(Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 631 K/Pdt.Sus/2012)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
ATIEK AF’ IDATA
1110048000010
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
PROGRAM STUDI I L M U HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi ini berjudul Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis
Putusan Mahkamah Agung No. 631/K/Pdt.Sus/2012), telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 2014 Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
DR. H. JM Muslimin, MA NIP. 196808121999031014
PANITIA UJIAN
Ketua : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., MA (...) NIP. 195003061976031001
Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum (...) NIP. 196509081995031001
Pembimbing I : Nahrowi, S.H., M.H. (...) NIP. 197302151999031002
Pembimbing II : Andi Syafrani, S.H.I., M.C.C.L. (...)
Penguji I : H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H. (...) NIP. 19740252001121001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan telah tercantum sesuai dengan ketentuan
yang ada pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan karya asli saya atau
jiplakan karya orang lain, maka saya siap dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 25 April 2014
Atiek Af’ Idata
ABSTRAK
Nama : Atiek Af’ Idata Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Skripsi : PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
(Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 631/K/Pdt.Sus/2012)
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peraturan mengenai Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional, serta praktek beracara yang dilakukan oleh lembaga peradilan di Indonesia terutama terkait hukum acara arbitrase asing. dalam penulisan ini Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi kepustakaan.
Hasilnya bahwa peraturan mengenai pembatalan putusan arbitrase internasional belum jelas dan lengkap, masih terdapat multi tafsir pada suatu pasal di UU AAPS yang menyatakan pembatalan putusan arbitrase dapat dilakukan dan prosedur pelaksanaan beracara yang tumpang tindih antara putusan arbitrase lokal atau internasional.
Hal tersebut dapat dilihat pada kasus antara Harvey Nichols and Company Limited melawan PT Harapan Nusantara dan PT Mitra Adi Perkasa, Tbk. Dimana kasus terebut erat kaitannya dengan upaya pembatalan suatu putusan arbitrase internasional dan adanya prosedur pelaksanaan kasasi terhadap putusan putusan PN Jakarta Pusat yang telah menolak gugatan Pemohon Pembatalan Putusan Arbitrase.
Upaya analisis ini dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain Undang-undang No. 30 Tahun 1999 mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Konvensi New York 1985, serta prinsip-prinsip yang digunakan dalam Hukum Perdata Internasional maupun Hukum Dagang Internasional.
Kata Kunci : Arbitrase, Arbitrase Internasional, Arbitrase Asing, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional
Dosen Pembimbing I : Nahrowi, S.H., M.H
Dosen Pembimbing II : Andi Syafrani, S.HI., MCCL
KATA PENGANTAR
Sebuah mimpi tak akan terwujud jika usahamu tak sebesar mimpimu. Dan “Aku adalah apa yang hambaKu fikirkan tentangKu”.
Selama menempuh Pembelajaran di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Program Studi Ilmu Hukum ini, tentu jalannya tak semudah kelihatannya. Banyak penyesuaian-penyesuaian yang Penulis jalankan dalam menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah ini, yang patut disyukuri ialah Penulis mendapatkan ilmu yang diselaraskan dengan ilmu agama.
Tidak Penulis pungkiri, bahwa dalam penulisan skripsi ini Penulis banyak menemui berbagai rintangan. Namun sebanyak apapun kesulitan itu, Penulis selalu mendapat motivasi besar untuk memacu semangat Penulis dalam menjalankan proses-proses untuk meraih gelar Sarjana Hukum, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik. Untuk itu Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT yang Rahman dan RahimNya menjadikan jaminan bahwa perjuangan Penulis akan selalu dilancarkan. IlmuNya meliputi langit dan bumi, bahkan alam semesta tak dapat menggambarkan keluasan ilmuNya. FirmanNya selalu menjadi benteng bagi Penulis dalam menjalani hidup, selalu memberikan kenikmatan yang tak ternilai.
3. DEKAN Fakultas Syariah dan Hukum Bp. JM. Muslimin, MA., Ph.D. yang sangat Penulis hormati, menjadi Guru, Pemimpin sekaligus menjadi Pengayom bagi Mahasiswa/i nya.
4. Ketua Jurusan Bp. Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA dan Sekretaris Jurusan Bp. Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum atas kesabarannya dan dedikasinya untuk Jurusan Ilmu Hukum begitu besar.
5. Pembimbing Penulis Bp. Nahrowi S.H., M.H dan Bp. Andi Syafrani S.HI., MCCL. atas semua nasihat, ilmu dan waktunya hingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
6. Ibu Masitoh dan ayahanda Bapak Zaenal Muslimin, telah menjadikan Penulis dewasa dan mandiri, jasa kalian tak akan sanggup Penulis balas dengan apapun. Tante Tuti Ulwiyah dan Om Syafrudin yang telah menjadi rumah kedua bagi Penulis. Reza Wahyu Prawira, Afien Aninnas dan Salman Al Farisi, kakak dan adik Penulis yang sangat mempengaruhi perkembangan Penulis, mendidik Penulis dengan cara yang berbeda.
7. Keluarga Besar alm. H. Naisan dan alm. Muslim, kedekatan dan kasih sayang kalian selalu menjadi bahan bakar bagi Penulis. Sebagai motivasi terhebat untuk Penulis, agar selalu berusaha menjadi manusia yang lebih baik lagi.
8. Sepupuku tercinta Alvi Muhibbah, Syifa Sakinah, Chairunnisa, Ulfa Fauziyah, Zakiyah Mulyani, Faiz Zakaria, kalian bukan hanya berperan sebagai sepupu, tetapi kalian adalah partner yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian Penulis.
Kendri dan tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Trimakasih telah sabar menjadi teman terbaik Penulis dalam berdiskusi. Dan kawanku di Lembaga Negara Hopsah, Setyo, M. Rizky dan khususnya Zikri Muliansyah yang telah banyak membantu kesulitan Penulis dalam menulis skripsi ini.
10.Keluarga Besar BLC (Business Law Community) UIN Jakarta, Nanda, Marwan, Dhani, Anto, Azhar dan yang tak dapat Penulis sebutkan di sini. Teruslah menjadi bagian dari keluarga besar BLC UIN yang solid dan maju.
11.Sahabat tercinta Penulis, Meryam Zahida, Puspita Anggraini, Annisa Suciati, Defi Rizky Amanda, Kilat Liliani Ningtyas, Arfan Zuhdi dan Cendy Tiara. Kalian sangat berperan dalam membentuk kedewasaan Penulis, bukan hanya sahabat, kalian adalah keluarga bagi Penulis. Dan Mas Furqon Wicaksono, timakasih atas kritikan, bimbingan dan kesabarannya yang secara lamban tapi pasti telah melatih mental Penulis menjadi lebih tangguh.
12.Keluarga Besar “KKN Garuda 18”, terimakasih untuk pembelajaran yang kalian berikan, sehingga Penulis termotivasi atas kegigihan kalian, atas sifat-sifat positif yang kalian tularkan kepada Penulis.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan nikmat dan kasih sayangnya untuk membalas kebaikan seluruh pihak yang telah membantu dan menjadi inspirasi bagi Penulis. Tidak ada gading yang tak retak, tentunya dalam penulisan skripsi ini banyak kekurangan. Namun demikian, besar harapan Penulis, karya tulis ini dapat memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang Hukum Bisnis.
Ciputat, April 2014
Atiek Af’ Idata
DAFTAR ISI
halaman
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Batasan dan Rumusan Masalah ... 7
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 8
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 9
F. Kerangka Teori dan Konseptual ... 10
G. Metode Penelitian ... 11
H. Sumber Penelitian ... 13
I. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE INTERNASIONAL A. Pengertian dan Perkembangan Arbitrase Internasional ... 17
B. Kekuatan Hukum Arbitrase Internasional (Choice of Forum, Choice of Law, Final and Binding) 1. Choice of Forum ... 22
3. Final and Binding ... 27
C. Pengakuan dan Pelaksanaan Arbitrase Internasional di Indonesia .. 28
BAB III PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL A. Ditinjau dari Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ... 34
B. Ditinjau dari Hukum Perdata Internasional ... 40
BAB IV ANALISIS YURIDIS PUTUSAN Mahkamah Agung RI No. 631/K/Pdt.Sus/2012 A. Posisi Kasus ... 47
B. Isi Putusan Mahkamah Agung ... 54
C. Analisis Putusan Hakim 1. Menurut Konvensi New York 1985 dan Hukum Perdata Internasional ... 56
2. Menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ... 62
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 69
A. Latar Belakang Masalah
Sengketa merupakan suatu kondisi dimana siapapun tak
menginginkannya, tetapi ada baiknya setiap subjek hukum menghindari maupun
mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan sengketa tersebut terjadi.1 Terlebih
dalam hal ini yang menjadi subjek hukum merupakan perusahaan yang
didalamnya memiliki kepentingan-kepentingan untuk meningkatkan profit (tujuan
ekonomi) perusahaan tersebut. Tentunya hal ini dapat memicu terjadinya suatu
benturan kepentingan yang berujung pada sengketa.
Kelemahan yang dimiliki oleh proses Pengadilan „meja hijau‟ dan
kelebihan-kelebihan tersendiri dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase,
membuat Arbitrase menjadi primadona. Dengan keunggulannya bahwa, proses
penyelesaian sengketa melalui arbirase kerahasiaannya dapat terjamin dengan
baik. Selain itu seorang arbiter yang dipilih secara seksama dan sesuai
kesepakatan kedua belah pihak tentunya, harus memiliki pengetahuan khusus
berkaitan dengan sengketa tersebut. Sehingga dalam pengambilan keputusannya
1
dapat bersifat praktis.2 Hal ini yang menjadikan suatu kelebihan tersendiri dalam
proses ber-arbitrase.
Pemilihan seorang Arbiter yang berkompeten dalam bidang sengketa
selain mempersingkat proses penyelesaian sengketa karena kompetensi arbiter
(dibidang „hal‟ yang disengketakan). Dapat juga memberikan output dalam
penyelesaian sengketa tersebut dengan rasa yang tidak merugikan bagi para pihak
yang bersengketa (win-win solution).3
Arbitrase pada dasarnya merupakan penyelesaian sengketa diluar
pengadilan. Namun yurisdiksi pengadilan tetap sangat berperan terhadap putusan
arbitrase. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 59 yaitu mengenai pendaftaran putusan
arbitrase, kemudian Pasal 61 mengenai pengakuan, dan Pasal 64 mengenai
pelaksanaan yang tertuang dalam UU No. 30 Tahun 1999 mengenai Arbitrase dan
APS.
Dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS
sendiri tidak menyatakan jelas apakah pembatalan putusan arbitrase berlaku
2
Priyatna Abdurrasyid. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)Suatu Pengantar, 2011. (BANI-PT. Fikahati Aneska), h. 63. Priyatna Arrasyid secara tidak langsung menjelaskan banyaknya kelebihan yang ada pada Arbitrase selain terletak pada prosedur ber-Arbitrase itu sendiri. Kelebihan alternatif penyelesaian sengketa ini terletak pada Arbiternya, karena diharuskan seorang Arbiter haruslah memiliki pengetahuan khusus mengenai hal yang disengketakan, sehingga dapat menghasilkan putusan yang bersifat praktis dan tidak memihak, wajar dan adil.
3
umum untuk semua jenis putusan arbitrase, arbitrase asing salah satunya. Dalam
Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 secara tegas disebutkan bahwa
permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase dapat diajukan oleh para
pihak.
Terkait dengan pembatalan putusan arbitrase internasional di Indonesia,
harus kita ketahui terlebih dahulu perbedaan antara pembatalan dengan penolakan
putusan arbitrase. Ada perbedaan mendasar antara kedua konsepsi ini, pertama
dari segi istilah, pembatalan dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai annulment
atau set aside, sementara penolakan dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai
refusal.4Perbedaan keduanya dapat dilihat dari konsekuensi hukumnya.
Pembatalan putusan arbitrase berakibat pada dinafikannya (seolah tidak pernah
dibuat) suatu putusan arbitrase.5
Terhadap putusan arbitrase yang dibatalkan, pengadilan dapat meminta
agar para pihak mengulang proses arbitrase (re-arbitrate). Hanya saja pembatalan
putusan arbitrase tidak membawa konsekuensi pada pengadilan yang
membatalkan untuk memiliki wewenang memeriksa dan memutus sengketa.
4
Hikmahanto Juwana. “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional”. Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Vol.21. Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisnis, 2002. h. 68.
5
Apabila hal ini dilakukan maka akan bertentangan dengan asas kebebasan
berkontrak yang dimiliki oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa mereka
dan pengadilan dapat dianggap sebagai tidak menghormati asas kebebasan
berkontrak.6
Dalam Konvensi Pasal II ayat (3) menjelaskan “The court of a
Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of which the
parties have made an agreement with in the meaning of article, shall, at the
request of one of the parties refer the parties to arbitration, unless it finds that
said agreement is null and void in operative or incapable of being performed”.
Berdasarkan pasal ini, Konvensi New York menempatkan status arbitrase
sebagai forum atau mahkamah yang memiliki kompetensi absolut untuk memutus
persengketaan yang timbul dari perjanjian yang bersangkutan.7 Terlihat jelas
bahwa apabila penyelesaian sengketa sudah dilaksakan melalui jalur arbitrase
maka pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikannya kembali.
Tidak dijelaskan apakah mengenai pembatalan putusan arbitrase, termasuk juga
kewenangan yang dimaksud.
6
Hikmahanto Juwana. “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional”. Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Vol.21. Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisnis, 2002. h. 68.
7
Namun dapat kita perhatikan bahwasanya ketentuan pembatalan putusan
telah mencederai asas bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.
Pemberian asas ini seharusnya tidak relevan lagi dengan perkembangan hukum
dan segala ketentuan yang muncul dari kebiasaan-kebiasaan internasional yang
kemudian menjadi hukum perdata internasional. Secara garis besar asas tersebut
jika dihubungkan dan kita analisis, maka akan bertentangan dengan asas
resiprositas dan kemudian kedaulatan Negara.
Dalam kasus penelitian ini yaitu putusan MA No. 631/K/Pdt.Sus/2012
Harvey Nichols and Company Limited dengan PT Harapan Nusantara dan PT
Mitra Adiperkasa,Tbk, berawal dari sengketa bisnis antara para pihak yang
kemudian dibawa oleh Harvey Nichols and Company Limited untuk diselesaikan
di Badan Arbitrase London. Sebagaimana sesuai dengan kesepakatan antara
keduanya dalam perjanjian. Namun atas dasar ketidakpuasan, pihak PT Hamparan
Nusanatara dan PT Mitra Adiperkasa,Tbk mengajukan gugatan pembatalan
putusan arbitrase kehadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun PN Jakarta
Pusat tidak memberikan putusan sebagaimana kewenangan yang diberikan oleh
Undang-undang terkait dengan pembatalan putusan arbitrase untuknya. Sehingga
putusan PN Jakarta Pusat ini dibantah melalui gugatan kasasi ke Mahkamah
Agung oleh Harvey Nichols and Company Limited.
Yang menarik dalam pembahasan kasus ini ialah ketika adanya suatu
namun ditengah-tengah penggugat melakukan upaya tuntutan hukum dengan
alasan bahwa pelaksanaan perjanjian tersebut telah menyalahi aturan hukum di
negara RI terkait dengan menyalahi aturan PP No. 42 tahun 2007 tentang
Waralaba jo. Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/M-DAG/PER/8/2008
tentang Penyelenggaraan Waralaba, hal ini patut diselidiki sebatas mana suatu
perjanjian dapat dikatakan bertentangan dengan hukum. Selain itu dalam
putusannya MA mengeluarkan putusan yang membatalkan putusan sela
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Patut menjadi pertanyaan ialah, karena meskipun UU mengatur mengenai
Pembatalan Putusan Arbitrase, UU No. 30/1999 mengenai AAPS terkait pasal
pembatalan putusan arbitrase tersebut mengalami contra dictio in termidis,
seharusnya apabila ini terjadi maka majelis dapat menggunakan yurisprudensi
yang menyatakan bahwa putusan arbitrase internasional dapat dibatalkan.
Berdasarkan pemaparan tersebut penulis bermaksud meneliti dan
mengkaji lebih dalam lagi mengenai pembatalan putusan arbitrase internasional di
Indonesia dan keterkaitannya dengan pertimbangan hakim yang akan dibenturkan
dengan asas-asas serta teori yang berlaku di setiap Negara. Oleh karena itu
penulis memilih judul “PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
INTERNASIONAL (Analisis Putusan Mahkamah Agung No.
B. Identifikasi Masalah
1. Putusan Arbitrase asing masih menjadi perdebatan dalam hal penerapan dan
pelaksanaannya, terkait dengan hal penolakan putusan arbitrase asing yang
dinyatakan tidak dapat diakui.
2. Efektifitas UU yang dikritisi dengan fenomena kasus tertentu, menunjukkan
ada banyaknya kelemahan yang seharusnya menjadi alasan dan tujuan untuk
membentuk aturan mengenai arbitrase agar lebih baik lagi.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan fokus dan tidak meluas, Penulis membatasi
permasalahan yang akan dibahas hanya pada substansi Undang-undang dan
Peraturan dalam bidang pembatalan putusan arbitrase internasional yang
belum memiliki aturan secara benar dalam hukum materiil. Selain itu Penulis
juga membatasi analisis kasus ini pada Putusan MA No. No.
631/K/Pdt.Sus/2012.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan ulasan yang Penulis paparkan dalam latar belakang dan
permasalahan yang sudah Penulis batasi, rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1. Bagaimana aturan dalam hukum perdata internasional dan hukum
2. Bagaimana kedudukan hukum putusan kasasi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke MA dalam kasus Harvey Nichols Company Ltd melawan PT Mitra Adi Perkasa dan PT Hamparan Nusantara?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui tentang aspek-aspek hukum pembatalan putusan
arbitrase internasional di Indonesia.
b. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana proses penyelesaian
sengketa putusan arbitrase internasional di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Manfaat penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan
kontribusi pemikiran dalam Ilmu Hukum, khususnya Hukum Bisnis yang
berkaitan dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
b. Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
bahan rujukan bagi mahasiswa, mengenai sengketa pembatalan putusan
arbitrase internasional di Indonesia, mengingat skripsi tentang ini masih
sangat minim. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gagasan
kepada pemerintah mengenai bagaimana agar Peraturan dan Perundangan
tentang Arbitrase dan APS lebih baik lagi dan sesuai dengan kondisi
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, Penulis melakukan
tinjauan kajian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini di beberapa
perpustakaan yang Penulis temukan, yaitu :
1. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012 ,
yang disusun oleh Maisaroh Harahap, dengan judul skripsi “Pembatalan
Putusan Arbitrase Tentang Sengketa Ekonomi Syariah Oleh Pengadilan
Agama”. Penulis skripsi ini hanya membahas tentang bagaimana
penyelesaian sengketa ekonomi syariah dalam pembatalan putusan Basyarnas,
berbeda dengan skripsi yang akan Penulis tulis mengenai pembatalan putusan
arbitrase asing, putusan asing berarti putusan yang dikeluarkan di luar
teritorial negara Indonesia.
2. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2012, yang disusun oleh Raden
Umar Faaris Permadi dengan judul skripsi “Pembatalan Putusan Arbitrase
Internasional di Indonesia (Studi Kasus: Putusan MA No.
273PK/Pdt/2007 dan Putusan MA No. 56PK/Pdt.Sus/2011)”. Skripsi
menelaah mengenai aspek hukum perdata internasional dalam pembatalan
putusan arbitrase internasional dan membandingkan secara komparatif
putusan hakim. Berbeda dengan Penulis, substansi skripsi ini tidak
menyinggung mengenai hukum acara untuk pelaksanaan putusan arbitrase
pembahasan mengenai prosedural suatu putusan arbitrase yang dimohonkan
pembatalannya.
3. Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2011, yang disusun oleh Arman
dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap pembatalan Putusan Arbitrase
di pengadilan Negeri Indonesia Dalam Hal Adanya Dugaan Pemalsuan
Dikaitkan Dengan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”. Tesis ini
menelaah tentang pembatalan putusan arbitrase di Indonesia terkait dengan
adanya dugaan upaya pemalsuan dan perilaku hakim. Penulis tesis
mempermasalahkan mengenai pembatalan putusan final arbitrase dengan
hanya berdasarkan adanya dugaan pemalsuan dokumen oleh salah satu pihak.
Sedangkan skripsi yang penulis angkat mengenai kedudukan arbitrase asing di
Indonesia, hal ini memiliki keterkaitan dalam hal pembatalan tetapi sangat
berbeda dari segi substansi pada masing-masing penelitian.
F. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersengketa. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 butir 1 UU
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS.
2. Putusan Arbitrase Asing, adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu Badan
Arbitrase ataupun Arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum
tertuang dalam Pasal 2, Perma No. 1 tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
3. Teori Kedaulatan Negara, menurut George Jellinek menyatakan bahwa
hukum adalah penjelmaan daripada kehendak atau kemauan Negara. Jadi,
negara jualah yang menciptakan hukum, maka negara dianggap satu-satunya
sumber hukum dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau
kedaulatan.8
G. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Pada penelitian jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai
kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
dianggap pantas9. Penelitian ini berpacu pada putusan Mahkamah Agung
sebagai putusan yang dianalisis dan kaitannya dengan landasan norma hukum
yang berlaku dan terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun
perjanjian-perjanjian internasional. Karenanya penulisan ini menggunakan
8
Soehino. Ilmu Negara. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2004), h. 155.
9
metode penelitian hukum normatif atau studi pustaka10, analisa data bersifat
kualitatif yaitu hasil pembahasan tidak berupa angka-angka.
2. Pendekatan Masalah
Penelitian hukum normatif sendiri memiliki beberapa pendekatan.
Melalui pendekatan ini, Penulis mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang akan dibahas. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian hukum normatif yaitu11: pendekatan perundang-undangan,
pendekatan kasus, pendekatan historis dan pendekatan konseptual.
Dalam penelitian ini Penulis tentu menggunakan pendekatan
perundang-undangan (Statue Approach), karena Penulis menggunakan
metode normatif yang melibatkan aturan-aturan hukum terkait dengan
masalah penelitian Penulis. Undang-undang yang penulis gunakan yaitu
Undang-undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999, Konvensi New York 1958 dan
peraturan-peraturan hukum lainnya yang berkaitan erat dengan pembatalan
putusan arbitrase Internasional.
Pendekatan kasus (Case Approach) yang Penulis gunakan yaitu,
pendekatan kasus pembatalan putusan Arbitrase Internasional oleh Mahkamah
Agung. Kemudian Penulis analisis dan teliti terkait dengan
10
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 2010), h. 10. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, jenis penelitian penulis ialah problem-focueds research,
yaitu penelitian yang berfokus pada masalah.
11
ketentuan dalam segi pelaksanaannya menurut peraturan dan perundangan
terkait, yaitu Konvensi New York 1958 dan UU No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase serta peraturan-peraturan hukum lain yang dapat Penulis kaitkan
secara normatif.
Pendekatan historis (Historical Approach) yang akan Penulis singgung
ialah mengenai sejarah awal aturan tentang arbitrase dan terakhir, Pendekatan
konseptual (Conceptual Approach) membantu Penulis dalam mengkonsep
pembuatannya dan alur penulisannya, serta bagaimana bentuk penulisan
selanjutnya.
H. Sumber Penelitian
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder, yaitu :
1. Bahan Hukum Primer, yakni bahan-bahan yang berisi kekuatan mengikat
kepada masyarakat. Bahan hukum primer yang penulis gunakan antara lain
UU No. 30 Tahun 1990 tentang Arbitrase; Konvensi New York 1958;
Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1982 dan peraturan-peraturan hukum
lainnya yang berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase internasional.
2. Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan-bahan yang memberikan informasi
atau hal-hal yang berkaitan dengan ini sumber primer serta implementasinya.
Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan antara lain ialah; buku-buku;
3. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum, Dari bahan hukum yang sudah
terkumpul baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder,
diklasifikasikan sesuai isu hukum yang akan dibahas. Kemudian bahan
hukum diuraikan dan diteliti sehingga mendapatkan penjelasan secara
sistematis. Pengolahan bahan hukum bersifat deduktif, yaitu menarik
kesimpulan yang menggambarkan permasalahan secara umum ke
permasalahan yang khusus. Bahan hukum itu diolah dan diuraikan, kemudian
Penulis menganalisanya (melakukan penalaran ilmiah) dan
menyimpulkannya. Sehingga dapat terjawab isu hukum yang telah
dirumuskan dalam rumusan masalah.
I. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan sistematis, penulis
mengklasifikasikan penelitian yang akan disusun ke dalam lima bab, yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat
penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, kerangka teori dan
konseptual, metode penelitian serta sumber Penelitian.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE INTERNASIONAL
insternasional, sejarah munculnya arbitrase dan perkembangan di
Indonesia, Perjanjian Arbitrase dan Kewenangannya.
BAB III : PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Dalam bab ini penulis menjelaskan mengenai Ketentuan Hukum
Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional ditinjau dari
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang AAPS dan ditinjau dari Hukum
Perdata Internasional yang akan dikaitkan dengan asas-asas yang
berlaku secara internasional.
BAB IV : ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
INTERNASIONAL (Studi Analisis Putusan Mahkamah Agung No.
631/K/Pdt.Sus/2012)
Dalam bab ini akan dianalisis perkara putusan sela oleh MA terkait
kewenangan Pengadilan dalam Pembatalan Putusan Arbitrase
Internasional. Yaitu antara Harvey Nichols and Company Ltd,
dengan PT Hamparan Nusantara dan PT Mitra Adiperkasa, Tbk.
Pembahasan merupakan hasil kritisisasi UU No. 30/1999 tentang
AAPS dengan mengaitkannya pada putusan hakim Mahkamah
Agung dalam kaitannya pada Pembatalan Putusan Arbitrase
BAB V : PENUTUP
Pada bab penutup dimuat suatu kesimpulan dan saran, yaitu uraian
kesimpulan dari hasil penelitian yang dapat diberikan terhadap
permasalahan-permasalahan yang dibahas serta saran yang akan
BAB II
TINJAUAN UMUM
TENTANG ARBITRASE INTERNASIONAL
A. Pengertian dan Perkembangan Arbitrase Internasional
Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu perkara perdata di luar
pengadilan, umumnya yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.12 Pada dasarnya arbitrase
merupakan perjanjian perdata dimana para pihak sepakat untuk menyelesaikan
sengketa yang terjadi di antara mereka, atau mungkin akan timbul di kemudian
hari yang diputuskan oleh orang ketiga.
Penyelesaian sengketa dilakukan oleh seorang atau beberapa orang wasit
(arbitrator) yang bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara, dengan
tidak diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara musyawarah menunjuk pihak
ketiga dan dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak.13 Kata Arbitrase
berasal dari bahasa latin yaitu arbitrare yang berarti kekuasaan untuk
12
Pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
13
menyelesaikan suatu perkara menurut kebijaksanaan.14 Dalam Islam arbitrase
lebih dikenal dengan dengan istilah al tahkim, dan dalam hukum Islam istilah
yang sepada dengan tahkim adalah ash-shulhu yang berarti memutus
pertengkaran atau perselisihan.15
Dalam Hadist Riwayat An Nasa‟i, tentang dialog Nabi Muhammad
dengan Abu Sjureich (sering juga dipanggil Abu al hakam):16
Nabi Muhammad: Sesungguhnya hakam itu adalah Allah dan kepadaNya
lah dimintakan keputusan hukum. Mengapa kamu
dipanggil Abu Al hakam?
Abu Sjurech : Sesungguhnya apabila kaumku bertengkar mereka
akan datang kepadaku meminta Penyelesaian dan
kedua belah pihak rela dengan putusanku itu.
Nabi Muhammad: Alangkah baiknya perbuatanmu itu!
Arbitrase pada dasarnya menggunakan konsep musyawarah, dan Islam
sangat banyak membahas mengenai musyawarah. Salah satunya dalam
firmanNya, Allah Swt menjelaskan bahwa:
14
Joni Emirzon. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi, dan Arbitrase). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001. h. 97.
15
Achmad Djauhari, Arbitrase Syariah di Indonesia, 2006, Jakarta: Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), h. 26.
16
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan
mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka
bertakwallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”
Suatu arbitrase dianggap “Internasional” apabila para pihak pada saat
dibuatnya perjanjian, yang bersangkautan mempunyai tempat usaha mereka
(place of business) di negara-negara yang berbeda.17 Misalnya dalam suatu
kerjasama, salah satu pihak memiliki Perusahaan di London. Dalam arti,
perusahaan tersebut berdiri berdasarkan hukum di Inggris dan pihak lain memiliki
Perusahaan di Indonesia. Jika terjadi perselisihan dan keduanya menyepakati
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka arbitrase ini tergolong arbitrase
internasional.
17
Dalam sejarah perundang-undangan di negara Indonesia, aturan mengenai
Arbitrase diatur dalam Buku Ketiga Reglemen Acara Perdata tentang Aneka
Acara, yaitu pada Bab Pertama yang mengatur mengenai Putusan Wasit
(Arbitrase) yang terdiri mulai dari Pasal 615-651. Sebagai pedoman aturan umum
arbitrase yang diatur dalam Reglemen Acara Perdata, meliputi lima bagian
pokok18:
- Bagian Pertama (615-623): Persetujuan arbitrase dan pengangkatan
arbitrator atau arbiter
- Bagian Kedua (624-630): Pemeriksaan di muka badan Arbitrase
- Bagian Ketiga (631-640): Putusan Arbitrase
- Bagian Keempat (641-647): Upaya-upaya terhadap putusan Arbitrase
- Bagian Kelima (647-651): Berakhirnya acara-acara Arbitrase.
Sumber hukum perdata zaman kolonial tidak mengatur sama sekali aturan
mengenai Arbitrase Internasional. “Seolah-olah, peraturan itu memencilkan
bangsa Indonesia dari lingkungan kehidupan hubungan antarnegara di bidang
arbitrase”.19
18
M. Yahya Harahap. Arbitrase (Ditinjau dari: Regelemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1990). Jakarta: Sinar Grafika, 2006. h. 2.
19
Beberapa landasan pelaksanaan arbitrase asing di Indonesia antara lain
yaitu UU No. 5 Tahun 1968 yang merupakan persetujuan atas konvensi tentang
penyelesaian perselisihan antar negara dan warganegara asing mengenai
penanaman modal atau biasa disebut „Convention on the Settlement of Investment
Disputes between States and Nationals of other States‟. Konvensi ini lazim juga
disebut World Bank Convention atau Konvensi Bank Dunia.
Tujuan menetapkan persetujuan ratifikasi atas Konvensi ini bermaksud
untuk mendorong dan membina perkembangan penanaman modal asing atau joint
venture di Indonesia.20 Hal ini diupayakan, sebab Pemerintah Indonesia ingin
memberikan suatu rasa aman dan kepercayaan kepada Investor asing bahwa,
apabila terjadi sengketa penyelesaiannya dapat dibawa ke ranah forum arbitrase.
Namun meskipun Indonesia telah meratifikasi Convention on the Recognition and
Enforcment of Foreign Arbitral Award, namun dalam hal eksekusi putusan
arbitrase asing masih memiliki kendala.
Keppres No. 34 Tahun 1981 menunjukkan Pemerintah RI telah
mengesahkan dan bergabung ke dalam Konvensi New York 1958. Namun
kendala pelaksanaannya terjadi dikarenakan belum adanya dasar hukum
mengenai pelaksanaan tersebut, karena itu Perma No. 1 Tahun 1990 merupakan
jawaban terhadap tata cara pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Ketika
20
unsur-unsur mengakui sudah terpenuhi, unsur melaksanakan eksekusi
(enforcement) yang masih belum dapat dilaksanakan.
Pasalnya, sesuai dengan praktek hukum yang berlaku diperlukan lagi
peraturan pelaksanaan tentang tata cara “exequatur”. Tanpa peraturan
pelaksanaan, pengadilan Indonesia tidak dapat menilai dan mempertimbangkan
dengan hukum atau ketertiban umum yang berlaku di Indonesia.21
Penyempurnaan dilakukan melalui undang-undang pelaksanaanya, yaitu
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Penjelasan mengenai Arbitrase Internasional dapat dilihat dalam Pasal
1 dalam ketentuan umum butir 9 bahwa “Putusan Arbitrase Internasional adalah
putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan
di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase
atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia
dianggap sebagai suatu putusan arbitrase Internasional”.
B. Kekuatan Hukum Arbitrase Internasional (Choice of Forum, Choice of Law,
Final and Binding)
1. Choice of Forum
21
Pilihan forum merupakan pilihan terhadap jurisdiksi lembaga atau badan
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama dalam rangka mengajukan tuntutan pengembalian hak
terhadap pihak yang dianggap telah melanggar dan/atau merugikan pihak
yang mengajukan tuntutan.22
Sedangkan dalam HPI (Hukum Perdata Internasional) yang dimaksud
dengan pilihan hakim atau pilihan forum (Choice of Court, Choice of Forum)
adalah pemilihan yang dilakukan terhadap instansi peradilan atau instansi lain
yang oleh para pihak ditentukan sebagai instansi yang akan menangani
sengketa mereka jika terjadi di kemudian hari.23
Pilihan forum memiliki beberapa prinsip yang berlaku antara lain:24
1. Prinsip kebebasan para pihak
Kebebasan para pihak termasuk di dalamnya kebebasan untuk
mengubah forum yang sebelumnya telah disepakati. Prinsip kebebasan
22
Erman Suparman. Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan. Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012. h. 50.
23
Sudargo Gautama. Hukum Perdata Internasiona Indonesial. Bandung: Alumni, 1989. h. 53-54. Para pihak di dalam suatu kontrak dapat menyepakati sebuah klausula yang isinya menentukan bahwa, apabila di kemudian hari timbul sengketa dari substansi kontrak yang mereka sepakati tersebut, sengketa dimaksud akan dibawa untuk diselesaikan oleh sebuah lembaga peradilan yang mereka pilih selain pengadilan negeri di Indonesia. Pilihan dapat dilakukan terhadap lembaga tempat penyelesaian sengketa yang ada, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.” Lihat juga Erman Suparman,
Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan, (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012), h. 52.
24
para pihak dalam memilih forum ini pada prinsipnya adalah hukum
yang mengikat.
2. Prinsip bonafid
Kesepakatan para pihak harus dihormati dan dilaksanakan dengan
iktikad baik. Penghormatan terhadap prinsip ini terletak pada
penghormatan atas ekspektasi dan keyakinan para pihak bahwa forum
yang dipilihnya adalah forum yang netral dan adil untuk
menyelesaikan sengketa, termasuk keahlian pengadilan di dalam
menyelesaikan sengketa.
3. Prinsip prediktabilitas dan efektifitas
Pilihan forum tidak boleh dilakukan secara sparodis. Pemilihan suatu
forum harus didasarkan pada pertimbangan apakah forum yang akan
menangani sengketa suatu kontrak dapat diprediksi kewenangannya
dalam memutus sengketa. Selain itu perlu diperhatikan pula efektifitas
putusan yang akan dikeluarkan dan kemungkinan akan ditaati dan
dilaksanakan.
4. Prinsip jurisdiksi eksklusif
Pilihan forum hendaknya tegas, eksklusif dan tidak menimbulkan
jurisdiksi ganda. Di dalam perancangan kontrak internasional, tidak
jarang para pihak mencantumkan lebih dari satu pilihan forum untuk
Pilihan forum arbitrase berawal dari adanya perjanjian atau kesepakatan
yang memang sebatas persoalan perniagaan. Kompetensi forum arbitrase
sebagai akibat adanya pilihan jurisdiksi melalui perjanjian arbitrase
(agreement to arbitrate), baik melalui klausul arbitrase (arbitration clause)
maupun melalui submission agreement, secara implisit diakui dan dinyatakan
dalam artikel II ayat (3) Konvensi New York 1958. Bahwa pengadilan dari
negara penandatanganan konvensi harus merujuk pada pihak ke forum
arbitrase, menunjukkan betapa akibat adanya pilihan forum pengadilan negeri
menjadi tidak berwenang memeriksa sengketa dimaksud, kecuali apabila
ternyata dapat dibuktikan bahwa “... the said agreement is “null and void”
inoperative or incapable of being performed”.25
Prof. Erman menjelaskan bahwa, negara kita menganut asas kebebasan
berkontrak, karenanya klausula arbitrase mengikat secara mutlak terhadap
para pihak yang membuatnya. Klausula arbitrase langsung melahirkan
kompetensi absolut forum arbitrase sesuai pilihan para pihak.
2. Choice of Law
Dalam mengantisipasi terjadinya sengketa, para pihak dapat melakukan
pilihan hukum terkait klausul perjanjian yang mereka sepakati. Dalam
25
bukunya “Arbitrase Komersial Internasional”, Huala Adolf membagi dua
jenis pilihan hukum yang dikenal dalam Hukum Perdata Internasional:
Pertama, pilihan hukum secara tegas. Dalam hal ini memberitahukan
secara jelas dalam kontrak yang biasanya memiliki klausul tersendiri, yaitu
menyatakan menggunakan hukum mana dalam pelaksanaan perjanjian
tersebut. Contohnya, untuk menyelesaikan perkara jual beli yang mungkin
timbul antara perusahaan/pengusaha Amerika Serikat dengan pengusaha
Indonesia. Maka dengan persetujuan bersama di dalam kontrak itu
dicantumkan klausul tambahan. Misalnya saja dalam klausul itu ditentukan
bahwa untuk perjanjian jual beli itu berlaku ketentuan hukum Indonesia.26
Kedua, pilihan hukum secara diam-diam. Yang dimaksud dalam pilihan
hukum ini ialah para pihak tidak memilih hukum mana yang akan berlaku,
tetapi pilihan hukum itu akan tampak melalui penafsiran terhadap isi kontrak
atau dalam kehendak para pihak. Misalnya dalam dokumen kontrak itu, para
pihak mengutip beberapa pasal hukum perdata Amerika Serikat. Maka secara
tidak langsung tampak bahwa para pihak menginginkan kontrak itu tunduk
pada hukum Amerika Serikat, sehingga apabila timbul sengketa di kemudian
hari, maka hukum yang akan mengaturnya adalah hukum Amerika Serikat.27
26
Huala Adolf. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta : Rajawali Pers, 1991. h. 44.
27
Selanjutnya, apabila para pihak tidak memberikan petunjuk sama sekali,
maka hakim yang menangani perkara harus mencari hukum yang paling tepat
sesuai dengan fakta-fakta yang melekat pada para pihak yang saling
mengikatkan janji maupun ketentuan-ketentuan yang dituangkan dalam
perjanjian tersebut. Perjanjian arbitrase seperti halnya perjanjian hukum
lainnya, hanya dapat dirubah atau ditambah oleh kedua belah pihak atau lebih
dalam perjanjian.28
3. Final dan Binding
Arbitrase memiliki asas final dan binding yang berarti putusan arbitase
bersifat putusan akhir dan tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain,
seperti banding atau kasasi.29 Hal tersebut dituangkan dalam Pasal 60 UU
AAPS “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum
tetap dan mengikat para pihak”.
Padahal pada prakteknya asas ini tidak sesuai dengan kenyataan, nyatanya
putusan arbitrase dapat dimintai pembatalan untuk putusan arbitrase nasional
melalui jalur Pengadilan Negeri. Dan penolakan pengakuan yang
mempengaruhi dapat dilakukan eksekusi atau tidaknya, melalui Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Pelaksanaan eksekuaturnya pun setelah memperoleh
28
Priyatna Abdurrasyid. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Suatu Pengantar. BANI: PT Fikahati Aneska, 2011. h. 76.
29
persetujuan dari Mahkamah Agung yang selanjutnya dilimpahkan kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Keterlibatan pengadilan di sini, patut dipertanyakan, terkait dengan prinsip
kemandirian, final dan mengikatnya putusan arbitrase. Terlebih terhadap
putusan arbitrase asing yang sangat terkait erat dengan prinsip timbal balik
atau resiprositas (reciprocity principle).30
C. Pengakuan dan Pelaksanaan Arbitrase Internasional di Indonesia
Dalam hal pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase yang dibuat di
luar negeri masih menjadi perdebatan. Pasalnya dalam suatu pengakuan dan
pelaksanaannya, terkait dengan Arbitrase Internasional ini bukan hanya
mengandalkan pengakuan terkait Konvesi New York 1958 saja, namun harus ada
aturan yang bersifat nasional yang dibuat di masing-masing negara bersangkutan
yang saling mengakui, sebagai aplikasi pelaksanaan dari putusan arbitrase
internasional tersebut.
Sebenarnya, timbulnya masalah ini merupakan refleksi dari peraturan atau
konvensi internasional pada umumnya, termasuk Konvensi New York 1958,
yakni bahwa konvensi internasional ini tidak mengatur peraturan-peraturan yang
detail, namum hanya mengatur hal-hal pokoknya saja. Dalam lingkup nasional,
konvensi ini ibarat undang-undang pokok yang pelaksanaannya dijabarkan
30
melalui Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden, Keputusan
Menteri, yang kesemuanya ini merupakan Implementating Legislation-nya.31
Mengacu pada Konvensi New York 1958 yang menjadi landasan bagi
negara dalam melaksanakan „pelaksanaan keputusan arbitrase komersial
internasional‟ di negara-negara yang saling meratifikasi, maka apabila
diperhatikan Konvensi ini mengandung 16 Pasal. Dari pasal-pasal ini dapat
ditarik 5 prinsip berikut ini:32
Pertama, konvensi ini menerapkan prinsip pengakuan dan pelaksanaan
keputusan arbitrase luar negeri dan menempatkan keputusan tersebut pada
kedudukan yang sama dengan keputusan arbitrase luar negeri dan menempatkan
keputusan tersebut pada kedudukan yang sama dengan keputusan peradilan
nasional. Kedua, konvensi ini mengakui prinsip keputusan arbitrase yang
mengikat tanpa perlu ditarik dalam pengambilan keputusannya. Ketiga, konvensi
ini menghindari proses pelaksanaan ganda (doubleenforcement process).
Keempat, Konvensi New York 1958 menyaratkan penyerderhanaan
dokumentasi yang diberikan oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan
konvensi, dalam hal ini hanya menyaratkan 2 dokumen saja untuk dapat
melaksanakan suatu keputusan, yaitu dokumen keputusan yang asli atau kopinya
yang sah dan dokumen perjanjian arbitrase yang asli atau kopinya yang sah (Pasal
31
Huala Adolf. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta : PT Rajawali, 1991. h. 78.
32
IV). Prinsip kelima, Konvensi New York 1958 lebih lengkap, lebih komprehensif
daripada hukum nasional pada umumnya. Secara garis besar Konvensi New York
tidak hanya mengatur pada pelaksanaan saja (enforcement), namun juga mengenai
pengakuan (recognition) terhadap suatu keputusan arbitrase meskipun tak ada
pembahasan terkait pembatalan putusan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pasal
dalam konvensi tersebut yang menerangkan mengenai pengakuan dan
pelaksanaan keputusan arbitrase yaitu Pasal I, III dan V Konvensi New York
1958.
Pasal I menjelaskan bahwa Konvensi berlaku untuk putusan-putusan
arbitrase yang dibuat dalam wilayah suatu negara maupun negara lain, yang mana
pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase itu diminta dan berlaku terhadap
putusan-putusan arbitrase yang bukan domestik di suatu negara dimana
pengakuan dan pelaksanaannya diminta.
Pasal III menjelaskan mengenai kewajiban bagi setiap negara peserta
untuk mengakui keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri mempunyai
kekuatan hukum dan melaksanakannya sesuai dengan hukum (secara) nasional
dimana keputusan tersebut akan dilaksanakan.
Konvensi hanya menyebutkan saja tentang daya mengikat suatu keputusan
dan tentang bagaimana pelaksanaan suatu keputusan dan tentang bagaimana
pelaksanaan atau eksekusinya. Konvensi tidak mengatur siapa pihak yang
mengenai alasan-alasan yang dapat diajukan oleh para pihak untuk menolak
pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase asing.
Namun pada waktu itu Mahkamah Agung berpendapat, bahwa meskipun
pemerintah RI telah mengaksesi Konvensi melalui Keppres No. 34 Tahun 1981,
namun dengan adanya perundang-undangan tersebut tidak serta merta berarti
bahwa keputusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia. Mahkamah
berpendapat bahwa perlu adanya peraturan pelaksana dari Keppres tersebut agar
pelaksanaan (eksekusi) keputusan arbitrase asing dapat dilaksanakan. Lengkapnya
Mahkamah menyatakan sebagai berikut33:
“Bahwa selanjutnya mengenai Keppres No. 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981 dan lampirannya tentang pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award sesuai dengan praktek hukum yang masih berlaku harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusi putusan hakim arbitrase dapat diajukan langsung kepada Pengadilan Negeri, kepada Pengadilan Negeri yang mana, ataukah permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum Indonesia bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, permohonan pelaksanaan Hakim Arbitrase asing seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima”.
Cairnya kevakuman pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing di
Indonesia terjadi setelah MA mengeluarkan peraturannya, yaitu Perma No. 1
33
Tahun 1990. Pada tahun itu pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing
dilakukan di bawah kewenangan Mahkamah Agung (Pasal 4). Namun kemudian
dibentuknya UU AAPS No. 30 Tahun 1999 yang mana pelaksanaan eksekusi
arbitrase asing dibahas melalui Pasal 67 “(1) Permohonan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan
didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat”. Maka, pelimpahan kewenangan mengenai eksekusi putusan
arbitrase asing berada di bawah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terkecuali, jika
terjadi penolakan pengakuan dan pelaksanaan maka dapat diajukan kasasi ke
Mahkamah Agung.
Dalam sejarahnya Mahkamah Agung pernah mengeluarkan putusan
mengenai pembatalan Putusan Arbitrase Asing yang terjadi pada tahun 1992
dimana terjadi sengketa mengenai kontrak Bulog antara Haryanto (Pengusaha
Indonesia) dan Man (Pengusaha Inggris). Karena saat itu harga Bulog sedang
melambung tinggi akhirnya Haryanto membatalkan perjanjian secara sepihak dan
pihak Man merasa dirugikan akan hal tersebut sehingga mengajukan gugatan ke
Badan Arbitrase di London sesuai kesepakatan dalam perjanjian.
Namun Haryanto tidak mematuhi putusan Arbitrase tersebut dan
mengajukan gugatan pembatalan kontrak tadi ke PN Jakarta Pusat dengan
gugatan melanggar ketertiban umum. Baik PN Jakarta Pusat maupun Pengadilan
pelaksanaan putusan arbitrase London dan MA mengabulkan Permohonan
tersebut.
Pada tanggal 14 Desember 1992, Majelis Hakim diketuai oleh Prof.
Bustanil Arifin menolak kasasi Man. Keputusan tersebut menyatakan penetapan
exequatur tadi tidak bisa dilaksanakan. Alasannya, penetapan tersebut hanya
bersifat tittel eksekuatur saja, yang belum merupakan perintah (prima facie).
Sedangkan pelaksanaan putusan menurut Majelis, tetap harus tunduk kepada
hukum acara Indonesia.34 Dari kasus ini dapat dilihat bahwa alasan kepentingan
umum dipakai sebagai alasan suatu pembatalan putusan arbitrase.
34
Bab III
Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional
A. Ditinjau dari Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa No. 30 Tahun 1999 (UU AAPS)
Arbitrase merupakan lembaga yang paling umum digunakan untuk
menyelesaikan sengketa komersial dalam lingkup transaksi bisnis domestik
maupun bisnis internasional. Dalam hal ini lembaga peradilan diharuskan
menghormati lembaga arbitrase. Kewajiban pengadilan tersebut ditegaskan dalam
Pasal 3 juncto Pasal 11 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa
pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah
terikat dalam perjanjian arbitrase.35
M. Yahya Harahap kurang setuju mengenai hal ini. Menurutnya yang
dikaitkan dengan yurisdiksi arbitrase dan pengadilan yang digariskan Pasal 3 dan
11 menimbulkan kecenderungan yang keliru. “Terdapat kecenderungan
penerapan yurisdiksi arbitrase secara generalisasi dan absolut, tanpa
memperhatikan rumusan klausul yang disepakati dalam perjanjian”.36
35
Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 2006. h. 70.
36
Artinya, ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 telah membentuk kecenderungan
penerapan klausula arbitrase secara generalisasi dan absolut berbentuk klausul
umum, sehingga setiap klausula yang diperjanjikan otomatis melahirkan
yurisdiksi absolut arbitrase untuk menyelesaikan segala atau setiap sengketa yang
terjadi dari perjanjian. Padahal di sisi lain, hukum tidak hanya mengakui dan
membenarkan bentuk klausula umum saja, tetapi juga bentuk klausula yang
bersifat enumeratif atau parsial secara terbatas untuk jenis sengketa tertentu saja.
Dalam bentuk klausula yang bersifat rinci (enumeratif) dan parsial atau
terbatas, harus ditegakkan penerapan yurisdiksi secara terbatas untuk jenis
sengketa tertentu saja. Dalam bentuk klausula yang enumeratif dan parsial, harus
ditegakkan penerapan yurisdiksi secara terpisah dan mendua:37
- Yang menjadi yurisdiksi arbitrase hanya terbatas sepanjang jenis
sengketa yang disebut dalam klausula;
- Sebaliknya segala sengketa yang timbul di luar ruang lingkup yang
disebut dalam klausula arbitrase, mutlak menjadi yurisdiksi PN.
Keterangan mengenai kelemahan pasal UU Arbitrase tersebut apabila
dilihat pada pasal-pasal lain memiliki beberapa kelemahan yang hampir sama.
Salah satunya pasal mengenai Pembatalan Putusan Arbitrase.
diselesaikan oleh arbitrase. Sedangkan absolut dalam pasal tersebut, menerangkan bahwa sengketa apa saja yang timbul dari perjanjian menjadi mutlak yurisdiksi arbitrase untuk menyelesaikannya.
37
Dalam pasal yang menyinggung mengenai Pembatalan Putusan Arbitrase,
yaitu dijelaskan pada Bab VII di Pasal 70 hingga Pasal 72. Isi dalam bab tersebut
mengenai Pembatalan Putusan Arbitrase dan tidak dijelaskan diperuntukkan
untuk putusan arbitrase mana yang dapat dibatalkan.
Sebelumnya patut diperhatikan perbedaan mengenai Pembatalan dan
Penolakan. Dari segi bahasa Inggris Pembatalan diistilahkan sebagai annulment
atau set aside, sementara Penolakan dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai
refusal. Dalam hal ini, Pembatalan dan Penolakan dapat dilihat dari konsekuensi
hukumnya. Pembatalan putusan berakibat pada dinafikannya (seolah tak pernah
dibuat) suatu putusan arbitrase, dan Penolakan putusan arbitrase oleh pengadilan
tidak berarti menafikan putusan tersebut.38
Pasal 65 menjelaskan”Yang berwenang menangani masalah Pengakuan
dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat”. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan tempat
penyelenggaraan pendaftaran terkait dengan pengakuan putusan arbitrase asing,
dan hal tersebut merupakan yurisdiksi yang kewenangannya diberikan melalui
Perma No. 1 Tahun 1990 dan diperkuat lagi melalui UU No. 30 Tahun 1999.
Kemudian sebatas mana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berhak atas pengakuan
dan pelaksanaan tersebut diatur kemudian di dalam pasal selanjutnya.
38
Keterkaitan kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap
Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional, dijelaskan di dalam UU No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS juga tidak secara jelas menerangkan
arbitrase nasional maupun arbitrase Internasional. Para penegak hukum pun masih
banyak yang keliru menerapkan bunyi pasal ini.
Adanya indikasi bahwa aturan pembatalan putusan arbitrase
diperuntukkan untuk putusan arbitrase nasional, terlihat pada pengaturan tentang
pengadilan yang berwenang untuk menerima pendaftaran putusan arbitrase.
Dalam hal pelaksanaan terhadap Putusan Arbitrase Internasional, sebagaimana
diatur dalam Pasal 65 dan 67 ayat (1), pembentuk UU menunjuk secara eksklusif
„Pengadilan Negeri Jakarta Pusat‟. Sementara dalam pembatalan putusan
arbitrase, sebagaimana diatur dalam Pasal 70 dan 71, tidak dilakukan secara
eksklusif di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melainkan bisa didaftarkan di
panitera „Pengadilan Negeri‟.39
Hal tersebut menerangkan bahwa pembatalan putusan arbitrase
Internasional tidak diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999. Dalam praktiknya
Pengadilan Indonesia pernah membatalkan Putusan Arbitrase Internasional, yaitu
pada Kasus Karaha Bodas Company (KBC). Dimana PN Jakarta Pusat
39
menyatakan bahwa dirinya memiliki kompetensi untuk membatalkan Putusan
Arbitrase Jenewa.
Sengketa ini bermula dengan ditandatanganinya perjanjian Join Operation
Contract (JOC) pada tanggal 28 Nopember 1994. Pada tanggal yang sama PT
Perusahaan Listrik Negara (PLN) di satu pihak dan Pertamina serta KBC
menandatangani perjanjian Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian kerjasama
ini bertujuan untuk memasok kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan
tenaga panas bumi yang ada di Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam
perjalanannya proyek kelistrikan ini ditangguhkan oleh Pemerintah berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 tertanggal 20 September 1997.
Dampak penangguhan adalah kerjasama Pertamina dengan KBC tidak dapat
dilanjutkan.40
Secara garis besar, kesimpulannya Pertamina tidak mau melaksanakan
putusan Arbitrase Jenewa tersebut dan berusahan menolakan putusan Arbitrase
melalui berbagai cara. Salah satunya yaitu melakukan penolakan ke
pengadilan-pengadilan di negara-negara dimana KBC meminta untuk dilakukan eksekusi.
Bahkan Pertamina bukan hanya melakukan upaya hukum dengan menolak
putusan tersebut, tetapi melakukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase
yang dilakukan di Pengadilan Indonesia.
40
Pada tanggal 14 Maret 2002 Pertamina secara resmi mengajukan gugatan
pembatalan Putusan Arbitrase Jenewa kepada PN Jakarta Pusat. Sebelum
diajukannya gugatan pembatalan ini, Pertamina pada tanggal 8 Maret 2002 telah
menyerahkan dan mendaftarkan Putusan Arbitrase Jenewa ke PN Jakarta Pusat.41
Seperti telah diutarakan bahwa pada prinsipnya dalam pemberian
eksekuatur Ketua Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan menilai
benar tidaknya materi putusan arbitrase. Akan tetapi, terhadap prinsip tersebut
dikenal ada pengecualian. Setidaknya ada dua hal yang dikecualikan, sehingga
dalam rangka melakukan eksekuatur KPN Jakarta Pusat boleh menilai segi-segi
materi putusan arbitrase. Pertama, apakah materi putusan arbitrase tidak
melampaui batas yang dibenarkan hukum dan perundang-undangan. Kedua,
apakah putusan arbitrase tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum
(public policy).42
Materi putusan arbitrase dianggap melampaui batas yang dibenarkan
hukum dan perundang-undangan apabila forum arbitrase telah memeriksa dan
memutus kasus-kasus sengketa yang secara mutlak tidak termasuk jurisdiksi
arbitrase. Sedangkan yang berkaitan dengan persoalan ketertiban umum (public
policy), penilaian dilakukan terhadap setiap putusan arbitrase internasional yang
41
Hikmahanto Juwana. “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional”. Jurnal Hukum Bisnis: Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Vol 21. Jakarta: Yayasan Pengembang Hukum Bisns, 2002. h. 70.
42
dimintakan untuk dieksekusi di Indonesia, apakah putusan tersebut bertentangan
dengan ketertiban umum atau tidak.43 Hal ini diatur dalam Pasal 62 UU No. 30
Tahun 1999.
Perlu diketahui sebelumnya, bahwa indikator mengenai ketertiban umum
tidak dinyatakan jelas sebatas mana ketertiban umum itu dapat tercederai atau
tidak. Ketertiban umum yang dimaksud ialah “rem” yang dipergunakan untuk
menjauhkan keberlakuan Hukum Asing yang seharusnya dipergunakan oleh
ketentuan Hukum Perdata Internasional Indonesia. Diberlakukan hukum asing
oleh Hakim Indonesia, tidak boleh sampai berakibat dilanggarnya atau
tercederanya sendi-sendi hukum negara kita sendiri.
B. Ditinjau dari Hukum Perdata Internasional
Hukum Internasional bukanlah hukum yang bersumber dari Internasional,
melainkan hukum negara yang melewati perbatasan negara dan subjek hukum
berbeda negara.44 Pengertian “Internasional” pada istilah Hukum Perdata
Internasional (Private International Law, International Privatrecht, droit
International Prive) di sini bukan diartikan sebagai “Internasiones” bukan berarti
43
Erman Suparman. Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan. Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012. h. 190-191.
44
bahwa sumber Hukum Perdata Internasional adalah Internasional. Sebaliknya
sumber HPI adalah nasional belaka.45
Karena Hukum Perdata Internasional bersumber pada masing-masing
hukum nasional suatu negara, maka tak jarang terjadi benturan hukum ketika
suatu negara satu dengan negara yang lainnya memiliki ketersinggungan yang
menyebabkan suatu hukum harus dilaksanakan terhadap subjek hukum tersebut.
Negara merupakan salah satu pihak yang terkait dalam kontrak
Internasional, yaitu suatu subjek hukum yang disebut juga sebagai subjek hukum
yang sempurna. Negara memiliki kedaulatan, berdaulat penuh atas wilayahnya,
memiliki yurisdiksi eksklusif atas orang termasuk badan hukum, benda-benda dan
peristiwa hukum yang terjadi di wilayahnya. Konsep-konsep negara sebagai
subjek hukum yang sempurna hanya dapat dijelaskan oleh hukum Internasional.46
Dalam Pasal 1 UNCITRAL Rule menyimpulkan bahwa suatu arbitrase
adalah internasional, jika meliputi syarat-syarat berikut ini 47:
a. Pihak yang membuat klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase pada
saat membuat perjanjian itu mempunyai tempat usaha di
negara-negara yang berbeda.
45
Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, 1967. Bandung: Binacipta. h. 3.
46
Huala Adolf. Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional. Bandung: PT Resika Aditama, 2008. h. 12.
47
b. Jika tempat di mana akan dilakukannya arbitrase (yang ditentukan
dalam perjanjian arbitrase) terletak di luar negara tempat usaha para
pihak, meskipun tempat usaha para pihak masih dalam satu negara.
c. Tempat dari objek perjanjian terletak di luar wilayah negara dimana
para pihak memiliki usahanya.
d. Para pihak menyetujui secara tegas, bahwa objek perjanjian arbitrase
mereka ini berhubungan dengan lebih dari satu negara.
Keterikatan arbitrase dan pengadilan juga berlaku di dunia Internasional,
dimana sebagian besar pengadilan menghormati ketentuan yang ada dalam
klausul arbitrase. Disini, agar sebuah arbitrase Internasional dapat bekerja secara
efektif, pengadilan-pengadilan nasional dan kedua belah pihak yang bersengketa
harus mengakui dan mendukung arbitrase. Namun bukan berarti apabila suatu
negara mengakui dan mendukung putusan arbitrase, negara tersebut lantas
kehilangan jati dirinya dalam memperjuangkan kedaulatan negaranya sendiri,
dalam arti mempertahankan aturan-aturan yang berlaku di Inonesia.
Dalam kegiatan bisnis internasional terdapat dua alasan mengapa
pengadilan merupakan sistem yang penting dalam proses kelangsungan arbitrase,
yaitu:48 Pertama, putusan arbitrase harus dapat dilaksanakan melalui sistem
peradilan negara tersebut. Jadi, di mana pun arbitrase diputuskan, maka negara
tersebut patut mengakuinya dan memprosesnya sesuai dengan ketentuan hukum
48
yang berlaku di negara bersangkutan, baik itu terkait dengan menyalahi aturan
suatu negara tersebut atau tidak, ataupun mencederai nilai-nilai ketertiban umum.
Arbitrase harus diproses sesuai dengan hukum acara yang