PENGELOLAA
MENDUKUN
PENDAPATAN
BA
S IN
AN EKOSISTEM RAWA LEBAK UNT
NG KEANEKARAGAMAN IKAN DAN
N NELAYAN DI KOTA PALANGKARA
BAMBANG SULISTIYARTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengelolaan Ekosistem Rawa Lebak untuk Mendukung Keanekaragaman Ikan dan Pendapatan Nelayan di Kota Palangkaraya, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini
Bogor, Agustus 2008
Bambang Sulistiyarto
ABSTRACT
BAMBANG SULISTIYARTO. The Management of Floodplain Ecosystem to Support Fish Diversity and Fisher’s Income in Palangkaraya Municipality. Under the direction of DEDI SOEDHARMA, M.F. RAHARDJO, and SUMARDJO.
Tropical floodplain rivers are home to the largest fraction of freshwater fish diversity and as such should be a focal point of conservation efforts. Moreover, floodplain fisheries have an important contribution to rural livelihoods. The aims of this study are evaluating fish diversity and floodplain environment conditions, identifying some factors that influenced fisher’s income, and formulating the model of floodplain ecosystem management that supporting fish diversity and fisher’s income. Studies were carried out in Petuk Ketimpun and Marang districts of Palangkaraya municipality. Ecological variables were studied by monthly samples taken from May 2005 to April 2006. These were carried out at three stations with different habitat type, includes forested swamp, opened swamp, and river. Social and economic data collected by interview with fishers and local government agencies. A total of 4278 fishes were collected consisting of 50 species and 19 families. Biophysical conditions of the floodplain were influenced by seasonality. Fisher’s income was influenced mainly by amount of vessels and fishing gears possession, fish prices, fishing duration time per day, and contribution of secondary occupations. The management of floodplain ecosystem includes management of fishing activities, management of secondary occupations, and increase of fisher’s income. Cooperative type of Co-management is used to manage fishing activities. Local norms of fishers (Dayak Ngaju tribe) are important source for managing fishing activities in this model. Village Management areas (VMAs) is selected as co-management unit. Forested swamps and river areas in front fisher’s residence are selected as fishery reserve sides. Partners in co-management include fisher communities, local government agencies, academic and research institutions and non-governmental organizations. The strategies to manage secondary occupations include improving the system of fish cage culture, and protecting of forested swamp from commercial exploitation. Strategies to increase fisher’s income include increasing fishing gears possession of the poor fishers and fish cages possession, improving the technique of fish cages culture, facilitating the marketing of fish catches, and improving the road that reaches fishers resident.
.
RINGKASAN
BAMBANG SULISTIYARTO. Pengelolaan Ekosistem Rawa Lebak untuk Mendukung Keanekaragaman Ikan dan Pendapatan Nelayan di Kota Palangkaraya. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA, M.F. RAHARDJO, dan SUMARDJO.
Rawa di Kota Palangkaraya merupakan tipe ekosistem rawa lebak
(floodplain) yaitu genangan air yang terbentuk sebagai akibat luapan air sungai.
Sekitar 16,67 % wilayah Kota Palangkaraya merupakan kawasan rawa lebak, terutama rawa lebak dari sungai Rungan. Keanekaragaman jenis ikan perairan tawar di dunia sebagian besar berada di kawasan rawa lebak tropika, bahkan rawa lebak di Kalimantan merupakan kawasan hot spot dari keanekaragaman ikan di Paparan Sunda. Perikanan penangkapan merupakan sumber penghasilan utama masyarakat tradisional yang tinggal di rawa lebak. Upaya konservasi keanekaragaman ikan cenderung hanya terbatas pada kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan suaka perikanan. Kawasan di luar itu yang justru memiliki wilayah yang luas, menghadapi ancaman eksploitasi ikan berlebih, dan kerusakan ekosistem. Oleh karena itu diperlukan upaya pengelolaan di luar kawasan konservasi dengan tujuan mempertahankan keanekaragaman ikan dan menjamin keberlanjutan mata pencaharian nelayan yang hidupnya bergantung pada ekosistem tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi keanekaragaman ikan dan kondisi lingkungan ekosistem rawa lebak, mengidentifikasi faktor – faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan nelayan, dan merumuskan model pengelolaan ekosistem rawa lebak yang mendukung keanekaragaman ikan dan peningkatan pendapatan nelayan.
Lokasi penelitian dipilih secara purpossive di lokasi utama aktivitas perikanan rawa lebak di Palangkaraya, yaitu di Kelurahan Petuk Ketimpun dan Marang. Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2005 hingga April 2006. Data yang dikumpulkan meliputi : data biofisik dan data sosial ekonomi masyarakat nelayan. Kondisi biofisik diamati dari 3 (tiga) stasiun di Petuk Ketimpun yang meliputi rawa berhutan (stasiun 1), rawa terbuka (stasiun 2) dan sungai Rungan (stasiun 3). Parameter fisik kimiawi air yang diamati meliputi suhu perairan, kedalaman perairan, kecerahan air, kadar PTT (padatan tersuspensi total), pH, oksigen terlarut, CO2 terlarut, ammonia, nitrit, nitrat, dan fosfat. Parameter biotik yang diamati meliputi kerapatan pohon rawa, kelimpahan dan keanekaragaman plankton, makrozoobenthos dan ikan, serta tingkat trofik ikan. Data sosial ekonomi masyarakat nelayan dikumpulkan melalui wawancara dengan keluarga nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang, aparat Kelurahan Petuk Ketimpun dan Marang serta aparat Subdinas Perikanan Kota Palangkaraya. Jumlah nelayan responden 60 keluarga (24,39 %).
Amblyrhynchichthys truncates, Channa lucius, Oxyeleotris mormorata, Puntioplites waandersi, Bagrichthys macracanthus, Botia macracanthus, Ceratoglanis
scleronema, Coius quadrifasciatus, Lycothrissa crocodiles,Chitala borneensis dan
Channa micropeltes. Kondisi biofisik rawa lebak dipengaruhi oleh musim. Kondisi
fisik kimiawi perairan sepanjang tahun masih pada kisaran yang dapat ditoleransi oleh ikan. Kelimpahan plankton lebih tinggi di rawa terbuka, sedangkan kelimpahan makrozoobenthos lebih tinggi di rawa berhutan.
Nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang termasuk suku Dayak Ngaju. Sekitar 33,33 % nelayan di Petuk Ketimpun tergolong miskin sedangkan nelayan di Marang sekitar 26,67 %. Mata pencaharian nelayan terdiri dari mata pencaharian utama yaitu menangkap ikan, dan mata pencaharian sampingan yaitu memelihara ikan toman di karamba dan eksploitasi kayu hutan. Mata pencaharian yang memberikan kontribusi terbesar pada pendapatan total nelayan adalah sektor penangkapan ikan yaitu 71,07 % di Petuk Ketimpun dan 66,37 % di Marang. Sektor memelihara ikan di karamba memberi kontribusi sekitar 24,09 % di Petuk Ketimpun dan 30,34% di Marang, sedangkan eksploitasi kayu hutan kontribusinya kurang dari 5 % dari total pendapatan. Faktor utama yang mempengaruhi pendapatan nelayan dari sektor penangkapan ikan adalah jumlah pemilikan perahu, alat tangkap, tingkat harga jual ikan dan jam kerja / hari. Faktor utama yang mempengaruhi pendapatan sektor memelihara ikan di karamba adalah luas pemilikan karamba, padat penebaran benih, lama waktu pemeliharaan, dan harga jual ikan, sedangkan dari sektor eksploitasi kayu hutan adalah kapasitas menebang, waktu menebang, dan harga jual kayu.
Model pengelolaan ekosistem rawa lebak untuk mempertahankan keanekaragaman ikan dan menjamin pendapatan nelayan yang layak meliputi 3 aspek yaitu : pengelolaan penangkapan ikan, pengelolaan mata pencaharian sampingan, dan strategi peningkatan pendapatan nelayan. Pengelolaan penangkapan ikan menggunakan pengelolaan bersama (co-manajemen) tipe
cooperative dengan unit pengelolaan wilayah desa (village management areas /
VMAs). Pengelolaan bersama melibatkan peranan Pemerintah Kota, kelompok nelayan, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, dan Lembaga Non Pemerintah. Aspek pengelolaan meliputi kontrol alat tangkap, kontrol akses orang luar desa, pembagian wilayah penangkapan, kontrol jenis ikan tangkapan, membangun kawasan suaka perikanan, pengumpulan data perikanan, dan evaluasi efektifitas aturan. Strategi pengelolaan mata pencaharian memelihara ikan di karamba ada dua alternatif yaitu : tetap menggunakan ikan toman atau mengganti ikan yang dibudidayakan dengan ikan omnivora atau herbivora. Apabila tetap memelihara ikan toman, maka harus ada upaya produksi benih ikan toman, pemanfaatan ikan
bycatch untuk pakan ikan, produksi ikan species kecil untuk pakan ikan atau pakan
menyediakan pakan buatan yang sesuai untuk ikan karnivora. Strategi pengelolaan eksploitasi kayu hutan adalah pembatasan eksploitasi hanya boleh dilakukan oleh masyarakat desa setempat dan untuk kepentingan sendiri (non komersial), dan pengembangan eksploitasi hasil hutan bukan kayu, Strategi peningkatan pendapatan nelayan dilakukan dengan : meningkatkan pemilikan alat tangkap dan perahu untuk nelayan tergolong miskin, meningkatkan nilai ekonomi hasil tangkapan, meningkatkan luas pemilikan karamba, perbaikan teknik memelihara ikan di karamba, perbaikan sistem pemasaran ikan, dan perbaikan infrastruktur jalan menuju pemukiman nelayan.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang - Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :
a. Pengutipan karya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
PENGELOLAAN EKOSISTEM RAWA LEBAK UNTUK
MENDUKUNG KEANEKARAGAMAN IKAN DAN
PENDAPATAN NELAYAN DI KOTA PALANGKARAYA
BAMBANG SULISTIYARTO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji luar komisi pembimbing pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.
Penguji luar komisi pembimbing pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Dede Irving Hartoto, APU
Judul Disertasi : Pengelolaan Ekosistem Rawa Lebak untuk Mendukung Keanekaragaman Ikan dan Pendapatan Nelayan di Kota
Palangkaraya Nama : Bambang Sulistiyarto
NRP : P 062020151
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, D.E.A. Ketua
Dr. Ir. M.F. Rahardjo, D.E.A. Anggota
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Dekan Sekolah Pascasarjana
PRAKATA
Ucapan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Mahaesa atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pengelolaan ekosistem rawa lebak, dengan judul
“Pengelolaan Ekosistem Rawa lebak untuk Mendukung Keanekaragaman Ikan dan
Pendapatan Nelayan di Kota Palangkaraya”. Pengelolaan ekosistem rawa lebak
sangat penting untuk dikaji, karena ekosistem ini memiliki keanekaragaman ikan yang lebih tinggi bila dibanding dengan eksositem perairan tawar lainnya, dan menopang matapencaharian masyarakat tradisional yang tingal di dalam ekosistem tersebut.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, D.E.A, Bapak Dr. Ir. M.F. Rahardjo, D.E.A., dan Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S. selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staf Laboratorium PAU, IPB yang telah membantu menganalisis kualitas air. Terimakasih ditujukan pula kepada Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS, dan kepada Yayasan Satyabhakti Widya yang telah membantu dana penelitian. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada isteri, orang tua, keluarga, dan teman teman atas seluruh dukungan dan doanya.
Bogor, 2 Agustus 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Juli 1968 di Kota Pekalongan. Pendidikan TK, SD, SMP dan SMA, diselesaikan di Kota Semarang. Pada tahun 1992 lulus S1 Jurusan Perikanan di Universitas Diponegoro Semarang. S2 Progam Studi ilmu Perairan ditempuh tahun 1996 – 1998 di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2002 menempuh program S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai dosen KOPERTIS Wilayah XI yang dipekerjakan di Fakultas Perikanan Universitas Kristen Palangkaraya dari tahun 1994 hingga saat ini. Penulis menjadi pengajar mata kuliah Ekologi, Limnologi, Pencemaran Lingkungan Budidaya, Budidaya Pakan Alami Ikan dan Metodologi Penelitian. Penulis juga pernah menjadi tenaga pengajar pada Lokakarya Metodologi Penelitian untuk dosen dan guru agama di Kalimantan Tengah yang diselenggarakan pada tahun 2001 dan 2005. Penulis telah menikah sejak tahun 1997 dengan Cindy Anggraini Ngindra.
Publikasi ilmiah yang merupakan bagian dari penelitian dalam disertasi ini antara lain :
1. Diterbitkan pada Jurnal Biodiversitas Volume 8 Nomer 4, Oktober 2007, dengan judul makalah : Pengaruh musim terhadap komposisi jenis dan kemelimpahan ikan di rawa lebak sungai Rungan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
2. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Ikan V pada tanggal 3 Juni 2008 di Bogor dengan judul makalah : Strategi konservasi habitat untuk mempertahankan keanekaragaman ikan di rawa lebak sungai Rungan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
DAFTAR ISI
2.1.1. Parameter fisik kimiawi perairan.……….……….… 11
2.1.2. Plankton ……….………..… 14
2.5.5. Pengelolaan bersama (co-manajemen) ………... 30
III. BAHAN DAN METODE ……….…………...……… 34
3.1. Lokasi dan waktu penelitian…..….………... 34
3.2. Bahan dan alat ……….………... 34
3.3. Pengumpulan data ….………..……….. 35
3.3.1. Parameter fisik kimiawi perairan .………..… 37
3.3.2. Kerapatan pohon rawa dan penutupan vegetasi air ………. 38
3.3.3. Kelimpahan dan keanekaragaman plankton ……….. 38
3.3.4. Kelimpahan dan keanekaragaman makrozoobenthos …..… 39
3.3.5. Kelimpahan dan keanekaragaman ikan ………. 39
3.3.6. Isi saluran pencernaan ikan ……….. 40
3.3.8. Karakteristik mata pencaharian nelayan ……….… 41
3.3.9. Faktor sosial dan budaya ………..…………. 42
3.4. Analisis data ………..………... 42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………..………. 44
4.1. Gambaran umum wilayah penelitian ………..………. 44
4.1.1. Stasiun penelitian ………... 45
4.2. Kondisi fisik kimiawi perairan………. ………...…... 47
4.2.1. Kedalaman perairan……… 47
4.2.2. Suhu perairan ……….. 49
4.2.3. Kecerahan air dan padatan tersuspensi total ……….… 51
4.2.4. pH perairan ……….…. 53
4.2.5. Kadar oksigen dan karbondioksida terlarut …………...… 54
4.2.6. Kadar senyawa nitrogen dan fosfat terlarut ………... 56
4.3. Komunitas fitoplankton ……….……….….... 57
4.4. Komunitas zooplankton ………..… 59
4.5. Komunitas makrozoobenthos ...……….... 61
4.6. Komunitas ikan ……… 63
4.7. Karakteristik keluarga nelayan ……….. 78
4.7.1. Konsumsi rumah tangga ……… 79
4.7.2. Tingkat kemiskinan ……….……… 82
4.8. Karakteristik mata pencaharian nelayan ………… ……… 84
4.8.1. Mata pencaharian menangkap ikan……….. 85
4.8.1.1. Kepemilikan alat tangkap ……….. 86
4.8.1.2. Lokasi penangkapan ………..……… 91
4.8.1.3. Hasil tangkapan ikan ………..………… 92
4.8.1.4. Pemasaran hasil tangkapan ikan ……… 94
4.8.1.5. Pendapatan dari menangkap ikan ……….. 96
4.8.2. Mata pencaharian memelihara ikan di karamba ……… 97
4.8.2.1. Luas pemilikan karamba ………….……… 98
4.8.2.2. Teknik pemeliharaan ikan ……..……… 99
4.8.2.3. Pemasaran hasil panen ……….…… 102
4.8.2.4. Pendapatan dari memelihara ikan di karamba …… 102
4.8.3. Mata pencaharian eksploitasi kayu hutan …….. ……… 103
4.8.3.1. Teknik eksploitasi kayu hutan ……… 104
4.8.3.2. Tingkat eksploitasi kayu hutan ……….. 105
4.8.3.5. Pendapatan dari eksploitasi kayu hutan ………….. 107
4.9. Faktor – faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan ……...… 107
4.9.1. Sektor penangkapan ikan ………..… 109
4.9.2. Sektor memelihara ikan di karamba ……… 111
4.9.3. Sektor eksploitasi kayu hutan ………...…… 112
4.10. Faktor sosial yang berperan pada keberlanjutan ekosistem rawa lebak ……… 113
4.10.1. Nilai dan norma sosial .. ………..… 113
4.10.2. Perilaku nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan dan hutan ………...……… 116
4.10.3. Kontrol sosial ………. ………...…… 120
4.11. Pengelolaan ekosistem rawa lebak …….………. 121
4.11.1. Pengelolaan penangkapan ikan ………… ……… 121
4.11.2. Pengelolaan mata pencaharian sampingan ……. ...……… 134
4.11.3. Strategi peningkatan pendapatan nelayan ………...……… 139
V. KESIMPULAN DAN SARAN ..……….. 150
5.1. Kesimpulan ………..………. 150
5.2. Saran ……… 151
DAFTAR PUSTAKA………... 153
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Alat – alat yang digunakan untuk penelitian ……….... 35
2. Parameter fisik kimiawi air yang diamati ………... 37
3. Kualitas fisik kimiawi perairan pada bulan Mei 2005 – April 2006... 48
4. Rata-rata hasil tangkapan ikan menurut musim……….. 68
5. Kelompok ikan ekonomis penting di lokasi penelitian……… 69
6. Matrik untuk identifikasi species ikan yang populasinya rendah …….. 73
7. Jumlah penduduk Petuk Ketimpun dan Marang …………..………. 78
8. Pengeluaran rumah tangga responden ………... 80
9. Proporsi jumlah responden yang miskin ………. 82
10. Faktor – faktor yang dianalisis pengaruhnya terhadap tingkat kemiskinan ……… 83
11. Karakteristik perikanan subsisten di Petuk Ketimpun dan Marang…….. 86
12. Kepemilikan alat tangkap oleh responden ……….. 87
13. Ukuran mata jaring dari jaring insang yang digunakan oleh responden. 88 14. Hasil analisis regresi stepwise antara jumlah tiap alat tangkap dengan hasil tangkapan ikan ………. 90
15. Rata – rata hasil penangkapan ikan berdasarkan tipe perairan tahun 2001 s/d 2005 di Kota Palangkaraya ……… 92
16. Jumlah nelayan dan hasil penangkapan ikan di Kota Palangkaraya …. 93 17. Jenis – jenis ikan tangkapan nelayan yang bernilai ekonomi ………….. 94
18. Beberapa faktor hambatan pemasaran ikan ……….. 95
19. Biaya dan pendapatan mata pencaharian menangkap ikan ……… 97
20. Produksi ikan dari karamba di Kota Palangkaraya tahun 2001 s/d 2005 98 21. Biaya dan pendapatan mata pencaharian memelihara ikan di karamba 103 22. Rata - rata pendapatan responden ………. 108
23. Analisis diskriminan pendapatan dari sektor penangkapan ikan……….. 110
24. Analisis diskriminan pendapatan dari sektor memelihara ikan di Karamba ……… 112
25. Analisis diskriminan pendapatan dari sektor eksploitasi kayu hutan….. 113
26. Norma – norma pemanfaatan sumberdaya ikan dan hutan yang dimiliki oleh masyarakat nelayan Petuk ketimpun dan Marang ……….. 115
27. Aturan formal penangkapan ikan di Petuk Ketimpun dan Marang…….. 116
29. Jenis ikan lokal yang bernilai ekonomi dan menduduki tingkat trofik
yang rendah ………. 137
30. Alokasi penggunaan modal kerja oleh nelayan……….. 144 31. Keuntungan bersih usaha penangkapan ikan dan memelihara ikan
di karamba ……….. 144
32. Potensi wilayah perairan sungai Rungan untuk karamba di Petuk
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian ……… 8
2. Peta lokasi stasiun penelitian ……….. 36
3. Kedalaman perairan dan intensitas curah hujan pada Mei 2005 – April 2006 ………. 49
4. Rata-rata suhu perairan pada bulan Mei 2005 – April 2006………... 50
5. Perbedaan suhu perairan antara pagi dan siang pada bulan Mei 2005 – April 2006 ……… 51
6. Kecerahan air pada bulan Mei 2005 – April 2006.………... 52
7. Kadar padatan tersuspensi total pada bulan Mei 2005 – April 2006... 53
8. pH perairan pada bulan Mei 2005 – April 2006…….………..………. 54
9. Kadar oksigen terlarut pada bulan Mei 2005 – April 2006…..……... 55
10. Indeks Shannon komunitas fitoplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006 ………. 58
11. Indeks Evenness komunitas fitoplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006 ………. 58
12. Kelimpahan fitoplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006 ……….. 59
13. Indeks Shannon komunitas zooplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006 ………. 60
14. Indeks Evenness komunitas zooplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006 ………. 60
15. Kelimpahan zooplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006……….. 61
16. Kelimpahan kelompok makrozoobenthos pada bulan Mei 2005 – April 2006 ………. 62
17. Jumlah species ikan yang ditemukan selama penelitian .………. 63
18. Proporsi jumlah species ikan berdasarkan habitat……….. 64
19. Indeks Shannon komunitas ikan pada bulan Mei 2005 – April 2006……. 65
20. Indeks Evenness komunitas ikan pada bulan Mei 2005 – April 2006…… 65
21. Jumlah species ikan yang tertangkap pada bulan Mei 2005 – April 2006 66 22. Jumlah individu ikan yang tertangkap pada bulan Mei 2005 – April 2006 68 23. Bobot total hasil tangkapan pada bulan Mei 2005 – April 2006 ... 68
24. Distribusi kelimpahan kelompok ikan seluang …………...…………... 70
25. Distribusi kelimpahan kelompok ikan puhing ……..……….. 71
26. Distribusi kelimpahan kelompok ikan baung ………..………….. 71
27. Distribusi kelimpahan kelompok ikan lais ………. 71
29. Distribusi kelimpahan kelompok ikan gabus ……….…………... 72
30. Proporsi jumlah species ikan berdasarkan jenis materi yang dikonsumsi 74 31. Proporsi jumlah species ikan berdasarkan tingkat trofik ………. 75
32. Proporsi kelimpahan ikan (bobot) berdasarkan tingkat trofik ………. 76
33. Komposisi pengeluaran responden ……… 81
34. Luas karamba yang dimiliki responden di Petuk Ketimpun ……… 99
35. Luas karamba yang dimiliki responden di Marang ……….. 99
36. Proporsi peranan sumber pendapatan responden ……….. 108
37. Model pengelolaan penangkapan ikan di Kota Palangkaraya ……...…. 123
38. Model hubungan jumlah nelayan dengan pendapatan dan biaya……….. 127
39. Skenario petambahan jumlah nelayan dan dampaknya pada tingkat keuntungan nelayan ……….. 128
40. Prediksi kebutuhan benih ikan toman hingga tahun 2015 ..……… 135
41. Prediksi produksi ikan toman di karamba di Palangkaraya dan kebutuhan pakan hingga tahun 2015 ………. 136
42. Kontribusi relatif faktor – faktor yang mempengaruhi pendapatan total nelayan Petuk Ketimpun……… 140
43. Kontribusi relatif faktor – faktor yang mempengaruhi pendapatan total nelayan Marang ………. 141
44. Skenario pengaruh perubahan alokasi penggunaan modal kerja terhadap pendapatan nelayan ………. 145
45. Prediksi tingkat pemanfaatan wilayah untuk karamba hingga tahun 2015 dengan beberapa skenario …..……….. 147
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta wilayah penelitian ……….. 167
2. Foto pemukiman nelayan …….………. 168
3 Analisis kerapatan pohon hutan rawa di stasiun 1……….…… 169
4. Hasil pengamatan parameter fisik kimiawi air ……… 170
5. Curah hujan bulanan selama periode penelitian ………... 173
6. Kelimpahan fitoplankton ……….……… 174
7. Kelimpahan zooplankton ………... 177
8. Kelimpahan makrozoobenthos ..………... 178
9. Species ikan yang ditemukan di lokasi penelitian...………... 179
10. Foto species ikan yang ditemukan di lokasi penelitian .……… 180
11. Kelimpahan ikan ………..………… 186
12. Jumlah individu ikan yang tertangkap dan frekuensi kehadiran ………. 189
13. Tingkat trofik species ikan di lokasi penelitian ………..… 190
14. Identitas nelayan yang dipilih sebagai responden …... ...……. 193
15. Pengeluaran dan konsumsi rumah tangga responden………. 194
16. Karakteristik mata pencaharian menangkap ikan……….. 196
17. Karakteristik mata pencaharian sampingan ..……… 199
18. Pendapatan responden …..……… 201
19. Bantuan dan penyuluhan dari Pemerintah yang pernah diterima oleh responden ……….… 205
20. Harapan responden untuk pengembangan perikanan ……….. 206
21. Hasil analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ……….. 208
22. Perhitungan tingkat maksimum tangkapan lestari (MSY) ………. 215
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Kalimantan Tengah merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang
memiliki kawasan rawa yang luas. Luas rawa di Kalimantan Tengah mencapai
18,115 km² atau sekitar 11,8 % dari total luas Kalimantan Tengah. Kota
Palangkaraya yang merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Tengah memiliki
kawasan rawa sekitar 16,67 % atau sekitar 40.003 ha (Pemda Kalteng 2003).
Rawa di Kota Palangkaraya merupakan tipe ekosistem rawa lebak (floodplain)
yaitu genangan air yang terbentuk sebagai akibat luapan air sungai. Kawasan
rawa tersebut merupakan dataran banjir sungai Kahayan, Rungan, dan Sebangau.
Rawa lebak memiliki kontribusi penting bagi masyarakat setempat berupa sumber
protein dari ikan yang murah, kesempatan kerja, jalur transportasi dan sebagai
sumber penghasilan. Produksi ikan di Kota Palangkaraya sebagian besar (sekitar
74,77 %) berasal dari rawa lebak (Dinas Pertanian Kota Palangkaraya 2006).
Letak pedesaan di Kota Palangkaraya sebagian besar berada di sekitar
sungai Rungan (Lampiran 1). Masyarakat pedesaan tersebut memiliki
ketergantungan terhadap ekosistem rawa lebak disekitarnya. Mereka merupakan
masyarakat tradisional Suku Dayak Ngaju yang telah turun temurun bertempat
tinggal di sekitar sungai Rungan. Pemenuhan kebutuhan ikan untuk masyarakat
Kota Palangkaraya bergantung pada wilayah tersebut.
Ikan perairan tawar memiliki peranan lebih penting dibandingkan ikan laut di
Kota Palangkaraya. Kondisi ini disebabkan oleh budaya setempat yang lebih
terbiasa mengkonsumsi ikan perairan tawar, harga lebih murah dan lokasi kota ini
jauh dari sumber ikan laut. Tingkat kebutuhan ikan di Palangkaraya lebih besar
dibanding produksi ikan di Palangkaraya. Tingkat kebutuhan ikan di Palangkaraya
tahun 2005 mencapai 4.413,96 ton / tahun, dengan tingkat konsumsi ikan sekitar
25,12 kg/kapita/tahun. Produksi ikan di Palangkaraya tahun 2005 hanya dapat
memenuhi sekitar 63,06 % dari kebutuhan ikan di Palangkaraya atau sekitar
2.783,34 ton / tahun (Dinas Pertanian Kota Palangkaraya 2006). Tingginya
kota Palangkaraya yang mengancam keberlanjutan sumberdaya ikan di perairan
rawa lebak.
Menurut Hoggarth (1999) rawa lebak merupakan ekosistem yang lebih
cepat rusak dan hilang dibandingkan dengan ekosistem lain. Rawa lebak tidak
hanya rentan terhadap perubahan langsung seperti konversi menjadi lahan
pertanian atau pemukiman, tetapi juga rentan terhadap perubahan kualitas air
sungai yang mengaliri rawa lebak (Lewis Jr et al. 2000). Akibatnya
keanekaragaman ikan di perairan tawar dalam kondisi lebih cepat mengalami
penurunan dibandingkan ekosistem lain (Revenga & Kura 2003). Permasalahan
yang dijumpai pada perikanan perairan pedalaman di Kalimantan Tengah antara
lain penurunan kualitas air, adanya kasus penangkapan ikan yang menggunakan
bahan racun dan listrik, dan adanya kecenderungan penurunan hasil tangkapan
nelayan (Pemda Kalteng 2003). Menurut Harteman (2001; 2002), sumberdaya
ikan rawa lebak di Kota Palangkaraya seperti di Kelurahan Petuk Ketimpun dan
Berengbengkel dalam kondisi labil atau rusak. Kerusakan lingkungan ini
diindikasikan dengan rendahnya keanekaragaman ikan dan komunitas ikan
didominasi oleh spesies ikan kecil. Kerusakan sumberdaya ikan tersebut diduga
diakibatkan oleh kerusakan hutan alam, penangkapan ikan yang berlebihan, dan
penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti dengan racun dan
listrik.
Ekosistem rawa lebak di Kota Palangkaraya merupakan sumberdaya alam
yang bersifat terbuka dan tidak dimiliki oleh perorangan. Apabila ekosistem rawa
lebak tidak dikelola dengan tepat, maka dapat terjadi pemanfaatan ekosistem dan
sumberdaya ikan yang tidak berkelanjutan. Akibatnya pendapatan masyarakat
tradisional yang hidupnya bergantung pada sumberdaya ikan di kawasan tersebut,
akan menurun atau bahkan kehilangan mata pencahariannya sebagai nelayan.
Konservasi keanekaragaman ikan cenderung hanya ditujukan pada kawasan yang
sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Kawasan di luar itu yang justru
memiliki wilayah yang luas, menghadapi ancaman eksploitasi ikan berlebih, dan
kerusakan ekosistem. Oleh karena itu diperlukan upaya pengelolaan di luar
menjamin keberlanjutan mata pencaharian nelayan yang hidupnya bergantung
pada ekosistem tersebut.
Pengelolaan perairan rawa lebak di Indonesia saat ini masih jarang
dilakukan karena sangat kompleks dan belum dipahami dengan baik.
Kompleksitas pengelolaan kawasan ini disebabkan oleh stok ikan bersifat
multispesies, eksploitasi yang bersifat tradisional dengan berbagai alat tangkap,
kawasan melewati batas-batas administrasi desa dan variasi lingkungan yang tinggi
(Koeshendrajana & Hoggarth 1998). Data ekologis ekosistem rawa lebak di Kota
Palangkaraya masih sangat sedikit, sehingga strategi pengelolaan perairan rawa
lebak di kawasan tersebut masih sulit dirumuskan dengan baik. Menurut Undang
undang RI nomor 5 tahun 1990, tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya, pengelolaan ekosistem bertujuan mengusahakan terwujudnya
kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga
dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2007,
tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, diperlukan upaya melindungi, melestarikan,
dan memanfaatkan sumberdaya ikan, untuk menjamin keberadaan, ketersediaan,
dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.
Dengan demikian diperlukan tindakan pengelolaan ekosistem untuk mendukung
keanekaragaman ikan dan mendukung kesejahteraan masyarakat yang hidupnya
bergantung pada sumberdaya ikan di rawa lebak. Pengelolaan ekosistem rawa
lebak di Kota Palangkaraya harus ditujukan untuk mendukung keanekaragaman
ikan dan peningkatan pendapatan masyarakat nelayan.
1.2. Rumusan masalah
Rawa lebak di Kota Palangkaraya sebagian besar merupakan dataran banjir
sungai Rungan. Ekosistem rawa lebak merupakan ekosistem yang memiliki
peranan mempertahankan produktifitas dan keanekaragaman ikan (Hamilton
2002). Rawa lebak memiliki peranan penting untuk masyarakat di sekitarnya
sebagai sumber pendapatan dan pemenuhan kebutuhan protein rumah tangga.
Sumberdaya ikan rawa lebak di Kota Palangkaraya diindikasikan dalam
kerusakan hutan alam, penurunan kualitas air, penangkapan yang berlebihan,
kecenderungan penurunan hasil tangkapan nelayan dan penggunaan alat tangkap
yang tidak ramah lingkungan (Harteman 2002 ; Pemda Kalteng 2003). Ekosistem
rawa lebak dan keanekaragaman ikan yang dimilikinya merupakan sumberdaya
yang tidak dimiliki perorangan. Kondisi ini akan menyebabkan perubahan kualitas
lingkungan perairan yang tidak sesuai untuk kehidupan ikan dan penurunan
keanekaragaman ikan apabila tidak ada pengelolaan yang tepat. Perubahan
lingkungan perairan dapat mengakibatkan kualitas lingkungan tidak mendukung
kehidupan ikan. Apabila kualitas lingkungan tidak mendukung kehidupan ikan,
maka akan mengakibatkan keanekaragaman ikan menurun. Penangkapan ikan
yang berlebih cenderung terjadi apabila tanpa pengaturan. Penangkapan yang
berlebih mengakibatkan kelimpahan ikan menurun dan hasil tangkap nelayan juga
menurun. Dampak selanjutnya adalah masyarakat sekitar rawa lebak yang
hidupnya bergantung pada sumberdaya ikan rawa lebak akan kehilangan mata
pencaharian. Upaya konservasi keanekaragaman ikan cenderung hanya ditujukan
pada kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan suaka perikanan.
Kawasan di luar itu yang justru memiliki wilayah yang luas, menghadapi ancaman
eksploitasi ikan berlebih, dan kerusakan ekosistem. Oleh karena itu diperlukan
upaya pengelolaan ekosistem rawa lebak untuk mendukung keanekaragaman ikan
dan meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan.
Penelitian ini dimaksudkan untuk merumuskan model pengelolaan
ekosistem rawa lebak di Kota Palangkaraya. Beberapa permasalahan yang akan
dijawab dalam penelitian ini antara lain :
1. Bagaimana kondisi keanekaragaman ikan dan kualitas perairan di rawa
lebak.?
2. Faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pendapatan nelayan di
rawa lebak?
3. Bagaimana model pengelolaan ekosistem rawa lebak yang mendukung
1.3. Tujuan penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi kondisi keanekaragaman ikan dan kondisi lingkungan
ekosistem rawa lebak.
2. Mengidentifikasi faktor – faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan
nelayan.
3. Merumuskan model pengelolaan ekosistem rawa lebak yang mendukung
keanekaragaman ikan dan peningkatan pendapatan nelayan.
1.4. Manfaat penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut :
1. Memberikan rancang bangun pengelolaan ekosistem rawa lebak yang
mendukung keanekaragaman ikan dan pendapatan masyarakat nelayan.
Informasi ini bermanfaat untuk bahan pertimbangan Pemerintah Daerah
dalam mengambil kebijakan pengelolaan ekosistem rawa lebak.
2. Memberikan informasi ilmiah tentang status keanekaragaman ikan dan
kondisi lingkungan rawa lebak sungai Rungan.
3. memberikan informasi ilmiah mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi
pendapatan masyarakat nelayan rawa lebak.
4. Memberikan sumbangan ilmiah pada bidang ilmu pengelolaan perairan
rawa lebak di tropika.
1.5. Kerangka pemikiran
Ekosistem rawa lebak memiliki keanekaragaman ikan yang tinggi yang perlu
dipertahankan keberadaannya. Masyarakat tradisional yang hidup di sekitar rawa
lebak memiliki ketergantungan pada sumberdaya ikan di rawa lebak tersebut.
Mereka menangkap ikan sebagai mata pencaharian utama. Pengelolaan
ekosistem rawa lebak perlu dilakukan dengan tujuan untuk mendukung
keanekaragaman ikan yang ada serta untuk mendukung keberlanjutan pendapatan
masyarakat nelayan di sekitarnya. Keanekaragaman ikan dapat menjadi indikator
Barg 1997). Bahkan keanekaragaman ikan memberikan manfaat ekonomi secara
langsung bagi masyarakat (Braatz 1994). Masyarakat nelayan memiliki
kesempatan mengeksploitasi beragam jenis ikan, terutama yang memiliki nilai
ekonomi. Keragaman jenis ikan memberi kesempatan nelayan menangkap sesuai
dengan variasi habitat, musim dan jenis alat tangkap.
Keanekaragaman ikan di rawa lebak terutama dipengaruhi oleh faktor
ekologis dan faktor antropogenik. Menurut Lowe-McConnell (1987) habitat yang
sesuai untuk mendukung keanekaragaman ikan ditentukan oleh kondisi fisik kimia
perairan, ketersediaan pakan alami, perlindungan dari pemangsaan dan
ketersediaan ruang untuk daur hidup. Kondisi fisik kimia perairan yang optimal
akan mendukung keanekaragaman ikan, sebaliknya bila kondisinya tidak optimal,
hanya spesies yang mampu bertoleransi saja yang dapat hidup (Lowe-McConnell
1987). Komponen biotik perairan di rawa lebak yang memiliki peranan terhadap
keanekaragaman ikan antara lain plankton, makrozoobenthos, vegetasi air dan
pohon rawa. Keanekaragaman ikan akan cenderung lebih tinggi, apabila pakan
alami yang tersedia di lingkungan mencukupi untuk berbagai spesies ikan.
Plankton dan makrozoobenthos memiliki peranan sebagai pakan alami ikan di rawa
lebak (Forsberg et al. 1993; Buchar 1998; Merona & Rankin-de-Merona 2004).
Vegetasi air dan pohon rawa memiliki peranan sebagai tempat perlindungan ikan
dari pemangsaan dan aktivitas penangkapan (Chapman et al. 1996 ; Hoggarth et
al. 1999). Komunitas ikan rawa lebak terdiri atas spesies ikan yang beragam.
Spesies-spesies tersebut saling berinteraksi. Oleh karena spesies ikan dalam
komunitas saling berinteraksi, maka hilangnya suatu spesies akan dapat
berdampak pada struktur komunitas ikan (Lowe-McConnell 1987).
Faktor antropogenik yang dominan mempengaruhi keanekaragaman ikan
rawa lebak adalah penangkapan ikan yang berlebih dan aktivitas manusia yang
merusak ekosistem rawa lebak (Dudgeon 2000). Penangkapan ikan yang
berlebih akan mengakibatkan menurunnya populasi ikan dan keanekaragaman
ikan. Alat tangkap yang digunakan di rawa lebak bervariasi bergantung pada
musim, habitat, dan teknologi yang dikenal masyarakat (Hoggarth et al. 1999).
Penggunaan alat tangkap yang tidak selektif dan penangkapan berlebihan akan
mata pencaharian utama masyarakat nelayan. Dengan demikian mata
pencaharian menangkap ikan dapat mempengaruhi keanekaragaman ikan. Mata
pencaharian sampingan juga berpeluang akan mempengaruhi keanekaragaman
ikan. Mata pencaharian selain menangkap ikan, juga umumnya dimiliki oleh
masyarakat di rawa lebak. Hal ini disebabkan oleh variasi potensi sumberdaya ikan
bersifat musiman, dan sumberdaya alam disekitar mereka masih dapat menjadi
sumber mata pencaharian alternatif. Pada umumnya mata pencaharian sampingan
masyarakat nelayan bergantung pada sumberdaya alam yang tersedia di rawa
lebak sekitar tempat tinggal mereka. Mata pencaharian sampingan dapat
mengakibatkan kerusakan ekosistem, apabila eksploitasi sumberdaya alam di
rawa lebak dilakukan dengan tidak tepat. Apabila alternatif mata pencaharian
semakin sedikit, maka masyarakat akan cenderung mengintensifkan kontribusi
perikanan sebagai sumber pendapatan. Sebaliknya apabila terdapat alternatif
mata pencaharian lain yang lebih menguntungkan, maka tekanan eksploitasi
sumberdaya ikan akan menurun.
Faktor sosial dan budaya masyarakat dapat mempengaruhi
keanekaragaman ikan (Pinedo-Vasquez et al. 2001). Masyarakat memanfaatkan
sumberdaya ikan di rawa lebak melalui kegiatan penangkapan ikan. Faktor sosial
budaya masyarakat akan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam
memanfaatkan sumberdaya ikan dan sumber daya alam lainnya di rawa lebak.
Faktor sosial dan budaya yang mempengaruhi cara masyarakat memanfaatkan
sumberdaya ikan antara lain : nilai – nilai sosial dan kearifan lokal, persepsi
masyarakat terhadap lingkungan, dan norma - norma yang mengatur pemanfaatan
sumberdaya ikan.
Sebagian besar masyarakat nelayan rawa lebak merupakan nelayan paruh
waktu yaitu memiliki mata pencaharian lain di samping menangkap ikan
(Welcomme 1983). Pendapatan total rumah tangga nelayan berasal dari sektor
penangkapan ikan dan sektor bukan penangkapan ikan (Panayotou 1985).
Kontribusi sektor bukan penangkapan ikan terhadap total pendapatan bergantung
pada peluang mata pencaharian yang tersedia di lingkungan tempat tinggal
masyarakat. Sedangkan kontribusi sektor penangkapan ikan dipengaruhi oleh
nelayan rawa lebak yang merupakan indikator tingkat kesejahteraan dipengaruhi
oleh perimbangan persentase kontribusi mata pencaharian menangkap ikan
dengan matapencaharian bukan menangkap ikan (Bene et al . 2000).
Pengelolaan ekosistem merupakan suatu pendekatan pengelolaan yang
menggunakan informasi ekologis dan sosial untuk mencapai tujuan (Lackey 1998).
Perumusan model pengelolaan ekosistem rawa lebak dilakukan berdasarkan
kajian faktor biofisik perairan dan faktor sosial dan ekonomi nelayan. Model
pengelolaan bergantung pada tujuan pengelolaan yaitu : mendukung
keanekaragaman ikan dan pendapatan nelayan. Untuk mencapai tujuan
pengelolaan, maka diperlukan pengelolaan mata pencaharian penangkapan ikan
dan mata pencaharian sampingan, serta strategi peningkatan pendapatan nelayan.
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini, secara sistematis
disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
1.6. Kebaharuan (Novelty)
Upaya konservasi keanekaragaman ikan saat ini cenderung diupayakan
hanya di kawasan suaka perikanan yang dilindungi oleh undang – undang.
Kawasan yang dilindungi tersebut hanya bagian kecil dari ekosistem, bila dibanding
dengan luas kawasan yang tidak dilindungi. Apabila konservasi keanekaragaman
ikan dapat diimplementasikan di kawasan di luar daerah yang dilindungi, maka
keberlanjutan keanekaragaman ikan akan lebih terjamin. Upaya konservasi
keanekaragaman ikan dan peningkatan pendapatan nelayan sering kali menjadi
upaya yang kontradiktif, karena konservasi cenderung membatasi penangkapan
ikan, sedangkan peningkatan pendapatan cenderung dengan meningkatkan
penangkapan ikan. Upaya konservasi keanekaragaman ikan di luar daerah yang
dilindungi harus diikuti dengan upaya menjamin keberlanjutan mata pencaharian
masyarakat tradisional yang hidupnya bergantung pada ekosistem ini. Novelty
dalam penelitian ini adalah : rancangan model pengelolaan ekosistem rawa lebak
berdasarkan kajian ekologis, sosial, dan ekonomi, yang sesuai dengan kondisi
sosial budaya masyarakat lokal Dayak, yang menyatukan antara kepentingan
konservasi keanekaragaman ikan dan kepentingan peningkatan pendapatan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik ekosistem rawa lebak
Rawa merupakan istilah yang digunakan untuk semua lahan basah yang
bervegetasi, baik yang berair tawar, air asin maupun payau, berhutan ataupun
ditumbuhi tanaman semak (Davis et al. 1995). Rawa pada umumnya
dikarakteristikkan sebagai perairan genangan yang dangkal, melimpah vegetasi air
dan pohon rawa (Archibold 1995 ; Suwignyo 1996). Ekosistem rawa di Indonesia
dapat dibedakan menjadi rawa pasang surut dan rawa non-pasang surut. Rawa
pasang surut meliputi rawa-rawa pesisir yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut
dan rawa non pasang surut, meliputi rawa-rawa pedalaman yang tidak dipengaruhi
oleh pasang surut air laut. Berdasarkan vegetasinya, rawa dapat dibedakan
menjadi rawa berhutan dan rawa tak berhutan, atau bahkan berdasarkan jenis
vegetasi yang dominan, misalnya rawa bakau, rawa nipah, dan rawa rumput (Davis
et al. 1995).
Menurut Saanin (1981) rawa lebak atau dikenal dengan nama “floodplain”
merupakan perairan dataran rendah yang merupakan bagian dari daerah aliran
sungai, baik merupakan perairan yang terbuka, secara periodik dengan
vegetasinya yang meluas atau berkurang, kelihatan seperti danau besar, sedang,
dan kecil namun dengan kedalaman yang kecil dan bervariasi menurut musim, dan
dalam sebagian besar waktu setahun masih berhubungan dengan sungai induknya.
Rawa lebak merupakan ekosistem yang terdapat di dataran banjir sekitar sungai
dan merupakan daerah limpasan dari luapan air sungai (Welcomme 1983). Rawa
lebak memiliki variasi yang tinggi berdasarkan waktu dan ruang . Ekosistem rawa
lebak dapat meliputi : rawa berumput, rawa hutan, saluran-saluran sungai, dan
danau atau kolam yang permanen dan temporal. Tipe habitat rawa lebak di
Indonesia (studi kasus di Sumatera Selatan) meliputi : rawa berrumput (lebak atau
lebak kumpai), rawa hutan (rawang), sawah, anak sungai (sungei), sungai mati
atau oxbow (danau) dan cekungan rawa (lebung) (Utomo 1993; Hoggarth et al.
1999). Produktifitas ikan dan biota lain di rawa lebak ditentukan oleh siklus
penggenangan. Produktifitas meningkat dengan meningkatnya penggenangan
2.1.1. Parameter fisik kimiawi perairan
Beberapa parameter kualitas air yang dapat menjadi faktor pembatas bagi
ikan di perairan rawa antara lain oksigen terlarut dan keasaman. Rawa pada
umumnya dikarakteristikkan dengan melimpahnya pertumbuhan vegetasi air dan
diasosiasikan dengan perombakan material organik. Dekomposisi ini
mengakibatkan kondisi oksigen yang rendah dan bersifat asam (Payne 1986).
Pada ekosistem perairan, oksigen terlarut merupakan faktor pembatas terpenting
bagi organisme (Bayly & Williams 1981).
Kandungan oksigen terlarut di rawa lebak pada umumnya lebih rendah
dibandingkan perairan genangan lain. Bahkan kondisi anoksik (tanpa oksigen
terlarut) kadang – kadang dijumpai pada rawa lebak yang tidak mengalir. Hal ini
disebabkan oleh produktifitas biologi yang tinggi di rawa lebak, dan respirasi lebih
besar dibandingkan fotosintesis (Hamilton 2002). Ketika suhu lingkungan
meningkat, metabolisme meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat juga.
Menurut Smart (1981), kebutuhan ikan terhadap oksigen akan meningkat
dengan meningkatnya suhu perairan. Menurut (Boyd 1982), toleransi ikan
terhadap kadar oksigen terlarut minimum bergantung pada jenis ikan, ukuran,
kondisi fisiologi, dan konsentrasi zat lain yang terlarut. Batas toleransi ikan
terhadap kadar minimum oksigen terlarut adalah 1 mg/l. Kisaran kandungan
oksigen terlarut rawa lebak di Kota Palangkaraya 1,12 – 6,25 mg/l (Sulistiyarto
1998 ; Sulastri & Hartoto 2000; Harteman 2001; 2002).
Kondisi suhu yang berfluktuasi pada umumnya kurang menguntungkan bagi
kehidupan ikan. Pada umumnya suhu tubuh ikan lebih rendah 0,60 C dibanding
suhu lingkungannya (Elliott 1981). Kisaran suhu perairan rawa lebak di Kota
Palangkaraya 26,3 – 33,6 O C (Sulistiyarto 1998; Sulastri & Hartoto 2000;
Harteman 2001; 2002 )
Pada rawa yang mengandung gambut, pH perairan dapat berkisar antara
3,5 – 4,5. Perairan black water mengandung bahan organik berupa asam humus
dan pH-nya di bawah 4 (Andrews & McEwan 1987). pH rawa lebak di Sumatera
Selatan berkisar antara 5,25 – 4,5 di Lebak Air Hitam, di Teluk Galam berkisar
– 6,5 (Nurdawati & Parsetyo 2006). pH rawa lebak di Kota Palangkaraya berkisar
antara 2,80 - 6,83 (Sulistiyarto 1998; Sulastri & Hartoto 2000; Harteman 2001;
2002 ). Pada umumnya ikan memiliki toleransi pH antara 6,7 – 8,6. Sangat
sedikit spesies ikan yang bertoleransi pada pH di bawah 5 atau di atas 9 (Andrews
& McEwan 1987).
Keberadaan karbondioksida (CO2) bebas di perairan dapat dipengaruhi oleh
pH. Pada pH 4,5 – 8,4, ion karbon anorganik terikat dalam bentuk bikarbonat,
sedangkan pada pH lebih dari 8,4 lebih banyak dalam bentuk karbonat. Pada pH di
bawah 7 mulai terdapat karbondioksida bebas dan pada pH 4,5 atau kurang semua
karbon anorganik dalam bentuk karbondioksida bebas dan asam karbonat (H2CO3)
(Bayly & Williams 1981). Menurut (Boyd 1982), kadar CO2 bebas yang tinggi tidak
berbahaya bagi ikan apabila kadar oksigen tinggi. Apabila oksigen terlarut rendah,
maka CO2 bebas dapat menghambat pengambilan O2 oleh ikan. Kadar CO2 yang
masih ditoleransi oleh ikan sebesar 12 mg/l jika kadar O2 2 mg/l, dan paling tinggi
25 mg/l jika kadar O2 minimal 5 mg/l. Kadar CO2 bebas rawa lebak di beberapa
daerah adalah sebagai berikut : di rawa Telaga Menarap, Kalimantan Selatan 16,4
– 17,9 mg/l, di rawa lebak Air Hitam Sumatera Selatan 10 mg/l (Ondara 1981), di
rawa lebak Cala, Sumatera Selatan 9,5 – 11,5 mg/l (Nurdawati & Parsetyo 2006),
dan di rawa Tawar Taplus Kalimantan Selatan 15 – 16 mg/l (Arifin et al. 1995).
Ammonia di perairan pada umumnya kadarnya rendah karena merupakan
hasil ekskresi hewan air. Kadar ammonia bergantung pada ekskresi hewan air,
oksidasi bakteri, dan penyerapan oleh fitoplankton dan vegetasi air. Pada
umumnya kadar ammonia perairan tawar kurang dari 0,1 mg/l (Goldman & Horne
1983). Kadar ammonia di rawa lebak Loa Kang, Kalimantan Timur, berkisar antara
0,016 – 0,456 mg/l (Yustiawati et al. 2004), sedangkan di rawa lebak Cala,
Sumatera Selatan 0,20 – 0,31 mg/l (Nurdawati & Parsetyo 2006). Variasi musiman
dari kadar ammonia di perairan terutama bergantung pada densitas alga dan
tingkat fotosintesa (Hargreaves and Tucker 2004). Ammonia yang tidak
berionisasi bersifat toksik, sedangkan ion ammonia tidak toksik. Ammonia semakin
bersifat toksik apabila kadar oksigen terlarut semakin rendah. Batas toleransi ikan
Hargreaves dan Tucker (2004) pada pH 9, batas toleransi ikan berkisar antara 1,5
– 2,0 mg/l.
Nitrit di perairan pada umumnya kadarnya sangat kecil sekali. Kadar nirit di
rawa lebak Loa Kang, Kalimantan Timur, berkisar antara 0,004 – 0,622 mg/l
(Yustiawati et al. 2004), sedangkan di rawa lebak Cala, Sumatera Selatan 0,10 –
0,16 mg/l (Nurdawati & Parsetyo 2006). Nitrit akan segera teroksidasi menjadi
nitrat, apabila terdapat oksigen. Apabila kondisi anoksik, maka nitrit akan segera
direduksi menjadi ammonia (Goldman & Horne 1983). Nitrit apabila masuk dalam
tubuh ikan akan bereaksi dengan haemoglobin menjadi methemoglobin, sehingga
menyebabkan terhambatnya penyerapan oksigen. Nitrit akan bersifat toksik bagi
ikan apabila kadarnya melebihi 0,5 mg/l (Boyd 1982).
Nitrat dan fosfat di perairan berperan sebagai nutrien bagi fitoplankton dan
vegetasi air. Fosfat dan nitrat merupakan faktor pembatas pertumbuhan
fitoplankton dan vegetasi air di perairan tawar (Moss 1998). Pada perairan rawa
lebak yang bersifat asam, kadar fosfat sangat rendah. Penyebab rendahnya fosfat
di wilayah ini adalah jarangnya mineral yang mengandung fosfor, tidak adanya fase
gas untuk fosfor sehingga tidak dapat diserap dari udara, dan fosfor dapat terikat di
dasar perairan (Goldman & Horne 1983). Rawa Lebak di Palangkaraya memiliki
kandungan nutrien tertinggi terutama pada saat musim hujan. Nutrien tersebut
berasal dari air sungai yang menggenangi rawa lebak. Peningkatan nutrien
terutama pada kadar nitrogen. Sedangkan kadar fosfor tidak berbeda antara
musim hujan dan kemarau (Sulastri & Hartoto 2000). Kadar fosfat di Rawa Lebak
Air Hitam dan Teluk Galam, Sumatera Selatan, tidak terdeteksi (Murniyati et al.
1993); sedangkan di rawa lebak Cala Sumatera Selatan 0,04 – 0,07 mg/l
(Nurdawati & Parsetyo 2006). Menurut Hartoto dan Mulyana (1996) kadar nitrat
yang masih baik untuk kehidupan komunitas ikan berkisar antara 0 – 3,0 mg/l.
Nitrat di perairan pada umumnya kurang dari 1 mg/l. Sedangkan pada danau
eutrofik, kadar nitrat lebih dari 1 mg/l. (Bayley & Williams 1981). Kadar nitrat di
rawa lebak Loa Kang, Kalimantan Timur, berkisar antara 0,051 – 1,548 mg/l
(Yustiawati et al. 2004), sedangkan di rawa lebak Cala, Sumatera Selatan 0,16 –
Pada waktu permulaan musim hujan, rawa lebak akan dialiri air dari sungai.
Air tersebut akan membawa bahan-bahan tersuspensi akibat dari erosi (Saanin
1981). Menurut Boyd (1982), partikel yang menyebabkan kekeruhan akan
mengakibatkan kematian ikan apabila kandungannya mencapai 175.000 mg/l.
Padatan tersuspensi pada rawa lebak di Palangkaraya berkisar antara 105,6 –
182,5 mg/l (Hartoto & Awalina 2000 ; Harteman 2001), sedangkan di rawa lebak
Loa kang, Kalimantan Timur, berkisar antara 11,00 – 866,0 mg/l (Yustiawati et al.
2004). Peningkatan padatan tersuspensi di air merupakan dampak umum dari
aktivitas penebangan hutan dan dapat berakibat terhadap komunitas ikan melalui
gangguan penglihatan (Karagosian & Ringler 2004).
Kedalaman rawa lebak berfluktuasi menurut musim. Kedalaman maksimal
terjadi pada musim hujan, dan pada kemarau bahkan dapat menjadi kering.
Kedalaman rawa lebak menurun dengan semakin jauh jaraknya dengan sungai
utama (Poully & Rodriguez 2004). Di Rawa Tawar Taplus Kalimantan Selatan,
fluktuasi kedalaman mencapai 1,5 meter (Arifin et al. 1995). Rawa lebak di daerah
aliran Sungai Musi, Ogan, Komering, dan Air Rawas (Sumatera Selatan), Sungai
Kahayan, Kapuas Kecil dan Barito (Kalimantan Tengah dan Selatan), pada
umumnya memiliki kedalaman tidak lebih dari 6 meter (Saanin 1981). Rawa lebak
di Palangkaraya memiliki kedalaman berkisar antara 1,0 – 6,8 meter (Sulastri &
Hartoto 2000; Harteman 2001).
2.1.2. Plankton
Fitoplankton di perairan rawa yang mengandung gambut pada umumnya
dominasi oleh Desmidiaceae dan Mesotaeniaceae serta sedikit alga biru-hijau
(Ruttner 1963). Kelompok alga lain yang dominan adalah Bacillariophycecae atau
diatom. Alga yang berukuran kecil seperti diatom mampu mengatasi keterbatasan
nutrien, karena memiliki permukaan yang lebih luas dibandingkan volume sel.
Fitoplankton dengan karakteristik demikian cenderung melimpah di perairan
oligotrop (Archibold 1995). Kelimpahan fitoplankton di rawa ditentukan oleh
kondisi nutrien perairan tersebut. Fitoplankton cenderung melimpah pada rawa
hipereutrofik (total P rata rata 205 g/L). Sedangkan perairan rawa yang eutrofik
2003). Fitoplankton di perairan air hitam lebih rendah densitasnya dibandingkan di
air jernih (Payne 1986). Menurut Walker (2003), pertumbuhan fitoplankton di
rawa berhutan dibatasi oleh intensitas cahaya matahari yang rendah, karena
tertutup kanopi hutan. Densitas fitoplankton rawa lebak di Palangkaraya pada
musim hujan lebih tinggi dibandingkan musim kemarau, karena peningkatan kadar
nutrien dan pH air pada waktu musim hujan (Sulastri & Hartoto 2000).
Zooplankon air tawar didominasi oleh Copepoda, Cladocera, dan rotifera
(Payne 1986). Menurut Neves et al. (2003), pada perairan yang dipengaruhi oleh
banjir musiman, kelimpahan zooplankton meningkat pada saat air sungai masuk ke
perairan tersebut. Pada saat itu ketersediaan pakan bagi zooplankton lebih
melimpah, karena air sungai membawa nutrien dan material allochtonous. Menurut
Bayley & Williams (1981), kelimpahan zooplankton memiliki ketergantungan
dengan kelimpahan fitoplankton, karena pada kondisi normal fitoplankton
merupakan bagian terbesar pakan zooplankton. Kelimpahan Cladocera lebih tinggi
pada tempat dengan penutupan vegetasi air, karena vegetasi air memberikan
perlindungan dari pemangsaan (Lauridsen & Lodge 1996). Rotifera planktonik
lebih tinggi densitasnya pada saat periode surut dibandingkan periode
penggenangan (Rossa & Bonecker 2003).
Ikan bergantung pada plankton pada tahap awal kehidupannya. Sedangkan
ikan planktivora secara eksklusif bergantung pada plankton selama hidupnya.
Sekitar 36.6% karbon pada tubuh berbagai jenis ikan di rawa lebak Sungai Amazon
berasal dari fitoplankton (Forsberg et al. 1993). Beberapa jenis ikan di rawa lebak
Kalimantan Tengah yang makanan utamanya plankton, antara lain : puhing
(Cyclocheilicthys apogon), kalabau (Osteochilus kalabau), seluang (Puntius
fasciatus), sanggang (Puntius bulu), jelawat (Leptobarbus hoeveni), sepat iju
(Trichogaster trichopterus), sepat rawa (Trichogaster leeri), gurami (Osphronemus
gouramy) dan seluang bulu (Rasbora argyrotaenia) (Buchar 1998).
2.1.3. Makrozoobenthos
Menurut Wetzel (2001), diptera merupakan komponen dominan dari
invertebrata dasar di perairan lentik maupun lotik. Kelimpahan makrozoobenthos di
2005). Pada umumnya makrozoobenthos rawa lebak sangat sedikit densitasnya,
karena kadar oksigen terlarut rendah, sedimen dasar yang tidak stabil, dan
tingginya predasi ikan. Makrozoobenthos lebih melimpah pada vegetasi air bila
dibandingkan dasar perairan (Hamilton 2002). Kelimpahan makrozoobenthos yang
ditemukan oleh Wulandari et al. (2005) di rawa lebak di Kalampangan
Palangkaraya berkisar antara 242 - 2070 indv / m2. Menurut Higuti & Takeda
(2002), banjir musiman (flood pulse) merupakan faktor utama variasi temporal dari
kelimpahan dan keanekaragaman chironomidae. Peningkatan kedalaman akan
menyebabkan penurunan kelimpahan chironomid (Walker 2003).
Makrozoobenthos memiliki peranan sebagai sumber makanan ikan di rawa
lebak. Meschiati & Arcifa (2002) menemukan insekta air berperan sebagai
makanan utama untuk ikan muda di danau Monte Alegre, Brazil. Beberapa species
ikan di rawa lebak Kalimantan Tengah yang memanfaatkan makrozoobenthos
(insekta air dan cacing) sebagai makanan utama antara lain : lalang (Chela
oxygastroides), seren (Cyclocheilicthys enoplos), lais putih (Kryptopterus
hexapterus), lais junggang (K. micronema), gabus (Channa striatus), betok (Anabas
testudineus), dan belida (Chitala borneensis) (Buchar 1998).
2.1.4. Vegetasi air dan pohon hutan rawa
Vegetasi air adalah semua tumbuhan yang dapat bertoleransi atau
memerlukan penggenangan untuk sebagian atau seluruh waktu hidupnya
(Revenga & Kura 2003). Vegetasi air yang ditemukan di rawa lebak di Kelurahan
Berengbengkel Palangkaraya meliputi enceng gondok, kiambang (Salvinia
molesta), kiapu (Ultricularia vulgalis), putat (Gluta rengas), kumpai (Panicum
repens), pandan duri (Pandanus sp), bamban (Panicum paludosum) dan suduk
welut (Eleocharis dulcis) (Sulistiyarto 1998; Buchar et al. 2000 ). Menurut
Forsberg et al. (1993), vegetasi air berperan 52% dari total produktivitas primer
ekosistem rawa lebak. Struktur komunitas vegetasi air terutama ditentukan oleh
kondisi nutrien, kedalaman (Bayley & Prather 2003), penutupan penetrasi cahaya
matahari (Binzer & Sand-Jensen 2002), dan siklus penggenangan (Hamilton
rumput-rumputan (Archibold 1995). Keberadaan vegetasi air memiliki pengaruh
terhadap biomas semua kelompok invertebrata yang fungsional. Biomas semua
kelompok invertebrata selalu lebih tinggi di vegetasi air (Diehl 1992). Vegetasi air
memiliki peranan penting sebagai substrat dasar untuk perifiton, sehingga perifiton
cenderung lebih melimpah di perairan yang bervegetasi air (Engle & Melack
1993). Vegetasi air yang mati akan terakumulasi di dasar perairan. Pada saat
vegetasi air mati, bahan nutrien yang terdapat dalam vegetasi tersebut akan
dilepaskan ke perairan (Solski 1986). Vegetasi air memiliki peranan sebagai
tempat perlindungan ikan dengan ukuran kecil atau ikan muda dari pemangsaan.
Habitat yang bervegetasi air akan memiliki kompleksitas struktur habitat dan kadar
oksigen terlarut yang rendah. Hal ini akan mengurangi efisiensi pemangsaan
(Chapman et al. 1996).
Hutan rawa di Kalimantan Tengah terdiri dari tiga tipe yaitu hutan kerangas,
semak kerangas, dan hutan rawa gambut. Hutan kerangas didominasi oleh
Cotylelobium lanceolatum, Palaquium leiocarpum dan Dryobalanops rappa.
Hutan rawa gambut didominasi oleh Shorea balangeran dan Vatica oblongifolia
(Suzuki et al. 2000). Kekayaan jenis pohon hutan rawa di gambut pada umumnya
rendah, karena hanya jenis-jenis tertentu yang mampu bertahan dan berkembang
dalam kondisi keasaman yang tinggi (Mirmanto et al. 2000). Pohon hutan rawa
memiliki pengaruh pada produktifitas perairan rawa. Penutupan pohon rawa akan
menghalangi proses fotosintesis, sehingga menghambat pertumbuhan fitoplankton.
Akibatnya rantai makanan di perairan tersebut, terutama dari dekomposisi serasah
(Walker 2003). Kompleksitas struktur habitat hutan rawa memiliki peranan sebagai
tempat perlindungan ikan dari pemangsaan dan penangkapan (Hoggarth et al.
1999).
2.2. Keanekaragaman ikan rawa lebak
Keanekaragaman hayati meliputi tiga tingkatan yaitu keanekaragaman
genetik, species dan ekosistem. Keanekaragaman genetik adalah informasi total
genetik dari individu organisme. Keanekaragaman species menggambarkan
variasi organisme hidup, sedangkan keanekaragaman ekosistem meliputi
tersebut (Braatz et al. 1994). Keanekaragaman jenis adalah ukuran tingkat
pengaturan dan efisiensi energi, makanan, ruang dan waktu yang digunakan oleh
komunitas (Payne 1986). Keanekaragaman merupakan indicator dari kondisi
system ekologi (Magurran 1988). Penyebab dasar yang mengakibatkan hilangnya
keanekaragaman hayati antara lain pertumbuhan penduduk yang cepat,
kemiskinan dan pasar yang memberi penilaian rendah terhadap lingkungan.
Penyebab langsung yang mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati di
Asia terutama oleh kerusakan habitat, eksploitasi berlebih, polusi dan perubahan
iklim (Braatz et al. 1994).
Jumlah species ikan dipengaruhi oleh ukuran luas dari ekosistem. Semakin
luas wilayah ekosistem, maka semakin besar potensi keanekaragaman habitat,
yang menyebabkan keanekaragaman spesies (Payne 1986). Menurut
Tejerina-Garro et al. (2005), keanekaragaman species pada umumnya meningkat dari hulu
ke hilir sungai, karena meningkatnya ukuran habitat dan keanekaragaman habitat
ke arah hilir.
Menurut Lowe-McConnell (1987) terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi keanekaragaman ikan antara lain :
1. Kehadiran ikan predator untuk menjaga keseimbangan jumlah populasi species
mangsa.
2. Pemanfaatan kolom air permukaan, tengah, dan dasar untuk penyebaran ikan.
3. Pembagian waktu mencari makan, yaitu ada species yang mencari pada saat
malam saja, dan species lain hanya pada waktu siang saja.
4. Kondisi fisik kimiawi perairan yang optimal untuk mendukung kehidupan ikan.
5. Ketersediaan makanan alami untuk mendukung berbagai species ikan.
6. Adanya ruang di ekosistem untuk tempat pemijahan dan melindungi dari
predator.
Distribusi dan migrasi ikan rawa lebak bergantung pada toleransi terhadap
kondisi lingkungan seperti oksigen terlarut, pH, suhu dan kondisi kekeringan
selama periode surut (Hoggarth et al. 1999). Ikan yang hidup di rawa lebak dapat
digolongkan menjadi ikan ‘whitefish’ yang tidak dapat mentoleransi kondisi oksigen
terlarut yang rendah dan ‘blackfish’ yang bersifat menetap dan dapat mentoleransi
seluruh siklus hidupnya berada di rawa. Ikan golongan Labirinthici dan Ostariophisi
yang tak bersisik pada umumnya merupakan ikan penghuni tetap rawa, misalnya
haruan (Channa micropeltes), senggaringan (Macrones nigriceps), dan sepat
(Trichogaster leeri) (Saanin 1981). Ikan whitefish bermigrasi dari sungai ke rawa
pada musim hujan dan kembali ke sungai pada musim kemarau. Ikan ini banyak
diwakili dari famili Cyprinidae (Moyle & Cech 1988). Menurut Baran (2006),
perubahan tinggi air merupakan faktor utama yang mendorong ikan rawa lebak
bermigrasi. Ikan whitefish yang bermigrasi misalnya : repang (Osteochilus repang)
dan jelawat (Leptobarbus hoeveni) (Saanin 1981).
Pada umumnya ikan yang terdapat di perairan sungai di Kalimantan Tengah
didominasi oleh ikan famili Cyprinidae. Ikan lain meliputi : Siluridae, Bagridae,
Belontidae, Chandidae, Hemiramphidae, Helostomatidae, Luciocephalidae,
Pangasidae, Pristolepididae dan Sparidae (Harteman 2001). Di rawa lebak
Kelurahan Petuk Ketimpun Palangkaraya ditemukan 44 spesies ikan (Harteman
2002). Di rawa lebak sungai Kahayan diperoleh 44 species oleh Buchar et al.
(2000) dan 48 species oleh Torang & Buchar (2000).
Menurut Welcomme (2003b), komunitas ikan di rawa lebak dipengaruhi
oleh tiga faktor kunci yaitu : siklus penggenangan, tekanan aktivitas penangkapan
dan penurunan kualitas lingkungan. Pada saat periode penggenangan,
produktifitas ikan lebih tinggi. Pada saat periode penggenangan, wilayah rawa
lebak menjadi sangat luas, menyediakan tempat untuk memijah dan perlindungan
terhadap pemangsaan serta produksi makanan alami meningkat (Lowe-McConnell
1987). Kelangsungan hidup ikan rawa lebak dipengaruhi oleh lamanya periode
penggenangan. Semakin lama periode penggenangan, maka anak ikan dan ikan
muda memiliki kesempatan lebih lama di rawa lebak yang banyak makanan alami
dan mendapatkan perlindungan dari pemangsaan. Sebaliknya, semakin lama
periode penggenangan akan menurunkan kelangsungan hidup ikan predator,
karena menurunkan kesempatan untuk memangsa (Hoeinghaus et al. 2003).
Menurut Hoggarth et al. (1999), kelangsungan hidup ikan pada periode kering lebih
tinggi di kawasan rawa berumput dan danau dibandingkan di rawa berhutan.
Ikan dapat digolongkan menurut tipe makanannya, yaitu ikan herbivora,