FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA PERKAWINAN USIA MUDA DIKALANGAN REMAJA DI DESA TEMBUNG
KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG
OLEH :
SITI YULI ASTUTY 080902027
Skripsi Ini Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Mendapat Gelar Sarjana Sosial
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Nama : Siti Yuli Astuty NIM : 080902027
ABSTRAK
(Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 101 halaman, 12 tabel, 18 daftar pustaka) Skripsi ini berjudul “Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda dikalangan remaja dan untuk
mendiskripsikan bentuk-bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda. Hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukkan bagi para orang tua, agar tidak
tergesa-gesa untuk segera menikahkan anak-anak pada usia remaja. Karena usia remaja
belum mampu menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan rumah tangga secara
baik. Para remaja masih perlu bekal yang banyak baik bekal kedewasaan fisik, mental
maupun sosial ekonomi, ilmu pengetahuan umum, agama, pengalaman-pengalaman hidup
dalam kehidupan berumah tangga.
Penelitian dilakukan di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli
Serdang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dimana informan dalam
penelitian ini adalah remaja yang telah menikah di usia muda yaitu sebanyak 3 orang dan
orangtua dari informan. Teknik pengumpulan data dengan dengan studi pustaka, studi
lapangan, wawancara mendalam dan observasi. Data yang didapat di lapangan kemudian
dianalisis dan disusun dalam draft tanya jawab antara peneliti yang dijelaskan secara
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa faktor lingkungan masyarakat
dan orangtua cukup berpengaruh terhadap terhadap pembentukan konsep diri pada anak,
karena si anak melihat kalau ibunya banyak yang juga melakukan pernikahan dini. Faktor
tingkat ekonomi orangtua yang rendah banyak menyebabkan orangtua menikahkan
anaknya di usia yang masih muda.
SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE UNIVERSITY OF NORTHERN SUMATRA
Name : Siti Yuli Astuty NIM : 080902023
ABSTRACT
(This thesis consists of 6 chapters, 101 pages, 12 tables, 18 references)
This thesis is entitled "Factors Causing Occurrence Amongst Young Age Teens Marriage
in the Village District Tembung Percut Sei Tuan Deli Serdang regency". This study
aimed to describe the factors that lead to early marriage among teenagers and to describe
the forms of family upbringing young couples. Results from this study are expected to be
material for parents to enter, so do not rush to immediately marry children in adolescence.
Because teens have not been able to face and resolve domestic problems as well. The
teens still need to stock a lot of good stock of physical maturity, mental and social
economics, general science, religion, life experiences in married life.
The study was conducted in the village of Sei Tuan Tembung Percut District Deli
Serdang regency. This research is descriptive, where the informants in this study were
adolescents who had been married at a young age as many as 3 people and parents of
informants. Data collection techniques to the study of literature, field studies, in-depth
interviews and observation. The data obtained in the field and then analyzed and
compiled in a draft of questions and answers between researchers described qualitatively.
The results show conclusively that the environmental factors and parental considerable
influence on the formation of self-concept in children, because the child saw her mother
who also did a lot of early marriage. Factors parents of low economic level caused many
parents marry off their children at a young age.
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, yang
berjudul “Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda
Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli
Serdang”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat dalam menempuh Ujian
Komprehensif untuk mencapai gelar Sarjana Sosial pada Departemen Ilmu Kesejahteraan
Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Selama penyusunan skripsi ini, penulis menyadari akan sejumlah kekurangan dan
kelemahan, untuk itu penulis membuka diri untuk saran dan kritik yang dapat
membangun guna perbaikan di masa yang akan mendatang. Pada kesempatan ini, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam
penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Hairani Siregar, S.Sos. M.SP, selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan
Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Husni Thamrin, S. Sos. M.SP, selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia membimbing dan memberi dukungan saya dengan sebaik mungkin dalam
penyelesaian skripsi ini.
4. Terimakasih kepada seluruh staff pengajar di Departemen Ilmu Kesejahteraan
Sosial Fisip USU untuk segala ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama
perkuliahan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fisip USU.
5. Staf Administrasi Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, terutama buat Ibu
Juraidah Hanum, Kak Debby, yang telah banyak membantu peneliti selama kuliah
di Ilmu Kesejahteraan Sosial.
6. Kepada Bapak Drs. Pahrim Siregar selaku Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
Percut Sei Tuan, yang telah memberikan informasi guna untuk melengkapi
data-data yang dibutuhkan peneliti.
7. Terima kasih Buat Kedua Orangtua saya, Bapak Ngatmin dan Ibu Sugiarni terima
kasih telah mendidik dan membimbing saya sampai sekarang. Terima kasih Pak
terima kasih Ma doamu selalu menyertaiku dalam setiap langkah kehidupanku.
Semua yang kalian lakukan tidak mungkin akan dapat saya balas, tapi saya akan
selalu melakukan yang terbaik untuk kalian berdua dan akan selalu membuat
kalian bangga.
8. Kemudian terima kasih buat adik-adik saya tersayang Nabila Husna dan
Muhammad Haris, terima kasih kalian telah menjadi penyemangat kakak dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Buat Aminur Rasyid Matondang, ST, yang tidak bosan-bosanya menasehati saya
dalam menyelesaikan skripsi saya ini, terima kasih atas segala pengorbanan yang
10.Buat Teman-Teman di stambuk 2008, vera, lisa, ririn, isna, rizka, ari, terimakasih
ya atas semangat yang kalian berikan, kenangan bersama kalian tidak akan pernah
saya lupakan.
11.Terima kasih Buat Bapak/Ibu serta adik-adik remaja putri yang telah sudi kiranya
menjadi informan guna untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan peneliti
selama penelitian.
Semoga Allah SWT membalas dan melimpahkan rahmat serta karunia-Nya atas
segala bantuan dan dukungan baik moril maupun materil yang telah diberikan. Peneliti
menyadari sepenuhnya bahwa skripsi masih banyak kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan, Untuk itu, peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi perbaikan dan kesempurnaan tulisan ini. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Maret 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ...viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 6
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 7
1.4 Sistematika Penulisan ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor Sosial Ekonomi ... 9
2.1.1 Pengertian Sosial Ekonomi ... 9
2.2 Faktor Pendidikan ... 12
2.2.1 Definisi Pendidikan ... 12
2.3 Faktor Orangtua ... 15
2.3.1 Peran dan Fungsi Orangtua ... 15
2.4 Perkawinan ... 18
2.4.1 Defenisi Penyesuaian Perkawinan ... 18
2.4.2 Landasan Hukum Perkawinan ... 20
2.4.3 Bentu-bentuk Penyesuaian Diri Dalam Perkawinan ...21
2..4.4 Kondisi yang Menyumbang Kesulitan Dalam Penyesuaian Perkawinan.... 26
2.4.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Pernikahan... 28
2.4.6 Pola Penyesuain Perkawinan ... 31
2.5 Remaja... 32
2.5.1 Pengertian Remaja ... 32
2.5.2 Pembagian Masa Remaja ... 33
2.5.3 Ciri-ciri remaja yang Melakukan Perkawinan Usia Muda ... 35
2.5.4 Tugas-tugas Perkembangan Remaja ... 36
2.6 Pernikahan Dini ... 38
2.6.1 Defenisi Perkawinan Dini ... 38
2.6.2 Alasan Menikah...39
2.6.3 Pengaruh Faktor Kesiapan Menikah Terhadap Penyesuain Pernikahan ... 40
2.6.4 Peranan Menikah Dalam Pernikahan ... 43
2.6.5 Penyebab Pernikahan Dini ... 46
2.6.7 Dinamika Penyesuaian Pernikahan Remaja Putri yang Melakukan
pernikahan dini ... 51
2.7 Defenisi Konsep dan Definisi Operasiona ... 54
2.7.1 Defenisi Konsep ...54
2.7.2 Definisi Operasional ... 55
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian ... 57
3.2 Lokasi Penelitian ... 57
3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 57
3.4 Teknik Penentuan Informan ... 59
3.5 Teknik Analisis Data ... 59
BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Desa Tembung ... 60
4.2 Keadaan Penduduk ... 62
4.2.1 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk ... 62
4.2.2 KelompokPenduduk Berdasarkan Kelompok Usia ... 62
4.2.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 64
4.2.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 64
4.2.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan ... 65
4.2.6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa ... 66
4.3 Sarana dan Prasarana ... 68
4.3.2 Sarana Ibadah ... 69
4.3.3 Prasarana Ekonomi ... 70
4.3.4 Prasarana Kesehatan ... 71
4.4 Program KB di Desa Tembung ... 72
BAB V ANALISIS DATA 5.1 Deskripsi Kriteria Informan ... 76
5.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 79
5.2.1 Faktor Orang Tua dalam Pembentukan Konsep Diri Remaja yang Menikah Dini ... 79
5.2.2 Faktor Kelompok Rujukan dalam Pembentukan Konsep Diri Remaja yang MenikahDini ... 83
5.2.3 Konsep Diri Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei tuan Kabupaten Deli Serdang yang Menikah Muda ... 87
5.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 95
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 98
6.2 Saran ... 99
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Kelompok Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia ... 62
Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 64
Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 64
Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan ... 65
Tabel 4.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa ... 66
Tabel 4.6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 67
Tabel 4.7 Sarana Pendidikan ... 68
Tabel 4.8 Sarana Tempat Ibadah ... 69
Tabel 4.9 Prasarana Ekonomi ... 70
Tabel 4.10 Prasarana Kesehatan ... 71
Tabel 4.11 Prasarana Olahraga ... 72
DAFTAR GAMBAR
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Nama : Siti Yuli Astuty NIM : 080902027
ABSTRAK
(Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 101 halaman, 12 tabel, 18 daftar pustaka) Skripsi ini berjudul “Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda dikalangan remaja dan untuk
mendiskripsikan bentuk-bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda. Hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukkan bagi para orang tua, agar tidak
tergesa-gesa untuk segera menikahkan anak-anak pada usia remaja. Karena usia remaja
belum mampu menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan rumah tangga secara
baik. Para remaja masih perlu bekal yang banyak baik bekal kedewasaan fisik, mental
maupun sosial ekonomi, ilmu pengetahuan umum, agama, pengalaman-pengalaman hidup
dalam kehidupan berumah tangga.
Penelitian dilakukan di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli
Serdang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dimana informan dalam
penelitian ini adalah remaja yang telah menikah di usia muda yaitu sebanyak 3 orang dan
orangtua dari informan. Teknik pengumpulan data dengan dengan studi pustaka, studi
lapangan, wawancara mendalam dan observasi. Data yang didapat di lapangan kemudian
dianalisis dan disusun dalam draft tanya jawab antara peneliti yang dijelaskan secara
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa faktor lingkungan masyarakat
dan orangtua cukup berpengaruh terhadap terhadap pembentukan konsep diri pada anak,
karena si anak melihat kalau ibunya banyak yang juga melakukan pernikahan dini. Faktor
tingkat ekonomi orangtua yang rendah banyak menyebabkan orangtua menikahkan
anaknya di usia yang masih muda.
SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE UNIVERSITY OF NORTHERN SUMATRA
Name : Siti Yuli Astuty NIM : 080902023
ABSTRACT
(This thesis consists of 6 chapters, 101 pages, 12 tables, 18 references)
This thesis is entitled "Factors Causing Occurrence Amongst Young Age Teens Marriage
in the Village District Tembung Percut Sei Tuan Deli Serdang regency". This study
aimed to describe the factors that lead to early marriage among teenagers and to describe
the forms of family upbringing young couples. Results from this study are expected to be
material for parents to enter, so do not rush to immediately marry children in adolescence.
Because teens have not been able to face and resolve domestic problems as well. The
teens still need to stock a lot of good stock of physical maturity, mental and social
economics, general science, religion, life experiences in married life.
The study was conducted in the village of Sei Tuan Tembung Percut District Deli
Serdang regency. This research is descriptive, where the informants in this study were
adolescents who had been married at a young age as many as 3 people and parents of
informants. Data collection techniques to the study of literature, field studies, in-depth
interviews and observation. The data obtained in the field and then analyzed and
compiled in a draft of questions and answers between researchers described qualitatively.
The results show conclusively that the environmental factors and parental considerable
influence on the formation of self-concept in children, because the child saw her mother
who also did a lot of early marriage. Factors parents of low economic level caused many
parents marry off their children at a young age.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan
pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang
diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga atau
rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini
dimaksudkan bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak
boleh berakhir begitu saja. Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa
dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di
desa atau di kota. Usia perkawinan yang terlalu muda mengakibatkan meningkatnya
kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggungjawab dalam kehidupan
berumah tangga bagi suami-istri.
Usia perkawinan yang masih muda bagi perempuan menjadi refleksi perubahan
sosial ekonomi. Pergeseran ini tidak hanya berpengaruh terhadap potensi kelahiran tetapi
juga terkait dengan peran dalam pembangunan bidang pendidikan dan ekonomi.
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah remaja umur 10-19 tahun di Indonesia terdapat 43
juta atau 19,61% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 220 juta, sekitar 1 juta remaja
pria (5%) dan 200 ribu remaja wanita (1%) menyatakan secara terbuka bahwa mereka
pernah melakukan hubungan seks. Sedangkan jumlah penduduk di Provinsi Sumatera
Utara sebanyak 12.982.204 jiwa, mencakup mereka yang bertempat tinggal didaerah
perkotaan sebanyak 6.382.672 jiwa (49,16%) dan di daerah pedesaan sebanyak 6.599.532
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan BPS Sumut menyebutkan 10
sampai 11 % wanita usia subur (WUS) menikah di usia 16 tahun pada 2010, dan menurut
keterangan dari BPS Sumut sendiri paling tidak, ada 47,79% perempuan dikawasan
pedesaan kawin pada usia dibawah 16 tahun, sementara diperkotaan besarnya mencapai
21,75% pada tahun 2011. Dari kantor kementerian agama menyebutkan bila di tahun
2006 kasus pernikahan usia dini sebanyak 19 kasus, dan meningkat menjadi 42 kasus di
tahun 2007, serta melonjak lagi menjadi 68 kasus di tahun 2008, hingga desember 2010
diperkirakan maksimal terjadi 50 kasus perawinan di usia dini pada remaja.
Dalam UU No. 1 tahun 1974, pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan
hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun, usulan perubahan pada pasal 7 tahun 1974 ayat (1) perkawinan
dapat dan dilakukan jika pihak laki-laki dan perempuan berusia minimal 19 tahun, ayat
(2) untuk melangsungkan pernikahan masing-masing calon mempelai yang belum
mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin kedua orang tua, sesuai dengan
kesepakatan pihak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
yang telah melakukan kerjasama dengan MOU yang menyatakan bahwa Usia Perkawinan
Pertama di izinkan apabila pihak pria mencapai umur 25 tahun dan wanita mencapai
umur 20 tahun.
Namun dalam kenyataannya masih banyak kita jumpai perkawinan pada usia
muda atau di bawah umur, padahal perkawinan yang sukses membutuhkan kedewasaan
tanggung jawab secara fisik maupun mental, untuk bisa mewujudkan harapan yang ideal
dalam kehidupan berumah tangga. Peranan orang tua sangat besar artinya bagi psikologis
anak-anaknya. Mengingat keluarga adalah tempat pertama bagi tumbuh perkembangan
setiap keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya perkawinan di
usia muda dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang mendorong mereka untuk
melangsungkan perkawinan di usia muda.
Terjadinya perkawinan usia muda di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan
Kabupaten Deli Serdang ini mempunyai dampak tidak baik kepada mereka yang telah
melangsungkan pernikahan juga berdampak pada anak-anak yang dilahirkannya serta
masing-masing keluarganya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua
pekawinan di usia muda berdampak kurang baik bagi sebuah keluarga karena sedikit dari
mereka yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda dapat mempertahankan dan
memelihara keutuhannya sesuai dengan tujuan dari perkawinan itu sendiri.
Berdasarkan fakta yang ada bahwa pola asuh demokratis lebih mendorong anak
menjadi mandiri dan berprestasi di bandingkan dengan anak diasuh dengan cara otoriter.
Hasil pola asuh pada pasangan muda ini untuk masing-masing pengasuh adalah pola asuh
demokratik. Dengan pola asuh demokratik ini orang tua tidak mengekang pada
anak-anaknya dan memaksakan kehendaknya pada anak-anak-anaknya, sebaliknya mereka
memberikan kepercayaan penuh terhadap anak-anaknya untuk bisa menjalani kehidupan
dimasa yang akan datang.
Hal yang penting yang harus disampaikan kepada masyarakat yang memiliki
sosial ekonomi rendah hendaknya lebih meningkatkan keadaan ekonominya untuk
dijadikan sebagai sumber penghasilan yang lain, masyarakat harus mengarahkan yang
putus sekolah untuk mengikuti kursus-kursus keterampilan. Kepada pasangan yang belum
menikah harus lebih memperhatikan dampak apa saja yang timbul dari perkawinan usia
Perkawinan usia muda yang menjadi fenomena sekarang ini pada dasarnya
merupakan satu siklus fenomena yang terulang dan tidak hanya terjadi di daerah pedesaan
yang notabene dipengaruhi oleh minimnya kesadaran dan pengetahuan namun juga terjadi
di wilayah perkotaan yang secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh “role model” dari
dunia hiburan yang mereka tonton. Penelitian yang dilakukan oleh Ikatan Sosiologi
Indonesia (ISI) Provinsi Jawa Barat mengungkapkan fakta masih tingginya pernikahan di
usia muda di pulau Jawa dan Bali. Diantara wilayah-wilayah tersebut, Jawa Barat di
posisi pertama dalam jumlah pasangan yang menikah di usia muda dimana dari 1000
penduduknya dengan usia 15 hingga 19 terdapat 126 orang yang menikah dan melahirkan
di usia muda. Kemudian diikuti dengan DKI Jakarta dengan 44 orang.
Dari data SDKI 1997 diketahui bahwa seekitar 52,6 % wanita pernah melakukan
perkawinan pertamanya pada kelompok umur 15-19 tahun dengan tingkat pendidikan
hanya tamat SD. Sejumlah 5,8 juta remaja pernah menikah pada umur kurang dari 16
tahun dan 25 % diantaranya bahkan menikah dibawah usia 14 tahun. Pihak yang sangat
merasakan akibatnya adalah remaja putri atau perempuan karena tidak mempunyai
kesempatan untuk bersekolah lagi dan harus menjalani perkawinan yang sebenarnya
belum siap baginya, baik dari sisi mental maupun kesehatan reproduksinya.
Sikap atas persoalan ini terbagi dalam dua sisi yang berseberangan. Dengan alasan
bahwa dengan menikah di usia muda akan menghindari hal-hal yang dilarang baik asas
agama maupun sosial di tengah gejolak pergaulan yang semakin ”menggila” seperti saat
ini. Alasan lain adalah pikiran bahwa dengan menikah muda, mereka akan masih sehat
dan aktif berkarya di saat anak-anak mereka tumbuh besar yang membutuhkan biaya
untuk keperluan pendidikan dan persoalan lainnya. Selain itu muncul pula alasan lain
meskipun dengan dalih dari pada terjerat dalam pergaulan bebas dan menghindari
terjadinya hamil di luar pernikahan.
Dari pihak yang berseberangan melihat dan menelaah bahwa mereka yang
menikah muda akan lebih cenderung untuk mengalami kegagalan dalam rumah tangga
mereka. Tingginya perkara perceraian di hampir semua daerah yang menjadi area
penelitian Ikatan Sosiologi Indonesia ( ISI ) berbanding lurus dengan tingkat penikahan di
usia muda. Namun dalam alasan perceraian tentu saja bukan karena alasan kawin muda,
melainkan alasan ekonomi dan lain sebagainya. Tetapi masalah tersebut tentu saja sebagai
salah satu dampak dari pernikahan yang dilakukan tanpa kematangan usia dan psikologis.
Menikah di usia muda juga akan menimbulkan banyak permasalahan di berbagai sisi
kehidupan ekonomi misalnya, dengan tingkat pendidikan rendah yang dimiliki pasangan
akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak yang berimbas pada
kurangnya kecukupan secara ekonomi dalam rumah tangga.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian untuk mendeskripsikan pernikahan usia mudah khususnya untuk melihat
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan usia muda, serta dampak
pernikahan usia muda tersebut dalam kehidupan berumah tangga di Desa Tembung
Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Dengan melihat kenyataan ini telah
mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda dikalangan remaja di Desa Tembung
I.2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan langkah yang sangat penting karena langkah ini
menentukan kemana suatu penelitian diarahkan. Perumusan masalah pada hakikatnya
merupakan perumusan pertanyaan yang jawabannya akan dicari melalui penelitian
(Soeharto, 2008: 2003).
Bahwa sasaran pembahasan penelitian ini adalah menyangkut pada pernikahan
usia muda. Maka dalam pembahasan ini, nantinya tidak terlalu jauh melebar sesuai
dengan topik pembahasan dan mengingat batasan waktu. Dalam penulisan ini, penulis
mencoba merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan, sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda
dikalangan remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli
Serdang?
2. Bagaimana makna perkawinan usia muda dikalangan remaja yang terjadi di Desa
Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang?
I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang ada, maka Tujuan penelitian ini yaitu :
1.Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia
muda.
I.3.2. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian diharapkan bagi instansi-instansi terkait khususnya instansi yang
menangani masalah - masalah remaja dan sumber informasi bagi pemerintah guna
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan formal maupun
pendidikan informal yang di harapkan dapat meningkatkan keterampilan para
remaja, agar nantinya remaja -remaja yang telah putus sekolah atau tidak
bersekolah lagi lebih mandiri dan dapat mengembangkan kemampuan mereka
meskipun dengan lulusan pendidikan yang rendah serta dapat meningkatkan taraf
ekonomi keluarga mereka.
2. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi berupa masukan kepada para remaja
dampak negatif dari perkawinan di usia muda dan sebagai bahan pertimbangan
kepada pasangan remaja yang ingin melaksanakan pernikahan usia muda.
3. Menjadi bahan informan bagi peneliti yang ingin mengadakan penelitian yang
I.4. Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan secara garis besarnya dapat dikelompokan ke dalam 6
(enam) bab,dengan urutan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian,
kerangka penelitian,defenisi konsep dan defenisi operasional.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan
simple, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian yang
berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti.
BAB V : ANALISA DATA
Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil
penelitian dan analisanya
BAB VI : PENUTUP
Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran atas penelitian yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Faktor Sosial Ekonomi 2.1.1. Pengertian Sosial Ekonomi
Kata sosial berasal dari kata “socius” yang artinya kawan (teman). Dalam hal ini
arti kawan bukan terbatas sebagai teman sepermainan, teman sekelas, teman sekampung
dan sebagainya. Yang dimaksud kawan disini adalah mereka (orang-orang) yang ada di
sekitar kita, yakni yang tinggal dalam satu lingkungan tertentu dan mempunyai sifat yang
saling mempengaruhi (Wahyuni, 1986 : 60).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala sesuatu yang
berkenaan dengan masyarakat (KBBI, 2002 : 1454). Sedangkan kata sosial menurut
Departemen Sosial adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai acuan dalam berinteraksi
antar manusia dalam konteks masyarakat atau komuniti, sebagai acuan berarti sosial
bersifat abstrak yang berisi simbol-simbol berkaitan dengan pemahaman terhadap
lingkungan, dan berfungsi untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan oleh
individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga dengan demikian, sosial
haruslah mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada satu kesatuan interaksi,
karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak dan kewajiban dari masing-masing
individu yang saling berfungsi satu dengan lainnya (http://www.depsos.go.id diakses pada
pukul 14.25 WIB, 18 April 2012).
Sedangkan istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu “oikos” yang artinya
cara mengatur rumah tangga. Ini adalah pengertian yang paling sederhana. Namun seiring
dengan perkembangan dan perubahan masyarakat, maka pengertian ekonomi juga sudah
lebih luas. Ekonomi juga sering diartikan sebagai cara manusia untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Jadi dapat dikatakan bahwa ekonomi bertalian dengan proses
pemenuhan keperluan hidup manusia sehari-hari (http://id.wikipedia.org/Ilmu_ekonomi,
diakses pada pukul 19.32 WIB, 19 April 2012).
Menurut istilah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekonomi berarti segala
sesuatu tentang azas-azas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta
kekayaan (seperti perdagangan, hal keuangan dan perindustrian) (KBBI, 2002 : 379). Dari
beberapa pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sosial ekonomi dapat diartikan
sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara
lain dalam sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Pemenuhan kebutuhan yang dimaksud berkaitan dengan penghasilan. Hal ini disesuaikan
dengan penelitian yang dilakukan.
Kehidupan sosial ekonomi harus di pandang sebagai sistem (sistem sosial) yaitu
satu keseluruh bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan dalam suatu
kesatuan. Kehidupan sosial adalah kehidupan bersama manusia atau kesatuan manusia
yang hidup dalam suatu pergaulan. Interaksi ini pertama sekali terjadi pada keluarga
dimana ada terjadi hubungan antara ayah, ibu dan anak. Dari adanya interaksi antara
anggota keluarga maka akan muncul hubungan dengan masyarakat luar. Pola hubungan
interaksi ini tentu saja di pengaruhi lingkungan dimana masyarakat tersebut bertempat
tinggal. Di dalam masyarakat pedesaan kita ketahui interaksi yang terjadi lebih erat
interaksi biasanya lebih dieratkan oleh status, jabatan atau pekerjaan yang dimiliki. Hal
ini menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial di dalam masyarakat.
Keberadaan seperti hal diatas mempengaruhi gaya hidup seseorang, tentu saja
termasuk dalam berperilaku dan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Seperti yang
dikatakan oleh beberapa ahli mengenai konsumsi dan gaya hidup. Konsumsi terhadap
suatu barang menurut Weber merupakan gambaran hidup dari kelompok atau status
tertentu (Kartono, 1992 : 137).
Melly. G. Tan mengatakan untuk melihat kedudukan sosial ekonomi adalah
pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan. Berdasarkan ini masyarakat itu dapat
digolongkan kedalam kedudukan sosial ekonomi rendah, sedang dan tinggi (Tan dalam
Koentjaraningrat, 1981 : 35).
1. Golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Yaitu masyarakat yang menerima
pendapatan lebih rendah dari keperluan untuk memenuhi tingkat hidup yang
minimal. Untuk memenuhi tingkat hidup yang minimal, mereka perlu
mendapatkan pinjaman dari orang lain. Karena tuntutan kehidupan yang keras,
kehidupan remajanya menjadi agresif. Sementara itu, orang tua yang sibuk
mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tidak sempat memberikan
bimbingan dan melakukan pengawasan terhadap perilaku putra-putrinya, sehingga
remaja cenderung dibiarkan menemukan dan belajar sendiri serta mencari
pengalaman sendiri.
2. Golongan masyarakat berpenghasilan sedang. Yaitu pendapatan yang hanya
3. Golongan masyarakat berpenghasilan tinggi. Yaitu selain dapat memenuhi
kebutuhan pokok, juga sebagian dari pendapatannya itu dapat ditabungkan dan
digunakan untuk kebutuhan yang lain. Remaja dalam golongan ini sering berada
dalam kemewahan yang berlebihan. Remaja dengan mudahnya mendapatkan
segala sesuatu. Membuatnya kurang menghargai dan menganggap sepele, yang
dapat menciptakan kehidupan berfoya-foya, sehingga anak dapat terjerumus
dalam lingkungan antisosial. Kemewahan membuat anak menjadi terlalu manja,
lemah secara mental, tidak mampu memanfaatkan waktu luang dengan hal-hal
yang bermanfaat. Situasi demikian menyebabkan remaja menjadi agresif dan
memberontak, lalu berusaha mencari kompensasi atas dirinya dengan melakukan
perbuatan yang bersifat melanggar.
2.2. Faktor Pendidikan 2.2.1 Defenisi Pendidikan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), pendidikan diartikan pemahaman
proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman sebagai
yang lebih tinggi mengenai obyek – obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan tersebut
diperoleh secara formal yang berakibat individu mempunyai pola pikir dan perilaku
sesuai dengan pendidikan yang telah diperolehnya.
Secara umum pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
dilihat tetapi labih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan
kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan
melewati generasi.
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khusunya di Indonesia yaitu :
1. Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan
Nasional, Dinas Pendidikan Daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.
Dalam hal ini, interfensi dari pihak – pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar
pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
2. Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umunya yang merupakan ikon pendidikan
dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
(http://www.kavie-design.indonesianforum.net).
Dalam pengertian yang sederhana dan umum, makna pendidikan sebagai usaha
manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi pembawaan baik jasmani
maupun rohani sesuai dengan nilai – nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai – nilai tersebut serta
mewariskannya pada generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan
kehidupan yang terjadi dalam suatu proses pendidikan atau dengan kata lain bahwa
pendidikan dapat diaartikan sebagai suatu hasil peradaban bangsa yang dikembangkan
atas dasar pandangan bangsa itu sendiri (nilai dan norma masyarakat) yang berfungsi
2.2.2. Tingkat Pendidikan
Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat
perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang
dikembangkan. Pendidikan di Indonesia mengenal tiga jenjang pendidikan, yaitu
pendidikan dasar (SD/MI/Paket A dan SLTP/MTs/Paket B), pendidikan menengah
(SMA/SMK/MA/Paket C), dan pendidikan tinggi. Meski tidak termasuk dalam jenjang
pendidikan, terdapat pula pendidikan anak usi dini, pendidikan yang diberikan sebelum
memasuki dasar. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk
mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan
pendidikan.
1. Pendidikan formal
Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselengarakan di sekolah – sekolah
pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai
dari pendidikan dasar, pendidikan pertama, pendidikan menengah sampai pendidikan
tinggi.
2. Pendidikan non formal
Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar, dan pendidikan lanjutan.
Pendidikan dasar mencakup pendidikan keaksaraan dasar, keaksaraan fungsional, dan
keaksaraan fungsional, dan keaksaraan lanjutan paling banyak ditemukan dalam
pendidikan usia dini (PAUD), Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA), maupun
Pendidikan Lanjut Usia. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) serta program paket A
(setara SD), paket B (setara B) merupakan pendidikan dasar. Pendidikan lanjutan
meliputi program paket C (setara SLTA), kursus, pendidikan vokasi, latihan
Pendidikan non formal mengenal pula Pusat Kegiatan Masyarakat (PKBM) sebagai
pangkalan program yang dapat berada di dalam kawasan setingkat atau lebih kecil
dari kelurahan/desa. PKBM berlaku untuk umum merupakan padanan dari
Community Learning Center (CLC) yang menjadi bagian komponen dari Community
Center.
2.3 Faktor OrangTua
2.3.1 Peran dan Fungsi OrangTua
Anak – anak dan remaja sangat memerlukan perhatian dan bimbingan dalam
menjalani masa remaja menuju masa depannya, sebuah masa yang selaku orangtua tidak
pernah tahu. Sepantasnyalah selaku orangtua memberikan bekal bekal kepada anak-anak
tersebut sehingga mereka dapat menjalani kehidupan dengan benar dan bahagia.
Berbagai masalah remaja yang muncul dewasa ini baik yang berhubungan dengan
perilaku seks, kecanduan obat dan kenakalan remaja lainnya disebabkan antara lain oleh
kurangnya perhatian dan bekal yang diterima oleh anak-anak dan remaja dari
orangtuanya, yang berawal dari masalah komunikasi antara ayah, ibu dan mereka.
Kebanyakan dari para orangtua merasa canggung dan kurang percaya diri untuk
mempersiapkan anak-anak mereka memasuki masa baligh atau dewasa karena
menganggap pembicaraan mengenai seks adalah tabu, sehingga segan membicarakannya
dan tidak tahu bagaimana cara memulai menyampaikannya.
Orangtua merupakan komponen keluarga yang terdiri dari Ayah dan Ibu, dan
merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah
keluarga. Orangtua merupakan guru yang paling utama ditemui oleh anak didalam
lingkungan masyrakat dan sebagainya. Artinya, orangtua memiliki tanggung jawab yang
lebih untuk mendidik, membimbing dan mngasuh anak – anak mereka untuk mencapai
tahapan yang mengantarkan anaknya sebagai bekal menuju kehidupan masyarakat yang
lebih luas lagi. Orangtua yang mengajarkan nilai – nilai yang terkandung di dalam
keluarganya kepada anak – anaknya dan memberi sanksi ketika anaknya melanggar
aturan di dalam keluarga.
Orangtua memiliki fungsi penting bagi anak di dalam sebuah keluarga, fungsi – fungsi
tersebut antara lain :
1. Fungsi Religius, artinya orangtua memiliki kewajiban untuk memperkenalkan dan
mengajak anak dan anggota lainnya kepada kehidupan beragama. Memberikan
penjelasan bahwa untuk melaksanakan fungsi ini, orangtua sebagai tokoh inti dalam
keluarga itu harus terlebih dahulu menciptakan iklim yang dapat religius dalam
lingkungan keluarga itu, yang dapat dihayati oleh seluruh anggota keluarga.
Orangtua merupakan komponen keluarga yang terdiri dari Ayah dan Ibu, dan
merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah
keluarga. Orangtua merupakan guru yang paling utama ditemui oleh anak didalam
keluarga sebelum si anak terjun ke dalam lingkungan yang lebih luas lagi, seperti
lingkungan masyrakat dan sebagainya. Artinya, orangtua memiliki tanggung jawab yang
lebih untuk mendidik, membimbing dan mngasuh anak – anak mereka untuk mencapai
tahapan yang mengantarkan anaknya sebagai bekal menuju kehidupan masyarakat yang
lebih luas lagi. Orangtua yang mengajarkan nilai – nilai yang terkandung di dalam
keluarganya kepada anak – anaknya dan memberi sanksi ketika anaknya melanggar
Orangtua memiliki fungsi penting bagi anak di dalam sebuah keluarga, fungsi – fungsi
tersebut antara lain :
2. Fungsi Religius, artinya orangtua memiliki kewajiban untuk memperkenalkan dan
mengajak anak dan anggota lainnya kepada kehidupan beragama. Memberikan
penjelasan bahwa untuk melaksanakan fungsi ini, orangtua sebagai tokoh inti dalam
keluarga itu harus terlebih dahulu menciptakan iklim yang dapat religius dalam
lingkungan keluarga itu, yang dapat dihayati oleh seluruh anggota keluarga.
3. Fungsi Edukatif, pelaksanaan fungsi edukatif di keluarga merupakan salah satu
tanggungjawab yang dipikul oleh orangtua. Sebagai salah satu unsur pendidikan
keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama bagi anak. Orangtua harus
mengetahui tentang pentingnya anak secara keseluruhan. Ditangan orangtuanyalah
masalah – masalah yang menyangkut anak, apakah dia akan tumbuh menjadi orang
yang suka merusak dan menyeleweng atau si anak akan tumbuh menjadi orang yang
baik.
4. Fungsi Protekrif, biasanya orangtua memberikan gambaran pelaksanaan fungsi
lingkungan, yaitu dengan cara melarang atau menghindarkan anak dari perbuatan –
perbuatan yang tidak diharapakan oleh orangtua, mengawasi atau membatasi
perbuatan anak dalam hal – hal tertentu, menganjurkan atau menyuruh mereka untuk
melakukan perbuatan – perbuatan yang diharapkan oleh orangtua mereka, mengajak
bekerja sama dan saling membantu, dan memberikan contoh dan teladan dalam hal –
hal yang diharapkan oleh orangtua.
5. Fungsi Sosialisasi, tugas orangtua dalam mendidik setiap anaknya tidak saja
mencakup mengembangkan pribadi, agar menjadi pribadi yang baik tetapi meliputi
itu perlu dilaksanakan fungsi sosialisasi itu berarti orangtua memiliki kedudukan
sebagai penghubung anak dengan kehidupan sosial dan norma - norma sosial dan
membutuhkan fasilitas yang memadai.
6. Fungsi Ekonomis, meliputi : pemberian nafkah, perencanaan serta pembelajarannya.
Keadaan ekonomi keluarga mempengaruhi pula harapan orangtua akan masa depan
anak – anak mereka serta harapan anak – anak itu sendiri. Orangtua harus dapat
mendidik anaknya agar dapat memberikan penghargaan yang tepat terhadap uang dan
pencariannya, diserta dengan pengertian kedudukan ekonomi keluarga secara nyata,
bila tahap perkembangan anak telah memungkinkan.
Berdasarkan dari penjelasan di atas mengenai fungsi orangtua terhadap anaknya
antara lain menanamkan kehidupan yang beragama, memberikan pendidikan dalam masa
perkembangan anak, terutama pada anak yang beranjak remaja, perlunya pendidikan
mengenai dunia remaja terhadap anak merupakan pendidikan yang paling mendasar yang
diberikan oleh orangtua kepada anaknya yang akan beranjak remaja, dengan begitu si
anak akan cenderung terbuka terhadap orangtua , orangtua juga berfungsi sebagai
penghubung dalam kehidupan sosial anak dan memberikan nafkah secara ekonomi demi
masa depan si anak.
2.4. Perkawinan
2.4.1. Definisi Penyesuaian Perkawinan
Penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi seseorang yang continue dengan
diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia anda (Calhoun & Acocella, 1995).
seseorang : tubuh, perilaku, dan pemikiran serta perasaaan diri sendiri adalah sesuatu
yang dihadapi individu setiap detik. Interaksi dengan orang lain, jelas berpengaruh pada
individu, sebagaimana individu juga berpengaruh terhadap orang lain. Interaksi dengan
dunia kita, penglihatan dan penciuman serta suara yang mengelilingi seseorang saat ia
menyelesaikan urusannya, mempengaruhi diri sendiri dan dunia atau lingkungannya.
Penyesuaian juga merupakan suatu proses psikologis dimana seseorang mengatur atau
memenuhi keinginan dan tantangan dan kehidupan sehari-hari (Witten & Lloyd, 2006).
Salah satu bentuk penyesuaian diri adalah penyesuaian terhadap perkawinan.
Penyesuaian perkawinan adalah suatu ”state” dimana seluruh perasaan bahagia
dan kepuasan suami dan istri terhadap pernikahan mereka dan antara mereka berdua.
Pasangan yang menikah memiliki banyak harapan, yang terkadang realistis tapi ada yang
tidak realistis. Penyesuaian pernikahan menuntut adanya kematangan dan tumbuh serta
berkembangnya pengertian diantara pasangan (Hashmi, Khurshid, Hassan, 2006).
Laswell dan Laswell mengatakan konsep dari penyesuaian pernikahan adalah dua
individu belajar untuk saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan.
Penyesuaian pernikahan juga sebuah proses yang panjang karena setiap orang dapat
berubah sehingga setiap waktu masing-masing pasangan harus melakukan penyesuaian
pernikahan. Hoult juga mengatakan bahwa penyesuaian pernikahan merupakan
perubahan sikap dan tingkah laku pada masing-masing pasangan suami istri yang
menguntungkan untuk memenuhi harapan atau tujuan pernikahan (Wahyuningsih,
Berdasarkan beberapa pengertian penyesuaian perkawinan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan merupakan poses interaksi dan sejumlah
perasaan suami dan istri terhadap pernikahan mereka, menyesuaikan diri, dan
mengembangkan serta menumbuhkan interaksi dan pencapaian kepuasan yang
maksimum terhadap hubungan yang mereka bentuk.
2.4.2. Landasan Hukum Perkawinan
Adapun yang menjadi dasar hukum perkawinan adalah :
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
a. Pasal 1 :
Perkawinan adalah ikatan suami istri lahir-bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa).
Sebuah perkawinan diijinkan apabila seorang pria telah mencapai umur 19
tahun dan seorang wanita telah mencapai umur 16 tahun.
a. Pasal 2 :
(1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya.
(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Selain Undang-Undang diatas, Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1992 tentang
perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, dapat juga
3. Untuk menindak lanjuti pasal (1) UU No. 1 Tahun 1974, Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional Pusat yang telah bekerjasama dengan MOU bahwa
Usia Pertama Perkawinan adalah apabila seorang pria telah mencapai umur 25 tahun
dan seorang wanita telah mencapai umur 20 tahun.
2.4.3. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri dalam Perkawinan
Penyesuaian diri dalam perkawinan memiliki beberapa area yang akan dilalui,
seperti agama, kehidupan sosial, teman yang menguntungkan, hukum, keuangan, dan
seksual. Hurlock (1999) juga mengatakan bahwa dari sekian banyak masalah
penyesuaian diri dalam pernikahan, ada empat hal pokok yang paling umum dan paling
penting dalam menciptakan kebahagiaan perkawinan. Empat hal itu adalah :
1. Penyesuaian dengan pasangan
Masalah yang paling penting yang pertama kali harus dihadapi saat seseorang
memasuki dunia pernikahan adalah penyesuaian dengan pasangan (istri maupun
suaminya). Semakin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal antara pria dan
wanita yang diperoleh dimasa lalu, makin besar pengertian dan wawasan sosial mereka
sehingga memudahkan dalam penyesuaian dengan pasangan. Hal ini juga terjadi pada
remaja putri yang menikah dini.
Hurlock (1999) juga mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi
a. Konsep pasangan ideal.
Pada saat memilih pasangan, baik pria maupun wanita sampai pada waktu tertentu
dibimbing oleh konsep pasangan ideal yang dibentuk selama masa dewasa. Semakin
seseorang terlatih menyesuaikan diri terhadap realitas maka semakin sulit penyesuaian
yang dilakukan terhadap pasangan.
b. Pemenuhan kebutuhan
Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus memenuhi kebutuhan
yang berasal dari pengalaman awal. Apabila diperlukan pengenalan, pertimbangan
prestasi dan status sosial sosial agar bahagia, pasangan harus membantu pasangan lainnya
untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
c. Kesamaan latar belakang
Semakin sama latar belakang suami dan istri maka semakin mudah untuk saling
menyesuaikan diri. Bagaimanapun juga apabila latar belakang mereka sama, setiap orang
dewasa mencari pandang unik tentang kehidupan. Semakin berbeda pandangan hidup ini,
maka semakin sulit penyesuaian diri dilakukan.
d. Minat dan kepentingan bersama
Kepentingan yang sama mengenai suatu hal yang dapat dilakukan pasangan
cenderung membawa penyesuaian yang baik dari pada kepentingan bersama yang sulit
e. Keserupaan nilai
Pasangan yang menyesuaikan diri dengan baik mempunyai nilai yang lebih serupa
daripada mereka yang penyesuaian dirinya buruk.
f. Konsep peran
Setiap lawan pasangan mempunya konsep yang pasti mengenai bagaimana
seharusnya peranan seorang suami dan istri, atau setiap individu mengharapkan
pasangannya memainkan perannya. Jika harapan terhadap peran tidak terpenuhi maka
akan mengakibatkan konflik dan penyesuaian yang buruk.
g. Perubahan dalam pola hidup
Penyesuaian terhadap pasangannya berarti mengorganisasikan pola kehidupan,
merubah persahabatan dan kegiatan-kegiatan sosial, serta merubah persyaratan pekerjaan,
terutama bagi seorang istri. Penyesuaian-penyesuaian ini seringkali diikuti oleh konflik
emosional.
2. Penyesuaian seksual
Masalah penyesuaian utama yang kedua dalam pernikahan adalah penyesuaian
seksual, masalah ini adalah masalah yang paling sulit dalam pernikahan dan salah satu
penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan.
Permasalahan biasanya dikarenakan pasangan belum mempunyai pengalaman yang cukup
dan tidak mampu mengendalikan emosi mereka. Terdapat beberapa faktor yang
a. Perilaku terhadap seks
Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara pria dan wanita menerima
informasi seks selama masa anak-anak dan remaja. Jika perilaku yang tidak
menyenangkan dilakukan maka akan sulit sekali untuk dihilangkan bahkan tidak mungkin
dihilangkan.
b. Pengalaman seks masa lalu
Cara orang dewasa bereaksi terhadap masturbasi, petting, dan hubungan suami
istri sebelum menikah, ketika mereka masih muda dan cara pria dan wanita merasakan itu
sangat mempengaruhi perilakunya terhadap seks. Apabila pengalaman awal seorang
wanita tidak menyenangkan maka hal ini akan mewarnai sikapnya terhadap seks.
c. Dorongan seksual
Dorongan seksual berkembang lebih awal pada pria daripada wanita dan
cenderung tetap demikian, sedang wanita muncul secara periodik. Dengan turun naik
selama siklus menstruasi. Variasi ini mempengaruhi minat dan kenikmatan akan seks,
yang kemudian mempengaruhi penyesuaian seksual.
d. Pengalaman seks marital awal
Sikap terhadap penggunaan alat kontrasepsi,dan pengaruh vasektomi.
3. Penyesuaian keuangan
Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadappenyesuaian
diri individu dalam pernikahan. Istri yang berusia muda atau masih remaja cenderung
keluarga. Suami juga terkadang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan
keuangan, khususnya jika istrinya bekerja di luar rumah dan berhenti setelah memiliki
anak pertama sehingga mengurangi pendapatan keluarga.
4. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan
Setiap individu yang menikah secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga
baru. Mereka itu adalah anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda, mulai dari
bayi hingga kakek atau nenek dan terkadang dengan latar belakang yang berbeda, tingkat
pendidikan yang berbeda, budaya dan latar belakang sosial yang berbeda. Penyesuaian
diri dengan pihak keluarga pasangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Stereotip tradisional mengenai ibu mertua
Stereotip yang secara luas diterima masyarakat ”Ibu mertua yang representatif”
dapat menimbulkan perangkat mental yang tidak menyenangkan bahkan sebelum
perkawinan. Stereotip yang tidak menyenangkan mengenai orang usia lanjut seperti
cenderung ikut campur tangan dapat masalah bagi keluarga pasangan.
b. Keinginan untuk mandiri
Orang yang menikah muda cenderung menolak berbagai saran dan petunjuk dari
orang tua mereka, walaupun mereka menerima bantuan keuangan, dan khususnya mereka
menolak bantuan dari keluarga pasangan.
c. Keluargaisme
Penyesuaian dan perkawinan akan lebih pelik apabila salah satu pasangantersebut
Apabila pasangan terpengaruh oleh keluarga, apabila seseorang anggota keluarga
berkunjung dalam waktu yang lama dan hidup dengan mereka untuk seterusnya.
d. Mobilitas sosial
Individu dewasa muda yang status sosialnya meningkat diatas anggota keluarga
atau diatas status keluarga pasangannya mungkin saja tetap membawa mereka dalam latar
belakangnya. Banyak orangtua dan anggota keluarga sering bermusuhan dengan pasangan
muda.
e. Anggota keluarga berusia lanjut
Merawat anggota keluarga berusia lanjut merupakan faktor yang sangat sulit
dalam penyesuaian pekawinan karena sikap yang tidak menyenangkan terhadap orangtua
dan urusan keluarga khususnya bila dia juga mempunyai anak-anak.
f. Bantuan keuangan untuk keluargapasangan
Apabila pasangan muda harus membantu atau memikul tanggung jawab, bantuan
keuangan bagi pihak keluarga pasangan, hal itu sering membawa hubungan keluarga yang
tidak baik. Hal ini dikarenakan anggota keluarga pasangan dibantu keuangannya, menjadi
marah dan tersinggung dengan tujuan agar diperoleh bantuan tersebut.
2.4.4. Kondisi Yang Menyumbang Kesulitan Dalam Penyesuaian Perkawinan
Hurlock (1999) mengemukakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan
1. Persiapan yang terbatas untuk pernikahan
Penyesuaian seksual saat ini terlihat lebih mudah dilakukan dibandingkan masa
lalu, dikarenakan banyaknya informasi namun kebanyakan pasangan suami istri hanya
menerima sedikit persiapan dibidang keterampilan domestik, mengasuh anak, dan
manajemen uang.
2. Perubahan peran dan status sosial menjadi suami atau istri.
Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria dan wanita
serta konsep yang berbeda tentang peran membuat penyesuaian dalam pernikahan
semakin sulit saat ini dibandingkan pada masa lalu.
3. Pernikahan dini
Pernikahan dini akan lebih banyak memerlukan proses penyesuaian diri masing-masing
pasangan karena pada umumnya di usia ini individu belum terlalu matang dalam hal
emosional, ekonomi, dan seksual.
4. Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan.
Orang dewasa yang belajar perguruan tinggi dengan pengalaman yang sedikit
cenderung memiliki konsep yang tidak realistis mengenai makna pernikahan dengan
pekerjaan, pembelanjaan uang, atau perubahan pola hidup.
5. Pernikahan campuran
6. Pacaran yang dipersingkat.
Periode masa pacaran yang singkat pada masa sekarang dibandingkan masa lalu,
sehingga pasangan hanya punya sedikit waktu untuk memecahkan masalah tentang
penyesuaian sebelum melangsungkan pernikahan.
7. Romantika perkawinan
Harapan yang berlebihan mengenai tujuan dan hasil pernikahan sering membawa
kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab
pernikahan.
2.4.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Pernikahan
Burgess & Locke (1960), menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor dasar yang
dapat digunakan untuk mengetahui pernyesuaian pernikahan, yaitu :
1. Karakteristik kepribadian
Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian perkawinan dan
karakteristik kepribadian. Berikut ini 6 karakteristik kepribadian yang dapat
menyebabkan ketidak bahagian dalam pernikahan yaitu :
a. Individu yang memiliki kecenderungan pesimis yang lebih besar dari pada sikap
optimis.
b. Individu yang memiliki kecenderungan neurotis yang ditampilkan dengan ciri-ciri
c. Individu yang memiliki kecenderungan tingkah laku dominan (menguasai) terhadap
orang lain (suami/istri) dan keras kepala.
d. Individu yang selalu mencela dan tidak memperhatikan orang lain(suami / istri).
e. Individu yang kurang percaya diri.
f. Individu yang merasa sanggup memenuhi kebutuhan sendiri yang ditunjukkan dengan
tingkah laku menyendiri bila menghadapi masalah, menghindari dan menolak nasehat
orang lain.
Apabila antara suami istri tidak ada rasa saling percaya akan membuat kehidupan
pernikahan menjadi tidak bahagia. Faktor keterbukaan antara suami dan istri cukup
penting dalam penyesuaian pernikahan. Saling terbuka memudahkan proses penyesuaian
dalam pernikahan, sedangkan saling menutup diri (tidak terbuka) antara suami dan istri
cenderung menyulitkan pernikahan. Jika suami istri menyelesaikan masalah sendiri atau
tidak saling terbuka menyebabkan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan emosional
satu sama lain.
2. Latar belakang Budaya
Persamaan latar belakang budaya antara suami dan istri merupakan hal yang baik,
sedangkan jika terdapat perbedaan latar belakang yang cukup besar maka hal tertentu ini
dapat menyulitkan penyesuaian dalam pernikahan. Suami dan istri dengan latar belakang
budaya yang berbeda akan mengalami kesulitan berkomunikasi. Beberapa penelitian
(1) Tingkat budaya orang tua suami lebih berpengaruh daripada orang tua istri. Umumnya
pria boleh menikahi wanita dengan kondisi ekonomi dan status sosial lebih rendah.
Sedangkan wanita tidak boleh menikahi pria yang memiliki tingkat ekonomi dan
status sosial lebih rendah darinya.
(2) Perbedaan budaya antara suami dan istri diasumsikan akan mengakibatkan
pernikahan yang tidak sukses.
3. Pola Respon
Secara umum keromantisan dihubungkan dengan adanya saling ketertarikan. Hal
ini merupakan kebahagian terbesar dalam pernikahan. Gairah cinta ini tidak dibatasi oleh
perbedaan budaya dan kelas sedangkan gambaran yang membosankan apabila cinta
berkembang tanpa adanya keakraban dan persahabatan. Hal ini tidak tergantung pada
kecantikan, daya tarik seks, atau ciri fisik lain, tetapi pada keserasian, ketertarikan, dan
hubungan yang akrab.
4. Hasrat Seks
Data statistik yang didapat Terman dan Locke dari penelitian yang dilakukan oleh
Burgess & Cottrel, serta beberapa penelitian lain memberikan informasi bahwa terdapat
hubungan antara perilaku seksual dengan penyesuaian pernikahan. Menurut Walgito
(1984) adanya saling pengertian antara suami dan istri terhadap dorongan seks,
pasangannya akan menghindarkan ketidakpuasan dalam melakukan hubungan seksual.
sedangkan bila pasangannya memiliki dorongan seksual yang tidak seimbang dan tidak
dapat dimengerti oleh kedua belah pihak, hal tersebut akan menimbulkan persoalan.
lebih besar mempengaruhi penyesuaian seksual dalam perkawinan dibandingkan dengan
faktor biologis.
2.4.6. Pola Penyesuaian Perkawinan
Landis dan landis (dalam wahyuningsih, 2002) mengemukakan tiga pola
penyesuaian perkawinan berdasarkan cara –cara memecahkan konflik, yaitu :
1. Kompromi (compromise), yang berarti bahwa dalam memecahkan konflik pasangan, suami istri melakukan kesepakatan-kesepakatan yang memuaskankedua belah pihak.
Suami istri berusaha untuk menyatukan pendapat melalui kesepakatan sehingga
meraih tingkat penyesuaian yang tinggi yang kemudian menumbuhkan rasa saling
percaya dan rasa aman.
2. Akomodasi (accomodate), pada pola ini pasangan berada pada posisi bertolak belakang, memiliki karakteristik yang bertolak belakang, tetapi menerima kenyataan
bahwa ada perbedaan. Pasangan suami istri melakukan akomodasi untuk mencapai
keseimbangan dengan mentoleransi tingkah laku atau hal-hal lain dari pasangannya
yang berbeda dengannya. Selama proses akomodasi pasangan dapat melakukan
diskusi untuk meraih cara pandang yang menguntungkan kedua belah pihak.
3. Permusuhan (hostility), pada pola ini pasangan suami-istri berusaha untuktetap mempertahankan pendapat masing-masing dengan segala cara. Pasangan sering
bertengkar mengenai berbagai hal yang berbeda. Pasangan suami istri tidak dapat
menyelesaikan perbedaan yang ada dengan cara yang memuaskan, sehingga
2.5. Remaja
2.5.1. Pengertian Remaja
Menurut Papalia (2004) remaja adalah transisi perkembangan antara
masakanak-kanak dan masa dewasa yang meliputi perubahan secara fisik, kognitif, dan perubahan
sosial. Lahey (2004) menyatakan bahwa remaja adalah periode yang dimulai dari
munculnya pubertas sampai pada permulaan masa dewasa. Hurlock (1999),
mengemukakan istilah Adolescence atau remaja yang berasal dari bahasa latin adolescere
yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, seperti yang
dipergunakan saat ini juga mempunyai arti yang luas, mencakup kematangan mental,
emosional, social, dan fisik.
Menurut Piaget dalam Hurlock 1999) secara psikologis masa remaja adalah usia
dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Lazimnya masa remaja
dianggap mulai ada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir sampai ia
menjadi matang secara hukum. Batasan remaja menurut WHO (dalam Sarwono, 2003)
lebih konseptual .Dalam definisi ini dikemukakan 3 kriteria yaitu biologi, psikologi, dan
sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut :
Remaja adalah suatu masa dimana :
1. Individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual
sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
2. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identitas dari kanak-kanak
menjadi dewasa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan masa remajamerupakan
masa dimana individu mengalami transisi perkembangan dari masa kanak-kanak menuju
dewasa, kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik, usia dimana individu mulai
berhubungan dengan masyarakat, dan telah mengalami perkembangan tanda-tanda
seksual, pola psikologis, dan menjadi lebih mandiri.
2.5.2. Pembagian Masa Remaja
Menurut Monks (2001) batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21
tahun. Monks membagi batasan usia ini dalam tiga fase, yaitu :
1. Fase Praremaja atau remaja awal ( 12 - 15 tahun )
Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak – anak dan
berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang mandiri. Fokus dari tahap ini adalah
penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan
teman sebayanya. Masa praremaja biasanya berlangsung hanya dalam waktu yang relatif
singkat. Masa ini ditandai dengan gejaknya seperti tidak tenang, kurang suka bekerja,
pesimistik dan sebagaianya. Secara garis besar sifat-sifat negatif tersebut dapat diringkas,
yaitu : negatif dalam prestasi, baik prestasi jasmani maupun prestasi mental, dan negatif
dalam sikap sosial, baik dalam bentuk menarik diri dalam masyarakat maupun dalam
bentuk agresif terhadap masyarakat.
2. Fase remaja Madya atau pertengahan ( 15 - 18 tahun )
Masa ini ditandai dengsn berkembangnya kemampuan berfikir individu yang baru.
Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah lebih mampu
mengarahkan diri sendiri. Pada masa ini, remaja mulai mengembangkan kematangan