• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di Sumatera Utara 1947-1950

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di Sumatera Utara 1947-1950"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

OEANG REPUBLIK INDONESIA DAERAH (ORIDA) DI

SUMATERA UTARA 1947-1950

SKRIPSI

O

L

E

H

JAN BRUANA NAINGGOLAN

NIM: 110706045

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang munculnya berbagai macam Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di Sumatera Utara pada tahun 1947-1950. Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, peneliti menggunakan studi arsip dan studi kepustakaan (library research). Proses pelaksanaan metode ini dengan mencari, menelaah, dan mengumpulkan arsip-arsip di Gedung Arsip Nasional Jakarta, serta mencari buku-buku di berbagai perpustakaan yang berhubungan tentang kebijakan moneter Pemerintah Indonesia dan Pemerintahan Daerah di Provinsi Sumatera Utara pada masa revolusi kemerdekaan.

Rencana penelitian tentang Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang pencetakan, jenis pecahan, daerah yang mencetak, serta akhir berlakunya berbagai ORIDA di Sumatera Utara. Kebijakan pencetakan uang daerah di Sumatera Utara memiliki catatan sejarah penting di masa revolusi kemerdekaan Indonesia, uang daerah berfungsi sebagai petunjuk kedaulatan negara, motor perjuangan dalam pembiayaan perang, serta menjaga keberlanjutan ekonomi daerah yang terisolasi akibat aksi pendudukan dan polisionil pasukan Sekutu, NICA, dan Belanda di berbagai daerah di Indonesia. Sumatera Utara yang terdapat kota pusat pemerintahan Provinsi Sumatera (Medan dan Pematang Siantar) menjadi daerah pertama pencetakan ORIDA. Seiring dengan agresi militer yang dilancarkan Belanda, pencetakan uang dilakukan di berbagai daerah guna menunjang pembiayaan perang dan keberlanjutan perputaran ekonomi daerah. Dengan terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1950, dilakukan kebijakan penyeragaman dengan pengeluaran kebijakan penarikan berbagai jenis ORIDA dan mata uang lainnya yang masih beredar.

Hasil dari penelitian ini akan diketahui latarbelakang pencetakan ORIDA di berbagai daerah di Sumatera Utara, jenis pecahan uang, daerah yang mencetak, serta bagaimana akhir berlakunya ORIDA di Sumatera Utara.

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih

dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh proses penulisan

skripsi ini dengan baik, mulai dari proses pengumpulan data, verifikasi, interpretasi,

hingga penulisan. Sukacita dan damai sejahtera dari Allah Bapa Yang Maha Kuasa

selalu beserta kita dalam setiap aktivitas kehidupan.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh

gelar sarjana pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera

Utara. Dalam hal ini, penulis mencoba mengangkat sebuah fenomena sejarah tetang

pencetakan dan pemberlakuan berbagai jenis uang daerah di Sumatera Utara.

Penulisan fenomena bersejarah itu penulis tuangkan dalam sebuah skripsi berjudul

“Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di Sumatera Utara 1947-1950”.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca

untuk perbaikan skripsi ini nantinya. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini

memberi manfaat bagi kita semua. Amin…

Medan, Juli 2015

Penulis

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulisan skripsi ini tidak akan terlaksana dan selesai tanpa bantuan,

dorongan, layanan, dan semangat baik materi maupun moril dari berbagai pihak.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima

kasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya,

kepada Pembantu Dekan beserta seluruh staf pegawai Fakultas Ilmu

Budaya USU.

2. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya USU yang telah banyak memberikan masukan dan

motivasi kepada penulis dalam proses pencarian dan pengumpulan

data-data yang penulis butuhkan, juga kepada Ibu Nurhabsyah, M.Si selaku

Sekretaris Departemen Sejarah yang membantu kelancaran penyelesaian

skripsi ini.

3. Seluruh staf pengajar Departemen Sejarah FIB USU yang telah memberi

penulis banyak pengetahuan, pengalaman, dan pencerahan, selama penulis

menjadi mahasiswa di Departemen Sejarah FIB USU. Juga kepada Bang

Ampera selaku staf administrasi Departemen Sejarah yang membantu

(9)

4. Bank Indonesia Pusat Jakarta dan Museum Bank Indonesia Jakarta,

terkhusus kepada bagian kesejarahan Bank Indonesia, Mas Devid

Wirawibowo. Terima kasih atas bantuan data serta masukannya kepada

penulis dalam mencari data yang penulis butuhkan untuk penyelesaian

skripsi ini.

5. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas Sumatera Utara,

Perpustakaan T. Lukman Sinar, Perpustakaan Kota Pematang Siantar,

Museum Perjuangan Kota Medan, Museum BCA Jakarta, dan Museum

Negeri Sumatera Utara.

6. Kedua orang tua penulis, ayahanda J. Nainggolan dan ibunda L.

Simarmata yang dengan penuh perhatian dan kasih sayang mendukung

penulis dalam mejalankan penelitian ini. Dengan dukungan moral dan

moril dari kedua orang tua penulis ini lah sehingga penelitian ini dapat

terselesaikan.

7. Kakak dan adik-adik penulis, kakanda Lorica Devi Nainggolan, adinda

Meandika Nainggolan, Reskia Sari Nainggolan, dan Juan Prihanda

Nainggolan. Terima kasih atas motivasi dan perhatiannya kepada penulis

dalam menempuh studi dan proses penyelesaian penulisan skripsi, juga

kepada Oppung K. Saragih yang turut memberi motivasi dan moril dalam

(10)

8. Ibu Dra. Sri Pangestri Dewi Murni, M.A selaku pembimbing skripsi

penulis, terima kasih atas segala arahan, bimbingan, dan masukan dalam

penulisan skripsi ini. Saran dan kritik Ibu sangat berperan menunutun

penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

9. Ibu Dra. Ratna M.S dan Dra. Haswita, MSP, yang telah banyak memberi

bantuan buku dan literatur yang sangat bermanfaat bagi penulis.

10.Rekan-rekan stambuk 2011 Ilmu Sejarah, Alexander, Josia, Vennica,

Devi, Junedi, Kiki, Suhariadi, Mustika, Zahra, Winarti, Dores, serta

teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sampaikan satu per satu,

atas dukungan dan dorongan kepada penulis selama menempuh studi

hingga saat ini.

Akhirnya dengan rasa sukacita, penulis mengucapkan terima kasih banyak atas segala

konstribusi yang diberikan oleh semua pihak, baik yang telah disebutkan maupun

yang belum akibat keterbatasan. Semoga kebaikan saudara-saudariku dapat dibalas

oleh Tuhan Yang Maha Esa. Amin..

Medan, Juli 2015

Penulis

Jan B. Nainggolan

(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN KETUA DEPARTEMEN

LEMBAR PENGESAHAN DEKAN DAN PANITIA UJIAN

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR SINGKATAN ... vii

ABSTRAK ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.4 Tinjauan Pustaka ... 7

1.5 Metode Penelitian………... 10

BAB II FUNGSI UANG DAN KEADAAN EKONOMI AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA 2.1 Sekilas Peranan Uang Dalam Masyarakat dan Negara ... 13

2.2 Kondisi Keuangan dan Ekonomi Indonesia awal Kemerdekaaan ... 17

(12)

BAB III KONDISI POLITIK DAN EKONOMI SUMATERA UTARA

HINGGA TAHUN 1947

3.1 Perkembangan Pemerintahan Republik Indonesia di

Sumatera Utara ... 34

3.2 Keadaan Ekonomi dan Keuangan di Sumatera Utara

hingga Tahun 1947 ... 43

3.3 Kebutuhan Pendanaan Pemerintahan dan Alat Tukar

Yang Sah ... 49

BAB IV UPAYA PENCETAKAN DAN PEREDARAN ORIDA

DI SUMATERA UTARA

4.1Upaya Pencetakan Oeang Republik Indonesia Pulau

Sumatera (ORIPS) ... 54

4.2 Munculnya Berbagai Jenis Uang Daerah Di Sumatera Utara ... 57

4.2.1 Pencetakan Berbagai Uang Daerah di

Keresidenan Tapanuli... 57

4.2.2 Pencetakan Berbagai Uang Daerah di Keresidenan

Sumatera Timur ... 61

2.1 Akhir Berlakunya ORIDA ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 76

5.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA……….. 81

(13)

DAFTAR SINGKATAN

AFNEI : Allied Forces Nederland East Indie

(Angkatan Perang sekutu Hindia Timur)

ANRI : Arsip Nasional Republik Indonesia

ARNAS : Arsip Nasional

BDNI : Bank Dangang Nasional Indonesia

BKR : Badan Keamanan Rakyat

BNI : Bank Negara Indonesia

DPD-TA : Dewan Pertahanan Daerah-Tapanuli

BRI : Bank Rakyat Indonesia

DJB : De Javasche Bank (Bank Jawa)

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

ERRI : Ekonomi Rakyat Republik Indonesia

f. : Gulden (Mata Uang Belanda)

FKI : Fonds Kemerdekaan Indonesia

HVS : Houtvrij Schrijfpapire (Kertas Bebas Kayu)

KMB : Konferensi Meja Bundar

KND : Komite Nasional Daerah

KNI : Komite Nasional Indonesia

KOMPEMPUS : Komisariat Pemerintah Pusat Sumatera

NICA : Netherlands Indies Civil Administration

(14)

NIMEF : Nederlands-indische Metaalwaren en Emballage Fabriken

(Pabrik Metal Kemasan Hindia Belanda)

ORI : Oeang Republik Indonesia

ORIDA : Oeang Republik Indonesia Daerah

ORIPS : Oeang Republik Indonesia Pulau Sumatera

URIPSU : Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera Utara

ORIST : Oeang Republik Indonesia Sumatera Timur

ORITA : Oeang Republik Indonesia Tapanuli

ORIN : Oeang Republik Indonesia Nias

ORLAB : Oeang Republik Indonesia Labuhan Batu

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

PMR : Pengawas Makanan Rakyat

PPKI : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

PRS : Pertahanan Rakyat Semesta

P3ST : Pimpinan Persatuan Perjuangan Sumatera Timur

RIS : Republik Indonesia Serikat

RRI : Radio Republik Indonesia

SOB : Staat Van Oorlog en Beleg

(Negara dalam Keadaan Perang dan Pengepungan)

TKR : Tentara keamanan Rakyat

TNI : Tentara Nasional Indonesia

(15)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang munculnya berbagai macam Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di Sumatera Utara pada tahun 1947-1950. Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, peneliti menggunakan studi arsip dan studi kepustakaan (library research). Proses pelaksanaan metode ini dengan mencari, menelaah, dan mengumpulkan arsip-arsip di Gedung Arsip Nasional Jakarta, serta mencari buku-buku di berbagai perpustakaan yang berhubungan tentang kebijakan moneter Pemerintah Indonesia dan Pemerintahan Daerah di Provinsi Sumatera Utara pada masa revolusi kemerdekaan.

Rencana penelitian tentang Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang pencetakan, jenis pecahan, daerah yang mencetak, serta akhir berlakunya berbagai ORIDA di Sumatera Utara. Kebijakan pencetakan uang daerah di Sumatera Utara memiliki catatan sejarah penting di masa revolusi kemerdekaan Indonesia, uang daerah berfungsi sebagai petunjuk kedaulatan negara, motor perjuangan dalam pembiayaan perang, serta menjaga keberlanjutan ekonomi daerah yang terisolasi akibat aksi pendudukan dan polisionil pasukan Sekutu, NICA, dan Belanda di berbagai daerah di Indonesia. Sumatera Utara yang terdapat kota pusat pemerintahan Provinsi Sumatera (Medan dan Pematang Siantar) menjadi daerah pertama pencetakan ORIDA. Seiring dengan agresi militer yang dilancarkan Belanda, pencetakan uang dilakukan di berbagai daerah guna menunjang pembiayaan perang dan keberlanjutan perputaran ekonomi daerah. Dengan terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1950, dilakukan kebijakan penyeragaman dengan pengeluaran kebijakan penarikan berbagai jenis ORIDA dan mata uang lainnya yang masih beredar.

Hasil dari penelitian ini akan diketahui latarbelakang pencetakan ORIDA di berbagai daerah di Sumatera Utara, jenis pecahan uang, daerah yang mencetak, serta bagaimana akhir berlakunya ORIDA di Sumatera Utara.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kehadiran uang1 di suatu daerah merupakan hal yang menarik untuk dikaji,

terutama di suatu negara yang baru memerdekakan diri dari belenggu penjajahan.

Uang pada dasarnya memiliki fungsi sebagai: (1) alat perantara dalam pertukaran, (2)

kesatuan hitung, (3) alat penyimpanan, (4) alat pembayaran yang ditangguhkan.2 Di

bidang politik kehadiran uang menunjukkan kedaulatan suatu negara serta

kemandirian ekonomi, terlebih negara yang baru merdeka tentu membutuhkan uang

dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan. Demikian juga arti penting

kehadiran uang di Indonesia, yang pada tanggal 17 Agustus 1945 baru

memproklamasikan kemerdekaannya.

Pemerintah Republik Indonesia belum sempat melakukan perbaikan ekonomi

dan keuangannya ketika pasukan Sekutu yang juga membonceng Belanda kembali

masuk ke Indonesia di akhir tahun pasca kemerdekaan. Pasukan Sekutu yang awalnya

menyatakan bertugas melucuti tentara Jepang yang telah kalah pada perang “Asia

Pasifik” ternyata berupaya agar Indonesia dijajah kembali oleh Belanda. Sebagai upaya untuk memperbaiki ekonomi dan pembiayaan perang melawan pasukan

1

Uang adalah suatu benda yang diterima masyarakat dapat pergunakan sebagai alat perantara dalam mempermudah proses pertukaran baik dalam pertukaran barang maupun jasa. Lihat Indera Dermawan, Pengantar Uang dan Perbankan,Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992, hlm. 5.

2

(17)

Sekutu, Pemerintah Republik kemudian mengeluarkan kebijakan dengan

mengedarkan Oeang3 Republik Indonesia (ORI). Kebijakan ini kemudian baru dapat

terwujud setelah pemerintahan Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta

akibat aksi teror yang dilancarkan pasukan sekutu di Jakarta.4

ORI yang dikeluarkan pemerintah ternyata tidak mampu disebar ke seluruh

wilayah Indonesia akibat sulitnya pengangkutan dan adanya pendudukan tentara

Sekutu di beberapa daerah. Sebagai upaya dalam pemenuhan kebutuhan uang di

daerah, pemerintah Indonesia kemudian memberikan otoritas kepada masing-masing

daerah untuk mencetak uang sendiri yang kelak disebut dengan Oeang Republik

Indonesia Daerah (ORIDA).5 Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA)

merupakan salah satu kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam mengatasi

keuangan negara dan menjaga kepercayaan rakyat terhadap negara Indonesia di awal

kemerdekaan. Keberadaan ORIDA selain berguna sebagai alat tukar yang sah dari

pemerintah Indonesia, juga berfungsi sebagai upaya menekan peredaran uang infasi

Jepang dan mata uang asing lainnya yang banyak beredar di masyarakat. Uang daerah

ini juga perlambang upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa

yang berdaulat.

3Penulisan kata “Oeang” yang berarti “uang” pada saat ini

sesuai dengan ejaan yang berlaku di Indonesia awal kemerdekaan, ejaan ini disebut ejaan Van Ophuysen. Lihat Parlaungan Ritonga, dkk., Bahasa Indonesia Praktis, Medan: Baritong Jaya, 2011, hlm. 32-33.

4

Oey Beng To, Sejarah kebijakan Moneter Indonesia I (1945-1950), Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1991, hlm. 75-76.

5

(18)

Sumatera Utara merupakan daerah penting di periode awal kemerdekaan,

provinsi yang dibentuk pada tahun 1948 ini meliputi daerah Keresidean Sumatera

Timur, Keresidenan Tapanuli dan Keresidenan Aceh.6 Di daerah ini terdapat Kota

Medan yang sempat menjadi Ibukota Provinsi Sumatera, juga terdapat kota Pematang

Siantar yang pernah menjadi tempat pencetakan ORIDA di Pulau Sumatera.7

Pencetakan dan peredaran uang dilakukan di daerah ini, hingga akhirnya berhenti

akibat Belanda melakukan agresi militer menguasai dan membentuk Negara

Sumatera Timur pada tahun 1947.8

Efek psikologis kaum bangsawan kerajaan di Sumatera Timur akibat

banyaknya keluarga kerajaan yang terbunuh pada “revolusi sosial” menjadi salah satu

faktor terbentuknya Negara Sumatera Timur.9 Pembunuhan kaum bangsawan

kerajaan terjadi karena kaum revolusioner pendukung Republik menganggap kaum

6

Wilayah Sumatera Utara yang menjadi kajian penelitian penulis dalam skripsi ini dibatasi hanya pada 2 keresidenan saja, yaitu yang meliputi Keresidenan Sumatera Timur dan Keresidenan Tapanuli. Provinsi Sumatera Utara terbentuk tahun 1948 melalui Undang-Undang No. 10 tahun 1948, berdasarkan Undang-Undang tersebut wilayah Provinsi Sumatera Utara terdiri atas wilayah Keresidenan Sumatera Timur, Keresidenan Tapanuli, dan Wilayah Aceh.

7

Pencetakan ORIDA di Pematang Siantar dilaksanakan setelah pemindahan ibukota pemerintahan dari Medan ke Pematang Siantar, pemindahan ibukota Provinsi Sumatera dilakukan karena kondisi keamanan kota Medan yang tidak kondusif sebagai pusat pemerintahan. Hal ini muncul

setelah kedatangan tentara sekutu ke kota Medan serta dikeluarkannya sebuah “maklumat” oleh

komando pasukan Sekutu kepada para pemuda revolusi untuk menyerahkan semua senjata hasil sitaan dari tentara Jepang. Kebijakan tentera Sekutu ini mengakibatkan munculnya rasa curiga yang berujung pada bentrok fisik antara pemuda republik dan pasukan Sekutu. Lihat Budi Agustono, Dkk., Sejarah Etnik Simalungun, Tanpa tempat penerbit dan tahun terbit, hlm. 374-375.

8

Mansyur, The Golden Bridge: Jembatan Emas 1945, Medan: Lembaga Sosial Juang ’45 Medan Area, tanpa tahun terbit, hlm. 376-379.

9

(19)

bangsawan menghalangi kemerdekaan dengan mempersiapkan kehadiran Belanda

kembali berkuasa di Sumatera Timur. Kebencian terhadap kaum bangsawan

bertambah dengan adanya hak istimewa tanah bagi para bangsawan dan penduduk

Melayu di Sumatera Timur yang memicu lahirnya kecemburuan etnis non Melayu.

Akibat pembunuhan itu, kaum bangsawan kemudian berpaling mendukung Belanda

menduduki daerah Sumatera Timur bersamaan dengan agresi militer Belanda

pertama. Terbentuknya Negara Sumatera Timur juga dipengaruhi oleh sikap politik

pecah belah Belanda dalam upaya untuk menguasai daerah Sumatera Timur yang

banyak menghasilkan uang dari sektor perkebunan. Terbentuknya Negara Sumatera

Timur tentu mempengaruhi eksistensi ORIDA di daerah tersebut. Percetakan uang di

Pematang Siantar terhenti akibat agresi militer Belanda yang menyerang kota-kota

penting di Sumatera Timur, serta pergantian penguasa di Sumatera Timur membuat

pemenuhan uang pemerintah Republik terganggu.

Oeang Republik Indonesia Daerah di Sumatera Utara memiliki jenis

masing-masing tergantung wilayah penggunaannya. Hal ini terjadi karena pendudukan

berbagai daerah dan pembentukan Negara Sumatera Timur mengakibatkan upaya

peredaran ORI dan ORIDA sulit dilaksanakan, dilain sisi kebutuhan uang untuk

mendanai pemerintahan dan perang melawan Sekutu meningkat. Sebagai upaya

mengatasi kesulitan keuangan, pemerintah kabupaten mengeluarkan kebijakan

pemberlakuan uang daerah masing-masing. Dalam perjalanan penggunaannya,

(20)

wilayah Sumatera Utara. Munculnya berbagai jenis mata uang yang cukup banyak

beredar ini mengakibatkan inflasi yang berpengaruh pada rendahnya nilai uang

tersebut sebagai alat tukar.

Latar belakang kebijakan pemberlakuan ORIDA sebagai alat tukar yang sah

di wilayah Sumatera Utara pada masa perang kemerdekan melawan Belanda

merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Penelitian tentang ORIDA sebelumnya

pernah dilakukan, namun hanya mengkaji tentang makna simbolik pada uang kertas

ORIDA di Sumatera.10 Khusus penelitian tentang latar belakang munculnya ORIDA

serta upaya pencetakannya di Sumatera Utara sampai saat ini belum pernah dikaji,

sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sejarah terkait alat tukar

tersebut.

Penelitian ini diberi judul “Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di

Sumatera Utara 1947-1950”. Pada tahun 1947 merupakan tahun dimulai pencetakan

ORIDA di Pematang Siantar dan mengawali berlakunya uang daerah di Sumatera.

Pematang Siantar menjadi lokasi pencetakan uang daerah seiring dengan pemindahan

Ibukota Provinsi Sumatera dari Medan ke Pematang Siantar setelah terjadinya

pertikaian antara pemuda revolusi dengan tentera sekutu, yang mengakibatkan Medan

tidak kondusif sebagai kota pemerintahan. Kemudian pada tahun 1950 adalah akhir

dari berlakunya ORIDA yang ditandai dengan kebijakan penyeragaman uang dalam

10

Arif Budiman, “Kajian Makna Simbolik Visual Uang Kertas Masa Oeang Republik

(21)

upaya penetapan satu mata uang yang diakui di Indonesia. Kebijakan itu dilakukan

dengan menarik berbagai macam ORI dan ORIDA serta memberlakukan kebijakan

Gunting Syafrudin”, yaitu pengguntingan uang pemerintahan Belanda yang sebelumya berlaku di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Setiap penelitian pasti memiliki masalah yang menjadi landasan dari

penelitian itu. Adapun yang menjadi permasalahan pokok pada penelitian ini adalah

tentang latar belakang pengeluaran ORIDA sebagai alat tukar yang sah di Sumatera

Utara pada tahun 1947-1950. Penjabaran Masalahnya akan dikaji dalam bentuk

pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaima kondisi ekonomi dan keuangan Indonesia Masa Awal

Kemerdekaan?

2. Bagaimana kondisi Politik Ekonomi Sumatera Utara hingga tahun 1947?

3. Apa yang melatarbelakangi upaya pencetakan berbagai macam ORIDA di

Sumatera Utara tahun 1947-1950?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini tentu memiliki manfaat bukan hanya bagi peneliti, namun juga

(22)

1. Menjelaskan kondisi ekonomi Indonesia masa awal kemerdekaan.

2. Menjelaskan kondisi Politik Ekonomi Sumatera Utara hingga tahun

1947.

3. Menjelaskan latarbelakang upaya percetakan berbagai macam ORIDA

di Sumatera Utara tahun 1947-1950.

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menambah referensi dan khasanah penelitian tentang sejarah uang

(sejarah ekonomi) lokal di Indonesia.

2. Untuk masyarakat umum, penelitian ini dapat memberikan penjelasan

tentang sejarah uang lokal (daerah).

3. Aspek praktis yang dapat diharapkan dari penelitian ini ialah dapat

dijadikan sebagai masukan bagi pemerintah untuk menghadirkan

museum uang daerah.

1.4 Tinjauan Pustaka

Informasi terkait latar belakang pengeluaran kebijakan percetakan ORIDA

diperoleh dari berbagai buku. Buku yang pertama ialah buku terbitan Dinas Sejarah

Kodam II Bukit Barisan yang berjudul “Perang kemerdekaan di Sumatera 1945 -1950”. Buku ini banyak menceritakan perjuangan melawan pasukan sekutu yang masuk ke daerah-daerah di Sumatera serta kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera

dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di dalam buku ini sedikit

(23)

mengatasi kesulitan keuangan dengan mengeluarkan uang daerah masing-masing.

Buku ini membantu penulis memperoleh informasi terkait upaya-upaya yang

dilakukan pemerintah di berbagai kabupaten di Sumatera Utara dalam menghadapi

perang dan kesulitan ekonomi.

Buku selanjutnya yang memberikan informasi tentang ORIDA ialah buku

berjudul “Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1959” yang di editori oleh J.D. Parera. Di dalam buku ini secara detail dijelaskan tentang sejarah lahirnya Bank

Indonesia mulai proses nasionalisasi dari De Javasche Bank hingga menjadi bank

sentral di Indonesia. Sejalan dengan pemaparan sejarah Bank Indonesia, buku ini juga

menjelaskan kondisi perekonomian Indonesia awal kemerdekaan serta latar belakang

pengeluaran kebijakan pencetakan uang di Indonesia. Buku ini banyak memberikan

informasi kepada penulis dalam memahami kondisi keuangan dan perbankan

Indonesia pada tahun 1945-1950 yang menjadi bagian penting dalam penulisan

skripsi ini.

Buku karangan Suprayitno yang berjudul, “Mencoba Lagi Menjadi Indonesia,

Dari Federalisme ke Unitarisme: Studi Tentang Negara Sumatera Timur juga

menjadi salah satu sumber informasi penelitian ini. Buku ini berisi tentang kondisi

Sumatera Timur awal kemerdekaan hingga terbentuknya Negara Sumatera Timur

akibat sakit hati para kaum aristokrat kerajaan di Sumatera Timur yang dibunuh pada

(24)

Timur di awal terbentuknya menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri dan

perubahan pemerintahan yang terjadi di dalamnya.

Sumber informasi lain tentang ORIDA adalah buku yang berjudul “Sejarah

Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945-1958)” karangan Oey Beng To. Di dalam

buku ini dijelaskan mengenai kondisi ekonomi dan politik Indonesia awal

kemerdekaan dan upaya pemerintah pada masa itu mengeluarkan kebijakan moneter

dalam hal keuangan untuk perbaikan ekonomi. Buku ini juga menjelaskan kondisi

pemerintahan Indonesia awal kemerdekaan hingga masuknya sekutu yang menguasai

daerah-daerah penting di Indonesia, termasuk Jakarta yang pada awal kermerdekaan

adalah kota pemerintahan Republik Indonesia. Kebijakan “Gunting Syafrudin” yang

menandakan akhir berlakunya ORIDA serta berlakunya satu jenis uang Republik

Indonesia Serikat (RIS) juga menjadi bahasan di dalam buku ini. Buku ini banyak

memberi informasi kepada penulis terkait kebijakan-kebijakan moneter yang

dikeluarkan pemerintah dalam menghadapi masalah ekonomi dan keuangan di

Indonesia pada masa awal dan revolusi kemerdekaan.

Untuk mendukung penelitian ini, perlu dilakukan langkah-langkah teoritis

menggunakan kajian diluar disiplin ilmu sejarah. Untuk itu perlu kiranya memahami

buku karangan Indera Dermawan dalam bukunya,” Pengantar Uang dan Perbankan”.

di dalam buku ini dijelaskan secara lengkap fungsi dan jenis uang serta kaitannnya

(25)

Skripsi yang ditulis oleh Arif Budiman dengan judul “Kajian Makna Simbolik Visual Uang Kertas Masa Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di Sumatera” juga menjadi salah satu sumber informasi dalam penelitian ini. Skripsi ini membahas

makna yang terkandung di dalam gambar yang terdapat pada uang daerah di Pulau

Sumatera. Dalam skripsi ini disinggung sedikit tentang sejarah ORIDA di Sumatera

termasuk salah satunya adalah Uang Republik Indonesia Pulau Sumatera (URIPS).

1.5 Metode Penelitian

Metode menjadi bagian yang wajib dalam setiap penelitian, terutama metode

penelitian. Metode Penelitian merupakan aturan sistematis yang berguna sebagai

proses dalam memperoleh fakta-fakta dan perinsip-perinsip untuk mencari kebenaran

dari permasalahan. Metode yang penulis pergunakan dalam melakukan penelitian ini

adalah metode sejarah. Metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis

secara kritis rekaman dan jejak-jejak peninggalan sejarah.11 Dalam penerapannya,

metode sejarah menggunakan empat tahapan pokok, yaitu heuristik, kritik,

interpretasi, dan historiografi.

Tahap pertama adalah heuristik yakni mengumpulkan sumber-sumber yang

berkaitan dengan permasalahan yang kita teliti. Metode yang penulis lakukan dalam

heuristik adalah studi arsip dan studi pustaka. Studi arsip dilakukan dengan

11

(26)

mengumpulkan sejumlah data-data primer berupa arsip terkait kebijakan dan

peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia, Pemerintah Provinsi Sumatera,

serta pemerintah keresidenan-keresidenan yang ada di Sumatera Utara masa revolusi

kemerdekaan dalam hal pencetakan ORIDA. Untuk mengumpulkan arsip-arsip

tentang ORIDA, penulis mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI),

Museum Negeri Medan, Museum Bank Indonesia Jakarta, Bank Indonesia cabang

Medan dan Bank Indonesia Pusat Jakarta.

Selain studi arsip, dalam heuristik metode yang paling sering digunakan

adalah studi pustaka. Studi pustaka penulis lakukan untuk mengumpulkan

sumber-sumber yang berhubungan dengan penelitian ini baik dalam bentuk buku, skripsi,

tesis, disertasi, jurnal dan lainnya. Untuk mengumpulkan sumber pustaka penulis

mengunjungi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas

Sumatera Utara, Perpustakaan Kota Medan, Perpustakaan T. Lukman Sinar, dan

Perpustakaan Kota Pematang Siantar.

Setelah terkumpul sumber-sumber yang berhubungan dengan penelitian ini,

maka tahapan selanjutnya adalah kritik sumber, baik kritik intern maupun ekstern.

Kritik ekstern dilakukan untuk memilah apakah dokumen itu diperlukan atau tidak

serta menganalisis apakah dukumen yang telah dikumpulkan asli atau tidak dengan

mengamati tulisan, ejaan, jenis kertas serta apakah dokumen tersebut isinya masih

(27)

sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan

kredibilitas sumber atau kebenaran isi dari sumber tersebut.12

Tahapan selanjutnya adalah Interpretasi yaitu memuat analisis dan sintesis

terhadap data yang telah dikritik atau diverifikasi. Tahapan ini dilakukan dengan cara

menafsirkan fakta, membandingkannya untuk diceritakan kembali dalam bentuk

tulisan. Tahapan terakhir dari metode ini adalah historiografi atau penulisan. Tahapan

penulisan dilakukan agar fakta-fakta yang telah ditafsirkan baik secara tematis

maupun kronologis dapat dituliskan. Historiografi merupakan proses mensintesakan

fakta, suatu proses menceritakan rangkaian fakta dalam suatu bentuk tulisan kritis

analitis dan bersifat ilmiah sehingga tahap akhir penulisan ini dapat dituangkan dalam

bentuk skripsi dengan terlebih dahulu menulis rancangan daftar isi skripsi.

12

(28)

BAB II

FUNGSI UANG DAN KEADAAN EKONOMI AWAL KEMERDEKAAN

INDONESIA

2.1 Sekilas Peranan Uang Dalam Masyarakat dan Negara

Kemajuan perekonomian dalam masyarakat mengantarkan pengenalan akan

uang sebagai alat tukar yang dapat diterima menjadi pengukur nilai dan sesuai dengan

barang yang akan dipertukarkan. Pada perekonomian tingkat awal yang sering

ditemukan pada masyarakat yang masih primitif, setiap individu harus berusaha

menghasilkan segala kebutuhan pribadi ataupun sebatas kebutuhan keluarga kecilnya.

Usaha untuk memproduksi sesuatu yang memuaskan bagi orang lain dapat dikatakan

belum ada pada tahapan ini sehingga keberadaan alat tukar masih belum dibutuhkan.

Namun, suatu kenyataan terutama karena faktor alam yang mengakibatkan

suatu jenis barang terdapat banyak pada suatu tempat, namun di tempat lain sangat

jarang ditemukan. Misalnya, di suatu daerah pantai yang ditemukan ikan dalam

jumlah yang besar, sedangkan di daerah pegunungan banyak ditemukan buah-buahan.

Di daerah lainnya, akibat kemampuan khusus dari anggota masyarakatnya ditemukan

periuk dalam jumlah besar, kemudian ada daerah lainnya juga yang banyak

ditemukan pacul. Keadaan yang menunjukkan tidak meratanya barang-barang itu

mengakibatkan munculnya pertukaran secara langsung. Artinya, orang yang

membutuhkan suatu jenis barang yang tidak ada di daerahnya berusaha untuk

(29)

tersebut dalam jumlah besar. Sebagai ganti dari nilai barang tersebut diberikanlah

barang-barang yang banyak terdapat di daerahnya dan yang disukai oleh si pemberi

barang pertama tadi. Sistem pertukaran ini sering kita kenal dengan istilah “barter”.13

Pertukaran barang secara lansung tersebut hanya bisa terjadi bilamana

kedapatan dua orang yang satu membutuhkan barang yang dijumpai oleh orang

kedua, sedangkan orang ini membutuhkan barang yang dijumpai pada orang pertama.

Pertukaran barang secara barter selanjutnya semakin sulit dijalankan bilamana

kebutuhan-kebutuhan sudah beranekaragam macamnya, sebab akan sulit kemudian

ditemukan pertukaran yang cocok dan saling membutuhkan dalam kondisi demikian.

Dengan demikian dapat dipahami, semakin meningkatnya berbagai macam

kebutuhan, maka dibutuhkan adanya suatu alat tukar untuk mempermudah melakukan

pertukaran tersebut. Alat tukar yang mempermudah pertukaran barang itu kemudian

disebut “uang”. Pada mulanya uang dibuat dari barang-barang yang disukai oleh

masyarakat, mungkin karena khasiatnya atau sebab yang lain.14

Uang sebagai alat tukar kemudian berkembang penggunaannya mulai dari

kegiatan pertukaran barang dalam satu kelompok, antar kelompok, hingga antar

negara. Demikian juga halnya dengan benda yang dipergunakan sebagai uang

semakin beranekaragam, mulai menggunakan logam berharga, hingga kertas.15

Seiring kemajuan ekonomi dunia yang semakin pesat sejak berlangsungnya revolusi

13

M. Manullang, Pengantar Teori Ekonomi Moneter, Djakarta: P.D. Aksara, 1969, hlm. 7.

14

Ibid., hlm. 9.

15

(30)

industri di Inggris pada abad ke-18, menyebabkan perdagangan berkembang cepat.

Perkembangan perdangangan tersebut kemudian diikuti dengan permintaan uang

yang semakin tinggi sebagai alat tukar. Kebutuhan akan logam emas dan perak yang

pada masa itu berfungsi sebagai benda pembuat uang juga meningkat, namun

pemenuhan permintaan akan logam mulia tersebut berjalan lambat. Sulitnya logam

mulia sebagai bahan uang logam mengakibatkan semakin banyak negara-negara yang

menggantikan uang logam menjadi uang kertas sebagai alat tukar.16

Fungsi uang selanjutnya bukan hanya sebagai alat tukar namun juga sebagai

alat pengukur nilai dan penimbun kekayaan. Dengan keberadaan uang, masyarakat

dapat dengan mudah memenuhi kebutuhannya karena dapat menggunakan uang

sebagai alat pengukur nilai yang sepadan dengan barang yang dibutuhkan. Uang juga

mempermudah masyarakat dalam menimbun kekayaan yang dimiliki, sebab resiko

yang ditimbulkan lebih kecil dibanding meminjamkan kepada orang lain atau

menginvestasikannya.

Pada suatu negara, uang memiliki peranan penting dalam menjalankan

kegiatan kenegeraan dan proses pembangunan untuk kemakmuran masyarakatnya.

Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk

mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat.17 Untuk mengurusi

16

Kristaniarsi, Usaha Pemerintah Republik Indonesia Mengatasi Masalah Moneter Pada Masa Awal Kemerdekaan (1945-1946), Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 5.

17

(31)

hal tersebut, negara harus mengeluarkan uang sebagaimana kita ketahui bahwa negara

memiliki anggaran penerimaan dan pengeluaran.

Berbeda dengan anggaran rumah tangga (partikulir) yang harus melihat

dahulu berapa penerimaannya baru kemudian ditentukan berapa yang akan

dikeluarkan. Dalam anggaran penerimaan dan pengeluaran negara justru sebaliknya,

negara harus terlebih dahulu menentukan berapa yang akan menjadi pengeluaran agar

usaha yang akan dijalankan pemerintah dapat berjalan sesuai rencana. Setelah semua

hal tersebut dilaksanakan baru kemudian direncanakan berapa pemasukan dalam kas

negara sebagai penerimaannya, supaya penerimaan tersebut dapat menutupi

biaya-biaya pengeluaran pemerintah.18

Dalam perekonomian modern, pada suatu pemerintahan yang struktur

pemerintahannya sudah tertata baik, penguasa negara menetapkan lembaga-lembaga

yang mempunyai wewenang dalam hal pencetakan uang. Hal ini terjadi tidak lain

karena keberadaan uang dianggap mewakili keberadaan negara, sehingga sangatlah

wajar apabila ditetapkan lembaga atas nama negara atau pemerintahan yang

berwenang dalam hal penciptaan uang. Pada umumnya, lembaga ini dikenal sebagai

otoritas moneter atau bank sentral.

Banyak negara saat ini umumnya mempunyai mata uang yang terbuat dari

kertas. Dapat dikatakan juga, uang kertaslah yang lebih banyak dalam peredaran

dibandingkan dengan mata uang lainnya. Hal ini disebabkan karena ongkos

pembuatan uang kertas lebih murah dibanding mata uang logam, selain itu juga

18

(32)

disebabkan kemudahan dalam memperoleh kertas serta membawa ketas dari satu

tempat ke tempat lainnya. Nilai intrinsik pada mata uang kertas selalu lebih rendah

dari nilai nominalnya, sesungguhnya mengapa masyarakat mau menerima mata uang

kertas ini sebagai alat tukar terletak pada kekuasaan yang dimiliki pemerintah.

Masyarakat dapat menerima uang kertas sebagai alat tukar sebab masyarakat percaya

pada pemerintah yang memiliki otoritas dalam hal alat tukar. Karena atas dasar

kepercayaan inilah sehingga ada yang mengatakan bahwa uang kertas sebagai “uang kepercayaan”.19

Sebagai alat tukar dan “uang kepercayaaan”, tentu pencetakan uang kertas harus disesuaikan dengan jumlah kebutuhan yang ada. Semakin besar jumlah uang

yang dicetak akan menimbulkan inflasi20 yang berujung pada penurunan kepercayaan

masyarakat akan nilai uang tersebut, dan demikian sebaliknya. Untuk menjaga jumlah

uang yang beredar sesuai dengan kebutuhan demi mencegah terjadinya inflasi dan

fluktuasi harga, pemerintah kemudian melakukan langkah-langkah moneter dan

kebijakan melalaui bank sentral.

2.2 Kondisi Keuangan dan Ekonomi Indonesia Awal kemerdekaan

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi

langkah baru bagi bangsa ini untuk memulai kehidupan berbangsa dan bernegara

19

M. Manullang, op.cit., hlm. 25-26.

20

(33)

yang merdeka. Kemerdekaan yang baru saja diperoleh bangsa ini ternyata harus

menerima kenyataan pahit akibat kondisi ekonomi pada awal periode ini begitu

buruk, baik secara makro maupun mikro sebagai peninggalan penjajah. Hancurnya

sebagian besar aparat produksi, distribusi, dan jaringan perdagangan internasional

setelah pendudukan Jepang, mengakibatkan kesulitan-kesulitan yang mendalam di

awal periode kemerdekaan.

Kekacauan ekonomi, khususnya masalah keuangan yang telah berlangsung

dari masa perang dunia ke II, semakin parah pada masa pendudukan Jepang dan terus

berlanjut hingga masa awal kemerdekaan Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang,

sistem ekonomi perang yang diterapkan Jepang di Indonesia membutuhkan dana yang

tidak sedikit untuk membiayai kegiatan perang di Asia Pasifik. Sebagai upaya

menutupi devisit anggaran pengeluaran, Pemerintah Militer Jepang kemudian

mengeluarkan uang kertas militer di Indonesia.21 Namun pengeluaran uang ini

ternyata tidak berdasarkan pada jaminan logam mulia dan yang paling

memprihatinkan, pengeluaran uang Jepang tidak diimbangi dengan banyaknya

persediaan barang yang diperdagangkan.22 Pada waktu uang kertas militer tersebut

dikeluarkan, mata uang yang berlaku di Indonesia terdiri dari uang De Javasche Bank

(DJB), Uang kertas Pemerintahan Belanda (muntbilyet), serta uang logam yang di

21

Selama 3 tahun pendudukan Jepang di Indonesia, Jepang telah mengeluarkan tiga jenis mata uang yaitu, Japansche Regeering (menggunakan bahasa Belanda dan Gulden sebagai satuan uang) , Dai Nippon Teikoku Seihu (menggunakan Bahasa Indonesia dan Rupiah sebagai satuan uang), dan uang Pemerintah Dai Nippon. Lihat Bank Indonesia, Pameran Koleksi Uang Bank Indonesia, Museum Artha Suaka. Jakarta pusat: Tanpa penerbit dan tahun terbit, hlm. 20.

22

(34)

keluarkan oleh De Javasche Bank.23 Uang militer Jepang kemudian membanjiri

Indonesia dan mendorong meningkatnya inflasi terutama sejak tahun 1943 hingga

1945. Pada pertengahan tahun 1945 mata uang invasi Jepang bernilai sekitar 2,5%

dari nilai nominalnya.24

Inflasi besar di wilayah Indonesia terbukti dengan perbandingan angka antara

jumlah uang yang beredar dengan jumlah produksi makanan yang terus menurun.

Penurunan produksi makanan itu dipengaruhi secara signifikan oleh kondisi perang

yang mulai terjadi di wilayah indonesia memasuki tahun 1940. Produksi makanan

semakin menurun pada masa pendudukan Jepang, banyak masyarakat direkrut dalam

kepentingan perang dan mengesampingkan masalah pertanian. Jumlah penurunan

produksi makanan di Jawa sejak tahun 1941 sampai 1944 dapat dilihat melalui angka

penurunan produksi makanan Pulau Jawa di bawah ini:

(Jumlah dalam kwintal, 1kwintal=100 kilogram)25

Jumlah produksi makanan di Pulau Jawa tentu membuat keberadaan bahan

makanan sangat terbatas keberadaannya di tengah masyarakat. Terbatasnya jumlah

(35)

kebutuhan yang diinginkan mengakibatkan harga kebutuhan tersebut meningkat di

Pulau Jawa, keadaan itu semakin parah ketika jumlah uang yang beredar sangat

banyak dan memperparah penurunan nilai uang tersebut. Di daerah Jawa, peredaran

uang kertas militer hingga bulan Juli 1943 bertambah sekitar kurang dari 5 juta

Rupiah setiap bulan, pada akhir tahun 1944 bertambah sekitar 50 juta Rupiah setiap

bulan. Pada bulan Maret 1945, jumlah peredaran uang militer Jepang menembus 80

juta Rupiah, dalam bulan Mei bertambah menjadi 117 juta Rupiah, hingga pada bulan

Agustus mencapai 369 juta Rupiah. Jika diperhatikan peredaran uang militer ini

dibandingkan dengan jumlah produksi pangan di Jawa yang terus menurun sejak

tahun 1941 hingga 1944, tentu saja dapat terlihat betapa rendahnya nilai mata uang

tersebut di dalam proses perdagangan.

Keadaaan perekonomian dan keuangan yang sangat kacau kemudian

diperparah lagi dengan kedatangan tentara Sekutu bersama tentara NICA

(Nederlands-Indische Civiele Administratie) pada tanggal 4 Oktober 1945 di Tanjung

Priok, dan pendaratan berikutnya di beberapa daerah pada bulan September 1945.

Kedatangan pasukan ini bertujuan untuk menerima penyerahan pemerintahan dari

Jepang atas wilayah Indonesia. Pendaratan tentara Sekutu ini diikuti dengan

(36)

mengakibatkan wilayah Indonesia secara de facto terbagi atas wilayah Republik

Indonesia dan wilayah pendudukan Belanda.26

Melalui Bank-bank yang berhasil dikuasai tersebut, NICA kemudian

mengedarkan uang cadangan masa pendudukan Jepang di daerah-daerah yang mereka

kuasai dan memicu membengkaknya peredaran uang di Indonesia. Uang Jepang yang

berhasil dikuasai NICA sebesar 2 miliar Rupiah, dengan jumlah itu mereka mencoba

merusak harga pasar dan membayar harga barang jauh lebih tinggi.27 Kedatangan

tentara NICA bukan hanya menghambur-hamburkan uang cadangan masa

pendudukan Jepang, namun juga mengacaukan perekonomian Indonesia dengan

mengeluarkan uang NICA28 yang sebelumnya telah dipersiapkan sebelum memasuki

wilayah Indonesia. Pengeluaran uang NICA terdiri atas 9 pecahan, mulai dari

Terbaginya wilayah tersebut mengakibatkan wilayah kekuasaan Republik Indonesia hanya meliputi wilayah Pulau Jawa, Madura serta Pulau Sumatera. Dalam perjalalanan selanjutnya Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook mengusulkan mengenai kemungkinan penerapan sistem federal di Indonesia dimana Indonesia pada gilirannya akan dibagi atas empat negara bagian yaitu, Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Timur, atau hanya tiga jika Sumatera diakui sebagai bagian dari Republik. Lihat Ba’im, Terbentuk dan Runtuhnya Negara RIS 1945-1950, Tesis Universitas Indonesia: Jakarta, 1996, hlm. 29-30.

27

Departemen Penerangan RI, 20 Tahun Indonesia Merdeka, jilid II, Jakarta, 1968, hlm. 662.

28

Uang NICA disebut juga dengan “uang merah”, hal ini didasarkan pada warna kemerah-merahan yang terdapat pada pecahan f. 10 uang NICA yang banyak beredar masa itu. Lihat Oey Beng To, op.cit., hlm. 18.

(37)

Keadaan ekonomi semakin merosot seiring dengan peredaran berbagai jenis

mata uang di Indonesia. Di lain sisi, pemerintah Indonesia tidak bisa menyatakan

bahwa uang masa pendudukan Jepang tidak berlaku karena pada awal tahun 1945

negara Indonesia belum memiliki uang yang sah sebagai penggantinya. Untuk

mengatasi peredaran berbagai jenis mata uang dan mengurangi dampak inflasi, maka

pada tanggal 3 Oktober 1945 pemerintah mengeluarakan kebijakan melalui

departemen keuangan tentang macam uang yang berlaku di Indonesia, terdiri dari:

”A. uang kertas

1. Dari “De Javasche Bank” dikeluarkan tahun 1925 sampai dengan tahun

1941 terdiri dari 8 macm yaitu:

f. 1.000-, f. 500-, f. 200-, f. 100-, f. 50-, f. 25-, f. 10-, f. 5-.

2. Dari pemerintah Belanda dahulu, yang dikeluarkan pada tahun 1940 dan

1941 terdiri dari dua macam, yaitu:

f. 250-, dan f. 1-.

3. Dari Pemerintah Balatentara Dai Nippon dan Djawa dahulu, terdiri dari

8 macam, yaitu:

f. 100-. f. 10-, f. 5-. f. 1-, f. 0,50-, f. 0,10-, f. 0,05-, dan f. 0,01-.

B. Uang logam

Yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu sebelum tahun 1942:

1. Dari emas seharga f. 10-, dan f. 5-.

2. Dari perak seharga f. 2,50-, f. 1-, f. 0,50-, f. 0,25-, dan f. 0,10-.

3. Dari nikel seharga f. 0,05-.

(38)

Macam uang yang dianggap sah didaerah Republik di luar Jawa akan

ditetapkan dengan undang-undang lain.”30

Pengeluaran maklumat pemerintah tanggal 3 Oktober 1945 sebelumnya

didahului dengan keluarnya maklumat tanggal 2 Oktober 1945 yang menyatakan

bahwa pemerintah Republik Indonesia tidak mengakui uang NICA sebagai uang yang

sah. Peredaran dan penggunaan uang NICA di wilayah yang dikuasai pemerintah

Republik Indonesia kemudian dapat ditekan walau tak bisa dihentikan seluruhnya. Di

daerah yang dikuasai pemerintah Republik Indonesia, peredaran uang NICA memang

dapat dihentikan, namun di daerah yang telah diduduki tentara NICA penggunaan

uang NICA sebagai uang yang sah terus berlanjut, terutama akibat tekanan-tekanan

yang dilakukan tentara sekutu dan NICA yang menyatakan uang NICA adalah uang

yang sah di kalangan masyarakat.

2.2 Upaya Pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI)

Peredaran berbagai jenis mata uang yang memicu inflasi besar-besaran di

Indonesia juga secara langsung telah mempengaruhi kas Negara Republik Indonesia

dimana pada masa awal kemerdekaan berasal dari Fonds Kemerdekaan Indonesia

(FKI).31 Pemerintah Republik kemudian memiliki dua jalan terbuka dalam mengatasi

siasat licik NICA yang telah mengacaukan perekonomian Indonesia. Adapun jalan

pertama dengan mengintensifkan aparat pemungutan pajak dan jalan kedua adalah

30

Departemen Penerangan RI, op.cit., hlm. 660-661.

31

(39)

mencetak uang. Pengintensifan aparat pemungutan pajak di masa awal tahun

kemerdekaan begitu sulit terlaksana akibat kondisi keamanan yang tidak terjamin,

ditambah hubungan kantor-kantor perpajakan di setiap daerah juga terhalang akibat

pendudukan Sekutu.

Upaya pencetakan uang kemudian menjadi perhatian serius bagi pemerintah

untuk menghadapi kekacauan ekonomi. Penjejakan tentang kemungkinan pencetakan

uang akhirnya terjadi dalam pertemuan di kementrian keuangan (Lapangan Banteng)

pada tanggal 24 Oktober 1945. Usaha ke arah pelaksanaan pencetakan uang

selanjutnya segera dilaksanakan oleh Menteri Keuangan yang pada masa itu dijabat

oleh Mr. A.A. Maramis. Sebuah tim kemudian dibentuk yang anggotanya berasal

dari serikat buruh percetakan G. kolff di Jakarta dan juga wakil buruh dari Surabaya.

Tim ini kemudian ditugaskan melakukan peninjauan beberapa percetakan di daerah

Surabaya, Malang, Solo, dan Yogyakarta yang dapat dipercaya dalam pelaksanaan

pencetakan uang.32

Pada tanggal 7 November 1945, Menteri Keuangan A.A. Maramis

membentuk Panitia Penyelenggara Percetakan Uang R.I. yang bertugas untuk

melaksanakan, mengawasi, dan mengamankan proses dan hasil pencetakan uang.

Adapun susunan kepanitiaan ini terdiri dari Ir. R.P. Soerachman sebagai pengawas,

dan T.R.B Sabarudin sebagai ketua panitia, keduanya berasal dari pegawai Kantor

Besar Bank Rakyat Indonesia. Anggota-anggotanya yaitu, H.A. Padelaki (Kementrian

32

(40)

Keuangan), M. Tabrani (Kementian Penerangan), M. Sugiono (Kantor Besar Bank

Rakyat Indonesia), E. Koesnadi (Kas Negara Indonesia), R. Abubakar Winangun

(Kementrian Keuangan), Osman (Pimpinan Serikat Buruh Percetakan Jakarta), Agoes

Soeryatama (Buruh percetakan Jakarta).33

Pada awalnya, Kota Surabaya direncanakan menjadi tempat pencetakan uang

RI berdasarkan hasil penelitian tim awal yang telah dibentuk Mentri Keuangan.

Persiapan kemudian dilaksanakan, bahkan pada tanggal 17 Oktober 1945, Menteri

Keuangan telah membubuhkan tanda tangan pada bahan pencetak uang. Pada awal

bulan November 1945 Panitia Pencetakan Uang RI telah menyiapkan klise yang

dibutuhkan dan direncanakan uang baru akan dikeluarkan pada bulan Januari 1946.

Namun semua persiapan yang telah direncanakan harus dibatalkan akibat

pertempuran besar yang terjadi di Surabaya pada 10 November 1945.

Pertempuran yang terjadi di Kota Surabaya mengakibatkan rencana proses

pencetakan Uang Republik Indonesia tertunda. Surabaya tidak mungkin lagi

dijadikan sebagai tempat pencetakan uang, selanjutnya pilihan jatuh ke Kota Jakarta.

Di kota ini bahan-bahan yang diperlukan untuk pencetakan uang diperoleh dari

berbagai pabrik melalui bantuan para karyawan yang membantu secara sukarela.

Selain itu, ada juga yang diperoleh dengan cara mencuri pada malam hari seperti

33

(41)

mesin aduk pembuat tinta yang diambil dari Pabrik Pieter Choen, dan kertas yang di

ambil dari Percetakan Kolff & Co.34

Upaya pembuatan desain dan bahan-bahan induk berupa negatif-negatif kaca

dilakukan di Percetakan Balai Pustaka serta pembuatan lithoghrafi dilakukan di

Percetakan De Unie.35 Pencetakan Uang Republik Indonesia baru kemudian dimulai

pada bulan Januari 1946 di Percetakan RI Salemba dengan cetakan pertama pecahan

100 Rupiah. Adapun uang yang direncanakan akan dicetak adalah dengan nilai 100

Rupiah, 10 Rupiah, 5 Rupiah, 1 Rupiah, ½ Rupiah, 10 sen, 5 sen, dan 1 sen.

Pada awal Desember 1945 semua kegiatan pencetakan uang Republik harus

dihentikan akibat kondisi Kota Jakarta yang tidak kondusif setelah aksi-aksi profokasi

yang dilakukan tentera NICA. Semua uang hasil cetakan yang belum diberi nomor

seri dan segala alat percetakannya dipindahkan ke Yogyakarta dengan menggunakan

kereta api. Pemindahan tersebut berlangsung secara tiba-tiba agar tidak diketahui oleh

tentera Sekutu. Sesampainya di Yogyakarta, uang hasil cetakan Jakarta yang terdiri

atas pecahan 100 Rupiah, 10 Rupiah dan 5 Rupiah diserahkan pada satu bagian

Kementrian Keuangan di Jalan Malioboro. Adapun sisa uang pecahan yang

direncanakan akan dicetak sebelumnya di Jakarta, belum sempat dilaksanakan akibat

kondisi yang tidak memungkinkan. Pada tanggal 3 Januari 1946 Ibukota

34

Upaya dalam memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam mencetak uang dilakukan dengan cara mencuri karena pabrik-pabrik yang memiliki bahan keperluan pencetakan uang tersebut merupakan pabrik milik Belanda. Pabrik-pabrik tersebut telah dikuasai pasukan Sekutu sejak bulan Oktober 1945.

35

(42)

Pemerintahan Republik Indonesia juga turut dipindahkan ke Yogyakarta akibat

kondisi kota Jakarta yang semakin tidak aman.

Pencetakan uang Republik Indonesia kemudian dilanjutkan di Yogyakarta

dengan mengandalkan Percetakan Canisius dan Percetakan Kolff Yogyakarta.

Percetakan Canisius kemudian bertugas melanjutkan pencetakan ORI pecahan 1

Rupiah, 10 sen, 5 sen, 1 sen, dan penyelesaian uang hasil percetakan RI Jakarta yang

belum bernomor seri. Sedangkan di percetakan Kolff Yogyakarta dilakukan

pencetakan ORI pecahan 100 Rupiah dibawah pimpinan Marsidi. Pencetakan ORI

juga dilakukan di Percetakan Gading Surakarta di bawah pimpinan Soedarbo dan

Soekijo.36

Akibat keadaan yang semakin genting, pencetakan ORI juga dilaksanakan di

percetakan NIMEF (Nederlands-indische Metaalwaren en Emballage Fabriken)

Kedalpayak, Malang. Percetakan ORI di daerah ini mendapat bantuan kertas dari

Serikat Buruh Kertas Padalarang yang dipimpin Amat Sumadisastra. Kertas ini

diperoleh dari Pabrik Kertas Leces di Probolinggo sebelum pabrik tersebut dikuasai

tentera Sekutu. Bahan-bahan kimia untuk mencetak uang kemudian didatangkan dari

Jakarta, selain itu juga ada yang diperoleh dari dr. Mustafa Zakir yang bekerja

sebagai dokter perusahaan gula di Kediri dan dari beberapa pabrik gula di Jawa

Timur. Dalam segala kesulitan terkait pencetakan Uang Republik Indonesia, hal-hal

yang berkaitan tentang rencana pengeluaran uang tersebut sangat dirahasiakan agar

tidak diketahui tentara NICA yang siap menggagalkan upaya pencetakan ORI.

36

(43)

Demikian juga halnya kepada masyarakat, hal-hal yang berkaitan dengan rencana

pengeluaran uang juga dirahasiakan agar tidak terjadi kegaduhan ekonomi akibat

kebingungan masyarakat dengan munculnya jenis uang baru.

Sebelum ORI diedarkan di masyarakat, pemerintah harus menarik semua uang

Jepang dan uang Belanda dari peredaran, namun penarikan berbagai jenis uang yang

beredar tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba dan dengan menyatakan uang tersebut

tidak berlaku lagi, hal ini guna menghindari kerugian besar yang akan dialami

masyarakat jika kebijakan demikian dilaksanakan. Untuk itu, sebagai kebijakan

pertama dari pemerintah, pada tanggal 9 Mei 1946 Presiden Soekarno mengeluarkan

Undang-undang No. 4 Tahun 1946 tentang Pinjaman Nasional. Dalam kebijakan ini

diharapkan masyarakat mau meminjamkan uang kepada pemerintahan negara yang

diakuinya dengan sukarela dan tanpa paksaan, pinjaman ini akan dibayarkan kembali

kepada masyarakat selambat-lambatnya 40 tahun dengan bunga uang 4% per tahun.37

Jumlah pinjaman uang yang diperoleh dari kebijakan Pinjaman Nasional ini

berkisar 1 miliar Rupiah, dimana pinjaman pertama dilaksanakan di Pulau Jawa dan

Madura sebesar 500 juta Rupiah, dan tahap berikutnya di Pulau Sumatera. Uang hasil

pinjaman tersebut akan dipergunakan untuk menutupi anggaran belanja pemerintah

pada bulan Juni dan Juli 1946, serta menjadi modal dasar pendirian Pusat Bank

Nasional Indonesia yang kemudian berdiri pada tanggal 19 September 1946 dan

direncanakan menjadi bank sirkulasi Negara Republik Indonesia. Bank ini baru

kemudian resmi dibuka pada tanggal 17 Agustus 1946 melalui peraturan pemerintah

37

(44)

pengganti undang-undang No. 2 tanggal 5 Juli 1946 dengan nama Bank Negara

Indonesia (BNI). BNI kemudian bersama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI)

menjadi ujung tombak penjualan obligasi dalam rangka kebijakan Pinjaman Nasional

di setiap daerah. Kebijakan Pinjaman Nasional ini mendapat sambutan hangat dari

masyarakat, terbukti setelah kebijakan ini dibuka tanggal 15 Mei 1945 dan ditutup

pada 15 Juni 1946, dari dana yang dibutuhkan pada tahap I sebesar 500 juta Rupiah,

telah diperoleh sebesar 70 % dari yang dibutuhkan.38

Langkah selanjutnya, untuk mengurangi jumlah uang yang masih banyak

beredar, pemerintah kemudian mengeluarkan maklumat kementrian No. 11 tahun

1946 pada tanggal 12 April 1946. Peraturan itu kemudian dipertegas dengan

ditetapkannya undang-undang No. 10 tahun 1946 oleh Presiden Soekarno. Dalam

peraturan tersebut menekankan pembatasan pengiriman uang lewat pos atau bank

lebih dari f. 1.000,- per hari. Dengan kebijakan ini pemerintah berharap adanya

penekanan serbuan uang dari daerah yang dikuasai tentara NICA ke daerah

kekuasaan Republik.

Sebagai tahap akhir dari persiapan pengeluaran ORI, pada tanggal 5 juli 1946

Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang No. 3 tahun 1946 tentang kewajiban menyimpan uang dalam bank.39

Peraturan ini membatasi penggunaan uang di masyarakat yaitu untuk satu kelurga

diperkenankan memiliki uang paling banyak f. 3000, bagi orang yang hidup sendiri

38

Ibid,. hlm. 76.

39

(45)

(tidak dalam keluarga) diperkenankan memiliki uang paling banyak f. 1000,- Jika

masyarakat memiliki uang yang lebih dari yang ditetapkan, dianjurkan untuk

menyimpan uangnya pada bank-bank yang telah disediakan pemerintah.40 Sementara,

untuk perusahaan-perusahaan diadakan peraturan-peraturan tersendiri.

Dalam upaya untuk menggiatkan masyarakat dalam menyimpan uang dalam

bank dan persiapan menyambut peredaran ORI, pada tanggal 1 Oktober 1946

Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengeluarkan undang-undang No. 17

tahun 1946 untuk meyakinkan masyarakat bahwa uang Republik Indonesia akan

segera dikeluarkan.41 Selanjutnya pada tanggal 26 Oktober 1946, pemerintah kembali

mengeluarkan Undang-Undang no. 19 tahun 1946. Di dalam undang-undang ini

pemerintah kemudian mentapkan dasar nilai dan dasar penukaran ORI terhadap uang

pendudukan Jepang. Sebagai dasar nilai ORI ditentukan 10 Rupiah ORI sama dengan

5 gram emas murni. Untuk dasar penukaran ORI, di daerah Jawa ditentukan 1 Rupiah

ORI sama dengan 50 Rupiah uang Jepang, sedangkan untuk daerah di luar Pulau

Jawa dan Madura ditetapkan 1 rupiah ORI sama dengan 100 Rupiah uang Jepang.42

Penukaran uang Jepang dan ORI hanya dilakukan melalui perantara bank dan untuk

sementara, uang yang dapat ditukar dengan ORI adalah uang Jepang yang telah

disimpan di dalam Bank.

40

Adapun bank yang ditunjuk sebagai penerima simpanan berdasarkan kewajiban menurut peraturan tersebut adalah: Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Kantor Tabungan Pos, dan bank-bank lain yang mendapat izin dari Menteri Keuangan. Lihat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 1946.

41

Sekretariat Negara Republik Indonesia No. 343. (ARNAS)

42

(46)

Langkah peresmian berlakunya ORI kemudian ditandai dengan

dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No. Ss/1/35 tanggal 29 Oktober 1946

tentang saat berlakunya ORI sebagai alat pembayaran yang sah, yaitu pada tanggal 30

Oktober 1946 tepat pukul 24.00. Selanjutnya mulai jam yang telah ditentukan, maka

uang Hindia Belanda dan Uang pendudukan Jepang dinyatakan tidak berlaku lagi.43

Sebelum ORI diedarkan, timbul permasalahan tentang jaminan uang yang akan

diedarkan, namun Wakil Presiden Moh. Hatta pada waktu itu berpendapat bahwa

uang yang baru diedarkan tersebut tidak perlu dikeluarkan oleh suatu bank tetapi oleh

pemerintah sendiri dengan dasar A-metalisme.44 Dalam hal ini kepercayaan rakyat

kepada pemerintahnya adalah dasar terpenting keabsahan uang tersebut. Melalui RRI

(Radio Republik Indonesia) Yogyakarta, wakil presiden Moh. Hatta kemudian

menyampaikan pidatonya menyongsong keluarnya ORI pada tanggal 29 Oktober

1946, adapun bunyi pidatonya yaitu:

“Besok mulai tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang

mengandung sejarah bagi tanah air kita! Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok mulai beredar Uang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak berlaku lagi. Beserta dengan uang Jepang itu, ikut pula tidak laku uang De Javasche Bank. Dengan ini tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia . Masa yang

penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita…”45

43

Team Penyusun Sejarah Percetakan Uang RI, op.cit., hlm. 30.

44

Tim Penyusun Penerbitan Naskah Sumber, op.cit., hlm. 3.

45

(47)

Dalam pencetakan selanjutnya, ORI diterbitkan lima emisi, ORI emisi

pertama bertuliskan “Djakarta 17 Oktober 1945” ditandatangani oleh A.A. Maramis, dalam 8 pecahan yaitu 1 sen, 5 sen, ½ Rupiah, 5 Rupiah, 10 Rupiah, dan 100 Rupiah.

Emisi kedua bertuliskan “Djokjakarta 1 Januari 1947” ditandatangani oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara dalam 4 pecahan yaitu 5 Rupiah, 10 Rupiah, 25 Rupiah,

dan 100 Rupiah. Emisi ketiga bertuliskan “Djokjakarta 26 Djuli 1947” ditandatangi

oleh A.A. Maramis dalam pecahan ½ Rupiah, 2 ½ Rupiah, 25 Rupiah, 50 Rupiah,

100 Rupiah, dan 250 Rupiah. ORI Emisi keempat diterbitkan dengan bertuliskan

“Djogjakarta 23 Agustus 1948” ditandatangani oleh Drs. Moh. Hatta dalam pecahan yang unik yaitu 40 Rupiah, 75 Rupiah,100 Rupiah, dan 400 Rupiah, sedangkan

pecahan 600 Rupiah yang disiapkan belum sempat diedarkan. Emisi kelima

bertuliskan “Djogjakarta 17 Agustus 1949” ditandatangani oleh Mr. Loekman Hakim dan merupakan Rupiah baru dalam pecahan 10 sen baru, ½ Rupiah baru, dan 100

Rupiah baru.46

Setelah beredar di Jawa dan Madura, peredaran ORI di Pulau Sumatera tidak

sertamerta dapat terlaksana dengan baik. Belanda telah melakukan blokade ekonomi

dengan menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Pulau Sumatera. Pengiriman ORI

yang direncanakan dilaksanakan lewat jalur laut pun terkendala keamanan sehingga

pengiriman uang ke wilayah Pulau Sumatera harus ditunda untuk sementara waktu.

Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan kebijakan bahwa untuk daerah di luar

46

(48)

Pulau Jawa dan Pulau Madura, untuk sementara waktu tetap menggunakan uang

Jepang. Namun seiring berjalannya waktu pengiriman ORI ke Pulau Sumatera tidak

dapat terealisasikan. Agresi militer Belanda I pada tahun 1947 justru mempersulit

keadaan dan tidak memungkinkan lagi untuk pelaksanaan pengiriman ORI. Di lain

sisi, kebutuhan keuangan di Sumatera terus meningkat seiring dengan upaya

mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Sumatera serta untuk kebutuhan

(49)

BAB III

KONDISI POLITIK DAN EKONOMI SUMATERA UTARA HINGGA

TAHUN 1947

3.1 Perkembangan Pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera Utara

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dibacakan oleh Ir.

Soekarno dan Drs. Moh. Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi titik awal

pembentukan pemerintahan negara merdeka di negeri ini. Upaya membentuk

konstitusi negara dan struktur pemerintahan dari pusat hingga daerah segera

dilaksanakan pada hari-hari berikutnya melalui sidang-sidang Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 22 Agustus 1945, dalam sidang PPKI,

diangkat Mr. T.M. Hasan sebagai wakil pemerintah untuk seluruh daerah Sumatera

dan diberi kekuasaan penuh melaksanakan segala keputusan PPKI di Pulau

Sumatera.47 Dalam sidang ini juga diangkat Dr. Amir sebagai wakil T.M. Hasan

untuk menjalankan pemerintah dan sekaligus menetapkan Kota Medan menjadi

Ibukota Provinsi Sumatera.

Pada tanggal 27 Agustus 1945, T.M Hasan beserta Dr. Amir tiba di Kota

Medan setelah sebelumnya menghadiri sidang PPKI di Jakarta. Upaya pembentukan

47

(50)

Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah48 segera dilakukan dengan mengundang

pemuka-pemuka masyarakat di Kota Medan. Usaha itu mengalami kegagalan karena

adanya keragu-raguan para pemuka masyarakat melihat bahwa Jepang masih

berkuasa di Kota Medan, bahkan di kalangan orang-orang Indonesia telah ada

dibentuk “Comite van Ontvangst” yang mempersiapkan segala sesuatu untuk

menerima kedatangan Belanda.49 Akibat sikap keragu-raguan pemuka masyarakat

dan kondisi politik yang semakin memanas di Kota Medan, penjelasan tentang

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia baru dapat disampaikan pada tanggal 31

September 1945. Penjelasan kemerdekaan itu disampaikan dihadapan 700 rakyat

pada rapat Barisan Pemuda Indonesia (B.P.I) yang dilaksanakan di Sekolah Taman

Siswa Medan.

Pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera baru secara resmi di umumkan

pada tanggal 3 Oktober 1945 melalui dekrit yang dikeluarkan oleh T.M. Hasan.

Dekrit itu dikeluarkan setelah sebelumnya pada tanggal 29 September 1945, T.M.

Hasan diangkat menjadi Gubernur Sumatera berdasarkan surat keputusan presiden50

48

Komite Nasional Indonesia (KNI) berfungsi sebagai pembantu presiden dalam masa awal lahirnya pemerintahan Republik Indonesia sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD. Pada tanggal 22 Agustus 1945 PPKI menetapkan untuk membentuk Komite Nasional di seluruh tanah air dengan pusatnya ialah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jakarta.

49

Team penyusun Naskah Penelitian dan Pencatatan Sejarah Daerah Sumatera Utara, Sejarah Daerah Sumatera Utara, Medan: Tanpa Penerbit, 1976, hlm. 167.

50

Referensi

Dokumen terkait

BIAYA USAHA TANI DAN HARGA REFERENSI DAERAH KOMODITAS CABAI MERAH DI SUMATERA

Penelitian ini bertujuan untuk menguji ada tidaknya pengaruh Remunerasi terhadap Kinerja Anggota Spripim Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera utara. Sampel

___________, Sejarah Perjuangan Pers di Sumatera Utara , Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2001. Universitas

JUMLAH KANTOR BANK PEMERINTAH / DAERAH BANK SWASTA DI SUMATERA UTARA. Universitas

Pemerintah Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara Dependen: Kinerja Keuangan Independen: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Laba BUMD, dan Lain-lain Pendapatan yang

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara, Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara , Medan. Dorbush, Rudiger dan

Ar, dkk., Perjuangan Menegakkan dan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Utara, Jilid I (1945-1949), Medan: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera

Pemungutan pajak daerah di Provinsi Sumatera Utara dilakukan oleh Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi Sumatera Utara yang mana terdapat 5 (lima)