GAMBAR
PELAYANAN
FAKULTAS K
P
ARAN PERAN APOTEKER DALA
N KONSELING DI APOTEK WIL
KOTA MEDAN
SKRIPSI
SRI PUJI ASTUTI
1111102000097
S KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHA
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
DESEMBER 2015
AM
ILAYAH
ABSTRAK
Nama : Sri Puji Astuti
Program Studi : Farmasi
Judul : Gambaran Peran Apoteker Dalam Pelayanan Konseling di Apotek Wilayah Kota Medan
Pelayanan konseling yang baik diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat sehingga dapat meningkatkan keberhasilan terapi pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan peran apoteker dalam pelayanan konseling di apotek kota Medan. Metode survei dan simulasi pasien digunakan, dan 60 apotek dipilih secara acak dari 563 apotek di Medan. Alat bantu penelitian ini adalah skenario, lembarchecklist, dan resep yang ditulis oleh dokter. Terdapat 4 jenis resep yang digunakan yaitu resep hipertensi, asma, diabetes, dan hiperlipidemia. Data penelitian ini berasal dari kuisioner dan lembar checklist yang diisi setelah berkunjung ke apotek terpilih. Dari kuisioner diperoleh data 48,33% apoteker hadir setiap hari dan 50% hadir 1 bulan 1 kali, 60% apotek adalah milik PSA, 61,67% apotek tidak memiliki apoteker pendamping, 51,67% apotek tidak memiliki asisten apoteker, dan 85% apotek hanya melayani < 20 lembar resep per hari. Dari lembar
check list diperoleh data bahwa 66,67% apotek bersedia melakukan pelayanan konseling. Tahapan konseling yang paling banyak dilakukan oleh apoteker adalah tahap 1 (100%), kemudian tahap 3 dan 4 (77,5%), tahap 5 (65%), dan terakhir tahap 2 (57,5%). Isi konseling yang disampaikan kepada pasien sebagian besar mengenai nama obat, waktu penggunaan (pagi/siang/sore), waktu penggunaan (sebelum/sesudah/sedang makan), jumlah frekuensi pelayanan, dan jumlah obat sekali minum (100%), jumlah obat yang diberikan (97,87%), indikasi (76,66%), interaksi obat (64,58%). Persentase kualitas penyampaian isi konseling adalah 100% kecuali Indikasi (98,33%), kontraindikasi (96,67%), interaksi obat (92,31%), dan efek samping, (73,91%).
ABSTRACT
Name : Sri Puji Astuti
Study Program : Pharmacy
Title : The Description of The Pharmacists Roles in Counseling Services at The Pharmacies of Medan
The good counseling service is needed to improve the patient adherence for using drug, hence can increase the successful patient therapeutic. The aim of this research is to describe the role of pharmacist for counseling service in Medan s pharmacy. The survey and simulation methods were conducted and 60 pharmacies were chosen randomly from 563 pharmacies in Medan. The tools of this research are the scenario, sheet checklist, and prescriptions written by doctors. There are four the variety of prescriptions used namely prescription of hypertension, asthma, diabetes, and hyperlipidemia. The data were conducted from questionnaires and checklists that filled after visiting the selected pharmacy. The questionnaires showed that 48.33 % pharmacists are present every day, while, 50 % pharmacists attend only one time for one month. In fact, only 60% pharmacists are owned by PSA. According to data of pharmacist assistant, 61, 67% pharmacy did not has pharmacist assistant, whilst, 51, 67% pharmacy has. The pharmacy only served less than 20 sheets prescriptions per day. The checklist data explained that 66.67% pharmacist have been willing to do counseling service. The most part of counseling was conducted by pharmacist that is the first step (100%), the third step and the fourth (77.5%), the fifth step (65%), and the second step (57,5), respectively. The counseling result was delivered to patient mostly about the drug s name, the using time (Morning/afternoon/ evening), the time of use (before / after / are eating), the number of frequent service, and the amount of drug to drink (100%), the amount of drug given (97, 87%), the indication (76, 66%), the drug interaction (64, 58%). The percentage of quality for delivering the counseling content is 100% except the indication (98, 33%), the contradiction (96, 67%), the drug interaction (92, 31%), and the bad effect (73, 91%).
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan segala rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini tentu banyak berbagai kesulitan dan halangan yang menyertai, sehingga penulis tidak terlepas dari doa, bantuan, dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. sebagai Ketua Program Studi Farmasi dan pembimbing I dan Bapak Asep Dasuki S, S.Si., MM, Apt. sebagai pembimbing II yang telah memberikan ilmu, nasehat, waktu, tenaga, dan dukungan moral selama masa perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.
2. Bapak Dr. H Arif Sumantri, SKM., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D, Apt. sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat, waktu, dan dukungan moral selama masa perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.
4. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
syari yang selalu ikhlas memberikan dukungan moral, material, nasehat, serta lantunan doa yang tiada pernah putus di setiap waktu.
6. Teman-teman di Program Studi Farmasi 2011: Indah, Pipit, Hesti, Rizza, Athiyah, serta teman-teman farmasi 2011 beng-beng atas semangat dan kebersamaan selama 4 tahun kita bersama.
7. Teman-teman di RQ UIN dan KOMDA FKIK atas dukungan, semangat, dan persaudaraan yang berkesan selama ini.
8. Niken, Betti, Ayu, Nadhia yang selalu menginspirasi dan memberi semangat. 9. Fatimah, Winda, Nisa, Indah, Thame, terima kasih atas kebersamaan selama
ini.
10. Kak Tiwi, Kak Dina, Kak Desi, Kak Ayu, Bang Dikki, Bang Fachri, terima kasih atas motivasi dan bimbingannya.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan penulisan.
Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis nantikan.semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Ciputat, Desember 2015
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 4
1.3.1 Tujuan umum ... 4
1.3.2 Tujuan Khusus ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
1.4.1 Secara Teoritis ... 4
1.4.2 Secara Metodologi ... 4
1.4.3 Secara Aplikatif ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian ... 5
2.2 Apoteker ... 6
2.3 Peran Apoteker ... 7
2.3.1 Peran Apoteker Menurut WHO ... 7
2.3.2 Peraturan Apoteker Menurut Peraturan di Indonesia ... 8
2.4.1 Pelayanan Kefarmasian di Apotek ... 10
2.4.1.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ... 10
2.4.1.2 Pelayanan Farmasi Klinik ... 12
2.5 Konseling ... 17
2.6 Hipertensi ... 20
2.6.1 Penatalaksanaan hipertensi ... 21
2.6.2 Penyusunan rencana pelayanan kefarmasian ... 24
2.6.3 Peran dan peluang apoteker ... 25
2.7 Asma ... 26
2.7.1 Penatalaksanaan asma ... 28
2.7.2 Peran apoteker dalam penatalaksanaan asma ... 29
2.7.2.1 Rencana pengobatan (Care Plan) ... 29
2.7.2.2 Implementasi pengobatan ... 29
2.7.2.3 Monitoring dan evaluasi ... 30
2.8 Diabetes ... 30
2.8.1 Penatalaksanaan diabetes ... 31
2.8.2 Peran apoteker dalam penatlaksanaan diabetes mellitus... 32
2.9 Hiperlipidemia ... 37
2.9.1 Metabolisme Lipid dan Lipoprotein ... 37
2.9.2 Klasifikasi Hiperlipidemia ... 37
2.9.3 Terapi ... 38
2.9.3.1 Tujuan Terapi ... 38
BAB III DEFINISI OPERASIONAL ... 41
2.1 Definisi Operasional ... 41
BAB IV METODE PENELITIAN ... 43
4.1 Alur Kerja ... 43
4.2 Lokasi dan waktu penelitian ... 44
4.3 Rancangan penelitian ... 44
4.4 Populasi dan sampel ... 44
4.4.1 Populasi ... 44
4.4.2 Sampel ... 44
4.5 Kriteria inklusi dan eksklusi ... 45
4.5.1 Kriteria inklusi ... 45
4.5.2 Kriteria eksklusi ... 45
4.6 Langkah-langkah penelitian ... 45
4.6.1 Instrumen penelitian ... 45
4.6.2 Teknik pengumpulan data ... 46
4.6.3 Sumber data ... 46
4.6.4 Pengolahan data ... 47
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49
5.1 Karakteristik Apotek Penelitian ... 50
5.2 Gambaran Pelayanan Konseling di Apotek Kota Medan ... 52
5.3 Gambaran Pelaksanaan Tahapan Konseling di Apotek Kota Medan 56 5.4 Gambaran Penyampaian Isi Konseling di Apotek Kota Medan ... 59
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 64
6.2 Kesimpulan ... 64
6.3 Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 65
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa ... 21
Tabel 2.2 Klasifikasi Asma Berdasarkan Berat Penyakit ... 27
Tabel 2.3 Pendekatan Bertahap Untuk Penanganan Asma pada Orang Dewasa dan Anak di Atas 5 Tahun ... 28
Tabel 2.4 Diagnosis DM dari ACCP/ADA 2013 ... 32
Tabel 2.5 Penatalaksanaan diabetes ... 33
Tabel 5.1 Distribusi karakteristik apotek penelitian ... 50
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Tahapan Perubahan Praktik Kefarmasian ... 6
Gambar 5.1 Persentase Pelayanan Konseling di Apotek Kota Medan ... 53
Gambar 5.2 Persentase Pelayanan Konseling Terhadap Frekuensi
Kehadiran Apoteker ... 55
Gambar 5.3 Persentase Pelaksanaan Tahapan Konseling di Apotek Kota
Medan ... 57
Gambar 5.4 Persentase Isi Konseling yang Disampaikan Oleh Apoteker ... 60
Gambar 5.5 Rata-Rata Persentase Isi Konseling yang Disampaikan Oleh Apoteker yang Melayani Resep Hipertensi, Asma, Diabetes, dan
Hiperlipidemia ... 61
Gambar 5.6 Persentase Kualitas Penyampaian Isi Konseling ... 62
Gambar 5.8 Rata-Rata Persentase Kualitas Isi Konseling yang Disampaikan Oleh Apoteker yang Melayani Resep Hipertensi, Asma,
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Resep ... 69
Lampiran 2. Skenario ... 70
Lampiran 3. Lembar Kuisioner ... 73
Lampiran 4. LembarCheck List... 74
Lampiran 5. Perhitungan Persentase Pelaksanaan Pelayanan Konseling di Apotek Kota Medan ... 87
Lampiran 6. Perhitungan Persentase Pelaksanaan Tahapan Konseling ... 88
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan kewenangan pada peraturan perundang-undangan, pelayanan
kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada
pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif
meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009
tentang pekerjaan kefarmasian menyatakan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian tersebut harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Peran apoteker
dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat
melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain
adalah pelayanan informasi obat dan konseling kepada pasien yang membutuhkan
(Menkes RI, 2014).
Standar pelayanan farmasi di apotek secara khusus dibuat dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, pada bab
pendahuluan tercantum bahwa farmasi harus memberikan pelayanan obat dan
pelayanan klinik. Pelayanan obat mencakup penjaminan mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan pengelolaan obat.
Sedangkan pelayanan klinik mencakup pengkajian resep, dispensing, pelayanan
informasi obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy
care), pemantauan terapi obat (PTO), dan monitoring efek samping obat (Menkes RI,
Pharmacist Practice Activity Classification (PPAC) yang disusun pada tahun
1998 oleh American Pharmaceutical Association menguraikan kegiatan apoteker
yang mencakup berbagai tugas yang melibatkan interaksi pasien, seperti
mewawancarai pasien, mendidik pasien, menyediakan informasi tertulis atau tidak
tertulis, berdiskusi, mendemonstrasikan sesuatu, berhadapan langsung dengan pasien,
dan melaksanakan konseling pada pasien (Rantucci, 2007).
Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran, dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Konseling terutama ditujukan kepada
pasien dengan kondisi khusus, pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis,
pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus, pasien yang menggunakan
obat dengan indeks terapi sempit, pasien dengan polifarmasi, dan pasien dengan
tingkat kepatuhan rendah (Menkes RI, 2014).
Konseling ditujukan untuk meningkatkan hasil terapi dengan penggunaan
obat-obatan yang tepat (Rantucci, 2007). Salah satu manfaat dari konseling adalah
meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat, sehingga angka kematian
dan kerugian (baik biaya maupun hilangnya produktivitas) dapat ditekan (Schnipper,
et al., 2006). Selain itu pasien memperoleh informasi tambahan mengenai
penyakitnya yang tidak diperolehnya dari dokter karena tidak sempat bertanya, malu
bertanya, atau tidak dapat mengungkapkan yang ingin ditanyakan (Zillich, et al.,
2006).
Menurut laporan Department of Health and Human Service (DHHS) tahun
1990, 48% seluruh penduduk Amerika serikat, dan 55 % geriatric, dalam beberapa
hal, gagal mengikuti regimen pengobatan (Kessler, 1992). Meskipun ketidakpatuhan
tidak selalu menimbulkan konsekuensi, penelitian menunjukkan bahwa 25% pasien
akan menggunakan obat dengan cara yang dapat membahayakan kesehatan pasien,
ketidakpatuhan dapat memperlama masa sakit atau meningkatkan keparahan
penyakit. Tinjauan literatur memperlihatkan bahwa 11% pasien masuk rumah sakit
Di Indonesia peran apoteker sendiri belum berjalan maksimal. Berdasarkan
survey yang dilaksanakan olehIndonesia Consumers Foundation (Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia, YLKI) pada bulan Agustus 2005, sebagian besar staf apotek di
daerah Jakarta tidak tahu banyak tentang obat-obatan resep dan tidak tersedia untuk
konsultasi professional. Sebagian besar apoteker yang berkompetensi tidak hadir pada
lokasi bisnis dan sering membolehkan staf yang kurang berpengalaman bekerja di
apotek. Dari 32 apotek yang diperiksa oleh YLKI, hanya 11 apoteker hadir pada saat
kunjungan para peneliti. Dari seluruh peserta yang hadir, hanya 7 dapat menjelaskan
secara baik kepada para pasien tentang obat-obatan yang diresepkan dokter (The
Jakarta Post, 24 May 2006 dikutip dari James dan Spillance, 2010). Di Bali Tingkat
kehadiran apoteker di apotek masih sangat rendah. Dari total 111 apotek di wilayah
Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Denpasar Barat, Kuta Utara, dan
Kuta Selatan, hanya 24 apotek (26,64%) yang terdapat tenaga ahli apoteker pada saat
dilakukannya survey (Rai, et al., 2011). Hasil penelitian yang dilakukan Kwando
Rendy R. (2014), menyatakan persentase kehadiran apoteker di apotek Surabaya
Timur adalah 63,33% sedangkan rata-rata presentase pelayanan kefarmasian yang
terjadi di apotek adalah 42,05% (Kwando, 2014). Di Medan, dalam penelitiannya
Adelina (2009), melaporkan bahwa pada 85,82% pelayanan pasien dilakukan oleh
asisten apoteker dan standar pelayanan kefarmasian di apotek masih dalam kategori
kurang dengan presentase sebesar 42,74% (Adelina, 2009).
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti melakukan penelitian mengenai
peran apoteker terhadap pelayanan konseling di kota Medan dengan menggunakan
empat jenis resep yang diperoleh dari dokter. Pelayanan konseling yang dilakukan
oleh apoteker dilihat dari apoteker yang bersedia melakukan pelayanan konseling,
tahapan konseling yang dilakukan, isi konseling yang disampaikan, dan kualitas isi
konseling yang disampaikan oleh apoteker.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat diketahui adanya perbedaan
apoteker. Untuk itu perlu dilakukan survey yang menggambarkan peran apoteker
dalam pelayanan konseling di seluruh penjuru Indonesia salah satunya adalah di
apotek wilayah kota Medan dengan membandingkan peran apoteker berdasarkan
peraturan menteri kesehatan dengan peran apoteker di lapangan.
1.2 Tujuan Penelitian
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pelayanan
konseling di apotek wilayah kota Medan.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui frekuensi kehadiran apoteker di apotek wilayah kota
Medan.
b. Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan pelayanan konseling,
pelaksanaan tahapan konseling, penyampaian isi konseling, dan kualitas
isi konseling di apotek wilayah kota Medan.
1.3 Manfaat Penelitian
1.3.1 Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan serta wawasan
tentang peran apoteker dan pentingnya pelaksanaan peran apoteker terutama dalam
segi konseling.
1.3.2 Secara Metodologi
Metode penelitian ini dapat menjadi referensi untuk diaplikasikan pada
penelitian farmasi klinis sejenis.
1.3.3 Secara Aplikatif
a. Memberikan informasi tentang gambaran peran apoteker di apotek
wilayah kota Medan.
b. Memberikan informasi tentang pelaksanaan pelayanan konseling di apotek
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Profesi kefarmasian
Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasiaan dapat
dibagi dalam 4 tahap (Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo, 1999):
1. Tahap 1 : Tugas utama farmasi adalah memproduksi. Pada tahap ini farmasi
muncul sebagai industri rumahan yang melayani masyarakat. Apoteker
membuat obat patennya sendiri dengan resep yang dibuat sendiri, kemudian
dijual dari apotek mereka sendiri. Pasien akan datang ke apoteker untuk
membeli obat dan meminta bimbingan dalam pemilihan dan penggunaan obat
yang akan digunakan. Apotek pada periode ini setara dengan industri farmasi
saat ini dan pada saat itu, farmasi memiliki nilai sosial yang jelas.
2. Tahap 2 : Pada periode ini muncul farmasi industri manufaktur dan pada saat
yang sama pembuatan resep obat oleh dokter sedang meningkat, sehingga
pekerjaan utama apoteker berhenti dalam memproduksi obat dan berpindah ke
peracikan obat yang telah diproduksi dari industri yang disesuaikan dengan
resep. Pada tahap ini pasien masih datang ke apotek untuk mendapatkan obat
dan bimbingan dalam penggunaan obat. Peran apoteker masih memiliki nilai
sosial yang jelas.
3. Tahap 3 : Pada tahap ini tugas utama apoteker mengalami penyimpangan.
Banyaknya jumlah produk obat yang semakin meningkat membuat fokus
utama peran apoteker menjadi ke produk obat dan peran pada pasien menjadi
memudar. Hal tersebut juga di dorong oleh adanya Kode Etik Asosiasi
Farmasi Amerika (American Pharmaceutical Association/AphA Code of
Ethics) mulai tahun 1922-1969 farmasis dilarang untuk mendiskusikan efek
2.3 Peran Apoteker
2.3.1 Peran Apoteker Menurut WHO
Untuk bisa efektif sebagai anggota tim kesehatan, apoteker butuh ketrampilan
dan sikap untuk melakukan fungsi-fungsi yang berbeda-beda. Konsep the seven-star
pharmacist diperkenalkan oleh WHO dan diambil oleh FIP pada tahun 2000 sebagai
kebijaksanaan tentang praktek pendidikan farmasi yang baik (Good Pharmacy
Education Practice ) (Daris, 2006). Adapun peran farmasis yang di gariskan oleh
WHO yang dikenal dengan istilah “ seven stars pharmacist” meliputi (Firmansyah,
2009):
1. Pemberi Pelayanan
Dalam memberikan pelayanan mereka harus memandang pekerjaan
mereka sebagai bagian dan terintegrasi dengan sistem pelayanan kesehatan dan
profesi lainnya. Pelayanannya harus dengan mutu yang tinggi.
2. Pembuat Keputusan
Penggunaan sumber daya yang tepat , bermanfaat , aman dan tepat guna
seperti SDM, obat-obatan, bahan kimia, perlengkapan, prosedur dan pelayanan
harus merupakan dasar kerja dari apoteker. Pada tingkat lokal dan nasional
apoteker memainkan peran dalam penyusunan kebijaksanaan obat-obatan.
Pencapaian tujuan ini memerlukan kemampuan untuk mengevaluasi, menyintesa
informasi dan data serta memutuskan kegiatan yang paling tepat.
3. Komunikator
Apoteker adalah merupakan posisi ideal untuk mendukung hubungan
antara dokter dan pasien untuk memberikan informasi kesehatan dan obat-obatan
pada masyarakat. Dia harus memiliki ilmu pengetahuan dan rasa percaya diri
dalam berintegrasi dengan profesi lain dan masyarakat. Komunikasi dapat
dilakukan secara verbal (langsung), non verbal, mendengarkan, dan kemampuan
menulis.
4. Manajer
Apoteker harus dapat mengelola sumber daya (SDM, fisik dan keuangan),
lainnya, apakah pegawai atau pimpinan tim kesehatan. Lebih-lebih lagi teknologi
informasi akan merupakan tantangan ketika apoteker melaksanakan tanggung
jawab yang lebih besar untuk bertukar informasi tentang obat dan produk yang
berhubungan dengan obat serta kualitasnya.
5. Pembelajar jangka panjang
Tidak mungkin memperoleh semua ilmu pengetahuan di sekolah farmasi
dan masih dibutuhkan pengalaman seorang apoteker dalam karir yang lama.
Konsep-konsep, prinsip-prinsip, komitmen untuk pembelajaran jangka panjang
harus dimulai disamping yang diperoleh di sekolah dan selama bekerja. Apoteker
harus belajar bagaimana menjaga ilmu pengetahuan dan ketrampilan merekatetap
up to date.
6. Pengajar
Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk membantu pendidikan dan
pelatihan generasi berikutnya dan masyarakat. Sumbangan sebagai guru tidak
hanya membagi ilmu pengetahuan pada yang lainnya, tapi juga memberi peluang
pada praktisi lainnya untuk memperoleh pengetahuan dan menyesuaikan
ketrampilan yang telah dimilikinya.
7. Pemimpin
Dalam situasi pelayanan multi disiplin atau dalam wilayah dimana
pemberi pelayanan kesehatan lainnya ada dalam jumlah yang sedikit, apoteker
diberi tanggung jawab untuk menjadi pemimpin dalan semua hal yang
menyangkut kesejahteraan pasien dan masyarakat. Kepemimpinan apoteker
melibatkan rasa empati dan kemampuan membuat keputusan , berkomunikasi dan
memimpin secara efektif. Seseorang apoteker yang memegang peranan sebagai
pemimpin harus mempunyai visi dan kemampuan memimpin.
2.3.2 Peran Apoteker Menurut Peraturan yang Berlaku Di Indonesia
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014, dalam
1. Pemberi layanan
Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan
pasien.Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan
kesehatan secara berkesinambungan.
2. Pengambil keputusan
Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan
dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.
3. Komunikator
Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi
kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien.Oleh karena itu harus
mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.
4. Pemimpin
Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi
pemimpin.Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil
keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan
mengelola hasil keputusan.
5. Pengelola
Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran
dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi
informasi dan bersedia berbagi informasi tentang obat dan halhal lain yang
berhubungan dengan obat.
6. Pembelajar seumur hidup
Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampillan
profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development
/CPD)
7. Peneliti
Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam
mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian dan
memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan pelayanan
2.4 Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh apoteker (Menkes RI, 2014). Apotek memiliki tugas dan fungsi
sebagai :
a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan
b. Sarana farmasi untuk melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
c. Sarana penyaluran perbekalan farmasi dalam menyebarkan obat-obatan yang
diperlukan masyarakat secara luas dan merata.
2.4.1 Pelayanan kefarmasian di apotek
Pelayanan kefarmasian di apotek meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan yang
bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik.Kegiatan tersebut harus didukung
oleh sumber daya manusia, sarana dan prasarana (Menkes RI, 2014).
2.4.1.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehaatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian,
pencatatan dan pelaporan (Menkes RI, 2014).
a. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi,
budaya dan kemampuan masyarakat.
b. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan
farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan
c. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat
pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
d. Penyimpanan
1) Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka
harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang
jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat,
nomorbatchdan tanggal kadaluwarsa.
2) Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga
terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3) Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan
dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
4) Pengeluaran obat memakai system FEFO (First expire first out) dan FIFO
(First In First Out).
e. Pemusnahan
1) Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang
mengandung narkotika dan psikotropika dilakukan oleh apoteker dan
disaksikan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota.
Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh
apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat
izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita
acara pemusnahan menggunakan formulir satu sebagaimana terlampir.
2) Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker disaksikan
sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar atau
menggunakan formulir 2 sebagaimana terlampir dan selanjutnya
dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
f. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau
pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari
terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa,
kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan
menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok
sekurang-kurangnya memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah
pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.
g. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat pesanan,
faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan
pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. pelaporan internal
merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek,
meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.
Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi
pelaporan narkotika (menggunakan formulir 3 sebagaimana terlampir),
psikotropika (menggunakan formulir 4 sebagaimana terlampir) dan pelaporan
lainnya.
2.4.1.2 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik di apotek merupakan bagian dari pelayanan
kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien(Menkes RI,
2014). Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian
farmasetik dan pertimbangan klinis.
a. Kajian administratif meliputi:
1) Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan
2) Nama Dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon
dan paraf.
3) Tanggal penulisan resep
b. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
1) Bentuk dan kekuatan sediaan
2) Stabilitas
3) Kompatibilitas (ketercampuran obat)
c. Pertimbangan klinis meliputi:
1) Ketepatan indikasi dan dosis obat
2) Aturan, cara dan lama penggunaan obat
3) Duplikasi dan/atau polifarmasi
4) Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat,
manifestasi klinis lain)
5) Kontra indikasi dan interaksi
6) Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka
Apoteker harus menghubungi dokter penulis resep.
2. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pelayanan
informasi obat. Apoteker menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep,
melakukan peracikan obat bila diperlukan, memberikan etiket, memasukkan
obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang berbeda untuk
Apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan swamedikasi.
Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan obat
non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas atau bebas
terbatas yang sesuai (Menkes RI, 2014).
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pelayanan informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau
masyarakat.Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan
herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan
metoda pelayanan, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif,
efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping,
interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan
lain-lain. Kegiatan pelayanan informasi obat di Apotek meliputi:
a. menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.
b. membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan).
c. memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.
d. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi
yang sedang praktik profesi.
e. melakukan penelitian penggunaan obat.
f. membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah.
g. melakukan program jaminan mutu.
Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk membantu
penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat dengan
menggunakan formulir sesuai format yang telah ditetapkan (Menkes RI,
4. Konseling (dijelaskan lebih lanjut pada sub bab konseling)
5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis
pelayanan kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh apoteker,
meliputi:
a. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan
pengobatan.
b. Identifikasi kepatuhan pasien.
Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah,
misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin.
c. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum.
d. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat
berdasarkan catatan pengobatan pasien.
e. Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah dengan
menggunakan formulir yang telah ditetapkan (Menkes RI, 2014).
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan
efikasi dan meminimalkan efek samping. Kriteria pasien:
a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
b. Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis.
c. Adanya multidiagnosis.
d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
e. Menerima obat dengan indeks terapi sempit.
f. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang
merugikan.
a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
b. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang
terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan riwayat alergi;
melalui wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga
kesehatan lain.
c. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat antara
lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pelayanan obat tanpa
indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu
rendah, terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau terjadinya
interaksi obat.
d. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan
menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi.
e. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana
pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.
f. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat
oleh apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait
untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
g. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat dengan
menggunakan formulir yang telah ditetapkan (Menkes RI, 2014).
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau
memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan:
a. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami efek samping obat.
b. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
c. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional dengan
Faktor yang perlu diperhatikan:
a. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.
b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat (Menkes RI, 2014).
2.5 Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, apoteker
menggunakanthree prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah,
perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus melakukan
verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling(Menkes RI, 2014):
a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal,
ibu hamil dan menyusui).
b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM,
AIDS, epilepsi).
c. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengantappering down/off).
d. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin).
e. Pasien dengan polifarmasi, pasien menerima beberapa obat untuk indikasi
penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pelayanan lebih dari
satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis
obat.
f. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:
a. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien
b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three Prime
1) Apa yang disampaikan dokter tentang obat Anda?
2) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat Anda?
3) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah
Anda menerima terapi obat tersebut?
c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien
untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat.
e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien. Apoteker
mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien sebagai
bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling
dengan menggunakan formulir sesuai ketetapan peraturan.
Langkah-langkah dalam proses pendidikan dan konseling pasien akan
bervariasi sesuai dengan kebijakan sistem kesehatan dan prosedur, lingkungan, dan
pengaturan praktek. Umumnya, langkah-langkah berikut yang sesuai untuk pasien
yang menerima obat baru atau yang kembali untuk kopi resep (ASHP,1997).
a. Jalin hubungan penuh perhatian dengan pasien. Perkenalkan diri Anda sebagai
seorang apoteker, menjelaskan tujuan yang diharapkan dari sesi, dan
mendapatkan persetujuan pasien untuk berpartisipasi. Tentukan bahasa lisan
utama pasien.
b. Menilai pengetahuan pasien tentang masalah yang berkaitan dengan kesehatan
dan obat-obatan, fisik dan kemampuan mental untuk menggunakan obat
secara tepat, dan sikap terhadap masalah kesehatan dan obat-obatan. Ajukan
pertanyaan terbuka tentang tujuan setiap obat dan meminta pasien untuk
menggambarkan atau menunjukkan bagaimana ia akan menggunakan obat.
Pasien dengan kopi resep harus diminta untuk menjelaskan atau menunjukkan
bagaimana mereka telah menggunakan obat-obatan mereka. Mereka juga
harus diminta untuk menggambarkan masalah, keprihatinan, atau ketidak
c. Memberikan informasi secara lisan dan menggunakan alat bantu visual atau
demonstrasi untuk mengisi kesenjangan pasien dalam pengetahuan dan
pemahaman. Buka wadah obat pasien untuk menunjukkan warna, ukuran,
bentuk, dan tanda-tanda pada tablet oral. Untuk cairan oral dan suntikan,
tunjukkan pasien tanda dosis pada alat ukur. Menunjukkan perakitan dan
penggunaan perangkat administrasi seperti inhaler hidung dan oral. Sebagai
pelengkap untuk komunikasi lisan tatap muka, sediakan handout untuk
membantu pasien mengingat informasi tertulis. Jika pasien mengalami
masalah dengan obat-nya, kumpulkan data yang sesuai dan nilai masalahnya.
Kemudian menyesuaikan rejimen farmakoterapi yang sesuai dengan protokol
atau resep.
d. Verifikasi pengetahuan dan pemahaman pasien tentang penggunaan
obat-obatan. Mintalah pasien untuk menggambarkan atau menunjukkan bagaimana
mereka akan menggunakan obat-obatan dan mengidentifikasi efek obatnya.
Amati kemampuan penggunaan obat pasien dan ketelitian dan sikap pasien
terhadap kepatuhan mengikuti rejimen farmakoterapi dan pemantauan
rencana.
Poin ini berlaku untuk obat yang diresepkan dan obat yang tidak diresepkan.
Apoteker harus member nasihat kepada pasien dalam pemilihan yang tepat dari obat
yang tidak diresepkan (ASHP,1997).
Isi tambahan mungkin tepat ketika apoteker memiliki wewenang tanggung
jawab dalam pengelolaan penyakit kolaboratif untuk kategori pasien tertentu.
Tergantung pada manajemen penyakit atau rencana perawatan klinis pasien, berikut
dapat meliputi:
a. Keadaan penyakit: apakah akut atau kronis dan yang pencegahan, penularan,
perkembangan, dan kekambuhan.
b. Efek diperkirakan dari penyakit pada kehidupan sehari-hari pasien yang
normal
Apoteker harus mendokumentasikan pendidikan dan konseling pada catatan
medis tetap pasien sesuai dengan rencana perawatan pasien, kebijakan dan prosedur
sistem kesehatan, dan undang-undang negara bagian dan federal yang berlaku. Ketika
apoteker tidak memiliki akses kecatatan medis pasien, pendidikan dan konseling
dapat didokumentasikan dalam profil pasiendi apotek itu, pada formulir pesanan obat
atau resep, atau catatan konseling yang dirancang khusus (ASHP,1997).
Apoteker harus mencatat konseling yang ditawarkan, diterima, disediakan,
atau ditolak dantingkat persepsi apoteker terhadap pemahaman pasien. Sebagaimana
mestinya, isi harus didokumentasikan (misalnya, penyuluhan tentang interaksi
obat-makanan). Semua dokumentasi harus dijaga untuk menghormati kerahasiaan dan
privasi pasien dan untuk mematuhi hukum negara bagian dan federal yang berlaku
(ASHP,1997).
2.6 Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.
Hipertensi, kenaikan tekanan darah diastolik atau sistolik, ditemukan dalam dua tipe:
hipertensi esensial (Primer), yang paling sering terjadi, dan hipertensi sekunder, yang
disebabkan oleh penyakit renal atau penyebab lain yang dapat diidentifikasi.
Hipertensi malignan adalah bentuk hipertensi yang berat, fulminan, dan sering
dijumpai pada kedua tipe hipertensi tersebut. Hipertensi merupakan penyebab utama
stroke, penyakit jantung, dan gagal ginjal (Kowalak Jennifer P, 2011).
Hipertensi esensial biasanya dimulai secara berangsur-angsur tanpa keluhan
dan gejala sebagai penyakit benigna yang secara perlahan-lahan berlanjut menjadi
keadaan yang malignan. Jika tidak diobati, kasus-kasus yang ringan sekalipun dapat
menimbulkan komplikasi berat dan kematian. Penanganan hipertensi yang dikelola
dengan cermat, yang meliputi modifikasi gaya hidup serta pemakaian obat-obatan
akan mempengaruhi prognosis. Apabila tidak ditangani, hipertensi memiliki angka
mortalitas yang tinggi. Kenaikan tekanan darah yang berat (krisis hipertensi) dapat
Kurang dari 10% penderita hipertansi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau pbat-obatan tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada
kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau renovaskular
adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara
langsung ataupun tidak, dapat menyebabkana hipertensi atau memperberat hipertensi
dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi,
maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi
kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam
penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006).
The Seventh Joint National Committeemengklasifikasikan tekanan darah pada
orang dewasa seperti yang tertera pada tabel 2.1 (Sukandar Elin Yulinahet al, 2009)
Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120–139 atau 80 -89
Tahap 1 hipertensi 140–159 atau 90–99
Tahap 2 hipertensi ≥160 atau ≥ 100
Dalam sebuah survey yang dilakukan pada tahun 2000, hipertensi didapatkan
pada 28% populasi dewasa di Amerika. Berdasarkan studi Framingham mengenai
tekanan darah di kalangan paruh baya dan lanjut usia, sekitar 90% individu ras
caucasia di Amerika akan mengalami hipertensi pada masa hidupnya. Prevalensi
hipertensi tersebut bervariasi dengan umur, ras, pendidikan, dan banyak variabel
lainnya (Katzung Bertram G, 2010).
2.6.1 Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah penurunan mortalitas dan
morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi. Mortalitas dan morbiditas ini
berrhubungan dengan kerusakan organ target. Misal:kejadian kardiovaskular atau
serebrovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal. Mengurangi resiko merupakan
tujuan utama terapi hipertensi, dan pilihan obat dipengaruhi secara bermakna oleh
The Eight Joint National Committee memberikan 9 rekomendasi terbaru
terkait dengan target tekanan darah dan golongan obat hipertensi yang
direkomendasikan. Rekomendasi yang diusulkan adalah sebagai berikut (JNC, 2013):
Rekomendasi 1
Pada populasi umum yang berumur ≥ 60 tahun, terapi farmakologi dimulai
ketika tekanan darah sistolik ≥ 150 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg. Target terapi
adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 150 mmHg dan diastolik
menjadi < 90 mmHg. (Rekomendasi kuat, tingkat rekomendasi A).
Pada populasi umum yang berumur ≥ 60 tahun, bila terapi farmakologi
menghasilkan penurunan tekanan darah sitolik yang lebih rendah dari target
(misalnya < 140 mmHg) dan pasien dapat mentoleransi dengan baik, tanpa efek
samping terhadap kesehatan dan kualitas hidup, maka terapi tersebut tidak perlu
disesuaikan lagi (Opini ahli, tingkat rekomendasi E).
Rekomendasi 2
Pada populasi umum berumur < 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika
tekanan darah diastoliknya≥ 90 mmHg. Target penurunan tekanan darahnya adalah <
90 mmHg. (Untuk umur 30 – 59 tahun, rekomendasi kuat, tingkat rekomendasi A)
(Untuk umur 18–29 tahun, opini ahli, tingkat rekomendasi E).
Rekomendasi 3
Pada populasi umum berumur < 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika
tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan
darah sistolik menjadi < 140 mmHg (Opini ahli, rekomendasi E).
Rekomendasi 4
Pada populasi berumur ≥ 18 tahun yang menderita penyakit ginjal kronik,
terapi farmakologi dimulai ketika tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg atau
tekanan darah diastoliknya ≥ 90 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan
darah sistolik menjadi < 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg. (Opini ahli, tingkat
Rekomendasi 5
Pada populasi berumur ≥ 18 tahun yang menderita diabetes, terapi
farmakologi dimulai ketika tekanan darah sistoliknya≥ 140 mmHg atau diatoliknya ≥
90 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 140
mmHg dan diastolik < 90 mmHg. (Opini ahli, tingkat rekomendasi E)
Rekomendasi 6
Pada populasi umum yang bukan ras berkulit hitam, termasuk yang menderita
diabetes, terapi antihipertensi awal hendaknya termasuk diuretika tipe tiazida,
penghambat saluran kalsium, penghambat enzim ACE, atau penghambat reseptor
angiotensin. (Rekomendasi sedang, tingkat rekomendasi B).
Rekomendasi 7
Pada populasi umum ras berkulit hitam, termasuk yang menderita diabetes,
terapi antihipertensi awal hendaknya termasuk diuretika tipe tiazida atau penghambat
saluran kalsium. (Untuk populasi kulit hitam secara umum: rekomendasi sedang,
tingkat rekomendasi B) (Untuk ras kulit hitam dengan diabetes: rekomendasi lemah,
tingkat rekomendasi C)
Rekomendasi 8
Pada populasi berumur ≥ tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi
antihipertensi awal atau tambahan hendaknya temasuk penghambat enzim ACE atau
penghambat reseptor angiotensin untuk memperbaiki fungsi ginjal. Hal ini berlaku
bagi semua pasien penderita penyakit ginjal kronik tanpa melihat ras atau status
diabetes. (Rekomendasi sedang, tingkat rekomendasi B).
Rekomendasi 9
Tujuan utama tatalaksana hipertensi adalah untuk mencapai dan menjaga
target tekanan darah. Bila target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu sebulan
terapi, naikkan dosis obat awal atau tambahkan obat kedua dari kelompok obat
hipertensi pada rekomendasi 6 (diuretika tipe tiazida, penghambat saluran kalsium,
penghambat enzim ACE, dan penghambat reseptor angiotensin). Penilaian terhadap
tekanan darah hendaknya tetap dilakukan, sesuaikan regimen terapi sampai target
jenis obat, tambahkan obat ketiga dari kelompok obat yang tersedia. Jangan
menggunakan obat golongan penghambat ACE dan penghambat reseptor angiotensin
bersama-sama pada satu pasien.
Bila target tekanan darah tidak tercapai dengan obat-obat antihipertensi yang
tersedia pada rekomendasi 6 oleh karena kontra indikasi atau kebutuhan untuk
menggunakan lebih dari 3 macam obat, maka obat antihipertensi dari kelompok yang
lain dapat digunakan. Pertimbangkan untuk merujuk pasien ke spesialis hipertensi.
2.6.2 Penyusunan Rencana Pelayanan Kefarmasian
Penyusunan rencana pelayanan kefarmasian dapat berupa (Depkes RI,
2006):
1. Menentukan tujuan terapi
Untuk penyakit hipertensi tujuan terapi adalah
a. Mencegah atau memperlambat komplikasi dari hipertensi dengan
membantu pasien mematuhi regimen obatnya untuk memelihara tekanan
darah < 140/90 mmHg atau < 130/80 mmHg untuk pasien hipertensi
dengan diabetes dan gangguan ginjal.
b. Pasein mengerti pentingnyaadherencedengan terapi obatnya
2. Mengidentifikasi kondisi medis yang memerlukan terapi obat
3. Memecahkan masalah terapi obat : tujuan, alternatif, dan intervensi
4. Mencegah masalah terapi obat
Dalam rencana pelayanan kefarmasian, apoteker memberikan saran
tentang pemilihan obat, penggantian atau obat alternatif, perubahan dosis,
regimen obat (jadwal, rute, dan lama pemberian).
Rekomendasi apoteker dalam pemilihan obat untuk pasien dengan Hipertensi
(Depkes RI, 2006):
1. Sarankan terapi antihipertensi untuk pasien-pasien pada klasifikasi tahap 1
2. Sangat disarankan terapi antihipertensi pada pasien-pasien dengan kerusakan
target organ atau dengan faktor resiko kardiovaskular lainnya bila TDS > 140
mmHg atau TDD≥ 90 mmHg.
3. Bila appropriate, sarankan pilihan awal untuk terapi antihipertensi. Pilihan
awal untuk dewasa tanpa indikasi khusus:
a. Diuretik golongan tiazid (untuk kebanyakan pasien)
b. Penghambat beta
c. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI),
d. Antagonis kalsium (long-acting)
e. Penyekat reseptor angiotensin
f. Rekomendasikan terapi kombinasi apabila cuma ada respon parsial
dengan standar dosis monoterapi. Kombinasi yang efektif melibatkan
diuretik tiazid atau antagonis kalsium dengan ACEI, ARB atau penyekat
beta.
g. Untukisolated systolic hypertensionpada pasien-pasien dengan TDS>160
mmHg terapi awal dengan diuretik tiazid
4. Sarankan terapi dislipidemi dengan statin untuk semua pasien dengan
hipertensi dan 3 atau lebih faktor resiko kardiovaskular, atau pada pasien
dengan penyakit aterosklerosis atau penyakit arteri perifer.
5. Skrining semua pasien hipertensi untuk interaksi obat yang bermakna (dengan
obat, nutrien, dll).
2.6.3 Peran dan Peluang Apoteker
Selain melakukan asuhan kefarmasian seperti yang diuraikan diatas, dalam
membantu penatalaksanaan hipertensi selain berinteraksi dengan pasien, apoteker
berinteraksi dengan profesi kesehatan lainnya terutama dokter. Apoteker dapat
menjadi perantara antara pasien dan dokter. Kebanyakan pasien terutama kalau sudah
kenal baik dengan apotekernya selalu membeli obat di apotik yang sama. Selain
dokter, apoteker adalah anggota tim kesehatan yang mempunyai akses kepada
menyadari terapi atau obat-obat lain yang diresepkan oleh dokter lain kepada pasien.
Dokter dan Apoteker dapat bekerja sama sehingga target yang diinginkan dokter
tercapai (Depkes RI, 2006).
Apoteker dapat membantu dokter dalam (Depkes RI, 2006):
1. memberi edukasi ke pasien mengenai hipertensi,
2. memonitor respon pasien di farmasi komunitas
3. menyokong adherence terhadap terapi obat dan non-obat
4. mendeteksi dan mengurangi reaksi efek samping, dan
5. merujuk pasien ke dokter bila diperlukan.
Mendiskusikan dengan pasien keuntungan terapi hipertensi sama pentingnya
dengan mendiskusikan mengenai efek sampingnya. Apabila pasien mengerti
keuntungan yang potensial dari penggunaan obat untuk hipertensi, pasien akan lebih
cendrung untuk mematuhi terapinya. Sewaktu diskusi untuk efek samping obat,
Apoteker harus membicarakan bagaimana mencegah atau menangani efek-efek
samping bila muncul agar pasien tetap meneruskan terapi obatnya (Depkes RI, 2006).
Beberapa studi di Amerika telah menunjukkan kalau Apoteker yang bekerja di
klinik hipertensi atau dengan kolaborasi dengan dokter sanggup memperbaiki
penanganan pasien dengan hipertensi. Terapi nonfarmakologi memerlukan perhatian
yang cukup besar oleh profesi kesehatan agar berhasil. Terapi nonfarmakologi
memerlukan perubahan sikap, dorongan dan nasihat yang terus menerus. Dengan
membantu pasien bagaimana melibatkan perubahan/modifikasi kedalam gaya
hidupnya dapat membantu pasien mencapai tujuan ini. Misalnya Apoteker dapat
mendiskusikan mengenai olahraga, menurunkan berat badan, dan berhenti merokok
(Depkes RI, 2006).
2.7 Asma
Asma (bronkial) merupakan gangguan inflamasi pada jalan napas yang
ditandai oleh obstruksi aliran udara napas dan respons jalan napas yang berlebihan
terhadap berbagai bentuk rangsangan. Obstruksi jalan napas yang menyebar luas
peningkatan produksi mukus (lendir) disertai penyumbatan (plugging) serta
remodeling jalan napas. Penyakit ini merupakan salah satu bentuk penyakit paru
obstruktif menahun (PPOM), yaitu penyakit paru jangka panjang yang ditandai
peningkatan resistensi jalan napas; bentuk lain PPOM meliputi bronchitis dan
emfisema (Kowalak Jennifer P, 2011).
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan (Sukandar Elin Yulinahet al, 2009).
Tabel 2.2 Klasifikasi Asma Berdasarkan Berat Penyakit
No Derajat Asma Gejala Fungsi Paru
1 Intermiten Siang hari≤ 2 kali per minggu Malam hari≤ kali per bulan Serangan singkat
Tidak ada gejala antar serangan Intensitas serangan bervariasi
Variabilitas APE < 20% VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
APE ≥ 80% nilai terbaik
2 Persisten Ringan Siang hari > 2 kali per minggu Tetapi < 1 kali per hari
Malam hari > 2 kali per bulan
Serangan dapat mempengaruhi aktivitas
Variabilitas APE 20%-30%
VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
APE≥ 80% nilai terbaik 3 Persisten Sedang Siang hari ada gejala
Malam hari > kali per minggu Serangan mempengaruhi aktivitas Serangan≥ 2 kali perminggu Serangan berlangsung berhari-hari Sehari-hari menggunakan β2-agonis aksi pendek
4 Persisten Berat Siang hari terus menerus ada gejala Setiap malam hari sering
APE≤ 60% nilai terbaik
Sumber : Sukandar Elin Yulinahet al, 2009
APE : arus puncak ekspirasi
2.7.1 Penatalaksanaan Asma
Pada tabel 2.4 ditampilkan rekomendasi NAEPP untuk penanganan asma
kronik (Sukandar Elin Yulinahet al, 2009).
Tabel 2.3 Pendekatan Bertahap Untuk Penanganan Asma pada Orang Dewasa dan Anak di Atas 5 Tahun
Derajat Asma Pengobatan yang Diperlukan Untuk Kontrol Jangka Panjang
Persisten berat Pengobatan utama
- Dosis tinggi inhalasi kortikosteroid
- Inhalasa β2 agonis kerja panjang, dan jika dibutuhkan
- Kortikosteroid ablet atau sirup (2 mg/kg/hari, tidak boleh melebihi 60 mg/hari)
Pemakaian berulang dapat mereduksi kortikosteroid sistemik dan untuk pemeliharaan gunakan kortikosteroid dosis tinggi
Persisten sedang Pengobatan utama
Dosis rendah menengah inhalasi kortikosteroid dan inhalasi β2 agonis kerja panjang
Alternatif pengobatan
- Meningkatkan inhalasi kortikosteroid dengan range dosis sedang, atau - Dosis rendah sampai tinggi inhalasi kortikosteroid dan salah satu
modifikasi leukotrien atau teofilin
Jika dibutuhkan khususnya pada pasien dengan eksaserbasi parah)
Pengobatan utama
- Meningkatkan inhalasi kortikosteroid dengan range dosis sedang dan ditambahkan inhalasi β2 agonis kerja panjang
Alternatif pengobatan
- Meningkatkan inhalasi kortikosteroid dengan range dosis sedang dan ditambahkan salah satu modifikasileukotrien atau teofilin
Persisten Ringan Pengobatan utama
Dosis rendah inhalasi kortikosteroid
Alternatif pengobatan
Koromolin, leukotrien, nedocromil, atau sustained release teofilin dengan konsentrasi serum 5-15 mcg/ml
Intermiten - Tidak dibutuhkan pengobatan harian
- Eksaserbasi akan terjadi dalam waktu lama dengan fungsi paru normal dan tidak ada gejala. Direkomendasikan kortikosteroid sistemik.
Penangan cepat semua pasien
1. Bronkodilator kerja pendek: inhalasi β2 agonis kerja pendek 2-4 hirupan digunakan pada yang masih gejala
2.7.2 Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan Asma
Pengobatan asma merupakan long term medication, oleh karena itu kepatuhan
pasien dalam menggunakan obat sangat diharapkan. Peran apoteker dalam
penatalaksanaan asma yaitu mendeteksi, mencegah dan mengatasi masalah terkait
obat yang dapat timbul pada tahapan berikut (Depkes RI, 2006):
2.7.2.1 Rencana Pengobatan(Care Plan)
Dalam tim terpadu, peran apoteker adalah memberikan rekomendasi dalam
pemilihan obat yang tepat berdasarkan kondisi pasien yang diperoleh dari hasil
wawancara dan hasil diagnosa dokter.
2.7.2.2 Implementasi Pengobatan
a. Menyediakan obat (drug supply management)
b. Pemberian informasi dan edukasi
Tujuan pendidikan kepada pasien adalah agar mereka lebih mengerti dan
memahami rejimen pengobatan yang diberikan sehingga pasien dapat lebih
berperan aktif dalam pengobatannya yang dapat meningkatkan kepatuhan
mereka dalam menggunakan obat.
c. Konseling
Untuk penderita yang mendapat resep dokter dapat diberikan konseling secara
lebih terstruktur dengan Tiga Pertanyaan Utama (Three Prime Questions)
sebagai berikut :
1) Apa yang dikatakan dokter tentang peruntukan/kegunaan pengobatan
anda?
2) Bagaimana yang dikatakan dokter tentang cara pakai obat anda?
3) Apa yang dikatakan dokter tentang harapan terhadap pengobatan anda?
Pemakaian pertanyaan Three Prime Questions yang diberikan saat konseling
dimaksudkan agar :
1) Membantu pasien rawat inap, rawat jalan dan yang akan keluar dari rumah
2) Tidak terjadi tumpang tindih informasi, perbedaan informasi dan
melengkapi informasi yang belum diberikan dokter, sesuai kebutuhan
3) Menggali fenomena puncak gunung es dengan memakai
pertanyaan-pertanyaan terbuka(open ended questions)
4) Menghemat waktu
2.7.2.3 Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan untuk melihat dan meningkatkan
keberhasilan terapi. Pelaksanakan kegiatan ini memerlukan pencatatan data
pengobatan pasien(medication record).
2.8 Diabetes
Diabetes adalah salah satu penyakit tidak menular yang menjadi prioritas ke
empat penyakit yang diidentifikasi oleh WHO bersama dengan penyakit
cardiovascular disease (CVD), yang mencakup serangan jantung, stroke, kanker dan
penyakit pernapasan kronis. Diabetes melitus merupakan penyakit yang sering
diderita oleh sebagian besar orang di dunia, bersifat kronis dan pembiayaannya
mahal. Penyakit diabetes ini ditandai dengan hiperglikemia (tingginya kadar glukosa
dalam darah), akibat kurangnya insulin yang dihasilkan dalam tubuh karena
kerusakan pankreas (diabetes tipe 1) atau akibat resistensi insulin (diabetes tipe 2)
(International Diabetes Federation, 2011).
Tabel 2.4 Diagnosis DM dari ACCP/ADA 2013 Gula darah
setelah makan < 140 mg/dL
140 - 199
Hemoglobin A1c < 5.7 % 5,7-6,4% 6,5%
2.8.1 Penatalaksanaan Diabetes
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2
target utama, yaitu (Azrifitria dan Silma Awalia, 2013):
a. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal.
b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan
diabetes.
Tabel 2.5 Penatalaksanaan Diabetes Parameter Glikemik
GDP 70-130 mg/dL
Kadar glukosa 2 jam setelah makan <180 mg/dL
Hemoglobin A1c < 7%
Parameter Non Glikemik
Tekanan Darah < 130/80 mmHg
LDL
< 100 mg/dL
< 70 mg/dL (dengan penyakit kardiovaskular)
HDL > 40 mg/dL (Pria)
> 50 mg/dL (Wanita)
Trigliserida < 150 mg/dL
Sumber: Farmakoterapi Diabetes, 2013
Terapi non farmakologi seperti pengaturan pola hidup sangat penting
dilakukan kepada pasien diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2 untuk
mengontrol konsentrasi glukosa darah agar tetap normal (Sweetman.S., 2009).
Pengontrolan pola makan terutama dilakukan dengan menjaga asupan karbohidrat
dan lemak (Wells Barbara G., 2009). Pengaturan pola makan ini pada intinya adalah
dengan menerapkan pola konsumsi yang sehat dan kadungan gizi yang seimbang
(Sweetman.S., 2009). Pola latihan fisik seperti aerobik juga sangat direkomendasikan.
meningkatkan sensitivitas terhadap insulin dan meningkatkan fungsi kardiovaskular
(Sweetman.S., 2009).
Bila dalam 3 bulan pemberian terapi non farmakologi tidak menunjukkan
perubahan pada pasien diabetes melitus maka penambahan terapi farmakologi berupa
pemberian obat antidiabetes oral bisa dilakukan. Terdapat dua golongan utama obat
antidiabetes oral yang bisa diberikan yaitu kelas sulfonilurea dan kelas biguanid
(Sweetman.S, 2009).
Umumnya pengobatan awal untuk penyakit diabetes ini adalah kombinasi dari
perubahan gaya hidup lebih sehat dengan penggunaan obat metformin (Maric
Andreja, 2010). Metformin ini menimbulkan efek hipoglikemia yang rendah namun
mudah menyebabkan terjadinya laktat asidosis pada pasien yang mengalami
kerusakan ginjal (Sweetman.S., 2009). Metformin menurunkan glukosa darah dengan
cara menghambat produksi glukosa hepatik dan menurunkan resistensi terhadap
insulin. Penggunaan metformin secara tunggal, mampu menurunkan HbA1c sampai
1,5% (Maric Andreja. 2010).
Dosis awal metformin 500 mg adalah dua atau tiga kali per hari atau 850 mg
satu atau dua kali perhari setelah makan (Sweetman.S., 2009). Metformin digunakan
saat sedang makan untuk mengurangi efek samping yang berhubungan dengan
pencernaan (McEvoy, 2002). Metformin ini mampu mengalami interaksi bila
digabungkan dengan obat lain, contohnya simetidin. Penggunaan simetidin dan
metformin secara bersamaan bisa menyebabkan penurunan ekskresi metformin oleh
ginjal sehingga bisa menyebabkan lactic acidosis. Maka bila kedua obat ini harus di
gunakan dalam waktu yang sama atau berdekatan maka turunkan dosis metformin
untuk mencegah interaksi tersebut (Baxter Karen, 2008).
2.8.2 Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Kontribusi apoteker ini pada intinya adalah penatalaksanaan penyakit, berarti
mencakup terapi obat dan non-obat (Depkes RI, 2005):