• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA PERKAWINAN USIA MUDA DIKALANGAN REMAJA DI DESA TEMBUNG

KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG

OLEH :

SITI YULI ASTUTY 080902027

Skripsi Ini Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Mendapat Gelar Sarjana Sosial

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Nama : Siti Yuli Astuty NIM : 080902027

ABSTRAK

(Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 101 halaman, 12 tabel, 18 daftar pustaka) Skripsi ini berjudul “Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda dikalangan remaja dan untuk

mendiskripsikan bentuk-bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda. Hasil dari

penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukkan bagi para orang tua, agar tidak

tergesa-gesa untuk segera menikahkan anak-anak pada usia remaja. Karena usia remaja

belum mampu menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan rumah tangga secara

baik. Para remaja masih perlu bekal yang banyak baik bekal kedewasaan fisik, mental

maupun sosial ekonomi, ilmu pengetahuan umum, agama, pengalaman-pengalaman hidup

dalam kehidupan berumah tangga.

Penelitian dilakukan di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli

Serdang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dimana informan dalam

penelitian ini adalah remaja yang telah menikah di usia muda yaitu sebanyak 3 orang dan

orangtua dari informan. Teknik pengumpulan data dengan dengan studi pustaka, studi

lapangan, wawancara mendalam dan observasi. Data yang didapat di lapangan kemudian

dianalisis dan disusun dalam draft tanya jawab antara peneliti yang dijelaskan secara

kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa faktor lingkungan masyarakat

dan orangtua cukup berpengaruh terhadap terhadap pembentukan konsep diri pada anak,

karena si anak melihat kalau ibunya banyak yang juga melakukan pernikahan dini. Faktor

tingkat ekonomi orangtua yang rendah banyak menyebabkan orangtua menikahkan

anaknya di usia yang masih muda.

(3)

SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE UNIVERSITY OF NORTHERN SUMATRA

Name : Siti Yuli Astuty NIM : 080902023

ABSTRACT

(This thesis consists of 6 chapters, 101 pages, 12 tables, 18 references)

This thesis is entitled "Factors Causing Occurrence Amongst Young Age Teens Marriage

in the Village District Tembung Percut Sei Tuan Deli Serdang regency". This study

aimed to describe the factors that lead to early marriage among teenagers and to describe

the forms of family upbringing young couples. Results from this study are expected to be

material for parents to enter, so do not rush to immediately marry children in adolescence.

Because teens have not been able to face and resolve domestic problems as well. The

teens still need to stock a lot of good stock of physical maturity, mental and social

economics, general science, religion, life experiences in married life.

The study was conducted in the village of Sei Tuan Tembung Percut District Deli

Serdang regency. This research is descriptive, where the informants in this study were

adolescents who had been married at a young age as many as 3 people and parents of

informants. Data collection techniques to the study of literature, field studies, in-depth

interviews and observation. The data obtained in the field and then analyzed and

compiled in a draft of questions and answers between researchers described qualitatively.

The results show conclusively that the environmental factors and parental considerable

influence on the formation of self-concept in children, because the child saw her mother

who also did a lot of early marriage. Factors parents of low economic level caused many

parents marry off their children at a young age.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat

dan karunia-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, yang

berjudul “Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda

Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli

Serdang”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat dalam menempuh Ujian

Komprehensif untuk mencapai gelar Sarjana Sosial pada Departemen Ilmu Kesejahteraan

Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis menyadari akan sejumlah kekurangan dan

kelemahan, untuk itu penulis membuka diri untuk saran dan kritik yang dapat

membangun guna perbaikan di masa yang akan mendatang. Pada kesempatan ini, penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam

penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Hairani Siregar, S.Sos. M.SP, selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan

Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Husni Thamrin, S. Sos. M.SP, selaku dosen pembimbing yang telah

bersedia membimbing dan memberi dukungan saya dengan sebaik mungkin dalam

penyelesaian skripsi ini.

(5)

4. Terimakasih kepada seluruh staff pengajar di Departemen Ilmu Kesejahteraan

Sosial Fisip USU untuk segala ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama

perkuliahan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fisip USU.

5. Staf Administrasi Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, terutama buat Ibu

Juraidah Hanum, Kak Debby, yang telah banyak membantu peneliti selama kuliah

di Ilmu Kesejahteraan Sosial.

6. Kepada Bapak Drs. Pahrim Siregar selaku Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)

Percut Sei Tuan, yang telah memberikan informasi guna untuk melengkapi

data-data yang dibutuhkan peneliti.

7. Terima kasih Buat Kedua Orangtua saya, Bapak Ngatmin dan Ibu Sugiarni terima

kasih telah mendidik dan membimbing saya sampai sekarang. Terima kasih Pak

terima kasih Ma doamu selalu menyertaiku dalam setiap langkah kehidupanku.

Semua yang kalian lakukan tidak mungkin akan dapat saya balas, tapi saya akan

selalu melakukan yang terbaik untuk kalian berdua dan akan selalu membuat

kalian bangga.

8. Kemudian terima kasih buat adik-adik saya tersayang Nabila Husna dan

Muhammad Haris, terima kasih kalian telah menjadi penyemangat kakak dalam

menyelesaikan skripsi ini.

9. Buat Aminur Rasyid Matondang, ST, yang tidak bosan-bosanya menasehati saya

dalam menyelesaikan skripsi saya ini, terima kasih atas segala pengorbanan yang

(6)

10.Buat Teman-Teman di stambuk 2008, vera, lisa, ririn, isna, rizka, ari, terimakasih

ya atas semangat yang kalian berikan, kenangan bersama kalian tidak akan pernah

saya lupakan.

11.Terima kasih Buat Bapak/Ibu serta adik-adik remaja putri yang telah sudi kiranya

menjadi informan guna untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan peneliti

selama penelitian.

Semoga Allah SWT membalas dan melimpahkan rahmat serta karunia-Nya atas

segala bantuan dan dukungan baik moril maupun materil yang telah diberikan. Peneliti

menyadari sepenuhnya bahwa skripsi masih banyak kekurangan dan masih jauh dari

kesempurnaan, Untuk itu, peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun dari semua pihak demi perbaikan dan kesempurnaan tulisan ini. Penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2013

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ...viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 7

1.4 Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor Sosial Ekonomi ... 9

2.1.1 Pengertian Sosial Ekonomi ... 9

2.2 Faktor Pendidikan ... 12

2.2.1 Definisi Pendidikan ... 12

(8)

2.3 Faktor Orangtua ... 15

2.3.1 Peran dan Fungsi Orangtua ... 15

2.4 Perkawinan ... 18

2.4.1 Defenisi Penyesuaian Perkawinan ... 18

2.4.2 Landasan Hukum Perkawinan ... 20

2.4.3 Bentu-bentuk Penyesuaian Diri Dalam Perkawinan ...21

2..4.4 Kondisi yang Menyumbang Kesulitan Dalam Penyesuaian Perkawinan.... 26

2.4.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Pernikahan... 28

2.4.6 Pola Penyesuain Perkawinan ... 31

2.5 Remaja... 32

2.5.1 Pengertian Remaja ... 32

2.5.2 Pembagian Masa Remaja ... 33

2.5.3 Ciri-ciri remaja yang Melakukan Perkawinan Usia Muda ... 35

2.5.4 Tugas-tugas Perkembangan Remaja ... 36

2.6 Pernikahan Dini ... 38

2.6.1 Defenisi Perkawinan Dini ... 38

2.6.2 Alasan Menikah...39

2.6.3 Pengaruh Faktor Kesiapan Menikah Terhadap Penyesuain Pernikahan ... 40

2.6.4 Peranan Menikah Dalam Pernikahan ... 43

2.6.5 Penyebab Pernikahan Dini ... 46

(9)

2.6.7 Dinamika Penyesuaian Pernikahan Remaja Putri yang Melakukan

pernikahan dini ... 51

2.7 Defenisi Konsep dan Definisi Operasiona ... 54

2.7.1 Defenisi Konsep ...54

2.7.2 Definisi Operasional ... 55

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian ... 57

3.2 Lokasi Penelitian ... 57

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 57

3.4 Teknik Penentuan Informan ... 59

3.5 Teknik Analisis Data ... 59

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Desa Tembung ... 60

4.2 Keadaan Penduduk ... 62

4.2.1 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk ... 62

4.2.2 KelompokPenduduk Berdasarkan Kelompok Usia ... 62

4.2.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 64

4.2.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 64

4.2.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan ... 65

4.2.6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa ... 66

4.3 Sarana dan Prasarana ... 68

(10)

4.3.2 Sarana Ibadah ... 69

4.3.3 Prasarana Ekonomi ... 70

4.3.4 Prasarana Kesehatan ... 71

4.4 Program KB di Desa Tembung ... 72

BAB V ANALISIS DATA 5.1 Deskripsi Kriteria Informan ... 76

5.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 79

5.2.1 Faktor Orang Tua dalam Pembentukan Konsep Diri Remaja yang Menikah Dini ... 79

5.2.2 Faktor Kelompok Rujukan dalam Pembentukan Konsep Diri Remaja yang MenikahDini ... 83

5.2.3 Konsep Diri Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei tuan Kabupaten Deli Serdang yang Menikah Muda ... 87

5.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 95

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 98

6.2 Saran ... 99

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Kelompok Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia ... 62

Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 64

Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 64

Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan ... 65

Tabel 4.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa ... 66

Tabel 4.6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 67

Tabel 4.7 Sarana Pendidikan ... 68

Tabel 4.8 Sarana Tempat Ibadah ... 69

Tabel 4.9 Prasarana Ekonomi ... 70

Tabel 4.10 Prasarana Kesehatan ... 71

Tabel 4.11 Prasarana Olahraga ... 72

(12)

DAFTAR GAMBAR

(13)

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Nama : Siti Yuli Astuty NIM : 080902027

ABSTRAK

(Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 101 halaman, 12 tabel, 18 daftar pustaka) Skripsi ini berjudul “Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda dikalangan remaja dan untuk

mendiskripsikan bentuk-bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda. Hasil dari

penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukkan bagi para orang tua, agar tidak

tergesa-gesa untuk segera menikahkan anak-anak pada usia remaja. Karena usia remaja

belum mampu menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan rumah tangga secara

baik. Para remaja masih perlu bekal yang banyak baik bekal kedewasaan fisik, mental

maupun sosial ekonomi, ilmu pengetahuan umum, agama, pengalaman-pengalaman hidup

dalam kehidupan berumah tangga.

Penelitian dilakukan di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli

Serdang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dimana informan dalam

penelitian ini adalah remaja yang telah menikah di usia muda yaitu sebanyak 3 orang dan

orangtua dari informan. Teknik pengumpulan data dengan dengan studi pustaka, studi

lapangan, wawancara mendalam dan observasi. Data yang didapat di lapangan kemudian

dianalisis dan disusun dalam draft tanya jawab antara peneliti yang dijelaskan secara

kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa faktor lingkungan masyarakat

dan orangtua cukup berpengaruh terhadap terhadap pembentukan konsep diri pada anak,

karena si anak melihat kalau ibunya banyak yang juga melakukan pernikahan dini. Faktor

tingkat ekonomi orangtua yang rendah banyak menyebabkan orangtua menikahkan

anaknya di usia yang masih muda.

(14)

SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE UNIVERSITY OF NORTHERN SUMATRA

Name : Siti Yuli Astuty NIM : 080902023

ABSTRACT

(This thesis consists of 6 chapters, 101 pages, 12 tables, 18 references)

This thesis is entitled "Factors Causing Occurrence Amongst Young Age Teens Marriage

in the Village District Tembung Percut Sei Tuan Deli Serdang regency". This study

aimed to describe the factors that lead to early marriage among teenagers and to describe

the forms of family upbringing young couples. Results from this study are expected to be

material for parents to enter, so do not rush to immediately marry children in adolescence.

Because teens have not been able to face and resolve domestic problems as well. The

teens still need to stock a lot of good stock of physical maturity, mental and social

economics, general science, religion, life experiences in married life.

The study was conducted in the village of Sei Tuan Tembung Percut District Deli

Serdang regency. This research is descriptive, where the informants in this study were

adolescents who had been married at a young age as many as 3 people and parents of

informants. Data collection techniques to the study of literature, field studies, in-depth

interviews and observation. The data obtained in the field and then analyzed and

compiled in a draft of questions and answers between researchers described qualitatively.

The results show conclusively that the environmental factors and parental considerable

influence on the formation of self-concept in children, because the child saw her mother

who also did a lot of early marriage. Factors parents of low economic level caused many

parents marry off their children at a young age.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan

pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang

diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga atau

rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini

dimaksudkan bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak

boleh berakhir begitu saja. Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa

dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di

desa atau di kota. Usia perkawinan yang terlalu muda mengakibatkan meningkatnya

kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggungjawab dalam kehidupan

berumah tangga bagi suami-istri.

Usia perkawinan yang masih muda bagi perempuan menjadi refleksi perubahan

sosial ekonomi. Pergeseran ini tidak hanya berpengaruh terhadap potensi kelahiran tetapi

juga terkait dengan peran dalam pembangunan bidang pendidikan dan ekonomi.

Sebagaimana diketahui bahwa jumlah remaja umur 10-19 tahun di Indonesia terdapat 43

juta atau 19,61% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 220 juta, sekitar 1 juta remaja

pria (5%) dan 200 ribu remaja wanita (1%) menyatakan secara terbuka bahwa mereka

pernah melakukan hubungan seks. Sedangkan jumlah penduduk di Provinsi Sumatera

Utara sebanyak 12.982.204 jiwa, mencakup mereka yang bertempat tinggal didaerah

perkotaan sebanyak 6.382.672 jiwa (49,16%) dan di daerah pedesaan sebanyak 6.599.532

(16)

Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan BPS Sumut menyebutkan 10

sampai 11 % wanita usia subur (WUS) menikah di usia 16 tahun pada 2010, dan menurut

keterangan dari BPS Sumut sendiri paling tidak, ada 47,79% perempuan dikawasan

pedesaan kawin pada usia dibawah 16 tahun, sementara diperkotaan besarnya mencapai

21,75% pada tahun 2011. Dari kantor kementerian agama menyebutkan bila di tahun

2006 kasus pernikahan usia dini sebanyak 19 kasus, dan meningkat menjadi 42 kasus di

tahun 2007, serta melonjak lagi menjadi 68 kasus di tahun 2008, hingga desember 2010

diperkirakan maksimal terjadi 50 kasus perawinan di usia dini pada remaja.

Dalam UU No. 1 tahun 1974, pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan

hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 dan pihak wanita sudah

mencapai umur 16 tahun, usulan perubahan pada pasal 7 tahun 1974 ayat (1) perkawinan

dapat dan dilakukan jika pihak laki-laki dan perempuan berusia minimal 19 tahun, ayat

(2) untuk melangsungkan pernikahan masing-masing calon mempelai yang belum

mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin kedua orang tua, sesuai dengan

kesepakatan pihak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

yang telah melakukan kerjasama dengan MOU yang menyatakan bahwa Usia Perkawinan

Pertama di izinkan apabila pihak pria mencapai umur 25 tahun dan wanita mencapai

umur 20 tahun.

Namun dalam kenyataannya masih banyak kita jumpai perkawinan pada usia

muda atau di bawah umur, padahal perkawinan yang sukses membutuhkan kedewasaan

tanggung jawab secara fisik maupun mental, untuk bisa mewujudkan harapan yang ideal

dalam kehidupan berumah tangga. Peranan orang tua sangat besar artinya bagi psikologis

anak-anaknya. Mengingat keluarga adalah tempat pertama bagi tumbuh perkembangan

(17)

setiap keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya perkawinan di

usia muda dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang mendorong mereka untuk

melangsungkan perkawinan di usia muda.

Terjadinya perkawinan usia muda di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan

Kabupaten Deli Serdang ini mempunyai dampak tidak baik kepada mereka yang telah

melangsungkan pernikahan juga berdampak pada anak-anak yang dilahirkannya serta

masing-masing keluarganya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua

pekawinan di usia muda berdampak kurang baik bagi sebuah keluarga karena sedikit dari

mereka yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda dapat mempertahankan dan

memelihara keutuhannya sesuai dengan tujuan dari perkawinan itu sendiri.

Berdasarkan fakta yang ada bahwa pola asuh demokratis lebih mendorong anak

menjadi mandiri dan berprestasi di bandingkan dengan anak diasuh dengan cara otoriter.

Hasil pola asuh pada pasangan muda ini untuk masing-masing pengasuh adalah pola asuh

demokratik. Dengan pola asuh demokratik ini orang tua tidak mengekang pada

anak-anaknya dan memaksakan kehendaknya pada anak-anak-anaknya, sebaliknya mereka

memberikan kepercayaan penuh terhadap anak-anaknya untuk bisa menjalani kehidupan

dimasa yang akan datang.

Hal yang penting yang harus disampaikan kepada masyarakat yang memiliki

sosial ekonomi rendah hendaknya lebih meningkatkan keadaan ekonominya untuk

dijadikan sebagai sumber penghasilan yang lain, masyarakat harus mengarahkan yang

putus sekolah untuk mengikuti kursus-kursus keterampilan. Kepada pasangan yang belum

menikah harus lebih memperhatikan dampak apa saja yang timbul dari perkawinan usia

(18)

Perkawinan usia muda yang menjadi fenomena sekarang ini pada dasarnya

merupakan satu siklus fenomena yang terulang dan tidak hanya terjadi di daerah pedesaan

yang notabene dipengaruhi oleh minimnya kesadaran dan pengetahuan namun juga terjadi

di wilayah perkotaan yang secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh “role model” dari

dunia hiburan yang mereka tonton. Penelitian yang dilakukan oleh Ikatan Sosiologi

Indonesia (ISI) Provinsi Jawa Barat mengungkapkan fakta masih tingginya pernikahan di

usia muda di pulau Jawa dan Bali. Diantara wilayah-wilayah tersebut, Jawa Barat di

posisi pertama dalam jumlah pasangan yang menikah di usia muda dimana dari 1000

penduduknya dengan usia 15 hingga 19 terdapat 126 orang yang menikah dan melahirkan

di usia muda. Kemudian diikuti dengan DKI Jakarta dengan 44 orang.

Dari data SDKI 1997 diketahui bahwa seekitar 52,6 % wanita pernah melakukan

perkawinan pertamanya pada kelompok umur 15-19 tahun dengan tingkat pendidikan

hanya tamat SD. Sejumlah 5,8 juta remaja pernah menikah pada umur kurang dari 16

tahun dan 25 % diantaranya bahkan menikah dibawah usia 14 tahun. Pihak yang sangat

merasakan akibatnya adalah remaja putri atau perempuan karena tidak mempunyai

kesempatan untuk bersekolah lagi dan harus menjalani perkawinan yang sebenarnya

belum siap baginya, baik dari sisi mental maupun kesehatan reproduksinya.

Sikap atas persoalan ini terbagi dalam dua sisi yang berseberangan. Dengan alasan

bahwa dengan menikah di usia muda akan menghindari hal-hal yang dilarang baik asas

agama maupun sosial di tengah gejolak pergaulan yang semakin ”menggila” seperti saat

ini. Alasan lain adalah pikiran bahwa dengan menikah muda, mereka akan masih sehat

dan aktif berkarya di saat anak-anak mereka tumbuh besar yang membutuhkan biaya

untuk keperluan pendidikan dan persoalan lainnya. Selain itu muncul pula alasan lain

(19)

meskipun dengan dalih dari pada terjerat dalam pergaulan bebas dan menghindari

terjadinya hamil di luar pernikahan.

Dari pihak yang berseberangan melihat dan menelaah bahwa mereka yang

menikah muda akan lebih cenderung untuk mengalami kegagalan dalam rumah tangga

mereka. Tingginya perkara perceraian di hampir semua daerah yang menjadi area

penelitian Ikatan Sosiologi Indonesia ( ISI ) berbanding lurus dengan tingkat penikahan di

usia muda. Namun dalam alasan perceraian tentu saja bukan karena alasan kawin muda,

melainkan alasan ekonomi dan lain sebagainya. Tetapi masalah tersebut tentu saja sebagai

salah satu dampak dari pernikahan yang dilakukan tanpa kematangan usia dan psikologis.

Menikah di usia muda juga akan menimbulkan banyak permasalahan di berbagai sisi

kehidupan ekonomi misalnya, dengan tingkat pendidikan rendah yang dimiliki pasangan

akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak yang berimbas pada

kurangnya kecukupan secara ekonomi dalam rumah tangga.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan

penelitian untuk mendeskripsikan pernikahan usia mudah khususnya untuk melihat

faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan usia muda, serta dampak

pernikahan usia muda tersebut dalam kehidupan berumah tangga di Desa Tembung

Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Dengan melihat kenyataan ini telah

mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda dikalangan remaja di Desa Tembung

(20)

I.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan langkah yang sangat penting karena langkah ini

menentukan kemana suatu penelitian diarahkan. Perumusan masalah pada hakikatnya

merupakan perumusan pertanyaan yang jawabannya akan dicari melalui penelitian

(Soeharto, 2008: 2003).

Bahwa sasaran pembahasan penelitian ini adalah menyangkut pada pernikahan

usia muda. Maka dalam pembahasan ini, nantinya tidak terlalu jauh melebar sesuai

dengan topik pembahasan dan mengingat batasan waktu. Dalam penulisan ini, penulis

mencoba merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan, sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda

dikalangan remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli

Serdang?

2. Bagaimana makna perkawinan usia muda dikalangan remaja yang terjadi di Desa

Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang?

I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.3.1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka Tujuan penelitian ini yaitu :

1.Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia

muda.

(21)

I.3.2. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian diharapkan bagi instansi-instansi terkait khususnya instansi yang

menangani masalah - masalah remaja dan sumber informasi bagi pemerintah guna

peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan formal maupun

pendidikan informal yang di harapkan dapat meningkatkan keterampilan para

remaja, agar nantinya remaja -remaja yang telah putus sekolah atau tidak

bersekolah lagi lebih mandiri dan dapat mengembangkan kemampuan mereka

meskipun dengan lulusan pendidikan yang rendah serta dapat meningkatkan taraf

ekonomi keluarga mereka.

2. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi berupa masukan kepada para remaja

dampak negatif dari perkawinan di usia muda dan sebagai bahan pertimbangan

kepada pasangan remaja yang ingin melaksanakan pernikahan usia muda.

3. Menjadi bahan informan bagi peneliti yang ingin mengadakan penelitian yang

(22)

I.4. Sistematika Penelitian

Sistematika penulisan secara garis besarnya dapat dikelompokan ke dalam 6

(enam) bab,dengan urutan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian,

kerangka penelitian,defenisi konsep dan defenisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan

simple, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian yang

berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil

penelitian dan analisanya

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran atas penelitian yang

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Faktor Sosial Ekonomi 2.1.1. Pengertian Sosial Ekonomi

Kata sosial berasal dari kata “socius” yang artinya kawan (teman). Dalam hal ini

arti kawan bukan terbatas sebagai teman sepermainan, teman sekelas, teman sekampung

dan sebagainya. Yang dimaksud kawan disini adalah mereka (orang-orang) yang ada di

sekitar kita, yakni yang tinggal dalam satu lingkungan tertentu dan mempunyai sifat yang

saling mempengaruhi (Wahyuni, 1986 : 60).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala sesuatu yang

berkenaan dengan masyarakat (KBBI, 2002 : 1454). Sedangkan kata sosial menurut

Departemen Sosial adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai acuan dalam berinteraksi

antar manusia dalam konteks masyarakat atau komuniti, sebagai acuan berarti sosial

bersifat abstrak yang berisi simbol-simbol berkaitan dengan pemahaman terhadap

lingkungan, dan berfungsi untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan oleh

individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga dengan demikian, sosial

haruslah mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada satu kesatuan interaksi,

karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak dan kewajiban dari masing-masing

individu yang saling berfungsi satu dengan lainnya (http://www.depsos.go.id diakses pada

pukul 14.25 WIB, 18 April 2012).

Sedangkan istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu “oikos” yang artinya

(24)

cara mengatur rumah tangga. Ini adalah pengertian yang paling sederhana. Namun seiring

dengan perkembangan dan perubahan masyarakat, maka pengertian ekonomi juga sudah

lebih luas. Ekonomi juga sering diartikan sebagai cara manusia untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari. Jadi dapat dikatakan bahwa ekonomi bertalian dengan proses

pemenuhan keperluan hidup manusia sehari-hari (http://id.wikipedia.org/Ilmu_ekonomi,

diakses pada pukul 19.32 WIB, 19 April 2012).

Menurut istilah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekonomi berarti segala

sesuatu tentang azas-azas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta

kekayaan (seperti perdagangan, hal keuangan dan perindustrian) (KBBI, 2002 : 379). Dari

beberapa pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sosial ekonomi dapat diartikan

sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara

lain dalam sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Pemenuhan kebutuhan yang dimaksud berkaitan dengan penghasilan. Hal ini disesuaikan

dengan penelitian yang dilakukan.

Kehidupan sosial ekonomi harus di pandang sebagai sistem (sistem sosial) yaitu

satu keseluruh bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan dalam suatu

kesatuan. Kehidupan sosial adalah kehidupan bersama manusia atau kesatuan manusia

yang hidup dalam suatu pergaulan. Interaksi ini pertama sekali terjadi pada keluarga

dimana ada terjadi hubungan antara ayah, ibu dan anak. Dari adanya interaksi antara

anggota keluarga maka akan muncul hubungan dengan masyarakat luar. Pola hubungan

interaksi ini tentu saja di pengaruhi lingkungan dimana masyarakat tersebut bertempat

tinggal. Di dalam masyarakat pedesaan kita ketahui interaksi yang terjadi lebih erat

(25)

interaksi biasanya lebih dieratkan oleh status, jabatan atau pekerjaan yang dimiliki. Hal

ini menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial di dalam masyarakat.

Keberadaan seperti hal diatas mempengaruhi gaya hidup seseorang, tentu saja

termasuk dalam berperilaku dan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Seperti yang

dikatakan oleh beberapa ahli mengenai konsumsi dan gaya hidup. Konsumsi terhadap

suatu barang menurut Weber merupakan gambaran hidup dari kelompok atau status

tertentu (Kartono, 1992 : 137).

Melly. G. Tan mengatakan untuk melihat kedudukan sosial ekonomi adalah

pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan. Berdasarkan ini masyarakat itu dapat

digolongkan kedalam kedudukan sosial ekonomi rendah, sedang dan tinggi (Tan dalam

Koentjaraningrat, 1981 : 35).

1. Golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Yaitu masyarakat yang menerima

pendapatan lebih rendah dari keperluan untuk memenuhi tingkat hidup yang

minimal. Untuk memenuhi tingkat hidup yang minimal, mereka perlu

mendapatkan pinjaman dari orang lain. Karena tuntutan kehidupan yang keras,

kehidupan remajanya menjadi agresif. Sementara itu, orang tua yang sibuk

mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tidak sempat memberikan

bimbingan dan melakukan pengawasan terhadap perilaku putra-putrinya, sehingga

remaja cenderung dibiarkan menemukan dan belajar sendiri serta mencari

pengalaman sendiri.

2. Golongan masyarakat berpenghasilan sedang. Yaitu pendapatan yang hanya

(26)

3. Golongan masyarakat berpenghasilan tinggi. Yaitu selain dapat memenuhi

kebutuhan pokok, juga sebagian dari pendapatannya itu dapat ditabungkan dan

digunakan untuk kebutuhan yang lain. Remaja dalam golongan ini sering berada

dalam kemewahan yang berlebihan. Remaja dengan mudahnya mendapatkan

segala sesuatu. Membuatnya kurang menghargai dan menganggap sepele, yang

dapat menciptakan kehidupan berfoya-foya, sehingga anak dapat terjerumus

dalam lingkungan antisosial. Kemewahan membuat anak menjadi terlalu manja,

lemah secara mental, tidak mampu memanfaatkan waktu luang dengan hal-hal

yang bermanfaat. Situasi demikian menyebabkan remaja menjadi agresif dan

memberontak, lalu berusaha mencari kompensasi atas dirinya dengan melakukan

perbuatan yang bersifat melanggar.

2.2. Faktor Pendidikan 2.2.1 Defenisi Pendidikan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), pendidikan diartikan pemahaman

proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman sebagai

yang lebih tinggi mengenai obyek – obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan tersebut

diperoleh secara formal yang berakibat individu mempunyai pola pikir dan perilaku

sesuai dengan pendidikan yang telah diperolehnya.

Secara umum pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

(27)

dilihat tetapi labih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan

kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan

melewati generasi.

Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khusunya di Indonesia yaitu :

1. Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan

Nasional, Dinas Pendidikan Daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.

Dalam hal ini, interfensi dari pihak – pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar

pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.

2. Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umunya yang merupakan ikon pendidikan

dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.

(http://www.kavie-design.indonesianforum.net).

Dalam pengertian yang sederhana dan umum, makna pendidikan sebagai usaha

manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi pembawaan baik jasmani

maupun rohani sesuai dengan nilai – nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai – nilai tersebut serta

mewariskannya pada generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan

kehidupan yang terjadi dalam suatu proses pendidikan atau dengan kata lain bahwa

pendidikan dapat diaartikan sebagai suatu hasil peradaban bangsa yang dikembangkan

atas dasar pandangan bangsa itu sendiri (nilai dan norma masyarakat) yang berfungsi

(28)

2.2.2. Tingkat Pendidikan

Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat

perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang

dikembangkan. Pendidikan di Indonesia mengenal tiga jenjang pendidikan, yaitu

pendidikan dasar (SD/MI/Paket A dan SLTP/MTs/Paket B), pendidikan menengah

(SMA/SMK/MA/Paket C), dan pendidikan tinggi. Meski tidak termasuk dalam jenjang

pendidikan, terdapat pula pendidikan anak usi dini, pendidikan yang diberikan sebelum

memasuki dasar. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk

mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan

pendidikan.

1. Pendidikan formal

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselengarakan di sekolah – sekolah

pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai

dari pendidikan dasar, pendidikan pertama, pendidikan menengah sampai pendidikan

tinggi.

2. Pendidikan non formal

Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar, dan pendidikan lanjutan.

Pendidikan dasar mencakup pendidikan keaksaraan dasar, keaksaraan fungsional, dan

keaksaraan fungsional, dan keaksaraan lanjutan paling banyak ditemukan dalam

pendidikan usia dini (PAUD), Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA), maupun

Pendidikan Lanjut Usia. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) serta program paket A

(setara SD), paket B (setara B) merupakan pendidikan dasar. Pendidikan lanjutan

meliputi program paket C (setara SLTA), kursus, pendidikan vokasi, latihan

(29)

Pendidikan non formal mengenal pula Pusat Kegiatan Masyarakat (PKBM) sebagai

pangkalan program yang dapat berada di dalam kawasan setingkat atau lebih kecil

dari kelurahan/desa. PKBM berlaku untuk umum merupakan padanan dari

Community Learning Center (CLC) yang menjadi bagian komponen dari Community

Center.

2.3 Faktor OrangTua

2.3.1 Peran dan Fungsi OrangTua

Anak – anak dan remaja sangat memerlukan perhatian dan bimbingan dalam

menjalani masa remaja menuju masa depannya, sebuah masa yang selaku orangtua tidak

pernah tahu. Sepantasnyalah selaku orangtua memberikan bekal bekal kepada anak-anak

tersebut sehingga mereka dapat menjalani kehidupan dengan benar dan bahagia.

Berbagai masalah remaja yang muncul dewasa ini baik yang berhubungan dengan

perilaku seks, kecanduan obat dan kenakalan remaja lainnya disebabkan antara lain oleh

kurangnya perhatian dan bekal yang diterima oleh anak-anak dan remaja dari

orangtuanya, yang berawal dari masalah komunikasi antara ayah, ibu dan mereka.

Kebanyakan dari para orangtua merasa canggung dan kurang percaya diri untuk

mempersiapkan anak-anak mereka memasuki masa baligh atau dewasa karena

menganggap pembicaraan mengenai seks adalah tabu, sehingga segan membicarakannya

dan tidak tahu bagaimana cara memulai menyampaikannya.

Orangtua merupakan komponen keluarga yang terdiri dari Ayah dan Ibu, dan

merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah

keluarga. Orangtua merupakan guru yang paling utama ditemui oleh anak didalam

(30)

lingkungan masyrakat dan sebagainya. Artinya, orangtua memiliki tanggung jawab yang

lebih untuk mendidik, membimbing dan mngasuh anak – anak mereka untuk mencapai

tahapan yang mengantarkan anaknya sebagai bekal menuju kehidupan masyarakat yang

lebih luas lagi. Orangtua yang mengajarkan nilai – nilai yang terkandung di dalam

keluarganya kepada anak – anaknya dan memberi sanksi ketika anaknya melanggar

aturan di dalam keluarga.

Orangtua memiliki fungsi penting bagi anak di dalam sebuah keluarga, fungsi – fungsi

tersebut antara lain :

1. Fungsi Religius, artinya orangtua memiliki kewajiban untuk memperkenalkan dan

mengajak anak dan anggota lainnya kepada kehidupan beragama. Memberikan

penjelasan bahwa untuk melaksanakan fungsi ini, orangtua sebagai tokoh inti dalam

keluarga itu harus terlebih dahulu menciptakan iklim yang dapat religius dalam

lingkungan keluarga itu, yang dapat dihayati oleh seluruh anggota keluarga.

Orangtua merupakan komponen keluarga yang terdiri dari Ayah dan Ibu, dan

merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah

keluarga. Orangtua merupakan guru yang paling utama ditemui oleh anak didalam

keluarga sebelum si anak terjun ke dalam lingkungan yang lebih luas lagi, seperti

lingkungan masyrakat dan sebagainya. Artinya, orangtua memiliki tanggung jawab yang

lebih untuk mendidik, membimbing dan mngasuh anak – anak mereka untuk mencapai

tahapan yang mengantarkan anaknya sebagai bekal menuju kehidupan masyarakat yang

lebih luas lagi. Orangtua yang mengajarkan nilai – nilai yang terkandung di dalam

keluarganya kepada anak – anaknya dan memberi sanksi ketika anaknya melanggar

(31)

Orangtua memiliki fungsi penting bagi anak di dalam sebuah keluarga, fungsi – fungsi

tersebut antara lain :

2. Fungsi Religius, artinya orangtua memiliki kewajiban untuk memperkenalkan dan

mengajak anak dan anggota lainnya kepada kehidupan beragama. Memberikan

penjelasan bahwa untuk melaksanakan fungsi ini, orangtua sebagai tokoh inti dalam

keluarga itu harus terlebih dahulu menciptakan iklim yang dapat religius dalam

lingkungan keluarga itu, yang dapat dihayati oleh seluruh anggota keluarga.

3. Fungsi Edukatif, pelaksanaan fungsi edukatif di keluarga merupakan salah satu

tanggungjawab yang dipikul oleh orangtua. Sebagai salah satu unsur pendidikan

keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama bagi anak. Orangtua harus

mengetahui tentang pentingnya anak secara keseluruhan. Ditangan orangtuanyalah

masalah – masalah yang menyangkut anak, apakah dia akan tumbuh menjadi orang

yang suka merusak dan menyeleweng atau si anak akan tumbuh menjadi orang yang

baik.

4. Fungsi Protekrif, biasanya orangtua memberikan gambaran pelaksanaan fungsi

lingkungan, yaitu dengan cara melarang atau menghindarkan anak dari perbuatan –

perbuatan yang tidak diharapakan oleh orangtua, mengawasi atau membatasi

perbuatan anak dalam hal – hal tertentu, menganjurkan atau menyuruh mereka untuk

melakukan perbuatan – perbuatan yang diharapkan oleh orangtua mereka, mengajak

bekerja sama dan saling membantu, dan memberikan contoh dan teladan dalam hal –

hal yang diharapkan oleh orangtua.

5. Fungsi Sosialisasi, tugas orangtua dalam mendidik setiap anaknya tidak saja

mencakup mengembangkan pribadi, agar menjadi pribadi yang baik tetapi meliputi

(32)

itu perlu dilaksanakan fungsi sosialisasi itu berarti orangtua memiliki kedudukan

sebagai penghubung anak dengan kehidupan sosial dan norma - norma sosial dan

membutuhkan fasilitas yang memadai.

6. Fungsi Ekonomis, meliputi : pemberian nafkah, perencanaan serta pembelajarannya.

Keadaan ekonomi keluarga mempengaruhi pula harapan orangtua akan masa depan

anak – anak mereka serta harapan anak – anak itu sendiri. Orangtua harus dapat

mendidik anaknya agar dapat memberikan penghargaan yang tepat terhadap uang dan

pencariannya, diserta dengan pengertian kedudukan ekonomi keluarga secara nyata,

bila tahap perkembangan anak telah memungkinkan.

Berdasarkan dari penjelasan di atas mengenai fungsi orangtua terhadap anaknya

antara lain menanamkan kehidupan yang beragama, memberikan pendidikan dalam masa

perkembangan anak, terutama pada anak yang beranjak remaja, perlunya pendidikan

mengenai dunia remaja terhadap anak merupakan pendidikan yang paling mendasar yang

diberikan oleh orangtua kepada anaknya yang akan beranjak remaja, dengan begitu si

anak akan cenderung terbuka terhadap orangtua , orangtua juga berfungsi sebagai

penghubung dalam kehidupan sosial anak dan memberikan nafkah secara ekonomi demi

masa depan si anak.

2.4. Perkawinan

2.4.1. Definisi Penyesuaian Perkawinan

Penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi seseorang yang continue dengan

diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia anda (Calhoun & Acocella, 1995).

(33)

seseorang : tubuh, perilaku, dan pemikiran serta perasaaan diri sendiri adalah sesuatu

yang dihadapi individu setiap detik. Interaksi dengan orang lain, jelas berpengaruh pada

individu, sebagaimana individu juga berpengaruh terhadap orang lain. Interaksi dengan

dunia kita, penglihatan dan penciuman serta suara yang mengelilingi seseorang saat ia

menyelesaikan urusannya, mempengaruhi diri sendiri dan dunia atau lingkungannya.

Penyesuaian juga merupakan suatu proses psikologis dimana seseorang mengatur atau

memenuhi keinginan dan tantangan dan kehidupan sehari-hari (Witten & Lloyd, 2006).

Salah satu bentuk penyesuaian diri adalah penyesuaian terhadap perkawinan.

Penyesuaian perkawinan adalah suatu ”state” dimana seluruh perasaan bahagia

dan kepuasan suami dan istri terhadap pernikahan mereka dan antara mereka berdua.

Pasangan yang menikah memiliki banyak harapan, yang terkadang realistis tapi ada yang

tidak realistis. Penyesuaian pernikahan menuntut adanya kematangan dan tumbuh serta

berkembangnya pengertian diantara pasangan (Hashmi, Khurshid, Hassan, 2006).

Laswell dan Laswell mengatakan konsep dari penyesuaian pernikahan adalah dua

individu belajar untuk saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan.

Penyesuaian pernikahan juga sebuah proses yang panjang karena setiap orang dapat

berubah sehingga setiap waktu masing-masing pasangan harus melakukan penyesuaian

pernikahan. Hoult juga mengatakan bahwa penyesuaian pernikahan merupakan

perubahan sikap dan tingkah laku pada masing-masing pasangan suami istri yang

menguntungkan untuk memenuhi harapan atau tujuan pernikahan (Wahyuningsih,

(34)

Berdasarkan beberapa pengertian penyesuaian perkawinan diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan merupakan poses interaksi dan sejumlah

perasaan suami dan istri terhadap pernikahan mereka, menyesuaikan diri, dan

mengembangkan serta menumbuhkan interaksi dan pencapaian kepuasan yang

maksimum terhadap hubungan yang mereka bentuk.

2.4.2. Landasan Hukum Perkawinan

Adapun yang menjadi dasar hukum perkawinan adalah :

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

a. Pasal 1 :

Perkawinan adalah ikatan suami istri lahir-bathin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa).

Sebuah perkawinan diijinkan apabila seorang pria telah mencapai umur 19

tahun dan seorang wanita telah mencapai umur 16 tahun.

a. Pasal 2 :

(1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaannya.

(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

2. Selain Undang-Undang diatas, Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1992 tentang

perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, dapat juga

(35)

3. Untuk menindak lanjuti pasal (1) UU No. 1 Tahun 1974, Badan Kependudukan dan

Keluarga Berencana Nasional Pusat yang telah bekerjasama dengan MOU bahwa

Usia Pertama Perkawinan adalah apabila seorang pria telah mencapai umur 25 tahun

dan seorang wanita telah mencapai umur 20 tahun.

2.4.3. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri dalam Perkawinan

Penyesuaian diri dalam perkawinan memiliki beberapa area yang akan dilalui,

seperti agama, kehidupan sosial, teman yang menguntungkan, hukum, keuangan, dan

seksual. Hurlock (1999) juga mengatakan bahwa dari sekian banyak masalah

penyesuaian diri dalam pernikahan, ada empat hal pokok yang paling umum dan paling

penting dalam menciptakan kebahagiaan perkawinan. Empat hal itu adalah :

1. Penyesuaian dengan pasangan

Masalah yang paling penting yang pertama kali harus dihadapi saat seseorang

memasuki dunia pernikahan adalah penyesuaian dengan pasangan (istri maupun

suaminya). Semakin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal antara pria dan

wanita yang diperoleh dimasa lalu, makin besar pengertian dan wawasan sosial mereka

sehingga memudahkan dalam penyesuaian dengan pasangan. Hal ini juga terjadi pada

remaja putri yang menikah dini.

Hurlock (1999) juga mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi

(36)

a. Konsep pasangan ideal.

Pada saat memilih pasangan, baik pria maupun wanita sampai pada waktu tertentu

dibimbing oleh konsep pasangan ideal yang dibentuk selama masa dewasa. Semakin

seseorang terlatih menyesuaikan diri terhadap realitas maka semakin sulit penyesuaian

yang dilakukan terhadap pasangan.

b. Pemenuhan kebutuhan

Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus memenuhi kebutuhan

yang berasal dari pengalaman awal. Apabila diperlukan pengenalan, pertimbangan

prestasi dan status sosial sosial agar bahagia, pasangan harus membantu pasangan lainnya

untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

c. Kesamaan latar belakang

Semakin sama latar belakang suami dan istri maka semakin mudah untuk saling

menyesuaikan diri. Bagaimanapun juga apabila latar belakang mereka sama, setiap orang

dewasa mencari pandang unik tentang kehidupan. Semakin berbeda pandangan hidup ini,

maka semakin sulit penyesuaian diri dilakukan.

d. Minat dan kepentingan bersama

Kepentingan yang sama mengenai suatu hal yang dapat dilakukan pasangan

cenderung membawa penyesuaian yang baik dari pada kepentingan bersama yang sulit

(37)

e. Keserupaan nilai

Pasangan yang menyesuaikan diri dengan baik mempunyai nilai yang lebih serupa

daripada mereka yang penyesuaian dirinya buruk.

f. Konsep peran

Setiap lawan pasangan mempunya konsep yang pasti mengenai bagaimana

seharusnya peranan seorang suami dan istri, atau setiap individu mengharapkan

pasangannya memainkan perannya. Jika harapan terhadap peran tidak terpenuhi maka

akan mengakibatkan konflik dan penyesuaian yang buruk.

g. Perubahan dalam pola hidup

Penyesuaian terhadap pasangannya berarti mengorganisasikan pola kehidupan,

merubah persahabatan dan kegiatan-kegiatan sosial, serta merubah persyaratan pekerjaan,

terutama bagi seorang istri. Penyesuaian-penyesuaian ini seringkali diikuti oleh konflik

emosional.

2. Penyesuaian seksual

Masalah penyesuaian utama yang kedua dalam pernikahan adalah penyesuaian

seksual, masalah ini adalah masalah yang paling sulit dalam pernikahan dan salah satu

penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan.

Permasalahan biasanya dikarenakan pasangan belum mempunyai pengalaman yang cukup

dan tidak mampu mengendalikan emosi mereka. Terdapat beberapa faktor yang

(38)

a. Perilaku terhadap seks

Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara pria dan wanita menerima

informasi seks selama masa anak-anak dan remaja. Jika perilaku yang tidak

menyenangkan dilakukan maka akan sulit sekali untuk dihilangkan bahkan tidak mungkin

dihilangkan.

b. Pengalaman seks masa lalu

Cara orang dewasa bereaksi terhadap masturbasi, petting, dan hubungan suami

istri sebelum menikah, ketika mereka masih muda dan cara pria dan wanita merasakan itu

sangat mempengaruhi perilakunya terhadap seks. Apabila pengalaman awal seorang

wanita tidak menyenangkan maka hal ini akan mewarnai sikapnya terhadap seks.

c. Dorongan seksual

Dorongan seksual berkembang lebih awal pada pria daripada wanita dan

cenderung tetap demikian, sedang wanita muncul secara periodik. Dengan turun naik

selama siklus menstruasi. Variasi ini mempengaruhi minat dan kenikmatan akan seks,

yang kemudian mempengaruhi penyesuaian seksual.

d. Pengalaman seks marital awal

Sikap terhadap penggunaan alat kontrasepsi,dan pengaruh vasektomi.

3. Penyesuaian keuangan

Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadappenyesuaian

diri individu dalam pernikahan. Istri yang berusia muda atau masih remaja cenderung

(39)

keluarga. Suami juga terkadang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan

keuangan, khususnya jika istrinya bekerja di luar rumah dan berhenti setelah memiliki

anak pertama sehingga mengurangi pendapatan keluarga.

4. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan

Setiap individu yang menikah secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga

baru. Mereka itu adalah anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda, mulai dari

bayi hingga kakek atau nenek dan terkadang dengan latar belakang yang berbeda, tingkat

pendidikan yang berbeda, budaya dan latar belakang sosial yang berbeda. Penyesuaian

diri dengan pihak keluarga pasangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

a. Stereotip tradisional mengenai ibu mertua

Stereotip yang secara luas diterima masyarakat ”Ibu mertua yang representatif”

dapat menimbulkan perangkat mental yang tidak menyenangkan bahkan sebelum

perkawinan. Stereotip yang tidak menyenangkan mengenai orang usia lanjut seperti

cenderung ikut campur tangan dapat masalah bagi keluarga pasangan.

b. Keinginan untuk mandiri

Orang yang menikah muda cenderung menolak berbagai saran dan petunjuk dari

orang tua mereka, walaupun mereka menerima bantuan keuangan, dan khususnya mereka

menolak bantuan dari keluarga pasangan.

c. Keluargaisme

Penyesuaian dan perkawinan akan lebih pelik apabila salah satu pasangantersebut

(40)

Apabila pasangan terpengaruh oleh keluarga, apabila seseorang anggota keluarga

berkunjung dalam waktu yang lama dan hidup dengan mereka untuk seterusnya.

d. Mobilitas sosial

Individu dewasa muda yang status sosialnya meningkat diatas anggota keluarga

atau diatas status keluarga pasangannya mungkin saja tetap membawa mereka dalam latar

belakangnya. Banyak orangtua dan anggota keluarga sering bermusuhan dengan pasangan

muda.

e. Anggota keluarga berusia lanjut

Merawat anggota keluarga berusia lanjut merupakan faktor yang sangat sulit

dalam penyesuaian pekawinan karena sikap yang tidak menyenangkan terhadap orangtua

dan urusan keluarga khususnya bila dia juga mempunyai anak-anak.

f. Bantuan keuangan untuk keluargapasangan

Apabila pasangan muda harus membantu atau memikul tanggung jawab, bantuan

keuangan bagi pihak keluarga pasangan, hal itu sering membawa hubungan keluarga yang

tidak baik. Hal ini dikarenakan anggota keluarga pasangan dibantu keuangannya, menjadi

marah dan tersinggung dengan tujuan agar diperoleh bantuan tersebut.

2.4.4. Kondisi Yang Menyumbang Kesulitan Dalam Penyesuaian Perkawinan

Hurlock (1999) mengemukakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan

(41)

1. Persiapan yang terbatas untuk pernikahan

Penyesuaian seksual saat ini terlihat lebih mudah dilakukan dibandingkan masa

lalu, dikarenakan banyaknya informasi namun kebanyakan pasangan suami istri hanya

menerima sedikit persiapan dibidang keterampilan domestik, mengasuh anak, dan

manajemen uang.

2. Perubahan peran dan status sosial menjadi suami atau istri.

Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria dan wanita

serta konsep yang berbeda tentang peran membuat penyesuaian dalam pernikahan

semakin sulit saat ini dibandingkan pada masa lalu.

3. Pernikahan dini

Pernikahan dini akan lebih banyak memerlukan proses penyesuaian diri masing-masing

pasangan karena pada umumnya di usia ini individu belum terlalu matang dalam hal

emosional, ekonomi, dan seksual.

4. Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan.

Orang dewasa yang belajar perguruan tinggi dengan pengalaman yang sedikit

cenderung memiliki konsep yang tidak realistis mengenai makna pernikahan dengan

pekerjaan, pembelanjaan uang, atau perubahan pola hidup.

5. Pernikahan campuran

(42)

6. Pacaran yang dipersingkat.

Periode masa pacaran yang singkat pada masa sekarang dibandingkan masa lalu,

sehingga pasangan hanya punya sedikit waktu untuk memecahkan masalah tentang

penyesuaian sebelum melangsungkan pernikahan.

7. Romantika perkawinan

Harapan yang berlebihan mengenai tujuan dan hasil pernikahan sering membawa

kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab

pernikahan.

2.4.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Pernikahan

Burgess & Locke (1960), menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor dasar yang

dapat digunakan untuk mengetahui pernyesuaian pernikahan, yaitu :

1. Karakteristik kepribadian

Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian perkawinan dan

karakteristik kepribadian. Berikut ini 6 karakteristik kepribadian yang dapat

menyebabkan ketidak bahagian dalam pernikahan yaitu :

a. Individu yang memiliki kecenderungan pesimis yang lebih besar dari pada sikap

optimis.

b. Individu yang memiliki kecenderungan neurotis yang ditampilkan dengan ciri-ciri

(43)

c. Individu yang memiliki kecenderungan tingkah laku dominan (menguasai) terhadap

orang lain (suami/istri) dan keras kepala.

d. Individu yang selalu mencela dan tidak memperhatikan orang lain(suami / istri).

e. Individu yang kurang percaya diri.

f. Individu yang merasa sanggup memenuhi kebutuhan sendiri yang ditunjukkan dengan

tingkah laku menyendiri bila menghadapi masalah, menghindari dan menolak nasehat

orang lain.

Apabila antara suami istri tidak ada rasa saling percaya akan membuat kehidupan

pernikahan menjadi tidak bahagia. Faktor keterbukaan antara suami dan istri cukup

penting dalam penyesuaian pernikahan. Saling terbuka memudahkan proses penyesuaian

dalam pernikahan, sedangkan saling menutup diri (tidak terbuka) antara suami dan istri

cenderung menyulitkan pernikahan. Jika suami istri menyelesaikan masalah sendiri atau

tidak saling terbuka menyebabkan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan emosional

satu sama lain.

2. Latar belakang Budaya

Persamaan latar belakang budaya antara suami dan istri merupakan hal yang baik,

sedangkan jika terdapat perbedaan latar belakang yang cukup besar maka hal tertentu ini

dapat menyulitkan penyesuaian dalam pernikahan. Suami dan istri dengan latar belakang

budaya yang berbeda akan mengalami kesulitan berkomunikasi. Beberapa penelitian

(44)

(1) Tingkat budaya orang tua suami lebih berpengaruh daripada orang tua istri. Umumnya

pria boleh menikahi wanita dengan kondisi ekonomi dan status sosial lebih rendah.

Sedangkan wanita tidak boleh menikahi pria yang memiliki tingkat ekonomi dan

status sosial lebih rendah darinya.

(2) Perbedaan budaya antara suami dan istri diasumsikan akan mengakibatkan

pernikahan yang tidak sukses.

3. Pola Respon

Secara umum keromantisan dihubungkan dengan adanya saling ketertarikan. Hal

ini merupakan kebahagian terbesar dalam pernikahan. Gairah cinta ini tidak dibatasi oleh

perbedaan budaya dan kelas sedangkan gambaran yang membosankan apabila cinta

berkembang tanpa adanya keakraban dan persahabatan. Hal ini tidak tergantung pada

kecantikan, daya tarik seks, atau ciri fisik lain, tetapi pada keserasian, ketertarikan, dan

hubungan yang akrab.

4. Hasrat Seks

Data statistik yang didapat Terman dan Locke dari penelitian yang dilakukan oleh

Burgess & Cottrel, serta beberapa penelitian lain memberikan informasi bahwa terdapat

hubungan antara perilaku seksual dengan penyesuaian pernikahan. Menurut Walgito

(1984) adanya saling pengertian antara suami dan istri terhadap dorongan seks,

pasangannya akan menghindarkan ketidakpuasan dalam melakukan hubungan seksual.

sedangkan bila pasangannya memiliki dorongan seksual yang tidak seimbang dan tidak

dapat dimengerti oleh kedua belah pihak, hal tersebut akan menimbulkan persoalan.

(45)

lebih besar mempengaruhi penyesuaian seksual dalam perkawinan dibandingkan dengan

faktor biologis.

2.4.6. Pola Penyesuaian Perkawinan

Landis dan landis (dalam wahyuningsih, 2002) mengemukakan tiga pola

penyesuaian perkawinan berdasarkan cara –cara memecahkan konflik, yaitu :

1. Kompromi (compromise), yang berarti bahwa dalam memecahkan konflik pasangan, suami istri melakukan kesepakatan-kesepakatan yang memuaskankedua belah pihak.

Suami istri berusaha untuk menyatukan pendapat melalui kesepakatan sehingga

meraih tingkat penyesuaian yang tinggi yang kemudian menumbuhkan rasa saling

percaya dan rasa aman.

2. Akomodasi (accomodate), pada pola ini pasangan berada pada posisi bertolak belakang, memiliki karakteristik yang bertolak belakang, tetapi menerima kenyataan

bahwa ada perbedaan. Pasangan suami istri melakukan akomodasi untuk mencapai

keseimbangan dengan mentoleransi tingkah laku atau hal-hal lain dari pasangannya

yang berbeda dengannya. Selama proses akomodasi pasangan dapat melakukan

diskusi untuk meraih cara pandang yang menguntungkan kedua belah pihak.

3. Permusuhan (hostility), pada pola ini pasangan suami-istri berusaha untuktetap mempertahankan pendapat masing-masing dengan segala cara. Pasangan sering

bertengkar mengenai berbagai hal yang berbeda. Pasangan suami istri tidak dapat

menyelesaikan perbedaan yang ada dengan cara yang memuaskan, sehingga

(46)

2.5. Remaja

2.5.1. Pengertian Remaja

Menurut Papalia (2004) remaja adalah transisi perkembangan antara

masakanak-kanak dan masa dewasa yang meliputi perubahan secara fisik, kognitif, dan perubahan

sosial. Lahey (2004) menyatakan bahwa remaja adalah periode yang dimulai dari

munculnya pubertas sampai pada permulaan masa dewasa. Hurlock (1999),

mengemukakan istilah Adolescence atau remaja yang berasal dari bahasa latin adolescere

yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, seperti yang

dipergunakan saat ini juga mempunyai arti yang luas, mencakup kematangan mental,

emosional, social, dan fisik.

Menurut Piaget dalam Hurlock 1999) secara psikologis masa remaja adalah usia

dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Lazimnya masa remaja

dianggap mulai ada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir sampai ia

menjadi matang secara hukum. Batasan remaja menurut WHO (dalam Sarwono, 2003)

lebih konseptual .Dalam definisi ini dikemukakan 3 kriteria yaitu biologi, psikologi, dan

sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut :

Remaja adalah suatu masa dimana :

1. Individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual

sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

2. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identitas dari kanak-kanak

menjadi dewasa.

3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang

(47)

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan masa remajamerupakan

masa dimana individu mengalami transisi perkembangan dari masa kanak-kanak menuju

dewasa, kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik, usia dimana individu mulai

berhubungan dengan masyarakat, dan telah mengalami perkembangan tanda-tanda

seksual, pola psikologis, dan menjadi lebih mandiri.

2.5.2. Pembagian Masa Remaja

Menurut Monks (2001) batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21

tahun. Monks membagi batasan usia ini dalam tiga fase, yaitu :

1. Fase Praremaja atau remaja awal ( 12 - 15 tahun )

Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak – anak dan

berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang mandiri. Fokus dari tahap ini adalah

penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan

teman sebayanya. Masa praremaja biasanya berlangsung hanya dalam waktu yang relatif

singkat. Masa ini ditandai dengan gejaknya seperti tidak tenang, kurang suka bekerja,

pesimistik dan sebagaianya. Secara garis besar sifat-sifat negatif tersebut dapat diringkas,

yaitu : negatif dalam prestasi, baik prestasi jasmani maupun prestasi mental, dan negatif

dalam sikap sosial, baik dalam bentuk menarik diri dalam masyarakat maupun dalam

bentuk agresif terhadap masyarakat.

2. Fase remaja Madya atau pertengahan ( 15 - 18 tahun )

Masa ini ditandai dengsn berkembangnya kemampuan berfikir individu yang baru.

Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah lebih mampu

mengarahkan diri sendiri. Pada masa ini, remaja mulai mengembangkan kematangan

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Alur Pemikiran
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.4
+7

Referensi

Dokumen terkait

masyarakat Jawa ke dalam tulisan dengan judul : “Studi Deskriptif Pertunjukan Reog Ponorogo Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Jawa Di Desa Kampung Kolam Tembung Kecamatan

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERKAWINAN USIA MUDA DI DESA KUALA LAMA KECAMATAN PANTAI CERMIN.. KABUPATEN

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa faktor pengalaman dan modal merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan, sedangkan faktor umur dan jumlah

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Pengaruh

merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan, sedangkan faktor umur dan jumlah tanggungan keluarga tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan di

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa faktor pengalaman dan modal merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan, sedangkan faktor umur dan jumlah

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Usaha Nelayan Di Kabupaten Bone [skripsi].. Jurusan Ilmu

kuliner di Desa Bagan Percut dapat mengalami perubahan sosial bagi masyarakat terkait.. wisata kuliner dan aktivitasnya dapat menjadi faktor utama terjadinya suatu