• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) PADA PEMBELAJARAN SEJARAH ( Studi Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) PADA PEMBELAJARAN SEJARAH ( Studi Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung)"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) PADA PEMBELAJARAN SEJARAH

(Studi Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung)

Oleh

REDI ALMUZAKI

(S k r i p s i)

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) PADA PEMBELAJARAN SEJARAH

(Studi Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung)

Oleh

Redi Almuzaki

Keberhasilan seorang guru dalam mengajar di sekolah dipengaruhi oleh penggunaan model dan metode pembelajaran. Seorang guru sebaiknya tidak hanya menggunakan metode ceramah dan diskusi saja dalam proses pembelajaran, tetapi harus mampu mengelola kelas sehingga proses pembelajaran menjadi lebih aktif, efektif, dan menyenangkan. Aktivitas siswa dan motivasi sangatlah penting dalam sebuah proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang baik dapat tercapai bila siswa lebih berperan aktif di dalam kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Salah satu model pembelajaran yang dapat menciptakan pembelajaran yang lebih aktif adalah dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS). Model pembelajaran ini memberi kemandirian kepada siswa dengan bersama-sama melakukan diskusi kelompok dalam memecahkan masalah secara berpasangan dan komunikatif.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah, selanjutnya apakah ada perbedaan rata-rata hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah jika diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS), dan seberapa besar persentase tingkat ketuntasan hasil belajar siswa jika diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) studi pada siswa kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013 semester genap. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah dan apakah ada perbedaan rata-rata hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah jika diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS), serta seberapa besar persentase tingkat ketuntasan hasil belajar siswa jika diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS).

(3)

Berdasarkan hasil hitung data nilai posttest siswa dengan menggunakan uji statistik menggunakan program SPSS 17 diperoleh bahwa nilai Fhitung (6,135) > Ftabel (0,05;1;65) yaitu 3,988. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) berpengaruh pada pembelajaran sejarah kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung.

Diketahui bahwa nilai mean rank pada kelas eksperimen lebih tinggi daripada nilai mean rank pada kelas kontrol, yaitu bernilai pada 77,42 > 66,91. Rata-rata peningkatan gain pada kelas eksperimen pun lebih tinggi daripada rata-rata peningkatan gain pada kelas kontrol dengan nilai 23,1818 > 17,3529. Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan terhadap rata-rata data gain antara kelas eksperimen yang diajarkan dengan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dan metode diskusi kelompok pada kelas kontrol.

(4)
(5)
(6)
(7)

DAFTAR ISI

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA 2.1. Tinjauan Pustaka ………... 13

2.1.1. Konsep Cooperative Learning…….……….… 13

2.1.2. Konsep Model Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)………..……….. 15

2.1.3. Konsep Pembelajaran Sejarah…….…….………. 21

2.1.4. Konsep Hasil Belajar …….……….. 24 3.1. Jenis Penelitian dan Metode Penelitian yang Digunakan……..…………. 32

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian……….…………. 33

3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………..………... 37

3.5.1. Variabel Penelitian………..……….. 37

3.5.2. Definisi Operasional Variabel………..………. 38

3.6. Data Penelitian……….…………... 40

(8)

3.8. Langkah-langkah Penelitian……….………….. 42

3.9. Langkah-langkah Pelaksanaan Pembelajaran…….………... 43

3.10. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ………….………….. 44

3.11. Uji Validitas, Reliabilitas, Tingkat Kesukaran, dan Daya Pembeda……….………...……. 46

3.11.1 Uji Validitas………..……… 46

3.11.2 Uji Reliabilitas………..………. 48

3.11.3 Tingkat Kesukaran………..……….. 49

3.11.4 Daya Pembeda………..………. 50

3.12. Pengujian Data (Uji Pra Syarat)……….……… 51

3.12.1.Uji Normalitas………..………. 52

3.12.2.Uji Kesamaan Dua Varian (Homogenitas)………..……….. 53

3.13. Teknik Analisis Data..……… 53

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian...………..….…..…….. 57

4.2. Hasil Penelitian……….…….. 66

4.2.1. Data Hasil Kemampuan Awal (Nilai Pretest Siswa)..……….….. 66

4.2.2. Data Hasil Kemampuan Akhir (Nilai Posttest Siswa).…….……. 69

4.2.3. Data Peningkatan (Gain) Hasil Belajar Siswa………..…. 72

4.3. Analisa Hasil Penelitian………..….... 73

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 3.1. Desain Penelitian Pretest-Posttest Control Group Design………. 34

Tabel 3.2. Jumlah Anggota Populasi……… 35

Tabel 3.3. Sampel Penelitian……… 37

Tabel 3.4. Kisi-kisi instrument tes hasil belajar siswa………. 45

Tabel 3.5. Koefisien Validitas tes………. 47

Tabel 3.6. Koefisien Reliabilitas tes………. 49

Tabel 3.7. Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran……… 50

Tabel 3.8. Interpretasi Nilai Daya Pembeda………. 51

Tabel 3.9. Klasifikasi gain……… 54

Tabel 4.1. Daftar Nama Kepala Sekolah SMA Negeri 13 Bandar Lampung……… 58

Tabel 4.2. Daftar Sarana dan Prasarana di SMA Negeri 13 Bandar Lampung……. 60

Tabel 4.3. Rekapitulasi Data Nilai Pretest……… 66

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Nilai Pretest Kelas Eksperimen………. 67

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Nilai Pretest Kelas Kontrol………. 68

Tabel 4.6. Rekapitulasi Data Nilai Posttest………... 69

Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Nilai Posttest Kelas Eksperimen……… 70

Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Nilai Posttest Kelas Kontrol ………... 71

Tabel 4.9. Rekapitulasi Data Peningkatan (Gain)………. 72

(10)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana yang dijalankan secara

teratur dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir seseorang atau

peserta didik yang berfungsi untuk mengembangkan kualitas sumber daya

manusia agar memperoleh kualitas kehidupan menjadi lebih baik. Salah satu cara

untuk mewujudkan tujuan pendidikan adalah dengan cara meningkatkan mutu

pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan pada jenjang sekolah harus lebih

ditingkatkan untuk menghasilkan lulusan atau output yang berkualitas, bukan

hanya dalam segi pengetahuan saja, tetapi diharapkan memiliki kemampuan dan

keterampilan untuk bekal kehidupan di masa yang akan datang.

Upaya pembaharuan proses tersebut terletak pada tanggung jawab seorang guru.

Guru harus memiliki ide dan sebuah kreativitas dalam merencanakan sebuah

proses pembelajaran yang dapat dipahami dan diterima dengan baik oleh peserta

didik. Guru merupakan tokoh penting dalam keberhasilan seorang peserta didik

terutama dalam menyampaikan pelajaran terkait dengan tujuan ilmu pengetahuan

(11)

Saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi telah maju dan berkembang. Kemajuan

di bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi pada akhirnya memberikan

dampak tertentu terhadap sistem dan proses belajar mengajar di sekolah, sehingga

proses belajar mengajar mau tidak mau harus mampu mengikuti perkembangan

zaman. Dampak perkembangan zaman saat ini dapat terlihat dengan banyak

berkembangnya model-model dan metode pembelajaran baru yang lebih

bervariasi. Model-model pembelajaran yang lebih bervariasi ini muncul dan

berkembang dengan tujuan agar pembelajaran di sekolah menjadi lebih baik dan

tercapai secara maksimal.

Selama ini pembelajaran sejarah diidentikkan sebagai pembelajaran yang

membosankan di kelas. Baik penyajian materi maupun metode pembelajaran yang

digunakan lebih banyak bertumpu pada pendekatan berbasis guru yang monoton,

sehingga hal ini mengurangi partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran

di dalam kelas. Guru di posisikan sebagai satu–satunya pokok sumber informasi,

peserta didik hanya sebagai objek dimana guru sebagai sumber dan pengelola

informasi mengajar hanya dengan metode ceramah dan tanya jawab yang

konvensional. Sehingga pembelajaran sejarah disamping membosankan, juga

hanya menjadi wahana pengembangan keterampilan berfikir yang tidak memberi

peluang kemampuan berinkuiri maupun memecahkan masalah.

Berdasarkan kenyataan umum pembelajaran sejarah di lapangan tersebut, untuk

itu para guru sejarah diharapkan harus memiliki motivasi dan kreativitas untuk

mulai mengembangkan dan meningkatkan kompetensi mengajar melalui

(12)

3

Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik, guru sebagai tenaga

pendidik perlu mengupayakan suatu proses pembelajaran yang dapat menciptakan

suasana belajar aktif, efektif, dan menyenangkan, sehingga pada akhirnya dapat

berpengaruh pada peningkatan hasil belajar siswa. Usaha meningkatkan hasil

belajar siswa dapat dilakukan dengan mulai menggunakan model dan metode

pembelajaran yang tepat dan lebih bervariasi dalam penyampaian suatu materi

pelajaran. Penggunaan model dan metode pembelajaran yang tepat dan lebih

bervariasi diharapkan dapat memberikan suasana baru dalam proses pembelajaran

di sekolah, terutama pada sekolah-sekolah yang masih menggunakan metode

konvensional.

Setelah menggunakan model dan metode pembelajaran yang lebih bervariasi,

seorang guru juga harus memiliki sebuah target untuk keberhasilan pencapaian

hasil belajar siswa. Usaha yang dilakukan guru tersebut tidak akan tercapai secara

optimal bila di dalam kelas siswa hanya duduk, diam, dan hanya mendengarkan

penjelasan yang diterangkan guru begitu saja. Guru juga harus mampu

memotivasi siswa agar lebih berperan aktif di dalam kelas sehingga keaktifan

tersebut dapat mempengaruhi hasil belajar siswa menjadi lebih baik. Metode

mengajar yang digunakan diharapkan lebih memberikan peluang bagi siswa untuk

berperan lebih aktif pada kegiatan belajar di dalam kelas.

Ada banyak metode pembelajaran yang dapat diaplikasikan guru dalam proses

pembelajaran sejarah. Masing-masing metode pembelajaran pastinya memiliki

karakteristik yang berbeda-beda. Seperti kita ketahui bahwa metode pembelajaran

(13)

pembelajaran konvensional ini didominasi oleh kelas yang terfokus pada guru

sebagai pusat pembelajaran, sehingga ceramah akan menjadi pilihan utama dalam

kegiatan belajar. Hal ini akan mengakibatkan rendahnya keaktifan siswa dalam

pembelajaran tersebut.

Suryosubroto menyatakan bahwa: “Metode pembelajaran yang digunakan oleh

guru dapat menentukan keberhasilan belajar siswa karena metode adalah cara

yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan pembelajaran”

(Suryosubroto, 1997:149).

Berdasarkan pendapat Suryobroto di atas, metode pembelajaran mempunyai

peranan dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. Karena dengan

menggunakan metode mengajar yang baik diharapkan dapat berpengaruh baik

pula kepada hasil belajar siswa. Dengan lebih bervariasinya metode mengajar

yang digunakan menyebabkan penyajian bahan pelajaran menjadi lebih menarik

perhatian, mudah diterima, dan tidak membosankan, sehingga komunikasi siswa

dengan guru di dalam kelas menjadi lebih hidup.

Sedangkan menurut Roestiyah dalam bukunya yang berjudul Strategi Belajar

Mengajar menyatakan bahwa: “Keberhasilan sebuah metode mengajar itu dapat

terlihat dari pencapaian aktivitas dan prestasi belajar siswa di dalam kelas, yaitu

terlihat pada tinggi atau tidaknya prestasi belajar siswa setelah diajarkan dengan

suatu metode pembelajaran tertentu” (Roestiyah, 1986:37).

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, agar prestasi dan hasil

(14)

5

mengajar yang baik pula terutama metode mengajar yang dapat memberi peran

lebih aktif kepada siswa dalam proses belajar di dalam kelas. Oleh karena itu agar

siswa dapat memahami dan lebih mengerti pelajaran yang diberikan, dalam hal ini

pelajaran pada materi sejarah, maka siswa dituntut harus lebih berperan aktif

dalam proses belajar di kelas terutama dalam mencari sumber-sumber atau

informasi yang berkaitan dengan materi yang disampaikan oleh guru, baik dengan

mendengarkan penjelasan guru secara seksama, membaca buku-buku yang terkait

dengan materi pembelajaran, maupun melakukan diskusi dengan teman sebaya

ataupun guru. Guru juga diharapkan dapat membimbing dan membantu siswa

agar kegiatan belajar di dalam kelas dapat berjalan dengan baik.

Sardiman menyatakan “dalam kegiatan belajar di kelas, aktivitas siswa sangat

berpengaruh terhadap hasil belajar siswa itu sendiri sebab dalam belajar siswa

diharuskan untuk berfikir dan berbuat karena setiap orang yang belajar harus aktif

sendiri, karena tanpa adanya aktivitas maka proses belajar tidak akan mungkin

terjadi” (Sardiman, 1990:96).

Dari pernyataan di atas, semakin banyak aktivitas yang dilakukan oleh siswa di

dalam kelas memiliki pengaruh terhadap hasil belajar siswa itu sendiri, sehingga

aktivitas siswa pada proses belajar di dalam kelas perlu ditingkatkan agar siswa

lebih berperan aktif dalam mencari, dan menemukan masalah-masalah yang harus

dipecahkan pada saat mengikuti setiap pelajaran. Dengan demikian penggunaan

metode pembelajaran yang lebih bervariasi diharapkan dapat memberikan

pengaruh dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa agar proses

(15)

Salah satu metode pembelajaran yang mampu meningkatkan aktivitas siswa di

dalam kelas adalah dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud

Pair Problem Solving (TAPPS). Karena model pembelajaran ini memberikan

peran dan tanggung jawab kepada tiap siswa di dalam kelompok yang telah

ditentukan untuk menjawab pertanyaan dan menyelesaikan masalah-masalah yang

diberikan dalam kelompok secara komunikatif dan bersama-sama.

Dalam model pembelajaran ini, di dalam masing-masing kelompok siswa dibagi

menjadi dua peran, yaitu sebagai problem solver (pemecah permasalahan) dan

listener (mendengarkan dan memberi solusi kepada problem solver). Penggunaan

model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) diharapkan

dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, dan memacu motivasi siswa,

sehingga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa khususnya pada materi

pelajaran yang diberikan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru sejarah kelas X SMA Negeri 13

Bandar Lampung, diketahui bahwa pembelajaran sejarah yang dilakukan selama

ini masih didominasi oleh pembelajaran dengan metode konvensional dan diskusi

kelompok. Guru menjelaskan materi dan setelah menjelaskan dilanjutkan dengan

diskusi kelompok. Sementara itu, hasil wawancara yang dilakukan dengan

beberapa siswa kelas X, diketahui bahwa pelajaran sejarah merupakan salah satu

mata pelajaran yang masih dianggap kurang menarik dan membosankan. Para

siswa menginginkan pembelajaran dengan suasana belajar yang baru agar materi

pelajaran yang diajarkan oleh guru lebih menarik, memotivasi, dan mudah

(16)

7

Dari latar belakang di atas, masalah ini menarik untuk diteliti karena peneliti ingin

mengetahui pengaruh dari model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem

Solving (TAPPS) pada pembelajaran sejarah apabila diterapkan di SMA Negeri 13

Bandar Lampung. Selain itu penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang

bermanfaat dan memberikan informasi tentang suatu metode mengajar yang dapat

digunakan dalam pembelajaran di dalam kelas, khususnya pada pembelajaran

sejarah. Setelah mencari data dan informasi tentang masalah ini, maka penulis

akan mengadakan penelitian dengan judul “Penggunaan Model Pembelajaran

Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Pada Pembelajaran Sejarah (studi

pada siswa kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung).

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini dapat

diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Pengaruh penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem

Solving (TAPPS) terhadap aktivitas belajar siswa pada pembelajaran

sejarah kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung.

2. Pengaruh penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem

Solving (TAPPS) terhadap motivasi belajar siswa pada pembelajaran

sejarah kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung.

3. Pengaruh penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem

Solving (TAPPS) terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah

(17)

1.3. Pembatasan Masalah

Agar masalah dalam penelitian ini tidak terlalu luas, maka penulis membatasi

masalah pada “Pengaruh penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair

Problem Solving (TAPPS) terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah

kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung”.

1.4. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem

Solving (TAPPS) berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada

pembelajaran sejarah kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung?

2. Apakah ada perbedaan rata-rata hasil belajar siswa pada pembelajaran

sejarah jika diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking

Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)?

3. Seberapa besar persentase tingkat ketuntasan hasil belajar siswa jika

diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair

Problem Solving (TAPPS)?

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Pengaruh penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem

Solving (TAPPS) terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah

(18)

9

2. Perbedaan rata-rata hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah jika

diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair

Problem Solving (TAPPS).

3. Seberapa besar persentase tingkat ketuntasan hasil belajar siswa jika

diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair

Problem Solving (TAPPS)

1.6. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi guru : Memberikan informasi tentang model dan metode

mengajar yang dapat diterapkan di dalam kelas untuk

meningkatkan pemahaman, aktivitas, dan hasil belajar

siswa pada pembelajaran sejarah.

2. Bagi siswa : Dengan menggunakan model pembelajaran dan metode

mengajar yang lebih bervariasi dapat memberikan suasana

baru dalam proses belajar di dalam kelas.

3. Bagi sekolah : Memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi sekolah

dalam rangka mengembangkan proses belajar mengajar di

dalam kelas.

4. Bagi penulis : Memberikan pengalaman yang berharga kepada peneliti

untuk mengetahui pengaruh penggunaan model

(19)

(TAPPS) terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran

sejarah di SMA Negeri 13 Bandar Lampung.

1.7. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah ruang lingkup penelitian pendidikan. Subjek

dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung tahun

ajaran 2012/2013. Siswa kelas X2 terpilih sebagai sampel pada kelas eksperimen

dan siswa kelas X3 sebagai sampel pada kelas kontrol. Ruang lingkup objek

dalam penelitian ini adalah penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair

Problem Solving (TAPPS) terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah

kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.

Pengaruh penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving

(TAPPS) dalam penelitian ini ditinjau dari beberapa aspek, yaitu:

a. Rata-rata hasil belajar siswa pada kelas ekperimen dan kelas kontrol.

b. Rata-rata skor peningkatan (gain) hasil belajar siswa pada kelas eksperimen

dan kelas kontrol.

c. Persentase ketuntasan belajar siswa pada kelas ekperimen minimal 65% dari

jumlah keseluruhan siswa yang mengikuti pembelajaran tersebut.

Hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil belajar pada aspek

kognitif siswa atau perbedaan hasil belajar siswa pada mata pelajaran sejarah yang

diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair

Problem Solving (TAPPS) pada kelas eksperimen dengan hasil belajar siswa yang

(20)

11

hasil belajar siswa diukur dari hasil tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest).

Hasil belajar siswa dapat diketahui dari hasil tes formatif tipe pilihan ganda yang

diberikan pada saat posttest sesuai dengan waktu yang telah ditentukan selama

proses pembelajaran berlangsung di SMA Negeri 13 Bandar Lampung.

Materi ajar yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari satu kompetensi

dasar pada mata pelajaran sejarah kelas X tingkat SMA, dengan sub materi atau

pokok bahasan tentang: “Kehidupan Awal Masyarakat Indonesia” yang telah

disesuaikan dengan KTSP dan buku belajar yang digunakan di SMA Negeri 13

(21)

REFERENSI

B. Suryosubroto. 1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. hlm.149.

Roestiyah. 1986. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara. hlm.37. Sardiman, A. M. 1990. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Pedoman Bagi

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Konsep Cooperative Learning atau pembelajaran cooperative

Cooperative Learning mengandung pengertian bekerja sama dalam mencapai

tujuan bersama. Belajar cooperative adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam

pengajaran yang memungkinkan siswa bekerjasama untuk memaksimalkan proses

belajar siswa dengan siswa lainnya dalam kelompok tersebut.

Cooperative Learning adalah “suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen. Keberhasilan belajar dari kelompok tergantung pada kemampuan dan aktifitas anggota kelompok, baik secara individual maupun secara kelompok” (Etin Solihatin dan Raharjo, 2007:4).

Berdasarkan pendapat di atas pembelajaran dengan cooperative learning

memungkinkan terjadinya interaksi-interaksi terbuka dan hubungan-hubungan

antar siswa dalam kelompok. Siswa belajar bersama-sama di dalam kelompok

membahas pertanyaan-pertanyaan maupun masalah yang diberikan guru kepada

masing-masing kelompok. Keberhasilan belajar menurut model belajar ini bukan

semata-mata ditentukan oleh kemampuan individual secara utuh, melainkan

perolehan belajar ini akan semakin baik apabila dilakukan secara bersama-sama

(23)

dari teman sebaya di bawah bimbingan guru, maka proses penerimaan dan

pemahaman siswa akan semakin mudah dan cepat terhadap materi yang dipelajari.

Menurut Lie “Cooperative Learning merupakan model pembelajaran yang mengacu pada strategi pembelajaran yang mana siswa bekerjasama dalam kelompok kecil untuk menolong satu sama lainnya dalam memahami suatu pembelajaran, memeriksa, dan memperbaiki jawaban temannya, serta kegiatan lainnya dengan tujuan mencapai prestasi belajar tinggi” (Lie, 2002:24).

Berdasarkan pendapat di atas, cooperative learning merupakan suatu model

pembelajaran yang membantu siswa untuk saling bekerjasama dan membantu satu

dengan yang lainnya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan menyelesaikan

masalah yang disiapkan oleh guru untuk mencapai prestasi belajar yang lebih

baik. Sehingga dengan bekerja bersama-sama diantara sesama kelompok akan

meningkatkan produktivitas dalam perolehan hasil belajar, serta mendorong siswa

dalam memecahkan berbagai masalah yang ditemui selama proses pembelajaran.

Belajar dalam kelompok kecil dengan prinsip cooperative sangat baik digunakan

untuk tujuan belajar, baik yang sifatnya kognitif, afektif, maupun psikomotor.

Dalam model pembelajaran cooperative, siswa berperan menjadi lebih aktif

sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi,

serta dapat memotivasi siswa dalam meningkatkan hasil belajarnya. Oleh karena

itu model pembelajaran cooperative sangat baik dilaksanakan di dalam kelas

untuk membantu siswa agar dapat bekerjasama di dalam kelompok untuk

menyelesaikan tugas-tugas dan masalah yang ditemuinya ketika proses belajar

(24)

15

Dengan demikian pembelajaran cooperative adalah suatu proses pembelajaran

yang dalam prosesnya membagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil yang

terdiri dari dua orang atau lebih yang saling bekerjasama untuk mencapai tujuan

pembelajaran yang diharapkan.

2.1.2. Konsep Model Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)

Model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) merupakan

salah satu pengembangan dari model pembelajaran cooperative (cooperative

learning), dimana siswa belajar secara berkelompok (cooperative). Siswa dilatih

dan dibiasakan untuk saling bertukar pengetahuan, berdiskusi secara komunikatif,

serta berbagi tugas dan tanggung jawab di dalam kelompok-kelompok yang telah

ditentukan.

Menurut Felder tentang Model Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS). “Dalam model ini siswa mengerjakan dan menjawab permasalahan yang mereka jumpai secara berpasangan, dengan satu anggota pasangan berfungsi sebagai pemecah permasalahan dan yang lainnya sebagai pendengar. Pemecah permasalahan menyampaikan semua ide dan pemikiran mereka saat mencari sebuah jawaban, sedangkan pendengar membantu rekan mereka untuk menemukan jawaban dan menawarkan solusi kepada pemecah permasalahan” (Felder,1994:5 dalam Nurhadi Hanuri).

Berdasarkan pendapat di atas, model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem

Solving (TAPPS) menghadapkan siswa pada suatu permasalahan yang

diselesaikan dengan cara berpasangan secara komunikatif. Pada model ini siswa

memiliki peran dan fungsinya masing-masing, yaitu sebagai problem solver

(25)

Model pembelajaran cooperative Thinking Aloud pair Problem Solving (TAPPS)

merupakan suatu model pembelajaran dimana siswa dibagi menjadi beberapa

kelompok, dan di dalam kelompok masing-masing siswa bekerja sama serta saling

membantu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang diberikan oleh guru

kepada masing-masing kelompok tersebut. Model pembelajaran ini memberikan

kesempatan kepada siswa untuk mencari jawaban dari permasalahan yang ada

secara berkelompok. Dengan menerapkan model pembelajaran ini, siswa

melakukan diskusi dan saling bertukar ide atau pendapat dalam menyelesaikan

suatu permasalahan atau pertanyaan-pertanyaan yang ditemui siswa dalam proses

belajar di dalam kelas secara berpasangan.

Dalam bahasa Indonesia Thinking artinya berfikir, Aloud artinya suara yang jelas

atau menyampaikan jawaban dan solusi dengan suara yang jelas, Pair artinya

berpasangan dan Problem Solving yang berarti menyelesaikan masalah. Jadi

apabila digabungkan secara keseluruhan Thinking Aloud Pair Problem Solving

(TAPPS) dapat diartikan sebagai suatu cara berfikir secara berpasangan dalam

menyelesaikan atau memecahkan masalah.

“Model pembelajaran ini merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat menciptakan kondisi belajar siswa menjadi lebih aktif. Jenis pembelajaran ini membuat siswa untuk mencari tahu sumber-sumber pengetahuan yang relevan. Model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) memberikan tantangan kepada siswa untuk belajar berfikir secara sendiri atau berpasangan dalam menyelesaikan masalah (Musanif, 2007:1 dalam Armin Subhani)”.

Dari pengertian di atas, maka Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)

dapat diartikan suatu cara berfikir berpasangan (Thinking Aloud Pair), yaitu suatu

(26)

17

memahami pertanyaan-pertanyaan yang ada secara berpasangan, dimana fokus

pembelajaran tergantung pada masalah yang dipilih. Model pembelajaran ini

merupakan salah satu model pembelajaran yang menekankan pada keaktifan dan

kreativitas siswa dalam mengeluarkan ide dan pendapat-pendapat, serta melatih

siswa menggunakan kemampuan berpikir untuk memahami konsep-konsep yang

dipelajari. Pembelajaran ini diharapkan berpengaruh positif terhadap pola pikir

kreatif siswa. Dalam pembelajaran ini siswa lebih banyak bekerja dan berpikir

dari pada mendengarkan atau sekedar menerima informasi dari guru, sehingga

konsep materi yang diperoleh siswa dapat tertanam lebih kuat dalam ingatan,

sehingga prestasi belajar yang dicapai oleh siswa menjadi lebih baik.

Langkah-langkah pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)

menurut Felder (1994:6-8), yaitu:

1. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai 2. Siswa membentuk kelompok yang terdiri dari dua sampai empat orang. 3. Guru memberikan tugas dan peran kepada masing-masing kelompok,yaitu

sebagai problem solver dan listener.

4. Siswa diminta secara berpasangan mulai menyelesaikan materi/ masalah yang disiapkan oleh guru.

5. Guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya.

6. Guru memberi kesimpulan 7. Penutup

(Felder, 1994:6-8 dalam Nurhadi Hanuri)

Lebih lanjut Felder menyatakan bahwa dalam membentuk kelompok belajar

dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving

(TAPPS) disarankan sebagai beikut:

(27)

Saat siswa bekerja terpisah, salah satu diantarannya lebih mendominasi biasanya bukanlah mekanisme yang baik untuk memecahkan perdebatan, dan dalam tim yang berisi lima orang atau lebih akan menjadi sulit untuk mempertahankan keterlibatan setiap orang dalam proses. Kumpulkan satu tugas per-kelompok.

2. Usahakan membentuk kelompok yang kemampuannya heterogen

Hambatan akan dijumpai jika satu kelompok memiliki anggota yang semuanya lemah akan tampak nyata tetapi dengan mengumpulkan satu kelompok yang memiliki anggota dengan kemampuan kuat juga tidak disarankan.

3. Hindari kelompok dimana siswa perempuan dan siswa minoritas yang banyak jumlahnya.

Studi-studi telah memperlihatkan bahwa gagasan siswa perempuan dan kontribusinya seringkali dikurangi atau dipotong dalam tim yang memiliki kelompok berjenis kelamin campuran, dan para siswa perempuan akhirnya mengambil peran pasif dalam interaksi kelompok.

4. Jika sangat memungkinkan, memilih kelompok sendiri

5. Memberikan tugas regu dengan masing-masing tugas yang berputar.

6. Mempertimbangkan hal positif yang saling bergantung

Semua anggota regu perlu merasakan bahwa mereka mempunyai peran unik untuk berperan serta di salah kelompok dan tugas hanya dapat diselesaikan dengan baik jika semua anggota melakukan tugas mereka.

7. Mempertimbangkan tanggung jawab individu

Cara terbaik untuk mencapai tujuan adalah dengan memberikan tes individu, selain itu anggota regu perlu menyajikan atau mejelaskan hasilnya masing-masing.

8. Membuat kelompok secara teratur menilai prestasi mereka

Pada awal tugas, siswa perlu mendiskusikan apa yang sebaiknya dikerjakan, kesulitan apa yang muncul, dan apa yang tiap-tiap angggota dapat lakukan untuk membuat semua hal bekerja lebih baik.

9. Menawarkan gagasan agar kelompok berfungsi efektif

(28)

19

kelompok dan untuk membantu pengembangan dari keterampilan hubungan antar pribadi yang menopang di dalam pembentukan regu dan prestasi.

10.Menyediakan bantuan regu yang memiliki kesukaran dalam bekerja sama. Kelompok yang mempunyai permasalahan harus dipertemukan dengan pengajar untuk mendiskusikan kemungkinan pemecahan masalah.

11.Jangan membentuk kembali kelompok yang sudah pernah terbentuk

Tujuan bekerjasama yang utama akan membantu para siswa memperluas daftar literatur pendekatan pemecahan masalah mereka, dan tujuan kedua akan membantu mereka mengembangkan keterampilan kepemimpinan kolaboratif, pengambilan keputusan dan tujuan lainnya. Ini hanya dapat dicapai jika para siswa mempunyai cukup waktu untuk mengembangkan suatu dinamika kelompok, persaingan dan menanggulangi berbagai kesulitan dalam bekerja bersama-sama.

(Felder,1994: 6-8 dalam Syaifullah).

Keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh dari pembelajaran dengan

menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving

(TAPPS) menurut Sanjaya adalah sebagai berikut, yaitu:

1. Menantang kemampuan siswa, serta memberikan kepuasan bagi siswa untuk menemukan pengetahuan barunya.

2. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.

3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan menanamkan sikap bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan.

4. Mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir, dan

5. Memberikan kesempatan kepada siswa mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.

(Sanjaya dalam Armin Subhani, 2007: 218-219).

(29)

berfikir memecahkan permasalahan”(A.Tabrani Rusyan dan Yani Daryani, 1990:41).

Dari pendapat para ahli di atas, dapat kita simpulkan bahwa keuntungan model

pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) adalah melatih dan

merangsang perkembangan kemampuan berfikir siswa secara kreatif dan

komunikatif, serta membantu siswa agar lebih memahami materi pembelajaran

dengan membiasakan siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara

terampil.

Model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) lebih

ditekankan kepada kemampuan penyelesaian masalah (problem solving). Metode

pembelajaran ini melatih siswa untuk memecahkan masalah baik secara individu

maupun kelompok. Menurut Djamarah dan Zain (2006), metode problem solving

memiliki langkah-langkah sebagai berikut:

1. Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus sesuai dengan taraf kemampuan siswa.

2. Mencari data atau keterangan yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya dengan membaca buku, bertanya, berdiskusi, dan lain-lain.

3. Menetapkan jawaban sementara, mencari jawaban, dan 4. Menarik kesimpulan.

Dengan memecahkan masalah atau menjawab pertanyaan berarti siswa

memperoleh sesuatu yang baru, yaitu pelajaran baru yang dihasilkan dari

pemikiran siswa saat memecahkan masalah berdasarkan yang sudah dipelajarinya.

(30)

21

Berdasarkan pendapat Tabrani Rusyan dan Yani Daryani, yang dimaksudkan

pemecahan masalah dalam hal ini adalah sebuah cara belajar mencari sebuah

jawaban dari permasalahan yang ada ataupun yang telah dipersiapkan sesuai

dengan pokok bahasan yang dipelajari dan tingkat pendidikan atau taraf

kemampuan seseorang. Selanjutnya Engkoswara dalam A. Tabrani Rusyan dan

Yani Daryani (1979:148), menyatakan bahwa bentuk-bentuk pertanyaan yang

dapat dikatakan masalah yaitu berupa pertanyaan-pertanyaan dengan jenjang C2

(pemahaman), C3 (aplikasi), C4 (analisa), C5 (Sintesa), dan C6 (evaluasi) yang

dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bentuk pertanyaan, seperti : Bagaimana, dan Mengapa?

2. Bentuk tujuan, seperti : untuk apa?

3. Adanya faktor penyebab dan cara mengatasinya.

Dengan metode pembelajaran ini, diharapkan siswa dapat memperoleh

pengetahuan yang terintegrasi. Model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem

Solving (TAPPS) dapat dimulai dengan melakukan kerja kelompok antar siswa.

Siswa memahami materi, menjawab dan memecahkan masalah, ataupun

menemukan permasalahan baru, kemudian menyampaikan hasil diskusi secara

pleno di bawah petunjuk fasilitator.

2.1.3. Pembelajaran Sejarah

Pembelajaran sejarah adalah dua konsep kata yang memiliki arti khusus secara

masing-masing. Isjoni menyatakan bahwa “pembelajaran adalah suatu kombinasi

yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan,

(31)

(Isjoni, 2007:11). Sedangkan Duffy dan Roehler mengatakan “pembelajaran

adalah suatu usaha yang sengaja melibatkan dan menggunakan pengetahuan

professional yang dimiliki guru untuk mencapai tujuan kurikulum” (Duffy dan

Roehler, 1989). Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran adalah suatu kombinasi yang melibatkan unsur-unsur yang dimiliki

oleh guru dan perlengkapan mengajarnya, untuk mencapai tujuan pembelajaran

atau tujuan kurikulum.

“Sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesa dan dunia pada masa lampau hingga kini. Orientasi pembelajaran sejarah di tingkat SMA bertujuan agar siswa memperoleh pemahaman ilmu serta memupuk pemikiran yang historis dalam pemahaman sejarah. Pemahaman ilmu diharapkan membawa perolehan fakta-fakta, penguasaan ide-ide, dan kaedah sejarah“.(Isjoni, 2007:71).

Sementara itu menurut Rustam E.Tamburaka mengatakan “ sejarah adalah cerita

tentang perubahan–perubahan, peristiwa–peristiwa atau kejadian pada masa

lampau yang telah diberi tafsir atau alasan yang dikaitkan sehingga membentuk

suatu pengertian yang lengkap” (Rustam E.Tamburaka, 2002:2).

Pengertian sejarah dapat dibagi menjadi dua pengertian yakni :

a. Sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk, ialah bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Uraian atau cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta–fakta terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah, baik proses maupun struktur.

b. Sejarah dalam arti objektif menunjukkan kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, ialah proses sejarah dalam aktualitasnya. Kejadian itu hanya terjadi sekali dan tidak dapat terulang kembali. Keseluruhan proses itu berlangsung terlepas dari subjek manapun juga. Jadi, objektif dalam arti tidak memuat unsur–unsur subjek (pengarang atau pengamat).

(32)

23

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah

adalah suatu proses pembelajaran tentang perisitiwa atau kejadian pada masa lalu

yang disusun secara objektif dan sistematis yang merupakan suatu kombinasi

unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, dan perlengkapan yang dimiliki oleh

guru untuk mencapai tujuan pembelajaran atau kurikulum demi memupuk

pemahaman tentang sejarah negaranya atau pengetahuan tentang sejarah lainnya.

“Pembelajaran sejarah di sekolah merupakan salah satu pembelajaran yang harus dipelajari oleh siswa. Pentingnya pembelajaran sejarah di sekolah– sekolah diakui semua bangsa dan negara, karena pembelajaran sejarah merupakan sarana untuk menyosialisasikan nilai–nilai tradisi bangsa yang sudah teruji dengan waktu, memahami perjuangan dan pertumbuhan bangsa dan negara, baik secara fisik, politik, dan ekonomi sekaligus mendidik sebagai warga dunia yang sangat peduli kepada pentingnya pemahaman terhadap bangsa–bangsa lain” ( Isjoni, 2007:47).

Oleh karena itu, pembelajaran sejarah sangat penting untuk dipelajari di sekolah

karena sejarah merupakan sebuah pedoman bagi semua orang demi kebaikan

hidup di masa yang akan datang.

Selanjutnya menurut S.K. Kochhar, sasaran umum pembelajaran sejarah adalah

sebagai berikut ini:

1. Mengembangkan tentang diri sendiri.

2. Memberikan gambaran yang tepat tentang konsep waktu, ruang dan masyarakat.

3. Membuat masyarakat mampu mengevaluasi nilai dan hasil yang telah dicapai oleh generasinya.

11. Melatih siswa menangani isu-isu kontroversial.

(33)

13. Memperkokoh rasa nasionalisme.

14. Mengembangkan pemahaman internasioanal, dan

15. Mengembangkan keterempilan-keterampilan yang berguna. (S.K. Kochhar, 2008).

2.1.4. Konsep Hasil Belajar

Setelah mengalami proses pembelajaran, seorang siswa akan memperoleh hasil

dari sebuah proses belajar yang telah ia lakukan. Oemar Hamalik menyatakan

bahwa hasil belajar adalah “perubahan tingkah laku yang diharapkan, yang

nantinya dimiliki siswa setelah dilaksanakannya kegiatan belajar mengajar”

(Oemar Hamalik, 2003:43). Sedangkan Menurut Suryosubroto dalam bukunya

Proses Belajar Mengajar di Sekolah menyatakan: hasil belajar adalah “penilaian

tentang kemajuan siswa dalam segala hal yang dipelajari di sekolah yang

menyangkut pengetahuan dan keterampilan yang dinyatakan sesudah penilaian”

(Suryosubroto, 1997:2).

Dari pengertian hasil belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli, maka hasil

belajar merupakan segala perubahan dan kemampuan yang dimiliki oleh siswa

setelah mengalami sebuah rangkaian kegiatan dalam proses belajar. Seseorang

yang telah melakukan aktivitas belajar, memperoleh perubahan dalam dirinya, dan

telah memiliki pengalaman baru dalam hidupnya, maka individu tersebut dapat

dikatakan telah melaksanakan apa yang dimaksud dengan belajar.

Hasil belajar dalam penelitian ini adalah perubahan hasil belajar pada aspek

kognitif siswa setelah diberikan treatment atau perlakuan berupa penggunaan

model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) pada kelas

(34)

25

mengerjakan posttest dengan bentuk soal pilihan ganda pada materi sejarah yang

telah ditentukan.

2.2. Penelitian Yang Relevan

1. Judul: Upaya Meningkatkan Minat Dan Hasil Belajar Fisika Siswa

Melalui Penerapan Model Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem

Solving (TAPPS) (PTK di kelas X4 SMA Negeri 9 Bandar Lampung),

nama peneliti: Betha Natalia Aritonang, NPM: 0713022022, program

studi: Pendidikan Fisika, FKIP MIPA, Universitas Lampung. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa minat dan hasil belajar siswa dapat

ditingkatkan dengan menerapkan model pembelajaran Thinking Aloud

Pair Problem Solving (TAPPS).

Rata-rata minat siswa pada siklus I adalah 2,30 tergolong (sedang), pada

siklus ke- II meningkat menjadi 2,48 tergolong (sedang), dan pada siklus

III meningkat lagi menjadi 2,61 dan tergolong (tinggi). Sedangkan hasil

belajar siswa pada siklus I adalah 76,09 tergolong (baik), pada siklus ke- II

meningkat menjadi 78,94 tergolong (baik), dan pada siklus III meningkat

lagi menjadi 81,88 tergolong (sangat baik).

2. Judul: Penerapan Model Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem

Solving dengan Menggunakan Strategi Group Resume Untuk

Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Akutansi Siswa Kelas XI IPS 4

SMA Negeri 1 Tanjung Morawa T.A. 2011/2012, nama peneliti: Nanda

A.N., program studi: Pendidikan Akutansi, Fakultas Ekonomi, Universitas

(35)

pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving dengan menggunakan

strategi Group Resume dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar

akutansi siswa kelas XI IPS 4 SMA Negeri 1 Tanjung Morawa Tahun

Ajaran 2011/2012.

2.3. Kerangka Pikir

Penggunaan model pembelajaran yang tepat dan lebih bervariasi dapat

menimbulkan minat dan keaktifan siswa dalam belajar di kelas sehingga

berpengaruh terhadap hasil belajar siswa menjadi lebih baik. Sedangkan

pemilihan model pembelajaran yang tidak tepat justru dapat menghambat

tercapainya tujuan pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran yang diterapkan

di sekolah hendaknya dapat menciptakan suasana pembelajaran di dalam kelas

menjadi lebih aktif, kreatif, dan menyenangkan, sehingga siswa menjadi lebih

termotivasi dan mudah memahami konsep-konsep dalam materi yang dipelajari.

Model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) merupakan

pembelajaran yang menuntut siswa untuk berperan aktif dalam mengikuti proses

belajar di kelas. Dalam model pembelajaran ini, siswa dibagi menjadi beberapa

kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari dua atau empat orang siswa,

masing-masing siswa dalam kelompok berperan sebagai problem solver (PS) dan

lainnya berperan sebagai listener (L). Dalam pembelajaran ini, problem solver

bertugas menyampaikan semua ide dan pemikiran pada saat mencari sebuah

jawaban kepada listener, sedangkan listener bertugas membantu problem solver

dalam memecahkan masalah dan menemukan jawaban, serta menawarkan solusi

(36)

27

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Thinking Aloud

Pair Problem Solving (TAPPS). Selain itu, variabel kontrol dalam penelitian ini

adalah pembelajaran dengan metode diskusi kelompok. Sedangkan variabel

terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah

yang telah ditentukan.

Kedua model dan metode pembelajaran ini akan diujicobakan kepada siswa kelas

X SMA Negeri 13 Bandar Lampung. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua

kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen akan

diberikan treatment atau perlakuan yaitu dengan diajarkan menggunakan model

pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) sedangkan pada

kelas kontrol akan diajarkan menggunakan pembelajaran dengan metode diskusi

kelompok.

Penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)

di dalam kelas pada proses belajar mengajar diharapkan dapat berpengaruh positif

terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah, sehingga hasil belajar

siswa menjadi lebih baik.

(37)

2.4. Paradigma

Keterangan :

: Garis kegiatan

: Garis Pengaruh

Simbol X : perlakuan (treatment)

2.5. Hipotesis

Hipotesis adalah “Jawaban sementara yang dianggap benar dalam suatu penelitian

yang perlu dibuktikan kebenarannya melalui fakta-fakta pendukungnya” (Sutrisno

Hadi, 2001:73). Sedangkan Winarno Surachmad berpendapat bahwa hipotesis

adalah “kesimpulan yang belum final yang dapat dibuktikan kebenarannya

melalui penelitian” (Winarno Surachmad, 2001:57). Menurut Sugiyono dalam

bukunya yang berjudul metode penelitian pendidikan, hipotesis merupakan

“jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan

masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan” (Sugiyono,

2012:96).

Model Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (X)

Hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah

Metode diskusi kelompok Kelas

Eksperimen

(38)

29

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, yang dimaksud dengan hipotesis adalah

suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian yang

harus dibuktikan kebenarannya. Hipotesis akan terbukti kebenarannya melalui

sebuah penelitian dengan cara pengumpulan data-data, baik berupa fakta maupun

data-data pendukung.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Pertama : Penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem

Solving (TAPPS) berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada

pembelajaran sejarah.

Kedua : Rata-rata hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan

model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving

(TAPPS) lebih tinggi daripada rata-rata hasil belajar siswa yang

tidak diajarkan menggunakan model pembelajaran tersebut.

Ketiga : Persentase ketuntasan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan

model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving

(TAPPS) ≥ 65 %.

Untuk menguji hipotesis yang pertama, digunakan hipotesis sebagai berikut:

H0 : Tidak Ada pengaruh dalam penggunaan model pembelajaran

Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) terhadap hasil

belajar siswa pada pembelajaran sejarah.

H1 : Ada pengaruh dalam penggunaan model pembelajaran

Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) terhadap hasil

(39)

Untuk menguji hipotesis yang kedua, digunakan hipotesis sebagai berikut:

H0 : Rata-rata hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan

model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving

(TAPPS) lebih rendah daripada rata-rata hasil belajar siswa yang

tidak diajarkan menggunakan model pembelajaran tersebut.

H1 : Rata-rata hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan

model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving

(TAPPS) lebih tinggi daripada rata-rata hasil belajar siswa yang

tidak diajarkan menggunakan model pembelajaran tersebut.

Untuk menguji hipotesis yang ketiga, digunakan hipotesis sebagai berikut:

H0 : Persentase ketuntasan hasil belajar siswa pada kelas eksperimen

yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran

Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) < 65 %.

H1 : Persentase ketuntasan hasil belajar siswa pada kelas eksperimen

yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran

(40)

31

REFERENSI

Etin Solihatin dan Raharjo. 2007. Cooperative Learning. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 4.

Anita Lie. 2002. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo. hlm. 24.

A. Tabrani Rusyan dan Yani daryani. 1990. Penuntun Belajar yang Sukses. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: PT. Nine Karya. hlm. 41. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar.

Jakarta: Rineka Cipta.

A. Tabrani Rusyan dan Yani daryani. Loc Cit. hlm. 41. . Op Cit. hlm.148.

Isjoni. 2007. Pembelajaran Sejarah Pada Satuan Pendidikan. Bandung: Alfabeta. hlm. 11.

Ibid. hlm. 71.

Rustam, E Tamburaka. 2002. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan IPTEK. Jakarta : PT. Rineka Cipta. hlm. 2.

Ibid. hlm. 14.

Isjoni. Op Cit. hlm. 47.

S.K. Kochhar. 2008. Pembelajaran Sejarah. Terjemahan Purwanta dan Yovita Hardiati. Jakarta: PT. Grasindo.

Oemar Hamalik. 2005. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara. hlm. 43.

Suryosubroto. 1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. hlm. 2.

Sutrisno Hadi. 2001. Metodologi Research. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. hlm.73.

Winarno Surachmad. 2001. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito. hlm. 57.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. hlm. 96.

Sumber-sumber lain:

Subhani, Armin. 2011. Pengertian Thinking Aloud Pair Problem Solving,

Keuntungan &Karakteristik. Tersedia di www.stkipselong.blogspot.com (diunduh tanggal 30 Januari 2013, pukul 20:08).

Hanuri, Nurhadi.2011. Model pembelajaran cooperative Thinking Aloud Pair Problem Solving. Tersedia di http://www.psb-sma.org (pusat sumber belajar),(diunduh tanggal 30 Januari 2013, pukul 20:34).

Syaifullah. 2009. Model Pembelajaran Aktif.

(41)

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian dan Metode Penelitian yang digunakan

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode

penelitian eksperimen. Metode penelitian eksperimen menurut Sumadi Suryabrata

merupakan “suatu metode penelitian untuk mengetahui atau menyelidiki

perbedaan dan pengaruh dua metode mengajar pada mata pelajaran tertentu di

dalam kelas” (Sumadi Suryabrata, 2012:88). Sedangkan Sugiyono menyatakan

bahwa di dalam penelitian eksperimen ada perlakuan (treatment) yang diberikan

kepada kelompok-kelompok tertentu, dengan demikian metode penelitian

eksperimen adalah “sebuah metode yang digunakan untuk mencari pengaruh

sebuah perlakuan tertentu terhadap objek-objek yang ingin diteliti dalam kondisi

yang terkendalikan” (Sugiyono, 2012:107).

Penelitian ini akan membandingkan nilai pretest dan posttest antara kelas

eksperimen dan kelas kontrol. Selanjutnya data pretest dan posttest dari kedua

kelas dianalisis untuk melihat ada tidaknya perbedaan atau pengaruh yang

signifikan antara model pembelajaran pada kelas eksperimen dan pada kelas

(42)

33

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 13 Bandar Lampung yang

beralamatkan di Jalan Padat Karya Sinar Harapan, Kecamatan Rajabasa, Bandar

Lampung 35144. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai

bulan Mei, yaitu pada Semester Genap tahun ajaran 2012/2013.

3.3. Desain Penelitian

Metode penelitian eksperimen memiliki bermacam-macam jenis desain. Metode

eksperimen dalam penelitian ini menggunakan jenis desain penelitian dengan

metode pretest-posttest control group design. Dalam desain ini, Sugiyono

menyatakan “bahwa terdapat dua kelompok yang dipilih secara random,

kemudian sebelumnya diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal antara

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol” (Sugiyono, 2012:112). Selanjutnya

setelah diketahui hasil dari pretest dua kelompok tersebut, maka pada kelas

eksperimen diberikan perlakuan (X), sedangkan pada kelas kontrol tidak diberikan

perlakuan (X).

Setelah diberikan perlakuan atau treatment pada salah satu kelompok sampel

(kelompok eksperimen) dilanjutkan dengan pemberian posttest pada kedua kelas

atau kedua kelompok sampel yang digunakan. Pengaruh perlakuan disimbolkan

dengan (O2-O1)-(O4-O3) dan selanjutnya untuk melihat pengaruh perlakuan

berdasarkan signifikasinya adalah dengan menggunakan uji statistik parametrik

ataupun uji statistik nonparametrik. Jika terdapat perbedaan yang signifikan antara

(43)

berpengaruh secara signifikan. Untuk lebih jelasnya tentang desain penelitian

yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dilihat pada tabel 3.1 sebagai berikut :

Tabel 3.1. Desain Penelitian Pretest-Posttest Control Group Design Keterangan :

R = kelompok dipilih secara random

X = perlakuan atau sesuatu yang diujikan

O1 =hasil pretest kelas eksperimen

O3 = hasil pretest kelas kontrol

O2 = hasil posttest kelas eksperimen

O4 = hasil posttest kelas kontrol

Sumber : (Sugiyono, 2012:112)

Tujuan dari penelitian eksperimen ini adalah untuk mengetahui dan menyelidiki

ada tidaknya pengaruh dan hubungan sebab akibat suatu model atau metode

mengajar yang dilakukan atau yang diujikan oleh peneliti dengan cara

memberikan perlakuan-perlakuan tertentu pada beberapa kelompok yang diujikan,

yaitu pada kelompok eksperimen dan kelompok pada kontrol yang telah

ditentukan.

3.4. Populasi dan Sampel

3.4.1. Populasi

Populasi adalah “semua individu yang menjadi sumber pengambilan sampel, baik

berupa orang, barang, maupun peristiwa” (menurut Komaruddin dalam Mardalis,

2009:53). Suharsimi Arikunto (2006:130) menyatakan bahwa populasi merupakan

“keseluruhan subjek penelitian”. Sedangkan populasi menurut Sugiyono adalah

“wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek atau subjek yang mempunyai

R O1 X O2

(44)

35

kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari

dan kemudian ditarik kesimpulannya berdasarkan kepentingan dalam penelitian”

(Sugiyono, 2012:117).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X di SMA Negeri 13

Bandar Lampung pada tahun ajaran 2012/2013, seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 3.2. Jumlah anggota populasi

No. Kelas Jumlah Siswa Jumlah

Laki-laki Perempuan

1. X1 13 20 33 orang

2. X2 13 20 33 orang

3. X3 13 21 34 orang

4. X4 13 23 36 orang

5. X5 12 22 34 orang

6. X6 12 23 35 orang

7. X7 12 23 35 orang

Jumlah 88 orang 152 orang 240 orang

Sumber : Dokumentasi Tata Usaha SMA Negeri 13 Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013

Dari tabel di atas, diketahui bahwa yang menjadi populasi adalah siswa kelas X

SMA Negeri 13 Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013 yang terdistribusi

dalam 7 kelas (dari kelas X1 sampai kelasX7) dengan jumlah siswa sebanyak 240

orang siswa. Dari ketujuh kelas yang ada, terdapat satu kelas unggulan, yaitu

kelas X1 sedangkan kelas yang lain memiliki kemampuan yang relative sama.

Populasi dalam penelitian ini terdiri dari 88 orang siswa laki-laki dan 152 orang

(45)

3.4.2. Teknik Pemilihan Sampel

Teknik pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

Random Sampling. Dalam teknik Random Sampling ini, Mardalis menyatakan

bahwa “tiap-tiap peneliti memperkirakan bahwa setiap sampel dalam populasi

berkedudukan sama” (Mardalis, 2009:57), sedangkan menurut Suharsimi

Arikunto dalam bukunya yang berjudul prosedur penelitian, “Teknik Random

Sampling ini memberi hak yang sama kepada setiap subjek untuk memperoleh

kesempatan untuk dipilih menjadi sampel” (Suharsimi Arikunto, 2006:134). Oleh

karena itu, maka asumsi peneliti adalah setiap subjek sama dan memiliki

kemampuan yang hampir seimbang, yaitu siswa yang baru masuk SMA Negeri 13

Bandar lampung dan siswa tersebut sama-sama tamatan SMP dan sama-sama

lulus diterima di SMA Negeri 13 Bandar Lampung.

Penarikan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan cara

pengundian yang sebelumnya telah mengalami proses pengacakan. Hasil dari

pengundian yang telah mengalami proses pengacakan tersebut merupakan sampel

yang terpilih dan akan digunakan dalam penelitian.

3.4.3. Sampel

Sampel adalah “sebagian contoh yang diambil dari populasi” (Sudjana, 2005:6).

Sedangkan menurut Mardalis, sampel merupakan “sebagian dari seluruh individu

yang menjadi objek penelitian” (Mardalis, 2009:55). Sugiyono menyatakan

sampel adalah “bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi”

(46)

37

dan peneliti memiliki keterbatasan waktu, tenaga, maupun biaya, maka peneliti

menggunakan sampel dalam penelitian ini. Sampel yang digunakan peneliti dalam

penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3.3. Sampel penelitian

No. Kelas Jumlah Siswa Jumlah Keterangan

Laki-laki Perempuan

1. X2 13 20 33 orang Eksperimen

2. X3 13 21 34 orang Kontrol

Jumlah 26 orang 41 orang 67 orang

Sumber : Hasil pengolahan sampel yang dilakukan oleh peneliti

Dari tabel di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa sampel yang terpilih dalam

penelitian ini adalah siswa kelas X2 dan siswa kelas X3, dengan siswa kelas X2

sebagai kelas eksperimen yang mendapat perlakuan dengan diajarkan

menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving

(TAPPS), dan siswa kelas X3 sebagai kelas kontrol yang tidak mendapat

perlakuan dengan tidak diajarkan menggunakan model pembelajaran tersebut,

tetapi diajarkan dengan menggunakan metode diskusi kelompok.

3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.5.1. Variabel Penelitian

Variabel menurut Sutrisno Hadi adalah “gejala-gejala yang menunjukkan variasi,

baik dalam jenis maupun dalam tingkatnya”(Sutrisno Hadi, 2001:224), sedangkan

menurut Suharsimi Arikunto variabel merupakan “objek penelitian atau apa saja

(47)

2006:118). Hatch dan Farhady menyatakan bahwa variabel merupakan “sebuah

atribut seseorang, atau objek yang mempunyai “variasi” antara satu orang dengan

yang lain atau satu objek dengan objek lain” (Hatch dan Farhady:1981,dalam

Sugiyono, 2012:60).

Penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas

adalah variabel Independen yang mempengaruhi atau variabel yang menjadi sebab

perubahan atau yang menyebabkan timbulnya variabel dependen. Dalam

penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah penggunaan model

pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dalam pembelajaran

sejarah pada kelas eksperimen. Sedangkan Variabel terikat adalah variabel

dependen yang dipengaruhi atau variabel yang menjadi akibat karena adanya

variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah hasil

belajar siswa pada pembelajaran sejarah.

3.5.2. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel adalah suatu cara untuk menggambarkan dan

mendeskripsikan variabel sedemikian rupa sehingga variabel tersebut bersifat

spesifik dan terukur. Agar peneliti dapat mencapai suatu alat ukur yang sesuai

dengan hakikat variabel yang sudah didefinisikan konsepnya, maka peneliti harus

memasukkan proses atau operasionalnya alat ukur yang akan digunakan untuk

menguantifikasi gejala atau variabel yang ditelitinya. Definisi operasional dalam

(48)

39

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Thinking Aloud

Pair Problem Solving (TAPPS) pada kelas eksperimen yang merupakan suatu

pembelajaran yang dilakukan dengan cara membagi siswa menjadi beberapa

kelompok secara berpasangan untuk menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan dan

masalah yang diberikan guru kepada siswa di dalam kelompoknya

masing-masing. Model pembelajaran ini membagi peran siswa dalam kelompok menjadi

dua peran, yaitu sebagai problem solver dan listener. Tugas problem solver adalah

sebagai pemecah permasalahan atau menjawab pertanyaan yang diberikan dalam

kelompok, sedangkan tugas listener adalah sebagai pemberi solusi dan bantuan

secara komunikatif kepada problem solver.

Variabel bebas pada kelas kontrol dalam penelitian ini adalah pembelajaran

dengan metode diskusi kelompok. Metode diskusi kelompok adalah sebuah

metode mengajar atau cara belajar dimana siswa dihadapkan kepada suatu

masalah yang dapat berupa pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan

yang bersifat problematik sesuai dengan taraf kemampuan untuk dibahas

bersama-sama. Diskusi kelompok merupakan sebuah metode belajar dengan

membagi siswa ke dalam beberapa kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-6

orang atau lebih. Diskusi kelompok bertujuan untuk membahas permasalahan

dengan cara bersama-sama di dalam kelompok.

Hasil belajar dalam penelitian ini adalah hasil belajar kognitif siswa setelah

diberikan treatment atau perlakuan berupa model pembelajaran Thinking Aloud

(49)

atau skor yang diperoleh oleh siswa setelah mengerjakan posttest berbentuk

pilihan ganda pada materi pelajaran sejarah yang telah ditentukan.

3.6. Data Penelitian

Data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang terdiri dari:

1. Data awal berupa skor yang diperoleh melalui pretest sebelum memulai

pembelajaran.

2. Data akhir berupa skor yang diperoleh melalui posttest yang dilakukan di

akhir pembelajaran atau setelah pemberian treatment, dan

3. Data pencapaian (gain).

3.7. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari empat teknik

pengumpulan data, yaitu sebagai berikut:

3.7.1. Tes

Tes atau kuis merupakan “alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui

atau mengukur sesuatu, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan”

(Suharsimi Arikunto, 2011:52). Tes yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tes

untuk menetukan atau mengukur hasil belajar siswa di bidang aspek kognitif siswa

pada pembelajaran sejarah. Tes yang digunakan berupa tes formatif pilihan ganda

yang berjumlah 20 soal dan diadakan pada waktu yang telah ditentukan. Tes

diberikan kepada siswa sebelum pembelajaran (pretest) dan sesudah pembelajaran

(posttest) pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol.

Gambar

Tabel 3.2. Jumlah anggota populasi
Tabel 3.3. Sampel penelitian
Tabel 3.4. Kisi-kisi instrumen tes hasil belajar siswa
Tabel 3.5. Koefisien Validitas tes
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian adalah sebuah aplikasi sistem pencarian dan pemesanan pemandu wisata berbasis web yang menampilkan daftar seluruh pemandu wisata yang terdaftar sebagai

Perhitungan kinerja reksadana saham dengan metode Sharpe dan Treynor menghasilkan 12 reksadana bernilai positif, artinya bahwa hanya 29,26% reksadana saham yang

Dengan ini kami Panitia Pengadaan Barang/Jasa RSUD Kabupaten Nunukan T.A.2012 dengan ini menyatakan sanggahan benar mengenai kekeliruan jadwal yang terlalu singkat dan kesalahan

Variabel advertising, sales promotion, personal selling, direct marketing dan harga berpengaruh signifikan terhadap keputusan customer membeli cat minyak merek Avian

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar. ©Anindya Widita

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang be rjudul “Analisis Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan pada

jenis jaring insang yang dioperasikan secara pasif umumnya dilakukan pada.. malam hari dengan atau tanpa alat

Buah semusim dan merambat meliputi; stroberi, blewah, semangka, melon, anggur, dan markisa.. Beberapa komoditas yang mengalami peningkatan signifikan dan berkontribusi