• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis penataan fasilitas kesehatan Kecamatan Kota Bogor dalam pembangunan wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis penataan fasilitas kesehatan Kecamatan Kota Bogor dalam pembangunan wilayah"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

WILAYAH

Oleh : Vega Haryanto

A14303044

Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas Pertanian

(2)

VEGA HARYANTO. Analisis Penataan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Kota Bogor Dalam Pembangunan Wilayah. Dibawah bimbingan NINDYANTORO.

Kedudukan Kota Bogor yang dekat dengan Ibu Kota Republik Indonesia memberikan dampak yang sangat luas dalam pembangunan wilayah. Perkembangan wilayah Kota Bogor yang pesat menyebabkan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik Kota Bogor, setiap tahunnya penduduk Kota Bogor mengalami peningkatan, dengan luas wilayah yang tetap maka kepadatan penduduk tidak dapat dihindari. Akibatnya permintaan terhadap sarana dan prasarana kota semakin tinggi diantaranya seperti fasilitas kesehatan.

Analisis dalam penelitian ini memakai tiga analisis. Analisis skalogram untuk mengetahui penyebaran dan hirarki fasilitas kesehatan antar kecamatan di Kota Bogor, analisis deskriptif terhadap standar kebutuhan fasilitas kesehatan, Sumber Daya Manusia (SDM), mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan fasilitas Rumah sakit dan puskesmas. Analisis ini digunakan untuk melihat sejauh mana daya layan dari fasilitas kesehatan. Dalam analisis terhadap Rumah Sakit dan Puskesmas digunakan dengan pertimbangan kedua fasilitas tersebut memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan di Kota Bogor.

Berdasarkan hasil analisis skalogram terhadap fasilitas kesehatan kecamatan Kota Bogor dapat disimpulkan bahwa setiap kecamatan di Kota Bogor tidak ada yang memiliki fasilitas kesehatan yang lengkap. Kecamatan dengan jumlah total jenis unit fasilitas kesehatan terlengkap adalah Kecamatan Bogor Barat dengan 175 unit, sedangkan Kecamatan Tanah Sareal menempati peringkat terakhir dalam hirarki fasilitas kesehatan ini dengan 55 unit.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap standar kebutuhan fasilitas kesehatan dalam Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012, kebutuhan fasilitas kesehatan sampai tahun 2012 di Kota Bogor secara umum terus mengalami kenaikan. Kecamatan-kecamatan yang bisa dikatakan cukup memadai dalam kuantitas fasilitas kesehatannya adalah Bogor Barat, Bogor Utara dan Bogor Tengah. Sementara kecamatan yang belum memadai dalam fasilitas kesehatan adalah Kecamatan Tanah Sareal, Bogor selatan dan Bogor Timur. Dalam analisis deskriptif standar kebutuhan tenaga kesehatan, diketahui bahwa mutu pelayanan fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor masih belum optimal. Kebutuhan akan tenaga ahli di 8 Rumah Sakit Kota Bogor belum terpenuhi semua, masih banyak dokter ahli bekerja sebagai dokter tamu atau dokter tidak tetap. Dalam analisis Mutu pelayanan Fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor yang melakukan akreditasi hanya 4 Rumah Sakit.

(3)

dengan menggunakan tiga bobot yang berbeda dapat disimpulkan bahwa masing-masing bobot menghasilkan output yang berbeda. Berdasarkan bobot jumlah penduduk dan bobot sama pengaruh jarak didapat lokasi optimal adalah Kecamatan Bogor Tengah dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kecamatan Tanah Sareal. Berdasarkan bobot luas wilayah pengaruh jarak didapat lokasi optimal adalah Kecamatan Bogor Tengah dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kecamatan Bogor Barat.

Berdasarkan usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal 2007 dan kebutuhan akan Puskesmas pembantu (Pustu) maka dianalisis lokasi optimal Pustu di Kecamatan Tanah Sareal. Berdasarkan bobot jumlah penduduk, luas wilayah dan bobot sama pengaruh didapat lokasi optimal ya ng sama yakni Kelurahan Suka Damai dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kelurahan Kayu Manis.

(4)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Vega Haryanto A14303044

Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas Pertanian

(5)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS PENATAAN FASILITAS KESEHATAN KECAMATAN KOTA BOGOR DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH” ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU.

Bogor, Mei 2007

(6)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 17 Januari 1986 dari pasangan Muslimin Irwanto dan Sriwulan sebagai anak keempat dari empat bersaudara.

(7)

Penulis mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, hanya dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis ingin mengucapkan terimakasih atas segala dukungan yang telah diberikan selama ini kepada :

1. Keluarga Tercinta : Bapak,Ibu, Kakak serta keponakanku.Terima kasih atas keceriaan dan dorongan moril yang telah diberikan selama ini. Semua itu tak kan terbalas oleh apapun...

2. Ir.Nindyantoro, MSP. Selaku pembimbing skripsi yang telah membimbing dan memberikan masukan serta nasihat bagi penulis dalam penyelesaian skripsi.

3. Sahara, SP, MSi. atas kesediaannya menjadi dosen penguji utama pada sidang skripsi dan telah memberikan saran dan kritik yang membangun bagi penulis dalam penyelesaian skripsi.

4. A.Farobby.Falatehan, SP. ME. atas kesediaannya menjadi dosen penguji akademik pada sidang skripsi dan telah memberikan saran dan kritik yang membangun bagi penulis dalam penyelesaian skripsi.

5. M.Firdaus, SP, MS. Selaku pembimbing akademik selama penulis kuliah. Yang telah memberikan bimbingan dan dorongan semangat yang melecut penulis untuk lebih baik lagi dalam kuliah.

6. Instansi Pemerintah di tingkat Kota Bogor (BPS, Bapeda, DLLAJ, Dinas Kesehatan) atas kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat melakukan penelitian tanpa hambatan berarti. 7. Bpk.Naufal Isnaeni, S.Si. atas kerjasama, bimbingan dan pelajaran yang

sangat berarti bagi penulis selama penyelesaian skripsi.

(8)

Warno, Fadli,dll), BEMFaperta05/06, Miseta03/04, D’Green& Aer on News, Crew POJOKBNI-IPB, VIKING PERSIB BOGOR. Hiasan kalian telah tertancap dihatiku kawan...

10.Rekan seperjuangan : Vitha Oktaviani terima kasih atas kerjasamanya..,Karisma dan Ajeng atas dukungannya.

11.Segala hal yang telah memberi inspirasi dan lecutan semangat dalam hidup kepada penulis sehingga semangat, kreativitas dan kerja keras itu terasa indah dengan kalian...

KEPINGAN-KEPINGAN KISAH ITU KUHARAP AKAN BERAKHIR INDAH. . . HINGGA SAATNYA NANTI AKU AKAN TERSENYUM

MENGINGATNYA KEMBALI. MENGINGAT INSTITUSI YANG TELAH MEMBERIKAN BERMILYAR-MILYAR PENGETAHUAN BAGI KU

. . . .

(9)

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Analisis Penataan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Kota Bogor Dalam Pembangunan Wilayah” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadaridalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Mei 2007

(10)

Halaman

2.1.1. Tingkat Efisiensi Pengelolaan Rumah Sakit Umum ... 9

2.2. Puskesmas ... 10

2.2.1. Fungsi dan Peran Puskesmas... 11

2.3. Teori Barang Publik... ... 14

2.4. Penelitian Terdahulu ... 15

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis ... 18

3.1.1. Konsep Perkotaan ... 18

3.1.2. Definisi Most Accessible ... 20

3.1.3. Teori Tempat Sentral ... 21

3.1.4. Teori Hakimi ... 23

3.1.5. Teori Lokasi ... 23

3.1.6. Perencanaan Pusat Pelayanan ... 24

3.2. Kerangka Penelitian ... 25

IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 30

4.2. Metode Pengumpulan Data ... 30

4.3. Metode Analisis Data ... 30

4.4. Ruang lingkup dan Keterbatasan Penelitian... 35

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Kondisi Fisik Wilayah Kota Bogor ... 37

5.1.1. Kondisi Topografi ... 37

(11)

5.2.3. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian... 44

5.2.4. Distribusi Penduduk Miskin... 44

5.3. Kondisi Perekonomian... ... 45

5.4. Pembangunan Kota Bogor ... 47

5.5. Arah Pengembangan Pembangunan Fisik Kota ... 48

VI. RENCANA PENGEMBANGAN DAN PENATAAN RUANG KOTA BOGOR TAHUN 1999-2009 6.1. Rencana Struktur Tata Ruang ... 49

6.2. Rencana Pengembangan Sistem Perwilayahan ... 51

6.3. Rencana Penggunaan Lahan... 52

6.4. Rencana Penyediaan Fasilitas Kesehatan... 52

VII. HASIL DAN PEMBAHASAN 7.1. Hirarki Aktual Fasilitas Kesehatan Kecamatan Kota Bogor Berdasarkan Metode Skalogram ... 54

7.2. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Rumah Sakit dan Puskesmas di Kota Bogor... 60

7.2.1. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Puskesmas Kota Bogor ... 60

7.2.2. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor ... 61

7.3. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2000-2012 ... 61

7.4. Analisis Deskriptif Mutu Fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor ... 65

7.5. Analisis Deskriptif Mutu Fasilitas Puskesmas Kota Bogor ... 66

7.6. Analisis Deskriptif Efisiensi Pengelolaan Fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor ... 68

7.7. Analisis Penentuan Lokasi Optimal Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor ... 69

7.7.1. Analisis Penentuan Lokasi Optimal RSUD Kota Bogor dengan Analisis P-Median ... 71

7.7.2. Faktor Jarak ... 73

7.7.3. Faktor bobot ... 73

7.7.4. Hasil Analisis P-Median... 73

7.7.4.1. Dengan Bobot Jumlah Penduduk ... 73

7.7.4.2. Dengan Bobot Luas Wilayah ... 74

7.7.4.3. Dengan Bobot Sama, Pengaruh Jarak ... 74

7.7.4.4. Hubungan antara Hasil Analisis P-Median dan Skalogram. 75 7.8. Analisis Penentuan Lokasi Optimal Puskesmas Pembantu Kecamatan Tanah Sareal dengan Analisis P-Median ... 75

7.8.1. Hasil Analisis P-Median... 77

7.8.1.1. Berdasarkan Bobot Jumlah Penduduk ... 77

7.8.1.2. Berdasarkan Bobot Luas Wilayah... 78

(12)

dengan Hasil Sarembang Tingkat Kota Oleh Pemda

dan Hasil Analisis P-Median... 79 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

8.1. Kesimpula n... 80 8.2. Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA

(13)

No. Teks Halaman

Tabel.12 Jumlah Puskesmas, Puskesmas pembantu dan Puskesmas keliling Kota Bogor Tahun 2005 ... 56

Tabel.13 Jumlah Rumah Sakit dan tempat tidur Kota Bogor Tahun 2005. 56 Tabel.14 Jumlah Fasilitas Kesehatan Dasar di Kota Bogor Tahun 2005... 57

Tabel.15 Distribusi fasilitas penunjang kesehatan Kota Bogor Tahun 2005... 58

Tabel.16 Pola Perilaku Pencarian Pengobatan di Kota Bogor Tahun 2005... 59

Tabel.17 Rencana Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Bogor Barat 2000-2012 ... 61

Tabel.18 Rencana Kebutuhan Fasilitas Sosial Ekonomi Berdasarkan Jumlah Penduduk Kecamatan Bogor Selatan Tahun 2007 – 2012 ... 62

Tabel.19 Rencana Kebutuhan Fasilitas Umum dan Sosial Kecamatan Bogor Timur Berdasarkan Penduduk Tahun 2007-2012 ... 63

Tabel.20 Rencana Kebutuhan Fasilitas Umum dan Sosial Kecamatan Bogor Utara Berdasarkan Penduduk Tahun 2007-2012 ... 63

Tabel.21 Rencana Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Tanah Sareal Berdasarkan Proyeksi Penduduk Tahun 2007 Dan 2012 ... 64

(14)

Tabel.25 Kunjungan Puskesmas di Kota Bogor Tahun 2003-2005 ... . 67 Tabel.26 Efisiensi Pengelolaan Rumah Sakit di Kota Bogor

Tahun 2005... 68 Tabel.27 Puskesmas, Pustu dan Kelurahan di Kecamatan

(15)

No. Teks Halaman

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Penataan Fasilitas Kesehatan

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam suatu negara yang sangat luas dan kondisi fisik serta geografi wilayah

yang sangat beragam seperti Indonesia, pembangunan wilayah sangat penting dalam pembangunan nasional. Permasalahan pembangunan wilayah yang terjadi selama ini adalah timbulnya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah, dimana wilayah

yang dekat dengan pusat pertumbuhan lebih berkembang dibandingkan wilayah yang jauh dari pusat. Untuk mengurangi ketimpangan tersebut maka pembangunan wilayah menghendaki adanya penataan lokasi agar tercapai efisiensi dan optimalisasi bagi

suatu kegiatan ekonomi maupun pelayanan sosial, baik dilihat dari kegiatan itu sendiri maupun dari kaitannya dengan kegiatan-kegiatan ditempat-tempat lain (Purliana, 2003).

Pembangunan wilayah didalamnya memerlukan pendekatan multidisiplin, seperti geografi, ekonomi, perencanaan kota, teori lokasi dan disiplin ilmu lainnya.

Studi pembangunan wilayah terkait dengan lokasi dan tata ruang. Secara umum studi mengenai lokasi adalah melihat kedekatan atau jauhnya satu kegiatan dengan kegiatan lain dan apa dampaknya atas kegiatan masing-masing karena lokasi yang berdekatan atau berjauhan tersebut. Lokasi berbagai kegiatan, seperti rumah tangga,

pertokoan, pabrik, pertanian, pertambangan, sekolah, fasilitas kesehatan dan lainnya tidaklah asal saja atau acak berada di lokasi tersebut, melainkan menunjukkan pola dan susunan (mekanisme) yang dapat diselidiki dan dapat dimengerti. Lokasi

berbagai kegiatan akan lebih efektif dan efisien apabila berada pada lokasi yang optimal. Selain untuk memberikan pelayanan yang optimal bagi masyarakat juga untuk membantu dalam hal penataan kota yang baik bagi pemerintah setempat.

Pembangunan Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekaligus untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai termasuk didalamnya pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Dalam usaha untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan faktor produksi

(17)

berkualitas. Menurut Tjondronegoro, dkk (1994) dalam Statistik Kesehatan Indonesia tahun 2004, rendahnya kualitas SDM ditandai dengan tingkat pendidikan dan tingkat

kesehatan yang rendah. Sehingga untuk meningkatkan kualitas SDM diperlukan berbagi strategi pembangunan dibidang pendidikan, kesehatan dan bidang lain seperti tenaga kerja, fertilitas, perumahan dan lain-lain.

Status kesehatan masyarakat merupakan faktor penting dari seluruh indikator yang ada selain pendidikan dan merupakan faktor penting dari produktifitas ekonomi.

Untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, pemerintah melakukan berbagai program antara lain melalui pendidikan kesehatan, imunisasi, pemberantasan penyakit menular, penyediaan air bersih serta pelayanan kesehatan. Pemerintah memprioritaskan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat umum,

dengan perhatian khusus kepada masyarakat berpenghasilan rendah, daerah kumuh perkotaan, daerah pedesaan, daerah terpencil dan kelompok masyarakat terasing. Ha l

tersebut dikarenakan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor selain dana, misalnya pendapatan masyarakat, akses ke pelayanan kesehatan, dan faktor lainnya. Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kualitas SDM serta

kualitas kehidupan dan usia harapan hidup manusia, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat melalui peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan kesehatan yang merata.

Kedudukan Kota Bogor yang dekat dengan Ibu Kota Republik Indonesia memberikan dampak yang sangat luas dalam pembangunan wilayah bagi Kota Bogor. Kota Bogor pada saat ini berkembang dengan cepat, dengan tumbuhnya

daerah-daerah kegiatan ekonomi seperti pusat perbelanjaan dan lainnya. Sebagian besar kegiatan perekonomian dan ketersediaan prasarana dan sarana pelayanan sosial di Kota Bogor terpusat pada suatu wilayah yang dekat ibukota Bogor yakni Kecamatan Bogor Tengah. Dengan adanya otonomi daerah, pembangunan Kota Bogor semakin maju. Pertumbuhan Kota Bogor bisa dilihat dari luasnya yang semakin bertambah,

(18)

terkonsentrasi di pusat kota yaitu di Bogor Tengah, tetapi memberikan sarana pembangunan di wilayah lain sehingga arus bangkitan baik bangkitan sarana maupun

transportasi dapat memecah ke segala wilayah (Bapeda Kota Bogor, 2005). Perkembangan wilayah Kota Bogor yang pesat menyebabkan pertumb uhan penduduk yang tinggi. Akibatnya permintaan terhadap sarana dan prasarana kota semakin

tinggi, di antaranya ialah fasilitas kesehatan. Sejalan dengan tujuan pembangunan kesehatan yakni percepatan pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal

dengan salah satu caranya adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat melalui upaya- upaya program yang efektif, efisien dan tepat sasaran. Maka penataan fasilitas kesehatan kecamatan di Kota Bogor mutlak diperlukan agar tercapai pelayanan kesehatan yang merata pada setiap masyarakat.

1.2 Perumusan Masalah

Menurut Badan Pusat Statistik Kota Bogor, setiap tahunnya penduduk Kota Bogor mengalami peningkatan. Namun demikian penyebaran penduduk di Kota Bogor masih belum merata. Jumlah Penduduk Kota Bogor pada tahun 2005 mencapai

855.085 jiwa yang terdiri dari 431.862 jiwa penduduk laki-laki dan 423.223 jiwa penduduk perempuan, sebagian besar adalah penduduk yang bermukim di Kecamatan Bogor Barat yang memiliki luas wilayah paling besar diantara kecamatan di Kota

(19)

Tabel 1. Luas Wilayah, Banyaknya Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota Bogor per Kecamatan Tahun 2005

No Kecamatan Luas Wilayah Jumlah

Penduduk

Kepadatan Penduduk (per Km2)

1 Bogor Selatan 30,82 166.745 5.412

2 Bogor Timur 10,15 86.978 8.569

3 Bogor Utara 17,72 149.578 8.441

4 Bogor Tengah 8,13 103.176 12.691

5 Bogor Barat 32,85 190.421 5.797

6 Tanah Sareal 18,84 158.187 8.396

Kota Bogor 11,850 855.085 7.216

Sumber : BPS Ko ta Bogor, 2005

Dari Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa penduduk Kota Bogor pada tahun 2005 telah mencapai 855.085 jiwa. Apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 Kota Bogor berpenduduk sebesar

760.329 jiwa sedangkan tahun 2004 meningkat menjadi 831.571 jiwa dengan luas wilayah yang tetap, maka kepadatan penduduk tidak dapat dihindari. Peningkatan penduduk akan mempengaruhi pembangunan fasilitas sosial seperti fasilitas

kesehatan.

Indeks kesehatan adalah salah satu indikator dalam Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) yang diperhitungkan dari Indikator Harapan Hidup saat lahir. Angka Kematian Bayi adalah Indikator Utama yang mempengaruhi Angka Harapan Hidup. Indeks Kesehatan menunjukkan jarak yang telah ditempuh untuk mencapai

maksimum Angka Harapan Hidup sebesar 85 tahun. Sejak tahun 2000 hingga 2004 indeks kesehatan terus meningkat dan sudah menunjukkan angka diatas 70.

(20)

Tabel 2. Indeks Kesehatan per Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2000-2004

Sumber : BPS Kota Bogor, 2004

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa untuk Kecamatan Bogor Barat

dari tahun 2000-2004 selalu menduduki peringkat pertama dan untuk Kecamatan Bogor Selatan selalu menduduki peringkat terakhir. Hal ini dapat dikatakan bahwa masyarakat Kecamatan Bogor Barat lebih memperhatikan kesehatan dibandingkan

dengan masyarakat di Kecamatan Bogor Selatan. Kecamatan Bogor Selatan yang merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah di Kota Bogor, memiliki Indeks Kesehatan paling rendah. Hal ini diantaranya disebabkan jauhnya jangkauan dan ketersediaan fasilitas kesehatan di wilayah tersebut. Namun secara umum dari tahun 2000-2004 di setiap kecamatan di Kota Bogor Indeks Kesehatannya menunjukan peningkatan.

Indeks Kesehatan Kota Bogor diatas menunjukan bahwa status kesehatan masyarakat di tiap kecamatan Kota Bogor tidak merata. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketersedian sarana dan prasarana kesehatan yang memadai,

biaya kesehatan dan akses terhadap fasilitas kesehatan di tiap wilayah.

Saat ini pemerintah Kota Bogor memiliki beberapa permasalahan terutama yang berkaitan dengan penataan ruang fasilitas sosial seperti pusat perbelanjaan dan

fasilitas kesehatan, yang tidak sama antar wilayah kecamatan dan laju pertumbuhan penduduk. Permasalahan mengenai fasilitas kesehatan yang kurang merata di Kota Bogor berlangsung sampai saat ini. Euforia otonomi daerah, menyebabkan pertumbuhan Kota Bogor makin menuju ke arah positif. Perkembangan yang terjadi

(21)

perencanaan yang komprehensif untuk penataan fasilitas kesehatan agar tercapai tujuan pembangunan kesehatan bagi Kota Bogor yang merata. Berdasarkan uraian

permasalahan diatas maka penelitian ini akan menjawab beberapa permasalahan yaitu:

1. Bagaimana penyebaran fasilitas kesehatan di setiap kecamatan Kota Bogor?

2. Bagaimana standar kebutuhan, mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan fasilitas kesehatan kecamatan khususnya Rumah Sakit dan Puskesmas Kota

Bogor?

3. Apakah lokasi rencana pembangunan RSUD Kota Bogor sudah optimal? Apabila belum, bagaimana lokasi optimal untuk RSUD Kota Bogor?

4. Bagaimana lokasi optimal dalam prioritas pengadaan Puskesmas Pembantu di

kecamatan yang mempunyai skoring terendah dalam hirarki fasilitas kesehatan?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengkaji penyebaran fasilitas kesehatan kecamatan Kota Bogor. Sehingga akan terlihat wilayah mana yang masih kurang lengkap ataupun yang sudah lengkap fasilitas kesehatannya. (2) Mengkaji standar kebutuhan, mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan sarana dan prasarana kesehatan

kecamatan Kota Bogor. Sehingga akan terlihat fasilitas kesehatan mana yang masih kurang ataupun yang sudah optimal dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. (3) Menganalisis lokasi optimal RSUD Kota Bogor agar mencapai

pilihan lo kasi dan pelayanan yang optimal, sehingga dengan terpilihnya lokasi penataan yang optimal maka dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan oleh pembuat kebijakan dalam hal ini Pemerintah Kota Bogor dalam pengalokasian ruang

(22)

I.4 Manfaat Penelitian

Selain sebagai sarana pembelajaran mengenai pembangunan wilayah, penulis

juga mengharapkan penelitian ini dapat membawa manfaat- manfaat sebagai berikut : 1. Bagi pihak Pemerintah Daerah Kota Bogor

Sebagai masukan dalam menyusun rencana pembangunan di wilayahnya dan

selain itu dapat berguna untuk menganalisis dan pandangan yang lain tentang wilayahnya.

2. Bagi dunia ilmu ekonomi pertanian dan sumberdaya

Memberikan masukan tentang analisis pembangunan wilayah di tempat penelitian, sehingga dapat dijadikan tambahan ilmu dalam pembangunan regional (kedaerahan) dan sebagai referensi bagi para peneliti selanjutnya.

3. Bagi penulis

Memberikan gambaran secara langsung bagaimana teori yang diterima selama

di kuliah dapat diterapkan dalam dunia praktek dan untuk memperluas wawasan penulis tentang konsep pembangunan wilayah.

(23)

II. KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Kerangka Teoritis

2.1.1 Konsep perkotaan

Menurut Tarigan (2002), dalam perencanaan wilayah, sangat perlu untuk menetapkan suatu tempat permukiman atau tempat berbagai kegiatan itu sebagai kota atau bukan. Hal ini karena kota memiliki fungsi yang berbeda sehingga kebutuhan

fasilitasnya pun berbeda dibanding dengan daerah pedesaan. Dalam menetapkan apakah suatu konsentrasi permukiman sudah dapat dikategorikan sebagai kota atau belum, perlu ada kriteria yang jelas untuk membedakannya. Biro Pusat Statistik

(BPS), dalam pelaksanaan survei status desa/kelurahan tahun 2000, menggunakan kriteria untuk menetapkan apakah suatu desa dikategorikan sebagai desa atau kota. Kriteria yang digunakan adalah :

1. kepadatan penduduk per km2,

2. persentase rumah tangga yang mata pencaharian utamanya pertanian atau non

pertanian,

3. persentase rumah tangga yang memiliki telepon,

4. persentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik,

5. fasilitas umum yang ada di desa/kelurahan, seperti: fasilitas pendidikan,

pasar, tempat hiburan, kompleks pertokoan, dan fasilitas lain seperti hotel, bilyar, diskotik, karaoke, panti pijat, dan salon. Masing- masing fasilitas diberi skor (nilai). Atas dasar skor yang dimiliki desa/kelurahan tersebut

maka ditetapkan desa/kelurahan tersebut masuk dalam salah satu kategori berikut: perkotaan besar, perkotaan sedang, perkotaan kecil, dan pedesaan. Pada dasarnya untuk melihat apakah konsentrasi itu sebagai kota atau tidak,

adalah dari seberapa banyak jenis fasilitas perkotaan yang tersedia dan seberapa jauh kota itu menjalankan fungsi perkotaan. Fasilitas perkotaan/fungsi perkotaan antara lain adalah sebagai berikut.

1. Pusat perdagangan, yang tingkatannya dapat dibedakan atas melayani

(24)

(daerah perbatasan), melayani beberapa kota kecil (pusat kabupaten), melayani pusat provinsi atau pusat kegiatan perdagangan antar pulau/ekspor

di provinsi tersebut dan pusat beberapa provinsi sekaligus.

2. Pusat pelayanan jasa baik jasa perorangan maupun jasa perusahan. Jasa perorangan, misalnya tukang pangkas, salon, tukang jahit, dokter, notaris atau

warung kopi/nasi. Jasa perusahaan, misalnya perbankan, perhotelan, asuransi. 3. Tersedianya prasarana perkotaan, seperti sistem jalan kota yang baik, jaringan

listrik, jaringan telepon, jaringan air minum, pelayanan sampah, sistem drainase, taman kota, atau pasar.

4. Pusat penyediaan fasilitas sosial atau seperti prasarana pendidikan (universitas, akademi, SMU, SLTP, SD), termasuk berbagai kursus

keterampilan, prasarana kesehatan dengan berbagai tingkatannya, termasuk apotik, prasarana sosial seperti gedung pertemuan, dan lain- lain.

5. Pusat pemerintahan, banyak kota yang sekaligus merupakan lokasi pusat pemerintahan.

6. Pusat komunikasi dan pangkalan transportasi, artinya kota tersebut

masyarakat bisa berhubungan ke banyak tujuan dengan berbagai pilihan alat penghubungan.

7. Lokasi permukiman yang tertata, suatu lokasi dikatakan kota karena jumlah

penduduknya banyak Hal ini berarti kota sekaligus merupakan lokasi permukiman, dan semestinya di kota, permukiman itu tertata karena harus meminta IMB apabila ingin membangun.

Makin banyak fungsi dan fasilitas perkotaan, makin meyakinkan bahwa lokasi konsentrasi adalah sebuah kota. Penentuan orde perkotaan dapat didasarkan atas gabungan beberapa variabel. Variabel yang umum dianggap berpengaruh dalam menetapkan orde perkotaan adalah sebagai berikut.

1. Jumlah penduduk perkotaan

(25)

3. Tingkat aksesibilitas dari kota tersebut terhadap kota terdekat yang memiliki orde lebih tinggi di wilayah itu (misalnya ibukota kabupaten/provinsi).

2.1.2 Definisi Most Accesible

Lokasi untuk pelayanan umum biasanya ditentukan oleh biaya yang dapat

dijangkau masyarakat, sehingga memiliki banyak pilihan untuk menentukan berada dalam posisi most accesible. Sedangkan masyarakat pada faktanya tersebar tidak

merata sama untuk mencukupi kebutuhan hidupnya mereka cenderung akan memilih lokasi pelayanan yang berada pada posisi most accesible.

Menurut Rushton, (1979) berusaha memberi batasan pada most accesible

untuk seseorang jika fasilitas- fasilitas ya ng didapat :

1. Jarak total dari tempat seseorang ke pusat pelayanan minimum ini disebut jarak agregat minimum, ini juga sama dengan jarak rata-rata minimum, jadi

yang menjadi kriteria adalah jarak rata-rata.

2. Jarak terjauh dari tempat seseorang ke pusat pelayanan adalah minimum, ini disebut jarak minimax.

3. Jumlah masyarakat pada daerah terdekat yang mengelilingi pusat pelayanan selalu sama dengan jumlah yang telah ditetapkan, hal ini disebut batas keseimbangan.

4. Jumlah masyarakat pada daerah terdekat yang mengelilingi pusat pelayanan selalu lebih besar dari jumlah yang telah ditetapkan, ini disebut batas ambang. 5. Jumlah masyarakat yang terdapat mengelilingi pusat pelayanan tidak pernah

lebih besar dari jumlah yang telah ditentukan. Ini disebut batas kapasitas (daya tampung).

Most accesible adalah mudah atau tidaknya seseorang mencapai lokasi pusat pelayanan terdekat. Ada berbagai unsur yang mempengaruhi tingkat akses tersebut. Misal: kondisi jalan, jenis alat angkutan yang tersedia, frekuensi keberangkatan,

(26)

2.1.3 Teori Tempat Sentral

Menurut Glasson (1974) dalam Sitohang (1977), dari semua model mengenai

struktur spasial, teori tempat sentral (central place theory) adalah yang paling banyak diteliti dan paling terkenal. Teori ini bermaksud untuk menghubungkan tempat sentral dengan daerah belakangnya dan mendefinisikan tempat sentral sebagai suatu

pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah-belakangnya. Namun teori ini hanyalah berkenaan dengan intensitas dan lokasi dari industri jasa dan

dengan demikian hanya dapat memberi penjelasan parsial tentang struktur regional. Teori tempat sentral (central place theory) diperkenalkan oleh Walter Christaller dan karya perintisnya tentang The Central Places of Southern Germany

pada tahun 1933. Menurut Christaller (1933) suatu hirarkhi dari kegiatan-kegiatan

jasa, berlingkup mulai dari pelayanan pada “tingkat rendah” yang terdapat pada setiap pusat -- kota atau kampung – sampai pelayanan pada “tingkat tinggi” yang hanya

terdapat di pusat-pusat yang besar. Masing- masing kegiatan jasa mempunyai penduduk ambang dan lingkup pasar.

Penduduk ambang (threshold population) adalah jumlah minimum penduduk yang harus ada untuk dapat menopang kegiatan jasa. Jumlah minimum ini dapat bermaca m-macam, umpamanya jumlah 250 orang untuk menopang suatu warung kecil, atau 150.000 orang untuk menopang suatu pertunjukan. Jika jumlah

penduduk lebih kecil daripada tingkat ambang, maka kegiatan tersebut akan mengalami kerugian dan terancam gulung tikar. Jika jumlah penduduk bertambah di atas minimum perusahaan jasa dapat memperoleh laba yang lebih besar.

Lingkup pasar (market range) dari suatu kegiatan jasa adalah jarak yang ditempuh oleh penduduk untuk mencapai tempat penjualan jasa tersebut, dengan catatan bahwa penempuhan jarak itu adalah berdasarkan kesediaan orang yang bersangkutan. Lingkup ini adalah batas terluar dari daerah pasar bagi suatu kegiatan jasa, diluar batas mana orang akan mencari pusat lain. Lingkup pasar dapat

(27)

Menurut Christaller (1933) konsep dasar atau unsur-unsur pokok tempat sentral adalah sebagai berikut :

1. Wilayah yang dilayani oleh tempat sentral merupakan wilayah komplementer bagi tempat sentral.

2. Tempat sentral yang mempunyai kegiatan sentral, yaitu yang melayani

wilayah yang terluas disebut tempat sentral orde tertinggi sedangkan tempat sentral yang melayani wilayah yang lebih kecil tempat sentral orde rendah.

3. Batas pelayanan dari tiap kegiatan sentral digambarkan sebagai batas jangkauan dari tiap komoditi.

4. Permintaan dan konsumsi terhadap sentral tersebut tergantung secara timbal balik pada distribusi dan variasi kondisi sosial-ekonomi penduduk serta

konsentrasi penduduk di tiap tempat sentral.

5. Permintaan terhadap kegiatan sentral tergantung pada jarak dan usaha

konsumen untuk memperoleh komoditi tersebut. Diasumsikan bahwa permintaan terhadap komoditi tersebut akan semakin berkurang hingga titik nol, yaitu berdasarkan pertambahan jarak dari tempat.

Berdasarkan prinsip -prinsip Christaller (1933) hirarki tempat sentral adalah sebagai berikut :

a. Prinsip pemasaran atau penawaran, yaitu berdasarkan prinsip bahwa setiap tempat

sentral hanya dapat melayani secara maksimum sepertiga dari enam sub tempat sentral (titik-titik heksagonal) ditambah dengan tempat sentral itu sendiri. Jumlah tempat sentral yang dominan adalah tiga, dan Christaller menyatakan bahwa nilai

k=3, yaitu jumlah pemukiman dengan orde tertentu dila yani oleh suatu tempat sentral yang ordenya lebih tinggi. Penerapan ini mewujudkan pola tata ruang yang memaksimumkan distribusi barang dan jasa dengan jumlah tempat sentral yang sedikit.

b. Prinsip transportasi, yaitu berdasarkan prinsip jarak minimum diantara tempat

(28)

dengan nilai k=4. Dalam penerapan prinsip ini, mobilitas barang adalah maksimum dengan ongkos minimum. Untuk mencapai keadaan ini, sejauh

mungkin tempat sentral berlokasi pada jalur-jalur lurus.

c. Prinsip administrasi, yaitu berdasarkan prinsip kontrol atau pengelolaan dan pemerintah dalam pengertian bahwa fungsi tiap tempat sentral mengontrol

keenam sub tempat sentral yang mengelilinginya dengan nilai k=7.

2.1.4 Teori Hakimi

Menurut Hakimi (1964) dalam Rushton (1979) mengeluarkan suatu teori yang menunjukkan bagaimana menemukan satu titik optimum dalam suatu jaringan-jaringan. Dengan adanya jarak yang tetap diantara simpul-simpul yang ada dalam

jaringan, maka akan dapat ditemukan satu simpul diantara semua simpul yang ada, yang mempunyai jarak terpendek dan mempunyai kriteria bobot yang ditetapkan.

Simpul atau titik yang dimaksudkan disebut sebagai titik tengah dari jaringan. Ini merupakan teori yang penting, karena itu dianjurkan untuk menggunakan teori ini dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan penaksiran simpul-simpul

alternatif pada jalur network. Secara ringkas teori hakimi berbunyi: ”ada satu simpul dalam jaringan yang meminimumkan jumlah jarak terpendek yang berbobot dari semua simpul terhadap satu simpul tertentu dimana simpul tersebut juga merupakan

bagian dari jarak tersebut”.

2.1.5 Teori Lokasi

Budiharsono (2001) menyatakan pemahaman tentang bagaimana keputusan mengenai lokasi mutlak diperlukan jika ingin membahas kegiatan pada ruang dan menganalisis bagaimana suatu wilayah tumbuh dan berkembang. Keputusan mengenai lokasi yang diambil oleh unit- unit pengambil keputusan akan menentukan struktur tata ruang wilayah yang terbentuk. Unit-unit pengambil keputusan dalam

(29)

1. Rumah tangga

Aktivitas ekonomi rumah tangga yang paling pokok adalah :

a. Penjualan jasa tenaga kerja b. Konsumsi

Setiap rumah tangga dihadapkan pada masalah pengambilan keputusan mengenai

lokasi permukiman, lokasi penjualan jasa (kerja) dan lokasi konsumsi, karena diasumsikan bahwa setiap rumah tangga akan memaksimalkan kegunaan (utility)

barang dan jasa. 2. Perusahaan

Kegiatan ekonomi dari suatu perusahaan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : a. Pengumpulan input

b. Proses produksi c. Proses pemasaran

Pengambilan keputusan tentang lokasi oleh suatu perusahaan adalah suatu usaha untuk memaksimalkan keuntungan yang diperolehnya.

3. Pemerintah

Peran pemerintah adalah melindungi kepentingan masyarakat. Selain itu, pemerintah secara langsung bertindak sebagai locator dari berbagai sarana dan fasilitas pelayanan umum. Penentuan lokasi oleh pemerintah biasanya berdasarkan

kepada usaha bagaimana untuk memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat. Pengambilan kep utusan mengenai lokasi bersifat jangka panjang. Sehingga membutuhkan biaya yang besar jika terjadi pemindahan lokasi. Menurut Hanafiah

(1989) dalam Budiharsono (2001) faktor-faktor lokasi yang menentukan pemilihan suatu lokasi untuk suatu kegiatan dapat dikelompokkan menjadi :

1. Input Lokal

Input lokal adalah semua barang dan jasa yang ada pada suatu lokasi dan sangat sukar atau tidak mungkin dipindahkan ke tempat lain. Contoh input lokal adalah :

(30)

suatu lokasi tergantung dari keadaan lokasi itu sendiri dan ketersediaa nnya tidak dipengaruhi oleh transfer input dari lokasi lain.

2. Permintaan lokal

Permintaan lokal atau output yang tidak dapat ditransfer (nontransferable output) adalah permintaan akan output secara lokal yang tidak dapat di transfer pada suatu

lokasi. Contohnya adalah permintaan tenaga kerja oleh pabrik lokal, permintaan akan pelayanan lokal seperti masjid, bioskop, tukang cukur dan sebagainya.

3. Input yang dapat ditransfer

Input yang dapat ditransfer adalah persediaan input yang dapat ditransfer dari sumber-sumber di luar suatu lokasi, yang sampai batas tertentu merupakan pencerminan biaya transfer atau biaya transportasi dari sumber-sumber input ke

lokasi tersebut.

4. Permintaan dari luar

Permintaan dari luar atau output yang dapat ditransfer adalah permintaan bersih yang diperoleh dari penjualan output yang dapat ditransfer ke pasar di luar lokasi, yang merupakan pencerminan dari biaya transfer atau biaya transportasi dari lokasi

tersebut ke pasar-pasar.

2.1.6 Perencanaan Pusat Pelayanan

Tujuan identifikasi pusat pelayanan adalah untuk : (1) mengidentifikasi pusat-pusat pelayanan dan daerah pelayanan pada tingkat yang berbeda. (2) penentuan dari fasilitas infrastruktur pokok untuk memuaskan kebutuhan beragam sektor dari

penduduk. (3) pengintegrasian atau pengelompokan pelayanan pada tingkat yang berbeda dan penentuan dari keterkaitan atau jaringan jalan untuk mengembangkan aksesibilitas dan efisiensi.

Konsep pusat pelayanan mempunyai beberapa asumsi, yaitu : (1) penduduk didistribusikan pada beragam ukuran pemukiman. (2) mereka mempunyai kebutuhan

(31)

dan kota serta meneruskan untuk tinggal bersama selama sumberdaya mncukup i atau keinginan yang terbatas. (5) mereka menggunakan sumberdaya untuk kebutuhan

dasar yang dibatasi atau keinginan yang terbatas. (6) mereka berpindah ke tempat lain (migrasi) untuk mencari barang-barang dan jasa yang tidak mereka dapat di permukiman mereka.

Pusat dan daerah belakang (hinterland) dalam suatu wilayah nodal mempunyai fungsi yang spesifik sehingga keduanya tergantung secara internal.

Fungsi dari pusat antara lain adalah: (1) pusat permukiman, (2) pusat pelayanan, (3) pusat industri, (4) pusat perdagangan bahan mentah. Sedangkan fungsi daerah belakang: (1) penyedia bahan mentah dan sumberdaya pasar, (2) daerah pemasaran barang-barang industri, (3) pusat kegiatan pertanian. Faktor- faktor yang

menyebabkan timbulnya pusat-pusat wilayah adalah: (1) faktor lokasi ekonomi dan letak strategis, (2) faktor ketersediaan sumber daya, (3) kekuatan aglomerasi, (4)

faktor investasi pemerintah. Pada dasarnya pusat wilayah mempunyai hierarki yang ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) jumlah penduduk yang bermukim pada pusat tersebut, (2) jumlah fasilitas pelayanan umum yang tersedia, dan (3) jumlah

jenis fasilitas pelayanan umum yang tersedia.

2.2 Penelitian Terdahulu

Secara umum, penelitian tentang analisis lokasi optimal terhadap suatu wilayah telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Kurniawan (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Lokasi Optimal Pusat Pemerintahan dalam

Rangka Pengembangan Wilayah dan Efisiensi Pelayanan di Kabupaten Lampung barat, Provinsi Lampung mencoba menganalisis penentuan lokasi optimal dari pusat pemerintahan dalam rangka pengembangan wilayah dan efisiensi pelayanan. Menggunakan perhitungan dengan P- median, hasil perhitungan program menunjukkan bahwa berdasarkan bobot jumlah penduduk dan bobot sama pengaruh

(32)

pemerintahan yaitu kecamatan Balik bukit (kota Liwa). Hasil ini sesuai dengan kepentingan Pemda yang menentapkan kota tersebut sebagai pusat pemerintahan.

Faisal Ashar (2002, Teknik Planologi-ITB)1 dalam penelitiannya yang berjudul Studi penentuan lokasi optimal terminal penumpang di kota Padang menganalisis lokasi yang optimal bagi terminal angkutan umum penumpang di Kota

Padang. Dengan menggunakan metoda P-Median yang merupakan jenis Model Optimasi Lokasi yang dikembangkan dari dalil Hakimi yang memakai algoritma

Teitz dan Bart, maka dibuat program lokasi yang mampu untuk menentukan lokasi terminal angkutan umum yang optimal tersebut. Dan optimasi yang telah dilakukan terbukti bahwa lokasi terminal angkutan umum penumpang dipengaruhi oleh pertumbuhan dan penyebaran penduduk serta penambahan ruas jaringan jalan di

suatu kota. Hasil tersebut membuktikan bahwa pengope rasian Terminal Regional Bingkuang di Air Pacah belum optimal dan sisi lokasi. Lokasi terminal angkutan

umum penumpang yang optimal di Kota Padang adalah di simpul 156 yang terletak di Kelurahan Kalumbuk Kecamatan Kuranji, dan berada di ruas jalan By-Pass.

Bilang Nauli Harahap (1999, Teknik Planologi-ITB)2 dalam penelitiannya

yang berjudul Arahan lokasi fasilitas pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama di wilayah Bandung Timur mencoba membantu memecahkan masalah tersebut dengan mengidentifikasi kebutuhan nyata terhadap fasilitas SLTP. Analisis yang digunakan

dalam studi ini ialah perhitungan kebutuhan dan sediaan fasilitas SLTP di setiap kelurahan. Kebutuhan fasilitas SLTP kelurahan yang melebihi sediaannya dianggap menggunakan fasilitas di kelurahan la in terdekat. Metode yang digunakan dalam

perhitungan penggunaan fasilitas SLTP adalah metode P-median dan analisis peta dengan menggunakan ARC/INFO. Analisis dilakukan dalam dua periode waktu yaitu tahun 1998 dan 2004, karena lama pendidikan di SD 6 tahun.

Hasil yang diperoleh dari studi ini ialah sebagai berikut. Terdapat tiga pola pengelompokan penggunaan fasilitas SLTP, yaitu kelompok kelurahan/desa

1 Departemen Teknik Planologi-ITB Studi penentuan lokasi optimal terminal penumpang di kota Padangdikutip dari Http://www.itb.ac.id (17 Desember 2006)

(33)

Margasenang, Pasir Wangi dan Pasir Endah. Kebutuhan fasilitas SLTP baru pada periode pertama tahun 1998 ialah sembilan SLTP, yang dialokasikan untuk kelompok

kelurahan Margasenang, dua SLTP di Kujangsari. Untuk kelompok kelurahan Pasir Wangi, dua SLTP di Pasanggrahan, satu SLTP di Cipadung, satu SLTP di Palasari dan satu SLTP di Ujungberung. Untuk kelompok kelurahan Pasir Endah, satu SLTP

di. Antapani dan satu SLTP di Mandalajati. Kebutuhan terhadap fasilitas SLTP tahun 2004 ialah sebanyak 11 SLTP. Kelompok Margasenang memperoleh alokasi satu

SLTP, ditempatkan di Cipamokolan. Kelompok Pasir Wangi memperoleh enam SLTP, satu SLTP di Mekarmulya, empat SLTP di Cipadung dan satu SLTP di Pasanggrahan.Kelompok Pasir Endah memperoleh alokasi empat SLTP, satu SLTP di Cisaranten Kulon, dua SLTP di Antapani dan satu SLTP di Mandalajati. Selain

1okasinya, diperoleh juga pola penggunaan fasilitas SLTP yaitu pemakaian sendiri, dan pemakaian bersama fasilitas SLTP oleh beberapa kelurahan. Jumlah SLTP yang

dibutuhkan di wilaya h Bandung Timur sampai tahun 2004 sebanyak 20 SLTP. Untuk memenuhi kebutuhan ini dapat dilakukan dengan beberapa alternatif, yaitu membangun 20 sekolah baru, penambahan ruangan kelas pada sekolah yang sudah

ada, pemakaian SLTP dua kali sehari (dua shift) dan partisipasi swasta dalam menyediakan fasilitas pendidikan SLTP. Berdasarkan perbandingan hasil studi dengan perkiraan kebutuhan dalam RDTRK dan beberapa standar, dapat disimpulkan

bahwa standar yang paling mendekati ialah perkiraan kebutuhan dalam RDTRK, sehingga perkiraan kebutuhan dalam RDTRK dapat diterapkan setelah disesuaikan dengan hasil studi ini. Penyesuaian dilakukan terutama dalam melihat kebutuhan

fasilitas SLTP setiap kelurahan, sehingga pelayanan fasilitas SLTP menjadi lebih baik dan lebih mudah dijangkau penduduk.

Alifah (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Penentuan Lokasi Optimal Pasar Sebagai Terminal Agribisnis di DKI Jakarta yang bertujuan untuk mencari alternatif lokasi yang paling baik bagi penentuan lokasi optimal dari sebuah

(34)

pada bobot masing- masing simpul. Berdasarkan bobot jumlah penduduk, hasil perhitungan program menunjukkan bahwa lokasi optimal pada Kelurahan Rawa

buaya. Sedangkan berdasarkan bobot jarak, lokasi optimal terletak pada Kelurahan Cengkareng barat.

2.3 Kerangka Penelitian

Pembangunan wilayah merupakan suatu perubahan ke arah positif untuk

kemajuan dalam suatu wilayah. Pembangunan wilayah pada hakikatnya adalah pelaksanaan pembangunan nasional di suatu wilayah/region yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial region tersebut seperti Sumberdaya Alam (SDA), Sumberdaya Manusia (SDM) dan kondisi sosial ekonomi.

Dalam suatu wilayah terdapat penyebaran sumberdaya alam yang tidak merata dan adanya kegiatan ekonomi yang terkonsentrasi, maka sering terjadi

ketimpangan-ketimpangan dalam pembangunan, seperti ketimpangan-ketimpangan pertumbuhan, pendapatan, pengangguran, kemudahan pelayanan, investasi dan sebagainya. Untuk mengurangi ketimpangan tersebut maka pengembangan wilayah menghendaki adanya penataan

lokasi agar tercapai efisiensi dan optimalisasi bagi suatu kegiatan ekonomi maupun pelayanan sosial. Sasaran utama dari perencanaan pembangunan wilayah pada dasarnya adalah untuk menghasilkan penggunaan terbaik. Yang dapat dikelompokkan

atas tiga sasaran umum, seperti (i) efisiensi dan produktifitas, (ii) pemerataan keadilan dan aksesibilitas masyarakat, dan (iii) keberlanjutan.

Kesehatan memegang peranan penting bagi setiap individu dalam menentukan

kualitas hidup disamping faktor lain seperti pendidikan. Selain itu dengan kesehatan pula akan menentukan peluang kerja dan akhirnya akan berpengaruh pada pendapatan. Variabel- variabel tersebut merupakan efek lanjutan dari status kesehatan yang baik. Untuk mencapai status kesehatan yang baik di suatu wilayah, maka salah satu upaya yang diperlukan adalah dengan penataan terhadap fasilitas kesehatan.

(35)

menjadi 6 kecamatan, memiliki demand yang cukup besar dalam penyediaan fasilitas pelayanan, seperti fasilitas kesehatan.

Saat ini pemerintah Kota Bogor memiliki berbagai permasalahan dalam penataan fasilitas kesehatannya. Hal yang paling mendasar adalah tidak meratanya fasilitas kesehatan di setiap kecamatan Kota Bogor. Walaupun bila dilihat dari segi

kuantitas fasilitas kesehatan dasar maupun rujukan di Kota Bogor sudah memadai untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat. Dilihat dari kepadatan penduduk di

Kota Bogor cenderung mengelompok di pusat kota atau Kecamatan Bogor Tengah, hal ini dikarenakan Kecamatan Bogor Tengah merupakan pusat kegiatan/pelayanan sosial-ekonomi/jasa dan perkantoran/pemerintahan Kota Bogor. Walaupun Kecamatan Bogor Tengah ini mempunyai luas wilayah yang paling kecil dari

kecamatan lain (8,13 km2). Sedangkan Kecamatan yang cukup luas wilayahnya seperti Bogor Selatan dan Tanah Sareal masih minim dalam hal fasilitas

kesehatannya. Selain itu, Kota Bogor sampai saat ini belum memiliki Rumah Sakit rujukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dibawah otoritas pemerintah daerah. Rumah Sakit rujukan diserahkan kepada Rumah Sakit swasta.

Dari permasalahan diatas untuk mencapai penataan fasilitas kesehatan yang efisien dan optimal bisa dilakukan dengan mengetahui penyebaran fasilitas kesehatan setiap kecamatan Kota Bogo r terlebih dahulu. Dengan tujuan untuk mengetahui

kecamatan mana yang memiliki hirarki fasilitas kesehatan yang lengkap dan kurang lengkap. Metode skalogram bisa digunakan untuk menganalisis ini karena bisa memberikan hasil terhadap hirarki fasilitas kesehatan Kota Bogor. Selanjutnya

analisis dilakukan secara deskriptif terhadap fasilitas kesehatan pada standar kebutuhan, mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan khususnya pada Rumah Sakit dan Puskesmas. Hal ini untuk melihat sejauh mana daya layan dari fasilitas kesehatan tersebut. Analisis deskriptif ini merupakan analisis dari segi non-lokasi untuk lebih mempertajam dalam penelitian. Mengingat Kota Bogor yang berencana untuk

(36)

Dalam RTRW Kota Bogor 1999-2009, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) direncanakan di Kelurahan Tanah Sareal Kecamatan Tanah Sareal dengan luas

1,47334 Ha. Dengan metode P-Median, bisa dilihat apakah lokasi tersebut telah mencapai lokasi optimal atau belum. Selain itu pula metode ini dapat menunjukkan lokasi optimal RSUD bila lokasi tersebut belum optimal. Kemudian dari hasil analisis

skalogram dilakukan analisis kebutuhan fasilitas kesehatan pada kecamatan yang memiliki skor terendah dalam hirarki fasilitas kesehatan, yaitu Kecamatan Tanah

Sareal. Dengan berbagai pertimbangan seperti wilayah yang cukup luas dan melihat kebutuhan akan Puskesmas pembantu (Pustu) cukup besar maka ditentukan pula lokasi optimal Puskesmas pembantu (Pustu) di Kecamatan Tanah Sareal. Selain itu, berdasarkan usulan Sarasehan Pembangunan (Sarembang) Kecamatan Tanah Sareal

tahun 2007 memang direncanakan untuk pembangunan Pustu.

Dari uraian diatas dapat diambil suatu pemahaman bahwa dalam mencapai

suatu penataan fasilitas kesehatan yang efisien dan optimal selain memperhatikan ketersediaan dan lokasi optimal fasilitas kesehatan, juga perlu memperhatikan faktor non- lokasi seperti daya layan suatu fasilitas kesehatan baik dari segi fisik maupun

(37)

Kerangka Penelitian

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Penataan Fasilitas Kesehatan Kecamatan di Kota Bogor Dalam Pembangunan Wilayah

Pembangunan Wilayah

Penyebaran Analisis Deskriptif Fasilitas Kesehatan

(38)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan

lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa Kota Bogor merupakan kota yang pembangunan wilayahnya sedang berkembang di Jawa Barat dan merupakan pintu gerbang Jawa Barat menuju ibu kota DKI Jakarta

sehingga merupakan jalur strategis dan akan berpengaruh terhadap pembangunan wilayahnya. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Januari-Maret 2007.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan di tingkat kecamatan. Penelitian di tingkat kecamatan ini adalah untuk memperoleh kejelasan tentang fasilitas kesehatan untuk mencari pelayanan dari fasilitas kesehatan secara optimal. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui

wawancara dengan beberapa staf Dinas kesehatan, Bapeda, arsip daerah dan instansi-instansi terkait lainnya. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi yang terkait seperti, Bapeda Kota Bogor, Badan Pusat Statistik Kota Bogor, Badan Pusat Statistik pusat di Jakarta, Dinas kesehatan, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota

Bogor.

3.3 Metode Analisis Data 3.3.1 Metode Skalogram

Metode ini dapat digunakan untuk menentukan peringkat pemukiman atau wilayah dan kelembagaan atau fasilitas pelayanan. Metode ini memberikan hirarki

yang lebih tinggi kepada pusat pertumbuhan dan pelayanan yang memiliki jumlah unit sarana dan prasarana pembangunan yang lebih banyak. Metode skalogram lebih menekankan kriteria kualitatif dibandingkan kriteria yang menyangkut derajat fungsi sarana dan prasarana pembangunan. Distribusi penduduk dan luas jangkauan

(39)

secara spesifik. Tetapi metode ini dapat memberikan informasi tentang hirarki pusat-pusat pelayanan yang disebabkan oleh penyebaran sarana dan prasarana

pembangunan yang terdapat dalam wilayah tersebut (Afrianto, 2000). Tahapan-tahapan metode skalogram, misalnya akan disusun hirarki peringkat kecamatan-kecamatan dalam suatu kabupaten, adalah sebagai berikut :

1. Kecamatan-kecamatan disusun urutannya berdasarkan peringkat jumlah penduduk.

2. Kemudian kecamatan-kecamatan tersebut disusun urutannya berdasarkan jumlah jenis fasilitas yang ada pada wilayah tersebut.

3. Fasilitas- fasilitas disusun urutannya berdasarkan jumlah wilayah yang memiliki jenis fasilitas tersebut.

4. Peringkat jenis fasilitas disusun urutannya berdasarkan jumlah total unit fasilitas.

5. Yang terakhir, peringkat kecamatan disusun urutannya berdasarkan jumlah total fasilitas yang dimiliki oleh masing- masing wilayah tersebut.

Penelitian ini memakai analisis skalogram karena metode ini dapat

mengetahui hirarki wilayah dengan cepat berdasarkan fasilitas pelayanan yang tersedia. Metode skalogram ini mempunyai kekuatan dan kelemahan. Kekuatan metode skalogram ini antara lain dapat digunakan untuk :

1. Memperlihatkan dasar diantara jumlah penduduk dan tersedianya fasilitas pelayanan.

2. Secara cepat dapat mengorganisasikan data dan mengenal wilayah.

3. Membandingkan pemukiman-pemukiman dan wilayah-wilayah berdasarkan ketersediaan fasilitas pelayanan.

4. Memperlihatkan hirarki pemukiman atau wilayah.

5. Secara potensial dapat digunakan untuk merancang fasilitas baru dan memantaunya.

Kelemahan dari metode skalogram ini, yaitu :

(40)

2. Tidak memberikan informasi tentang ukuran, kondisi dan kualitas pelayanan prasarana dan sarana pembangunan,

3. Tidak mencakup faktor lokasi tata ruang, 4. Hasil perhitungannya kasar.

3.3.2 Metode P-Median Algoritma

Dasar metode P- median Algoritma adalah teorema yang dikembangkan oleh

Hakimi (1964) dalam Rushton (1979) menyatakan bahwa titik optimum dari suatu jaringan yang dapat meminimumkan jumlah perkalian jarak-jarak terpendek dengan bobot dari semua simpul adalah titik yang berasal dari simpulan jaringan tersebut. Untuk persoalan meminimumkan jarak rata-rata, teorema Hakimi masih mampu

memecahkan persoalan yang ada dengan lokasi dari simpul-simpul pada jaringan. Dengan memperhitungkan simpul-simpul yang dilayani sebagai lokasi potensial

untuk pusat pelayanan.

Penentuan lokasi dan alokasi untuk meminumkan jarak dapat ditunjukkan oleh rumus berikut :

Meminimumkan Z = ∑ ∑aij wi dij

Dimana :

Z = Sekian Y km, yang maknanya adalah semua Y dari semua simpul dengan sekian

km untuk mencapai pusat pelayanan.

aij = 1, jika simpul dilayani i lebih dekat ke simpul pelayanan j dari pada ke simpul

pelayanan lainnya, selain dari itu = 0 wi = 1 bobot dari simpul yang dilayani i

dij = jarak terpendek antara simpul yang dilayani idan j

Perhitungan P-Median ini diselesaikan dengan menggunakan program komputer Java Applet P-Median Problem, karena program ini dapat digunakan untuk analisa dengan sejumlah besar simpul. Program komputer ini akan menandai solusi

(41)

Dalam kasus satu dimensi (garis lurus) penentuan lokasi optimal, fungsi objektif dapat dirumuskan sebagai berikut :

Minimum Z = ∑ |Pi – X|

M isalkan 0-10 ada jarak antar kantor kecamatan (asumsi lokasi pusat pelayanan kesehatan), titik iterasi adalah 5 untuk X maka didapat nilai sebagai berikut :

Z=|1-5| + |3-5| + |4-5| + |6-5| + |10-5| = 13

Jika titik iterasi adalah 4 untuk X maka didapat nilai sebagai berikut : Z=|1-4| + |3-4| + |4-4| + |6-4| + |10-4| = 12

Jika titik iterasi adalah 6 untuk X maka didapat nilai sebagai berikut : Z=|1-6| + |3-6| + |4-6| + |6-6| + |10-6| = 14

Titik Pelayanan

A B C D E

| | | | | | | | | | |

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Koordinat Nilai Lokasi

Gambar 2. Lokasi Optimal Satu Dimensi (Garis Lurus)

Jika ia berpindah ke lokasi 6, kemudian sebuah titik koordinat kurang dari 5 (lokasi sebelumnya adalah x) masing- masing akan menyumbangkan satu unit

peningkatan terhadap nilai fungsi objektif. Terdapat tiga macam titik dalam kasus ini jadi penambahannya terjadi 3 unit. Sebaliknya, semua titik dengan koordinat lebih besar 6 akan memberikan masing- masing satu unit penurunan terhadap fungsi.

Terdapat dua macam titik, jadi penurunnya terhadap nilai fungsi sebesar dua unit. Efek keuntungan perpindahan lokasi x dari 5 ke 6 adalah sebuah peningkatan nilai fungsi objektif dari 13 ke 14 unit. Alternatifnya, sebuah perpindahan x dari posisi 5

(42)

Dalam metode P-Median ada 2 buah faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu faktor lokasi jarak antara simpul-simpul dan faktor bobot simpul yang akan dianalisis.

Penggunaan P-Median dimaksudkan karena metode ini dapat mengkombinasikan 2 buah faktor dalam analisis sehingga menghasilkan solusi terbaik yang diinginkan. Ini memungkinkan kita dapat melihat optimasi suatu lokasi tidak dari sisi satu aspek saja,

melainkan beberapa aspek. Disamping itu, penentuan faktor jarak dan bobot tergantung pada 3 hal yaitu :

1. Masalah apa yang sedang diselidiki 2. Kelengkapan data yang diperlukan

3. Pertimbangan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang diselidiki Adapun yang dimaksud dengan faktor jarak dan bobot dapat dijelaskan

sebagai berikut : a. Faktor Jarak

Pengertian jarak dalam studi kasus ini erat kaitannya dengan lokasi suatu tempat dalam ruang. Ada 2 pengertian mengenai lokasi, yaitu :

1. Lokasi absolut, yaitu posisi yang erat kaitannya dengan suatu sistem jaringan

konvensional atau dinyatakan dengan garis lintang dan garis bujur astronomis. Pada dasarnya lokasi yang demikian tidak berubah letaknya dan satuan jarak yang umumnya diapaki ialah mil, km, dan m, misalnya alamat perusahaan X.

2. Lokasi relatif, ialah posisi yang dinyatakan dalam bentuk jarak atau diidentikkan dengan salah satu faktor lain. Misalnya kota X terletak 100 km dari kota Y atau kota X terletak 3 jam perjalanan mobil dari kota Y.

Disamping itu, lokasi relatif dapat pula dinyatakan dalam bentuk karcis bus atau kereta api.

b. Faktor Bobot

Pengukuran massa dari suatu simpul tertentu sangat tergantung pada masalah yang sedang diteliti. Bobot tersebut dapat berbentuk sebagai jumlah penduduk suatu

(43)

Data yang diperlukan untuk analisa dengan metode P-Median dengan program komputer Java Applets P-Median Problem ini adalah data sekunder yang terdiri dari :

a. Data Jarak

Sesuai dengan program yang digunakan, maka data jarak yang dibutuhkan adalah jarak dari setiap calon pusat ke simpul lain yang jaraknya lebih kecil dari batasan

jarak maksima l implisit yang ditentukan. b. Data Bobot

Bobot simpul ditentukan oleh besarnya kebutuhan pelayanan. Pengukuran bobot dari suatu simpul tertentu sangat tergantung pada masalahnya yang sedang diselidiki. Dalam penelitian ini bobot yang akan dipakai adalah jumlah penduduk dan luas wilayah.

c. Jumlah Pusat-pusat yang Dipilih

Jumlah pusat ditentukan oleh jumlah seluruh kebutuhan pusat pelayanan. Dalam

studi kasus Kota Bogor ini jumlah pusat pelayanan ditentukan oleh simpul yang dijadikan alternatif pemilihan fasilitas kesehatan Kota Bogor.

3.3.3 Analisis Deskriptif Fasilitas Kesehatan

Analisis deskriptif fasilitas kesehatan dilakukan dengan kajian literatur dengan mengumpulkan data dan informasi tentang data-data fasilitas kesehatan,

standar kebutuhan, mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan fasilitas kesehatan di Kota Bogor. Dari kajian literatur tersebut akan didapatkan fasilitas kesehatan mana yang sudah optimal dan yang belum optimal dari segi non-lokasi dalam pelayanan

kesehatan.

3.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Dalam melakukan penelitian, penulis hanya menganalisis aspek spasial dari fasilitas kesehatan Kota Bogor dengan menekankan pada variabel bobot jumlah

(44)

permasalahan yang terjadi lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kedua fasilitas tersebut. Dan kedua fasilitas tersebut cukup penting dan lebih

jamak digunakan oleh masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan.

Keterbatasan penelitian : (1) Penelitian tidak menganalisis faktor- faktor lain diluar variabel bobot jumlah pendud uk bobot luas pemukiman dan bobot sama dalam

pengaruh jarak. Seperti aspek kepuasan terhadap fasilitas kesehatan. (2) Program P-Median memiliki kelemahan statis, yaitu tidak berpengaruh terhadap perkembangan

waktu, faktor lain diluar faktor yang ditekankan dalam penelitian tidak dapat digunakan dalam program ini sehingga hasil analisis berdasarkan masing- masing faktor terdapat kemungkinan berbeda. (3) Dalam penentuan simpul-simpul dalam analisis P-Median memakai kantor kecamatan sebagai simpul dalam penentuan lokasi

optimal RSUD Kota Bogor dan memakai kantor kelurahan dalam penentuan lokasi optimal Puskesmas pembantu (Pustu) Kecamatan Tanah Sareal dengan asumsi kantor

kecamatan dan kantor kelurahan berfungsi pula sebagai pusat pelayanan. (4) Untuk mendukung analisis penyebaran fasilitas kesehatan dan analisis P-Median tentang lokasi optimal RSUD Kota Bogor dan Puskesmas Pembantu (Pustu), penelitian tidak

menggunakan analisis selain analisis terhadap standar kebutuhan fasilitas kesehatan, mutu pelayanan, efisiensi pengelolaan dari Rumah sakit dan Puskesmas. (5) Dalam analisis penyebaran fasilitas kesehatan dengan metode skalogram, tidak memakai

Posyandu dengan alasan kuantitas yang sangat memadai di Kota Bogor dan bisa mempengaruhi hasil perhitungan dengan signifikan. (6) Dalam penentuan lokasi optimal Puskesmas pembantu (Pustu) Kecamatan Tanah Sareal memakai data tahun

(45)

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Kondisi Fisik Wilayah Kota Bogor

Wilayah Kota Bogor meliputi areal seluas 118,50 km2 dibagi atas enam kecamatan yang terdiri dari kecamatan Bogor Selatan, Bogor Timur, Bogor Utara, Bogor Tengah, Bogor Barat dan Tanah Sareal. Secara geografis wilayah administrasi Kota Bogor terletak pada koordinat 106° 43`30” BT, 106°51’00” BT dan 6° 36`30’30” LS- 6° 41’00” LS. Serta mempunyai ketinggian rat-rata minimal 190 m dan maksimal

350 m dengan jarak ± 60 km dari Kota Jakarta. Terdiri dari 6 kecamatan 68 kelurahan, yang berbatasan dengan :

a. Sebelah Utara : Wilayah Kecamatan Kemang, Kecamatan Bojong Gede

dan Kecamatan Sukaraja.

b. Sebelah Barat : Wilayah Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor dan Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor

c. Sebelah Timur : Wilayah Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor.

d. Sebelah Selatan : Wilayah Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor.

4.1.1 Kondisi Topografi

Kemiringan Kota Bogor berkisar antara 0-15 persen dan sebagian kecil daerahnya mempunyai kemiringan antara 15-30 persen. Jenis tanah hampir dalam seluruh wilayah adalah lotosil cokelat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah

lebih dari 90 cm dengan tektur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap erosi. Kota Bogor merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan perbedaan

(46)

25 % adalah agak curam yaitu dengan luas 1.109,89 Ha, 25 – 40 % adalah curam yaitu dengan luas 764, 96 Ha, dan > 40 % adalah sangat curam yaitu dengan luas

119,94 Ha.

Tabel 3. Kemiringan Lereng Berdasarkan Luas Lahan Tahun 2005

Kecamatan

Sumber : Data Pokok Pembangunan Kota Bogor, Tahun 2002

4.1.2. Geologi

Secara umum Kota Bogor ditutupi oleh Batuan Vulkanik yang berasal dari endapaan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango (berupa

satuan breksi tupaan / kpbb) dan Gunung Salak (berupa aluvium/Kal dan kipas aluvial/ kpal). Lapisan batuan ini berada agak dalam dari permukaan tanah dan jauh

dari daerah aliran sungai. Endapan permukaan umumnya berupa aluvial yang tersusun oleh tanah, pasir dan kerikil hasil dari pelapukan endapan baik untuk vegetasi. Dari struktur geologi tersebut, maka Kota Bogor memiliki jenis Aliran

Andesit seluas 2.719,61 ha, Kipas Aluvial seluas 3.249,98 Ha, Endapan 1.372,68 Ha. Tufan 3.395,75 Ha dan Lanau Breksi Tufan dan Capili seluas 1.112,56 Ha.

4.1.3. Hidrologi

(47)

Kota Bogor sebagai sarana MCK dan usaha perikanan Karamba serta sumber air baku bagi PDAM. Selain beberapa aliran sungai yang mengalir di Wilayah Kota Bogor ,

terdapat juga beberapa mata air yang umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan air bersih sehari-hari. Kemunculan mata air tersebut umumnya terjadi karena pemotongan bentuk lahan atau topografi, sehingga secara otomatis

aliran air tersebut terpotong . kondisi tersebut bisa dilihat diantaranya di tebing jalan Tol Jagorawi, pinggiran sungai Ciliwung di Kampung Lebak Kantin, Babakan Sirna

dan Bantar Jati dengan besaran debit bervariasi.

Pemanfaatan potensi sumber air baku (raw water) yang dikelola oleh PDAM Kota Bogor selain memanfaatkan sungai Cisadane juga memanfaatkan mata air yang berlokasi di Kabupaten Bogor untuk memenuhi kebutuhsn air bersih bagi masyarakat

Kota Bogor. Kapasitas air bersih PDAM 1.045,10 liter/ detik, dengan sumber-sumber sebagai berikut:

a. Mata Air Kota Batu = 45,57 liter / detik b. Mata Air Bantar Kambing = 164,75 liter / detik c. Mata Air Tangkil =105,53 liter / detik

d. WTP Dekeng = 523,90 liter / detik e. WTP Cipaku = 205,35 liter / detik

Dari jumlah kapasitas tersebut, cakupan pelayanan air bersih PDAM tahun

2003 sebanyak 65.287 pelanggan atau 65 % dengan konsunmsi rata-rata 29,05 m3/bulan. Karena secara teknis tidak semua wilayah di Kota Bogor bisa dilayani oleh PDAM, maka ada beberapa wilayah yang memakai mata air sebagai pemenuhan air

bersih. Layanan air bersih tersebut dibangun oleh pemerintah dan dikelola langsung oleh masyarakat yang dimanfaatkan oleh sekitar 1.044KK dengan debit mencapai 8,5 liter / detik dari 7 buah mata air.

4.1.4. Penggunaan Lahan

(48)

kegiatannya. Luas lahan permukiman wilayah seluas 8.296,63 Ha/70,01 persen dan pada umumnya permukiman ini berkembang secara linier mengikuti jaringan jalan

yang ada di Kota Bogor. Penggunaan lahan untuk pertanian baik sawah maupun ladang seluas 1.288,66 Ha/10,87 persen dan penggunaan kebun campuran mencapai 154,55 Ha/1,30 persen. Sedangkan penggunaan lahan untuk hutan kota seluas 141,50

Ha/1,19 persen dan sisanya untuk kegiatan lainnya seperti fasilitas sosial, perdagangan dan jasa, perkantoran kuburan, taman dan lapangan olahraga lokasi

menyebar di wilayah Kota Bogor. Untuk lebih jelasnya penggunaan lahan di Kota Bogor pada tabel.

Tabel 4. Persentase Luasan Penggunaan Lahan

Jenis Penggunaan Eksisting Tahun 1999

Luas (Ha) Persentase

Permukiman 8.296,63 70,01

Terminal Agrobisnis 9,21 0,08

Kolam Oksidasi IPAL 1,50 0,01

Pertanian 1.288,66 10,87

Kebun Campuran 154,55 1,30

Industri 115,03 0,97

Perdagangan dan jasa 362,60 3,06

Perkantoran/Pemerintahan 85,28 0,72

Hutan Kota 141,50 1,19

Taman/Lapangan Olaharaga 250,48 2,11

Kuburan 299,28 2,53

Sungai/situ/danau 342,07 2,89

Jalan 529,62 4,47

Terminal dan Sub terminal 1,51 0,01

Stasiun Kereta Api 5,60 0,05

Total 11.850,00 100,00

(49)

4.1.5. Klimatologi

Jumlah cur ah hujan rata-rata di wilayah Kota Bogor berkisar antara 3.000

sampai 4.000 mm/tahun. Curah hujan bulanan berkisar antara 250 – 355 mm dengan waktu curah hujan minimum terjadi di bulan September sebanyak 128 mm, sedangkan curah hujan maksimum terjadi di bulan Oktober sekitar 346 mm.

Temperatur rata-rata wilayah Kota Bogor berada pada suhu 26°C, temperatur tertinggi sekitar 30,4° dengan kelembaban udara rata-rata kurang lebih 70 %.

4.1.6. Lingkungan Hidup

Berdasarkan Buku Neraca Kualitas Lingkungan Hidup (NKLD) kualitas udara kota secara umum masih relatif baik, dilihat dari hasil pengujian selama 5 tahun

dibeberapa lokasi, seperti Warung Jambu, Tugu Kujang, Pancasan, Jembatan Merah, Pasar Mawar, Ciawi, Dramaga, terminal Bubulak, Jl. Baru Kemang, Ciluar, Pertigaan

Regina Pacis, Pasar Bogor dan Depan Balaikota, menunjukkan bahwa semua parameter di lokasi tersebut terutama CO2, SO2, H2S, Hidro Karbon, Timbal dan NH3

pada umumnya masih di bawah ambang batas Baku mutu Lingkungan (BML),

kecuali beberapa parameter sudah berada di atas ambang batas BML, seperti NO2 di sekitar Jambu Dua dan Jembatan Merah. Sedangkan untuk tingkat kebisingan telah melewati Baku Mutu yaitu di sekitar Pancasan, Jembatan Merah, Pasar Mawar,

Jambu Dua dan Tugu Kujang. Sedangkan kualitas air sungai hasil pengujian air di beberapa titik menunjukkan beberapa parameter kualitas air telah melampaui nillai Baku Mutu Lingkungan (BML) yaitu dilihat dari parameter BOD, COD dan DO pada

(50)

4.2. Keadaan Sosial Ekonomi 4.2.1. Kependudukan

Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2004 sebanyak 835,571 jiwa terdiri dari laki- laki 424.819 jiwa dan 406.752 jiwa perempuan meningkat pada tahun 2005 menjadi 855.085 jiwa, terdiri dari laki- laki sebanyak 431,864 jiwa dan perempuan

423,221 jiwa dengan kepadatan penduduk 7,215 jiwa per km2. Dilihat dari kepadatan penduduk, yang terpadat berada di Kecamatan Bogor Tengah mencapai 12,386

jiwa/km2, sedangkan di 5 kecamatan lainnya kepadatan penduduk merata yaitu berturut-turut di Kecamatan Bogor Utara 8.441 jiwa/km2. Kecamatan Bogor Timur 8.569 jiwa/km2, Kecamatan Tanah Sareal 7.507 jiwa/km2, Kecamatan Bogor Selatan 5.2828 jiwa/ km2 dan Kecamatan Bogor Barat 5.199 jiwa/km2.

Laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kota Bogor tahun 2005 sebesar 2,35 persen meningkat dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2004

sebesar 2,35 persen. Pada komposisi umur penduduk Kota Bogor bergeser ke level yang lebih tinggi tingkatannya yaitu mengalami transisi dari struktur umur penduduk “muda” ke “tua”. Pada tahun 2004 komposisi penduduk usia anak-anak dan remaja

(usia 20 tahun ke bawah) sebesar 37,93 persen bergeser naik menjadi 38 persen pada tahun 2005. Sedangkan pada kelompok usia tua dan lansia (usia 55 tahun ke atas) kondisi baik yaitu pada tahun 2004 adalah 8,07 % menjadi 8% pada tahun 2005.

4.2.2. Pertumbuhan, Mobilitas, Tingkat Fertilitas dan Persebaran Penduduk Angka pertumbuhan penduduk Kota Bogor mencapai 2,54 % dengan angka

(51)

Tabel 5. Pertumbuhan Penduduk dan Persebaran Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2005

No Kecamatan

Kecamatan Bogor Tengah merupakan kecamatan terpadat sehingga mempunyai potensi untuk penularan penyakit. Seperti kasus Demam Berdarah, Pneumoni, dan TBC. Sehingga program penyakit menular lebih dikonsentrasikan kepada Kecamatan Bogor Tengah.

Untuk Mobilitas Penduduk tidak dapat disajikan karena sampai saat ini belum ada data penduduk yang beremigrasi dan berimigrasi. Tetapi secara asumsi karena

adanya kemudahan transportasi dan kecepatan arus transportasi penduduk kota Bogor banyak yang bekerja di luar wilayah Kota Bogor terutama di Kota Jakarta dan BOTABEK ha l ini mempengaruhi penularan penyakit menular terutama Demam

Berdarah. Untuk Tingkat Kesuburan Penduduk (Fertilitas) di Kota Bogor dalam kurun waktu 5 tahun (2000-2005) terlihat pada tabel berikut:

Tabel 6. Angka Kesuburan Total (TFR) di Kota Bogor Tahun 2000-2005

Tahun Total Fertilitas Rate (TFR)

2000 1,71

Gambar

Tabel 1. Luas Wilayah, Banyaknya Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota
Tabel 2. Indeks Kesehatan per Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2000-2004
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Penataan Fasilitas Kesehatan
Tabel 3. Kemiringan Lereng Berdasarkan Luas Lahan Tahun 2005
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah rnernpelajari struktur, perilaku, dan keragaan pasar sayur rnayur di wilayah Kota Bogor, rnenganalisis seberapa jauh peran

Selain itu terdapat hubungan yang erat antara kepadatan penduduk dan ketersediaan fasilitas umum, yang menunjukkan bahwa ketersediaan fasilitas menjadi daya tarik bagi

Adapun kegiatan yang dilaksanakan adalah pelaksanaan monitoring dan penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL). Sementara itu hasilnya adalah tertatanya lokasi-lokasi PKL yang

Hasil penelitian menunjukan (1) berdasarkan analisis gravitasi dengan menggunakan indikator bobot jumlah penduduk, luas wilayah dan bobot sama pengaruh jarak menunjukkan

Selain itu terdapat hubungan yang erat antara kepadatan penduduk dan ketersediaan fasilitas umum, yang menunjukkan bahwa ketersediaan fasilitas menjadi daya tarik

Dijkstra melakukan kalkulasi terhadap node tetangga yang terhubung langsung dengan node keberangkatan (node 1), dan hasil yang didapat adalah node 2 karena bobot nilai node

Pokok permasalah yang dijadikan obyek penelitian adalah kepuasan pelanggan PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor. Tujuan penelitian adalah membahas gap dalam

Sumber data yang digunakan adalah data sekunder menggunakan Google Earth, meliputi data lokasi SPBU yang masih beroperasi dan lokasi alternatif kandidat SPBG baru, data titik tengah