PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) PADA PEMBELAJARAN SEJARAH
(Studi Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung)
Oleh
REDI ALMUZAKI
(S k r i p s i)
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN
Pada
Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) PADA PEMBELAJARAN SEJARAH
(Studi Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung)
Oleh
Redi Almuzaki
Keberhasilan seorang guru dalam mengajar di sekolah dipengaruhi oleh penggunaan model dan metode pembelajaran. Seorang guru sebaiknya tidak hanya menggunakan metode ceramah dan diskusi saja dalam proses pembelajaran, tetapi harus mampu mengelola kelas sehingga proses pembelajaran menjadi lebih aktif, efektif, dan menyenangkan. Aktivitas siswa dan motivasi sangatlah penting dalam sebuah proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang baik dapat tercapai bila siswa lebih berperan aktif di dalam kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Salah satu model pembelajaran yang dapat menciptakan pembelajaran yang lebih aktif adalah dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS). Model pembelajaran ini memberi kemandirian kepada siswa dengan bersama-sama melakukan diskusi kelompok dalam memecahkan masalah secara berpasangan dan komunikatif.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah, selanjutnya apakah ada perbedaan rata-rata hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah jika diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS), dan seberapa besar persentase tingkat ketuntasan hasil belajar siswa jika diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) studi pada siswa kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013 semester genap. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah dan apakah ada perbedaan rata-rata hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah jika diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS), serta seberapa besar persentase tingkat ketuntasan hasil belajar siswa jika diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS).
Berdasarkan hasil hitung data nilai posttest siswa dengan menggunakan uji statistik menggunakan program SPSS 17 diperoleh bahwa nilai Fhitung (6,135) > Ftabel (0,05;1;65) yaitu 3,988. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) berpengaruh pada pembelajaran sejarah kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung.
Diketahui bahwa nilai mean rank pada kelas eksperimen lebih tinggi daripada nilai mean rank pada kelas kontrol, yaitu bernilai pada 77,42 > 66,91. Rata-rata peningkatan gain pada kelas eksperimen pun lebih tinggi daripada rata-rata peningkatan gain pada kelas kontrol dengan nilai 23,1818 > 17,3529. Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan terhadap rata-rata data gain antara kelas eksperimen yang diajarkan dengan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dan metode diskusi kelompok pada kelas kontrol.
DAFTAR ISI
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA 2.1. Tinjauan Pustaka ………... 13
2.1.1. Konsep Cooperative Learning…….……….… 13
2.1.2. Konsep Model Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)………..……….. 15
2.1.3. Konsep Pembelajaran Sejarah…….…….………. 21
2.1.4. Konsep Hasil Belajar …….……….. 24 3.1. Jenis Penelitian dan Metode Penelitian yang Digunakan……..…………. 32
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian……….…………. 33
3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………..………... 37
3.5.1. Variabel Penelitian………..……….. 37
3.5.2. Definisi Operasional Variabel………..………. 38
3.6. Data Penelitian……….…………... 40
3.8. Langkah-langkah Penelitian……….………….. 42
3.9. Langkah-langkah Pelaksanaan Pembelajaran…….………... 43
3.10. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ………….………….. 44
3.11. Uji Validitas, Reliabilitas, Tingkat Kesukaran, dan Daya Pembeda……….………...……. 46
3.11.1 Uji Validitas………..……… 46
3.11.2 Uji Reliabilitas………..………. 48
3.11.3 Tingkat Kesukaran………..……….. 49
3.11.4 Daya Pembeda………..………. 50
3.12. Pengujian Data (Uji Pra Syarat)……….……… 51
3.12.1.Uji Normalitas………..………. 52
3.12.2.Uji Kesamaan Dua Varian (Homogenitas)………..……….. 53
3.13. Teknik Analisis Data..……… 53
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian...………..….…..…….. 57
4.2. Hasil Penelitian……….…….. 66
4.2.1. Data Hasil Kemampuan Awal (Nilai Pretest Siswa)..……….….. 66
4.2.2. Data Hasil Kemampuan Akhir (Nilai Posttest Siswa).…….……. 69
4.2.3. Data Peningkatan (Gain) Hasil Belajar Siswa………..…. 72
4.3. Analisa Hasil Penelitian………..….... 73
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 3.1. Desain Penelitian Pretest-Posttest Control Group Design………. 34
Tabel 3.2. Jumlah Anggota Populasi……… 35
Tabel 3.3. Sampel Penelitian……… 37
Tabel 3.4. Kisi-kisi instrument tes hasil belajar siswa………. 45
Tabel 3.5. Koefisien Validitas tes………. 47
Tabel 3.6. Koefisien Reliabilitas tes………. 49
Tabel 3.7. Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran……… 50
Tabel 3.8. Interpretasi Nilai Daya Pembeda………. 51
Tabel 3.9. Klasifikasi gain……… 54
Tabel 4.1. Daftar Nama Kepala Sekolah SMA Negeri 13 Bandar Lampung……… 58
Tabel 4.2. Daftar Sarana dan Prasarana di SMA Negeri 13 Bandar Lampung……. 60
Tabel 4.3. Rekapitulasi Data Nilai Pretest……… 66
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Nilai Pretest Kelas Eksperimen………. 67
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Nilai Pretest Kelas Kontrol………. 68
Tabel 4.6. Rekapitulasi Data Nilai Posttest………... 69
Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Nilai Posttest Kelas Eksperimen……… 70
Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Nilai Posttest Kelas Kontrol ………... 71
Tabel 4.9. Rekapitulasi Data Peningkatan (Gain)………. 72
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana yang dijalankan secara
teratur dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir seseorang atau
peserta didik yang berfungsi untuk mengembangkan kualitas sumber daya
manusia agar memperoleh kualitas kehidupan menjadi lebih baik. Salah satu cara
untuk mewujudkan tujuan pendidikan adalah dengan cara meningkatkan mutu
pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan pada jenjang sekolah harus lebih
ditingkatkan untuk menghasilkan lulusan atau output yang berkualitas, bukan
hanya dalam segi pengetahuan saja, tetapi diharapkan memiliki kemampuan dan
keterampilan untuk bekal kehidupan di masa yang akan datang.
Upaya pembaharuan proses tersebut terletak pada tanggung jawab seorang guru.
Guru harus memiliki ide dan sebuah kreativitas dalam merencanakan sebuah
proses pembelajaran yang dapat dipahami dan diterima dengan baik oleh peserta
didik. Guru merupakan tokoh penting dalam keberhasilan seorang peserta didik
terutama dalam menyampaikan pelajaran terkait dengan tujuan ilmu pengetahuan
Saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi telah maju dan berkembang. Kemajuan
di bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi pada akhirnya memberikan
dampak tertentu terhadap sistem dan proses belajar mengajar di sekolah, sehingga
proses belajar mengajar mau tidak mau harus mampu mengikuti perkembangan
zaman. Dampak perkembangan zaman saat ini dapat terlihat dengan banyak
berkembangnya model-model dan metode pembelajaran baru yang lebih
bervariasi. Model-model pembelajaran yang lebih bervariasi ini muncul dan
berkembang dengan tujuan agar pembelajaran di sekolah menjadi lebih baik dan
tercapai secara maksimal.
Selama ini pembelajaran sejarah diidentikkan sebagai pembelajaran yang
membosankan di kelas. Baik penyajian materi maupun metode pembelajaran yang
digunakan lebih banyak bertumpu pada pendekatan berbasis guru yang monoton,
sehingga hal ini mengurangi partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran
di dalam kelas. Guru di posisikan sebagai satu–satunya pokok sumber informasi,
peserta didik hanya sebagai objek dimana guru sebagai sumber dan pengelola
informasi mengajar hanya dengan metode ceramah dan tanya jawab yang
konvensional. Sehingga pembelajaran sejarah disamping membosankan, juga
hanya menjadi wahana pengembangan keterampilan berfikir yang tidak memberi
peluang kemampuan berinkuiri maupun memecahkan masalah.
Berdasarkan kenyataan umum pembelajaran sejarah di lapangan tersebut, untuk
itu para guru sejarah diharapkan harus memiliki motivasi dan kreativitas untuk
mulai mengembangkan dan meningkatkan kompetensi mengajar melalui
3
Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik, guru sebagai tenaga
pendidik perlu mengupayakan suatu proses pembelajaran yang dapat menciptakan
suasana belajar aktif, efektif, dan menyenangkan, sehingga pada akhirnya dapat
berpengaruh pada peningkatan hasil belajar siswa. Usaha meningkatkan hasil
belajar siswa dapat dilakukan dengan mulai menggunakan model dan metode
pembelajaran yang tepat dan lebih bervariasi dalam penyampaian suatu materi
pelajaran. Penggunaan model dan metode pembelajaran yang tepat dan lebih
bervariasi diharapkan dapat memberikan suasana baru dalam proses pembelajaran
di sekolah, terutama pada sekolah-sekolah yang masih menggunakan metode
konvensional.
Setelah menggunakan model dan metode pembelajaran yang lebih bervariasi,
seorang guru juga harus memiliki sebuah target untuk keberhasilan pencapaian
hasil belajar siswa. Usaha yang dilakukan guru tersebut tidak akan tercapai secara
optimal bila di dalam kelas siswa hanya duduk, diam, dan hanya mendengarkan
penjelasan yang diterangkan guru begitu saja. Guru juga harus mampu
memotivasi siswa agar lebih berperan aktif di dalam kelas sehingga keaktifan
tersebut dapat mempengaruhi hasil belajar siswa menjadi lebih baik. Metode
mengajar yang digunakan diharapkan lebih memberikan peluang bagi siswa untuk
berperan lebih aktif pada kegiatan belajar di dalam kelas.
Ada banyak metode pembelajaran yang dapat diaplikasikan guru dalam proses
pembelajaran sejarah. Masing-masing metode pembelajaran pastinya memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Seperti kita ketahui bahwa metode pembelajaran
pembelajaran konvensional ini didominasi oleh kelas yang terfokus pada guru
sebagai pusat pembelajaran, sehingga ceramah akan menjadi pilihan utama dalam
kegiatan belajar. Hal ini akan mengakibatkan rendahnya keaktifan siswa dalam
pembelajaran tersebut.
Suryosubroto menyatakan bahwa: “Metode pembelajaran yang digunakan oleh
guru dapat menentukan keberhasilan belajar siswa karena metode adalah cara
yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan pembelajaran”
(Suryosubroto, 1997:149).
Berdasarkan pendapat Suryobroto di atas, metode pembelajaran mempunyai
peranan dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. Karena dengan
menggunakan metode mengajar yang baik diharapkan dapat berpengaruh baik
pula kepada hasil belajar siswa. Dengan lebih bervariasinya metode mengajar
yang digunakan menyebabkan penyajian bahan pelajaran menjadi lebih menarik
perhatian, mudah diterima, dan tidak membosankan, sehingga komunikasi siswa
dengan guru di dalam kelas menjadi lebih hidup.
Sedangkan menurut Roestiyah dalam bukunya yang berjudul Strategi Belajar
Mengajar menyatakan bahwa: “Keberhasilan sebuah metode mengajar itu dapat
terlihat dari pencapaian aktivitas dan prestasi belajar siswa di dalam kelas, yaitu
terlihat pada tinggi atau tidaknya prestasi belajar siswa setelah diajarkan dengan
suatu metode pembelajaran tertentu” (Roestiyah, 1986:37).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, agar prestasi dan hasil
5
mengajar yang baik pula terutama metode mengajar yang dapat memberi peran
lebih aktif kepada siswa dalam proses belajar di dalam kelas. Oleh karena itu agar
siswa dapat memahami dan lebih mengerti pelajaran yang diberikan, dalam hal ini
pelajaran pada materi sejarah, maka siswa dituntut harus lebih berperan aktif
dalam proses belajar di kelas terutama dalam mencari sumber-sumber atau
informasi yang berkaitan dengan materi yang disampaikan oleh guru, baik dengan
mendengarkan penjelasan guru secara seksama, membaca buku-buku yang terkait
dengan materi pembelajaran, maupun melakukan diskusi dengan teman sebaya
ataupun guru. Guru juga diharapkan dapat membimbing dan membantu siswa
agar kegiatan belajar di dalam kelas dapat berjalan dengan baik.
Sardiman menyatakan “dalam kegiatan belajar di kelas, aktivitas siswa sangat
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa itu sendiri sebab dalam belajar siswa
diharuskan untuk berfikir dan berbuat karena setiap orang yang belajar harus aktif
sendiri, karena tanpa adanya aktivitas maka proses belajar tidak akan mungkin
terjadi” (Sardiman, 1990:96).
Dari pernyataan di atas, semakin banyak aktivitas yang dilakukan oleh siswa di
dalam kelas memiliki pengaruh terhadap hasil belajar siswa itu sendiri, sehingga
aktivitas siswa pada proses belajar di dalam kelas perlu ditingkatkan agar siswa
lebih berperan aktif dalam mencari, dan menemukan masalah-masalah yang harus
dipecahkan pada saat mengikuti setiap pelajaran. Dengan demikian penggunaan
metode pembelajaran yang lebih bervariasi diharapkan dapat memberikan
pengaruh dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa agar proses
Salah satu metode pembelajaran yang mampu meningkatkan aktivitas siswa di
dalam kelas adalah dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud
Pair Problem Solving (TAPPS). Karena model pembelajaran ini memberikan
peran dan tanggung jawab kepada tiap siswa di dalam kelompok yang telah
ditentukan untuk menjawab pertanyaan dan menyelesaikan masalah-masalah yang
diberikan dalam kelompok secara komunikatif dan bersama-sama.
Dalam model pembelajaran ini, di dalam masing-masing kelompok siswa dibagi
menjadi dua peran, yaitu sebagai problem solver (pemecah permasalahan) dan
listener (mendengarkan dan memberi solusi kepada problem solver). Penggunaan
model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) diharapkan
dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, dan memacu motivasi siswa,
sehingga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa khususnya pada materi
pelajaran yang diberikan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru sejarah kelas X SMA Negeri 13
Bandar Lampung, diketahui bahwa pembelajaran sejarah yang dilakukan selama
ini masih didominasi oleh pembelajaran dengan metode konvensional dan diskusi
kelompok. Guru menjelaskan materi dan setelah menjelaskan dilanjutkan dengan
diskusi kelompok. Sementara itu, hasil wawancara yang dilakukan dengan
beberapa siswa kelas X, diketahui bahwa pelajaran sejarah merupakan salah satu
mata pelajaran yang masih dianggap kurang menarik dan membosankan. Para
siswa menginginkan pembelajaran dengan suasana belajar yang baru agar materi
pelajaran yang diajarkan oleh guru lebih menarik, memotivasi, dan mudah
7
Dari latar belakang di atas, masalah ini menarik untuk diteliti karena peneliti ingin
mengetahui pengaruh dari model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem
Solving (TAPPS) pada pembelajaran sejarah apabila diterapkan di SMA Negeri 13
Bandar Lampung. Selain itu penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang
bermanfaat dan memberikan informasi tentang suatu metode mengajar yang dapat
digunakan dalam pembelajaran di dalam kelas, khususnya pada pembelajaran
sejarah. Setelah mencari data dan informasi tentang masalah ini, maka penulis
akan mengadakan penelitian dengan judul “Penggunaan Model Pembelajaran
Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Pada Pembelajaran Sejarah (studi
pada siswa kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung).
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Pengaruh penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem
Solving (TAPPS) terhadap aktivitas belajar siswa pada pembelajaran
sejarah kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung.
2. Pengaruh penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem
Solving (TAPPS) terhadap motivasi belajar siswa pada pembelajaran
sejarah kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung.
3. Pengaruh penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem
Solving (TAPPS) terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah
1.3. Pembatasan Masalah
Agar masalah dalam penelitian ini tidak terlalu luas, maka penulis membatasi
masalah pada “Pengaruh penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair
Problem Solving (TAPPS) terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah
kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung”.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem
Solving (TAPPS) berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada
pembelajaran sejarah kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung?
2. Apakah ada perbedaan rata-rata hasil belajar siswa pada pembelajaran
sejarah jika diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking
Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)?
3. Seberapa besar persentase tingkat ketuntasan hasil belajar siswa jika
diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair
Problem Solving (TAPPS)?
1.5. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Pengaruh penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem
Solving (TAPPS) terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah
9
2. Perbedaan rata-rata hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah jika
diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair
Problem Solving (TAPPS).
3. Seberapa besar persentase tingkat ketuntasan hasil belajar siswa jika
diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair
Problem Solving (TAPPS)
1.6. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi guru : Memberikan informasi tentang model dan metode
mengajar yang dapat diterapkan di dalam kelas untuk
meningkatkan pemahaman, aktivitas, dan hasil belajar
siswa pada pembelajaran sejarah.
2. Bagi siswa : Dengan menggunakan model pembelajaran dan metode
mengajar yang lebih bervariasi dapat memberikan suasana
baru dalam proses belajar di dalam kelas.
3. Bagi sekolah : Memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi sekolah
dalam rangka mengembangkan proses belajar mengajar di
dalam kelas.
4. Bagi penulis : Memberikan pengalaman yang berharga kepada peneliti
untuk mengetahui pengaruh penggunaan model
(TAPPS) terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran
sejarah di SMA Negeri 13 Bandar Lampung.
1.7. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah ruang lingkup penelitian pendidikan. Subjek
dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung tahun
ajaran 2012/2013. Siswa kelas X2 terpilih sebagai sampel pada kelas eksperimen
dan siswa kelas X3 sebagai sampel pada kelas kontrol. Ruang lingkup objek
dalam penelitian ini adalah penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair
Problem Solving (TAPPS) terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah
kelas X SMA Negeri 13 Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013.
Pengaruh penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving
(TAPPS) dalam penelitian ini ditinjau dari beberapa aspek, yaitu:
a. Rata-rata hasil belajar siswa pada kelas ekperimen dan kelas kontrol.
b. Rata-rata skor peningkatan (gain) hasil belajar siswa pada kelas eksperimen
dan kelas kontrol.
c. Persentase ketuntasan belajar siswa pada kelas ekperimen minimal 65% dari
jumlah keseluruhan siswa yang mengikuti pembelajaran tersebut.
Hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil belajar pada aspek
kognitif siswa atau perbedaan hasil belajar siswa pada mata pelajaran sejarah yang
diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair
Problem Solving (TAPPS) pada kelas eksperimen dengan hasil belajar siswa yang
11
hasil belajar siswa diukur dari hasil tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest).
Hasil belajar siswa dapat diketahui dari hasil tes formatif tipe pilihan ganda yang
diberikan pada saat posttest sesuai dengan waktu yang telah ditentukan selama
proses pembelajaran berlangsung di SMA Negeri 13 Bandar Lampung.
Materi ajar yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari satu kompetensi
dasar pada mata pelajaran sejarah kelas X tingkat SMA, dengan sub materi atau
pokok bahasan tentang: “Kehidupan Awal Masyarakat Indonesia” yang telah
disesuaikan dengan KTSP dan buku belajar yang digunakan di SMA Negeri 13
REFERENSI
B. Suryosubroto. 1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. hlm.149.
Roestiyah. 1986. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara. hlm.37. Sardiman, A. M. 1990. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Pedoman Bagi
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Konsep Cooperative Learning atau pembelajaran cooperative
Cooperative Learning mengandung pengertian bekerja sama dalam mencapai
tujuan bersama. Belajar cooperative adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam
pengajaran yang memungkinkan siswa bekerjasama untuk memaksimalkan proses
belajar siswa dengan siswa lainnya dalam kelompok tersebut.
Cooperative Learning adalah “suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen. Keberhasilan belajar dari kelompok tergantung pada kemampuan dan aktifitas anggota kelompok, baik secara individual maupun secara kelompok” (Etin Solihatin dan Raharjo, 2007:4).
Berdasarkan pendapat di atas pembelajaran dengan cooperative learning
memungkinkan terjadinya interaksi-interaksi terbuka dan hubungan-hubungan
antar siswa dalam kelompok. Siswa belajar bersama-sama di dalam kelompok
membahas pertanyaan-pertanyaan maupun masalah yang diberikan guru kepada
masing-masing kelompok. Keberhasilan belajar menurut model belajar ini bukan
semata-mata ditentukan oleh kemampuan individual secara utuh, melainkan
perolehan belajar ini akan semakin baik apabila dilakukan secara bersama-sama
dari teman sebaya di bawah bimbingan guru, maka proses penerimaan dan
pemahaman siswa akan semakin mudah dan cepat terhadap materi yang dipelajari.
Menurut Lie “Cooperative Learning merupakan model pembelajaran yang mengacu pada strategi pembelajaran yang mana siswa bekerjasama dalam kelompok kecil untuk menolong satu sama lainnya dalam memahami suatu pembelajaran, memeriksa, dan memperbaiki jawaban temannya, serta kegiatan lainnya dengan tujuan mencapai prestasi belajar tinggi” (Lie, 2002:24).
Berdasarkan pendapat di atas, cooperative learning merupakan suatu model
pembelajaran yang membantu siswa untuk saling bekerjasama dan membantu satu
dengan yang lainnya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan menyelesaikan
masalah yang disiapkan oleh guru untuk mencapai prestasi belajar yang lebih
baik. Sehingga dengan bekerja bersama-sama diantara sesama kelompok akan
meningkatkan produktivitas dalam perolehan hasil belajar, serta mendorong siswa
dalam memecahkan berbagai masalah yang ditemui selama proses pembelajaran.
Belajar dalam kelompok kecil dengan prinsip cooperative sangat baik digunakan
untuk tujuan belajar, baik yang sifatnya kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Dalam model pembelajaran cooperative, siswa berperan menjadi lebih aktif
sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi,
serta dapat memotivasi siswa dalam meningkatkan hasil belajarnya. Oleh karena
itu model pembelajaran cooperative sangat baik dilaksanakan di dalam kelas
untuk membantu siswa agar dapat bekerjasama di dalam kelompok untuk
menyelesaikan tugas-tugas dan masalah yang ditemuinya ketika proses belajar
15
Dengan demikian pembelajaran cooperative adalah suatu proses pembelajaran
yang dalam prosesnya membagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil yang
terdiri dari dua orang atau lebih yang saling bekerjasama untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang diharapkan.
2.1.2. Konsep Model Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)
Model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) merupakan
salah satu pengembangan dari model pembelajaran cooperative (cooperative
learning), dimana siswa belajar secara berkelompok (cooperative). Siswa dilatih
dan dibiasakan untuk saling bertukar pengetahuan, berdiskusi secara komunikatif,
serta berbagi tugas dan tanggung jawab di dalam kelompok-kelompok yang telah
ditentukan.
Menurut Felder tentang Model Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS). “Dalam model ini siswa mengerjakan dan menjawab permasalahan yang mereka jumpai secara berpasangan, dengan satu anggota pasangan berfungsi sebagai pemecah permasalahan dan yang lainnya sebagai pendengar. Pemecah permasalahan menyampaikan semua ide dan pemikiran mereka saat mencari sebuah jawaban, sedangkan pendengar membantu rekan mereka untuk menemukan jawaban dan menawarkan solusi kepada pemecah permasalahan” (Felder,1994:5 dalam Nurhadi Hanuri).
Berdasarkan pendapat di atas, model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem
Solving (TAPPS) menghadapkan siswa pada suatu permasalahan yang
diselesaikan dengan cara berpasangan secara komunikatif. Pada model ini siswa
memiliki peran dan fungsinya masing-masing, yaitu sebagai problem solver
Model pembelajaran cooperative Thinking Aloud pair Problem Solving (TAPPS)
merupakan suatu model pembelajaran dimana siswa dibagi menjadi beberapa
kelompok, dan di dalam kelompok masing-masing siswa bekerja sama serta saling
membantu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang diberikan oleh guru
kepada masing-masing kelompok tersebut. Model pembelajaran ini memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mencari jawaban dari permasalahan yang ada
secara berkelompok. Dengan menerapkan model pembelajaran ini, siswa
melakukan diskusi dan saling bertukar ide atau pendapat dalam menyelesaikan
suatu permasalahan atau pertanyaan-pertanyaan yang ditemui siswa dalam proses
belajar di dalam kelas secara berpasangan.
Dalam bahasa Indonesia Thinking artinya berfikir, Aloud artinya suara yang jelas
atau menyampaikan jawaban dan solusi dengan suara yang jelas, Pair artinya
berpasangan dan Problem Solving yang berarti menyelesaikan masalah. Jadi
apabila digabungkan secara keseluruhan Thinking Aloud Pair Problem Solving
(TAPPS) dapat diartikan sebagai suatu cara berfikir secara berpasangan dalam
menyelesaikan atau memecahkan masalah.
“Model pembelajaran ini merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat menciptakan kondisi belajar siswa menjadi lebih aktif. Jenis pembelajaran ini membuat siswa untuk mencari tahu sumber-sumber pengetahuan yang relevan. Model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) memberikan tantangan kepada siswa untuk belajar berfikir secara sendiri atau berpasangan dalam menyelesaikan masalah (Musanif, 2007:1 dalam Armin Subhani)”.
Dari pengertian di atas, maka Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)
dapat diartikan suatu cara berfikir berpasangan (Thinking Aloud Pair), yaitu suatu
17
memahami pertanyaan-pertanyaan yang ada secara berpasangan, dimana fokus
pembelajaran tergantung pada masalah yang dipilih. Model pembelajaran ini
merupakan salah satu model pembelajaran yang menekankan pada keaktifan dan
kreativitas siswa dalam mengeluarkan ide dan pendapat-pendapat, serta melatih
siswa menggunakan kemampuan berpikir untuk memahami konsep-konsep yang
dipelajari. Pembelajaran ini diharapkan berpengaruh positif terhadap pola pikir
kreatif siswa. Dalam pembelajaran ini siswa lebih banyak bekerja dan berpikir
dari pada mendengarkan atau sekedar menerima informasi dari guru, sehingga
konsep materi yang diperoleh siswa dapat tertanam lebih kuat dalam ingatan,
sehingga prestasi belajar yang dicapai oleh siswa menjadi lebih baik.
Langkah-langkah pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)
menurut Felder (1994:6-8), yaitu:
1. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai 2. Siswa membentuk kelompok yang terdiri dari dua sampai empat orang. 3. Guru memberikan tugas dan peran kepada masing-masing kelompok,yaitu
sebagai problem solver dan listener.
4. Siswa diminta secara berpasangan mulai menyelesaikan materi/ masalah yang disiapkan oleh guru.
5. Guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya.
6. Guru memberi kesimpulan 7. Penutup
(Felder, 1994:6-8 dalam Nurhadi Hanuri)
Lebih lanjut Felder menyatakan bahwa dalam membentuk kelompok belajar
dengan menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving
(TAPPS) disarankan sebagai beikut:
Saat siswa bekerja terpisah, salah satu diantarannya lebih mendominasi biasanya bukanlah mekanisme yang baik untuk memecahkan perdebatan, dan dalam tim yang berisi lima orang atau lebih akan menjadi sulit untuk mempertahankan keterlibatan setiap orang dalam proses. Kumpulkan satu tugas per-kelompok.
2. Usahakan membentuk kelompok yang kemampuannya heterogen
Hambatan akan dijumpai jika satu kelompok memiliki anggota yang semuanya lemah akan tampak nyata tetapi dengan mengumpulkan satu kelompok yang memiliki anggota dengan kemampuan kuat juga tidak disarankan.
3. Hindari kelompok dimana siswa perempuan dan siswa minoritas yang banyak jumlahnya.
Studi-studi telah memperlihatkan bahwa gagasan siswa perempuan dan kontribusinya seringkali dikurangi atau dipotong dalam tim yang memiliki kelompok berjenis kelamin campuran, dan para siswa perempuan akhirnya mengambil peran pasif dalam interaksi kelompok.
4. Jika sangat memungkinkan, memilih kelompok sendiri
5. Memberikan tugas regu dengan masing-masing tugas yang berputar.
6. Mempertimbangkan hal positif yang saling bergantung
Semua anggota regu perlu merasakan bahwa mereka mempunyai peran unik untuk berperan serta di salah kelompok dan tugas hanya dapat diselesaikan dengan baik jika semua anggota melakukan tugas mereka.
7. Mempertimbangkan tanggung jawab individu
Cara terbaik untuk mencapai tujuan adalah dengan memberikan tes individu, selain itu anggota regu perlu menyajikan atau mejelaskan hasilnya masing-masing.
8. Membuat kelompok secara teratur menilai prestasi mereka
Pada awal tugas, siswa perlu mendiskusikan apa yang sebaiknya dikerjakan, kesulitan apa yang muncul, dan apa yang tiap-tiap angggota dapat lakukan untuk membuat semua hal bekerja lebih baik.
9. Menawarkan gagasan agar kelompok berfungsi efektif
19
kelompok dan untuk membantu pengembangan dari keterampilan hubungan antar pribadi yang menopang di dalam pembentukan regu dan prestasi.
10.Menyediakan bantuan regu yang memiliki kesukaran dalam bekerja sama. Kelompok yang mempunyai permasalahan harus dipertemukan dengan pengajar untuk mendiskusikan kemungkinan pemecahan masalah.
11.Jangan membentuk kembali kelompok yang sudah pernah terbentuk
Tujuan bekerjasama yang utama akan membantu para siswa memperluas daftar literatur pendekatan pemecahan masalah mereka, dan tujuan kedua akan membantu mereka mengembangkan keterampilan kepemimpinan kolaboratif, pengambilan keputusan dan tujuan lainnya. Ini hanya dapat dicapai jika para siswa mempunyai cukup waktu untuk mengembangkan suatu dinamika kelompok, persaingan dan menanggulangi berbagai kesulitan dalam bekerja bersama-sama.
(Felder,1994: 6-8 dalam Syaifullah).
Keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh dari pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving
(TAPPS) menurut Sanjaya adalah sebagai berikut, yaitu:
1. Menantang kemampuan siswa, serta memberikan kepuasan bagi siswa untuk menemukan pengetahuan barunya.
2. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan menanamkan sikap bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan.
4. Mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir, dan
5. Memberikan kesempatan kepada siswa mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
(Sanjaya dalam Armin Subhani, 2007: 218-219).
berfikir memecahkan permasalahan”(A.Tabrani Rusyan dan Yani Daryani, 1990:41).
Dari pendapat para ahli di atas, dapat kita simpulkan bahwa keuntungan model
pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) adalah melatih dan
merangsang perkembangan kemampuan berfikir siswa secara kreatif dan
komunikatif, serta membantu siswa agar lebih memahami materi pembelajaran
dengan membiasakan siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara
terampil.
Model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) lebih
ditekankan kepada kemampuan penyelesaian masalah (problem solving). Metode
pembelajaran ini melatih siswa untuk memecahkan masalah baik secara individu
maupun kelompok. Menurut Djamarah dan Zain (2006), metode problem solving
memiliki langkah-langkah sebagai berikut:
1. Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus sesuai dengan taraf kemampuan siswa.
2. Mencari data atau keterangan yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya dengan membaca buku, bertanya, berdiskusi, dan lain-lain.
3. Menetapkan jawaban sementara, mencari jawaban, dan 4. Menarik kesimpulan.
Dengan memecahkan masalah atau menjawab pertanyaan berarti siswa
memperoleh sesuatu yang baru, yaitu pelajaran baru yang dihasilkan dari
pemikiran siswa saat memecahkan masalah berdasarkan yang sudah dipelajarinya.
21
Berdasarkan pendapat Tabrani Rusyan dan Yani Daryani, yang dimaksudkan
pemecahan masalah dalam hal ini adalah sebuah cara belajar mencari sebuah
jawaban dari permasalahan yang ada ataupun yang telah dipersiapkan sesuai
dengan pokok bahasan yang dipelajari dan tingkat pendidikan atau taraf
kemampuan seseorang. Selanjutnya Engkoswara dalam A. Tabrani Rusyan dan
Yani Daryani (1979:148), menyatakan bahwa bentuk-bentuk pertanyaan yang
dapat dikatakan masalah yaitu berupa pertanyaan-pertanyaan dengan jenjang C2
(pemahaman), C3 (aplikasi), C4 (analisa), C5 (Sintesa), dan C6 (evaluasi) yang
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bentuk pertanyaan, seperti : Bagaimana, dan Mengapa?
2. Bentuk tujuan, seperti : untuk apa?
3. Adanya faktor penyebab dan cara mengatasinya.
Dengan metode pembelajaran ini, diharapkan siswa dapat memperoleh
pengetahuan yang terintegrasi. Model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem
Solving (TAPPS) dapat dimulai dengan melakukan kerja kelompok antar siswa.
Siswa memahami materi, menjawab dan memecahkan masalah, ataupun
menemukan permasalahan baru, kemudian menyampaikan hasil diskusi secara
pleno di bawah petunjuk fasilitator.
2.1.3. Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran sejarah adalah dua konsep kata yang memiliki arti khusus secara
masing-masing. Isjoni menyatakan bahwa “pembelajaran adalah suatu kombinasi
yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan,
(Isjoni, 2007:11). Sedangkan Duffy dan Roehler mengatakan “pembelajaran
adalah suatu usaha yang sengaja melibatkan dan menggunakan pengetahuan
professional yang dimiliki guru untuk mencapai tujuan kurikulum” (Duffy dan
Roehler, 1989). Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran adalah suatu kombinasi yang melibatkan unsur-unsur yang dimiliki
oleh guru dan perlengkapan mengajarnya, untuk mencapai tujuan pembelajaran
atau tujuan kurikulum.
“Sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesa dan dunia pada masa lampau hingga kini. Orientasi pembelajaran sejarah di tingkat SMA bertujuan agar siswa memperoleh pemahaman ilmu serta memupuk pemikiran yang historis dalam pemahaman sejarah. Pemahaman ilmu diharapkan membawa perolehan fakta-fakta, penguasaan ide-ide, dan kaedah sejarah“.(Isjoni, 2007:71).
Sementara itu menurut Rustam E.Tamburaka mengatakan “ sejarah adalah cerita
tentang perubahan–perubahan, peristiwa–peristiwa atau kejadian pada masa
lampau yang telah diberi tafsir atau alasan yang dikaitkan sehingga membentuk
suatu pengertian yang lengkap” (Rustam E.Tamburaka, 2002:2).
Pengertian sejarah dapat dibagi menjadi dua pengertian yakni :
a. Sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk, ialah bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Uraian atau cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta–fakta terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah, baik proses maupun struktur.
b. Sejarah dalam arti objektif menunjukkan kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, ialah proses sejarah dalam aktualitasnya. Kejadian itu hanya terjadi sekali dan tidak dapat terulang kembali. Keseluruhan proses itu berlangsung terlepas dari subjek manapun juga. Jadi, objektif dalam arti tidak memuat unsur–unsur subjek (pengarang atau pengamat).
23
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah
adalah suatu proses pembelajaran tentang perisitiwa atau kejadian pada masa lalu
yang disusun secara objektif dan sistematis yang merupakan suatu kombinasi
unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, dan perlengkapan yang dimiliki oleh
guru untuk mencapai tujuan pembelajaran atau kurikulum demi memupuk
pemahaman tentang sejarah negaranya atau pengetahuan tentang sejarah lainnya.
“Pembelajaran sejarah di sekolah merupakan salah satu pembelajaran yang harus dipelajari oleh siswa. Pentingnya pembelajaran sejarah di sekolah– sekolah diakui semua bangsa dan negara, karena pembelajaran sejarah merupakan sarana untuk menyosialisasikan nilai–nilai tradisi bangsa yang sudah teruji dengan waktu, memahami perjuangan dan pertumbuhan bangsa dan negara, baik secara fisik, politik, dan ekonomi sekaligus mendidik sebagai warga dunia yang sangat peduli kepada pentingnya pemahaman terhadap bangsa–bangsa lain” ( Isjoni, 2007:47).
Oleh karena itu, pembelajaran sejarah sangat penting untuk dipelajari di sekolah
karena sejarah merupakan sebuah pedoman bagi semua orang demi kebaikan
hidup di masa yang akan datang.
Selanjutnya menurut S.K. Kochhar, sasaran umum pembelajaran sejarah adalah
sebagai berikut ini:
1. Mengembangkan tentang diri sendiri.
2. Memberikan gambaran yang tepat tentang konsep waktu, ruang dan masyarakat.
3. Membuat masyarakat mampu mengevaluasi nilai dan hasil yang telah dicapai oleh generasinya.
11. Melatih siswa menangani isu-isu kontroversial.
13. Memperkokoh rasa nasionalisme.
14. Mengembangkan pemahaman internasioanal, dan
15. Mengembangkan keterempilan-keterampilan yang berguna. (S.K. Kochhar, 2008).
2.1.4. Konsep Hasil Belajar
Setelah mengalami proses pembelajaran, seorang siswa akan memperoleh hasil
dari sebuah proses belajar yang telah ia lakukan. Oemar Hamalik menyatakan
bahwa hasil belajar adalah “perubahan tingkah laku yang diharapkan, yang
nantinya dimiliki siswa setelah dilaksanakannya kegiatan belajar mengajar”
(Oemar Hamalik, 2003:43). Sedangkan Menurut Suryosubroto dalam bukunya
Proses Belajar Mengajar di Sekolah menyatakan: hasil belajar adalah “penilaian
tentang kemajuan siswa dalam segala hal yang dipelajari di sekolah yang
menyangkut pengetahuan dan keterampilan yang dinyatakan sesudah penilaian”
(Suryosubroto, 1997:2).
Dari pengertian hasil belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli, maka hasil
belajar merupakan segala perubahan dan kemampuan yang dimiliki oleh siswa
setelah mengalami sebuah rangkaian kegiatan dalam proses belajar. Seseorang
yang telah melakukan aktivitas belajar, memperoleh perubahan dalam dirinya, dan
telah memiliki pengalaman baru dalam hidupnya, maka individu tersebut dapat
dikatakan telah melaksanakan apa yang dimaksud dengan belajar.
Hasil belajar dalam penelitian ini adalah perubahan hasil belajar pada aspek
kognitif siswa setelah diberikan treatment atau perlakuan berupa penggunaan
model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) pada kelas
25
mengerjakan posttest dengan bentuk soal pilihan ganda pada materi sejarah yang
telah ditentukan.
2.2. Penelitian Yang Relevan
1. Judul: Upaya Meningkatkan Minat Dan Hasil Belajar Fisika Siswa
Melalui Penerapan Model Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem
Solving (TAPPS) (PTK di kelas X4 SMA Negeri 9 Bandar Lampung),
nama peneliti: Betha Natalia Aritonang, NPM: 0713022022, program
studi: Pendidikan Fisika, FKIP MIPA, Universitas Lampung. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa minat dan hasil belajar siswa dapat
ditingkatkan dengan menerapkan model pembelajaran Thinking Aloud
Pair Problem Solving (TAPPS).
Rata-rata minat siswa pada siklus I adalah 2,30 tergolong (sedang), pada
siklus ke- II meningkat menjadi 2,48 tergolong (sedang), dan pada siklus
III meningkat lagi menjadi 2,61 dan tergolong (tinggi). Sedangkan hasil
belajar siswa pada siklus I adalah 76,09 tergolong (baik), pada siklus ke- II
meningkat menjadi 78,94 tergolong (baik), dan pada siklus III meningkat
lagi menjadi 81,88 tergolong (sangat baik).
2. Judul: Penerapan Model Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem
Solving dengan Menggunakan Strategi Group Resume Untuk
Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Akutansi Siswa Kelas XI IPS 4
SMA Negeri 1 Tanjung Morawa T.A. 2011/2012, nama peneliti: Nanda
A.N., program studi: Pendidikan Akutansi, Fakultas Ekonomi, Universitas
pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving dengan menggunakan
strategi Group Resume dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar
akutansi siswa kelas XI IPS 4 SMA Negeri 1 Tanjung Morawa Tahun
Ajaran 2011/2012.
2.3. Kerangka Pikir
Penggunaan model pembelajaran yang tepat dan lebih bervariasi dapat
menimbulkan minat dan keaktifan siswa dalam belajar di kelas sehingga
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa menjadi lebih baik. Sedangkan
pemilihan model pembelajaran yang tidak tepat justru dapat menghambat
tercapainya tujuan pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran yang diterapkan
di sekolah hendaknya dapat menciptakan suasana pembelajaran di dalam kelas
menjadi lebih aktif, kreatif, dan menyenangkan, sehingga siswa menjadi lebih
termotivasi dan mudah memahami konsep-konsep dalam materi yang dipelajari.
Model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) merupakan
pembelajaran yang menuntut siswa untuk berperan aktif dalam mengikuti proses
belajar di kelas. Dalam model pembelajaran ini, siswa dibagi menjadi beberapa
kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari dua atau empat orang siswa,
masing-masing siswa dalam kelompok berperan sebagai problem solver (PS) dan
lainnya berperan sebagai listener (L). Dalam pembelajaran ini, problem solver
bertugas menyampaikan semua ide dan pemikiran pada saat mencari sebuah
jawaban kepada listener, sedangkan listener bertugas membantu problem solver
dalam memecahkan masalah dan menemukan jawaban, serta menawarkan solusi
27
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Thinking Aloud
Pair Problem Solving (TAPPS). Selain itu, variabel kontrol dalam penelitian ini
adalah pembelajaran dengan metode diskusi kelompok. Sedangkan variabel
terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah
yang telah ditentukan.
Kedua model dan metode pembelajaran ini akan diujicobakan kepada siswa kelas
X SMA Negeri 13 Bandar Lampung. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua
kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen akan
diberikan treatment atau perlakuan yaitu dengan diajarkan menggunakan model
pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) sedangkan pada
kelas kontrol akan diajarkan menggunakan pembelajaran dengan metode diskusi
kelompok.
Penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)
di dalam kelas pada proses belajar mengajar diharapkan dapat berpengaruh positif
terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah, sehingga hasil belajar
siswa menjadi lebih baik.
2.4. Paradigma
Keterangan :
: Garis kegiatan
: Garis Pengaruh
Simbol X : perlakuan (treatment)
2.5. Hipotesis
Hipotesis adalah “Jawaban sementara yang dianggap benar dalam suatu penelitian
yang perlu dibuktikan kebenarannya melalui fakta-fakta pendukungnya” (Sutrisno
Hadi, 2001:73). Sedangkan Winarno Surachmad berpendapat bahwa hipotesis
adalah “kesimpulan yang belum final yang dapat dibuktikan kebenarannya
melalui penelitian” (Winarno Surachmad, 2001:57). Menurut Sugiyono dalam
bukunya yang berjudul metode penelitian pendidikan, hipotesis merupakan
“jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan
masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan” (Sugiyono,
2012:96).
Model Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (X)
Hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah
Metode diskusi kelompok Kelas
Eksperimen
29
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, yang dimaksud dengan hipotesis adalah
suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian yang
harus dibuktikan kebenarannya. Hipotesis akan terbukti kebenarannya melalui
sebuah penelitian dengan cara pengumpulan data-data, baik berupa fakta maupun
data-data pendukung.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Penggunaan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem
Solving (TAPPS) berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada
pembelajaran sejarah.
Kedua : Rata-rata hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan
model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving
(TAPPS) lebih tinggi daripada rata-rata hasil belajar siswa yang
tidak diajarkan menggunakan model pembelajaran tersebut.
Ketiga : Persentase ketuntasan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan
model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving
(TAPPS) ≥ 65 %.
Untuk menguji hipotesis yang pertama, digunakan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Tidak Ada pengaruh dalam penggunaan model pembelajaran
Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) terhadap hasil
belajar siswa pada pembelajaran sejarah.
H1 : Ada pengaruh dalam penggunaan model pembelajaran
Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) terhadap hasil
Untuk menguji hipotesis yang kedua, digunakan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Rata-rata hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan
model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving
(TAPPS) lebih rendah daripada rata-rata hasil belajar siswa yang
tidak diajarkan menggunakan model pembelajaran tersebut.
H1 : Rata-rata hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan
model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving
(TAPPS) lebih tinggi daripada rata-rata hasil belajar siswa yang
tidak diajarkan menggunakan model pembelajaran tersebut.
Untuk menguji hipotesis yang ketiga, digunakan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Persentase ketuntasan hasil belajar siswa pada kelas eksperimen
yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran
Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) < 65 %.
H1 : Persentase ketuntasan hasil belajar siswa pada kelas eksperimen
yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran
31
REFERENSI
Etin Solihatin dan Raharjo. 2007. Cooperative Learning. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 4.
Anita Lie. 2002. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo. hlm. 24.
A. Tabrani Rusyan dan Yani daryani. 1990. Penuntun Belajar yang Sukses. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: PT. Nine Karya. hlm. 41. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta: Rineka Cipta.
A. Tabrani Rusyan dan Yani daryani. Loc Cit. hlm. 41. . Op Cit. hlm.148.
Isjoni. 2007. Pembelajaran Sejarah Pada Satuan Pendidikan. Bandung: Alfabeta. hlm. 11.
Ibid. hlm. 71.
Rustam, E Tamburaka. 2002. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan IPTEK. Jakarta : PT. Rineka Cipta. hlm. 2.
Ibid. hlm. 14.
Isjoni. Op Cit. hlm. 47.
S.K. Kochhar. 2008. Pembelajaran Sejarah. Terjemahan Purwanta dan Yovita Hardiati. Jakarta: PT. Grasindo.
Oemar Hamalik. 2005. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara. hlm. 43.
Suryosubroto. 1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. hlm. 2.
Sutrisno Hadi. 2001. Metodologi Research. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. hlm.73.
Winarno Surachmad. 2001. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito. hlm. 57.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. hlm. 96.
Sumber-sumber lain:
Subhani, Armin. 2011. Pengertian Thinking Aloud Pair Problem Solving,
Keuntungan &Karakteristik. Tersedia di www.stkipselong.blogspot.com (diunduh tanggal 30 Januari 2013, pukul 20:08).
Hanuri, Nurhadi.2011. Model pembelajaran cooperative Thinking Aloud Pair Problem Solving. Tersedia di http://www.psb-sma.org (pusat sumber belajar),(diunduh tanggal 30 Januari 2013, pukul 20:34).
Syaifullah. 2009. Model Pembelajaran Aktif.
III.
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian dan Metode Penelitian yang digunakan
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode
penelitian eksperimen. Metode penelitian eksperimen menurut Sumadi Suryabrata
merupakan “suatu metode penelitian untuk mengetahui atau menyelidiki
perbedaan dan pengaruh dua metode mengajar pada mata pelajaran tertentu di
dalam kelas” (Sumadi Suryabrata, 2012:88). Sedangkan Sugiyono menyatakan
bahwa di dalam penelitian eksperimen ada perlakuan (treatment) yang diberikan
kepada kelompok-kelompok tertentu, dengan demikian metode penelitian
eksperimen adalah “sebuah metode yang digunakan untuk mencari pengaruh
sebuah perlakuan tertentu terhadap objek-objek yang ingin diteliti dalam kondisi
yang terkendalikan” (Sugiyono, 2012:107).
Penelitian ini akan membandingkan nilai pretest dan posttest antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Selanjutnya data pretest dan posttest dari kedua
kelas dianalisis untuk melihat ada tidaknya perbedaan atau pengaruh yang
signifikan antara model pembelajaran pada kelas eksperimen dan pada kelas
33
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 13 Bandar Lampung yang
beralamatkan di Jalan Padat Karya Sinar Harapan, Kecamatan Rajabasa, Bandar
Lampung 35144. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai
bulan Mei, yaitu pada Semester Genap tahun ajaran 2012/2013.
3.3. Desain Penelitian
Metode penelitian eksperimen memiliki bermacam-macam jenis desain. Metode
eksperimen dalam penelitian ini menggunakan jenis desain penelitian dengan
metode pretest-posttest control group design. Dalam desain ini, Sugiyono
menyatakan “bahwa terdapat dua kelompok yang dipilih secara random,
kemudian sebelumnya diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol” (Sugiyono, 2012:112). Selanjutnya
setelah diketahui hasil dari pretest dua kelompok tersebut, maka pada kelas
eksperimen diberikan perlakuan (X), sedangkan pada kelas kontrol tidak diberikan
perlakuan (X).
Setelah diberikan perlakuan atau treatment pada salah satu kelompok sampel
(kelompok eksperimen) dilanjutkan dengan pemberian posttest pada kedua kelas
atau kedua kelompok sampel yang digunakan. Pengaruh perlakuan disimbolkan
dengan (O2-O1)-(O4-O3) dan selanjutnya untuk melihat pengaruh perlakuan
berdasarkan signifikasinya adalah dengan menggunakan uji statistik parametrik
ataupun uji statistik nonparametrik. Jika terdapat perbedaan yang signifikan antara
berpengaruh secara signifikan. Untuk lebih jelasnya tentang desain penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dilihat pada tabel 3.1 sebagai berikut :
Tabel 3.1. Desain Penelitian Pretest-Posttest Control Group Design Keterangan :
R = kelompok dipilih secara random
X = perlakuan atau sesuatu yang diujikan
O1 =hasil pretest kelas eksperimen
O3 = hasil pretest kelas kontrol
O2 = hasil posttest kelas eksperimen
O4 = hasil posttest kelas kontrol
Sumber : (Sugiyono, 2012:112)
Tujuan dari penelitian eksperimen ini adalah untuk mengetahui dan menyelidiki
ada tidaknya pengaruh dan hubungan sebab akibat suatu model atau metode
mengajar yang dilakukan atau yang diujikan oleh peneliti dengan cara
memberikan perlakuan-perlakuan tertentu pada beberapa kelompok yang diujikan,
yaitu pada kelompok eksperimen dan kelompok pada kontrol yang telah
ditentukan.
3.4. Populasi dan Sampel
3.4.1. Populasi
Populasi adalah “semua individu yang menjadi sumber pengambilan sampel, baik
berupa orang, barang, maupun peristiwa” (menurut Komaruddin dalam Mardalis,
2009:53). Suharsimi Arikunto (2006:130) menyatakan bahwa populasi merupakan
“keseluruhan subjek penelitian”. Sedangkan populasi menurut Sugiyono adalah
“wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek atau subjek yang mempunyai
R O1 X O2
35
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari
dan kemudian ditarik kesimpulannya berdasarkan kepentingan dalam penelitian”
(Sugiyono, 2012:117).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X di SMA Negeri 13
Bandar Lampung pada tahun ajaran 2012/2013, seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 3.2. Jumlah anggota populasi
No. Kelas Jumlah Siswa Jumlah
Laki-laki Perempuan
1. X1 13 20 33 orang
2. X2 13 20 33 orang
3. X3 13 21 34 orang
4. X4 13 23 36 orang
5. X5 12 22 34 orang
6. X6 12 23 35 orang
7. X7 12 23 35 orang
Jumlah 88 orang 152 orang 240 orang
Sumber : Dokumentasi Tata Usaha SMA Negeri 13 Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013
Dari tabel di atas, diketahui bahwa yang menjadi populasi adalah siswa kelas X
SMA Negeri 13 Bandar Lampung tahun ajaran 2012/2013 yang terdistribusi
dalam 7 kelas (dari kelas X1 sampai kelasX7) dengan jumlah siswa sebanyak 240
orang siswa. Dari ketujuh kelas yang ada, terdapat satu kelas unggulan, yaitu
kelas X1 sedangkan kelas yang lain memiliki kemampuan yang relative sama.
Populasi dalam penelitian ini terdiri dari 88 orang siswa laki-laki dan 152 orang
3.4.2. Teknik Pemilihan Sampel
Teknik pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
Random Sampling. Dalam teknik Random Sampling ini, Mardalis menyatakan
bahwa “tiap-tiap peneliti memperkirakan bahwa setiap sampel dalam populasi
berkedudukan sama” (Mardalis, 2009:57), sedangkan menurut Suharsimi
Arikunto dalam bukunya yang berjudul prosedur penelitian, “Teknik Random
Sampling ini memberi hak yang sama kepada setiap subjek untuk memperoleh
kesempatan untuk dipilih menjadi sampel” (Suharsimi Arikunto, 2006:134). Oleh
karena itu, maka asumsi peneliti adalah setiap subjek sama dan memiliki
kemampuan yang hampir seimbang, yaitu siswa yang baru masuk SMA Negeri 13
Bandar lampung dan siswa tersebut sama-sama tamatan SMP dan sama-sama
lulus diterima di SMA Negeri 13 Bandar Lampung.
Penarikan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan cara
pengundian yang sebelumnya telah mengalami proses pengacakan. Hasil dari
pengundian yang telah mengalami proses pengacakan tersebut merupakan sampel
yang terpilih dan akan digunakan dalam penelitian.
3.4.3. Sampel
Sampel adalah “sebagian contoh yang diambil dari populasi” (Sudjana, 2005:6).
Sedangkan menurut Mardalis, sampel merupakan “sebagian dari seluruh individu
yang menjadi objek penelitian” (Mardalis, 2009:55). Sugiyono menyatakan
sampel adalah “bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi”
37
dan peneliti memiliki keterbatasan waktu, tenaga, maupun biaya, maka peneliti
menggunakan sampel dalam penelitian ini. Sampel yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3.3. Sampel penelitian
No. Kelas Jumlah Siswa Jumlah Keterangan
Laki-laki Perempuan
1. X2 13 20 33 orang Eksperimen
2. X3 13 21 34 orang Kontrol
Jumlah 26 orang 41 orang 67 orang
Sumber : Hasil pengolahan sampel yang dilakukan oleh peneliti
Dari tabel di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa sampel yang terpilih dalam
penelitian ini adalah siswa kelas X2 dan siswa kelas X3, dengan siswa kelas X2
sebagai kelas eksperimen yang mendapat perlakuan dengan diajarkan
menggunakan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving
(TAPPS), dan siswa kelas X3 sebagai kelas kontrol yang tidak mendapat
perlakuan dengan tidak diajarkan menggunakan model pembelajaran tersebut,
tetapi diajarkan dengan menggunakan metode diskusi kelompok.
3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.5.1. Variabel Penelitian
Variabel menurut Sutrisno Hadi adalah “gejala-gejala yang menunjukkan variasi,
baik dalam jenis maupun dalam tingkatnya”(Sutrisno Hadi, 2001:224), sedangkan
menurut Suharsimi Arikunto variabel merupakan “objek penelitian atau apa saja
2006:118). Hatch dan Farhady menyatakan bahwa variabel merupakan “sebuah
atribut seseorang, atau objek yang mempunyai “variasi” antara satu orang dengan
yang lain atau satu objek dengan objek lain” (Hatch dan Farhady:1981,dalam
Sugiyono, 2012:60).
Penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas
adalah variabel Independen yang mempengaruhi atau variabel yang menjadi sebab
perubahan atau yang menyebabkan timbulnya variabel dependen. Dalam
penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah penggunaan model
pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dalam pembelajaran
sejarah pada kelas eksperimen. Sedangkan Variabel terikat adalah variabel
dependen yang dipengaruhi atau variabel yang menjadi akibat karena adanya
variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah hasil
belajar siswa pada pembelajaran sejarah.
3.5.2. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel adalah suatu cara untuk menggambarkan dan
mendeskripsikan variabel sedemikian rupa sehingga variabel tersebut bersifat
spesifik dan terukur. Agar peneliti dapat mencapai suatu alat ukur yang sesuai
dengan hakikat variabel yang sudah didefinisikan konsepnya, maka peneliti harus
memasukkan proses atau operasionalnya alat ukur yang akan digunakan untuk
menguantifikasi gejala atau variabel yang ditelitinya. Definisi operasional dalam
39
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Thinking Aloud
Pair Problem Solving (TAPPS) pada kelas eksperimen yang merupakan suatu
pembelajaran yang dilakukan dengan cara membagi siswa menjadi beberapa
kelompok secara berpasangan untuk menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan dan
masalah yang diberikan guru kepada siswa di dalam kelompoknya
masing-masing. Model pembelajaran ini membagi peran siswa dalam kelompok menjadi
dua peran, yaitu sebagai problem solver dan listener. Tugas problem solver adalah
sebagai pemecah permasalahan atau menjawab pertanyaan yang diberikan dalam
kelompok, sedangkan tugas listener adalah sebagai pemberi solusi dan bantuan
secara komunikatif kepada problem solver.
Variabel bebas pada kelas kontrol dalam penelitian ini adalah pembelajaran
dengan metode diskusi kelompok. Metode diskusi kelompok adalah sebuah
metode mengajar atau cara belajar dimana siswa dihadapkan kepada suatu
masalah yang dapat berupa pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan
yang bersifat problematik sesuai dengan taraf kemampuan untuk dibahas
bersama-sama. Diskusi kelompok merupakan sebuah metode belajar dengan
membagi siswa ke dalam beberapa kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-6
orang atau lebih. Diskusi kelompok bertujuan untuk membahas permasalahan
dengan cara bersama-sama di dalam kelompok.
Hasil belajar dalam penelitian ini adalah hasil belajar kognitif siswa setelah
diberikan treatment atau perlakuan berupa model pembelajaran Thinking Aloud
atau skor yang diperoleh oleh siswa setelah mengerjakan posttest berbentuk
pilihan ganda pada materi pelajaran sejarah yang telah ditentukan.
3.6. Data Penelitian
Data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang terdiri dari:
1. Data awal berupa skor yang diperoleh melalui pretest sebelum memulai
pembelajaran.
2. Data akhir berupa skor yang diperoleh melalui posttest yang dilakukan di
akhir pembelajaran atau setelah pemberian treatment, dan
3. Data pencapaian (gain).
3.7. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari empat teknik
pengumpulan data, yaitu sebagai berikut:
3.7.1. Tes
Tes atau kuis merupakan “alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui
atau mengukur sesuatu, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan”
(Suharsimi Arikunto, 2011:52). Tes yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tes
untuk menetukan atau mengukur hasil belajar siswa di bidang aspek kognitif siswa
pada pembelajaran sejarah. Tes yang digunakan berupa tes formatif pilihan ganda
yang berjumlah 20 soal dan diadakan pada waktu yang telah ditentukan. Tes
diberikan kepada siswa sebelum pembelajaran (pretest) dan sesudah pembelajaran
(posttest) pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol.