• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Maloklusi dan Kebiasaan Buruk Pada Anak Sindroma Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Maloklusi dan Kebiasaan Buruk Pada Anak Sindroma Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

DI SLB-C KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

NURUL SUKMA MUSTAFA NIM: 110600130

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Tahun 2015

Nurul Sukma Mustafa

Gambaran Maloklusi dan Kebiasaan Buruk Pada Anak Sindrom Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan.

x + 38 Halaman

Sindrom Down merupakan salah satu bentuk retardasi mental akibat kelainan genetik atau kelainan kromosom yang paling sering terjadi. Sindrom ini dapat ditandai dengan retardasi mental dan karakteristik fisik yang khas seperti maloklusi sebagai salah satu manifestasi oral khas pada pennderita ini. Maloklusi sendiri memiliki berbagai faktor etiologi, salah satunya kebiasaan buruk. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi maloklusi dan kebiasaan buruk pada anak sindroma Down usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan.

Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif. Jumlah sampel penelitian ini sebesar 82 anak usia 6-18 tahun yang merupakan jumlah seluruh anak sindrom Down yang bersekolah di 8 SLB-C yang ada di Kota Medan. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terhadap orang tua dan pemeriksaan klinis pada rongga mulut anak. Analisis data dilakukan dengan cara manual dan komputerisasi. Data distribusi disajikan dalam bentuk tabel dengan hasil persentase.

(3)

untuk meminimalisir kebiasaan buruk tersebut agar pengunyahan dan fonetik anak dapat berfungsi dengan optimal.

(4)

DI SLB-C KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

NURUL SUKMA MUSTAFA NIM: 110600130

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(5)

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 12 Maret 2015

Pembimbing Tanda tangan

(6)

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji Pada tanggal 12 Maret 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Ami Angela Harahap, drg., Sp.KGA., MSc ANGGOTA : 1. Taqwa Dalimunthe, drg., Sp.KGA

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul

“Gambaran Maloklusi dan Kebiasaan Buruk Pada Anak Sindroma Down Usia 6-18

Tahun di SLB-C Kota Medan” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi. Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan, pengarahan, dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Siti Salmiah, drg., Sp.KGA selaku dosen pembimbing yang telah begitu banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing penulis, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Yati Roesnawi, drg., selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak (IKGA) serta seluruh staf pengajar dan tenaga administrasi Departemen IKGA yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.

4. Yumi Lindawati, drg., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan masukan dalam bidang akademik kepada penulis.

5. Kepala sekolah, staf pengajar, dan seluruh siswa SLB-C di Kota Medan yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini.

6. Teman-teman penulis Maya, Rica, Yudith, Dira, Jeje, Johan, dan Rahmat atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian berlangsung.

(8)

Akhir kata penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Drs. H. Mustafa Aji dan Bunda Dr. Drh. Raihanah, MSi, atas segala pengorbanan, doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Penulis juga mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan, 6 Maret 2015 Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

(10)

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian ... 20

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 20

3.2.2 Waktu Penelitian ... 20

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 21

3.4 Variabel Penelitian ... 21

3.5 Definisi Operasional... 21

3.6 Alat dan Bahan Penelitian ... 22

3.7 Prosedur Penelitian... 23

3.8 Pengolahan dan Analisis Data ... 24

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Responden ... 25

4.2 Distribusi Maloklusi Menurut Klasifikasi Angle Pada Anak Sindroma Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan ... 26

4.3 Distribusi Bentuk Maloklusi Pada Anak Sindroma Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan ... 27

4.4 Distribusi Kebiasaan Buruk Pada Anak Sindroma Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan ... 28

BAB 5 PEMBAHASAN ... 29

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Distribusi karakteristik responden anak di SLB-C Kota Medan ... 25 2. Distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada anak sindroma

Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan ... 26 3. Distribusi prevalensi bentuk maloklusi pada anak sindroma Down usia

6-18 tahun di SLB-C Kota Medan ... 27 4. Distribusi prevalensi kebiasaan buruk pada anak sindroma Down usia

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Lembar pemeriksaan

2. Lembar penjelasan kepada subjek penelitian

3. Lembar persetujuan setelah penjelasan (informed consent) 4. Data hasil penelitian

5. Surat persetujuan komisi etik 6. Surat dari SLB-C YPAC Medan 7. Surat dari SLB-C Abdi KAsih Medan

8. Surat dari SLB-C Taman Pendidikan Islam Medan 9. Surat dari SLB-C Musdalifah Medan

10. Surat dari SLB-C Al-Azhar Medan 11. Surat dari SLB-C Negeri Pembina Medan 12. Surat dari SLB-C Markus Medan

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom Down pertama kali dideskripsikan oleh seorang dokter dari Inggris bernama Langdon Down pada tahun 1866.1,2 Sindrom ini disebabkan oleh anomali kongenital kromosom autosomal (non-sex chromosome) pada kromosom 21. 1-3

Sindrom Down merupakan kelainan kromosom pada kelahiran yang cukup sering terjadi di dunia.WHO melaporkan, estimasi insidensinya berada antara 1 dari 1.000 hingga 1 dari 1.100 kelahiran.Penderitanya saat ini berjumlah 8 juta di dunia. Setiap tahun diperkirakan terdapat 3.000 hingga 5.000 anak terlahir dengan sindrom Down dan terdapat sekitar 250.000 keluarga di Amerika Serikat yang salah satu anggota keluarganya menderita sindrom ini.3Data terbaru dari RISKESDAS 2013 menyatakan bahwa hingga kini telah terdapat 300.000 kasus anak yang mengalami sindrom Down di Indonesia.4

Karakteristik fisik sindrom Down secara umum ditandai dengan lemahnya kemampuan tonus otot, wajah datar, ujung mata tertarik agak ke atas, kemampuan pergerakan sendi yang berlebihan, bentuk telinga yang tidak beraturan, dan jarak yang lebar antar ibu jari kaki dan jari di sebelahnya. Manifestasi oral anak dengan sindrom ini antara lain kebiasaan bernapas dari mulut sehingga palatumnya tinggi dan sempit, makroglosia, lidah dan bibir yang berfisur, anomali dental, maloklusi, oral hygiene yang buruk, dan insidensi karies yang rendah.Adapun kelainan orofasial yang ditemukan adalah pertumbuhan wajah sepertiga tengah yang terhambat sehingga ditemukannya tinggi hidung yang pendek, hipoplastik maksila, dan mandibula yang prognatik. Hal tersebut menyebabkan terjadinya Klas III dental dan skeletal pada anak sindrom Down.1-3,5

(15)

anak bukan penderita sindrom Down seperti misalnya di Italia, prevalensi maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodonti pada anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah adalah sebesar 75,8%.7 Namun, ada juga sebuah jurnal yang membandingkan hasil penelitiannya, dimana anak-anak tanpa sindrom Down memiliki prevalensi maloklusi yang berada pada rentang 45-67%.6 Perbandingan persentase di atas menunjukkan rentang yang cukup signifikan antara prevalensi maloklusi yang terjadi pada anak dengan dan tanpa sindrom Down. Selanjutnya, Danielle Bauer dkk dengan menggunakan metode PAR dan ICON meneliti anak dengan sindrom Down dan memperoleh kesimpulan bahwa mereka memiliki insidensi maloklusi lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak menderita sindrom Down.1

Maloklusi tidak lepas dari kebiasaan buruk pada rongga mulut sebagai salah satu etiologinya. Kebiasaan buruk yang dialami baik pada anak normal maupun anak sindrom Down memiliki rentang prevalensi yang bervariasi mulai dari 20-92%.8 Penelitian yang dilakukan pada ras bahkan negara yang sama tidak menjadi jaminan dekatnya hasil angka prevalensi kebiasaan buruk ini.

(16)

1.2 Rumusan Masalah

1. Rumusan Umum

Berapa prevalensi maloklusi dan kebiasaan buruk pada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan?

2. Rumusan Khusus

a. Berapa prevalensi maloklusi menurut klasifikasi Angle pada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan?

b. Berapa prevalensi bentuk maloklusi seperti gigitan silanganterior dan posterior, gigitan terbuka anterior, dan crowdingpada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan?

c. Berapa prevalensi kebiasaan buruk seperti bernapas melalui mulut, tongue thrusting, menggigit kuku atau jari, menghisap jari, dan bruxismpada anak sindrom

Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan?

d. Berapa prevalensi maloklusi dan kebiasaan buruk pada anak sindrom Down usia 6-18 tahun berdasarkan jenis kelamin di SLB-C Kota Medan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui prevalensi maloklusi dan kebiasaan buruk pada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan.

Tujuan khusus penelitian adalah:

a. Untuk mengetahui prevalensi maloklusi menurut klasifikasi Angle pada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan.

b. Untuk mengetahui prevalensi bentuk maloklusi seperti gigitan silanganterior dan posterior, gigitan terbuka anterior, dan crowdingpada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan.

c. Untuk mengetahui prevalensi kebiasaan buruk seperti bernapas melalui mulut, tongue thrusting, menggigit kuku atau jari, menghisap jari, dan bruxismpada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan.

(17)

1.4 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis:

1. Memberikan informasi dalam perencanaan program peningkatan kesehatan gigi dan mulut anak dengan meminimalisir kebiasaan buruk sebagai salah satu cara untuk meminimalisir maloklusi sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan kepercayaan diri anak.

2. Sebagai sumber data dalam pengembangan Ilmu Kedokteran Gigi Anak dalam pengetahuan tentang prevalensi maloklusi dan kebiasaan buruk pada anak sindrom Down.

3. Sebagai data untuk melakukan penelitian lebih lanjut. b. Manfaat Praktis:

1. Dokter gigi secara profesional dapat memahami dan mempromosikan pentingnya menurunkan prevalensi maloklusi dan kebiasaan buruk sebagai bagian dari peningkatan kesehatan dan kualitas mental anak secara menyeluruh tidak hanya pada gigi dan mulut.

2. Bahan pengetahuan dan masukan bagi guru dan orang tua siswa untuk secara khusus merawat dan menghindarkan anak dari kebiasaan buruk agar terjaganya kebersihan gigi dan rongga mulut anak sebagai komponen vital bagi pertumbuhan dan perkembangan.

3. Sumber pengetahuan baru bagi diri sendiri maupun teman sejawat tentang prevalensi maloklusi dan kebiasaan buruk pada anak sindrom Down di SLB-C Kota Medan.

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Down

2.1.1 Definisi dan Karakteristik Sindrom Down

Sindrom Down merupakan salah satu bentuk retardasi mental akibat kelainan genetik atau kelainan kromosom yang paling sering terjadi. Banyak kelainan kromosom yang mengakibatkan terjadinya retardasi mental pada anak, seperti yang disebut dengan trisomi 13 atau trisomi 18.9,10 Pada anak sindrom Down yang terjadi adalah terdapatnya gangguan atau kelainan pada kromosom 21.1-3

Retardasi mental bisa didefinisikan sebagai kemampuan intelektual yang signifikan di bawah rata-rata.Keadaan ini bisa didiagnosa dari hasil tes IQ yang menunjukkan hasil yang berkisar antara 70 hingga kurang dari 20. Kondisi ini akan sangat mempengaruhi individu dalam melakukan aktivitas sehari-harinya. Mereka memiliki kemampuan berkomunikasi, merawat diri, menjaga keselamatan diri, melakukan aktivitas di rumah, kemampuan sosial, intrapersonal, perkerjaan, penggunaan transportasi dan teknologi serta kemampuan akademik yang sangat rendah dibandingkan kemampuan rata-rata individu di usianya. Di balik keterbelakangan mental tersebut, anak sindrom Down dikenal sebagai sindrom dengan kemampuan sosial yang cukup baik.9,10

Sindrom ini tidak hanya ditandai dengan retardasi mental, secara fisik pun anak sindrom Down memiliki karakteristik yang khas, seperti lemahnya fungsi tonus otot, wajah datar, kepala bagian belakang datar, mata sipit tertarik agak ke atas, kemampuan pergerakan sendi yang berlebihan, bentuk telinga yang tidak beraturan dan cenderung kecil, jarak yang lebar antar ibu jari kaki dengan jari di sebelahnya, mulut mungil, dan tangan serta kaki yang juga mungil.3,5

(19)

dementia. Infeksi yang dialaminya bisa berupa infeksi saluran pernafasan, infeksi yang tampak di sekitar kulit yang kemungkinan disebabkan oleh abnormalitas sistem imun. Anak sindrom Down sering mengalami kelainan jantung yang mempengaruhi keselamatan hidupnya saat baru lahir dan juga 10-20 kali berpotensi mengalami leukemia. Kesulitan tidur yang dialami mereka berkaitan dengan obstrusksi jalan nafas akibat makroglosia, pembesaran adenoid, dan berbagai faktor predisposisi lainnya.Anak sindrom Down juga dilaporkan memiliki gangguan pendengaran, penglihatan, kelenjar tiroid yang tidak berfungsi dengan baik, dan dementia yang nantinya akan berkaitan dengan alzheimer.3,10-12

Anak sindrom Down umumnya koperatif dalam perawatan dental. Mereka tidak memerlukan cara khusus dalam pendekatan tingkah laku karena mereka senang bersahabat dengan orang lain. Dokter gigi hanya perlu memperhatikan kontrol oral hygiene. Saat penanganan gigi dan rongga mulut di klinik, diusahakan melakukannya

dengan hati-hati dan menjaga jaringan lunaknya jangan sampai terluka karena kontrol tonus ototnya yang lemah.13,14

2.1.2Etiologi Sindrom Down

Secara umum, etiologi retardasi mental terbagi atas 2, yaitu retardasi mental dengan penyebab organik yang diketahui dan retardasi dengan dasar patologi yang belum jelas.Retardasi mental dengan penyebab organik terbagi atas abnormalitas kromosom/gen, toksin dari lingkungan, defisiensi nutrisi, penyakit infeksi, dan injuri. Sindrom Down termasuk retardasi mental yang disebabkan oleh abnormalitas komosom/gen.10 Hingga saat ini, para ahli masih percaya tentang keterlibatan kromosom 21 sebagai penyebab sindrom Down dengan patofisiologi yang bervariasi. Chapman dan Hesketh menjelaskan bahwa sindrom Down disebabkan oleh kromosom ke-21 dari ibu yang non-Disjunction yakni gagal berpisah saat meiosis berlangsung. Saat kromosom ini bergabung dengan kromosom ayah, anak menerima 3 copy kromosom 21 sehingga disebut trisomi 21. Penyebab terjadinya non-Disjunction masih belum diketahui. Namun, untuk sementara diduga berkaitan erat

(20)

Non-Disjunction yang terjadi menyebabkan embrio memiliki 3 salinan kromosom 21, dimana yang normal seharusnya 2 salinan saja, sehingga anaksindrom Down memiliki 47 pasang kromosom. Ada juga yang berpendapat bahwa kegagalan berpisahnya kromosom 21 tidak hanya terjadi pada meiosis sel ovum, tetapi juga bisa terjadi pada sel sperma.10,11

Gambar 2.1Karyotipe anak sindrom Down15

Kelainan kromosom ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan otak.Pengaruhnya sering berupa ukuran otak yang 25% lebih kecil dari seharusnya. Keadaan ini berdampak terhadap kurangnya inteligensia (rata-rata IQ:50) dan kurang berkembangnya kemampuan mereka dalam berbahasa dan berekspresi.10 Selain genetik, paparan agen infeksi, penggunaan kontrasepsi, merokok selama kehamilan, paparan radiasi, paparan insektisida, dan tinggal di dekat pembuangan sampah atau limbah sering menjadi faktor risiko terjadinya sindrom Down pada calon bayi.11

2.1.3 Klasifikasi Sindrom Down

(21)

lainnya dapat didiagnosa dan dibagi atas 5 level intelektual dibawah rata-rata sebagai berikut:

1. Mild Mental Retardation

Anak golongan ini memiliki rentang IQ antara 50-70. Mereka masih bisa berkembang, menjadi mandiri seperti makan atau berpakaian sendiri dengan bantuan minimal dari orang lain. Mereka mampu berbicara yang dimengerti dengan baik oleh orang lain, menulis kata-kata sederhana, dan mampu bergaul dengan baik. Terkadang mereka mampu beradaptasi dengan sekolah biasa walaupun lambat laun akan sedikit mengalami ketertinggalan dibandingkan teman sekelasnya. Anak dengan level IQ ini mampu lulus SMA hingga bekerja pada sektor pekerjaan tidak terlatih maupun semi-terlatih.

2. Moderate Mental Retardation

Sindrom Down golongan ini, mempunyai rentang IQ 40-55. Mereka memiliki keterlambatan perkembangan kemampuan berbahasa, seperti hanya mampu menggunakan 4-10 kata saja pada usia 3 tahun. Anak golongan ini tidak mampu beradaptasi dengan sekolah biasa, sehingga perlu dimasukkan ke sekolah khusus untuk kelancaran proses pembelajaran akademiknya. Ketika dewasa, mereka tidak bisa diperbolehkan melakukan aktivitas harian seperti berbelanja atau memasak tanpa didampingi.

3. Severe Mental Retardation

Rentang IQ golongan ini berkisar antara 20-40.Mereka memiliki kosa kata yang sangat terbatas dan hanya mampu berbicara sebatas 2-3 kalimat.Demikian juga dengan kemampuan motorik yang cukup lemah, sehingga tidak bisa bermain dengan mainan mereka ketika kecil.Saat beranjak dewasa, mereka hanya mampu berpakaian sendiri dengan jenis pakaian yang sederhana dan hanya sebagian dari mereka yang bisa bekerja pada bidang pekerjaan yang tidak terlatih.

4. Profound Mental Retardation

(22)

yang kurang, mereka cenderung tidak bersosialisasi dengan baik.Namun mereka masih mampu mengerti perkataan berupa kalimat-kalimat perintah yang sederhana. Banyak orang dengan klasifikasi retardasi mental ini, memiliki usia harapan hidup lebih rendah dari rata-rata akibat berbagai penyakit yang sering menyertainya.9,10

5. Mental Retardation, Severity Unspecified

Golongan ini diyakini kuat memiliki kriteria adanya retardasi mental, tetapi inteligensianya tidak dapat ditentukan berdasarkan tes standar.

Pembagian ini dilakukan berdasarkan hasil tes IQ yang diberikan kepada anak. Klasifikasi ini berguna untuk menentukan sekolah atau kelas mana yang sesuai ditempati oleh anak agar mampu menyerap materi pembelajaran dengan baik sesuai kemampuannya tanpa merasa tertinggal dibanding teman-temannya.10

2.2 Manifestasi Oral pada Anak dengan Sindrom Down

Sebelum membahas lebih lanjut dan spesifik tentang maloklusi pada anak sindrom Down, pada subbab ini akan terlebih dahulu dibahas secara singkat mengenai berbagai manifestasi oral yang khas terjadi pada anak sindrom Down. Adapun manifestasi oral yang terjadi pada anak sindrom Down adalah sebagai berikut:

1. Jaringan lunak

Manifestasi oral umum yang sering dijumpai pada sindrom Down antara lain makroglosia, bibir bawah lebih tebal dan kering, geographic dan fissured tongue. Makroglosia merupakan ukuran lidah yang relatif lebih besar dari ukuran seharusnya di dalam mulut. Pada anak sindrom Down, yang terjadi sebenarnya bukan ukuran lidahnya yang membesar, tetapi pertumbuhan rahang terhambat ditambah kemampuan tonus otot yang lemah membuat lidah mereka seolah-olah besar dan protruded. Selain kontrol lidah yang kurang baik, kelemahan tonus otot juga

membuat kemampuan menghisap ASI berkurang serta kesulitan menstabilkan rahang.

(23)

dengan hipersalivasi menyebabkan jaringan periodonsium yang tidak sehat. Selain itu, kelainan sistem imun juga turut berkontribusi terhadap penyakit periodontal yang cukup sering dideritanya.1,2

2. Maloklusi

Keadaan ini sering dijumpai pada anak sindrom Down. Selain itu, juga sering ditemukan terdapatnya malalignment dan hubungan rahang kelas III berdasarkan klasifikasi Angle.1,2,13

3. Jaringan Keras

Adapun berbagai kelainan jaringan keras di rongga mulut yang sering ditemukan pada anak sindrom Down antara lain: mikrodontia, perubahan morfologi dan bentuk mahkota seperti conical teeth, gigi yang sudah erosi, akar pendek, hipoplasia enamel, hipokalsifikasi, enamel dan dentin yang tipis, taurodontism, hipodontia, supernumerary teeth, dan keterlambatan erupsi.1,2,16

Gambar 2.2 Manifestasi oral pada anak sindrom Down.2

2.3 Oklusi

(24)

Menurut Lawrence Andrews, oklusi normal memiliki 6 kunci, antara lain: cusp mesiobukal M1 berkontak pada groove antara cusp mesial dan medial bukal M1 bawah, porsi gingiva dari sumbu tiap mahkota gigi lebih ke distal dari porsi oklusi sumbu tersebut, inklinasi mahkota gigi insisivus atas lebih ke labial sedangkan untuk gigi sisanya lebih ke lingual, tidak ada rotasi, tidak ada jarak, dan dataran oklusal datar. Namun kenyataannya, tidak ada oklusi ideal yang dapat terjadi pada manusia. Ini hanya merupakan konsep teoritis yang penting diketahui untuk menjadi acuan bagaimana oklusi paling baik itu seharusnya.17,18

2.4 Maloklusi

2.4.1 Definisi Maloklusi

Maloklusi dapat didefinisikan sebagai deviasi oklusi yang keluar dari kaedah oklusi ideal yang menimbulkan ketidakpuasan baik secara estetik maupun fungsi. Maloklusi dapat terjadi dalam berbagai bentuk sehingga dibutuhkan klasifikasi yang jelas agar mudah menetukan perawatan serta mengomunikasikannya kepada pasien.17-19

2.4.2 Etiologi Maloklusi

Maloklusi disebabkan oleh banyak faktor.Graber membagi faktor tersebut menjadi 2, yaitu faktor lokal dan faktor umum.Faktor lokal yang berperan terhadap terjadinya maloklusi adalah anomali dental.Anomali dental yang terjadi bisa berupa anomali dari segi jumlah, bentuk, dan ukuran gigi. Faktor lokal lainnya yang berperan adalah labial frenulum yang abnormal, premature loss, persistesi, gigi permanen yang mengalami delayed eruption, eruptive path yang abnormal, ankilosis, karies, dan restorasi dental yang tidak baik.17

(25)

dan kekuatan jaringan lunak, serta hormon pertumbuhan yang berlebihan dari faktor patologi.17-19

2.4.3 Klasifikasi Maloklusi

Terdapat banyak klasifikasi maloklusi, mulai dari antar-gigi atau intra-arch, antar lengkung rahang, atau jenis klasifikasi yang ditinjau secara sagital, vertikal, transversal, atau klasifikasi yang ditetapkan oleh para ahli ortodonti. Namun, pada subbab ini hanya akan dibahas klasifikasi maloklusi paling umum digunakan dalam dunia ortodonti yaitu Sistem Klasifikasi Angle. Klasifikasi ini didasarkan pada hubungan antara molar pertama permanen atas dan bawah.

a. Klas I Angle

Klas ini merupakan jenis oklusi normal jika ditinjau dari hubungan molarnya saja. Klas I Angle ditandai dengan cusp mesiobukal dari molar pertama permanen atas yang jatuh pada groove molar pertama permanen mandibula. Akan tetapi, Klas ini memiliki jenis maloklusi dimana terdapat ukuran, bentuk, dan susunan gigi yang tidak beraturan seperti crowding, spacing, rotasi, kehilangan gigi, dan sebagainya.

Pada klasifikasi ini ada yang disebut bimaksilari protrusi yaitu suatu keadaan dimana secara hubungan molar merupakan Klas I, tetapi lengkung rahang baik atas mapupun bawah memiliki posisi yang agak ke depan jika di lihat dari bidang fasial.

b. Klas II Angle

Karakteristik Klas II ini ditandai dengan cusp mesiobukal gigi molar pertama maksila yang jatuh di antara cusp mesiobukal molar pertama permanen bawah dan aspek distal premolar kedua mandibula. Berdasarkan inklinasi labiolingual gigi insisivus maksila, Klas ini dibagi 2, yaitu:

1. Klas II-Divisi 1: Klas ini memiliki insisivus maksila yang labioversi

2. Klas II-Divisi 2: Klas ini memiliki insisivus maksila yang tampak normal jika dilihat dari anteroposterior atau terkadang agak linguoversi dimana insisivus lateral maksila agak labioversi dan/atau mesioversi.

(26)

c. Klas III Angle

Klas III Angle ditandai dengan cusp mesiobukal gigi molar pertama permanen maksila yang oklusinya jatuh pada interdental antara aspek distal gigi molar satu permanen mandibula dan aspek mesial gigi molar kedua permanen mandibula. Pada Klas ini juga dikenal 2 jenis maloklusi lainnya yakni:

1. Pseudo Klas III Maloklusi: ini bukan maloklusi Klas III yang sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh mandibula tampak lebih maju ke anterior dibandingkan maksila.Hal ini bisa disebabkan salah satunya oleh kontak prematur ketika sentrik oklusi.

2. Klas III Subdivisi: sama halnya seperti Klas II Subdivisi, pada Klas III Angle hanya terdapat sebelah rahang yang hubungan molar pertama permanennya menyimpang sedangkan sebelahnya lagi memiliki relasi normal.17-19

Gambar 2.3 Ilustrasi Klasifikasi Maloklusi Menurut Angle.20

Klasifikasi Angle merupakan klasifikasi pertama yang paling komprehensif sehingga mudah diterima dan paling sering digunakan hingga sekarang.Seiring bergulirnya waktu, beberapa ilmuwan kedokteran gigi ada yang memodifikasikannya. Berikut salah satu klasifikasi maloklusi sistem Angle yang dimodifikasi oleh Dewey:

Modifikasi Klas I Angle:

Tipe 1: Klas I Angle dengan gigi anterior maksila yang crowded. Tipe 2: Klas I Angle dengan gigi anterior maksila yang proklinasi. Tipe 3: Klas I Angle dengan gigitan silang anterior.

Tipe 4: Klas I Angle dengan gigitan silang posterior.

(27)

Modifikasi Klas III Angle:

Tipe 1: Jika dilihat secara terpisah, tiap rahang tampak normal. Namun saat dioklusikan gigi anterior berada pada posisi edge to edge.

Tipe 2: Insisivus mandibula tampak crowded dan lebih ke lingual dibandingkan insisivus maksila.

Tipe 3: Mandibula tumbuh normal, akan tetapi pertumbuhan maksila terhambat sehingga gigi anterior crowded dan mengalami gigitan silang.17,19

2.4.4 Bentuk Maloklusi

Bentuk maloklusi berikut ini merupakan jenis anomali yang sering menjadi etiologi maloklusi itu sendiri.Berikut berbagai bentuk kelainan yang menyertai maloklusi.

a. Gigitan silangAnterior dan Posterior

Secara definisi umum, gigitan silang dapat diartikan ketidakharmonisan relasi bukolingual atau labiolingual antara gigi atas dan gigi bawah.Gigitan silang dapat terjadi baik pada hubungan gigi anterior maupun posterior, secara unilateral ataupun bilateral, baik dengan pergeseran posisi mandibula maupun tidak.Pada gigi posterior, ada yang dikenal dengan istilahgigitan silang bukalyaitu gigitan silang yang terjadi bila gigi mandibula beroklusi terhadap cusp bukal gigi maksila dan satu lagi dikenal dengan sebutangigitan silang lingual yakni ketika gigi mandibula berkontak terhadap cusp-cusp palatal gigi. Etiologi keadaan ini beragam, mulai dari ketidakseimbangan pertumbuhan antara skeletal dan mandibula, penyimpangan jaringan lunak secara anatomis akibat kebiasaan buruk, atau faktor lokal seperti persistensi gigi desidui yang menyebabkan crowded.17-19

b. Gigitan terbukaAnterior

(28)

c. Crowding

Crowding terjadi apabila gigi tidak memiliki tempat/space yang cukup untuk

berada pada lengkung rahang.Hal ini menyebabkan ditemukan seperti yang dibahas pada subbab sebelumnya yakni maloklusi intra-arch yaitu rotasi, tilting, infraversi, supraversi, mesiolingual, dll. Seseorang bisa saja memiliki hubungan M1 normal tanpa menutup kemungkinan terjadinya maloklusi secara individu gigi pada rahang.22

2.4.5 Maloklusi Pada Anak Sindrom Down

Pada anak sindrom Down, banyak penelitian yang menunjukkan cukup tingginya prevalensi maloklusi. Penyebab paling utama adalah pertumbuhan sepertiga tengah wajah yang terhambat dan hal tersebut mengarahkan pada terjadinya berbagai bentuk maloklusi seperti gigitan terbuka, gigitan silang anterior dan posterior, hubungan molar dan/atau skeletal Klas III Angle atau pseudo Klas III.2,14,16

Selain dari terhambatnya pertumbuhan sepertiga tengah wajah, kebiasaan berikut ini juga memperparah terjadinya maloklusi pada anak sindrom Down yaitu bernapas melalui mulut, bruxism, apparatus ligamen TMJ yang hipotonik, tongue thrusting, kemampuan mengunyah yang kurang baik, dan berbagai macam anomali

dental atau jaringan lunak yang kerap kali didapati pada anak dengan sindrom ini.1,2,14,16

2.5 Kebiasaan Buruk

Graber memaparkan berbagai etiologi maloklusi antara lain faktor umum dan faktor lokal. Kebiasaan buruk termasuk salah satu komponen faktor umum.Kebiasaan buruk tersebut terdiri atas bernapas melalui mulut, tongue thrusting, menggigit kuku atau jari, menghisap jari, bruxism, lip biting, kemampuan

(29)

a. Bernapas melalui mulut

Pada orang normal, bernapas melalui mulut ini terjadi ketika sedang melakukan aktivitas berat seperti berolahraga.Cara respirasi seperti ini berpengaruh terhadap postur rahang dan lidah yang mengakibatkan ketidakseimbangan dalam rongga mulut sehingga terjadilah maloklusi. Pengaruh kebiasaan ini pada rongga mulut antara lain xerostomia, marginal gingivitis, anterior gigitan terbuka, dsb.

b. Tongue Thrusting

Kebiasaan ini bisa didefinisikan sebagai kondisi disaat lidah berkontak dengan gigi anterior hingga molar saat sedang menelan. Bentuk kelanjutan dari thumb sucking, makrogolosia, dan infeksi saluran nafas atas, bisa menjadi etiologi

terbentuknya kebiasaan ini. Tongue thrusting bisa menyebabkan terjadinya gigitan terbukaanterior, bimaksilari protrusi, proklinasi gigi-gigi anterior, dan posterior gigitan silang.

c. Menggigit kuku atau jari

Kebiasaan ini bisa dialami siapa saja dan sering terjadi ketika seseorang sedang dibawah tekanan mental seperti nervous atau anxiety.Menggigit kuku atau jari bisa menyebabkan terjadinya anterior gigitan terbuka dan gigitan silang posterior.

d. Menghisap jari

Menghisap jari bisa didefinisikan sebagai aktivitas memasukkan jari, baik satu maupun lebih, atau kompeng/dot ke dalam mulut hingga kedalaman tertentu. Kebiasaan ini bisa menyebabkan terjadinya deformitas kraniofasial jika dilakukan dengan durasi yang cukup lama, frekuensi yang cukup tinggi, dan intensitas yang cukup besar.17,19

e. Bruxism

Bruxism adalah suatu kebiasaan menggeser bolak-balik atau menggertakkan

(30)

mengalami atrisi secara terus menerus dapat menyebabkan tersingkapnya dentin sehingga timbul hipersensitivitas pada gigi.23

2.5.1 Kebiasaan Buruk Pada Anak Sindrom Down

Anak memiliki berbagai jenis kebiasaan buruk yang terkadang menjadi predisposisi terjadinya anomali dentofasial. Kebiasaan tersebut bisa saja terjadi pada anak sindrom Down tergantung pengetahuan dan kepedulian orang tua dalam membiarkan atau mencegah agar kebiasaan itu tidak terulang lagi.14,16

Dari karakteristik fisiknya, terdapat kebiasaan bruuk yang khas pada anak sindrom Down yaitu bernapas melalui mulut, tongue thrusting, dan bruxism. Kebiasaan ini merupakan akibat dari kondisi fisiknya yang walaupun orang tua ingin menanggulangi hal tersebut namun akan mengalami kesulitan. Bernapas melalui mulutpada sindrom Down terjadi karena obstruksi jalan nafas akibat sempitnya saluran pernapasan dari hidung dikarenakan pertumbuhan sepertiga tengah wajahnya yang terhambat. Tongue thrusting yang terjadi disebabkan oleh perasaan makroglosia yang dialaminya dan kesulitan mengontrol fungsi otot atau hipotonia yang sering dialami oleh anak sindrom Down.2

(31)

2.6 Kerangka Teori

Anak Sindrom Down Definisi dan

Karakteristik

Etiologi

Klasifikasi

Manifestasi Oral

Maloklusi Kebiasaan

Buruk

Klasifikasi Angle

Klas I

Klas II

Klas III

Gigitan terbuka Anterior

Gigitan silang

Crowding

Anterior Posterior

-Bernapas melalui

mulut

-Tongue Thrusting

-Menggigit kuku

atau jari

-Menghisap jari -Bruxism Dimodifikasi

(32)

2.7 Kerangka Konsep

Anak Sindrom Down di SLB-C Kota Medan -Usia 6-18 Tahun -Jenis Kelamin

Maloklusi Klasifikasi

Angle

Kebiasaan Buruk seperti

-Bernapas melalui mulut

-Tongue Thrusting -Menggigit kuku atau jari

(33)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah survei deskriptif. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional.

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Adapun tempat dilakukannya penelitian, terutama untuk pengambilan data, akan di lakukan pada 8 lokasi sebagai berikut :

1. SLB-C YPAC Medan 2. SLB-C Abdi Kasih Medan

3. SLB-C Taman Pendidikan Islam Medan 4. SLB-C Musdalifah Medan

5. SLB-C Al-Azhar Medan 6. SLB-C Negeri Pembina Medan 7. SLB-C Markus Medan

8. SLB-C Karya Tulus Medan

3.2.2 Waktu Penelitian

(34)

3.3Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian adalah seluruh anak sindrom Down usia 6-18 tahun yang bersekolah di seluruh SLB-C Kota Medan. Sampel yang digunakan adalah seluruh populasi (total sampling) pada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan.

Kriteria inklusi :

1. Anak sindrom Down di SLB-C Kota Medan yang bersedia diperiksakan rongga mulutnya.

2. Diizinkan oleh orang tuanya untuk diperiksa rongga mulutnya.

Kriteria eksklusi : Anak sindrom Down yang tidak mau diperiksa rongga mulutnya.

3.4Variabel Penelitian 1. Anak sindrom Down. 2. Usia responden. 3. Jenis kelamin.

4. Maloklusi klasifikasi Angle beserta bentuk umumnya yang bisa diamati secara klinis.

5. Kebiasaan buruk.

3.5Defenisi Operasional

1. Anak sindrom Down adalah anak tuna grahita yang didiagnosis menderita sindrom Down usia 6-18 tahun yang bersekolah di SLB-C Kota Medan.

2. Usia responden adalah usia 6-18 tahun, merupakan usia yang dihitung dari tanggal lahir sampai waktu dilakukannya penelitian.

3. Jenis kelamin responden adalah laki-laki dan perempuan.

(35)

5. Klas II Angle adalah bila cusp mesiobukal gigi molar pertama maksila jatuh di antara cusp mesiobukal molar pertama permanen mandibula dan aspek distal premolar kedua mandibula.

6. Klas III Angle adalah cusp mesiobukal gigi molar pertama permanen maksila yang oklusinya jatuh pada interdental antara aspek distal gigi molar satu permanen mandibula dan aspek mesial gigi molar kedua permanen mandibula.

7. Gigitan silang anterior adalah ketidakharmonisan relasi labiolingual antara gigi atas dan gigi bawah pada regio gigi anterior.

8. Gigitan silang posterior adalah ketidakharmonisan relasi bukolingual antara gigi atas dan gigi bawah pada gigi posterior.

9. Gigitan terbuka anterior adalah keadaan ketika gigi-gigi insisivus tidak mengalami overlap normal secara vertikal saat gigi-gigi posterior oklusi.

10. Crowding adalah bila gigi tidak memiliki tempat yang cukup untuk berada pada lengkung rahang sehingga memiliki posisi yang berjejal.

11. Bernapas melalui mulut adalah kebiasaan bernapas melalui mulut yang dibuktikan melalui mirror test. Ketika kaca mulut diletakkan di dalam rongga mulut, maka akan timbul uap air yang membuktikan adanya ekspirasi yang terjadi melalui rongga mulut.

12. Tongue thrusting adalah kebiasaan menjulurkan atau meletakkan lidah di antara gigi geligi rahang atas dan bawah yang dibuktikan dari posisi lidah saat postur mulut berada pada istirahat fisiologis dan ketika menelan.

13. Menghisap jari adalah aktivitas memasukkan jari, baik satu maupun lebih, atau memasukkan kompeng ke dalam mulut hingga kedalaman tertentu.

14. Menggigit kuku atau jari adalah kebiasaan menggigit kuku atau jari. 15. Bruxism adalah kebiasaan menggertakkan gigi geligi terutama ketika tidur.

3.6Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan, yaitu : 1. Pinset (Dentica)

(36)

3. Kapas 4. Tisu 5. Masker 6. Sarung tangan

7. Formulir pemeriksaan maloklusi dan kebiasaan buruk 8. Senter

9. Spatula 10.Kain kasa

11.Alat tulis dan papan berjalan.

Bahan yang digunakan adalah alkohol 70% dan detol.

3.7 Prosedur Penelitian

1. Peneliti memberikan surat izin penelitian dari fakultas ke sekolah-sekolah yang menjadi lokasi penelitian untuk menentukan jadwal tentang kapan baik peneliti maupun pihak sekolah bersedia meluangkan waktunya untuk dilakukan penelitian.

2. Sehari sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti mengunjungi sekolah bersangkutan untuk memastikan kesiapan dari sekolah serta pengambilan data identitas anak sindromDown yang ada di sekolah tersebut.

3. Tiap lembaran formulir pemeriksaan diisi dengan identitas subjek penelitian yang diperoleh dari data sekunder.

4. Sesampai di lokasi, peneliti mewawancarai orang tua/wali/pengasuh siswa tentang pertanyaan yang mengandung informasi kebiasaan buruk yang dimiliki siswa. Sebelum wawancara, peneliti harus memastikan kebenaran identitas siswa serta membagikan lembar penjelasan dan lembar informed consent untuk ditandatangani oleh orang tua/wali/pengasuh.

(37)

dilakukan jika diperlukan retraksi lidah, bibir, dan pipi serta senter jika dibutuhkan tambahan cahaya untuk memperjelas objek yang diamati.

6. Kebiasaan buruk juga diamati secara klinis kecuali kebiasaan menggigit kuku atau jaridan menghisap jari.

7. Selanjutnya, dilakukan pencatatan pada formulir pemeriksaan atas hasil pengamatan yang diperoleh.

8. Alat yang sudah digunakan kemudian disterilkan. Alat selalu disterilkan dengan alkohol 70% dan sarung tangan selalu diganti setiap pergantian subjek yang diteliti.

9. Formulir pemeriksaan yang telah diisi selanjutnya dikumpulkan untuk kemudian diolah dan dianalisa oleh peneliti utama.

3.8 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi dengan tahapan sebagai berikut :

1. Editing, peneliti melakukan langkah-langkah editing data yaitu memeriksa kelengkapan data, memeriksa kesinambungan dan keseragaman data.

2. Data entry, peneliti memasukkan data ke dalam komputer untuk keperluan analisis.

3. Saving, proses penyimpanan data sebelum data diolah dan dianalisis. 4. Tabulasi, proses menyusun data dalam bentuk tabel, selanjutnya diolah dengan bantuan komputer.

5. Cleaning, kegiatan pengetikan kembali data yang sudah di entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak.

(38)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1Karakteristik Responden

Tabel 1. Distribusi karakteristik responden anak sindrom Down di SLB-C Kota Medan

Karakterisik Responden Jumlah (n) Persentase (%) Jenis Kelamin tahun di SLB-C Kota Medan. Berdasarkan jenis kelamin, subjek penelitian ini terdiri atas 50 anak laki-laki (60,97%) dan 32 anak perempuan (39,03%). Berdasarkan usia subjek penelitian, maka terlebih dahulu dilakukan pembagian rentang usia berdasarkan fase pertumbuhan gigi dimana anak yang sedang dalam fase gigi bercampur yakni 6-11 tahun berjumlah 36 anak (43,9%) dan anak yang sedang dalam fase usia gigi permanen berjumlah 46 anak (56,1%).

(39)

berjumlah 21 anak (25,61%), di SLB-C Abdi Kasih berjumlah 12 anak (14,63%), di SLB-C Taman Pendidikan Islam 10 anak (12,25%), di SLB-C Musdalifah 7 anak (8,53%), di SLB-C Al-Azhar 4 anak (4,88%), di SLB-C Negri Pembina 12 anak (14,63%), di SLB-C Markus 6 anak (7,22%), dan di SLB-C Karya Tulus 10 anak (12,25%) (Tabel 1).

4.2 Distribusi Maloklusi Menurut Klasifikasi Angle Pada Anak Sindrom Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan

Sebelum dilakukan pemeriksaan hubungan molar pada sampel, peneliti terlebih dahulu melihat keberadaan gigi M1 pada ronga mulut sampel.Melalui pengamatan tersebut, diperoleh 13 anak belum memiliki gigi M1 yang sudah erupsi hingga mencapai dataran oklusal atau sudah tidak lagi memiliki gigi M1 (missing), sehingga relasi hubungan molar pada anak tersebut tidak dapat ditentukan.

Melalui pengamatan pada 69 sampel anak sindrom Down yang gigi M1 sudah erupsi hingga mencapai dataran oklusal, diperoleh 18 anak laki-laki (21,95%) dan 8 anak perempuan (9,76%) dengan total 26 anak (31,71%) memiliki hubungan molar Klas I. Pada 2 anak laki-laki (2,44%) dan 1 anak perempuan (1,23%) dengan total 3 anak (3,66%) didapati memiliki hubungan molar Klas II. Hubungan molar Klas III didapati pada 22 anak laki-laki (26,83%) dan 18 anak perempuan (21,95%) dengan total 40 anak (48,78%) (Tabel 2).

Tabel 2.Distribusi maloklusi klasifikasi Angle pada anak sindrom Down berdasarkan jenis kelaminusia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan

(40)

4.3 Distribusi Bentuk Maloklusi Pada Anak Sindrom Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan

Anak sindrom Down juga memiliki berbagai bentuk maloklusi. Pada penelitian ini, ada 4 bentuk maloklusi yang diamati, di antaranya:gigitan terbuka anterior, gigitan silang anterior, gigitan silang posterior, dan crowding.

Berdasarkan hasil pengamatan pada 82 sampel, terdapat 19 anak (23,17%) yaitu 12 anak laki-laki (14,63%) dan 7 anak perempuan (8,54%) yang memilikigigitan terbuka anterior. Selanjutnya, didapati 35 anak (42,68%) dengan detail 20 anak laki-laki (24,39%) dan 15 anak perempuan (18,29%) memiliki gigitan silang anterior. Gigitan silangposterior didapati pada 18 anak (21,95%), yaitu 12 anak laki-laki (14,63%) dan 6 anak perempuan (7,32%), dan crowding didapati pada 32 anak (39,02%), yaitu pada 19 anak laki-laki (23,17%) dan 13 anak perempuan (15,85%)(Tabel 2).

Tabel 3. Distribusi prevalensi bentuk maloklusi pada anak sindrom Down berdasarkan jenis kelaminusia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan

Bentuk Maloklusi

Laki-laki Perempuan Total

(41)

4.4 Distribusi Kebiasaan Buruk Pada Anak Sindrom Down Usia 6-18

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mengenai kebiasaan buruk yang dialami oleh anak sindrom Down, terdapat 21 anak laki-laki (25,61%) dan 12 anak perempuan (14,63%) dengan total 33 anak (40,24%) memiliki kebiasaan bernapas melalui mulut. Kebiasaan tongue thrusting dimiliki oleh 20 anak laki-laki (24,39%) dan 14 anak perempuan (17,07%) dengan total 34 anak (41,46%). Kebiasaan menggigit kuku atau jari dimiliki oleh 13 sampel anak laki-laki (15,85%) dan 5 anak perempuan (6,1%) dengan total 18 anak (21,95%). Kebiasaan menghisap jari dimiliki oleh 20 anak laki-laki (24,39%) dan 10 anak perempuan (12,19%) dengan total 30 anak (36,58%). Kebiasaan terakhir yang diteliti adalah bruxism dengan hasil 23 anak laki-laki (28,05%) dan 8 anak perempuan (9,76%) dengan total 31 anak (37,8%) didapati memiliki kebiasaan ini (Tabel 4).

Tabel 4. Distribusi prevalensi kebiasaan buruk pada anak sindrom Down berdasarkan jenis kelaminusia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan

Jenis Kebiasaan Buruk

Laki-laki Perempuan Total

(42)

BAB 5

PEMBAHASAN

Salah satu manifestasi oral pada jaringan keras yang sering ditemukan pada anak sindromDown adalah maloklusi. Maloklusi dapat didefinisikan sebagai deviasi oklusi yang keluar dari kaedah oklusi ideal yang menimbulkan penyimpangan baik secara estetik maupun fungsi.Maloklusi dapat disebabkan oleh banyak faktor salah satunya genetik, dan dapat diperparah oleh adanya kebiasaan buruk. Keadaan ini jika dibiarkan dapat mempengaruhi sistem pengunyahan, fonetik, oral hygiene, dan estetis.17-19

Pada penelitian ini, sampel diperoleh dari data sekunder di tiap sekolah yang menyatakan seorang anak memiliki sindrom Down sehingga diperoleh sampel sebanyak 82 anak berusia 6-18 tahun yang memiliki sindrom Down dan bersedia diperiksakan rongga mulutnya. Hasil penelitian ini diperoleh melalui wawancara terhadap orang tua/wali untuk memperoleh data mengenai kebiasaan buruk yang dimiliki anakdan pemeriksaan klinis terhadap rongga mulut anakuntuk mengetahui adanya maloklusi dan beberapa jenis kebiasaan buruk yang dimilikinya.

Berdasarkan hasil pengamatan klinis, diperoleh hasil prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan yang paling tinggi adalah Klas III sebesar 48,78%, diikuti oleh Klas I 31,71%, dan yang paling sedikit adalah Klas II sebesar 3,66%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Bauer dkk di Amerika Serikat yang memperoleh hasil Klas III sebanyak 56,7%, Klas I sebanyak 23,3%, dan Klas II sebanyak 10%.Hal tersebut mendukung pernyataan tentang anak sindrom Downyang memiliki defisiensi pembentukan maksila yang tidak seiring dengan pertumbuhan mandibula sehingga sering ditemukan mandibula yang prognatik.1,2,8,24

(43)

condong prognatik dibandingkan ras mongoloid sehingga lebih berpotensi memiliki hubungan Klas III dibandingkan sampel pada penelitian ini.25

Anak sindromDown memiliki berbagai bentuk maloklusi dalam rongga mulutnya. Penelitian ini melibatkan pengamatan terhadap 4 bentuk maloklusi antara laingigitan terbuka anterior, gigitan silang anterior, gigitan silang posterior, dan crowding. Pada penelitian ini,gigitan silang anterior merupakan bentuk maloklusi

yang paling banyak ditemukan pada anak sindrom Down yaitu sebanyak 42,68%. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Oliveira dkk yang juga menemukan gigitan silang anterior sebagai bentuk maloklusi paling tinggi pada anak sindrom Downdengan persentase 33%. Keadaan ini bisa terjadi akibat proklinasi gigi-gigi mandibula yang umum ditemukan pada anak sindrom Down. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, anak sindrom Down umumnya memiliki hubungan rahang Klas III, hal ini juga dapat membuat posisi gigi mandibula lebih protrusif sehingga terbentuklah gigitan silang anterior pada anak sindrom Down.8

Bentuk maloklusi paling umum dijumpai pada anak sindrom Down setelah gigitan silang anterior adalah crowding yaitu sebanyak 39,02%. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mestrovic dkk yang menempatkan crowding sebagai bentuk maloklusi tertinggi kedua pada anak sindrom Down. Akan

tetapi, hasil jauh lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mestrovic dkk, dimana pada penelitian tersebut hanya sebesar 17% karena berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, tingginya crowding ini diakibatkan oleh banyak di antara sampel yang memiliki gigi persistensi dan orang tuanya tidak berani membawa anaknya ke dokter gigi untuk mengatasi hal tersebut. Selain itu, beberapa anak sindromDown pada penelitian ini juga banyak ditemukan memiliki ukuran rahang yang kecil tanpa diiringi oleh pertumbuhan gigi permanen yang mengalami anomali dental seperti mikrodonsia, peg shape, hipodonsia, dll. Keadaan-keadaan tersebut mengakibatkan posisi gigi berjejal.6,16,17

(44)

anterior dan hasil gigitan silang posterior yang juga sangat mendekati hasil penelitian ini yaitu sebesar 21,5%. Bentuk maloklusi ini dipengaruhi oleh pola pertumbuhan skeletal dan berbagai kebiasaan buruk yang dimiliki anak. Selain itu, kebiasaan buruk seperti tongue thrusting, menghisap jari, menggigit kuku atau jari, dan bernapas melalui mulut sangat berperan dalam merubah posisi gigi sehingga terbentuk berbagai jenis maloklusi tersebut.26,27

Anak sindrom Down juga memiliki berbagai jenis kebiasaan buruk. Pada penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dan pengamatan terhadap 5 jenis kebiasaan buruk antara lain bernapas melalui mulut, tongue thrusting, menggigit kuku atau jari, menghisap jari, dan bruxism. Penelitian ini memperoleh hasiltongue thrusting sebagai kebiasaan buruk yang paling banyak dimiliki oleh anak sindrom

Down yaitu sebesar 41,46%. Hasil inisesuai dengan prevalensi yang dimiliki oleh anak sindrom Down di Chennai pada tahun 2008yaitu 41,2%. Prevalensi ini tergolong cukup tinggi kemungkinan disebabkan oleh kondisi anak sindrom Down yang memiliki lidah yang protrusif ditambah kondisi hipotonus yang mereka alami sehingga sulitnya mengontrol gerakan lidah di dalam rongga mulut mereka.2,24

(45)

Bruxism merupakan salah satu kebiasaan buruk yang dilaporkan cukup sering

dialami oleh anak sindromDown. Pada penelitian ini, bruxism pada anak sindrom Down sebesar 37,8%. Hasil pada penelitian ini mendekati dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bauer dkk dengan persentase 33,3%.Menurut Miamoto dkk, prevalensi bruxism pada anak sindromDownbisa sangat bervariatif mulai dari 3-90%. Hal ini disebabkan oleh etiologi bruxism yang belum pasti, masih berupa faktor risiko mulai dari genetik, psikologis, neurologis, faktor sistemik, dan keadaan sosial.Hipotonus yang mengarah pada ketidakstabilan otot dan rahang serta kondisi sistemik juga turut berperan dalam memicu tingginya prevalensi bruxism ini. Selain itu, anak sindrom Down sering dikucilkan atau dianggap orang “lain” di beberapa tempat atau suatu kelompok masyarakat tertentu dan terkadang dalam keluarga, hal ini merupakan salah satu predisposisi dari segi keadaan sosial yang memicu stres sehingga timbulnya kebiasaan buruk ini.1,23

Menghisap jari dan menggigit kuku atau jari merupakan jenis kebiasaan yang bisa dialami siapa saja.Kebiasaan buruk tersebut dimasukkan dalam penelitian ini karena merupakan jenis kebiasaan buruk parafungsional yang sering memberikan dampak cukup signifikan terhadap terbentuknya maloklusi. Pada penelitian ini, diperoleh hasil prevalensi menghisap jari dan menggigit kuku atau jari sebesar 36,58% dan 21,95%. Oliveira dkk memperoleh hasil 17% untuk menghisap jari dan 42% untuk kebiasaan menggigit kuku atau jari.8Oleh karena kebiasaan ini bukan merupakan kebiasaan khas pada anak sindrom Down atau kelainan mental lainnya, maka tidak ada rentang angka prevalensi yang pasti.Berbagai kebiasaan buruk tersebut sepertitongue thrusting, menggigit kuku, dan menghisap jari dapat memberikan gaya atau tekanan secara kontinyu sehingga perlahan mampu memberikan dorongan bagi gigi geligi sehingga berubah posisinya menjadi lebih protrusif.17 Teori ini mendukung hasil pada penelitian ini yang menunjukkan tingginya prevalensi kebiasaan buruk tersebut dan tingginya prevalensi maloklusi.

(46)

perempuan dan tingginya kebiasaan buruk yang lebih banyak dimiliki oleh anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

(47)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Pada penelitian ini, diperoleh prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada anak sindrom Down di SLB-C Kota Medan yang paling tinggi adalah Klas III dengan hasil 48,78%, diikuti Klas I sebesar 31,71%, dan yang paling rendah adalah Klas II dengan persentase 3,66%.

2. Bentuk maloklusi paling banyak dimiliki oleh anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan adalah gigitan silang anterior dengan prevalensi sebanyak 42,68%, diikuti oleh crowding 39,02%, gigitan terbuka anterior sebanyak 23,17%, dan gigitan silang posterior 21,95%.

3. Jenis kebiasaan buruk paling tinggi yang dimiliki anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan adalah tongue thrusting dengan prevalensi sebesar 41,46%, diikuti oleh bernapas melalui mulut 40,24%, bruxism 37,8%, menghisap jari 36,58%, dan menggigit kuku atau jari sebanyak 21,95%.

4. Berdasarkan jenis kelamin, pada penelitian ini anak laki-laki memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan anak perempuan baik pada maloklusi maupun kebiasaan buruk.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan edukasi terhadap orang tua/wali mengenai dampak kebiasaan buruk yang mempengaruhi kesehatan rongga mulut, seluruh tubuh, dan mental anak secara keseluruhan baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya kebiasaan bernapas melalui mulut selain berdampak pada maloklusi juga berdampak pada kesehatan saluran pernafasan anak.

(48)

3. Orang tua/wali dan pihak sekolah diharapkan mampu mendampingi anak dalam mengurangi kebiasaan buruk agar maloklusi dapat diminimalisir.

(49)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bauer D, Evans CA, BeGole EA, Salzman L. Severity of occlusal disharmonies in Down syndrome. Int J Dent 2012; 2012: 1-6.

2. Ronald HWC, Yiu CKY, Leung WK. Oral health in individuals with down syndrome. Shanghai: InTech China; 2011. 59-71.

3. World Health Organization. Gens and human disease. http:/www.who.int/genomics/public/genetic disease/en/index1.html. (16 Agustus 2014).

4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: 188-9.

5. Irdawati, Muhlisin A. Sindrom Down pada anak ditinjau dari segi biomedik dan penatalaksanaannya. Berita Ilmu Keperawatan 2009; 2(1): 47-50.

6. Mestrovic S, Miksic M, Stefanac-Papic J, Stipetic J. Prevalence of malocclusion with Down’s syndrome. Acta Stomatol Croat 2002; 36(2): 239-41.

7. Grippaudo C, et al. Prevalence of malocclusion in Italian schoolchildren and orthodontic treatment need. Eur J Paedtr 2013. 14(4): 314-8.

8. Oliveira ACB, Paiva SM, Campos MR, Czeresnia D. Factors associated with malocclusion in children and adolescents with Down syndrome. Am J Orthod Dentofacial Orthop 2007; 133(4): 489-97.

9. Nolen-Hoeksema S. Abnormal psychology. 4th ed. New York: The McGraw Hill; 2007. 438-91.

10. Haugaard JJ. Child psychopatology. New York: The McGraw Hill; 2008. 412-49.

11. Situmorang C. Hubungan sindromadown dengan umur ibu, pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan faktor lingkungan. Med J Indones 2011; 2(1): 101-96. 12. Down Syndrome Education International. Health and medical issues. 8 Mei

(50)

13. Weddell JA, Sanders BJ, Jones JE. Dental problems of children with disabilities. In: McDonald RE, Avery DR, Dean JA. eds. Dentistry for the child and adolescent. 8th edition. Missouri: Mosby; 2004. 540-3.

14. Nunn JH. Childhood impairment and disability. In: Welbury RR, Duggal MS, Hosey MT. eds. Pediatric Dentistry. 3rd edition. Oxford: Oxford University Press; 2005. 531-3.

15. Anonymous. Numerical abnormalities. 12 April 2013. http://www.aboutthemcat. org/biology/genetics.php. (21 Agustus 2014).

16. McDonald RE, Avery DR, Dean JA. Eruption of the teeth: local, systemic and congenital factors that influence the process. In: McDonald RE, Avery DR, Dean JA. eds. Dentistry for the child and adolescent. 8th edition. Missouri: Mosby; 2004. 190-4.

17. Iyyer BS. Orthodontics the art and science. 4th edition. New Delhi: Arya (Medi) Publishing House; 2009. 119-59.

18. Cobourne MT, DiBiase AT. Handbook of orthodontics. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010. 11-7.

19. Singh G. Textbook of orthodontics. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2007. 48-37, 153-99.

20. Jules. Malocclusion dentaires. 3 Januari 2014. http://www.orthodontiste enligne.com/dentition-2/maloclusions/. (21 Agustus 2014).

21. Millet D, Welbury R. Colour guide orthodontics and paediatrics dentistry. London: Harcourt Publishers Limited; 2000. 104-35.

22. Checci AP, Turla R, Pachi F. Head posture and lower arch dental crowding. Angle Orthod 2009; 79(5): 874.

23. Miamoto CB, et al. Prevalence and predictive factors of sleep bruxism in children with and without cognitive impairment. Braz Oral Res 2011; 25(5): 1-7. 24. Asokan S, Muthu MS, Sivakumar N. Oral findings of Down syndrome children

in Chennai city, India. Indian J Dent Res 2008; 19(3). 230-5.

(51)

26. Oliveira AC, Pordeus IA, Torres CS, Martins MT, Paiva SM. Feeding and non-nutritive sucking habits and prevalence of open bite and crossbite in children/adolescents with Down syndrome. Angle Orthod 2010; 80(4): 748-52. 27. Oliveira AC, Paiva SM, Martins MT, Torres CS, Pordeus IA. Prevalence and

determinant factors of malocclusion in children with special needs. Eur J Orthod 2011; 33(4): 413-8.

Gambar

Gambar 2.1Karyotipe anak sindrom Down15
Gambar 2.2 Manifestasi oral pada anak sindrom Down.2
Gambar 2.3 Ilustrasi Klasifikasi Maloklusi Menurut Angle.20
Tabel 1. Distribusi karakteristik responden anak sindrom Down di SLB-C Kota Medan
+4

Referensi

Dokumen terkait

As proved by the historical overview of the dome surveys, it is worthy to note that a survey characterized by high density and adequate precision was not available as well as a

KELOMPOK KERJA GURU (KKG) MADRASAH IBTIDAIYAH KECAMATAN GENUK KOTA

Memecahkan sandi berarti mendapatkan kelemahan dalam chipper, hal ini dapat digunakan sebagai acuan untuk membuat kriptografi yang lebih tangguh sehingga kerahasiaan data dapat

[r]

Pembuatan Web Pariwisata menggunakan bahasa pemrograman PHP dan MySQL dengan web server Apache, dibuat tidak saja hanya menampilkan gambar tempat wisata tetapi juga

[r]

Kelas yang pertama adalah kelas utama yang bertujuan untuk animasi progress pada saat program ini dijalankan, kelas yang kedua bertujuan untuk membuat tampilan formnya dan

protection of consumers against unfair trade practices is found in the Sale of Goods Act, the Unfair Contract Terms Act and CPFTA. 3.11 CPFTA provides consumers with safeguards