• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Penderita Diabetes Melitus Tipe-2 Dengan Terjadinya Gangguan Pendengaran Di RSUP. H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Penderita Diabetes Melitus Tipe-2 Dengan Terjadinya Gangguan Pendengaran Di RSUP. H. Adam Malik Medan"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE-2 DENGAN TERJADINYA GANGGUAN PENDENGARAN

DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Tesis

Oleh:

LILIA YARISMAN

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN BEDAH ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHERFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE-2 DENGAN TERJADINYA GANGGUAN PENDENGARAN

DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh:

LILIA YARISMAN

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN BEDAH ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Medan, 19 Juli 2014

Tesis dengan judul

HUBUNGAN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE-2 DENGAN TERJADINYA GANGGUAN PENDENGARAN

DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Telah disetujui dan diterima baik oleh Komisi Pembimbing Ketua

NIP: 140202219 dr. Adlin Adnan, Sp. THT-KL(K)

Anggota

NIP: 19790620 200212 2 003 Dr. dr. T.Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL

NIP. 195512221983021001 Dr. dr. Dharma Lindarto, Sp. PD-KEMD

Diketahui oleh Ketua Program Studi

(4)
(5)

Kata Pengantar

Pertama-tama penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah

SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat beserta salam

atas Junjungan kita Nabi Besar Muhammad S.A.W keluarga dan sahabat

beliau. Hanya dengan segala rahmat dan karunia AllaH SWT yang Maha

Pengasih dan Maha Penyayang, sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Dengan tulus hati penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga

dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada yang

terhormat :

dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL atas kesediaannya sebagai ketua

pembimbing penelitian ini. Serta kepada Dr.dr. Tengku Siti Hajar Haryuna,

Sp.THT-KL dan DR. dr. Dharma Lindarto, Sp. PD – KEMD sebagai

anggota pembimbing tesis yang telah banyak memberikan wawasan

keilmuan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Ditengah

kesibukan mereka, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah

memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat

bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Rasa terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Fotarisman

Zaluchu, SKM, MSI, MPH sebagai pembimbing ahli yang banyak

memberikan bantuan, bimbingan dan masukan dalam bidang metodologi

penelitian dan statistik.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan magister saya, pada

kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan

penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr.

Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H dan mantan Rektor Universitas

Sumatera Utara, Prof. dr. Chairudding Panusunan Lubis, Sp.A(K),

DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL

(6)

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SP.PD(KGEH), atas kesempatan

yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Magister

Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Abd. Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan

Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah

Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Dr. dr.

Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL yang telah memberikan izin serta

kesempatan dan ilmu kepda saya dalam mengikuti Program Magister

Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara sampai dengan selesai.

Yang terhormat supervisor di jajaran Departemn THT-KL Fakultas

Kedpkteran Universitas Sumatera Utara/RSUP. H. Adam Malik Medan,

Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp. THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL(K),

Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp. THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Abd. Rachman

Saragih, Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, Sp. THT-KL(K), dr.

Mangain Hasibuan, Sp. THT-KL, dr. T. Sofia Hanum, Sp. THT-Kl(K), Prof.

DR. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL(K), dr. Linda I Adenin, Sp. THT-KL dr.

Ida Sjailandrawati Hrp, Sp.THT-KL, dr. Adlin Adnan, Sp. THT-KL, dr.

Rizalina A Asnir, Sp. THT-KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp. THT-KL, dr. Andrina

YM Rambe, Sp. THT-KL, dr. Harry Agustaf Asroel, M. Ked, Sp. THT-KL,

dr. Farhat, M.Ked(ORL-HNS), Sp. THT-KL(K), Dr. dr. Tengku Siti Hajar

Haryuna, Sp. THT-KL, dr. Aliandri, Sp. THT-KL, dr. Ashri Yudhistira,

M.Ked(ORL-HNS), Sp. THT-KL, dr. Devira Zahara, M.Ked(ORL-HNS), Sp.

THT-KL, dr. HR. Yusa Herwanto, M.Ked(ORL-HNS), Sp. THT-KL, dr. M.

Pahala Hanafi Harahap, Sp. THT-KL, dr. Ferryan Sofyan, M. Kes, Sp.

THT-KL dan dr. Ramlan Sitompul, Sp. THT-KL. Terima kasih atas segala

(7)

Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam

Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

belajar dan bekerja di Rumah Sakit ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas segala bantuan,

nasehat, saran serta kerja samanya selama masa pendidikan ini.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda H. Mansyur, SH dan Ibunda Hj.

Suyarni, SPd, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak

terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang

yang telah diberikan dan limpahkan kepada ananda sejak dalam

kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta

diberikan suri tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh

dalam menghadapi kehidupan ini, dengan memanjatkan doa kehadirat

Allah SWT, agar diampuni segala dosa kedua orang tua saya dan

diberikan panjang umur serta kasihilah mereka sebagaimana mereka

mengasihi hamba sejak kecil.

Yang mulia dan tercinta Bapak mertua H. Mauli Siregar dan Ibu

mertua Hj. Rostina Hanum,SPd, ananda sampaikan rasa hormat dan

terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang

setinggi-tingginya atas segala kasih sayang, pengertian serta dukungan yang telah

diberikan kepada ananda dalam menjalani Program Kedokteran Magister

FK USU dengan memanjatkan doa kehadirat Allah SWT agar diampuni

segala dosa kedua orang tua saya dan diberikan panjang umur serta

kasihilah mereka agar mereka dapat melihat saya bahagia dan sukses

dalam menjalani kehidupan ini.

Kepada suamiku tercinta dr. Muhammad Hadian yang selalu

menyayangi dengan penuh perhatian dan dengan kasih sayang yang luar

biasa dengan selalu memberikan dorongan, inspirasi, waktu, motivasi dan

semangat kepada saya selama saya menjalani pendidikan. Tiada kata

yang dapat adinda ungkapkan sebagai rasa terima kasih dan bersyukur

(8)

Kepada Abang saya Abrar Mansyur, SH dan Adik semata wayang

saya Reza Fahlevi YP, abang Ipar saya Ir. Mahdi Azis, Ahmad Junaidi,

SE,Ak, M. Nur, SS serta Kakak Ipar saya Desy Widyastuti, SPd, drg. Dewi

Asmidar Hrp, Nuriah Aini, SS, penulis mengucapkan terima kasih atas

limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya meberikan dorongan serta

doa kepada penulis dalam hal menyelesaikan pendidikan ini.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas

segala kesalahan dan kekurangan saya selam mengikuti pendidikan ini,

semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya

selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang belipat

ganda dari Allah SWT, Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha

Penyayang. Amin.

Medan, Juli 2014 Penulis

(9)

ABSTRAK

Pendahuluan : Mikroangiopati dan Neuropati ataupun keduanya merupakan komplikasi dari penyakit diabetes melitus yang dapat terjadi

pada bagian telinga dalam dan dapat menyebabkan gangguan

pendengaran. Mikroangiopati pada organ korti menyebabkan atrofi dan

berkurangnya sel rambut pada koklea, neuropati terjadi akibat

mikroangiopati sehingga akan mengakibatkan gangguan pendengaran.

Tujuan : Mengetahui apakah ada hubungan penderita DM Tipe-2 dengan terjadinya gangguan pendengaran di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Metode : Penelitian ini bersifat analitik dengan 40 sampel yang terdiri dari 20 sampel penderita DM Tipe-2 dan 20 sampel Non DM. Pengambilan

sampel dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan THT rutin dan

pemeriksaan audiometri nada murni.

Hasil Penelitian : 20 sampel penderita DM Tipe-2, 11 sampel berpendengaran normal, 9 sampel tuli sensorineural dan Non DM

seluruhnya berpendengaran normal. Dari Uji Statistik diperoleh perbedaan

yang signifikan antara penderita DM Tipe-2 dengan Non DM (p<0,05). Uji

Anova diperoleh adanya perbedaan yang signifikan antara setiap

kelompok umur pada tiap frekuensi. Uji Chi - Square diperoleh terdapat

hubungan antara lama menderita DM Tipe-2 dengan gangguan

pendengaran serta terdapat hubungan antara keteraturan berobat dari

penderita DM Tipe-2 dengan gangguan pendengaran (p<0,05).

Kesimpulan : Adanya hubungan antara kejadian DM Tipe-2 dengan gangguan pendengaran.

(10)

ABSTRACT

Introduction: Microangiopathy and neuropathy is either a complication of diabetes mellitus that can occur in the inner ear and result in hearing

impairment. Microangiopathy in organ of Cortiis able to cause atrophy and

loss of hair cells in the cochlea, neuropathy is caused by microangiopathy

that eventually result in hearing impairment.

Objective: To determine whether there is a relationship between Type-2 Diabetes Mellitus andthe incidence of hearing impairment in Haji Adam

Malik General Hospital, Medan.

Methods: An analytical study with 40 samples consist of 20 samples of Type-2 Diabetes Mellitus patients and 20 samples of non Diabetes

Mellitus patients. Samplings were obtained by interview, ENT examiantion

and pure tone audiometric examination.

Results: 20 samples of Type-2 Diabetes Mellitus patients, 11 samples possessed normal hearing as well as Non Diabetes Mellitus patients, while

9 samples possessed sensorineural hearing impairment. Statistic test

results obtained significant differences between Type-2 Diabetes Mellitus

patients and Non Diabetes Mellitus patients (p<0,05). Anova test results

obtained significant differences between each age group at each

frequency. Chi-Square test results obtained a relationship between

duration of Type-2 Diabetes Mellitus and hearing impairment and there is

a relationship between a regularity of treatment for Type-2 Diabetes

Mellitus and hearing impairment (p<0,05).

Conclusion: There is a relationship between Type-2 Diabetes Mellitus and the incidence of hearing impairment.

(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

ABSTRACK... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR DIAGRAM... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan umum ... 4

1.3.2 Tujuan khusus... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1 Diabetes Melitus ... 6

2.1.1 Definisi ... 6

(12)

2.1.3 Gejalan klinis dan diagosis... 7

2.1.4 Metabolisme diabetes melitus... 8

2.2 Anatomi Telinga Dalam... 10

2.2.1 Anatomi... 10

2.2.2 Vaskularisasi telinga dalam... 13

2.2.3 Fisiologi pendengaran... 14

2.3Gangguan Pendengaran... 15

2.4 Audiometri Nada Murni ... 16

2.4.1 Prosedur pelaksanaan ... 17

2.4.2 Komponen utama audiometer... 19

2.4.3 Notasi audiogram... 20

2.4.4 Cross hearing dan masking... 20

2.4.5 Manfaat audiometri ... 21

2.5 Kekerapan Tuli Sensorineural Akibat DM Tipe-2 ... 22

2.6 Patofisiologi Penurunan Pendengaran pada DM tipe-2 ... 23

2.6.1 Teori reactive oxygen species... 26

2.6.2 Mikroangiopati... 27

2.7 Pengelolaan Gangguan Pendengaran pada Pasien DM tipe-2... 28

2.8 Kerangka Konsep ... 33

2.9 Hipotesa Penelitan ... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 36

3.1 Jenis Penelitian ... 36

(13)

3.3 Populasi dan Sampel ... 36

3.3.1 Populasi ... 36

3.3.2 Sampel penelitian ... 36

3.3.3 Besar sampel ... 37

3.3.4 Teknik pengambilan sampel ... 39

3.4 Definisi Operasional ... 39

3.5. Bahan dan Alat Penelitian ... 40

3.6. Prosedur Kerja ... 41

3.7 Teknik Pengumpulan Data ... 42

3.8 Analisa Data ... 42

3.9 Masalah Etika ... 43

3.10 Kerangka Kerja ... 44

3.11 Jadwal Penelitian ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 46

4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur ... 46

4.2 Distribusi Responden Penderita DM Tipe-2 Berdasarkan Durasi Penyakit dan Keteraturan Berobat ... 47

4.3 Karakteristik Penderita DM Tipe-2 yang Mengalami Tuli sensorineural ... 48

4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Gangguan Pendengaran Menurut usia ... 49

4.5 Rata-rata Ambang Dengar Telinga Kanan dan Kiri pada setiap Frekuensi pada Penderita DM Tipe-2 dibandingkan dengan Non DM ... 50

(14)

4.7 Pengaruh DM TIpe-2 pada Tiap Frekuensi untuk Penderita DM Tipe-2

dan Non DM Berdasarkan Kelompok Umur ... 54

BAB V PEMBAHASAN ... 57

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

6.1 Kesimpulan ... 70

6.2 Saran ... 70

(15)

DAFTAR SINGKATAN

ABD : Alat Bantu Dengar

AD : Ambang Dengar

ADA : American Diabetes Association

AGEP : Advanced Glicosilation End Product

ANSI : American National Standards Institute

AR : Aldose Reductase

DAG : Diacylglicerol

DM : Diabetes Melitus

HAM : Haji Adam Malik

IDF : International Diabetes Foundation

ISO : International Standart Organization

KSS : Kanalis Semisirkularis Superior

NO : Nitric Oxide

PAS : Periodic Acid Shiff

PKC : Protein Kinase C

PTA : Pure Tone Audiometry

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

TGM : Terapi Gizi Medis

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Labirin Tulang dan Labirin Membran... 10

Gambar 2. Potongan Melintang Koklea. ... 11

Gambar 3. Kanalis Semisirkularis. ... 13

Gambar 4.Vaskularisasi Koklea ... 14

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa ... 8

Tabel 2. Jadwal Penelitian ... 45

Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur ... 46

Tabel 4.2. Distribusi Penderita DM Tipe-2 Berdasarkan

Durasi Penyakit dan Keteraturan Berobat ... 47

Tabel 4.3. Distribusi Penderita DM Tipe-2 yang Mengalami

Tuli Sensorineural ... 48

Tabel 4.4. Distribusi Penderita DM Tipe-2 dan Non DM berdasarkan

Derajat Gangguan Pendengaran Menurut Usia ... 49

Tabel 4.5. Uji Statistik Perbedaan Gangguan Pendengaran antara

Penderita DM Tipe-2 dan Non DM (Confidance Interval 95%) ... 53

Tabel 4.6. Uji Anova Penderita DM Tipe-2 dan Non DM menurut Frekuensi

berdasarkan Kelompok Umur ... 54

Tabel 4.7. Hubungan antara lama menderita DM Tipe-2 dengan

gangguan pendengaran ... 55

Tabel 4.8. Hubungan antara keteraturan berobat dengan

(18)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 4.1. Rata – rata Ambang Dengar Telinga Kanan dan Kiri Pada

Penderita DM Tipe-2 dan Non DM di Tiap Frekuensi ... 50

Diagram 4.2.

Penderita

Distribusi Nilai Pengukuran Gangguan Pendengaran

DM Tipe-2 dan Non DM Untuk Kedua Telinga ... 51

Diagram 4.3. Distribusi Pengukuran Pada Penderita

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Status Penelitian ... 80

Lampiran 2. Lembar Penjelasan Subjek Penelitian... 84

Lampiran 3. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) ... 85

Lampiran 4. Persetujuan Komisi Etik Tentang Pelaksanaa Penelitian Bidang Kesehatan ... 87

Lampiran 5. Tabulasi Hasil Penelitian... 88

Lampiran 6. Data Output Statistik ... 91

Lampiran 7. Surat Keterangan Izin Penelitian... 97

(20)

ABSTRAK

Pendahuluan : Mikroangiopati dan Neuropati ataupun keduanya merupakan komplikasi dari penyakit diabetes melitus yang dapat terjadi

pada bagian telinga dalam dan dapat menyebabkan gangguan

pendengaran. Mikroangiopati pada organ korti menyebabkan atrofi dan

berkurangnya sel rambut pada koklea, neuropati terjadi akibat

mikroangiopati sehingga akan mengakibatkan gangguan pendengaran.

Tujuan : Mengetahui apakah ada hubungan penderita DM Tipe-2 dengan terjadinya gangguan pendengaran di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Metode : Penelitian ini bersifat analitik dengan 40 sampel yang terdiri dari 20 sampel penderita DM Tipe-2 dan 20 sampel Non DM. Pengambilan

sampel dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan THT rutin dan

pemeriksaan audiometri nada murni.

Hasil Penelitian : 20 sampel penderita DM Tipe-2, 11 sampel berpendengaran normal, 9 sampel tuli sensorineural dan Non DM

seluruhnya berpendengaran normal. Dari Uji Statistik diperoleh perbedaan

yang signifikan antara penderita DM Tipe-2 dengan Non DM (p<0,05). Uji

Anova diperoleh adanya perbedaan yang signifikan antara setiap

kelompok umur pada tiap frekuensi. Uji Chi - Square diperoleh terdapat

hubungan antara lama menderita DM Tipe-2 dengan gangguan

pendengaran serta terdapat hubungan antara keteraturan berobat dari

penderita DM Tipe-2 dengan gangguan pendengaran (p<0,05).

Kesimpulan : Adanya hubungan antara kejadian DM Tipe-2 dengan gangguan pendengaran.

(21)

ABSTRACT

Introduction: Microangiopathy and neuropathy is either a complication of diabetes mellitus that can occur in the inner ear and result in hearing

impairment. Microangiopathy in organ of Cortiis able to cause atrophy and

loss of hair cells in the cochlea, neuropathy is caused by microangiopathy

that eventually result in hearing impairment.

Objective: To determine whether there is a relationship between Type-2 Diabetes Mellitus andthe incidence of hearing impairment in Haji Adam

Malik General Hospital, Medan.

Methods: An analytical study with 40 samples consist of 20 samples of Type-2 Diabetes Mellitus patients and 20 samples of non Diabetes

Mellitus patients. Samplings were obtained by interview, ENT examiantion

and pure tone audiometric examination.

Results: 20 samples of Type-2 Diabetes Mellitus patients, 11 samples possessed normal hearing as well as Non Diabetes Mellitus patients, while

9 samples possessed sensorineural hearing impairment. Statistic test

results obtained significant differences between Type-2 Diabetes Mellitus

patients and Non Diabetes Mellitus patients (p<0,05). Anova test results

obtained significant differences between each age group at each

frequency. Chi-Square test results obtained a relationship between

duration of Type-2 Diabetes Mellitus and hearing impairment and there is

a relationship between a regularity of treatment for Type-2 Diabetes

Mellitus and hearing impairment (p<0,05).

Conclusion: There is a relationship between Type-2 Diabetes Mellitus and the incidence of hearing impairment.

(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin atau keduanya. World Health Organization (WHO)

merumuskan bahwa DM merupakan suatu kumpulan masalah anatomi

dan kimiawi dari sejumlah faktor dimana didapati defisiensi insulin absolut

atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Gustian, 2006).

Menurut laporan WHO, Indonesia menempati urutan ke empat terbesar

dari jumlah penderita diabetes melitus dengan prevalensi 8,6% dari total

penduduk sedangkan posisi urutan diatasnya yaitu India, China dan

Amerika Serikat dan WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM

di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada

tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Foundation

(IDF) pada tahun 2009 memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM

dari 7 juta pada tahun 2009 menjadi 12 juta pada tahun 2030. Dari laporan

tersebut menunjukkan peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3

kali lipat pada tahun 2030 (PERKENI, 2011).

Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementrian Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan terjadi

peningkatan prevalensi pada penderita diabetes melitus yang diperoleh

berdasarkan wawancara yaitu 1,1% pada tahun 2007 menjadi 1,5% pada

tahun 2013 sedangkan prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis

dokter atau gejala pada tahun 2013 sebesar 2,1% dengan prevalensi

terdiagnosis dokter tertinggi pada daerah Sulawesi Tengah (3,7%) dan

paling rendah pada daerah Jawa Barat (0,5%). Masih dari data

RISKESDAS tersebut menyebutkan prevalensi dari penderita DM

cenderung meningkat pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dan

(23)

pertambahan umur namun mulai umur ≥ 65 tahun cenderung menurun

dan tersebut cenderung lebih tinggi bagi penderita yang tinggal

diperkotaan dibandingkan dengan dipedesaan. Jika ditinjau dari segi

pendidikan menurut RISKESDAS bahwa prevalensi diabetes melitus

cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi

serta dengan kuintil indeks kepemilikan yang tinggi (RISKESDAS, 2013).

Gangguan pendengaran adalah kehilangan sebagian dari

kemampunan untuk mendengar dari salah satu atau kedua telinga.

Ketulian (deafness) berarti kehilangan mutlak atas kemampuan

mendengar dari salah satu atau kedua telinga (WHO, 2010).

Teori tentang patogenesis hilangnya pendengaran pada DM Tipe-2

berhubungan dengan angiopati, neuropati dan gabungan angiopati dan

neuropati. Teori mekanisme terjadinya penurunan pendengaran pada

pasien DM adalah mikroangiopati yaitu terbentuknya presipitat pada

dinding pembuluh darah sehingga terjadi penebalan yang terlihat dengan

pengecatan Periodic Acid Schiff (PAS). Kelainan mikroangiopati ini

terutama terjadi pada pembuluh kapiler stria vaskularis, selanjutnya dapat

terjadi pada arteri auditorius internus, modiulus, pada vasa nervosum

ganglion spirale dan demielinisasi nervus auditorius (Sakuta, Suzuki,

Yasuda, 2007). Akibat terjadinya mikroangiopati organ korti akan terjadi

atrofi dan berkurangnya sel rambut. Sedangkan neuropati terjadi akibat

mikroangiopati pada vasa nervosum nervus VIII dan vasa ligamentum

spirale yang berakibat atrofi ganglion spiral dan demielinisasi serabut

saraf VIII. (Brainbridge, Hofman, Cowie, 2008; Frisina, Mapes, Kim, 2006).

Angka kejadian gangguan pendengaran pada DM Tipe-2 sangat

bervariasi dengan laporan yang saling bertentangan. Klinik Diabetes

Rumah Sakit Gordan di Iran memperoleh prevalensi terjadinya gangguan

pendengaran pada pasien DM Tipe-2 sebanyak 16% dan 5% pada grup

non DM (kontrol) yang artinya bahwa pasien DM memiliki resiko 3,2 kali

lebih besar untuk terjadinya gangguan pendengaran dari pada yang non

(24)

Di India ditemukan bahwa dari 110 pasien DM tipe2 diperoleh 48

pasien memiliki tuli sensorineural bilateral pada frekuensi tinggi yaitu

2000Hz dan 4000Hz, 7 pasien dengan gangguan pendengaran berat, 25

pasien dengan gangguan pendengaran sedang (Pemmiah & Sirnivas,

2011). Di Brazil ditemukan secara statistik nilai yang signifikan pada

penderita DM yang memiliki tuli sensorineural jika dibandingkan dengan

grup kontrolnya (Diniz & Guida, 2009). Pada Universitas Islam Iran

ditemukan dari 455 penderita DM yang memiliki gangguan pendengaran

dengan tuli sensorineural sebanyak 80 penderita (Mozzafari et al, 2008).

Universitas Marryland di Amerika Serikat menemukan adanya tuli

snesorineural yang lebih sering pada pasien DM dibandingkan dengan

Non DM (Kakarlapudi, Sawyer & Staecker, 2003). Pada Rumah Sakit

Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM), penderita DM Tipe-2

semakin meningkat jumlahnya. Pada tahun 2010 dilaporkan hanya ada

sebanyak ± 40 orang per harinya untuk menjalani pengobatan rawat jalan.

Angka ini meningkat menjadi ± 60 orang pada tahun 2014. Peningkatan ini

tentu juga akan meningkatkan kasus-kasus gangguan pendengaran.

Oleh karena itulah peneliti ingin melakukan penelitian mengenai

adanya hubungan antara kejadian DM Tipe-2 dengan gangguan

pendengaran di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan pendahuluan yang telah diuraikan diatas, dapat

dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : apakah ada hubungan

penderita DM Tipe-2 dengan terjadinya gangguan pendengaran di RSUP.

(25)

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui hubungan penderita DM Tipe-2 dengan terjadinya

gangguan pendengaran pada penderita DM Tipe-2 di RSUP. H. Adam

Malik Medan.

1.3.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui distribusi penderita DM Tipe-2 dan Non DM

berdasarkan jenis kelamin, umur, lama menderita dan

keteraturan berobat.

b. Untuk mengetahui gambaran gangguan pendengaran pada

pasien DM Tipe-2 dibandingkan dengan Non DM

c. Untuk mengetahui hubungan antara kejadian DM Tipe-2 dengan

gangguan pendengaran.

d. Untuk mengetahui hubungan antara umur pada penderita DM

Tipe-2 dengan gangguan pendengaran.

e. Untuk mengetahui hubungan antara lama menderita pada

penderita DM Tipe-2 dengan gangguan pendengaran

f. Untuk mengetahui hubungan antara keteraturan berobat pada

penderita DM Tipe-2 dengan gangguan pendengaran

1.4 Manfaat Penelitian

a. Bagi Peneliti

Mengetahui gambaran gangguan pendengaran pada penderita DM

Tipe-2 dan adanya hubungan gangguan pendengaran pada penderita

DM Tipe-2 di RSUP. H. Adam Malik Medan

b. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan data

dan informasi yang dapt digunakan sebagai bahan pustaka untuk

pengembangan bidang Neurootologi dan THT Komunitas.

(26)

Dengan ditemukannya gangguan pendengaran pada pasien DM

Tipe-2, maka dapat dilakukan rehabilitasi pada penderita DM Tipe-2

tersebut secara optimal. Hal ini berkaitan dengan kualitas hidup

pasien.

1. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi

mengenai prevalensi gangguan pendengaran yang terdapat

pada pasien DM Tipe-2 yang berkunjung ke RSUP H. Adam

Malik Medan.

2. Untuk mengetahui gambaran karakteristik penderita DM

Tipe-2 yang mengalami gangguan pendengaran.

3. Mengetahui derajat gangguan pendengaran yang terdapat

pada pasien DM Tipe-2

4. Mengetahui adanya hubungan gangguan pendengaran pada

penderita DM Tipe-2

5. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti

terhadap gangguan pendengaran pada pasien DM Tipe-2

6. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data sekunder

untuk penelitan mengenai gangguan pendengaran pada

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin atau keduanya. WHO merumuskan bahwa diabetes

melitus merupakan suatu kumpulan masalah anatomik dan kimiawi akibat

dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif

dan gangguan fungsi insulin (Gustaviani, 2006 ; Purnamasari 2009).

Diabetes melitus disebut juga sebagai penyebab terjadinya gangguan

pendengaran dimana mekanismenya melibatkan penyakit pembuluh

darah kecil yang menyebabkan hipoksia pada telinga dalam (Frisina,

Mapes, Kim, 2006).

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan PERKENI 2011 terbagi atas

(PERKENI, 2011)

1. Diabetes melitus Tipe-1 artinya bahwa terjadi defisiensi insulin

absolut akibat destruksi sel beta yang penyebabnya dapat

autoimun maupun idiopatik

2. Diabetes melitus Tipe-2 artinya terjadi defisiensi insulin relatif yang

terjadi akibat defek sekresi insulin lebih dominan daripada

resistensi insulin atau sebaliknya yakni resistensi insulin lebih

dominan dari pada defek sekresi insulinnya.

3. Diabetes melitus Tipe lain

(28)

2.1.3 Gejala klinis dan diagnosis

Berbagai keluhan dapat ditentukan pada penyandang diabetes.

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik

DM seperti (Gustaviani, 2006):

1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata

kabur, dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus valvae pada

wanita.

Langkah – langkah diagnostik DM Tipe-2 dan gangguan toleransi

glukosa dapat dilihat pada bagan berikut ( PERKENI, 2011) :

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200mg/dl (11,1

mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan

sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L)

Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8

jam

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) ≥ 200mg/dl ( 11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g

glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air

• Pemeriksaan HbA1c ( ≥6,5% ) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah

terstandarisasi dengan baik.

Pada orang normal dengan kadar gula darah sewaktu dan puasa akan

mengalami proses pengeluaran insulin dari kantong – kantong di sel beta

akibat rangsangan glukosa (pada keadaan sesudah makan) akan

menyebabkan kenaikan kadar insulin dalam plasma yang pada awalnya

berlangsung secara tajam dan cepat disebut sebagai fase 1 atau fase dini,

diikuti dengan pengeluaran berikutnya yang berlangsung lambat yang

(29)

bifasik. Insulin yang dikeluarkan mengikuti aliran darah akan pergi ke

reseptor–reseptornya di otot, hati, dan jaringan lemak (Gustavian, 2006).

Tabel 1 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa (DepKes,2008):

Bukan DM Belum pasti DM DM

Catatan : Untuk kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil,

dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor

risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

2.1.4 Metabolisme diabetes melitus

Kelainan metabolik yang menjadi dasar bagi terjadinya berbagai

komplikasi jangka panjang pada diabetes melitus meliputi

(Waspadji,2009) :

1. Pengaktifan jalur poliol atau sorbitol (Polyol or sorbitol pathway)

2. Terbentuknya berbagai produk glikasi lanjut (AGEs atau Advanced

Glycation End Products)

3. Meningkatnya kerusakan oksidatif jaringan akibat bahan radikal

bebas (Reactive Oxygen Species)

(30)

Keempat peristiwa tersebut pada umumnya saling terkait satu

dengan lainnya seperti uraian sebagai berikut (Frisiana et al,2006):

1. Aktifnya jalur ini akan menyebabkan akumulasi intraseluler bahan –

bahan toksik yang membahayakan struktur sel. Penumpukan sorbitol

intraseluler sebagai suatu bahan osmolit dalam sel akan diimbangi atau

disertai pula dengan menurunnya myo-inositol. Pada syaraf penurunan

myo-inositol ini diduga terkait dengan diperlambatnya kecepatan

hantaran impulse yang menjadi dasar bagi neuropati diabetik. Pada

proses ini juga terjadi penurunan aktivasi nitric oxide (NO) sintase dan

glutasi tereduksi yang akan menyebabkan pembuluh darah cenderung

vasokonstriksi dan endotel mudah rusak atau rentan terhadap

pengrusakan oleh H2O2

2. Proses glikasi LDL menyebabkan aterosklerosis. Dengan berlanjutnya

proses glikasi, terbentuklah produk akhir glikasi lanjut (AGEs) yang

merubah morfologi fungsional pembuluh darah. Meningkatkan aktifitas

enzim Protein Kinase C (PKC) di dalam sel–sel endotel pembuluh

darah menyebabkan kelainan pada sel–sel vaskular untuk diabetes

melitus seperti kontraksi sel–sel, pembentukan atau penebalan

membran basalis, transduksi berbagai sinyal hormon dan faktor

pertumbuhan serta proliferasi sel. Hal inilah yang bertanggung jawab

bagi meningkatnya permeabilitas sel – sel endotel pembuluh darah

yang berakibat kebocoran albumin pada penderita diabetes melitus. .

3. Stress oksidatif intraselular akan menyebabkan meningkatnya

diasilgliserol intraselular dan kemudian selanjutnya terjadi peningkatan

PKC yang akan menyebabkan perubahan yang mengarah kepada

proses angiopati (Jianmin et al, 2009).

4. Pada penderita diabetes melitus terjadi kelainan metabolisme lemak

yang menyebabkan disfungsi endotel melalui berbagai mekanisme

(31)

2.2 Anatomi Telinga Dalam 2.2.1 Anatomi

Telinga bagian dalam (labirin) terletak disebelah medial dari telinga

bagian tengah didalam tulang kompakta (os petrosus ossis temporalis).

Telinga bagian dalam terdiri dari (Gacek, 2014):

1. Labirin bagian tulang, terdiri dari 3 bagian utama yaitu kanalis

semisirkularis, vestibulum dan koklea.

2. Labirin bagian membran, letaknya didalam labirin bagian tulang terdiri

dari kanalis semisirkularis, sakulus, sakus dan duktus endolimfatikus

serta koklea

Berikut gambar dari labirin bagian tulang dan labirin bagian membran

Gambar 1. Labirin bagian tulang dan labirin bagian membran

(Mayers,2011).

Diantara labirin bagian tulang dan labirin bagian membran terdapat

suatu ruangan berisi cairan perilimf. Sebagian cairan perilimf berasal dari

liquor serebrospinalis dan sebagian lagi dari filtrasi darah. Resorbsi cairan

perilimf melalui vena-vena yang berjalan dalam ruang perilimf. Cairan ini

terbentuk didalam stria vaskularis dan diresorbsi pada sakkus

endolimfatikus. Diantara perilimf dan endolimf terdapat membran reissner,

disini terdapat pertukaran ion. Selain perilimf dan endolimf, terdapat pula

(32)

kortilimf mengandung banyak kalium (Gacek, 2009; Weber & Khariwala,

2014)

Koklea bagian tulang membentuk 2,5 kali putaran yang mengelilingi

sumbunya. Sumbu ini dinamakan modiolus, yang terdiri dari pembuluh

darah dan saraf. Ruang didalam koklea bagian tulang dibagi menjadi dua

bagian oleh sebuah dinding. Bagian dalamnya ini terdiri dari lamina

spiralis ossea dan bagian luarnya terdiri dari anyaman penyambung dari

lamina spiralis membranasea. Ruang yang mengandung perilimf ini dibagi

menjadi skala vestibuli (bagian atas) dan skala timpani (bagian bawah).

Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea, tempat ini dinamakan

helikotrema. Skala vestibuli bermula pada fenestra ovale dan skala

timpani berakhir pada fenestra rotundum. Mulai dari permulaan antara

lamina spiralis membranasea kearah perifer atas, terdapat membran yang

dinamakan membran reissner. Pada pertemuan kedua lamina ini,

terbentuk saluran yang dibatasi oleh membran reissner bagian atas,

lamina spiralis membranasea dibagian bawah, dan dinding luar koklea

(Gacek,2009).

Saluran ini dinamakan duktus koklearis atau koklea bagian

membran yang berisi endolimf. Dinding luar koklea ini dinamakan

ligamentum spiralis, disini terdapat stria vaskularis, tempat terbentuknya

endolimf (Gacek, 2009). Berikut gambar penampang koklea.

(33)

Vestibulum letaknya diantara koklea dan kanalis semisirkularis yang

juga berisi perilimf. Pada vestibulum bagian depan, terdapat lubang

(foramen ovale) yang berhubungan dengan membran timpani, tempat

melekatnya telapak (foot plate) dari stapes. Didalam vestibulum, terdapat

gelembung-gelembung sakkulus dan utrikulus. Gelembung-gelembung

sakkulus dan utrikulus ini berhubungan satu sama lain dengan perantara

duktus utrikulosakkularis, yang bercabang melalui duktus endolimfatikus

yang berakhir pada suatu lipatan dari duramater, yang terletak pada

bagian belakang os piramidalis. Lipatan ini dinamakan sakkus

endolimfatikus. Saluran endolimfatikus ini buntu. Sel-sel persepsi disini

sebagai sel-sel rambut yang dikelilingi oleh sel-sel penunjang yang

letaknya pada makula. Pada sakkulus, terdapat makula sakkuli.

Sedangkan pada utrikulus, dinamakan utrikuli (Gacek, 2009).

Kanalis semisirkularis terdiri dari kanalis semisirkularis bagian tulang dan bagian membran. Kanalis semisirkularis bagian tulang terdapat

didalam ketiga permukaan didalam ruang. Saluran ini bermuara pada

vestibulum. Satu ujung dari tiap kanalis semisirkularis melebar pada tiap

muara ke vestibulum. Kanalis semisirkularis horizontal berbatasan dengan

antrum mastoideum dan tampak sebagai tonjolan, tonjolan kanalis

semisirkularis horizontalis (lateralis). Kanalis semisirkularis posterior

(vertikal) berbatasan dengan fossa kranii media dan tampak pada

permukaan atas os petrosus sebagai tonjolan disebut eminentia arkuata.

Kanalis semisirkularis posterior (vertikal) letaknya tegak lurus dengan

kanalis semisirkularis superior. Kedua ujung yang tidak melebar dari

kedua kanalis semisirkularis yang terletak vertikal bersatu dan bermuara

pada vestibulum sebagai krus komunis. Kanalis semisirkularis bagian

membran letaknya didalam kanalis semisirkularis tulang. Diantara kedua

kanalis ini terdapat ruang berisi perilimf. Didalam kanalis semisirkularis

bagian membran terdapat endolimf. Pada tempat melebarnya kanalis

semisirkularis membran ini terdapat sel-sel persepsi. Bagian ini

(34)

Sel-sel persepsi yang ditunjang oleh sel-sel penunjang letaknya

pada krista ampularis yang menempel 1/3 dari lumen ampulla.

Rambut-rambut dari sel persepsi ini mengenai organ yang dinamakan kupula,

suatu organ gelatinous yang mencapai atap dari ampulla. Rambut-rambut

dari sel persepsi ini mengenai organ yang dinamakan kupula, suatu organ

gelatinous yang mencapai atap dari ampulla sehingga dapat menutup

seluruh ampulla (Weber & Khariwala, 2014).

Gambar 3. Kanalis Semisirkularis (Mayers, 2011)

2.2.2 Vaskularisasi telinga dalam

Pembuluh darah arteri untuk telinga dalam seperti pada gambar 5

disuplai oleh arteri labirin atau arteri auditiva interna yang merupakan

cabang dari arteri serebellum anterior-inferior atau secara langsung dari

arteri basilaris. Arteri ini masuk ke dalam telinga dalam dari belakang liang

telinga dalam dan bercabang menjadi dua, yaitu (Moller, 2006) :

1. Arteri vestibularis anterior yang memperdarahi utrikulus dan

sakulus bagian posterior, yang meluas ke kanalis semisirkularis

anterior dan lateral.

2. Arteri koklearis komunis, yang bercabang menjadi dua yaitu : arteri

koklearis posterior dan arteri vestibulokoklear yang bercabang lagi

(35)

Gambar 4 Vaskularisasi Koklea (Moller, 2006)

Cabang koklear akan memberikan suplai darah ke bagian inferior

duktus koklearis, lalu bergabung dengan ramus koklearis yang berasal

dari arteri koklearis posterior, sedangkan cabang vestibular memperdarahi

kanalis semisirkularis posterior dan sebagian besar sakulus (Weber &

Khariwala, 2014; Moller, 2006).

Pembuluh darah vena di telinga dalam berasal dari pleksus

aquaduktus koklearis dan pleksus aquaduktus vestibularis. Venula dari

area sensorik di vestibular seperti venula vestibular posterior yang

menampung drainase dari sakulus dan ampula kanalis semisirkularis

posterior serta venula vestibular anterior yang menampung drainase dari

utrikulus akan mengalir ke pleksus aquaduktus koklearis. Pleksus

aquaduktus vestibularis merupakan anastomosis dari vena-vena yang

berasal dari daerah non sensorik vestibular dari kanalis semisirkularis.

Vena-vena ini berjalan paralel dengan aquaduktus dan menerima aliran

dari vena-vena di sakus endolimfatikus (Weber & Khariwala, 2006; Moller,

2006).

2.2.3 Fisiologi pendengaran

Proses mendengar diawali oleh ditangkapnya energi bunyi oleh telinga

luar yang akan diteruskan ke telinga tengah setelah menggetarkan

membran timpani. Di dalam telinga tengah terdapat rangkaian tulang

pendengaran (maleus, inkus, stapes) yang akan mengamplifikasi getaran

tersebut melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian

(36)

yang telah diamplifikasi ini akan memasuki telinga dalam yang selanjutnya

akan diproyeksi pada membran basilaris, sehingga akan menimbulkan

gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria (Moller,

2006; Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2010).

Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defklesi stereosilia sel-sel rambut, sehingga terjadi pelepasan

ion-ion yang bermuatan listrik akhirnya terjadi depolarisasi sel rambut dan

pelepasan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan meningkatkan

potensial aksi nervus auditorius dan akan sampai di korteks pendengaran

untuk diterjemahkan (Moller, 2006; Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin,

2010).

2.3 Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran dapat menyebabkan masalah dalam

kehidupan. Menurut WHO, gangguan pendengaran adalah berkurangnya

kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya, pada salah satu

atau kedua telinga, baik derajat ringan atau lebih berat dengan ambang

pendengaran rata lebih dari 26 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan

4000 Hz. Sedangkan ketulian adalah hilangnya kemampuan mendengar

pada salah satu atau kedua sisi telinga, merupakan gangguan

pendengaran sangat berat dengan ambang pendengaran rata-rata lebih

dari 81 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz (Kolegium Ilmu

Kesehatan THT-KL, 2008).

Gangguan pendengaran dapat berasal dari patologi pada telinga luar,

tengah, dan dalam. Jenis gangguan pendengaran antara lain:

1. Konduktif, disebabkan oleh gangguan mekanisme hantaran di telinga

luar atau telinga tengah. Hal ini terjadi ketika suara tidak dikonduksikan

secara efisien melalui liang telinga luar menuju membran timpani dan

tulang-tulang pendengaran di telinga tengah. Beberapa penyebabnya

antara lain: terdapat cairan di telinga tengah, otitis media, otitis media

(37)

impaksi serumen, otitis eksterna, benda asing, atau malformasi telinga

luar dan tengah (Atcherson & Prout, 2003; Soetirto, Hendarmin &

Bashirudddin, 2010; American Speech-Language-Hearing Association,

2012).

2. Sensorineural, disebabkan oleh kelainan di koklea, N.VIII, dan pusat

pendengaran di korteks serebri. Beberapa penyebabnya antara lain:

obat ototoksik, proses penuaan, trauma kepala, malformasi telinga

dalam, atau terpapar bising (Atcherson & Prout, 2003; Soetirto,

Hendarmin & Bashirudddin, 2010; American

Speech-Language-Hearing Association, 2012).

3. Campuran disebabkan kelainan konduktif dan sensorineural (Atcherson

dan Prout, 2003; American Speech-Language-Hearing Association,

2012).

2.4 Audiometri Nada Murni

Audiometri adalah pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan

bunyi yang dihasilkan alat elektroakustik. Audiometri Nada Murni(Pure

Tone Audiometry/PTA) merupakan suatu pemeriksaan ketajaman

pendengaran dengan menggunakan stimulus nada murni (bunyi yang

hanya memiliki satu frekuensi) (American Speech-Language-Hearing

Association, 2012). Tujuannya adalah untuk menentukan ambang

pendengaran pada telinga, baik hantaran udara maupun hantaran tulang.

Oleh karena itu, PTA disebut Threshold Audiometry. Temuan dari hasil

pemeriksaan audiometri yang perlu diperhatikan adalah hantaran udara

normal: terentang antara -10 s/d 26 dB (Kolegium Ilmu Kesehatan

THT-KL, 2008), hantaran tulang berimpit atau hampir berimpit dengan hantaran

udara, pada telinga normal atau tuli sensorineural, hantaran tulang

terpisah dari hantaran udara yang lebih rendah disebut air-bone gap

terjadi pada ketulian konduktif (Keith & Pensak, 2003; Kolegium Ilmu

(38)

Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal atau terjadi

gangguan pendengaran. Dalam menentukan derajat gangguan

pendengaran, yang dihitung hanya ambang dengar hantaran udara saja.

Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher, yaitu:

Ambang Dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz

(Soetirto, Hendarmin & Bashirudddin, 2010).

3

Gambar 5 Audiogram Pasien dengan Pendengaran Normal (Hain, 2012)

Menurut kepustakaan terbaru, frekuensi 4000 Hz berperan penting

untuk pendengaran, sehingga perlu diperhitungkan. Dengan demikian,

derajat ketulian dihitung dengan menambahkan ambang dengar 4000 Hz

dengan ketiga ambang dengar di atas, kemudian dibagi empat.

Ambang Dengar(AD)=

4

AD500Hz + AD1000Hz + AD2000Hz + AD4000Hz

(Soetirto, Hendarmin, dan Bashirudddin, 2010).

Adapun interpretasi hasil berdasarkan International Standard

Organizationc (ISO) tentang derajat gangguan pendengaran adalah: 0-25

dB pendengaran normal, 26-40 dB gangguan pendengaran ringan, 41-60

dB gangguan pendengaran sedang, 61-90 dB, gangguan pendengaran

berat, >90 dB gangguan pendengaran sangat berat (Soetirto, Hendarmin,

& Bashirudddin, 2010).

2.4.1 Prosedur pelaksanaan

Untuk pemeriksaan PTA, perlu diperhatikan beberapa syarat antara lain

(39)

Standards Institute (ANSI), suasana yang tenang bila perlu ruangan kedap

suara, pemeriksa yang sabar dan teliti (American National Standards

Institute, 2004; Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008).

Pada pengukuran audiologi, fungsi pendengaran diukur terpisah untuk

masing-masing telinga dengan menggunakan earphone (hantaran udara).

Saat ini yang sering digunakan adalah insert-earphone yang langsung

dimasukkan dalam liang telinga luar karena memiliki beberapa kelebihan

jika dibandingkan dengan earphone supraaural antara lain kontak dengan

tulang temporal yang minimal sehingga mengurangi kemungkinan

terjadinya cross hearing. PTA juga dapat dilakukan dengan

menggunakan osilator atau vibrator yang diletakkan pada tulang mastoid

untuk mengukur hantaran tulang, yaitu antara 250-4000 Hz (Kolegium

Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008).

Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang baik maka prosedur yang

perlu diperhatikan antara lain (American Speech-Language-Hearing

Association, 2005; Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008):

a. Penderita ditempatkan sedemikian rupa sehingga ia tidak melihat

gerakan tangan pemeriksa, karena hal ini akan mempengaruhi

penderita bahwa nada tes sedang disajikan.

b. Untuk mengurangi interferensi dari suara-suara latar belakang yang

berasal dari sekitarnya maka tempat yang terbaik adalah ruangan

kedap suara akan tetapi bila tidak ada maka tes dilakukan di ruangan

tersembunyi.

c. Instruksi kepada penderita harus jelas misalnya “anda akan diperiksa

dan akan mendengar bunyi yang kadang keras dan

kadang-kadang lemah melalui earphone. Bila mendengar bunyi itu, tekan

tombol dan acungkan tangan. Kalau mendengar di sebelah kanan

acungkan tangan kanan dan kalau didengar pada telinga kiri maka

acungkan tangan kiri”.

d. Earphone harus diletakkan secara tepat diatas liang telinga luar, warna

(40)

e. Telinga yang diperiksa terlebih dahulu harus yang berfungsi lebih baik.

f. Penyajian nada tes tidak boleh dengan irama yang tetap dan lamanya

interval antara dua bunyi harus selalu diubah-ubah. Tidak boleh

memutar tombol (dial) pengatur selama penyaji masih ditekan.

g. Pemeriksaan pertama dimulai pada frekuensi 1000 Hz karena nada ini

dapat memberi hasil akurat yang konsisten. Kemudian periksa

nada-nada lebih tinggi 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz dan frekuensi 250 Hz

serta 500Hz.

Untuk menentukan nilai ambang tiap-tiap frekuensi putar tombol pada

kedudukan 0 dB dan sajikan bunyi selama 1-2 detik. Bila tidak ada respon,

intensitas dinaikkan 5 dB, demikian seterusnya sampai ada respon. Jika

sudah ada respon, turunkan intensitasnya 5 dB sebagai cross check dan

bila tidak mendengar maka inilah nilai ambang frekuensi tersebut. Cara

yang sama dilakukan untuk frekuensi-frekuensi yang lain (American

Speech-Language-Hearing Association, 2005; Kolegium Ilmu Kesehatan

THT-KL, 2008).

2.4.2 Komponen utama audiometer

Audiometer yang tersedia di pasaran umumnya terdiri dari enam

komponen utama (Soetirto, Hendarmin, dan Bashirudddin, 2010) :

1. Oskilator, yang menghasilkan berbagai nada murni

2. Amplifier, untuk menaikkan intensitas nada murni sampai dapat

terdengar

3. Pemutus (interrupture), yang memungkinkan pemeriksa menekan

dan mematikan tombol nada murni secara halus tanpa terdengar

bunyi lain (klik)

4. Attenuator, agar pemeriksa dapat menaikkan atau menurunkan

intensitas ke tingkat yang dikehendaki

5. Earphone, yang mengubah gelombang listrik yang dihasilkan oleh

(41)

6. Sumber suara pengganggu (masking) yang sering diperlukan untuk

meniadakan bunyi ke telinga yang tidak diperiksa

Bagian dari audiometer tombol pengatur intensitas bunyi, tombol

pengatur frekuensi, headphone untuk memeriksa hantaran udara, bone

conductor untuk memeriksa hantaran tulang (Soetirto, Hendarmin, dan

Bashirudddin, 2010).

Ambang dengar ialah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi

tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat

ambang dengar menurut hantaran udara dan menurut hantaran tulang.

Bila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis, baik hantaran udara

maupun hantaran tulang maka akan didapatkan audiogram. Dari

audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian (Soetirto, Hendarmin,

dan Bashirudddin, 2010).

2.4.3 Notasi audiogram

Pemeriksaan direkam untuk masing – masing telinga secara terpisah

dimana frekuensi merupakan aksis sedangkan intensitas sebagai

ordinatnya. Notasi pada audiogram dipakai grafik hantaran udara yaitu

dibuat dengan garis lurus penuh (Intensitas yang diperiksa antara 125 –

8000 Hz) dan grafik hantaran tulang yaitu dibuat dengan garis

terputus-putus (Intensitas yang diperiksa yaitu 250 – 4000 Hz). Untuk telinga kanan

seandainya memakai warna dibuat dengan warna merah dan telinga kiri

warna biru. Untuk hantaran udara telinga kanan dengan tanda lingkaran

kecil (O) atau (∆) jika dilakukan masking, dan hantaran udara untuk telinga

kiri dengan tanda (X) atau (

) jika dilakukan masking, untuk hantaran

tulang telinga kanan digambarakan dengan tanda panah ke kiri (<) atau ([)

jika dilakukan masking, telinga kiri tanda panah ke kanan ( >) atau (]) jika

dilakukan masking (British Audiology Recommended Procedure, 2004).

2.4.4 Cross hearing dan masking

Bila suatu nada disajikan pada telinga yang mengalami gangguan,

kadang-kadang dapat pula didengar oleh telinga yang tidak sedang

(42)

2008). Jika stimulus nada yang diberikan lebih besar dari 40 dB dan

menggunakan supra-aural earphone dimana bantalannya berada di luar

telinga, maka energi akustik dapat menjalar ke telinga pada sisi yang

berlawanan yang disebut sebagai fenomena cross hearing. Jumlah

intensitas suara yang dibutuhkan untuk terjadinya cross hearing disebut

atenuasi interaural. Atenuasi interaural untuk frekuensi yang rendah

biasanya 50 dB dan 60 dB untuk frekuensi tinggi, sedangkan untuk

insert-earphone memiliki atenuasi yang lebih tinggi. Sementara atenuasi

interaural untuk tes hantaran tulang berkisar antara 10 sampai 0 dB,

sehingga dapat diasumsikan bahwa dengan stimulasi suara yang sangat

halus sudah dapat menyebabkan penjalaran getaran ke dua telinga

melalui tulang tengkorak (Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008).

Oleh karena itu, salah satu unsur penting pada PTA adalah masking.

Sebagai salah satu syarat utama, masking harus dilakukan apabila terjadi

kemungkinan untuk terjadinya penjalaran stimulus dari telinga yang

sedang diperiksa melalui tulang kepala ke tulang telinga yang berlawanan

(stimulasi hantaran udara maupun tulang melewati batas atenuasi

interaural). Masking harus dilakukan dengan memberikan suara tambahan

pada telinga yang diperiksa bersamaan dengan diberikannya stimulus

pada telinga yang sedang diperiksa. Jika suara tambahan yang diberikan

adekuat, maka suara stimulus yang menjalar ke sisi yang berlawanan

dapat tertutupi oleh suara tersebut. Yang sering digunakan untuk masking

adalah suara dengan gelombang sempit yang terdengar seperti suara

gemuruh. Dengan perkataan lain, masking adalah mengaburkan suatu

bunyi dengan menggunakan bunyi lainnya atau peninggian ambang

pendengaran suatu sinyal yang diakibatkan terdengarnya sinyal kedua

(Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008).

2.4.5 Manfaat audiometri

Kegunaan audiogram hantaran udara adalah untuk mengkur kepekaan

(43)

mekanisme sensorineural koklea dan nervus auditorius. Sedangkan

audiometri hantaran tulang adalah mengukur kepekaan mekanisme

sensorineural saja (British Audiology Recommended Procedure, 2004).

Sejauh ini peranan interpretasi audiogram yang terpenting adalah pada

hubungan antara ambang hantaran udara dan hantaran tulang yaitu ada

tidaknya beda udara-tulang. Secara garis besar hubungan tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut :

a. Bila ambang hantaran tulang lebih baik dari ambang hantaran udara

sebesar 10dB atau lebih dan normal, maka tuli bersifat konduktif.

b. Bila ambang hantaran tulang sama dengan hantaran udara dan

keduanya tidak normal, maka tuli bersifat sensorineural

c. Bila ambang hantaran tulang berkurang namun masih lebih baik dari

ambang hantaran udara sebesar 10dB atau lebih maka tuli bersifat

campuran.

2.5 Kekerapan Tuli Sensorineural Akibat Diabetes Melitus Tipe-2

Di Klinik Diabetes Rumah Sakit Gordan Iran memperoleh prevalensi

terjadinya gangguan pendengaran pada pasien DM sebanyak 16% dan

5% pada grup non DM (kontrol) yang artinya bahwa pasien DM memiliki

resiko 3,2 kali lebih besar untuk terjadinya gangguan pendengaran dari

pada yang non DM (Taziki & Mansourian, 2011).

Di India diperoleh bahwa dari 110 pasien DM Tipe-2 didapati 48 pasien

memiliki tuli sensorineural pada frekuensi tinggi ( 2000 dan 4000 Hz ), 7

pasien menderita tuli yang sangat berat, 16 pasien menderita tuli yang

berat, 25 pasien menderita tuli sedang (Pemmiah & Srinivas, 2011). Masih

di India juga ditemukan bahwa penderita DM Tipe-2 memiliki tuli

sensorineural ketika dievaluasi dengan audiometri nada murni disemua

frekuensi dari pada kelompok dengan nilai kadar gula darah yang normal

(Panchu, 2010). Di Brazil ditemukan secara statistik nilai yang signifikan

pada penderita DM Tipe-2 yang memiliki tuli sensorineural jika

(44)

Serikat dilakukan penelitian terhadap penderita DM Tipe-2 dengan

komplikasi mikrovaskuler dengan menggunakan alat ukur audiometri nada

murni dan hasilnya diperoleh adanya hubungan yang kuat antara

penurunan pendengaran dan DM Tipe-2 (Bainbridge, Hofman, Cowie,

2008). Di Universitas Islam Iran ditemukan sebanyak 455 dari 80

penderita DM memiliki tuli sensorineural (Mozzafari et al, 2010). Di

Amerika Serikat tepatnya di Universitas Marryland menemukan tuli

sensorineural yang lebih sering pada pasien DM dibandingkan dengan

non DM (Kakarlapudi, Sawyer, & Staecker, 2003). Di Tehran ditemukan

adanya gangguan pendengaran berupa penurunan pendengaran

sebanyak 31% pasien DM pada frekuensi 4000 Hz dan 34% pada

frekuensi 8000 Hz (Naini & Fathololoomi, 2003).

2.6 Patofisiologi Penurunan Pendengaran pada Diabetes Melitus Tipe-2

Penurunan pendengaran pada penderita DM memiliki ciri – ciri yang

hampir sama dengan presbiakusis yaitu bilateral, progresif dan berjenis

sensorineural terutama pada frekuensi tinggi. Perbedaannya adalah pada

penderita DM memiliki gangguan pendengaran lebih berat. Teori

mekanisme terjadinya penurunan pendengaran pada DM adalah

mikroangiopati. Mikroangiopati yang terjadi adalah di labirin terutama

mengenai stria vaskularisasi dan arteri auditiva interna (Maia & Alberti,

2006).

Beberapa penelitian menemukan kelainan vaskuler pada telinga dalam

yang secara histopatologi memperlihatkan perubahan mikroangiopati yaitu

terbentuk presipitat pada dinding pembuluh darah sehingga terjadi

penebalan. Kelainan mikroangiopati ini terutama terjadi pada pembuluh

kapiler stria vaskularis, selanjutnya dapat terjadi pada arteri auditorius

internus, modiulus, pada vasa nervosum ganglion spirale dan

(45)

Mekanisme yang pasti dari perubahan ini belum dapat dijelaskan,

namun bila dihubungkan dengan kenyataan, bahwa komplikasi lanjut DM

terjadi pada sel-sel maupun jaringan-jaringan tubuh yang tergantung

insulin untuk transportasi glukosa, nampaknya hiperglikemik sangat

berperan dalam proses kejadiannya. Hiperglikemia yang berlangsung

lama, telah diketahui dapat memacu reaksi glikosilasi protein non

enzimatik, yang berlangsung pada berbagai jaringan tubuh. Beberapa

studi klinik memberikan informasi adanya korelasi antara jangka waktu

berlangsungnya hiperglikemia dan progresifitas mikroangiopati pada

penderita DM. Terkendalinya status glikemia mendekati batas normal

dapat menghambat bahkan mungkin mencegah terjadinya mikroangiopati

(Nepal, Rayamajhi & Thapa, 2007).

Glukosa terikat pada protein oleh reaksi kimia non-enzimatik. Proses ini

diawali dengan menempelnya glukosa pada gugus asam amino, yang

berlanjut dengan serangkaian reaksi biokimia dengan hasil terbentuknya

amadory product, reaksi selanjutnya menghasilkan produk akhir yang

dinamakan advanced glicosilation end product (AGEP) yang bersifat

irreversible. Reaksi glikosilasi ini terjadi pada long live protein, antara lain

jaringan kolagen dan membran basalis pembuluh darah. Salah satu

bentuk AGEP pada DM adalah 2 furoyl-4(5)-(2furanyl)-1-H-imidazole atau

FFI yang banyak tertimbun dalam jaringan-jaringan tubuh penderita DM.

Dalam reaksi glikosilasi ini terbentuk pula radikal bebas sebagai hasil dari

oto-oksidasi glukosa yang berlangsung pada waktu pembentukan AGEP

dari amadory product, yang bersifat highly reactive oxidant yang memiliki

sifat ototoksis antara lain efek denaturasi dan agregasi (Votey & Peters,

2008; Kakarlapudi, Sawyer & Staecker, 2003).

Bertambahnya produksi AGEP mengurangi elastisitas dinding

pembuluh darah (arteriosclerosis) dan mengakibatkan terikatnya protein

plasma pada membran basalis, sehingga dinding pembuluh darah

menebal dengan lumen yang makin sempit. Perubahan patologik yang

(46)

a. Penebalan membran basalis pembuluh darah kapiler yang

mengakibatkan penyempitan lumen kapiler.

b. Perubahan hemodinamik akibatnya terjadi disfungsi organ yang

bersangkutan.

c. Perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit yang memacu

terbentuknya mikrotrombus akibatnya terjadi penyumbatan

mikrovaskuler.

Akibatnya mikroangiopati organ korti akan terjadi atrofi dan

berkurangnya sel rambut. Sedangkan neuropati terjadi akibat

mikroangiopati pada vasa nervosum nervus VIII dan vasa ligamentum

spirale yang berakibat atrofi ganglion spiral dan demielinisasi serabut

saraf VIII. Sel-sel rambut mengalami atrofi akibat akumulasi bahan-bahan

toksik hasil metabolisme pada endolimfe akibat terganggunya absorsi oleh

pembuluh darah sekitar sakus endolimfatikus (Brainbridge, Hofman &

Cowie, 2008; Frisina, Mapes, Kim, 2006).

Pada penelitian sebelumnya banyak yang menyatakan bahwa

terjadinya gangguan pendengaran pada penderita DM terjadi akibat

adanya dampak neurodegeneratif yang merugikan pada penderita DM,

seperti kerusakan oksidatif, yang menyebabkan terjadinya stres oksidatif.

Stres oksidatif adalah suatu kondisi tidak seimbang antara pembentukan

radikal bebas dan antioksidan pada tingkat seluler. Stres oksidatif

membahayakan karena terjadi kelebihan radikal bebas (oksidan) atau

tanda penurunan level enzim natural antioksidan (Foster, 1998).

Stres oksidatif berpotensi meningkatkan komplikasi vaskular DM

dengan empat jalur metabolik : Protein Kinase-C Pathway (PKC),

Advanced Glycation End Products Pathway (AGEP), Hexosamine

Pathway, Aldose Reductase (AR). Stres oksidatif juga dapat

menyebabkan disfungsi sel β dan insulin resisten. Kontrol glukosa yang

(47)

2.6.1 Teori reactive oxygen species

Stres oksidatif adalah suatu kondisi tidak seimbang antara

pembentukan radikal bebas dan antioksidan pada tingkat seluler. Stres

oksidatif dapat naik karena proses enzimatik dan non enzimatik oleh

hiperglikemi. Ada 3 pencetus stres oksidatif akan meningkat yaitu glikasi

yang labil, otooksidasi glukosa dan aktivasi intrasel jalur poliol. Glikolisis

dan siklus Krebs menghasilkan energi yang ekuivalen untuk mendorong

sintesis ATP mitokondria, sebaliknya hasil samping fosforilasi oksidatif

mitokondria (termasuk radikal bebas, dan anion superoksid) juga

ditingkatkan oleh kadar glukosa tinggi (Votey & Peters, 2008, 2008;

Foster, 1998).

Otooksidasi glukosa meningkatkan radikal bebas. Jadi stres

oksidatif akan menurunkan kadar nitrit oksida, merusak protein sel dan

adhesi leukosit pada endotel meningkat sedang fungsinya sebagai barrier

terhambat. Stres oksidatif pada DM Tipe-2 tidak terkontrol disebabkan

oleh PAHA seperti aktivasi AR, aktivasi hexosamine, peningkatan sintesis

DAG, aktivasi PKC, peningkatan AGEP (Votey & Peters, 2008; Foster,

1998).

Aktivitas polyol akan menimbulkan akumulasi bahan–bahan toksik

intraseluler, membahayakan struktur sel dan proses metabolik,

bersamaan dengan peningkatan kadar ROS. Proses metabolik yang

terganggu dengan adanya DM termasuk produksi energi, akumulasi

abnormal produk – produk metabolik, deregulasi nitric oxide, glikasi,

keseimbangan abnormal lipid, disfungsi sintesa protein. Hiperglikemia

menyebabkan kerusakan jaringan yang luas terutama merusak endotelial,

neural, matriks ekstraseluler dan jaringan kolagen (Frisina, Mapes, Kim,

2006).

Sistem pendengaran membutuhkan glukosa sebagai sumber energi

untuk proses kompleks sinyal. Diduga bahwa koklea dapat juga menjadi

(48)

yang tinggi bahkan untuk jangka pendek, dapat meningkatkan metabolik

yang mengganggu koklea baik secara anatomis maupun fisiologis.

Penurunan pendengaran terutama terjadi pada frekuensi tinggi. Hal

ini tampaknya ada kaitannya dengan kurangnya glikogen jaringan sebagai

sumber energi pada penderita DM. Proses transduksi pada organ korti

membutuhkan energi (ATP) yang bersumber dari glikogen (Tan, Chow &

Metz, 2002).

Penurunan pendengaran yang terjadi pada penderita DM Tipe-2

adalah pada frekuensi tinggi kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut

(Kakarlapudi, Sawyer & Staecker, 2003) :

1. Sel-sel rambut luar mengandung glikogen lebih banyak dari pada

sel-sel rambut dalam, dan jumlahnya di bagian basal lebih sedikit

dibandingkan di bagian apeks.

2. Sel-sel rambut di daerah basal lebih panjang sehingga untuk dapat

meneruskan rangsangan ke serabut-serabut saraf memerlukan

energi lebih besar.

3. Potensial endolimfatik pada bagian basal lebih tinggi sehingga

memerlukan energi lebih banyak.

4. Skala timpani pada bagian basal lebih besar sehingga kebutuhan

akan sumber energi eksternal (glukosa) dan oksigen lebih besar.

2.6.2 Mikroangiopati

Penelitian dan observasi klinis telah mencatat perubahan penting yang

terjadi pada sistem penglihatan yaitu retinopati. Gangguan akibat

hiperglikemia termasuk peningkatan produk – produk metabolik seperti

diacylglicerol (DAG) yang mengaktifkan protein kinase C (PKC) sehingga

mempengaruhi jalur sinyal transduksi intraselular. Pengaktifan PKC

menyebabkan penebalan membran basalis dan peningkatan permeabilitas

vascular. Koklea, khususnya stria vaskularis adalah organ yang sangat

mikrovaskularis. Peningkatan permeabilitas dari endotelium dapat

(49)

endolimfe yang mempengaruhi transduksi rambut sel dan transmisi sinyal

(Votjka, Ciljakova & Banovcin, 2012)

Nitric oxide ( NO ) yang terkumpul dalam organ corti dan memainkan

peranan penting dalam regulasi endotelium pembuluh darah dengan cara

merangsang peningkatan ATP di aliran darah koklea, aktivitas anti –

trombotik, dan regulasi irama/tone pembuluh darah dan pertumbuhan

selular. NO terkumpul dalam pembuluh darah utama koklea termasuk

pembuluh darah spiral modiolar, membran basilaris dan pembuluh darah

lamina spiralis osseous juga pembuluh darah yang berdekatan dengan

ganglion spiralis, sel rambut dalam dan luar. Keseimbangan kritis dari NO

adalah sangat penting untuk fungsi sensori optimal koklea dan

mendukung kesehatan sel jangka panjang. Jika terjadi hiperglikemia akan

terjadi penurunan produksi nitric oxide synthase (NOS) sehingga timbul

iskemia (Frisina, Mapes, Kim, 2006).

2.7 Pengelolaan Gangguan Pendengaran pada Pasien Diabetes Melitus Tipe-2

Penatalaksanaan gangguan pendengaran pada penderita DM salah

satunya adalah dengan steroid, tetapi hingga saat ini masih kontroversial.

Sebagai hasil dari efek anti inflamasi, terapi steroid sistemik dosis tinggi

saat ini masih andalan pengobatan untuk gangguan pendengaran pada

penderita DM. Meskipun terapi steroid oral atau intravena selama dua

minggu sekitar 30-50% pasien menunjukkan respon. Penelitian

menemukan bahwa suntikan steroid intratimpanik hasilnya mengurangi

toksisitas steroid sistemik dan meningkatkan selektivitas level steroid

perilimfe. Penelitian sebelumnya telah difokuskan penggunaan suntikan ini

sebagai terapi lini sekunder dalam kasus-kasus seperti ini. Namun

demikian, beberapa penelitian telah mempublikasikan bahwa hasil

pengobatan steroid intratimpanik digunakan sebagai terapi lini pertama

Gambar

Tabel 1 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa (DepKes,2008):
Gambar 1. Labirin bagian tulang dan labirin bagian membran
Gambar 2. Potongan Melintang Koklea (Mayers, 2011).
Gambar 3. Kanalis Semisirkularis (Mayers, 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambaran Pengetahuan dan Tindakan Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Terhadap Pentingnya Aktivitas Fisik di Poliklinik Endokrinologi Rumah. Sakit Umum Pusat Haji

Pada hasil penelitian tentang perbedaan laju aliran saliva sebelum dan sesudah mengunyah permen karet xylitol ® pada penderita diabetes melitus tipe 2 dengan xerostomia di

Kemungkinan lain terjadinya diabetes melitus tipe 2 adalah sel jaringan tubuh dan otot penderita tidak peka atau sudah resisten terhadap insulin, sehingga glukosa

Hubungan Tingkat Depresi Dengan Kualitas Hidup Pada Pasien. Diabetes Melitus Tipe II Di Rumah Sakit

Korelasi HbA1c dengan Profil Lipid Pada Penderita Diabetes Melitus

Populasi penelitian ini adalah penderita diabetes melitus tipe 2 yang merupakan populasi target dan pasien kaki diabetes merupakan populasi terjangkau yang akan diteliti

Pada kelompok DM didapat jenis gangguan pendengaran terbanyak adalah sensorineural yaitu sebanyak 33 sampel (41,3%) diikuti dengan yang normal sebanyak 6 sampel (7,5%) dan

Berbagai penelitian juga dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan pendengaran sensorineural pada penderita diabetes melitus