• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan dan Kadar Alkaloid Tanaman Leunca (Solanum americanum Miller) pada Dosis Nitrogen yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan dan Kadar Alkaloid Tanaman Leunca (Solanum americanum Miller) pada Dosis Nitrogen yang Berbeda"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN DAN KADAR ALKALOID

TANAMAN LEUNCA (

Solanum americanum

Miller)

PADA DOSIS NITROGEN YANG BERBEDA

MARCHELLA PUTRIANTARI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pertumbuhan dan Kadar Alkaloid Tanaman Leunca (Solanum americanum Miller) pada Dosis Nitrogen yang Berbeda” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

(4)

ABSTRAK

MARCHELLA PUTRIANTARI. Pertumbuhan dan Kadar Alkaloid Tanaman Leunca (Solanum americanum Miller) pada Dosis Nitrogen yang Berbeda. Dibimbing oleh EDI SANTOSA.

Buah leunca merupakan sayuran indigenous terutama bagi masyarakat Jawa Barat. Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan kualitas buah leunca, perlu dilakukan kajian budidaya khususnya pemupukan. Penelitian ini bertujuan menentukan dosis pupuk nitrogen terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman leunca, serta mengkaji pengaruh pupuk nitrogen terhadap kadar alkaloid tanaman leunca. Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo IPB pada bulan Desember 2013-April 2014. Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak satu faktor dengan empat ulangan. Faktor dosis pupuk nitrogen diaplikasikan empat taraf, yaitu 0 kg/ha, 60kg/ha, 120 kg/ha, dan 180 kg/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan produktivitas tanaman terbaik dihasilkan oleh perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha. Kadar alkaloid bervariasi pada perlakuan dosis pupuk nitrogen. Dari hasil perhitungan, produktivitas buah leunca sebanyak sembilan kali panen mencapai 18 445 kg/ha.

Kata kunci: alkaloid, produkvitas, sayuran indigenous, Solanum nigrum

ABSTRACT

MARCHELLA PUTRIANTARI. Growh and Alkaloids Contens of Leunca (Solanum americanum Miller) of Different Nitrogen Aplication. Supervised by EDI SANTOSA.

Leunca fruit is indigenous vegetable and widely used as vegetables mainly in West Java. In order to improve productivity and quality, levels of nitrogen were examined. Objective of the experiment was to determine the level of nitrogen on growth and productivity, and the alkaloid content. The experiment was conducted at Leuwikopo Experimental Farm, IPB in December 2013-April 2014. Experiment was arranged in a Randomized Complete Block Design with single factor in four replications. Nitrogen fertilizer of four levels were applied, i.e., 0 kg/ha, 60 kg/ha, 120 kg/ha, and 180 kg/ha. The results showed that growth and productivity of leunca were affected by nitrogen applications. The highest production of leunca 18 445 kg/ha was obtained from nitrogen fertilizer at rate of 180 N/ha, and alkaloids content varied among N levels.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

PERTUMBUHAN DAN KADAR ALKALOID

TANAMAN LEUNCA (

Solanum americanum

Miller)

PADA DOSIS NITROGEN YANG BERBEDA

MARCHELLA PUTRIANTARI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pertumbuhan dan Kadar Alkaloid Tanaman Leunca (Solanum americanum Miller) pada Dosis Nitrogen yang Berbeda Nama : Marchella Putriantari

NIM : A24100057

Disetujui oleh

Dr Edi Santosa, SP MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MSc Agr Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah pemupukan, dengan judul Pertumbuhan dan Kadar Alkaloid Tanaman Leunca (Solanum americanum Miller) pada Dosis Nitrogen yang Berbeda.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr Edi Santosa, SP MSi selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian dan penulisan skripsi. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Tatiek Kartika, MS selaku pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dalam belajar. Terima kasih penulis sampaikan kepada teknisi lapang KP Leuwikopo, Bapak Haryanto yang membantu kelancaran penelitian ini dan staf Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Ilmu Kimia, FMIPA, IPB, Ibu Nunung yang telah membantu dalam kegiatan analisis kimia. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak, ibu, dan adik-adikku yang telah memberikan dukungan dan doa, serta teman-teman yang telah memberikan semangat dan bantuan selama penelitian hingga penulisan skripsi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Pemanfaatan dan Biologi 3

Pemupukan Nitrogen 3

Alkaloid 4

METODE 5

Tempat dan Waktu 5

Bahan dan Alat 5

Prosedur Percobaan 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Kondisi Umum 9

Pertumbuhan Tanaman 14

Produksi Buah 18

Pembahasan 30

SIMPULAN DAN SARAN 32

Simpulan 32

Saran 32

DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN 35

(10)

DAFTAR TABEL

1 Rekapitulasi hasil analisis ragam peubah karakter agronomi tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen pada 1-16 MST 14 2 Rekapitulasi hasil analisis ragam peubah produktivitas tanaman leunca

pada perlakuan dosis pupuk nitrogen pada umur 7-16 MST 15 3 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengamatan destruktif tanaman leunca

pada perlakuan dosis pupuk nitrogen pada umur 6 dan 12 MST 15 4 Tinggi tajuk tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen 16 5 Tinggi percabangan utama tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk

nitrogen 16

6 Jumlah daun tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen 17 7 Jumlah cabang tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen 18 8 Jumlah rangkaian bunga tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk

nitrogen 19

9 Jumlah rangkaian buah tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk

nitrogen 20

10 Bobot panen mingguan tanaman leunca per tanaman pada perlakuan dosis pupuk nitrogen (ditimbang dalam bentuk rangkaian buah) 21 11 Produksi buah per tanaman leunca bedeng pada perlakuan dosis pupuk

nitrogen (berdasarkan konversi dari produksi buah per tanaman pada

tanaman contoh) 22

12 Produksi buah per bedeng tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen (berdasarkan hasil panen petak percobaan) 23 13 Produktivitas buah per hektar tanaman leunca pada perlakuan dosis

pupuk nitrogen (berdasarkan konversi dari produksi buah per tanaman

pada tanaman contoh) 24

14 Produktivitas buah per hektar tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen (berdasarkan hasil panen petak percobaan) 25 15 Bobot 100 butir buah tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk

nitrogen 25

16 Persentase edible portion buah tanaman leunca pada perlakuan dosis

pupuk nitrogen 26

17 Persentase buah masak pada perlakuan dosis pupuk nitrogen 27 18 Jumlah dan ukuran bagian tanaman pada sampel destruktif tanaman

(11)

19 Bobot basah tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen 28 20 Bobot kering tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen 29 21 Kadar air tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen 29 22 Kadar alkaloid tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen 30

DAFTAR GAMBAR

1 Cara mengamati pertumbuhan dan produksi tanaman 7 2 Gejala kerusakan daun akibat serangan hama pada pembibitan leunca 9

3 Gulma dominan di lahan percobaan 11

4 Hama yang menyerang tanaman leunca di lahan percobaan 11

5 Kerusakan akibat serangan hama 12

6 Bercak pada daun yang terkena penyakit karat 13

7 Pecah buah akibat faktor abiotik 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis tanah di lahan penelitian KP Leuwikopo dan pupuk

kandang 35

2 Kriteria penilaian sifat kimia tanah 36

3 Data curah hujan harian Dramaga, Bogor (Desember 2013-April 2014) 37 4 Data suhu dan kelembaban udara Dramaga Bogor (Desember

2013-April 2014) 38

5 Tanaman leunca pada umur 3 MST dan 7 MST 39

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Leunca (Solanum americanum Miller sinonim Solanum nigrum auct. non L.) adalah salah satu sayuran indigenous yang berasal dari Amerika Selatan (Siemonsma dan Jansen 1994). Di Indonesia, leunca tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Menurut Siemonsma dan Jansen (1994), terdapat dua jenis leunca di Jawa Barat, yaitu leunca yang buahnya berukuran kecil, berdiameter ± 0.5 cm dan berwarna kebiruan hingga hitam saat masak, hanya daunnya yang dimanfaatkan sebagai sayuran yang disebut leunca manuk atau leunca ayam. Jenis yang lain buahnya berukuran lebih besar, berdiameter ± 1 cm dan berwarna mengkilap keunguan hingga hitam saat masak, buah hijau dan daunnya dimanfaatkan sebagai sayuran yang disebut leunca biasa atau leunca badak. Leunca biasanya tumbuh di kebun dan di pekarangan rumah.

Masyarakat memanfaatkan daun muda dan buah mudanya sebagai sayuran dan dimasak dengan cara ditumis atau direbus, dan khususnya buah dikonsumsi sebagai lalapan mentah. Setiap 100 gram buah leunca segar mengandung 90 g air, 1.9 g protein, 0.1 g lemak, 7.4 g karbohidrat, 274 mg Ca, 4.0 g Fe, 0.5 g karoten, 0.1 mg vitamin B1, dan 17 mg vitamin C (Siemonsma dan Jansen 1994). Berdasarkan Penelitian Pratiwi (2011), 56.4% dari 90 responden di Jawa Barat menyatakan suka mengonsumsi leunca. Namun demikian, perkembangan leunca belum sepesat sayuran komersial karena kurangnya informasi tentang cara mengolahnya (Pratiwi 2011). Pratiwi (2011) menyatakan bahwa sayuran indigenous, salah satunya leunca, telah memasuki pasar modern dan rumah makan sebagai lalapan atau sayuran. Namun demikian, kemungkinan besar pasokan sayuran indigenous ke pasar induk Bogor relatif terbatas. Praktek budidaya yang belum optimal menyebabkan produktivitas di tingkat petani beragam dan relatif rendah. Pratiwi (2011) menyatakan bahwa produktivitas leunca di daerah Ciapus yang ditanam secara tumpangsari di bawah tegakan pohon sebesar 179 kg/ha, sedangkan di daerah Ciampea yang dibudidayakan lebih intensif produktivitasnya mencapai 1 248 kg/ha.

(14)

2

Hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak etanol leunca menunjukkan aktivitas analgesik. Ekstrak etanol leunca menunda dan menghambat terjadinya diare pada tikus yang diinduksi minyak jarak (Karmakar et al. 2010). Ekstrak etanol leunca memiliki aktivitas antibakteri moderat terhadap Enterococcus faecalis, Streptococcus agalactiae, dan Pseudomonas aeruginosa yang diuji menggunakan metode difusi cakram (Karmakar et al. 2010). Jain et al. (2011) menyatakan bahwa leunca terbukti memiliki aktivitas antiploriferasi (antitumorigenik dan pencegah kanker), antiepilepsi, antioksidan, anti-inflamasi, hepatoprotektif, diuretik, dan antipiretik.

Pada penelitian Gogoi dan Islam (2012), buah leunca mengandung alkaloid, saponin, tannin, dan flavonoid. Selain itu, terdapat gula pereduksi, glikosida, gum, dan steroid (Karmakar et al. 2010). Jenis alkaloid pada leunca yaitu solamargin, solasonin, dan solanin yang termasuk ke dalam kelompok senyawa tropana (Jain et al. 2011). Alkaloid yang terkandung pada daun yaitu solasonin dan solamargin,

sedangkan pada buah terdapat solanin, solamargin, solasonin, α dan β-solanigrin, dan solasodin, serta solanin pada biji (Karmakar et al. 2010). Secara spesifik, solanin memfasilitasi pembukaan transisi permeabilitas saluran mitokondria dengan menurunkan potensial membran dan menghambat Bcl-2 pada kasus kanker hati HepG2 (Jain et al. 2011). Pada penelitian Yolanda (2011), pemberian solasodin pada tikus (Rattus norvegicus) jantan dewasa menyebabkan penurunan kadar testosteron darah, yang diduga dapat menyebabkan penurunan kemampuan seksual. Hal tersebut menunjukkan bahwa leunca berpotensi sebagai obat KB terutama untuk pria.

Potensi pengembangan yang besar tersebut, perlu didukung teknik budidaya yang baik khususnya pemupukan. Pupuk nitrogen dipilih sebagai perlakuan karena biasanya nitrogen memberikan pengaruh yang nyata dan cepat terhadap pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman. Selain itu, nitrogen merupakan komponen penyusun alkaloid (Sirait 2007), sehingga tingkat kadar alkaloid mungkin dipengaruhi oleh pemupukan nitrogen. Namun demikian, pemberian nitrogen yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi nitrat yang tinggi pada tanaman sayur, sehingga penentuan dosis nitrogen yang tepat sangat penting. Dosis pupuk nitrogen terbaik ditentukan dari perlakukan yang mendukung produktivitas tinggi dan komposisi senyawa-senyawa metabolit sekunder yang menguntungkan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu meningkatkan produksi dan kualitas tanaman leunca.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menentukan dosis pupuk nitrogen yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman leunca.

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Pemanfaatan dan Biologi

Leunca dapat digolongkan sebagai sayuran indigenous. Sayuran indigenous adalah sayuran lokal yang telah banyak diusahakan dan dikonsumsi, atau sayuran introduksi yang telah lama dimanfaatkan secara tradisional di masyarakat (Putrasamedja 2005). Saat ini banyak sayuran indigenous mulai dikenal masyarakat kota, sehingga nilai ekonominya terus meningkat. Umumnya konsumen menyatakan masih agak sulit mengolah sayuran indigenous karena kurangnya informasi tentang cara mengolahnya (Pratiwi 2011).

Leunca termasuk famili Solanaceae tahunan yang tumbuh tegak. Tingginya dapat mencapai 1.5 m dan tidak berduri. Batangnya memiliki karakteristik berwarna hijau tua atau merah keunguan dan berbentuk silinder. Daunnya tersusun spiral berpasangan dan berbentuk seperti bulat telur meruncing 1-16 cm x 1-12 cm dengan tangkai daun 1-9 cm. Bunga tanaman leunca termasuk jenis bunga majemuk yang tersusun dalam rangkaian. Satu rangkaian bunga memiliki 2-20 tangkai bunga. Bunga berbentuk lonceng 1-3 mm. Buahnya berbentuk bulat, berdiameter 0.5-1 cm, berwarna hijau kebiruan atau hitam keunguan ketika matang. Di dalam buahnya terdapat 40-100 biji yang berbentuk cakram, berukuran 1-1.5 mm, dan berwarna krem. Leunca diperbanyak dengan biji. Benih berkecambah 6 hari setelah tanam (HST). Pembungaan mulai muncul pada 8 minggu setelah berkecambah atau 5 minggu setelah pindahtanam. Buah muncul 10 hari setelah antesis dan dipanen 8 hari kemudian (Siemonsma dan Jansen 1994).

Pemupukan Nitrogen

Nitrogen adalah salah satu hara esensial bagi tanaman. Di atmosfer jumlah nitrogen melimpah, tetapi tidak dapat diserap oleh tanaman. Demikian juga nitrogen di dalam tanah tidak 100% tersedia bagi tanaman. Lebih dari 90% nitrogen dalam tanah tersusun dalam bentuk organik yang belum tersedia bagi tanaman (Barchia 2009). Senyawa nitrogen harus diubah dalam bentuk nitrat (NO3-) dan ammonium (NH4+) agar dapat diserap tanaman. Nitrat merupakan bentuk senyawa yang paling disukai tanaman untuk pertumbuhan, meskipun diberi pupuk ammonium tanaman cenderung menyerap nitrat (Pamungkas 2012).

Nitrogen di dalam tanah dapat berasal dari sisa organisme, fiksasi oleh tanaman legum, dan dari senyawa terbawa hujan seperti nitrat (Barchia 2009). Pemberian pupuk nitrogen bertujuan untuk memenuhi kebutuhan nitrogen tanaman yang tidak terpenuhi oleh tanah. Namun demikian, dapat terjadi kehilangan nitrogen dari volatilisasi ammonia berkisar 0-50% dari jumlah pupuk yang diberikan setelah aplikasi pemupukan pada lahan pertanian (Barchia 2009).

(16)

4

sebagai penyusun asam nukleat, peningkat pertumbuhan dan perkembangan semua jaringan, peningkat kualitas daun sayur-sayuran dan kandungan protein biji-bijian (Munawar 2011).

Kecukupan pasokan nitrogen pada tanaman ditandai oleh aktivitas fotosintesis yang tinggi, pertumbuhan vegetatif yang baik dan warna tanaman yang hijau tua (Pamungkas 2012). Untuk itu, ketersediaan nitrogen yang dapat diserap tanaman harus cukup memenuhi kebutuhan tanaman agar pertumbuhan tanaman tidak terganggu dan dapat berproduksi baik.

Berdasarkan penelitian Balemi (2008), pemberian dosis pupuk nitrogen yang semakin tinggi memberikan respon positif meningkatkan produksi dan pertumbuhan tanaman tomat dengan taraf perlakuan 110 kg N/ha, 80 kg N/ha, dan 50 kg N/ha. Pada tahun pertama, produksi buah tomat yang dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan dosis pupuk 110 kg N/ha dan 80 kg N/ha tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata pada tahun kedua. Selain itu, tanaman dengan perlakuan dosis pupuk 110 kg N/ha menghasilkan buah yang layak pasar nyata lebih tinggi dibandingkan tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 50 kg N/ha pada tahun pertama, serta berbeda nyata dengan perlakuan dosis 50 kg N/ha dan 80 kg N/ha pada tahun kedua. Masing-masing perlakuan dosis pupuk nitrogen memberikan respon yang berbeda nyata terhadap parameter tinggi tanaman. Nilai rata-rata tinggi tanaman tertinggi dihasilkan oleh perlakuan dosis pupuk 110 kg N/ha. Jumlah buah per klaster dan bobot 10 butir buah juga dipengaruhi oleh perlakuan dosis pupuk nitrogen. Nilai rata-rata jumlah buah per klaster tertinggi dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan dosis pupuk 110 kg N/ha yang berbeda nyata dengan kedua perlakuan lainnya. Namun demikian, nilai rata-rata bobot 10 buah tertinggi dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan dosis pupuk 80 kg N/ha yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk 50 kg N/ha dan yang berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk 110 kg N/ha.

Alkaloid

Alkaloid merupakan salah satu senyawa yang mengandung nitrogen. Pengunaan nama alkaloid berasal dari alkali, karena alkaloid bersifat basa. Namun demikian, tingkat kebasaannya sangat bervariasi, tergantung pada struktur molekul alkaloid dan keberadaan serta lokasi kelompok fungsional lainnya. Satu atau lebih atom nitrogen yang hadir, biasanya sebagai amina primer, sekunder, atau tersier, memberikan sifat basa pada alkaloid (Dewick 2002).

Atom-atom nitrogen alkaloid berasal dari asam amino. Menurut Dewick (2002), prekursor asam amino yang terlibat dalam biosintesis alkaloid yaitu ornitin, lisin, asam nikotinat, tirosin, triptofan, asam antranilat, dan histidin. Bangun blok dari asetat, sikimat, atau jalur fosfat deoxyxylulose juga sering dimasukkan ke dalam struktur alkaloid (Dewick 2002). Sirait (2007) membagi alkaloid berdasarkan kemiripan struktur dari elemen nitrogen dengan metabolit sekunder, yaitu hasil metabolisme primer asam-asam amino seperti lisin, prolin, histidin, fenilalanin, tirosin, dan triptofan, dan hasil metabolisme primer bukan asam amino seperti xanthin, dan pyridinkarbonat.

(17)

5 perlakuan tanpa dipupuk nitrogen (0N). Namun demikian, tanaman dengan perlakuan dipupuk dua kali dosis anjuran nitrogen menghasilkan kadar alkaloid lebih tinggi dibandingkan tanaman dengan perlakuan dipupuk satu kali dosis anjuran. Hasil penelitian Rolandani tersebut menunjukkan kadar alkaloid lebih tinggi dihasilkan oleh tanaman dengan kondisi miskin hara atau kelebihan hara. Penelitian Palumbo et al. (2007) pada tanaman yaupon (Ilex vomitoria) yang di pupuk ammonium nitrat menghasilkan alkaloid methylxanthine total lebih tinggi dibandingkan tanpa dipupuk. Pupuk ammonium nitrat diberikan sebanyak 250 mg nitrogen per minggu.

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB pada bulan Desember 2013 sampai April 2014. Analisis biomassa dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, sedangkan analisis alkaloid dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Ilmu Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah benih tanaman leunca asal lokal Bogor, pupuk Urea, pupuk KCl, pupuk SP-36, pupuk kandang kambing, dolomit, dan bak semai. Bahan untuk analisis alkaloid adalah buah leunca sesuai kriteria panen (masih muda dan berwarna hijau), heksana, metanol, asam sitrat 1 M, etil asetat, dan ammonium hidroksida 6 M. Alat yang digunakan adalah meteran, timbangan, timbangan analitik, pH meter, kamera digital, corong pisah, kertas saring, oven, dan rotary evaporator.

Prosedur Percobaan

Pelaksanaan 1. Persemaian

Benih leunca disemai pada bak semai di dalam rumah kaca. Media persemaian yang digunakan yaitu campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Setiap hari persemaian disiram agar tercipta kondisi yang lembab untuk membantu perkecambahan benih. Setelah 5 minggu, tinggi bibit ± 15 cm, bibit ditanam di lapangan.

2. Perlakuan

(18)

6

Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan satu faktor yaitu dosis nitrogen (N). Dosis nitrogen terdiri atas empat taraf, yaitu 0 kg/ha, 60 kg/ha, 120 kg/ha, dan 180 kg/ha. Perlakuan pupuk N diberikan 2 kali yaitu 1/3 dosis diberikan pada satu minggu setelah tanam (MST) dan sisanya 2/3 dosis diberikan pada 6 MST dengan cara disebar di sekitar tanaman lalu ditimbun tanah. Seluruh pupuk P dan K diberikan pada 1 MST dengan dosis masing-masing yaitu 120 kg/ha, diberikan dengan cara ditabur di sekitar tanaman. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali, sehingga terbentuk 16 satuan percobaan.

Pada setiap satuan percobaan, penanaman dilakukan pada 3 bedengan. Ukuran bedengan adalah 7 m x 1 m dengan jarak antar bedengan adalah 50 cm. Jarak tanam yang digunakan adalah 50 cm x 70 cm (populasi 17 777 tanaman/ha). Setiap bedengan terdiri atas 2 baris, sehingga terdapat 20 tanaman dalam satu bedeng.

3. Pengolahan Lahan dan Penanaman

Dolomit diberikan dua minggu sebelum penanaman dengan dosis 1 ton/ha dengan cara disebar merata. Pemberian pupuk kandang kambing dilakukan satu minggu sebelum tanam. Pupuk kandang diletakkan di sekitar lubang tanam dengan dosis 10 ton/ha. Analisis hara tanah secara lengkap dilakukan setelah dilakukan pengolahan tanah dan pemberian kapur, yaitu pada 2 minggu setelah pemberian kapur (setelah hujan deras).

4. Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT). Penyiraman dilakukan setiap hari bila tidak ada hujan. Penyiangan gulma dilakukan secara manual. Pengendalian OPT lain, seperti hama, dilakukan dengan membuang bagian tanaman yang terserang atau menjauhkan hama tersebut dari areal penanaman dan menggunakan pestisida yang sering digunakan pada tanaman tomat.

5. Panen

Kegiatan panen dimulai pada 7 MST yakni panen buah muda. Kriteria buah muda yang dipanen adalah buah berwarna hijau dan hampir mencapai ukuran maksimum. Panen dilakukan setiap satu minggu sekali. Panen dilakukan sebanyak sembilan kali selama penelitian. Pada 12 MST tidak dilakukan panen karena merupakan masa peralihan dari periode pembungaan pertama ke periode pembungaan kedua sehingga tidak terdapat buah yang siap panen.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan setiap minggu dimulai pada 1 MST hingga 16 MST. Pada setiap satuan percobaan diambil sepuluh tanaman contoh. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Peubah-peubah yang diamati, yaitu:

1. Tinggi tajuk tanaman dan tinggi percabangan utama

(19)

7

2. Jumlah daun

Daun yang dihitung adalah yang telah membuka sempurna dan memiliki

panjang helai daun ≥ 1.5 cm. Diasumsikan helai daun berukuran ≥ 1.5 cm adalah

daun yang normal secara morfologi.

3. Jumlah cabang per tanaman

Cabang dihitung jika memiliki panjang ≥ 2 cm. Alasannya secara visual

mudah dibedakan dengan tunas buah. Pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali.

4. Jumlah rangkaian bunga per tanaman

Rangkaian bunga yang dihitung adalah rangkaian bunga yang masih menguncup hingga terdapat minimal satu bunga yang mekar dalam rangkaian tersebut.

5. Jumlah rangkaian buah

Rangkaian buah yang dihitung adalah semua rangkaian buah yang dipanen.

6. Bobot basah dan bobot kering tanaman

Sampel destruktif diambil pada 6 dan 12 MST dengan cara mencabut tanaman. Setelah dicabut, akar dibersihkan dan masing-masing bagian tanaman dipisahkan, yaitu akar, batang, daun, bunga, buah ukuran kecil berdiameter ≤ 3 mm, buah ukuran sedang berdiameter antara > 3 hingga ≤ 7 mm, dan buah ukuran besar berdiameter > 7 mm. Akar dipotong dari batang pada leher akar. Masing-masing bagian ditimbang untuk memperoleh bobot basah. Selain itu, jumlah daun, jumlah akar, jumlah cabang, jumlah rangkaian bunga, jumlah buah kecil, jumah buah sedang, jumlah buah besar, panjang akar, dan panjang cabang juga diamati. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 1 tanaman per satuan percobaan.

Pengukuran terhadap bobot kering tanaman dilakukan setelah tanaman dikeringkan menggunakan oven pada suhu 80 °C selama 3 x 24 jam. Tanaman

a) tinggi, b) tinggi percabangan utama, c) helai daun, d) cabang, e) rangkaian bunga/rangkaian buah.

Gambar 1 Cara mengamati pertumbuhan dan produksi tanaman

a

d

b

c

(20)

8

yang telah kering kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitik.

Pengukuran terhadap kadar air tanaman dilakukan dengan mengambil sampel dari tanaman yang diukur bobot basah dan bobot kering tanaman. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus:

7. Bobot 100 butir buah

Bobot 100 butir buah diukur menggunakan timbangan analitik. Buah ditimbang tanpa tangkai, diambil sampel dari buah yang telah dipanen.

8. Persentase bagian yang dapat dikonsumsi (edible portion)

Pengukuran terhadap persentase bagian tanaman yang dapat dikonsumsi dilakukan terhadap buah muda yang dipanen. Persentase edible portion dihitung dengan rumus:

9. Persentase buah masak

Dari rangkaian buah yang dihitung saat panen, dihitung jumlah rangkaian buah yang telah masak. Persentase buah masak dihitung dengan rumus:

10. Produktivitas tanaman

Perhitungan produktivitas tanaman dilakukan setiap kali panen, mulai 7 MST. Produktivitas total tanaman sebanyak sembilan kali panen dihitung berdasarkan rumus:

11. Analisis alkaloid

Kandungan alkaloid diuji dengan metode ekstraksi pada buah leunca. Sebanyak 100 g buah leunca direndam heksana. Residunya disaring, kemudian direndam metanol. Filtrat metanol disaring dan dievaporasikan menggunakan rotary evaporator. Ekstrak pekat dihasilkan, kemudian diasamkan dengan asam sitrat 1 M sampai pH 3. Ekstrak dipartisi etil asetat hingga menghasilkan fase etil asetat dan fase asam. Fase asam diambil dan dibasakan dengan ammonium hidroksida (NH4OH) 6 M sampai pH 9. Ekstrak dipartisi lagi dengan etil asetat, sehingga terdapat fase basa dan fase etil asetat. Fase etil asetat dikeringkan, kemudian ditimbang total ekstrak alkaloid.

Analisis Data

Model rancangan penelitian yang digunakan adalah: Yijk= µ + αi + βj + εij

Keterangan:

Yij : nilai pengamatan pada perlakuan pemupukan N ke-i dan kelompok ke-j µ : nilai rataan umum

(21)

9

βj : pengaruh pengelompokan ke-j

εij : pengaruh galat percobaan perlakuan pemupukan N ke-i dan kelompok ke-j

Pengolahan data dilakukan dengan Uji-F, apabila menunjukkan hasil yang berbeda nyata dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Pada saat uji DMRT, koefisien keragaman (KK) > 25% maka dilakukan transformasi menggunakan .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Persemaian

Pada satu minggu setelah semai (MSS), benih mulai tumbuh dengan persentase daya tumbuh sebesar 63.03%. Pada 2 MSS, semua benih tumbuh 100%. Beberapa benih leunca yang ditanam memiliki kecepatan daya tumbuh yang berbeda sehingga tidak seragam. Sebelum ditanam di lahan, dipilih bibit yang seragam.

Pada saat di pembibitan, beberapa tanaman leunca mengalami serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Beberapa gejala kerusakan pada daun diduga disebabkan oleh serangan hama (Gambar 2). Hama penggorok daun (Liriomyza huidobrensis Blanchard) memakan jaringan mesofil daun, sehingga menampakkan bercak memanjang berwarna putih (Gambar 2a dan 2b). Selain hama penggorok daun, ditemukan gejala serangan larva kumbang koksi (Henosepilachna sp.) yang memakan bagian daun tanaman (Gambar 2c). Pengendalian hama dilakukan secara manual dengan cara membuang bagian tanaman yang terserang.

Pada 5 MSS, bibit dipindah tanam ke lahan. Tanaman yang baru ditanam di lahan percobaan mudah layu. Diduga tanaman membutuhkan waktu beberapa hari

a dan b) Gejala serangan penggorok daun, c) Gejala serangan larva kumbang koksi.

Gambar 2 Gejala kerusakan daun akibat serangan hama pada pembibitan leunca

(22)

10

untuk menyesuaikan dengan kondisi di lahan yang mendapatkan penyinaran matahari penuh.

Kandungan Hara Tanah dan Pupuk Kandang

Hasil analisis tanah di Kebun Percobaan Leuwikopo memiliki pH (H2O) masam yaitu 4.5. Kandungan C-organik sangat rendah yaitu 0.95%. Kandungan N-total tergolong rendah yaitu 0.1%. Unsur P (Bray I) dan P (HCl 25%) tergolong rendah, masing-masing bernilai 5.6 ppm dan 173.16 ppm. Kandungan K sebesar 0.3 me/100 g tergolong rendah. Kandungan hara makro lainnya yaitu S-tersedia 0.04%, S-total 0.1%, Ca 1.52 me/100 g tergolong sangat rendah, dan Mg 0.39 me/100 g tergolong sedang. Kapasitas tukar kation (KTK) tanah sebesar 10.46 me/100 g tergolong rendah. Kandungan hara lainnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pupuk kandang kambing memiliki pH (H2O) agak alkali yaitu 7.6. Pupuk kandang kambing mengandung N-total yang rendah yaitu 0.12%. Namun demikian, pupuk kandang kambing memiliki kandungan P (Bray I) yang sangat tinggi yaitu 60.9 ppm dan P (HCl 25%) yang sedang yaitu 404.04 ppm. Selain itu, kandungan K yang tinggi dimiliki oleh pupuk kandang kambing yaitu 23.75 me/100 g (Lampiran 1). Referensi analisis tanah disajikan pada Lampiran 2.

Lingkungan Tumbuh

Penelitian dilaksanakan pada pertengahan musim hujan hingga awal musim kemarau yaitu pada bulan Desember hingga April. Selama penelitian berlangsung, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari yaitu 702.0 mm/bulan. Curah hujan terendah yaitu 281.4 mm/bulan pada bulan Maret. Jumlah hari hujan per bulan berkisar antara 22-27 hari hujan. Suhu dan kelembaban selama penelitian berada pada rentang yang tidak terlalu besar. Suhu bulanan tertinggi yaitu 26.2 °C pada bulan April dan suhu terendah yaitu 24.6 °C pada bulan Januari. Kelembaban udara bulanan terendah dan tertinggi masing-masing 85% pada bulan April dan 89% pada bulan Januari dan Februari (Lampiran 3 dan 4).

Organisme Pengganggu Tanaman

Selama penelitian, terdapat gulma, hama, dan penyakit yang menyerang tanaman leunca. Gulma yang dominan tumbuh di lahan percobaan adalah Borreria latifolia Aubl., Croton hirtus L’Herit., Ageratum conyzoides L., dan Mimosa pudica L. (Gambar 3). Selain itu, terdapat gulma lain seperti Melastoma affine D. Don, Phyllanthus niruri L., Emilia sanchifolia L., Cleome rutidosperma DC., Eleusine indica L., dan Axonopus compressus Swartz.. Gulma dikendalikan secara manual. Selama penelitian, penyiangan gulma dilakukan sebanyak tiga kali dengan interval waktu kurang lebih satu bulan.

(23)

11

tanaman yang masih muda terserang hebat, pertumbuhannya menjadi kerdil dan daunnya keriting ke dalam (Pracaya 2007).

Kumbang koksi menyerang tanaman leunca pada fase larva. Larva kumbang koksi memakan daun dan meninggalkan lubang-lubang bekas gigitan yang khas

a) Borreria latifolia Aubl., b) Croton hirtusL’Herit., c) Ageratum conyzoides L., d) Mimosa pudica L.

Gambar 3 Gulma dominan di lahan percobaan

a) Larva kumbang koksi, b) Nimfa kepik hijau, c) Rayap, d) Ulat, e) Kutu daun

Gambar 4 Hama yang menyerang tanaman leunca di lahan percobaan

a b

d c

a b c

(24)

12

(Gambar 5c). Pada tingkat serangan yang parah, ketika daun tanaman sudah habis dimakan, larva kumbang koksi memakan kulit batang dan buah leunca. Ulat menyerang bagian daun tanaman. Ulat memakan, menggulung, dan menjalin daun tanaman leunca (Gambar 5d). Kepik hijau menyerang bagian buah. Nimfa kepik hijau menghisap buah sehingga meninggalkan bintik-bintik putih dipermukaan kulit buah. Bintik-bintik putih terlihat lebih jelas pada buah yang berwarna ungu kehitaman. Selain terdapat bintik-bintik putih, buah yang diserang kepik hijau berwarna lebih pucat (Gambar 5e). Rayap menyerang bagian akar dan batang tanaman leunca. Gejala yang ditunjukkan oleh tanaman yang diserang rayap adalah tanaman menjadi layu dan akhirnya mati. Awalnya tanaman diduga terkena penyakit layu bakteri atau penyakit layu fusarium. Akan tetapi, setelah tanaman dicabut, pada bagian akar yang tersisa ditemukan rayap (Gambar 5f dan 5g). Rayap juga membuat rongga pada batang, yang menjadi tempat rayap bersarang.

a) lubang bekas gigitan belalang, b) daun melengkung ke dalam akibat serangan kutu daun, c) bekas gigitan yang khas oleh larva kumbang koksi, d) jalinan daun akibat serangan ulat, e) Warna buah pucat dan terdapat bintik pada kulit buah akibat serangan kepik hijau, f) akar rusak karena dimakan rayap, g) rongga pada pangkal batang akibat dimakan rayap.

Gambar 5 Kerusakan akibat serangan hama

a b

c d

f g

(25)

13 Terdapat gejala berupa bercak berwarna coklat pada daun seperti karat (Gambar 6) dan daun mudah gugur. Selain itu, terdapat bercak berwarna coklat pada batang. Batang lebih lemah sehingga cabang-cabang cenderung rebah ke samping. Tanaman dengan gejala tersebut memiliki kenampakan yang lebih kerdil dibandingkan tanaman normal dan produksinya lebih rendah. Tanaman diduga terkena penyakit karat yang disebabkan cendawan karat. Gejala yang sama dinyatakan oleh Pracaya (2007), yaitu terdapat bercak-bercak yang awalnya berwarna kuning muda kemudian menjadi kuning jingga di sisi bawah daun dan daun gugur sebelum waktunya akibat serangan cendawan karat.

Selain penyakit karat, ditemukan penyakit pecah buah. Gejala serangan pecah buah yaitu terdapat bercak berwarna coklat pada ujung buah, yang akhirnya mengerut (Gambar 7). Pada tahap pembesaran buah, buah tidak dapat mencapai ukuran normal dan akhirnya pecah pada bagian yang terdapat bercak. Pecah buah diduga disebabkan oleh fluktuasi suhu dan kelembaban udara dan tanah, serta ketersediaan air di sekitar perakaran. Air dibutuhkan untuk pembentukan buah. Pada cuaca panas, air di sekitar perakaran banyak menguap, sehingga kelembaban tanah rendah dan kebutuhan air tanaman tidak tercukupi. Hal tersebut

a) permukaan atas daun yang terkena karat, b) permukaan bawah daun yang terkena karat.

Gambar 6 Bercak pada daun yang terkena penyakit karat

a) bercak pada buah yang masih kecil, b) buah pecah ketika ukuran buah membesar.

Gambar 7 Pecah buah akibat faktor abiotik

a b

(26)

14

mengakibatkan pertumbuhan buah terhambat, bahkan kematian sel atau jaringan. Ketika turun hujan, terjadi perubahan jumlah air di perakaran yang mendadak. Hal tersebut menyebabkan peningkatan penyerapan air ke bagian tanaman. Aliran air ke buah merangsang sel membesar, tetapi sel yang mati mengalami tekanan hingga terjadi pecah buah.

Pecah buah mirip dengan penyakit blossom-end rot pada tomat. Gejala tomat yang terkena blossom-end rot yaitu terdapat lession pada buah dan jaringan yang sakit tersebut menyusut (Walker 1957). Raleigh dan Chucka (1944) menyatakan, blossom-end rot terjadi ketika nitrogen relatif tinggi dan kalsium rendah. Pecah buah yang ditemukan pada penelitian ini mungkin terkait hal tersebut, karena kandungan Ca pada lahan penelitian tergolong sangat rendah dan pada beberapa perlakuan, dosis pupuk nitrogen yang diaplikasikan cukup tinggi. Ca berperan sebagai penyusun dinding sel serta perekat antar dinding sel (Garder et al. 2008). Kekurangan Ca menyebabkan permeabilitas sel menjadi lemah, sehingga ketika terjadi penyerapan air dan hara yang mendadak, namun tidak diimbangi pertumbuhan sel kulit buah, pecah buah sangat rentan terjadi.

Hama dan penyakit dominan yang ditemukan di lahan percobaan yaitu kumbang koksi, rayap, karat, dan pecah buah. Hama dan penyakit tersebut cukup mengganggu pertumbuhan tanaman dan diduga berpengaruh terhadap penurunan produksi buah tanaman leunca.

Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan penyemprotan insektisida dan fungisida. Insektisida yang digunakan berbahan aktif profenofos 500 g/l dan fungisida yang digunakan berbahan aktif propineb 70%. Penyemprotan dilakukan seminggu sekali. Namun demikian, panyemprotan yang telah dilakukan agaknya kurang efektif dalam mengendalikan hama dan penyakit di lahan percobaan.

Pertumbuhan Tanaman

Pengaruh Perlakuan Terhadap Peubah-peubah yang Diamati

Hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk nitrogen berpengaruh sangat nyata terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, dan jumlah rangkaian bunga, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi percabangan utama (Tabel 1). Tanaman leunca yang diberi perlakuan dosis pupuk nitrogen yang lebih tinggi menunjukkan pertumbuhan yang Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis ragam peubah karakter agronomi tanaman

leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen pada 1-16 MST

Peubah Hasil analisis ragam pada minggu ke-

(27)

15 lebih baik. Pada peubah tinggi tanaman dan jumlah daun, respon perlakuan mulai terlihat pada 3 minggu setelah tanam (MST) atau 2 minggu setelah perlakuan (MSP). Pada peubah jumlah cabang, respon perlakuan mulai terlihat pada 2 MST, sedangkan pada peubah jumlah rangkaian bunga respon perlakuan mulai terlihat pada 4 MST.

Hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk nitrogen berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah produksi, kecuali persentase buah masak (Tabel 2). Produksi dan produktivitas buah lebih tinggi dihasilkan oleh tanaman leunca yang mendapatkan perlakuan dosis pupuk nitrogen daripada tanaman tanpa pemupukan nitrogen. Respon perlakuan terhadap peubah-peubah tersebut mulai terlihat pada 7 MST atau panen pertama.

Pada sampel destruktif yang diamati, hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk nitrogen berpengaruh nyata terhadap peubah bobot basah, bobot kering, jumlah, dan panjang yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Respon perlakuan yang berpengaruh nyata terlihat pada kedua waktu pengamatan yaitu pada 6 dan 12 MST. Tanaman yang mendapatkan perlakuan dosis pupuk nitrogen menghasilkan biomassa yang lebih banyak, hal tersebut terlihat pada data Tabel 3 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengamatan destruktif tanaman

leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen pada umur 6 dan 12 MST Bagian tanaman

BB (g) BK (g) KA (%) Σ P (cm)

Hasil analisis ragam pada minggu ke-

6 12 6 12 6 12 6 12 6 12

BB: bobot basah, BK: bobot kering, KA: kadar air, Σ: jumlah, P: panjang; buah kecil: d ≤ 3

mm, buah sedang: 3 mm > d ≥ 7 mm, buah besar: d > 7 mm; tn: tidak berpengaruh nyata, *: berpengaruh nyata pada taraf 5%, **: berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%.

Tabel 2 Rekapitulasi hasil analisis ragam peubah produktivitas tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen pada umur 7-16 MST

Peubah Hasil analisis ragam pada minggu ke-

(28)

16

bobot basah dan bobot kering yang lebih tinggi.

Tinggi Tajuk Tanaman

Tabel 4 memperlihatkan bahwa perlakuan dosis pupuk nitrogen berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, respon perlakuan mulai terlihat pada 3 MST. Tinggi tanaman berbeda nyata antara tanaman yang diberi pupuk nitrogen dengan tanaman tanpa dipupuk nitrogen. Namun demikian, tinggi tanaman yang dihasilkan oleh perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha, 120 kg/ha, dan 180 kg/ha tidak berbeda nyata. Tinggi tanaman bertambah secara signifikan pada 2 MST hingga 5 MST. Pada 6 MST hingga 10 MST, laju pertambahan tinggi tanaman turun. Hal tersebut terjadi karena tajuk tanaman rebah.

Tinggi Percabangan Utama

Perlakuan dosis pupuk nitrogen tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi percabangan utama tanaman leunca (Tabel 5). Hasil pengujian pada 2 MST

Tabel 4 Tinggi tajuk tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen Umur tanaman

1 17.94a 18.40a 18.61a 17.15a 5.86

2 26.31a 27.43a 27.81a 26.19a 3.61

3 46.99b 50.73a 51.17a 49.62ab 3.71

4 75.26b 86.23a 88.28a 85.77a 4.35

5 83.00b 95.98a 98.27a 99.28a 2.62

6 89.33c 104.18b 106.81ab 109.86a 2.89

7 89.87c 105.46b 109.28ab 112.01a 3.63

8 90.25b 105.68a 109.10a 112.39a 4.30

9 89.98b 106.30a 104.13a 109.37a 4.53

10 92.83b 110.72a 111.27a 112.84a 4.19

KK: koefisien keragaman; MST: minggu setelah tanam; pangka-angka pada baris yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Tabel 5 Tinggi percabangan utama tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen

Umur Tanaman (MST)

Tinggi percabangan utama pada dosis N (kg/ha)

(29)

17 menunjukkan hasil yang berbeda nyata disebabkan oleh waktu munculnya percabangan utama yang tidak seragam. Perbedaan waktu tersebut mempengaruhi nilai rataan yang pada akhirnya mempengaruhi hasil pengujian. Tinggi percabangan utama bertambah secara signifikan pada 3 MST dan 4 MST. Pada 5 MST dan 6 MST tinggi percabangan utama telah mencapai tinggi maksimum.

Jumlah Daun

Tabel 6 memperlihatkan bahwa perlakuan dosis pupuk nitrogen berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman leunca. Respon perlakuan mulai terlihat pada 3 MST. Pertambahan jumlah daun terjadi secara signifikan pada 2 MST hingga 6 MST. Jumlah daun yang dihasilkan oleh tanaman tanpa dipupuk nitrogen berbeda nyata dengan tanaman yang diberi pupuk nitrogen. Semakin tinggi dosis pupuk nitrogen yang diberikan memberikan respon positif meningkatkan jumlah daun yang dihasilkan. Tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha menghasilkan jumlah daun berbeda nyata dengan tanaman yang diberi perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha dan 180 kg/ha pada 6 MST. Namun demikian, jumlah daun yang dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha dan 180 kg/ha tidak berbeda nyata. Jumlah daun terbanyak dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha.

Jumlah Cabang

Perlakuan dosis pupuk nitrogen berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang tanaman leunca yang mulai terlihat pada 3 MST (Tabel 7). Pemberian dosis pupuk nitrogen yang semakin tinggi memberikan respon positif meningkatkan jumlah canbang yang dihasilkan. Jumlah cabang yang dihasilkan oleh tanaman tanpa dipupuk nitrogen berbeda nyata dengan tanaman yang diberi pupuk nitrogen. Perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha pada 7 MST hingga 9 MST. Perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha pada 10 MST, 15 MST dan 16 MST. Jumlah cabang tertinggi dihasilkan oleh tanaman yang mendapatkan perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha.

Jumlah cabang bertambah dengan bertambahnya umur tanaman. Jumlah cabang bertambah secara signifikan ditunjukkan oleh data pada 6 MST dan 10 MST (Tabel 7). Pertambahan jumlah cabang yang signifikan pada 6 MST diduga

Tabel 6 Jumlah daun tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen Umur Tanaman

(MST)

Jumlah daun pada dosis N (kg/ha)

(30)

18

dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi hampir sepanjang minggu pada 3 MST hingga 5 MST. Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa pucuk dapat mengalami kematian akibat pengaruh kemarau, tetapi akan kembali tumbuh pada setiap awal musim penghujan. Pertambahan jumlah cabang yang signifikan pada 10 MST merupakan awal fase vegetatif kedua setelah berakhirnya masa pembungaan pertama yang ditunjukkan dengan menurunnya jumlah rangkaian bunga yang dihasilkan hingga 9 MST (Tabel 8).

Produksi Buah

Jumlah Rangkaian Bunga

Jumlah rangkaian bunga tanaman leunca nyata dipengaruhi oleh perlakuan dosis pupuk nitrogen. Perlakuan dosis pupuk nitrogen yang semakin tinggi menunjukkan respon positif menghasilkan jumlah rangkaian bunga yang semakin banyak. Respon jumlah rangkaian bunga akibat perlakuan dosis pupuk nitrogen mulai terlihat pada 4 MST. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 8, jumlah rangkaian bunga yang dihasilkan tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 0 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha, 120 kg/ha, dan 180 kg/ha. Selain itu, jumlah rangkaian bunga tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha berbeda nyata dengan tanaman yang diberi perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha dan 180 kg/ha pada 6 MST hingga 8 MST. Jumlah rangkaian bunga tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha berbeda nyata dengan tanaman yang diberi perlakuan dosis pupuk

Tabel 7 Jumlah cabang tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen Umur Tanaman

(MST)

(31)

19 nitrogen 180 kg/ha pada 8 MST, 9 MST, 13 MST, dan 14 MST. Total rangkaian bunga terlihat jelas nyata dipengaruhi perlakuan dosis pupuk nitrogen. Jumlah rangkaian bunga terbanyak dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha.

Rangkaian bunga pertama kali muncul pada 2 MST, akan tetapi baru sedikit tanaman yang menghasilkan rangkaian bunga. Hal tersebut dapat terlihat dari nilai rata-rata jumlah rangkaian bunga pada 2 MST kurang dari 1 (Tabel 8). Pada 4 MST, tanaman mulai menghasilkan rangkaian bunga cukup banyak. Pada 5 MST, tanaman menghasilkan rangkaian bunga paling banyak. Pada 6 hingga 9 MST, jumlah rangkaian bunga yang dihasilkan tanaman mulai menurun dan akhirnya mendekati nol. Berdasarkan data visual, 2 MST dan 3 MST sebagai masa percobaan pembungaan, 4 MST sebagai masa awal pembungaan, 5 MST dan 6 MST sebagai masa puncak pembungaan, dan 7-9 MST sebagai masa akhir pembungaan. Fluktuasi jumlah rangkaian bunga yang dihasilkan oleh tanaman leunca terjadi lagi pada 10 hingga 15 MST yang merupakan masa pembungaan periode kedua. Munculnya periode bunga tersebut diduga terkait dengan fluktuasi curah hujan. Tanaman masih berbunga sampai akhir pengamatan. Namun demikian, banyak tanaman yang mati akibat kekeringan, sehingga penelitian dihentikan. Penelitian ini menunjukkan bahwa ketersediaan air sangat penting bagi tanaman leunca.

Tabel 8 Jumlah rangkaian bunga tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen

Umur Tanaman (MST)

Jumlah rangkaian bunga pada dosis N (kg/ha)

(32)

20

Sumber air utama tanaman leunca di lahan percobaan berasal dari air hujan, sehingga pemenuhan kebutuhan air tanaman leunca sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan jumlah hari hujan. Dengan demikian, fluktuasi jumlah rangkaian bunga yang dihasilkan tanaman leunca diduga ikut dipengaruhi faktor cuaca yaitu curah hujan. Jumlah rangkaian bunga periode pembungaan pertama pada 4 MST hingga 6 MST lebih banyak dibandingkan minggu-minggu lainnya dipengaruhi curah hujan yang cukup tinggi pada 3 MST hingga 5 MST. Hampir setiap hari turun hujan dengan intensitas curah hujan cukup tinggi. Pada periode pembungaan kedua, jumlah rangkaian bunga pada 10 MST hingga 12 MST juga dipengaruhi curah hujan yang cukup tinggi pada 9 MST dan 10 MST. Pada 9 MST dan 10 MST, curah hujan dan hari hujan tidak setinggi dan sesering pada 3 MST hingga 5 MST, namun tetap menunjukkan pengaruh meningkatkan jumlah rangkaian bunga yang dihasilkan. Mulai 12 MST, intensitas curah hujan semakin rendah menyebabkan penuruan jumlah rangkaian bunga yang dihasilkan. Pentingnya air bagi tanaman leunca juga ditunjukkan oleh peristiwa tanaman mengalami kekeringan hingga hampir mati di akhir pengamatan (16 MST) akibat curah hujan yang sangat rendah mulai 15 MST.

Jumlah Rangkaian Buah

Perlakuan dosis pupuk nitrogen berpengaruh nyata terhadap jumlah rangkaian buah tanaman leunca. Dosis pupuk nitrogen yang semakin tinggi menunjukkan respon positif meningkatkan jumlah rangkaian buah yang dihasilkan. Respon perlakuan mulai terlihat pada 7 MST. Tabel 9 memperlihatkan bahwa jumlah rangkaian buah yang dihasilkan tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 0 kg/ha berbeda nyata dengan tanaman yang diberi perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha dan 180 kg/ha. Perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha berbeda nyata lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha. Namun demikian, perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha Tabel 9 Jumlah rangkaian buah tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk

nitrogen Umur Tanaman (MST)

Jumlah rangkian buah pada dosis N (kg/ha)

(33)

21 tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha dan 180 kg/ha. Total rangkaian buah jelas menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk nitrogen memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Jumlah rangkaian buah tertinggi dihasilkan tanaman dari dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha.

Total rangkaian buah dalam sembilan kali panen (Tabel 9) tidak sama dengan total rangkaian bunga (Tabel 8) dapat disebabkan oleh rontoknya bunga akibat hujan deras. Selain itu, satu rangkaian bunga dapat dihitung lebih dari satu kali (double accounting) karena masih berbentuk bunga pada minggu berikutnya. Double accounting menyebabkan total rangkaian bunga yang terhitung lebih banyak dibandingkan total rangkaian buah.

Bobot Panen per Tanaman

Perlakuan dosis pupuk nitrogen berpengaruh nyata terhadap bobot panen per tanaman. Respon perlakuan dosis pupuk nitrogen mulai terlihat pada 7 MST. Bobot panen per tanaman meningkat ketika tanaman leunca diberi perlakuan dosis pupuk nitrogen yang semakin tinggi. Tabel 10 memperlihatkan bahwa bobot panen per tanaman yang dihasilkan tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 0 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha, 120 kg/ha, dan 180 kg/ha pada 7 MST, 8 MST, 9 MST, dan 13 MST. Bobot panen per tanaman pada perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha berbeda lebih rendah dibandingkan perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha dan 180 kg/ha pada 10 MST, 14 MST, 15 MST, dan 16 MST. Bobot panen per tanaman pada perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha berbeda lebih rendah dibandingkan perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha pada 10 MST, 11 MST, dan 15 MST. Pengaruh perlakuan jelas terlihat pada hasil analisis total bobot panen per tanaman. Produksi buah tertinggi masing-masing perlakuan dicapai pada 7 MST oleh tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 0 kg/ha dan 180 kg/ha dan pada 8 MST oleh tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha dan 120 kg/ha.

Tabel 10 Bobot panen mingguan tanaman leunca per tanaman pada perlakuan dosis pupuk nitrogen (ditimbang dalam bentuk rangkaian buah) Umur Tanaman

(MST)

Bobot panen per tanaman pada dosis N (kg/ha)

(34)

22

Jumlah rangkaian buah setiap minggu tidak berbeda jauh, tetapi menghasilkan bobot panen per tanaman yang berbeda cukup tinggi. Dua faktor yang mempengaruhi hal tersebut yaitu jumlah buah dalam satu rangkain dan bobot 100 butir buah. Jumlah buah dalam satu rangkaian yang dihasilkan pertama sekali lebih banyak dibandingkan jumlah buah dalam satu rangkaian pada panen-panen berikutnya. Jumlah buah dalam satu rangkaian yang dihasilkan pertama sekali tersebut bisa mencapai 13 buah, sedangkan pada panen-panen berikutnya jumlah buah terbanyak dalam satu rangkaian hanya 9 buah. Semakin lama, jumlah buah dalam satu rangkaian semakin berkurang hanya berkisar empat sambai tujuh buah. Pada panen pertama, bobot 100 butir buah lebih tinggi dibandingkan dengan bobot 100 butir buah pada panen-panen berikutnya. Kedua faktor tersebut menunjukkan kualitas buah yang lebih baik pada panen pertama.

Produksi Buah per Bedeng

Data produksi buah per tanaman dapat dikonversi menjadi data produksi buah per satuan luas lahan. Dalam hal ini, tanaman leunca ditanam pada bedengan seluas 33.75 m2 dengan jumlah populasi sebanyak 60 tanaman. Sama halnya dengan produksi buah per tanaman, perlakuan dosis pupuk nitrogen juga berpengaruh nyata terhadap produksi buah per bedeng (Tabel 11).

Respon perlakuan mulai terlihat pada 7 MST. Produksi buah yang dihasilkan semakin tinggi dengan bertambahnya dosis pupuk nitrogen yang diberikan. Produksi buah yang dihasilkan tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 0 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha, 120 kg/ha, dan 180 kg/ha pada 7 MST, 8 MST, 9 MST, dan 13 MST. Produksi buah tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha berbeda lebih rendah dibandingkan perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha dan 180 kg/ha Tabel 11 Produksi buah per tanaman leunca bedeng pada perlakuan dosis pupuk nitrogen (berdasarkan konversi dari produksi buah per tanaman pada tanaman contoh)

Umur Tanaman (MST)

Produksi/bedeng pada dosis N (kg/ha) KK (%)

Total 20 068.0d 40 331.0c 55 920.0b 71 120.0a 14.1

KK: koefisien keragaman; MST: minggu setelah tanam; pangka-angka pada baris yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%; qhasil

(35)

23 pada 10 MST, 14 MST, 15 MST, dan 16 MST. Produksi buah tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha berbeda lebih rendah dibandingkan perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha pada 10 MST, 11 MST, dan 15 MST. Perbedaan yang nyata semakin jelas terlihat dari hasil analisis total produksi buah per bedeng.

Sama dengan produksi buah per tanaman, produksi buah per bedeng mengalami fluktuasi setiap minggunya. Produksi tertinggi masing-masing perlakuan terjadi pada 7 MST untuk perlakuan dosis pupuk nitrogen 0 kg/ha dan 180 kg/ha dan pada 8 MST untuk perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha dan 120 kg/ha.

Jika dibandingkan dengan data pada Tabel 11, produksi buah per bedeng yang ditampilkan pada Tabel 12 menunjukkan nilai yang lebih rendah. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi tanaman yang tidak persis seragam. Kondisi tersebut disebabkan terdapat tanaman yang terserang hama atau penyakit, sehingga menurunkan produksi buah. Namun demikian, hasil analisis perlakuan dosis pupuk nitrogen tetap menunjukkan peningkatan produksi dengan penambahan dosis. Produksi buah tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 0 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha, 120 kg/ha, dan 180 kg/ha pada 7 MST, 8 MST, 9 MST, 11 MST, dan 13 MST. Produksi buah tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha berbeda lebih rendah dibandingkan perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha dan 180 kg/ha pada 7 MST, 9 MST, 14 MST, dan 16 MST. Bobot panen per tanaman pada perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha berbeda lebih rendah dibandingkan perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha pada 14 MST, 15 MST, dan 16 MST. Perbedaan yang nyata semakin jelas terlihat dari hasil analisis total produksi buah per bedeng. Produksi buah tertinggi dari masing-masing perlakuan diperoleh pada panen kedua atau pada 8 MST.

Tabel 12 Produksi buah per bedeng tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen (berdasarkan hasil panen petak percobaan)

(36)

24

Produktivitas Buah per Hektar

Data produktivitas buah leunca ditampilkan dalam dua tabel, yaitu produktivitas yang dikonversi dari data produksi buah per tanaman (Tabel 13) dan produktivitas yang dikonversi dari data produksi buah per bedeng pada petak percobaan (Tabel 14). Tabel 13 dan 14 memperlihatkan bahwa perlakuan dosis pupuk nitrogen berpengaruh nyata terhadap produktivitas tanaman leunca. Respon perlakuan mulai terlihat pada 7 MST. Produktivitas tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 0 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk 180 kg/ha pada 10 MST, 11 MST, dan 15 MST. Produktivitas tertinggi dihasilkan oleh perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha.

Produktivitas buah leunca tertinggi masing-masing perlakuan pada masa berbuah periode pertama terjadi pada 7 MST untuk perlakuan dosis pupuk nitrogen 0 kg/ha dan 180 kg/ha dan pada 8 MST untuk perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha dan 120 kg/ha. Produktivitas buah leunca tertinggi pada masa berbuah periode kedua terjadi pada 13 MST untuk perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha dan pada 14 MST pada perlakuan dosis pupuk nitrogen 0 kg/ha, 120 kg/ha, dan 180 kg/ha. Hal ini memperlihatkan pola produktivitas tertinggi dicapai pada panen pertama atau kedua setiap periode masa berbuah. Pada panen-panen berikutnya, produktivitas menurun.

Tabel 14 memperlihatkan bahwa produktivitas tanaman dengan perlakuan dosis pupuk 60 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen pada 120 kg/ha dan 180 kg/ha pada 7 MST, 9 MST, 14 MST, dan 16 MST. Produktivitas tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha berbeda Tabel 13 Produktivitas buah per hektar tanaman leunca pada perlakuan dosis

(37)

25 nyata dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha pada 14 MST, 15 MST, 16 MST. Produktivitas buah tertinggi dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha. Jika dijumlahkan, total produksi buah selama 9 kali panen yaitu 18 445.0 kg/ha, lebih tinggi dibandingkan produktivitas leunca di daerah Ciampea menurut Pratiwi (2011), yaitu 1 248 kg/ha.

Bobot 100 Butir Buah

Tabel 15 memperlihatkan bahwa perlakuan dosis pupuk nitrogen berpengaruh nyata mempengaruhi bobot 100 butir buah leunca. Perbedaan yang nyata mulai terlihat pada 7 MST. Bobot 100 butir buah pada perlakuan dosis pupuk nitrogen 0 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha, 120 kg/ha, dan 180 kg/ha. Bobot 100 butir buah pada perlakuan dosis Tabel 15 Bobot 100 butir buah tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk

nitrogen Umur Tanaman (MST)

Bobot 100 butir buah pada dosis N (kg/ha) KK (%) diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Tabel 14 Produktivitas buah per hektar tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen (berdasarkan hasil panen petak percobaan)

Umur tanaman (MST)

Produktivitas pada dosis N (kg/ha) KK (%)

(38)

26

pupuk nitrogen 60 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha pada 13 MST dan 15 MST. Bobot 100 utir buah pada perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha dan 180 kg/ha. Namun demikian, bobot 100 butir buah naik dengan bertambahnya dosis pupuk nitrogen yang diberikan.

Bobot 100 butir buah turun dengan bertambahnya umur tanaman. Bobot 100 butir buah tertinggi dicapai pada 7 MST atau panen pertama dan terus turun hingga penen terakhir pada masa berbuah periode pertama. Bobot 100 butir buah kembali naik pada 13 MST atau panen pertama masa berbuah periode kedua. Hal ini menunjukkan kualitas pada awal panen lebih baik daripada panen berikutnya.

Persentase Edible Portion

Tabel 16 memperlihatkan bahwa perlakuan dosis pupuk nitrogen berpengaruh nyata mempengaruhi persentase edible portion buah leunca pada 10 MST, 11 MST, 14 MST, dan 15 MST. Perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha menunjukkan persentase edible portion tertinggi dan perlakuan dosis pupuk nitrogen 0 kg/ha menunjukkan persentase edible portion terendah. Persentase edible portion cenderung sama setiap minggunya. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi antara tangkai buah dan buah cukup stabil. Persentase edible portion berada pada kisaran 95.96-97.18%, lebih tinggi dari persentase edible portion buah hijau pada Siemonsma dan Jansen (1994), yaitu 95%.

Persentase Buah Masak

Persentase buah masak dihitung untuk menduga waktu panen. Persentase buah masak (berwarna kehitaman) yang tinggi menunjukkan bahwa terjadi keterlambatan panen, sehingga frekuensi panen seminggu sekali kurang tepat diterapkan. Buah yang masak kurang disukai konsumen. Perlakuan dosis pupuk nitrogen tidak berpengaruh terhadap persentase buah masak (Tabel 17). Hal ini menunjukkan bahwa umur kemasakan buah antar perlakuan dicapai pada waktu yang relatif sama.

Tabel 16 Persentase edible portion buah tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen

Umur Tanaman (MST)

Persentase edible portion pada dosis N (kg/ha)

(39)

27

Sampel Destruktif

Data sampel destruktif memperlihatkan bahwa perlakuan dosis pupuk Tabel 17 Persentase buah masak pada perlakuan dosis pupuk nitrogen Umur tanaman

(MST)

Persentase buah masak pada dosis N (kg/ha)

KK (%) leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen

Bagian tanaman

Umur tanaman

(MST)

Jumlah dan panjang bagian tanaman pada dosis N

(kg/ha) KK (%)

KK: koefisien keragaman; MST: minggu setelah tanam; buah kecil: d ≤ 3 mm, buah sedang: 3

mm > d ≥ 7 mm, buah besar: d > 7 mm; p

(40)

28

nitrogen berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, jumlah akar, jumlah cabang, jumlah rangkaian bunga, dan jumlah buah ukuran kecil pada 6 dan 12 MST (Tabel 18). Hasil yang sama diperoleh dari pengamatan mingguan terhadap peubah-peubah tersebut, kecuali jumlah akar dan jumlah buah ukuran kecil yang tidak diamati.

Perlakuan dosis pupuk nitrogen juga berpengaruh nyata terhadap panjang akar dan panjang cabang. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa pemupukan nitrogen mendorong akar tumbuh lebih dalam. Nilai tertinggi untuk masing-masing peubah dihasilkan oleh tanaman yang mendapatkan perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha. Akan tetapi pada peubah panjang akar, nilai tertinggi dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 120 kg/ha. Jika membandingkan kedua waktu pengamatan, terjadi peningkatan pada peubah jumlah daun, jumlah cabang, panjang akar, dan panjang cabang. Jumlah rangkaian bunga pada 12 MST lebih sedikit daripada 6 MST, sedangkan jumlah rangkaian buah tidak dapat dibandingkan karena tidak diukur dalam satu rangkaian tetapi dipisahkan berdasarkan ukuran.

Tabel 19 memperlihatkan bahwa perlakuan dosis pupuk nitrogen berpengaruh nyata terhadap bobot basah daun, akar, cabang (termasuk batang), dan rangkaian bunga pada 6 MST dan 12 MST serta bobot basah buah ukuran sedang dan buah ukuran besar pada 12 MST. Namun demikian, perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot basah buah ukuran kecil pada 6 MST dan 12 MST serta bobot basah buah ukuran sedang dan buah ukuran besar pada 6 MST.

Bobot basah akar dan cabang naik dengan bertambahnya umur tanaman. Bobot basah daun pada 12 MST turun dibandingkan pada 6 MST. Hal tersebut akibat gugur daun pada 7 MST, yang diduga terkait dengan curah hujan yang

Tabel 19 Bobot basah tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen Bagian

tanaman

Umur tanaman

(MST)

Bobot basah pada dosis N (kg/ha)

KK (%)

KK: koefisien keragaman; MST: minggu setelah tanam; buah kecil: d ≤ 3 mm, buah sedang: 3

mm > d ≥ 7 mm, buah besar: d > 7 mm; p

(41)

29

menurun (Lampiran 3). Daun-daun baru yang tumbuh berikutnya berukuran lebih kecil. Walaupun jumlah daun lebih banyak tetapi bobotnya lebih rendah. Bobot basah rangkaian bunga, buah ukuran kecil, buah ukuran sedang, dan buah ukuran besar relatif sama pada kedua waktu pengamatan.

Tabel 20 Bobot kering tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen Bagian

tanaman

Umur tanaman (MST)

Bobot kering pada dosis N (kg/ha)

KK (%)

KK: koefisien keragaman; MST: minggu setelah tanam; buah kecil: d ≤ 3 mm, buah sedang: 3

mm > d ≥ 7 mm, buah besar: d > 7 mm; p

angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%; qhasil transformsi .

Tabel 21 Kadar air tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen Bagian

tanaman

Umur tanaman (MST)

Kadar air pada dosis N (kg/ha)

KK (%)

KK: koefisien keragaman; MST: minggu setelah tanam; buah kecil: d ≤ 3 mm, buah sedang: 3

mm > d ≥ 7 mm, buah besar: d > 7 mm; p

(42)

30

Tabel 20 memperlihatkan bahwa perlakuan dosis pupuk nitrogen 0 kg/ha berbeda nyata terhadap bobot kering daun, akar, cabang, dan rangkaian bunga dengan perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha, 120 kg/ha, dan 180 kg/ha pada 6 MST dan 12 MST. Perlakuan dosis pupuk nitrogen tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering buah ukuran kecil, buah ukuran sedang, dan buah ukuran besar. Perlakuan dosis pupuk nitrogen yang semakin tinggi menunjukkan respon positif terhadap pertambahan bobot kering pada semua peubah yang diamati. Bobot kering tanaman tertinggi dihasilkan oleh tanaman yang mendapatkan perlakuan dosis pupuk nitrogen 180 kg/ha. Sama halnya dengan bobot basah, bobot kering akar serta batang dan cabang naik pada 12 MST, sedangkan bobot kering daun turun. Bobot kering rangkaian bunga, buah ukuran kecil, buah ukuran sedang dan buah ukuran besar relatif sama pada kedua waktu pengamatan.

Perlakuan dosis pupuk nitrogen tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air tanaman leunca (Tabel 21). Keempat perlakuan menunjukkan persentase kadar air yang relatif sama pada masing-masing peubah yang diamati.

Kadar Alkaloid

Tabel 22 memperlihatkan bahwa kadar alkaloid tertinggi dihasilkan oleh tanaman yang mendapatkan perlakuan dosis pupuk nitrogen 60 kg/ha, yaitu sebesar 0.16%. Kadar alkaloid terendah hingga tertinggi secara berurutan dihasilkan oleh tanaman yang mendapatkan perlakuan dosis pupuk nitrogen 0 kg/ha, 120 kg/ha, 180 kg/ha, dan 60 kg/ha.

Pembahasan

Tanaman leunca memiliki fase vegetatif dan reproduktif yang bersamaan selama masa pertumbuhannya. Pertumbuhan tinggi dan jumlah cabang terus bertambah bersamaan tanaman menghasilkan bunga (indeterminate). Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa tomat, terong, dan cabai rawit tidak memiliki dominasi pertumbuhan vegetatif maupun reproduktif. Tomat, terong, dan cabai rawit berasal dari famili yang sama dengan tanaman leunca yaitu Solanaceae, sehingga memungkinkan keempatnya memiliki kesamaan dalam fase pertumbuhannya.

Perlakuan dosis pupuk nitrogen berpengaruh nyata meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman leunca. Nitrogen adalah komponen utama klorofil (Munawar 2011), sehingga semakin banyak klorofil yang terbentuk maka laju fotosintesis akan semakin tinggi. Perlakuan dosis pupuk nitrogen yang semakin tinggi menghasilkan pertumbuhan vegetatif tanaman leunca terbaik, yang ditunjukkan oleh peubah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, jumlah akar, dan panjang akar. Zulkarnain (2009) menyatakan dengan tersedianya Tabel 5 Kadar alkaloid tanaman leunca pada perlakuan dosis pupuk nitrogen

Dosis N (kg/ha) Kadar alkaloid/100g buah (%)*

0 0.03

60 0.16

120 0.05

180 0.08

Gambar

Gambar 1  Cara mengamati pertumbuhan dan produksi tanaman
Gambar 2  Gejala kerusakan daun akibat serangan hama pada pembibitan leunca
Gambar 4  Hama yang menyerang tanaman leunca di lahan percobaan
Gambar 5  Kerusakan akibat serangan hama
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan dosis pupuk NPK (16:16:16) berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan sansieviera (jumlah anakan, jumlah daun, luas daun

Panen Pucuk dan Buah pada Tanaman Leunca ( Solanum nigrum L .) yang Dipupuk dengan Dosis Nitrogen Berbeda.. (Shoots and Fruits Harvesting of Solanum nigrum L. Treated

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap peubah amatan jumlah anakan, sedangkan dosis pemupukan nitrogen dan interaksi

Warna daun sangat berpengaruh pada pemberian pupuk, semakin tinggi dosis pupuk nitrogen yang diberikan maka warna daun yang diperoleh sangat hijau akan tetapi

Perlakuan pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah pelepah kelapa sawit sedangkan perlakuan pupuk NPK berpengaruh nyata secara kuadratik

Perlakuan dosis pupuk urea ( D ) berpengaruh nyata terhadap diameter umbi dan berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun rumpun -1 , jumlah

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap peubah amatan jumlah anakan, sedangkan dosis pemupukan nitrogen dan interaksi

Interaksi antara perlakuan aksesi kemangi dan dosis pupuk kandang ayam tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang kecuali pada 2 MST, bobot