RESPONS PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS SUSU
PADA SUPLEMENTASI SABUN MINERAL DAN
MINERAL ORGANIK SERTA KACANG
KEDELAI SANGRAI DALAM RANSUM
TERNAK RUMINANSIA
A D A W I A H
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Respons Produktivitas dan Kualitas Susu pada Suplementasi Sabun Mineral dan Mineral Organik serta Kacang Kedelai Sangrai dalam Ransum Ternak Ruminansia adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, September 2005
Adawiah
3
ABSTRAK
ADAWIAH. Respons Produktivitas dan Kualitas Susu pada Suplementasi Sabun Mineral dan Mineral Organik serta Kacang Kedelai Sangrai dalam Ransum Ternak Ruminansia. Dibimbing oleh TOHA SUTARDI, TOTO TOHARMAT, WASMEN MANALU dan NAHROWI.
Peningkatan Produksi dan kualitas susu ternak ruminansia dibatasi oleh kualitas pakan baik makronutrien maupun mikronutrien. Tujuan penelitian adalah untuk memproteksi asam lemak esensial dalam rumen, meningkatkan kadar conjugated linoleic acid susu dan produktivitas ternak ruminansia.
Penelitian dibagi dalam 3 tahap. (1) Pembuatan supleman. (2) Percobaan
in vivo pada domba. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok
dengan 8 perlakuan dan 4 kelompok pada 32 domba Garut betina (bobot awal 23.38 ± 3.56 kg). Delapan ransum yang diuji adalah MI: Ransum basal + minyak ikan; MJ: Ransum basal + minyak jagung; CaMI : Ransum basal + CaMI; CaMj: Ransum basal + CaMJ; ZnMI: Ransum basal + ZnMI; ZnMJ: Ransum basal + ZnMJ; KS: Ransum basal + kedelai sangrai dan CM: Ransum basal + campuran mineral (Zn, Cu, Cr, dan Se organik). (3) Percobaan in vivo pada sapi perah laktasi. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok pada 20 sapi perah laktasi. Ransum yang diuji adalah: B: Ransum basal; KS: Ransum basal + kedelai sangrai; CM: Ransum KS + campuran mineral (Zn, Cu, Cr, dan Se organik); CaMJ: Ransum CM + sabun kalsium minyak jagung; CaMI: Ransum CM + sabun kalsium minyak ikan.
Suplementasi MI, CaMI, CaMJ, KS, dan CM meningkatkan (p<0.01) pertumbuhan domba (104.8 vs 75.7 g hr-1). Retensi N pada domba yang diberi CaMI, KS, dan CM lebih tinggi (p<0.01) dibandingkan dengan domba yang diberi MI, MJ, CaMJ, ZnMI, dan ZnMJ (12.4 vs 9.6 g hr-1). Produksi VFA rumen domba tidak dipengaruhi oleh jenis ransum (110.6 ± 7.69 mM), konsentrasi amonia rumen domba yang mendapat ransum suplementasi MJ, CaMI, CaMJ, dan CM lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan suplementasi MI, ZnMI, ZnMJ, dan KS (9.28 vs 6.75 mM). Kadar VFA dan amonia rumen cukup untuk pertumbuhan mikroba. Suplementasi CaMI, CaMJ, dan KS pada ransum domba konsisten menurunkan komponen lemak serum darah: kolesterol (p<0.01), triasil gliserol (p<0.05) dan HDL (p<0.01), sementara kadar LDL serum domba tidak dipengaruhi oleh suplemen. Produksi susu pada sapi yang diberi KS, CaMJ, dan CaMI lebih tinggi (p<0.01) dibandingkan dengan ransum basal dan CM. Sintesis lemak, protein dan laktosa susu pada sapi perah secara berurutan meningkat 18.5%; 11.4%; 16.1% pada saat ransum ditambahkan kedelai sangrai, 29.8%; 51.3%; 34.5% pada ransum disuplementasi CaMJ, 9.4%; 23.2%; dan 18.1% pada ransum disuplementasi CaMI. Kadar CLA susu sapi yang ransumnya ditambah kedelai sangrai meningkat 101.5%. Suplementasi 3.0% CaMI tidak dapat memasok omega-3 ke dalam susu.
4
ABSTRACT
ADAWIAH. Responses of Productivity and Milk Quality on Suplementation of Mineral Soap, Organic Minerals and Roasted Soybeans in Ruminant Diets. Supervised by TOHA SUTARDI, TOTO TOHARMAT, WASMEN MANALU and NAHROWI.
Milk production and quality are limited by feed quality either macronutrient or micronutrient. The objectives of this study were to protect essential fatty acids from degradation of rumen microbes, increase ruminant productivity, increase CLA and omega-3 content of milk.
The experiment was divided into 3 parts. The first experiment was supplement production. The second experiment was evaluation of the productivity response of sheep to supplements. Thirty two Garut sheep (initial body weight of 22.38±3.56 kg) were assigned into a randomized complete block design with 8 treaments. Body weight was used as a block (4 blocks). Eight rations evaluated in this trial were FO: basal diet + fish oil, CO: basal diet + corn oil, CaFO: basal diet + calcium soap of fish oil, CaCO: basal diet + calcium soap of corn oil, ZnFO: basal diet + zinc soap of fish oil, ZnCO: basal diet + zinc soap of corn oil, RS: basal diet + roasted soybeans, MM: basal diet + mineral mix. The experimental diets were offered for 8 weeks. The third experiment was designed to measure milk yield and quality responses of dairy cattle to supplement. Twenty lactating Frisian Holstein cows (initial weight of 361.4 ± 40.39 kg) were assigned into a randomized complete block design with 5 treatments and 4 block. The treatments were B: basal diet, RS: B + roasted soybeans, MM: RS + mineral mix (organic-Zn, Cu, Cr, Se), CaCO: MM + calcium soap of corn oil, CaFO: MM + calcium soap of fish oil. The experimental diets were offered for 2 weeks preliminary and 9 weeks of observations period
The result of this study showed that suplementation of FO, CaFO, CaCO, RS, and MM increased (p<0.01) daily gain (104.8 g d-1) in sheep. Nitrogen retention in sheep fed CaFO, RS, and MM were higher (p<0.01) than those of fed FO, CO, CaCO, ZnFO, and ZnCO (12.4 vs 9.6 g d-1). VFA concentration of rumen liquid was not affected by diets (110.6±7.69 mM). Rumen NH3
concentrations in sheep fed CO, CaFO, CaCO, and MM were higher (p<0.05) than those fed FO, ZnFO, ZnCO, and RS (9.28 vs 6.75 mM). Rumen VFA and NH3 were suitable for microbial growth. Feeding CaFO, CaCO, and RS reduced
serum fat component consistently. The result indicated that polyunsaturated fatty acids in those supplements were absorbed and affected fat metabolism. Milk yield of cow fed RS, CaCO, and CaFO were higher (p<0.05) than those of fed basal and MM diets (13.67 vs 10.69 kg d-1). Milk fat, protein and lactose synthesis in cows fed RS, CaCO, and CaFO were higher than those fed basal and MM diets. Milk CLA content of cows fed RS increased practically 101.5% as component to the basal treatment. Feeding 3% CaFO did not alter EPA content in milk. DHA content were not detected in milk.
5
© Hak cipta milik Adawiah dengan arahan komisi pembimbing, tahun 2005 Hak cipta dilindungi
6
RESPONS PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS SUSU
PADA SUPLEMENTASI SABUN MINERAL DAN
MINERAL ORGANIK SERTA KACANG
KEDELAI SANGRAI DALAM RANSUM
TERNAK RUMINANSIA
A D A W I A H
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
7
Judul Disertasi : Respons Produktivitas dan Kualitas Susu pada Suplementasi Sabun Mineral dan Mineral Organik serta Kacang Kedelai Sangrai dalam Ransum Ternak Ruminansia
Nama : Adawiah NIM : P04600012 Program Studi : Ilmu Ternak
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Toha Sutardi, M.Sc. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc. Ketua (Alm) Anggota
Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
8
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji hanya kepada Allah atas semua karunia dan
rahmatNya. Kekuatan fisik, mental, dan pikiran yang dilimpahkan oleh Allah,
sehingga penulis dapat menyelesaikan semua kewajiban pada pendidikan Program
Doktor, termasuk disertasi yang berjudul ”Respons Produktivitas dan Kualitas
Susu pada Suplementasi Sabun Mineral dan Mineral Organik serta Kacang
Kedelai Sangrai dalam Ransum Ternak Ruminansia”.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan
penghormatan yang sebesarnya dan setulusnya kepada Almarhum Prof. Dr. Toha
Sutardi, M.Sc. sebagai ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Toto Toharmat,
M.Agr.Sc., Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu dan Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. selaku
anggota Komisi Pembimbing yang dengan ikhlas meluangkan waktu untuk
memberikan ilmu dan bimbingan sejak penyusunan usulan penelitian hingga
penulisan disertasi ini.
Terima kasih juga kepada Rektor IPB, Pimpinan Sekolah Pascasarjana
yang telah memberikan kesempatan menempuh pendidikan Doktor di Sekolah
Pascasarjana IPB. Rasa terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan
kepada seluruh dosen di Institut Pertanian Bogor, khususnya di Fakultas
Peternakan yang telah memberikan ilmunya sejak penulis mengikuti pendidikan
sarjana hingga Program Doktor, serta seluruh staf administrasi di Sekolah
Pascasarjana dan Fakultas Peternakan atas pelayanan dan kemudahan yang
diberikan selama menempuh pendidikan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi atas beasiswa yang diberikan. Terima kasih kepada Direktur
Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DP3M) Dikti atas diterimanya
proposal penelitian Hibah Bersaing tahun 2002 dan 2004, Bapak Ir. H. Ateng
Sutisna (Pemilik Peternakan Domba Garut di Pagelaran Bogor), Bapak Rohmani
(Ketua Kelompok Peternakan Swadaya Sapi Perah Pondok Ranggon), Bapak
9
Swadaya Sapi Perah Pondok Ranggon, Jakarta) yang telah mengizinkan
melakukan penelitian di peternakan tersebut. Kepada semua pihak yang tidak
dapat penulis sebut satu per satu yang telah memberikan bantuan baik langsung
dan tidak langsung selama kuliah, penelitian hingga penyusunan disertasi, penulis
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga keikhlasan dan kebaikannya
mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah swt.
Pencapaian ini penulis dedikasikan kepada yang tercinta almarhum Bapak
H. M. Hasan dan Ibu H. St. Asiah Bandie yang telah memberikan kasih
sayangnya tanpa pamrih dan batas waktu, dukungan moril dan materi selama ini.
Keberhasilan ini, penulis persembahkan juga kepada putra-putraku tercinta (Aulia
Rachmat Al Islamy dan Achmad Miftahul Khair) atas dukungan, pengertian, dan
kesabarannya, semoga kelak kalian dapat berbuat lebih baik dari apa yang mama
capai saat ini, amin.
Semoga disertasi ini bermanfaat.
Bogor, September 2005
10
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kolaka Sulawesi Tenggara pada Tanggal 10 Oktober
1967. Penulis adalah anak kedelapan di antara sepuluh bersaudara dari Bapak
H. Muhammad Hasan dan Ibu H. Siti Asiah Bandie. Pendidikan sarjana diperoleh
dari Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada Tahun 1992.
Pada Tahun 1995 penulis diterima sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian
Universitas Haluoleo, Kendari. Kemudian Tahun 1997, penulis melanjutkan
pendidikan Magister pada Program Studi Ilmu Ternak di Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor dengan bantuan beasiswa dari BPPS (Biaya Pendidikan
Program Pascasarjana) Dikti. Bulan Februari 2001 kembali penulis mendapat
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor di Program Studi
Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan bantuan dana
BPPS selama dua tahun sejak September 2002 hingga Agustus 2004.
Artikel berjudul Suplementasi Sabun Mineral dan Mineral Organik serta
Kacang Kedelai Sangrai pada Domba akan diterbitkan pada Jurnal Media
Peternakan pada tahun 2005. Karya Ilmiah tersebut merupakan bagian dari
11
DAFTAR ISI
halaman
DAFTAR ISI...………... x
DAFTAR TABEL ………... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
PENDAHULUAN ………... 1
Tujuan Penelitian ………. 3
Manfaat Penelitian ... 3
Hipotesis. ………. 3
TINJAUAN PUSTAKA ………... 4
Sistem Pencernaan dan Penyerapan Nutrien pada Ternak Ruminansia ... 4
Pencernaan dan penyerapan karbohidrat …….………. 5
Pencernaan dan penyerapan protein ……… 7
Pencernaan dan penyerapan lemak ……… 9
Kebutuhan dan Peranan Mineral pada Ternak ...………... 12
Zink (Zn) ... 12
Tembaga (Cu) ... 16
Kromium (Cr) ... 19
Selen (Se) ... 22
Biosintesis Nutrien Susu pada Sapi Laktasi ... 24
Biosintesis lemak susu ... 25
Biosintesis laktosa susu ... 26
Biosintesis protein susu ... 27
Biosintesis dan Manfaat Conjugated Linoleic Acid ………... 28
Peranan Minyak Jagung dan Minyak Ikan ...………... 30
Sabun Mineral ... 31
Tinjauan Umum Literatur ... 32
MATERI DAN METODE ... 34
Pembuatan Suplemen ... 34
Bilangan penyabunan ... 34
Pembuatan sabun minyak ikan dan minyak jagung ... 34 Pembuatan mineral organik ...
Pembuatan kedelai sangrai ...
35 36
12
Sangrai pada Domba... 36
Suplementasi Sabun Kalsium, Mineral Organik dan Kedelai Sangrai pada Sapi Perah Laktasi ... 40
HASIL DAN PEMBAHASAN... 42
Pertumbuhan dan Konsumsi serta Kecernaan Nutrien pada Domba yang Diberi Ransum yang Disuplementasi Minyak, Kedelai Sangrai, Sabun Mineral, dan Mineral Organik ... 42
Fermentabilitas Ransum yang Disuplementasi Minyak, Sabun Mineral, Kedelai Sangrai, dan Mineral Organik pada Domba ... 49 Komponen Lemak Serum Domba yang Diberi Ransum yang Disuplementasi Minyak, Sabun Mineral, Kedelai Sangrai, dan Mineral Organik ... 52
Konsumsi Bahan Kering, Produksi dan Nutrien Susu serta Pertambahan Bobot Badan Sapi Perah yang Diberi Ransum yang Disuplementasi Sabun Kalsium, Kedelai Sangrai, dan Mineral Organik ... 56
Kualitas Susu Sapi Perah yang Diberi Ransum yang Disuplementasi Sabun Kalsium, Kedelai Sangrai, dan Mineral Organik ... 60 Komposisi Asam Lemak Susu Sapi Perah yang Diberi Ransum yang Disuplementasi Sabun Kalsium, Kedelai Sangrai, dan Mineral Organik .... 65 Glukosa dan Hematologi Sapi Perah yang Diberi Ransum yang Disuplementasi Kedelai Sangrai, Sabun Kalsium, dan Mineral Organik .... 70 Tinjauan Komprehensif ... 73
SIMPULAN ... 75
SARAN ... 75
DAFTAR PUSTAKA ... 76
13
DAFTAR TABEL
halaman
1. Kadar mineral total dan mineral proteinat produk ... 36
2. Komposisi bahan pakan penyusun ransum domba (% bahan kering ransum) ... ... 38 3. Komposisi nutrien pakan domba ... 39
4. Kandungan mineral bahan pakan komponen ransum domba ... 39
5. Komposisi bahan pakan komponen ransum sapi perah laktasi ... 41
6. Nutrien bahan pakan komponen ransum sapi perah laktasi ... 41
7. Pertumbuhan dan konsumsi serta kecernaan nutrien pada domba yang diberikan ransum yang disuplementasi minyak, kedelai sangrai, sabun mineral, dan mineral organik ... 43
8. Fermentabilitas ransum yang disuplementasi minyak, kedelai sangrai, sabun mineral, dan mineral organik ... 50
9. Komponen lemak serum domba yang diberi ransum yang disuplementasi minyak, kedelai sangrai, sabun mineral dan mineral organik ... 54
10 . Konsumsi bahan kering ransum, produksi dan nutrien susu sapi perah yang diberi ransum yang disuplementasi sabun kalsium, kedelai sangrai, dan mineral organik ... 58
11 . Kualitas susu sapi perah yang diberi ransum yang disuplementasi sabun kalsium, kedelai sangrai, dan mineral organik ... 61 12 Komposisi asam lemak susu sapi perah yang diberi ransum yang disuplementasi sabun kalsium, kedelai sangrai, dan mineral organik ... 66
14
DAFTAR GAMBAR
halaman
1. Penyerapan Zn di usus ... 15
2. Mekanisme pengaruh ω-3,6 pada metabolisme lemak ... 56 3. Peranan biohidrogenasi dan desaturasi asam lemak pada jaringan
untuk produksi CLA ...
15
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
1. Analisis ragam pertumbuhan bobot badan domba ... 91
2. Analisis ragam konsumsi bahan kering domba ... 91
3. Analisis ragam kecernaan bahan kering domba ... 92
4. Analisis ragam retensi N domba ... 92
5. Analisis ragam retensi N/N konsumsi domba ... 93
6. Analisis ragam retensi N/N tercerna domba ... 93
7. Analisis ragam TDN domba ... 94
8. Analisis ragam VFA rumen domba ... 94
9. Analisis ragam NH3 rumen domba ... 95
10. Analisis ragam populasi protozoa rumen domba ... 95
11. Analisis ragam populasi bakteri domba ... 96
12. Analisis ragam kadar kolesterol serum domba ... 96
13. Analisis ragam kadar triasil gliserol serum domba ... 97
14. Analisis ragam kadar LDL serum domba ... 97
15. Analisis ragam kadar HDL serum domba ... 98
16. Analisis ragam konsumsi bahan kering sapi perah ... 98
17. Analisis ragam produksi susu sapi perah ... 99
18. Analisis ragam produksi susu 4% FCM sapi ... 99
19. Analisis ragam produksi lemak susu sapi perah ... 99
20. Analisis ragam produksi protein susu sapi perah ... 100
21. Analisis ragam produksi laktosa susu sapi perah ... 100
22. Analisis ragam pertambahan bobot badan sapi perah ... 100
23. Analisis ragam kadar bahan kering susu ... 101
24. Analisis ragam kadar lemak susu ... 101
25. Analisis ragam kadar bahan kering tanpa lemak susu ... 101
16
27. Analisis ragam kadar laktosa susu ... 102
28. Analisis ragam berat jenis susu sapi ... 102
29. Analisis ragam pH susu sapi perah ... 103
30. Analisis ragam total plate count (TPC) susu sapi perah ... 103
31. Analisis ragam glukosa darah sapi perah ... 103
32. Analisis ragam hematokrit darah sapi perah ... 104
33. Analisis ragam hemoglobin darah sapi perah ... 104
34. Analisis ragam leukosit darah sapi perah ... 104
35. Analisis ragam platelet darah sapi perah ... 105
36. Analisis ragam granulosit darah sapi perah ... 105
37. Analisis ragam limfosit/monosit (%) darah sapi perah ... 105
38. Analisis ragam limfosit/monosit (109l-1) darah sapi perah ... 106 39. Analisis ragam mean cospuscular hemoglobin concentration darah
sapi ……….
17
PENDAHULUAN
Salah satu kendala dalam pengembangan peternakan khususnya sapi perah
di Indonesia adalah ketersediaan pakan baik itu kualitas maupun kuantitasnya.
Kondisi tersebut juga disebabkan oleh semakin menurunnya daya dukung
lingkungan terhadap penyediaan pakan. Konversi lahan hutan dan lahan pertanian
untuk kebutuhan nirpertanian berdampak pada vegetasi dan resapan air.
Dampaknya adalah mineral esensial yang bervalensi rendah dan berbobot atom
kecil hanyut dan mineral toksik polivalen dan berbobot atom besar tinggal dalam
tanah. Situasi ini menyebabkan terjadinya distorsi status mineral pada tanah,
tanaman, dan kemungkinan ternak.
Suplementasi mineral esensial merupakan upaya alternatif untuk
mengatasi distorsi status mineral khususnya defisiensi mineral. Pemakaian
mineral organik menjadi pilihan karena lebih mudah diserap oleh tubuh dan resiko
antagonis mineral lebih kecil. Defisiensi status mineral Zn dilaporkan oleh Little
(1986) bahwa kandungan Zn pakan ternak ruminansia berkisar antara 20 dan 38
mg kg-1bahan kering. Jika defisiensi terus terjadi, dapat menyebabkan parakeratosis pada jaringan usus dan kelenjar ambing sehingga menurunkan
produktivitas ternak. Tembaga dibutuhkan sebagai komponen seruloplasmin,
dismutase superoksida, oksida lisil, dan oksidase sitokrom (NRC 2001). Sutrisno
(1983) melaporkan bahwa pada ruminansia status Cu adalah mulai dari marjinal
sampai defisien. Sementara pada kebanyakan ternak, Cu sangat sulit diserap,
pada ternak ruminansia hanya 1 sampai 3% (McDowell 1992). Selen merupakan
bagian integral dari enzim glutation peroksidase. Selen kurang dapat diabsorbsi oleh ternak ruminansia terutama dalam bentuk selenit. Penggunaan bentuk
organik lebih efektif dibandingkan dengan anorganik. Kromium adalah mineral
esensial yang berhubungan dengan kerja insulin. Kromium yang esensial adalah
Cr3+, namun sulit diserap, sedangkan Cr6+ mudah larut tetapi bersifat toksik. Oleh karena itu, satu-satunya bentuk pasokan kromium ke dalam tubuh ternak adalah
dalam bentuk ikatan ligand organik (Sutardi 2002).
Produktivitas dan kualitas hasil ternak sangat ditentukan oleh kualitas
18
tinggi, seringkali menjadi tidak efisien bagi ternak ruminansia karena protein
tersebut didegradasi dalam rumen, sementara lemaknya tidak tersedia bagi mikrob
rumen karena terikat oleh struktur organik lainnya. Proses pemanasan (sangrai)
akan meningkatkan efisiensi pakan kualitas tinggi sehingga protein akan
diproteksi dari degradasi rumen dan lemak menjadi tersedia bagi mikrob rumen.
Oleh karena itu kedelai sangrai dapat meningkatkan mutu ransum ternak
ruminansia. Kacang kedelai juga merupakan sumber asam linoleat yang
merupakan asam lemak esensial.
Suplementasi lemak dalam ransum ternak ruminansia sering digunakan
untuk meningkatkan produktivitas ternak. Penggunaan minyak dalam ransum
ternak ruminansia dapat mengganggu pertumbuhan mikrob rumen, karena asam
lemak tak jenuh toksik bagi mikrob rumen bahkan asam linoleat adalah racun bagi
protozoa. Oleh karena itu, suplementasi minyak dalam bentuk lemak yang
diproteksi bertujuan supaya lemak tidak mengganggu fermentasi dalam rumen
dan menyediakan asam lemak bagi induk semangnya. Penggunaan minyak
jagung dan minyak ikan dalam ransum ternak ruminansia selain memasok asam
lemak esensial juga diharapkan menjadi prekursor bagi sintesis asam lemak yang
bermanfaat bagi kesehatan.
Sebagian masyarakat masih mempunyai persepsi yang kurang baik
terhadap produk peternakan karena dianggap sebagai pemicu terjadinya penyakit
jantung dan aterosklerosis. Pada kenyataannya conjugated linoleic acid (CLA) pada produk ternak ruminansia, termasuk susu, sangat bermanfaat bagi kesehatan
manusia. Peranan CLA di antaranya adalah mengurangi aterosklerosis,
antidiabetes, meningkatkan mineralisasi tulang, modulasi sistem kekebalan tubuh,
mengurangi kejadian kanker payudara, lambung, kolon dan kulit (Lee et al. 1994; Bellury 1995; Nicolosi et al. 1997; Banni dan Martin 1998; Houseknecht et al. 1998).
Kualitas susu dapat ditingkatkan melalui suplementasi asam lemak yang
bermanfaat bagi kesehatan seperti CLA dan omega-3 (DHA = docosahexaenoic acid dan EPA= eicosapentaenoic acid). Minyak jagung sumber asam linoleat merupakan prekursor pembentukan CLA. Minyak ikan mengandung 27.1% EPA
19
produksi leukotrien (LT4) yang merupakan komponen sel darah putih dan
mediator dalam sistem kekebalan tubuh (Sinclair 1993). Asam lemak omega-3
khususnya EPA dan DHA adalah komponen penting otak dan organ vital lain
sehingga penting bagi kecerdasan. Minyak ikan ini juga dapat memperkaya CLA
susu (Chilliard et al. 1999; Chouinard et al. 2001).
Tujuan Penelitian
1. Meningkatkan produktivitas ternak melalui suplementasi kacang kedelai
sangrai, mineral organik, dan sabun mineral.
2. Mengevaluasi penggunaan suplemen pakan (feed suplement) sabun mineral dari minyak jagung dan minyak ikan, kacang kedelai sangrai dan mineral
proteinat dalam upaya meningkatkan kadar CLA dan memasok omega-3 di
dalam susu.
3. Memproteksi asam-asam lemak esensial dari degradasi mikrob rumen melalui
pembuatan sabun mineral.
Manfaat Penelitian
1. Mendapatkan teknologi pembuatan mineral organik atau proteinat mineral
untuk mengatasi defisiensi mineral.
2. Memperoleh teknologi pembuatan sabun mineral sebagai feed suplement
dalam memperkaya susu dengan asam-asam lemak yang bermanfaat bagi
kesehatan.
3. Meningkatkan nilai gizi susu.
Hipotesis
Suplementasi kedelai sangrai, mineral organik Zn, Cu, Cr, dan Se organik,
dan sabun mineral dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi susu pada
ternak ruminansia. Di samping itu, dapat meningkatkan kualitas susu. Sabun
mineral juga dapat memproteksi asam lemak esensial dari degradasi mikrob
20
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Pencernaan dan Penyerapan Nutrien pada Ternak Ruminansia
Proses pencernaan pada ternak ruminansia terjadi secara mekanis di mulut,
fermentatif oleh mikrob di rumen, dan hidrolitis oleh enzim pencernaan di
abomasum dan duodenum hewan induk semang. Sistem fermentasi dalam perut
ruminansia terjadi pada sepertiga dari alat pencernaannya. Hal tersebut
memberikan beberapa keuntungan yaitu produk fermentasi dapat disajikan ke usus
dalam bentuk yang lebih mudah diserap, makan cepat, menampung makanan
dalam jumlah banyak, mencerna serat kasar, dan menggunakan nitrogen
nonprotein. Di samping keuntungan tersebut, terdapat kerugian karena banyak
energi yang terbuang sebagai CH4 (6 sampai 8%) dan sebagai panas fermentasi (4
sampai 6%), protein bernilai hayati tinggi mengalami degradasi menjadi NH3, dan
mudah menderita ketosis (Sutardi 1977).
Perut ruminansia terdiri atas empat bagian yaitu retikulum, rumen,
omasum, dan abomasum. Retikulum mempunyai tiga katub penghubung, pertama
menuju rumen, kedua menghubungkan dengan oesofagus, dan retikuloomasal.
Fungsi utama retikulum adalah mengontrol perintah aliran pakan dan membentuk
jalan pakan kembali ke oesofagus selama proses ruminasi. Rumen merupakan
bagian terbesar perut ruminansia yang merupakan tempat terjadinya proses
fermentasi. Omasum berperan dalam penyerapan air dan beberapa asam lemak.
Omasum memiliki penghubung bagian depan dengan retikulum dan bagian
belakang dengan abomasum. Digesta dipompa dari omasum langsung ke
abomasum. Abomasum merupakan perut sederhana seperti pada nonruminansia.
Bagian depan abomasum berhubungan dengan omasum dan usus halus bagian
belakang. Abomasum memproduksi asam dan merupakan bagian saluran
pencernaan tempat awal proteolisis. Hasil pencernaan tersebut akhirnya masuk ke
dalam sistem peredaran darah (Collier 1985).
Pencernaan dan penyerapan karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi utama dalam kehidupan
21
bahan makanan utama ruminan yang rata-rata mengandung 75% karbohidrat.
Karbohidrat terutama dalam bentuk karbohidrat kompleks (selulosa,
hemiselulosa), di samping yang mudah larut (pati, gula dan yang sejenis)
(Parakkasi 1999).
Karbohidrat didefinisikan sebagai polihidroksi aldehida dan keton serta
turunannya. Karbohidrat diklasifikasikan dalam tiga kelompok utama yaitu
monosakarida (gula sederhana), oligosakarida (yang paling banyak terdapat di
alam adalah disakarida), dan polisakarida (bentuk karbohidrat yang paling
kompleks) (Pike dan Brown 1984).
Monosakarida, sesuai dengan namanya adalah bentuk karbohidrat yang
paling sederhana. Monosakarida diklasifikasikan dalam bentuk aldehid dan keton,
dan dikelompokkan berdasarkan jumlah atom karbon. Monosakarida dalam
bentuk aldehid, berdasarkan jumlah atam karbon adalah triosa (gliseradehid);
tetrosa (eritrosa, triosa); pentosa (xilosa, ribosa, arabinosa); heksosa (glukosa,
galaktosa dan mannosa); dan heptosa. Glukosa dan fruktosa terdapat dalam
bentuk bebas pada buah-buahan dan madu. Pentosa dan heksosa mempunyai
peranan yang sangat penting dalam metabolisme sel. Pentosa siap disintesis
dalam sel. Ribosa adalah pentosa yang sangat penting dalam sistem biologi dan
dikonversi menjadi deoksiribosa dan ribitol. Ribosa dan deoksiribosa adalah
komponen asam nukleat (RNA dan DNA). Ribosa juga adalah komponen
nukleotida (ATP, ADP, dan AMP) (Pike dan Brown 1984).
Oligosakarida yang meliputi disakarida (sukrosa, maltosa, laktosa) dan
trisakarida. Secara umum oligosakarida adalah gula-gula yang mengandung 2
sampai 10 unit monosakarida. Setiap gula diikat oleh hidroksil dengan
melepaskan satu molekul air. Sukrosa dihidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa.
Laktosa ditemukan dalam susu dan dibentuk dari glukosa dan galaktosa. Maltosa
mengandung dua molekul glukosa dan dibentuk dari hidrolisis pati (Pike dan
Brown 1984).
Polisakarida adalah polimer kompleks monosakarida. Bentuk umum
polisakarida yang dapat dicerna dalam tanaman adalah pati (polimer glukosa).
22
dinding sel tanaman, bersama dengan lignin memberikan kekuatan pada dinding
sel. Selulosa, hemiselulosa, pektin, gum juga disebut sebagai serat. Serat
merupakan komponen tanaman yang tahan enzim pencernaan manusia (Pike dan
Brown 1984). Selulosa dapat dicerna oleh enzim yang dihasilkan oleh mikrob
rumen (Frandson 1996).
Karbohidrat yang memasuki rumen seperti selulosa, hemiselulosa, pati,
dan karbohidrat yang larut air seperti fruktosa akan dipecah menjadi gula
sederhana (Gambar1). Selulosa pertama dirombak menjadi selobiosa oleh enzim
-1,4 glukosidase, selanjutnya dikonversi menjadi glukosa. Hemiselulosa
dikonversi menjadi pentosa juga oleh enzim -1,4-glukosidase, selanjutnya
menjadi fruktosa-6-fosfat. Pati dikonversi menjadi maltosa dan selanjutnya
menjadi glukosa atau glukosa-1-fosfat. Hasil pencernaan tersebut memasuki
siklus glikolisis Embden-Meyerhoff dan menghasilkan piruvat sebagai produk
akhirnya. Piruvat oleh bakteri rumen difermentasi menghasilkan asetat, butirat
dan propionat (Collier 1985).
Biasanya proporsi asam asetat, propionat, dan butirat secara berturut-turut
adalah 60 sampai 70%, 15 sampai 20%, dan 10 sampai 5%. Di samping asam
lemak tersebut juga terdapat asam lemak berantai cabang yaitu isobutirat dan
isovalerat. Kadar asam lemak ini biasanya rendah tetapi pada pemberian protein
tinggi, kadarnya akan naik (Sutardi 1977). Konsentrasi propionat terbesar dalam
rumen ditemukan ketika pakan mengandung gula yang mudah larut atau pati
tinggi. Biasanya asam laktat juga akan ditemukan dalam rumen jika ternak
mengkonsumsi gula yang mudah larut atau pati tinggi. Asam laktat tidak stabil
dalam rumen. Hampir semua produksi VFA diserap dalam rumen, retikulum, dan
omasum dan sangat sedikit sampai ke abomasum. Reaksi awal dalam
metabolisme asetat adalah konversi menjadi asetil-CoA dalam sitoplasma melalui
asetil-CoA sintetase (enzim yang tersebar dalam jaringan ternak). Hampir 80%
asetat yang sampai di hati mengalami proses oksidasi dan masuk ke dalam
sirkulasi perifer. Sekali diserap dari darah, kebanyakan asetat dioksidasi melalui
siklus TCA (tricarboxylic acid) atau digunakan untuk sintesis asam lemak. Selama penyerapan melalui epitelium rumen, 2 sampai 5% propionat dikonversi
23
propionat. Kebanyakan propionat yang sampai di hati selanjutnya dioksidasi atau
dikonversi menjadi glukosa. Asam butirat kebanyakan dikonversi menjadi keton
selama penyerapan di epitelium rumen, sehingga kadar butirat sangat rendah
dalam darah portal.
Pencernaan dan penyerapan protein
Protein adalah bahan organik esensial untuk semua sel dan menyusun
hampir 18% berat tubuh ternak. Protein adalah polimer kompleks dengan berat
molekul antara 5000 sampai 1 juta. Berat molekul yang besar terjadi karena
terdiri atas asam-asam amino yang mengalami polimerisasi menjadi suatu rantai
polipeptida. Penggabungan asam-asam amino tersebut terbentuk dari ikatan
antara gugus amino (NH2) dari suatu asam amino dengan gugus karboksil dari
asam amino yang lain dengan membebaskan satu molekul air (H2O) (Frandson
1996).
Ternak ruminansia mempunyai kemampuan unik untuk bertahan dan
berproduksi tanpa sumber protein pakan karena adanya sintesis protein mikrob
dalam rumen. Mikrob rumen dimanfaatkan oleh ternak bersama protein pakan
yang bebas dari degradasi dalam rumen, memasok protein ke usus halus untuk
dicerna dan diserap (Zinn dan Owens 1988).
Mikrob rumen menggunakan sumber N untuk sintesis protein yang
berasal dari protein pakan dan N nonprotein (NPN). Sapi dapat tumbuh,
bereproduksi, dan laktasi walau pakan hanya mengandung NPN sebagai sumber
N. Secara umum mikrob rumen mengandung antara 20 dan 60% protein kasar
dari bahan keringnya. Protein kasar bakteri rumen cenderung bervariasi dengan
rataan 50% (±5%), di lain pihak protein kasar protozoa lebih bervariasi lagi
dengan rataan 40% dengan kisaran 20 sampai 60% (Zinn dan Owen 1988).
Di dalam rumen, protein mengalami hidrolisis menjadi oligopeptida oleh
enzim proteolisis yang dihasilkan mikrob. Sebagian mikrob dapat memanfaatkan
oligopeptida untuk membuat protein tubuhnya. Sebagian lagi oligopeptida
tersebut dihidrolisis lebih lanjut menjadi asam amino (AA). Kebanyakan mikrob
rumen tidak dapat memanfaatkan AA secara langsung. Diduga mikrob rumen
24
tubuhnya. Lebih kurang mikrob rumen dapat menggunakan N amonia, karena itu
mikrob lebih suka merombak AA tersebut menjadi amonia (Sutardi 1997).
Kebanyakan bakteri rumen dapat menggunakan N-NH3 sebagai sumber N
walaupun beberapa spesies membutuhkan tambahan senyawa N (protein atau
karbon dari asam amino tertentu) untuk pertumbuhan paling cepat atau efisien.
Bakteri aktif menyerap N-NH3 sementara protozoa tidak. Penyerapan amonia
meningkat jika konsentrasi amonia rumen meningkat. Keracunan amonia sering
terjadi jika konsentrasi amonia melebihi 100 mg dl-1 (Zinn dan Owen 1988). Amonia merupakan sumber N utama untuk sintesis de novo asam amino mikrob rumen. Konsentrasi N-NH3 5 mg% atau 3.57 mM dalam rumen sudah
cukup untuk memenuhi kebutuhan N mikrob (Sutardi 1977). Sementara Agustin
et al. 1992; dan Erwanto et al. 1993 menyatakan bahwa kadar NH3 optimal untuk
pertumbuhan mikrob rumen yang relevan dengan produksi ternak adalah 8 mM.
Dengan demikian batasan 5 mg% (± 4 mM) adalah batas minimal dan 200 mg l-1 (± 14 mM) merupakan batas maksimal (Sutardi 1997). Sintesis MCP (microbial crude protein) sekitar 20 g 100g-1 total bahan organik, yang dicerna dalam rumen sekitar 9.6 sampai 33.2 g 100g-1 atau 14.5 g 100g-1 bahan organik, yang benar-benar difermentasi dalam rumen 7.6 sampai 20.3 g 100g-1 bahan organik (Zinn dan Owen 1988).
Meskipun dapat menggunakan NPN sebagai sumber N untuk sintesis asam
amino mikrob, ternak ruminansia tetap membutuhkan asam amino karena pada
dasarnya ternak tidak dapat mensintesis asam amino. Alasan yang mendasar
bahwa ternak tidak dapat mensintesis asam amino adalah kurangnya asam α-keto untuk transaminase. Asam-asam amino esensial bagi ternak ruminansia adalah
metionina (Met), leusina (Leu), isoleusina (Ile), valina (Val), lisina (Lys) dan
treonina (Thr). Esensialnya asam-asam amino tersebut didasarkan pada transfer
Met dan asam amino bercabang (Leu, Ile, Val) ke dalam protein mikrob rumen
cukup besar mencapai sepertiga bagian. Asam amino lisina mengalami
perombakan di rumen, sedangkan asam α-ketotreonina tidak ditemukan dalam rumen maupun sampel digesta (Sutardi 1977). Di samping enam asam amino
25
fenilalanina (Phe) dan triptofan (Trp), dan sejumlah asam amino yang bersifat
semiesensial atau koesensial (Merchen dan Titgemeyer 1992).
Peptida atau asam amino bercabang sebagai sumber asam lemak rantai
bercabang (branched chain fatty acid=BCFA) penting bagi pertumbuhan bakteri selulolitik. Pencernaan serat bergantung pada pasokan BCFA dari pakan atau
mikrob lain dalam rumen. Defisiensi BCFA, amonia dan nutrien lain dapat
menyebabkan energi (ATP) tidak seimbang. Proses fermentasi berlanjut tapi ATP
yang diproduksi tidak digunakan mikrob untuk pertumbuhan. Sebagian bakteri
dapat tumbuh tanpa sumber karbohidrat untuk energi. Strain bakteri tertentu
membutuhkan struktur karbon dari asam amino esensial dan asam amino tersebut
dapat diinkorporasikan ke dalam protein mikrob. Bakteri tertentu lebih menyukai
peptida sebagai sumber N. Kemampuan untuk menggunakan asam amino atau
peptida dapat mengurangi kebutuhan energi (Zinn dan Owen 1988).
Sebagian besar pencernaan dan penyerapan protein pascarumen, prosesnya
sama dengan ternak nonruminansia. Ruminansia memiliki pH lambung dan
duodenum yang lebih rendah sehingga dapat meningkatkan pencernaan protein.
Semua protein larut oleh pepsin dan HCl dalam lambung, kemudian dicerna
dalam usus halus.
Pencernaan dan penyerapan lemak
Lemak adalah semua bahan yang dapat diekstrak dengan pelarut lemak
seperti ether, kloroform, benzene, karbon tetrakloroid, dan aseton. Sebagian
lemak merupakan sumber energi bagi sel, sebagian lain adalah komponen
struktural bagi komponen sel dan membran, serta sebagai prekursor hormon.
Lemak dapat diklasifikasikan sebagai lemak sederhana, lemak kompleks dan
turunan lemak. Lemak sederhana meliputi asam lemak, lemak netral (mono, di
dan triasil gliserol), dan wax (ester dari asam lemak dengan alkohol tinggi; yang
terdiri atas sterol ester seperti ester kolesterol dengan asam lemak dan ester
nonsterol seperti ester vitmin A). Lemak kompleks terdiri atas asam fosfolipid
(lesitin dan sefalin), plasmalogen, spingomielin; glikolipid (mengandung
karbohidrat); lipoprotein (lemak dengan kombinasi dengan protein). Turunan
26
Rumen memodifikasi lemak dalam beberapa cara. Asam lemak ditemukan
dalam bentuk yang sudah diesterifikasi dalam pakan konvensional, dan mikrob
rumen menghidrolisis triasil gliserol ke dalam bentuk asam lemak bebas dan
gliserol atau komponen lain, bergantung pada bentuk lemak pakan. Setelah
proses lipolisis terjadi proses biohidrogenasi. Karena proses biohidrogenasi
bergantung pada kehadiran karboksil bebas, lipolisis adalah obligator pertama
dalam modifikasi lemak yang diesterifikasi dalam pakan. Tidak semua bakteri
mampu melakukan lipolisis, dan protozoa tidak memiliki aktivitas lipolitik.
Fraksi pakan yang mengalami lipolisis dan biohidrogenasi lebih rendah pada
pakan biji-bijian, dengan demikian lebih banyak yang lewat ke lambung.
Meskipun terjadi dengan cepat, lipolisis tetap dibatasi untuk mencegah kelebihan
asam-asam lemak polyunsaturated bebas yang mengganggu pencernaan serat dan menghambat proses biohidrogenasi. Proses hidrolisis bergantung pada bentuk
alami lemak pakan. Minyak tumbuhan seperti linseed oil dihidrolisis lebih
sempurna (lebih 90%), sementara minyak ikan kurang dari 50% (Byers dan
Schelling 1988).
Proses biohidrogenasi terjadi dalam rumen dan dilakukan oleh mikrob.
Proses ini menghasilkan penambahan H+ pada asam-asam lemak ikatan rangkap. Biohidrogenasi asam lemak tidak jenuh terjadi melalui mekanisme penting, yaitu
pemindahan atom H+ oleh mikrob. Jika proses tersebut sempurna maka semua ikatan rangkap dikonversi menjadi ikatan satu dan asam lemak menjadi jenuh
(saturated). Hampir semua asam lemak tidak jenuh tanaman terdapat dalam
bentuk konfigurasi cis sehingga depot lemak pada ternak nonruminansia
semuanya dalam bentuk cis. Mikrob rumen menghasilkan isomer-isomer trans,
perubahan panjang rantai, perubahan posisi ikatan rangkap, dan asam lemak rantai
bercabang. Semua proses ini menghasilkan depot lemak yang unik pada
ruminansia yang berbeda dari lemak pakan (Byers dan Schelling 1988).
Penelitian dengan kultur murni menunjukkan bahwa individu spesies
bakteri biasanya tidak menjenuhkan banyak ikatan rangkap tetapi akan
menghidrogenasi satu ikatan rangkap seperti: C18:3 menjadi C18:2; C18:2 menjadi
C18:1 atau C18:1 menjadi C18:0. Penelitian dengan kultur campuran biasanya
27
lemak tidak jenuh C18 dihidrolisis melalui proses lipolisis kemudian dihidrogenasi
oleh bakteri yang berbeda. Produk akhir dari asam lemak ikatan rangkap ganda
C18 adalah asam stearat. Meskipun banyak posisi dan isomer-isomer dari
monoenoik dan dieonoik, asam lemak berakumulasi dalam rumen khususnya jika
rumen kelebihan lemak. Di antara itu jumlah trans-vaccenic acid (C18:1 n=7)
sangat penting. Hidrogenasi PUFA C20-22 masih kontroversial. Menurut Ashes et
al. (1992) dan Palmquist dan Kinsey (1994) tidak terjadi biohidrogenasi pada rumen yang ditambahkan minyak ikan dengan konsentrasi 5 mg ml-1 in vitro,
namun Van Nevel dan Demeyer et al. (1995) melaporkan proses hidrogenasi in
vitro maupun in vivo dan Gulati et al. (1999) menunjukkan adanya
biohidrogenasi saat level minyak ikan < 2 mg ml-1 cairan rumen. Penambahan lemak menurunkan konsentrasi protozoa. Penurunan ini bergantung pada sumber
lemak. Linseed oil sangat kuat menurunkan protozoa (Ikwuegbu dan Sutton
1982). Lemak lain yang kaya PUFA seperti minyak kedelai mengurangi protozoa
lebih sedikit (Doreau et al. 1997). Asam linolenat memiliki daya toksisitas tinggi (Doreau et al. 1997).
Lemak yang masuk ke dalam usus halus kebanyakan dalam bentuk asam
lemak bebas, asam lemak jenuh dan ikatan tidak berion sebagai kompleks yang
tidak larut. Asam lemak rantai pendek (<C12) diserap dalam rumen dan asam
lemak rantai panjang masuk ke dalam abomasum dan diserap dalam usus halus.
Garam empedu mengemulsi lemak menjadi partikel emulsi. Partikel emulsi
terutama mengandung triasil gliserol. Lipase pankreas merombak triasil gliserol
menjadi mono dan diasil gliserol dan asam lemak bebas. Mono dan diasil
gliserol masuk ke dalam sel epitel dari brush border usus halus. Selanjutnya membentuk triasil gliserol kembali. Untuk masuk ke dalam aliran darah maka
triasil gliserol bersama dengan fosfolipid, protein dan asam-asam lemak
membentuk kilomikron. Kilomikron diangkut melalui sirkulasi limfatik menuju
aliran vena portal. Kilomikron plasma selanjutnya dibawa ke hati, jaringan
28
Kebutuhan dan Peranan Mineral pada Ternak
Zink (Zn)
Lebih dari 100 tahun yang lalu, Zn telah diketahui penting untuk
pertumbuhan jamur Aspergillus niger. Selanjutnya pada tahun 1934, Zn pertama kali diketahui sebagai nutrien esensial pada tikus. Pada tahun 1940 Keilin dan
Mann mengisolasi dan memurnikan enzim karbonik anhidrase yang mengandung
0.33% Zn (McDowell 1992). Konsentrasi Zn pada kebanyakan jaringan mamalia
adalah sekitar 10-100µg g-1 bobot basah (30 sampai 250µg g-1 berat kering), dengan variasi kecil untuk setiap spesies. Konsentrasi tertinggi ditemukan dalam
jaringan seperti kulit, rambut, bulu, dan wool (McDowell 1992), sedangkan
menurut Georgievskii (1982) konsentrasi tertinggi terdapat dalam tulang, hati,
kulit, dan rambut. Di samping itu, Zn juga terdapat dalam pankreas, ginjal,
kelenjar pituitari, kelenjar adrenal, testes, kelenjar asesoris kelamin jantan, dan
mukosa dengan konsentrasi relatif lebih tinggi. Serapan utama Zn adalah tulang
(15%), otot (45%), dan wool (27%). Penyerapan kembali dari tulang
kemungkinan terjadi selama masa laktasi pada ternak (Lee et al. 1999).
Kandungan total Zn pada jaringan dan organ sapi berada di bawah kontrol
mekanisme homeostasis. Kadarnya berkurang sedikit jika ransum defisien Zn.
Kandungan Zn hati, pankreas, dan tulang berkurang 30 sampai 60% ketika gejala
defisiensi klinis sudah mulai tampak. Konsumsi Zn melebihi 600 ppm
meningkatkan kandungan Zn jaringan, yang mengindikasikan kegagalan
mekanisme kontrol homeostasis pada level tinggi (Miller et al. 1988).
Secara umum Zn dalam tubuh berikatan dengan protein dan jaringan
tulang rangka, dan hanya sedikit yang berikatan dengan lemak (Georgievskii
1982). Darah ruminansia mengandung kira-kira 2 mg l-1 yang setengahnya berada dalam serum atau plasma. Suplementasi Zn memiliki pengaruh yang kecil
walaupun level konsumsi sangat ekstrim tinggi (300 mg kg-1 atau lebih). Dari total Zn dalam plasma domba, 66% berikatan dengan albumin, 22% berikatan
dengan α-2 makroglobulin, 12% tidak terikat dan diasumsikan Zn tersebut tersedia untuk aktivitas fisiologi. Selama defisien, ikatan Zn mungkin berkurang
29
tinggi dibandingkan Zn susu. Konsentrasi Zn susu meningkat dengan tingginya
Zn pakan dan menurun jika konsumsi Zn rendah. Kebanyakan dari Zn dalam
susu sapi berikatan dengan fraksi protein dengan berat molekul tinggi (Miller et al. 1988). Kadar Zn normal susu adalah 3 sampai 5 mg l-1. Kadar Zn kolostrum mencapai 14 mg l-1 (Underwood dan Suttle 2001).
Lebih dari 200 enzim merupakan metaloenzim Zn. Peranan utama Zn
dalam tubuh ternak berhubungan dengan fungsi enzim. Enzim-enzim tersebut
antara lain adalah karbonat anhidrase, alkohol dehidrogenase, laktat
dehidrogenase, glutamat dehidrogenase, dan alkaline fosfatase. Superoksida
dismutase mengandung Cu-Zn, Zn berperan dalam perlindungan jaringan
melawan peroksidase lemak. Peranan Zn juga dikaitkan dengan sintesis DNA,
RNA, protein, ekspresi potensi gen, pembelahan, pertumbuhan, dan perbaikan sel.
Di samping itu Zn juga berperan dalam stabilisasi membran, sistem kekebalan sel,
kerja insulin, glukagon, kortikotropin, dan hormon lainnya. Kerja follicle
stimulating dan lutenizing hormones meningkat oleh Zn dan berperan dalam
keratinisasi dan kalsifikasi (Miller et al. 1988).
Little (1986) melaporkan bahwa kandungan Zn pada pakan ruminansia
berkisar antara 20 dan 38 mg kg-1 bahan kering. Padahal kebutuhan Zn bagi ternak ruminansia adalah 40 ppm untuk sapi perah, 20 sampai 30 ppm untuk
pertumbuhan dan finishing sapi, dan 35 sampai 50 untuk domba (NRC 1980).
Pada sapi laktasi produksi tinggi (35 kg) membutuhkan 73 mg kg-1 Zn (NRC 2001). Kandungan Zn bakteri rumen 130 sampai 220 ppm, merupakan kebutuhan
Zn mikrob rumen (Hungate 1966).
Efektivitas Zn dalam meningkatkan kinerja produksi terlihat dalam
percobaan pada sapi Bali (Putra 1999). Suplementasi ransum dengan 50 mg kg-1 Zn-asetat (35.6% Zn) mampu meningkatkan laju sintesis protein mikrob rumen
pada sapi bunting (17.6 vs 20.8 mg l-1jam-1), meningkatkan bobot lahir pedet (17.8 vs 19.5 kg), dan produksi susu (4% FCM) selama 25 minggu pertama laktasi
(1126 vs 1676 g hr-1). Suplementasi mineral Zn (ZnSO4.7H2O) 60 ppm dapat
30
bulan (90.1 kg) (Adriani 2003). Suplementasi Zn(Lys)2 pada sapi dara dengan
ransum limbah industri dapat memacu pertumbuhannya yaitu 1.24 kg hr-1 (Tanuwiria 2004).
Gejala awal defisiensi Zn pada sapi adalah penurunan konsumsi pakan,
pertumbuhan bobot badan rendah, dan kelebihan salivasi. Efek lainnya adalah
penggunaan nutrien setelah pencernaan rendah, di antaranya keseimbangan
nitrogen dan sulfur rendah. Peningkatan ekskresi Zn dalam urin yang
mengindikasikan penurunan penggunaan protein dan parakeratosis kulit
(McDowell 1992).
Penyerapan Zn pada ternak ruminansia merupakan proses dinamis yang
dipengaruhi oleh faktor pakan dan fisiologi. Persentase penyerapan meningkat
apabila konsumsi Zn menurun dan akan berkurang jika konsumsi tinggi.
Persentase penyerapan Zn lebih tinggi pada sapi muda dari pada yang tua, hal ini
mungkin menunjukkan deposisi Zn dalam jumlah besar pada jaringan tubuh.
Kemampuan penyerapan akan berkurang dengan meningkatnya umur (Miller et al. 1988). Sifat antagonis mineral Ca dan fitat serta EDTA (ethylenediamine tetraacetic acid) terhadap penggunaan Zn pada babi dan unggas, tidak menjadi masalah pada ruminansia. Kandungan Zn serum darah, rib, hati, otak, dan wool
domba tidak dipengaruhi oleh level Ca pakan 1 sampai 4% bahan kering.
Penyerapan Zn menurun jika Cu, Cd pakan tinggi karena Cu atau Cd dapat
menggantikan ikatan Zn pada metalotionin (Church 1988). Sementara itu kasein,
ekstrak hati, minyak jagung, tepung darah, EDTA, vitamin D, sitrat, pikolinat,
dan asam amino (histidina, glutamina, sisteina) meningkatkan penyerapan Zn
(McDowell 1992).
Usus halus merupakan tempat utama penyerapan dan ekskresi Zn pada
ruminansia. Penyerapan Zn membutuhkan kondisi aerob. Pankreas
menyekresikan suatu ligand (asam pikolinat) masuk ke dalam duodenum
mengikat Zn. Ligand-Zn kompleks diangkut ke dalam sel epitel (Miller et al.
31
Zink dalam plasma terdiri atas 77% terikat longgar dengan albumin, 20%
terikat kuat dengan α-2 makroglobulin, dan 2 sampai 8% bebas yang akan dikeluarkan melalui urin (0.5 sampai 0.8 mg hr-1) atau feses (Berdanier 1998). Penyerapan Zn dipengaruhi oleh kolekalsiferol, leukosit endogenus, prostaglandin
E2. Metalotionin dalam mukosa sel berperan dalam mengontrol ketersediaan
jumlah Zn untuk diangkut ke dalam sistem sirkulasi (Miller et al. 1988)
Suplementasi mineral organik terutama mineral kompleks atau khelate
dengan asam amino atau peptida dapat meningkatkan penyerapan dan penggunaan
Zn (Lee et al. 1999). Mineral diikat oleh karboksil dan kelompok amino dari asam amino tersebut. Mineral tersebut dipercaya dapat melindungi asam amino
dari perombakan dalam rumen dan juga menyediakan mineral pada ternak dalam
bentuk organik (Lee at al. 1999). Beberapa penelitian menunjukkan ketersediaan biologis Zn organik dibandingkan bentuk anorganik, termasuk ZnO dan ZnSO4
(Spears 1989; Wedekind et al. 1992). Mineral proteinat dimanfaatkan oleh ternak mengikuti jalur penyerapan peptida atau asam amino (Close 2000).
Usus
Usus MukosaMukosa
Zn
Zn+ ++ +
Zn
Zn+ ++ +
NSBP
NSBP == Non Specific Binding ProteinNon Specific Binding Protein
MTI
MTI == MetallothioninMetallothionin
CRI P
CRI P == CrysteineCrysteine--Rich I ntestinal ProteinRich I ntestinal Protein
Zn
Zn+ ++ +
Zn
Zn+ ++ +
MTI
MTI --ZnZn
MTI
MTI --ZnZn CRI P
CRI P -- ZnZn
NSBP
NSBP
CRI P
CRI P
Serosa
Serosa PlasmaPlasma
Zn
Zn+ + + + --albuminalbumin
albumin
albumin
CRI P
[image:31.595.109.502.417.678.2]CRI P
32
Tembaga (Cu)
Pada Tahun 1928 Cu pertama kali ditemukan sebagai mineral esensial
bagi pembentukan hemoglobin tikus. Penemuan tersebut diikuti dengan kejadian
bahwa Cu esensial bagi pertumbuhan dan pencegahan gangguan fisiologi dan
klinis pada semua tipe ternak yang digembalakan. Pada tahun 1931, pertama kali
ditemukan Cu sebagai mineral esensial bagi ternak ruminansia. Pada saat itu,
ternak memperlihatkan gejala defisiensi Cu seperti anemia, diare, dan hilangnya
nafsu makan, dan keadaan ternak kembali membaik setelah terapi Cu (McDowell
1992).
Konsentrasi Cu dalam jaringan hati, otak, ginjal, jantung, rambut atau
wool pada hampir semua spesies adalah tinggi. Pankreas, otot kulit, dan tulang
memiliki konsentrasi yang lebih rendah. Kandungan terendah terdapat dalam
tiroid, pituitari, prostat dan timus. Jaringan ternak ruminansia yang dianalisis
menunjukkan hati memiliki konsentrasi Cu terbesar sekitar 100 sampai 600 ppm
bahan kering pada ternak dewasa normal. Kadar tersebut bisa menurun hingga di
bawah 10 ppm jika defisiensi Cu, dan lebih 600 ppm jika kelebihan (Miller et al.
1988).
Tembaga dalam plasma atau darah utuh domba mendekati 100 µg dl-1 tetapi dapat meningkat sampai 165 µg dl-1 jika Cu, Mo dan S pakan tinggi (Miller
et al. 1988). Konsentrasi Cu susu sapi dan kambing adalah 0.15 mg l-1
(Underwood dan Suttle 2001).
Tembaga merupakan bagian dari beberapa enzim. Tembaga esensial bagi
reproduksi, perkembangan tulang, pertumbuhan, perkembangan jaringan organ,
dan pigmentasi kulit (Underwood dan Suttle 2001). Tembaga penting dalam
fungsi biokimia dalam tubuh ternak. Beberapa enzim yang terkait dengan Cu
adalah (1) seruloplasmin yang berfungsi untuk meningkatkan penyerapan dan
transpor Fe (membantu inkorporasi Fe ke dalam protein, ferritin) untuk
pembentukan hemoglobin (Saenko et al. 1994), (2) sitokrom oksidase untuk transfer elektron selama proses respirasi, (3) dopamin- - monooksigenase untuk
metabolisme katekolamin, (4) lisil oksidase berfungsi dalam pembentukan ikatan
silang desmosin sebagai penghubung antara jaringan, (5) peptidiglisin amidating
33
seperti gastrin, (6) Cu-Zn superoksida dismutase (Cu-ZnSOD) berperan dalam
dismutasi O2 dan H2O2, dan (7) tirosinase untuk mengubah tiroksin menjadi
melanin.
Fungsi lain mineral Cu adalah sebagai komponen ikatan nukleotida adenin
pada membran mitokondria, erythrocuprein yang berfungsi melindungi sel dari radikal bebas yang sangat reaktif akibat metabolisme sel, dan cerobrocuprein
yaitu protein larut air (0.33% Cu) juga sebagai superoksida dismutase (Church
1988). Tembaga esensial bagi sistem kekebalan normal ternak ruminansia (Suttle
dan Jones 1986).
Mineral-mineral Fe, Mo, S, Zn, Pb dan Cd mempengaruhi kebutuhan
mineral Cu, demikian pula dengan protein (McDowell 1992). Perkiraan
kebutuhan Cu bergantung pada level minimum mineral antagonisnya. Level Zn
dan Fe yang tinggi akan menurunkan penyerapan mineral Cu dan cenderung
meningkatkan kebutuhan Cu (Underwood 1977). Kebutuhan Cu pada ternak
ruminansia berkisar mulai dari 8 sampai 10 ppm (Underwood 1977). Kebutuhan
Cu pada sapi perah adalah 10 ppm (NRC 1989). Kandungan Cu hijauan
kurang dari 3 ppm bahan kering, sehingga sering terjadi defisiensi Cu pada ternak
yang digembalakan, oleh karena itu suplementasi Cu harus dilakukan (Miller et al. 1988). Defisiensi Cu pada ternak ruminansia menghasilkan gejala yang bergantung pada spesies, umur, dan jenis kelamin serta kualitas dan lama
defisiensinya.
Penyerapan Cu terjadi di usus halus. Status Cu mempengaruhi
penyerapan, jika kebutuhan besar maka penyerapan tinggi. Jumlah yang diserap
juga bergantung pada pakan yang dikonsumsi dan mineral-mineral divalen.
Efisiensi penyerapan Cu rendah, dengan rataan 12% dari konsumsi dan tidak
dipengaruhi oleh fitat. Mineral Cu yang tidak diserap dikeluarkan dalam feses,
urin, dan juga pada kulit dan rambut. Persentase yang hilang melalui urin, feses,
kulit dan rambut antara 12 dan 43% dari konsumsi (Berdanier 1998). Pada ternak
ruminansia eksresi Cu dalam feses mencapai 80 sampai 92% dan urin 1 sampai
34
Mineral Cu dapat diserap dalam semua segmen saluran pencernaan,
walaupun tempat penyerapan utama berada di usus halus. Tembaga diserap oleh
enterosit, Cu diikat baik oleh albumin atau transkuprein serta asam amino tertentu
khususnya histidina. Transkuprein berkompetisi dengan albumin mengikat Cu
dalam usus halus. Waktu paruh ikatan albumin dan Cu adalah 10 menit. Tembaga
dikirim ke hati dan berinkorporasi ke dalam protein transpor α-globulin disebut seruloplasmin. Seruloplasmin membawa enam atom Cu dan diperkirakan 60
sampai 95% Cu plasma diangkut oleh protein ini. Namun seruloplasmin tidak
hanya berguna untuk mengangkut Cu ke semua bagian tubuh tapi juga memiliki
aktivitas enzim seperti ferroksidase, amida oksidase, dan superoksida dismutase
(Berdanier 1998).
Ikatan metalotionin dalam mukosa usus mempunyai arti penting dalam
menghambat translokasi Cu (Cousins 1985). Pengangkutan Cu dalam darah
sebagian besar melalui pengikatan dengan albumin. Suplemen Cu dapat
disediakan dalam bentuk Cu-sulfat, Cu-oksit, Cu-karbonat, Cu-klorit, Cu-khelat,
dan Cu-proteinat. Cu-sulfat dan Cu-oksit adalah bentuk umum yang paling sering
digunakan. Cu-oksit lebih tidak efektif dan tidak tersedia dari pada Cu-sulfat
(Cromwell et al. 1989). Suplementasi Cu dengan ketersediaan biologis tertinggi hingga terendah adalah CuSO4, CuCO3, CuO. Ketersediaan biologis Cu-proteinat
lebih besar dari Cu-sulfat pada sapi yang diberi pakan mengandung Mo (Kincaid
et al. 1986).
Toleransi spesies terhadap toksisitas Cu berbeda. Ternak ruminansia
sangat sensitif terhadap toksisitas Cu, nonruminansia sangat toleran terhadap Cu.
Perbedaan tersebut akibat adanya perbedaan dalam metabolisme S. Sapi toleran
hingga level 100 ppm Cu, untuk domba 25 ppm (NRC 1980). Toksisitas Cu
terjadi pada ruminansia, tapi tidak pada nonrumiansia. Toksisitas Cu terjadi pada
kondisi penggembalaan, Cu tinggi namum rendah Mo dan S (0.1 sampai 0.2
ppm). Konsentrasi Zn pakan yang tinggi mencegah toksisitas Cu. Kandungan
100 ppm Zn bahan kering pakan mengurangi penyimpanan Cu hati (Pope 1971)
Suplementasi Cu 20 ppm di dalam ransum sapi pejantan fase finishing
menurunkan kadar LDL dan HDL. Sementara kadar triasil gliserol dan NEFA
35
250 ppm tidak mempengaruhi asam lemak jenuh serum babi. Minyak kedelai dan
minyak hewan menurunkan asam lemak jenuh serum. Lemak rantai sedang
(medium chain triglycerides=MCT) tidak mempengaruhi asam lemak jenuh
dibandingkan dengan kontrol (tanpa suplementasi lemak). Ada interaksi antara
Cu dan lemak, peningkatan level Cu meningkatkan monounsaturated fatty acid
dan menurunkan polyunsaturated fatty acid dengan pemberian 5% triasil gliserol rantai sedang, dan kebalikan pada saat babi diberi pakan tanpa lemak.
Penambahan Cu 125 dan 250 ppm tidak mempengaruhi monounsaturated dan
polyunsaturated fatty acid serum yang diberi minyak kedelai dan minyak hewan. Namun minyak kedelai menghasilkan monounsaturated yang paling rendah dan
polyunsaturated tertinggi di serum, dan MCT dan minyak hewan tidak
mempengaruhi monounsaturated dan polyunsaturated serum babi (Dove 1993). Profil asam lemak fosfolipid membran dipengaruhi oleh ransum (cukup dan
defisien Cu). Asam lemak stearat (C18:0), docosahexaenoic acid (C22:6n-3) dan
docosadienoic acid (C22:2n-3) meningkat pada ransum yang defisien Cu, dan di sisi
lain asam linolenat (C18:3n-3) dan oleat (C18:1n-9) menurun. Polyunsaturated fatty
acid menurun pada tikus yang mendapat ransum defisien Cu dibandingkan dengan ransum yang cukup Cu. Namun asam lemak dengan C22:6 tidak dipengaruhi oleh
ransum (Abu Salah 1991).
Kromium (Cr)
Kromium adalah mineral esensial yang penting dalam metabolisme
glukosa, protein, dan lemak pada jaringan hewan. Kromium juga diketahui
berperan dalam regulasi kolesterol dalam darah. Kromium merupakan bagian
penting dari glucose tolerance factor (GTF) yang bertanggung jawab pada pengaturan level glukosa dalam darah. Level glukosa darah dan homeostasisnya
berhubungan dengan sintesis lemak dan protein khususnya pada ternak ruminansia
(Ohh dan Lee 2005). Glucose tolerance factor adalah komponen Cr3+ yang berikatan dengan asam nikotinat, glisina, asam glutamat dan sisteina dan memiliki
aktivitas biologis jauh lebih besar dari sumber Cr anorganik (McDowell 1992).
Selain berperan dalam metabolisme karbohidrat, kromium juga mempunyai
36
yang dipengaruhi oleh kromium di antaranya adalah glisina, serina, dan
metionina. Kromium berperan dalam kofaktor untuk insulin dalam metabolisme
asam amino yang berbeda dengan insulin penggunaan glukosa (Anderson 1987).
Kebutuhan kromium pada manusia relatif lebih diketahui dibanding pada
ternak. Konsentrasi kromium dalam jaringan dan organ, kecuali paru-paru,
menurun dengan bertambahnya umur. Konsentrasi kromium jaringan pada bayi
lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa (Anderson 1987). Kebutuhan
kromium cenderung meningkat pada kondisi stress. Kromium diserap terutama
pada usus halus. Bentuk anorganik dari kromium seperti kromium klorit dan
kromium oksit sangat sedikit diserap sekitar 0.5%. Rendahnya penyerapan
kromium disebabkan pembentukan senyawa yang tidak larut dan adanya ikatan
antara kromium bebas dengan agen kompleks dalam pakan ternak. Di samping
itu penyerapan Cr dihambat oleh mineral lain seperti Zn dan Fe. Sekali Cr masuk
dalam darah dan diangkut ke jaringan, akan diikat sebagai komponen dari GTF.
Setelah itu dapat diakumulasi dalam jaringan pada konsentrasi relatif rendah.
Kromium dikeluarkan terutama dalam urin dan sebagian pada rambut, keringat,
dan empedu. Pada kondisi stress jumlah kromium yang dikeluarkan meningkat 10
sampai 300 kali (Ohh dan Lee 2005).
Kromium membentuk kompleks antara insulin dan reseptor insulin yang
memasilitasi interaksi jaringan dan insulin (Mertz et al. 1974). Ruminansia menggunakan asetat dari pada glukosa sebagai sumber karbon untuk lipogenesis
dan hal ini perlu sensitifitas insulin (Gardner et al. 1998). Suplementasi 1 mg. kg
-1
Cr (khelate dengan asam amino) pada domba dewasa meningkatkan 30% potensi
glukosa untuk digunakan dalam sintesis lemak melalui peningkatan aktivitas
ATP-sitrat liase. Penelitian lain menunjukkan penambahan Cr 5 mg kg-1 (khelate dengan asam amino) bahan kering terhadap pakan alami yang mengandung 0.8
sampai 1.6 mg kg-1 bahan kering meningkatkan produksi susu (Yang et al. 1996). Chang dan Mowat (1992) melaporkan bahwa suplementasi Cr dalam bentuk GTF
meningkatkan efisiensi pakan pada sapi stress.
Gentry et al. (1999) mengamati interaksi antara mineral Cr dan protein pada domba. Hasil penelitian tersebut menunjukkan pada fase awal penelitian
37
protein terhadap pertumbuhan, konsumsi dan rasio pertumbuhan terhadap
konsumsi. Kromium meningkatkan ketiga variabel tersebut pada domba yang
diberi ransum tinggi protein dan menurunkan ketiga komponen tersebut pada
domba yang mendapat ransum rendah protein. Pada fase kedua yaitu minggu
keenam hingga 12 tidak mempengaruhi pertumbuhan, konsumsi dan rasio
pertumbuhan terhadap konsumsi.
Kromium juga berperan dalam membangun sistem kekebalan tubuh dan
konversi hormon tiroksin (T4) menjadi triodotironin (T3) (Burton 1995).
Kromium juga berpengaruh pada pembentukan sistem kekebalan humoral (HI)
maupun kekebalan yang diperantarai sel (CMI). Dalam HI suplemen kromium
meningkatkan produksi antibodi atau immunoglobulin (Igs), sedangkan
suplementasi kromium meningkatkan respons blastogenik (blastogenesis
limfosit) terhadap immunostimulan (Spears 1999). Produksi antibodi akan
meningkat akibat penurunan konsentrasi kortisol. Hormon ini berperan dalam
peningkatan glukoneogenesis pada saat ternak stress. Proses glukoneogenesis
akan menekan sintesis protein dalam hati sehingga sintesis antibodi juga menurun
(Sohn et al. 2000).
Kebutuhan Cr pada ternak belum diketahui dengan pasti. Suplementasi
mineral organik (Cr-Rhizopus sp.) dan anorganik (CrCl3.6H2O) 1, 2, 3 dan 4 ppm
in vitro menunjukkan bahwa Cr organik 1 ppm menghasilkan kecernaan bahan
organik tertinggi (34.7%), dan produksi VFA serta NH3 adalah 86 mM, dan 11.01
mM. Sedangkan suplementasi mineral Cr anorganik, kecernaan bahan organik
tertinggi pada suplementasi 4 ppm (33.2%), VFA (87 mM) dan NH3 (10.13 mM).
Hasil ini memperlihatkan bahwa penggunaan mineral kromium organik lebih
efisien dibandingkan kromium anorganik (Jayanegara 2003).
Suplementasi kromium organik 1.9 ppm dalam ransum mengandung
hidrolisat bulu ayam dapat meningkatkan produksi, laktosa, protein, dan lemak
susu secara berturut-turut sebesar 17.3%, 19.0%, 27.6 dan 31.8% (Muktiani
2002).
Meskipun kebutuhan kromium relatif sangat kecil namun toleransi
terhadap mineral ini cukup tinggi. Oleh karena itu toksisitas kromium jarang
38
ternak. Konsentrasi normal dalam jaringan adalah rendah yaitu kurang dari 0.1
mg kg-1 bobot segar, namun akan menjadi kelebihan jika kromium lebih dari 10 mg kg-1 (Puls 1994).
Starich dan Blincoe (1983) menyatakan bahwa kromium organik dapat
diserap 20 sampai 30 kali lebih efisien dari sumber anorganik. Senyawa kromium
seperti (Cr2O3) telah lama dikenal sebagai marker untuk mengetahui konsumsi
pakan, kecernaan nutrien dan mineral yang dikeluarkan. Kromium ini hampir
semua dikeluarkan dalam feses. Penggunaan Cr-EDTA (Cr-ethylenediamine
tetraacetic acid) sebagai marker menunjukkan khelate mineral tidak cukup
meningkatkan penyerapan dan ketersediannya (Downes dan McDonald 1964).
Salah satu alasan penggunaan kromium sebagai marker dalam pakan ruminansia
adalah penyerapannnya yang sangat sedikit. Namun penggunaan kromium
organik mungkin berbeda karena dapat diserap dengan baik. Peningkatan
konsentrasi kromium pakan dari 2.6 sampai 62.5µg kg-1 bahan kering dengan kromium pikolinat (CrP) meningkatkan kromium hati 50% tetapi tidak
mempengaruhi otot domba (Olsen et al. 1996).
Selen (Se)
Selen pertama kali ditemukan dan dinamakan oleh J.J. Berzelius pada
tahun 1818. Selen terdapat di alam dalam berbagai bentuk dan warna serta sering
ditemukan dalam kombinasi dengan mineral Pb, Cu, Hg dan Ag. Kombinasi ini
disebut selenit. Secara kimia sangat mirip dengan sulfur. Selen mempunyai tiga
valensi yaitu Se2+, Se4+, dan Se6+, dan bisa berada dalam bentuk selenit dan selenat. Selen dapat bereaksi dengan sulfur dan oksigen membentuk
selenmetionina, selensistina, metilselensisteina dan dimetilselenit, dan
senyawa-senyawa ini mudah menguap (Berdanier 1998). Saat ini diketahui selen dan
vitamin E berperan dalam detoksifikasi peroksida dan radikal-radikal bebas
(Berdanier 1998).
Pada ruminansia ginjal memiliki konsentrasi Se tertinggi yang diikuti oleh
hati dan jaringan kelenjar (Miller et al. 1988). Konsentrasi Se jaringan bervariasi sesuai dengan bentuk kimia Se dalam pakan. Selen plasma sapi perah yang diberi
39
sampai 75 ppb tetapi level tersebut hanya bertahan kurang dari 20 sampai 40 hari.
Kandungan Se susu akan meningkat dari 10 sampai 37 µg l-1jika Se pakan ditingkatkan dari 47 sampai 770 ppb, akan tetapi respons ini tidak linier karena
terjadi penurunan kandungan Se susu bila konsumsi Se meningkat (Miller et al.
1988). Level Se darah bervariasi bergantung pada konsumsi pakan dan
kemungkinan faktor lain. Mayoritas Se plasma dan eritrosit domba berikatan
dengan selenoenzim glutation peroxidase (GSH-Px).
Selen adalah komponen esensial dari GSH-Px. Glutation peroxidase
mengkatalis pengurangan berbagai macam peroksida seperti hidrogen peroksida.
Vitamin E berperan dalam penekanan produksi radikal bebas (Berdanier 1998).
Sedangkan GSH-Px menghancurkan peroksida sebelum sampai di membran sel.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa vitamin E dan selen bekerja sinergis
(Awad et al. 1994; Levander et al. 1995).
Beberapa enzim yang terkait dengan fungsi mineral selen adalah cytosolic glutathione peroxidase, phospholipid hydroperoxide glutathione peroxidase, gastrointestinal glutathione peroxidase, extracellular glutathione peroxidase, selenoprotein W, selenoprotein P, iodothyronine deiodinase, dan sperm capsule seleprotein. Cytosolic peroxidase, GPX1, banyak terdapat di sel darah merah, hati dan ginjal. Cytosolic peroxidase memproteksi sel darah merah atau jaringan dari serangan peroksida selama defisien selen, sehingga GPX1 ini berperan dalam
penyimpanan selenoprotein (Berdanier 1998). Ternak dapat bertahan hidup tanpa
gen GPX1 sehingga enzim ini tidak esensial (Cheng et al. 1997). Gastrointestinal
peroxidase (GPX2) terutama ditemukan dalam saluran pencernaan dan
melindungi mukosa usus dari hidroperoksida pakan (Chu et al. 1993; Berdanier 1998). Plasma atau extracelluler peroxidase (GPX3) terutama terdapat di ginjal, paru-paru, payudara dan plasenta. Peroksidase ini berperan sebagai antioksidan
pada jaringan ekstraseluler. Phospholipid hidrogenperoxide glutathione peroxidase (GPX4) banyak terdapat dalam testes, berperan sebagai antioksidan intraseluler (Berdanier 1998). Deiodinase mengubah T4 (tetraiodothyronine) ke bentuk aktif T3 (triiodothyronine). Deiodinase berada terutama di hati dan ginjal.
Thioredoxin reductase (TRR), dalam beberapa jaringan sebagai GPX1 dan
40
Sistem TRR mempengaruhi aktivitas glutathion transferase (GST) walaupun GST
tidak mengandung selen (Underwood dan Suttle 2001). Selenoprotein (Sel-P)
memiliki potensi mengikat logam berat seperti Cd, Hg (Hill 1972) dan Pb
(Rastocci et al. 1970).
Kebutuhan minimal Se pakan untuk ternak belum dapat ditentukan secara
akurat. Namun kemungkinan kebutuhan Se untuk ternak mulai dari 0.05 sampai
0.3 ppm. Kebutuhan Se untuk sapi perah adalah 0.3 ppm (NRC 1989). Jumlah Se
yang disimpan dalam jaringan tubuh tinggi, jika konsumsi pakan cukup atau
tinggi. Oleh karena itu, untuk menentukan kebutuhan Se ternak harus
memperhatikan sejarah konsumsi Se, jika konsumsi tinggi maka kebutuhan
minimal harus rendah.
Penyerapan Se terutama terjadi antara duodenum dan ileum serta
dikeluarkan dalam duodenum. Jumlah Se yang dikeluarkan melalui empedu kecil,
rata-rata kurang dari 2% dosis Se intravena. Pada ruminansia, Se dikeluarkan
terutama dalam feses, dan pada nonruminansia dalam urin. Pola penyerapan dan
retensi Se pada sapi perah yang diberi Se pakan dengan level 50 sampai 260 ppb
adalah linier, tetapi retensi Se pada sapi menjadi mengikuti pola terbalik jika
pakan mengandung Se 300 sampai 1300 ppb (Miller et al. 1988).
Mikrob rumen dapat menggabungkan Se ke dalam seleno asam amino
tetapi Se lebih terikat kuat dalam protein mikrob dalam selenometionina
dibandingkan selenit atau selenat sebagai sumber Se (Miller et al. 1988). Echevarria et al. (1988) menyatakan tidak ada efek keracunan pada domba yang diberi pakan yang mengandung 9 ppm selenit selama 30 hari.
Biosintesis Nutrien Susu pada Sapi Laktasi
Kebutuhan nutrien untuk metabolisme umum dari sel sekr