• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Keadaan Lingkungan Kerja, Karakteristik Pekerja dan Kadar Debu Kayu (PM10) terhadap Kapasitas Vital Paru Pekerja Industri Kecil Meubel Di Kota Banda Aceh Tahun 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Keadaan Lingkungan Kerja, Karakteristik Pekerja dan Kadar Debu Kayu (PM10) terhadap Kapasitas Vital Paru Pekerja Industri Kecil Meubel Di Kota Banda Aceh Tahun 2010"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEADAAN LINGKUNGAN KERJA, KARAKTERISTIK PEKERJA DAN KADAR DEBU KAYU (PM10

KAPASITAS VITAL PARU PEKERJA INDUSTRI ) TERHADAP KECIL MEUBEL DI KOTA BANDA ACEH

TAHUN 2010

T E S I S

Oleh

MUHAMMAD YUNUS 087031009/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENGARUH KEADAAN LINGKUNGAN KERJA, KARAKTERISTIK PEKERJA DAN KADAR DEBU KAYU (PM10

KAPASITAS VITAL PARU PEKERJA INDUSTRI ) TERHADAP KECIL MEUBEL DI KOTA BANDA ACEH

TAHUN 2010

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD YUNUS 087031009/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis: : PENGARUH KEADAAN LINGKUNGAN KERJA, KARAKTERISTIK PEKERJA DAN KADAR DEBU KAYU (PM10

Nama Mahasiswa : Muhammad Yunus

) TERHADAP KAPASITAS VITAL PARU PEKERJA DI INDUSTRI KECIL MEUBEL DI KOTA BANDA ACEH TAHUN 2010

Nomor Induk Mahasiwa : 087031009

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, M.S Ketua

) (Ir. Kalsum, M.Kes

Anggota )

Ketua Program Studi

(Prof.Dr.Dra.Ida Yustina, M.Si)

Dekan

(Dr.Drs.Surya Utama, M.S)

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 23 Desember 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, M.S Anggota : 1. Ir. Kalsum, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH KEADAAN LINGKUNGAN KERJA, KARAKTERISTIK PEKERJA DAN KADAR DEBU KAYU (PM10

KAPASITAS VITAL PARU PEKERJA INDUSTRI ) TERHADAP KECIL MEUBEL DI KOTA BANDA ACEH

TAHUN 2010

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Februari 2011

(6)

ABSTRAK

Lingkungan kerja industri meubel berdampak terhadap konsentrasi debu dan akhirnya akan memengaruhi kapasitas paru pekerja. Keadaan lingkungan yang dimaksud seperti keadaan ventilasi, suhu dan kelembaban memengaruhi proses pajanan debu. Salah satu dampak yang diakibatkan oleh debu tersebut adalah kapasitas paru pekerja terganggu.

Penelitian ini adalah survey analitik dengan pendekatan cross sectional study

yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh keadaan lingkungan kerja, karakteristik pekerja dan kadar debu kayu (PM10

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keadaan lingkungan mayoritas variabel ventilasi telah memenuhi syarat kesehatan, namun variabel suhu dan kelembaban belum semuanya memenuhi syarat kesehatan. Kapasitas vital paru pekerja berdasarkan kelompok umur menunjukkan 29,9% termasuk kategori berat, 27,3% kategori sedang, 16,9% kategori ringan dan 26% kategori normal. Secara statistik terdapat pengaruh yang signifikan variabel sikap dan pendidikan terhadap kapasitas vital paru pekerja Industri Kecil Meubel di Kota Banda Aceh.

) terhadap kapasitas vital paru pekerja Industri Kecil Meubel di Kota Banda Aceh. Populasi adalah seluruh industri kecil meubel dan pekerja di Kota Banda Aceh. Sampel terpilih adalah 10 industri kecil meubel dan 77 pekerja. Analisis data dilakukan dengan uji regresi linear berganda pada tingkat kepercayaan 95%.

(7)

ABSTRACT

Working environment in furniture industry can cause dust concentration and will eventually influence the capacity of the workers' lungs. This environment condition, such as ventilation, temperature, and moisture can influence the process of dust exposure. One of the impacts of dust exposure is the problem of the capacity of the workers' lungs.

This research was an analytic survey with cross sectional study. It was aimed to analyze the influence of the condition of the workers' environment, their characteristics, and the sawdust content on the capacity of the workers' vital lungs in the furniture small-scale industries in Banda Aceh. The samples were 10 furniture small-scale industries and their 77 workers in Banda Aceh. The data were analyzed by multiple linear regression tests with the level of reliability of 95%.

The result of the research showed that in terms of the environment condition, majority of the ventilation had met the health requirement but not all of the variables of temperature and moisture had met the health requirement. It was indicated that 29.9% of the capacity of the workers' vital lungs based on age group belonged to severe category, 27,3% belonged to moderate category, 16,9% belonged to mild category, and 26% belonged to normal category. Statistically the variables of attitude and education had significant influence on the capacity of the workers' vital lungs in the furniture small-scale industries in Banda Aceh.

It is recommended that Banda Aceh District Health Office should improve the work health education in the furniture small-scale industries; the management of the furniture small-scale industries needs to provide and prepare self-protection device including breathing equitment and the workers working for the furniture small-scale industries need to be aware of using the Self Protection Device while working.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunianya penulis telah dapat menyelesaikan tesis yang berjudul: “Pengaruh Keadaan Lingkungan Kerja, Karakteristik Pekerja dan Kadar Debu Kayu (PM10

Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari dukungan, bimbingan dan bantuan dari beberapa pihak, dalam kesempatan ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

) terhadap Kapasitas Vital Paru Pekerja Industri Kecil Meubel Di Kota Banda Aceh Tahun 2010”.

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM). Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, M.S selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama proses penyelesaian tesis ini. 6. Ir. Kalsum, M.Kes selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan

(9)

7. dr. Wirsal Hasan, M.P.H selaku Dosen Pembanding yang telah memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

8. Dr. Zuhrina Masyithah, S.T, M.Sc yang telah membimbing dalam menyelesaikan tesis ini.

9. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan tesis ini hingga selesai.

Selanjutnya terima kasih tak terhingga kepada orang tua (Alm) Muhammad Yatim dan Rabi’ah (Almh), isteri tercinta (Nurfajri Susanna, S.ST) dan anak tercinta (Zuhrina Yunus) yang telah mengizinkan dan memberi motivasi serta dukungan doa kepada penulis yang membantu proses penyusunan tesis ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, Februari 2011

(10)

RIWAYAT HIDUP

Muhammad Yunus lahir pada tanggal 2 Maret 1970 di Leupung , anak Pertama dari pasangan (Alm)Muhammad Yatim dan Rabi’ah (Alm).

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar Negeri No.28 Kota Banda Aceh selesai tahun 1984, Sekolah Menengah Pertama Swasta Cakra Donya Kota Banda Aceh selesai tahun 1987, Sekolah Menengah Atas Negeri Darussalam selesai tahun 1990, Sekolah Pembantu Penilik Hygiene Depkes RI Selesai Tahun 1992, Akademi Kesehatan Lingkungan di Kabanjahe tamat tahun 1998 dan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU selesai tahun 2006.

Mulai bekerja sebagai staf Pada Puskesmas Meuraxa Kota Banda Aceh tahun 1993 sampai tahun 1996 dan staf Puskesmas Kopelma Darussalam dari tahun 1998 sampai 2003. Pada tanggal 6 Oktober 2006 Pindah ke Dinas Kesehatan Propinsi setelah selesai pendidikan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat dan sampai sekarang.

(11)

DAFTAR ISI

2.5 Mekanisme Masuknya Debu pada Saluran Pernafasan ... 21

2.6 Dampak Debu terhadap Kesehatan ... 24

2.7 Efek Kesehatan Akibat Partikulat ... 25

2.8 Faktor Lingkungan Kerja yang Mempengaruhi Pajanan Debu .... 28

2.9 Perilaku Pekerja Industri Kecil Meubel ... 29

(12)

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 43

3.6 Metode Pengukuran ... 45

3.7 Metode Analisis Data ... 51

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 53

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 53

4.2 Analisis Univariat ... 54

4.4 Analisis Bivariat ... 61

4.5 Analisis Multivariat ... 65

BAB 5. PEMBAHASAN ... 68

5.1 Pengaruh Lingkungan terhadap Kapasitas Vital Paru Pekerja ... 68

5.2 Pengaruh Karakteristik Pekerja terhadap Kapasitas Vital Paru Pekerja ... 70

5.3 Pengaruh Kadar Debu Melayang terhadap Kapasitas Vital Paru Pekerja ... 76

5.4 Keterbatasan Penelitian ... 78

BAB 6. KESIMPULAN ... 79

6.1 Kesimpulan ... 79

6.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Definisi Operasional ... 42 3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 45 4.1. Keadaan Lingkungan pada Industri Kecil Meubel di Kota Banda Aceh

Tahun 2010 ... 55 4.2. Karakteristik Pekerja pada Industri Kecil Meubel di Kota Banda Aceh

Tahun 2010 ... 56 4.3. Karakteristik Pekerja pada Industri Kecil Meubel di Kota Banda Aceh

Tahun 2010 ... 57 4.4. Hasil Pengukuran Vital Paru pada Pekerja di Industri Kecil Meubel di

Kota Banda Aceh Tahun 2010 ... 59 4.5. Kapasitas Vital Paru pada Pekerja di Industri Kecil Meubel di Kota

Banda Aceh Tahun 2010 ... 61 4.6. Hubungan keadaan lingkungan dengan Kapasitas Vital Paru pada

Pekerja di Industri Kecil Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2010 ... 62 4.7. Hubungan Karakteristik Pekerja dengan Kapasitas Vital Paru pada

Pekerja di Industri Kecil Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2010 ... 63 4.8. Hubungan kadar debu dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 84

2 Master Data Penelitian ... 88

3 Hasil Pengolahan Data Penelitian ... 90

4 Surat Izin Penelitian FKM USU Medan ... 117

5 Surat Izin Penelitian Dinas Perindustrian Pemerintah Kota Banda Aceh ... 118

(16)

ABSTRAK

Lingkungan kerja industri meubel berdampak terhadap konsentrasi debu dan akhirnya akan memengaruhi kapasitas paru pekerja. Keadaan lingkungan yang dimaksud seperti keadaan ventilasi, suhu dan kelembaban memengaruhi proses pajanan debu. Salah satu dampak yang diakibatkan oleh debu tersebut adalah kapasitas paru pekerja terganggu.

Penelitian ini adalah survey analitik dengan pendekatan cross sectional study

yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh keadaan lingkungan kerja, karakteristik pekerja dan kadar debu kayu (PM10

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keadaan lingkungan mayoritas variabel ventilasi telah memenuhi syarat kesehatan, namun variabel suhu dan kelembaban belum semuanya memenuhi syarat kesehatan. Kapasitas vital paru pekerja berdasarkan kelompok umur menunjukkan 29,9% termasuk kategori berat, 27,3% kategori sedang, 16,9% kategori ringan dan 26% kategori normal. Secara statistik terdapat pengaruh yang signifikan variabel sikap dan pendidikan terhadap kapasitas vital paru pekerja Industri Kecil Meubel di Kota Banda Aceh.

) terhadap kapasitas vital paru pekerja Industri Kecil Meubel di Kota Banda Aceh. Populasi adalah seluruh industri kecil meubel dan pekerja di Kota Banda Aceh. Sampel terpilih adalah 10 industri kecil meubel dan 77 pekerja. Analisis data dilakukan dengan uji regresi linear berganda pada tingkat kepercayaan 95%.

(17)

ABSTRACT

Working environment in furniture industry can cause dust concentration and will eventually influence the capacity of the workers' lungs. This environment condition, such as ventilation, temperature, and moisture can influence the process of dust exposure. One of the impacts of dust exposure is the problem of the capacity of the workers' lungs.

This research was an analytic survey with cross sectional study. It was aimed to analyze the influence of the condition of the workers' environment, their characteristics, and the sawdust content on the capacity of the workers' vital lungs in the furniture small-scale industries in Banda Aceh. The samples were 10 furniture small-scale industries and their 77 workers in Banda Aceh. The data were analyzed by multiple linear regression tests with the level of reliability of 95%.

The result of the research showed that in terms of the environment condition, majority of the ventilation had met the health requirement but not all of the variables of temperature and moisture had met the health requirement. It was indicated that 29.9% of the capacity of the workers' vital lungs based on age group belonged to severe category, 27,3% belonged to moderate category, 16,9% belonged to mild category, and 26% belonged to normal category. Statistically the variables of attitude and education had significant influence on the capacity of the workers' vital lungs in the furniture small-scale industries in Banda Aceh.

It is recommended that Banda Aceh District Health Office should improve the work health education in the furniture small-scale industries; the management of the furniture small-scale industries needs to provide and prepare self-protection device including breathing equitment and the workers working for the furniture small-scale industries need to be aware of using the Self Protection Device while working.

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan di bidang industri merupakan perwujudan dari komitmen politik dan pilihan pembangunan yang tepat oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia. Dalam mewujudkan kesejahteraan tersebut, pembangunan industri yang dipilih harus berwawasan lingkungan, dengan tujuan sedikit mungkin memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sebagai akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001).

Salah satu dampak penting akibat pembangunan industri adalah perubahan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran udara. Pencemaran udara yang terjadi selain pencemaran udara di ambien (outdoor air pollution) juga pencemaran udara dalam ruangan (indoor air pollution). Pencemaran udara di ambien terjadi karena masuknya polutan dari hasil kegiatan industri, kendaraan bermotor, pembakaran hutan, letusan gunung berapi dan pembangkit tenaga listrik (Fardiaz,1992).

(19)

Salah satu industri yang berkembang di masyarakat dan menghasilkan bahan buangan partikulat berupa debu adalah industri meubel yang umumnya informal karena tumbuh dan berkembang sebagai bentuk usaha home industry. Konsekuensinya adalah terjadinya pencemaran udara akibat aktivitas industri meubel khususnya terhadap kualitas udara akibat kadar debu yang tinggi dan melebihi standar kadar debu dilingkungan industri (Yenny, 2003).

Selain itu proses produksi maupun efluen dari proses produksi meubel. Dampak terhadap keadaan kadar debu ambien disekitar pabrik yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan dan estetika.

Dalam industri meubel, bahan buangan partikulat merupakan hasil dari proses pemotongan, penggergajian, pengerutan dan pengamplasan. Dalam konsentrasi yang besar, partikulat dari kayu dapat menimbulkan pemaparan pada pekerja secara intensif (Munziah, 2003).

Efek kesehatan pada saluran pernapasan dapat dinilai melalui gejala penyakit pernapasan. Gejala penyakit pernapasan banyak dipakai dalam penelitian efek kesehatan oleh partikulat (Purwana,1999). Keseluruhan gangguan saluran pernafasan sangat erat kaitannya dengan kualitas udara yang dihirup oleh pekerja maupun masyarakat di sekitar lingkungan industri meubel yang disebabkan oleh tingginya konsentrasi debu ambien. Menurut Depkes (1998) kualitas udara merupakan salah satu indikator kesehatan lingkungan industri diukur dari kadar debu, suhu, kelembaban, pertukaran udara, dan gas pencemar.

(20)

deposit particulate matter atau partikel debu yang hanya berada sementara di udara, dan akan segera mengendap karena daya tarik bumi. Kedua adalah

Suspended particulate matter atau debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap (Sintorini, 2002).

Debu yang berukuran antara 5-10 mikron bila terhisap akan tertahan dan tertimbun pada saluran pernafasan bagian atas; sementara yang berukuran antara 3-5 mikron tertahan dan tertimbun pada saluran napas tengah. Partikel debu dengan ukuran 1-3 mikron, disebut debu respirabel, merupakan yang paling berbahaya karena tertahan dan tertimbun mulai dari bronkiolus terminalis sampai alveoli (Widjaja, 1992). Debu debu juga dapat menyebabkan kerusakan paru dan fibrosis bila terinhalasi selama bekerja dan terus menerus. Bila alveoli mengeras

akibatnya mengurangi elastisitas dalam menampung volume udara sehingga kemampuan

mengikat oksigen menurun (Depkes RI, 2003).

(21)

Adapun mekanisme masuknya debu dalam saluran nafas pekerja bervariasi berdasarkan konsentrasi debu udara. Partikel debu yang berukuran 5 µm sampai dengan 10 µm tertahan terutama pada saluran pernafasan bagian atas.

Di Kota Banda Aceh, industri meubel telah berkembang dengan pesat dalam 5 tahun terakhir. Sebagai industri sektor informal, kekuatan modal dan ketrampilan pekerja mempengaruhi kemampuan produksi. Namun demikian, dengan sistem kerja yang tidak mekanis dan tidak memiliki ikatan waktu yang ketat, para pekerja menjadi terlibat secara fisik sepenuhnya terhadap pekerjaannya, mengambil jam lembur dan bekerja jauh lebih lama dibandingkan tenaga kerja pada sektor formal. Selain itu, akibat dari keterbatasan modal pemilik usaha, keadaan lingkungan kerja tidak disiapkan untuk memberikan perlindungan dalam bekerja terhadap pemaparan partikulat PM10

Seperti halnya debu yang lain, pada umumnya debu kayu merupakan hasil mekanis dari suatu tindakan penggergajian, perautan, pengamplasan dan lain-lain. Karena itu, debu kayu mempunyai ukuran yang memungkinkan untuk masuk ke dalam saluran pernapasan dan mengendap di dalam paru.

dan umumnya mereka bekerja tidak disediakan alat pelindung diri. Dengan demikian, walaupun bahan buangan jumlahnya relatif rendah, namun kontak dengan bahan tersebut relatif lebih lama, maka pekerja meubel pada sektor informal lebih berisiko dibandingkan pada industri sektor formal.

(22)

mengandung substansi kimia yang dapat memberikan efek alergi dan toksik pada manusia seperti kayu Johar, kayu Ebony, kayu Rengas, kayu Kasasi, sehingga debu kayu tersebut dapat menimbulkan dermatitis kronik, konyungtivitis, asma rinitis dan lain-lain (Purnomo, 2007).

Pada industri meubel, terkadang kayu yang digunakan sebagai bahan baku sudah mengalami pengawetan kimiawi sebelumnya, seperti pada kayu lapis. Jika debu kayu terinhalasi oleh pekerja, maka pada zat-zat tersebut akan masuk ke dalam paru dan dapat memberikan efek yang merugikan kesehatan, terutama jika konsentrasinya cukup besar untuk menimbulkan penyakit (Purnomo, 2007).

Pemajanan debu pada pekerja dipengaruhi oleh kondisi lingkungan industri seperti ventilasi, suhu dan kelembaban udara. Dalam lingkungan industri, sistem ventilasi atau penghawaan dibangun berdasarkan kepentingan ruang yaitu sebagai ruang produksi atau administrasi. Sebagai ruang produksi, sistem ventilasi umumnya terbuka atau setengah terbuka, dan banyak dilengkapi dengan exhauster yang berfungsi sebagai penyedot udara sehingga pertukaran udara menjadi lebih lancar (Suma’mur, 1995).

(23)

Berdasarkan data Departemen Perindustrian dan Perdagangan Kota Banda Aceh (2008), di Kota Banda Aceh terdapat 77 industri meubel formal yang terdiri dari 5 industri ukiran kayu, 13 industri ketam kayu, 4 industri meubel rotan dan 55 industri perabot rumah tangga, sedangkan industri meubel yang non formal sebanyak 47 home industri terdiri dari 16 industri ukiran kayu, 10 industri meubel rotan dan 21 industri perabot rumah tangga. Keseluruhan industri tersebut memberikan kontribusi terhadap keadaan udara di kota Banda Aceh.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Banda, prevalensi infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) pada tahun 2008 sebesar 34% dan sampai November tahun 2009 sebesar 35,4% (Profil Kesehatan Kota Banda Aceh, 2008). Berdasarkan laporan Bapedal Kota Banda Aceh (2008), pemeriksaan kualitas udara di Kota Banda Aceh hanya dikonsentrasikan pada daerah-daerah pemukiman penduduk pada areal pabrik dan daerah dengan sumber pencemar dari kenderaan, namun pemeriksaan kualitas udara pada industri meubel skala kecil masih belum dilakukan. Keadaan ini memberikan gambaran ada dugaan kualitas udara dalam ruangan pabrik meubel belum memenuhi syarat kesehatan lingkungan industri, sehingga secara permanen berdampak terhadap gangguan saluran pernafasan bagi pekerja dan masyarakat di lingkungan industri meubel.

(24)

kondisi kesehatan, riwayat penyakit dan pekerjaan, kebiasaan merokok dan olah raga, serta status gizi pekerja.

Penelitian Purnomo (2007), juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan umur dengan terjadinya gangguan saluran pernafasan pekerja. Beberapa studi menjelaskan bahwa kelompok umur dewasa mempunyai penyakit pada sistem pernapasan berhubungan dengan agen penyakit seperti influenza, sehingga meningkatkan kerentanannya terhadap efek buruk partikel debu. Selain itu ada hubungan antara masa kerja dengan gejala penyakit saluran pernapasan. Namun demikian, masa kerja tidak mempunyai hubungan langsung terhadap terjadinya gangguan pernapasan, Keadaan ini disebabkan oleh karena variabel masa kerja tidak secara langsung atau tidak dapat berdiri sendiri untuk mempengaruhi gangguan pernapasan, sehingga memerlukan variabel lain untuk bersama-sama mempengaruhi gangguan fungsi pernapasan.

Penelitian Huda (2004), menunjukkan kerentanan terhadap efek yang berhubungan dengan pemajanan PM10

(25)

terabsorbsi oleh uap air yang ada di udara sehingga berat molekulnya bertambah. Dengan pertambahan berat molekul debu, menyebabkan debu jatuh mengikuti gaya gravitasi bumi. Pada variabel suhu ruang kerja, didapatkan suhu ruang kerja tidak berhubungan dengan gejala penyakit saluran pernapasan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Yenny (2003) bahwa suhu ruang yang panas akan mendorong pekerja untuk berada diluar ruang seperti di bawah pohon untuk mendapatkan suasana yang lebih segar sehingga akan mempengaruhi tingkat pajanan debu kepada pekerja. Namun demikian secara teoritis, suhu ruang yang tinggi akan meningkatkan gerak partikel atau debu yang terdispersi di udara karena partikel tidak terikat oleh uap air yang ada di udara.

(26)

Berdasarkan hasil observasi peneliti pada bulan Mei 2010, umumnya proses produksi meubel dilakukan di luar ruangan, sehingga konsentrasi debu tidak hanya bersumber dari proses produksi tetapi juga berasal dari luar yaitu debu jalanan dan aktivitas masyarakat lainnya, selain itu umumnya pekerja juga tidak menggunakan APD, dan hanya sebagian kecil saja yang menggunakan APD jenis masker.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh keadaan lingkungan kerja, karakteristik pekerja, dan kadar debu kayu (PM10) terhadap kapasitas vital paru pekerja pekerja di industri kecil

Meubel di Kota Banda Aceh.

1.2 Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh keadaan lingkungan kerja, karakteristik pekerja dan kadar debu kayu (PM10) terhadap

kapasitas vital paru pekerja di industri kecil Meubel di Kota Banda Aceh.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh keadaan lingkungan kerja (ventilasi, suhu dan kelembaban), karakteristik pekerja (umur, pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap dan penggunaan APD) dan kadar debu kayu (PM10)

(27)

1.4 Hipotesis

1. Ada pengaruh antara keadaan lingkungan kerja industri kecil (keadaan ventilasi, suhu, dan kelembaban udara) terhadap kapasitas vital paru pekerja di industri kecil Meubel di Kota Banda Aceh.

2. Ada pengaruh antara karakteristik pekerja (umur, pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap dan penggunaan APD) terhadap kapasitas vital paru pekerja di industri kecil Meubel di Kota Banda Aceh.

3. Ada pengaruh antara kadar debu kayu (PM10) terhadap kapasitas vital paru

pekerja di industri kecil Meubel di Kota Banda Aceh.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh dan Badan Pengawasan Dampak Lingkungan (BAPEDAL) Kota Banda Aceh dalam perumusan kebijakan upaya penyehatan lingkungan industri dan pencegahan penyakit berbasis pencemaran udara.

2. Sebagai masukan dan informasi bagi para pekerja industri meubel kayu tentang gambaran kesehatan lingkungan dan keadaan kadar debu kayu (PM10

3. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang kesehatan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan

(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri Kecil

Industri didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaanya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Industri kecil adalah jenis usaha mikro dengan modal dasar dibawah 500 juta, dan menggunakan peralatan yang sederhana untuk proses produksinya (Peraturan Presiden No 28 Tahun 2008).

Ada dua definisi industri kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, definisi

industri kecil menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah

kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp 1 milyar

dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling

banyak Rp 200 juta (Sudisman & Sari, 1996). Kedua, menurut kategori Biro Pusat

Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS

mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah

tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3)

industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100

(29)

2.2 Industri Mebel Kayu

2.2.1. Pengertian Industri Meubel Kayu

Meubel kayu adalah istilah yang digunakan untuk perabot rumah tangga yang berfungsi sebagai tempat penyimpan barang, tempat duduk, tempat tidur, tempat mengerjakan sesuatu dalam bentuk meja atau tempat menaruh barang di permukaannya, misalnya Meubel kayu sebagai tempat penyimpan biasanya dilengkapi dengan pintu, laci dan rak, contoh lemari pakaian, lemari buku dan lain-lain. Meubel Kayu dapat terbuat dari kayu, bambu, logam, plastik dan lain sebagainya. Meubel Kayu sebagai produk artistik biasanya terbuat dari kayu pilihan dengan warna dan tekstur indah yangdikerjakan dengan penyelesaian akhir yang halus. Menurut Depkes RI (2002), industri meubel kayu adalah pekerja sektor informal yang menggunakan berbagai jenis kayu sebagai bahan baku/utama alam proses

produksinya serta menerapkan cara kerja yang bersifat tradisional.

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan meubel kayu oleh perajin sektor

informal tersebut adalah kayu. Ada 2 jenis bentuk kayu yang bisa digunakan : kayu balok

dan papan serta kayu lapis. Kayu balok biasanya terdiri dari kayu keras semata dan

digunakan sebagai rangka utama suatu meubel, sedangkan kayu papan sering merupakan

kayu gubal at aukeras dan dipakai sebagai dinding dan alas dari suatu meubel.

Mesin dan peralatan yang banyak digunakan pada pembuatan meubel kayu

adalah dalam kegiatan penggergajian/pemotongan, pengamatan, pemotongan bentuk,

pelubangan, pengukiran, pengaluran, penyambungan, pengampalasan, dan pengecatan.

(30)

sawing machine, mesin ketam, mesin pembentuk kayu (band saw), drilling machine,

screw driver/obeng tangan, compresor, jig saw, hack saw,tatah kuku/datar, sprayer, palu

basi/kayu, kuas dan lain-lain.

2.2.2. Proses Produksi Industri Meubel Kayu

Pada dasarnya, pembuatan meubel dari kayu melalui lima proses utama yaitu proses penggergajian kayu, penyiapan bahan baku, proses penyiapan komponen, pross perakitan dan pembentukan (bending), dan proses akhir (depkes RI, 2002).

1. Penggergajian kayu

Bahan baku kayu tersedia dalam bentuk kayu gelondongan sehingga masih perlu mengalami penggergajian agar ukurannya menjadi lebih kecil seperti balok atau papan. Pada umumnya, penggergajian ini menggunakan gergaji secara mekanis atau dengan gergaji besar secara manual. Proses ini menimbulkan debu yang sangat banyak dan juga menimbulkan bising.

2. Penyiapan Bahan Baku

(31)

3. Penyiapan Komponen

Kayu yang sudah dipotong menjadi ukuran dasar bagian meubel, kemudian dibentuk menjadi komponen-komponen meubel sesuai yang diinginkan dengan cara memotong, meraut, mengamoplas, melobang, dan mengukir, sehingga jika dirakit akan membentuk meubel yang indah dan menarik.

4. Perakitan dan Pembentukan

Komponen meubel yang sudah jadi, dipasang dan dihubungjan satu sama lain hingga menjadi meubel. Pemasangan ini dilakukan dengan menggunakan baut, sekrup, lem, paku ataupun pasak kayu yang kecil dan lain-lain untuk merekatkan hubungan antara komponen.

5. Penyelesaian Akhir

Kegiatan yang dilakukan pada penyelesaian akhir ini meliputi: (1) Pengamplasan / penghalusan permukaan meubel, (2) pendempulan lubang dan sambungan, (3) pemutihan meubel dengan H2O2, (4) pemlituran atau “sanding

(32)

6. Pengepakan

Proses pengepakan sebenarnya bukan lagi bagian pembuatan meubel karena sebelum masuk proses ini meubel telah selesai. Tahap ini merupakan langkah penyiapan meubel untuk dipasarkan dan hanya ditemukan terutama pada industri meubel sektor formal.

2.3. Pencemaran Udara

Pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrak fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang dan mineral karena kontaminan alami dan buatan ke dalam atmosfer (Aditama, 1992). Klasifikasi bahan pencemaran udara dapat dibagi menjadi dua bagian (Kusnoputranto, 2002) :

1. Pencemar primer, adalah suatu bahan kimia yang ditambahkan langsung ke udara yang menyebabkan konsentrasinya meningkat dan membahayakan. Bahan kimia dapat berupa komponen udara alamiah, seperti karbondioksida, yang meningkat diatas konsentrasi normal atau sesuatu yang tidak biasanya terdapat di udara, seperti senyawa timbal.

(33)

2.3.1. Tipe Pencemaran Udara

Tipe Pencemaran udara dibagi menjdai 9 bagian (Kusnoputranto, 2002) yaitu :

a. Karbondioksida, yaitu CO2, Sulfur oksida, yaitu SO2,

b. Hidrokarbon, yaitu senyawa organic yang mengandung karbon dan hydrogen seperti metana, butane, benzene.

Nitrogen oksida

c. Oksidan fotokimia, yaitu ozon, PAN dan beberapa senyawa aldehid.

d. Partikel (padat atau cair di udara), asap, debu, asbestos, partikel logam, minyak, garam-garam sulfur.

e. Senyawa anorganik (mengandung kerbon), estisida, herbisida berbagai jenis alcohol, asam dan zat kimia lainnya.

f. Zat radioaktif tritium, radon, enzim dan pembangki tenaga.

2.3.2. Bentuk bahan pencemaran udara

Menurut Aditama, (1992), bentuk bahan pencemar yang sering ditemukan, yaitu:

a. Gas, yaitu uap yang dihasilkan dari zat padat atau zat cair, karena dipanasi atau karena menguap sendiri contohnya SO2

b. Aerosol, yaitu suspensi udara yang bersifat padat .(detex) atau cair (kabut, asap, uap) yang berukuran kurang dari 1 mikron.

, CO dan NO.

(34)

langsung. Dampak negatif secara langsung dialami manusia adalah pada aspek kesehatan, kenyamanan hidup, dan keselamatan. Sedangkan dampak negatif tidak langsung yaitu berupa penyakit pada lingkungan hidup, perekonomian, estetika dan tumbuhan (Aditama, 1992). Menurut WHO (2000), penentuan udara tercemar atau tidaknya udara suatu daerah kriterianya sebagai berikut :

Tabel 2.1. Kriteria Udara Bersih dan Udara Tercemar oleh WHO

Parameter Udara Bersih Udara Tercemar

Bahan partikel 0,01 – 0,02 mg/m3 0,07 – 0,7 mg/m3

SO2 0,003 – 0,02 ppm 0,02 – 2 ppm

CO <1 ppm 5 – 200 ppm

NO2 0,003 – 0,02 ppm 0,02 – 0,1 ppm

CO2 310 – 330 ppm 350 – 700 ppm

Hidrokarbon <1 ppm 1 – 2 ppm

Sumber : WHO, 2000

2.3.3. Pencemaran Udara oleh Partikulat (Debu)

Partikel menurut WHO seperti yang dikutip oleh Purwana (1992) adalah sejumlah benda padat atau cair dalam bermacam-macam ukuran, jenis dan bentuk yang tersebar dari sumber-sumber antropogenik dan sumber alam.

(35)

Partikel di atmosfer dalam bentuk suspensi, yang terdiri atas partikel-partikel padat dan cair. Ukuran partikel dari 100 mikron hingga kurang dari 0,01 mikron. Terdapat hubungan antara partikel polutan dengan sumbernya.

Dampak kesehatan utama dari pemajanan debu adalah penyakit asma dan penyakit saluran pernapasan lainnya, batuk dan naiknya mortalitas tergantung kepada konsentrasi dari sifat fisik partikel debu itu sendiri. Polutan debu masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui sistem pernapasan, oleh karena itu pengaruh yang merugikan langsung terutama terjadi pada sistem saluran pernapasan. Faktor yang paling berpengaruh adalah ukuran partikel, karena ukuran ini menentukan seberapa jauh penerasi ke dalam sistem pernapasan

Mekanisme yang mungkin dapat menerangkan mengapa debu dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan adalah dengan makin banyaknya pemajanan debu maka cilia akan terus menerus mengeluarkan debu tersebut sehingga lama kelamaan cilia teriritasi dan tidak peka lagi, sehingga debu akan lebih mudah masuk. Selain itu yang terpenting orang tersebut akan rentan terhadap infeksi saluran pernapasan lainnya. Kasus penyakit yang banyak dilaporkan dan berhubungan dengan debu adalah bronchitis kronis dan emphysema.

2.3.4. Partikulat Melayang (PM10

Partikel debu yang dapat masuk ke dalam pernapasan manusia adalah yang berukuran 0,1 µg sampai 10 µg dan berada di udara sebagai suspenden particulate matter (partikulat melayang dengan ukuran ≤10 µg juga dikenal juga dengan PM

)

(36)

Ukuran partikel debu yang lebih besar dari 10 µg akan lebih cepat mengendap ke permukaan, sehingga kesempatan terjadinya pemajanan pada manusia menjadi kecil dan jika terjadi pemajanan partikulat akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian atas (Kusnoputranto, 2000)

Debu yang dapat dihirup manusia disebut debu inhable dengan diameter 10 µg dan berbahaya bagi saluran pernapasan karena mempunyai kemampuan merusak paru-paru. Sebagian debu yang masuk ke saluran pernapasan berukuran 5 µg akan sampai ke alveoli. Di dalam alveoli ini sebenarnya terjadi pertukaran O2 dengan CO2

Menurut Yenny (2003) yang mengutip pendapat Koren (1995) dalam artikelnya tentang PM

sehingga keberadaan debu inhable dapat mengganggu proses tersebut (WHO, 2000).

10 menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara

pajanan pertikulat PM10 dengan penderita Cardiopulmonary disease dan asma yang

ditunjukkan dengan tingginya mortality dan morbidity kasus penyakit saluran pernapasan dan kasus cardiovascular.

2.3.5. Partikulat (Debu Kayu)

Seperti halnya debu yang lain, pada umumnya debu kayu merupakan hasil mekanis dari suatu tindakan penggergajian, perautan, pengamplasan dan lain-lain. Karena itu, debu kayu mempunyai ukuran yang memungkinkan untuk masuk ke dalam saluran pernapasan dan mengendap di dalam paru.

(37)

Disamping itu, beberapa golongan kayu yang digunakan dalam industri mebel mengandung substansi kimia yang dapat memberikan efek alergi dan toksik pada manusia seperti kayu Johar, kayu Ebony, kayu Rengas, kayu Kasasi, sehingga debu kayu tersebut dapat menimbulkan dermatitis kronik, konyungtivitis, asma rinitis dan lain-lain (Purnomo, 2007).

Pada industri mebel, terkadang kayu yang digunakan sebagai bahan baku sudah mengalami pengawetan kimiawi sebelumnya, seperti pada kayu lapis. Pengawetan dimaksudkan untuk mencegah pelapukan atau kerusakan karena penyakit mikroorganisme. Bahan yang biasa dipakai untuk pengawetan adalah minyak pestisida, garam logam dan senyawa-senyawa organik. Jika debu kayu terinhalasi oleh pekerja, maka pada zat-zat tersebut akan masuk ke dalam paru dan dapat memberikan efek yang dapat merugikan kesehatan, terutama jika konsentrasinya cukup besar untuk menimbulkan penyakit (Purnomo, 2007).

2.4. Nilai Baku Mutu

Batu mutu debu (PM10) pada udara ambien di Indonesia diatur dalam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, nilai baku mutu debu diteteapkan 230µg/m3 untuk waktu pengukuran 24 jam dan 90 µg/m3 untuk waktu pengukuran satu tahun. Sedangkan baku mutu PM10 ditetapkan sebesar

(38)

Secara internasional konsentrasi total suspended solid (TSP) ditetapkan dalam

National Ambient Air Quality (NAAQS) EPA sebesar 260 µg/m3 untuk waktu pengukuran 24 jam dan 75 µg/m3 untuk waktu pengukuran 1 tahun. Sedangkan PM10 ditetapkan sebesar 150 µg/m3 untuk waktu pengukuran 24 jam dan 50 µg/m3 untuk waktu pengukuran 1 tahun (US.EPA, 2004).

2.5. Mekanisme Masuknya Debu Pada Saluran Pernapasan

Menurut Sintorini (1998), bahwa 55% debu yang terhisap melalui udara pernapasan mempunyai ukuran antara 0,25µm sampai dengan 6 µm. Dan jumlah debu yang terhisap tersebut 15 – 95% dapat mengalami retensi. Proporsi retensi tersebut mempunyai hubungan langsung dengan sifat-sifat fisik debu. Didasarkan atas sifat-sifat fisik suspensi debu yang terdapat dalam udara dan anatomi sistem pernapasan maka dapat dikatakan bahwa partikel debu yang mempunyai ukuran lebih besar dari 10 µm dapat dikeluarkan secara komplit melalui saluran pernapasan bagian atas hidung.

Partikel debu yang berukuran 5 µm sampai dengan 10 µm tertahan terutama pada saluran perafasan bagian atas. Debu yang memiliki ukuran 5 µm sampai dengan 10 µm akan ikut jatuh sejalan dengan percepatan gravitasi dan bila terhirup melalui pernapasan biasanya akan jatuh pada alat pernapasan bagian atas dan menimbulkan banyak penyakit berupa iritasi sehingga menimbulkan penyakit pharingitis.

(39)

yaitu pada saluran pernapasan (bronchus/ broncheolus). Hanya bedanya disini lebih banyak memiliki aspek fisiologis/psikologis yaitu menimbulkan bronchitis, alergis atau asthma, lebih mudah terkena pada orang yang semula sudah memiliki kepekaan berdasarkan keadaan seperti itu. Partikel debu yang berukuran1 µm sampai dengan 3 µm dapat mencapai bagian yang lebih dalam dan mengendap pada alveoli karena adanya gravitasi dan difusi. Partikel debu bergerak sejalan dengan suatu kecepatan yang konstan untuk jenis-jenis debu tertentu. Debu-debu tersebut menghambat fungsi alveoli sebagai media pertukaran gas asam arang, sehingga dengan melekatnya debu ukuran ini akan mengganggu kemampuan proses pertukaran gas yang lebih kecil ukurannya dan lebih perlahan jatuhnya.

Partikel yang berukuran 0.1 µm sampai dengan 1 µm melayang-layang dipermukaan alveoli. Dengan ukuran yang sedemikian kecil dan memiliki berat, debu ukuran ini tidak menempel pada permukaan alveoli tetapi mengikuti gerak brown dan berada dalam bentuk suspensi. Partikel yang berukuran 0.5 µm hinggap dipermukaan alveoli atau selaput lendir karena gerak bown yang terjadi maka akan menyebabkan fibrosis paru. Partikel debu yang berukuran kurang dari 0.1 µm dapat keluar bersama-sama udara pada saat mengeluarkan napas sebagaimana halnya gas yang tidak larut. Menurut Sintorini (2002), ada tiga mekanisme masuknya debu ke dalam saluran pernapasan yaitu :

(40)

Pada sepanjang jalan pernapasan yang lurus tersebut debu akan langsung ikut dengan aliran, masuk ke dalam pernapasan yang lebih dalam, sedangkan partikel-partikel yang besar akan mencari tempat yang lebih ideal untuk menempel / mengendap seperti pada tempat-tempat yang berlekuk di selaput lendir pernapasan.

b. Sedimentasi, sedimentasi terjadi pada saluran pernapasan dimana kecepatan arus udara kurang dari 1 cm/detik, sehingga memungkinkan partikel debu tersebut melalui gaya berat dan akan mengendap. Debu dengan ukuran 3-5 mikron akan mengendap dan menempel pada mukosa bronkioli, sedangkan yang berukuran 1-3 mikron akan langsung ke permukaan alveoli paru. Mekanisme ini terjadi karena kecepatan aliran udara sangat berkurang pada satuan napas tegak.

(41)

funsi saluran napas yang permanent sehingga menimbulkan obstruksi saluran napas yang kronik (Wijaya, 1992).

2.6. Dampak Debu terhadap Kesehatan

Pemajanan debu sangat berkaitan dengan terhadap kesehatan. Meskipun demikian ada juga beberapa senjawa lain yang melekat bergabung pada partikulat, seperti timah hitam (Pb) dan senyawa beracun lainnya, yang dapat memajan tubuh melalui rute lain (Purwana, 2002).

Pengaruh partikulat debu bentuk padat maupun cair yang berada di udara sangat tergantung kepada ukurannya. Ukuran partikulat debu bentuk padat maupun cair yang berada diudara sangat tergantung kepada ukurannya. Ukuran partikulat debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0,1 mikron sampai dengan 10 mikron. Pada umunya ukuran partikulat debu sekitar 5 mikron merupakan partikulat udara yang dapat langsung masuk kedalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Keadaan ini bukan berarti bahwa ukuran partikulat yang lebih besar dari 5 mikron tidak berbahaya, karena partikulat yang lebih besar dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi (Kusnoputranto, 2002).

(42)

terbesar bagi kesehatan. Pada umumnya udara yang tercemar hanya mengandung logam berbahaya sekitar 0,01% sampai 3% dari seluruh partikulat debu di udara Akan tetapi logam tersebut dapat bersifat akumulatif dan kemungkinan dapat terjadi reaksi sinergistik pada jaringan tubuh, Selain itu diketahui pula bahwa logam yang terkandung di udara yang dihirup mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan dosis sama yang besaral dari makanan atau air minum (Sintorini, 2002).

2.7. Dampak Aktivitas Industri Meubel terhadap Kesehatan

Bahaya potensial yang muncul dari aktivitas industri meubel selain masalah estetika juga berkaitan dengan kesehatan. Pekerjaan dalam pembuatan meubel dapat menimbulkan kebisingan, debu. Pada Debu dan partikel kecil kayu banyak terjadi pada proses pemotongan kayu, penyerutan dan pengamplasan sebagai. Debu kayu ini dapat

menyebabkan iritasi dan alergi terhadap saluran pernafasan dan kulit. Kebisingan

menyebabkan gangguan aktivitas, konsentrasi dan pendengaran baik sementara atau tetap

Menurut Purwana (1992), efek kesehatan pada saluran pernapasan dapat dinilai melalui gejala penyakit pernapasan. Gejala penyakit pernapasan banyak dipakai dalam penelitian efek kesehatan oleh partikulat. Gejala penyakit pernapasan merupakan gambaran respon langsung atau efek jangka pendek saluran pernapasan terhadap partikulat, berupa batuk, sakit kerongkongan, bunyi mengi, dan sesak nafas.

(43)

gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan (Depkes, 2000).

Penyakit pada saluran pernapasan tampil dalam bentuk gejala yang berbeda yang pada dasarnya ditimbulkan oleh iritasi, kegagalan mucociliary transport, sekresi lendir yang berlebihan dan penyempitan saluran pernapasan. Tidak semua penelitian dan kegiatan program memakai gejala ganggua pernapasan yang sama. Misalnya untuk menentukan infeksi saluran pernapasan, WHO menganjurkan pengamatan terhadap gejala-gejala, kesulitan bernapas, radang tenggorok, pilek dan penyakit pada telingga dengan atau tanpa sisertai demam.

Kadar PM10

1. Batuk

berasosiasi dengan insidens gejala penyakit pernapasan terutama gejala batuk. Di dalam saluran pernapasan , partikulat yang mengendap menyebabkan oedema mukosa dinding saluran pernapasan sehingga terjadi penyempitan saluran. Berikut ini akan dijelaskan beberapa faktor yang mendasari timbulnya gejala penyakit pernapasan :

(44)

saluran pernapasan terhadap iritasi pada mukosa saluran pernapasan dalam bentuk pengeluaran udara (dan lendir) secara mendadak disertai bunyi khas.

2. Dahak

Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus glands) dan sel goblet oleh danya stimuli, misalnya yang berasal dari gas, partikulat, alergen dan mikroorganisme infeksius. Karena proses inflamasi, disamping dahak dalam saluran pernapasan juga terbentuk cairan eksudat berasal dari bagian jaringan yang berdegenerasi.

3. Sesak nafas

Sesak napas atau kesulitan bernapas merupakan penyakit aliran udara dalam saluran pernapasan kaena penyempitan. Penyempitan dapat terjadi karena saluran pernapasan menguncup, oedema atau karena sekret yang menghalangi arus udara. Sesak napas dapat ditentukan dengan menghitung pernapasan dalam semenit.

4. Bunyi mengi

Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit pernapasan yang turut diobservasikan dalam penanganan infeksi akut saluran pernapasan.

2.8. Faktor Lingkungan Kerja Yang Memengaruhi Pemajanan Debu (1) Ventilasi

(45)

produksi atau administrasi. Sebagai ruang produksi, sistem ventilasi umumnya terbuka atau setengah terbuka, dan banyak dilengkapi dengan exhauster yang berfungsi sebagai penyedot udara sehingga pergantian udara menjadi lebih lancar (Suma’mur, 1995). Ketersediaan exhauster di ruang produksi yang menghasilkan debu, dapat mengurangi risiko pemajanan debu kepada pekerja.

(2) Suhu

Suhu yang nyaman di tempat kerja adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan kepanasan bagi tenaga kerja yaitu berkisar antara 24 0C sampai 26 0

(3) Kelembaban

C. Suhu udara di tempat kerja tidak dapat dilepaskan dari keadaan iklim kerja. Iklim kerja merupakan keadaan udara di tempat kerja yang merupakan intraksi dari suhu udara, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan suhu radiasi (Suma‘mur, 1995)

(46)

(Suma’mur, 1995). Nilai Ambang Batas yang berlaku untuk lingkungan kerja industri sesuai Kepmenkes No.1405/Menkes/SK/XI/2002 untuk kelembaban adalah 60%.

2.9. Perilaku Pekerja Industri Kecil Meubel

Menurut Natoadmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

(47)

Perilaku dibedakan atas pengetahuan, sikap dan tindakan (Natoatmodjo, 2003) : a. Pengetahuan

Berdasarkan pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan dibagi atas 6 tingkatan :

1. Tahu (Know), yaitu sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

2. Memahami (Comprehension), yaitu memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (Aplication), yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).

4. Analisis (Analysis), yaitu suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (Synthesis), yaitu suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 6. Evaluasi (Evaluation), yaitu kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

(48)

b. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Natoatmodjo (2003), ada3 komponen pokok sikap, yaitu: (1) kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek, (2) kehidupan emosional atau evaluasi tehadap suatu objek, dan (3) Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total atitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Ciri ciri sikap adalah:

1. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungannya dengan obyeknya.

2. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu obyek. Dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari, atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu obyek yang jelas.

4. Obyek sikap itu dapat merupakan suatu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.

(49)

Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu. Sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecendrungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu (Natoatmodjo, 2003). Sikap dibedakan atas beberapa tingkatan :

1. Menerima (Receiving )

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulasi yang diberikan (objek).

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang tinggi.

c. Tindakan

(50)

1. Persepsi (Perception), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. 2. Respon terpimpin (Guided Response), yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai

dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.

3. Mekanisme (Mecanism), yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis.

4. Adopsi (Adoption), yaitu tahap melakukan tindakan aau suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

2.10. Penggunaan Alat Pelindung Diri

Menurut Suma’mur (1992), alat pelindung diri adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja. Jadi alat pelindung diri adalah merupakan salah satu cara untuk mencegah kecelakaan, dan secara teknis APD tidaklah sempurna dapat melindungi tubuh akan tetapi dapat mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan yang terjadi. Peralatan pelindung tidak menghilangkan ataupun mengurangi bahaya yang ada. Peralatan ini hanya mengurangi jumlah kontak dengan bahaya dengan cara penempatan penghalang antara tenaga kerja dengan bahaya. Alat pelindung diri ini tidaklah secara sempurna dapat melindungi tubuhnya tetapi akan dapat mengurangi tingkat keparahan yang mungkin terjadi (Budiono, 2003).

(51)

tenaga kerja yang memakainya karena mereka tidak terlindung dari bahaya potensial yang ada di tempat mereka terpapar. Oleh karena itu agar dapat memilih APD yang tepat, maka perusahaan atau industri harus mampu mengidentifikasi bahaya potensi yang ada, khususnya yang tidak dapat dihilangkan ataupun dikendalikan (Boediono, 2003). Adapun jenis APD yang berkaitan dengan pencegahan pemaparan debu adalah:

1. Masker

Masker berguna untuk melindungi masuknya debu atau partikel-partikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan, dapat terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu.

1) Masker penyaring debu, Masker ini berguna untuk melindungi pernafasan dari asap pembakaran,abu hasil pembakaran dan debu.

2) Masker berhidung, Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5 mikron.

3) Masker bertabung, Masker ini punya filter yang lebih baik daripada masker barhidung. Masker ini tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari gas tertentu.

2. Respirator

(52)

2) Respirator separuh masker, yang dibuat dari karet atau plastik dan dirancang menutupi hidung dan mulut. Alat ini memiliki cartridge yang sesuai, alat ini cocok untuk debu, gas serta uap. Bagian muka bertekanan negatif, karena hisapan dari paru.

3) Respirator seluruh muka, dibuat dari karet atau plastik dan dirancang untuk menutupi mulut, hidung dan mata. Medium filter dipasang didalam kanister yang langsung disambung dengan sambungan lentur. Dengan kanister yang sesuai, alat ini cocok untuk debu, gas dan uap. Bagian muka mempunyai tekanan negatif, karena paru menghisap disana.

4) Respirator berdaya, dengan separuh masker atau seluruh muka, dibuat dari karet atau plastik yang dipertahankan dalam tekanan positif dengan jalan mengalirkan udara melalui filter, dengan bantuan kipas baterai. Kipas itu, filter dan baterainya biasa dipasang disabuk pinggang, dengan pipa lentuk yang disambung untuk membersihkan udara sampai ke muka.

5) Respirator topeng muka berdaya mempunyai kipas dan filter yang dipasang pada helm, dengan udara ditiupkan ke arah bawah, diatas muka pekerja di dalam topeng yang menggantung. (Harrington & Gill, 2005)

2.11. Kapasitas Maksimal Paru Pekerja

Kapasitas paru merupakan kesanggupan paru-paru dalam menampung udara di

dalamnya. Kapasitas paru adalah suatu kombinasi peristiwa-peristiwa sirkulasi paru atau

(53)

residu (Guyton, 1997). Menurut Corwin (2001), Kapasitas vital paru jumlah udara yang

dapat dikeluarkan setelah ekspirasi maksimal, dan dalam keadaan yang normal kedua

paru-paru dapat menampung udara sebanyak ± 5 liter. Kapasitas Vital adalah jumlah

udara maksimum yang dapat dikeluarkan, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara

maksimum yang dapat dikeluarkan dan kemudian mengeluarkan sebanyak-banyaknya.

Pengujian kapasitas maksimal paru dapat dilakukan dengan menggunakan spirometer. Hasil pengujian spirometer dapat menunjukkan keterangan tentang kapasitas maksimal paru, dengan kategori:

a. Normal, jika nilai Kapasitas Maksimal Paru ≥80% b. Ringan, jika nilai Kapasitas Maksimal Paru 65%-79% c. Sedang, jika nilai Kapasitas Maksimal Paru 51%-64% d. Berat, jika nilai Kapasitas Maksimal Paru <50%

2.12. Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian ini mengacu pada konsep simpul determinan penyakit tidak menular, seperti pada gambar 2.1:

Sumber

- Alamiah

- Industri

- dll

Ambient

Transmisi melalui - Udara dan Air

- Makanan

Manusia

- Kependudukan

- Populasi at risk

Dampak

- Akut & Subakut

- Sehat

- Samar Manajemen PTM

Iklim dan Topografi

(54)

Menurut Ahmadi (2008), gangguan kesehatan pekerja disebabkan oleh multifaktor dan dalam manajemen kesehatan lingkungan dikenal dengan teori simpul. Ada empat simpul terhadap terjadinya suatu gangguan kesehatan terdiri dari (1) simpul satu yang disebut sumber penyakit, (2) simpul dua yaitu media transmisi penyakit, (3) simpul tiga perilaku pemajanan, dan (4) simpul empat kejadian penyakit. Simpul-simpul dalam penelitian ini berhubungan dengan manajemen penyakit non infeksi saluran pernafasan.

Simpul pertama, yaitu sumber penyakit, adalah titik mengeluarkan atau mengemisikan agent penyakit, yaitu komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan melalui kontak langsung atau melalui perantara.

Simpul kedua, media transmisi penyakit, yaitu komponen-komponen yang berperan memindahkan agent penyakit ke dalam tubuh manusia. Ada lima media transmisi yang lazim menjadi transmisi agent penyakit yaitu (1) udara, (2) air, (3) tanah/pangan, (4) binatang/serangga, dan (5) manusia/langsung.

Simpul ketiga, perilaku pemajanan, yaitu jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit, dan dalam konteks status kesehatan pekerja meubel agent penyakit masuk kedalam tubuh melalui sistem pernafasan.

(55)

2.12. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel independen dalam penelitian ini adalah sanitasi lingkungan industri kecil meubel yang terdiri dari keadaan ventilasi, suhu udara, dan kelembaban udara serta karakteristik pekerja yang terdiri dari umur, pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap dan penggunaan APD, serta variabel kadar debu kayu (PM10).

Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kapasitas faal paru pekerja yang diukur dengan menggunakan spirometri.

Keadaan Lingkungan Industri Kecil Meubel

- Ventilasi - Suhu - Kelembaban

Kapasitas Faal Paru Pekerja

Karakteristik Pekerja

- Umur - Pendidikan - Masa kerja - Pengetahuan - Sikap

- Penggunaan APD

(56)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis survai bersifat deskriptif-analitik dengan desain cross sectional studi yaitu menentukan pengaruh keadaan lingkungan kerja, karakteristik pekerja dan kadar debu kayu (PM10) terhadap kapasitas vital paru

pekerja di industri kecil Meubel di Kota Banda Aceh.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada industri kecil Meubel di Kota Banda Aceh dengan hasil survai awal masih ada pekerja yang belum menggunakan APD, kemudian di sekitar ruang pabrik banyak debu-debu yang berterbangan, sehingga diduga kadar debu tinggi dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada pekerja.

3.3.2. Waktu Penelitian

(57)

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh industri kecil meubel kayu di yang ada di Kota Banda Aceh 47 industri kecil meubel kayu, pekerja industri kecil meubel di Kota Banda Aceh sebanyak jumlah 371 orang.

3.3.2 Sampel

1. Industri Kecil Meubel

Sampel industri kecil meubel adalah sebagian dari industri kecil meubel yang ada di kota Banda Aceh yang dipilih sebanyak 10 industri, dengan kriteria:

a. Merupakan industri kecil meubel dengan bahan baku kayu untuk meubel b. Merupakan industri kecil meubel yang memproduksi hasil olahan kayu c. Beroperasi ≥ 5 tahun, dan masih produktif

d. Terletak di Kota Banda Aceh 2. Pekerja Industri Kecil Meubel

Sampel pekerja Industri Kecil Meubel adalah pekerja yang ada di 10 industri kecil meubel, dengan besar sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus : (Vincent, 1991):

Keterangan:

(58)

Dengan perhitungan:

Maka sampel dalam penelitian ini adalah 77 pekerja dan pabrik industri industri meubel sebanyak 10 buah. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara

simple random sampling yaitu pengambilan secara acak sederhana.

3.3.4. Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel penelitian mencakup:

1. Pengambilan sampel pekerja dilakukan secara simple random sampling

terhadap seluruh populasi yang ada sampai memenuhi jumlah sampel penelitian.

(59)

3.4 Variabel dan Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional No Nama

Variabel

Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur I Variabel Independen

1. Ventilasi

1) Ventilasi keadaan saluran udara dilihat dari kesesuaian luas ventilasi menurut luas ruangan yaitu 1/6 kali luas lantai (Kepmenkes No.1405/Menkes/SK/XI/2002

Pengukuran Meteran 1. Memenuhi syarat kesehatan (1/6 luas lantai) 2. Memenuhi Syarat

Kesehatan (<1/6 luas lantai)

Rasio

2) Suhu Keadaan suhu ruangan pabrik dalam derajat celcius.

Pengukuran thermometer 1. Memenuhi Syarat Kesehatan (±30 0

2. Tidak Memenuhi Syarat Kesehatan (>30

C)

0

Rasio

C) 3) Kelembaban keadaan kelembaban udara

dalam ruangan industri meubel dalam persen

Pengukuran Hygrometer 1. Memenuhi syarat kesehatan (65%-95%)

2. Tidak memenuhi syarat kesehatan (<65% / >95%)

Rasio

2 Karakteristik Pekerja

1) Umur lamanya hidup pekerja yang dihitung sejak lahir sampai ulang tahun terakhir dan dinyatakan dalam tahun

Wawancara Kuesioner 1. 18 – 35 Tahun 2. 36 – 48 Tahun

Nominal

2) Pendidikan jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh pekerja dan memperoleh ijazah yang sah

Wawancara Kuesioner 1. SD 2. SLTP 3. SLTA

Ordinal

3) Masa Kerja lamanya pekerja bekerja di industri kecil meubel.

Wawancara Kuesioner 1. 2 – 10 Tahun 2. 11 – 19 Tahun

Rasio

4) Pengetahuan segala sesuatu yang diketahui oleh pekerja tentang kadar debu, dampak pejanan debu terhadap kesehatan dan upaya pencegahannya

Wawancara Kuesioner 1. Baik (skor 16-20) 2. Kurang (skor 10-15)

Ordnial

5) Sikap respon atau penilaian pekerja terhadap dampak pejanan debu terhadap kesehatan dan upaya pencegahannya

Wawancara Kuesioner 1. Baik (skor 16-30) 2. Kurang (10-15)

Ordinal

6) Pengggunaan APD

ada atau tidaknya pekerja menggunakan APD dalam bekerja berdasarkan hasil observasi

Observasi Daftar Tilik 1. Menggunakan APD 2. Tidak Menggunakan APD

Nominal

7) Kadar Debu Kayu (PM10

konsentrasi kelompok partikel dari hasil aktifitas industri mebel (kayu) yang berukuran 10 mikron (µm) dalam satuan microgram per meter kubik (µg/Nm

)

3

Pengukuran

)

Aerocet 531 1. Memenuhi Syarat Kesehatan (<150 µg/Nm3

2. Tidak Memenuhi Syarat Kesehatan (≥150 µg/Nm )

3

Nominal

)

3. Variabel Dependen Kapasitas Vital Paru (KVP) Pekerja

kemampuan paru- paru pekerja menampung udara yang dilihat dari kapasitas vital paru secara maksimal.

Pengukuran Spirometeri 1. Normal, nilai KVP ≥80% 2. Ringan, jika nilai KVP

65%-79%

3. Sedang, jika nilai KVP 51%-64%

4. Berat, jika nilai KVP <50%

(60)

3.5 Metode Pengumpulan Data 3.5.1 Data Primer

Data yang diperoleh dari responden berdasarkan wawancara berpedoman pada kuesioner tentang karakteristik responden meliputi umur, pendidikan, masa kerja pengetahuan, sikap dan penggunaan APD diperoleh melalui observasi.

Keadaan lingkungan industri kecil meubel diperoleh melalui pengukuran dan pengamatan yaitu keadaan ventilasi, suhu udara, dan kelembaban udara.

3.5.2 Data Sekunder

Data yang diperoleh dari dokumen industri kecil berupa gambaran umum lokasi industri kecil, proses pengolahan kayu menjadi meubel atau barang jadi, ketenagaan pada industri kecil meubel di Kota Banda Aceh.

3.5.3 Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada pekerja industri meubel selain industri kecil meubel yang terpilih sebagai sampel penelitian. Responden yang telah ikut dalam uji validitas dan reliabilitas, tidak termasuk lagi menjadi sampel.

A. Uji Validitas

(61)

atau nilai yang menunjukkan tingkat kesahihan suatu alat ukur dengan cara mengukur korelasi antara variabel atau item dengan skor total variabel pada analisis reability

dengan melihat nilai correlation corrected item.

B. Reliabilitas

Pertanyaan dikatakan reliabel, jika jawaban responden terhadap pertanyaan (kuesioner) adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Reliabilitas menunjukkan pada suatu pengertian bahwa sesuatu instrumen cukup dapat dipercaya, untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik.

Reliabilitas data merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat menunjukkan ketepatan dan dapat dipercaya dengan menggunakan metode Cronbach’s Alpha, yaitu menganalisis reliabilitas alat ukur dari satu kali pengukuran, dengan ketentuan, jika nilai r Alpha> r tabel, maka dinyatakan relialibel.

Nilai r Tabel dalam penelitian ini menggunakan taraf signifikan 95%, maka untuk sampel 77 orang yang diuji nilai r-Tabelnya adalah sebesar 0,227 (Ryanto,A 2009). Hasil uji validitas dan reliabilitas dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.2. Validitas dan Reliabilitas Variabel Pengetahuan

No. Soal Rhitung Rtabel Keterangan

1 0,732 0,227 Valid

2 0,735 0,227 Valid

3 0,630 0,227 Valid

4 0,456 0,227 Valid

5 0,732 0,227 Valid

6 0,732 0,227 Valid

7 0,890 0,227 Valid

8 0,890 0,227 Valid

9 0,630 0,227 Valid

10 0,456 0,227 Valid

(62)

Berdasarkan Tabel 3.2. diatas dapat dilihat bahwa seluruh variabel pengetahuan sebanyak 10 soal mempunyai nilai r-hitung >0,227 (r-tabel) pada pengujian α =5% dengan alpha cronbach = 0.915, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pertanyaan variabel pengetahuan valid dan reliabel. Sedangkan untuk variabel sikap dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.2. Validitas dan Reliabilitas Variabel Sikap

No. Soal Rhitung Rtabel Keterangan

1 0,884 0,227 Valid

2 0,540 0,227 Valid

3 0,602 0,227 Valid

4 0,618 0,227 Valid

5 0,982 0,227 Valid

6 0,891 0,227 Valid

7 0,723 0,227 Valid

8 0,891 0,227 Valid

9 0,884 0,227 Valid

10 0,642 0,227 Valid

Nilai Alpha Cronbach,s r-Hitung = 0,941

Berdasarkan Tabel 3.3. diatas dapat dilihat bahwa seluruh variabel sikap mempunyai nilai r-hitung >0,227 (r-tabel) pada pengujian α =5% dengan alpha cronbach = 0,941 maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pertanyaan variabel sikap valid dan reliabel.

3.6. Metode Pengukuran

2. Pengukuran Variabel Keadaan Lingkungan Kerja Industri Kecil

Gambar

Tabel 2.1. Kriteria Udara Bersih dan Udara Tercemar oleh WHO
Gambar 2.1. Model Manajemen Penyakit Tidak Menular
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Definisi Operasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada bagian tertentu yang dapat dijadikan cluster ekonomi di kawasan perkotaan, pemerintah kota perlu mengadakan kegiatan revitalisasi kawasan sebagai bagian

Pada kesempatan ini penulis ingin mencoba membuat Aplikasi Game Puzzle pada Handphone dengan J2ME (Java 2 Micro Edition). Dimana pembuatanya menggunakan metode studi pustaka

Penulisan ilmiah ini menjelaskan tentang pembuatan aplikasi modul interaktif yang diterapkan pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, bagi siswa Sekolah Dasar yang bertujuan

dikenakan sanksi ad1ninistrasi ,kc1narin kita kcnakan rksp 5juta dan I() juta 1nanifest. barang-barang yang sebagian kita tegak sebagian besal dari Batam, jadi

Judul Penelitian : Potensi Isolat Bakteri Endofit sebagai Penghambat Pertumbuhan Bakteri (Ralstonia solanacearum) dan Jamur (Fusarium sp. dan Phytopthora

Dalam menentukan rencana penjualan, penulis yang di pilih oleh Pempek Bunting yakni konsumen/masyarakat yang memiliki status ekonomi menengah keatas dan berusia

Menanya - Guru mempersilahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan dari gambar yang diamati dan dari renungan yang telah dikaji - Guru memberikan kesempatan kepada siswa yang

(10) Berdasarkan Surat Perintah Pencairan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) Kuasa Bendahara Umum Daerah Kabupaten Kebumen memerintahkan Bank Persepsi dalam