dikatakan efektif apabila kedua belah pihak mengerti makna dari bahan yang
dipercakapkan.
Communication Science mulai muncul di Amerika Serikat, terkadang dinamakan communicolgy, yaitu ilmu yang mempelajari gejala-gejala sosial. Sejak tahun 1940-an orang-orang di Amerika Serikat mulai membutuhkan Science of Communication. Carl I. Hovland merupakan salah satu sarjana yang mendefinisikan Science of Communication sebagai : “A system attempt to formulate in rigorous fashion the principles by which information is transmitted
and opinions and attitudes are formed.” (Effendy, 2009 : 4)
komunikasi yang oleh para cendikiawan diketengahkan dari berbagai disiplin
akademik. Communicology juga merupakan program yang luas mencakup kepentingan-kepentingan atau teknik-teknik dari setiap disiplin akademik. Joseph
A. Devito berpendapat, communicology adalah ilmu komunikasi yang khususnya dilakukan oleh dan diantara manusia. Istilah komunikasi diguakan untuk
menunjukkan tiga bidang studi yang berbeda yaitu proses komunikasi, pesan yang
disampaikan dan studi mengenai proses komunikasi. Komunikasi didefinisikan
oleh Devito sebagai kegiatan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih, yakni
kegiatan menyampaikan dan menerima pesan, yang mendapat distorsi dari
gangguan-gangguan, dalam suatu konteks yang menimbulkan efek dan
kesempatan untuk arus balik.
2.2.2 Pengertian Komunikasi
Seperti pada judul kecil sebelumnya, komunikasi (communication) berasal dari kata: common, yang berarti “sama”, dengan maksud sama makna atau pengertian, sehingga secara sederhana, dapat dikatakan bahwa komunikasi
merupakan proses menyamakan persepsi, pikiran dan rasa antara komunikator
dengan komunikannya.
Interaksi manusia tidak dapat terlepas dari adanya kegiatan komunikasi di
dalamnya. Sebagai mahluk sosial, manusia selalu membutuhkan komunikasi
dalam proses interaksi sosialnya. Oleh karena itu, komunikasi merupakan hal
yang biasa dilakukan dalam kehidupan manusia. Seseorang ingin melakukan
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri, sehingga
memanfaatkan komunikasi sebagai alat yang untuk menyampaikan apa yang
mereka inginkan atau pikirkan kepada orang lain agar mereka mengerti apa yang
dimaksud. Melalui komunikasi, seseorang dapat membuat dirinya tidak lagi
terasing dan terisolir dari lingkungannya. Komunikasi dapat menjadi media bagi
seseorang untuk dapat mengajarkan atau memberitahu suatu informasi kepada
orang lain. “Pada hakikatnya komunikasi adalah proses pernyataan antara
manusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan komunikasi sebagai alat penyalurnya.” (Effendy,
1993 : 28)
Prof. Deddy Mulyana, M.A, Ph.D. mengemukakan pengertian komunikasi sebagai berikut : “komunikasi adalah suatu proses berbagi makna melalui perilaku
verbal dan non verbal.” (Mulyana 2005 : 3). Berikut pengertian para ahli tentang
Komunikasi.
Bernard Barelson & Garry A. Steiner
Komunikasi adalah proses transmisi informasi, gagasan, emosi,
keterampilan dan sebagainya, dengan menggunakan symbol-simbol, kata-kata,
gambar, grafis, angka dan sebagainya.
Hovland, Janis & Kelley: 1953
Komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang (komunikator)
menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan
Berelson, dan Stainer: 1964
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi
dan keahlian dan lain-lain.
Lasswell: 1960
Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa
mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa? Dengan akibat apa atau hasil
apa? (Who? Says what? In which channel? To whom? With what effect?) Gode: 1959
Komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari yang semula
dimiliki oleh seseorang (monopoli seseorang) menjadi dimiliki oleh dua orang
atau lebih.
Barnlund: 1964
Komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi
rasa ketidakpastian, bertindak secara efektif, mempertahankan atau memperkuat
ego.
Ruesch: 1957
Komunikasi adalah suatu proses yang menghubungkan satu bagian dengan
bagian lainnya dalam kehidupan.
Weaver: 1949
Komunikasi adalah seluruh prosedur melalui mana pikiran seseorang dapat
Pendapat para ahli tersebut memberikan gambaran bahwa
komponen-komponen pendukung komunikasi termasuk efek yang ditimbulkan, antara lain
adalah:
1. Komunikator (komunikator,source,sender) 2. Pesan (message)
3. Media (channel)
4. Komunikan (komunikan,receiver) 5. Efek (effect)
Dari beberapa pengertian di atas peneliti dapat mengambil kesimpulan
bahwa komunikasi adalah proses pertukaran makna/pesan dari seseorang kepada
orang lain dengan maksud untuk mempengaruhi orang lain.
2.2.3 Proses Komunikasi
Agar lebih jelas maka peneliti akan membahas masalah proses komunikasi
denga peninjauan dari Carl I Hovland dalam Effendy mengatakan bahwa :
“Komunikasi adalah suatu upaya yang sistematis untuk memutuskan
secara tegas asas-asas dan atas dasar asas-asas tersebut disampaikan informasi serta bentuk pendapat dan sikap.” (Effendy, 1993 : 16)
Melihat penjelasan tersebut, komunikasi jelas merupakan suatu kegiatan
yang dilakukan oleh seseorang untuk menyatakan atau tidak menyatakan suatu
gagasan kepada orang lain dengan menggunakan lambang-lambang beupa bahasa,
gambar-gambar atau tanda-tanda yang berarti bersikap umum.
Proses komunikasi, terdiri atas dua tahap. meliputi proses komunikasi
1. Proses komunikasi secara primer, merupakan proses penyampaian
pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan
menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai
media primer dalam proses komunikasi meliputi bahasa, kial (gesture), gambar, warna, dan sebagainya. Syaratnya secara langsung dapat “menerjemahkan” pikiran atau perasan komunikator kepada
komunikan.
2. Proses komunikasi sekunder, merupakan proses penyampain pesan dari
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana
sebagai media kedua setelah menggunakan lambang sebagai media
pertama. Komunikator menggunakan media kedua dalam
berkomunikasi karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat
yang relatif jauh atau dalam jumlah yang banyak. (Effendy, 2002 : 15)
Pada media primer, lambang yang paling banyak digunakan bahasa.
Bahasa merupakan sarana yang paling banyak dipergunakan dalam komunikasi,
karena hanya dengan bahasa (lisan atau tulisan) kita mampu menerjemahkan
pikiran seseorang kepada orang lain, baik yang berbentuk ide, informasi atau opini
bisa dalam bentuk konkret ataupun abstrak. Hal itu bukan hanya suatu hal atau
peristiwa yang sedang terjadi sekarang, tetapi juga pada masa lalu atau waktu
yang akan datang.
Kial (gesture) memang dapat “menerjemahkan” pikiran seseorang sehingga terekspresi secara fisik, tetapi menggapaikan tangan atau memainkan
mengkomunikasikan hal–hal tertentu saja (sangat terbatas). Demikian pula dengan
isyarat yang menggunakan alat, seperti bedug, kentongan, sirine, dan lain–lain,
juga warna yang memiliki makna tertentu. Kedua lambang (isyarat dan warna)
tersebut sangat terbatas kemampuanya dalam mentransmisikan pikiran seseorang
kepada orang lain.
Sementara, proses komunikasi sekunder merupakan kelanjutan dari proses
komunikasi primer, yaitu untuk menembus dimensi ruang dan waktu. Maka dalam
menata lambang-lambang untuk memformulasikan isi pesan komunikasi,
komunikator harus mempertimbangkan ciri-ciri atau sifat-sifat media yang akan
digunakan. Penentuan media yang akan dipergunakan perlu didasari pertimbangan
mengenai siapa komunikan yang akan dituju.
Setelah pembahasan di atas mengenai proses komunikasi, kini kita
mengenal unsur-unsur dalam proses komunikasi. Penegasan tentang unsur-unsur
dalam proses komunikasi itu adalah sebagai berikut :
a. Sender : Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang.
b. Encoding : Penyandian, yakni proses pengalihan pikiran kedalam bentuk lambang.
c. Message : Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator.
e. Decoding : Pengawasandian, yaitu proses dimana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh
komunikator kepadanya.
f. Receiver : Komunikan yang menerima pesan dari komunikator.
g. Response : Tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah diterpa pesan.
h. Feedback : Umpan Balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator.
i. Noise : Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan
yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator
kepadanya.
2.2.4 Fungsi Komunikasi
Beragam tokoh komunikasi, memberikan padangan yang beragam pula
sehubungan dengan fungsi dari komunikasi. Komunikasi dapat memuaskan
kehidupan kita manakala semua kebutuhan fisik, identitas diri, kebutuhan sosial
dan praktis dapat tercapai. (Adler dan Rodman, 2003). Berikut adalah fungsi dari
komunikasi secara universal menurut Kasali (2005 : 15) :
1. Memenuhi Kebutuhan Fisik
Dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan, komunikasi dapat berfungsi
untuk menyembuhkan manusia. Adler dan Rodman (2003), menjelaskan
individu lain, berisiko tiga atau empat kali mengalami kematian.
Sebaliknya, mereka yang sering menjalin hubungan mempunyai peluang
hidup empat kali lebih besar. Dari hal ini menunjukkan kepada kita,
bagaimana berinteraksi (dimana di dalamnya melibatkan komunikasi)
dapat membuat seseorang meningkatkan kualitas fisik seseorang.
2. Memenuhi Kebutuhan Identitas
Seseorang melakukan aktifitas komunikasi dengan sesamanya, karena
mereka ingin memberikan informasi bahwa mereka ada bersama kita.
Komunikasi bisa diibaratkan dengan KTP (Kartu Tanda Penduduk). KTP
merupakan sebuah kartu yang berisi identitas diri si pemiliknya, seperti
nama, alamat, tanggal lahir, dan sebagainya. KTP ini sangat bermanfaat
ketika seseorang ingin memberitahu mengenai siapa dirinya kepada orang
yang membutuhkan informasi tersebut. Maka, sehubungan dengan
komunikasi, menjadi sangat penting terutama ketika bersosialisasi satu
sama lain. Dengan demikian, seseorang akan mengetahui atau belajar
tentang siapa dia dan siapa saya. (Adler dan Rodman, 2003)
3. Memenuhi Kebutuhan Sosial
Komunikasi, dapat membantu seseorang memenuhi kebutuhan sosial
mereka seperti, mengisi waktu luang, kebutuhan disayangi, kebutuhan
untuk dilibatkan, kebutuhan untuk keluar dari masalah yang rumit,
4. Memenuhi Kebutuhan Praktis
Salah satu fungsi utama dari komunikasi adalah kita dapat memebuhi
berbagai kebutuhan praktis sehari-hari. Komunikasi seolah menjadi kunci
bagi kita, untuk membuka kesempatan kita dalam hal memenuhi
kebutuhan praktis, karena kita berinteraksi dengan orang lain. Sementara, Rudolph F. Verderber mengemukakan bahwa komunikasi mempunyai dua fungsi. Fungsi pertama, fungsi sosial yakni bertujuan untuk kesenangan, untuk menunjukkan ikatan dengan orang lain, membangun dan memelihara hubungan. Kedua, fungsi pengambilan keputusan, yakni memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada saat tertentu. (Mulyana, 2007 : 5).
2.2.5 Tujuan Komunikasi
1. Mengubah Sikap (To Change The Attitude)
Komunikasi bertujuan untuk mengubah perilaku seseorang. Setelah
seseorang mengemukakan informasi apa yang ingin disampaikan (komunikasi)
maka tahap selanjutnya adalah apakah seseorang akan terpengaruh atau tidak
terhadap informasi atau pesan yang disampaikan dan selanjutnya apakah hal
tersebut akan merubah sikap orang tersebut atau tidak. Komunikasi diharapkan
dapat merubah sikap seseorang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
komunikannya.
2. Mengubah Opini / Pendapat / Pandangan (To Change The Opinion)
Selanjutnya komunikasi bertujuan untuk mengubah pendapat atau opini
seseorang sesuai yang diharapkan oleh komunikannya. Selaras dengan kata dasar
memang tujuan dari komunikasi yaitu mencapai suatu kesamaan dalam hal
pendapat atau opini.
3. Mengubah Perilaku (To Change The Behavior)
Setelah memperoleh suatu informasi, tujuan dari komunikasi adalah agar
seseorang penerima informasi tersebut akan berperilaku sesuai dengan stimulus
yang diberikan atau dengan kata lain berperilaku sesuai dengan yang diharapkan
oleh si pemberi informasi
4. Mengubah Masyarakat (To Change The Society)
Dalam poin sebelumnya, perubahan perilaku yang diharapkan lebih
kepada individu atau perorangan, pada poin ini perubahan yang dititik beratkan
pada suatu kelompok manusia yang lebih luas jangkauannya. Sehingga perubahan
yang terjadi sifatnya secara masal. (Effendy, 2002 : 55)
Gordon I. Zimmerman merumuskan tujuan komunikasi menjadi dua
kategori besar. Pertama, kita berkomunikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas
yang penting bagi kebutuhan kita untuk memberi makan dan pakaian kepada diri
sendiri, memuaskan rasa penasaran kita akan lingkungan, dan menikmati hidup.
Kedua, kita berkomunikasi untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan
orang lain. Jadi komunikasi mempunyai tujuan isi, yang melibatkan pertukaran
informasi yang kita perlukan untuk menyelesaikan tugas, dan tujuan hubungan
yang melibatkan pertukaran informasi mengenai bagaimana hubungan kita dengan
2.2.6 Jenis-jenis Komunikasi
Pada dasarnya komunikasi digunakan untuk menciptakan atau
meningkatkan aktifitas hubungan antara manusia atau kelompok. Selaras dengan
pembahasan sebelumnya, komunikasi memiliki tujuan hubungan yang di
dalamnya melibatkan suatu proses pertukaran informasi dan akhirnya berdampak
terhadap kualitas hubungan seseorang dengan orang lain atau kelompok dengan
kelompok lain.
Jenis komunikasi terdiri dari:
1. Komunikasi verbal
Komunikasi verbal ialah simbol atau pesan yang menggunakan
satu kata atau lebih dengan menggunakan usaha-usaha yang dilakukan
secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan dalam
menggunakan bahasa yang dapat di mengerti karena bahasa merupakan
sistem kode verbal.
Menurut Larry L. Barker, bahasa mempunyai tiga fungsi : 1)
penamaan (naming atau labeling), 2) interaksi, dan 3) transmisi informasi. Berikut ini adalah penjelasan sehubungan dengan fungsi dari bahasa :
a. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha
mengidentifikasikan objek, tindakan, atau orang dengan
menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam
b. Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi,
yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau
kemarahan dan kebingungan.
c. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang
lain, inilah yang disebut fungsi transmisi dari bahasa.
Keistimewaan bahasa sebagai fungsi transmisi informasi
yang lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa
kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan
budaya dan tradisi kita.
2. Komunikasi Non Verbal
Bahasa non verbal merupakan salah satu bentuk komunikasi yang
sering digunakan dalam presentasi, dimana penyampaiannya bukan
dengan kata-kata ataupun suara tetapi melalui gerakan-gerakan anggota
tubuh yang sering dikenal dengan istilah bahasa isyarat atau body
language. Selain itu juga, penggunaan bahasa non verbal dapat melalui
kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan
penggunaan simbol-simbol. Menurut Drs. Agus M. Hardjana, M.Sc.,
Ed. menyatakan bahwa: “Komunikasi non verbal yaitu komunikasi
yang pesannya dikemas dalam bentuk non verbal, tanpa kata-kata”.
Sedangkan menurut Atep Adya Barata mengemukakan bahwa: “Komunikasi non verbal yaitu komunikasi yang diungkapkan melalui
komunikasi dengan gerak (gesture) sebagai sinyal (sign language), dan komunikasi dengan tindakan atau gerakan tubuh (action language).
Bentuk-bentuk komunikasi non verbal terdiri dari tujuh macam
yaitu:
a. Komunikasi visual
b. Komunikasi sentuhan
c. Komunikasi gerakan tubuh
d. Komunikasi lingkungan
e. Komunikasi penciuman
f. Komunikasi penampilan
g. Komunikasi citrasa
2.2.7 Bentuk Komunikasi
Deni Darmawan (2007) berpendapat bahwa komunikasi terjadi dalam
beberapa bentuk1, yaitu sebagai berikut :
1. Komunikasi Persona (Personal Communication)
a) Komunikasi Intrapersona (Intrapersonal Communication) Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi dengan diri
sendiri, baik kita sadari atau tidak. Disadari atau tidak, sebelum
berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain, kita akan melakukan
komunikasi intrapersonal atau berbicara kepada diri sendiri terlebih
dahulu.
1
b) Komunikasi Antarpersona (Antarpersonal Communication) Komunikasi Antarpersonal adalah komunikasi antar dua orang
secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pernyataan menangkap
reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun non
verbal. Bentuk komunikasi antarpersonal ini adalah komunikasi
diadik (dyadic communication) yang melibatkan hanya dua orang saja.
2. Komunikasi Kelompok (Group Communication)
Kelompok adalah kumpulan manusia dalam lapisan masyarakat yang
mempunyai ciri atau atribut yang sama dan merupakan satu kesatuan yang
saling berinteraksi. Kelompok juga merupakan suatu kesatuan sosial yang
terdiri atas dua atau lebih individu yang telah menjadikan interaksi sosial
yang cukup intensif dan teratur, sehingga diantara individu itu sudah
terdapat pembagian tugas, struktur, dan norma-norma tertentu yang khas
bagi kesatuan sosial tersebut. (Sherif dalam Gerungan)
Michael Burgoon (dalam Wiryanto, 2005) mendefinisikan
komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga
orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi
informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana
anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang
lain secara tepat.
John F. Cragan dan David W. Wright (1980) membagi kelompok
klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara
alamiah. Berdasarkan tujuan, ukuran, dan pola komunikasi. Kelompok
deskriptif dibedakan menjadi tiga:
a. Kelompok tugas;
b. Kelompok pertemuan;
c. Kelompok penyadar; dan
d. Kelompok perspektif
Kelompok tugas bertujuan memecahkan masalah, misalnya
merancang kampanye politik. Kelompok pertemuan adalah kelompok
orang yang menjadikan diri mereka sebagai acara pokok. Misalnya,
melalui diskusi, setiap anggota berusaha belajar lebih banyak tentang
dirinya. Kelompok terapi di rumah sakit jiwa adalah contoh kelompok
pertemuan. Kelompok penyadar mempunyai tugas utama menciptakan
identitas sosial politik yang baru. Kelompok revolusioner radikal di
Amerika Serikat, pada tahun 1960-an sering menggunakan proses ini.
Kelompok perspektif, mengacu pada langkah-langkah yang harus
ditempuh anggota kelompok dalam mencapai tujuan kelompok. Cragan
dan Wright mengkategorikan enam format kelompok preskriptif, yaitu:
diskusi meja bundar, simposium, diskusi panel, forum, kolokium, dan
prosedur parlementer. (Rakhmat, 2008:147-148)
Kelompok tentu terdiri dari beberapa anggota-anggota yang
menjalankan dua tugas sebagai berikut :
b. memelihara moral anggota-anggotanya.
Tujuan pertama diukur dari hasil kerja kelompok, yang disebut
prestasi (performance) tujuan kedua diketahui dari tingkat kepuasan (satisfacation). Jadi, bila kelompok dimaksudkan untuk saling berbagi informasi (misalnya kelompok belajar), maka keefektifannya dapat dilihat
dari beberapa banyak informasi yang diperoleh anggota kelompok dan
sejauh mana anggota dapat memuaskan kebutuhannya dalam kegiatan
kelompok. (Rahkmat, 2008:149)
Untuk itu faktor-faktor keefektifan kelompok dapat dilacak pada
karakteristik kelompok, yaitu:
1. Ukuran kelompok,
2. Jaringan komunikasi,
3. Kohesi kelompok, dan
4. Kepemimpinan.
2.2.8 Konteks Komunikasi
Komunikasi merupakan hal terpenting bagi manusia. Sebagai mahluk
sosial, komunikasi menjadi komponen penting bagi berlangsungnya proses sosial,
dimana di dalamnya terdapat suatu proses interaksi yang melibatkan komunikasi.
Seperti pada apa yang telah peniliti jelaskan pada subjudul sebelumnya,
komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara verbal maupun non
verbal. Selain bentuk-bentuk dari komunikasi, komunikasi juga memiliki
Konteks-konteks komunikasi adalah sebagai berikut2 :
1. Komunikasi Intrapersonal
Komunikasi intrapersonal adalah penggunaan bahasa atau pikiran
yang terjadi di dalam diri komunikator sendiri. Komunikasi tejadi
keterlibatan internal secara aktif dari individu dalam proses simbolik
pesan-pesan. Pada konteks komunikasi intrapersonal, seseorang menjadi
pengirim pesan (komunikator) dan sekaligus menjadi si penerima pesan
tersebut (komunikan), dan selanjutnya melakukan umpan balik kepada
dirinya sendiri.
2. Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal adalah suatu proses pertukaran pesan
yang terjadi antara penyampai pesan (komunikator) kepada penerima
pesan (komunikan) yang berbeda. Artinya, pada konteks komunikasi ini
seorang komunikan akan melakukan proses komunikasi pada pribadi yang
berbeda atau individu yang berbeda, bukan pada dirinya sendiri. Joseph A.
Devito menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal atau yang disebut
juga dengan komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan
penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil
orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika.
3. Komunikasi Kelompok
Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang dilakukan oleh
sekumpulan orang-orang yang terdiri dari tiga atau lebih. Kelompok yang
2
dimaksud dalam konteks komunikasi kelompok adalah kelompok yang
memiliki intensitas hubungan di dalamnya. Menurut Deddy Mulayana
kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama,
,emgenal satu sama lain untk mencapai tujuan bersama, mengenal satu
sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok
tersebut.
4. Komunikasi Massa
Kata komunikasi massa berasal dari bahasa Inggris, yaitu mass communication, artinya, komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan media massa sebagai perantaranya. Massa sendiri mengandung arti orang
banyak, yang tidak selalu berada pada tempat atau lokasi yang sama satu
dengan yang lainnya, massa di sini bisa saja berada pada lokasi yang
terpencar, yang dalam waktu bersamaan atau hampir bersamaan,
menerima pesan-pesan komunikasi yang sama.
5. Komunikasi politik
Political communication atau dalam bahasa Indonesia, komunikasi politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan
aktor-aktor politik, atau berkatitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan
kebijakan pemerintah. Menurut Gabriel Almond (1960) : komunikasi
politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik.
6. Komunikasi Organisasi
yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui jenjang
kepangkatan, dan pembagian tugas. Menurut Gold Haber, komunikasi
organisasi merupakan adalah arus pesan yang sifat hubungannya saling
bergantungan satu sama lain, dengan arus pesan yang terdiri dari vertical,
horizontal, dan diagonal.
7. Komunikasi Antar Budaya
Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara
orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (berbeda ras, etnik,
atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Steward L.
Tubbs mendefinisikan komunikasi antar budaya sebagai komunikasi
antara orang-orang yang berbeda budaya . Kebudayaan sendiri berarti
suatu cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang
serta berlangsung dari generasi ke generasi.
8. Semiotika Komunikasi
Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari mengenai penandaan
Science of Signification; bersumber dari F. De Saussere (Swiss-French, 1857-1931). Ferdinal de Saussure dalam Course in General Linguistics mendefinisikan semotika sebagai : “…. ilmu yang mempelajari struktur,
jenis, tipologi, serta relasi tanda-tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat”. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean
berpandangan bahwa: “…. sebuah tanda tidak hanya mengadung
(petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya….”
2.2.9 Konteks Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan konteks komunikasi
intrapersonal dan interpersonal. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
komunikasi intrapersonal adalah penggunaan bahasa atau pikiran yang terjadi di
dalam diri komunikatornya sendiri. Komunikasi intrapersonal dianggap tepat
mewakili penelitian ini karena komunikasi intrapersonal merupakan komunikasi
yang penting, yaitu jenis komuunikasi yang akhirnya memicu berlangsungnya
konteks-konteks komunikasi yang lain. Sehubungan dengan persepsi, komunikasi
intrapersonal merupakan faktor penting dalam proses dibentuknya persepsi.
Pada komunikasi intrapersonal, pengetahuan mengenai dirinya sendiri
didapat dari proses-proses psikologis seperti persepsi dan kesadaran (awareness), dan hal ini terjadi ketika berlangsungnya komunikasi intrapribadi oleh
komunikatornya. Perlu diingat, bahwa untuk dapat menghasilkan sebuah persepsi,
seseorang perlu memahami seperti apa dirinya sendiri atau dengan kata lain
melakukan pengenalan terhadap dirinya sendiri. Selain itu, agar mendapat
pemahaman tentang apa yang terjadi ketika seseorang sedang berkomunikasi,
dibutuhkan sebuah pemahaman terhadap diri sendiri, dan pemahaman ini didapat
dari persepsi. Maka memang pada dasarnya, letak dari sebuah persepsi berada
pada orang yang mempersepsikan, bukan pada suatu ungkapan ataupun objek.
Menurut Joan Aitken dan Leonard Shedlestsky (1997) menyatakan bahwa
sendiri, atau maki-makian, seperti yang diungkapkan oleh Lance Morrow dalam
majalah Time (1998). Karena pada dasarnya, komunikasi intrapersonal
melibatkan banyak penilaian akan perilaku orang lain, atau terhadap berbagai
pesan yang diterima. Maka, ketika peneliti akan melihat seperti apa persepsi yang
terbentuk di kalangan mahasiswa ketika dikeluarkannya larangan merokok di
lingkungan kampus, komunikasi intrapersonal menjadi faktor bagi mahasiswa
tersebut dalam memberikan persepsinya terhadap peraturan tersebut.
Pemahaman diri pribadi dilakukan dengan hal-hal seperti berdoa,
bersyukur, instrospeksi diri dengan meninjau perbuatan kita dan reaksi hati nurani
kita, dan berimajinasi dengan kreatif. Elemen-elemen diri dalam sebuah konteks
komunikasi intrapersonal adalah sebagai berikut :
1. Konsep diri, adalah bagaimana kita memandang diri kita sendiri, biasanya
hal ini kita lakukan dengan penggolongan karakteristik sifat pribadi,
karakteristik sifat sosial, dan peran sosial.
2. Karakteristik sosial, adalah sifat-sifat yang ditampilkan ketika kita sedang
berhubungan dengan orang lain. Seperti contohnya, ramah atau ketus,
ekstrovert atau introvert, banyak bicara atau pendiam, penuh perhatian
atau tidak peduli, dan sebagainya.
3. Peran sosial, adalah bagaimana kita mendefinisikan hubungan sosial kita
dengan orang lain, seperti contohnya, ayah, istri, atau guru. Peran sosial
bisa juga terkait dengan budaya, etnik, atau agama.
4. Identitas diri yang berbeda, walaupun identititas yang dibahas lebih
individu bisa memiliki identitas diri yang berbeda, yang disebut multiple
selves. Pada dasarnya, kita memiliki dua identitas diri dalam diri kita
masing-masing, yaitu sebagai berikut :
a. Pertama, persepsi mengenai diri kita, dan persepsi mengenai orang lain
terhadap kita (meta persepsi), dan
b. Identitas berbeda juga dapat dilihat dari cara kita memandang „diri ideal‟ kita, maksudnya adalah ketika kita melihat siapa diri kita
„sebenarnya‟ dan di sisi lain, kita melihat ingin „menjadi apa‟ diri kita
(idealisasi diri).
Dalam komunikasi intrapersonal, terjadi pengolahan informasi yang
meliputi beberapa hal sebagai berikut :
a. Sensasi, berasal dari kata sense artinya alat pengindraan, yang menghubungkan organism dengan linkungannya. Menurut Benyamin B.
Wolman (1973 : 343) sensasi adalah pengalaman elementer yang segera,
tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis. atau konseptual, dan
terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indera.
b. Persepsi, adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan. Menurut (Desiderato, 1976 : 129) persepsi adalah
proses memberikan makna pada sebuah informasi inderawi, tetapi tidak
hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan