• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi dan Evaluasi Secara In Vitro Floating Mucoadhesive Beads Dari Metronidazol Dengan Basis Alginat-Kitosan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Formulasi dan Evaluasi Secara In Vitro Floating Mucoadhesive Beads Dari Metronidazol Dengan Basis Alginat-Kitosan"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

FORMULASI DAN EVALUASI SECARA

IN VITRO

FLOATING MUCOADHESIVE BEADS

DARI

METRONIDAZOL DENGAN BASIS

ALGINAT-KITOSAN

OLEH:

ALI WARDANA SITEPU NIM 101501043

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 26 Agustus 2014

Pembimbing I,

Prof. Dr. M.T. Simanjuntak, M.Sc., Apt. NIP 195212041980021001 

Panitia Penguji

Prof. Dr. Karsono, Apt. NIP 195409091982011001

Prof. Dr. M.T. Simanjuntak, M.Sc., Apt. NIP 195212041980021001

Dr. Kasmirul R. Sinaga, M.S., Apt. NIP 195504241983031003

Dra. Lely Sari Lubis, M.Si., Apt. NIP 195404121987012001 

Medan, Oktober 2014 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Pembimbing II,

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa oleh karena kasih

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Formulasi

Dan Evaluasi Secara In Vitro Floating Mucoadhesive Beads Dari Metronidazol

Dengan Basis Alginat-Kitosan”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas

Farmasi Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bantuan serta

fasilitas selama pendidikan, kepada Prof. Dr. M.T. Simanjuntak, M.Sc., Apt., dan

Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing

penulis dengan penuh kesabaran selama penelitian. Ucapan terima kasih juga

disampaikan kepada Prof. Dr. Karsono, Apt., Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S.,

Apt., dan Dra. Lely Sari Lubis, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah

memberikan saran, arahan, kritik, dan masukan kepada penulis dalam

penyelesaian skripsi ini, kepada T. Ismanelly Hanum, S.Si., M.Si., Apt., selaku

dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan

kepada penulis selama ini, serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi

USU yang telah mendidik penulis selama masa perkuliahan.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada

Ayah dan Ibunda tercinta Kasinan Sitepu dan Sukahati br Milala, serta Karmila

(5)

penulis dan kepada sahabat-sahabat terdekat yang begitu mendukung dan

mendoakan penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk

perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, Oktober 2014

Penulis,

(6)

Formulasi dan Evaluasi Secara In Vitro Floating Mucoadhesive Beads dari Metronidazol dengan Basis Alginat-Kitosan

Abstrak

Salah satu kendala utama pada pengobatan ulkus yang disebabkan oleh H. pylori dengan sediaan konvensional adalah waktu tinggal obat yang singkat didalam lambung. Adapun beberapa sistem penghantaran obat ke lambung adalah

floating dan mucoadhesive. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat sediaan yang dapat bertahan lebih lama dalam lambung yang memiliki sifat floating dan mucoadhesive.

Floating mucoadhesive beads dibuat dengan menggunakan basis alginat kitosan dan dibuat dalam 11 formula dengan 3 kelompok formula. Kelompok 1 (F1) tanpa penyalutan, kelompok 2 (F2-F6) salut Eudragit RS 100, dan kelompok 3 (F7-F11) salut pertama dengan Eudragit RS 100 dan salut kedua dengan kalsium alginat. Diameter sediaan diukur dengan menggunakan micrometer.

Floating lag time dan floating time diukur pada gelas beker yang berisi medium lambung. Sifat mucoadhesive dari beads diuji dengan menggunakan tensiometer DuNoy menggunakan lambung tikus. Efisiensi penjeratan diukur terhadap 20 beads dan ditentukan jumlah metronidazol yang terjerat didalam beads. Pelepasan metronidazol dari beads dilakukan dengan menggunakan metode dayung USP dalam medium lambung buatan (pH 1,2). Kadar metronidazol diukur dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 277 nm.

Dari pengukuran didapat diameter beads adalah 2,70 mm sampai 3,27 mm.

Floating lag time dari semua beads adalah 0 menit sedangkan floating time lebih dari 12 jam. Dari uji mucoadhesive didapat gaya mucoadhesive adalah 1,14 sampai 2,06 dyne/mm2. Efisiensi penejaratan dari floating mucoadhesive beads berada pada rentang 62,24% sampai 76,46%. Pada uji pelepasan metronidazol dari beads menunjukkan bahwa beads dapat dijadikan pelepasan terkontrol, dimana semakin tinggi konsentrasi Eudragit RS 100 maka laju pelepasan metronidazol dari beads semakin lambat. Dari percobaan ini didapat hasil maksimal yaitu pada F11 dimana beads dapat melepaskan 83% metronidazol dalam 12 jam. Kinetika pelepasan metronidazol dari beads mengikuti kinetika pelepasan model Higuchi. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa F11 adalah potensial digunakan sebagai sediaan sustained release gastro retentive drug delivery system dari metronidazol.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Kerangka Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Ulkus Peptikum (Peptic Ulcer) ... 6

2.2 Gastroretentive Drug Delivery Sistem ... 7

2.3 Sistem Floating ... 8

(8)

2.3.1.1 Bentuk sediaan floating effervescent ... 9

2.3.1.2 Bentuk sediaan floating non-effervescent ... 9

2.3.2 Keuntungan FDDS ... 9

2.3.3 Kerugian FDDS ... 10

2.4 Sistem Mucoadhesive ... 10

2.4.1 Pengertian bioadhesive ... 10

2.4.2 Mekanisme bioadhesive ... 11

2.4.3 Teori bioadhesive ... 13

2.5 Metronidazol ... 15

2.5.1 Sifat fisika kimia metronidazol ... 15

2.5.2 Farmakologi ... 15

2.5.3 Farmakokinetik ... 16

2.5.4 Efek samping ... 16

2.6 Alginat ... 16

2.6.1 Struktur kimia ... 18

2.6.2 Sifat alginat ... 19

2.7 Kitosan ... 19

2.7.1 Struktur kimia kitosan ... 20

2.7.2 Sifat kitosan ... 21

2.7.3 Aplikasi farmasetik kitosan ... 21

2.8 Eudragit ... 22

2.8.1 Struktur kimia ... 22

2.8.2 Jenis polimer ... 23

(9)

2.9 Disolusi ... 25

2.9.1 Faktor faktor yang mempengaruhi laju disolusi ... 27

2.9.2 Metode disolusi ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

3.1 Alat - Alat Penelitian ... 31

3.2 Bahan – Bahan Penelitian ... 31

3.3 Prosedur Penelitian ... 31

3.3.1 Pembuatan larutan kalsium klorida 0,15 M ... 31

3.3.2 Pembuatan medium lambung buatan medium pH 1,2 . 31 3.3.3 Pembuatan kurva serapan dan kurva kalibrasi metronidazol ... 32

3.3.3.1 Pembuatan larutan induk baku metronidazol dalam medium pH 1,2 ... 32

3.3.3.2 Pembuatan kurva serapan metronidazol dalam medium pH 1,2 ... 32

3.3.3.3 Pembuatan kurva kalibrasi metronidazol dalam medium pH 1,2 ... 32

3.3.4 Pembuatan beads alginat – kitosan ... 32

3.3.5 Pembuatan beads salut eudragit rs 100 ... 33

3.3.6 Pembuatan beads salut eudragit rs 100 dan kalsium alginat ... 33

3.3.7 Penentuan diameter floating mucoadhesive beads ... 33

3.3.8 Pengukuran floating lag time ... 34

3.3.9 Pengukuran floating time ... 34

3.3.10 Efisiensi penjeratan ( entrapment efficiency) ... 34

(10)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 Pembuatan Floating Mucoadhesive Beads ... 36

4.2 Penenentuan Diameter Floating Mucoadhesive Beads ... 36

4.3 Scanning Electron Microscopy ... 39

4.3.1 Beads alginat-kitosan ... 39

4.3.2 Beads alginat-kitosan salut eudragit rs 100 30% ... 40

4.3.3 Beads alginat-kitosan salut eudragit rs 100 30% dan kalsium alginat ... 41

4.4 Pengukuran Floating Lag Time ... 41

4.5 Pengukuran Floating Time ... 43

4.6 Uji Mucoadhesive ... 44

4.7 Efisiensi Penjeratan (Entrapment Efficiency) ... 45

4.8 Pelepasan Metronidazol dari Floating Mucoadhesive Beads 46 4.8.1 Tanpa penyalutan ... 46

4.8.2 Salut eudragit rs 100 ... 47

4.8.3 Salut eudragit rs 100 dan kalsium alginat ... 49

4.8.4 Perbedaan jenis penyalut ... 52

4.9 Kinetika Pelepasan Metronidazol dari Beads Alginat .Kitosan ... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

5.1 Kesimpulan ... 67

5.2 Saran ... 67

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 2.1: Menunjukkan perbandingan asam uronat dalam berbagai sepsies Alga yang ditentukan dengan spektroskopi NMR high-field ... 17

Table 2.2: Jenis dan pemerian polimer eudragit ... 24

Tabel 3.1: Formula floating mucoadhesive beads... 34

Table 4.1: Diameter sediaan floating mucoadhesive beads dari

.Metronidazol dengan basis alginat-kitosan ... 37

Tabel 4.2: Floating lag time floating mucoadhesive beads dari

.Metronidazol dengan basis alginat-kitosan ... 42

Tabel 4.3: Floating time floating mucoadhesive beads dari

.Metronidazol dengan basis alginat-kitosan ... 43

Tabel 4.4: Daya mucoadhesive dari floating mucoadhesive beads dari

.Metronidazol dengan basis alginat-kitosan ... 45

Tabel 4.5: Persen efisiensi penjeratan floating mucoadhesive beads dari

Metronidazol dengan basis alginat-kitosan ... 46

Tabel 4.6: Pelepasan metronidazol dari beads salut eudragit rs 100 ... 47

Tabel 4.7: Pelepasan metronidazol dari beads salut eudragit rs 100 dan

.kalsium alginat ... 50

Tabel 4.8: Nilai AUC0-80% dari floating mucoadhesive beads ... 52

Tabel 4.9: Korelasi kinetika pelepasan metronidazol orde nol, orde satu,

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1.1: Kerangka penelitian ... 5

Gambar 2.1: Mekanisme sistem floating ... 8

Gambar 2.2: Skematik tegangan permukaan antara material polimer bioadhesif dan mukosa saluran cerna ... 13

Gambar 2.3: Ikatan mekanis melalui interpentrasi rantai polimer Bioadhesif dan rantai polimer mukus ... 14

Gambar 2.4: Struktur kimia metronidazol ... 15

Gambar 2.5: Struktur kimia alginat (a. monomer alginat, b. konformasi alginat, c. distribusi monomer) ... 18

Gambar 2.6: Struktur kimia kitosan ... 20

Gambar 2.7: Struktur kimia eudragit ... 23

Gambar 2.8: Disolusi obat dari suatu padatan matriks ... 27

Gambar 4.1: A. Formula 1, B. Formula 2, C. Formula 3, D. Formula 4, E. Formula 5, F. Formula 6, G. Formula 7, H. Formula 8, I. Formula 9, J. Formula 10, K. Formula 11 ... 39

Gambar 4.2: Foto SEM beads alginat-kitosan (perbesaran 50x, 500x .dan 1000x) ... 40

Gambar 4.3: Foto SEM beads alginat-kitosan salut eudragit rs 100 30% (perbesaran 50x, 500x dan 1000x) ... 40

Gambar 4.4: Foto SEM beads alginat-kitosan salut eudragit rs 100 30% dan kalsium alginat (perbesaran 50x, 500x dan 1000x) ... 41

Gambar 4.5: Pengukuran floating lag time dari floating mucoadhesive beads ... 42

Gambar 4.6: Pengukuran floating time dari floating mucoadhesive beads ... 43

Gambar 4.7: Grafik pengaruh konsentrasi eudragit rs 100 terhadap laju pelepasan metronidazol dari beads ... 48

(13)

Gambar 4.9: Pengaruh penyalutan beads terhadap laju pelepasan

metronidazol dari beads ... 53

Gambar 4.10: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 1 ... 55

Gambar 4.11: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 1 ... 56

Gambar 4.12: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 2 ... 56

Gambar 4.13: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 2 ... 57

Gambar 4.14: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 3 ... 57

Gambar 4.15: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 3 ... 58

Gambar 4.16: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 4 ... 58

Gambar 4.17: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 4 ... 59

Gambar 4.18: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 5 ... 59

Gambar 4.19: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 5 ... 60

Gambar 4.20: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 6 ... 60

Gambar 4.21: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 6 ... 61

Gambar 4.22: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 7 ... 61

Gambar 4.23: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 7 ... 62

Gambar 4.24: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 8 ... 62

Gambar 4.25: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 8 ... 63

(14)

Gambar 4.27: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 9 ... 64

Gambar 4.28: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 10 ... 64

Gambar 4.29: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 10 ... 65

Gambar 4.30: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 11 ... 65

Gambar 4.31: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1: Sertifikat analisis metronidazol ... 71

Lampiran 2: Kurva serapan larutan metronidazol 12 mcg/ml dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 72

Lampiran 3: Pengukuran kurva kalibrasi larutan metronidazol dengan berbagai konsentrasi pada panjang gelombang 277 nm dalam mMedium pH 1,2 ... 73

Lampiran 4: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 1 ... 74

Lampiran 5: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 2 ... 76

Lampiran 6: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 3 ... 78

Lampiran 7: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 4 ... 80

Lampiran 8: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 5 ... 83

Lampiran 9: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 6 ... 86

Lampiran 10: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 7 ... 89

Lampiran 11: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 8 ... 92

Lampiran 12: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 9 ... 95

Lampiran 13: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 10 ... 97

Lampiran 14: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 11 ... 101

Lampiran 15: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 1 ... 104

Lampiran 16: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 2 ... 105

Lampiran 17: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 3 ... 106

Lampiran 18: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 4 ... 107

(16)

Lampiran 20: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating

mucoadhesive beads Formula 6 ... 109

Lampiran 21: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 7 ... 110

Lampiran 22: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 8 ... 111

Lampiran 23: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 9 ... 112

Lampiran 24: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 10 ... 113

Lampiran 25: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 11 ... 114

Lampiran 26: Uji statistik Formula 1-6 ... 115

Lampiran 27: Uji statistik Formula 7-11 ... 117

Lampiran 28: Uji statistik pengaruh penyalutan ... 118

Lampiran 29: Gambar alat ... 119

(17)

Formulasi dan Evaluasi Secara In Vitro Floating Mucoadhesive Beads dari Metronidazol dengan Basis Alginat-Kitosan

Abstrak

Salah satu kendala utama pada pengobatan ulkus yang disebabkan oleh H. pylori dengan sediaan konvensional adalah waktu tinggal obat yang singkat didalam lambung. Adapun beberapa sistem penghantaran obat ke lambung adalah

floating dan mucoadhesive. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat sediaan yang dapat bertahan lebih lama dalam lambung yang memiliki sifat floating dan mucoadhesive.

Floating mucoadhesive beads dibuat dengan menggunakan basis alginat kitosan dan dibuat dalam 11 formula dengan 3 kelompok formula. Kelompok 1 (F1) tanpa penyalutan, kelompok 2 (F2-F6) salut Eudragit RS 100, dan kelompok 3 (F7-F11) salut pertama dengan Eudragit RS 100 dan salut kedua dengan kalsium alginat. Diameter sediaan diukur dengan menggunakan micrometer.

Floating lag time dan floating time diukur pada gelas beker yang berisi medium lambung. Sifat mucoadhesive dari beads diuji dengan menggunakan tensiometer DuNoy menggunakan lambung tikus. Efisiensi penjeratan diukur terhadap 20 beads dan ditentukan jumlah metronidazol yang terjerat didalam beads. Pelepasan metronidazol dari beads dilakukan dengan menggunakan metode dayung USP dalam medium lambung buatan (pH 1,2). Kadar metronidazol diukur dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 277 nm.

Dari pengukuran didapat diameter beads adalah 2,70 mm sampai 3,27 mm.

Floating lag time dari semua beads adalah 0 menit sedangkan floating time lebih dari 12 jam. Dari uji mucoadhesive didapat gaya mucoadhesive adalah 1,14 sampai 2,06 dyne/mm2. Efisiensi penejaratan dari floating mucoadhesive beads berada pada rentang 62,24% sampai 76,46%. Pada uji pelepasan metronidazol dari beads menunjukkan bahwa beads dapat dijadikan pelepasan terkontrol, dimana semakin tinggi konsentrasi Eudragit RS 100 maka laju pelepasan metronidazol dari beads semakin lambat. Dari percobaan ini didapat hasil maksimal yaitu pada F11 dimana beads dapat melepaskan 83% metronidazol dalam 12 jam. Kinetika pelepasan metronidazol dari beads mengikuti kinetika pelepasan model Higuchi. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa F11 adalah potensial digunakan sebagai sediaan sustained release gastro retentive drug delivery system dari metronidazol.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sistem penghantaran obat tinggal di lambung sangat menguntungkan

untuk beberapa obat untuk meningkatkan bioavailabilitas dan menurunkan dosis

terapinya. Diantara berbagai sediaan sistem tinggal di lambung, floating dan bio

(muco)-adhesive adalah yang paling banyak diteliti untuk meningkatkan efek

terapi dan meningkatkan bioavailabilitas sediaan yang tinggal di lambung

(Malakar dan Nayak, 2013).

Daya mengapung sistem floating dibatasi jumlah cairan lambung yang

hanya mempunyai persentase yang sedikit pada komposisi isi lambung untuk

mengapung sehingga sediaan dapat jatuh dan terbawa keluar dari lambung, daya

mengapung dari sediaan mungkin sangat terbatas yaitu hanya 3-4 jam (waktu

pengosongan lambung normal). Sistem bioadhesive menempel pada lapisan epitel

mukosa lambung, yang mana dapat terlepas dari mukosa dan dibawa keluar dari

lambung akibat adanya pengaruh dari motilitas lambung. Keterbatasan dari sistem

floating dan mucoadhesive tersebut memungkinkan untuk menggabungkannya

menjadi sistem floating bioadhesive yang akan dapat meningkatkan waktu kontak

dengan lapisan epitel lambung, efikasi terapetik dan bioavailabilitas obat (Rathi,

et al., 2012).

Bahan bahan yang berpotensi pada pembuatan sediaan mucoadhesive

untuk penghantaran obat merupakan biopolimers yang dapat digunakanan pada

(19)

dilaporkan dari penelitian sebelumnya yaitu pektin, natrium karboksi metil

selulosa (Na CMC), natrium alginat dan kitosan ( Ali dan Bakalis, 2011).

Menurut penelitian sebelumnya, polielektrolit kompleks dalam bentuk

mikrosphere dan beads yang dibentuk oleh polimer kationik dan polimer anionik

dapat meningkatkan waktu pelepasan obat atau pelepasan terkontrol. Contoh

polielektrolit kompleks untuk mengontrol pelepasan obat yang sering digunakan

yaitu alginat/kitosan, kitosan-mikropartikel multicore selulosa, kitosan berlapis

pektin, kitosan/poli (asam akrilat) kompleks, poli (vinil alkohol)/natrium alginat,

poli (acid-g-metakrilat etilena glikol) partikel (Piyakulawat, et al., 2007).

Menurut Honary, et al., (2009), telah terjadi peningkatan minat dalam

studi alginat-kitosan sebagai mikropartikel untuk penghantaran terkontrol pada

protein dan obat karena sifatnya yang biokompatibel, biodegradable dan sifat

mucoadhesivenya. Sebuah studi pada penggabungan kitosan dengan alginat

menggunakan label radioaktif pada kitosan menunjukkan bahwa ikatan kedua

polimer menunjukkan dengan jelas adanya sifat mengurangi berat molekul

rata-rata kitosan dan meningkatkan porositas dari alginat gel.

Kitosan (diperoleh dari deasetilasi kitin) adalah polimer kationik yang

telah banyak diusulkan untuk digunakan dalam pembuantan sediaan beads oleh

sejumlah peneliti. Kitosan terpilih sebagai polimer dalam pembuatan

mucoadhesive microsphere/beads karena memiliki sifat mucoadhesive yang baik

dan bersifar biodegradable (Patel, et al., 2005). Sedangkan alginat memiliki sifat

yang unik dalam pembentukan gel dengan adanya kation multivalent seperti

ion-ion kalsium dalam medium air. Penambahan polikation-ion seperti kitosan dengan

(20)

yang bermuatan negatif. Ketika butiran kalsium-alginat ditambahkan ke dalam

larutan kitosan, interaksi elektrostatik gugus karboksilat dari alginat dengan gugus

amin dari kitosan menghasilkan pembentukan sebuah membran. Proses ini telah

banyak digunakan dalam pembuatan membran alginat-kitosan dengan inti gel

kalsium-alginat yang padat. Ada banyak keuntungan penyalutan dengan kitosan,

seperti peningkatan jumlah muatan obat dan sifat bioadesive, juga sifat pelepasan

obat yang diperlama (Farahani, et al., 2006).

Untuk penelitian lebih lanjut tentang pemanfaatan alginat dan kitosan

maka peneliti tertarik untuk meneliti pembuatan floating mucoadhesive beads dari

alginat kitosan dengan menggunakan metronidazol sebagai model obat.

Metronidazol adalah obat antibiotik yang digunakan terutama dalam pengobatan

infeksi yang disebabkan oleh organisme yang rentan, terutama bakteri anaerob

dan protozoa. Metronidazol diserap dengan baik secara oral dengan eliminasi

plasma dengan waktu paruh mulai 6 - 7 jam (Mourya, et al., 2010). Karena waktu

paruh eliminasinya singkat, maka metronidazol perlu dibuat dalam bentuk sediaan

pelepasan terkontrol yang bertahan dalam lambung seperti mucoadhesive beads.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, diambil perumusan masalah yaitu:

a. Apakah beads dari metronidazol dengan basis alginat-kitosan merupakan

sediaan floating-mucoadhesive?

b. Apakah pelepasan metronidazol dari beads floating-mucoadhesive dengan

(21)

1.3Hipotesis

a. Beads dari metronidazol dengan basis alginat – kitosan merupakaan

sediaan floating-mucoadhesive.

b. Pelepasan metronidazol dari beads floating-mucoadhesive dengan basis

alginat kitosan merupakan pelepasan terkontrol.

1.4Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui sifat floating-mucoadhesive sediaan beads dari

metronidazol dengan basis alginat–kitosan.

b. Untuk mengetahui pelepasan terkontrol metronidazol dari beads floating

-mucoadhesive dengan basis alginat-kitosan.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat floating

-mucoadhesive dan profil pelepasan metronidazol dari beads floating

-mucoadhesive alginat - kitosan dalam perkembangan penelitian tentang

(22)

1.6Kerangka Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan mengacu pada kerangka konsep seperti

ditunjukkan pada Gambar 1:

Latar Belakang Penyelesaian Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1. Kerangka penelitian

(23)

BAB II

TI NJAUAN PUSTAKA

2.1 Ulkus Peptikum (Peptic Ulcer)

Ulkus peptikum merupakan daerah ekskoriasi mukosa yang disebabkan

kerja pencernaan getah lambung. Penyebab ulkus peptikum yang biasa adalah

terlalu banyak sekret getah lambung dalam hubungannya dengan derajat

perlindungan yang diberikan oleh lapisan mukus lambung dan duodenum serta

netralisasi asam lambung oleh getah duodenum. Diingatkan bahwa semua daerah

yang dalam keadaan normal terpapar getah lambung disuplai banyak kelenjar

mukosa, mulai dengan kelenjar mukosa komposita pada bagian bawah esofagus,

kemudian lambung, sel leher mukosa glandula gastrika, glandula pilorika dalam

yang terutama menyekresi mucus, akhirnya kelenjar Brunner pada duodenum atas

yang menyekresi mukus yang sangat alkali (Guyton, 1990).

Selain dari perlindungan mukus dari mukosa, duodenum juga dilindungi

oleh sekresi usus halus yang alkali, yang mengandung banyak natrium bikarbonat

yang menetralkan asam hidroklorida getah lambung, jadi menonaktifkan pepsin

sehingga mencegah pencernaan mukosa. Dua mekanisme tambahan yang

menjamin netralisasi getah lambung (Guyton, 1990) adalah:

1. Bila asam yang berlebihan masuk duodenum ia secara refleks menghambat

sekresi dan peristaltik lambung, karena itu mengurangi kecepatan

pengosongan lambung. Hal ini memungkinkan sekret pankreas mempunyai

waktu yang lebih lama untuk masuk ke duodenum dan menetralkan asam

(24)

2. Adanya asam dalam usus halus mengeluarkan sekretin dari mukosa usus

halus, kemudian sekretin melalui darah menuju ke pancreas untuk

merangsang sekresi cepat getah pankreas mengandung natrium bikorbat

konsentrasi tinggi, jadi membuat lebih banyak natrium bikarbonat tersedia

untuk menetralkan asam.

2.2 Gastroretentive Drug Delivery Sistem

Sistem penghantaran obat tinggal di lambung (GDDS) adalah salah satu

cara untuk memperpanjang waktu tinggal sediaan di dalam lambung, dengan

maksud untuk pemberiaan obat lokal pada saluran cerna bagian atas ataupun

untuk efek sistemik (Nayak, et al., 2010). Keuntungan dari penggunaan sistem

penghantaran obat tinggal di lambung adalah untuk menurunkan perubahan

pelepasan obat, pengobatan lokal dan aksi lokal, dan untuk meningkatkan

bioavailabilitas obat yang absorpsinya terbatas di dalam saluran cerna. Adapun

metode untuk membuat sediaan tinggal di lambung adalah:

- Penambahan bahan yang memperlambat pelepasan, seperti makanan, atau

obat, sebagai contoh propanthilen.

- Penggunaan bahan yang berat jenisnya tinggi: bahan dengan berat jenis tinggi

( 2.5g/cm3) akan mempunyai waktu tinggal yang lama di saluran cerna. Hal

ini dapat dicapai dengan penambahan bahan seperti barium sulfat.

- Pengubahan ukuran/bentuk sistem penghantaran dengan menggunakan

lapisan polimer, balon hidrogel yang mengembang, atau polimer yang

mempunyai ukuran besar untuk melewati sphingter pylorus.

- Sistem bioadesi. Sistem ini memunyai daya lengket terhadap mukosa.

(25)

pengosongan lambung. Sistem ini tidak dipengaruhi waktu pengosongan

lambung dan mempunyai pengaruh gravitasi yang kecil dibandingkan bahan

bahan lain yang terdapat di lambung (Aulton, 2008).

2.3 Sistem Floating

Sistem floating atau Hydrodynamically controlled sistem adalah sistem

yang memiliki berat jenis rendah yang mempunyai kemampuan untuk mengapung

(floating) diatas isi lambung dan kemampuan di dalam lambung tanpa dipengaruhi

laju pengosongan lambung pada suatu periode waktu yang lama. Ketika sistem ini

mengapung pada komposisi lambung, obat dilepas secara perlahan pada laju yang

diinginkan. Setelah melepaskan obat, sisa dari sediaan akan dikeluarkan dari

lambung (Arora, et al., 2005).

2.3.1 Pembagian sistem floating

Sistem penghantaran floating dibagi berdasarkan pada variable

formulasinya: effervescent dan sistem non-effervescent.

(26)

2.3.1.1 Bentuk sediaan floating effervescent

Ada beberapa jenis matriks yang dipakai untuk membantu pembuatan

sediaan floating yaitu polimer yang dapat mengembang seperti metil selulosa dan

kitosan dan berbagai bahan effervescent, sebagai contoh natrium bikarbonat,

asam tartrat, dan asam sitrat. Sistem ini diformulasi dimana ketika sediaan kontak

dengan asam lambung, akan dilepaskan gas CO2 dan gas terperangkap dalam

hidrokoloid yang mengembang sehingga sediaan akaan mempunyai kemampuan

untuk mengapung.

2.3.1.2 Bentuk sediaan floating non-effervescent

Bentuk sediaan floating non-effervescent menggunakan bentuk gel atau

jenis hidrokoloid selulosa yang dapat mengembang, polisakarida, dan polimer

bentuk matriks seperti polikarbonat, poliakrilat, polimetakrilat, dan polistiren.

Metode formulasi mecakup pendekatan sederhana dengan cara mencampur obat

dengan pembentuk gel-hidrokoloid. Setelah pemberian oral sediaan akan

mengembang ketika kontak dengan cairan lambung dan membentuk massa

dengan berat jenis 1. Udara yang terjerat di dalam matriks yang mengembang

membuat sediaan akan mengapung (Arora, et al., 2005).

2.3.2 Keuntungan FDDS

Keuntungan FDDS adalah sebagai berikut:

1. Sistem floating sangat menguntungkan untuk obat yang dimaksudkan untuk

aksi lokal seperti lambung. Contoh: antasida

2. Obat obat yang bersifat asam seperti aspirin dapat menyebabkan iritasi pada

dinding lambung ketika berkontak dengan lambung. Oleh karena itu FDDS

(27)

3. Sistem floating sangat menguntungkan untuk obat obat yang diabsorpsi di

saluran cerna. Contoh: Garam Fero, antasida

4. Penghantaran obat yang diperpanjang seperti sediaan floating, tablet atau

kapsul, akan terdisolusi di dalam cairan lambung. Sediaan floating terlarut

pada cairan lambung akan segera diabsorbsi di usus halus setelah waktu

pengosongan lambung.

5. Semua obat akan diabsorpsi secara sempurna dari bentuk sediaan floating

walaupun dalam larutan dengan pH alkali di saluran pencernaan.

2.3.3 Kerugian FDDS

Adapaun kerugian dari sistem FDDS adalah:

1. Sistem floating tidak cocok untuk obat obat yang mempunyai kelarutan dan

stabilitas yang rendah di saluran pencernaan.

2. Sistem ini membutuhkan cairan lambung yang banyak untuk menjaga sediaan

tetap mengapung.

3. Obat obat yang secara cepat dieliminasi dari tubuh seperti obat-obat yang

megalami first pass metabolism tidak cocok menjadi kandidat obat ini

(Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011).

2.4 Sistem Mucoadhesive

2.4.1 Pengertian bioadhesive

Isitilah bioadhesive digunakan untuk menjelaskan ikatan antara dua

permukaan biologi atau ikatan antara permukaan biologi dengan permukaan bahan

bahan sintesis. Pada sistem penghantaran obat dengan bioadhesive ini digunakan

(28)

penghantaran obat sistem bioadhesive adalah jaringan sel halus (seperti sel epitel),

pada kenyataannya ikatan mungkin terjadi dengan lapisan sel, lapisan mukus,

ataupun kombinasi dari keduanya. Ikatan antara mukus dengan polimer, disebut

juga dengan mucoadhesive yang digunakan sebagai sinonim bioadhesive. Pada

umumnya, bioadhesive adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan

ikatan dari sistem biologis atau derivat substansi biologis, dan mucoadhesive

hanya digunakan untuk menggambarkan ikatan yang mencakup mukus dan

permukaan mukosa (Chickering dan Mathiowitz, 1999).

2.4.2 Mekanisme bioadhesive

Untuk membuat sistem penghantaran obat sistem bioadhesive, ini sangat

penting untuk menggambarkan dan menngetahui gaya yang berperan penting

dalam pembentukan bentuk ikatan adhesif. Banyak penelitian yang focus untuk

menganalisis interaksi bioadhesive dengan polimer hidrogel dan jaringan halus.

Adapun proses yang mencakup pembentukan ikatan bioadhesive telah

digambarkan dalam tiga langkah yaitu: (a) pembasahan dan pengembangan

polimer untuk memulai kontak dengan jaringan biologis, (b) Interpenetrasi rantai

polimer bioadhesive dan penggabungan rantai polimer dan rantai mukus, (c)

pembentukan ikatan kimia yang lemah pada penggabungan rantai polimer dan

mukus (Chickering dan Mathiowitz, 1999).

a. Ikatan kimia

Tipe ikatan kimia mencakup ikatan yang kuat yaitu ikatan primer seperti

ikatan kovalen), dan juga ikatan kimia yang lemah seperti ikatan sekunder seperti

(29)

digambarkan pada buku ini, kedua jenis interaksi tersebut telah dimanfaatkan

untuk membuat sediaan sistem bioadhesive (Chickering dan Mathiowitz, 1999).

Meskipun sistem ini didesain untuk membentuk ikatan kovalen dengan

protein pada permukaan sel akan mengasilkan beberapa keuntungan, namun ada

tiga faktor yang membatasi kegunaan dari ikatan yang permanen. Pertama, lapisan

mukus mungkin menghambat secara langsung kontak antara polimer dengan

jaringan. Kedua, ikatan kimia yang permanen dengan epitel mungkin tidak akan

menghasilkan yang dapat bertahan lama karena pada umumnya sel epitel

diregenerasi setiap 3 sampai 4 hari. Ketiga, biokompatibilas dari ikatan yang dapat

menghasilkan masalah signifikan (Chickering dan Mathiowitz, 1999).

Untuk alasan itu, maka banyak penelitian yang difokuskan pada

pembuatan hidrogel, sistem mucoadhesive yang memiliki ikatan kimia yang lain

seperti interaksi van der Waals atau ikatan hydrogen. Selanjutnya, polimer yang

memiliki berat bolekul besar dan dengan konsentrasi reaktif yang tinggi, yaitu

gugus polar (seperti –COOH dan –OH) yang berperan dalam pembuatan ikatan

mucoadhesive (Chickering dan Mathiowitz, 1999).

b. Ikatan mekanis atau fisika

Ikatan mekanis dapat terjadi seperti interaksi fisika antara permukaan yang

sama untuk menggambungkan dua bentuk susunan. Secara makroskopik, ikatan

ini dapat dilihat penggabungan fisik dari rantai mukus dengan rantai polimer yang

fleksibel dan/atau interpenetrasi dari rantai mukus kedalam pori dari substrat

polimer. Laju penetrasi rantai polimer kedalam lapisan mukus tergantung pada

fleksibelitas rantai dan koefisien difusi masing masing. Kekuatan dari ikatan

(30)

yang mempengaruhi kekuatan ikatan mencakup keberadaan air, waktu kontak

antar material, dan panjang dan fleksibilitas rantai polimer (Chickering dan

Mathiowitz, 1999).

2.4.3 Teori bioadhesive

A. Teori elektronik

Hipotesis dari teori elektronik didasarkan pada asumsi bahwa material

bioadhesive dan material target biologis mempunyai struktur elektorn yang

berbeda. Pada asumsi ini, ketika dua material kontak satu sama lain, akan terjadi

perpindahan electron untuk menghasilkan bentuk yang stabil, yang menyebabkan

pembentukan dua lapisan pada muatan electron yaitu pada material bioadhesive

permukaan material biologis (Chickering dan Mathiowitz, 1999).

B. Teori adsorpsi

Teori adsorpsi menyatakan ikatan bioadhesive dibentuk antara suatu

substrat bioadhesive dan jaringan atau mukosa melalui interaksi van der Waals,

ikatan hydrogen, dan gaya yang berkaitan. Meskipun gaya yang dihasilkan lemah,

namun jumlah dari interaksi dapat menghasilkan adhesive yang kuat (Chickering

dan Mathiowitz, 1999).

C. Teori pembasahan

Gambar 2.2. Skematik tegangan permukaan antara material polimer

(31)

Kemampuan dari bioadhesive atau mukus untuk menyebar dan

membentuk kontak yang mandalam dengan substrat yang cocok adalah salah satu

faktor yang penting pada pembentukan ikatan. Teori pembasahan, ditemukan pada

umumnya pada adhesive cairan, menggunakan tegangan antar permukaan untuk

memperhitungan penyebaran dan sifat adhesifnya (Chickering dan Mathiowitz,

1999).

D. Teori difusi

Konsep dari interpenetrasi dan penggabungan rantai polimer bioadhesive

dengan rantai polimer mukus menghasilkan ikatan adhesive yang semipermanen

yang disebut dengan teori difusi. Teori ini menganggap ikatan akan semakin kuat

dengan meningkatnya tingkat penetrasi dari rantai polimer kedalam lapisan

mukus. Penetrasi dari rantai polimer kedalam lapisan mukus, tergantung dari

gradien konsentrasi dan koefisien difusi.

Gambar 2.3: Ikatan mekanis melalui interpentrasi rantai polimer bioadhesive

dan rantai polimer mukus

E. Teori fraktur

Barangkali teori yang paling banyak diaplikasikan pada pemahaman

tentang bioadhesive melalui pengukuran secara mekanis adalah teori fraktur.

(32)

2.5 Metronidazol

2.5.1 Sifat fisika kimia metronidazol

Struktur metronidazol dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini:

Gambar 2.4. Struktur kimia metronidazol

Rumus kimia metronidazol adalah C6H9N3O3 dengan nama kimia

2-metil-5-nitroimidazol-1-etanol, mempunyai berat molekul 171,16. Metronidazol

mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0% C6H9N3O3,

dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemberiannya antara lain: hablur

atau serbuk hablur; putih hingga kuning pucat; tidak berbau; stabil di udara, tetapi

lebih gelap bila terpapar oleh cahaya. Sukar larut dalam eter; agak sukar larut

dalam air, dalam etanol dan dalam kloroform (Ditjen POM, 1995).

2.5.2 Farmakologi

Metronidazol memperlihatkan daya amubisid langsung. Pada biakan E.

histolytica dengan kadar metronidazol 1 - 2 µg/mL, semua parasit musnah dalam

24 jam. Sampai saat ini belum ditemukan amuba yang resisten terhadap

metronidazol. Metronidazol juga memperlihatkan daya trikomonoiasid langsung.

Pada biakan Trichomonas vaginalis, kadar metronidazol 2,5 µg/mL dapat

mengancurkan 99% parasit dalam waktu 24 jam. Trofozit Giardia lambia juga

dipengaruhi langsung pada kadar antara 1 - 50 µg/mL. Namun, saat ini telah

dilaporkan bahwa Trichomonas vaginalis dan Giardia lambia secara klinis

(33)

2.5.3 Farmakokinetik

Metronidazol diserap dengan baik setelah pemberiaan oral dan dianjurkan

sebagai obat penyeling atau pengganti pada penyakit intestinal yang ringan dan

berat, serta yang tanpa gejala. Satu jam setelah pemberian dosis tunggal 500 mg

per oral diperoleh kadar plasma kira-kira 10 µg/mL. umumnya untuk kebanyakan

protozoa dan bakteri yang sensitif, rata rata diperlukan kadar tidak lebih dari 8

µg/mL (Syarif dan Elysabeth, 2013; Foye, 1996)

Waktu paruhnya berkisar antara 8-10 jam. Pada beberapa kasus terjadi

kegagalan karena rendahnya kadar sistemik. Ini mungkin disebabkan oleh

absorpsi yang buruk atau metabolisme terlalu cepat. Obat ini diekskresi melalui

urin dalam bentuk asal dan bentuk metabolit hasil oksidasi dan glukuronidasi.

Metronidazol juga diekskresi melalui air liur, air susu, cairan vagina, dan cairan

seminal dalam kadar yang rendah (Syarif dan Elysabeth, 2013).

2.5.4 Efek Samping

Efek samping nampaknya banyak dan terutama menyangkut saluran

lambung-usus, persendian, dan saraf rasa. Adapaun efek samping tersebut adalah

mual, muntah, gangguan pengecapan, lidah kasar, gangguan saluran cerna, ruam,

urtikaria dan angioudem; kadang kadang timbul rasa lesu, mengantuk pusing,

ataksia, urin bewarna gelap dan anafilaksis. Neuritis perifer pada penggunaan

jangka panjang, serangan epilepsy transein, leukopenia (Foye, 1996; Sukandar,

dkk., 2008).

2.6 Alginat

(34)

Alginat adalah kopolimer yang tersusun dari α-L-Guluronat dan β-D-Mannuronat.

Alginat komersil umumnya diproduksi dari Laminaria hyperborean, Macrocystis

pyrifera, Laminaria digitata, Ascophyllum nodosum, Laminaria japonica, Edonia

maxima, Lessonia nigrescens, Durvillea Antarctica, dan Sargassum sp (Draget, et

al., 2005).

Berikut ini adalah tabel perbandingan asam uronat dari berbagai spesies

alga, yaitu:

Tabel 2.1. Menunjukkan perbandingan asam uronat dalam berbagai sepsies alga .. ..yang ditentukan dengan spektroskopi NMR high-field.

Jenis FG FM FGG FMM FGM,MG

Laminaria japonica

Laminaria digitata

Laminaria hyperborea, blade

Laminaria hyperborea, stipe

Laminaria hyperborean, outer cortex

Lessonia nigerescens

Ecklonia maxima

Macrocystis pyrifera

Durviella antarctia

Ascophyllum nodosum, fruiting body

Ascophyllum nodosum, old tisue

0,35

Perbandingan yang bervariasi dari asam uronat menyebabkan perbedaan

sifat produk yang dihasilkan. Alginat yang mengandung asam guluronat yang

(35)
(36)

2.6.2 Sifat alginat

Kelarutan alginat dalam air ditentukan oleh tiga parameter, yaitu:

- pH pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan adanya

muatan elektrostatik pada residu asam uronat

- Kekuatan ionik total zat terlarut juga memainkan peranan penting (efek

salting-out kation-kation non-gelling), dan

- Kandungan dari ion-ion pembentuk gel dalam pelarut membatasi kelarutan

(Draget, et al., 2005).

Alginat secara luas digunakan pada pambuatan produk makanan dan

sediaan farmasi oral maupun topikal. Alginat dipilih karena sifatnya yang

nontoksik dan juga tidak mengiritasi. Pada pembuatan tablet dan kapsul, alginat

digunakan sebagai pengikat dan bahan desintegran pada konsentrasi 1-5% w/w.

Alginat juga banyak digunakan sebagai bahan pengental dan suspending agent

pada pembuatan pasta, krim, dan gel; dan juga sebagai stabilizing pada pembuatan

emulsi minyak dalam air (Rowe, et al., 2009).

2.7 Kitosan

Kitin adalah salah satu polisakarida yang melimpah terdapat di alam.

Kitosan adalah polisakarida alam yang diperoleh melalui deacetilasi kitin yang

banyak ditemukan ditemukan pada kulit kepiting dan udang, kulit ari serangga,

dan pada dinding sel fungi. Kitosan mempunyai sifat yang aman, biokompatibel

dan biodegradebel. Penggunaan kitosan telah banyak dipakai pada penelitian

biopharmaceutical seperti mucoadhesive, peningkat penetrasi, teknologi vaksin,

terapi gen, dan penyembuh luka. Adapaun aplikasi kitosan adalah pada sediaan

(37)
(38)

2.7.2 Sifat kitosan

Kitosan dapat larut pada asam organic seperti asam formiat dan asam

asetat pada pH dibawah 6,2 melalui protonasi gugus amino bebas pada struktur

molekulnya. Kitosan sukar larut pada asam asetat murni. Pada umunya, sifat

larutan kitosan tergantung pada beberapa parameter seperti tingkat deacetilasi,

kekuatan ion, konsentrasi, temperature, konsentrasi asam, jenis asam, dan

distribusi gugus asetil di sepanjang rantai.

Sama seperti polimer alam pada umunya, kitosan mempunyai sifat

ampifilik yang mana dapat mempengaruhi sifat fisikanya dalam larutan dan

padatan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya gugus hidrofil amino dan gugus

hidrofob acetamido pada struktur molekul. Tidak seperti polisakarida pada

umumnya, kitosan dapat mempunyai muatan positif yang kuat karena dia

memiliki jumlah gugus amino yang banyak, dengan demikian polimer ini

mempunyai banyak sifat yang sangat dapat digunakan seperti kemampuan untuk

bergabung dengan polimer lain ketika dicampur. Kitosan juga memiliki banyak

sifat yang menguntungkan seperti biodegredebel, biokompatibilitas, tidak toksik

dan mempunyai aktivitas antibakteri (El-Hefian dan Yahaya, 2010).

2.7.3 Aplikasi farmasetik kitosan

Kitosan mendapat perhatian yang serius sebagai bahan tambahan dalam aplikasi

farmasetik beberapa tahun belakangan ini, karena mempunyai bikompatibilitas

yang baik dan sifatnya yang tidak toksik pada penggunaan pembuatan sediaan

konvensional maupun bentuk sediaan yang baru. Adapaun aplikasi dari kitosan

(Yogeshkumar, et al., 2013) adalah sebagai berikut:

(39)

- Bahan pengikat pada granulasi basah

- Pembawa obat pada sistem mikropartikel

- Sistem penghantaran obat melalui Film

- Untuk membuat hidrogel, bahan yang digunakan untuk meningkatkan

viskositas.

- Bahan pembasah, dan untuk meningkatkan disolusi obat yang mempunyai

kelarutan yang rendah

- Disintegrant

- Polimer bioadesif

- Penghantaran obat terkontrol

- Untuk meningkatkan laju absorpsi.

2.8 Eudragit

Eudragit adalah suatu nama dagang dari perusahaan Jerman yaitu Rohm

GmbH & Co. KG. Darmstadt, yang pertama kali dipasarkan pada tahun 1950an.

Eudragit dibuat dengan cara polimerisasi asam akrilat atau asam metakrilat atau

bentuk esternya seperti butyl ester atau dimetilaminoetil ester. Polimer Eudragit

tersedia dalam banyak jenis dengan bentuk fisik yang berbeda (larutan dalam air,

larutan dalam pelarut organic, granul, dan serbuk). Tipe polimer Eudragit terbagi

atas (lihat Tabel 2.2).

2.8.1 Struktur Kimia

Polimer Eudragit adalah suatu kopolimer derivat bentuk ester dari akrilat

dam asam metakrilat, yang sifat fisika-kimianya ditentukan oleh gugus fungsinya

(40)
(41)

2.8.3 Aplikasi Eudragit pada penghantaran obat - Pada sistem penghantaran ke ophthalmik

Masalah utama yang dihadapi pada pengobatan mata adalah kemampuan

untuk mencapai konsentrasi yang optimal pada tempat kerja. Bioavailabilitas yang

rendah dari obat pada sediaan obat mata adalah disebabkan oleh produksi air

mata, absorpsi yang kurang baik, lama tinggal obat, dan impermeabilitas dari

Table 2.2. Jenis dan pemerian polimer Eudragit Nama Bentuk

Aseton, alkohol

Aseton, alkohol

Air

Aseton, alkohol

(42)

epitel kornea. Eudragit memperlihatkan sifat yang baik, seperti tidak toksik,

bermuatan positif dan memiliki sifat sebagai pelepasan terkontrol yang

membuatnya cocok untuk aplikasi pada sediaan obat mata.

- Bukal dan sublingual drug delivery

Masalah yang umum dihadapi pada penghantaran obat ke bukal adalah

kurangnya waktu kontak sediaan dengan tempat absorpsi obat. Akibatnya, polimer

bioadesif merupakan pilihan yang tepat pada sistem penghantaran obat melalui

bukal. Polimer yang dapat lengket jaringan keras dan lunak telah digunakan

beberapa tahun terakhir pada dunia pembedahaan dan kedokteran gigi. Ada

beberapa golongan polimer yang telah diselidiki yang dapat digunakan sebagai

mukoadesif. Adapaun polimer sintetik yang tersusun dari monomer cyanoakrilat,

asam poliakrilat, dan derivate polimethacrylate .

- Gastroretentive Drug Delivery

Adapun sediaan gastroretentive yang diingini saat ini adalah; mempunyai

berat jenis yang rendah sehingga dapat membuat sediaan mengapung di dalam

cairan lambung, mempunyai berat jenis yang tingggi sehingga sediaan dapat

tinggal di bagian bawah lambung, membesar atau mengembang di dalam saluran

cerna (lambung) sehingga tidak akan dapat melewati sphinkter pylorus. Semua

teknik yang diiinginkan tersebut dapat kita dapat dengan menggunakan Eudragit

yang berbeda beda ( Joshi, 2013).

2.9 Disolusi

Disolusi adalah suatu proses dimana suatu fase padat dimasuki oleh suatu

pelarut dan membentuk suatu kesetimbangan larutan. Proses disolusi obat melalui

(43)

dan fase pelarut-pelarut dan interaksi zat terlarut –pelarut. Reaksi yang heterogen

yang merupakan keseluruhan proses pemindahan masa dapat dikategorikan

menjadi: (i) Pemindahan zat terlarut dari fase padat, dan (ii) Penyesuaian antara

zat terlarut didalam fase cair, dan (iii) Difusi dan/atau perpindahan zat terlarut

melalui antarmuka padat/cair ke dalam fase bulk (Kramer dan Dressman, 2005).

Disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol

laju bioabsorpsi obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini

merupakan tahapan yang paling lambat dan berbagai tahapan yang ada dalam

tahapan pelepasan obat dari bentuk sediaanya dan perjalanannya kedalam sirkulasi

sistemik.

Laju dimana suatu padatan melarut didalam suatu pelarut dapat dihitung

dengan persamaan:

atau

Ket: M: massa zat terlarut

D: Koefisien difusi dari zat terlarut Cs: kelarutan zat padat

S: luas permukaan kontak’ C: konsentrasi zat terlarut

h: ketebalan lapisan difusi V: volume larutan

Dalam teori disolusi dianggap bahwa lapisan difusi air atau lapisan cairan

stagnan dengan ketebalan h ada pada permukaan zat padat yang sedang

berdisolusi. Ketebalan h ini menyatakan lapisan pelarut stasioner didalam mana

molekul molekul zat terlarut berada dalam konsentrasi dari Cs sampai C.

Dibelakang lapisan difusi statis tersebut, pada harga x yang lebih besar dari h,

terjadi percampuran dalam larutan, dan obat terdapat pada konsentrasi yang sama,

(44)
(45)

2. Faktor yang berhubungan dengan bentuk sediaan obat a. Faktor formulasi

Laju disolusi obat murni dapat dipengaruhi secara siknifikan dengan

penambahan bahan tambahan selama proses produksi pada pembuatan sediaan

padat.

b. Diluent dan desintegran

Dengan peningkatan konsentrasi desintegran (pati dari 5% - 20%)

menghasilkan peningkatan laju disolusi. Dengan penambahan bahan yang bersifat

hidrofobik akan menurunkan luas permukaan obat yang kontak sedangkan

dengan penambahan bahan hidrofilik akan meningkatkan luas permukaan kontak

sehingga akan meningkatkan laju disolusi dari obat.

c. Efek bahan pengikat dan bahan penggranulasi

Perbedaan bahan pengikat yang digunakan pada pembuatan tablet akan

menghasilkan profil disolusi yang berbeda pula. Granulasi basah adalah yang

paling umum digunakan untuk meningkatkan laju disolusi dari bahan obat yang

kurang larut dengan cara pemasukan bahan hidrofilik ke permukaan granul.

3. Faktor faktor yang berhubungan uji disolusi a. Temperature

Kelarutan obat sangan tergantung pada temperature, oleh karena itu

selama disolusi temperature harus dijaga dengan ketat dan dijaga perbedaannya

tidak lebih dari 0.5oC. Pada umumnya, temperature disolusi dijaga 37oC selama

(46)

b. pH medium disolusi

Pada umumnya dalam penelitian digunakan medium berupa 0,1 N HCl

atau larutan buffer yang pH nya disesuaikan dengan pH caira lambung (pH 1,2).

c. Tegangan permukaan medium disolusi

Tegangan permukaan medium menunjukkan pengaruh yang siknifikan

terhadap laju disolusi dari obat dan laju pelepasan dari sediaan padat.

d. Viskositas medium disolusi

Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju disolusi bahan obat

(Gennaro, 2000).

2.9.2 Metode disolusi

United States Pharmacopeia (USP) XXX memberi beberapa metode resmi

untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu:

a. Metode Keranjang

Metode keranjang menggunakan bejana yang dibuat dari gelas atau bahan

yang inert, dan transparan dan silinder berbentuk keranjang. Bejana disolusi

dimasukkan kedalam penangas air yang cocok dan dengan ukuran yang tepat atau

dipanaskan dengan alat yang cocok seperti jaket pemanas. Penangas air atau alat

pemanas diatur sedemikian rupa sehingga suhu pada pejana dapat dijaga 37 ± 0,5

o

C sepanjang pegujian dan dijaga suhu tetap konstan. Kecepatan pengadukan

didasarkan pada kecepatan putaran batang penyangga dimana harus dijaga dengan

(47)

b. Metode Dayung

Menggunakan alat yang sama seperti alat 1 (metode keranjang), kecuali

keranjang yang ada pada alat 1 diganti dengan dayung sebagai pengaduk. Batang

penyangga diatur sedemikian rupa supaya jaraknya dari pusat tidak lebih dari 2

mm dari poros vertikal dari bejana dan berputar secara halus sehingga tidak ada

pengaruh siknifikan yang dapat mempengaruhi hasil pengujian. Jarak antara

dasar dayung dengan sampel (dasar labu) selama penghujian berada pada rentang

25 ± 2 mm dan dijaga tetap konstan.

Uji disolusi merupakan salah satu uji yang kritis dalam penentuan kuliatas

suatu produk. Pada umumnya, uji disolusi dari suatu sediaan padat oral

menggunakan metode keranjang (USP Appratus 1) atau metode dayung (USP

Appratus 2) dengan kecepatan pengadukan (100 rpm untuk metode keranjang dan

50 – 75 rpm dengan metode dayung), dengan menggunakan larutan buffer dengan

kisaran pH 1,2 - 6,8. Sampel disolusi dianalisis setiap interval 15 menit untuk

sedian lepas cepat (konvensional) atau interval satu jam pada sediaan extended

release sampil didapat persen kumulatis tidak kurang dari 85%. Untuk sediaan

yang tidak larut didalam air ditambahkan sedikit surfaktan untuk membentuk

kondisi sink (Kramer dan Dressman, 2005).

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Alat-Alat Penelitian

Alat disolusi metode dayung (Erweka), Spektrofotometer (Shimadzu

UV1800), TM3000 (BSE COMPO), Neraca Analitik (Boeco), Tensiometer

DuNoy, Magnetic Stirrer, gelas arloji, stopwatch, termometer, pH meter (Hanna),

jangka sorong, labu tentukur 1000 ml (MBL), labu tentukur 25 ml (Pyrex), beaker

glass 1000 ml (Pyrex), gelas ukur 1000 ml (Pyrex), gelas ukur 10 ml (Pyrex), mat

pipet 2 ml (MBL) dan alat-alat laboratorium yang biasa digunakan.

3.2 Bahan–Bahan Penelitian

Natrium alginat 500-600 cp (Wako Pure Chemical Industries, Ltd. Japan),

Metronidazol (Aarti Drugs, Ltd. India), Kitosan (Funakoshi, Co. Ltd. Japan),

Eudragit RS 100 dan bahan-bahan yang berkualitas pro analysis (E Merck):

kalsium klorida, asam klorida, natrium klorida, dan aseton. Aquadest diperoleh

dari laboratorium Farmasi Fisik, Fakultas Farmasi, USU.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan larutan kalsium klorida 0,15 M

Kalsium klorida ditimbang 22,053 gram kemudian dilarutkan dengan aqua

bebas CO2 secukupnya sampai 1000 ml (Ditjen POM, 1995).

3.3.2 Pembuatan medium lambung buatan (medium pH 1,2)

Natrium klorida sebanyak 2 g ditambahkan asam klorida pekat sebanyak 7

(49)

3.3.3 Pembuatan kurva serapan dan kurva kalibrasi metronidazol

3.3.3.1 Pembuatan larutan induk baku Metronidazol dalam medium pH 1,2 Metronidazol ditimbang 25 mg kemudian dimasukkan dalam labu tentukur

100 ml, diaduk sampai larut, kemudian dicukupkan dengan medium lambung

buatan (medium pH 1,2) sampai garis tanda. Konsentrasi metronidazol adalah 250

mcg/ml.

3.3.3.2 Pembuatan kurva serapan Metronidazol dalam medium pH 1,2

Dari larutan induk baku metronidazol dipipet 1,2 ml, dimasukkan kedalam

labu tentukur 25 ml, kemudian dicukupkan dengan medium lambung buatan

(medium pH 1,2) sampai garis tanda. Konsentrasi metronidazole adalah 12

mcg/ml. serapan diukur pada panjang gelombang 200–400 nm.

3.3.3.3 Pembuatan kurva kalibrasi Metronidazol dalam medium pH 1,2 Dari larutan induk baku metronidazol dibuat larutan metronidazol dengan

berbagai konsentrasi yaitu 1, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, dan 16 mcg/ml dengan cara

memipet larutan induk baku masing-masing 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1; 1,2; 1,4 dan

1,6 ml kedalam labu tentukur 25 ml, kemudian ditambahkan dengan medium

lambung buatan (medium pH 1,2) sampai garis tanda. Serapan diukur pada

panjang gelombang maksimum yang diperoleh.

3.3.7 Penentuan diameter floating mucoadhesive beads

Beads yang sudah kering dipilih secara acak dan diameter beads

(50)

3.3.12 Uji pelepasan obat secara in vitro

Uji pelepasan obat dilakukan dengan menggunakan metoda dayung USP.

Kedalam wadah disolusi dimasukkan 900 mL medium disolusi dan diatur suhu

37±0,5OC dengan kecepatan pengadukan diatur 50 rpm. Ke dalam wadah tersebut

dimasukkan sejumlah beads yang setara 250 mg metronidazol. Pada interval

waktu tertentu diambil aliquot sebanyak 2 mL dan dijaga volumenya tetap 900

mL. Pengambilan dilakukan pada tempat yang sama yaitu pertengahan antara

permukaan medium disolusi dan bagian atas dari dayung tidak kurang 1 cm dari

(51)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembuatan Floating Mucoadhesive Beads

Beads dibuat dengan menambahkan metronidazol ke dalam larutan alginat

kitosan yang kemudaian diteteskan ke dalam larutan CaCl2 menggunakan pipet

Komagome dan dibiarkan selama 15 menit dan selanjutnya dicuci dengan

aquadest selama 15 menit dan dikeringkan (Formula 1).

Untuk Formula 2-6, beads alginat kitosan yang sudah kering disalut

dengan larutan Eudragit RS 100 dengan konsentrasi tertentu. Beads dari Formula

1 dimasukkan kedalam larutan Eudragit RS 100 dan di stirrer selama 30 menit.

Setelah itu beads dikumpulkan dan dimasukkan kedalam lemari asam dibiarkan

sampai semua pelarut organik yang digunakan menguap sempurna sehingga tidak

terdapat residu pelarut organik di dalam beads yang dibuat.

Beads dari Formula 2-6, disalut kembali dengan larutan alginat 2% lalu

direndam dalam larutan CaCl2 dan langsung dibilas dengan aquadest lalu

dikeringkan (Formula 7-11).

4.2 Penenentuan Diameter Floating Mucoadhesive Beads

Diameter dari beads ditentukan dengan menggunakan alat micrometer.

Sebanyak lima buah beads diambil secara acak dan ditentukan diameternya.

Diameter dari beads masing masing formula dapat dilihat pada table 4.1.

Berdasarkan hasil uji statistik dengan ANOVA (Analysis of variance) pada

interval konfidensi 95% (α = 0,05%) terhadap diameter beads tidak terdapat

(52)

langsung dapat dilihat adanya tiga kelompok diameter beads. Kelompok 1 yaitu

F1 yang memiliki diameter terkecil, kelompok 2 yaitu F2-F6 yang memiliki

diameter lebih besar dari kelompok 1, hal ini disebabkan karena pada F2-F6

adanya penyalutan dengan Eudragit RS 100, dan kelompok 3 yaitu formula 7-11

yang mempunyai diameter paling besar dari semuanya karena selain disalut

dengan Eudragit RS 100 formula ini juga disalut lagi dengan kalsium-alginat.

Table 4.1. Diameter floating mucoadhesive beads

Ket:

- F1: Alginat-Kitosan - F2: Eudragit RS 100 5% - F9: Eudragit RS 100 15% - kalsium alginat - F10: Eudragit RS 100 20% - kalsium alginat - F11: Eudragit RS 100 30% - kalsium alginat

(53)

Gambar 4.3: Formula 3 Gambar 4.4: Formula 4

Gambar 4.5: Formula 5 Gambar 4.6: Formula 6

(54)

Gambar 4.11: Formula 11

4.8 Pelepasan Metronidazol dari Floating Mucoadhesive Beads 4.8.1 Tanpa Penyalutan

Data pelepasan metronidazol dari Floating mucoadhesive beads pada F1

(tanpa penyalutan) dapat dilihat pada Tabel 4.6. Dari tabel dapat dilihat bahwa

floating mucoadhesive beads melepaskan metronidazol sebanyak 94,30% pada

waktu 180 menit. Dengan nilai AUC0-80% adalah 3215,22±28.11 %.menit.

4.8.2 Salut Eudragit RS 100

Pelepasaan metronidazol dari Floating Mucoadhesive beads F2-F6 yang

disalut dengan Eudragit RS 100 dapat dilihat pada tabel 4.6:

4.8.4 Perbedaan Jenis Penyalut

Pengaruh penyalutan floating mucoadhesive beads terhadap laju pelepasan

(55)

Gambar 4.19: Pengaruh penyalutan floating mucoadhesive beads terhadap laju pelepasan metronidazol dari beads

Dari Grafik 4.19 dapat dilihat dengan jelas penyalutan beads sangat

mempengaruhi laju pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads.

Dengan penyalutan Eudragit RS 100 didapat laju pelepasan metronidazol dari

beads semakin lambat dan ketika disalut lagi dengan kalsium-alginat, laju

pelepasan menjadi lebih lambat lagi.

Berdasarkan hasil uji statistik dengan Nonparametric Test (Kruskal Wallis

test) interval konfidensi 95% (α = 0,05%) terhadap AUC0-80% ketiga formula

didapat perbedaan yang signifikan nilai AUC dari setiap formula dengan nilai

signifikansi 0,027. Dimana urutan dari rendah ke tinggi adalah F1, F6, dan F7. 0

20 40 60 80 100 120

0 10 30 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 720 Tanpa Salut

Salut Eudragit RS 100

Salut Eudragit RS 100 dan Kalsium Alginat

Waktu (menit)

Jumlah

 

obat

terlepas

 

(56)

4.9 Kinetika Pelepasan Metronidazol dari Floating Mucoadhesive Beads Kinetika pelepasan metronidazol dari beads dilakukan terhadap empat

model matematika yaitu: orde nol, orde satu, model Higuchi dan

Korsmeyer-peppas. Penentuan kinetika pelepasan metronidazol dari beads dilakukan untuk

mengetahui berapa persen obat yang dilepaskan pada waktu-waktu tertentu.

Dengan memplotkan hasil uji pelepasan kesebelas formula dalam grafik

waktu versus persen kumulatif, logaritma persen kumulatif versus waktu, persen

kumulatif versus akar waktu dan logaritma persen kumulatif versus logaritma

waktu maka dapat diperoleh nilai korelasi (R2) dari masing- masing formula

matriks alginat- kitosan.

Tabel 4.9: Korelasi kinetika pelepasan metronidazol orde nol, orde satu, model Higuchi dan Korsmeyer-peppas dari beads

Formul

Dari tabel 4.9 dapat dilihat harga n dari F1 dan F2 adalah 0,584 dan 0,835

yang berarti mekanisme pelepasan melalui proses Anomalus (non-Fiks) yaitu

(57)

proses Super case 2 transport yaitu dimana laju penetrasi air lebih rendah dari

pada laju relaksasi polimer. Hal ini disebabkan karena Eudragit RS 100

merupakan polimer yang tidak larut dan tidak permeabel.

Dari hasil plot kesebelas formula seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.9,

diperoleh bahwa kinetika pelepasan untuk kesebelas formula adalah mengikuti

model Higuchi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(58)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

- Dari pengukuran mucoadhesive dan waktu floating menunjukkan bahwa

beads floating mucoadhesive memiliki sifat floating dan mucoadhesive

dengan floating lag time 0 menit dan floating time lebih dari 12 jam serta

daya mucoadhesive 1,14 – 2,06 dyne/cm2. Beads memiliki daya lengket

terhadap mukosa lambung dan juga memungkinkan untuk mengapung di

dalam lambung jika cairan lambung cukup tersedia.

- Profil pelepasan metronidazol dari beads menunjukkan hasil maksimal yaitu

pada F11 di mana beads dapat melepaskan 83% metronidazole dalam 12 jam.

Jadi dapat dibuktikan bahwa floating mucoadhesive beads dengan basis

alginat kitosan dapat dijadikan sediaan pelepasan terkontrol untuk obat obat

yang kerjanya di lambung ataupun saluran cerna bagian atas.

5.2 Saran

Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk melanjutkan penelitian tentang

floating mucoadhesive beads dengan basis alginat kitosan secara in vivo untuk

melihat profil pelepasan obat dan mengetahui sifat floating dan mucoadhesive

secara in vivo.

(59)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M.F., dan Bakalis, S. (2011). Mucoadhesive Polymers for Food Formulation.

Procedia Food Science. 11(1): 68-75.

Arora, S., Ali, J., Ahuja, A., Kharm R.K., dan Baboota, S. (2005). Floating Druf Delivery System: A Review. AAPS PharmSciTech. 6(3): 375-378.

Aulton, M.E. (2007). Aulton’s Pharmaceutics: The Design and Manufacture of Medicines. Philadelphia: Elseiver. Hal. 483-499.

Chickering III, D.E., dan Mathiowitz, E. (1999). Theories of Bioadhesion. Dalam Bioadhesive Drug Delivery System: Fundamentals, Novel Approaches, and Development. New York: Marcel Dekker Inc. Hal. 1-8.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia.Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 560-561: 1066, 1084-1085, 1143-1144.

Draget, K.I., Smidsrod O., dan Skjak, B.G. (2005). Polysaccharides and Polyamides in the Food Industry. Properties, Production, and Patents. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA: Hal. 1-20.

El-Hefian, E.A., dan Yahaya, A.H. (2010). Rheological Study of Chitosan and its Blends: An Overview. Maejo International Journal of Science and Technology. 4(2): 210-220.

Farahani, T.D., Farahani, E.V., dan Mirzadeh, H. (2006). Swelling Behaviour of Alginate-N-O_Carboxymethyl Chitosan Gel Beads Coated By Chitosan.

Iranian Polymer Journal. 15(5): 405-415.

Foye, W.O. (1996). Kimia Medisinal. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 1604-1605.

Gennaro, A.R. (2000). Remington: The Science and Practice of Pharmacy. Edisi Keduapuluh. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Hal. 654-665.

Gopalakrishnan, S., dan Chenthilnathan, A. (2011). Floating Drug Delivery System: A Review. Journal of Pharmaceutical Science and Technology.

3(2): 548-554).

Guyton, A.C. (1990). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Hal. 606-608.

Gambar

Gambar 1.1. Kerangka penelitian
Gambar 2.1. Mekanisme sistem floating
Gambar 2.2. Skematik tegangan permukaan antara material polimer
Gambar 2.3: Ikatan mekanis melalui interpentrasi rantai polimer bioadhesive dan rantai polimer mukus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Laju pelepasan obat paling kecil ditemukan pada beads yang menggunakan pautan silang kitosan- natrium alginat dengan penambahan konsentrasi STPP 1,5%.. Hal

Pengobatan dengan beads F5 dan F11 telah sembuh pada hari ke-4 ditandai dengan rata-rata jumlah dan indeks ulkus masing-masing yaitu 0 ± 0,00 dan 0 ± 0,00, dan hasil histologi

(GDDS) floating-mukoadhesif alginat dan beads mukoadhesif alginat- kitosan yang mengandung antasida Al(OH)3 dan Mg(OH)2 mampu mempertahankan pH 3 - 4 dalam waktu yang

Design, Development and In vitro Evaluation of Gastroretentive Alginate Floating Beads For Ranitidine Hydrochloride.. Journal of Chemical and

Analisis uji Kruskal-Wallis indeks ulkus antara kelompok pengobatan dengan tablet antasida, beads floating-mukoadhesif, dan beads mukoadhesif pada hari kedua.. Grouping

Kurva kalibrasi larutan ranitidin HCl dengan berbagai konsentrasi pada panjang gelombang 225 nm dalam medium lambung buatan pH 1,2... Grafik kinetika pelepasan dari ranitidin

Gambar 4.10 Grafik pengaruh penambahan laktosa terhadap pelepasan ranitidin HCl dari cangkang kapsul alginat ukuran No.0 dalam medium lambung buatan pH 1,2 pada suhu 37 o

Parameter yang paling penting mempengaruhi waktu bertahan di lambung dari sediaan oral diantaranya: berat jenis, bentuk dan ukuran partikel, makanan yang dimakan, kandungan kalori