• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Pertumbuhan Ikan Cucut yang Didaratkan di Pelabuhan Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aspek Pertumbuhan Ikan Cucut yang Didaratkan di Pelabuhan Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

JAWA BARAT

FAWZAN BHAKTI SOFFA

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Aspek Pertumbuhan Ikan Cucut Yang Didaratkan Di Pelabuhan Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2013

(3)

Growth Aspect of Shark Which Landed in Karangsong’s Port, Indramayu, West Java.

Fawzan Bhakti Soffa

Mahasiswa, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB

Abstract

This study of shark growth held in Karangsong’s port, Indramayu, West Java. The research was began in June to August 2012. Morphometric measure taken from the all sharks which landed in that port during research. There was 3 order, 5 family and 10 species of shark’s recorded but only 2 dominant species had become the main study, it was Carcarhinus dussumieri and Chiloscyllium punctatum. Both of this species had length between 60-100 cm. Growth coefficient (K), asymptotic length (L∞), and age when fish length is theoriticaly 0 (t0)

for C. dussumieri is 0.63, 97.44, and -0.18, and C. punctatum 0.32, 90.40, and -0.38. This differences caused by different of its reproduction type, which C. dussumieri gave birth of its pup and C. punctatum laying its egg in seafloor. Sex ratio of these two sharks is equal both male and female (1:1), so we can assumed that there is no sexual segregation both of this species. Recommendation for the management is with limiting output quantities such control the limit of sharkfin export.

(4)

Fawzan Bhakti Soffa. C24080043. Aspek Pertumbuhan Ikan Cucut Yang Didaratkan Di Pelabuhan Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Dibawah bimbingan M. Mukhlis Kamal dan Yonvitner.

Indonesia merupakan negara penghasil produk ikan cucut dan pari terbesar di dunia yaitu mencapai 13% dari total produksi cucut dan pari dunia. Tingginya tingkat penangkapan ini disebabkan oleh harga dari ikan cucut yang sangat mahal di pasar dunia. Namun demikian ikan cucut memiliki sifat biologis yang sangat rentan terhadap penangkapan, yaitu memiliki laju pertumbuhan yang sangat lambat, berumur panjang dan matang gonad pada usia yang cukup tua, serta hanya menghasilkan sedikit keturunan dengan periode satu siklus reproduksi yang sangat lama.

Ikan cucut merupakan hasil tangkapan sampingan nelayan dengan hanya 5% dari total ikan yang didaratkan di PPI tersebut. Cucut yang didaratkan di PPI Karangsong terdiri dari 3 ordo, 5 famili dan 10 spesies. Ikan tersebut adalah Carcharhinus amblyrhynchos, C. dussumieri, C. hemiodon, C. limbatus, C. malcoti, C. sorrah, Sphyrna lewini, Chiloscyllium punctatum, Stegostoma fasciatum dan Rhynchobatus australiae, dengan kisaran panjang ikan antara 50-250 cm.

Analisis pertumbuhan dilakukan pada dua jenis ikan yang dominan didaratkan selama pengamatan yaitu Carcharhinus dussumieri dan Chiloscyllium punctatum. Sebaran frekuensi panjang ikan C. dussumieri berkisar antara selang kelas panjang 60-96 cm dan untuk C. punctatum 60,5-88,5 cm. Didapatkan nilai K (koefisien pertumbuhan), L∞ (panjang asimptotik), dan t0 pada ikan C. dussumieri dan C. punctatum berturut – turut adalah sebagai berikut, K sebesar 0,63 dan 0,32 per tahun, L∞ sebesar 97,44 cm dan 90,40 cm, dengan t0 -0,18 dan -0,38 tahun. Perbedaan ini diduga terjadi karena perbedaan pola reproduksi kedua jenis cucut tersebut, dimana C. dussumieri bereproduksi dengan cara melahirkan sedangkan C. punctatum bereproduksi dengan bertelur. Panjang asimptotik (L∞) dari kedua ikan tersebut lebih kecil dari L∞ yang pernah diketahui sebelumnya. Diduga terjadi perbedaan sifat genetik dari ikan tersebut dengan ikan jenis yang sama di perairan lain, terganggunya pertumbuhan akibat pencemaran, atau akibat tekanan penangkapan sehingga ikan akan tumbuh lebih cepat dan L∞ semakin kecil. Nisbah kelamin kedua jenis cucut tersebut menunjukkan perbandingan yang sama antara cucut jantan dan betina (1:1), diindikasikan bahwa kedua jenis cucut tidak memiliki pola pengelompokan khusus berdasarkan jenis kelamin.

(5)

JAWA BARAT

FAWZAN BHAKTI SOFFA C24080043

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

Judul : Aspek Pertumbuhan Ikan Cucut yang Didaratkan di Pelabuhan Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat Nama : Fawzan Bhakti Soffa

NIM : C24080043

Program studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc Dr. Yonvitner, S.Pi, M,Si

NIP. 132 084 932 NIP. 19750825 200501 1 003

Mengetahui :

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc. NIP. 19660728 199103 1 002

(7)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatan gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi yang berjudul Aspek Pertumbuhan Ikan Cucut Yang Didaratkan Di Pelabuhan Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat semoga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi pengelolaan perikanan cucut di Indonesia demi kelestarian dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap dengan tersusunnya skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk berbagai pihak.

Semua bentuk saran, masukan dan kritik atas skripsi ini sangat diharapkan oleh penulis demi kebaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Bogor, Februari 2013

(8)

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku pembimbing skripsi pertama serta Bapak Dr. Yonvitner, S.Pi, M.Si selaku pembimbing skripsi kedua yang telah memberikan bimbingan, saran dan dukungannya kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Ir. Gatot Yulianto, M.Si selaku pembimbing akademik penulis yang memberikan bimbingan dalam menjalankan kegiatan akademik selama berada di Departemen MSP.

3. Bapak Edi Marwadi selaku Kepala UPTD Perikanan dan Kelautan Kecamatan Indramayu, serta semua pihak di PPI Karangsong yang telah membantu dan memberikan banyak informasi kepada penulis saat di lapangan.

4. Keluarga tercinta Bapak, Ibu, Kakak dan Adik yang telah memberi dukungan moril dan materil selama penulis mengikuti kegiatan perkuliahan.

5. Tamimi Putri Ritonga atas dukungan dan motivasinya selama perkuliahan hingga penulisan skripsi.

6. Teman-teman terdekat saya di MSP, Ulfah Fitriana Akbar, Rio Putra Ramadhan, Rendra Danang Saputra, Nissa Izzani, Rina Shelvinawati, Ade Irma Listiani, Elfrida Megawati atas segala dukungan dan kebersamaan selama menjalani perkuliahan.

7. Teman-teman bermain di MSP 45, Husnul Ibad, Pardi, Pionius Dipta, Hariyanto, Tafrani, Aang Permana, Surya Gentha, Lodian, Hendri Wahyudi serta seluruh teman-teman MSP 45 yang memberi semangat, keceriaan dan kenangan selama perkuliahan.

(9)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 28 Desember 1990 dan merupakan anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan suami istri Jarwadi dan Mugiyemi. Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis yaitu SDN Sindang Sari, Bogor (1996-2002). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 8 Bogor (2002-2005) dan SMA Negeri 6 Bogor (2005-2008). Pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikannya di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Divisi Hubungan Luar dan Dalam Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (Himasper) (2009-2010) dan ketua Divisi Advokasi dan Pendidikan Himasper (2010-2011), serta aktif mengikuti berbagai kepanitiaan baik didalam maupun diluar lingkungan kampus IPB. Selain itu, penulis berkesempatan menjadi asisten mata kuliah Ikhtiologi (2010-2011), dan Ikhtiologi Fungsional (2012-2013).

(10)

ix

2.7. Pendugaan Parameter Pertumbuhan... 9

2.8. Eksploitasi Cucut ... 10

2.9. Konservasi dan Pengelolaan ... 11

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 13

3.2. Pengumpulan Data ... 13

3.3. Alat dan Bahan ... 15

3.4. Analisis Data ... 15

3.4.1. Distribusi frekuensi panjang ... 15

3.4.2. Pendugaan parameter pertumbuhan ... 15

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Perikanan Cucut di PPI Karangsong ... 18

4.2. Produksi Cucut PPI Karangsong ... 22

4.3. Komposisi Hasil Tangkapan Cucut... 24

4.3.1. Famili Carcharhinidae ... 25

4.3.2. Famili Hemiscyllidae... 33

4.3.3. Famili Sphyrnidae ... 34

4.3.4. Famili Stegostomatidae ... 36

4.3.5. Famili Rhinidae ... 37

4.4. Pertumbuhan Ikan Cucut ... 38

4.4.1. Sebaran frekuensi panjang ... 39

(11)

x

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 51

5.2. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(12)

xi

Halaman 1. Produksi cucut (ton) PPI Karangsong tahun 2009-2012 ... 23 2. Komposisi tangkapan ikan cucut yang didaratkan di PPI Karangsong

selama penelitian ... 25 3. Kelompok ukuran ikan cucut ... 41 4. Parameter pertumbuhan cucut dengan menggunakan ELEFAN I ... 43 5. Parameter pertumbuhan ikan cucut berukuran kecil dari beberapa hasil

(13)

xii

Halaman

1. Pendekatan masalah pentingnya informasi ikan cucut di perairan ... 3

2. Terminologi morfologi ikan cucut (Campagno 1984) ... 6

3. Peta lokasi penelitian ... 13

4. Standar ukuran yang digunakan untuk cucut (Campagno 1984) ... 14

5. Armada kapal penangkapan PPI Karangsong ... 18

6. Gillnet millenium yang digunakan nelayan Karangsong ... 19

7. Diagram komposisi hasil tangkapan ikan di PPI Karangsong ... 20

8. Peta lokasi penangkapan ikan cucut nelayan Karangsong ... 21

9. Produksi cucut PPI Karangsong 2009-2012 ... 23

10.Hasil tangkapan ikan cucut di PPI Karangsong ... 24

11.Carcharhinus amblyrhynchos (Sleeker 1856) ... 26

12.Carcharhinus dussumiere (Valenciennes 1839) ... 28

13.Carcharhinus hemiodon (Valenciennes 1839) ... 29

14.Carcharhinus limbatus (Valenciennes, in Muller & Henle 1839) ... 30

15.Carcharhinus malcoti (Muller & Henle 1839, dalam Campagno 1984) .. 31

16.Carcharhinus sorrah (Valenciennes 1839)... 32

17.Chiloschyllium punctatum (Muller & Henle 1838) ... 33

18.Sphyrna lewini (Griffith & Smith 1834) ... 35

19.Stegostoma fasciatum (Hermann 1783) ... 36

20.Rhynchobatus australiae (Whitley 1939) ... 38

21.Sebaran frekuensi panjang ikan Carcharhinus dussumieri (total) selama pengamatan ... 39

22.Sebaran frekuensi panjang ikan Chiloschyllium punctatum (total) selama pengamatan ... 40

23.Kurva pertumbuhan Carcharhinus dussumieri ... 44

24.Kurva pertumbuhan Chiloschyllium punctatum ... 44

25.Nisbah kelamin cucut Carcharhinus dussumieri ... 47

(14)

xiii

Halaman

1. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian ... 56

2. Dokumentasi kegiatan ... 56

3. Sebaran data panjang ikan Chiloscyllium punctatum ... 57

4. Sebaran data panjang ikan Carcharhinus dussumieri ... 57

5. Rasio kelamin ikan Chiloscyllium punctatum ... 57

6. Rasio kelamin ikan Carcharhinus dussumieri ... 57

7. Perhitungan parameter pertumbuhan menggunakan ELEFAN I FISAT 2 pada ikan Chiloscyllium punctatum ... 58

(15)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cucut merupakan ikan bertulang rawan (Elasmobranchii) yang banyak terdapat di perairan Indonesia. Terdapat hampir 1150 jenis cucut dan pari (Elasmobranchii) yang tersebar di seluruh dunia, dan diduga terdapat lebih dari 350 jenis Elasmobranchii yang terdapat di perairan Indonesia (Stevans 2003 dalam Rahardjo 2007). Hal ini disebabkan karena perairan Indonesia merupakan perairan yang dangkal dan beriklim tropis. Perairan tropis memiliki tingkat kesuburan yang tinggi sehingga banyak terdapat berbagai jenis ikan, termasuk makanan cucut yang mengundang cucut untuk datang ke perairan Indonesia.

Fahmi dan Dharmadi (2005) mengatakan bahwa sifat biologis dari ikan jenis Elasmobranchii sangatlah rentan terhadap penangkapan lebih. Pertumbuhan ikan cucut sangatlah lambat dibandingkan dengan ikan lain. Cucut memiliki umur yang relatif panjang dan mencapai matang seksual pada umur yang relatif tua serta hanya menghasilkan sedikit anak. Dengan tingkat pertumbuhan dan reproduksi yang lambat tersebut, cucut akan mudah mengalami kepunahan jika terjadi penangkapan secara berlebihan. Hilangnya cucut dari perairan dapat menyebabkan kerusakan ekologis karena akan ada spesies yang sangat dominan akibat hilangnya pemangsa utama, dan akan merusak rantai makanan jika kondisi tidak seimbang ini dipertahankan dalam jangka panjang. Selain itu hampir semua jenis cucut yang ada di Indonesia masuk ke dalam red list species oleh organisasi konservasi dunia (IUCN) dengan status Near Threatened, Vulnerable, Endagered, dan Critically Endangered. Status tersebut diberikan kepada hewan-hewan yang memiliki potensi kepunahan dalam waktu dekat atau dalam waktu tertentu akibat berbagai faktor, jika tidak ada pengelolaan yang baik dari pihak pemerintah terkait.

(16)

menempati urutan teratas sebagai negara yang paling banyak memproduksi cucut dan pari setiap tahunnya dengan tingkat produksi sebesar 13% dari total produksi dunia (Tull 2009). Tingginya tingkat penangkapan ini tidak diimbangi dengan ketersediaan informasi tentang perikanan cucut di Indonesia. Informasi tentang perikanan cucut di Indonesia masih sangat sedikit, bahkan dapat dikatakan tidak ada. Hal ini dikarenakan cucut bukanlah ikan tangkapan utama namun hanya sebagai tangkapan sampingan (bycatch), maka jarang sekali dilakukan pendataan tentang penangkapan cucut, baik jumlah tangkapan, distribusi jenis maupun habitat tempat cucut hidup.

Indramayu, khususnya di PPI Karangsong, merupakan lokasi pendaratan ikan cucut dengan jumlah produksi yang cukup besar, dengan rata-rata produksi 60-80 ton tiap bulannya. Besarnya hasil produksi tersebut mengindikasikan bahwa cucut merupakan salah satu ikan penting yang menunjang kegiatan ekonomi masyarakat sekitarnya. Cucut memiliki nilai jual yang cukup tinggi, terutama untuk bagian siripnya yang mencapai harga jutaan rupiah untuk tiap kilogramnya.

Berdasarkan uraian di atas maka diperlukan kegiatan pendataan dan pengumpulan informasi terhadap pertumbuhan dan distribusi ikan cucut yang didaratkan di Karangsong, Indramayu. Dengan dilakukannya kegiatan ini diharapkan pemerintah dapat menentukan kebijakan pengelolaan ikan cucut supaya tetap lestari.

1.2. Rumusan Masalah

(17)

Walaupun ikan cucut merupakan komoditas yang telah lama didaratkan dan diperjualbelikan di Indramayu, namun informasi tentang keberadaan sumberdayanya ternyata belum banyak diketahui. Hal ini menyulitkan bagi penentu kebijakan didalam melakukan pengelolaan. Ditambah dengan isu dunia belakangan ini yang mengharuskan negara yang melakukan penangkapan cucut agar melakukan tindakan pengelolaan untuk menjaga kelestarian cucut di perairan.

Gambar 1. Pendekatan masalah pentingnya informasi ikan cucut di perairan

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi biologi ikan cucut melalui pendekatan pertumbuhan populasi ikan cucut yang didaratkan di TPI Karangsong, Indramayu.

1.4. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah agar dapat memberikan informasi tentang potensi biologi ikan cucut, yang dapat dijadikan referensi bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan untuk pengelolaan sumberdaya ikan cucut.

(18)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Cucut

Ikan cucut tergolong ikan bertulang rawan (sub kelas Elasmobranchii). Memiliki ciri-ciri tubuh yang sangat jelas dengan tidak adanya penutup insang dan tidak mempunyai lembaran-lembaran sisik yang pipih. Celah insang terletak di belakang mata pada kedua sisi kepalanya, masing-masing lima sampai tujuh buah. diklasifikasikan dalam delapan ordo, dengan tiga puluh famili yang mewakili berbagai spesies yang ada di dunia ini. Adapun klasifikasi itu adalah sebagai berikut:

(19)

6.6 Ginglymostomatidae maupun di perairan tawar (Last & Stevans 1994 dalam Rahardjo 2007). Ikan cucut biasanya memiliki bentuk tubuh yang lonjong dan memanjang seperti cerutu, ekor biasanya berujung runcing, dengan cuping atas dari ekornya sering kali jauh lebih panjang dari cuping bawahnya.

Celah insang ikan cucut terletak pada sisi kepala, biasanya berjumlah lima buah, tetapi pada famili Hexanchidae memiliki enam sampai tujuh celah insang (Campagno 1984). Untuk melakukan pernafasan, air ditarik masuk melalui mulut dan di pompa ke luar melalui celah insang.

(20)

Squantinidae adalah sebagai pari, karena cucut ini merupakan jenis cucut yang paling pipih diantara jenis lainnya.

Gambar 2. Terminologi morfologi ikan cucut (Campagno 1984).

Mata cucut terletak pada bagian sebelah atas dari kepalanya atau dibagian samping dari kepala. Cucut bergerak dengan mengandalkan gerakan ekor serta sirip ekor dalam mendorong ikan ke depan, sedangkan sirip dadanya hampir sama sekali tidak digunakan dalam berenang namun digunakan sebagai penyeimbang dan pengatur arah dari gerakan cucut. Kebanyakan cucut memiliki 2 sirip punggung dan jarang sekali jenis cucut yang hanya memiliki 1 sirip punggung. Gigi cucut tersusun dalam beberapa baris dan secara konstan akan selalu tumbuh (berganti) jika gigi itu tanggal ataupun tidak (Carpenter dan Niem 1998).

2.3. Pertumbuhan

Pertumbuhan secara umum adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah dan ukuran) per satuan waktu. Pertumbuhan juga didefinisikan sebagai pertambahan biomass dalam satu populasi yang dihasilkan oleh material asimilasi dari lingkungan (Aziz 1989).

(21)

kompetisi untuk memperebutkan makanan yang sama. Faktor lingkungan yang paling berperan dalam pertumbuhan adalah oksigen, suhu, dan kondisi kualitas air. Umur dan pengaruh genetik juga menentukan cepat atau tidaknya pertumbuhan suatu jenis ikan.

Menurut Camhi et al. (2008), laju pertumbuhan Elasmobranchii sangatlah lamban. Beberapa spesies memiliki laju pertumbuhan yang cukup besar pada fase juvenil, namun saat dewasa laju pertumbuhannya menjadi lamban. Bruce (2008) dalam Camhi et al. (2008) mengestimasikan koefisien pertumbuhan (k) dari cucut Carcharodon carcharias dengan menggunakan metode Von Bertalanffy, dan nilai k hanya berkisar 0,058 – 0,071. Sedangkan Bonfil (2008) dalam Camhi et al. (2008) mengestimasi nilai k pada cucut Carcharinus falciformis adalah sebesar 0,08 – 0,153. Nilai k yang relatif kecil mengindikasikan bahwa cucut memiliki laju pertumbuhan yang lamban.

2.4. Pola Reproduksi

Ikan cucut secara keseluruhan memiliki pola reproduksi yang berbeda dan dikelompokkan menjadi 3 pola reproduksi, yaitu ovipar (bertelur), aplacental viviparity with oophagy (melahirkan tanpa adanya plasenta), dan placental viviparity (melahirkan dan terdapat plasenta). Pola reproduksi bertelur dilakukan oleh cucut yang menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya di dasar perairan seperti famili Hemischylidae, dan diketahui tidak ada satupun jenis cucut yang hidup di perairan samudera yang memiliki pola reproduksi dengan cara bertelur. Walaupun bertelur, pembuahan tetap terjadi secara internal didalam tubuh induk betina. Telur yang sudah dibuahi diselimuti oleh kantung telur dan dilepaskan ke lingkungan di dasar perairan. semua nutrisi yang dibutuhkan oleh embrio untuk berkembang didapatkan hanya dari kuning telur yang terdapat dalam kantung telur (Hamlett & Koob 1999 dalam Camhi et al. 2008).

(22)

menghubungkan induk dengan anaknya. Setelah sel telur dibuahi, embrio didalam kandungan mengambil nutrisi yang berasal dari kuning telur untuk berkembang. Saat kuning telur habis, embrio masih terlalu kecil dan belum siap untuk dilahirkan. Embrio memperoleh makanan dari sel telur yang tidak dibuahi (oophagy) yang terus diproduksi oleh induk selama mengandung. Di akhir masa kehamilan, induk berhenti memproduksi sel telur dan mempersiapkan energi untuk melahirkan (Hamlett & Koob 1999 dalam Camhi et al. 2008).

Placental viviparity (melahirkan dan terdapat plasenta) merupakan pola reproduksi yang dimiliki oleh genus Carcharinus dan Prionace. Pada awal perkembangan embrio, embrio memperoleh nutrisi dari kuning telur dalam kantung telur. Namun saat kuning telur tersebut habis, kantung telur berubah bentuk menyerupai plasenta (pseudoplacenta) yang menghubungkan induk dan embrio. Pesudoplacenta ini terbentuk tidak sama seperti placenta yang dimiliki mamalia, namun fungsinya tetap sama yaitu menyalurkan makanan dan oksigen antara induk dengan kandungannya (Hamlett & Koob 1999 dalam Camhi et al. 2008).

Semua cucut yang bereproduksi tidak dengan cara bertelur memiliki waktu kehamilan yang cukup lama yaitu 8-24 bulan. Beberapa spesies memiliki masa resting period yaitu periode saat cucut tersebut beristirahat dan tidak melakukan reproduksi dengan lama resting period berkisar antara 3-18 bulan. Jumlah anak yang dihasilkan pun sangat sedikit, hanya 2-18 anak dalam satu kali melahirkan, namun untuk cucut Prionace glauca menghasilkan 10-135 anak dalam satu kali melahirkan (Hamlett & Koob 1999 dalam Camhi et al. 2008). Disimpulkan bahwa pola reproduksi cucut tersebut mengakibatkan cucut sangat rentan terhadap eksploitasi berlebih akibat periode reproduksi yang lama dengan jumlah anak yang sangat sedikit.

2.5. Habitat dan Distribusi Geografis

(23)

di air tawar. Ikan cucut juga dapat hidup di perairan dengan tingkat salinitas yang bervariasi (eurohalin), baik di laut dekat pantai (inshore) dan laut lepas (offshore), dan terdiri dari berbagai ukuran dan jenis.

Distribusi geografis ikan cucut sangatlah luas. Ikan cucut dapat ditemukan di lautan tropis maupun subtropis bahkan perairan dingin, dan dapat ditemukan pada kolom air permukaan sampai dengan perairan dengan kedalaman 3000 meter (Priede et al. 2006 dalam Camhi et al. 2008). Teridentifikasi lebih dari 30 jenis ikan cucut dan pari yang terdapat di Samudera Hindia (Sainsbury et al. 1985 dalam Rahardjo 2007).

2.6. Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin atau rasio kelamin (sex ratio) memberi gambaran proporsi perbandingan jantan dan betina dari satu populasi (Effendi 1979). Secara alamiah perbandingannya adalah satu berbanding satu. Namun di lapangan sering terjadi perbandingan nisbah kelamin yang tidak seimbang. Hal ini umumnya disebabkan karena adanya tingkah laku ikan menurut jenis kelamin, kondisi lingkungan, penangkapan ikan dll.

Camhi et al. (2008) menyatakan nisbah kelamin dari beberapa jenis cucut yaitu Carcharodon carcharias, Carcharinus falciformis, dan Carcharinus longimanus hampir mendekati ideal (1:1) dengan betina yang seringkali jumlahnya sedikit lebih banyak. Namun Goldman & Musick (2008) dalam Camhi et al. (2008) mengatakan bahwa terjadi perbedaan proporsi kelamin pada cucut Lamna ditropis yang melakukan migrasi di Samudera Pasifik Utara. Cucut Lamna ditropis jantan jauh lebih dominan dari cucut betina di Samudera Pasifik bagian barat (Western North Pacific), sedangkan sebaliknya ikan cucut betina jauh lebih dominan dari cucut jantan di Samudera Pasifik bagian timur (Eastern North Pacific).

2.7. Pendugaan Parameter Pertumbuhan

(24)

Lingkaran ini terbentuk karena adanya perbedaan yang sangat kontras pada lingkungan dari musim dingin ke musim panas dan sebaliknya. Namun pada daerah beriklim tropis seperti Indonesia, pendugaan umur dengan metode perhitungan lingkaran otolit sangat sulit dilakukan karena lingkungan di Indonesia relatif stabil sepanjang tahun (Suanda 2003).

Beberapa metode numerik telah dikembangkan yang memungkinkan dilakukan konversi atas data frekuensi panjang ke dalam komposisi umur. Data frekuensi panjang yang disampling dan dianalisa dengan benar dapat memperkirakan parameter pertumbuhan yang digunakan dalam pendugaan stok spesies tunggal (Pauly 1988 dalam Suanda 2003).

Parameter pertumbuhan dapat diduga menggunakan metode Plot Ford Walford yang merupakan penurunan dari model Von Bertalanffy. Analisis menggunakan metode Plot Ford Walford membutuhkan data panjang rata-rata dari beberapa kelompok ukuran, yang kemudian akan dipisahkan menggunakan metode NORMSEP. Parameter-parameter yang dikaji dalam menduga pertumbuhan adalah panjang asimtotik (L∞) yang merupakan panjang maksimum yang tidak dapat dicapai ikan secara teoritis, koefisien pertumbuhan (K), dan t0 yang merupakan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (Sparre dan Venema 1999). Namun untuk ikan cucut, sedikitnya jumlah contoh, serta contoh yang di dominasi oleh satu ukuran kelompok saja, dapat menyebabkan hasil pendugaan parameter pertumbuhan menjadi kurang akurat jika menggunakan persamaan Von Bertalanffy (Cailliet dan Tanaka 1990 dalam Goldman 2005). Selain itu pendugaan t0 dinilai kurang memberikan informasi yang berguna, sehingga beberapa peneliti lebih sering melakukan pendugaan pada ukuran ikan saat dilahirkan (L0) dibanding t0 (Cortes dan Bethea 2003 dalam Goldman 2005).

2.8. Eksploitasi Cucut

(25)

nilai CPUE artinya kegiatan penangkapan semakin efisien karena mendapatkan hasil tangkapan yang cukup besar dengan upaya yang relatif kecil.

Pada tahun 1976, produksi perikanan cucut di Indonesia terus meningkat pesat hingga mencapai puncaknya sebesar 117.600 ton pada tahun 2003, namun mengalami penurunan hingga 98.300 ton pada tahun 2006. Menurut catatan FAO, Indonesia menempati urutan teratas sebagai negara yang paling banyak memproduksi cucut dan pari setiap tahunnya dengan tingkat produksi sebesar 13% dari total produksi dunia (Tull 2009).

Walaupun jumlah hasil tangkapan cucut sudah diketahui, namun masih jarang sekali ditemukan informasi tentang stok cucut serta upaya penangkapan cucut. Hal ini karena komoditas cucut bukan merupakan ikan tangkapan utama, dan belakangan ini sangat jarang atau bahkan tidak ada unit penangkapan yang menjadikan cucut sebagai tangkapan utama. Menurunnya jumlah ikan di alam diduga sebagai alasan terjadinya fenomena ini.

2.9. Konservasi dan Pengelolaan

Konservasi dan pengelolaan ikan secara umum merupakan upaya untuk memastikan sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara optimal dengan tetap memperhatikan dan menjaga kelestarian sumberdaya serta lingkungannya. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan pengaturan kegiatan penangkapan seperti pembatasan jenis dan ukuran ikan terkecil, pengaturan ukuran mata jaring, pembatasan jumlah dan alat penangkapan serta penutupan daerah dan musim-musim penangkapan tertentu. Upaya pengelolaan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, mengkonservasi keanekaragaman hayati perairan, serta menjaga struktur dan fungsi dari ekosistem (Walker 2005).

(26)

cucut dan elasmobranchii lain, (2) kebutuhan untuk menjaga keanekaragaman jenis cucut, (3) kebutuhan untuk melindungi habitat, dan (4) perlunya pengelolaan sumberdaya cucut untuk pemanfaatan yang berkelanjutan (FAO, 2000). Diharapkan setiap negara yang memiliki sumberdaya cucut mengadopsi perencanaan pengelolaan ini (IPOA-Sharks), serta menyesuaikan dengan kondisi negaranya masing-masing menjadi National Plans Of Action – Sharks (NPOA-Sharks).

(27)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian mengenai kajian aspek pertumbuhan cucut ini dilakukan selama 3 bulan yaitu pada bulan Juni – Agustus 2012 di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Karangsong, Indramayu, Jawa Barat. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu, tahap pertama adalah pengambilan contoh dan tahap kedua adalah analisis contoh.

Gambar 3. Peta lokasi penelitian sumber: maps.google.co.id

3.2. Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data primer yang didapat dari penelitian di lapangan berupa data jenis-jenis cucut yang didaratkan di PPI, serta data panjang dari beberapa jenis cucut yang dominan. Pengambilan ikan contoh dilakukan selama tiga bulan dengan interval waktu pengambilan satu bulan satu kali. Menurut Rahardjo (2007), tidak terdapat musim-musim tertentu dalam penangkapan cucut,

(28)

sehingga pengambilan data dapat dilakukan pada bulan apa saja dan data yang didapat tidak memiliki perbedaan yang signifikan pada setiap bulannya. Metode yang digunakan adalah pengukuran panjang dua atau lebih jenis cucut yang dominan, untuk menduga beberapa parameter pertumbuhan dari beberapa jenis cucut tersebut.

Dalam pendataan, pengambilan contoh dilakukan dengan metode sensus, yaitu dengan mendata semua ikan cucut yang didaratkan di PPI pada saat pengamatan. Pendataan dilakukan saat ikan berada di tempat pelelangan dan menunggu untuk di lelang. Seluruh ikan tersebut di identifikasi terlebih dahulu dengan acuan buku identifikasi cucut (White et al. 2006 dan Campagno 1984), dan di dokumentasikan dengan mengambil gambarnya menggunakan kamera digital. Sedangkan dalam mengkaji pertumbuhan, data panjang diambil dari seluruh ikan cucut jenis tertentu yang dominan didaratkan. Cucut dominan yang dimaksud adalah jenis cucut yang selalu ada selama penelitian berlangsung. Metode sensus digunakan karena jumlah ikan cucut yang didaratkan (jumlah contoh) biasanya dalam jumlah yang sedikit.

Panjang ikan cucut yang diukur adalah panjang total, panjang baku dan tinggi badan. Panjang total pada cucut adalah panjang ikan yang diukur dari ujung hidung sampai ujung terakhir ekor bagian atas. Panjang baku adalah panjang ikan yang diukur dari ujung hidung sampai pangkal ekor, sedangkan tinggi badan adalah tinggi maksimum dari badan ikan (Campagno 1984). Seperti ditunjukkan pada Gambar 4 berikut.

(29)

Pengumpulan data dan informasi lain yang terkait dalam kegiatan penelitian ini dilakukan secara observasi dan wawancara dengan nelayan yang menangkap cucut. Informasi yang diperoleh berupa data unit penangkapan dan alat tangkapnya, serta daerah penangkapan (fishing ground).

Data sekunder yang dikumpulkan sebagai data penunjang adalah informasi total produksi perikanan keseluruhan dan produksi cucut pertahun, harga rata-rata per kilogram ikan cucut per tahunnya, serta jumlah unit yang melakukan penangkapan. Data sekunder didapatkan dari Koperasi Mina Sumitra yang berada di PPI Karangsong, Indramayu.

3.3. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah buku identifikasi spesies cucut, data sheet, kamera digital dan meteran dengan ketelitian 1 cm. Sedangkan bahan yang digunakan adalah ikan cucut.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Distribusi frekuensi panjang

Penentuan distribusi frekuensi panjang menggunakan data panjang total ikan cucut yang didaratkan di PPI Karangsong. Langkah-langkah dalam melakukan analisis distribusi frekuensi panjang adalah sebagai berikut :

1. Menentukan jumlah kelas panjang yang dibutuhkan. 2. Menentukan interval (lebar selang kelas)

3. Menentukan frekuensi dari masing-masing kelas panjang. Data yang didapat di analisis dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007.

4. Data distribusi frekuensi di interpretasikan berdasarkan tampilan dalam grafik.

3.4.2. Pendugaan parameter pertumbuhan

(30)

Pulau Kalimantan, karena sebagian besar cucut memiliki pola ruaya yang cukup jauh maka diasumsikan bahwa kedua jenis cucut ini masing-masing berasal dari populasi yang sama.

Parameter pertumbuhan pada ikan dapat diestimasi menggunakan model pertumbuhan Von Bertalanffy (Sparre and Venema 1999):

� � [ � ]

Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K) dan panjang asimtotik (L∞) dilakukan dengan menggunakan metode Ford Wallford yang diturunkan dari model Von Bertalanffy.

Dengan mensubstitusi t menjadi t+1, maka didapat persamaan :

� � � � [ � ]

Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L∞ adalah panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), dan t0 adalah umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol. Kemudian kedua rumus di atas disubstitusikan dan diperoleh persamaan :

� � [� � ][ � ]

atau :

� � [ � ] � �

Berdasarkan persamaan di atas dapat diduga dengan persamaan regresi linier

, jika Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y) sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik potong dengan absis sama dengan L∞[1 – e-K]. Dengan demikian, nilai K dan L∞ diperoleh dengan cara:

dan

(31)

Digunakan bantuan software FISAT II metode ELEFAN I untuk menduga nilai K dan L∞.

Sedangkan dalam menduga nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol) diperoleh dengan menggunakan persamaan Pauly (1983) in Sparre and Venema (1999):

� �

Keterangan:

Lt = Panjang ikan pada saat umur t (mm) L∞ = Panjang asimtotik ikan (mm)

K = Koefisien laju pertumbuhan (mm/satuan waktu) t = Umur ikan

(32)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Perikanan Cucut di PPI Karangsong

Secara geografis Kawasan PPI Karangsong terletak pada koordinat 06°18'45" dan 06°19'45" Lintang Selatan dan 108° 21'30" dan 108° 22'30" Bujur Timur. Kawasan PPI berada di Desa Karangsong Kecamatan Indramayu, yang berjarak ± 4,5 km dari pusat ibu kota Kabupaten Indramayu. Lokasi PPI berada di sekitar pesisir Laut Jawa yang letaknya berada masuk di bagian dalam dari bibir pantai. Sungai Prajagumiwang mengalir tepat disamping kawasan PPI berfungsi sebagai alur pelayaran keluar masuk kapal ke pelabuhan. Kondisi sungai saat ini sudah mengalami pendangkalan akibat lumpur atau material endapan yang terbawa di sepanjang Sungai Prajagumiwang (Omat 2008).

Koperasi Perikanan Laut (KPL) Mina Sumitra merupakan koperasi yang berperan sebagai pengelola PPI Karangsong dibawah naungan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. Armada kapal nelayan yang berada pada wilayah kerja KPL Mina Sumitra pada tahun 2006 tercatat 616 unit yang terdiri dari kapal motor kapasisas lebih dari 15 GT (Gambar 5) sebanyak 188 unit, kapal motor kapasitas 5-15 GT sebanyak 148 unit, dan kapal motor tempel kapasitas 1-2 GT sebanyak 280 unit (Omat 2008) dan jumlah ini tentunya akan semakin besar pada tahun-tahun berikutnya. Sebelum tahun 2008, PPI Karangsong hanyalah pelabuhan kecil dengan hasil tangkapan yang tidak terlalu besar. Namun pada tahun 2008, DKP Kabupaten Indramayu melakukan kerjasama dengan Bank tertentu dalam upaya permodalan, sehingga mampu meningkatkan jumlah armada penangkapan yang cukup pesat hingga saat ini.

(33)

Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap cucut terdiri dari gillnet millenium, jaring rampus dan pancing. Gillnet millenium merupakan alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan karena dinilai lebih efisien dan menghasilkan lebih banyak ikan dibandingkan dengan alat tangkap lain. Konstruksi dan desain alat tangkap gillnet millenium sama dengan jaring insang pada umumnya, perbedaannya hanya terletak pada bahan jaring yang terbuat dari Polyamide monofilament. Nelayan menggunakan bahan tersebut karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya memiliki serat pilinan 8-12 ply sehingga memungkinkan ikan-ikan kecil dapat terjerat dalam serat pilinan dan menjadi umpan bagi ikan yang berukuran besar. Polyamide monofilament merupakan bahan sintetis yang relatif tahan lebih lama terhadap pembusukan atau pelapukan dan tidak terpengaruh terhadap lamanya perendaman dalam air. Selain itu bahan ini tidak menyerap air sehingga lebih ringan dalam proses penarikan jaring (Ramdhan 2008).

Gambar 6. Gillnet millenium yang digunakan nelayan Karangsong Sumber: Dokumentasi pribadi

(34)

tersebut. Jaring dan kapal dibiarkan hanyut mengikuti arus air (drift gillnet) dan dibiarkan selama ± 6 jam terendam dalam air. Penarikan jaring dilakukan tanpa bantuan alat apapun (menggunakan tangan) dan ikan yang tertangkap akan langsung dilepaskan dari jeratan jaring. Waktu yang dibutuhkan untuk sekali penarikan jaring (hauling) berkisar antara 2-4 jam bergantung pada banyaknya ikan yang tertangkap. Terkadang proses hauling dilakukan selama hampir 12 jam dikarenakan hasil tangkapan yang sangat banyak dan berukuran besar. Jaring ini dioperasikan pada posisi permukaan perairan (surface gillnet) atau di kedalaman tertentu.

Jumlah ikan yang didaratkan tiap harinya rata-rata mencapai 30 ton dengan jenis yang beragam, dengan rata-rata nilai lelang perhari nya sebesar 1 miliar rupiah. Ikan – ikan ini sebagian besar berasal dari perairan Laut Jawa, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi. Cucut merupakan hasil tangkapan sampingan dengan persentase hanya 5% dari seluruh jenis ikan yang didaratkan di PPI Karangsong (Gambar 7), dengan jenis ikan dominan yang didaratkan adalah tongkol, tenggiri, manyung, remang dan kakap merah.

Gambar 7. Diagram komposisi hasil tangkapan ikan di PPI Karangsong Sumber : KPL Mina Sumitra

Menurut data DKP Kabupaten Indramayu (2006) dalam Omat (2008), jumlah penduduk yang memiliki status nelayan di Kecamatan Indramayu adalah sebanyak 4.469 orang dan nelayan pemilik sebanyak 756 orang. Nelayan pemilik merupakan juragan yang memiliki kapal/perahu baik berukuran kecil maupun besar. Sebagian besar nelayan berasal dari PPI Karangsong karena PPI tersebut merupakan pelabuhan terbesar dibandingkan dengan pelabuhan lain di Kabupaten Indramayu.

(35)

Armada kapal yang sering mendapatkan cucut sebagai hasil tangkapan adalah kapal-kapal besar dengan ukuran 15-40 GT dengan lama pelayaran 40-60 hari. Sebagian besar kapal-kapal ini melakukan operasi penangkapan tanpa menentukan ikan buruan atau ikan tangkapan utama, mereka hanya mengejar kumpulan (schooling) ikan yang posisinya paling dekat dengan kapal. Lokasi penangkapan ditentukan berdasarkan pengalaman nahkoda (kapten) kapal yang dibantu dengan adanya informasi daerah penangkapan yang diberikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu melalui pusat Informasi Daerah Penangkapan Ikan (IDPI) yang berkerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dalam hal penginderaan jauh. Dengan adanya informasi ini nelayan menjadi lebih mudah dalam menentukan lokasi penangkapan sehingga biaya operasional menjadi lebih efisien.

Gambar 8. Peta lokasi penangkapan ikan cucut nelayan Karangsong (data diolah berdasarkan

wawancara, 2012)

(36)

harus berlayar lebih jauh untuk mengejar ikan buruan. Berdasarkan hasil wawancara, nelayan Karangsong dengan kapal berukuran kecil melakukan penangkapan ikan di perairan dekat pantai Indramayu. Sedangkan untuk kapal dengan ukuran besar, penangkapan dapat dilakukan pada perairan yang jauh dari bibir pantai, seperti di perairan Laut Jawa, Selat Makassar, Selat Karimata, bahkan mencapai perairan Laut Natuna dan perairan perbatasan antara Indonesia dengan Filiphina (Gambar 8).

Ikan cucut dipasarkan untuk pasar lokal maupun pasar ekspor. Bentuk produk yang dijual di pasar lokal berupa ikan segar dan dagingnya dikeringkan sebagai ikan asin, sedangkan sirip cucut yang memiliki nilai ekonomis sangat tinggi dijual untuk pasar ekspor. Cucut segar dijual dengan harga Rp10.000 – Rp15.000 per kilonya sedangkan siripnya dijual dengan harga Rp300.000 – Rp2.000.000 tergantung ukuran siripnya.

4.2. Produksi Cucut PPI Karangsong

Cucut merupakan ikan tangkapan sampingan yang tertangkap oleh armada nelayan, namun hasil tangkapan cucut yang didaratkan di PPI tersebut selalu meningkat tiap tahunnya akibat berkembang pesatnya armada penangkapan nelayan. Produksi cucut di PPI Karangsong berkisar antara 11-150 ton setiap bulannya dengan nilai lelang mencapai Rp100 juta – Rp1 miliar. Data produksi cucut tiap bulannya selama 4 tahun disajikan dalam Tabel 1.

(37)

kegiatan penangkapan dan pelelangan ikan saat memasuki musim lebaran Idul Fitri dan kembali beraktivitas normal 1 bulan setelahnya.

Tabel 1. Produksi cucut (ton) PPI Karangsong tahun 2009-2012

Bulan

Gambar 9. Produksi cucut PPI Karangsong 2009-2012 Sumber: KPL Mina Sumitra

(38)

persamaan tersebut diperoleh nilai a = 664,8 dan b = 96,43 dengan koefisien determinasi (R2) 0,831, yang artinya PPI tersebut memproduksi 664,8 ton cucut pada tahun 2009, dan diperkirakan terjadi peningkatan sebesar 96,43 ton pada tahun-tahun berikutnya. Peningkatan tersebut berbeda dengan data statistik perikanan Indonesia selama sebelas tahun (1991 – 2002), yang menunjukkan produksi ikan cucut nasional maupun Laut Jawa mengalami fluktuasi dan cenderung menurun sejak tahun 1999 (Rahardjo 2007). Peningkatan produksi ikan cucut ini disebabkan oleh semakin besarnya jumlah armada penangkapan di PPI tersebut serta teknologi penangkapan yang semakin berkembang sejak tahun 2008.

Gambar 10. Hasil tangkapan ikan cucut di PPI Karangsong Sumber: KPL Mina Sumitra

4.3. Komposisi Hasil Tangkapan Cucut

(39)

Tabel 2. Komposisi tangkapan ikan cucut yang didaratkan di PPI Karangsong selama penelitian. 1 Carcharhiniformes Carcharhinidae Carcharhinus

amblyrhynchos 90-120 100-105

8 Orectolobiformes Hemiscyllidae Chiloscyllium

punctatum 60-88,5 70–79

9 Stegostomatidae Stegostoma

fasciatum 90-130 100-120

10 Rhinobatiformes Rhinidae Rhynchobatus

australiae 140-216 150-175

4.3.1. Famili Carcharhinidae

(40)

Selama pengamatan di lapangan, terdapat 6 jenis ikan cucut yang berasal dari famili carcharinidae yaitu Carcharhinus amblyrhynchos, C. dussumieri, C. hemiodon, C. limbatus, C. malcoti dan C. sorrah.

a) Carcharinus amblyrhynchos (Sleeker 1856)

Cucut jenis ini memiliki ukuran yang sedang, warna kulit abu-abu terang hingga gelap, dengan moncong yang membundar. Cucut ini juga memiliki sirip dada yang cukup lebar serta sirip dorsal kedua yang cukup besar dibandingkan dengan jenis lainnya. Mata berbentuk bulat dengan ukuran cukup besar yaitu 2-2,7 % dari panjang total tubuhnya (Gambar 11). Sirip dorsal pertamanya berukuran cukup besar dan berbentuk segitiga. Sirip dorsal kedua berukuran besar dan tinggi, dengan tinggi kurang lebih 3,4 % dari panjang total tubuhnya (Campagno 1984).

C. amblyrhynchos tersebar di sebagian besar perairan di Asia, terdapat di Indonesia, Singapura, Thailand, Filipina, China, Australia, Madagaskar sampai ke kepulauan Hawaii. Hidup di perairan yang tidak jauh dari garis pantai dan seringkali ditemukan di daerah terumbu karang. Selalu berenang di dekat dasar perairan dan sesekali berenang di permukaan untuk mencari makanan. Dapat berenang di dekat permukaan air sampai dengan kedalaman 100 meter (Campagno 1984).

Gambar 11. Carcharhinus amblyrhynchos (Sleeker 1856). Sumber: Dokumentasi pribadi

(41)

anak berukuran 45–60 cm dalam satu kali melahirkan dengan masa kehamilan 12 bulan. Cucut ini mengalami matang gonad pada umur 7-7,5 tahun dengan umur maksimum 25 tahun. Panjang maksimal dari ikan ini adalah 255 cm dengan rata-rata ukuran dewasa 190 cm. Ikan jantan matang gonad pada ukuran 130 - 145 cm sedangkan betina 122 – 137 cm (Campagno 1984). Status ikan cucut Carcharinus amblyrhynchos dalam IUCN adalah Near Threatened (hampir terancam). Status ini diberikan karena tingkat penangkapan yang cukup tinggi pada semua jenis cucut serta kurangnya data dan informasi yang mendukung.

b) Carcharhinus dussumieri (Valenciennes 1839)

Cucut jenis inimemiliki kulit berwarna abu-abu, abu kecoklatan, atau hitam, dengan hidung yang berbentuk bulat. Ukurannya relatif kecil dengan panjang maksimal 100 cm dengan ciri-ciri memiliki sirip dorsal kedua yang ujungnya berwarna hitam, sedangkan sirip lainnya tidak memiliki tanda hitam (Gambar 12). Terdapat 13-14 baris gigi dengan bentuk seperti pisau dan mata yang cukup besar dengan ukuran 2,2 % dari panjang total tubuh (Campagno 1984).

Penyebaran cucut ini cukup luas, terutama di perairan Indonesia. Dapat ditemukan di Laut Jawa, Perairan Kalimantan dan Sulawesi, serta Laut Natuna. Terdapat juga di sepanjang pantai yang menghadap Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Menurut Widodo dan Mahiswara (2007), C. dussumieri merupakan salah satu jenis cucut yang dominan ditangkap di perairan Indonesia, khususnya Laut Jawa dengan ukuran rata-rata 80 cm. Hidup di perairan dekat pantai sampai dengan batas lempeng daratan. Bereproduksi dengan cara melahirkan (vivipar) dengan jumlah anak 2-4 dalam satukali melahirkan, dengan ukuran anak 37 cm – 40 cm (Campagno 1984).

(42)

Gambar 12. Carcharhinus dussumieri (Valenciennes 1839). Sumber: Dokumentasi pribadi

c) Carcharhinus hemiodon (Valenciennes 1839)

Jenis ini merupakan cucut berukuran sedang dengan badan yang cukup gemuk dan hidung tidak terlalu runcing yang panjangnya hampir sama atau kurang dari lebar mulutnya, serta memiliki 5 celah insang yang relatif pendek. Berwarna abu-abu pada bagian atas tubuhnya dan putih di bagian perut, dengan sirip pectoral, dorsal kedua, serta sirip ekor yang ujungnya berwarna hitam (Gambar 13). Ukuran panjang biologis ikan ini masih belum diketahui, baik itu panjang maksimal, panjang saat matang gonad atau panjang saat dilahirkan, namun diperkirakan panjang maksimalnya dapat mencapai 150 – 200 cm (Campagno 1984).

(43)

Gambar 13. Carcharhinus hemiodon (Valenciennes 1839) Sumber: Dokumentasi pribadi

d) Carcharhinus limbatus (Vallenciennes, in Muller & Henle 1839)

Ikan jenis inimempunyai badan yang gemuk, mata kecil, dan moncong yang cukup panjang. Sirip dorsal berukuran cukup besar yang berwarna hitam pada ujung siripnya baik pada juvenil maupun cucut dewasa. Ukurannya cukup besar dan dapat mencapai panjang 260 cm. Tubuh berwarna abu-abu atau abu kecoklatan pada bagian atas tubuhnya dan berwarna putih pada bagian perut (Gambar 14). Warna hitam biasanya muncul pada ujung sirip pectoral, dorsal, ventral, anal, dan sirip ekor bagian bawah (Campagno 1984).

(44)

Gambar 14. Carcharhinus limbatus (Vallenciennes, in Muller & Henle 1839) Sumber: Dokumentasi pribadi

Pola reproduksi cucut jenis ini dengan melahirkan seperti kebanyakan cucut lain dalam famili Carcharinidae. Melahirkan 1-10 anak dalam satu masa reproduksi, namun umumnya 4-7 anak dengan masa kehamilan 10-12 bulan. Cucut betina yang sedang mengandung biasanya berenang menuju perairan pantai untuk melahirkan anaknya dekat dengan nursery ground. Ikan Carcharhinus limbatus dapat tumbuh dengan panjang maksimal 255 cm dengan umur maksimal 12 tahun. Cucut jantan mengalami matang gonad pada panjang 135-180 cm, sedangkan betina 120-190 cm. Ikan cucut yang baru lahir memiliki ukuran cukup besar dengan panjang 38-72 cm (Campagno 1984). Status ikan cucut Carcharinus limbatus dalam IUCN adalah Near Threatened (hampir terancam). Status ini diberikan karena tingkat penangkapan yang cukup tinggi pada semua jenis cucut serta kurangnya data dan informasi yang mendukung.

e) Carcharhinus malcoti (Muller & Henle 1839)

(45)

bagian punggung dan berwarna putih di bagian perut, serta ujung siripnya tidak berwarna hitam (Campagno 1984).

Gambar 15. Carcharhinus malcoti (Muller & Henle 1839 dalam Campagno 1984) Sumber: Campagno 1984 dan Dokumentasi pribadi

Hidup di perairan beriklim tropis yang memiliki suhu hangat, seperti perairan Indonesia, India, Sri Lanka, dan China. Menempati perairan yang tidak jauh dari bibir pantai atau di daerah terumbu karang. Di perairan Bombay, India, dilakukan penelitian mengenai ikan ini dan lebih dari 95% ikan yang ditangkap adalah ikan jantan, diindikasian hidup secara bergerombol terpisah menurut jenis kelamin (Campagno 1984).

Berkembang biak dengan cara melahirkan dengan 2 anak dalam satu kali melahirkan. Ikan ini berukuran 45-50 cm saat lahir dan dapat tumbuh mencapai ukuran panjang 100 cm. Cucut jantan mengalami matang gonad pada panjang 69 cm dan betina 76 cm. Memakan ikan lain yang lebih kecil, cepalopoda dan krustasea (Campagno 1984). Status ikan cucut Carcharinus malcoti dalam IUCN adalah Near Threatened (hampir terancam).

f) Carcharhinus sorrah (Valenciennes 1839)

(46)

gigi. Terdapat tanda hitam di ujung sirip pektoral, dorsal kedua serta kaudal bagian bawah (Gambar 16). Sirip dorsal pertama berukuran besar sedangkan sirip dorsal kedua berukuran kecil. Kulit berwarna abu-abu dan putih pada bagian perut (Campagno 1984).

Gambar 16. Carcharhinus sorrah (Valenciennes 1839). Sumber: Dokumentasi pribadi

Cucut ini dapat ditemukan hampir di semua perairan Indonesia, khususnya perairan Indonesia bagian barat. Diketahui hidup di perairan beriklim tropis seperti Australia bagian utara, Afrika, India dan China. Menempati perairan pantai dan terumbu karang dengan kedalaman mencapai 73 meter (Campagno 1984).

(47)

4.3.2. Famili Hemiscyllidae

Famili ini memiliki ciri khusus yaitu berukuran kecil, tubuhnya silinder dan picak, terdapat sungut yang pendek serta sirip anal yang hampir menempel dengan sirip ekor yang hanya dipisahkan oleh celah kecil. Ekor (precaudal) sangat panjang, lebih panjang dari panjang kepala dan tubuhnya. Mocong berbentuk bundar dan terdapat spirakel yang sangat besar yang hampir sama dengan ukuran matanya serta memiliki 5 celah insang yang pendek. Cucut dari famili Hemiscylliidae termasuk cucut yang sering ditemukan di perairan, berukuran kecil, tidak membahayakan manusia. Ditemukan di perairan tropis bersuhu hangat, mulai dari Madagascar sampai dengan Jepang bagian barat. Beberapa spesies diketahui berkembang biak dengan cara bertelur dan induk meletakkan telurnya di dasar perairan dekat terumbu karang (Campagno 1984). Hanya terdapat 1 spesies dari famili Hemiscylliidae selama pengamatan di lapangan, yaitu Chiloscyllium punctatum.

a) Chiloscyllium punctatum (Muller & Henle 1838)

Ikan jenis ini merupakan cucut berukuran kecil, tidak memiliki jari-jari pada sirip dorsal dan posisinya sejajar dengan sirip perut. Bagian ekor sangat panjang yang lebih panjang dari bagian kepala dan badannya (Gambar 17). Ikan muda memiliki corak garis hitam dan putih pada tubuhnya namun saat dewasa corak kulit tersebut menghilang dan berubah menjadi berwarna cokelat muda (Campagno 1984).

(48)

Hidup di dasar perairan yang terdapat terumbu karang ataupun pantai berpasir. Dapat ditemukan di perairan barat Indonesia seperti Jawa dan Sumatera, India, Malaysia, Singapura, Thailand dan Australia bagian utara. Termasuk ikan yang kuat dan mampu bertahan hidup tanpa air selama 12 jam. Berkembang biak dengan cara bertelur yang diletakkan di dasar perairan dan diketahui dapat hidup mencapai panjang maksimal 104 cm (Campagno 1984). Status ikan cucut Chiloscyllium punctatum dalam IUCN adalah Near Threatened (hampir terancam).

4.3.3. Famili Sphyrnidae

Famili Sphyrnidae merupakan salah satu famili cucut dengan keunikan khusus yaitu memiliki kepala yang melebar seperti martil. Mata cucut berada di ujung kedua sisi kepalanya dan tidak memiliki spirakel. Sirip dorsal pertama berukuran sangat besar sedangkan sirip dorsal kedua berukuran kecil. Kulit berwarna abu-abu atau kecoklatan di bagian punggung dan putih di bagian perut. Dapat ditemukan di perairan tropis bersuhu hangat tidak jauh dari tepi pantai. Area penyebaran cucut martil sangat luas mulai dari Afrika, Asia, Australia dan Amerika. Hidup pada kedalaman 0-275 meter dibawah permukaan laut dan aktif berenang dari permukaan sampai dasar perairan. Beberapa spesies hidup secara bergerombol dengan jumlah ratusan ekor dalam satu koloni. Kepala yang melebar berfungsi untuk meningkatkan kemampuan berenang cucut, atau sebagai sensor tambahan untuk mendeteksi lingkungan sekitar. Mata yang berada di ujung kepala dan berjarak sangat jauh dapat meningkatkan area visual pandangan (Campagno 1984). Teramati hanya 1 jenis cucut yang berasal dari famili Sphyrnidae yaitu Sphyrna lewini.

a) Sphyrna lewini (Griffith & Smith 1834)

(49)

Gambar 18. Sphyrna lewini (Griffith & Smith 1834) Sumber: Dokumentasi pribadi

Tersebar hampir diseluruh perairan beriklim tropis mulai dari Asia (termasuk Indonesia), Afrika, Australia, Amerika, dan Samudera Pasifik. Merupakan jenis yang hidup di perairan dekat pantai dan seringkali ditemukan di perairan samudera dengan kedalaman 0-275 meter. Melakukan ruaya yang cukup jauh untuk mencari makan dan reproduksi. Terjadi pemisahan antara kelompok jantan dan betina selama beberapa tahap dalam siklus hidupnya (Campagno 1984).

(50)

4.3.4. Famili Stegostomatidae

Famili Stegostomatidae adalah jenis cucut yang diketahui hanya terdapat 1 spesies saja yaitu Stegostoma fasciatum. Disebut juga sebagai “zebra shark” karena badannya memiliki pola bintik hitam di hampir keseluruhan tubuhnya. Moncong sangat lebar dan membulat, mata yang kecil, terdapat spirakel yang seukuran dengan mata, dan 5 celah insang yang pendek. Sirip ekor cucut jenis ini sangat panjang dan dapat mencapai separuh dari total panjang tubuhnya (Campagno 1984).

a) Stegostoma fasciatum (Hermann 1783)

“Zebra shark”merupakan salah satu spesies unik dengan ukuran tubuh yang besar dan ekor yang panjangnya hampir separuh panjang total tubuhnya. Sirip dorsal pertama dan pectoral berukuran besar sedangkan sirip dorsal kedua dan sirip ventral berukuran kecil. Kulit cucut dewasa berwarna kuning dengan corak titik hitam di seluruh bagian tubuhnya (Gambar 19) sedangkan saat muda memiliki warna kecoklatan pada bagian punggung, kekuningan pada bagian perut dan memiliki pola garis kuning pada tubuhnya (Campagno 1984).

Gambar 19. Stegostoma fasciatum (Hermann 1783) Sumber: Dokumentasi pribadi

(51)

kecil. Berkembang biak dengan cara bertelur dengan telur yang berukuran besar (panjang 17 cm, lebar 8 cm dan ketebalan 5 cm) dan memiliki rambut sebagai alat penempel pada substrat. Telur yang dihasilkan hanya berjumlah 2-4 telur dalam satu kali reproduksi (Campagno 1984).

S. fasciatum merupakan spesies yang tangguh dan dapat di tangkarkan. Cucut ini tidak agresif dan belum pernah dilaporkan menyerang manusia. Walaupun tidak terlalu berbahaya dan memiliki gigi yang sangat kecil, gigi tersebut sangat kuat dan akan sangat menyakitkan jika tergigit. Cucut ini menetas dengan panjang 20-36 cm dan dapat tumbuh hingga 354 cm. Cucut jantan mengalami kedewasaan pada panjang 147-183 cm sedangkan betina 169-171 cm (Campagno 1984). Status ikan cucut Stegostoma fasciatum dalam IUCN adalah Vulnerable (rentan). Status ini diberikan karena spesies ini akan memasuki tahap Endangered (genting) dalam waktu dekat akibat menurunnya populasi dan sebaranya semakin menyusut.

4.3.5. Famili Rhinidae

Famili ini masih diperdebatkan oleh ahli biologi karena beberapa ahli mengklasifikasikan ikan ini sebagai jenis pari namun sebagian mengatakan sebagai jenis cucut. Secara morfologi, famili Rhinidae memiliki ciri seperti cucut dan juga pari, yaitu berkepala lebar dan picak seperti pari sedangkan badannya berbentuk cerutu seperti cucut. Badannya dilindungi oleh sisik plakoid dan terdapat “tanduk” yang terdapat di permukaan punggung. Tidak terdapat duri penyengat ataupun organ listrik di bagian ekor seperti kebanyakan pari. Kepala (moncong) berbentuk segitiga yang runcing dengan mata di bagian atas (dorsal) sedangkan mulut di bagian bawah (ventral). Warna kulit kekuningan, abu kecoklatan atau kehijauan, dan berwarna putih pada bagian perut (Carpenter 1998).

a) Rhynchobatus australiae (Cucut pari) (Whitley 1939)

(52)

panjang 200-300 cm. Ikan jantan mengalami matang gonad pada panjang 131 cm sedangkan betina belum diketahui (Carpenter 1998).

Gambar 20. Rhynchobatus australiae (Whitley 1939) Sumber: Dokumentasi pribadi

Cucut jenis ini ditemukan di perairan Indonesia, bagian barat Samudera Pasifik dan Australia (Carpenter 1998). Nilai ekonomis cucut ini sangat tinggi dikarenakan harga sirip dari jenis ini merupakan sirip dengan harga paling tinggi dibanding sirip cucut jenis lainnya, yaitu 150-200% dari harga sirip cucut jenis lain. Cucut ini ditemukan di perairan dangkal dengan substrat pasir di hampir seluruh wilayah perairan Indonesia. Laut Jawa, Perairan Maluku dan Irian Jaya merupakan daerah dimana penangkapan cucut jenis ini sering dilakukan (Keong 1996). Status ikan cucut Rhynchobatus australiae dalam IUCN adalah Vulnerable (rentan). Status ini diberikan karena spesies ini akan memasuki tahap Endangered (genting) dalam waktu dekat akibat menurunnya populasi dan sebaranya semakin menyusut. Selain itu harga jual sirip yang sangat tinggi membuat ikan ini sering ditangkap oleh nelayan.

4.4. Pertumbuhan Ikan Cucut

(53)

4.4.1. Sebaran frekuensi panjang

Untuk Carcharinus dussumieri, jumlah sampel yang dianalisa adalah sebanyak 145 ekor ikan, 40 ekor ikan pada bulan Juni, 68 ekor ikan pada bulan Juli, dan 37 ekor ikan pada bulan Agustus. Dari total ikan yang diamati terdapat 70 ekor ikan betina dan 75 ekor ikan jantan. Sampel yang diamati memiliki ukuran minimal 60 cm, ukuran maksimal 96 cm dengan rata – rata ukuran yang dominan didaratkan adalah 75 – 85 cm. Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan C. dussumieri menggunakan metode Bhattacharya disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21. Sebaran frekuensi panjang ikan Carcharhinus dussumieri (total) selama pengamatan Juli

(54)

Berdasarkan Gambar 21 diketahui bahwa terjadi pergeseran modus atau nilai tengah pada panjang ikan cucut C. dussumieri selama pengamatan. Garis yang menghubungkan nilai tengah dari sebaran frekuensi panjang setiap bulannya memiliki kemiringan yang curam. Hal ini menunjukkan laju pertumbuhan dari ikan tersebut tergolong lambat yaitu hanya 1-2 cm setiap bulannya.

Gambar 22.Sebaran frekuensi panjang ikan Chiloschyllium punctatum (total) selama pengamatan

Untuk Chiloscyllium punctatum, jumlah sampel yang dianalisa adalah sebanyak 194 ekor ikan, 85 ekor ikan pada bulan Juni, 66 ekor ikan pada bulan Juli, dan 43 ekor ikan pada bulan Agustus. Dari total ikan yang diamati terdapat 99 ekor

Juni

Juli

(55)

ikan betina dan 95 ekor ikan jantan. Keseluruhan ikan contoh memiliki panjang minimal 60,5 cm dan panjang maksimal 88,5 cm dengan panjang yang dominan didaratkan adalah 70 – 79 cm. Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan C. punctatum menggunakan metode Bhattacharya disajikan pada Gambar 22.

Berdasarkan Gambar 22 diketahui bahwa terjadi pergeseran modus atau nilai tengah pada panjang ikan cucut C. punctatum selama pengamatan. Kedua garis yang menghubungkan dua nilai tengah dari sebaran frekuensi panjang setiap bulannya memiliki kemiringan yang lebih landai dari jenis ikan sebelumnya. Hal ini menunjukkan laju pertumbuhan dari ikan C. punctatum lebih cepat dari C. dussumieri.

Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran kedua cucut tersebut yaitu panjang rata – rata setiap kelompok ukuran disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kelompok ukuran ikan cucut

Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa hanya terdapat satu kelompok umur ikan C. dussumieri selama pengamatan. Hal ini mengindikasikan bahwa cucut ini tidak mengalami proses rekruitmen pada bulan-bulan pengamatan ataupun bulan sebelum pengamatan. Dugaan ini tidak sesuai dengan pernyataan Campagno (1984) yang mengatakan bahwa cucut C. dussumieri di Laut China Selatan tidak memiliki musim khusus dalam bereproduksi dan melahirkan hampir sepanjang tahun. Ketidaksesuaian ini terjadi mungkin dikarenakan ukuran mata jaring nelayan yang besar (3-4 inchi) sehingga hanya ikan-ikan berukuran besar yang tertangkap. Selain itu menurut Conrath (2005), sebagian spesies cucut yang masih muda memiliki kulit yang polos tanpa tanda hitam di bagian ujung siripnya dan baru mengalami 19 Juni 2012 C. dussumieri

C. punctatum

18 Juli 2012 C. dussumieri C. punctatum

(56)

perubahan warna kulit serta tanda-tanda tubuhnya saat dewasa, sehingga sulit untuk membedakan spesies ikan cucut saat ikan tersebut masih muda.

Diketahui juga bahwa terdapat lebih dari satu kelompok umur ikan C. punctatum pada tiap bulan pengamatan. Hal ini mengindikasikan terjadinya proses rekruitmen selama beberapa bulan sebelum pengamatan. Menurut Wourms (1977) dalam Conrath (2005), siklus reproduksi sebagian besar elasmobranchii dilakukan terus menerus sepanjang tahun tanpa musim puncak pemijahan tertentu. Terlebih cucut C. punctatum memiliki pola reproduksi dengan bertelur sehingga lama waktu dari satu siklus reproduksi ke siklus reproduksi berikutnya menjadi lebih cepat karena cucut ini tidak mengandung anaknya untuk waktu yang lama. Meski seperti itu telur cucut tetap memerlukan waktu yang sangat lama untuk menetas sejak dilepaskan oleh induknya yaitu antara 8-15 bulan (Conrath 2005).

Kedua jenis cucut tersebut merupakan sebagian jenis dengan ukuran tubuh yang relatif kecil (100-120 cm), karena itu walaupun ikan yang didaratkan berukuran kecil namun ikan tersebut sudah mencapai tahap dewasa. Menurut nelayan, sebagian besar cucut tertangkap pada saat nelayan melakukan operasi penangkapan di perairan tengah (cukup jauh dari pantai). Ikan cucut dan pari yang tertangkap di daerah penangkapan pinggir (inshore) umumnya berukuran kecil dan sebagian besar belum dewasa. Sebaliknya ikan cucut dan pari yang tertangkap di perairan tengah (offshore) umumnya berukuran besar dan telah dewasa. Armada kapal berukuran kecil (6-12 GT) melakukan penangkapan di daerah perairan pantai (inshore) yang jaraknya kurang dari 12 mil dari pantai, sedangkan daerah penangkapan offshore ( >12 mil) umumnya dieksploitasi oleh armada penangkapan dengan ukuran kapal lebih dari 30 GT (Rahardjo 2007).

4.4.2. Parameter pertumbuhan cucut

(57)

Tabel 4. Parameter pertumbuhan cucut dengan menggunakan ELEFAN I

Parameter Carcharinus dussumieri Chiloschyllium punctatum

L∞ (cm) 97,44 90,40

K (pertahun) 0,63 0,32

t0 (tahun) -0,18 -0,38

Berdasarkan Tabel 4 diperoleh persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy ikan Carcharinus dussumieri di Perairan Laut Jawa sebagai berikut:

� ( �[ ])

Sedangkan untuk ikan Chiloscyllium punctatum di Perairan Laut Jawa memiliki persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy sebagai berikut:

� ( �[ ])

Kurva pertumbuhan ikan Carcharinus dussumieri dan Chiloscyllium punctatum yang diperoleh dengan memplotkan umur (tahun) dan panjang total ikan (mm) hingga ikan berumur belasan tahun ditunjukkan pada Gambar 23 dan 24. Gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai koefisien pertumbuhan (K) dan panjang asimptorik (L∞) dari cucut C. dussumieri lebih besar dari C. punctatum (laju pertumbuhan ikan C. dussumieri lebih cepat dari ikan C. punctatum). Berdasarkan perhitungan, laju pertumbuhan ikan C. dussumieri sudah menjadi sangat lambat saat ikan memasuki umur 6-7 tahun sedangkan laju pertumbuhan cucut C. punctatum mengalami pelambatan saat ikan berumur 10-11 tahun. Disimpulkan bahwa ikan C. punctatum memiliki umur harapan hidup yang lebih lama dibandingkan ikan C. dussumieri.

(58)

yang kecil dengan nutrisi yang lebih sedikit. Ukuran tubuhnya yang kecil mengakibatkan sedikitnya jumlah makanan yang didapat karena terjadi persaingan dalam mendapatkan makanan oleh ikan lain dengan ukuran yang sama.

Gambar 23. Kurva pertumbuhan Carcharinus dussumieri

Gambar 24. Kurva pertumbuhan Chiloscyllium punctatum

Sebelumnya pada Gambar 21 dan 22 diketahui bahwa ikan C. punctatum memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dari ikan C. dussumieri, namun berdasarkan Tabel 4, nilai koefisien pertumbuhan C. punctatum lebih kecil dari C. dussumieri. Hal ini disebabkan oleh perbedaan umur harapan hidup dari kedua jenis

Gambar

Gambar 1. Pendekatan masalah pentingnya informasi ikan cucut di perairan
Gambar 2. Terminologi morfologi ikan cucut (Campagno 1984).
Gambar 3. Peta lokasi penelitian
Gambar 4 berikut.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Uraian Materi Kegiatan Belajar Indikator Pencapaian Kompetensi Penilaian Alokasi Waktu Bahan/ Alat Sumber/  Menyalin kalimat secara.

Dari hasil observasi peneliti yang telah dilakukan di MTsN Pangkep. Sudah menerapkan perilaku islami, namun masih banyak ditemui peserta didik kurang

Komunikasi Inter personal dan penjaminan mutu 208 3.. Kegawatdaruratan Umum, Gigi dan

● Kita memahami bahwa pemisahan agama dari politik itu bukan dari ajaran Islam yang hanif dan tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin yang tulus beragama, serta paham dengan ruh

sehingga cara kerja alami otak dilibatkan sejak awal, ini berarti mengingat informasi akan lebih mudah dan lebih bisa diandalkan daripada menggunakan teknik

dan prasarana yang cukup lengkap, namun masih ada peralatan yang belum ada misalnya matras. Sehingga pada pembelajaran lompat tinggi pendaratan itu tidak menggunakan

Setelah cukup lama mencanangkan diri sebagai kota budaya, kini Solo menegaskan sebuah utopia baru yaitu menjadi kota cyber (cyber city). Pencanangan mimpi besar itu

[r]