• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pemberantasan Illegal Logging untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Pemberantasan Illegal Logging untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia"

Copied!
602
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PEMBERANTASAN

ILLEGAL LOGGING

UNTUK PERLINDUNGAN SUMBERDAYA HUTAN

DI INDONESIA

BETTY SETIANINGSIH P 062059454

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

BETTY SETIANINGSIH

. Combating Illegal Logging Policy for

Forest Resources Protection in Indonesia. Under supervision of

CECEP KUSUMA as promoter and SURJONO H. SUTJAHJO and

BAMBANG PRABOWO SOEDARSO as co-promoter.

(3)
(4)

Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia Nama Mahasiswa : Betty Setianingsih

Nomor Pokok : P 062059454

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof.Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Ketua

Prof.Dr.Ir.Surjono H. Sutjahjo, MS Dr.Bambang Prabowo Soedarso, SH,MES

Anggota Anggota

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan

Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(5)

KATA PENGANTAR

Hutan di Indonesia yang merupakan sumberdaya alam (SDA) yang memiliki peran sangat strategis dan vital sebagai sistem penyangga kehidupan masyarakat dan makhluk hidup lainnya, yaitu dengan menyediakan beragam manfaat berupa produk dan jasa yang bersifat

tangible dan intangible, perlindungan ekosistem, dan penyedia jasa lingkungan saat ini mengalami degradasi yang hebat akibat praktek Illegal logging (IL). Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam pemberantasan IL, tetapi dampaknya belum menunjukkan hasil maksimal yang diindikasikan dengan masih maraknya praktek IL di lapangan.

Penelitian ini bertujuan untuk : (a) menganalisis kebijakan yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia; (b) menganalisis peranan

stakeholders yang terlibat dalam pemberantasan IL di Indonesia; dan (c) merumuskan kebijakan pemberantasan IL yang efektif dan sesuai diterapkan di Indonesia.

Dengan terselesaikannya disertasi ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Ketua Komisi Pembimbing dan Anggota Pembimbing lainnya yang telah banyak memberikan masukan dalam penyusunan usulan penelitian ini.

Bogor, Agustus 2009

(6)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR... v

DAFTAR LAMPIRAN... vii

I. PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang...1

1.2. Tujuan Penelitian ...4

1.3. Kerangka Pemikiran...5

1.4. Perumusan Masalah ...7

1.5. Manfaat Penelitian ...7

1.6. Kebaruan (Novelty) ...7

II. TINJAUAN PUSTAKA ...9

2.1. Dampak Praktek Illegal logging...9

2.2. Pemberantasan Illegal logging...15

2.3. Analisis Stakeholders...23

2.4. Proses Hirarki Analitis...24

III. METODE PENELITIAN ...32

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian...32

3.2. Rancangan Penelitian ...32

3.2.1. Analisis Kebijakan Terkait Pemberantasan IL ...32

3.2.1.1. Metode Pengumpulan Data ...32

3.2.1.2. Parameter yang Diamati ...33

3.2.1.3. Metode Analisis Data ...34

3.2.2. Analisis Kelembagan Pemberantasan IL...34

3.2.2.1. Metode Pengumpulan Data ...34

3.2.2.2. Parameter yang Diamati ...35

3.2.2.3. Metode Analisis Data ...35

3.2.3. Penentuan Prioritas Alternatif Kebijakan Pemberantasan IL ...36

3.2.3.1. Metode Pengumpulan Data ...36

3.2.3.2. Parameter yang Diamati ...36

3.2.3.3. Metode Analisis Data ...37

3.3. Definisi Operasional...38

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH ...40

4.1. Kondisi Kehutanan di Indonesia...40

4.2. Kondisi Kehutanan Provinsi Jambi...44

4.3. Topografi, Jenis Tanah dan Iklim ...45

4.4. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Provinsi Jambi ...46

4.5. Kondisi Pengelolaan Hutan di Provinsi Jambi...50

V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA...54

(7)

5.2. Metode Analisis Kebijakan Pemberantasan Illegal logging...55

a. Metode Pengumpulan Data...55

b. Analisis Data ...56

5.3. Hasil dan Pembahasan Kebijakan Pemberantasan IL di Indonesia...57

5.4. Kesimpulan ...67

VI. ANALISIS EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING...73

6.1. Pendahuluan...73

6.2. Metode ...74

a. Metode Pengumpulan Data ...74

b. Analisis Data ...75

6.3. Hasil dan Pembahasan ...75

6.3.1. Penanganan Kasus Illegal logging di Indonesia...75

6.3.2. Penanganan Kasus Illegal logging di Provinsi Jambi ...83

6.4. Kesimpulan ...94

VII. KELEMBAGAAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING...96

DI INDONESIA ...96

7.1. Pendahuluan ...96

7.2. Metode Analisis Kelembagaan Pemberantasan IL di Indonesia ...97

a. Metode Pengumpulan Data ...97

b. Analisis Data ...98

7.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Kelembagaan Pemberantasan IL di Indonesia...100

7.4. Kesimpulan...112

VIII. PRIORITAS KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA...114

8.1. Pendahuluan ...114

8.2. Metode Analisis Prioritas Kebijakan Pemberantasan IL di Indonesia ...115

a. Metode Pengumpulan Data ...115

b. Analisis Data ...115

8.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Prioritas Kebijakan Pemberantasan IL di Indonesia...117

8.4. Kesimpulan...122

IX. PEMBAHASAN UMUM ...123

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN ...130

10.1. Kebijakan Umum...130

10.2. Kebijakan Operasional...130

XI. KESIMPULAN DAN SARAN ...132

11.1. Kesimpulan ...132

11.2. Saran ...132

(8)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Sumber-Sumber Yang Dianggap Legal Dan Ilegal ...10

2. Kategori Masalah Illegal logging pada Beberapa Wilayah di Dunia ...12

3. Beberapa Aspek yang Dipengaruhi Praktek Illegal logging...14

4. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan...29

5. Contoh Matriks Perbandingan Berpasangan ...29

6. Nilai Indeks Random (Saaty, 2001) ...31

7. Matriks Ringkasan Metodologi Penelitian ...37

8. Luas Kawasan Hutan Berdasarkan Paduserasi TGHK dan RTRWP, serta Penunjukkan dan TGHK ...41

9. Realisasi Produksi Hasil Hutan Provinsi Jambi Tahun 2008...51

10. Realisasi Produksi Industri Hasil Hutan Provinsi Jambi Tahun 2008...51

11. Klasifikasi Aktor Putusan IL di Mahkamah Agung...78

12. Perkara Tindak Pidana IL yang Dibebaskan Pengadilan...80

13. Perkara Tindak Pidana IL yang Divonis Penjara dan Denda ...81

14. Luas Kawasan Hutan Di Provinsi Jambi menurut Fungsinya (Ha) ...84

15. Jumlah Kasus IL di Provinsi Jambi (2004-2008)...88

16. Kerangka Dasar Pendekatan 4R ...99

17. Relationship Stakeholders dalam Pemberantasan IL di Indonesia ...100

18. Aspek Hak dan Kewajiban Stakeholders dalam Pemberantasan IL di Indonesia...107

19. Revenues (Manfaat) yang Dapat Diperoleh dari Pemberantasan IL...110

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian...6

2. Tiga Pilar Pengelolaan Hutan ...18

3. Wilayah Administratif Provinsi Jambi (PIK Jambi, 2009) ...44

4 . Kondisi Topografi Wilayah Provinsi Jambi (PIK Jambi, 2009) ...46

5 . Peraturan Perundang-undangan Pemberantasan Illegal logging di Indonesia ...58

6 . Hubungan antara IL dengan Korupsi (Kishor,2006)...62

7. Jumlah kasus IL di Indonesia (2006-Juli 2008)...77

8. Jumlah Tersangka kasus IL di Indonesia (2006-Juli 2008)...77

9. Jumlah Kayu Olahan Sitaan di Indonesia (2006-Juli 2008)...78

10. Jumlah Kayu Bulat Sitaan di Indonesia (2006-Juli 2008)...79

11. Efektifitas Pemberantaan IL di Operasi Hutan Lestari-2 (OHL-2) (Masduki,2009) ...82

12. Kasus IL di Mahkamah Agung ...83

13. Persentase Kawasan Hutan di Provinsi Jambi menurut Fungsinya ...84

14. Sebaran Kawasan Hutan di Provinsi Jambi menurut Fungsinya ...85

15. Luas Kawasan Hutan di Provinsi Jambi menurut Kabupaten ...85

16. Perkembangan Kasus IL di Provinsi Jambi...86

17. Jumlah Tersangka Kasus IL di Provinsi Jambi ...86

18. Jumlah Kayu Olahan Sitaan di Provinsi Jambi ...87

19. Jumlah Kayu Bulat Sitaan di Provinsi Jambi...88

20. Jumlah Kasus IL di Provinsi Jambi menurut Wilayah Polres...89

21. Peta Kecenderungan Kegiatan IL di Provinsi Jambi ...91

22. Persentase Hutan Per Kabupaten dan Kasus IL di Jambi...91

23. Jumlah Kasus dan Persentase Vonis Kasus IL di Provinsi Jambi...92

(10)

25. Kerangka 4R untuk Mendefinisikan Peranan

Stakeholders (Dubois, 1998). ...98 26. Pendapat Responden

terhadap Keberadaan Aparat Hukum ...101 27. Pendapat Responden Terhadap Keberadaan

Instansi Pusat Dalam Kaitannya

dengan Pemberantasan IL Di Indonesia...102 28. Pendapat Responden terhadap Keberadaan

Stakeholders dalam Kaitannya

dengan Pemberantasan IL di Indonesia ...104 29. Pendapat Responden terhadap Tingkat Pemahaman

Aparat Hukum dalam Kaitannya

dengan Pemberantasan IL di Indonesia ...106 30. Pendapat Responden terhadap Tingkat Pemahaman

Instansi Pusat dalam Kaitannya

dengan Pemberantasan IL di Indonesia ...106 31. Pendapat Responden terhadap Tingkat Pemahaman

Stakeholders dalam Kaitannya

dengan Pemberantasan IL di Indonesia ...107 32. Hirarki Desain Kebijakan Pemberantasan IL

di Indonesia ...116 33. Hirarki Hasil AHP Kebijakan Pemberantasan IL ...117 34. Urutan Prioritas Faktor

yang Mempengaruhi Pemberantasan IL di Indonesia...118 35. Urutan Prioritas Aktor

yang Mempengaruhi Pemberantasan IL di Indonesia...118 36. Urutan Prioritas Tujuan

yang Mempengaruhi Pemberantasan IL di Indonesia...120 37. Urutan Prioritas Alternatif Kebijakan

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Peraturan perundang-undangan terkait

Pemberantasan IL di Indonesia...137 2. Identitas Responden Kebijakan

Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan

Sumberdaya Hutan di Indonesia...160 3. Peraturan-peraturan atau Kebijakan

yang Terkait dengan Kegiatan

Pemberantasan Illegal Loggging di Indonesia...163 4. Efektifitas dan atau Kebijakan yang Terkait dengan

Kegiatan Pemberantasan Illegal logging di Indonesia...168 5. Kepentingan Parapihak Terhadap Pentingnya

Pemberantasan Illegal logging di Indonesia...171 6. Tingkat Pemahaman Parapihak

Terhadap Pemberantasan Illegal logging di Indonesia ...193 7. Bentuk Tanggung-jawab dari Instansi/Lembaga

Responden Terhadap Pemeberantasan Illegal logging. ...215 8. Bentuk Hak dan Kewajiban Instansi/Lembaga

Responden dalam Pemberantasan Illegal logging

di Indonesia...219 9. Manfaat Apabila Dampak Negatif Illegal logging

di Indonesia Dapat Dikendalikan...222 10. Tingkat Interaksi antar Stakeholders dalam

Pemberantasan Ilegal Logging di Indonesia selama ini. ...226 11. Kendala-kendala yang Telah dan Mungkin Terjadi

dalam Pemberantasan Illegal logging di Indonesia ...233 12. Bentuk kelembagaan yang dianggap efektif

dalam Pemberantasan Illegal logging di Indonesia. ...242 13. Apakah Pemerintah Perlu Mengeluarkan Kebijakan

yang Bersifat Insentif atau Disinsentif untuk Mendorong Kesadaran Semua Pihak

dalam Memberantas Praktek Illegal logging

di Indonesia?...246 14. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Faktor Terhadap Fokus Kebijakan

Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan

(12)

15. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Faktor

terhadap Fokus Kebijakan

Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan

Sumberdaya Hutan di Indonesia...250 16. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Aktor dalam Mempengaruhi

Faktor Penegakan Hukum ...251 17. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Aktor

dalam Mempengaruhi Faktor Penegakan Hukum...252 18. Data Responden Perbandingan

Tingkat Kepentingan Antar Aktor

dalam Mempengaruhi Faktor Ekonomi Masyarakat...253 19. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan

Tingkat Kepentingan Antar Aktor

dalam Mempengaruhi Faktor Ekonomi Masyarakat...254 20. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Aktor dalam Mempengaruhi Faktor

Sistem Pengelolaan Hutan...255 21. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan

Tingkat Kepentingan Antar Aktor

dalam Mempengaruhi Faktor Pengelolaan Hutan...256 22. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Aktor dalam Mempengaruhi

Faktor Sumber Pendapatan Nasional dan Daerah...257 23. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Aktor dalam Mempengaruhi Faktor Sumber Pendapatan

Nasional dan Daerah ...258 24. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Pemerintah

dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia ...259 25. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pemerintah dalam Kebijakan

Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan

Sumberdaya Hutan di Indonesia ...260 26. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Pemerintah Daerah dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan

(13)

27. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pemerintah Daerah dalam Kebijakan

Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan

Sumberdaya Hutan di Indonesia...262 28. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Aparat Penegak Hukum dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia ...263 29. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Aparat Penegak Hukum

dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging untuk

Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia...264 30. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Masyarakat dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan

Sumberdaya Hutan di Indonesia...265 31. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Masyarakat dalam Kebijakan Pemberantasan

Illegal logging untuk Perlindungan

Sumberdaya Hutan di Indonesia...266 32. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia ...267 33. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia ...268 34. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

dari Tiga Alternatif Kebijakan dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia

untuk Menjamin Tujuan: Pemulihan Ekosistem...269 35. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan

dari Tiga Alternatif Kebijakan dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia

(14)

36. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan dari Tiga Alternatif Kebijakan dalam Kebijakan

Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan Di Indonesia untuk Menjamin Tujuan:

Peningkatan Nilai Ekonomi Hutan...272 37. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan

dari Tiga Alternatif Kebijakan dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia untuk Menjamin Tujuan:

Peningkatan Nilai Ekonomi Hutan...273 38. Data Responden Perbandingan

Tingkat Kepentingan dari Tiga Alternatif Kebijakan dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia

untuk Menjamin Tujuan:

Peningkatan Kesejahteraan dan Pertumbuhan Ekonomi...275 39. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan

dari Tiga Alternatif Kebijakan dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging Untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan Di Indonesia

untuk Menjamin Tujuan:

Peningkatan Kesejahteraan dan Pertumbuhan Ekonomi...276 40. Nilai (Bobot) Setiap Elemen

dalam Hirarki Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia. ...278 41. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Faktor

terhadap Fokus Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia ...279 42. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Aktor

terhadap Faktor dalam Kebijakan Pemberantasan

Illegal logging untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan

di Indonesia...280 43. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Tujuan

bagi Aktor dalam Kebijakan Pemberantasan

Illegal logging untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan

di Indonesia...281 44. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot)

Setiap Alternatif Kebijakan untuk Menjamin setiap Tujuan dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging untuk

(15)

I.PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan merupakan sumberdaya alam (SDA) yang memiliki peran sangat strategis dan vital sebagai sistem penyangga kehidupan masyarakat dan makhluk hidup lainnya, yaitu dengan menyediakan beragam manfaat berupa produk dan jasa yang bersifat tangible dan

intangible, perlindungan ekosistem, dan penyedia jasa lingkungan. Ekosistem hutan tropis Indonesia yang mencapai sepuluh persen dari luas hutan tropis dunia memiliki keanekaragaman hayati tinggi di dunia. Hampir 10% tanaman, 12% mamalia, 16% reptil, dan 17% burung dari populasi dunia berada di hutan tropis Indonesia (EIA, 1998). Ekosistem hutan memberikan banyak manfaat secara langsung dan tidak langsung terhadap masyarakat, berkontribusi terhadap pembangunan wilayah, dan membantu mempertahankan lingkungan global yang baik. Tetapi eksploitasi hutan yang tinggi, khususnya kayu, menyebabkan kehilangan hutan melebihi kapasitas regeneratif sumberdaya tersebut. Wardojo et.al.

(16)

Dampak praktek IL memiliki spektrum yang luas, tidak hanya berdampak negatif terhadap ekologis, tetapi juga berpengaruh terhadap aspek fisik, pendapatan negara, pembangunan berkelanjutan, sosial, perdagangan, dan politis. Contreras-Hermosilla (2002) menyatakan bahwa dampak praktek IL selain berdampak pada penurunan kualitas ekosistem hutan, juga berdampak besar terhadap investasi pengusahaan hutan berkelanjutan, kemiskinan masyarakat sekitar hutan, tata kelola pemerintahan, dan efisiensi ekonomi sumberdaya alam.

Praktek IL tidak hanya terjadi di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, akan tetapi juga terjadi di hutan konservasi seperti di taman nasional dan cagar alam yang sangat dilindungi karena merupakan rumah atau habitat bagi beragam spesies tumbuhan dan hewan yang apabila punah maka nilai keberadaannya tidak dapat digantikan. Rusaknya kawasan hutan konservasi mempersempit ruang hidup satwa dan memusnahkan tapak bagi tumbuhan alam untuk hidup, sehingga peluang terjadinya kehilangan spesies makin tinggi. Kerusakan hutan alam juga memicu konflik antara manusia dengan hewan hutan, misalnya dimangsanya enam orang pembalak liar oleh harimau (Panthera tigris sumatrae) di Provinsi Jambi selama bulan Februari 20091. Punahnya potensi tumbuhan dan satwa sebelum diketahui manfaatnya merupakan salah satu bencana kemanusiaan, Tacconi et.al. (2004) mengemukakan bahwa praktek IL secara signifikan mempengaruhi keberadaan hutan di Indonesia. Penelitian EIA (1998) mengestimasikan bahwa pembukaan lahan hutan seluas 100.000 ha di Pulau Sumatera berpotensi menghilangkan 50.000 monyet, 9000 siamang, 6000 orang utan, 30.000 tupai, 15.000 burung enggang, 200 harimau, dan 100 gajah. Lebih lanjut EIA (1998) menyebutkan bahwa dalam sepuluh hektar hutan hujan tropis di Kalimantan terdapat 700 spesies tumbuhan yang setara dengan total spesies yang ditemukan di Amerika Utara, dan 58% diantaranya merupakan spesies endemik. Tacconi et.al. (2004) menyebutkan bahwa proporsi penebangan kayu illegal pada tahun 2000 mencapai 64%, dan

1

(17)

meningkat menjadi 83% dari total pemanenan kayu di tahun 2001. Pada tahun 2001 kayu yang dihasilkan dari praktek IL diestimasikan mencapai 50 juta m3, sehingga apabila terjadi laju pemanenan kayu illegal rata-rata sebesar 20 m3/ha, maka areal yang mengalami praktek IL setidaknya mencapai 2,5 juta ha pada tahun tersebut. Luasnya hutan yang rusak akibat praktek IL telah sangat mengkhawatirkan keberadaan hutan di masa mendatang, sehingga ada diantara para ahli kehutanan dan lingkungan memperkirakan bahwa dalam dekade mendatang hutan tropis Indonesia akan musnah apabila langkah-langkah pemberantasan praktek IL tidak dilakukan dengan sangat serius.

Praktek IL di Indonesia dengan intensitas dampak yang sangat mengkhawatirkan terkategorikan sebagai kejahatan terorganisir yang melibatkan jaringan yang solid, rentang kendali yang luas, mapan, menggunakan pola kerja yang terorganisir dan modern, dengan sistem manajemen yang rapih, serta jaringan pemasaran yang luas di dalam dan luar negeri. Selain itu Kemenpolhukam (2006) menambahkan pula bahwa aspek perijinan berkontribusi terhadap kerumitan pemberantasan IL, termasuk di dalamnya adanya ketidakselarasan berbagai produk hukum pemberantasan IL. Penyelesaian masalah ketidakselarasan ini bukan hanya kewenangan eksekutif, tetapi juga menempati ruang legislatif. Praktek IL yang sistemik tersebut perlu diberantas dengan strategi pemberantasan yang sistemik pula, sehingga eksesnya terhadap kegiatan pengelolaan hutan dapat ditekan.

(18)

berkembang. Pola penanganan yang dilakukan selama ini baru mampu menjerat para pelaksana lapangan dan belum dapat mengungkap dalang dibalik kegiatan IL tersebut. Sementara itu, kurangnya koordinasi dan pemahaman yang sama antara instansi penegak hukum dalam menjerat pelaku IL merupakan salah satu faktor kelemahan yang selama ini dilakukan, akibat penggunaan pola pendekatan konvensional.

Contreras-Hermosilla (2002) menyatakan bahwa praktek IL banyak terjadi di negara berkembang atau negara yang sedang dalam keadaan transisi dan terkait erat dengan praktek korupsi sebagai kegiatan ilegal yang melibatkan pegawai/pejabat publik, melibatkan barang milik dan kekuatan publik, dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, dilakukan dengan sengaja dan sembunyi-sembunyi (surreptitious). RECOFTC dan Sida (2008) menyebutkan bahwa praktek IL tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan penyebab kunci lainnya, seperti : kebijakan dan kerangka hukum yang lemah, ketidakpastian masalah lahan hutan (forestland tenure), korupsi yang marak dan tidak adanya transparansi, penegakan hukum yang lemah, serta ketidakmampuan untuk memonitor dan menegakan regulasi yang dapat diterapkan dalam pemanfaatan dan konservasi sumberdaya hutan.

Praktek IL yang masih terjadi di Indonesia walaupun sejumlah kebijakan pemberantasannya telah dikeluarkan menunjukkan bahwa upaya pemberantasan IL tersebut belum sepenuhnya efektif. Oleh karena itu upaya untuk menemukan rumusan kebijakan pembalakan IL yang lebih komprehensif perlu dikaji. Penelitian ini dimaksudkan untuk merumuskan kebijakan pemberantasan IL secara komprehensif untuk menekan praktek IL di Indonesia di dalam kerangka pengelolaan hutan Indonesia yang berkelanjutan.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

(19)

b. Menganalisis peranan stakeholders yang terlibat dalam pemberantasan IL di Indonesia.

c. Menentukan prioritas alternatif kebijakan pemberantasan IL yang efektif dan sesuai diterapkan di Indonesia.

1.3. Kerangka Pemikiran

Kebijakan kehutanan dalam pengelolaan hutan di Indonesia terbagi dalam dua kelompok kebijakan, yaitu kebijakan ekonomi kehutanan dan kebijakan konservasi (Gambar 1). Kebijakan ekonomi kehutanan sampai satu dekade terakhir masih mendominasi kebijakan kehutanan di Indonesia dengan paradigma pengusahaan hutan berbasis kayu (forest management based on timber extraction) dalam memenuhi kebutuhan kayu masyarakat dan industri kayu. Kebutuhan kayu yang tinggi tidak sebanding dengan ketersediaan kayu sehingga menimbulkan ketimpangan (gap) antara kebutuhan (demand) dan pasokan (supply) kayu, yang pada akhirnya mendorong maraknya kegiatan IL. Selain itu, harga kayu tropis di luar negeri yang lebih kompetitif telah mendorong juga praktek IL di berbagai wilayah Indonesia dan menyelundupkannya ke luar negeri (timber smugling). Di sisi lain, kebijakan konservasi dan kebijakan ekonomi dalam pengelolaan hutan di Indonesia dalam prakteknya masih ditemukan kesenjangan (gap), bahwa kegiatan konservasi masih dianggap sebagai cost centre yang kurang memberikan kontribusi finansial secara langsung terhadap pendapatan negara atau pendapatan daerah. Sebagai akibat dari hal-hal di atas, kebijakan konservasi sering dikalahkan oleh kebijakan ekonomi hutan karena sumberdaya hutan masih dianggap penting sebagai sumber pendapatan nasional dan pendapatan daerah. Adanya permasalahan kebijakan kehutanan yang terkait dengan praktek IL tersebut dipandang perlu adanya suatu kebijakan pengendaliannya. Walaupun political will

(20)

Republik Indonesia, tetapi efektifitasnya selama ini belum menunjukkan hasil maksimal.

Gambar 1 .Kerangka Pemikiran Penelitian

Kebijakan pemberantasan IL di Indonesia yang perlu dianalisis mencakup kebijakan dan peraturan perundangan-undangan, sistem kelembagaan stakeholders yang terlibat dalam pemberantasan IL tersebut. Praktek IL tidak cukup dikendalikan melalui instrumen kebijakan hukum saja, tetapi harus terkait dengan pengembangan sistem kelembagaan. Kelembagaan pengendalian praktek IL yang baik, sinergis, dan kondusif perlu dianalisis dan dikembangkan. Hasil analisis terhadap dua sistem tersebut diharapkan akan mendapatkan hasil penelitian berupa desain kebijakan pemberantasan IL di Indonesia yang lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan terdahulu. Dunn (2003) menyebutkan bahwa analisis kebijakan diperlukan untuk meneliti sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program publik yang diterapkan.

Gap antara Kebijakan Ekonomi, Konservasi, dan Sosial

(21)

1.4. Perumusan Masalah

Praktek IL di Indonesia yang tergolong kepada kejahatan di bidang kehutanan (forest crimes) merupakan kegiatan kehutanan illegal yang berdampak negatif terhadap kelestarian ekosistem, kehidupan masyarakat, dan pembangunan daerah dan atau nasional. Beragam dampak negatif akibat praktek IL ditandai dengan banyaknya bencana alam di wilayah yang ekosistem hutannya terdegradasi yang pada gilirannya akan dapat merugikan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat dan kegiatan pembangunan. Upaya pemerintah untuk memberantas praktek IL di kawasan hutan telah lama dilakukan melalui sejumlah peraturan perundang-undangan. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Kayu

Illegal dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Namun demikian, di dalam prakteknya upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang efektif untuk mengendalikan IL. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas beberapa pertanyaan berikut ini perlu mendapatkan jawaban, yaitu:

a. Apakah kebijakan dan peraturan perundang-undangan terkait IL efektif menurunkan praktek IL?

b. Bagaimana peranan kelembagaan stakeholders dalam pemberantasan IL di Indonesia?

c. Bagaimana desain kebijakan yang dapat dipandang efektif dalam pemberantasan IL?

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa manfaat praktis dalam menata kebijakan pemberantasan IL di Indonesia. Selain itu dari aspek pengembangan keilmuan diharapkan bermanfaat dalam mengembangkan pendekatan ilmu lingkungan yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia.

1.6. Kebaruan (Novelty)

(22)
(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dampak Praktek Illegal logging

Praktek IL secara umum berupa kegiatan menebang, mengangkut, dan menjual kayu dengan melanggar ketentuan/perundangan nasional dan/atau internasional (Contreras-Hermosilla, 1997). Definisi tentang IL atau pembalakan liar menurut draft RUU Pemberantasan Pembalakan Liar adalah bentuk kegiatan secara tidak sah di bidang kehutanan yang meliputi penebangan pohon, penguasaan, pengangkutan dan peredaran kayu hasil tebangan, serta perambahan kawasan hutan. Lebih lanjut Tacconi et.al (2003) mendefinsikan IL sebagai kegiatan illegal yang berkaitan dengan ekosistem hutan, industri terkait hutan, dan juga produk hutan kayu dan non-kayu. Hermosilla (1997) mengklasifikasikan beberapa praktek kehutanan yang termasuk praktek IL, yaitu : (a) pembalakan (logging) spesies yang dilindungi; (b) pemalsuan dokumen pemanenan kayu; (c) melakukan kontrak dengan oknum pengusaha lokal untuk membeli kayu dari kawasan yang dilindungi; (d) pembalakan kayu di dalam kawasan lindung; (e) pembalakan kayu di luar batas konsesi; (f) pembalakan kayu di dalam areal yang dilarang untuk ditebang, seperti lahan dengan kemiringan lahan curam sampai sangat curam dan daerah tangkapan air; (g) pemungutan kayu melebihi ijin yang diperkenankan; (h) pembalakan kayu tanpa ijin; (i) mendapatkan konsesi melalui proses yang

(24)

kayu yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan (forest law), sedangkan illegal trade (domestik atau luar negeri) dilihat lebih kompleks, melibatkan tidak hanya hukum kehutanan, tetapi juga hukum yang mengatur perusahaan, perdagangan, perbankan, auditing, cukai, pajak, dan sebagainya. Legalitas kayu dapat dilihat dari sumber-sumber kayu yang dianggap legal atau tidak legal. Kemenkopolhukam (2006) menyebutkan bahwa Departemen Kehutanan memberikan kriteria untuk sumber kayu legal dan kayu ilegal sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sumber-Sumber Yang Dianggap Legal Dan Ilegal

Sumber Kayu Legal Sumber Kayu Ilegal

• HPH di hutan produksi dengan ijin konsesi kayu ijin dari Departemen Kehutanan

• Kayu berasal dari kawasan hutan konservasi dan hutan lindung

• HTI di hutan produksi dengan ijin konsesi dari Departemen Kehutanan

• Ijin Bupati di dalam kawasan hutan dan diterbitkan sesudah 8 Juni 2002

• IPK HTI dengan stok tebangan di bawah <20 meter kubik

• Hutan adat yang terletak di dalam kawasan hutan produksi dan tidak memiliki ijin dari pemerintah pusat

• IPK Kebun dengan ijin tebang oleh pemerintah provinsi mewakili pusat

• IPK HTI dengan tebangan >20 meter kubik

• Hutan rakyat • Konsesi Kopermas yang dikeluarkan

oleh Pemda setempat setelah

Desember 2004

• Ijin Bupati untuk melaksanakan

penebangan di luar batas kawasan

hutan, untuk industri dan atau

masyarakat adat

• Hutan kemasyarakatan (Hkm)

• HPH kecil (ijin 5000 ha kayu hutan alam berlaku 25 tahun), dikeluarkan Bupati antara 27 Januari 1999 sampai dengan 8 Juni 2002, jika potensi kayunya masih ada

• Kawasan dengan tujuan istimewa (KDTI)

yang dikeluarkan Departemen

Kehutanan kepada Masyarakat Adat Pesisir, Krui Lampung Barat

• Konsesi Kopermas yang disahkan

Menteri Kehutanan dan atau dikeluarkan antara 27 Januari 1999 dan 8 Juni 2002

• Impor kayu secara sah

• Lelang kayu secara sah

(25)

Permasalahan IL bukanlah isu baru, tetapi fakta yang telah lama berjalan dan saat ini kondisinya makin kompleks. Conteras-Hermosilla (2002) menyebutkan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap IL :

a. Kegiatan kehutanan melibatkan areal yang luas, terjadi di tempat yang jauh, sehingga lolos dari keamanan publik, press, dan badan pengawas. Walaupun adanya teknologi penginderaan jauh, tetapi kapasitas untuk memonitor dan menegakkan hukumnya rendah; b. Di negara yang kaya sumberdaya hutan tetapi tingkat

pembangunan ekonominya rendah jarang ditemukan informasi akurat tentang volume pohon yang ada, kualitas sumberdaya hutan, distribusi spesies, dan lokasi geografis lainnya. Kegiatan inventarisasi hutan dan rencana pengelolaan hutan tidak sempurna dilakukan, sehingga monitoring sulit dilakukan;

c. Pengelolaan sumberdaya alam lebih memprioritaskan aspek ekonomi, diantaranya dengan adanya pandangan bahwa keberadaan hutan kurang ekonomis dibandingkan dengan lahan yang digunakan untuk pertanian intensif. Dalam hal ini pengambil kebijakan mendorong konversi lahan hutan untuk menjadi pertanian;

d. Hak kepemilikan lahan hutan sering tidak jelas dan tidak eksis. Batas lahan hutan di lapangan tidak jelas.

e. Gaji pegawai pemerintah yang jauh lebih rendah harus mengawasi kayu yang bernilai ekonomi tinggi mendorong terjadi pelanggaran atas jabatan;

f. Hukuman bagi pelaku IL sangat rendah, sehingga tidak menimbulkan efek jera.

(26)

hukum yang masih lemah sampai maraknya korupsi dalam praktek IL merupakan beberapa faktor kunci terjadinya praktek IL di Indonesia. Permasalahan IL juga terjadi di berbagai negara walaupun dengan tipe IL yang berbeda-beda. Tabel 2 menunjukkan kategori masalah IL yang terjadi di beberapa wilayah di dunia.

Tabel 2. Kategori Masalah Illegal logging pada Beberapa Wilayah di Dunia Rusia,

Sumber : Ottitsch,et.al (2006)

(27)

a. Modus operandi di daerah hulu

• Melakukan penebangan tanpa ijin, biasanya dilakukan oleh masyarakat dan hasil tebangannya dijual kepada cukong kayu atau oknum pengusaha industri kehutanan.

• Melakukan penebangan di luar ijin yang telah ditetapkan konsesinya oleh pemerintah, biasanya dilakukan oleh oknum pemegang konsesi HPH dan HTI.

b. Modus operandi di jalur pengangkutan dan di daerah hilir

• Pengangkutan kayu tanpa dilengkapi dokumen yang sah.

• Pengangkutan kayu dilengakapi dokumen palsu

o Blangko dan isinya palsu o Blangko asli tetapi isinya palsu o Dokumen berasal dari daerah lain

• Jumlah kayu yang diangkut tidak sesuai dengan data yang ada dalam dokumen yang sah.

• Penggunaan dokumen sahnya kayu yang berulang-ulang.

• Penggunaan dokumen lain di luar dokumen yang telah ditetapkan, misalnya penggunaan faktur kayu sebagai pengganti dokumen sahnya kayu; hal ini disebabkan oleh terjadinya praktek kolusi antara oknum pejabat, pengusaha, dan penegak hukum.

(28)

di lahan hutan menyediakan sejumlah manfaat lokal bagi yang terlibat, pemerintah menerima pendapatan lebih besar sebagai hasil konversi lahan ilegal atau dilegalkan serta produksi kayu yang meningkat, oknum militer dan polisi mendapat pendapatan dari kegiatan kehutanan ilegal, adanya pendapatan bagi penduduk miskin dan penggangguran yang terlibat, harga kayu yang lebih rendah meningkatkan nilai kompetetif dari industri nasional, serta konsumen mendapatkan keuntungan akibat harga kayu yang lebih rendah (Tacconi et.al.,2003).

Tabel 3. Beberapa Aspek yang Dipengaruhi Praktek Illegal logging

Aspek Keterangan

Aspek Lingkungan

Kegiatan IL meningkatkan keterbukaan lahan hutan, merusak habitat sehingga kehidupan spesies tumbuhan dan satwa terancam, mengurangi kemampuan lahan untuk mengabsorbsi emisi karbon dioksida yang berkaitan dengan dampak dari perubahan iklim.

Aspek Fisik Penghancuran penutupan hutan menimbulkan terjadinya bencana alam seperti banjir, longsor, fluktuasi debit yang tinggi antara musim kemarau dan hujan, dan sebagainya.

Aspek Pendapatan Negara

Kegiatan IL menghilangkan pendapatan negara. Akibat prakek IL pemerintah Indonesia pada tahun 2003 diperkirakan kehilangan pendapatan hampir $1 milyar per tahun.

Aspek

Pembangunan Berkelanjutan

Akibat kegiatan IL generasi mendatang diperkirakan akan menanggung resiko lingkungan yang lebih berat daripada generasi saat ini. Kesempatan generasi mendatang untuk mendapatkan kehidupan lebih baik berkurang akibat ekosistem hutan yang memberikan produk dan jasa lingkungan menurun. Hasil studi Bank Dunia pada tahun 1997 menunjukkan bahwa akibat kegiatan IL di Kamboja dengan nilai $0.5-1 milyar dengan perkiraan 4 juta m3 setidaknya 10 kali dari volume dari penebangan kayu legal.

Aspek Sosial Kegiatan IL merusak respek terhadap hukum dan kewibawaan pemerintah. Praktek IL juga turut menyuburkan praktek korupsi dalam pemungutan kayu.

Aspek Perdagangan

Kayu yang dibalak secara illegal lebih murah daripada produk legal, sehingga mendistorsi pasar global dan merusak insentif bagi pengelolaan hutan berkelanjutan. Tacconi et.al (2004) menunjukkan bahwa biaya eksploitasi kayu illegal adalah US$32/m3 , jauh lebih murah daripada biaya eksploitasi HPH yang legal sebesar US$85/m3.

Aspek Politik Di beberapa negara pendapatan dari IL digunakan untuk membiayai konflik nasional dan regional, misalnya kasus di Liberia dan Republik Demokratik Kongo. Di Kamboja, tentara Khmer Rouge dapat bertahan dari dana yang berasal praktek IL dari kawasan hutan yang berada di bawah kendalinya selama beberapa tahun sampai pertengahan tahun 1990-an.

(29)

2.2. Pemberantasan Illegal logging

Upaya pemberantasan IL menjadi prioritas kebijakan kehutanan yang harus dituntaskan mengingat dampak IL sangat merugikan bagi kelestarian hutan, kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, juga menjadi ancaman terhadap moral bangsa, kedaulatan, dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Walaupun political will pemerintah kuat dalam pemberantasan IL, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap praktek IL yang disebut juga sebagai tindak kejahatan kehutanan belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada saat operasi pemberantasan IL dilakukan, kegiatan penebangan kayu secara illegal terus berjalan. Tampaknya kegiatan penegakan hukum belum mampu menciptakan dampak jera bagi pelaku praktek IL. Persepsi di antara penegak hukum dalam penanganan kasus IL belum sepenuhnya sama. Hal ini diindikasikan dengan masih banyaknya kasus hukum praktek IL yang divonis hukuman ringan bahkan dibebaskan. Tampaknya peningkatan apresiasi nilai ekosistem hutan perlu juga dilakukan terhadap aparat penegak hukum, dengan harapan makin tingginya apresiasi penegak hukum terhadap nilai ekosistem hutan maka makin berat hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku IL (Ramdan, 2006). Penegakan aturan hukum akan berjalan efektif apabila tingkat kepatuhan (compliance) masyarakat terhadap hukum itu besar. Hirakuri (2003) mengemukakan perbedaan compliance (tingkat kepatuhan) hukum dalam bidang kehutanan di Finlandia yang compliance-nya tinggi dan Brazil yang compliance-nya rendah. Tingkat compliance yang tinggi di Finlandia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu economic incentives,

(30)

complicated administratif procedures for procursing logging permits, deficient processes for forest control, law rates of compliance with forest-law, ineffectiveness within the legal systems for imposing penalties on violators, institutional problems within enforcement division, scarce financial resources allocated to field enforcement, dan less economic incentives. Dari kasus yang dikemukakan tersebut tampak bahwa keberhasilan penegakan hukum tidak berdiri sendiri, namun harus didukung oleh pembenahan instrumen lainnya termasuk di dalamnya instrumen politik, sosial-kelembagaan, dan ekonomi.

Pengembangan sistem pemberantasan IL terpadu merupakan upaya untuk memadu-harmoniskan antara prinsip sustainability dengan legality

(31)

Ruang interaksi tersebut selama ini belum berjalan secara sinergis, sehingga pencapaian sistem pengelolaan hutan berkelanjutan sering tidak tercapai. Implementasi MH sebagai inti kegiatan yang terdiri dari kelola ekologis, kelola produksi, dan kelola sosial apabila tidak dijalankan secara baik sesuai peraturan perundang-undangan bidang pengelolaan hutan akan mengundang sistem kelembagaan lainnya untuk mengontrol pilar MH, misalnya masuknya penyidik di luar PPNS Kehutanan untuk menyidik kegiatan pengelolaan hutan di lapangan. Ruang antara MH-KH perlu dianalisis model sinergisitasnya sehingga tidak mengganggu MH yang menjadi menjadi inti kegiatan. Begitu pula ruang MK-KH yang mengintegrasikan inti kegiatan dengan prasyarat keharusan. Pilar KH diantaranya adalah kesesuaian dengan tata ruang dan kepastian kawasan. Ketidakpastian kawasan sangat berdampak pada iklim investasi dalam inti kegiatan (MH), sehingga tanpa terpenuhinya secara baik pilar MK maka kegiatan MH tidak akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu upaya untuk membangun sinergisitas diantara tiga pilar pengelolaan hutan perlu dilakukan segera, sehingga ekses negatif ketidaksinergisan diantara ketiga pilar tersebut dapat diminimalkan (Ramdan, 2006). Untuk mengkaji kinerja sustainability dalam pengelolaan hutan telah banyak dikembangkan acuan/pedoman yang dapat berfungsi sebagai sistem verifikasi kehutanan. Dalam kegiatan pengusahaan hutan dapat ditemukan beberapa lembaga dan sistem verifikasi kehutanan yang ada di Indonesia sebagai berikut :

A. Departemen Kehutanan

1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 2. Laporan Tahunan Unit Manajemen ke DepHut 3. Lembaga Penilai Independen (LPI)

4. Kelompok Kerja Restrukturisasi Pengusahaan Hutan Produksi Alam

5. Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) B. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI)

(32)

2. Sertifikasi PHTL 3. Sertifikasi PHBML

4. Sertifikasi Lacak Balak (CoC) D. Forest Stewardship Council (FSC)

E. International Tropical Timber Organization (ITTO)

F. Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI)- Self Declaration

(Pernyataan Diri)

G. Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) – Departemen Kehutanan serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan H. The Nature Conservancy (TNC)

I. Tropical Forest Foundation (TFF)

J. Global Forest And Trade Network (GFTN)

Gambar 2. Tiga Pilar Pengelolaan Hutan

(33)

yang disepakati oleh semua pihak. Keberadaan standar tersebut diharapkan akan membangun visi bersama dalam memantau proses kegiatan kehutanan secara transparan dan akuntabel, sehingga ekses negatif dari kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dapat dihindari (Ramdan, 2006).

Pemberantasan IL dengan tingkat kompleksitasnya yang tinggi tidak cukup mengacu pada proses sustainability di tingkat unit pengelolaan, tetapi harus memperhatikan pula proses legality di setiap proses pengelolaannya. Upaya membangun sistem pemberantasan IL di Indonesia mencakup beberapa tahapan kegiatan. Ramdan (2006) menyebutkan bahwa langkah pengembangan sistem dimulai dari menganalisis tiga sistem yang mempengaruhi pengelolaan hutan, yaitu sistem manajemen kawasan dan tata ruang, sistem pengelolaan hutan, dan sistem kelembagaannya yang digunakan untuk menyusun pola sinergisitasnya diantara ketiga sistem tersebut. Adanya sinergisitas antar sistem tersebut akan membangun harmonisasi antara sistem sustainabilty

dan legality dalam pengelolaan hutan. Komponen utama dari sistem

(34)

pendapatan dan apresiasi nilai terhadap sumberdaya hutan diharapkan akan membangun sistem perlindungan ekosistem hutan oleh masyarakat secara mandiri. Pengembangan sistem pengawasan oleh masyarakat didasarkan atas fakta bahwa kemampuan untuk mengontrol praktek IL tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi harus didukung penuh oleh partisipasi masyarakat. Penanganan praktek IL perlu dilakukan secara komprehensif. Tidak cukup hanya dengan penegakan hukum saja, tetapi juga harus memperhatikan aspek lainnya. Ramdan (2006) menyebutkan bahwa alternatif penanganan Illegal logging dapat dilakukan dengan model BILL sebagai akronim dari Berantas yang Illegal-Lindungi yang Legal yang meliputi beberapa kegiatan sebagai berikut :

a. Penegakan Hukum

Kegiatan penegakan hukum dilakukan untuk menimbulkan dampak jera terhadap pelaku praktek IL dan meningkatkan tingkat ketaatan publik terhadap peraturan perundangan khususnya di bidang kehutanan. Proses penegakan hukum terdiri dari : penyidikan, penuntutan, pemidanaan, dan pelaksanaan/eksekusi. Tahapan penyidikan IL menjadi permasalahan tersendiri dalam pemberantasan IL terkait masih lemahnya koordinasi antar institusi penyidik dalam pemberantasan IL. Lemahnya koordinasi antar penyidik tersebut merupakan celah yang mudah diterobos pelaku IL. Oleh karena itu perlu pembenahan sistem penyidikan yang terintegrasi diantara institusi penyidik dalam pemberantasan IL2.

2 Penyidik adalah

pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil

tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1

ayat 1 UU No.8/1981).Ada empat institusi penyidik : penyidik Polri, penyidik PPNS, penyidik Kejaksaan, dan Penyidik Perwira TNI-AL. Tata cara penyerahan berkas perkara oleh PPNS kepada penyidik Polri diatur oleh Fatwa Mahkamah Agung No.KMA/114/IV/1990 tanggal 7 April 1990 : Baik terhadap tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus Penyidikan PNS tersebut selesai melakukan penyidikannya harus menyerahkan hasil penyidikannya secara nyata kepada penyidik Polri, barulah setelah itu Penyidik Polri menyerahkan hasil penyidikan PPNS berkas perkara

(35)

b. Peningkatan Apresiasi Publik terhadap Nilai Ekosistem Hutan

Upaya untuk meningkatkan apresiasi publik terhadap nilai ekosistem hutan, disamping dengan metode formal melalui penyuluhan, juga dapat dilakukan dengan pendekatan kultural. Secara kultural, publik diberikan penjelasan keterkaitan antara tata nilai sosial dengan potensi nilai yang dikandung dalam hutan sebagai sistem penyangga kehidupan masyarakat.

c. Kebijakan Insentif Menghindari Degradasi Hutan

Pemberantasan IL sebaiknya juga memperhatikan kelompok dunia usaha kehutanan yang melakukan kegiatannya secara legal. Insentif dan penghargaan seharusnya lebih besar diberikan pula pada kelompok dunia usaha atau masyarakat yang selama ini telah berupaya keras melakukan pencegahan dehutanisasi (deforestration avoidance). Tampaknya dalam hal ini pemerintah perlu membuat kebijakan insentif untuk merangsang dunia usaha dan masyarakat mau menjalankan aktifitasnya secara legal, sehingga gambaran bahwa berusaha secara legal lebih mahal daripada usaha ilegal dapat dihapuskan. Sebaliknya kebijakan disinsentif bagi dunia usaha yang melakukan aktifitas ilegal perlu diterapkan pula. Kebijakan disinsentif bagi pelaku aktifitas IL yang dibuat ditujukan untuk membuat efek jera bahwa apabila berusaha di bidang kehutanan secara ilegal dapat dipastikan secara ekonomi akan rugi. Tampaknya bentuk kebijakan insentif ini tidak akan efektif berjalan sepanjang korupsi masih marak, sehingga penerapan prinsip-prinsip good governance dalam pengusahaan hutan mutlak diperlukan.

d. Pemberdayaan Masyarakat

(36)

dan cenderung makin termarjinalkan. Kemiskinan dan sempitnya peluang berusaha bagi masyarakat sekitar hutan mendorong mereka untuk terlibat dalam praktek IL dengan dukungan dana dari pihak luar yang secara ekonomi jauh lebih kuat. Ketika sumberdaya hutan di sekitarnya yang menjadi rusak, maka pada saat itu pula kemiskinan mereka bertambah. Oleh karena itu upaya pemberdayaan masyarakat harus terintegrasi dengan program pemberantasan praktek IL. Hasil Operasi Wanalaga Lodaya Tahun 2003 di tiga kawasan konservasi (Cagar Alam Gunung Papandayan, Cagar Alam Gunung Talagabodas, dan Cagar Alam Leuweung Sancang) di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa kegiatan penegakan hukum telah berhasil membuat dampak jera pelaku perambahan lahan hutan, termasuk penggarap lahan hutan di luar kawasan tersebut. Namun ketika upaya pemberdayaan masyarakat terlambat diluncurkan, maka beberapa perambah lahan hutan yang tadinya sepakat menghentikan aktifitasnya kembali masuk merambah lahan hutan di kawasan konservasi dan lindung yang ada. Masalah kebutuhan ekonomi ternyata masih menjadi alasan klasik untuk menjarah hutan bagi kelompok masyarakat yang tingkat ekonominya rendah.

e. Kerjasama Internasional Pemberantasan Illegal logging

(37)

2.3. Analisis Stakeholders

Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan memerlukan kolaborasi diantara stakeholders (pemangku kepentingan) yang berbeda-beda. Kolaborasi tidak membangun persetujuan diantara masyarakat tentang apa yang akan dilakukan, tetapi lebih sering menyangkut pengaturan perbedaan dalam kepentingan (interests) dan kekuatan (power) dalam penggunaan yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Oleh karena itu pendekatan dalam menganalisis stakeholders difokuskan terhadap hak-hak yang dimiliki (rights), tanggung-jawab (responsibilities), keuntungan yang diperoleh (Revenues), dan hubungan diantara

stakeholders (relationships). Analisis stakeholders tersebut disebut sebagai pendekatan 4Rs (Dubois, 1998).

Pendekatan 4Rs sebagai alat analisis stakeholders dapat diterapkan dalam: (a) menganalisis situasi multi-stakeholders dan mendiagnosa permasalahan; (b) menilai dan membandingkan kebijakan-kebijakan; (c) berperan dalam proses negosiasi; (d) alat evaluasi dalam siklus proyek; (d) merekstrukturisasi dan kelembagaan dan desentralisasi (Dubois, 1998).

Pendekatan 4Rs merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk mengklarifikasi peranan (roles) yang dimainkan oleh stakeholders

(38)

IIED (2005) menyebutkan bahwa kerangka pendekatan 4Rs ini dapat diterapkan pada berbagai tingkatan yang berbeda, baik di tingkatan lokal atau proyek, wilayah, dan nasional. Pendekatan 4Rs dianggap paling efektif sebagai participatory tool untuk membangun dialog diantara

stakeholders . Di dalam praktek penggunaan pendekatan 4Rs meliputi dua komponen utama, yaitu : (a) penilaian keseimbangan dari tiga R (rights, responsibilities, dan Revenues) di dalam dan diantara

stakeholders (assesment of the balance of three Rs); serta (b) penilaian status dari R keempat yaitu relationship diantara stakeholders . Tiga Rs menunjukkan progres yang sering menunjukkan kualitas dari hubungan antar stakeholders , politik lokal dan budaya, serta pengaruh tekanan eksternal (IIED, 2005).

Analisis 3 Rs sebaiknya dilakukan secara bersamaan daripada sendiri-sendiri dan di dalam serta diantara kelompok-kelompok

stakeholders , karena keseimbangan (balance) diantara hak, tanggung-jawab, dan manfaat merupakan indikasi yang baik dalam menggarisbawahi struktur kekuatan serta insentif atau disinsentif dalam mencapai pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, misalnya : (a) tanggung-jawab yang tinggi akan meningkatkan insentif yang diberikan; dan (b) pelaksana swasta memiliki hak dan pendapatan dari pengelolaan sumberdaya alam tetapi memiliki beban tanggung-jawab rendah atau tanggung-jawab terhadap publik yang kurang. Hubungan diantara

stakeholders dianalisis dengan memperhatikan : (a) kualitas hubungan (misalnya : baik, sedang, atau terjadi konflik); (b) kekuatan hubungan, berkaitan dengan frekuensi dan intensitas kontak diantara stakeholders ; (c) formalitas hubungan, berkaitan dengan tipe hubungan yang bersifat formal atau informal; serta (d) ketergantungan (dependence) antar

stakeholders (IIED, 2005).

2.4. Proses Hirarki Analitis

(39)

matematis. Pendekatan AHP membantu dalam menentukan prioritas dari beberapa kriteria dengan melakukan analisa perbandingan berpasangan dari masing-masing kriteria. Metode ini digunakan untuk menyelesaikan masalah pengambilan keputusan yang memerlukan multikriteria (terdapat banyak kriteria dan alternatif). Analisis AHP dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara manual (hitungan) dan dengan alat bantu analisis yaitu dengan program Criteium Plus. Adapun langkah – langkah analisa AHP dengan cara manual adalah sebagai berikut (Saaty, 2001) :

a. Penyusunan struktur keputusan

Penyusunan struktur keputusan dalam penentuan prioritas pada suatu permasalahan dilakukan dengan melakukan dekomposisi dari permasalahan yang ada sehingga akan tergambar faktor-faktor yang mempengaruhi serta alternatif keputusan yang ditentukan dalam bentuk hirarki dimana semua elemen yang ada di dalam struktur keputusan.

b. Penyusunan matriks pendapat

Penyusunan matrik pendapat adalah untuk menentukan nilai kepentingan dari setiap elemen pada struktur keputusan. Dalam menentukan skala kepentingan mengacu pada skala komparasi dari Saaty. Skala prioritas dilakukan guna mempermudah pemahaman penggunaan metode analisis jenjang keputusan. Matriks pendapat dibuat berdasarkan tingkatan level dari masing-masing faktor.

c. Prioritas elemen setiap level

(40)

elemen dalam suatu level struktur keputusan. Berdasarkan bobot normal akan didapatkan nilai eigen vector dan index konsistensi. Ketiga langkah ini diulang untuk mendapatkan bobot dari masing-masing elemen pada setiap levelnya. Selanjutnya,

d. Matriks pendapat gabungan

Untuk mendapatkan matriks pendapat gabungan maka pertama-tama dilakukan penentuan skala kepentingan relatif serta bobot dua elemen pada suatu tingkat (level II) dalam kaitannya dengan elemen pada tingkat diatasnya (level I). Penentuan skala kepentingan diulang pada semua elemen pada suatu level terhadap masing-masing elemen pada level di atasnya.

e. Prioritas pengambilan keputusan

Penentuan prioritas keputusan yang akan diambil untuk dikembangkan di suatu daerah ditentukan dengan melakukan sintesa dari bobot prioritas dari semua variabel yang ada pada tiap-tiap level pada struktur keputusan. Jika konsistensi keseluruhan dari matriks gabungan < 10% maka prioritas tersebut sudah konsisten. Pendekatan AHP didasarkan atas 3 prinsip dasar yaitu:

1. Dekomposisi

(41)

yang terlalu mencolok. Jika perbedaan terlalu besar harus dibuatkan level yang baru.

2. Perbandingan penilaian/pertimbangan (comparative judgments)

Dengan prinsip ini akan dibangun perbandingan berpasangan dari semua elemen yang ada dengan tujuan menghasilkan skala kepentingan relatif dari elemen. Penilaian menghasilkan skala penilaian yang berupa angka. Perbandingan berpasangan dalam bentuk matriks jika dikombinasikan akan menghasilkan prioritas.

3. Sintesa Prioritas

Sintesa prioritas dilakukan dengan mengalikan prioritas lokal dengan prioritas dari kriteria bersangkutan di level atasnya dan menambahkannya ke tiap elemen dalam level yang dipengaruhi kriteria. Hasilnya berupa gabungan atau dikenal dengan prioritas global yang kemudian digunakan untuk memboboti prioritas lokal dari elemen di level terendah sesuai dengan kriterianya. AHP didasarkan atas empat aksioma utama yaitu (Amborowati, 2006) :

a. Aksioma Resiprokal

Aksioma ini menyatakan jika PC (EA,EB) adalah sebuah perbandingan berpasangan antara elemen A dan elemen B, dengan memperhitungkan C sebagai elemen parent, menunjukkan berapa kali lebih banyak properti yang dimiliki elemen A terhadap B, maka PC (EB,EA)= 1/ PC (EA,EB). Misalnya jika A 5 kali lebih besar daripada B, maka B=1/5 A.

b. Aksioma Homogenitas

(42)

menghasilkan hasil dengan akurasi rendah dan inkonsistensi tinggi.

c. Aksioma Ketergantungan

Aksioma ini menyatakan bahwa prioritas elemen dalam hirarki tidak bergantung pada elemen level di bawahnya. Aksioma ini membuat kita bisa menerapkan prinsip komposisi hirarki.

d. Aksioma Ekspektasi

Struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria atau objektif yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap

Selanjutnya Saaty (2001) menyatakan bahwa proses hirarki analitik (AHP) menyediakan kerangka yang memungkinkan untuk membuat suatu keputusan efektif atas isu kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pendukung keputusan. Pada dasarnya AHP adalah suatu metode dalam merinci suatu situasi yang kompleks, yang terstruktur kedalam suatu komponen-komponennya. Artinya dengan menggunakan pendekatan AHP kita dapat memecahkan suatu masalah dalam pengambilan keputusan. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004). Tahapan prosedur dalam AHP adalah sebagai berikut:

a. Menyusun hirarki dari permasalahan yang dihadapi. b. Penilaian kriteria dan alternatif

(43)

adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Intensitas

Kepentingan Keterangan

1 Kedua elemen sama pentingnya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya

5 Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya

7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya

9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan

Perbandingan dilakukan berdasarkan kebijakan pembuat keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen terhadap elemen lainnya Proses perbandingan berpasangan, dimulai dari level hirarki paling atas yang ditujukan untuk memilih kriteria, misalnya A, kemudian diambil elemen yang akan dibandingkan, misal A1, A2, dan A3. Maka susunan elemen-elemen yang dibandingkan tersebut akan tampak seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Contoh matriks perbandingan berpasangan

A1 A2 A3

A1 1

A2 1

A3 1

(44)

dengan elemen i merupakan kebalikannya. Dalam AHP ini, penilaian alternatif dapat dilakukan dengan metode langsung (direct), yaitu metode yang digunakan untuk memasukkan data kuantitatif. Biasanya nilai-nilai ini berasal dari sebuah analisis sebelumnya atau dari pengalaman dan pengertian yang detail dari masalah keputusan tersebut. Jika si pengambil keputusan memiliki pengalaman atau pemahaman yang besar mengenai masalah keputusan yang dihadapi, maka dia dapat langsung memasukkan pembobotan dari setiap alternatif.

c. Penentuan prioritas

Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat alternatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan penilaian yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan disintesis untuk memperoleh keseluruhan prioritas melalui tahapan-tahapan beriku : (a) kuadratkan matriks hasil perbandingan berpasangan; dan (b) hitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian lakukan normalisasi matriks.

d. Konsistensi Logis

Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal. Hubungan tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut (Suryadi dan Ramdhani, 1998):

Hubungan kardinal : aij . ajk = aik

(45)

Hubungan di atas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikut : (a) dengan melihat preferensi multiplikatif, misalnya bila anggur lebih enak empat kali dari mangga dan mangga lebih enak dua kali dari pisang maka anggur lebih enak delapan kali dari pisang; (b) Dengan melihat preferensi transitif, misalnya anggur lebih enak dari mangga dan mangga lebih enak dari pisang maka anggur lebih enak dari pisang. Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut, sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang. Penghitungan konsistensi logis dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :

a. Mengalikan matriks dengan proritas bersesuaian. b. Menjumlahkan hasil perkalian per baris.

c. Hasil penjumlahan tiap baris dibagi prioritas bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan.

d. Hasil c dibagi jumlah elemen, akan didapat λmaks. e. Indeks Konsistensi (CI) = (λmaks-n) / (n-1)

f. Rasio Konsistensi = CI/ RI, di mana RI adalah indeks random konsistensi. Jika rasio konsistensi ≤ 0.1, hasil perhitungan data dapat dibenarkan. Daftar RI dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai Indeks Random (Saaty, 2001)

Ukuran Matriks Nilai RI Ukuran Matriks Nilai RI

1,2 0,00 9 1,45

3 0,58 10 1,49

4 0,90 11 1,51

5 1,12 12 1,48

6 1,24 13 1,56

7 1,32 14 1,57

8 1,41 15 1,59

9 1,45

10 1,49

11 1,51

12 1,48

13 1,56

14 1,57

(46)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Jakarta dan Jambi selama 12 (dua belas) bulan mulai bulan April 2008 sampai April 2009. Jakarta adalah pusat pemerintahan Negara Republik Indonesia merupakan wilayah dimana perumusan dan penetapan kebijakan tingkat nasional dilakukan, termasuk kebijakan tentang pemberantasan IL di Indonesia. Berbagai instansi dan lembaga yang terkait dengan kebijakan pemberantasan IL di Indonesia berada di Jakarta, sehingga sumber informasi dan nara sumber yang berkaitan dengan pemberantasan IL tingkat nasional juga berada di Jakarta.

Untuk memperdalam kasus IL dan pemberantasannya di lapangan, maka dilakukan pendalaman kasus di Provinsi Jambi. Kasus IL di Provinsi Jambi dalam tiga tahun terakhir meningkat sejak dilakukannya operasi pemberantasan IL secara besar-besaran di Provinsi Riau yang berbatasan langsung dengan Jambi.

3.2. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu : (a) Menganalisis kebijakan yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia; (b) Menganalisis peranan stakeholders yang terlibat dalam pemberantasan IL di Indonesia;(c) Menentukan prioritas alternatif kebijakan pemberantasan IL yang efektif dan sesuai diterapkan di Indonesia.

3.2.1. Analisis Kebijakan Terkait Pemberantasan IL

3.2.1.1.Metode Pengumpulan Data

(47)

dengan upaya pemberantasan IL di Indonesia, seperti : Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), Departemen Kehutanan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Pusat Informasi Kehutanan Provinsi Jambi, Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jambi, dan EC-FLEGT (EC-Indonesia Forest Law Enforcement, Governance and Trade). Penelusuran peraturan perundang-undangan terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia dilakukan pula dengan menggunakan fasilitas penelusuran (browsing) melalui internet. Selain dokumen peraturan perundang-undangan, data sekunder lainnya yang diperlukan adalah peta-peta tematik, yaitu : peta penunjukkan kawasan hutan dan perairan Provinsi Jambi, peta administrasi, dan peta jaringan jalan.

3.2.1.2.Parameter yang Diamati

(48)

Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001, Undang-Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang No.31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.

Parameter yang diamati difokuskan kepada pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi hukum terhadap kegiatan IL di Indonesia, baik yang ada di dalam aturan hukum yang sifatnya lex specialis maupun lex generalis.

3.2.1.3.Metode Analisis Data

Analisis kebijakan dilakukan secara deskriptif dengan pendekatan kritis. Muhadjir (2000) mengemukakan tahapan dalam pendekatan kritis kajian hukum dan perundang-undangan, yaitu : (a) mengadakan kritik terhadap teori dan praktek dari peraturan perundang-undangan yang ada, (b) membangun konstruksi teoritik yang baru, (c) dari kontsruksi teori baru dituangkan dalam program institusional sebagai pijakan pengembangan kelembagaan, dan (d) menelaah implikasi peraturan perundang-undangan baik berupa konsekuensi logis internal maupun eksternalnya. Hasil analisis kritis tersebut dijadikan dasar dalam mengkaji apakah peraturan perundang-undangan yang selama ini digunakan dalam pengaturan pengelolaan hutan dan pemberantasan IL sudah efektif dalam mengendalikan permasalahan IL di Indonesia.

3.2.2. Analisis Kelembagan Pemberantasan IL

3.2.2.1.Metode Pengumpulan Data

Gambar

Gambar 2. Tiga Pilar Pengelolaan Hutan
Gambar 3. Wilayah Administratif Provinsi Jambi (PIK Jambi, 2009)
Gambar 4 . Kondisi Topografi Wilayah Provinsi Jambi (PIK Jambi, 2009)
Gambar 5 . Peraturan Perundang-undangan Pemberantasan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perhitungan emisi yang dihasilkan oleh lingkup 1 juga dilakukan untuk setiap produk PB dan Bronze dengan menggunakan nilai konversi.. Faktor Carbon footprint

It was a joint collaboration of the Center for Chinese Indonesian Studies (CCIS) and Chinese Department at Petra Christian University, Surabaya, as the organizing

3.a Peningkatan kemampuan relasional matematis pada siswa yang memperoleh pembelajaran saintifik dengan strategi konflik kognitif lebih baik daripada siswa yang

kurs dollar Amerika Serikat dan ekspor karet terhadap cadangan devisa Indonesia periode 1995-2012 telah di uji dengan menggunakan uji t dan F, dari analisis yang telah

Tentang Jadwal kegiatan, sebagian besar tidak memiliki dengan alasan tidak ada jam masuk kelas, alasan tersebut sebenarnya tidak tepat dan oleh karena itu kami menghimbau

Minyak mentah dan air garam yang terpisah diukur waktu dan presentase pemisahannya untuk perbandingan antara demulsifikasi menggunakan oven gelombang mikro terhadap

Pada penelitian ini, akan mencari keterkaitan energi gap dengan kecepatan putar deposisi lapisan tipis semikonduktor organik Spirulina Sp hasil deposisi spin

Tema yang penulis pilih untuk disertasi adalah Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan Berbasis Agroekosistem dan Implikasinya pada Kebijakan Pengurangan