• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Business Judgement Rule Pada Dewan Komisaris Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Business Judgement Rule Pada Dewan Komisaris Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS BUSINESS JUDGEMENT RULE PADA DEWAN KOMISARIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

TENTANG PERSEROAN TERBATAS

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

NIM. 060200017

TRI YUWANDANI HAYUNINGTYAS

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TINJAUAN YURIDIS BUSINESS JUDGEMENT RULE PADA DEWAN KOMISARIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

TENTANG PERSEROAN TERBATAS SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

NIM. 060200017

TRI YUWANDANI HAYUNINGTYAS

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui oleh:

Ketua Departemen

NIP. 195603291986011001 Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H. M.H.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H. M.H.

NIP. 195603291986011001 NIP. 196302151989032002 Dr. Sunarmi, SH, M.Hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang sedalam-dalamnya kehadirat Allah SWT karena atas

berkat dan rahmat-Nya, saya masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta

kemudahan dalam mengerjakan skripsi ini serta Nabi Muhammad SAW atas do’a

dan syafaatnya.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh

gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam

penulisan skripsi ini disadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh

masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati akan

menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Namun selepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan skripsi ini,

atau tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, untuk itu

diucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua Departemen

Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus

juga sebagai Pembimbing I yang telah memberikan bantuan dan

bimbingan dalam penulisan skripsi ini;

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Umum Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., sebagai Pembantu Umum

Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., sebagai Pembantu Umum Dekan III

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II serta

sebagai Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dan

bimbingan dalam penulisan skripsi ini;

7. Bapak Sunarto Ady Wibowo, S.H., M.Hum., sebagai Penasihat Akademik

(4)

8. Ibu T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum., Ibu Windha, S.H.,

M.H., Bapak Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., Ibu Ningrum Natasya Sirait,

S.H., MLI., para Dosen dan Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah membantu selama menjalani studi di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Juga diucapkan terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua

yang telah sabar dan mencurahkan segenap cinta dan kasih sayangnya dan

segala pengorbanannya serta doanya sehingga dapat mencapai pendidikan

tinggi ini, kepada orang tua yang paling disayangi dan dicintai;

Ayahanda Irawan Noto (motivator paling hebat bagi semua anak-anaknya

agar bisa mendapatkan hidup yang layak dan lebih baik lagi); Ibunda

Rosnani S. (perjuangan Mama tidak akan pernah tergantikan oleh apapun,

terima kasih Ma); Briptu Ananda Syukro Wiji, Dwi Ryandono

Pramayudha, Marza Maulana Rughasy (rajin belajar ya dek).

10.Juga tidak lupa diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk

keluarga besarku, Mbah Kakung Alm. H. Murmin dan Mbah Putri Almh.

Hj. Amini, Kakek M. Sidik yang selalu menjagaku, Nenek Mamak Almh.

Rughayah (mak, maafin kalau ais belum bisa membahagiakan mamak),

Wak dr. Tuty Irawaty, Bude Fjarwati, Pakde Didi, Bulek Indah dan Bulek

Ayu sekeluarga, yang telah begitu baik padaku selama ini;

11.Buat Agus Rinaldi, S.H., atas kasih sayang, cinta, dan perhatiannya,

kesabaran dan kesetiaannya, semoga semuanya tak kan lekang oleh waktu;

12.Terima kasih diucapkan kepada para sepupuku, yang tetap klop walaupun

jarang ketemu, ’88 (Asa, Doni (makasih kiriman bukunya ya), Bagus),

Kiki, Putri, Mbak Tika, Yoyo, Dika, Nova, Bobi.

13.Untuk sahabat-sahabatku, Faradila Yulistari Sitepu, Sri Rahayul Bayti

Nasution, Aztrini Laillatul Mina, Ulfa Hayati Nasution, Imam Bukhari

Nasution, semangat terus ya.

14.Serta untuk semua teman-teman yang pernah hadir dan menetap dalam

hatiku yang benar-benar tak terlupakan. Untuk waktu dikala jalan-jalan,

(5)

kejadian yang menghadang di depan kita. Semua itu akan menjadi

kenangan untuk tersenyum dalam hati sepanjang masa.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua

pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu

hukum di Indonesia.

Wassalamualaikum wr. wb.

Medan, November 2009

Penulis,

(6)

TINJAUAN YURIDIS BUSINESS JUDGEMENT RULE PADA DEWAN KOMISARIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

TENTANG PERSEROAN TERBATAS

*) Tri Yuwandani Hayuningtyas **) Bismar Nasution

***) Sunarmi

ABSTRAK

Sebelum lahirnya Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Dewan Komisaris hanya memiliki peran dan fungsi yang sangat kecil dalam suatu Perseroan Terbatas, bahkan sering kali terkesan hanya sebagai rubber stamp atau perwakilan dari para pemegang saham saja. Sehingga fungsi sebenarnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal hakikat sebenarnya dari Dewan Komisaris ini adalah sebagai pemberi nasihat bagi Direksi. Namun hal tersebut telah dipertegas dengan dikeluarkannya Undang-undang Perseroan Terbatas yang baru sehingga kewenangan Dewan Komisaris menjadi lebih besar dan nyata dalam jalannya suatu Perseroan Terbatas.

Di dalam UUPT tersebut juga dikembangkan suatu konsep baru yang dikenal dengan Business Judgement Rule. Semula prinsip ini diberlakukan bagi Direksi dari pertanggungjawaban hokum atas setiap keputusan bisnis yang diambilnya apabila keputusan tersebut nantinya menimbulkan kerugian bagi Perseroan. Hal ini berlaku apabila Direksi dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan penuh kehati-hatian, tidak mempunyai benturan kepentingan dan telah mengambil tindakan untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Prinsip ini kemudian mengalami perkembangan, sehingga tidak hanya berlaku bagi Direksi, tetapi juga bagi Dewan Komisaris. Bedanya, kalau prinsip Business Judgement Rule pada Direksi ditekankan kepada perlindungan terhadap keputusan bisnis yang diambilnya, pada Dewan Komisaris lebih ditekankan pada perlindungan terhadap tindakan pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi.

Dewan Komisaris dilindungi oleh prinsip Business Judgement Rule jika ia dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan pengawasan terhadap pengurusan Direksi dan memberikan nasihat kepada Direksi dengan itikad baik dan kehati-hatian, tidak mempunyai kepentingan pribadi atas tindakan tersebut serta telah memberikan nasihat kepada Direksi agar tidak terjadi hal yang merugikan Perseroan Terbatas, termasuk kepailitan.

Kata Kunci: Business Judgement Rule, Dewan Komisaris, Perseroan Terbatas

*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK v

DAFTAR ISI vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1

B. Perumusan Masalah 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 6

D. Keaslian Penulisan 8

E. Tinjauan Kepustakaan 8

F. Metode Penelitian 9

G. Sistematika Penulisan 10

BAB II PENGATURAN BUSINESS JUDGEMENT RULE DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS A. Pengertian Business Judgement Rule 12

B. Perkembangan Prinsip Business Judgement Rule 24

C. Business Judgement Rule dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 34

BAB III TUGAS DAN KEWENANGAN DEWAN KOMISARIS DALAM PERSEROAN TERBATAS A. Dewan Komisaris sebagai Organ Perseroan Terbatas 42

B. Kewajiban Dewan Komisaris dalam Perseroan Terbatas 54

(8)

BAB IV PRINSIP BUSINESS JUDGEMENT RULE TERHADAP DEWAN KOMISARIS DALAM PERSEROAN TERBATAS

A. Tanggung Jawab Dewan Komisaris dalam Perseroan Terbatas 61

B. Tanggung Jawab Dewan Komisaris atas Kepailitan 67

C. Prinsip Business Judgement Rule terhadap Dewan Komisaris

Dalam Perseroan Terbatas 72

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 79

B. Saran 82

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan pembangunan hukum nasional dilakukan diantaranya dengan

membentuk peraturan perundang-undangan yang menampung aspirasi

masyarakatnya, berintikan keadilan dan kebenaran yang mengabdi kepada

kepentingan rakyat dan bangsa yang tentunya dibuat dan dilaksanakan dalam

bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut, antara lain

dilakukan dengan:

1. menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang ada yang sudah

tidak sesuai dengan perkembangan zaman;

2. membentuk peraturan perundang-undangan yang baru untuk mempercepat

reformasi, mendukung pemulihan ekonomi, dan perlindungan hak asasi

manusia;

3. membentuk peraturan perundang-undangan baru sesuai dengan tuntutan

masyarakat dan kemajuan zaman.1

Sejalan dengan kebijakan dasar tersebut, keberadaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas merupakan salah satu

undang-undang yang perlu disempurnakan untuk diubah dan diganti dengan yang baru.

Penyempurnaan tersebut dimaksudkan untuk lebih meningkatkan peranan

Perseroan Terbatas dalam pembangunan perekonomian nasional dan sekaligus

1

(10)

memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi

perkembangan perekonomian di era globalisasi.

Maka dari itu kemudian ini lahirlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas (yang selanjutnya disebut UUPT). Lahirnya

UUPT yang baru vmemberikan warna baru bagi berbagai pelaku usaha di

berbagai bidang. Beberapa isu baru yang berkembang dalam UUPT antara lain

diadopsinya prinsip tanggung jawab sosial dan lingkungan (Corporate Social

Responsibility/CSR), pembelian kembali saham oleh perusahaan (Buy Back),

pemisahan perusahaan tidak murni (Spin Off), larangan kepemilikan silang (Cross

Holding), dan prinsip Business Judgement Rule yang tidak saja berlaku bagi

Direksi, tetapi juga bagi Dewan Komisaris.

Perubahan signifikan yang terdapat dalam UUPT adalah semakin besarnya

tanggung jawab Dewan Komisaris. Secara eksplisit dijelaskan bahwa setiap

anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian

Perseroan Terbatas apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai manjalankan

tugasnya.2

Kewajiban Dewan Komisaris adalah membuat risalah rapat Dewan

Komisaris dan menyimpan salinannya, melaporkan kepada Perseroan Terbatas

mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya pada Perseroan Terbatas

tersebut dan Perseroan Terbatas lain serta memberikan laporan tentang tugas

pengawasan yang telah dilakukan selama tahun buku yang baru lampau kepada

Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut RUPS).3

2

Pasal 114 ayat (3) UUPT.

3

(11)

Pada penjabaran kewajiban ini menuntut para Dewan Komisaris yang

lebih aktif dibandingkan sebelumnya. Dengan demikian tidak ada lagi ruang bagi

anggota Dewan Komisaris yang hanya sekedar aksesoris atau rubber stamp.

Kewajiban ini secara otomatis juga memberikan warning kepada anggota Dewan

Komisaris karena apabila kewajiban ini tidak dijalankan maka sanksi hukum akan

dijatuhkan, karena undang-undang menempati posisi kedua setelah UUD dalam

sistem hukum Indonesia.

Dewan Komisaris memiliki 2 (dua) wewenang yang diatur dalam UUPT,

yaitu wewenang preventif dan wewenang represif.4 Wewenang preventif Dewan

Komisaris yaitu di dalam Anggaran Dasar Perseroan dapat ditetapkan

kewenangan Dewan Komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan

kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.5

Kewenangan Dewan Komisaris yang bersifat represif yaitu bahwa anggota

Direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh Dewan Komisaris dengan

menyebutkan alasannya.6

Dengaan pertimbangan tersebut maka dalam UUPT kembali diperkenalkan

konsep Komisaris Utusan, yang ditunjuk dari anggota Dewan Komisaris yang

sedang menjabat dan ditunjuk berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris. Oleh sebab itu perlu adanya pengawasan melekat oleh

Dewan Komisaris.

7

Komisaris Utusan merupakan perwakilan dari Dewan Komisaris yang

melakukan pengawasan dengan lebih intens (dengan komitmen waktu yang lebih

banyak) dibandingkan anggota Dewan Komisaris lainnya. Dalam menjalankan

4

IKAI, Artikel: Kedudukan dan Tanggung Jawab Komisaris dan Komite Audit Pasca UU Perseroan Terbatas, terakhir diakses dari_____________

5

Pasal 117 ayat (1) UUPT.

6

Pasal 106 UUPT.

7

(12)

fungsinya Komisaris Utusan tidak boleh keluar dari koridor tugas dan tanggung

jawab Dewan Komisaris.

Perluasan tanggung jawab Dewan Komisaris dalam UUPT membawa

konsekuensi hukum yang cukup berat. Setiap anggota Dewan Komisaris wajib

dengan itikad baik dan bertanggung jawab dalam pengawasan dan pemberian

nasihat kepada Direksi untuk kepentingan Perseroan Terbatas.8

Begitu pula jika terjadi pailit, apabila kepailitan terjadi akibat kesalahan

atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap

pengurusan yang dilaksanakan Direksi dan kekayaan Perseroan Terbatas tidak

cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan Terbatas akibat kelalaian

tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut

bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi. Setiap anggota Dewan Komisaris juga bertanggung jawab secara pribadi

atas kerugian Perseroan Terbatas apabila yang bersangkutan lalai dalam

menjalankan tugasnya.

Lalai di sini dimaksudkan sebagai tidak melakukan yang selayaknya,

sepatutnya, sewajarnya dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris dalam keadaan

tertentu. Dengan demikian seorang anggota Dewan Komisaris harus proaktif

dalam menjalankan fungsi pengawasan.

9

Satu hal yang harus dipahami mengenai tanggung renteng adalah bahwa

tanggung renteng berlaku untuk masing-masing (jointly and severely), tidak ada

rumusan proporsi maupun urutan prioritas, misalnya Direktur Utama lebih besar

atau Komisaris Utama harus bertanggung jawab terlebih dahulu. Namun demikian

8

Pasal 114 ayat (2) UUPT.

9

(13)

secara internal (diantara Direksi dan Dewan Komisaris) dapat dibicarakan secara

proporsional besaran tanggung jawab dari masing-masing individu.

Berbagai konsekuensi hukum di atas dapat dihindari dan Dewan

Komisaris memperoleh kebebasan (diskulpasi) bila hal tersebut terjadi bukan

karena kesalahan ataupun kelalaiannya, telah beritikad baik dan penuh

kehati-hatian, tidak mempunyai kepentingan pribadi atas tindakan tersebut serta telah

memberikan nasihat kepada Direksi agar tidak terjadi hal yang merugikan

Perseroan Terbatas, termasuk kepailitan.

Hal inilah yang merupakan inti dari Business Judgement Rule terhadap

Dewan Komisaris dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap pengurusan

Perseroan Terbatas yang dilakukan oleh Direksi.

B. Perumusan Masalah

Sesuai dengan judul skripsi ini, yaitu “Tinjauan Yuridis Business

Judgement Rule Pada Dewan Komisaris Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas”, maka penulis merumuskan beberapa hal yang

akan dikaji dalam tulisan ini, yaitu:

1. Bagaimanakah pengaturan terhadap Perseroan Terbatas?

2. Bagaimanakah pengaturan tentang Dewan Komisaris dalam pengawasan

Perseroan Terbatas?

3. Bagaimanakah penerapan prinsip Business Judgement Rule pada Dewan

Komisaris dalam pengawasan Perseroan Terbatas?

(14)

Adapun yang dijadikan tujuan dari pembahasan dalam skripsi ini, yaitu

dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian dari Business Judgement Rule dan

pengaturannya di dalam UUPT;

2. Untuk mengetahui pengertian, macam-macam dan syarat-syarat untuk

menjadi Dewan Komisaris, keduduka n Dewan Komisaris dalam Perseroan

Terbatas serta pengangkatan dan pemberhentian Dewan Komisaris kepada

Perseroan Terbatas, dan pengaturan tentang Dewan Komisaris dalam

UUPT;

3. Untuk mengetahui tanggung jawab Dewan Komisaris dalam Perseroan

Terbatas termasuk dalam hal kepailitan Perseroan Terbatas serta

penerapan Business Judgement Rule pada Dewan Komisaris dalam

pengawasan Perseroan menurut UUPT.

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1. Secara teoritis

Secara teoritis, diharapkan pembahasan terhadap maslah yang akan

dibahas akan melahirkan pemahaman dan pandangan baru tentang

penerapan prinsip Business Judgement Rule pada Dewan Komisaris dalam

pengawasan Perseroan. Mengingat bahwa buku dan literatur yang

membahas masalah ini masih minim, maka pemaparan bahasan tulisan ini

didukung oleh pendapat banyak sarjana ekonomi ahli di bidang hukum

dan ekonomi yang memberikan sumbangsih pemikirannya berkenaan

(15)

pembahasan Business Judgement Rule pada Dewan Komisaris Perseroan

Terbatas.

2. Secara praktis

Secara praktis, pembahasan dalam skripsi ini ditujukan atau dapat

dijadikan bahan acuan bagi kalangan akademisi dalam menambah

wawasan pengetahuan mengenai Business Judgement Rule pada Dewan

Komisaris menurut UUPT.

D. Keaslian Penulisan

Adapun karya ilmiah ini yang berjudul “Tinjauan Yuridis Business

Judgement Rule pada Dewan Komisaris Menurut Undang-undang No. 40 Tahun

2007 Tentang Perseroan Terbatas” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran

secara pribadi, bersifat asli, serta sesuai dengan asas-asas keilmuan, yakni: jujur,

rasional, objektif dan terbuka.

Adapun karya ilmiah ini belum penah ditulis di lingkungan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyusun skripsi ini berdasarkan

referensi buku-buku, hasil pemikiran, bahan-bahan dari media internet, dan juga

melalui bantuan dari berbagai pihak. Semua ini merupakan implikasi pengetahuan

dalam bentuk tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara

ilmiah.

Kalaupun ditemukan pendapat atau kutipan dalam penulisan ini hanya

sebagai faktor pendukung dan pelengkap saja yang memang sangat dibutuhkan

(16)

E. Tinjauan Kepustakaan

Berdasarkan UUPT, Dewan Komisaris adalah organ Perseroan yang

melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada

umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi

nasihat kepada Direksi.10

Setiap perusahaan wajib memiliki minimal seorang Komisaris.

Pengawasan dan pemberian nasihat dari Dewan

Komisaris dilakukan untuk kepentingan Perseroan Terbatas dan sesuai dengan

maksud dan tujuan Perseroan Terbatas.

11

Dalam

akte pendirian ataupun anggaran dasar susunan Dewan Komisaris terdiri atas 1

(satu) orang anggota atau lebih, atau Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari

1 (satu) orang anggota merupakan majelis (tribunal commisioners).12

Bahkan untuk Perseroan Terbatas tertentu wajib memiliki paling sedikit 2

(dua) orang anggota Dewan Komisaris, yaitu Perseroan Terbatas yang kegiatan

usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat,

Perseroan Terbatas yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat,

dan Perseroan Terbuka.13

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar dapat mencapai tujuan lebih

terarah serta dapat dipertanggungjawabkan, maka skripsi ini menggunakan

penelitian yang bersifat deskriptif analitis dan dilakukan melalui metode

10

Pasal 1 angka 6 UUPT.

11

Munar Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung: Perseroan Terbatas. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 106.

12

Sujud Margono, Hukum Perusahaan Indonesia Catatan atas UU Perseroan Terbatas, (Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2008), hlm. 83.

13

(17)

pendekatan yuridis normatif. Adapun pengumpulan data dari tulisan ini, dilakukan

melalui studi pustaka (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan

cara meneliti bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang ingin

diteliti. Bahan pustaka yang dijadikan sumber dari penelitian disebut juga data

sekunder.

Metode library research ini dilakukan melalui upaya untuk mempelajari

sumber-sumber/bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi

ini. Sumber-sumber/bahan tertulis tersebut berupa buku-buku, artikel,

dokumen-dokumen, hasil seminar, diskusi, simposium dan sebagainya.14

G. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya

diuraikan secara sistematis dan diperlukan suatu sistematika penulisan yang

teratur yang penulis bagi menjadi bab per bab, dimana masing-masing bab ini

saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan

skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar

belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika

penulisan.

Bab II : Bab ini menjelakan tinjauan umum terhadap pengertian Business

Judgement Rule dan pengaturannya di dalam UUPT.

14

(18)

Bab III : Bab ini menjelaskan pengaturan tentang Dewan Komisaris dalam

pengawasan Perseroan Terbatas, yang mencakup tentang organ

Perseroan Terbatas, berikut tata cara pengangkatan, penggantian, dan

pemberhentian Dewan Komisaris, kewajiban, serta tugas dan wewenang

Dewan Komisaris.

Bab IV : Bab ini merupakan penelaahan lanjutan mengenai tanggung jawab

Dewan Komisaris dan penerapan Business Judgement Rule pada Dewan

Komisaris menurut UUPT.

Bab V : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi

(19)

BAB II

PENGATURAN BUSINESS JUDGEMENT RULE

DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

A. Pengertian Business Judgement Rule

Business Judgement Rule merupakan suatu konsep corporate governance

yang berasal dari Amerika yang telah menjadi bagian dari tradisi hukum common

law lebih dari 150 tahun. Konsep ini secara tradisional digunakan sebagai tameng

untuk mencegah pengadilan-pengadilan di Amerika untuk mempertanyakan

pengambilan keputusan usaha oleh Direksi, yang diambil dengan itikad baik,

tanpa kepentingan pribadi, dan keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan

bahwa mereka, para anggota Direksi, telah mengambil suatu keputusan yang

menguntungkan Perseroan.15

Isu ini memang sangat penting bagi perlindungan Direksi yang selama ini

tidak jelas diatur dalam UUPT yang lama. Dengan diadopsinya prinsip ini,

diharapkan para Direksi berani mengambil resiko dalam keputusan-keputusan Jika Direksi berhak atas perlindungan Business Judgement Rule maka

pengadilan tidak boleh ikut campur apalagi mempertanyakan keputusan yang

diambil Direksi.

Prinsip ini memberikan safe harbour bagi para Direksi yang mengambil

calculated business decision untuk tidak dipertanggungjawabkan secara hukum

apabila nantinya keputusan bisnisnya merugikan perusahaan.

15

(20)

bisnisnya karena tanpa adanya keberanian untuk mengambil resiko ini,

perkembangan bisnis di Indonesia dapat terhambat.

Doktrin ini mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya dengan

segala kekurangannya, yang sering mengalami pencapaian atau harapan dari

prediksi yang dirancang. Seorang Direksi, bagaimanapun tidak mungkin selalu

benar dalam menjalankan usahanya, karena error (kekeliruan) adalah kelengkapan

manusia. Jadi, sudah sepantasnya jika Direksi tidak digeneralisir untuk

bertanggung jawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan (mere errors of

judgement) tanpa mempertimbangkan unsur manusiawinya.

Oleh karena itu doktrin Business Judgement Rule memberikan

perlindungan kepada Direksi atas kemungkinan adanya kesalahan yang

diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi.

Henry Campbell Black merumuskan:16

16

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6th ed., (St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1990), hlm. 200.

Business Judgement Rule. This rule immunizes management from liability in corporation undertaken within both power of corporatinand authority of management where there is reasonable basis to indicate that transaction was made with due care and in good faith.

(Aturan ini memberi kekebalan kepada manajemen dari tanggung jawab perusahaan yang diambil dalam hal kekuasaan perusahaan dan wewenang manajemen dimana terdapat dasar-dasar yang masuk akal untuk mengindikasikan bahwa transaksi tersebut dilakukan dengan hati-hati dan beritikad baik).

Dari pengertian yang diberikan di atas dapat diketahui bahwa Business

Judgement Rule melindungi Direksi atas setiap keputusan bisnis yang merupakan

transaksi Perseroan, selama hal tersebut dilakukan dalam batas-batas kewenangan

(21)

Aturan Business Judgement Rule didasarkan pada konsepsi bahwa Direksi

lebih tahu dari siapapun juga mengenai keadaan perusahaannya dan karenanya

landasan dari setiap keputusan yang diambil olehnya.

Untuk itu maka Direksi selama dan sepanjang dalam mengambil

keputusannya, tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan yang memberikan

manfaat pribadi (self-dealing) atau tidak mempunyai kepentingan pribadi

(personal interest) dan telah melaksanakan prinsip kehati-hatian dengan itikad

baik.

Keputusan bisnis yang diambil Direksi tidak dapat ditentang atau

dipertanyakan, kecuali keputusan tersebut telah diambil secara ceroboh (in

negligent manner), dilakukan dengan cara curang (tainted by fraud), adanya

benturan kepentingan (conflict of interest) atau didasarkan pada suatu perbuatan

melawan hukum (illegality).

Business Judgement Rule secara tradisional, memang dikonsep untuk

melindungi kepentingan anggota Direksi dari pertanggungjawaban atas setiap

keputusan usaha tertentu yang diambilnya yang menerbitkan atau mengakibatkan

kerugian bagi Perseroan.17

Business Judgement Rule dapat juga dilihat sebagai suatu standard of

conduct (standar perilaku) yang memberitahukan apa dan bagaimana seseorang

harus bertindak dalam suatu keadaan tertentu atau untuk memutuskan suatu hal

tertentu. Untuk dapat menilai apakah telah terjadi pelanggaran terhadap Business

Judgement Rule, maka harus ada standard of review, yang menjadi dasar bagi

17

(22)

penilaian apakah tindakan yang dilakukan memang sudah sewajarnya dan

seharusnya dilakukan.18

Besarnya pengaruh prinsip Business Judgement Rule telah menyebabkan

beberapa negara bagian di Amerika mengecualikan berbagai kerugian Perseroan

dari tanggung jawab Direksi, kerugian yang terbit sebagai akibat perbuatan Dengan demikian jelaslah bahwa perlindungan Business Judgement Rule

dikatakan tidak berlaku bagi Direksi, jika dalam tindakan atau perbuatannya

diketahui bahwa ia telah berupaya untuk mengendapkan kepentingan pribadinya.

Ini berarti judgement atau keputusan yang telah diambilnya itu tidak dapat

dikatakan sebagai discretionary exercises of power on behalf of the corporation

karena tindakan atau perbuatan hukum tersebut di dalamnya mengandung

kecurangan (fraud), dan benturan kepentingan (conflict of interest).

Perkembangan mengenai Business Judgement Rule belakangan ini

menunjukkan bahwa hakim pengadilan dalam memeriksa perkara yang terkait

dengan Business Judgement Rule ini, tidak hanya melihat semata-mata pada

keberadaan conflict of interest, namun lebih kearah concept of neutrality (konsep

netralis) yang melahirkan fairness (keadilan).

Yang dimaksud dengan konsep netralis ini adalah bahwa suatu perbuatan

hukum yang di dalamnya terdapat unsur benturan kepentingan antara kepentingan

salah satu atau lebih anggota Direksi maupun Dewan Komisaris dengan

kepentingan Perseroan masih dapat dilaksanakan, selama dan sepanjang perbuatan

tersebut adalah wajar dan telah disetujui oleh pihak-pihak yang tidak memiliki

benturan kepentingan.

18

(23)

Direksi Perseroan berikut di bawah ini, tidak dapat diberlakukan Business

Judgement Rule. Tindakan-tindakan tersebut adalah:19

1. pelanggaran terhadap duty of loyality, khususnya terkait dengan

keterbukaan informasi dari transaksi yang mengandung benturan

kepentingan;

2. melakukan atau tidak melakukan suatu hal tidak dengan itikad baik atau

melibatkan perbuatan yang dengan sengaja melawan hukum atau patut

diduga akan melawan hukum ;

3. pembagian dividen atau pembelian kembali saham yang tidak layak;

4. transaksi yang membawa akibat Direksi memperoleh keuntungan secara

tidak layak.

Dari berbagai penjelasan tersebut di atas, secara umum dapat dikatakan

bahwa pertimbangan dan keputusan seorang anggota Direksi tidak dapat diganggu

gugat kecuali apabila keputusan tersebut didasarkan atas suatu kecurangan

(fraud), atau lahir dari tidak adanya keterbukaan mengenai keberadaan benturan

kepentingan (conflict of interest), atau terjadi sebagai akibat atau merupakan

kesalahan atau perbuatan yang melanggar hukum (illegality), dan telah

menerbitkan kerugian sebagai akibat kelalaian berat (gross negligence).

Dari keempat hal menyebabkan hapusnya perlindungan Business

Judgement Rule bagi Direksi, masalah penentuan kelalaian adalah hal yang paling

sulit untuk ditegaskan. Sehubungan dengan hal tersebut, dikatakan bahwa

19

(24)

penerapan standard of careful conduct bagi Direksi adalah antara lain sebagai

berikut:20

1. Direksi harus secara sewajarnya terus-menerus melakukan monitoring dan

pengawasan terhadap jalannya usaha Perseroan dan mengevaluasi apakah

kegiatan usaha tersebut telah dikelola atau diurus dengan baik;

2. Direksi harus secara sewajarnya mengikuti guna memperoleh data dan

informasi yang diperlukan melalui proses monitoring atau dengan cara

lainnya agar Direksi terus memperoleh informasi yang up to date;

3. Direksi harus membuat keputusan yang wajar terhadap hal-hal yang

memang dan harus diputuskan diambil;

4. Direksi harus melaksanakan proses pengambilan keputusan yang wajar

sebelum suatu keputusan diambil.

Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk memperoleh

perlindungan Business Judgement Rule ada 4 (empat) syarat yang perlu

diperhatikan, yaitu:21

1. Direksi harus mengambil keputusan (judgement). Kelalaian Direksi untuk

meminta dokumen yang diperlukan untuk mengambil suatu keputusan

sudah cukup membuat Direksi yang bersangkutan dikeluarkan dari

perlindungan Business Judgement Rule;

2. Direksi dalam mengambil keputusan harus sudah memperoleh masukan

yang menurutnya selayaknya diperlukan yang terkait dengan keputusan

yang akan diambil tersebut dan bahwa proses atau langkah-langkah yang

sewajarnya untuk mengambil suatu keputusan bisnis sudah juga ditempuh;

20

Melvin A. Einsberg, Whether the Business Judgement Rule Should Be Codified, (Vol. 28, 1998), hlm. 38-39.

21

(25)

3. keputusan tersebut harus diambil berdasarkan pada itikad baik, dengan

pengertian bahwa tidak ada seorangpun dari anggota Direksi yang

mengetahui bahwa akibat dari keputusan tersebut akan menerbitkan

kerugian bagi Perseroan secara nyata, yang merupakan perbuatan curang

atau melawan hukum ;

4. tidak ada seorang anggota Direksi pun yang mempunyai benturan

kepentingan secara finansial dengan kepentingan Perseroan terhadap

keputusan yang diambil tersebut.

Jika dibandingkan dengan fiduciary duty Direksi, maka semua hal yang

dikatakan sebagai pelanggaran yang menyebabkan tidak berlakunya Business

Judgement Rule adalah pelanggaran terhadap fiduciary duty Direksi. Dengan

demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa Direksi yang melanggar

fiduciary duty tidak dilindungi oleh Business Judgement Rule.

Dalam sistem pengurusan dengan dua dewan, Direksi dan Dewan

Komisaris merupakan satu-kesatuan yang dipersamakan dengan sistem

pengurusan dalam satu dewan. Dalam sistem pengurusan satu dewan, Direksi

disamping sebagai pengurus, juga melaksanakan fungsi pengawasan, yang pada

sistem dua dewan dilaksanakan oleh Dewan Komisaris.

Dengan demikian jelaslah bahwa baik bagi Direksi maupun Dewan

Komisaris, keduanya memiliki fiduciary duty, yang jika dilaksanakan

sebagaimana mestinya melindungi kedua dewan tersebut dari setiap tindakan,

perbuatan, maupun keputusan yang diambil olehnya berdasarkan pada prinsip

(26)

Hal ini berarti bahwa segala ketentuan mengenai Business Judgement Rule

yang berlaku bagi Direksi, secara mutatis mutandis juga berlaku bagi Dewan

Komisaris. Hanya saja pada Dewan Komisaris ketentuan mengenai Business

Judgement Rule ini bukan mengenai tindakan atau keputusan dalam fungsi

pengurusan, melainkan dalam fungsi pengawasan.

B. Perkembangan Prinsip Business Judgement Rule

Perseroan Terbatas sebagai suatu perusahaan atau suatu entitas ekonomi

dimana salah satu karakteristiknya adalah terpusatnya manajemen di bawah

struktur Dewan Komisaris. Oleh karena itu sangat penting untuk mengontrol

perilaku mereka. Awal dari pentingnya fungsi control terhadap Direksi tidak

terlepas dari perkembangan teori pemisahan kekayaan dalam hukum perusahaan

itu sendiri.22

Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yakni untuk mencapai

keadilan, khususnya bagi Direksi sebuah Perseroan Terbatas dalam melakukan Berkaitan dengan tindakan Direksi yang mengambil tindakan untuk

kepentingan dan keuntungan bagi Perseroan, terdapat pula doktrin dalam hukum

korporasi yang melindungi Direksi yang beritikad baik tersebut sebagaimana

terdapat dalam teori Business Judgement Rule yang merupakan salah satu teori

yang sangat populer untuk menjamin keadilan bagi Direksi yang mempunyai

itikad baik.

22

(27)

suatu keputusan bisnis.23

Teori ini berasal dari Teori Salomon yang muncul dari Putusan Pengadilan

kasus Salomon v Salomon & Co. Ltd. (1897). Teori ini mengungkapkan bahwa

pada sebuah pembentukan Perseroan Terbatas, perusahaan menjadi bagian

terpisah dari orang yang membentuknya atau menjalankannya, dimana perusahaan

tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan aktivitasnya

bukan kepada orang yang memiliki atau menjalankannya.

Business Judgement Rule merupakan sebuah doktrin

yang telah lama diterapkan untuk melindungi Direksi dalam pertanggungjawaban

hukum yang diambil dari keputusan-keputusan bisnis mereka.

24

Pemegang saham ini seringkali hanya mempunyai pengawasan yang kecil

atau bahkan tidak sama sekali terhadap perilaku seorang Direksi. Oleh karena itu,

dengan adanya pemisahan kekayaan antara Direksi dan perusahaannya, para

Direksi mempunyai moral hazard yang tinggi karena mereka tidak mendapat

konsekuensi finansial yang serius apabila keputusan mereka merugikan

perusahaan. Akibatnya banyak para Direksi yang menggunakan kekuasaannya Dalam perkembangannya, Teori Solomon sering disalahgunakan oleh para

pemilik atau Direksi yang beritikad buruk untuk kepentingannya sendiri. Hal ini

terjadi karena seorang Direksi dari sebuah perusahaan akan selalu berurusan

dengan asset milik orang lain, tidak hanya dalam aspek hukum dimana dia akan

berkuasa penuh untuk mengelola aset-aset perusahaan, tetapi juga perusahaan

mungkin mempunyai pemegang saham yang menginvestasikan uangnya dalam

perusahaan tersebut dengan membeli saham.

23

Teori Business Judgement Rule mengalami perkembangannya sebagai yurisprudensi dalam prinsip common law di Amerika dimulai dengan keputusan Lousiana Supreme Court, dalam kasus Percy v Millaudon pada tahun 1829.

24

(28)

untuk memperkaya diri sendiri yang seringkali menyebabkan perusahaan mereka

mengalami kerugian.

Adanya penyimpangan ini tentunya menimbulkan suatu isu tersendiri

dalam hukum perusahaan. Kerugian perusahaan tentunya dapat merugikan

pemilik modal perusahaan. Investasi mereka akan hilang apabila perusahaan

tersebut menjadi insolven. Demikian juga apabila ada barang atau jasa yang

digunakan oleh perusahaan yang diperoleh secara kredit, Direksi akan mengelola

barang dan jasa yang didalamnya terdapat hak para kreditur yang baru akan hilang

apabila hutang kredit tersebut dibayar lunas.

Dalam hal ini maka dibuatlah pengecualian terhadap teori ini, misalnya

dalam hal ini para pemilik dan Direksi berada pada posisi yang tidak terlindungi

(exposed position) maka mereka bertanggung jawab secara pribadi kepada

akibat-akibat hukum dari perbuatan mereka.25

Pengadilan menerangkan bahwa Business Judgement Rule adalah sebagai

berikut:

Dalam kasus Gries Sports Enterprises, INC. v Cleveland Brown Football

Co., Inc., 26 Ohio St.3d 15, 496 N.E2D 959 (1986), yang melibatkan pemegang

saham yang mengajukan gugatan minoritas dan/atau melawan Direksi-Direksi

perusahaan yang diduga melanggar prinsip-prinsip keadilan dalam

pengambilalihan saham kepada perusahaan lain.

26

25

Ibid, hlm. 216.

26

(29)

Business Judgement Rule adalah sebuah prinsip dalam kepemimpinan

perusahaan yang menjadi tujuan dari Common Law sejak 150 tahun yang lalu.

Business Judgement Rule telah lama diterapkan untuk melindungi Direksi dari

tanggung jawab yang diambil dari keputusan-keputusan bisnis mereka. Apabila

Direksi-Direksi dalam pelaksanaan tanggung jawab dimandati atas perlindungan

tersebut, maka pengadilan tidak boleh mencampuri hal tersebut atau memberikan

pendapat lain atas keputusan Direksi. Sebaliknya jika Direksi tidak dimandati atas

perlindungan Business Judgement Rule maka pengadilan wajib memeriksa

keputusan-keputusan tersebut apakah perilaku Direksi memang untuk kepentingan

perusahaan dan dengan itikad baik serta memperhatikan pemegang saham

minoritas perusahaan. Prinsip Business Judgement Rule merupakan ketentuan

yang dapat dikesampingkan jika Direksi bertindak lebih baik daripada pengadilan

yang akan mendalilkan Business Judgement Rule dan apabila Direksi bertindak

dalam keputusan bisnis yang bebas dari self-dealing (untuk kepentingan pribadi)

dan dapat menunjukkan tindakan tersebut dilaksanakan berdasarkan alasan yang

wajar serta itikad baik. Pihak yang menggugat keputusan Direksi menghadapi

risiko akan adanya ketentuan akan ditolaknya gugatan jika pada akhirnya dapat

dibuktikan bahwa Direksi membuat keputusan bisnis yang tepat.

Oleh sebab itu Direksi harus mengetahui tugas dan tanggung jawabnya

kepada perusahaan untuk menghindari hal yang di atas. Hal ini berkaitan dengan

prinsip tanggung jawab Direksi atau yang sering disebut dengan fiduciary duty

tersebut.27

27

Prinsip ini ditemukan dan dielaborasi oleh Court of Chancery pada sekitar abad 18-19 untuk menjamin bahwa orang yang memegang asset atau menjalankan fungsi dalam kapasitasnya sebagai perwakilan untuk kepentingan orang lain berlaku dengan itikad baik dan secara konsisten

(30)

pemegang saham perusahaan, karena Direksi mempunyai kewajiban untuk

melindungi kepentingan pemegang saham dari tindakan sewenag-wenang

pemegang saham mayoritas. Namun perlu ditekankan bahwa kewajiban utama

dari Direksi adalah kepada perusahaan secara keseluruhan bukan kepada

pemegang saham baik secara individu amupun kelompok.

Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah

menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para Direksi untuk mengambil

keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi Direksi untuk

mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan

usaha.

Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata

merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, Direksi

tersebut melakukannya dengan jujur dan dengan itikad yang baik. Untuk

melindungi Direksi yang beritikad baik tersebut maka muncul teori Business

Judgement Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat populer untuk

menjamin keadilan bagi para Direksi yang mempunyai itikad baik.

Business Judgement Rule selain melindungi tanggung jawab pribadi

seorang Direksi apabila terjadi pelanggaran, ia juga dapat diberlakukan terhadap

pembenaran-pembenaran keputusan bisnis di mana perintah-perintah yang

ditujukan kepada Dewan Komisaris, atau terhadap keputusan-keputusan itu

sendiri, terhadap kasus yang menitikberatkan kepada keputusan bisnis yang

merupakan tanggung jawab dari pembuat keputusan.

(31)

Menurut Business Judgement Rule, pertimbangan bisnis (business

judgement) dari pada anggoita Direksi tidak akan ditantang (diganggu gugat) atau

ditolak oleh pengadilan atau oleh para pemegang saham, dan para anggota Direksi

tersebut tidak akan dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul

karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis oleh anggota Direksi yang

bersangkutan, sekalipun apabila pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal

tertentu.

Mengenai perbuatan-perbuatan dan pertimbangan bisnis apa saja yang

tidak dilindungi oleh Business Judgement Rule, sangatlah penting untuk diketahui

masyarakat dan hakim. Apabila kita mempelajari putusan-putusan pengadilan

Amerika Serikat, dapat diketahui bahwa ternyata pengadilan-pengadilan tidak

seragam dalam merumuskan pengecualian-pengecualian rule tersebut. Beberapa

pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan (judgement) seorang anggota

Direksi tidak dapat diganggu gugat kecuali apabila pertimbangan (judgement)

tersebut didasarkan atas suatu kecurangan (fraud), atau menimbulkan benturan

kepentingan (conflict of interest), atau merupakan perbuatan yang melanggar

hukum (illegality). Sedangkan beberapa pengadilan yang lain berpendapat bahwa

Direksi, yang dalam mengambil pertimbangan telah menimbulkan kerugian bagi

Perseroan, tidak dilindunggi oleh Business Judgement Rule apabila kerugian

tersebut adalah sebagai akibat kelalaian berat (gross negligence) dari anggota

Direksi yang bersangkutan.28

Dari pendapat berbagai pengadilan di Amerika Serikat sepakat bahwa

anggota Direksi tidak harus bertanggung jawab atas terjadinya kerugian perseroan

28

(32)

apabila anggota Direksi dalam mengambil suatu pertimbangan (judgement)

dilakukan dengan itikad baik. Namun kebanyakan dari pengadilan juga

berpendapat bahwa tidak seharusnya para anggota Direksi ini bertindak sembrono

(act negligently) atau melakukan kelalaian yang berat (act in a grossly negligently

way). Bila demikian halnya, maka anggota Direksi yang bersangkutan harus

bertanggung jawab atas kerugian Perseroan yang telah ditimbulkannya.29

1. memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya

bahwa informasi tersebut benar;

Dalam ilmu hukum , teori Business Judgement Rule diartikan sebagai

aplikasi spesifik dari standar tingkah laku Direksi pada sebuah situasi dimana

setelah pemeriksaan secara wajar, Direksi yang tidak mempunyai kepentingan

pribadi menggunakan serangkaian tindakan dengan itikad baik, jujur dan secara

rasional percaya bahwa tindakannya dilakukan hanya semata-mata untuk

kepentingan perusahaan.

Salah satu tolak ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak

disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgement) yang tidak tepat sehingga

dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah:

2. tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan

itikad baik;

3. memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang

diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.

Apabila terbukti bahwa tindakan atau keputusan yang diambil oleh Direksi

untuk memberlakukan suatu kebijakan Perseroan yang didasarkan atas business

29

(33)

judgement yang tepat dalam rangka meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya

bagi Perseroan, maka apabila ternyata tindakan yang diambil tersebut

menimbulkan kerugian yang melahirkan pertanggungjawaban hukum , tidak dapat

dibebankan pada pribadi Direksi, tetapi dibebankan pada Perseroan.

Pertanggungjawaban oleh pengurus hanya dimungkinkan apabila terbukti terjadi

pelanggaran duty of care dan duty of loyality.

Aplikasi secara implicit atau eksplisit dari teori Business Judgement Rule

dapat dilihat dari pengalaman di Kanada di mana pengadilan lebih memfokuskan

perhatian hukum (judicial attention) dari proses pengambilan keputusan dari hasil

keputusan yang dibuat tersebut.

Pengadilan lebih cenderung melihat apakah duty of care sudah terpenuhi,

walaupun keputusan tersebut dilihat dari sudut pandang bisnis.30

Hal ini penting agar mereka mempunyai landasan hukum yang kuat dalam

bertindak sesuai dengan UUPT terhadap segala kewajiban mereka kepada para

pemegang saham jika perusahaannya dinyatakan bersalah karena melanggar

undang-undang. Dan lebih penting lagi tindakan di atas mengacu pada keputusan

bisnis yang akan memenuhi secara objektif kenaikan nilai dari perusahaan.

Oleh karena itu

penting bagi Direksi untuk menjamin telah melakukan hal-hal yang sesuai dengan

standar dan prosedur yang terdapat dalam perusahaannya sebelum mengambil

sebuah keputusan bisnis. Tindakan tersebut harus sesuai dan konsisten dengan

aktivitas due diligence yang dibutuhkan agar terhindar dari

pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.

31

30

Margot Priest, R. Mecredy-Williams, Barbara R.C. Doherty dan James W. O’reilly, Director’s Duties in Canada, CCH Canadian Limited, 1995, hlm. 30.

31

(34)

C. Business Judgement Rule dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Sebelum keluarnya UUPT yang baru, Indonesia tidak secara jelas

mengadopsi prinsip Business Judgement Rule. Padahal ini penting untuk

menentukan apakah seorang Direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya atau

tidak. Karena perusahaan adalah risk taker yang bertujuan untuk mencari

keuntungan dimana Direksi sebagai organ perusahaan dalam mengambil

keputusan bisnis seringkali bersifat spekulatif yang bertendensi untuk mengalami

kerugian. Disinilah pentingnya standar mengenai pertanggungjawaban untuk

dapat melihat keputusan bisnis manakah yang diambil sesuai dengan prosedur

demi kepentingan perusahaan ataukah keputusan bisnis yang diambil untuk

kepentingan si Direksi itu sendiri. Sehingga dalam praktiknya UUPT lama

mempunyai berbagai hambatan untuk melindungi keputusan bisnis dari Direksi.

Hal inilah yang merupakan salah satu unsur penting dalam amandemen

UUPT lama. Tanpa adanya standar yang jelas mengenai pertanggungjawaban

Direksi maka dikhawatirkan Direksi tidak akan berani mengambil keputusan

bisnis. Hal ini bertentangan dengan posisi perusahaan sebagai risk taker sehingga

secara tidak langsung akan menghentikan continuos improvement dari perusahaan

itu sendiri. Oleh karena itu, masuknya prinsip Business Judgement Rule dalam

UUPT adalah hal yang sangat positif untuk mendukung perkembangan iklim

usaha di Indonesia.

Seorang Direksi bebas dari tanggung jawab atas kerugian perusahaan

apabila dapat membuktikan:

(35)

2. Direksi melakukan kepengurusan dengan beritikad baik dan hati-hati;

3. kepengurusan dilakukan untuk kepentingan dan tujuan perusahaan;

4. Direksi tidak mempunyai conflict of interest; dan

5. telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah kerugian.32

Sementara itu, anggota Dewan Komisaris tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas kerugian yang dialami Perseroan apabila ia dapat

membuktikan:

1. telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk

kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

2. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak

langsung atas tindakan kepengurusan Direksi yang mengakibatkan

kerugian; dan

3. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau

berlanjutnya kerugian tersebut.33

Secara umum, ketentuan di atas merupakan prinsip Business Judgement

Rule yang biasa ditemukan di negara Common Law. Namun demikian ada sedikit

perubahan versi dengan ketentuan Business Judgement Rule yang biasa ditemui di

negara-negara Common Law.34

Pertama, pada umumnya prinsip Business Judgement Rule hanya berlaku

pada keputusan bisnis saja. Dalam UUPT, prinsip ini berlaku pada “pengurusan

Perseroan” yang merupakan aspek yang lebih luas dibandingkan dengan

32

Pasal 97 ayat (5)UUPT.

33

Pasal 114 ayat (5) UUPT.

34

(36)

keputusan bisnis. Hal ini berarti Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya

bukan hanya dalam hal keputusan bisnis yang diambil, tetapi juga dalam aspek

manajemen perusahaan jika Direksi tersebut dapat membuktikan kelima unsur di

atas.

Kedua, tidak ada kejelasan defenisi mengenai “kesalahan” dan “kelalaian”.

Akan sangat sulit untuk membuktikan bahwa tidak ada unsur kesalahan atau

kelalaian dalam keputusan bisnis atau kepengurusan tanpa parameter yang jelas

tentang apa yang dapat dikategorikan sebagai kesalahan atau kelalaian. Dalam

struktur perusahaan yang semakin rumit tidak jarang Direksi mendelegasikan

kewenangannya kepada bawahannya yang mungkin menyalahgunakan

kewenangan tersebut. Hal yang sama juga terjadi dalam hal keputusan bisnis.

Dalam iklim usaha yang semakin kompetitif, tidak jarang Direksi harus

mengambil keputusan yang bersifat spekulatif untuk dapat bersaing dengan

kompetitornya. Apabila nantinya keputusan tersebut mengakibatkan kerugian,

apakah Direksi dapat dianggap salah atau lalai.

Hal ini sedikit berbeda dengan negara Common Law yang pada umumnya

tidak mencantumkan unsur ini di dalam bunyi pasalnya. Standar yang dilakuakan

adalah standar kewajaran (reasonable) di mana pengadilan akan melihat

keputusan yang diambil oleh Direksi dengan melihat apa yang akan dilakukan

oleh orang lain yang mempunyai posisi dan dalam kondisi yang sama. Apabila

orang lain tersebut cenderung akan mengambil keputusan yang sama, maka

keputusan bisnis tersebut dapat dikatakan merupakan bisnis yang wajar. Hal ini

dilakukan untuk mendorong Direksi untuk berani mengambil

(37)

perkembangan ekonomi dapat terhambat apalagi di masa globalisasi dimana para

Direksi dihadapkan dengan pesaing dari berbagai Negara.

Ketiga, permasalahan ukuran “itikad baik” dan “kehati-hatian” masih juga

terdapat di UUPT. Seperti juga ketidakjelasan dalam defenisi kesalahan dan

kelalaian, tidak adanya unsur yang jelas dari ketentuan itikad baik dan

kehati-hatian dapat mengakibatkan ketidakpastian bagi para Direksi. Oleh karena itu,

para Direksi haruslah tetap berhati-hati dalam kepengurusan dan pengambilan

keputusan bisnisnya agar mendapat perlindungan dari UUPT.

Keempat, Pasal 155 UUPT juga mengatur bahwa ketentuan tanggung

jawab Direksi tidak mengurangi kesalahan atau kelalaian yang diatur oleh

Undang-Undang Hukum Pidana. Artinya walaupun menurut ketentuan UUPT ini

seorang Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya, tidak menutup

kemungkinan Direksi tersebut masih dapat dituntut dengan ketentuan lain dalam

peraturan perundang-undangan lainnya.

Hal ini tentunya dapat mengaburkan penerapan prinsip Business

Judgement Rule itu sendiri. Di satu sisi ketentuan ini dimaksudkan untuk

memberikan safe harbour kepada para Direksi. Namun di sisi lain UUPT tidak

secara otomatis melindungi Direksi dari tanggung jawabnya terhadap eksposure

(38)

BAB III

TUGAS DAN KEWENANGAN DEWAN KOMISARIS DALAM PERSEROAN TERBATAS

A. Dewan Komisaris sebagai Organ Perseroan Terbatas

Konsep hukum tentang Dewan Komisaris berasal dari konsep hukum

Jerman, yang serupa dengan hukum di Negara Eropa Kontinental lainnya, yang

dalam Bahasa Belanda disebut dengan Raad Van Commissarissen, yang meskipun

tidak ada padanannya dalam konsep hukum Common Law, dalam Bahasa Inggris

sering disebut dengan istilah Board of Commissioner. Akan tetapi, untuk Dewan

Komisaris ini, dalam Bahasa Inggris sering juga disebut dengan Board of

Commissory atau Board of Supervisory Directors.35

UUPT sendiri memberikan pengertian bahwa Dewan Komisaris adalah

organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau

khusus sesuai dengan Anggaran Dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.36

Dewan Komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam

Perseroan. Menurut Egon Zehnder, Dewan Komisaris merupakan inti dari Good

Corporate Governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi

Pengawasan dan pemberian nasihat dari Dewan Komisaris dilakukan untuk

kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

35

Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung: PT)

36

(39)

perusahaan, mengawasi Direksi dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan

terlaksananya akuntabilitas.37

Sebelum berlakunya UUPT, menurut KUHD, tidak ada ketentuan yang

mewajibkan perusahaan untuk memiliki Komisaris. Jadi menurut KUHD, jabatan

Komisaris adalah jabatan yang optional, yakni perusahaan boleh mempunyai

Komisaris dan boleh tidak.

Pada intinya, Dewan Komisaris merupakan suatu mekanisme mengawasi

dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola

perusahaan. Mengingat Direksi yang bertanggung jawab untuk meningkatkan

efisiensi dan daya saing perusahaan—sedangkan Dewan Komisaris bertanggung

jawab untuk mengawasi Direksi—maka Dewan Komisaris merupakan pusat

ketahanan dan kesuksesan perusahaan.

38

Dalam akte pendirian ataupun Anggaran Dasar susunan Dewan Komisaris

terdiri atas:39

1. Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau lebih;

2. Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota

merupakan majelis (tribunal commisioners).

Kewajiban Perseroan memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota

Dewan Komisaris,40

1. Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau

mengelola dana masyarakat;

terhadap hal-hal berikut ini:

37

Forum the Corporate Governance in Indonesian, Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan),

diakses tanggal 24 Agustus 2009.

38

Op Cit, hlm. 106.

39

Sujud Margono, Hukum Perusahaan Indonesia, Catatan atas UUPT, (Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2008), hlm. 85.

40

(40)

2. Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat;

dan

3. Perseroan Terbuka.

Pada prinsipnya, tugas Komisaris adalah untuk mengadakan pengawasan.

Karena itu, Dewan Komisaris dapat disebut dengan Dewan Pengawas. Fungsi

pengawas dari Dewan Komisaris diwujudkan dalam 2 (dua) level, yakni sebagai

berikut:41

1. Level Performance; dan

2. Level Conformance.

Yang dimaksud dengan fungsi pengawasan Komisaris pada level

performance adalah fungsi pengawasan dimana Komisaris tersebut memberikan

pengarahan dan petunjuk kepada Direksi perusahaan dan RUPS. Sementara yang

dimaksud dengan fungsi pengawasan Komisaris pada level conformance adalah

berupa pelaksanaan kegiatan melaksanakan kegiatan melaksanakan pengawasan

selanjutnya agar dipatuhi dan dilaksanakan, baik terhadap pengarahan dan

petunjuk yang telah diberikan tersebut maupun terhadap ketentuan dalam

perundang-undangan yang berlaku.42

Yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Komisaris adalah

orang-perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum , kecuali dalam waktu 5

(lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah:

Setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri,

melainkan berdasarkan Keputusan Dewan Komisaris.

43

41

IKAI, Kedudukan dan Tanggung Jawab Komisaris dan Komite Audit Pasca UU

Perseroan Terbatas Baru, , diakses pada tanggal 27 Juli 2009.

42

Ibid, hlm. 108.

43

(41)

1. dinyatakan pailit;

2. menjadi anggota Direksi atau angota Dewan Komisaris yang dinyatakan

bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau

3. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan

negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.

Terhadap Perseroan yang bidang uasahanya harus mendapat persetujuan

atau izin dari instansi pemerintah secara teknis yang berwenang, dapat

dimungkinkan penambahan persyaratan berdasarkan peraturan

perundang-undangan.44 Segala pemenuhan persyaratan tersebut dibuktikan dengan surat yang

disimpan oleh Perseroan.45

Ketentuan mengenai pengangkatan Dewan Komisaris,46

1. anggota Dewan Komisaris diangkat oleh RUPS;

antara lain:

2. untuk pertama kali pengangkatan anggota Dewan Komisaris dilakukan

oleh pendiri dalam akte pendirian;

3. anggota Dewan Komisaris diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat

diangkat kembali;

4. keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan

pemberhentian anggota Dewan Komisaris juga menetapkan saat mulai

berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut;

5. dalam hal RUPS tidak menentukan saat mulai berlakunya pengangkatan,

penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris,

pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian mulai berlaku sejak

ditutupnya RUPS;

44

Pasal 110 ayat (2) UUPT.

45

Pasal 110 ayat (3) UUPT.

46

(42)

6. dalam hal terjadi pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota

Dewan Komisaris, Direksi wajib memberitahukan perubahan tersebut

kepada Menteri untuk dicatat dalam Daftar Perseroan dalam jangka waktu

paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS

tersebut;

7. dalam hal pemberitahuan perubahan tersebut pada Menteri untuk dicatat

dalam Daftar Perseroan belum dilakukan, Menteri menolak setiap

pemberitahuan tentang perubahan susunan Dewan Komisaris selanjutnya

yang disampaikan kepada Menteri oleh Direksi.47

Pengangkatan anggota Dewan Komisaris yang tidak memenuhi

persyaratan , batal demi hukum sejak saat anggota Dewan Komisaris lainnya atau

Direksi mengetahui tidak terpenuhinya persyaratan tersebut.48 Maka, dalam

jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diketahui, Direksi harus

mengumumkan batalnya pengangkatan anggota Dewan Komisaris yang

bersangkutan dalam surat kabar dan memberitahukannya kepada Menteri untuk

dicatat dalam daftar Perseroan.49

Perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris

untuk dan atas nama Dewan Komisaris sebelum pengangkatannya batal, tetap

mengikat dan menjadi tanggung jawab Perseroan.50

47

Pada umumnya Anggaran Dasar Perseroan yang mengatur tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris dan dapat juga mengatur tentang tata cara pencalonan anggota Dewan Komisaris.

48

Pasal 112 ayat (1) UUPT.

49

Pasal 112 ayat (2) UUPT.

50

Pasal 112 ayat (3) UUPT.

(43)

tanggung jawab anggota Dewan Komisaris yang bersangkutan terhadap kerugian

Perseroan.51

Ketentuan mengenai pemberitahuan anggota Direksi secara mutatis

mutandis berlaku juga bagi pemberhentian anggota Dewan Komisaris.52 Anggota

Dewan Komisaris dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan

RUPS dengan menyebutkan alasannya. Keputusan untuk memberhentikan

anggota Dewan Komisaris diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan

untuk membela diri dalam RUPS.53

Prosedur di atas harus diikuti. Apabila prosedur itu tidak diikuti maka

pemberitahuan tersebut batal demi hukum . Namun apabila prosedur diikuti

namun alasan pemberhentian tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan maka

pemberhentian tersebut tetap sah. Direksi atau Dewan Komisaris dapat menggugat

pemberhentian tersebut karena merupakan perbuatan melawan hukum .54

Dalam hal keputusan untuk memberhentikan anggota Dewan Komisaris

dilakukan dengan keputusan di luar RUPS,55

51

Pasal 112 ayat (4) UUPT.

52

Pasal 119 UUPT.

53

Sujud Margono, Hukum Perusahaan di Indonesia, Catatan atas UU Perseroan Terbatas, (Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2007), hal. 89. lihat juga Pasal 105 UUPT.

54

IKAI, Kedudukan dan Tanggung Jawab Komisaris dan Komite Audit Pasca UU

Perseroan Terbatas Baru, , diakses pada tanggal 27 Juli 2009.

55

Pasal 91 UUPT menentukan “Pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat semua pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan”.

anggota Dewan Komisaris yang

bersangkutan diberitahu terlebih dahulu tentang rencana pemberhentian yang

diberikan kesempatan untuk membela diri sebelum diambil keputusan

(44)

Pemberian keputusan untuk membela diri tidak diperlukan dalam hal yang

bersangkutan tidak berkeberatan atas pemberhentian tersebut. Pemberhentian

anggota Dewan Komisaris diberlakukan sejak:

1. ditutupnya RUPS (berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan

alasannya);

2. tanggal keputusan (Keputusan Pemegang Saham di luar keputusan RUPS);

3. tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan RUPS dengan menyebutkan

alasannya;

4. tanggal lain yang ditetapkan dalam Keputusan Pemegang Saham di luar

keputusan RUPS.

Beberapa prinsip yuridis yang berlaku untuk Dewan Komisaris adalah

sebagai berikut:56

1. Dewan Komisaris Merupakan Badan Pengawas

Dewan Komisaris dimaksudkan sebagai badan pengawas (badan

supervisi), mengawasi tindakan Direksi. Yang mempunyai konsekuensi

juga sebagai pengawas Perseroan secara umum.

2. Dewan Komisaris Merupakan Badan Independen

Sama dengan Direksi dan RUPS, pada prinsipnya Dewan Komisaris

merupakan badan yang independen, tidak tunduk pada kekuasaan

siapapun, dan harus melihat semata-mata kepentingan Perseroan,

meskipun sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, RUPS dapat

mengangkat dan memberhentikan Dewan Komisaris.

56

(45)

3. Dewan Komisaris Tidak Mempunyai Otoritas Manajemen

(Non-Executive)

Meskipun ada ditemukan yang namanya Dewan Komisaris “pengambil

keputusan” (decision maker), tetapi pada prinsipnya Badan Komisaris

tidak memiliki otiritas manajemen (non-executive). Yang diberikan tugas

manajemen atau eksekutif adalah Direksi.

4. Dewan Komisaris Tidak Bisa Memberikan Instruksi Kepada Direksi

Meskipun tugas utama dari Dewan Komisaris adalah untuk melakukan

pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas Direksi, tetapi Dewan

Komisaris tidak berwenang untuk memberikan instruksi-instruksi

langsung kepada Direksi. Sebab, jika kewenangan ini diberikan kepada

Dewan Komisaris, posisinya akan berubah wajah, dari badan pengawas

menjadi badan eksekutif. Karena itu, fungsi pengawasan dari Dewan

Komisaris dilakukan dengan jalan sebagai berikut:

a. menyetujui tindakan-tindakan tertentu yang diambil oleh Direksi;

b. memberhentikan Direksi untuk sementara;

c. memberi nasihat kepada Direksi, diminta atau tidak, dalam rangka

pelaksanaan fungsi pengawasan.

5. Dewan Komisaris Tidak Bisa Diinstruksikan oleh RUPS

Sebagai konsekuensi dari kedudukan Dewan Komisaris yang independen,

maka Dewan Komisaris tidak bisa diinstruksikan oleh RUPS, meskipun

RUPS memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu Perseroan. Dan sebagai

(46)

Komisaris dengan atau tanpa menunjukkan alasan pemberhentian (for

cause or no cause).

Anggaran Dasar Perseroan dapat mengatur adanya 1 (satu) orang atau

lebih Komisaris Independen dan 1 (satu) orang Komisaris Utusan.57 Komisaris

Independen tersebut diangkat berdasarkan keputusan RUPS dari pihak yang tidak

terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota Direksi dan/atau anggota

Dewan Komisaris lainnya.58

Komisaris Utusan merupakan anggota Dewan Komisaris yang ditunjuk

berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris.59 Komisaris Utusan ini

sebenarnya sudah lama dikenal dan dapat dipersamakan dengan Compliance

Director.60 Tugas dan wewenang Komisaris Utusan ditetapkan dalam Anggaran

Dasar Perseroan dengan ketentuan tidak bertentangan dengan tugas dan

wewenang Dewan Komisaris dan tidak mengurangi tugas pengurusan yang

dilakukan Direksi.61

Komisaris Utusan ini sama halnya dengan Komisaris lainnya. Bedanya

yaitu Komisaris Utusan lebih rutin di kantor, sehingga fungsi kontrolnya lebih

efektif. Fungsi Komisaris Utusan ini lebih kepada melaksanakan fungsi dari

Dewan Komisaris from day to day.62

57

Pasal 120 ayat (1) UUPT.

58

Pasal 120 ayat (2) UUPT.

59

Pasal 120 ayat (3) UUPT.

60

Ratnawati W. Prasodjo, , diakses tanggal 24 Agustus 2009.

61

Pasal 120 ayat (4) UUPT.

62

(47)

Untuk melengkapi materi muatan yang diatur dalam UUPT maka

disepakati menambah materi muatan mengenai Perseroan yang berbasis pada

prinsip syariah.63

Sitentukan secara tegas bahwa Perseroan yang berbasis pada prinsip

syariah selain dalam organ perseroannya memiliki Dewan Komisaris, juga

diwajibkan memiliki Dewan Pengawas Syariah64

Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah

selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas

Syariah. Dewan Pengawas Syariah terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang

diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.

yang bertugas mengawasi

kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

65

Dewan Pengawas Syariah bertugas memberikan nasihat dan saran kepada

Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.66

Dalam melakukan pengawasan, Dewan Komisaris dapat membentuk

komite, yang anggotanya seorang atau lebih adalah anggota Dewan Komisaris.67

63

Sujud Margono, Hukum…, hlm. 90.

64

Pasal 109 ayat (1) UUPT.

65

Pasal 109 ayat (2) UUPT.

66

Pasal 109 ayat (3) UUPT.

67

Pasal 121 ayat (1) UUPT.

Komite ini antara lain adalah Komite Audit, Komite Remunerasi, dan Komite

Nominasi. Komite ini bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris. Komite

Audit untuk membantu Dewan Komisaris dalam memastikan integritas pelaporan

keuangan, pengendalian internal, serta efektivitas fungsi eksternal a

Referensi

Dokumen terkait

Kata Kunci: Corporate Social Responsibility, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, PT Coca-Cola Amatil Bottling Indonesia Central

Dalam pasal 135 angka 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas juga dijelaskan bahwa pemisahan tidak murni berdampak pada sebagian aktiva

BAB IV IMPLEMENTASI PASAL 155 UNDANG-UNDANG 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS TERHADAP DIREKSI DALAM PENGURUSAN PERUSAHAAN. Pasal 155 Undang-Undang 40 Tahun

Aspek Hukum Prinsip Good Corporate Governance Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ………. Penerapan Prinsip Good Corporate Governance dalam Perseroan

1) Melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan Terbatas maupun usaha Perseroan Terbatas, dan memberi

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Data penelitian. Jenis sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

pertanggungjawaban atas terjadinya kepailitan perseroan. Hal ini dapat kita dapati pengaturannya di dalam Pasal 97 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Namun Penjelasan Umum Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa tujuan diaturnya tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah untuk mewujudkan