KARATERISTIK PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DENGAN KOMPLIKASI YANG RAWAT INAP DI RSUD RANTAUPRAPAT
TAHUN 2012
SKRIPSI
Oleh :
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014
ABSTRAK
Tuberkulosis paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit menular urutan ke 5 terbesar di Indonesia. Tuberkulosis lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan, dan hampir 85% terjadi pada usia produktif
Untuk mengetahui karakteristik penderita TB paru dengan komplikasi, dilakukan penelitian di RSUD Rantauprapat dengan desain case series. Populasi dan sampel penelitian berjumlah 110 orang pada tahun 2012 yang tercatat di rekam medis rumah sakit. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dianalisis dengan menggunakan uji Chi square, Kruskal Wallis test.
Proporsi berdasarkan sosiodemografi tertinggi pada kelompok umur produktif 15-55 tahun (81,3%), Laki-laki (90,7%), SD/ Sederajat (52,3%), Petani (41,1%), Luar wilayah Rantauprapat (52,3%), proporsi komplikasi TB paru terbesar Efusi pleura (57,9%). Proporsi berdasarkan status rawatan tertinggi adalah keluhan utama batuk 40,2%, tipe penderita kambuh 71,0%, kategori pengobatan kategori 2 88,8%, lama rawatan rata-rata 5 hari, keadaan sewaktu pulang pulang berobat jalan 49,5%, sumber biaya bukan biaya sendiri 86,0%. Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara tipe penderita berdasarkan komplikasi, Lama rawatan rata-rata berdasarkan komplikasi.
Penulis menyarankan upaya penanganan tuberkulosis paru difokuskan bukan hanya pada pengobatan, namun juga pencegahan penyakit melalui perbaikan ekonomi, status gizi, dan pendidikan ditingkat masyarakat dengan melibatkan instansi terkait lainnya.
ABSTRACT
Pulmonary tuberculosis is still a public health problem. Pulmonary tuberculosis is one of the fifth largest infectious diseases in Indonesia. Tuberculosis is more common in men than women and it is almost 85% that occurs in the productive age.
To know the characteristics of pulmonary tuberculosis patients with complications, conducted a research with a case series design in RSUD Rantauprapat. Population and sample was 110 people in 2012 were recorded in hospital medical record. Univariate data were analyzed by descriptive while bivariate data were analyzed using Chi square test, Kruskal-Wallis test.
Based on sociodemographic, the highest proportion is in the productive age group namely 15-55 years (81,3%), males (90,7%), primary school / equivalent (52,3%), farmers (41,1%), outside of Rantauprapat (52 ,3%). The Largest proportion of pulmonary tuberculosis is efusi pleura (57,9%). Based on the treatment cough 40,2%, patient of type relaps 71,0%, category of medicial treatment category 2 88,8%, the average length of stay 5 days, outpatient control 49,5%, not source expense 86,0%. There was no significant difference between the proportion of patients based on the type of complications, length of treatment is on average by complications.
The writer suggests for treatment of pulmonary tuberculosis efforts focused not only on treatment but also prevention of disease through improved economic, nutritional status, and education at the community level by involving other related institutions.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Surya Honesty Sitorus
Tempat/ Tanggal Lahir : Pem. Cengkring/ 11 Maret 1990 Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Status Perkawinan : Belum Kawin
Anak ke : 2 (Kedua)
Alamat Rumah : Perk. Aek pamiengke Riwayat Pendidikan
Tahun 1995 - 2001 : SD Negeri 117504 Aek Natas Tahun 2001 - 2004 : SMP Negeri 1 Aek Natas Tahun 2004 - 2007 : SMA Negeri 1 Aek Natas Tahun 2007 - 2010 : AKPER RSU Herna Medan
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
“Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru dengan Komplikasi yang Rawat
Inap di RSUD Rantauprapat Tahun 2012” yang merupakan salah satu prasyarat untuk dapat meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:
1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, M.S. selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes selaku Ketua Departemen Epidemiologi FKM USU dan Dosen Pembimbing Akademik.
3. Bapak Drs. Jemadi, M.Kes. selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan, saran, dan petunjuk kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Ibu drh. Hiswani, M.Kes. selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan, saran, dan petunjuk kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
6. Bapak dr. Taufik Ashar, MKM selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Rantauprapat, Kepala Bagian Rekam Medik RSUD Rantauprapat, Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan RSUD Rantauprapat, Kepala Bagian Pendidikan dan Pelatihan RSUD Rantauprapat, serta seluruh staf yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
8. Orangtuaku tercinta Ayahanda M. Sitorus dan Ibunda R. Butar-butar yang menjadi inspirasi sekaligus motivasi untuk penulis. Juga kepada kakak ku Hayati dan adik-adik tercinta: Jojo, Ika, Wanda dan Apri. Tidak lupa kepada keluarga besar penulis atas doa, kasih sayang, perhatian, dan semangat yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada uda Sopar Sitorus dan Robin Butar-butar yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian di RSUD Rantauprapat.
10. Ibu Ratna yang telah membantu penulis dalam proses administrasi pengerjaan skripsi ini.
11. Sahabat aku Jelita, Dian, Erma, Irma, Yeni atas semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
13. Teman-teman peminatan epidemiologi: khususnya Iza, Siska, Tri, Kak Nikmah, kak Nerry, Winda, bg Ali, dan lainnya yang telah memberikan motivasi dan berbagi ilmu kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 14. Serta semua pihak yang telah berjasa, yang tidak bisa disebutkan satu persatu
atas bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyajian skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Medan, Februari 2014
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ... 6
2.2 Penyebab ... 6
2.3 Patogenesis ... 7
2.3.1 Tuberkulosis Paru Primer ... 8
2.3.2 Tuberkulosis Paru Post Primer ... 10
2.4 Gambaran Klinis ... 10
2.4.1 Gejala Sistemik ... 10
2.4.2 Gejala Respiratorik ... 11
2.5 Klasifikasi Penyakit ... 12
2.5.1 Tuberkulosis Paru ... 12
2.5.2 Tuberkulosis Ekstra Paru ... 13
2.6 Komplikasi ... 14
2.7 Epidemiologi ... 16
2.7.1 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Orang ... 16
2.7.2 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Tempat ... 16
2.7.3 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Waktu ... 17
2.7.4 Faktor Determinan TB Paru ... 18
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28
4.2.1 Karakteristik Penderita TB Paru Dengan Komplikasi Berdasarkan Sosiodemografi. ... 35
4.2.2 Penderita TB Paru Berdasarkan Komplikasi ... 37
4.2.3 Karekteristik Penderita TB Paru Berdasarkan Status Rawatan 37 4.2.4 Lama Rawatan Rata-rata ... 38
4.3 Analisa Statistik... 39
4.3.1 Keluhan Utama Berdasarkan Komplikasi ... 39
4.3.2 Tipe Penderita Berdasarkan Komplikasi... 39
4.3.3 Kategori Pengobatan Berdasarkan Komplikasi ... 40
4.3.3 Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Komplikasi ... 41
4.3.4 Keadaan Sewaktu Pulang Berdasarkan Komplikasi ... 42
4.3.5 Sumber Biaya Berdasarkan Komplikasi ... 43
BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Penderita TB Paru dengan Komplikasi Berdasarkan Sosiodemografi ... 44
5.2 Karakteristik Penderita TB Paru Berdasarkan Komplikasi ... 51
5.3 Karekteristik Penderita Tuberkulosis Paru Dengan Komplikasi Berdasarkan Status Rawatan ... 53
5.3.2 Tipe Penderita Berdasarkan Komplikasi... 59
5.3.3 Kategori Pengobatan Berdasarkan Komplikasi ... 60
5.3.4 Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Komplikasi ... 60
5.3.5 Keadaan Sewaktu Pulang Berdasarkan Komplikasi ... 61
5.3.6 Sumber Biaya Berdasarkan Komplikasi ... 63
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 65
6.2 Saran ... 66
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian
Lampiran 2 Surat Keterangan Selesai Penelitian Lampiran 3 Master Data
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Distribusi Proporsi Penderita TB Paru dengan Komplikasi yang Rawat Inap Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Perkerjaan dan Tempat tinggal, di RSUD Rantauprapat Tahun
2012 ... 35 Tabel 4.2 Distribusi Proporsi Penderita TB Paru Berdasarkan Komplikasi
yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat Tahun 2012 ... 36 Tabel 4.3 Distribusi Proporsi Penderita TB Paru Dengan Komplikasi
Berdasarkan Status Rawatan Tahun 2012 ... 37 Tabel 4.4 Lama Rawatan rata-rata Penderita TB Paru Dengan Komplikasi .. 38 Tabel 4.5 Distribusi Proporsi Keluhan Utama Penderita TB Paru
Berdasarkan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD ... 39 Tabel 4.6 Distribusi Proporsi Tipe Penderita TB Paru Berdasarkan
Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat Tahun
2012 ... 40 Tabel 4.7 Distribusi Proporsi Kategori Pengobatan Penderita TB Paru Ber-
dasarkan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantaupra-
pat Tahun 2012 ... 40 Tabel 4.8 Lama Rawatan Rata-rata Penderita TB Paru Berdasarkan
Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat Tahun
2012 ... 41 Tabel 4.9 Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang Penderita TB
Paru Berdasarkan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD
Rantauprapat Tahun 2012... 42 Tabel 4.10 Distribusi Proporsi Sumber Biaya Penderita TB Paru
Berdasarkan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Mycobacterium Tuberculosis ... 6 Gambar 5.1 Diagram Pie Distribusi Proporsi Umur Penderita TB Paru
dengan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat
Tahun 2012 ... 44 Gambar 5.2 Diagram Pie Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Penderita TB
Paru dengan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantau
prapat Tahun 2012 ... 46 Gambar 5.3 Diagram Pie Distribusi Proporsi Pendidikan Penderita TB Paru
dengan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat
Tahun 2012 ... 48 Gambar 5.4 Diagram Pie Distribusi Proporsi Perkerjaan Penderita TB Paru
Dengan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat
Tahun 2012 ... 49 Gambar 5.5 Diagram Pie Distribusi Proporsi Tempat Tinggal Penderita TB
Paru Dengan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantau
prapat Tahun 2012 ... 50 Gambar 5.6 Diagram Pie Distribusi Proporsi Komplikasi Penderita TB Paru
yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat Tahun 2012 ... 51 Gambar 5.7 Diagram Bar Distribusi Proporsi Keluhan Utama Penderita TB
Paru Dengan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantau
Prapat Tahun 2012 ... 53
Gambar 5.8 Diagram Pie Distribusi Proporsi Tipe Penderita TB Paru Dengan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat Tahun
2012 ... 54 Gambar 5.9 Diagram Pie Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang
Penderita TB Paru Dengan Komplikasi yang Rawat Inap di
RSUD Rantauprapat Tahun 2012 ... 56 Gambar 5.10 Diagram Pie Distribusi Proporsi Sumber Biaya Penderita TB
Paru Dengan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantau
xiv Gambar 5.11 Diagram Bar Proporsi Keluhan Utama Penderita TB Paru
Berdasarkan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD
Rantauprapat Tahun 2012... 58 Gambar 5.12 Diagram Bar Proporsi Tipe Penderita TB Paru Berdasarkan
Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat Tahun
2012 ... 59 Gambar 5.13 Diagram Bar Lama Rawatan Rata-rata Penderita TB Paru
Berdasarkan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD
Rantauprapat Tahun 2012... 61 Gambar 5.14 Diagram Bar Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang Penderita TB
Paru Berdasarkan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD
Rantauprapat Tahun 2012... 62 Gambar 5.15 Diagram Bar Proporsi Sumber Biaya Penderita TB Paru
Berdasarkan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD
ABSTRAK
Tuberkulosis paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit menular urutan ke 5 terbesar di Indonesia. Tuberkulosis lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan, dan hampir 85% terjadi pada usia produktif
Untuk mengetahui karakteristik penderita TB paru dengan komplikasi, dilakukan penelitian di RSUD Rantauprapat dengan desain case series. Populasi dan sampel penelitian berjumlah 110 orang pada tahun 2012 yang tercatat di rekam medis rumah sakit. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dianalisis dengan menggunakan uji Chi square, Kruskal Wallis test.
Proporsi berdasarkan sosiodemografi tertinggi pada kelompok umur produktif 15-55 tahun (81,3%), Laki-laki (90,7%), SD/ Sederajat (52,3%), Petani (41,1%), Luar wilayah Rantauprapat (52,3%), proporsi komplikasi TB paru terbesar Efusi pleura (57,9%). Proporsi berdasarkan status rawatan tertinggi adalah keluhan utama batuk 40,2%, tipe penderita kambuh 71,0%, kategori pengobatan kategori 2 88,8%, lama rawatan rata-rata 5 hari, keadaan sewaktu pulang pulang berobat jalan 49,5%, sumber biaya bukan biaya sendiri 86,0%. Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara tipe penderita berdasarkan komplikasi, Lama rawatan rata-rata berdasarkan komplikasi.
Penulis menyarankan upaya penanganan tuberkulosis paru difokuskan bukan hanya pada pengobatan, namun juga pencegahan penyakit melalui perbaikan ekonomi, status gizi, dan pendidikan ditingkat masyarakat dengan melibatkan instansi terkait lainnya.
ABSTRACT
Pulmonary tuberculosis is still a public health problem. Pulmonary tuberculosis is one of the fifth largest infectious diseases in Indonesia. Tuberculosis is more common in men than women and it is almost 85% that occurs in the productive age.
To know the characteristics of pulmonary tuberculosis patients with complications, conducted a research with a case series design in RSUD Rantauprapat. Population and sample was 110 people in 2012 were recorded in hospital medical record. Univariate data were analyzed by descriptive while bivariate data were analyzed using Chi square test, Kruskal-Wallis test.
Based on sociodemographic, the highest proportion is in the productive age group namely 15-55 years (81,3%), males (90,7%), primary school / equivalent (52,3%), farmers (41,1%), outside of Rantauprapat (52 ,3%). The Largest proportion of pulmonary tuberculosis is efusi pleura (57,9%). Based on the treatment cough 40,2%, patient of type relaps 71,0%, category of medicial treatment category 2 88,8%, the average length of stay 5 days, outpatient control 49,5%, not source expense 86,0%. There was no significant difference between the proportion of patients based on the type of complications, length of treatment is on average by complications.
The writer suggests for treatment of pulmonary tuberculosis efforts focused not only on treatment but also prevention of disease through improved economic, nutritional status, and education at the community level by involving other related institutions.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan pada hakikatnya adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional.1 Pada abad ke-20, banyak penyakit menular yang telah mampu diatasi bahkan ada yang telah dibasmi berkat kemajuan teknologi, akan tetapi masalah penyakit menular masih tetap dirasakan oleh sebagian besar penduduk negara berkembang salah satunya adalah penyakit Tuberkulosis paru (TB paru).2
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis.3 Penyakit Tuberkulosis paru sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Penyakit tuberkulosis biasanya menyerang paru-paru tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain seperti tulang, ginjal, pleura, kelenjar getah bening dan lain-lain, hampir 85% penyakit TB paru terjadi pada usia produktif yaitu 15-59 tahun.4,5
Di Indonesia angka insidens semua tipe TB paru tahun 2010 adalah 450.000 kasus atau 189 per 100.000 penduduk, angka prevalensi semua tipe TB paru 690.000 atau 289 per 100.000 penduduk dan angka kematian TB paru 64.000 atau 27 per 100.000 penduduk atau 175 orang per hari. Insidens TB basil tahan asam (BTA) positif di Sumatera 164 per 100.000 penduduk, Jawa 107 per 100.000 penduduk, Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta dan Bali 64 per 100.000 penduduk, Kawasan Timur Indonesia (KTI) 210 per 100.000 penduduk.7
Indonesia meskipun masih memiliki beban TB paru yang tinggi, merupakan negara pertama di negara-negara dengan beban TB yang tinggi di wilayah Asia Tenggara yang berhasil mencapai target Millenium Development Goals (MDG) untuk TB pada tahun 2006, yaitu 70% penemuan kasus baru BTA positif dan 85% kesembuhan. Saat ini Indonesia telah turun dari urutan ketiga menjadi urutan kelima negara dengan beban TB tertinggi didunia. Meskipun program pengendalian TB nasional telah berhasil mencapai target MDG, akan tetapi penatalaksanaan TB terutama di sebagian besar rumah sakit, klinik dan praktek swasta belum sesuai dengan strategi DOTS ataupun standar pelayanan sesuai Internasional Standars for Tuberculosis Care (ISTC).8
Menurut penelitian Nita Lambok di Poliklinik Penyakit Dalam RS. Harapan Pematang Siantar (2003) penderita TB Paru yang rawat jalan sebesar 131 orang dimana 70 kasus BTA + dan 61 kasus TB Paru BTA – dengan proporsi 24,13% dari seluruh penderita yang dirawat jalan di rumah sakit tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan Fredy Panjaitan di RSU DR. Soedarso Pontianak pada bulan september-desember (2010) terdapat 77,8% pada usia produktif dengan insidens terbanyak pada laki-laki sebanyak 60% dan pada perempuan 40%.10,11
Menurut penelitian yang dilakukan Junita Siregar di Poliklinik Penyakit Dalam di RSUD Rantauprapat penderita TB paru yang berobat jalan pada tahun 2000-2002 sebanyak 205 kasus.12 Data yang saya peroleh saat melakukan survei awal di RSUD Rantauprapat yang di rawat inap tahun 2012 terdapat 337 kasus untuk seluruh kasus TB paru. Dari 337 kasus TB paru terdapat 107 kasus TB paru yang mengalami komplikasi. Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita TB paru dengan komplikasi yang rawat inap di Rumah Sakit Umum Rantauprapat.
1.2 Perumusan Masalah
Belum diketahui karakteristik penderita TB paru dengan komplikasi yang rawat inap di RSUD Rantauprapat Tahun 2012.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita TB paru dengan komplikasi yang rawat inap berdasarkan sosiodemografi (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan tempat tinggal)
b. Untuk mengetahui distibusi proporsi penderita TB paru berdasarkan komplikasi. c. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita TB paru dengan komplikasi yang
rawat inap berdasarkan status rawatan (keluhan utama, tipe penderita, kategori pengobatan, lama rawatan rata-rata, keadaan sewaktu pulang, dan sumber biaya) d. Untuk mengetahui distribusi proporsi keluhan utama penderita TB paru
berdasarkan komplikasi.
e. Untuk mengetahui distribusi proporsi tipe penderita TB paru berdasarkan komplikasi.
f. Untuk mengetahui distribusi proporsi kategori pengobatan penderita TB paru berdasarkan komplikasi.
g. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata penderita TB paru berdasarkan komplikasi.
h. Untuk mengetahui distribusi proporsi keadaan sewaktu pulang penderita TB paru berdasarkan komplikasi.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Sebagai masukan dan informasi bagi pihak RSUD Rantauprapat dalam hal meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya bagi pasien penderita TB paru. b. Sebagai bahan refrensi dan masukan bagi pihak yang membutuhkan dan yang
ingin melanjutkan penelitian tentang tuberkulosis paru
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi menular, yang menyerang paru yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberkulosis.4 Sekitar 80%
Mycobacterium tuberculosis menginfeksi paru, tetapi dapat juga menginfeksi organ tubuh lainnya seperti kelenjer getah bening, tulang belakang, kulit, saluran kemih, otak, usus, mata dan organ lain karena penyakit tuberkulosis merupakan penyakit sistemik yaitu penyakit yang dapat menyerang seluruh bagian tubuh dan dapat menimbulkan kerusakan progresif.13
2.2 Penyebab
Penyebab penyakit TB paru adalah Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini panjangnya 1-4 mikron x 0,3-0,6 mikron, tumbuh optimal pada suhu sekitar 37˚C dengan pH optimal 6,4-7, dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, tidak mempunyai selubung tetapi lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid.4,5
Sebagian besar komponen M. tuberculosis adalah lemak/lipid sehingga bakteri mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik. Bakteri ini juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob. Bakteri ini mati pada pemanasan 100˚C selama 5 -10 menit atau pada pemanasan 60˚C selama 30 menit. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap, namun tidak tahan terhadap sinar ultraviolet.4
2.3 Patogenesis
Sumber penularan adalah penderita TB paru BTA positif (+) yang dapat menularkan kepada orang yang berada disekitarnya atau disekelilingnya terutama kontak erat dengan penderita. Pada waktu batuk atau bersin penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet nuklei. Partikel yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, tergantung ada tidaknya sinar matahari, ventilasi yang baik dan kelembapan.4 Bakteri TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan dan bisa menyebar ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe atau langsung ke organ terdekatnya.14
Faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya infeksi adalah:16 a. Harus ada sumber infeksi.
b. Jumlah basil sebagai penyebab infeksi harus besar. c. Virulensi yang tinggi dari basil TB.
d. Daya tahan tubuh yang menurun memungkinkan basil berkembang.
2.3.1 Tuberkulosis Paru Primer
Infeksi primer terjadi pada seseorang yang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Infeksi ini dapat terjadi dalam paru dan organ lain seperti hidung, tonsil, usus, kulit, kelenjar parotis, dan konjungtiva. Namun sebagian besar (95%) infeksi primer terjadi di dalam paru. Hal ini disebabkan penularan basil TB sebagian besar melalui udara, masuk melalui saluran pernapasan dan karena jaringan paru mudah terkena infeksi TB (susceptible). Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainya seperti bagian paru lain, selaput otak, otak, tulang, hati, ginjal, dan lain-lain melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, dan saluran napas.14
TB paru primer adalah peradangan paru yang disebabkan oleh basil TB pada tubuh penderita yang belum pernah mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil tersebut. Tiga ribu droplet nuklei akan dikeluarkan oleh pasien TB BTA positif yang sedang batuk dan berbicara selama 5 menit. Droplet nuklei ini dapat terhirup oleh orang-orang yang ada di sekitar penderita ini, sampai kejauhan sekitar 3 meter. Kuman TB yang ada dalam droplet nuklei yang terhirup, dapat menembus sistem
Pada permulaan infeksi, basil TB masuk ke dalam tubuh yang belum mempunyai kekebalan, selanjutnya tubuh mengadakan perlawanan dengan cara yang umum yaitu melalui infiltrasi sel-sel radang ke jaringan tubuh yang mengandung basil TB. Reaksi tubuh ini disebut reaksi non spesifik yang berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Pada tahap ini tubuh menunjukkan reaksi radang yakni kalor, rubor, tumor, tetapi uji kulit dengan tuberkulin masih negatif.16
Setelah reaksi radang non spesifik dilampaui, reaksi tubuh memasuki tahap alergis yang berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Pada saat itu sudah terbentuk zat anti sehingga tubuh dapat menunjukkan reaksi yang khas yaitu peradangan umum ditambah uji kulit dengan tuberkulin yang positif.17
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh. Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB paru. Meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten. Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TB paru.18 Menurut Meyer yang dikutip oleh Alsagaff ada 2 jenis TB paru primer, yaitu:19
a. TB paru primer sederhana (simple primary tuberculosis) a.1 Terjadi pada 43,5% dari kasus TB.
b. Infeksi TB paru primer dengan kelainan radiologis (primary infection tuberculosis) b.1 Kelainan radiologis berupa pembesaran kelenjar limfe mediastinum.
b.2 Uji kulit tuberkulin, menunjukkan reaksi positif. b.3 Kelainan ini dijumpai pada 18,5%.
Umumnya TB paru primer sembuh sendiri, walaupun ada kemungkinan di kemudian hari mengalami kekambuhan dengan proses yang lebih cepat pada organ lain, yang sumbernya berasal dari TB paru primer tersebut.19
2.3.2 Tuberkulosis Paru Post Primer19
Banyak istilah yang digunakan seperti: post primary tuberculosis, progressive tuberculosis, adult type tuberculosis, phthysis dan lain-lain.
Infeksi dapat berasal dari :
a. Dari luar (eksogen): infeksi ulang pada tubuh yang pernah menderita TB. b. Dari dalam (endogen): infeksi berasal dari basil yang sudah berada dalam
tubuh, merupakan proses lama yang pada mulanya tenang dan oleh suatu keadaan menjadi aktif kembali.
2.4 Gambaran Klinis 5
2.4.1 Gejala Sistemik
a. Demam
Biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai dengan keringat mirip dengan influenza yang segera mereda. Demam seperti ini dapat hilang timbul. Demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu 40˚C.
b. Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun.5
2.4.2 Gejala Respiratorik5
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Biasanya batuk bersifat ringan sehingga dianggap batuk biasa. Pada penderita TB paru, batuk akan timbul ketika penyakit telah mengenai bronkus, dan batuk mula-mula disebabkan karena iritasi bronkus, selanjutnya akibat terjadi peradangan pada bronkus sehingga terjadi batuk yang produktif, batuk ini dapat terjadi 2-3 minggu.
b. Batuk Darah
c. Sesak napas
Sesak napas pada tuberkulosis disebabkan oleh penyakit yang luas pada paru atau karena adanya penggumpalan cairan di rongga pleura sebagai komplikasi TB paru. Penderita yang sesak napas sering mengalami demam dan berat badan menurun. Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah didapat.
d. Nyeri dada
Gejala ini biasanya ditemukan pada penderita yang mempunyai keluhan batuk kering (non produktif) dan nyeri ini akan timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
2.5 Klasifikasi Penyakit
2.5.1 Tuberkulosis Paru5
Tuberkulosis paru adalah TB yang hanya menyerang jaringan paru tidak termasuk pleura (selaput paru). Tuberkulosis paru terbagi atas :
a. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
a.1 TB Paru BTA positif
a.1.1 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.
a.1.2 Hasil dari pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif dan terdapat kelainan radiologik yang menunjukkan gambaran TB aktif.
a.2 TB Paru BTA negatif
a.2.1 Hasil pemerikasaan dahak 3 kali menunjukan BTA negatif, sedangkan gambaran klinis dan pemeriksaan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.
a.2.2 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, dan biakan M. tuberculosis positif.
b. Berdasarkan riwayat pengobatan13
Berdasarkan riwayat pengobatan penderita, dapat digolongkan atas tipe: b.1 Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b.2 Kasus Kambuh (Relaps) adalah penderita yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan OAT dan dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
b.3 Lalai (Defaulted/Drop out) adalah penderita yang sudah mengalami pengobatan kurang lebih 1 bulan, dan berturut-turut tidak mengambil obat 2 bulan atau lebih, sebelum masa pengobatannya selesai kemudian datang lagi berobat.
b.4 Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau akhir pengobatan.
b.5 Kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan BTA positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori dua dengan pengawasan yang baik.
2.5.2 Tuberkulosis Ekstra Paru5
Tuberkulosis ekstra paru adalah TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya pleura, kelenjer getah bening, selaput otak, tulang, ginjal dan lain-lain.
a. TB ekstra paru ringan, misalnya TB kelenjar limfe, pleuritis eksudative unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, perikarditis, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
2.6 Komplikasi5
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungkin timbul pada penderita tuberkulosis paru adalah:
a. Efusi pleura
Efusi pleura adalah suatu keadaan di mana terdapatnya penumpukan cairan dalam rongga pleura. Efusi pleura dapat disebabkan kerena kondisi gangguan pada reabsorbsi dan peningkatan produksi cairan pleura (akibat infeksi pada pleura). Pada penderita tuberkulosis paru, efusi pleura disebabkan karena meningkatnya permeabilitas kapiler yang disebabkan karena infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis20
b. Batuk darah (Hemoptisis)
c. Bronkiektaksis
Bronkiektaksis merupakan dilatasi bronchus dan bronkhiolus kronis permanen. Bronkietaksis sering kali ditunjukkan oleh tanda klinis infeksi yang kronis atau berulang pada jalan napas yang melebar dan adanya sekret yang menumpuk pada jalan napas. Pada penderita tuberkulosis paru, bronkiektaksis ditandai dengan gejala batuk kronis dan produksi sputum purulen kehitaman.5
d. Empiema
Empiema adalah terkumpulnya cairan purulen (pus) di dalam rongga pleura. Awalnya, cairan pleura adalah cairan encer dengan jumlah leukosit rendah, tetapi sering berlanjut menjadi stadium fibropurulen dan akhirnya sampai pada keadaan dimana paru-paru tertutup oleh membran eksudat yang kental. Hal ini terjadi jika abses paru-paru meluas sampai rongga pleura.20
e. Gagal napas
f. Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan mengempisnya paru akibat bocornya udara ke ruangan antara dua lapisan pleura (rongga pleura). Pleura adalah kantung yang terdiri dari dua lapisan yang meliputi paru-paru dan memisahkannya dari dinding dada. Sejumlah kecil cairan di dalam rongga pleura mengurangi gesekan dan memfasilitasi gerakan pernafasan. Cairan ini juga membantu paru-paru untuk tetap mengembang dengan menciptakan tekanan negatif. Pada pneumotoraks, adanya udara antara dua lapisan pleura meningkatkan tekanan pada rongga dada dan menyebabkan paru-paru yang elastis tertekan, menyebabkan paru mengempis. Oleh karena itu, paru-paru tidak lagi dapat mengembang sebagaimana biasanya. Pneumotoraks dapat menyebabkan nyeri dada tajam yang tiba-tiba ketika paru-paru mengempis, diikuti dengan kesulitan bernafas dan pernafasan yang pendek.5
2.7 Epidemiologi
2.7.1 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Orang
orang dengan insidens rate 160 per 100.000 penduduk.9 Penelitian yang dilakukan oleh Gea dengan desain case series (2005) pada Puskesmas Gunungsitoli tahun 2000-2004 menemukan bahwa penderita TB paru yang paling banyak adalah laki-laki yaitu 334 orang (63,6%).22
2.7.2 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Tempat
Sebagian besar angka penderita penyakit TB paru di negara maju telah mengalami penurunan sementara di negara berkembang angkanya masih cukup tinggi.23 Di seluruh dunia sekitar 19-43% populasi telah terinfeksi TB paru, frekuensi penyakit TB paru di Indonesia masih sangat tinggi dan masih merupakan masalah utama dalam hal kesakitan maupun kematian.24
Berdasarkan laporan WHO (2011), insiden TB paru di India 185 per 100.000 penduduk, China 78 per 100.000 penduduk, Afrika Selatan 981 per 100.000 penduduk, Nigeria 133 per 100.000 penduduk, Thailand 137 per 100.000 penduduk, Malaysia 82 per 100.000 penduduk, Singapura 36 per 100.000 penduduk.7
2.7.3 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Waktu
Banyaknya penderita TB paru tidak dipengaruhi oleh waktu karena penderita tuberkulosis akan tetap ada selama penderita lama mempunyai kemampuan untuk menularkan melalui droplet yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.23
2.7.4 Faktor Determinan TB Paru
a. Host (Pejamu)
a.1 Umur
TB paru dapat menyerang semua golongan umur, umumnya paling banyak terjadi pada kelompok umur usia produktif.5 TB paru pada orang dewasa dapat terjadi melalui 2 mekanisme, yang pertama dengan terhirup basil tuberkulosis kemudian berkembang biak dalam paru dan merusaknya, dan yang kedua timbul akibat aktifnya kembali basil tuberkulosis yang dorman dalam tubuh ketika masih anak-anak.22 Penelitian yang dilakukan Gea tahun 2005 di Puskesmas Gunungsitoli menemukan bahwa penderita TB paru pada periode 2000-2004 sebanyak 394 penderita pada usia produktif 15-55 tahun, sedangkan penelitian yang di lakukan Fredy di RSU DR. Soedarso Pontianak pada bulan september – november 2010 sebanyak 35 orang (77,8%) pada usia produktif (18-59 tahun).11,22
a.2 Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih sering terserang TB paru dari pada perempuan. Hal ini disebabkan mobilitas laki-laki lebih tinggi ditambah lagi dengan mengkomsumsi alkohol yang dapat menurunkan daya tahan
Berdasarkan hasil penelitian Syamsuardi di Puskesmas Muaro Patti Kecamatan Kapur IX (2008) ditemukan bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap kejadian TB paru dimana perempuan beresiko 0,425 kali lebih kecil untuk terinfeksi TB paru dibandingkan dengan laki-laki (OR=0,425;95% CI 0,201-0,901).27
a.3 Status Gizi
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap berbagai macam penyakit termasuk TB paru. Faktor ini merupakan salah satu faktor penting penyebaran TB paru khususnya di negara miskin.23
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Rusnoto, dkk di BP4 Pati Semarang (2006) ditemukan bahwa status gizi buruk memiliki resiko 5, 113 kali (OR 5,113;95% CI 1,364-19,165) untuk terinfeksi TB paru dibanding orang dengan status gizi baik.28
b. Agent
TB paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis dan untuk menjadi sakit dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang mempunyai kemampuan mengadakan terjadinya infeksi, serta virulensi dari bakteri itu sendiri.15,29
c. Lingkungan
c.1 Kepadatan hunian
lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di rumah yang tidak memenuhi syarat dari pada yang memenuhi syarat.30
c.2 Ventilasi
Ventilasi rumah berfungsi untuk menjaga agar sirkulasi udara didalam rumah tetap segar sehingga dapat terbebas dari bakteri patogen. Luas ventilasi rumah alamiah yang permanen adalah 10% dari luas lantai.
c.3 Kelembaban
Kelembaban merupakan media yang baik untuk berkembangnya bakteri patogen salah satunya bakteri : M, tuberculosis. Kelembaban udara yang baik untuk rumah sehat adalah 50%-70%.26
2.8 Pencegahan
2.8.1 Pencegahan Primer13
Pencegahan primer adalah upaya awal pencegahan TB paru sebelum seseorang menderita TB paru. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara:
a. Meningkatkan kesehatan lingkungan
a.1. Mengurangi tingkat kepadatan hunian/over crowding a.2. Melengkapi perumahan dengan ventilasi yang cukup
b. Pendidikan dan promosi kesehatan masyarakat dengan menghimbau bahwa meludah sembarangan memperbesar resiko penyebaran kuman TB paru.
c. Meningkatkan daya tahan tubuh
c.3. Peningkatan imunitas tubuh dengan imunisasi BCG
2.8.2 Pencegahan Sekunder23
Pencegahan sekunder yaitu upaya mencegah keadaan penyakit TB paru yang sudah terjadi untuk tidak menjadi lebih berat. Pencegahan ini ditujukan untuk menurunkan mortalitas.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara:
a. Penemuan kasus
Penemuan kasus (case finding) yaitu menemukan kasus atau penderita TB paru secara aktif yaitu mencari penderita TB paru di masyarakat maupun secara pasif yaitu menunggu penderita TB paru yang datang ke fasilitas puskesmas.
b. Diagnosis TB Paru31
Penetapan diagnosis TB paru dilakukan dengan berpegangan pada tiga patokan utama. Pertama adalah berdasarkan hasil wawancara dengan pasien tentang keluhan dan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap pasien tersebut. Kedua, hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan basil tahan asam (BTA). Ketiga, hasil pemeriksaan rontgen dada yang akan memperlihatkan gambaran paru pada orang yang diperiksa.
Adapun pemeriksaan diagnosis pada TB paru yaitu:
b.1 Pemeriksaan Uji Tuberkulin
volar lengan bahwa. Bila dosis 0,1 ml disuntikkan dengan tepat maka terbentuk suatu gelembung. Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu antara 48 sampai 72 jam sesudah penyuntikan. Reaksi harus dibaca dalam periode tersebut, yaitu dalam cahaya yang terang dan posisi lengan bawah sedikit ditekuk. Tes tuberkulin jika indurasi sebesar 10 mm atau lebih. Hal ini menunjukkan adanya sensitivitas yang berasal dari infeksi dengan basil M. tuberkulosis.32
b.2 Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis yang paling penting dalam diagnosis tuberkulosis adalah pemeriksaan sputum. Sputum yang baik diperiksa adalah sputum yang kental dan purulen (mucopurulen) berwarna hijau kekuning-kuningan dengan volume 3-5 ml tiap pengambilan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yaitu SPS (sewaktu-pagi-sewaktu). Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila dua atau tiga SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya ada satu spesimen positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut dengan foto rontgen.3
b.3 Pemeriksaan Radiologis
kompleks primer dengan atau tanpa perkapuran, pembesaran kelenjar paratrakeal, penyebaran milier, penyebaran bronkogen dan atelektasis.24
c. Memberikan pengobatan yang adekuat
c.1 Prinsip Pengobatan
Adapun tujuan dari pengobatan TB paru adalah menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan. Obat yang diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua bakteri (termasuk bakteri persisten) dapat dibunuh. Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB paru akan kebal terhadap obat.32
Untuk memperoleh efekifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah:33
c.1.1 Menghindari penggunaan monoterapi
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan OAT.
c.1.2 Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c.1.3 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Tahap intensif
b. Bila pengobatan tahap intensif diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan. Tahap lanjutan
a. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dorman) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
c.2 Panduan Pengobatan34
Panduan OAT di Indonesia berdasarkan rekomendasi WHO dan IUATLD (Internasional Union Against Tuberculosis and Lung Disease).
c.2.1 Kategori-1 (2HRZE / 4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H) dan Rifampisin (R) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
a. Penderita baru TB paru BTA positif
b. Penderita TB paru BTA negatif, rontgen positif yang sakit berat c. Penderita TB paru ekstra paru berat
c.2.2 Kategori-2 (2HRZES / HRZE / 5H3R3E3)
itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan Streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.
Obat ini diberikan untuk: a. Penderita kambuh b. Penderita gagal
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai
c.2.3 Kategori-3 (2HRZ / 4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ) diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3H3).
Obat ini diberikan untuk:
a. Penderita baru BTA negatif rontgen positif, sakit ringan
b. Penderita ekstra paru ringan yaitu TB kelenjar limfe (limfadenitis), TB kulit, TB tulang (kecuali tulang belakang) dan kelenjar adrenal.
c.2.4 OAT Sisipan (HRZE)
OAT sisipan diberikan pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif, diberikan setiap hari selama satu bulan.
2.8.3 Pencegahan Tersier
Strategi DOTS
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah strategi yang telah
direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1995. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.
Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai berikut:
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
3. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh PMO.
4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.
2.9 Kerangka Konsep
Karakteristik Penderita TB Paru dengan Komplikasi 1. Sosiodemografi:
a. Umur
b. Jenis Kelamin c. Pendidikan d. Pekerjaan e. Tempat Tinggal
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah diskriptif dengan menggunakan desain case series.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Rantauprapat. Pemilihan lokasi ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa RSUD Rantauprapat merupakan rumah sakit pemerintah yang melayani sebagian besar penduduk di Rantauprapat dan sekitarnya, tersedianya data yang dibutuhkan tentang penderita penyakit TB paru, dan belum pernah dilakukan penelitian terhadap karakteristik penderita TB paru dengan komplikasi yang rawat inap tahun 2012.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan September 2013 sampai Februari 2014.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
3.3.2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah seluruh data penderita TB paru dengan komplikasi yang rawat inap di RSUD Rantauprapat tahun 2012. Besar sampel adalah sama dengan populasi (Total Sampling).
3.4 Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berkas rekam medis pasien penderita TB paru di bagian Rekam Medik RSUD Rantauprapat tahun 2012. Semua berkas rekam medis pasien TB paru yang rawat inap di RSUD Rantauprapat tahun 2012 dikumpulkan kemudian dilakukan pencatatan sesuai dengan jenis variabel yang diteliti.
3.5 Analisa Data
Data dianalisis secara deskriptif kemudian dianalisis menggunakan uji Chi-Square, dan uji Kruskal Wallis. Hasilnya disajikan dalam bentuk narasi, tabel distribusi frekuensi, diagram batang dan diagram pie.
3.6 Defenisi Operasional
3.6.2 Sosiodemografi penderita TB paru dikategorikan atas :
a. Umur adalah usia penderita TB paru dengan komplikasi sesuai yang tercatat dalam kartu status di RSUD Rantauprapat, di kelompokkan berdasarkan kelompok umur produktif dan non produktif, dikategorikan atas:32
1. < 15 tahun dan > 55 tahun 2. 15-55 tahun
b. Jenis kelamin adalah ciri khas tertentu yang dimiliki penderita TB paru dengan komplikasi sesuai yang tercatat dalam kartu status, dikategorikan atas :
1. Laki – laki 2. Perempuan
c. Pendidikan adalah sekolah formal yang pernah diikuti oleh penderita TB paru dengan komplikasi sesuai yang tercatat dalam kartu status, dikategorikan atas :
1. SD / Sederajat 2. SMP / Sederajat 3. SMA / Sederajat 4. Akademi/ Sarjana
d. Pekerjaan adalah kegiatan rutin yang dilakukan penderita TB paru dengan komplikasi sesuai yang tercatat dalam kartu status, dikategorikan atas :
e. Tempat Tinggal adalah daerah dimana penderita TB paru dengan komplikasi menetap sesuai yang tercatat dalam kartu status, dikategorikan atas :
1. Wilayah Rantauprapat
2. Diluar Wilayah Rantauprapat
3.6.3 Komplikasi adalah ada gangguan fisiologis dan anatomis yang dirasakan oleh pasien akibat dari penyakit yang diderita sesuai yang tercatat dalam kartu status, dikategorikan atas:
1. Efusi pleura 2. Hemoptisis 3. Pneumotoraks
3.6.4 Keluhan Utama adalah jenis keluhan utama yang diderita pasien sebagai alasan untuk datang berobat ke RSUD Rantauprapat yang tercatat dalam kartu status, dikategorikan atas:
1. Batuk 2. Batuk darah 3. Sesak napas 4. Nyeri dada
5. Demam
3.6.5 Tipe penderita adalah tipe penderita TB paru dengan komplikasi yang dirawat inap yang ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, dikategorikan atas:
3.6.6 Kategori pengobatan adalah obat yang digunakan untuk mengobati penderita sebagaimana tercatat didalam kartu status, dikategorikan atas:
1. Kategori 2 2. Tidak Tercatat
3.6.7 Lama rawatan rata-rata adalah jumlah hari rata-rata perawatan penderita TB Paru dengan komplikasi di RSUD Rantauprapat sesuai yang tercatat dalam kartu status.
3.6.8 Keadaan Sewaktu Pulang adalah keadaan atau kondisi penderita TB paru dengan komplikasi sewaktu keluar dari Rumah Sakit berdasarkan yang tercatat dalam kartu status, dikategorikan atas :
1. Pulang berobat jalan
2. Pulang atas permintaan sendiri 3. Meninggal
4. Pindah
3.6.9 Sumber biaya adalah jenis sumber biaya yang digunakan oleh penderita TB paru yang tercatat di dalam kartu status, dikategorikan atas:
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Daerah Rantauprapat didirikan tahun 1957 dan merupakan satu-satunya Rumah Sakit Pemda TK II Labuhanbatu yang terletak di kota Rantauprapat. Pada awalnya Rumah Sakit ini terletak di jalan Cut Nyak Dien Kecamatan Bilah Hulu. Pada tahun 1964 lokasi ini berubah atau pindah ke jalan K.H. Dewantara No. 129 Kecamatan Bilah Hulu. Sampai saat ini luas Rumah Sakit ini ± 2,3 Ha. Direncanakan tahun 2014 akan pindah ke lokasi baru (Jl. H. Adam Malik) dengan luas ±5 Ha.
Tahun 1987 dengan SK Menkes No. 303/ Menkes/VI/ 1987 ditetapkan sebagai rumah sakit tipe C. Tahun 2002 dengan PERDA No. 04 Tahun 2002 berubah status menjadi Badan Pengelola Rumah Sakit Umum (BPRSU). Melalui Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2009, BPRSU berubah menjadi RSUD Rantauprapat Kabupaten Labuhanbatu. Tahun 2009 melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 373/ Menkes/ SK/ 2009 tanggal 13 Mei 2009 meningkat menjadi Rumah Sakit Kelas B non Pendidikan. Tahun 2004 terakreditasi 5 pelayanan, tahun 2008 terakreditasi 12 pelayanan. Tahun 2012 terakreditasi dengan 16 pelayanan yaitu:
1. Administrasi dan manajemen 2. Pelayanan medis
5. Rekam medis 6. Pelayanan farmasi
7. Kesehatan dan keselamatan kerja 8. Pelayanan radiologi
9. Pelayanan laboratorium 10. Pelayanan kamar operasi
11. Pengendalian infeksi di rumah sakit 12. Pelayanan perinatal resiko tinggi 13. Pelayanan rehabilitas medik 14. Pelayanan rujukan
15. Pelayanan intensif, dan 16. Pelayanan darah
Rumah Sakit Umum Daerah Rantauprapat bukan hanya melayani pasien yang tinggal di Labuhanbatu tetapi juga melayani pasien dari luar daerah, antara lain kabupaten daerah labuhanbatu utara maupun dari kabupaten labuhanbatu selatan.
Pada saat ini Rumah Sakit telah berusaha semaksimal mungkin membenahi diri dalam berbagai aspek, baik dalam kualitas dan kuantintas. Berbagai hal yang menjadi perhatian antara lain: ketenagaan, proses administrasi dan manajemen, bahan dan alat kesehatan, sarana fisik dan lain-lain.
4.2 Analisa Deskriptif
4.2.1 Karakteristik Penderita TB Paru dengan Komplikasi Berdasarkan
Sosiodemografi
Proporsi karakteristik penderita TB paru dengan komplikasi berdasarkan sosiodemografi di RSUD Rantauprapat tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.1 Distribusi Proporsi Penderita TB Paru dengan Komplikasi yang Rawat Inap Berdasarkan Umur, Jenis kelamin, Pendidikan, Perkerjaan dan Tempat tinggal, di RSUD Ranrauprapat Tahun 2012
Di Luar Wilayah Rantauprapat
51 56
47,7 52,3
Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa jumlah penderita TB paru dengan komplikasi yang rawat inap di RSUD Rantauprapat tahun 2012 berdasarkan kelompok umur tertinggi pada kelompok umur produktif 15-55 tahun yaitu 87 orang ( 81,3%), sedangkan yang terrendah ditemukan pada kelompok umur non produktif <15 tahun dan >55 tahun yaitu 20 orang ( 18,7%)
Berdasarkan jenis kelamin diperoleh proporsi penderita TB paru dengan komplikasi yang rawat inap di RSUD Rantauprapat tahun 2012 tertinggi pada laki-laki yaitu 97 orang (90,7%), sedangkan pada perempuan 10 orang (9,3%).
Berdasarkan pendidikan dapat diketahui bahwa proporsi penderita TB paru dengan komplikasi yang rawat inap di RSUD Rantauprapat tahun 2012 tertinggi adalah SD/Sederajat yaitu 56 orang (52,3%), sedangkan terrendah pada pendidikan Akademi/Sarjana yaitu 2 orang (1,9%).
Berdasarkan perkerjaan dapat diketahui bahwa proporsi penderita TB paru dengan komplikasi yang rawat inap di RSUD Rantauprapat tahun 2012 tertinggi adalah petani yaitu 44 orang (41,1%), sedangkan terrendah adalah tidak berkerja yaitu 7 orang ( 6,5%).
Berdasarkan tempat tinggal diperoleh proporsi penderita TB paru dengan komplikasi yang rawat inap di RSUD Rantauprapat tahun 2012 tertinggi dari luar wilayah Rantauprapat 56 orang (52,3%), sedangkan wilayah Rantauprapat 51 orang ( 47,7%).
4.2.2 Penderita TB Paru Berdasarkan Komplikasi
Tabel 4.2 Distribusi Proporsi Penderita TB Paru Berdasarkan
Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat Tahun 2012
Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa penderita TB paru yang rawat inap di RSUD Rantauprapat tahun 2012 berdasarkan komplikasi yang tertinggi adalah Efusi pleura 62 orang ( 57,9%), sedangkan Pneumotoraks 26 orang ( 25,3%) dan terrendah Hemoptisis 19 orang (17,8% ).
4.2.3 Karakteristik Penderita TB Paru dengan Komplikasi Berdasarkan
Status Rawatan
Proporsi karakteristik penderita TB paru dengan komplikasi berdasarkan status rawatan di RSUD Rantauprapat tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tidak Tercatat 12 11,2
Jumlah 107 100,0
Keadaan Sewaktu Pulang
Pulang Berobat Jalan
Pulang Atas Permintaan Sendiri Meninggal
Dari tabel 4.3 dapat dilihat bahwa proporsi penderita TB paru dengan komplikasi berdasarkan keluhan utama tertinggi adalah batuk 40,2% dan terendah nyeri dada 5,6%. Proporsi penderita TB paru dengan komplikasi berdasarkan tipe penderita tertinggi adalah kambuh 71,0% dan terrendah lalai/drop out 29,0%. Proporsi penderita TB paru dengan komplikasi berdasarkan kategori pengobatan menggunakan kategori 2 88,8%. Proporsi penderita TB paru dengan komplikasi berdasarkan keadaan sewaktu pulang tertinggi adalah pulang berobat jalan 49,5% dan terrendah adalah pindah 2,8%. Case Fatality Rate (CFR) penderita TB paru dengan komplikasi di RSUD Rantauprapat tahun 2012 adalah 17,8%. Proporsi penderita TB paru dengan komplikasi berdasarkan sumber biaya tertinggi adalah bukan biaya sendiri 86,0% sedangkan biaya sendiri 14,0%.
4.2.4 Lama Rawatan Rata-rata
Tabel 4.4 Lama Rawatan Rata-rata penderita TB Paru dengan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat Tahun 2012
Lama Rawatan Rata-rata Penderita Tuberkulosis Paru Dengan Komplikasi
Mean
SD (Standard Deviation) 95% CI
Dari tabel 4.4 dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata penderita TB paru dengan komplikasi adalah 4,76 hari atau 5 hari. SD (Standar Deviasi) 2,8510 hari dengan lama rawatan minimum 1 hari dan lama rawatan maksimum 11 hari.
4.3 Analisa Statistik
4.3.1 Keluhan Utama Berdasarkan Komplikasi
Proporsi keluhan utama penderita TB paru berdasarkan komplikasi di RSUD Rantauprapat tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.5 Distribusi Proporsi Keluhan Utama Penderita TB paru
Berdasarkan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat Tahun 2012
No
Komplikasi
Keluhan Utama Total
Batuk Batuk
100,0 %. Pada penderita TB Paru dengan komplikasi pneumotoraks proporsi keluhan utama tertinggi adalah sesak napas 50,0 %.
Hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan kerena terdapat 8 sel (53,3%) yang memiliki nilai expected count kurang dari 5.
4.3.2 Tipe Penderita Berdasarkan Komplikasi
Proporsi tipe penderita TB paru berdasarkan komplikasi di RSUD Rantauprapat tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.6 Distribusi Proporsi Tipe Penderita TB paru Berdasarkan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat Tahun 2012
Hasil analisis statistik dengan uji Chi-square diperoleh nilai p>0,05 yang artinya tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara tipe penderita berdasarkan komplikasi.
4.3.3 Kategori Pengobatan Berdasarkan Komplikasi
Proporsi kategori pengobatan TB paru berdasarkan komplikasi di RSUD Rantauprapat tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.7 Distribusi Proporsi Kategori Pengobatan Penderita TB Paru Berdasarkan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD
Rantauprapat Tahun 2012
No Komplikasi
Kategori Pengobatan
Total
Kategori 2 Tidak Tercatat
f % f % f %
1. Efusi pleura 58 93,5 4 6,5 62 100,0
2. Hemoptisis 16 84,2 3 15,8 19 100,0
3. Pneumotoraks 21 80,8 5 19,2 26 100,0
Berdasarkan tabel 4.7 dapat dilihat bahwa penderita TB paru dengan komplikasi efusi pleura proporsi kategori pengobatan tertinggi adalah kategori 2 93,5% sedangkan tidak tercatat kategori pengobatan 6,5%. Pada penderita TB paru dengan komplikasi hemoptisis proporsi kategori pengobatan tertinggi adalah kategori 2 84,2% sedangkan tidak ada kategori pengobatan 15,8%. Pada penderita TB paru dengan komplikasi pneumotoraks proporsi kategori pengobatan tertinggi adalah kategori 2 80,8% sedangkan tidak tercatat kategori pengobatan 19,2%.
4.3.4 Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Komplikasi
Lama rawatan rata-rata penderita TB paru berdasarkan komplikasi di RSUD Rantauprapat tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.8 Lama Rawatan Rata-rata Penderita TB Paru Berdasarkan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat 2012
No. Komplikasi Lama Rawatan Rata-rata Bayi
f X SD
Berdasarkan tabel 4.8 dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata penderita TB paru dengan komplikasi efusi pleura 5,10 (5 hari), hemoptisis (4 hari), pneumotoraks 4,69 (5 hari).
Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis diperoleh p>0,05 artinya tidak ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan komplikasi.
4.3.5 Keadaan Sewaktu Pulang berdasarkan komplikasi
Proporsi keadaan sewaktu pulang penderita TB paru berdasarkan komplikasi di RSUD Rantauprapat tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.9 Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang Penderita TB Paru Berdasarkan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat Tahun 2012
Berdasarkan tabel 4.9 dapat dilihat bahwa penderita TB paru dengan komplikasi efusi pleura proporsi keadaan sewaktu pulang tertinggi adalah PBJ 56,5% sedangkan terrendah adalah pindah 1,6%. Pada penderita TB paru dengan komplikasi hemoptisis proporsi keadaan sewaktu pulang tertinggi adalah meninggal 36,8% sedangkan terrendah adalah pindah 10,6%. Pada penderita TB paru dengan komplikasi pneumotoraks proporsi keadaan sewaktu pulang tertinggi adalah PBJ 50,0 % sedangkan terrendah adalah pindah 0%.
CFR berdasarkan komplikasi lebih besar pada penderita TB paru yang mengalami komplikasi hemoptisis 36,8%, pneumotoraks 30,8%, sedangkan efusi pleura 8,1%.
Hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 5 sel (41,7%) yang memiliki nilai expected count kurang dari 5.
4.3.6 Sumber biaya berdasarkan komplikasi
Proporsi sumber biaya TB paru berdasarkan komplikasi di RSUD Rantauprapat tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.10 Distribusi Proporsi Sumber Biaya Penderita TB Paru Berdasarkan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat Tahun 2012
Berdasarkan tabel 4.10 dapat dilihat bahwa penderita TB paru dengan komplikasi efusi pleura proporsi sumber biaya tertinggi adalah bukan biaya sendiri 82,3%, sedangkan biaya sendiri 17,7%. Pada penderita TB paru dengan komplikasi hemoptisis proporsi sumber biaya tertinggi adalah bukan biaya sendiri 89,5% sedangkan biaya sendiri 10,5%. Pada penderita TB paru dengan komplikasi pneumotoraks proporsi sumber biaya tertinggi adalah bukan biaya sendiri 92,3%, sedangkan biaya sendiri 7,7%.
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Penderita TB Paru dengan Komplikasi Berdasarkan
Sosiodemografi
5.1.1 Umur
Proporsi umur penderita TB paru dengan komplikasi yang rawat inap di RSUD Rantauprapat tahun 2012 dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 5.1 Diagram Pie Distribusi Proporsi Umur Penderita TB Paru dengan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat Tahun 2012
Dari gambar 5.1 dapat dilihat bahwa proporsi umur penderita TB paru dengan komplikasi lebih besar pada kelompok umur produktif 15-55 tahun 81,3% dibandingkan dengan kelompok umur non produktif <15 tahun dan >55 tahun 18,7%. Banyaknya penderita tuberkulosis paru dengan komplikasi pada kelompok umur produktif hal ini dipengaruhi oleh kebanyakan kasus tuberkulosis paru 85% terjadi pada usia produktif.5
81,3% 18,7%
Umur
15-55 tahun
Keadaan ini diduga ada hubungannya dengan tingkat aktivitas dan perkerjaan sebagai tenaga kerja produktif yang memungkinkan untuk mudah tertular dengan kuman TB setiap saat dari penderita, khususnya dengan penderita BTA positif. Mobilitas dan interaksi sosial yang lebih tinggi pada kelompok umur produktif, yang harus berkerja untuk memperoleh pemasukan guna memenuhi kebutuhan keluarga, memungkinkan mereka untuk terinfeksi dari orang lain menjadi lebih tinggi.35
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Gea di Puskesmas gunung sitoli tahun 2000-2004 menyatakan bahwa penderita penyakit tuberkulosis paru terbanyak 67% pada kelompok umur produktif 15-55 tahun.22
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Eka di rumah sakit Santa Elisabet Medan tahun 2004-2007 menyatakan bahwa penderita penyakit tuberkulosis paru terbanyak 59,9% pada kelompok umur produktif 15-55 tahun.36
5.1.2 Jenis Kelamin
Gambar 5.2 Diagram Pie Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Penderita TB Paru dengan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD
Rantauprapat Tahun 2012
Dari gambar 5.2 dapat dilihat bahwa proporsi jenis kelamin penderita TB paru dengan komplikasi lebih besar adalah laki-laki 90,7% sedangkan perempuan 9,3%. Kejadian tuberkulosis dilaporkan lebih banyak pada laki-laki hampir disetiap negara di dunia, terutama di negara-negara dengan pendapatan perkapita masyarakatnya masih rendah. Di setiap dunia lebih banyak laki-laki dibandingkan dengan wanita yang menderita TB paru tiap tahunnya, dan secara global ada lebih 70% laki-laki dengan BTA positif dibandingkan wanita.37
Beberapa penjelasan lainnya tentang perbedaan berbandingan penyakit infeksi TB paru pada laki-laki dan wanita juga telah diteliti, diantaranya:
1. Adanya perbedaan biologi pada laki-laki dan wanita, seperti perbedaan tingkat imunitas.38
90,7% 9,3%
Jenis Kelamin
Laki-laki
2. Perbedaan terhadap pajanan (eksposure) kepada M. tuberkulosis yang dihubungkan dengan perbedaan pola kehidupan/aktivitas interaksi sosial. Adanya perbedaan status (interaksi) sosial dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan, serta adanya perbedaan aktivitas sehari-hari menyebabkan kemungkinan pajanan infeksi tuberkulosis lebih banyak terhadap laki-laki.39,40
3. Adanya perbedaan gender dalam mencari bantuan kesehatan kepada tenaga profesional juga dapat mempengaruhi tingginya pencatatan kejadian tuberkulosis paru pada laki-laki, dan hal ini telah dilaporkan di berbagai negara.41 Di Pakistan, perempuan dengan gejala penyakit pernapasan memiliki lebih sedikit akses terhadap pelayanan kesehatan rawat jalan bila dibandingkan dengan laki-laki.40
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Fredy di rumah sakit umum DR. Soedarso Pontianak bulan september - november tahun 2010 menyatakan bahwa penderita penyakit tuberkulosis paru terbanyak 60% pada laki-laki.11
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Eka di rumah sakit Santa Elisabet Medan tahun 2004-2007 menyatakan bahwa penderita penyakit tuberkulosis paru terbanyak 68,3% pada laki-laki.36
5.1.3 Pendidikan
Gambar 5.3 Diagram Pie Distribusi Proporsi Pendidikan Penderita TB Paru dengan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat Tahun 2012
Dari gambar 5.3 dapat dilihat bahwa proporsi pendidikan penderita TB paru dengan komplikasi tertinggi adalah pendidikan SD/Sederajat 52,3% sedangkan terrendah pendidikan akademi/sarjana 1,9%.
Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis. Rendahnya tingkat pendidikan akan berpengaruh pada pemahaman tentang penyakit tuberkulosis. Masyarakat yang tingkat pendidikannya lebih tinggi, lebih waspada terhadap TB paru (gejala, cara penularan, pengobatan) bila dibandingkan dengan masyarakat yang hanya menempuh pendidikan dasar atau lebih rendah. Tingkat pendidikan yang rendah dihubungkan dengan rendahnya tingkat kewaspadaan terhadap penularan TB paru.40
Tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah dan lingkungan yang memenuhi syarat
52,3%
23,4% 22,4%
1,9%
Pendidikan
SD/Sederajat
SMP/Sederjat
SMA/Sederajat
kesehatan, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis perkerjaannya.42
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Rusnoto di Semarang tahun 2006 menyatakan bahwa penderita penyakit tuberkulosis paru terbanyak 31,1% pada pendidikan SD.28
5.4 Pekerjaan
Proporsi pekerjaan penderita TB paru dengan komplikasi yang rawat inap di RSUD Rantauprapat tahun 2012 dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 5.4 Diagram Pie Distribusi Proporsi Pekerjaan Penderita TB Paru dengan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD Rantauprapat Tahun 2012
Dari gambar 5.4 dapat dilihat bahwa proporsi pekerjaan penderita TB paru dengan komplikasi tertinggi adalah petani 41,1% sedangkan terrendah tidak berkerja 6,5%. Pekerjaan sangat berhubungan erat dengan penghasilan atau pendapatan
41,1%
31.0% 21.4%
6,5%
Pekerjaan
Petani
Wiraswasta
Buruh/Karyawan
dengan kemiskinan dan sanitasi lingkungan yang buruk. Tuberkulosis adalah penyakit yang sering terjadi pada masyarakat miskin (disease of the poor). Sebuah penelitian yang dilakukan di India menunjukkan adanya korelasi yang kuat atara pendapatan dengan tuberkulosis. Mereka yang memperoleh pendapatan kurang dari US$ 7 per bulannya memiliki prevalensi dua kali lipat kejadian TB jika dibandingkan dengan yang berpendapatan lebih dari US$ 20 per bulannya.39 Penelitian lainnya juga dilakukan di India memperlihatkan hubungan yang signifikan antara pendapatan yang tinggi dengan penurunan kejadian tuberkulosis.43
5.5 Tempat Tinggal
Proporsi tempat tinggal penderita TB paru dengan komplikasi yang rawat inap di RSUD Rantauprapat tahun 2012 dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 5.5 Diagram Pie Distribusi Proporsi Tempat Tinggal Penderita TB Paru dengan Komplikasi yang Rawat Inap di RSUD
Rantauprapat Tahun 2012
52,3% 47,7%
Tempat Tinggal
Luar Wilayah Rantauprapat