• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekologi Perilaku Ayam Hutan Hijau (Gallus varius Shaw & Nodder, 1798) di Taman Nasional Bali Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekologi Perilaku Ayam Hutan Hijau (Gallus varius Shaw & Nodder, 1798) di Taman Nasional Bali Barat"

Copied!
229
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Phasianidae adalah keluarga burung yang terdiri dari 50 genus dan kurang lebih 214 spesies. Anggota famili Phasianidae umumnya diketahui sebagai grouse, turkeys, pheasants, patridges, francolins dan old world quail. Anggota famili phasianidae tersebar di seluruh dunia, namun tidak ditemukan di daerah kutub (Johnsgard 1999).

Madge & McGowan (2002) menyatakan bahwa Phasianidae memiliki ukuran tubuh yang bervariasi tergantung spesies, mulai dari spesies yang berukuran kecil dengan berat kurang lebih 500 gram sampai dengan spesies dengan berat mencapai 9,5 kilogram. Panjang ekor juga bervariasi tergantung spesies, ada spesies yang nyaris tanpa ekor dan ada yang memiliki ekor dengan panjang mencapai 1 meter. Variasi warna bulu yang dimiliki famili Phasianidae mulai dari spesies yang berbulu samar dan gelap sampai dengan spesies yang memiliki bulu terang dan berpola. Beberapa spesies jantan Phasianidae berukuran lebih besar dan berwarna lebih cerah serta memiliki ekor yang lebih panjang atau ornamen bulu yang lebih rumit daripada spesies betina. Spesies-spesies dalam famili Phasianidae memiliki cara unik dalam menarik pasangan pada musim kawin seperti menegakkan bulu, menampilkan warna-warni bulu dan pial serta terkadang disertai dengan dikembangkannya bulu ekor.

Eriksson et al. (2008) menyatakan bahwa famili Phasianidae dibagi menjadi 4 subfamili yaitu Meleagridinae, Perdicinae, Tetraoninae, dan Phasianinae. Genus Gallus (junglefowl) adalah bagian dari subfamili Phasianinae yang endemik dan hanya dapat dijumpai pada beberapa negara saja seperti di India, Sri Lanka, Asia Tenggara dan Indonesia. Gallus varius adalah salah satu jenis dari genus Gallus yang memiliki nama lokal ayam hutan hijau dan merupakan salah satu spesies endemik ayam hutan Indonesia (Delacour 1977).

(2)

tetap menjadi spesies liar walaupun telah lama juga dikenal sebagai hewan peliharaan karena keindahan bulu dan suara yang unik, terutama di kalangan masyarakat Jawa, Madura dan Bali.

Ayam hutan hijau merupakan jenis ayam yang endemik secara kepulauan, karena menurut MacKinnon et al. (1992) ayam hutan hijau hanya ditemukan di pulau Jawa, Bali, Kangean, dan Flores. Salah satu habitat alami ayam hutan hijau di pulau Bali berada di Taman Nasional Bali Barat (Dephut 2009).

Ayam hutan hijau adalah spesies yang menjadi semakin penting selama dua dekade terakhir karena banyak digunakan sebagai induk jantan dalam produksi unggas hias bekisar. Ayam hutan hijau untuk produksi unggas hias bekisar ini sebagian besar ditangkap dari populasi liar di Jawa, Madura dan Bali (Prana et al. 1996).

Pemanfaatan dengan menangkap langsung dari alam langsung seperti pengambilan telur, anakan, dan ayam dewasa memiliki resiko yang dapat mengancam kelestarian dan populasi ayam hutan hijau. Oleh karena itu diperlukan semacam pengetahuan bioekologi tentang ayam hutan hijau. Salah satu pengetahuan yang penting dalam bioekologi ayam hutan hijau adalah pengetahuan perilaku ayam hutan hijau.

Sampai saat ini penelitian mengenai perilaku ayam hutan hijau sangat langka dan hanya terbatas pada deskripsi perilaku yang sifatnya umum. Sebagai contoh dilaporkan oleh Arifinsjah (1987), penelitian perilaku yang dilakukan terbatas untuk studi perilaku untuk menentukan kemungkinan pengelolaannya. Sedangkan hubungan lingkungan dengan ayam hutan hijau hanya dilaporkan aspek lingkungan yang mempengaruhi perilaku ayam hutan hijau, namun tidak dijelaskan bagaimana hubungan yang terjadi antara ayam hutan hijau dengan lingkungannya.

(3)

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian adalah:

1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan perilaku ayam hutan hijau di Taman Nasional Bali Barat.

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Satwaliar

Perilaku menurut Alikodra (2002) merupakan gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang diperoleh dari lingkungannya. McFarland (1993) menyebutkan bahwa perilaku dihasilkan dari interaksi-interaksi kompleks antara rangsangan eksternal dan internal. Perilaku adalah tindakan yang mengubah hubungan antara organisme dengan lingkungannya. Perilaku merupakan kegiatan yang diarahkan dari luar dan tidak mencakup banyak perubahan di dalam tubuh yang secara tetap terjadi pada makhluk hidup (Suhara 2010).

Scott (1969) menyatakan bahwa pola perilaku satwa sebagai bagian dari tingkah laku yang mempunyai fungsi adaptasi yang khusus. Satu pola perilaku terdiri dari rangkaian gerakan berperilaku, sedangkan satu gerakan berperilaku dapat ditemukan dalam beberapa pola perilaku berbeda karena satu gerakan berperilaku tidak mempunyai fungsi khusus. Kumpulan pola perilaku yang mempunyai fungsi umum yang sama disebut sebuah sistem perilaku. Terdapat sembilan sistem perilaku yaitu:

a. Perilaku makan dan minum (ingestive behaviour)

b. Perilaku mencari tempat bernaung dan berlindung (shelter seeking)

c. Perilaku bertentangan atau yang berhubungan dengan konflik antar satwa (agonistic behaviour)

d. Perilaku seksual (sexual behaviour)

e. Perilaku merawat tubuh (epimeletic behaviour)

f. Perilaku mendekati dan merawat (et epimeletic behaviour) g. Perilaku meniru sesama (allelomimetic behaviour)

h. Perilaku membuang feses (eliminative behaviour)

(5)

2.2 Ekologi Perilaku

Krebs & Davies (1987) menyatakan bahwa ekologi perilaku mempelajari perilaku satwa untuk bertahan hidup dengan mengeksploitasi sumberdaya, menghindari predator dan juga mempelajari bagaimana perilaku tersebut berperan dalam keberlanjutan reproduksi. Ekologi perilaku adalah ilmu yang mempelajari tentang atribut-atribut perilaku adaptif dalam memecahkan permasalahan lingkungan untuk keberlanjutan reproduksi suatu individu (Alcock 1989).

Satwa memberikan reaksi berupa perubahan perilaku maupun sikap untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Adaptasi menjadi salah satu strategi satwa untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya agar dapat bertahan hidup. Satwa membutuhkan energi yang cukup dalam mendapatkan makanan, air, perlindungan terhadap predator, iklim serta kondisi topografi yang dihadapi. Dalam semua aspek tersebut satwa melakukan berbagai macam bentuk adaptasi dengan lingkungannya (Moen 1973).

Setiap individu dalam satu spesies memiliki cara yang berbeda untuk mendapatkan sumberdaya, pasangan dan tempat bersarang yang disebut strategi. Strategi adalah pola perilaku yang digunakan oleh suatu individu dalam persaingan mendapatkan sumberdaya, pasangan atau tempat bersarang (Krebs & Davies 1987).

2.3 Bioekologi Perilaku Ayam Hutan Hijau 2.3.1 Klasifikasi dan morfologi

Ayam hutan hijau (Gallus varius), oleh Delacour (1977) diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phyllum : Chordata

Klas : Aves

Ordo : Galliformes

Famili : Phasianidae Subfamili : Phasianinae

Genus : Gallus

Spesies : Gallus varius Shaw & Nodder, 1798

(6)

mm. Ayam hutan hijau jantan pada bagian wajah berwarna merah dengan jengger (comb) yang tidak bergerigi dan berwarna hijau keunguan dan merah pada tepi luar dan tinggi jengger 19,33 mm. Sedangkan pial (wattle) mempunyai warna dasar merah dengan warna kuning terang kebiruan dan ungu dibagian luar. Paruh berwarna kuning dengan bagian atas yang kehitaman dengan panjang 16-18 mm. Mata berwarna kuning dengan bagian tengah hitam. Bulu pada leher bagian atas, tengkuk leher dan leher sebagian besar berwarna hitam dengan batas berwarna biru metalik dan hijau. Pada bagian bawah dan tungging terdapat warna hitam mengkilat kehijauan yang memanjang menyempit dengan batas kuning terang. Ekor ayam hutan hijau memiliki panjang 320-330 mm dengan warna hitam mengkilat hijau kebiruan. Panjang sayap ayam hutan hijau berkisar antara 220-245 mm. Bulu penutup sayap berwarna hitam mengkilat hijau kebiruan dengan jumbai warna jingga karat. Sebagaian besar bulu sayap bagian bawah berwarna hitam suram. Tungkai berwarna putih sampai merah muda dengan panjang 70-75 mm. Untuk berat tubuh total dari ayam hutan hijau yaitu 621,67 gr (Nishida et al. 1980).

(a) (b)

Gambar 1 Ayam hutan hijau, (a) jantan, (b) betina.

(7)

panjangnya 16 mm. Leher berwarna putih, dada kecoklatan pucat dengan batas kehitaman, bagian bawah tubuh berwarna keabu-abuan dengan bercak hitam. Bulu ekor berwarna hitam dan kuning pucat dengan panjang 115 mm. Tungkai ayam hutan hijau betina memiliki panjang 58 mm berwarna putih keabu-abuan sampai kuning merah muda (Delacour 1977).

Ayam hutan hijau dalam masa peralihan menjadi dewasa tidak ditandai dengan pergantian bulu. Spesies jantan ayam hutan hijau yang belum dewasa, menjelang usia dua bulan mulai tumbuh bulu-bulu berwarna hitam, hijau dan kuning yang berbaur. Anakan dari ayam hutan hijau ada yang berbulu kapas berwarna gelap dan terdapat jalur coklat kehitaman dari jengger sampai ekor, juga kepala dan sayap. Warna dada coklat dan pada bagian bawah berwarna putih krem (Grzimek 1972).

Delacour (1977) menyatakan bahwa jantan muda ayam hutan hijau akan mempunyai bulu dewasa pada tahun pertama dan dapat dibedakan dengan jantan dewasa berdasarkan ukuran jengger, taji dan bulu. Jantan muda mencapai dewasa kelamin setelah usia satu tahun.

2.3.2 Habitat dan penyebaran

Ayam hutan hijau menurut MacKinnon et al. (1992) tersebar disekitar Jawa, Bali, Kangean, dan Flores. Di Jawa dan Bali umumnya terdapat secara lokal pada habitat terbuka yang sesuai sampai ketinggian 1500 mdpl. Ayam hutan hijau memilih daerah berumput terbuka dan jarang atau tidak pernah ditemukan di hutan lebat serta sering mencari makan di padang rumput dekat ternak dengan memakan serangga yang tertarik pada kotoran ternak atau terganggu pada waktu ternak bergerak.

(8)

rumput yang merupakan tempat untuk mencari makan, berlindung, beristirahat, dan berkembang biak.

Secara umum Gallus spp mencari makan pada pagi dan sore hari. Makan dan minum adalah perilaku makan (feeding behaviour). Ayam hutan hijau memilih tempat terbuka untuk mencari makan. Tempat terbuka tersebut dapat berupa semak belukar di dataran rendah. Makanan ayam hutan hijau adalah biji-bijian, rumput-rumputan, serangga, binatang kecil lainnya seperti jangkrik, belalang dan lainnya (Mufarid 1991).

Arifinsjah (1987) menyatakan bahwa ayam hutan hijau menyukai semak belukar yang relatif lebat, kumpulan pohon yang cukup rindang untuk beristirahat dan menyembunyikan dirinya dari serangan predator dan panasnya matahari. Sedangkan untuk aktivitas istirahat ayam hutan hijau sebelum aktivitas hariannya dimulai kembali atau disebut tidur memilih lokasi di percabangan pohon yang rendah antara 0-1 m dari tanah.

2.3.3 Ekologi perilaku ayam hutan hijau

Ekologi perilaku mempelajari hubungan timbal balik dari perilaku satwaliar terhadap lingkungan sekitarnya. Ekologi perilaku ayam hutan hijau merupakan respon ayam hutan hijau terhadap rangsangan dari lingkungannya yang ditunjukkan dalam bentuk aktivitas, mekanisme dan strategi perilaku untuk dapat bertahan hidup. Ayam hutan hijau merupakan unggas pesisir dan lembah-lembah yang hidup bergerombol di tepian hutan. Siang hari, ayam hutan hijau biasa berkeliaran di rerumputan yang berbatu, semak-semak atau pepohonan perdu dan rumpun bambu untuk mencari makanan. Setelah matahari terbenam ayam hutan hijau tidur dengan bertengger di atas dahan pepohonan (Wood-Gush 1971).

Arifinsjah (1987) menyatakan pola perilaku ayam hutan hijau dibagi menjadi:

1. Perilaku makan ayam hutan hijau adalah rangkaian gerak yang dilakukan ayam hutan hijau untuk mencari dan memilih makanan dan minum.

(9)

3. Perilaku melakukan perjalanan adalah suatu rangkaian gerak yang dilakukan ayam hutan hijau untuk tujuan tertentu sehingga meyebabkan ayam hutan hijau berpindah tempat.

4. Perilaku istirahat adalah suatu keadaan ayam hutan hijau tidak melakukan aktivitas (diam).

5. Perilaku sosial adalah suatu keterikatan antara individu ayam hutan hijau dalam kelompok yang berupa hubungan hubungan sosial dan interaksi dengan lingkungannya.

Arifinsjah (1987) menyebutkan bahwa secara umum kehidupan sosial ayam hutan hijau terbagi menjadi dua tipe yaitu tipe soliter dan tipe berkelompok. Berkelompok umumnya terdiri dari dua sampai sepuluh individu ayam hutan hijau. Ayam hutan hijau (Gallus varius) bersifat monogami.

Organisasi sosial ayam hutan hijau adalah suatu sistem sosial yang dibentuk ayam hutan hijau untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Organisasi ini dibagi berdasarkan jumlah anggota dalam satu kelompok dan keadaan komposisinya (Arifinsjah 1987). Arifinsjah (1987) membagi kelompok ayam hutan hijau menjadi sebagai berikut:

1. Kelompok dewasa

a. Kelompok pasangan yaitu terdiri dari dua individu dewasa (satu ekor jantan dan satu ekor betina).

b. Kelompok jantan yaitu terdiri dari dua sampai tiga ekor jantan dewasa. 2. Kelompok muda

a. Kelompok betina yaitu terdiri dari tiga sampai enam ekor betina muda. b. Kelompok jantan yaitu terdiri dari dua sampai tiga ekor jantan muda. 3. Kelompok campuran

a. Kelompok biasa adalah merupakan kelompok yang terbesar jumlah anggotanya, karena gabungan dari kelompok pasangan ditambah beberapa ekor anak (satu sampai enam ekor).

(10)

c. Kelompok muda campuran yaitu terdiri dari dua sampai empat betina muda ditambah satu sampai tiga ekor jantan muda.

Prana et al. (1996) menyebutkan bahwa untuk di pulau Bali yaitu masyarakat lokal Desa Pujungan mengatakan bahwa musim kawin ayam hutan hijau adalah pada bulan Mei sampai dengan Juli. Hal ini mungkin disebabkan oleh ayam hutan hijau yang hidup di habitat kering atau gersang memilih untuk kawin pada akhir musim penghujan seperti bulan Mei sampai dengan Juli untuk memperoleh pakan yang cukup melimpah. Selain itu keuntungan yang mungkin diperoleh ayam hutan hijau kawin pada bulan Mei-Juli adalah waktu yang tepat untuk bertelur dan mulai mengerami mengingat curah hujan yang relatif ringan dibandingkan pertengahan musim.

(11)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Pada kedua tipe ekosistem ini diduga menjadi tempat ditemukannya ayam hutan hijau karena menurut Fuller & Garson (2000), ayam hutan hijau menyukai daerah pinggiran pantai dan dekat dengan aktivitas manusia karena sering ditemukan di beberapa daerah pertanian serta menyukai daerah terbuka dan padang rumput. Savana dapat ditemukan di Semenanjung Prapat Agung dan hutan musim yang terdapat di TNBB merupakan tipe ekosistem yang paling luas di TNBB sehingga yang dipilih hanya hutan musim dengan perjumpaan terhadap ayam hutan hijau termudah yaitu di Tanjung Gelap. Lokasi penelitian di TNBB seperti terlihat pada peta di bawah ini:

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian di Taman Nasional Bali Barat.

Sebelum dilakukan pengamatan di hutan musim dan savana, terlebih dahulu dilakukan studi pendahuluan atau orientasi lapangan pada bulan Juni 2011 di Taman Nasional Bali Barat. Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan (Juli sampai dengan September 2011) dan difokuskan di hutan musim dan savana.

(12)

Untuk lebih jelasnya alokasi waktu pengambilan data seperti tercantum pada tabel 1 berikut:

Tabel 1 Alokasi waktu dan lokasi pengambilan data primer di TNBB

No Lokasi Kegiatan Tipe Habitat Perilaku Alokasi 1 Kawasan

Taman Nasional Bali Barat

Orientasi Lapang dan studi pustaka

Semua tipe habitat ditemukannya ayam hutan hijau

- 14 hari

2 Tanjung gelap Pengambilan data perilaku 1 kelompok ayam hutan

Hutan musim Semua perilaku teramati (makan dan minum, bergerak, istirahat dan tidur, bersuara) 10 hari

3 Tanjung gelap Pengambilan data perilaku ayam hutan hijau dan analisa vegetasi di titik pengamatan Hutan Musim (jauh dari aktivitas manusia) Makan dan minum, bergerak, istirahat dan tidur, bersuara

7 hari

4 Tanjung gelap Pengambilan data perilaku ayam hutan hijau dan analisa vegetasi di titik pengamatan Hutan Musim (dekat dengan aktivitas manusia) Makan dan minum, bergerak, istirahat dan tidur, bersuara

7 hari

5 Semenanjung Prapat Agung

Orientasi lapang, pengambilan data perilaku ayam hutan hijau dan analisa vegetasi di titik pengamatan

Ekosistem savana

Makan dan minum, bergerak, istirahat dan tidur, bersuara

21 hari

7 BTNBB dan lokasi penelitian

Melengkapi data (dokumentasi seperti foto dll)

Semua tipe habitat ditemukannya ayam hutan hijau Semua perilaku teramati (makan dan minum, bergerak, istirahat dan tidur, bersuara) 14 hari

Total 73 hari

3.2 Alat dan Bahan

(13)

3.3 Metode Pengumpulan Data a. Studi pustaka

Dilakukan untuk mengumpulkan data dan literatur mengenai ekologi perilaku ayam hutan hijau.

b. Studi pendahuluan

Sebelum dilakukan pengamatan di lapangan untuk pengumpulan data primer terlebih dahulu dilakukan studi pendahuluan atau orientasi lapangan pada bulan Juni 2011 di Taman Nasional Bali Barat. Studi dilakukan untuk lebih mengenal lokasi penelitian dan untuk mengetahui titik-titik ditemukannya ayam hutan hijau sedang melakukan aktivitas terutama di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Prapat Agung. Metode yang digunakan dalam studi pendahuluan ini adalah dengan cara pengamatan langsung dilapangan dan wawancara dengan petugas lapangan Taman Nasional Bali Barat.

c. Pengumpulan data primer

Data primer adalah data utama dalam penelitian ini yaitu data ekologi perilaku ayam hutan hijau dan data habitat. Data diperoleh dengan pengamatan langsung dilapangan yaitu Taman Nasional Bali Barat.

(14)

Pengamatan terhadap aktivitas harian seekor Gallus varius jantan dewasa dilakukan setiap hari dan dilakukan selama dua minggu (14 hari). Perilaku yang diamati yaitu:

1. Makan yaitu aktivitas yang berkaitan dengan mencari, mematuk, mengais dan menelan makanan.

2. Minum yaitu memasukkan paruh ke dalam air, menengadahkan kepala dan meneguk air.

3. Bergerak yaitu pergerakan ayam hutan hijau dari suatu tempat ke tempat lain dengan melompat, berjalan, berlari atau terbang.

4. Istirahat yaitu aktivitas diam ayam hutan hijau untuk berlindung dari sinar matahari di siang hari.

5. Tidur yaitu aktivitas ayam hutan hijau yang dilakukan di sore hari untuk tidur di pohon tidur sampai bangun tidur di pagi keesokan harinya.

6. Bersuara yaitu aktivitas mengeluarkan suara yang dilakukan oleh ayam hutan hijau.

Pengamatan terhadap strategi yang dilakukan ayam hutan hijau dalam beradaptasi dengan lingkungannya diperoleh dengan pengamatan langsung pada unit contoh yang berbentuk titik pengamatan. Titik pengamatan ditentukan dengan memilih tempat-tempat strategis ditemukannya ayam hutan hijau sedang melakukan aktivitas. Dalam setiap pertemuan dengan ayam hutan hijau dicatat perilaku terkait waktu, aktivitas, durasi, lokasi beraktivitas, dan frekuensi.

Data habitat mencakup komposisi jenis dan struktur vegetasi sebagai komponen habitat utama ayam hutan hijau. Pada masing-masing tipe habitat perlu diketahui fungsi pakan, shelter, cover, tempat bertengger dan bersarang. Untuk mendapatkan data mengenai habitat maka dilakukan analisa vegetasi pada lokasi-lokasi yang menjadi tempat ayam hutan hijau melakukan aktivitasnya.

(15)

Soerianegara dan Indrawan (2005) menyatakan bahwa untuk di Indonesia panjang jalur yang digunakan adalah 200 m dan lebar 20 m, yaitu hanya pada tempat-tempat dimana terdapat Gallus varius melakukan aktivitas. Analisa vegetasi dilakukan pada lokasi dengan tipe vegetasi hutan musim Tanjung Gelap dan savana Prapat Agung. Panjang jalur nantinya juga disesuaikan dengan keragaman jenis tumbuhan yang ada. Dalam pengukuran, kriteria yang digunakan untuk menetapkan tingkat vegetasi yang dianalisis adalah sebagai berikut:

a. Tingkat pohon, yaitu pohon-pohon yang memiliki diameter setinggi dada (dbh) = 130 cm dari permukaan tanah, atau diameter 20 cm diatas lebih besar atau sama dengan 32 cm kelilingnya.

b. Tingkat tiang, yaitu pohon-pohon yang memiliki diameter setinggi dada atau diameter 20 cm diatas banir antara 10 cm sampai dengan 20 cm (10cm dbh

20 cm).

c. Tingkat pancang, yaitu anakan pohon atau perdu yang tingginya (T) lebih dari atau sama dengan 1,5m dan memiliki diameter setinggi dada kurang dari atau

sama dengan 10cm (T ≥ 1,5m; dbh ≤ 10cm).

d. Tingkat semai, yaitu anakan pohon atau perdu yang tingginya kurang dari 1,5m

(T 1,5m).

e. Tumbuhan bawah, yaitu tumbuhan penutup tanah (ground cover) yang bukan anakan pohon atau perdu (termasuk herba, liana, semak, dan rumput).

Ukuran petak yang dipakai dalam analisa vegetasi ini memiliki parameter kuantitatif sesuai dengan tingkat vegetasi yang berbeda yaitu:

a. 20 m × 20 m untuk tingkat pohon b. 10 m × 10 m untuk tingkat tiang c. 5 m × 5 m untuk tingkat pancang

(16)

Pada setiap garis transek ditentukan petak-petak pengamatan secara sistematik, seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 3 Metode garis berpetak untuk analisa vegetasi.

Untuk tingkat tiang dan pohon dicatat jenis, jumlah individu, diameter batang, tinggi bebas cabang dan tinggi total pohon. Sedangkan data yang dikumpulkan untuk semai, pancang dan tumbuhan bawah meliputi jenis dan jumlah individu setiap jenis.

3.4 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan yaitu makan, minum, bergerak, istirahat, tidur dan bersuara selanjutnya dianalisis melalui teknik penyajian deskriptif, grafik dan presentase. Analisis deskriptif dan grafik merupakan penguraian dan penjelasan pola perilaku ayam hutan hijau di Taman Nasional Bali Barat serta menginterpretasikan strategi perilaku yang digunakan.

Analisis kuantitatif yang digunakan untuk menguji hipotesis dari bentuk-bentuk perilaku di atas adalah dengan uji chi-square (X2), dengan rumus sebagai berikut:

�2 = (��− �) 2

� =1

�� = frekuensi pengamatan perilaku ke-i � = Frekuensi harapan ke-i

20m

20m

10m

2m

10m

5m

2m

(17)

� = � � ×

� �

Kriteria uji:

Jika �2hit �2tab, maka terima H1 Jika �2hit �2tab, maka terima H0

Uji ini dilakukan pada taraf nyata 5 % dengan derajat bebas:

(v) = (b-1) × (k-1) dimana b adalah baris dan k adalah kolom serta menggunakan hipotesa:

a. Perilaku makan

Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, durasi, frekuensi, dan kondisi lokasi untuk aktivitas makan. Hipotesis yang digunakan:

Frekuensi

H0 = tidak ada perbedaan frekuensi perilaku makan di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

H1 = terdapat perbedaan frekuensi perilaku makan di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

Durasi

H0 = tidak ada perbedaan durasi perilaku makan di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

H1 = terdapat perbedaan durasi perilaku makan di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

b. Perilaku minum

Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, durasi, frekuensi, dan kondisi lokasi untuk aktivitas minum. Hipotesis yang digunakan:

Frekuensi

H0 = tidak ada perbedaan frekuensi perilaku minum di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

H1 = terdapat perbedaan frekuensi perilaku minum di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

Durasi

H0 = tidak ada perbedaan durasi perilaku minum di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

(18)

c. Bergerak

Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, durasi, frekuensi, dan kondisi lokasi untuk aktivitas bergerak. Hipotesis yang digunakan:

Frekuensi

H0 = tidak ada perbedaan frekuensi bergerak di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

H1 = terdapat perbedaan frekuensi bergerak di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

Durasi

H0 = tidak ada perbedaan durasi bergerak di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

H1 = terdapat perbedaan durasi bergerak di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

d. Istirahat

Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, durasi, frekuensi, dan kondisi lokasi untuk aktivitas istirahat. Hipotesis yang digunakan:

Frekuensi

H0 = tidak ada perbedaan frekuensi perilaku istirahat di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

H1 = terdapat perbedaan frekuensi perilaku istirahat di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

Durasi

H0 = tidak ada perbedaan durasi perilaku istirahat di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

H1 = terdapat perbedaan durasi perilaku istirahat di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

e. Tidur

Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, durasi, frekuensi, dan kondisi lokasi untuk aktivitas tidur. Hipotesis yang digunakan:

Frekuensi

H0 = tidak ada perbedaan frekuensi perilaku tidur di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

H1 = terdapat perbedaan frekuensi perilaku tidur di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

Durasi

H0 = tidak ada perbedaan durasi perilaku tidur di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

(19)

f. Bersuara

Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, durasi, frekuensi, dan kondisi lokasi untuk aktivitas bersuara. Hipotesis yang digunakan:

Frekuensi

H0 = tidak ada perbedaan frekuensi perilaku bersuara di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

H1 = terdapat perbedaan frekuensi perilaku bersuara di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

Durasi

H0 = tidak ada perbedaan durasi perilaku bersuara di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

H1 = terdapat perbedaan durasi perilaku bersuara di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

Data dan informasi habitat dari hasil analisa vegetasi kemudian dianalisis dan dilakukan pendekatan penggunaan habitat yang dilakukan oleh ayam hutan hijau. Data analisa vegetasi diolah dalam variabel kerapatan (K), frekuensi (F), dan dominasi (D) dengan rumus :

Kerapatan (ind/ha) = Jumlah individu suatu jenis Total luas unit contoh

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis

Kerapatan seluruh jenis × 100 %

Frekuensi = Jumlah plot ditemukannya jenis Jumlah total unit contoh

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis

Total frekuensi seluruh jenis × 100 %

Luas Bidang Dasar = 1

4 � 2

Dominansi (m2/ha) = Luas bidang dasar suatu jenis Total luas unit contoh

Dominansi Relatif (DF) = Dominansi suatu jenis

Total dominansi seluruh jenis × 100 %

Indeks Nilai Penting (INP) untuk vegetasi tingkat tiang dan pohon merupakan penjumlahan dari nilai-nilai kerapatan relatif (KR), dominansi relatif (DR), dan frekuensi relatif (FR) atau INP = KR+FR+DR. Sedangkan untuk vegetasi tingkat semai dan pancang, INP = KR+FR.

(20)

BAB IV

KONDISI UMUM

4.1 Letak dan luas

Secara administrasi pemerintahan, Taman Nasional Bali Barat (TNBB) terletak dalam 2 kabupaten yaitu Kabupaten Buleleng dan Jembrana, Propinsi Bali. Secara geografis terletak antara 8o05 20 sampai dengan 8o15 25 LS dan 114o25 00 sampai dengan 114o56 30 BT. Luas kawasan Taman Nasional Bali Barat yaitu 19002,89 Ha yang terdiri dari 15587,89 Ha berupa wilayah daratan dan 3415 Ha berupa perairan. Taman Nasional Bali Barat terbagi menjadi beberapa zona diantaranya zona inti seluas ± 8023,22 Ha, zona rimba ± 6174,76 Ha, zona perlindungan bahari ± 221,74 Ha, zona pemanfaatan ± 4294,43 Ha, zona budaya, religi dan sejarah seluas ± 50,57 Ha, zona khusus ± 3,97 Ha dan zona tradisional seluas ± 310,94 Ha (Balai Taman Nasional Bali Barat 2009).

4.2 Keadaan kawasan

Balai Taman Nasional Bali Barat dalam situs resminya menyebutkan bahwa topografi kawasan terdiri dari dataran landai, agak curam, dengan ketinggian tempat antara 0 s/d 1414 mdpl. Jenis tanah di TNBB sebagian besar terdiri dari jenis Latosol. Berdasarkan Schmidt dan Ferguson, kawasan TNBB termasuk tipe klasifikasi curah hujan D, E, C dengan curah hujan rata-rata D : 1064 mm/ tahun, E : 972 mm/ tahun, dan C : 1559 mm/ tahun. Temperatur udara rata-rata 33o C pada beberapa lokasi, kelembaban udara di dalam hutan sekitar 86 % (Balai Taman Nasional Bali Barat 2009).

4.3 Tipe ekosistem

(21)

Ekosistem darat di Taman Nasional Bali Barat terdiri dari: a. Ekosistem hutan mangrove

Hutan mangrove terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut (daerah pasang surut pantai). Penyebaran hutan mangrove secara luas di TNBB antara lain di teluk Gilimanuk, Tegal Bunder, Teluk Trima, Teluk Banyu Wedang. Sedangkan untuk sebaran yang relatif kecil berada di Prapat Agung, Teluk Kelor dan Teluk Kotal.

b. Ekosistem hutan pantai

Hutan pantai dapat ditemukan di Semenanjung Prapat Agung, merupakan daerah pantai berpasir kering yang dapat membentuk formasi vegetasi pantai yang sedang mengalami proses peninggian ataupun formasi vegetasi pantai yang mengalami proses pengikisan. Formasi ini dicirikan dengan sejenis tumbuhan yang menjalar, berbunga ungu termasuk herba rendah yang akarnya dapat mengikat pasir seperti Ipomoea pescaprea, selain itu juga terdapat sejenis polong (Canavalia), Teki (Cyperus penduculatus, Cyperus stoloniferus) dan rerumputan seperti Thuarea involuta dan Spinifex littoreus. Di bagian belakang formasi tersebut terdapat formasi Barringtonia. Formasi Barringtonia juga terdapat di pantai yang sedang mengalami proses pengikisan, pasirnya dipindahkan oleh ombak-ombak laut. Vegetasinya toleran terhadap siraman air asin dan tanahnya miskin hara serta mengalami kering secara musiman. Jenis yang ada antara lain: Keben (Barringtonia asiatica), Ketapang (Terminalia catappa), Waru Laut (Thespesia populnea) dan Waru (Hibiscus tiliaceus).

c. Ekosistem hutan musim

(22)

lucida), pada tingkat pancang di dominasi oleh jenis Putihan (Symplocos javanica) dan pada tingkat semai didominasi oleh jenis Putihan (Symplocos

javanica).

d. Ekosistem hutan hujan dataran rendah

Hutan hujan tropika dicirikan dengan penutupan tajuk yang lebat, struktur vegetasi yang kompleks dan keanekaragaman jenis yang tinggi. Tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah di TNBB terdapat di bagian selatan Gunung Penginuman, Gunung Klatakan, Gunung Bakungan dan Gunung Ulu Teluk Trima. e. Ekosistem evergreen

Merupakan hutan dataran rendah tetapi bukan termasuk ke dalam hutan yang dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi tetapi lebih dipengaruhi oleh kelembaban tanah yang tinggi. Karena kondisi tanah yang memiliki kelembaban yang tinggi menyebabkan tanaman yang tumbuh ditempat ini merupakan jenis-jenis yang tahan lembab dan hijau sepanjang tahun. Hutan evergreen di Taman Nasional Bali Barat merupakan asosiasi antara hutan musim dan hutan mangrove. Sehingga memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi. Pada tingkat pohon di hutan evergreen didominasi oleh vegetasi Walangan, sedangkan pada tingkat tiang hingga semai di dominasi oleh vegetasi Anjring (Averrhoa spp.)

f. Ekosistem savana

Savana di TNBB terbentuk oleh peranan api yang menyebabkan terjadinya kebakaran rutin. Memiliki kondisi musim kering yang panjang, serta api merupakan bagian terpenting dari lingkungan. Jenis-jenis pohon dan rumput di daerah savana mempunyai sifat tahan kekeringan dan tahan api. Jumlah spesies tumbuhan sangat terbatas. Jenis rumput dari genera Panicum, Pennisetum, Andropogon dan Imperata. Sedangkan pada tingkat pohon terdiri atas pepohonan yang sangat jarang dan berfungsi sebagai tempat berteduh satwa liar, terutama herbivora. Pepohonan yang ada di savana umumnya adalah Pilang (Acacia leucophloea), Bekul (Zyzypus rotundifolia), Kemloko (Phylantus emblica) dan Intaran (Azadirachta indica).

(23)

tumbuhan Sawo Kecik (Manilkara kauki). Formasi Sawo Kecik ini di terletak di sekitar Prapat Agung atau yang lebih dikenal dengan Blok Sawo Murni.

Sedangkan tipe ekosistem laut meliputi: a. Ekosistem coral reef

b. Ekosistem padang lamun c. Ekosistem padang berpasir d. Ekosistem perairan laut dangkal e. Ekosistem perairan laut dalam

4.4 Flora dan fauna

Taman Nasional Bali Barat memiliki 175 jenis tumbuhan dan beberapa jenis diantaranya merupakan tumbuhan langka seperti bayur (Pterospermum javanicum), ketangi (Lagerstroemia speciosa), burahol (Stelechocarpus burahol), cendana (Santalum album), dan sonokeling (Dalbergia latifolia). Tumbuhan yang menjadi ciri khas kawasan Taman Nasional Bali Barat yaitu sawo kecik (Manilkara kauki) dengan jumlah yang masih banyak dan membentuk suatu ekosistem tegakan yang berbeda dengan ekosistem lainnya (Balai Taman Nasional Bali Barat 2009).

(24)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Habitat ayam hutan hijau (Gallus varius) di TNBB

a. Hutan Musim Tanjung Gelap

Kawasan hutan musim Tanjung Gelap diusahakan secara intensif untuk wisata alam oleh PT. Trimbawan Swastama Sejati dengan luas 284 ha dengan pembuatan resort Menjangan. Di kawasan hutan musim tanjung gelap Gallus varius mudah dijumpai di tempat-tempat yang relatif terbuka dengan permukaan tanah yang berbatu dan ditumbuhi rumput serta semak belukar. Selain itu Gallus varius juga sering ditemukan di bawah tegakan pohon ataupun semak belukar

yang pada lantai hutan musim ini dipenuhi dengan serasah. Lokasi penelitian di hutan musim Tanjung Gelap ini dibedakan menjadi dua yaitu hutan musim yang dekat dengan aktivitas manusia dan hutan musim yang jauh dari aktivitas manusia.

(25)

(b)

Gambar 4 Lokasi penelitian di hutan musim hutan musim dekat dari aktivitas manusia (a), dan hutan musim jauh dari aktivitas manusia (b).

Hutan musim dekat aktivitas manusia merupakan lokasi penelitian dengan tingkat kunjungan manusia yang lebih tinggi dibandingkan hutan musim yang jauh dari aktivitas manusia. Pada habitat hutan musim dekat aktivitas manusia banyak ditemukan bangunan penunjang kegiatan wisata seperti hotel dan restoran serta areal yang sengaja dibuka untuk dilakukan penanaman jenis pohon tertentu. Kegiatan wisata yang sering dilakukan di hutan musim dekat aktivitas manusia adalah bird watching, jungle tracking, berkuda dan bersepeda.

(26)

Vegetasi sebagai komponen penting dalam habitat berfungsi sebagai sumber makanan, tempat berlindung dan istirahat bagi Gallus varius. Hasil perhitungan terhadap kerapatan vegetasi di hutan musim Tanjung Gelap dapat dilihat dalam grafik berikut:

Gambar 5 Grafik kerapatan tingkat vegetasi (ind/ha) pada tipe habitat hutan musim dekat aktivitas manusia (a), hutan musim jauh dari aktivitas manusia (b).

Berdasarkan grafik tersebut diatas dapat dilihat bahwa kerapatan vegetasi pada dua tipe habitat di hutan musim Tanjung Gelap memiliki kesamaan yaitu tumbuhan bawah memiliki kerapatan yang relatif tertinggi dibandingkan tingkat vegetasi lainnya. Pada habitat hutan musim dekat dengan aktivitas manusia, jenis

40250

10500

1320 140 90 0

5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000

Jumlah individu

(a)

Kerapatan (ind/ha)

62500

3000 1080 250 75 0

10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000

Jumlah individu

(b)

(27)

tumbuhan bawah yang memiliki kerapatan tertinggi adalah jenis bun dingin (Porana volubilis). Sedangkan di habitat hutan musim yang jauh dari aktivitas manusia kerapatan tertinggi adalah jenis kerasi (Lantana camara). Hasil analisa vegetasi yang dilakukan di area contoh yaitu hutan musim dekat aktivitas manusia dan jauh dari aktivitas manusia dapat dilihat dalam tabel 2 berikut:

Tabel 2 Indeks nilai penting (INP) dari hasil analisa vegetasi di dua tipe habitat hutan musim Tanjung Gelap

Spesies K

(ind/ha) KR (%) F FR (%) D DR (%)

INP (%) Hutan musim dekat aktivitas manusia

Pohon

Grewia koordersiana 50 55,56 0,7 36,84 16,9 7,39 99,78

Strynos lucida 2,5 2,78 0,1 5,26 10,32 4,51 12,55

Shoutenia ovata 7,5 8,33 0,3 15,79 8,95 3,91 28,03

Vitex pubescens 7,5 8,33 0,3 15,79 17,23 7,53 31,65

Acacia leuchoploea 2,5 2,78 0,1 5,26 142,96 62,46 70,5

Croton argyrathus 17,5 19,44 0,3 15,79 20,12 8,79 44,02

Bridelia monaica 2,5 2,78 0,1 5,26 12,42 5,43 13,47

Tiang

Grewia koordersiana 20 14,29 0,2 20 14,85 16,16 50,45

Strynos lucida 20 14,29 0,2 20 16,98 18,48 52,77

Symplocos javanica 10 7,14 0,1 10 9,21 10,02 27,16

Shoutenia ovata 50 35,71 0,3 30 15,88 17,28 82,99

Vitex pubescens 10 7,14 0,1 10 12,74 13,87 31,01

Croton argyrathus 30 21,43 0,1 10 22,23 24,19 55,62

Pancang

Symplocos javanica 560 42,42 0,5 38,46 - - 80,89

Croton argyrathus 120 9,09 0,2 15,39 - - 24,48

Shoutenia ovata 480 36,36 0,3 23,08 - - 59,44

Strynos lucida 160 12,12 0,3 23,08 - - 35,2

Semai

Shoutenia ovata 1750 16,67 0,6 37,5 - - 54,17

Azadirachta indica 250 2,38 0,1 6,25 - - 8,63

Symplocos javanica 4500 42,86 0,5 31,25 - - 74,12

Strynos lucida 3750 35,71 0,3 18,75 - - 54,46

Tamarindus indica 250 2,38 0,1 6,25 - - 8,63

Tumbuhan bawah

Eupatorium odoratum 10000 24,85 0,8 27,59 - - 52,43

Lantana camara 4500 11,18 0,4 13,79 - - 24,97

Abutilon indicum 3750 9,32 0,3 10,35 - - 19,66

Oplismenus hirtellus 10500 26,09 0,6 20,69 - - 46,78

(28)

Tabel 2 (Lanjutan) Spesies K

(ind/ha) KR (%) F FR (%) D DR (%)

INP (%) Hutan musim jauh dari aktivitas manusia

Pohon

Vitex pubescens 7,5 10 0,2 9,09 10,98 0,87 19,96

Grewia koordersiana 35 46,67 0,7 31,82 14,34 1,14 79,62

Symplocos javanica 5 6,67 0,2 9,09 9,92 0,79 16,55

Croton argyrathus 2,5 3,33 0,1 4,55 10,32 0,82 8,7

Azadirachta indica 2,5 3,33 0,1 4,55 14,72 1,17 9,05

Shoutenia ovata 5 6,67 0,2 9,09 16,99 1,34 17,1

Ficus rigida 2,5 3,33 0,1 4,55 1110,71 88,13 96

Albizzia lebeckiodes 2,5 3,33 0,2 9,09 18,46 1,47 13,89

Acacia leuchoploea 12,5 16,67 0,4 18,18 53,92 4,28 39,13

Tiang

Vitex pubescens 60 24 0,4 30,77 15,35 21,87 76,64

Croton argyrathus 50 20 0,4 30,77 11,21 15,97 66,74

Grewia koordersiana 50 20 0,2 15,39 15,06 21,45 56,84

Shoutenia ovata 80 32 0,2 15,39 13,17 18,76 66,15

Acacia leuchoploea 10 4 0,1 7,69 15,41 21,95 33,64

Pancang

Croton argyrathus 680 62,96 0,3 37,5 - - 100,46

Strynos lucida 160 14,82 0,2 25 - - 39,82

Symplocos javanica 40 3,7 0,1 12,5 - - 16,2

Shoutenia ovata 200 18,52 0,2 25 - - 43,52

Semai

Cyathophyllum

sumatranus 2250 75 0,2 40 - - 115

Croton argyrathus 500 16,67 0,2 40 - - 56,67

Strynos lucida 250 8,33 0,1 20 28,33

Tumbuhan bawah

Lantana camara 18000 28,8 0,8 24,24 53,04

Eupatorium odoratum 17750 28,4 0,8 24,24 52,64

Abutilon indicum 15500 24,8 0,6 18,18 42,98

Oplismenus hirtellus 8750 14 0,3 9,09 23,09

Phyllanthus niruri 1000 1,6 0,2 6,06 7,66

Pogonatherum

crinitum 1500 2,4 0,6 18,18 20,58

(29)

(Shoutenia ovata), laban (Vitex pubescens), kapasan (Croton argyrathus), dan suli (Bridelia monaica).

Fungsi pohon sebagai tempat istirahat di siang hari dapat ditemukan di hutan musim jauh dari aktivitas manusia seperti jenis tekik (Albizzia lebeckiodes) dengan nilai indeks penting 13,89 %. Jenis pohon lain yang digunakan sebagai tempat istirahat seperti jenis intaran (Azadirachta indica) dan asam (Tamarindus indica).

Tipe habitat hutan musim tanjung gelap yang dekat dengan aktivitas manusia memiliki areal terbuka yang ditumbuhi tumbuhan bawah yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan musim yang jauh dari aktivitas manusia. Akan tetapi tipe habitat hutan musim jauh dari aktivitas manusia memiliki jumlah jenis tumbuhan bawah yang lebih banyak dibanding hutan musim yang dekat aktivitas manusia.

Fungsi vegetasi rumput yang tumbuh di hutan musim diduga dimanfaatkan sebagai makanan oleh ayam hutan hijau terutama bagian biji. Hutan musim tanjung gelap memiliki sumber air untuk minum yang berasal dari wadah penampungan air buatan yang dibangun oleh pihak pengelola Resort Menjangan dan kubangan satwa alami yang kering pada musim kemarau.

b. Savana Semenanjung Prapat Agung

Kondisi habitat ayam hutan hijau (Gallus varius) yang dijadikan lokasi penelitian merupakan hamparan lahan yang dipenuhi jenis rumput dan semak serta beberapa jenis pohon yang tumbuh menyebar. Savana terbentuk karena terjadinya kebakaran rutin. Struktur ekosistemnya secara umum tersusun atas pohon-pohon yang menyebar dengan kanopi yang terbuka. Jenis-jenis pohon dan rumput di daerah savana mempunyai sifat tahan kekeringan dan tahan api.

(30)
[image:30.595.114.509.86.377.2]

Gambar 6 Lokasi penelitian di savana Semenanjung Prapat Agung.

Gallus varius yang ditemukan di savana semenanjung Prapat Agung memanfaatkan habitat ini sebagai tempat mencari makan terutama di sekitar jalan berbatu yang dipinggirnya ditumbuhi beberapa jenis rumput dan tumbuhan bawah lainnya. Habitat Gallus varius di savana semenanjung Prapat Agung tidak memiliki sumber air yang digunakan untuk minum Gallus varius.

Pada siang hari Gallus varius di savana semenanjung Prapat Agung ditemukan berteduh di bawah semak belukar rapat yang dinaungi pohon bila hari telah panas. Semak belukar yang rapat juga digunakan sebagai lokasi berlindung Gallus varius jika mendapat gangguan yang mengancam. Jenis gangguan yang

sering ditemui di habitat ini adalah gangguan manusia. Kegiatan masusia yang sering dilakukan adalah sembahyang umat Hindu di Pura Segara Rupek.

(31)

Hasil perhitungan terhadap kerapatan tingkat vegetasi pada habitat savana dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 7 Grafik kerapatan tingkat vegetasi (ind/ha) pada tipe habitat savana. Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa tumbuhan bawah memiliki kerapatan tertinggi dibandingkan tingkat vegetasi lainnya. Pada habitat savana semenanjung Prapat Agung, jenis vegetasi tumbuhan bawah yang memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah kirinyuh (Eupatorium odoratum) dengan KR 63,92%. Vegetasi kirinyuh berfungsi sebagai tempat beristirahat di siang hari untuk menghindari panas matahari dan juga berfungsi sebagai tempat berlindung saat merasa terancam.

Hasil perhitungan terhadap indeks nilai penting (INP) pada habitat ayam hutan hijau (Gallus varius) di savana semenanjung Prapat Agung dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 3 Indeks nilai penting (INP) dari hasil analisa vegetasi di tipe habitat savana semenanjung Prapat Agung

Nama

Jenis Nama Ilmiah

K (ind/ha)

KR

(%) F FR D DR INP Pohon

Intaran Azadirachta indica 10 57,14 0,3 50 22,95 53,83 160,98 Bekol Ziyphus mauritiana 2,5 14,29 0,1 16,67 7,90 18,53 49,48 Pilang Acacia leuchoploea 5 28,57 0,2 33,33 11,79 27,64 89,55

103250

14250

40 1310 17,5 0

20000 40000 60000 80000 100000 120000

Jumlah individu

[image:31.595.113.492.137.388.2]
(32)

Tabel 3 (Lanjutan) Nama

Jenis Nama Ilmiah

K (ind/ha)

KR

(%) F FR D DR INP Tiang

Intaran Azadirachta indica 790 60,31 0,2 66,67 12,76 37,22 164,19 Pilang Acacia leuchoploea 520 39,69 0,1 33,33 21,53 62,00 135,02

Pancang

Intaran Azadirachta indica 40 100 0,1 100 - - 200 Semai

Intaran Azadirachta indica 14250 100 0,4 100 - - 200 Tumbuhan bawah

Kirinyuh Eupatorium odoratum 66000 63,92 0,9 42,86 - - 106,78 Rumput

duri Bulbostylis capillaris 7250 7,02 0,3 14,29 - - 21,31 Rumput

pring-pringan

Pogonatherum crinitum 9750 9,44 0,4 19,05 - - 28,49

Rumput

Jampang Themeda arguens 20250 19,61 0,5 23,81 - - 43,42

Vegetasi di hutan savana semenanjung Prapat Agung didominasi jenis intaran (Azadirachta indica) dengan indeks nilai penting (INP) 160,98 %, jenis pilang (Acacia leuchoploea) dengan INP 89,55 % dan bekol (Ziyphus mauritiana) dengan INP 49,48 %. Fungsi pohon sebagai tempat berlindung dan bernaung di siang hari dapat dilihat pada pohon intaran (Azadirachta indica). Pada perilaku bernaung atau istirahat di siang hari, ayam hutan hijau (Gallus varius) tidak bertengger langsung di percabangan pohon akan tetapi memilih diam di bawah tajuk pohon.

Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian Prapat Agung, predator yang potensial bagi Gallus varius diduga adalah biawak (Varanus salvator) karena sempat ditemukan terlihat sedang mengejar ayam hutan hijau betina.

5.1.2 Aktivitas harian

[image:32.595.112.513.107.409.2]
(33)

memudahkan pengamat. Gallus varius di habitat hutan musim Tanjung Gelap memulai aktivitas pada pukul 05:30 WITA dan berakhir pada pukul 18:30 WITA.

Pengamatan terhadap perilaku Gallus varius dilakukan selama 564,801 jam dengan total pertemuan 492 kali. Jumlah jam pengamatan dan jumlah pertemuan dengan Gallus varius seperti dalam tabel di berikut ini.

Tabel 4 Jumlah jam pengamatan dan pertemuan dengan Gallus varius di lokasi penelitian

Lokasi penelitian Jumlah waktu pengamatan

Jumlah pertemuan

(kali)

Jenis kegiatan

Tanjung Gelap

Perilaku makan, minum, bergerak, istirahat, tidur dan

bersuara Hutan musim dekat

aktivitas manusia 227,72 300 Hutan musim jauh dari

aktivitas manusia 288,36 161 Prapat Agung

Ekosistem savana 48,73 31

Pengamatan dengan durasi yang lebih lama dilakukan di titik pengamatan Tanjung gelap karena pada lokasi ini lebih mudah dalam menemukan Gallus varius sedang melakukan aktivitas dibandingkan lokasi lainnya di Taman Nasional Bali Barat.

Gallus varius adalah satwaliar diurnal yang aktif di siang hari, sehingga semua kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya dilakukan pada siang hari dan malam harinya hanya tidur tanpa melakukan kegiatan lainnya. Pada pagi hari setelah bangun dari tidurnya, mengepakkan sayap dan dilanjutkan dengan bersuara adalah kegiatan pertama yang dilakukan Gallus varius untuk memulai aktivitas hariannya. Aktivitas selanjutnya adalah turun dari pohon tempat tidurnya dengan dengan cara melompat ke bawah pohon secara vertikal dengan sayap yang direntangkan untuk mendapatkan pendaratan yang baik. Setelah Gallus varius berada di bawah pohon tempat tidurnya maka dilanjutkan dengan melakukan perjalanan ke arah lokasi makan di pagi hari.

(34)

areal terbuka yang ditumbuhi rumput. Kegiatan makan yang dilakukan di areal terbuka ini dimulai sekitar pukul 06:00 WITA sampai dengan sekitar pukul 10:30 WITA. Kegiatan makan di tempat terbuka ini tidak berlangsung sepenuhnya di areal tersebut karena Gallus varius selalu keluar dan masuk semak belukar yang ada di dekatnya untuk mencari perlindungan jika merasa terancam dan kembali lagi melanjutkan makan di areal terbuka tersebut.

Setelah kegiatan makan usai, Gallus varius bergerak menuju semak belukar yang lebih rapat dan jauh dari lokasi makan untuk beristirahat. Dalam perjalanan menuju tempat istirahat sangat sulit untuk diikuti sebab Gallus varius sangat sensitif terhadap suara pengamat yang berjalan melewati permukaan tanah yang berserasah sehingga pengamat hanya menunggu di dekat tempat masuknya Gallus varius dalam semak belukar tersebut. Hasil pengamatan terhadap perilaku istirahat Gallus varius di siang hari merupakan hasil analisa karena sulitnya mengikuti sampai ke lokasi yang benar-benar dijadikan lokasi istirahat Gallus varius.

Terdapat pola khusus yang dimiliki Gallus varius dalam melakukan aktivitasnya. Pola perilaku terlihat pada saat Gallus varius bangun dari tempat tidur dan diakhiri ketika Gallus varius kembali tidur di sore hari. Pada pagi hari setelah bangun dari tempat tidur aktivitas yang dilakukan Gallus varius secara terperinci yaitu:

1. Mengepakkan sayap.

2. Bersuara untuk memulai aktivitas harian.

3. Turun dari pohon tempat tidurnya baik dengan langsung terbang menuju bawah pohon tempat tidur ataupun melompat ke ranting yang berada lebih rendah untuk selanjutnya mendarat di bawah pohon.

4. Berjalan menuju lokasi makan di pagi hari dan mulai mematuk makanan sepanjang perjalanan.

5. Makan di sekitar lokasi makan di pagi hari.

6. Menuju tempat istirahat untuk menghindari panas matahari.

7. Makan sore yang dilakukan di lokasi makan yang tidak jauh dari lokasi makan di pagi hari.

(35)

9. Bersuara setelah mendekati pohon tidur.

10. Melompat atau terbang menuju ranting pohon yang akan dijadikan tempat tidur.

11. Bersuara untuk mengakhiri aktivitas harian.

12. Mencari ranting yang tepat dan posisi yang tepat sebelum memulai bertengger untuk posisi tidur.

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh juga penggunaan waktu dalam perilaku selama satu hari yang dijelaskan melalui tabel 5 berikut:

Tabel 5 Penggunaan waktu dalam aktivitas harian Gallus varius

Perilaku

Waktu (menit)

5:00 6:00 7:00 8:00 9:00 10:00 11:00 Makan 1 50 45 50 12 0 0 Minum 0 0 0 0 0 0 0 Bergerak 2 2 8 4 3 6 10 Istirahat 0 0 0 0 30 50 45 Bersuara 12 6 0 0 0 0 0

Waktu (menit)

12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 Makan 0 0 0 35 45 12 0 Minum 0 0 0 0 0 0 0 Bergerak 2 7 10 8 4 7 0 Istirahat 50 45 50 17 0 0 0 Bersuara 0 0 0 0 10 0 0

(36)

Perilaku istirahat dilakukan setelah aktivitas makan di pagi hari usai yaitu dengan menuju tempat istirahat di bawah semak kirinyuh (Eupatorium odoratum) yang rapat untuk menghindari panas matahari antara pukul 09:00 sampai dengan pukul 15:00 WITA. Selama perilaku istirahat berlangsung, Gallus varius juga melakukan aktivitas lainnya seperti mengepakkan sayap, bersuara, menyisik bulu, membersihkan paruh dan berlindung jika merasa ada ancaman yang membahayakan bahkan makan juga tetap dilakukan.

Setelah periode waktu istirahat berakhir kemudian aktivitas harian dilanjutkan dengan perilaku makan sore hari, lokasi makan yang digunakan mulai mendekati pohon tempat tidur. Perilaku makan sore berlangsung antara pukul 15:00 sampai dengan pukul 17:00 WITA.

Menjelang sore hari, Gallus varius akan menuju pohon tempat tidurnya untuk mengakhiri aktivitas hariannya. Sebelum memulai tidur Gallus varius akan bersuara sebagai tanda aktivitas harian telah berakhir.

Persentase penggunaan waktu selama sehari Gallus varius di Tanjung Gelap adalah kegiatan bersuara selama 0.287 jam (2%), bergerak selama 0.122 jam (1%), makan selama 5.475 jam (45%), dan istirahat selama 6,362 jam (52%). Persentase penggunaan waktu lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 8 Diagram persentase aktivitas harian Gallus varius di TNBB. Berdasarkan diagram dapat diketahui jika diurutkan dari proporsi terbesar sampai terkecil dimulai dari perilaku istirahat, makan, bersuara dan yang memiliki

2% 1%

45% 52%

Persentase Aktivitas Harian

(37)
[image:37.595.106.439.232.697.2]

proporsi terkecil adalah bergerak. Perilaku istirahat memilki persentase terbesar karena kondisi cuaca selama pengamatan sangat panas akibat sinar matahari sehingga Gallus varius banyak istirahat demi efisiensi energi. Perilaku makan memiliki proporsi yang cukup besar setelah perilaku istirahat. Gallus varius dalam melakukan perilaku makan diperlukan pula gerakan lainnya seperti berjalan yang termasuk dalam perilaku bergerak, namun perilaku bergerak disini dimasukkan dalam perilaku makan. Perilaku berjalan untuk mendapatkan makanan dimasukkan dalam perilaku makan karena termasuk dalam aktivitas yang mendukung perilaku makan.

Gambar 9 Pergerakan harian Gallus varius di hutan musim tanjung gelap

(38)

lokasi istirahat-istirahat sebelumnya. Namun untuk lokasi berlindung, Gallus varius bergerak dengan spontan ketika merasa terancam dan masuk ke dalam

semak dengan pola yang tidak beraturan. 5.1.3 Ekologi perilaku makan

Aktivitas makan Gallus varius dilakukan dengan berjalan disekitar feeding ground dan setelah di suatu titik ditemukan makanan yang terlihat langsung maka Gallus varius akan mematuk dengan menggunakan paruh dan menelan makanan tersebut. Untuk mendapatkan makanan di permukaan tanah yang berada diantara serasah ataupun tertutup tanah, Gallus varius mengais ke arah serasah ataupun tanah dengan menggunakan kedua tungkainya secara bergantian agar makanan terlihat kemudian dipatuk dan ditelan.

Cara yang dilakukan Gallus varius untuk mendapatkan makanan akan berbeda antara makanan yang bisa langsung ditemukan di atas permukaan tanah dengan makanan yang berada diatas tubuhnya (setinggi tubuh). Sebelum makanan dipatuk Gallus varius akan melihat-lihat dulu makanan tersebut dan menggerakkan lehernya ke kiri dan kanan sehingga terlihat dengan jelas makanan yang akan dipatuk. Setelah yakin barulah Gallus varius mematuk ke arah makanan tersebut ataupun ditarik dengan menggunakan paruhnya jika sulit untuk diperoleh. Jenis makanan yang biasanya diperoleh dengan cara ini seperti semut yang berada di ranting-ranting tumbuhan.

Perilaku makan Gallus varius dilakukan pada pagi hari sesaat setelah turun dari pohon tempat tidurnya antara pukul 06:04 WITA sampai dengan pukul 11:20 WITA. Pada sore hari perilaku makan dilakukan setelah masa istirahat berakhir yaitu pada pukul 14:13 WITA sampai dengan menjelang matahari terbenam pukul 18:30 WITA.

(39)

ground Gallus varius di habitat savana semenanjung Prapat Agung berada di sekitar areal Pura Segara Rupek dan sepanjang pinggiran jalan menuju Pura Segara Rupek.

(a) (b)

Gambar 10 Perilaku makan Gallus varius, (a) hutan musim Tanjung Gelap, (b) hutan savana Prapat Agung.

Gallus varius mengais dengan cara bergantian antara tungkai kanan dan kiri. Pada saat satu tungkai mengais yang satunya lagi sebagai tumpuan untuk tetap tegak dan tubuh agak condong ke arah berlawanan dengan tungkai yang digunakan untuk mengais. Jika tungkai yang mengais adalah tungkai kanan maka tubuh Gallus varius akan condong ke kiri begitu pula sebaliknya jika tungkai yang mengais adalah tungkai kiri maka tubuh Gallus varius akan condong ke kanan. Jumlah kaisan total yang dilakukan tergantung kondisi permukaan tanah dan ketersediaan makanan, jika makanan mudah terlihat tanpa mengais maka jumlah kaisan akan semakin sedikit. Jumlah kaisan Gallus varius yang dilakukan sebelum mematuk berkisar antara 1-8 kaisan.

[image:39.595.109.508.566.754.2]

(a) (b)

(40)

Permukaan tanah yang menjadi lokasi mengais Gallus varius berbentuk oval dan berdiameter antara 15-30 cm. Hasil kaisan akan terlihat pada permukaan tanah yang berserasah dan permukaan tanah yang gembur. Besarnya diameter kaisan dipengaruhi oleh jenis kelamin Gallus varius.

Tipe perilaku makan ayam hutan hijau berdasarkan intensitas berpindah untuk mencari makanan dapat dibagi menjadi:

a. Makan bergerak berpindah

Makan bergerak berpindah lebih sering dilakukan pada individu-individu yang makan secara berkelompok. Berikut adalah contoh pola pergerakan makan individu Gallus varius dimulai dengan mematuk 3 kali (3 detik), mengais 4 kali (6 detik), diam (2 detik), mengais 2 kali (2 detik), jalan (30 detik), mematuk 6 kali (4 detik), jalan (32 detik), mematuk 10 kali (8 detik), jalan (48 detik), mematuk 2 kali (1 detik), mengais 2 kali (1 detik), jalan (3 detik), mematuk 14 kali (20 detik),

jalan (122 detik), jalan sambil bersuara “kek-kek-kek” (114 detik), mematuk 1 kali (1 detik), jalan 18 detik), mematuk 1 kali (1 detik), jalan (17 detik), mematuk 1 kali (1 detik), jalan (5 detik), mematuk 16 kali (10 detik), jalan sambil bersuara

“kek-kek-kek” (37 detik), mematuk 4 kali (3 detik), jalan sambil bersuara (17

detik), mematuk 2 kali (2 detik), jalan sambil bersuara “kek-kek-kek” (38 detik) dan berjalan masuk ke dalam semak (8 detik).

b. Makan pada titik tertentu

(41)

Mekanisme perilaku makan Gallus varius dimulai pada saat turun dari pohon tempat tidurnya langsung memulai untuk mencari makanan di sepanjang perjalanan menuju tempat makan di pagi hari. Setelah berada di lokasi makan pagi hari maka Gallus varius mencari makan di lokasi tersebut sampai dengan waktu untuk istirahat di siang hari. Pada waktu istirahat usai maka Gallus varius akan memulai mekanisme makan sore dengan menuju lokasi makan sore yang berada tidak jauh dengan lokasi makan pagi dan arah perjalanannya menuju ke tempat pohon tidur di sore hari.

Strategi yang dilakukan Gallus varius untuk dapat memenuhi dengan baik kebutuhan akan makanannya yaitu dengan cara sesaat setelah turun dari pohon tempat tidur telah memulai mencari makanan dan begitu pula di perjalanan sore hari menuju pohon tempat tidur juga dibarengi dengan mencari makanan. Perilaku makan juga dilakukan pada saat istirahat di siang hari yaitu mencari makanan di sekitar tempat istirahat namun dengan frekuensi yang lebih sedikit dibandingkan perilaku makan utama. Perilaku makan pada saat istirahat ini dilakukan untuk mendapatkan makanan tambahan sehingga diperoleh makanan yang melimpah. Pada habitat hutan musim, Gallus varius melakukan adaptasi dengan seringnya ditemukan di areal terbuka buatan manusia milik pengelola Menjangan Resort karena pada area ini banyak ditumbuhi jenis rumput yang diduga menjadi makanannya. Pada habitat savana semanjung Prapat Agung, adaptasi yang dilakukan dengan mencari makanan di sekitar jalan dan bangunan Pura Segara Rupek untuk mencari rumput dan sisa sesajen yang diduga menjadi makanan Gallus varius.

Perbedaan perilaku makan Gallus varius di berbagai tipe habitat dapat dlihat pada tabel 6 berikut:

Tabel 6 Perbandingan perilaku makan Gallus varius di berbagai tipe habitat Lokasi Durasi rata-rata

(detik)

Ragam waktu (detik)

Durasi min (detik)

Durasi max (detik) Ht musim dekat aktivitas

manusia 8498 5064873 3780 12360 Ht musim jauh dari aktivitas

(42)

Pada habitat savana memiliki rata-rata durasi perilaku makan terlama yang diperlukan Gallus varius yaitu 11300 detik. Perilaku makan yang dilakukan Gallus varius di hutan musim dekat aktivitas manusia memiliki durasi rata-rata 8498 detik yang lebih lama dari rata-rata durasi perilaku makan di hutan musim jauh dari aktivitas manusia dengan 8231 detik. Pada tabel juga menunjukkan bahwa sebaran waktu makan di hutan musim jauh dari aktivitas manusia lebih beragam dibanding hutan musim dekat aktivitas manusia yaitu 6935884 detik dan 5064873 serta sebaran waktu makan yang paling beragam diantara ketiga tipe habitat adalah di savana dengan 20398560 detik. Selang waktu yang digunakan untuk makan terpanjang terdapat di habitat hutan musim jauh dari aktivitas manusia yaitu 2160-13920 detik kemudian savana 6720-18000 detik dan hutan musim dekat aktivitas manusia 3780-12360 detik.

Berdasarkan hasil pengamatan di tipe habitat yang berbeda seperti hutan musim dan savana diperoleh frekuensi dan durasi perilaku makan sebagai berikut: Tabel 7 Rekapitulasi frekuensi dan durasi perilaku makan Gallus varius di tipe

habitat berbeda

Tipe habitat

Total Hutan musim jauh dari

aktivitas manusia

Hutan musim dekat aktivitas manusia

Ekosistem savana

Frekuensi 71 88 10 169

Durasi 279840 186960 102120 568920

Hasil uji chi-square frekuensi dan durasi perilaku makan Gallus varius di habitat yang berbeda dapat dilihat pada tabel 8 berikut:

Tabel 8 Hasil uji chi-square perilaku makan Gallus varius χ2 tab = 5,99;

db = 2

Tipe habitat

χ2 hitung Hutan musim jauh dari

aktivitas manusia

Hutan musim dekat aktivitas manusia

Ekosistem savana

Frekuensi 0,34 0,61 0,60 1,55 Durasi 86,50 12075,59 17766,49 29928,58

(43)

5,99. Sedangkan hasil uji chi-square untuk durasi perilaku menunjukkan nilai χ2 hitung = 29928,58 yang lebih besar dari χ2 tab = 5,99 sehingga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan durasi perilaku makan di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian tidak ditemukan Gallus varius yang secara langsung mematuk ke arah bagian suatu tumbuhan seperti batang, daun, buah ataupun bunga. Gallus varius diduga memakan biji rumput yang telah jatuh ke permukaan tanah karena sering terlihat mengais dan mematuk ke arah permukaan tanah yang disekelilingnya ditumbuhi jenis-jenis rumput seperti dalam tabel berikut:

Tabel 9 Jenis vegetasi yang diduga dimakan Gallus varius di beberapa tipe habitat

No Nama

lokal Nama ilmiah

Hutan musim dekat aktivitas

manusia

Hutan musim jauh dari aktivitas

manusia

Savana

1 Rumput duri

Bulbostylis

capillaris x

2

Rumput pring-pringan

Pogonatherum

crinitum x x

3 Rumput merakan

Themeda

arguens x

4 Rumput santen

Oplismenus

hirtellus x

Keterangan: x = terdapat di wilayah tersebut

Jenis vegetasi yang terdapat pada dua tipe habitat yaitu jenis rumput pring-pringan (Pogonatherum crinitum) yang pada saat penelitian kebanyakan dalam kondisi warna daun yang mulai berwarna kuning kering akibat musim kemarau. Selain diduga memakan biji-biji dari rumput, Gallus varius juga memakan jenis rayap dan semut yang sering ditemukan di serasah dan ranting pohon.

5.1.4 Ekologi perilaku minum

(44)

Waktu yang diperlukan untuk sekali tegukan dan menengadahkan kepala dalam perilaku minum Gallus varius antara 2-10 detik dan antara setiap tegukan terdapat selang waktu antara 1-2 detik. Jumlah tegukan antara 2-5 tegukan dalam sekali memasukkan paruh ke air.

Selama perilaku minum berlangsung, sesekali Gallus varius berhenti untuk mengawasi keadaan sekitar lokasi minum dan jika dianggap aman maka perilaku minum dilanjutkan kembali. Hal ini dilakukan agar Gallus varius dapat mengawasi keadaan sekeliling dari adanya ancaman bahaya ataupun predator. Setelah perilaku minum ini selesai atau jika ada gangguan yang mengancam maka Gallus varius akan segera pergi dari tempat minum dengan cara berjalan, melompat, terbang atau berlari.

Gallus varius minum secara kelompok maupun sendiri. Gallus varius yang hidup di kawasan hutan musim Tanjung Gelap memenuhi kebutuhan akan air dari wadah penampungan air yang sengaja dibuat oleh pengelola Resort Menjangan sedangkan di hutan savana Prapat Agung tidak ditemukan sumber air.

Mekanisme minum dilakukan pada saat siang hari setelah aktivitas makan dan dilakukan biasanya sebelum menuju lokasi istirahat. Setelah minum maka Gallus varius akan menuju lokasi istirahat sebelum memulai lagi aktivitas makan sore hari.

Strategi yang dapat dilihat dari 10 kali perjumpaan perilaku minum adalah jika tempat minum yang digunakan Gallus varius dipilih yang berada paling dekat dengan feeding ground. Hal ini terlihat dari 3 kali perjumpaan pasangan Gallus varius langsung berjalan menuju wadah penampungan air buatan yang berada di dekat feeding ground setelah aktivitas makan pagi usai. Strategi pemilihan tempat minum ini dilakukan untuk efisiensi energi.

(45)

Penggunaan waktu minum Gallus varius dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 12 Grafik penggunaan waktu minum Gallus varius di tiga tipe habitat berbeda di TNBB.

Perilaku minum Gallus varius di hutan musim Tanjung Gelap dilakukan pada siang hari setelah perilaku makan pagi usai. Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa perilaku minum di hutan musim dekat aktivitas manusia dimulai antara pukul 09:00 WITA. Perilaku minum tidak terlihat pada pukul 10:00 WITA

– 13:00 WITA dan setelah pukul 13:00 WITA frekuensi perilaku minum kembali meningkat. Setelah pukul 15:00 WITA, perilaku minum tidak terlihat kembali. Perilaku minum di hutan musim jauh dari aktivitas manusia terjadi mulai pukul 12:00 WITA sampai dengan pukul 13:00 WITA. Waktu yang digunakan untuk perilaku minum sangat singkat di tipe habitat hutan musim jauh dari aktivitas manusia dan tidak ditemukan sama sekali perilaku minum di savana.

Durasi perilaku minum Gallus varius di tiga habitat berbeda di TNBB dapat dilihat dalam tabel 10 berikut:

Tabel 10 Perbandingan durasi perilaku minum Gallus varius di tiga tipe habitat berbeda TNBB

Lokasi Durasi rata-rata (detik)

Ragam waktu (detik)

Durasi min (detik)

Durasi max (detik) Ht musim dekat aktivitas

manusia 175 2642 110 253

Ht musim jauh dari

aktivitas manusia 62 6728 4 120 Ekosistem savana - - - -

0 0,5 1 1,5 2 2,5

Frekuensi

Waktu (WITA)

Penggunaan waktu minum Gallus varius

(46)

Durasi rata-rata yang diperlukan Gallus varius untuk minum di hutan musim dekat aktivitas manusia adalah 175 detik sedangkan di hutan musim jauh dari aktivitas manusia durasi minum rata-rata lebih kecil yaitu 62 detik. Pada habitat savana tidak ditemukan perilaku minum karena tidak ditemukannya lokasi sumber air yang kemungkinan menjadi tempat minum di habitat savana.

Sebaran waktu perilaku minum di hutan musim jauh dari aktivitas manusia lebih beragam dari hutan musim dekat aktivitas manusia yang dijelaskan dengan nilai ragam yang lebih besar yaitu secara berturut-turut 6728 detik dan 2642 detik. Berbeda dengan tingkat keragaman waktu perilaku minum, selang waktu minum di hutan musim dekat aktivitas manusia lebih panjang yaitu 110-253 detik dibandingkan dengan selang waktu minum di hutan musim jauh dari aktivitas manusia yaitu 4-120 detik.

Dari hasil pengamatan di tipe habitat yang berbeda seperti hutan musim dan savana diperoleh frekuensi dan durasi perilaku minum sebagai berikut:

Tabel 11 Rekapitulasi frekuensi dan durasi perilaku minum Gallus varius di tipe habitat berbeda

Tipe habitat

Total Hutan musim jauh

dari aktivitas manusia

Hutan musim dekat aktivitas manusia

Ekosistem savana

Frekuensi 2 8 0 10

Durasi 124 875 0 999

Setelah dilakukan uji chi square terhadap frekuensi dan durasi perilaku minum Gallus varius di TNBB, menunjukkan bahwa di TNBB frekuensi minum tidak dipengaruhi oleh tipe habitat dengan nilai uji χ2 hitung = 0,10 yang lebih kecil dari χ2 tab = 5,99. Sedangkan durasi perilaku minum akan berbeda di setiap tipe habitat, dalam tabel 12 dapat dilihat bahwa nilai χ2 hitung = 434,50 yang nilainya lebih dari χ2tab = 5,99, secara terperinci dapat dilihat dalam tabel 12 berikut: Tabel 12 Hasil uji chi square frekuensi dan durasi perilaku minum Gallus varius

χ2 tab = 5,99; db = 2

Tipe habitat χ2 hitung Hutan musim jauh

dari aktivitas manusia

Hutan musim dekat aktivitas manusia

Ekosistem savana

(47)

5.1.5 Ekologi perilaku bergerak

Perilaku bergerak ayam hutan hijau (Gallus varius) adalah suatu gabungan gerak yang dilakukan Gallus varius untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya baik dengan melompat, berjalan, berlari dan terbang ataupun gabungan dari melompat, berjalan, berlari dan terbang.

Terdapat empat tipe gerak yang menyebabkan Gallus varius berpindah tempat yang ditemukan di lokasi penelitian, yaitu:

a. Melompat

Merupakan gerakan yang sering dilakukan Gallus varius, saat turun dari poho

Gambar

Gambar 6  Lokasi penelitian di savana Semenanjung Prapat Agung.
Tabel 3  Indeks nilai penting (INP) dari hasil analisa vegetasi di tipe habitat
Tabel 3 (Lanjutan)
Gambar 9  Pergerakan harian Gallus varius di hutan musim tanjung gelap
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil observasi diperoleh dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh observer yang dilakukan oleh rekan guru peneliti dengan mengisi lembar observasi aktivitas anak

Aturan hukum positif yang seharusnya dirumuskan guna menunjang penyidikan penyebaran berita bohong di media sosial adalah ketentuan mengenai siapa yang

1) tindakan rasional-instrumental ; yakni tindakan yang dilakukan dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara dan tujuan; dalam hal ini actor memperhitungkan

Modul Keempat kemudian akan menelaah konsep administrasi peradilan dan Hak Asasi Manusia, dimana akan dijelaskan tentang hubungan antara kedua konsep ini, serta prinsip-prinsip

(1) Dana Pinjaman Modal Usaha Kegiatan Pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat Desa di Kabupaten Banjarnegara digulirkan kembali dalam rangka upaya meningkatkan

Masalah keperawatan yang ditegakkan yaitu: Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan adanya penumpukan secret, dan Nyeri kronis berhubungan dengan

diatas diketahui bahwa hasil hubungan antara pengetahuan kesehatan reproduksi dengan perilaku seks bebas pada remaja SMA Negeri X Kabupaten Tanggamus, dari 156

Setiap bentuk latihan untuk keterampilan teknik, taktik, fisik dan mental sekalipun harus berpedoman pada prinsip beban lebih. Kalau beban latihan terlalu