LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel HasilPengamatan Parameter Berat Lateks (g)Penyadapan Pertama
Perlakuan Berat Total Rataan
I II III
Lampiran3. Tabel HasilPengamatan Parameter Berat Lateks (g)Penyadapan Kedua
Perlakuan Berat Total Rataan
I II III
Lampiran5. Tabel HasilPengamatan Parameter Berat Lateks (g)Penyadapan Ketiga
Perlakuan Berat Total Rataan
I II III
Lampiran7. Tabel HasilPengamatan Parameter Total Padatan Lateks (%) PenyadapanPertama
Perlakuan Kadar Padatan Total Total Rataan
I II III
Lampiran8. Tabel HasilAnalisis Sidik Ragam DataTotal Padatan Lateks (%) Penyadapan Pertama
Lampiran9. Tabel HasilPengamatan Parameter Total Padatan Lateks (%) PenyadapanKedua
Perlakuan Kadar Padatan Total Total Rataan
I II III
Lampiran11. Tabel HasilPengamatan Parameter Total Padatan Lateks (%) PenyadapanKetiga
Perlakuan Kadar Padatan Total Total Rataan
I II III
Lampiran13. Tabel HasilPengamatan Parameter Total Produksi (g/cm) PenyadapanPertama
Perlakuan Total Produksi Total Rataan
I II III
A1K1S0 5,38 2,38 14,44 22,21 7,40
A1K1S1 1,62 8,04 1,30 10,96 3,65
A1K1S2 3,37 8,65 8,16 20,19 6,73
A1K1S3 3,16 7,14 2,83 13,13 4,38
A1K1S4 5,00 8,97 5,13 19,10 6,37
A1K2S0 10,53 8,87 11,94 31,34 10,45
A1K2S1 18,75 6,58 6,78 32,11 10,70
A1K2S2 4,22 15,08 9,76 29,05 9,68
A1K2S3 10,13 18,33 8,93 37,39 12,46
A1K2S4 10,71 13,25 4,44 28,41 9,47
A2K1S0 12,00 13,33 5,00 30,33 10,11
A2K1S1 10,00 5,56 6,25 21,81 7,27
A2K1S2 3,33 8,89 6,63 18,85 6,28
A2K1S3 3,33 4,00 7,65 14,98 4,99
A2K1S4 5,00 8,93 8,33 22,26 7,42
A2K2S0 5,65 9,09 13,64 28,37 9,46
A2K2S1 6,25 12,50 11,67 30,42 10,14
A2K2S2 11,67 3,49 5,56 20,71 6,90
A2K2S3 8,14 5,71 3,57 17,43 5,81
A2K2S4 3,13 3,57 11,76 18,46 6,15
Total 141,36 172,37 153,77 467,51
Lampiran14. Tabel HasilPengamatan Parameter Total Produksi (g/cm) PenyadapanPertama (Transformasi ��)
Perlakuan Total Produksi Total Rataan
I II III
Lampiran15. Tabel HasilAnalisis Sidik Ragam DataTotal Produksi (g/cm) Penyadapan Pertama (Transformasi ��)
Lampiran16. Tabel HasilPengamatan Parameter Total Produksi (g/cm) PenyadapanKedua
Perlakuan Total Produksi Total Rataan
I II III
A1K1S0 0,43 0,58 0,91 1,92 0,64
A1K1S1 0,36 0,43 0,95 1,75 0,58
A1K1S2 0,39 0,79 0,81 1,99 0,66
A1K1S3 0,77 0,45 0,40 1,62 0,54
A1K1S4 0,29 0,52 0,55 1,36 0,45
A1K2S0 0,70 0,51 0,35 1,56 0,52
A1K2S1 0,90 0,54 0,70 2,15 0,72
A1K2S2 0,52 1,32 1,09 2,93 0,98
A1K2S3 1,38 0,26 0,67 2,31 0,77
A1K2S4 1,27 0,77 0,67 2,71 0,90
A2K1S0 1,04 0,59 0,58 2,22 0,74
A2K1S1 0,65 0,76 0,88 2,28 0,76
A2K1S2 0,88 0,69 0,80 2,37 0,79
A2K1S3 0,60 0,47 0,71 1,78 0,59
A2K1S4 0,90 0,82 0,55 2,27 0,76
A2K2S0 0,67 0,46 0,37 1,49 0,50
A2K2S1 0,43 0,35 0,37 1,16 0,39
A2K2S2 0,30 0,40 0,31 1,01 0,34
A2K2S3 0,40 0,47 0,66 1,52 0,51
A2K2S4 0,76 0,44 0,44 1,63 0,54
Total 133,46 258,77 319,36 711,59
Lampiran17. Tabel HasilPengamatan Parameter Total Produksi (g/cm) PenyadapanKedua (Transformasi ��)
Perlakuan Total Produksi Total Rataan
I II III
Lampiran18. Tabel HasilAnalisis Sidik Ragam DataTotal Produksi (g/cm) Penyadapan Kedua (Transformasi ��)
Lampiran19. Tabel HasilPengamatan Parameter Total Produksi (g/cm) PenyadapanKetiga
Perlakuan Total Produksi Total Rataan
I II III
Lampiran 21. Tabel Hasil Rataan Perlakuan Terhadap Parameter Pada Seluruh Penyadapan
1. Berat Lateks
Tabel rataan perlakuan waktu aplikasi terhadap berat lateks (ml) seluruh penyadapan.
Tabel rataan perlakuan klon tanaman karet terhadap berat lateks (ml) seluruh penyadapan.
Tabel rataan perlakuan stimulan hormon etilen terhadap berat lateks (ml) seluruh penyadapan.
2. Kadar Padatan Total
Tabel rataan perlakuan waktu aplikasi terhadap kadar padatan total (%) seluruh penyadapan.
Tabel rataan perlakuan stimulan hormon etilen terhadap kadar padatan total (%)
Tabel rataan perlakuan waktu aplikasi total produksi (gr/cm/sadap) seluruh penyadapan.
Tabel rataan perlakuan klon tanaman karet terhadap total produksi (gr/cm/sadap) seluruh penyadapan .
Lampiran 21. Deskripsi klon IRR 118 j. Simetris daun pinggir : simetris
k. Ukuran daun : 2,4 : 1
l. Ujung daun : sedang
2. Anak tangkai daun
a. Posisi : mendatar
b. Bentuk : lurus
c. Panjang : sedang
d. Sudut : sedang (<60˚)
3. Tangkai daun
a. Posisi : lurus-mendatar
b. Bentuk : lurus
c. Panjang : sedang
d. Ukuran kaki : sedang
e. Bentuk kaki : mata agak berlekuk
4. Tangkai daun
a. Payung : kerucut setengah lingkaran
b. Besar : sedang
c. Tekstur : halus
d. Kekakuan : kaku
e. Bentuk : bulat telur
f. Pinggiran daun : agak bergelombang g. Penampang memanjang : lurus
h. Penampang melintang : bentuk V
i. Posisi helaian daun : terpisah-bersinggungan j. Simetris daun pinggir : simetris
k. Ukuran daun : 2,4 : 1
l. Ujung daun : sedang
2. Anak tangkai daun
a. Posisi : agak terkulai
c. Kerapatan permukaan : terbuka d. Jarak antar payung : sedang
5. Mata
a. Letak mata : rata
b. Bekas tangkai daun : rata
6. Kulit batang
a. Corak kulit gabus : bentuk jala terputus-putus b. Warna kulit gabus : coklat tua
7. Warna lateks : putih-kekuningan
A1
K1 K2
A2
K1 K2
Lampiran 23. Peta Rancangan Penelitian
Lampiran 24. Bagan Lahan Penelitian Klon IRR 118
Keterangan :
P = Tanaman Perlakuan O = Bukan Tanaman Perlakuan
Jarak Antar Barisan = 6 Meter
Lampiran 26. Data Curah Hujan Selama Penelitian (November 2015 – Februari 2016)
TANGGAL TAHUN 2015 TAHUN 2016
NOV DES JAN FEB
Sumber: Stasiun Hujan Balit Sungei Putih Kec. Galang Kab. Deli Serdang
Keterangan :
Lampiran 27. Jadwal Kegiatan Penelitian
No Pelaksanaan Penelitian
Bulan
Juli Agustus September Oktober November Desember Januari
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 9 Pengujian Awal Tanpa
Perlakuan Pengukuran Panjang Alur
Sadap x x Pengerukan Bawah Bidang
Sadap x 10 Pembuatan Ekstrak Kulit
Buah Pisang x x x 11 Aplikasi x x x 12 Penyadapan x x x 13 Panen dan Pengamatan
Lampiran Gambar 1.
Pohon karet yang diberi perlakuan Lampiran 2. Lateks
Lampiran Gambar 3.
Lampiran Gambar 5. Sampel Lateks
Lampiran Gambar 6.
Sampel sebelum pengovenan
Lampiran Gambar 7. Sampel setelah pengovenn
DAFTAR PUSTAKA
Aidi dan Daslin. 2014. Perkembangan Penelitian Klon Karet Unggul IRR Seri 100 Sebagai Penghasil Lateks dan Kayu. Balai Penelitian Sungei Putih, Galang Deli Serdang.
Aidi, Daslin dan S. A. Pasaribu. 2015. Uji Adaptasi Klon Karet IRR Seri 100 pada Agroklimat Kering di Kebun Baleh Kabupaten Asahan Sumatera Utara. Medan: Pusat Penelitian Karet Balai Penelitian Sungei Putih.
Anwar, C. 2001. Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet, MiG Corp., Medan
Ardika, R., A. N. Cahyo dan T. Wijaya. 2011. Dinamika Gugur Daun dan Produksi Berbagai Klon Karet Kaitannya dengan Kandungan Air Tanah. Balai Penelitian Sembawa, Palembang.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. 2012. Potensi Karet Klon Unggul PB260 dan IRR39 di Provinsi Jambi. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bayer Cropscience. 2012. Ethepon SL 480 B G version 1 / EU. Safety Data Sheet according to Regulation (EC) No. 1907/2006. Bayer, Germany.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2014. Pestisida Pertanian dan Kehutanan Terdaftar. Direktorat Pupuk dan Pestisida.
Dalimunte, V. H. 2009. Penentuan Kandungan Padatan Total ( % TSC ) Lateks Pekat dan Pengaruhnya Terhadap Kekuatan Tarik Benang Karet di PT. IKN, Medan. Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan.
Damanik, S., M. Syakir, M. Tasma dan Siswanto. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Karet. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.
Harahap, R. T. 2008. Penentuan Bilangan Volatile Fatty Acid (VFA) dalam Lateks Kebun pada Pembuatan Karet Remah. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan..
Jetro, N. N dan G. M. Simon. 2007. Effects of 2-chloroethylphosphonic acid formulations as yield stimulant on Hevea Brasiliensis. National Rubber Research Programme IRAD Ekona Regional Center, Cameroon.
Kurniawan, A. 2008. Penggunaan Silika Gel dan Kalium Permanganat Sebagai Bahan Penyerap Etilen. Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Njukeng, J. N.,P. M. Muenyi., B. K. Ngane., and E. E. E. Ehabe. 2011. Ethepon Stimulation and Yield Response of Some Hevea Clones in the Humid Forest of South West Cameroon. Institute of Agricultural Research for Development, Cameroon.
Palembang Tribun News. 2016. Produsen Kurangi Ekspor, Dongkrak Harga Karet Dunia. Sriwijaya Post, Palembang.
Purbaya, M., T. I. Sari., C. A. Saputri., M. T. Fajriaty. 2011. Pengaruh Beberapa Jenis Bahan Penggumpal Lateks dan Hubungaannya dengan Susut Bobot, Kadar Karet Kering dan Plastisitas. Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Palembang.
Purwaningrum, Y., J. A. Napitupulu., C. Hanum dan T. H. S. Siregar. 2016. Pengaruh Sistem Eksploitasi Terhadap Produksi Karet pada Klon PB260. Pusat Penelitian Karet Sungai Putih, Sumatera Utara.
Rohmah, A. 2015. Panduan Budidaya Karet untuk Petani Skala Kecil. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pusat Teknologi Material, Indonesia.
Rouf, A., M. O. Nugrahani, A. S. Pamungkas, Setiono dan H. Hadi. 2015. Strategi Peningkatan Produksi Lateks secara Kontiniu dengan Teknologi Stimulas Gas Etilen RIGG-9. Balai Penelitian Getas, Salatiga.
Setiawan D. H dan A. Andoko. 2005. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet. AgroMedia Pustaka, Jakarta.
Sianturi, H. S. D. 2001. Budidaya tanaman karet. USU Press, Medan.
Tistama, R. 2013. Peran Seluler Etilen Eksogenus Terhadap Peningkatan Produksi Lateks pada Tanaman Karet ( Hevea Brasiliensis L). Warta Perkaretan 2013, 32(1): 25-37
Webster, C. C and W. J. Baulkwill. 1989. Rubber. Longman Sci. & Tech., John Wiley & Sons, Inc., New York.
Woelan, S., Sayurandi dan S. A. Pasaribu. 2013. Karakter Fisiologi, Anatomi, Pertumbuhan dan Hasil Lateks Klon IRR Seri 200. Balai Penelitian Sungei Putih-Pusat Penelitian Karet, Galang Deli Serdang.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Karet Sungei
Putih Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Lokasi
penelitian berada pada ketinggian tempat ± 54 m di atas permukaan laut.
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai dari bulan September 2015
sampai dengan Februari 2016.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman karet klon PB
260 pada ancak B, klon IRR 118 pada ancak B tahun tanam 2008 sebagai objek
penelitian klon metabolisme tinggi (quick starter), kulit buah pisang kepok
(Musa paradisiaca)kriteria menuju matang berwarna kuning sebagai perlakuan
(hasil studi pendahuluan (Charloq, et al. 2015) kriteria pisang bewarna kuning
memiliki kandungan etilen sebesar 0,25 %).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender untuk
mengekstrak kulit buah, gelas ukur untuk mengukur pelarut, kain kasa untuk
memisahkan ekstrak dan ampas kulit buah, ember sebagai wadah perlakuan, oven
untuk mengukur kadar padatan total (TSC), timbangan analitik (Mettler PC 180)
untuk mengukur berat lateks , kamera untuk mengamati keadaan bagian sadapan,
cat sebagai penanda perlakuan yang diberikan, kuas kriteria lembut (soft) merk
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Petak Tersarang Tiga Step (Three-
Stage Nested Design) dengan tiga ulangan, yaitu:
Step I : Waktu Aplikasi
A1 = Waktu Aplikasi Pertama
A2 = Waktu Aplikasi Kedua
Step II : Klon Tanaman Karet
K1 = Klon PB 260
K2 = Klon IRR 118
Step III : Stimulan Hormon Etilen Organik
S0 = Tanpa Stimulan
S1 = Stimulan Ekstrak 50 g Kulit Buah Pisang
S2 = Stimulan Ekstrak 100 g Kulit Buah Pisang
S3 = Stimulan Ekstrak 150 g Kulit Buah Pisang
Sehingga diperoleh kombinasi perlakuan sebanyak 20 kombinasi sebagai
berikut :
A1K1S0 A1K1S1 A1K1S2 A1K1S3 A1K1S4
A1K2S0 A1K2S1 A1K2S2 A1K2S3 A1K2S4
A2K1S0 A2K1S1 A2K1S2 A2K1S3 A2K1S4
A2K2S0 A2K2S1 A2K2S2 A2K2S3 A2K2S4
Jumlah Ulangan : 3 Ulangan
Jumlah Tanaman/Perlakuan : 4 Tanaman
Jumlah Tanaman/Klon : 60 Tanaman
Jumlah Tanaman Seluruhnya : 120 Tanaman
Menggunakan sidik ragam dengan model linier Rancangan Tersarang Tiga Step
(Three-Stage Nested Design):
����� =µ+��+��(�)+��(��)+�(���)��
� = 1, 2, 3, 4, 5
� = 1, 2, 3, 4, 5
� = 1, 2, 3, 4, 5
� = 1, 2, 3, 4, 5
Dimana:
����� : Hasil pengamatan stimulan ke-k tersarang dalam klon ke-j
dan tersarang waktu aplikasi ke-i pada ulangan ke-l
µ : Nilai rataan umum
�� : Waktu aplikasi ke-i
��(�) : Klon ke-j tersarang dalam waktu aplikasi ke-i
waktu aplikasi ke-i
�(���)� : Galat percobaan pada stimulan ke-k tersarang dalam klon
ke-j dan tersarang waktu aplikasi ke-i pada ulangan ke-l
Pelaksanaan Penelitian Pra Aplikasi
Penentuan Letak Tanaman
Klon tanaman karet yang digunakan ialah klon IRR 118 dan klon PB 260
pada ancak B tahun tanam 2008 yang akan menjadi sampel. Tanaman karet yang
digunakan dengan sistem sadap normal (1/2 lilit batang), memiliki batang yang
lurus, tidak terserang penyakit, bertopografi datar dan memiliki rataan diameter
antar 25 cm – 35 cm.
Ploting
Ploting atau letak klon tanaman dilakukan dengan pemberian tanda sesuai
dengan perlakuan yang diberikan. Penandaan sampel dilakukan dengan penulisan
kombinasi perlakuan pada batang tanaman karet menggunakan cat.
Pengujian Awal Tanpa Perlakuan
Pengukuran Panjang Alur Sadap
Dilakukan pengukuran panjang alur sadap (cm) pada setiap sampel
Pengerukan Bawah Bidang Sadap
Pengerukan kulit batang dilakukan 5 cm di bawah bidang sadap dengan
kedalaman 0,2 – 0,5 mm. Pengerukan ini dilakukan sebagai tempat untuk
mengoleskan stimulan kulit buah pisang.
Pembuatan Ekstrak Kulit Buah Pisang
Buah pisang mengalami puncak klimakterik dengan kriteria matang dan
bewarna kuning dipilih (hasil studi pendahuluan kriteria pisang kepok bewarna
kuning memiliki kandungan etilen sebesar 0,25 % dan lebih besar dibandingkan
pisang kepok yang memiliki kulit bewarna hijau (0,22%) dan kulit bewarna hijau
kekuningan (0,20%)). Kemudian kulit pisang dengan perlakuan masing – masing
dipotong – potong hingga berukuran 2 cm x 2 cm. Lalu kulit pisang diblender
dengan tambahan 300 ml aquades sebagai pelarut, kemudian kulit pisang disaring
dengan kain kasa hingga larutan bewarna bening atau bersih dari kotoran dan
ditempatkan diwadah masing – masing.
Aplikasi
Stimulan ekstrak kulit buah pisang dioles pada bawah bidang sadap
tanaman karet tersebut. Pengaplikasian dilakukan sehari sebelum sadap dengan
interval 2 minggu. Aplikasi dilakukan pada pagi hari untuk menghindari suhu
scrapping aplication yakni stimulan dioleskan menggunakan sikat kecil sesuai
dengan dosis 5 gram per pohon per aplikasi.
Penyadapan
Penyadapan dilakukan sebanyak tiga kali. Penyadapan pertama dilakukan
sehari setelah pengaplikasian stimulan etilen. Sistem sadap yang digunakan
sadapan s/2 d/3 yaitu sistem sadap 1/2 spiral dan disadap tiga hari sekali.
Panen
Pengukuran Berat lateks
Lateks pada setiap klon dikumpulkan dari mangkuk penampung lateks
yang telah ditancapkan pada batang tanaman. Pemanenan lateks dilakukan siang
hari pukul 11.00 setelah penyadapan. Lateks diambil kemudian dimasukkan
kedalam gelas ukur lalu dilakukan pengukuran volume.
Pengambilan Sampel
Lateks dari setiap ulangan sesuai perlakuan dicampur dan diambil
sebagian sebagai sampel untuk pengukuran kadar padatan total (TSC) dengan
menggunakan ring sampel. Berat lateks yang diperoleh dari setiap sampel
Pengamatan Parameter Berat Lateks (g)
Pengukuran berat lateks dilakukan pada setiap perlakuan dari penyadapan
pertama sampai penyadapan ketiga menggunakan timbangan.
Kadar Padatan Total (%)
Setelah dilakukan penimbangan lateks cair kemudian dilakukan
pengukuran kadar padatan total atau yang biasa disebut total solid content (TSC)
yaitu lateks dimasukkan dalam oven selama 12 jam dengan suhu 600 C. Kemudian
akan diperoleh kadar karet kering dari lateks tersebut dan dilakukan perhitungan
antara perbandingan berat basah lateks dengan berat karet kering .
Total Produksi (g/cm/sadap)
Dilakukan penghitungan total produksi untuk mengetahui produksi dari
tiap batang tanaman, dengan rumus :
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berat lateks (g)
Penyadapan I
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet
terhadap berat lateks penyadapan pertama dengan frekuensi penyadapan d/3
disajikan pada Tabel Lampiran 1, sedangkan hasil sidik ragamnya disajikan pada
Tabel Lampiran 2. Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut terlihat bahwa
perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang berpengaruh tidak nyata dan klon tanaman
karet berpengaruh nyata terhadap berat lateks penyadapan pertama. Rataan
perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet terhadap berat
lateks penyadapan pertama dengan frekuensi penyadapan d/3 disajikan pada Tabel
2.
Tabel 2. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karetterhadap berat lateks (g) penyadapan pertama dengan frekuensi penyadapan d/3.
Berat Lateks Penyadapan I
Klon Stimulan Kulit Pisang Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
PB 260 79,83 90,79 101,63 86,42 71,68 86,07a
IRR 118 39,54 61,50 72,04 62,75 59,96 59,16b
Rataan 59,69a 76,15a 86,83a 74,58a 65,82a 72,61
76,15 g dan stimulan ekstrak 150 g kulit buah pisang (S3) sebesar 74,58 g, diikuti
oleh stimulan ekstrak 200 g kulit buah pisang (S4) sebesar 65,82 g, sedangkan
perlakuan tanpa stimulan (S0) menghasilkan berat lateks terendah penyadapan
pertama sebesar 59,69 g. Perlakuan klon PB 260 (K1) menghasilkan berat lateks
tertinggi penyadapan pertama sebesar 86.07 g, diikuti oleh klon IRR 118 (K2)
sebesar 59,16 g.
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi
terhadap berat lateks penyadapan pertama dengan frekuensi penyadapan d/3
disajikan pada Tabel Lampiran 1, sedangkan hasil sidik ragamnya disajikan pada
Tabel Lampiran 2. Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut terlihat bahwa
perlakuan waktu aplikasi berpengaruh nyata terhadap berat lateks penyadapan
pertama. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi
terhadap berat lateks penyadapan pertama dengan frekuensi penyadapan d/3
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3.Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi terhadap berat lateks (g) penyadapan pertama dengan frekuensi penyadapan d/3.
Berat Lateks Penyadapan I
Waktu Aplikasi Stimulan Kulit Pisang Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
A1 78,04 94,58 110,54 103,00 90,26 95,29a
A2 41,33 57,71 63,13 46,17 41,38 49,94b
Rataan 59,69a 76,15a 86,83a 74,58a 65,82a 72,61
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel3 menunjukkan bahwa perlakuan waktu aplikasi
pertamasebesar 95,29 g, diikuti oleh waktu aplikasi stimulan kedua (A2) sebesar
49,94 g.
Penyadapan II
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet
terhadap berat lateks penyadapan kedua dengan frekuensi penyadapan d/3
disajikan pada Tabel Lampiran 3, sedangkan hasil sidik ragamnya disajikan pada
Tabel Lampiran 4.Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut terlihat bahwa
perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang berpengaruh tidak nyata, sedangkan
perlakuan klon tanaman karet berpengaruh nyata terhadap berat lateks penyadapan
kedua. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet
terhadap berat lateks penyadapan kedua dengan frekuensi penyadapan d/3
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet terhadap berat lateks (g) penyadapan kedua dengan frekuensi penyadapan d/3.
Berat Lateks Penyadapan II
Klon Stimulan Kulit Pisang Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
PB 260 73,25 84,96 81,00 71,60 66,13 75,39a
IRR 118 47,29 59,75 72,54 69,04 65,88 62,90b
Rataan 60,27a 72,35a 76,77a 70,32a 66a 69,14
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel4 menunjukkan bahwa perlakuan stimulan ekstrak 100
perlakuan tanpa stimulan (S0) menghasilkan berat lateks terendah penyadapan
kedua sebesar 60,27 g. Perlakuan klon PB 260 (K1) menghasilkan berat lateks
tertinggi penyadapan kedua sebesar 75,39 g, diikuti oleh klon IRR 118 (K2)
sebesar 62,90 g.
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi
terhadap berat lateks penyadapan kedua dengan frekuensi penyadapan d/3
disajikan pada Tabel Lampiran 3, sedangkan hasil sidik ragamnya disajikan pada
Tabel Lampiran 4. Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut terlihat bahwa
perlakuan waktu aplikasi stimulan berpengaruh tidak nyata terhadap berat lateks
penyadapan kedua. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu
aplikasi karet terhadap berat lateks penyadapan kedua dengan frekuensi
penyadapan d/3 disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi terhadap berat lateks (g) penyadapan pertama dengan frekuensi penyadapan d/3.
Berat Lateks Penyadapan II
Waktu Aplikasi Stimulan Kulit Pisang Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
A1 55,46 76,92 83,38 74,76 73,54 72,81a
A2 65,08 67,79 70,17 65,88 58,46 65,48a
Rataan 60,27a 72,35a 76,77a 70,32a 66,00a 69,14
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel5 menunjukkan bahwa perlakuan waktu aplikasi
stimulan kedua (A2) menghasilkan berat lateks tertinggi pada penyadapan
pertama sebesar 72,81 g, diikuti oleh waktu aplikasi stimulan pertama (A1)
Penyadapan III
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet
terhadap berat lateks penyadapan ketiga dengan frekuensi penyadapan d/3
disajikan pada Tabel Lampiran 5, sedangkan hasil sidik ragamnya disajikan pada
Tabel Lampiran 6. Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut terlihat bahwa
perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang berpengaruh tidak nyata, sedangkan klon
tanaman karet berpengaruhnyata terhadap berat lateks penyadapan ketiga. Rataan
perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet terhadap berat
lateks penyadapan ketiga dengan frekuensi penyadapan d/3 disajikan pada Tabel
6.
Tabel 6. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet terhadap berat lateks (g) penyadapan ketiga dengan frekuensi penyadapan d/3.
Berat Lateks Penyadapan III
Klon Stimulan Kulit Pisang Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
PB 260 73,04 75,33 82,24 76,83 54,33 72,36a
IRR 118 35,54 57,71 63,75 53,71 52,46 52,63b
Rataan 54,29a 66,52a 72,99a 65,27a 53,4a 62,49
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel6 menunjukkan bahwa perlakuan stimulan ekstrak 100
g kulit buah pisang (S2) menghasilkan berat lateks tertinggi penyadapan ketiga
sebesar 72,99 g, diikuti oleh stimulan ekstrak 50 g kulit buah pisang (S1) sebesar
tertinggi penyadapan ketiga sebesar 72,36 g, diikuti oleh klon IRR 118 (K2)
sebesar 52,63 g.
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi
terhadap berat lateks penyadapan ketiga dengan frekuensi penyadapan d/3
disajikan pada Tabel Lampiran 5, sedangkan hasil sidik ragamnya disajikan pada
Tabel Lampiran 6. Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut terlihat bahwa
perlakuan waktu aplikasi stimulan berpengaruh nyata terhadap berat lateks
penyadapan ketiga. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu
aplikasi terhadap berat lateks penyadapan ketiga dengan frekuensi penyadapan d/3
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi terhadap berat lateks (g) penyadapan pertama dengan frekuensi penyadapan d/3.
Berat Lateks Penyadapan III
Waktu Aplikasi Stimulan Kulit Pisang Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
A1 55,38 70,33 76,69 74,04 59,33 67,16a
A2 53,21 62,71 69,29 56,5 47,46 57,83b
Rataan 54,29a 66,52a 72,99a 65,27a 53,4a 62,49
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel7 menunjukkan bahwa perlakuan waktu aplikasi
stimulan pertama (A1) menghasilkan berat lateks tertinggi pada penyadapan
pertama sebesar 67, 16 g, diikuti oleh waktu aplikasi stimulan kedua (A2) sebesar
Kadar Padatan Total (Total Solid Content)
Penyadapan I
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet
terhadap kadar padatan total lateks penyadapan pertama dengan frekuensi
penyadapan d/3 disajikan pada Tabel Lampiran 7, sedangkan hasil sidik ragamnya
disajikan pada Tabel Lampiran 8. Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut
terlihat bahwa perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman
karetberpengaruh tidak nyata terhadap kadar padatan total lateks penyadapan
pertama. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet
terhadap kadar padatan total lateks penyadapan pertama dengan frekuensi
penyadapan d/3 disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet terhadap kadar padatan total lateks (%)penyadapan pertama dengan frekuensi penyadapan d/3.
Kadar Padatan Total Lateks Penyadapan I
Klon Aplikasi Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
PB 260 28,01 27,06 24,21 30,91 27,27 27,49a
IRR 118 25,22 26,68 26,48 33,58 26,7 27,73a
Rataan 26,61a 26,87a 25,35a 32,24a 26,98a 27,61
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel8 menunjukkan bahwa perlakuan stimulan ekstrak 150
g kulit buah pisang (S3) menghasilkan kadar padatan total lateks tertinggi
kadar padatan total lateks terendah penyadapan pertama sebesar 26,87 %.
Perlakuan klon IRR 118 (K2) menghasilkan kadar padatan total lateks tertinggi
penyadapan pertama sebesar 27,73 %, diikuti oleh klon PB 260 (K1) sebesar
27,49 %.
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi
terhadap kadar padatan total lateks penyadapan pertama dengan frekuensi
penyadapan d/3 disajikan pada Tabel Lampiran 7, sedangkan hasil sidik ragamnya
disajikan pada Tabel Lampiran 8. Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut
terlihat bahwa perlakuan waktu aplikasi berpengaruh nyata terhadap kadar
padatan total lateks penyadapan pertama. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit
pisang dan waktu aplikasi terhadap kadar padatan total lateks penyadapan pertama
dengan frekuensi penyadapan d/3 disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi terhadap berat lateks (g) penyadapan pertama dengan frekuensi penyadapan d/3.
Kadar Padatan Total Lateks Penyadapan I
Waktu Aplikasi Stimulan Kulit Pisang Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
A1 28,01 27,06 24,21 30,91 27,27 27,49a
A2 25,22 26,68 26,48 33,58 26,7 27,73b
Rataan 26,61a 26,87a 25,35a 32,24a 26,98a 27,61
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel9 menunjukkan bahwa perlakuan waktu aplikasi
stimulan pertama(A1) menghasilkan kadar padatan total lateks tertinggi pada
penyadapan pertamasebesar 33,54 %, diikuti oleh waktu aplikasi stimulan kedua
Penyadapan II
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet
terhadap kadar padatan total lateks penyadapan kedua dengan frekuensi
penyadapan d/3 disajikan pada Tabel Lampiran 9, sedangkan hasil sidik ragamnya
disajikan pada Tabel Lampiran 10. Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut
terlihat bahwa perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan perlakuan klon
tanaman karet berpengaruh tidak nyata terhadap kadar padatan total lateks
penyadapan kedua. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon
tanaman karet terhadap kadar padatan total lateks penyadapan kedua dengan
frekuensi penyadapan d/3 disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet terhadap kadar padatan total lateks (%)penyadapan kedua dengan frekuensi penyadapan d/3
Kadar Padatan Total Lateks Penyadapan II
Klon Aplikasi Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
PB 260 33,42 30,74 34,83 28,55 31,76 31,86a
IRR 118 28,69 28,59 28,27 29,71 30,67 29,18b
Rataan 31,06a 29,67a 31,55a 29,13a 31,21a 30,52
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel10 menunjukkan bahwa perlakuan stimulan ekstrak 100
g kulit buah pisang (S2) menghasilkan kadar padatan total lateks tertinggi
padatan total lateks terendah penyadapan kedua sebesar 29,15 %. Perlakuan klon
PB 260 (K1) menghasilkan kadar padatan total lateks tertinggi penyadapan kedua
sebesar 31,06 %, diikuti oleh klon IRR 118 (K2) sebesar 29,18 %.
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi
terhadap kadar padatan total lateks penyadapan kedua dengan frekuensi
penyadapan d/3 disajikan pada Tabel Lampiran 9, sedangkan hasil sidik ragamnya
disajikan pada Tabel Lampiran 10. Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut
terlihat bahwa perlakuan waktu aplikasi stimulan berpengaruh nyata terhadap
kadar padatan total lateks penyadapan kedua. Rataan perlakuan stimulan ekstrak
kulit pisang dan waktu aplikasi karet terhadap kadar padatan total lateks
penyadapan kedua dengan frekuensi penyadapan d/3 disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi terhadap kadar padatan total lateks (%)penyadapan kedua dengan frekuensi penyadapan d/3.
Kadar Padatan Total Lateks Penyadapan II
Waktu Aplikasi Stimulan Kulit Pisang Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
A1 35,68 31,76 33,00 36,37 30,87 33,54a
A2 26,43 27,57 30,09 21,89 31,55 27,51b
Rataan 31,06a 29,67a 31,55a 29,13a 31,21a 30,52
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel11 menunjukkan bahwa perlakuan waktu aplikasi
stimulan pertama (A1) menghasilkan kadar padatan total lateks tertinggi pada
penyadapan pertama sebesar 33,54 %, diikuti oleh waktu aplikasi stimulan
pertama (A2) sebesar 27,51 %.
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet
terhadap kadar padatan total lateks penyadapan ketiga dengan frekuensi
penyadapan d/3 disajikan pada Tabel Lampiran 11, sedangkan hasil sidik
ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 12. Berdasarkan analisis sidik ragam
tersebut terlihat bahwa perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman
karet berpengaruh tidak nyata terhadap kadar padatan total lateks penyadapan
ketiga. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet
terhadap kadar padatan total lateks penyadapan ketiga dengan frekuensi
penyadapan d/3 disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet terhadap kadar padatan total lateks (%) penyadapan ketiga dengan frekuensi penyadapan d/3.
Kadar Padatan Total Lateks Penyadapan III
Klon Aplikasi Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
PB 260 37,78 36,07 35,02 32,89 33,34 35,02a
IRR 118 31,68 31,05 32,33 37,71 33,38 33,23a
Rataan 34,73a 33,56a 33,68a 35,3a 33,36a 34,12
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel12 menunjukkan bahwa perlakuan stimulan ekstrak 150
g kulit buah pisang (S3) menghasilkan kadar padatan total lateks tertinggi
penyadapan ketiga sebesar 35,30 %, diikuti oleh tanpa stimulan (S0) sebesar
34,73 % dan stimulan ekstrak 100 g kulit buah pisang (S2) sebesar 33,68 % ,
klon PB 260 (K1) menghasilkan kadar padatan total lateks tertinggi penyadapan
ketiga sebesar 35,02 %, diikuti oleh klon IRR 118 (K2) sebesar 33,23 %.
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi
terhadap kadar padatan total lateks penyadapan ketiga dengan frekuensi
penyadapan d/3 disajikan pada Tabel Lampiran 11, sedangkan hasil sidik
ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 12. Berdasarkan analisis sidik ragam
tersebut terlihat bahwa perlakuan waktu aplikasi stimulan berpengaruh tidak nyata
terhadap kadar padatan total lateks penyadapan ketiga. Rataan perlakuan stimulan
ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi terhadap kadar padatan total lateks
penyadapan ketiga dengan frekuensi penyadapan d/3 disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi terhadap kadar padatan total lateks (%) penyadapan ketiga dengan frekuensi penyadapan d/3.
Kadar Padatan Total Lateks Penyadapan III
Waktu Aplikasi Stimulan Kulit Pisang Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
A1 33,45 32,21 31,66 33,85 28,51 31,94a
A2 36,00 34,91 35,69 36,74 38,20 36,31b
Rataan 34,73a 33,56a 33,68a 35,3a 33,36a 34,12
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel13 menunjukkan bahwa perlakuan waktu aplikasi
stimulan kedua (A2) menghasilkan kadar padatan total lateks tertinggi pada
penyadapan pertama sebesar 36,31 %, diikuti oleh waktu aplikasi stimulan
pertama (A1) sebesar 31,94 %.
Total Produksi (gr/cm/sadap)
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet
terhadap total produksi lateks penyadapan pertama dengan frekuensi penyadapan
d/3 disajikan pada Tabel Lampiran 13, sedangkan hasil sidik ragamnya disajikan
pada Tabel Lampiran 15. Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut terlihat bahwa
perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang berpengaruh tidak nyata terhadap total
produksi lateks penyadapan pertamadan klon tanaman karet berpengaruh nyata
terhadap total produksi lateks penyadapan pertama. Rataan perlakuan stimulan
ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet terhadap total produksi lateks
penyadapan pertama dengan frekuensi penyadapan d/3 disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet terhadap total produksi lateks (g/cm) penyadapan pertama dengan frekuensi penyadapan d/3.
Poduksi Penyadapan I
Klon Stimulan Kulit Pisang Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
PB 260 0,77 0,86 0,91 0,95 0,60 0,82a
IRR 118 0,36 0,71 0,68 0,69 0,75 0,64b
Rataan 0,56a 0,79a 0,79a 0,82a 0,67a 0,73
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel14 menunjukkan bahwa perlakuan stimulan ekstrak 150
g kulit buah pisang (S3) menghasilkan total produksi lateks tertinggi penyadapan
pertama sebesar 0,82 g, diikuti oleh stimulan ekstrak 100 g kulit buah pisang
(S2)dan stimulan ekstrak 50 g kulit buah pisang (S1) sebesar 0,79 g, diikuti oleh
lateks tertinggi penyadapan pertama sebesar 0,82 g, diikuti oleh klon IRR 118
(K2) sebesar 0,64 g.
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi
terhadap total produksi lateks penyadapan pertama dengan frekuensi penyadapan
d/3 disajikan pada Tabel Lampiran 13, sedangkan hasil sidik ragamnya disajikan
pada Tabel Lampiran 15. Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut terlihat bahwa
perlakuan waktu aplikasi berpengaruh sangat nyata terhadap total produksi lateks
penyadapan pertama. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu
aplikasi terhadap total produksi lateks penyadapan pertama dengan frekuensi
penyadapan d/3 disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi terhadap total produksi lateks (g/cm) penyadapan pertama dengan frekuensi penyadapan d/3.
Poduksi Penyadapan I
Waktu Aplikasi Stimulan Kulit Pisang Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
A1 0,80 1,11 1,10 1,24 0,90 1,03a
A2 0,33 0,46 0,49 0,39 0,45 0,42b
Rataan 0,56a 0,79a 0,79a 0,82a 0,67a 0,73
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel15 menunjukkan bahwa perlakuan waktu aplikasi
stimulan pertama(A1) menghasilkan total produksi lateks tertinggi pada
penyadapan pertamasebesar 1,03 g, diikuti oleh waktu aplikasi stimulan kedua
(A2) sebesar 0,42 g.
Penyadapan II
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet
d/3 disajikan pada Tabel Lampiran 16, sedangkan hasil sidik ragamnya disajikan
pada Tabel Lampiran 18. Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut terlihat bahwa
perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang berpengaruh tidak nyata, sedangkan
perlakuan klon tanaman karet berpengaruh sangat nyata terhadap total produksi
lateks penyadapan kedua. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon
tanaman karet terhadap total produksi lateks penyadapan kedua dengan frekuensi
penyadapan d/3 disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet terhadap total produksi lateks (g/cm) penyadapan kedua dengan frekuensi penyadapan d/3.
Poduksi Penyadapan II
Klon Stimulan Kulit Pisang Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
PB 260 0,69 0,67 0,73 0,57 0,60 0,65a
IRR 118 0,51 0,55 0,66 0,64 0,72 0,62b
Rataan 0,6a 0,61a 0,69a 0,6a 0,66a 0,63
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel16 menunjukkan bahwa perlakuan stimulan ekstrak 100
g kulit buah pisang (S2) menghasilkan total produksi lateks tertinggi penyadapan
kedua sebesar 0,69 g, diikuti oleh stimulan ekstrak 200 g kulit buah pisang (S4)
sebesar 0,66 g, kemudian diikuti oleh stimulan ekstrak 50 g kulit buah pisang (S1)
sebesar 0,61 g stimulan ekstrak 150 g kulit buah pisang (S3) dan tanpa stimulan
(S0) sebesar 0,60 g. Perlakuan klon PB 260 (K1) menghasilkan total produksi
d/3 disajikan pada Tabel Lampiran 16, sedangkan hasil sidik ragamnya disajikan
pada Tabel Lampiran 18. Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut terlihat bahwa
perlakuan waktu aplikasi stimulan berpengaruh tidak nyata terhadap total
produksi lateks penyadapan kedua. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang
dan waktu aplikasi karet terhadap total produksi lateks penyadapan kedua dengan
frekuensi penyadapan d/3 disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi terhadap total produksi lateks (g/cm) penyadapan kedua dengan frekuensi penyadapan d/3.
Poduksi Penyadapan II
Waktu Aplikasi Stimulan Kulit Pisang Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
A1 0,58 0,65 0,82 0,66 0,68 0,68a
A2 0,62 0,57 0,56 0,55 0,65 0,59a
Rataan 0,6a 0,61a 0,69a 0,6a 0,66a 0,63
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel17 menunjukkan bahwa perlakuan waktu aplikasi
stimulan pertama (A1) menghasilkan total produksi lateks tertinggi pada
penyadapan pertama sebesar 0,68 g, diikuti oleh waktu aplikasi stimulan kedua
(A2) sebesar 0,59 g.
Penyadapan III
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet
terhadap total produksi lateks penyadapan ketiga dengan frekuensi penyadapan
d/3 disajikan pada Tabel Lampiran 19, sedangkan hasil sidik ragamnya disajikan
pada Tabel Lampiran 20. Berdasarkan analisis sidik ragam tersebut terlihat bahwa
perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang berpengaruh tidak nyata, sedangkan klon
penyadapan ketiga. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon
tanaman karet terhadap total produksi lateks penyadapan ketiga dengan frekuensi
penyadapan d/3 disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan klon tanaman karet terhadap total produksi lateks (g/cm) penyadapan ketiga dengan frekuensi penyadapan d/3.
Poduksi Penyadapan III
Klon Stimulan Kulit Pisang Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
PB 260 0,92 0,92 0,95 0,83 0,62 0,85a
IRR 118 0,42 0,68 0,64 0,66 0,69 0,62b
Rataan 0,67a 0,8a 0,79a 0,75a 0,66a 0,73
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel18 menunjukkan bahwa perlakuan stimulan ekstrak 50
g kulit buah pisang (S1) menghasilkan total produksi lateks tertinggi penyadapan
ketiga sebesar 0,80 g, diikuti oleh stimulan ekstrak 100 g kulit buah pisang (S2)
sebesar 0,80 g dan stimulan ekstrak 150 g kulit buah pisang (S3) sebesar 0,75 g,
diikuti oleh tanpa stimulan (S0) sebesar 0,67 g, sedangkan perlakuan stimulan
ekstrak 200 g kulit buah pisang (S4) menghasilkan total produksi lateks terendah
penyadapan ketiga sebesar 0,66 g. Perlakuan klon PB 260 (K1) menghasilkan
total produksi lateks tertinggi penyadapan ketiga sebesar 0,85 g, diikuti oleh klon
IRR 118 (K2) sebesar 0,62 g.
Hasil pengamatan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi
produksi lateks penyadapan ketiga. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang
dan waktu aplikasi terhadap total produksi lateks penyadapan ketiga dengan
frekuensi penyadapan d/3 disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Rataan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dan waktu aplikasi terhadap total produksi lateks (g/cm) penyadapan ketiga dengan frekuensi penyadapan d/3.
Poduksi Penyadapan III
Waktu Aplikasi Stimulan Kulit Pisang Rataan
S0 S1 S2 S3 S4
A1 0,66 0,78 0,83 0,83 0,69 0,76a
A2 0,69 0,82 0,76 0,66 0,63 0,71a
Rataan 0,67a 0,8a 0,79a 0,75a 0,66a 0,73
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom/baris antar perlakuan, menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel19 menunjukkan bahwa perlakuan waktu aplikasi
stimulan pertama (A1) menghasilkan total produksi lateks tertinggi pada
penyadapan pertama sebesar 0,76 g, diikuti oleh waktu aplikasi stimulan kedua
(A2) sebesar 0,71 g.
Pembahasan
Perlakuan waktu aplikasi pemberian stimulan terhadap beberapa klon
tanaman karet berpengaruh tidak nyata terhadap berat lateks dan total produksi
lateks pada tanaman karet. Namunwaktu aplikasi pemberian stimulan terhadap
beberapa klon tanaman karet berpengaruh nyata terhadap parameter kadar padatan
total, dari perlakuan waktu aplikasi pemberian stimulan menunjukkan perlakuan
waktu aplikasi pertama menghasilkan berat lateks, kadar padatan total, serta total
produksi lebih tinggi daripada waktu aplikasi kedua pada ketiga parameter
produksi, jarak antar waktu aplikasi metode ½S d/3 pada percobaan ini
menghasilkan perbedaan yang tidak nyata antara waktu aplikasi pertama dan
kedua dan dosis yang diberikan pada kedua waktu aplikasi adalah sama oleh
karenanya setiap pemberian stimulan terhadap batang karet memiliki efek yang
sama jika diberikan pada kurun waktu tertentu. Waktu aplikasi yang tepat pada
bidang sadap memberikan peningkatan produksi lateks yang optimal. Hal ini
didukung oleh Tistama (2013) yang menyatakan bahwa fungsi pemberianstimulan
etilen dalam rangka meningkatkan produktifitas tanaman karet telah dilakukan
secara luas di perkebunan karet sejak dekade 1970-an. Dengan pemberian waktu
stimulan yang tepat, produksi tanaman karet dapat ditingkatkan, dimana etilen
berperan di dalam jaringan kulit Hevea mengatur dua jalur utama peningkatan
produksi lateks yaitu peningkatan sintesis karet dan memperpanjang lama aliran
lateks.
Perlakuan klon tanaman karet terhadap pemberian stimulan berpengaruh
sangat nyata terhadap berat lateks. Dimana perlakuan klon PB 260 (K1)
menghasilkan berat lateks yang lebih tinggi dibandingkan klon IRR 118 (K2). Hal
ini diduga karena jumlah pembuluh lateks PB 260 lebih banyak daripada
pembuluh lateks klon IRR 118. Sehingga mempengaruhi jumlah produksi lateks
diantara keduanya. Hal ini juga didukung oleh Woelan (2013) yang menyatakan
jumlah pembuluh lateks klon IRR seperti IRR 300, IRR 302, IRR 311, IRR 318
dipahami karena biosintesis lateks pada tanaman karet berlangsung pada sel-sel
pembuluh lateks. jumlah dan diameter pembuluh lateks merupakan variabel yang
memiliki korelasi positif dengan potensi produksi lateks. Selain itu perbedaan
kualitas penyadap memiliki peranan penting dalam menghasilkan jumlah lateks
yang baik serta kontinuitas yang juga diduga dapat mempengaruhi kualitas kulit
sadapan pada jangka panjang jika tidak dilakukan dengan benar dapat
mengakibatkan kering alur sadap. Hal ini sesuai dengan Purwaningrum, et al
(2016) yang menyatakan bahwa setiap klon memiliki karakter fisiologi yang
berbeda sehingga diperlukan sistem sadap (penggalian produksi) yang berbeda
pula. Penyadapan yang tidak berdasarkan tipelogi klonal akan menyebabkan
terjadinya penyadapan yang berlebihan (over exploitation) atau kekurangan
intensitas eksploitasi (under exploitation). Kesalahan dalam penyadapan akan
membawa akibat yang sangat merugikan baik bagi pohon itu sendiri maupun bagi
produksinya. Hal ini akan menyebabkan pemborosan pemakaian dan kerusakan
kulit yang akan berdampak pada pemendekan umur ekonomis tanaman,
penurunan produksi sehingga mengakibatkan kerugian perusahaan.
Perlakuan klon tanaman karet terhadap pemberian stimulan berpengaruh
sangat nyata terhadap produksi lateks. Dimana perlakuan klon IRR 118
(K2)menghasilkan produksi lateks yang lebih rendah dibandingkan klon PB 260
(K1). Hal ini diduga dipengaruhi oleh rataan panjang alur sadap klon IRR 118
yang lebih kecil dengan rataan 26,55 cm daripada klon PB 260 yaitu sebesar
29,28 cm. Woelan (2013) menyatakan bahwa panjang alur sadap memiliki
pengaruh positif terhadap hasil lateks pada klon-klon berproduksi tinggi. Semakin
sehingga akan berpengaruh terhadap lateks yang dihasilkan. Dengan demikian,
klon yang ideal adalah klon yang memiliki lilit batang besar dengan jumlah
pembuluh yang banyak dan diameter pembuluh lateks yang besar. Selain itu
perbedaan karakter fisiologi diantara keduanya juga diduga turut mempengaruhi
produksi kedua klon, dimana klon PB 260 (K1) merupakan klon metabolisme
tinggi yang memiliki sifat sebagai penghasil lateks sedangkan klon IRR 118 (K2)
merupakan klon metabolisme tinggi yang memiliki sifat sebagai penghasil lateks
dan kayu. Sehingga klon PB 260 (K1) menghasilkan lateks lebih tinggi
dibandingkan dengan klon IRR 118 (K2). Hal ini sesuai dengan Aidi dan Daslin
(2014) yang menyatakan sejalan dengan berkembangnya industri kayu karet,
sasaran program pemuliaan tidak hanya menghasilkan klon unggul yang memiliki
potensi hasil lateks tinggi tetapi juga produksi kayu yang tinggi. Penelitian untuk
menghasilkan klon-klon karet unggul baru telah memperlihatkan kemajuan yang
signifikan dalam hal peningkatan potensi produksi, pemendekan masa tanaman
belum menghasilkan dan peningkatan potensi biomassa kayu. Kegiatan pemuliaan
karet sudah berjalan selama empat generasi (1910-2010) dan pada generasi
keempat telah menghasilkan beberapa klon unggul dengan produktivitas yang
tinggi sebagai penghasil lateks dan kayu, yang terdiri atas klon IRR 107, IRR
112, IRR 118 dan IRR 119.
Perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang berpengaruh tidak nyata terhadap
pisang (S3) dan stimulan ekstrak 200 gram kulit pisang (S4). Hal ini sesuai
dengan Sinamo, et al (2015) yang menyatakan perlakuan stimulan ekstrak kulit
buah pisang dengan konsentrasi 100 gram kulit pisang dengan 300 ml aquades
menunjukkan volume lateks lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa stimulan.
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian stimulan ekstrak kulit buah pisang dapat
meningkatkan pruduksi lateks pada tanaman karet. Etilen terbentuk dalam buah
yang sudah mengalami pematangan. Macam-macam hasil tanaman dengan
konsentrasi etilen pada stadium pertumbuhan/perkembangan berbeda, kandungan
etilen pada buah pisang 0,2-50 ppm. Pematangan terjadi dengan perubahan warna
pada kulit buah. Ini menunjukkan bahwa kandungan hormon etilen sangat banyak
terdapat pada kulit buah yang dapat memacu metabolisme lateks (Winarno dan
Aman, 1979). Maka ekstrak kulit buah pisang tidak hanya sebagai limbah organik
tetapi dapat dimanfaatkan dalam peningkatan produksi lateks pada tanaman karet.
Perlakuan stimulan 100 gram kulit buah pisang (S2) menunjukkan berat
lateks lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa stimulan (S0) walaupun belum
memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Hal ini juga tampak pada parameter
total produksi pada tanaman karet yang digunakan,dimana pemberian stimulan
ekstrak kulit buah pisang dapat meningkatkan pruduksi lateks pada tanaman karet.
Hal ini dikarenakan terdapatnya senyawa ethepon dalam kulit pisang yang dapat
memicu peningkatan produksi lateks. Stimulan saat ini merupakan salah satu
teknologi yang sedang berkembang penggunaannya. Dimana pada umumnya
perkebunan negara menggunakan stimulan dalam proses budidaya dan pemanenan
getah karet. Hal ini sesuai dengan Rouf, et al (2015) yang menyatakan penerapan
perkebunan karet. Ada dua jenis stimulan yang dapat dipilih, yaitu stimulan cair
atau gas. Kedua jenis stimulan ini dapat meningkatkan produksi lateks. Bahan
aktif stimulan cair adalah etefon (2-chloro ethyl phosphonic acid) yang akan
menghasilkan gas etilen, sedangkan stimulan gas adalah gas etilen.
Dari hasil percobaan perlakuan stimulan ekstrak kulit pisang dalam
berbagai konsentrasi yang diaplikasikan pada dua klon quick starter didapati
bahwa parameter berat mengalami penurunan pada panen 2 dan panen 3. Hal ini
disebabkan oleh usia dari kedua klon yaitu PB 260 dan IRR 118 yang masih
tergolong muda (8 tahun) sehingga respon pemberian belum stimulan belum
optimal, selain itu iklim pada saat musim kemarau (Januari – April 2016) turut
mempengaruhi kondisi tanaman karet. Iklim kemarau mengakibatkan tanaman
karet memasuki masa gugur daun, sehingga produksi menjadi menurun. Hal ini
sesuai dengan Ardika, et al (2011) yang menyatakan bahwa curah hujan
berpengaruh terhadap ketersediaan air tanah. Pada waktu musim kemarau curah
hujan menurun sehingga air menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman
karet. Dengan adanya keterbatasan air pada waktu musim kemarau tersebut
tanaman karet melakukan adaptasi untuk mengurangi transpirasi dengan cara
menggugurkan daunnya. Beberapa jenis klon karet memiliki tipe yang
berbeda-beda dalam menggugurkan daunnya karena adanya defisit air dalam tanah, yaitu
klon karet yang serentak maupun yang bertahap dalam menggugurkan daunnya
makanan yang digunakan untuk pembentukan lateks menjadi berkurang dan
berdampak pada turunnya produksi (Thomas dan Boerhendhy, 1988 dalam
Ardika, et al 2011).
Perlakuan stimulan ekstrak 100 gram kulit pisang menunjukkan hasil yang
lebih tinggi dibandingkan semua perlakuan termasuk perlakuan tanpa stimulan
walaupun belum menunjukkan hasil yang siginifikan. Hal ini diduga karena
kondisi tanaman yang telah memasuki fase gugur daun yang mengganggu proses
transpirasi tanaman. Ardika et al,(2011) menyatakan bahwa pada musim kemarau
klon PB 260 menggugurkan daun lebih dahulu dibandingkan dengan klon lainnya
dan klon GT 1 merupakan klon yang paling terakhir dalam menggugurkan
daunnya. Kondisi gugur daun klon PB 260 terlihat cukup panjang dibandingkan
dengan klon lainnya sehingga membuat produksinya menjadi paling rendah
dibandingkan dengan klon lain pada bulan Mei hingga September. Selain itu
karena klon PB 260 (K1) dan klon IRR 118 merupakan klon quick starter atau
metabolisme tinggi. Mekanisme kerja stimulan gas etilen hampir sama dengan
etefon. Perbedaannya adalah pada stimulan etefon bahan aktif terhidrolisis dalam
jaringan tanaman menghasilkan gas etilen, sedangkan pada stimulan gas langsung
diberikan dalam bentuk gas etilen. Beberapa hasil pengujian menunjukkan
bahwa stimulan gas lebih tepat digunakan pada klon slow starter (SS) yang sudah
dewasa dengan irisan ke arah atas pada kulit perawan. Respons tanaman karet
terhadap intensitas eksploitasi umumnya berbeda pada setiap klon dan variasi
musiman, sehingga peningkatan intensitas eksploitasi harus mempertimbangkan
Perlakuan stimulan 100 gram ekstrak kulit pisang (S2) pada klon PB 260
(K1) di dalam waktu aplikasi pertama (A1) merupakan perlakuan yang
menunjukkan berat lateks tertinggi dibandingkan semua perlakuan. Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan stimulan 100 gram ekstrak kulit pisang (S2)
memberikan harapan dalam meningkatkan produksi lateks walaupun belum
memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Hal ini diduga karena stimulan tidak
terserap sempurna oleh batang tanaman karet sehingga belum mampu
meningkatkan produksi lateks secara nyata, hal ini didukung oleh literatur
Wulandari et al, (2015) yang menyatakan pemberian stimulan etefon 0,3- 1,2 cc
pohon-1 dengan menggunakan teknik bark application berpengaruh tidak nyata
terhadap parameter pengamatan laju aliran lateks, volume lateks dan kadar karet
kering. Pemberian stimulan ethephon dengan teknik bark application pada
tanaman karet diduga tidak terserap sempurna ke dalam jaringan batang sehingga
mekanisme kerja stimulan ethephon dalam sistem fisioligis belum berlangsung
optimal. Namun secara keseluruhan perlakuan stimulan kulit pisang mampu
meningkatkan produksi lateks, kandungan etilen pada ekstrak kulit buah pisang
menunjukkan bahwa pemberian stimulan tersebut dapat meningkatkan produksi
lateks pada tanaman karet yang memicu pada kenaikan produksi dari tanaman
karet. Hal ini didukung oleh hasil penelitian pendahuluan yang diketahui bahwa
ekstrak kulit buah pisang mengandung 0,2% etilen (Charloq et.al, 2015), yang
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Waktu aplikasi yang berbeda dalam menggunakan stimulan ekstrak kulit
pisang di bawah bidang sadap pada tanaman karet Quick Starter, berbeda
nyata dalam menghasilkan produksi lateks.
2. Tanaman karet Quick Starter klon PB 260 yang diaplikasikan stimulan
ekstrak kulit pisang di bawah bidang sadap, berbeda nyata dengan klon
IRR 118 dalam menghasilkan produksi lateks pada waktu aplikasi yang
berbeda.
3. Pemberian stimulan ekstrak kulit pisang padatanaman karet klon Quick
Starter di bawah bidang sadap dalam waktu aplikasi yang berbeda
berpengaruh tidak nyata dalam meningkatkan produksi lateks.
Saran
1. Stimulan 100 gram kulit pisang dapat menjadi alternatif stimulan bagi
tanaman karet klon PB 260 pada waktu tanaman karet akan memasuki fase
gugur daun (musim kemarau).
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan waktu aplikasi
klon Quick Starter di bawah bidang sadap pada awalatau menjelang
musim penghujan untuk mengetahui kekonsistenan produksi lateks.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan berbagai klon
Quick Starter lainnya atau klonSlow Starter di bawah bidang sadap pada
4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan aplikasi stimulan ekstrak kulit
buah pisang di bawah bidang sadapdengan menggunakan jarak konsentrasi
TINJAUAN PUSTAKA
Klon Tanaman Karet PB 260 dan IRR 118
Klon unggul merupakan salah satu komponen teknologi terpenting yang
secara langsung berperan dalam meningkatkan potensi hasil tanaman. Sejalan
dengan berkembangnya industri kayu karet, sasaran program pemuliaan tidak
hanya menghasilkan klon unggul yang memiliki potensi hasil lateks tinggi tetapi
juga produksi kayu yang tinggi. Penelitian untuk menghasilkan klon-klon karet
unggul baru telah memperlihatkan kemajuan yang signifikan dalam hal
peningkatan potensi produksi, pemendekan masa tanaman belum menghasilkan
dan peningkatan potensi biomassa kayu (Aidi dan Daslin, 2014).
Dalam program pemuliaan karet, kegiatan seleksi dan pengujian klon
dilakukan secara bertahap, mulai dari uji keturunan (progeny test) padapopulasi
semaian hasil persilangan, uji plot promosi, uji pendahuluan, hingga pengujian
lanjutan dan adaptasi. Tahapan pemuliaan tersebut harus dilakukan secara
sistematis dan berkesinambungan. Untuk menggali potensi keunggulan suatu
klon, maka uji adaptasi merupakan tahapan akhir dari siklus seleksi untuk
mengetahui kesesuaian tumbuh klon pada lingkungan dengan ciri-ciri khusus
maupun kemampuan adaptasi pada lingkungan yang lebih luas
(Aidi,et al. 2015).
Klon karet anjuran komersial untuk penanaman skala luas tahun
2010-2014 dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: a) klon penghasil lateks dan b)
Tabel 1. Klon karet anjuran komersial tahun 2010-2014
Uraian Jenis klon
1. Klon penghasil lateks IRR 104, , IRR 112, IRR 118, IRR 220, BPM 24, PB 260, PB 330 dan PB 340.
2. Klon penghasil lateks-kayu RRIC 100, IRR 5, IRR 39, IRR 42, IRR 107 dan IRR 119
Sumber :Balai Penelitian Sembawa – Pusat Penelitian Karet. 2011
Penelitian untuk menghasilkan klon-klon karet unggul baru telah
memperlihatkan kemajuan yang signifikan dalam hal peningkatan potensi
produksi, pemendekan masa tanaman belum menghasilkan dan peningkatan
potensi biomassa kayu. Kegiatan pemuliaan karet sudah berjalan selama empat
generasi (1910-2010) dan pada generasi keempat telah menghasilkan beberapa
klon unggul dengan produktivitas yang tinggi sebagai penghasil lateks dan kayu,
yang terdiri atas klon IRR 107, IRR 112, IRR 118 dan IRR 119
(Aidi dan Daslin, 2014).
Klon PB 260 merupakan klon anjuran komersial penghasil lateks. Klon
PB 260 tergolong tahan terhadap penyakit daun utama yaitu Corynespora,
Colletotrichum dan Oidium. Karakteristik klon PB 260 adalah pertumbuhan lilit
batang pada saat tanaman belum menghasilkan sedang. Potensi produksi lateks
klon PB 260 cukup tinggi yakni berkisar antara 1,5 – 2 ton/ha/tahun. Lateks
berwarna putih kekuningan. Lateks pada umumnya diolah dalam bentuk sheet
Lateks
Lateks adalah cairan bewarna putih susu yang merupakan sistem koloid
yang kompleks yang terdiri dari partikel – partikel karet dan partikel bukan karet.
Sebelum terkontaminasi atau tercampur dengan bahan – bahan lain lateks
mempunyai pH normal, yaitu 6,9 – 7,0 cair dan bersifat koloid yang stabil. Lateks
merupakan salah satu bahan baku yang digunakan untuk pembuatan benang karet,
sebelum lateks digunakan dalam proses produksi, lateks tersebut terlebih dahulu
dipekatkan dan disebut lateks pekat (Dalimunte, 2009).
Komposisi kimia lateks hevea segar secara garis besar adalah 25 – 40 %
karet dan 60 – 75 % merupkan bahan bukan karet. Kandungan bukan karet ini
selain air adalah protein (globulin dan havein), karbohidrat (sukrosa, glukosa,
galaktosa dan fruktosa), lipida (gliserida, sterol dan fosfolipida). Komposisi ini
bervariasi tergantung pada jenis tanaman, umur tanaman, musim,sistem deres dan
penggunaan stimulan (Harahap, 2008).
Faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas lateks ialah :
1) Iklim
Musim hujan akan mendorong terjadinya prokoagulasi, sedangkan musim
kemarau akan mengakibatkan keadaan lateks menjadi tidak stabil.
2) Alat – alat yang digunakan dalam pengumpulan dan pengangkutan (baik
yang terbuat dari aluminium maupun yang terbuat dari baja tahan karat).
Peralatan yang digunakan harus dijaga kebersihannya agar kualitas lateks
3) Pengaruh pH.
Perubahan pH dapat terjadi dengan penambahan asam, basa atau karena
penambahan elektrolit. Dengan penurunan pH maka akan mengganggu
kestabilan atau kemantapan lateks akibatnya lateks akan menggumpal.
4) Pengaruh Jasad Renik
Setelah lateks keluar dari pohon, lateks itu akan segera tercemar oleh jasad
renik yang berasal dari udara luar atau dari peralatan yang digunakan. Jasad
renik tersebut mula – mula akan menyerang karbohidrat terutama gula yang
terdapat dalam serum dan menghasilkan asam lemak yang mudah menguap
(asam eteris). Terbentuknya asam lemak eteris ini secara perlahan – lahan
akan menurunkan pH lateks akibatnya lateks akan menggumpal. Sehingga
makin tinggi jumlah asam – asam lemak eteris, semakin buruk kualitas
lateks.
5) Pengaruh Mekanis
Jika lateks sering tergoncang akan dapat mengganggu gerakan Brown dalam
sistem koloid lateks, sehingga partikel mungkin akan bertubrukan satu sama
lain. Tubrukan – tubrukan tersebut dapat menyebabkan terpecahnya lapisan
pelindung dan akan mengakibatkan penggumpalan. (Purbaya et al, 2008)
Stimulan Etilen
bahan aktif ethepon dalam campuran, serta cara dan frekuensi aplikasi stimulan
(Webster and Baulkwill, 1989; Junaidi, et al. 2014).
Stimulan yang umum digunakan di perkebunan seluruh dunia ialah
stimulan dengan merek dagang Ethrel 480 SL dengan rumus molekul Ethylene
C2H4. Stimulan Ethrel 480 SL berbahan aktif etefon 480 g/l. Stimulan ini juga
merupakan zat pengatur tumbuh yang digunakan pada tanaman apel, kedelai,
kopi, nenas, padi sawah, pisang, tembakau dan juga sebagai perangsang lateks
pada tanaman karet (Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian, 2014).
Tanaman karet rentan terhadap penyakit kering alur sadap maka
pengendalian penyakit ini dilakukan dengan menghindari penyadapan yang terlalu
sering dan mengurangi pemakaian Ethepon terutama pada klon yang rentan
terhadap kering alur sadap yaitu BPM 1, PB 235, PB 260, PB 330, PR 261 dan
RRIC 100. Bila terjadi penurunan kadar karet kering yang terus menerus pada
lateks yang dipungut serta peningkatan jumlah pohon yang terkena kering alur
sadap sampai 10% pada seluruh areal, maka penyadapan diturunkan intensitasnya
dari 1/2S d/2 menjadi 1/2S d/3 atau 1/2S d/4 dan penggunaan ethepon dikurangi
atau dihentikan untuk mencegah agar pohon‐pohon lainnya tidak mengalami
kering alur sadap. Penyadapan dapat dilanjutkan di bawah kulit yang kering atau
di panel lainnya yang sehat dengan intensitas rendah (1/2S d/3 atau 1/2S d/4).
Hindari penggunaan ethepon pada pohon yang kena kekeringan alur sadap. Pohon
yang mengalami kekeringan alur sadap perlu diberikan pupuk ekstra untuk
mempercepat pemulihan kulit (Anwar, 2001).
Pemberian dosis stimulan etefon harus disertai dengan teknik aplikasi