PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG
MEREK DAGANG ASING DI INDONESIA
(Analisis Putusan Pengadilan Niaga
Nomor:69/PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst.)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh
Febyo Hartanto NIM: 1111048000018
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iv
ABSTRAK
Febyo Hartanto, NIM 1111048000018, “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG MEREK DAGANG ASING DI INDONESIA
(Analisis Putusan Pengadilan Niaga Nomor:69/
PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst.)”, Konsentrasi Hukum Bisnis,
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatyullah Jakarta, 1436 H/2015 M. vi + 66 halaman.
Skrpisi ini bertujuan untuk untuk mengetahui efektivitas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dalam melindungi merek dagang asing di Indonesia, serta dampak pelanggaran merek asing ini terhadap perkembangan investasi asing di Indonesia.
Metode yang digunakan penulis adalah metode penulisan yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor:69/PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst, yaitu sengketa merek
“bodycology” antara Advanced Beauty Systems Inc. melawan Sherly Nyolanda sebagai salah satu data skunder dalam penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 masih belum efektif dalam melindungi merek dagang asing di Indonesia, serta putusan hakim pengadilan niaga jakarta pusat dengan Nomor:69/PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst dinilai masih kurang tepat dalam memutus perkara tersebut.
Kata Kunci :Perlindungan merek dagang asing
Pembimbing : 1. Elviza Fauzia, SH, MH
2. Alya Sandra Dewi, SH., M.Kn.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat,nikmat serta
anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG MEREK DAGANG ASING DI INDONESIA
(Analisis Putusan Pengadilan Niaga
Nomor:69/PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst.)”. Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan alam semesta Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.
Untuk dapat terselesainya penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan,
arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Asep Syaifupuddin Hidayat S.H, M.H ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Drs. Abu Thamrin SH, M.Hum sekertaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta periode 2015-2019
3. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH. ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arip
Purkon, MA sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Elviza Fauzia, SH, MH dan Alya Sandra Dewi, SH, M.Kn., dosen pembimbing yang
telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh
kesabaran, perhatian, dan ketelitian.
5. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan
skripsi ini.
6. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat
bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa
membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah
untuk beliau semua.
7. Kedua orang tuaku Ayahanda M. Soleh dan Ibunda Marlina terima kasih atas
dukungan semangat yang tidak pernah padam serta doa, motivasi, kasih sayang,
perhatian, dan bantuan (moril, materiil, dan spiritual) yang telah diberikan dengan
tulus, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan
Tinggi Negeri.
8. Adik-adikku Mario dan Andina, serta sanak saudara terima kasih atas doa, bantuan
(moril, materiil, dan spiritual), dan dukungan semangat yang telah diberikan.
9. Teman-teman ilmu hukum angkatan 2011 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik
Ciputat, 11 Juni 2015
vii
DAFTAR ISI
Halaman
Judul Skripsi ... i
Lembar Pengesahan Pembimbing ... ii
Lembar Pengesahan Panitia... iii
Lembar Pernyataan ... iv
Abstrak ... v
Kata Pengantar ... vi
Daftar Isi ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu... 7
E. Kerangka Teoritis ... 9
F. Kerangka Konseptual ... 11
G. Metode Penelitian... 13
H. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II TINJAUAN UMUM MEREK DAN MEREK DAGANG ASING A. Tinjauan Umum Merek ... 18
1. Pengertian Merek ... 18
2. Fungsi Merek ... 20
viii
4. Merek Yang Dapat dan Tidak Dapat Didaftarkan ... 25
B. Tinjauan Merek Dagang Asing ... 29
1. Pengertian Merek Asing... 29
2. Kriteria Merek Terkenal ... 29
3. Ketentuan Khusus Pendaftaran Merek Terkenal ... 30
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK ASING DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERKEMBANGAN INVESTASI ASING DI INDONESIA A. Perlindungan Hukum Terhadap Merek Asing ... 32
1. Perlindungan Merek Asing Dalam Konvensi Internasional ... 35
a. Paris Convention ... 35
b. Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) ... 37
c. Madrid Agreement ... 38
d. Tradmark Law Treaty ... 39
2. Pererlindungan Merek Asing dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 ... 40
B. Dampak Pelanggaran Merek Asing Terhadap Perkembangan Investasi Asing di Indonesia ... 43
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA Nomor:69/PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst.) A. Posisi Kasus ... 47
B. Putusan Pengadilan Niaga ... 49
C. Analisis Putusan Pengadilan Niaga ... 50
1. Pembuktian Keterkenalan Merek Bodycology Milik Penggugat ... 50
ix
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Evektifitas Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 ... 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 63
B. Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 68
1
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG MEREK
DAGANG ASING DI INDONESIA
(Analisis Putusan Pengadilan Niaga
Nomor:69/PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst.)
A. Latar Belakang Masalah
Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran
karena publik sering mengaitkan suatu kualitas atau reputasi barang dan
jasa dengan merek tertentu. Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang
sangat berharga secara komersial. Merek suatu perusahaan seringkali lebih
bernilai dibandingkan dengan aset riil perusahaan tersebut. Merek juga
sangat berguna untuk para konsumen. Mereka membeli produk tertentu
(yang terlihat dari mereknya) karena menurut mereka, merek tersebut
berkualitas tinggi atau aman untuk dikonsumsi dikarenakan reputasi dari
merek tersebut. Jika sebuah perusahaan menggunakan merek perusahaan
lain, para konsumen mungkin merasa tertipu karena telah membeli produk
dengan kualitas yang lebih rendah1.
Para produsen dan pedagang di negara manapun mereka berada,
membangun reputasi dan kepercayaan masyarakat kepada usaha mereka
melalui merek yang dipergunakannya. Dalam hubungan ini, para pesaing
yang tidak jujur tidak akan dapat terlalu lama mempertahankan
kedudukannya di pasar yang diperoleh secara curang, apabila mereka
1
2
dibiarkan menghancurkan daya pembeda dari merek-merek yang
digunakan untuk mengenali kegiatan perdagangan yang menandai
barang-barang dagangan, dengan cara merek dan melanggar hak orang lain atas
merek-merek tersebut2.
Membiarkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap
merek-merek, terutama di negara-negara yang sudah berkembang, dengan dalih
“untuk mengejar ketinggalan” dari negara-negara industri yang sudah maju
adalah suatu impian kosong yang menyesatkan. Bukan kemajuan yang
akan diperoleh dengan cara tersebut, tetapi justru akan berakibat
sebaliknya. Praktik-praktik yang tidak sehat itu akan mematikan kreativitas
dan semangat membangun dari para moral perdagangan di setiap bidang
kegiatan perdagangan, dan akhirnya akan mengakibatkan hilangnya
kepercayaan konsumen dan masyarakat pada umumnya dalam dunia
perdagangan secara keseluruhan. Keadaan tersebut di atas apabila
dibiarkan berlarut-larut, akan menghambat perkembangan perdagangan
pada umumnya, dan terlebih jauh lagi akan membawa pengaruh buruk
terhadap pembangunan ekonomi di negara-negara yang sedang
berkembang3.
Pelanggaran terhadap merek motivasinya adalah untuk
mendapatkan keuntungan pribadi secara mudah dengan mencoba atau
melakukan tindakan meniru atau memalsukan merek-merek yang sudah
2
Suyud Margono, Hak Milik Industri: Pengaturan dan Praktik di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h.49.
3
terkenal di masyarakat tanpa memikirkan hak orang lain yang
hak-haknya telah dilindungi sebelumnya. Tentu saja hal-hal demikian itu akan
sangat mengacaukan roda perekonomian dalam skala nasional dan skala
lokal4.
Menurut molegraf, persaingan tidak jujur adalah peristiwa di dalam
mana seseorang untuk menarik para langganan orang lain kepada
perusahaan dirinya sendiri atau demi perluasan penjualan pendapatan
perusahaanya, menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan itikad
baik dan kejujuran di dalam perdagangan5.
Perlindungan hak merek dimaksudkan untuk melindungi pemilikan
atas merek, investasi dan goodwill (nama baik) dalam suatu merek, dan untuk melindungi konsumen dari kebingungan menyangkut asal usul suatu
barang atau jasa6.
Di samping peraturan perundang-undangan nasional tentang
perlindungan merek, Indonesia juga terikat dengan peraturan merek yang
bersifat Internasional, dimana Indonesia termasuk sebagai anggota
organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization) yang telah ikut meratifikasi Konvensi International tentang Agreement Establishing The World Trade Organization dengan Keppres Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), selain
4
OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, cet. VIII, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h.356-357.
5
R.M. Suryodiningrat, Aneka Hak Milik Perindustrian, (Bandung: Tarsito, 1981), h.66 6
4
itu Indonesia juga telah meratifikasi konvensi Paris Union dengan Keppres
Nomor 15 Tahun 1997.
Pelanggaran merek akhir-akhir ini sering kali terjadi akibat semakin
ketatnya persaingan usaha, salah satunya pelanggaran merek dagang asing
khususnya merek asing yang sudah terkenal. Pelanggaran semacam ini
terjadi terjadi ketika suatu merek ini belum terdaftar di Direktorat Jendral
Hak Kekayaan Intelektual (HKI), kemudian didaftarkan oleh pihak yang
tidak berhak. Akibatnya permohonan pendaftaran pemilik merek yang asli
terganggu, atau bahkan ditolak oleh Direktorat Jendral Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) karena dianggap serupa dengan merek yang sudah
terdaftar sebelumnya. Kasus seperti ini pernah terjadi di Indonesia, yakni
yang terjadi pada kasus merek dagang Bodycology untuk produk
kecantikan milik Advanced Beauty Systems Inc. (penggugat) yang
berkedudukan di Suite 400 57201 BJ Freeway, Dallas, Texas 75240
Amerika Serikat. Merek Bodycology telah terdaftar di amerika dan di
berbagai negara di eropa. Advanced Beauty Systems Inc. saat ingin
mendaftarkan produknya di Indonesia, ternyata produk serupa dengan
merek bodycology No. IDM000289450 milik Sherly Nyolanda (tergugat)
sudah terdaftar terlebih dahulu di Direktorat Jendral Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) pada tanggal 17 Januari 2011. Sedangkan jika
dibandingkan dengan pendaftaran merek bodcology milik tergugat
pendaftaran merek Bodycology milik Advanced Beauty Systems Inc. di
Beauty Systems Inc. melalui pengacaranya mengajukan gugatan
pembatalan merek terdaftar atas pendaftaran Bodycology No.
IDM000289450 milik tergugat, dikarenakan merek milik tergugat secara
jelas mempunyai persamaan pada pokoknya sebagaimana yang terdapat
pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, selain itu tergugat
diduga tidak mempunyai itikad baik dalam mendaftarkan produknya.
Penulis pada penelitian ini ingin mengkaji putusan hakim yang justru
menolak gugatan Advanced Beauty Systems Inc. terhadap Sherly
Nyolanda.
Berkaitan dengan hal-hal yang telah diuraikan pada latar belakang
masalah di atas, penulis tertarik untuk memilih judul “Perlindungan
Hukum Terhadap Pemegang Merek Dagang Asing Di Indonesia
(Analisis Putusan Pengadilan Niaga Nomor:69/PDT.SUS/Merek /
2013/PN.Niaga.Jkt. Pst.)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam pembahasan mengenai pelanggaran merek asing ini, tentunya
akan berhubungan dengan berbagai bidang, namun dalam penelitian ini agar
masalah yang akan penulis bahas tidak meluas sehingga mengakibatkan
ketidakjelasan pembahasan masalah. Maka penulis akan mambatasi masalah
yang akan diteliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas
6
permasalahan HKI ini khususnya merek terhadap perkembangan investasi
asing di Indonesia.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah, maka
peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah efektivitas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
dalam melindungi merek dagang asing di Indonesia ?
b. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap merek asing di
Indonesia berdasarkan dengan konvensi internasional yang telah
diratifikasi oleh Indonesia ?
c. Bagaimana Putusan Pengadilan Niaga 69/PDT.SUS/
Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst. jika dikaitkan dengan Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2001 dan Konvensi Internasional ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah :
a. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap merek
asing di Indonesia berdasarkan dengan konvensi internasional
yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
b. Untuk mengkaji Putusan Pengadilan Niaga 69/PDT.SUS/
Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst terhadap dengan Undang-Undang
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan bisa menjadi pendalaman materi Ilmu Hukum tentang
perlindungan hukum terhadap merek asing terkenal dalam
memperdagangkan produk barang dan jasa di Indonesia. Selain itu juga
sebagai sumbangan pemikiran keilmuan pengembangan dalam Hukum
Bisnis, khususnya di Indonesia.
b. Manfaat Praktis
Sebagai bahan informasi kepada masyarakat maupun pengusaha
dalam menjalankan bisnisnya, terutama yang berhubungan dengan
merek. Disamping itu juga sebagai bahan masukan kepada para pihak
terkait persoalan Hak Kekayaan Intelektual dalam menyelesaikan perkara
khususnya yang berkaitan dengan merek.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan judul dalam penelitian ini, penulis telah
melakukan penelusuran studi terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini.
Penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas UIN Syarif
Hidayatullah tahun 2014, disusun oleh Dwi Anto NIM. 109048000032,
dengan judul, “Tinjauan Yuridis Terhadap Peniruan Merek Helm
8
68/Merek/2012.PN.Niaga.Jkt.Pst) “. Penulis diatas hanya membahas
antara sengketa merek dagang nasional saja dan persamaan antara kedua
merek dagang tersebut berdasarkan perundang-undangan nasional.
Sedangkan pada skripsi ini membahas mengenai sengketa antara
pelanggaran merek asing oleh merek nasional berdasarkan
perundang-undangan nasional dan konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh
Indonesia.
2. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang tahun 2013,
disusun oleh Lukman Kardiasa, dengan judul, “Pelaksanaan
Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal Dari Tindakan
Pelanggaran Terhadap Merek Terkenal (studi implementasi pasal 94
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek studi di Pasar
Besar Malang)”. Penulis diatas membahas mengenai perlindungan
hukum terhadap merek nasional saja, serta dampaknya terhadap
penjualan di Pasar Besar Malang saja. Sedangkan pada skripsi ini
membahas mengenai perlindungan merek dagang asing di indonesia serta
dampaknya terhadap perkembangan investasi asing di Indonesia.
3. Buku dari Tim Lindsey, dkk. Hak Kekayaan Intelektual; Suatu
Pengantar, PT. Alumni, Bandung, 2013. Pada buku karangan Tim
Lindsey, dkk ini hanya menguraikan secara singkat mengenai
kasus-kasus pelanggaran merek asing di indonesia dan tidak membahas secara
gamblang mengenai konvensi-konvensi internasional yang terkait
E. Kerangka Teoristis
Menurut Fitzgerald, Teori perlindungan hukum Salmond bahwa
hukum bertujuan mengintegrasikan dam mengkoordinasikan berbagai
kepentingan dalam masyrakat karena dalam suatu lalulintas kepentingan,
perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara
membatasi berbagai kepentingan di lain pihak7.
Menurut Satijipto Raharjo, Perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain
dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati
semua hak-hak yang diberikan oleh hukum8.
Tujuan hukum pada hakikatnya menciptakan ketertiban dan
memberikan rasa aman antar anggota masyarakat. Begitu pula dalam
perlindungan hukum pada hak kekayaan intelektual khususnya merek. Perlu
dipahami makna hukum kekayaan intelektual itu sendiri sebagai hak milik
atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Sebelum munculnya undang-undang yang mengatur mengenai hak kekayaan
intelektual, perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual menggunakan
pendekatan hukum kebendaan seperti yang diatur dalam KUHPerdata9.Hak
milik berdasarkan Pasal 570 KUHPerdata “Hak milik adalah hak untuk
menikmati suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu
7
Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 53. 8
Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, h. 54. 9
10
secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang
atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal
tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi
kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian
kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan.”
Perlindungan terhadap hukum hak kekayaan intelektual didasarkan
atas beberapa teori tentang hak milik. Hak milik yang dikenal dalam hukum
perdata pada dasarnya berasal dari konsep kebendaan. Hak kekayaan
intelektual sebagai bagian dari kebendaan yang tidak berwujud. Dalam Pasal
499 KUHPerdata ditentukan bahwa “Barang adalah tiap benda dan tiap hak
yang dapat menjadi obyek dari hak milik”. Dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan benda dalam pasal 499 KUHPerdata ini adalah segala
sesuatu yang dapat dikuasai dengan hak milik tanpa memperdulikan jenis dan
wujudnya. Sehingga hak kebendaan (zakelijk recht) adalah hak yang memberikan kekuasaan langsung atas benda dan dapat dipertahankan
terhadap siapa pun juga10.
Asas itikad baik (good faith) sebagaimana yang termaktub pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yaitu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.
F. Kerangka Konseptual
10
Dalam penelitian ini, digunakan beberapa istilah berdasarkan
dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 sebagai landasan
konseptual untuk menghindari pemahaman yang berbeda mengenai definisi
atau pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berkut :
1. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa.
2. Merek Dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara
bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang
sejenis lainnya
3. Permohonan adalah permintaan pendaftaran merek yang diajukan
secara tertulis kepada Direktorat Jenderal.
4. Pemeriksa adalah pemeriksa merek yaitu pejabat yang karena
keahliannya diangkat dengan Keputusan Menteri, dan ditugasi untuk
melakukan pemeriksaan terhadap permohonan pendaftaran merek.
12
negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu
selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah
ditentukan berdasarkan Paris Convention for the Protection of Industrial Property.
6. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada
pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak
(bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik
untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa didaftarkan
dalam jangka waktu dan syarat tertentu.
7. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual yang berada di bawah kementrian yang dipimpin oleh
Menteri.
8. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki
keahlian di bidang hak kekayaan intelektual dan secara khusus
memberikan jasa di bidang pengajuan dan pengurusan
permohonan paten, merek, desain industri serta bidang-bidang
hak kekayaan intelektual lainnya dan terdaftar sebagai Konsultan
Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal.
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif atau kepustakaan yang menekankan terhadap literatur
normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti
bahan pustaka atau data sekunder berkala.
2. Pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk mencari jawabannya11.
a. Pendekatan perundang-undangan
1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
2. KUHPerdata
3. TRIPs (Trade Related Aspects Of Intelectual Property)
4. Madrid Agreement 5. Paris Convention 6. Trademark Law Treaty
b. Pendekatan kasus.
Dalam Proposal ini menggunakan putusan Pengadilan Niaga
69/PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst antara Advanced Beauty
Systems Inc. (penggugat) yang berkedudukan di Suite 400 57201 BJ
Freeway, Dallas, Texas 75240 Amerika Serikat. melawan Sherly
Nyolanda (tergugat) yang berkedudukan di Indonesia.
c. Pendekatan konseptual
11
14
Pada penelitian ini penulis menemukan beberapa definisi-definisi
berdasarkan Undang-Undang dan pendapat para ahli yang berkaitan
dengan judul skripsi ini.
3. Data dan Smber Data
Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu
data yang tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku
harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam
penelitian ini dapat dibagi atas 3 kelompok besar, yaitu:
a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari beberapa peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
b. Bahan hukum sekunder diperoleh penulis dari Buku-buku terkait
Hukum Kekayaan Intelektual khususnya mengenai merek, keterangan,
kajian, analisis tentang hukum positif seperti skripsi, makalah,
seminar, d.l.l.
c. Bahan hukum tertier yang dipergunakan penulis sebagai bahan yang
mendukung, memberi penjelasan bagi bahan hukum sekunder seperti
Kamus Besar Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Hukum.
4. Metode Pengumpulan Data
Alat-alat pengumpulan data, pada umumnya dikenal tiga jenis alat
pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan
yang dipergunakan dalam memperoleh data, maka alat pengumpulan data
yang dipergunakan adalah studi kepustakaan dan dokumen.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan
data melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku
yang berkaitan dengan merek, pendapat sarjana, artikel, kamus dan juga
berita yang penulis peroleh dari internet.
5. Metode Pengolahan dan Analisa Data
Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisis secara
deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisa data
yang mengelompakan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai
sumber kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian,
kemudian dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik
kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.
6. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
H. Sistematika Penulisan Skripsi
16
penelitian ini, penulis akan memberikan gambaran umum secara sistematis
tentang keseluruhan penelitian ini berdasarkan buku pedoman skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun susunan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, metode penelitian, dan sistematika skripsi.
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEREK DAN
MEREK DAGANG ASING
Bab ini menguraikan mengenai definisi, tujuan, fungsi,
jenis merek dan pengertian merek asing serta kriteria
mengenai merek terkenal.
BAB III BENTUK PERLINDUNGAN MEREK ASING
BERDASARKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL DAN KONVENSI
INTERNASIONAL SERTA DAMPAK
PELANGGARAN MEREK ASING TERHADAP
PERKEMBANGAN INVESTASI ASING DI
Dalam bab ini menguraikan mengenai peraturan
perundang-undangan nasional serta konvensi
internasional yang mengatur tentang merek seperti
TRIPs, Paris union Convention, Madrid Agreement,
Trademark Law Treaty, serta dampak pelanggaran merek asing ini terhadap perkembangan investasi asing
di Indonesia
BAB IV ANALISIS PUTUSAN
Pada bab ini akan mengkaji Putusan Pengadilan Niaga
69/PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst antara
Advanced Beauty Systems Inc. (penggugat) yang
berkedudukan di Suite 400 57201 BJ Freeway, Dallas,
Texas 75240 Amerika Serikat. melawan Sherly
Nyolanda (tergugat) yang berkedudukan di Indonesia.
BAB V PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran penulis berdasarkan
18
BAB II
TINJAUAN UMUM MEREK DAN MEREK DAGANG ASING
A. Tinjauan Umum Merek
1. Pengertian Merek
Secara yuridis definisi merek berdasarkan Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mendefinisikan merek adalah sebagai tanda
yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna,
atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 membagi merek
menjadi dua jenis yaitu, merek dagang dan merek jasa. Pada pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mendefinisikan merek dagang
adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum
untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya, Sedangkan pada
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mendefinisikan
merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum
untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Menurut H.M.N.
Purwo Sutjipto, S.H., Merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda
sejenis1. Pendapat H.M.N. Purwo Sutjipto, S.H., lebih menekankan pada
suatu tanda tertentu yang dipribadikan, hal tersebut dimaksudkan untuk
membedakan satu benda dengan benda lainnya yang sejenis.
Menurut Drs. Iur Soeryatin Suatu merek dipergunakan untuk
membedakan barang yang bersangkutan dari barang sejenis lainnya oleh
karena itu, barang yang bersangkutan dengan diberi merek tadi mempunyai;
tanda asal, nama, jaminan, terhadap mutunya2. Pendapat Drs. Iur Soeryatin
lebih menekankan pada pembedaan dengan barang yang sejenis dengan
memberikan tanda asal, nama, dan jaminan mutunya.
Menurut Harsono Adisumitro, S.H.,MPA, merek adalah tanda
pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik orang lain,
seperti pada pemilikan ternak dengan memberi tanda cap pada punggung
sapi yang kemudian dilepaskan di tempat penggembalaan bersama yang
luas. Cap seperti itu memang merupakan tanda pengenal untuk
menunjukkan bahwa hewan yang bersangkutan adalah milik orang tertentu.
Biasanya, untuk membedakan tanda atau merek digunakan inisial dari mana
pemilik sendiri sebagai tanda pembedaan3. Pendapat Harsono Adisumitro,
S.H.,MPA lebih menekankan merek sebagai tanda kepemilikan seseorang
1
H.M.N. Purwo Sutjipto, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1984), h. 82
2
Suryatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), h. 84 3
20
atas barangnya dengan menggunakan inisial, hal tersebut dimaksudkan agar
memiliki daya pembeda dengan barang milik orang lain.
2. Fungsi Merek
Suatu merek menjalankan beberapa fungsi sekaligus, baik dalam
hubungannya dengan pemilik merek itu sendiri maupun dengan para
konsumen pada umumnya4.
1. Fungsi Tanda untuk Membedakan (Distinctitive Function)
Suatu merek memberikan identitas atau kepribadian pada
barang-barang atau jasa-jasa yang ditandai merek tersebut, dan sekaligus juga
memperbedakan barang atau jasa-jasa tersebut dari
barang-barang atau jasa-jasa sejenis yang diproduksi dan diperdagangkan oleh
lain-lain produsen, pedagang dan pengusaha bidang jasa.
Dengan adanya merek pada barang-barang dagangan, para
konsumen dapat membedakan atau memilih barang-barang, maka tidak
ada kebanggaan akan hasil karya para produsen, karena dengan
demikian tidak akan diperoleh pujian jika barangnya bermutu tinggi dan
sebaliknya, tidak dapat diketahui siapa yang harus bertanggung jawab
jika barang-barang itu bermutu rendah. Dalam keadaan tidak adanya
merek pada hasil-hasil produksi, maka timbul persaingan untuk
4
memproduksi barang-barang yang bermutu serendah mungkin, karena
ongkos produksinya menjadi lebih murah dan dengan demikian, akan
lebih menguntungkan. Lagi pula, tidak akan dapat diketahui oleh
konsumen siapa produsen dari barang-barang tanpa merek itu.
Seperti halnya manusia, demikina juga dengan barang-barang,
jika tidak ada merek dagang sebagai “nama pribadi” dari barang-barang
tersebut, maka akan sulit bagi konsumen membedakan yang baik dan
yang buruk. Dengan demikian, merek dagang mutlak diperlukan untuk
memberikan kepribadian pada barang-barang, sehingga setiap barang
dapat dikenal oleh para konsumen baik karena mendengar dari orang
lain ataupun karena pengalaman sendiri.
2. Fungsi Jaminan Mutu (Quality Product Function)
Merek dagang dari barang-barang yang dibeli oleh para
konsumen, lambat laun akan membentuk kesan di dalam ingatan
konsumen yang bersangkutan bahwa merek dagang tersebut merupakan
lambang dari mutu barang-barangnya.
Sebagai lambang dari mutu barang, merek memberikan jaminan
kepada para konsumen bahwa barang yang dibeli pada hari ini akan
sama mutunya dengan barang yang sama mereknya yang dibeli olehnya
kemarin, dan setereusnya. Dalam hal ini, perlu dimengerti bahwa suatu
merek tidak selalu merupakan jaminan akan mutu yang tinggi dari
barang-barangnya, tetapi lebih cendrung merupakan jaminan akan
22
Dengan demikian, maka apabila seorang konsumen tidak menyukai
suatu barang yang memakai merek dagang tertentu, dengan adanya
merek itu, ia dapat menolak untuk membeli lagi barang termaksud.
Sebaliknya, apabila ian menyukai suatu barang tertentu, maka dengan
adanya merek dagang pada barang tersebut, ia akan selalu dapat
memilih barang dengan merek yang sama.
Jaminan akan mutu barang ini bukan merupakan suatu keharusan
yang berdasarkan ketentuan dari peraturan perundang-undangan, karena
pada dasarnya para produsen bebas untuk mengubah mutu dari
barang-barang hasil produksinya. Namun demikian, perubahan mutu barang-barang
bukanlah sesuatu hal dapat dilakukan oleh para produsen tanpa
pertimbangan yang masak, karena apabila seorang produsen dengan
gegabah mengubah mutu barang-barang hasil produksinya yang sudah
digemari oleh masyarakat banyak, hal itu sama saja dengan melakuakan
bunuh diri. Dalam hal terjadi perubahan mutu barang, jika perubahan
tersebut tidak sesuai dengan selera para konsumen, maka karena
konsumen mengharapkan mutu yang tetap sama, besar
kemungkinannya konsumen yang bersangkutan akan segera berhenti
menjadi pembeli tetap dari barang-barang yang memakai merek
tersebut.
Merek berfunsi pula sebagai pemberi daya tarik pada
barang-barang dan jasa-jasa, dan sekaligus juga merupakan iklan atau reklame
bagi barang-barang atau jasa-jasa yang ditandai dengan merek tersebut.
Di samping merek dagangnya sendiri, kemasan atau bungkus dari
barang-barang merupakan media iklan yang langsung dapat dilihat oleh
para konsumen sendiri.
Daya tarik dari suatu merek itu sangat penting untuk menarik
perhatian pembeli dan dalam hal ini, kesan pada pandangan pertama
sangat mempengaruhi penentuan sikap dari para pembeli. Fungsi daya
tarik ini makin penting peranannya, terutama dalam sistem penjualan
modern di toko-toko serba ada, dimana barang-barang dikelompokkan
menurut menurut jenisnya sehingga persaingan di antara barang-barang
sejenis yang berasal dari berbagai produsen/pedagang sangatlah
ketatnya.
Agar mempunyai daya tarik, suatu merek biasanya dibuat
berbentuk singkat sugestif, dengan warna-warna yang menarik atau
dengan corak khusus, semuanya dengan tujuan agar mudah diingat oleh
para konsumen, sehingga setiap kali hendak membeli barang-barang
kesukaanya, konsumen yang bersangkutan dengan mudah dapat
menemukannya di antara kumpulan berbagai merek-merek dari
barang-barang yang sejenis yang berasal dari berbagai produsen/pedagang.
24
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengatur tentang jenis-jenis
merek, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) dan (3)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yaitu merek dagang dan merek jasa.
Di samping jenis merek sebagaimana yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, ada juga pengklasifikasian lain yang
didasarkan kepada bentuk atau wujudnya.
Bentuk atau wujud merek itu Suryatin dimaksudkan untuk
membedakan dari barang sejenis milik orang lain. Oleh karena adanya
pembedaan itu, maka terdapat bebrapa jenis merek yakni5:
1. Merek lukisan (beel mark) 2. Merek kata (word mark) 3. Merek bentuk (form mark)
4. Merek bunyi-bunyian (klank mark) 5. Merek judul (title merk)
Selanjutnya R.M Suryodiningrat mengklasifikasikan merek dalam tiga
jenis yaitu: 6
1. Merek kata yang terdiri dari kata-kata saja. Misalnya: Good Year,
Dunlop, sebagai merek untuk ban mobil dan ban sepeda.
2. Merek lukisan adalah merek yang terdiri dari lukisan saja yang tidak
pernah, setidak-tidaknya jarang sekali dipergunakan.
5
Suryatin, Hukum Dagang I dan II, h. 87 6
3. Merek kombinasi kata dan lukisan, banyak sekali dipergunakan.
Misalnya: Rokok putih merek “Escort” yang terdiri dari lukisan
iring-iringan kapal laut dengan tulisan di bawahnya “Escort”.
4. Merek Yang Dapat dan Tidak Dapat Didaftarkan
Sebuah merek dapat disebut merek bila memenuhi syarat mutlak
berupa adanya daya pembeda yang cukup (capable of distinguishing). Maksudnya, tanda yang dipakai (sign) tersebut mempunyai kekuatan untuk membedakan barang atau jasa yang diproduksi sesuatu perusahaan
dari perusahaan lainnya. Untuk mempunyai daya pembeda ini, merek
harus dapat memberikan penentuan (individualisering) pada barang atau jasa yang bersangkutan7.
Tidak semua tanda yang memnuhi daya pembeda dapat didaftar
sebagai sebuah merek. Permohonan pendaftaran merek yang diajukan
pemohon yang beritikad tidak baik tidak dapat didaftar. Pasal 4
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menyatakan bahwa merek yang tidak
dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang
beritikad tidak baik. Pemilik merek yang beritikad baik adalah pemilik
yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa apa pun untuk
membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi
kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain
7
26
menimbulkan persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan
konsumen8.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menyatakan,
merek tidak dapat didaftar apabila merek tersebut mengandung salah satu
unsur di bawah ini9:
1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Tanda-tanda yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku tidak dapat diterima sebagai merek,
karenanya tidak dapat didaftar. Hanya tanda-tanda yang tidak
bertentangan dengan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang dapat diterima sebagai merek, selanjutnya dapat
didaftar. Demikian pula dilarang pemakaian tanda-tanda yang
menurut pandangan masyarakat umum maupun golongan
masyarakat tertentu bertentangan dengan moralitas agama,
kesusilaan, atau ketertiban umum, terutama tanda-tanda yang dapat
menimbulkan salah paham di kalangan pembeli. Dalam pengertian
bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban
umum adalah apaabila penggunaan tanda tersebut dapat
menyinggung perasaan, kesopanan, ketentraman, dan keagamaan
8
Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, (Bandung: PT Alumni, 2003) h. 326
9
dari khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu.
Misalnya penggunaan nama Allah dan Rasul-Nya.
2. Tidak memiliki daya pembeda.
Sesuai dengan sifat merek sebagai suatu tanda untuk membedakan
produk barang atau jasa seseorang atau badan hukum dengan barang
atau jasa sejenis orang lain atau badan hukum, maka tanda yang
tidak memiliki daya pembeda tidak dapat diterima sebagai merek.
Suatu tanda dianggap tidak memiliki daya pembeda apabila tanda
tersebut terlalu sederhana, seperti satu tanda garis atau satu tanda
titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas. Misalnya, lukisan
atau warna barangnya sendiri, atau likisan botol atau kotak yang
dipergunakan untuk barang tersebut. Angka-angka dan huruf-huruf
juga tidak mempunyai daya pembedaan sebagai merek oleh karena
lazim dipergunakan sebagai keterangan-keterangan mengenai
barang yang bersangkutan.
3. Telah menjadi milik umum
Tanda-tanda yang bersifat umum dan menjadi milik umum juga
tidak dapat diterima sebagai merek. Misalnya tanda tengkorak
diatas dua tulang yang bersilang, yang secara umum telah diketahui
sebagai tanda bahaya. Tanda seperti itu adalah tanda yang bersifat
umum dan telah menjadi milik umum dan selayaknya tidak dapat
dipergunakan sebagai suatu tanda tertentu untuk keperluan pribadi
28
dapat dipergunakan secara bebas di dalam masyarakat. Oleh karena
itu, tanda-tanda yang demikian tidak dapat digunakan sebagai
merek.
4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya.
Sebuah merek yang berisikan keterangan atau berkaitan dengan
barang atau jasa yang akan dimohonkan pendaftarannya juga tidak
dapat diterima untuk didaftar sebagai merek, karena keterangan
[image:39.595.120.512.229.610.2]tersebut tidak mempunyai daya pembeda. Misalnya merek kopi atau
gambar kopi untuk jenis barang kopi atau untuk produk kopi.
B. Tinjauan Merek Dagang Asing
1. Pengertian Merek Asing
Salah satu prinsip terpenting dari Konvensi Paris adalah tentang
persamaan perlakuan yang mutlak antara orang asing dengan warga negara
sendiri. Prinsip “National Treatment” atau prinsip asimilasi (Principle Of
Assimilation) yaitu seorang warga negara dari suatu negara peserta uni, akan memperoleh pengakuan dan hak-hak yang sama seperti seorang warga
negara dimana mereknya didaftarkan10.
Prinsip “National Treatment” atau prinsip asimilasi (Principle Of Assimilation) ini dimaksudkan untuk melindungi merek asing yang
10
didaftarkan di negara peserta Konvensi Paris termasuk Indonesia.
Pengertian merek asing menurut peraturan perundang-undangan di
Indonesia tidakdidefinisikan secara pasti. Berdasarkan pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun2001 dapat ditarik kesimpulan mengenai
pengertian merek asing yaitu suatu merek yang diajukan oleh pemilik yang
berhak atas merek tersebut yang tidak bertempat tinggal atau
berkedudukan tetap di luar wilayah negara Indonesia.
2. Kriteria Merek Terkenal
Pasal 6 bis Paris Convention tidak memberikan definisi atau kriteria tentang merek terkenal tetapi diserahkan sepenuhnya pada masing-masing
negara anggota konvensi. Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri
Kehakiman RI No. M.03-HC.02.01 Tahun 1991 tentang penolakan
permohonan pendaftaran merek terkenal yang mempunayi persamaan
dengan merek orang lain atau milik badan lain, memberikan kriteria
mengenai merek terkenal yaitu meliputi;
1. Merek dagang yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada
barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan;
30
Kriteria merek terkenal tidak hanya didasarkan pada pengetahuan umum
masyarakat, tetapi juga didasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan
yang telah diperoleh karena promosi yang telah dilakukan pemiliknya11.
3. Ketentuan Khusus Pendaftaran Merek Terkenal
Usaha untuk meraih predikat merek terkenal terhadap suatu produk
bukan hal yang mudah. Pemilik merek membutuhkan waktu dan biaya
yang tidak sedikit untuk menjadikan mereknya merek terkenal. Salah satu
caranya adalah denganmendaftarkan mereknya diberbagai negara. Hal itu
menuntut diperlukannya ketentuan khusus dalam pendaftaran merek
terkenal, karena kalau suatu barang sudah terkenal dengan merek tertentu
maka merek inilah yang dijadikan pegangan untuk memperluas pasaran luar
negeri dari barang yang bersangkutan12.
Permohonan pendaftaran merek dalam daftar umum dapat ditolak
sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 apabila merekyang didaftarkan
a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk
barang dan/atau jasa yang sejenis.
b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau
sejenisnya.
11
Sudargo Gautama, PembaharuanHukum Merek Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti , 1997), h. 57
12
Dalam Pasal 6 bis Paris Convention versi Stockholm 1967, menentukan bahwa merek terkenal yang telah dipakai oleh pemakai
merek yang beritikad tidak baik, maka dapat selalu dapat dimintakan
pembatalannya atau dilakukan pembatalan oleh pejabat yang berwenang.
Dalam pasal 6 bis ayat (3) menyatakan “No time limit shall be fixed for requesting the cancellation or the prohibition of the use of marks registered or used in bad faith”. Maksudnya adalah tidak ada batas waktu yang ditentukan untuk meminta pembatalan dari merek itu atau
larangan untuk memakai merek terdaftar tersebut jika dipakainya dengan
32
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK ASING DAN
DAMPAKNYA TERHADAP PERKEMBANGAN INVESTASI ASING DI
INDONESIA
A. Perlindungan Hukum Terhadap Merek Asing
Sejarah perdagangan menunjukan, bahwa merek semula digunakan
dalam perdagangan sebagai tanda pemilikan atas barang, hal ini bisa
ditemukan pada praktek menandai ternak dengan tanda khusus, ataupun
praktek penandaan barang yang akan dikirim melalui laut agar memudahkan
identifikasi pada saat terjadi kecelakaan1. Hal ini dilakukan tidak lain untuk
membedakan suatu produk dengan produk yang lain.
Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat banyak tindakan
persaingan tidak sehat terhadap merek asing khususnya merek asing yang
telah terkenal.
Perlindungan atas merek pada dasarnya merupakan bagian dari
perlindungan hukum terhadap persaingan tidak sehat yang adalah perbuatan
melanggar hukum di bidang perdagangan. Secara garis besar, perlindungan
hukum atas merek ditujukan kepada dua kepentingan yaitu kepentingan
1
pemilik merek (produsen/pedagang) dan kepentingan konsumen atau
khalayak ramai pada umumnya, dimana kedua kepentingan tersebut
terlindungi secara seimbang dan tidak berat sebelah. Secara menyeluruh,
kepentingan-kepentingan yang hendak dilindungi oleh hukum merek dapat
dipisah-pisahkan menjadi empat kelompok berikut2.
1. Kepentingan pemilik merek untuk tidak diganggu gugat dalam hubungan
baiknya dengan para konsumen, yang telah dibina olehnya dipasar
melalui penggunaan suatu merek tertentu, serta dalam harapan yang
wajar untuk memperoleh langganan tetap pada masa mendatang, yang
kesemuaannya itu terjamin oleh pengenalan masyarakat kepada merek
tersebut, yang menunjukan bahwa pemilik merek itu adalah produsen
dari barang yang bersangkutan.
2. Kepentingan para produsen atau para pedagang lainnya yang bersaing,
untuk bebas memasarkan barang-barangnya dengan memakai
tanda-tanda umum yang dapat dipakai oleh siapa saja, dan yang seharusnya
tidak boleh dimonopoli oleh siapapun sehingga tidak merugikan
kebebasan mereka untuk menjual barang-barangnya dalam persaingan
yang jujur dan sah.
3. Kepentingan para konsumen untuk dilindungi terhadap praktik-praktik
yang cendrung hendak menciptakan kesan-kesan yang dapat
menyesatkan dan menipu atau membingungkan konsumen, dengan cara
2
34
mempengaruhi pikiran konsumen bahawa suatu perusahaan adalah sama
dengan dengan perusahaan lain, atau hasil-hasil dari suatu perusahaan itu
juga berasal dari perusahaan yang lain tersebut.
4. Kepentingan umum untuk memajukan perdagangan yang jujujr di
pasar-pasar, serta untuk mencegah timbulnya praktik-praktik yang tidak jujur
dan bertentangan pula dengan norma-norma kepatutan dalam
perdagangan.
Jadi perlindungan atas merek diciptakan sebagai bentuk perlindungan
dari berbagai kepentingan, yaitu kepentingan pemilik merek
(produsen/pedagang) dan kepentingan konsumen ataupun khalayak ramai
pada umumnya.
Perlindungan terhadap merek asing terdapat dalam konvensi
Internasional dan di Indonesia sendiri perubahan Undang-Undang merek
sebanyak empat kali, terakhir dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001,
hal ini menunjukkan bahwa eksistensi merek asing apalagi merek yang sudah
terkenal dilindungi di Indonesia.
1. Perlindungan Merek Asing Dalam Konvensi Internasional
a. Paris Convention
Indonesia menjadi anggota dari Paris Convention melalui Keppres Nomor 24 Tahun 1979 dengan disertai pengecualian terhadap
Pasal 1 sampai dengan Pasal 12 dan Pasal 28 ayat (1). Terhadap
Keppres Nomor 15 Tahun 1997 tentang perubahan Keppres Nomor 24
Tahun 1979, sehingga Pasal 1 sampai pasal 12 itu kemudian berlaku
juga di Indonesia.
Pada Pasal 2 dan 3 Paris Convention, berlaku prinsip non diskriminatif, akibatnya hukum yang berlaku dinegara sendiri berlaku
juga untuk orang asing yang merupakan warga negara dari peserta
Paris Convention.
Pada Pasal 4 Paris Convention pendaftaran merek dapat diberikan hak prioritas. Jadi seseorang yang sudah mendaftarkan hak milik
intelektualnya di suatu negara akan diberi prioritas dengan bentuk
kelonggaran waktu untuk mendaftarkan haknya di negara lain selama 6
bulan.
Persyaratan pengajuan dan pendaftaran merek dagang ditentukan
berdasarkan Pasal 6 Paris Convention, ditentukan oleh undang-undang setempat masing-masing negara anggota Paris Convention. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing negara anggota dapat menggunakan
patokan-patokan sendiri yang ditetapkan dalam undang-undangnya
untuk menentukan masa berlakunya suatu merek dagang.
Bentuk perlindungan merek terkenal terletak pada Pasal 6 bis,
yang menyebutkan bahwa masing-masing anggota di suatu negara
harus menolak permohonan pendaftaran yang sama atau mirip dengan
merek yang dianggap terkenal di negara itu. Konvensi ini juga tidak
36
ayat (3) disebutkan bahwa pembatalan merek terdaftar yang dipalsukan
tanpa itikad baik dapat diajukan kapan saja tanpa ada batas waktunya.
Menurut pasal ini, suatu itikad tidak baik muncul ketika seseorang
mendaftarkan suatu merek tanpa hak, yang merupakan merek terkenal
dan mengambil keuntungan dari kebingungan yang ditimbulkan oleh
merek tersebut.
b. Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)
Indonesia menjadi negara anggota dalam TRIPs melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994. Ketentuan tentang merek dapat dilihat pada
bagian 2 Pasal 16 ayat (2) menyebutkan “Article 6bis of the Paris Convention (1967) shall apply, mutatis mutandis, to services. In determining whether a trademark is well-known, Members shall take account of the knowledge of the trademark in the relevant sector of the public, including knowledge in the Member concerned which has been obtained as a result of the promotion of the trademark”. Pasal 16 ayat (2)
TRIPs ini mengatur unsur penting yang harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah suatu merek itu adalah merek terkenal atau tidak.
Dalam hal ini yang menjadi pertimbangan merek itu terkenal atau tidak
adalah pengetahuan masyarakat tentang merek tersebut dalam sektor
publik yang relevan. Pasal ini juga menyatakan Pasal 6 Paris Convention
dipakai secara mutlak untuk jasa.
services which are not similar to those in respect of which a trademark is registered, provided that use of that trademark in relation to those goods or services would indicate a connection between those goods or services and the owner of the registered trademark and provided that the interest of the owner of the registered trademark are likely to be damaged by such use”. Maksud dari Pasal 16 ayat (3) TRIPs ini adalah bahwa yang
penting berkenaan dengan perlindungan merek terkenal untuk barang dan
atau jasa yang tidak sejenis, yaitu bahwa jika terdapat kesan keterkaitan
yang erat antara barang yang menggunakan merek tersebut dengan
produsennya dan jika pemakaian atau pendaftaran oleh orang lain untuk
barang yang tidak sejenis sekalipun akan dapat merugikan kepentingan si
pemilik merek terdaftar itu. Dalam hal ini faktor “confusion of business
connection” merupakan salah satu pertimbangan untuk menentukan
apakah merek yang sama dengan merek terkenal, akan tetapi didaftarkan
untuk barang yang tidak sejenis itu bisa ditolak atau dibatalkan3.
c. Madrid Agreement
Jumlah anggota dari Madrid Agreement saat ini adalah 28 negara, dan Cina baru-baru ini telah menandatanganinya. Indonesia
sendiri sampai saat ini belum mendaftarkan dirinya terhadap konvensi
ini.
Pasal 1, 2, dan 3 Madrid Agreement menentukan bahwa Madrid Agreement berhubungan dengan perjanjian hak merek dagang melalui
3
38
pendaftaran merek dagang internasional yang berdasarkan pendaftaran di
negara asal.
Pendaftaran internasional tersebut memungkinkan diperolehnya
perlindungan merek dagang di seluruh negara anggota Madrid Agreement melalui satu pendaftaran saja, tetapi perlindungan ini bukan perlindungan seragam, melainkan perlindungan terhadap negara anggota
terhadap warga negaranya (Pasal 4 ayat (1)).
Jika pendaftaran internasional itu dilakukan dalam jangka waktu 6
bulan setelah tanggal pengajuan permohonan di negara asal,
perlindungan berdasarkan pendaftaran internasional akan memperoleh
prioritas berlaku surut sejak tanggal pengajuan permohonan pertama4.
Pendaftaran internasional dinyatakan tidak berlaku jika dalam
jangka waktu 5 tahun pertama pendaftaran internasional tersebut,
pendaftaran dasar di negara asal dicabut atau tidak diberlakukan. Setelah
jangka 5 tahun, tuntutan atas pencabutan merek dagang harus dibuat
bebas di masing-masing negara yang memberlakukan merek dagang itu
(Pasal 6). Pendaftaran internasional berlaku selama 20 tahun dan dapat
diperbaharui (Pasal 7).
d. Trademark Law Treaty
Trademark Law Treaty mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1996. Indonesia sendiri menjadi bagian dari konvensi ini melalui
4
Keppres Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Trademark Law Treaty.
Pada dasarnya Trademark Law Treaty ini mengatur masalah prosedural dalam hal pendaftaran merek berupa persyaratan maksimum
untuk mengajukan permohonan pendaftaran, pencatatan perubahan nama
dan alamat, pencatatan perubahan pemilik serta pembaharuan merek.
Pada Trademark Law Treaty terdapat beberapa pasal mengenai perlindungan merek terkenal, sebagaimana yang terdapat pada Pasal 15
dan 16 Trademark Law Treaty.
Pada Pasal 15 Trademark Law Treaty mengharuskan negara anggota untuk mengikuti ketentuan-ketentuan dalam Paris Convention
tentang merek. Trademark Law Treaty tidak mengharuskan untuk menjadi anggota Paris Convention, tetapi cukup hanya sebagai anggota WIPO. Jadi untuk negara-negara yang bukan anggota dari Paris Convention, dalam Trademark Law Treaty berlaku juga ketentuan-ketentuan tentang merek termasuk Pasal 6 bis Paris Convention.
Sedangkan pada Pasal 16 menjelaskan bahwa anggota Trademark Law Treaty wajib mengikuti ketentuan Pasal 6 bis Paris Convention terhadap merek dagang dan merek jasa.
2. Perlindungan Merek Asing dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
40
a. Pengertian merek menurut Undang-Undang ini yaitu dalam Pasal 1 ayat
(1) adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa. Jenis-jenis merek menurut Pasal 1 ayat (2) dan (3)
Undang-Undang ini adalah merek dagang dan merek jasa.
b. Prinsip itikad baik menurut Undang-Undang ini terdapat pada Pasal 4,
dimana suatu merek tidak dapat didaftar atas permohonan yang
diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.
c. Suatu merek dapat ditolak menurut Pasal 6 ayat (1) adalah jika
mempunyai persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan dengan
merek atau pihak lain yang sudah mendaftar terlebih dahulu untuk
barang dan jasa yang sejenis, atau dengan merek yang sudah terkenal
milik pihak lain untuk barang dan atau jasa yang sejenis, atau
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
indikasi geografis yang sudah dikenal. Dengan demikian Pasal 6 ini
sejalan dengan Pasal 6 bis Paris Convention.
d. Ketentuan Pasal 6 ayat (2), sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat
(1) dapat pula diberlakukan terhadap barang dan atau jasa yang tidak
sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
e. Menurut ketentuan pasal 6 ayat (3) permohonan juga harus ditolak oleh
nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang
lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak atau merupakan
tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang
atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun
internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang
berwenang atau merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau
stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah,
kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
f. Undang-Undang ini menganut sistem pendaftaran secara konstitutif
dengan syarat dan tata cara permohonan sebagaimana yang telah diatur
dalam Pasal 7-10. Permohonan pendaftaran yang menggunakan hak
prioritas diatur dalam Pasal 11 dan 12, yaitu dengan jangka waktu
paling lama 6 bulan sejak tanggal penerimaan permohonan pendaftaran
merek yang pertama kali di negara lain yang merupakan anggota Paris Convention.
g. Penghapusan pendaftaran merek dari daftar umum merek dapat
dilakukan atas prakarsa Direktorat Jenderal atau berdasarkan
permohonan pemilik merek yang bersangkutan. Menurut Pasal 61,
penghapusan pendaftaran merek dapat dilakukan apabila terdapat bukti
yang cukup bahwa merek yang bersangkutan:
1) Merek tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam
perdagangan barang dan atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau
42
2) Digunakan untuk jenis barang dan atau jasa yang tidak sesuai
dengan jenis barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya
atau tidak sesuai merek yang didaftar.
3) Adanya larangan impor, larangan yang berkaitan dengan izin bagi
peredaran barang yang menggunakan merek yang bersangkutan
atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara;
atau larangan serupa lainnya yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
h. Menurut Pasal 69, gugatan pembatalan pendaftaran Merek hanya dapat
diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran
merek. Batas waktu ini tidak ada apabila merek yang bersangkutan
bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban
umum.
i. Pada Pasal 76 Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001
menyebutkan, penyelesaian sengketa terhadap merek dapat dilakukan
melalui ganti rugi, atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan
dengan merek yang bersangkutan.
B. Dampak Pelanggaran Merek Asing Terhadap Perkembangan Investasi
Asing Di Indonesia
Cita-cita negara Republik Indonesia adalah sebagaimana yang
terdapat pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu tidak lain untuk
membalikan telapak tangan, namun butuh kerja keras dari semua pihak. Salah
satu cara untuk mencapai cita-cita itu adalah negara harus melaksanakan
pembangunan di berbagai sektor.
Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk melaksanakan pembangunan
tersebut membutuhkan modal yang tidak sedikit, apabila hanya
mengandalkan modal dan sumber dana pemerintah, hampir dapat dipastikan
agak sulit mencapai kesajahteraan masyarakat tersebut. Untuk itu dibutuhkan
sumber dana lain, salah satu sumber tersebut melalui investasi modal asing5.
Keberadaan investasi yang ditanamkan oleh investor asing ini, ternyata
memberikan dampak positif di dalam pembangunan suatu negara. Dampak
positif tersebut dikemukakan oleh Adi Harsono berdasarkan bukti-bukti dari
keberadaan investasi asing atau perusahaan asing, diantaranya6;
1. Masalah gaji.
Perusahaan asing membayar gaji pegawainya lebih tinggi dibandingkan
gaji rata-rata nasional. Di Amerika misalnya, perusahaan asing
membayar 4% lebih tinggi pada tahun 1989 dan 6% lebih tinggi pada
tahun 1996 dibandingkan perusahaan domestik.
2. Perusahaan asing menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat
dibandingkan perusahaan domestik sejenis. Di Amerika, jumlah lapangan
kerja yang diciptakan perusahaan asing menncapai 1,4% per tahun dari
1989 sampai dengan 1996. Dandingkan dengan 0,8% yang diciptakan
5
Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 3-4 6
44
oleh perusahaan domestik. Di Inggris dan Prancis, lapangan kerja di
perusahaan asing naik 1,7% per tahun, sebaliknya lapangan kerja di
perusahaan domestik justru menyusut 2,7%.
3. Perusahaan asing tidak segan-segan mengeluarkan biaya di bidang
pendidikan. Jumlah pelatihan dan di bidang penelitian (R&D) di negara
tempat mereka menanamkan investasinya mencapai 12% dari total
pengeluaran (R&D) di Amerika Serikat, di Prancis 19%, dan 40% di
Inggris.
Bukti-bukti yang telah dijabarkan tersebut memberikan pandangan
bahwa jika Indonesia mampu menarik minat investor asing untuk
menanamkan modalnya di Indonesia, serta mengolahnya secara tepat, bukan
tidak mungkin cita-cita negara untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakatnya akan tercapai. Namun jika jumlah investasi asing itu
mengalami penurunan, maka yang terjadi justru sebaliknya, pertumbuhan
ekonomi tidak akan tercapai, tingkat pengangguran bertambah dikarenakan
minimnya lapangan pekerjaan, dan hal tersebut akan berdampak pada tingkat
kemiskinan yang semakin bertambah7. Tentunya, jika hal itu terjadi maka
untuk mencapai cita-cita bangsa hanyalah hayalan belaka.
Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan investor asing ingin
menanamkan modalnya di suatu negara, tentunya hal itu bertujuan untuk
dapat menghasilkan keuntungan yang optimal dan juga dapat meminimalkan
kerugian. Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan investasi tersebut
7
adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, diantaranya
mencakup:8
1. Forum penyelesaian sengketa, baik melalui pengadilan nasional, badan
arrbitrase nasional dan internasional, maupun forum penyelesaian
sengketa alternatif lainnya.
2. Efektifitas keberlakuan dari hukum yang diterapkan dalam sengketa
tersebut.
3. Proses pengambilan keputusan yang cepat dengan biaya yang wajar.
4. Netralitas dan profesionalisme hakim, arbiter, atau pihak ketiga yang
diikutkan dalam proses pengambilan putusan.
5. Efektifitas pelaksanaan atau implement