ANALISIS PENGARUH INFLASI, BI RATE, PERTUMBUHAN
PEMBIAYAAN, DAN UKURAN BANK TERHADAP
PEMBIAYAAN BERMASALAH SEKTOR UKM PADA
PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
(PERIODE TAHUN 2009-2012)
SKRIPSI
Disusun Oleh: M Singgih Adi Pratomo
109081000074
JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP (Curriculum Vitae)
Data Pribadi
Nama Lengkap : M Singgih Adi Pratomo
Panggilan : Singgih, Adi
Tempat & Tanggal Lahir : Klaten 2 Juni 1991
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kp Duren Sawit No. 35 RT 004/03
Kelurahan Tajur. Kecamatan Ciledug. Tangerang. 15152
Telepon : 083870147636
Email : muhammad13adi@gmail.com
Pendidikan Formal
2009-2013 : Program Sarjana (S-1) Jurusan Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2006-2009 : SMA Negeri 25 Jakarta
2003-2006 : SMP Negeri 3 Tangerang
1997-2003 : SD Negeri Sudimara 8
Pendidikan Informal
• Seminar-seminar
• Pelatihan Pasar Modal “Basic Training of Fundamental & Technical
Analysis” 2012
• Kursus Bahasa Inggris Spectraton College 2005
Pengalaman Organisasi
1. Wakil Ketua Karang Taruna Orbitas Wilayah Duren Sawit
2. Anggota Koperasi Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Anggota OSIS SMA N 25 Jakarta
4. Anggota OSIS SMP N 3 Tangerang
5. Anggota PRAMUKA SD N Sudimara 8
Pengalaman Bekerja
• Pengajar Privat/Bimbingan Belajar Pribadi tahun 2013 sampai saat ini
• Magang/KKSBT Selama satu Bulan di unit Usaha Kecil dan Menengah
“Wahyu Motor”
Keahlian
Komputer : Microsoft Office, Internet
Olahraga : Badminton
ABSTRACT
This research is examine the effect of the variables inflation, BI rate, financing growth, and bank size against the non performing financing on small and medium enterprises sector. The data for assessing this research are acquired from the monthly data from January 2009 to Desember 2012. This research used Ordinary Least Square (OLS)
The result of the research shows that independent variables (Inflation, BI rate, financing growth, and bank size) simultaneously have significant impact to non performing financing on small and medium enterprises. The inflation and BI rate partially do not have impact on NPF. While, financing growth and bank size have negative impact to NPF on small and medium enterprises sector.
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh variabel inflasi, BI Rate, pertumbuhan pembiayaan dan ukuran bank terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan Syariah di Indonesia. Data yang dipergunakan pada
penelitian ini adalah data time series bulanan yaitu dari tahun 2009 sampai 2012
dengan menggunakan metode analisis linier regresi berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel independen (inflasi, BI rate, pertumbuhan pembiayaan dan ukuran bank) signifikan berpengaruh terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. Secara parsial inflasi dan BI Rate tidak berpengaruh signifikan. Sedangkan pertumbuhan pembiayaan dan ukuran bank berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan kasih sayang-Nya tiada terkira kepada hamba-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada pembimbing umat manusia baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan pada sahabatnya. Atas rahmat Allah SWT yang sangat besar, sehingga penulis dapat menunaikan amanah dan kewajiban untuk menyelesaikan skripsi ini
yang berjudul “Analisis Pengaruh Inflasi, BI rate, Pertumbuhan
Pembiayaan, dan Ukuran Bank terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM pada Perbankan Syariah di Indonesia”. Skripsi ini tersusun sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan program Strata Satu (SI) pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarih Hidayatullah Jakarta.
Penyusunan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu dan Bapakku tercinta, terima kasih atas doa berbalut kesabaran dan
dukungan berbingkai kasih sayang yang selalu diberikan kepadaku untuk mencapai keberhasilan dalam berbagai hal. Terima kasih telah memberikan semangat dan bimbingan, berperan sebagai ‘universitas’ utama kehidupanku.
2. Seluruh keluargaku tercinta, adik-adikku tercinta dan tersayang yaitu,
Dwi, Vindi, dan Rama, semoga kalian tumbuh menjadi anak yang sholeh-sholihah berbakti kepada orang tua dan berguna bagi agama dan negara.
3. Bapak Dr. Ahmad Dumyathi B, MA selaku dosen pembimbing I dan
meluangkan waktunya memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh kesabaran dan cinta dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku dekan FEB dan Bapak
Suhendra S.Ag., MM selaku ketua Jurusan Manajemen yang telah
memberikan saran dan wejangan dalam proses penyusunan skripsi ini.
5. Bapak DRS. Miftahul Munir MM selaku penasihat akademik, yang telah
membimbing dan mengarahkan kegiatan akademik dari awal perkuliahan hingga selesai.
6. Seluruh dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, terima kasih atas curahanan
ilmu yang disampaikan dengan penuh cinta kepada kami.
7. Seluruh jajaran staf dan karyawan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, atas
kerja kerasnya melayani mahasiswa dengan baik dan meningkatkan citra pelayanan Fakultas Ekonomi dan Bisnis khususnya Pak Heri, Bu Siska, pak Azis dan Pak Sofyan.
8. Sahabat-sahabat seperjuanganku, yaitu Budi, Andikha, Yoga, Andrian,
Egi, Fajar, Adan, Reza, Shidiq, Fitrah, Afifi dan teman-teman lainnya yang telah menyelesaikan skripsi ataupun yang belum. Lanjutkan perjuanganan kalian teman, umat butuh pengabdian kalian.
9. Teman-temanku Manajemen B angkatan 2009, terima kasih atas
dukungan, maaf tidak disebutkan satu persatu, tetapi tidak mengurangi rasa bangga dan cinta akan persahabatan yang terjalin diantara kita semua. Semoga pertemanan yang dilandasi taqwa ini akan terus terjalin sampai kapanpun.
10. Teman-teman Manajemen Perbankan 2009, semoga kita bisa menjadi
ahli perbankan yang handal dan tangguh, terlebih penting lagi semoga ilmu kita bisa bermanfaat untuk diri dan orang lain.
11. Teman-teman angkatan 2009
12. Dan berbagai pihak yang telah membantu selama masa kuliah dan
penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi ‘jariyah’ bagi ilmu pengetahuan dan membuka jalanku untuk meraih cita-cita. Amin Wassalamu alaykum Warahmatullahi Wabarakatuhu
Jakarta, Mei 2013 Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ... ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14
1. Tujuan Penelitian ... 14
2. Manfaat Penelitian ... 15
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Manajemen Risiko ... 16
1. Konsep Manajemen Risiko ... 16
2. Jenis-Jenis Risiko Bank Syariah ... 17
B. Manajemen Risiko Pembiayaan ... 22
1. Konsep dan Definisi ... 22
2. Ruang Lingkup Manajemen Risiko Pembiayaan ... 23
3. Tujuan Manajemen Risiko Pembiayaan ... 24
4. Kerangka Kerja Manajemen Risiko Pembiayaan ... 26
5. Fungsi Manajemen Risiko ... 27
C. Pembiayaan Bermasalah ... 28
1. Konsep Pembiayaan Bermasalah ... 28
2. Penyebab Pembiayaan Bermasalah ... 30
3. Dampak Pembiayaan Bermasalah ... 31
D. Inflasi ... 32
1. Pengertian Inflasi ... 32
2. Jenis-Jenis Inflasi ... 33
3. Efek Buruk Inflasi ... 34
4. Hubungan antara Inflasi dengan Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM ... 35
E. Tingkat Suku Bunga ... 36
1. Konsep Tingkat Suku Bunga ... 36
2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Suku Bunga ... ... 38
F. Pertumbuhan Pembiayaan ... 42
1. Konsep Pembiayaan ... 42
2. Jenis-jenis Pembiayaan ... 44
3. Hubungan Pertumbuhan Pembiayaan terhadap Pembiayaan Bermasalah sektor UKM ... 46
G. Ukuran Bank ... 46
1. Konsep Ukuran Bank ... 46
2. Hubungan Ukuran Bank dengan Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM ... 47
F. Definisi Operasional Variabel ... 73
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ... 76
1. Sejarah dan Perkembangan Perbankan Syariah ... 76
2. Perkembangan Kelembagaan dan Indikator Keuangan ... 78
B. Analisis dan Pembahasan ... 80
1. Analisis Deskriptif ... 80
2. Analisis Pengujian Statistik ... 98
3. Pengujian Hipotesis ... 106
C. Intepretasi ... 112
BAB V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan ... 117
B. Implikasi ... 118
DAFTAR PUSTAKA ... 120
DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman
1.1 Posisi Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia ... 2
1.2 Posisi Aset dan Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2006-2012 (dalam miliar rupiah) ... 3
1.3 Pembiayaan Perbankan Syariah berdasarkan golongan ... 8
1.4 Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah berdasarkan Golongan ... 10
1.5 Perkembangan variabel-variabel penelitian ... 12
2.1 Penelitian Terdahulu ... 57
4.1 Perkembangan Inflasi Indonesia tahun 2009-2012 ... 85
4.2 Perkembangan BI Rate tahun 2009-2012 ... 89
4.3 Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah tahun 2009-2012 ... 93
4.4 Perkembangan Aset Perbankan Syariah periode tahun 2009-2012 ... 97
4.5 NPF sektor UKM periode tahun 2009-2012 ... 101
4.6 Uji Kolmogorov Smirnov ... 105
4.7 Uji Multikolinieritas ... 106
4.8 Uji DW ... 107
4.9 Uji Park ... 110
4.10 Uji F ... 112
4.11 Uji t ... 113
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman
1.1 Tren Perkembangan FDR Perbankan Syariah ... 5
2.1 Kerangka Pemikiran ... 62
4.1 Perkembangan Inflasi di Indonesia periode 2009-2012 ... 86
4.2 Perkembangan BI Rate di Indonesia periode 2009-2012 ... 90
4.3 Perkembangan Pembiayaan yang disalurkan Tahun 2009-2012 ... 95
4.4 Perkembangan Total Aset Perbankan Syariah Tahun 2009-2012... 98
4.5 Perkembangan Pembiayaan Bermasalah UKM Tahun 2009-2012 ... 102
4.6 Histogram ... 103
4.7 Grafik p plot ... 107
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data-data variabel penelitian dari tahun 2009-2012 ... 124
Lampiran 2 Tabel Model Regresi, Anova, dan Koefisien ... 126
Lampiran 3 Uji Normalitas ... 127
Lampiran 4 Uji Multikolinieritas dan Autokorelasi ... 129
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kredit atau pembiayaan bermasalah adalah masalah krusial yang paling
ditakuti oleh sebuah bank. Namun, bank tidak bisa menghindar dari kredit
macet. Risiko kredit berupa pembiayaan bermasalah berbahaya bagi eksistensi
suatu bank dalam menepati kewajibannya, mengurangi profitabilitas dan
membahayakan kelangsungan hidupnya (Rose, 2002:326). Kredit macet
merupakan risiko bisnis yang mau tidak mau harus ditanggung oleh perusahaan
yang bergerak dalam bidang perkreditan atau pembiayaan. Hal inilah yang juga
melanda sektor perbankan syariah di Indonesia sejak pertama kali
kemunculannya.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia terus mengalami
peningkatan sejak amandemen Undang-undang tentang perbankan dan dual
banking system mulai diberlakukan. Pasalnya dalam undang-undang tersebut
diatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat
dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.
Respon positif diberikan oleh berbagai pihak, baik dari masyarakat
maupun pihak penyelenggara kegiatan Bank. Berbagai bank baik BUMN
maupun swasta seolah berlomba-lomba mengadakan kegiatan jasa perbankan
dengan sistem syariah. Masyarakat pun menunjukan minat yang besar terhadap
terhadap dampak langsung krisis keuangan global. Hal ini disebabkan selain
karena unsur spekulatif tidak ada pada produk-produknya, bank syariah juga
belum terlalu masuk dalam pasar keuangan global sehingga tidak menerima
dampak langsung dari krisis global. Indikasi peningkatan perkembangan bank
syariah di Indonesia juga ditunjukan oleh bertambahnya jumlah bank syariah,
baik unit usaha syariahnya maupun dengan membuat bank umum syariah.
Berikut ini merupakan tabel perkembangan perbankan syariah di Indonesia.
Tabel 1.1.
Posisi Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Jenis Bank 2009 2010 2011 2012
Bank Umum Syariah 6 11 11 11 Unit Usaha Syariah 25 23 24 24
BPRS 138 150 155 156
Sumber: Bank Indonesia
Dari tabel di atas, hingga Desember 2012 jumlah bank umum syariah
adalah 11 bank. Sementara itu, meskipun sempat mengalami penurunan jumlah
pada tahun 2012 hingga Desember 2012 bank konvensional yang memiliki unit
usaha syariah terus mengalami peningkatan yakni sebanyak 24 bank.
Sedangkan jumlah BPRS terus mengalami peningkatan yang signifikan, hingga
akhir triwulan II tahun 2012 jumlahnya sebanyak 156 bank.
Sejak awal 2000 hingga tahun 2012 aset perbankan syariah terus
mengalami peningkatan. Data dari Bank Indonesia menunjukan hingga
Desember 2012 nilai aset perbankan syariah adalah sebesar Rp
195.015.000.000.000 atau 4,0 % dari keseluruhan perbankan di Indonesia.
dengan pertumbuhan per tahun sebesar 40,2% selama lima tahun terakhir
(2007-2011).
Minat dan respon positif masyarakat Indonesia terhadap perbankan
syariah dipersonifikasikan dengan semakin besarnya dana pihak ketiga yang
terhimpun. Hingga Desember 2012, dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun
oleh perbankan syariah di Indonesia adalah sebesar Rp 147.512.000.000.
Menurut Antonio (2012:7) pesatnya pertumbuhan perbankan syariah yang
sistem manajemennya adalah bagi hasil berdasarkan ekonomi Islam ini
disebabkan karena kesesuaian dengan ajaran mayoritas penduduk Indonesia.
Sedangkan menurut Ghozali (2012:48) penyebab utama masyarakat memilih
bank syariah untuk menabung adalah pelayanan yang diberikan dan
kepercayaan terhadap bank syariah.
Tabel 1.2.
Posisi Aset dan Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2006-2012 (dalam miliar rupiah)
Indikator 2009 2010 2011 2012
Aset 66,090 97,519 145,467 179,871
DPK 52,271 76,036 115,415 119,279
Sumber: Staitistik Perbankan Syariah Bank Indonesia (diolah dengan ms.Excel)
Dari tabel di atas digambarkan, dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun
oleh perbankan syariah di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun
2010 terjadi peningkatan sebesar 45,06% dari tahun sebelumnya. Dan pada
kuartal ketiga tahun 2011 dana pihak ketiga perbankan syariah yang berhasil
dihimpun meningkat sebesar 51,35%. Sedangkan memasuki pertengahan
dikumpulkan telah mencapai Rp 116.871.000.000. Peningkatan pengumpulan
dana pihak ketiga pada rentang tahun tersebut disebabkan karena terdapat
penambahan jumlah unit Bank Umum Syariah dan Unit usaha Syariah. Hal
tersebut berkontribusi dalam pengumpulan dana pihak ketiga oleh perbankan
syariah di Indonesia.
Di lain pihak, tingginya dana pihak ketiga yang terkumpul menyebabkan
pihak perbankan syariah harus segera menyalurkan dananya sebagai sebuah
keniscayaan untuk memperoleh kesempatan mendapat keuntungan melalui
prinsip bagi hasil maupun jual beli. Atau bank akan menanggung biaya dana
yang cukup besar apabila dana yang terhimpun tidak disalurkan dan dibiarkan
mengendap. Konsekuensi logis tersebut menyebabkan bank-bank syariah di
Indonesia berupaya untuk menyalurkan dana pihak ketiga yang terkumpul
melalui skim-skim pembiayaan yang mereka tawarkan.
Fungsi intermediasi perbankan syariah selama tujuh tahun terakhir
berjalan dengan sangat baik. Indikasi membaiknya fungsi intermediasi tersebut
dicerminkan oleh tingginya presentase Loan to Deposite Ratio (LDR) atau
dalam terminologi perbankan syariah disebut Financing to Deposite Ratio
(FDR). Pada tahun 2006, rasio FDR perbankan syariah di Indonesia mencapai
98.90%. Bahkan pada tahun 2008 berhasil mencapai 103,64%, meskipun
sempat mengalami penurunan pada tahun berikutnya. Dan memasuki bulan
Juni 2012 FDR perbankan syariah di Indonesia telah mencapai 98,58%.
Berikut ini merupakan grafik tren perkembangan Financing to Deposite ratio
Tren Perke
kembangan FDR Perbankan Syariah di Indo
ik Perbankan Syariah Bank Indonesia (diolah de
u sektor bisnis yang menerima kucuran pe
ah adalah sektor UKM. UKM merupakan sal
onomi riil yang berbasis pada ekonomi kera
ngah (UKM) merupakan salah satu bagian
rekonomian suatu negara ataupun daerah
u pembiayaan UMKM adalah pembiayaan
cil dan menengah yang memenuhi definisi da
menengah sebagaimana diatur dalam UU No.
memenuhi kriteria usaha dengan batasan tertentu kekayaan bersih dan hasil
penjualan tahunan.
Perkembangan potensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UKM) di
Indonesia tidak terlepas dari dukungan perbankan dalam penyaluran kredit atau
pembiayaan kepada UKM. Setiap tahun pembiayaan kepada UKM mengalami
pertumbuhan dan secara umum pertumbuhannya lebih tinggi dibanding total
pembiayaan perbankan.
Usaha mikro kecil menengah menjadi salah satu prioritas dalam agenda
pembangunan di Indonesia hal ini terbukti dari bertahannya sektor UKM saat
terjadi krisis hebat tahun 1998 dan tahun 2008 silam, bila dibandingkan dengan
sektor lain yang lebih besar justru tidak mampu bertahan dengan adanya krisis.
Kuncoro (2008:75) mengemukakan bahwa UKM terbukti tahan terhadap krisis
dan mampu survive karena, pertama, tidak memiliki utang luar negeri. Kedua,
tidak banyak utang ke perbankan karena mereka dianggap unbankable. Ketiga,
menggunakan input lokal. Keempat, berorientasi ekspor.
Di sinilah peran besar perbankan syariah dalam menjalankan fungsi
intermediasi sesungguhnya yang menyentuh sektor ekonomi akar rumput.
Dilihat dari berbagai skema pembiayaan yang dikembangkan, bank syariah
hanya menyalurkan pembiayaan pada sektor riil. Pembiayaan melalui akad
murabah, salam, dan ijarah hanya dapat disalurkan apabila ada barang atau
biaya modal dengan pengembalian atas modal pada pembiyaan dengan akad
musyarakah dan mudharabah.
Jika dibandingkan dengan perbankan konvesional akan tampak
perbedaan yang jelas. Penyaluran pembiayaan atau kredit dari dana pihak
ketiga banyak yang masuk pada sektor keuangan dengan transaksi yang penuh
dengan ketidakpastian dan aksi spekulasi. Sebagian besar dana yang disalurkan
oleh perbankan konvensional tidak memiliki dampak pada ekonomi riil, hal
tersebut merupakan dampak dari penyaluran dana pada sektor bebas resiko
seperti Sertifikat Bank Indonesia. Dan yang lebih memperparah kinerja
perbankan konvensional adalah besarnya dana yang disalurkan ke pasar uang
dengan dasar spekulasi. Mubyarto (2004:6), seorang tokoh ekonomi
kerakyatan, meragukan peranan perbankan sebagai agent of development
dalam pengentasan kemiskinan melalui senjata kredit. Beliau mengkritik
beberapa bank daerah yang lebih suka mengirim dana ke pusat untuk
diinvestasikan di surat hutang yang lebih aman seperti SBI. Padahal harapan
UKM terhadap terhadap peranan bank sangat tinggi, namun sayang mereka
tidak dianggap “bankable”. Fenomena itu terjadi pada level bank daerah, yang
memang fungsi utamanya memajukan ekonomi daerah.
Perbankan syariah bukanlah financial sector based banking sebagaimana
perbankan konvensional. Sebaliknya perbankan syariah merupakan real sector
based banking yang menjalankan pembiayaan pada sektor riil dan salah
satunya adalah sektor UKM. Perbankan syariah memiliki peran yang cukup
potensi ekonomi kerakyatan dan UKM. Produk-produk pembiyaan dengan
skim profit and lost sharing dengan paradigma kemitraan dinilai sangat tepat
untuk mengembangkan usaha mikro masyarakat. Dengan pendekatan
pembiayaan lembaga keuangan mikro sebagai kepanjangan tangan dari
bank-bank syariah diharapkan upaya untuk menjangkau UKM bisa dioptimalkan.
Perbankan syariah bisa lebih aktif menjalin kerjasama dengan UKM yang
berada ditengah-tengah masyarakat. UKM-UKM tersebut dapat dirangkul
sebagai mitra kerja potensial untuk membangkitkan kembali perekonomian
masyarakat. Stigma bahwa sektor UKM sangat beresiko merupakan
argumentasi yang tidak beralasan. Bertahannya Bank BRI yang bergerak di
sektor tersebut pada krisis tahun 1998 membuktikan bahwa risiko pada sektor
UKM lebih terdiversifikasi (Anthonio 2009:7).
Penyaluran pembiayaan perbankan syariah ke sektor UKM dari tahun
2009 hingga pertengahan tahun 2012 tergolong tinggi. Dan selalu mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Berikut ini tabel lengkap komposisi
pembiayaan perbankan syariah di Indonesia berdasarkan golongan
pembiayaan.
Tabel 1.3.
Pembiayaan Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan (Dalam Miliar Rupiah)
Golongan 2009 2010 2011 2012
UKM 35799 52570 71810 90860
Non UKM 11087 15611 30845 56645
Total 46886 68181 102655 147505
Pada tahun 2009 pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah
pada sektor UKM adalah sebesar Rp 25.799.000.000.000 Dan meningkat
sebesar 46,84% atau sebesar Rp 52.570.000.000.000 pada tahun berikutnya.
Pada akhir tahun 2012 dana yang disalurkan melalui pembiayaan ke sektor
UMKM oleh perbankan syariah di Indonesia telah mencapai Rp
90.860.000.000.000. Keputusan menyalurkan besarnya pembiayaan ke
berbagai sektor bisnis tidak selalu terjadi sesuai seperti yang diharapkan,
karena ada berbagai resiko yang harus ditanggung oleh perbankan. Salah
satunya adalah resiko kredit yang tercermin oleh rasio kredit bermasalah.
Besarnya pertumbuhan aset dan penyaluran pembiyaan perbankan
syariah di Indonesia dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2012 ternyata tidak
diikuti dengan kualitas pembiayaan yang baik. Terjaganya fungsi intermediasi
perbankan syariah ternyata juga dibarengi dengan memburuknya kualitas
pembiayaan. Hal tersebut ditunjukan dengan meningkatnya angka pembiayaan
bermasalah atau Non performing Loan yang dalam terminologi perbankan
syariah disebut Non Performing Finance (NPF ).
Menurut Nasution (dalam Ihsan, 2007:1) NPL setidaknya menimbulkan
permasalahan bagi pemilik bank dan pemilik deposito. Pertama bagi pemilik
bank, dengan semakin tinggi NPL mereka tidak menerima return pasar dari
modal mereka. Kedua untuk pemilik deposito tidak menerima return pasar dari
deposito atau tabungan mereka. Bank membagi kegagalan kredit atau
pembiayaan mereka kepada pemilik deposito dengan cara menekan tingkat
mengalami kebangkrutan deposan akan kehilangan aset atau dihadapkan
dengan jaminan yang tidak seimbang. Bank juga membagi risiko kerugian
mereka kepada debitur lain dengan cara menetapkan suku bunga pinjaman,
margin, tingkat bagi hasil yang tinggi. Non performing loan akan
mengakibatkan jatuhnya sistem perbankan, mengkerutnya pasar saham dan
bahkan mengakibatkan kontraksi dalam perekonomian.
Tabel 1.4.
Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan (Dalam Miliar Rupiah)
1.824.000.000.000 pada tahun berikutnya. Pada tahun 2012 yang merupakan
akhir periode pengamatan, jumlah NPF perbankan syariah di Indonesia
meningkat menjadi Rp 2.060.000.000.000.
UKM di Indonesia memberikan kontribusi yang besar terhadap
pertumbuhan Produk Domestik Bruto. Namun demikian hal tersebut tidak
mampu mencerminkan kelancaran debitur-debitur dalam melakukan
pembayaran atas pembiayaan yang diberikan.
Selain Produk Domestik Bruto, salah satu variabel yang memengaruhi
tingkat non performing financing adalah ekuivalen tingkat suku bunga. Tingkat
suatu pembiayaan. Meskipun perbankan syariah tidak mengenal sistem bunga,
kinerja pembiayaan sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Semakin
tinggi tingkat suku bunga yang diberikan bank sentral, maka dapat
mempengaruhi tingkat bagi hasil yang diminta oleh bank sehingga tingkat non
performing financing akan semakin meningkat.
Beberapa penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi NPL
dan NPF telah dilakukan antara lain.
Faktor penyebab non performing loan atau non performing financing
adalah inflasi. Jakubik (2007:63) melakukan penelitian di Ceko menemukan
jika inflasi berpengaruh terhadap resiko kredit. Hogart et al (2005:3), yang
melakukan penelitian di Inggris raya menemukan pengaruh yang signifikan
antara inflasi dengan pembiayaan bermasalah yang diproksikan dengan
peningkatan jumlah penghapusan pinjaman.
Faktor lain yang turut memengaruhi tingkat NPF adalah tingkat suku
bunga atau dalam perbankan syariah ditunjukan dengan tingkat bagi hasil dan
margin. Saba et al (2012:131) menemukan terdapat pengaruh negatif yang
signifikan tingkat suku bunga terhadap tingkat NPL.
Beberapa literatur menunjukan adanya pengaruh yang ditimbulkan dari
tingkat suku bunga terhadap perbankan syariah. Hakan et al (2011:13)
melakukan penelitian tentang pengaruh tingkat suku bunga terhadap perbankan
syariah Turki. Hasil penilitian menunjukan terdapat pengaruh yang signifikan
Di negara dengan dual banking system seperti Indonesia, tidak dapat
dipungkiri bahwa kinerja bank syariah selain dipengaruhi oleh faktor internal
manajemen bank syariah juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, seperti
Ekonomi Makro. Faktor eksternal dari makro ekonomi adalah tingkat suku
bunga, nilai tukar, jumlah uang beredar, dan inflasi (Hakan et al, 2011:3).
Menurut Karim (2004:254) pada teori bejana berhubungan,
mengungkapkan bahwa kebijakan moneter keonvensional akan mempunyai
pengaruh terhadap perbankan syariah seperti misalnya tingkat suku bunga.
Kebijkan monenter mempengaruhi variabel-variabel neraca bank konvensional
(suku bunga kredit, suku bunga deposito, dan sekuritas yang dimiliki). Pada
umumnya mekanisme tersebut ditransmisikan melalui suku bunga kredit. Di
pihak lain, perbankan syariah yang notabene tidak mengenal bunga dalam
praktek operasionalnya juga terpengaruh oleh kebijakan moneter tersebut.
Pengaruh tersebut terlihat pada kondisi neraca bank syariah. Yakni pada
tingkat nisbah bagi hasil deposito investasi mudharabah. Sementara pengaruh
suku bunga SBI terhadap nisbah pembiayaan bank syariah ditransmisikan
melalui suku bunga kredit.
Tabel 1.5.
Berdasarkan data fluktuasi non performing financing di lapangan dan gap
hasil-hasil penelitian, peneliti mencoba meneliti lebih lanjut penelitian di atas,
dengan judul “Analsis Pengaruh Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan Pembiayaan,
dan Ukuran Bank terhadap Pembiayaan Bermasalah sektor UKM Perbankan
Syariah Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Perbankan syariah juga memiliki fungsi utama sebagai lembaga perantara
keuangan. Dan tugas utamanya adalah menyalurkan pembiayaan kepada pihak
yang membutuhkannya. Pembiayaan yang diberikan bertujuan untuk
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan pembangunan nasional. Tentunya kegiatan ini selalu diikuti oleh
risiko tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Kegagalan dalam
pembayaran pembiayaan berpengaruh terhadap terhentinya perputaran uang.
Jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah ke sektor
UKM sangatlah besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya berdasarkan
ukuran usaha. Dan hal tersebut menyebabkan risiko kegagalan bayar yang
mengikuti penyaluran pembiayaan sektor UKM sangatlah tinggi dari tahun
2009 sampai 2012. Berdasarkan tabel 1.4 Dapat dilihat bahwa pembiayaan
bermasalah di sektor UKM tergolong tinggi. Pada tahun 2009 yang merupakan
awal periode penelitian, pembiayaan bermasalah mencapai Rp
1.611.000.000.000.000. Pada latar belakang masalah telah dijelaskan bahwa
kondisi ekonomi negara dan spesifikasi bank berpengaruh terhadap
Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang dikemukakan di atas, maka
pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan pembiayaan, dan Ukuran Bank
berpengaruh terhadap NPF sektor UKM secara simultan?
2. Apakah Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan pembiayaan, dan Ukuran Bank
berpengaruh terhadap NPF sektor UKM secara parsial?
3. Manakah diantara variabel bebas yang memiliki pengaruh yang dominan
terhadap variabel NPF?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh variabel-variabel secara bersamaan terhadap
pembiayaan bermasalah atau NPF pada sektor UKM perbankan syariah di
Indonesia.
2. Menganalisis ada tidaknya pengaruh secara parsial dari variabel-variabel
bebas seperti Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan Pembiayaan, dan Ukuran Bank
terhadap pembiayaan bermasalah pada sektor UKM Perbankan Syariah di
Indonesia.
3. Serta menganalisis variabel apa yang paling memiliki pengaruh terhadap
2. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis dan pihak-pihak lain
yang berkepentingan, yaitu:
1. Menjadi masukan bagi praktisi perbankan syariah dalam mengambil
keputusan berkaitan risiko pembiayaan agar bisa meminimalisir potensi
kredit bermasalah.
2. Dapat memperkaya pemahaman mengenai konsep-konsep yang telah
dipelajari dengan membandingkannya dalam praktik perbankan khususnya
berkenaan dengan tema perbankan syariah dan non performing financing
3. Penelitian ini diharapkan bisa berguna bagi penelitian lebih lanjut
berkenaan dengan topik penelitian ini.
4. Menambah referensi dalam menilai kondisi sebuah bank yang baik yang
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Manejemen Risiko
1. Konsep Manajemen Risiko
Sebagai suatu entitas bisnis menghadapi sebuah risiko merupakan
suatu keniscayaan yang harus diterima, termasuk bank syariah. Seperti
yang diungkapkan oleh Tampubolon (2004:33) bahwa, “Kompleksitas
yang mengancam sebuah bank tergantung pada kompleksitas dan
intensitas kegiatan usaha bank tersebut.”
Tujuan dari manajemen lembaga keuangan adalah untuk
memaksimalkan nilai, sebagai penggambaran dari profitabilitas dan
tingkat risiko. Aspek kunci pada manajemen keuangan adalah
manajemen risiko yang meng-cover strategi dan perencanaan modal,
manajemen aset-liabilitas, manajemen bisnis bank dan risiko keuangan
(Greuning, 2008:64). Komponen pusat dari manajemen risiko adalah
identifikasi, quantifikasi, dan memonitor risiko.
Dalam menajalankan fungsinya dan seiring dengan situasi
lingkungan eksternal dan internal perbankan yang mengalami
perkembangan pesat, bank syariah akan selalu berhadapan dengan
berbagai jenis risiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan
melekat pada kegiatan usahanya. Risiko dalam suatu kegiatan perbankan
tidak, memiliki dampak yang negatif terhadap pendapatan dan
permodalan bank. Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari melainkan
dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh sebab itu, sebagaimana perbankan
pada umumnya, perbankan syariah juga memerlukan serangkaian
prosedur untuk mengelola risiko yang ditimbulkan akibat kegiatan
usahanya.
Risiko dapat dibedakan menjadi dua jenis kelompok besar, yaitu
risiko sistematis dan risiko tidak sistematis (Arifin, 2009:262). Risiko
sistematis adalah risiko yang diakibatkan oleh adanya suatu kondisi
tertentu yang bersifat makro, seperti perubahan situasi politik, perubahan
kebijakan ekonomi pemerintah, perubahan situasi pasar, situasi krisis,
dan lain sebagainya yang berdampak pada kondisi ekonomi secara
umum. Sedangkan risiko tidak sistematis adalah risiko yang bersifat unik,
yang melekat pada suatu perusahaan atau bisnis tertentu saja. Dalam hal
ini perbankan syariah turut berpotensi menghadapi risiko-risiko tersebut.
2. Jenis-jenis Risiko Bank Syariah
a. Risiko Pembiayaan
Risiko pembiayaan muncul akibat adanya kegagalan counterpary
dalam memenuhi kewajibannya. Karim (2007: 260) membagi
jenis-jenis resiko pada bank syariah menjadi risiko terkait produk dan risiko
terkait korporasi. Risiko yang terkait dengan produk ditimbulkan oleh
yang khas yakni pembiayaan Natural Certainty Contracts (seperti
akad murabahah, ijarah, salam, istishna) dan Natural Uncertainty
Contracts (mudharabah dan musyarakah).
Sementara itu pada risiko terkait pembiayaan korporasi muncul
sebagai akibat dari perubahan kondisi bisnis setelah pembiayaan,
komitmen modal yang terlalu berlebihan, dan lemahnya analisis bank.
b. Risiko Pasar
Risiko pasar adalah risiko kerugian yang terjadi pada portofolio
yang dimiliki oleh bank, penyebabnya adalah karena terjadi
pergerakan variabel pasar berupa suku bunga dan nilai tukar. Menurut
Karim (2007:272) risiko pasar terdiri dari empat hal, yaitu risiko
tingkat suku bunga, risiko pertukaran mata uang risiko harga dan
risiko likuiditas.
1) Risiko Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Risk)
Risiko tingkat suku bunga merupakan risiko yang harus
dihadapi bank dikarenakan terjadinya fluktuasi tingkat suku
bunga. Dalam hal ini, meskipun bank syariah tidak menetapkan
suku bunga pada sisi pendanaan dan pembiayaan, namun bank
syariah tidak akan dapat terlepas dari risiko tingkat suku bunga.
Hal ini disebabkan pangsa pasar yang disasar oleh bank
syariah tidak hanya nasabah-nasabah yang loyal penuh terhadap
sistem syariah.
Risiko ini merupakan suatu konsekuensi yang berkaitan
dengan adanya pergerakan nilai tukar terhadap rugi laba bank.
Meskipun aktivitas-aktivitas pendanaan bank syariah tidak
terpengaruhi fluktuasi kurs secara langsung karena tidak
dibolehkan melakukan transaksi yang bersifat spekulasi, namun
bank syariah tidak dapat terlepas dari adanya posisi dalam valuta
asing.
Mengingat bank syariah tidak berkenan berspekulasi, maka
transaksi seperti forward, margin trading, option, dan swap
tidak boleh dijalankan. Yang diperkenankan adalah untuk
kebutuhan transaksi atau berjaga-jaga dan transaksi tersebut
harus dilakukan secara tunai atau spot. Seperti pembayaran
dengan cek, pemindahbukuan, transfer, dan sarana pembayaran
tunai lainnya.
c. Risiko Likuiditas
Menurut Arifin (2009:245) risiko likuiditas adalah risiko yang
muncul manakala bank tidak mampu memenuhi kebetuhan dana (cash
flow) dengan segera, dan dengan biaya yang sesuai, baik untuk
memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi
kebutuhan dana yang mendesak. Menurutnya, besar-kecilnya risiko ini
1) Kecermatan perencanaan arus kas (cash flow) atau arus
dana (fund flow) berdasarkan prediksi pembiayaan dan
prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati tingkat
fluktuasi dana (volatility of funds).
2) Ketepatan dalam mengatur struktur dana, termasuk
kecukupan dana-dana nonprofit and loss sharing.
3) Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas.
4) Kemampuan menciptakan aset ke pasar antarbank atau
sumber dana lainnya, termasuk fasilitas lender of last
resort.
d. Risiko Operasional
Risiko operasional adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh
ketidakcukupan proses internal, humen error, kegagalan sistem atau
adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasi bank
(Greuning, 2008:174).
Menurut Greuning, terdapat beberapa hal yang dapat memicu
peningkatan risiko operasional pada bank Islam, diantaranya adalah:
1) Risiko pembatalan perjanjian pada pembiayaan yang tidak
mengikat seperti murabahah (partenership) dan istishna
(manufacturing).
2) Kegagalan sistem pengendali internal dalam mendeteksi
3) Potensi menghadapi kesulitan dalam penguatan akad atau
kontrak pada lingkungan legal yang lebih lebih luas.
4) Kebutuhan untuk memelihara dan mengelola komoditas
yang diinventorisasikan pada pasar yang tidak likuid.
5) Kegagalan mematuhi persyaratan syariah.
Menurut Arifin (2008:271) terdapat empat risiko yang berkaitan
dengan risiko operasional diantaranya adalah:
1) Risiko Reputasi: adalah risiko yang disebabkan oleh adanya
publikasi negatif terkait dengan kegiatan bank.
2) Risiko Kepatuhan: adalah risiko yang muncul akibat dari
ketidakpatuhan ketentuan-ketentuan internal dan eksternal
seperti GWM, batas pemberian pembiayaan, ketentuan
dalam akad, fatwa Dewan Syariah Nasional dan lain
sebagainya.
3) Risiko Strategi: risiko yang antara lain disebabkan oleh
adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak
tepat, pengambilan keputusan yang salah, atau bank tidak
mematuhi perubahan perundang-undangan dan ketentulan
lain.
4) Risiko Hukum: risiko ini muncul sebagai akibat dari adanya
kelemahan aspek yuridis seperti adanya tuntutan hukum,
ketiadaan peraturan undang-undang yang mendukung suatu
B. Manajemen Risiko Pembiayaan
1. Konsep dan Definisi
Dalam menjalankan fungsinya yakni memberikan pembiayaan
kepada masyarakat oleh bank syariah selalu berdampingan dengan risiko.
Dijelaskan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan
bahwa:
“Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank”.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan
pengukuran terhadap risiko perbankan. Hal-hal seperti jumlah
pembiayaan yang diberikan, kuantitas dan kualitas risiko. Secara
keseluruhan risiko pembiayaan merupakan hal yang penting untuk
diperhatikan dibandingkan dengan risiko-risiko lainnya, karena
ketidakmampuan nasabah memenuhi kewajiban pembiayaannya dapat
mengakibatkan bank merugi dan mengikis permodalan bank yang
berujung pada kebangkrutan.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan sebuah upaya manajerial terhadap
risiko yang muncul akibat dari penyaluran pembiayaan. Hal ini
Senada dengan hal yang dinyatakan oleh Tampubolon (2004:35) dalam
bukunya dijelaskan bahwa:
“Manajemen risiko merupakan sejumlah kegiatan yang bersifat proaktif dan terarah yang ditujukan untuk mengakomodasi kemungkinan gagal pada salah satu atau sebagian dari sebuah transaksi atau instrumen. Karena itu manajemen risiko haruslah dinamis tidak statis, dan berubah sejalan dengan perubahan kebutuhan dan risiko usaha”.
Resiko kredit atau pembiayaan berbahaya bagi kelangsungan hidup
bank karena dapat menyebabkan bank gagal memenuhi kewajibannya
dan menggerus profitabilitas bank (Rose, 2002:326). Risiko kredit adalah
risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak lawan memenuhi
kewajibannya. Risiko ini dapat timbul karena kinerja satu atau lebih
debitur yang buruk. Kinerja debitur yang buruk ini dapat berupa
ketidakmampuan debitur untuk memenuhi sebagian atau seluruh isi
perjanjian kredit yang telah disepakati bersama sebelumnya.
Bank Indonesia mendefinisikan manajemen risiko sebagai
serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang
timbul dari kegiatan usaha bank.
2. Ruang Lingkup Manajemen Risiko Pembiayaan
Secara umum manajemen risiko merupakan serangkaian proses
yang diawali dengan proses identifikasi, pengukuran, monitoring dan
pengelolaan terhadap risiko-risiko portofolio. Dengan demikian
pengelola bank dapat selalu memantau agar risiko tidak mempengaruhi
Dalam menjalankan perannya sebagai lembaga intermediasi, bank
selalu dihadapkan pada risiko – risiko bisnis. Risiko bisnis yang dihadapi
mencakup diantaranya risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko
operasional, risiko legal. Untuk menjaga dan mengurangi risiko kerugian,
bank wajib melaksanakan transaksi yang berpedoman pada kebijakan dan
penerapan manajemen risiko yang telah ditetapkan pemerintah yang
berlandaskan pada prinsip kehati – hatian. Bank Indonesia dalam
Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 mengidentifikasikan empat
aspek pokok yang sekurangnya tercakup dalam manajemen risiko, yaitu
diantaranya, pertama adalah pengawasan aktif dewan komisaris dan
direksi. Kedua adalah kebijakan, prosedur dan penetapan limit. Ketiga
adalah proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, sistem informasi
manajemen risiko kredit. Keempat adalah Pengendalian Risiko Kredit.
3. Tujuan Manajemen Risiko Pembiayaan
Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 pada tanggal 19 Mei
2003 tentang “Penerapan Manajemen Risiko Untuk Bank Umum”,
merupakan wujud keseriusan Bank Indonesia dalam masalah manajemen
risiko perbankan. Keseriusan tersebut dipertegas lagi dengan
dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia No. 7/25/PBI/2005 pada
Agustus tahun 2005 tentang “Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi
Pengurus Dan Pajabat Bank Umum”, yang mengharuskan seluruh pejabat
bank dari tingkat terendah hingga tertinggi untuk memiliki sertifikasi
Tujuan dari manajemen risiko menurut Tampubolon (2004 :34)
adalah pengelolaan risiko yang mencakup atas prosedur dan metodologi
yang digunakan sehingga kegiatan usaha bank tetap dapat terkendali pada
batas / limit yang dapat diterima serta menguntungkan bank. Penerapan
manajemen risiko tersebut akan memberikan manfaat, baik kepada
perbankan maupun otoritas pengawasan bank. Bagi perbankan,
penerapan manajemen risiko dapat meningkatkan shareholder value,
memberikan gambaran kepada pengelola bank mengenai kemungkinan
kerugian bank di masa datang, meningkatkan metode dan proses
pengambilan yang sistematis yang didasarkan atas ketersedian informasi,
digunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja
bank dan untuk menilai risiko yang melekat pada instrumen atau kegiatan
usaha bank yang relatif kompleks, serta menciptakan infrastruktur-
infrastruktur yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing bank.
Dalam proses penerapan manajemen risiko, bank dapat
menggunakan berbagai pendekatan pengukuran risiko, baik dengan
metode standar yang direkomendasikan oleh Basel Committee on
Banking Supervison. Kesepakatan Basel mencetuskan 2 kesepakatan
(Basel I dan Basel II). Dalam kesepakatan Basel I hanya mencakup risiko
kredit, modal yang disediakan hanya dikaitkan dengan risiko kredit, dan
dalam mengukur kecukupan modal menurut risiko kredit didasari oleh
beberapa kalkulasi yang terdiri dari bobot risiko aktiva dan bobot risiko,
konsumsi modal yang memenuhi syarat, kecukupan hasil pada modal
yang memenuhi syarat struktur modal (El Tiby, 2011:102).
Dalam kesepakatan Basel II digunakan pendekatan baru dalam hal
pengawasan bank. Kerangka baru Basel II dirancang mencakup tiga
konsep yang dikenal sebagai tiga pilar. Ketiga pilar tersebut diantaranya
adalah pilar 1 yaitu Kewajiban penyediaan modal minimum. Pilar 2 yaitu
tinjauan berdasar regulasi dari kecukupan modal dari masing – masing
bank dan proses penilaian internal. Dan pilar 3 yaitu disiplin pasar yang
efektif sebagai pengungkit untuk memperkuat keterbukaan dan
mendorong agar bank lebih aman dalam prakteknya (El Tiby, 2011:107).
4. Kerangka Kerja Manajemen Risiko Pembiayaan
Agar efektif, dalam proses manajemen risiko perlu adanya
kerangka kerja, diantaranya. Memahami rantai risiko, dengan pehaman
ini satuan kerja manajemen risiko wajib terlebih dahulu melakukan
analisis lingkungan untuk menetapkan masalah atau peluang, cakupan
dan konteks serta isu yang berhubungan dengan risiko, seperti masalah
politik, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Menurut Tampubolon
(2004:41) kerangka kerja manajemen risiko pembiayaan atau kredit
adalah sebagai berikut:
a. Melakukan analisis terhadap stakeholder (deposan, debitur, pemilik
saham) untuk menetapkan atau mengkaji toleransi risiko, posisi dan
b. Memahami situasi atau peristiwa yang pernah diambil perusahaan
yang dapat mendatangkan kerugian.
c. Melakukan penilaian atas risiko dan pengendalian yang ada.
Menyusun tanggapan atas risiko yang ada.
d. Menetapkan aktivitas pengendalian berupa program mitigasi risiko.
e. Mengkomunikasikan risiko dan manajemen risiko. Melakukan
pemantauan terhadap risiko dan pengelolaanya.
5. Fungsi Manajemen Risiko
Manajemen risiko adalah sebuah pola pikir, oleh karena itu semua
pejabat bank bisa atau mampu mewaspadai risiko dan menerapkan
manajemen risiko dengan baik. Fungsi manajemen risiko tidak hanya
sekedar memelihara tingkat profitabilitas dan kesehatan bank, namun
juga untuk memelihara integritas dan stabilitas sistem keuangan yang
kritis terhadap kesehatan perekonomian nasional. Secara garis besar,
menurut Tampubolon (2004:45) manajemen risiko berfungsi untuk:
a. Menunjang ketepatan proses perencanaan dan pengambilan keputusan
b. Menunjang efektifitas perumusan kebijakan sistem manajemen dan
bisnis.
c. Menciptakan Early Warning System untuk meminimumkan risiko.
d. Menunjang kualitas pengelolaan dan pengendalian pemenuhan tingkat
kesehatan bank.
e. Menunjang penciptaan/pengembangan keunggulan kompetitif.
C. Pembiayaan Bermasalah (NPF)
1. Konsep Pembiayaan Bermasalah
Suatu kredit dinyatakan bermasalah jika bank benar-benar tidak
mampu mengahadapi risiko yang ditimbulkan oleh kredit tersebut. Risiko
kredit atau pembiayaan didefinisikan sebagai risiko yang muncul jika
bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan bunga dari
pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukannya
(Arifin, 2008:263).
Sebagai indikator yang menunjukkan kerugian akibat risiko kredit
adalah tercermin dari besarnya non performing loan (NPL), dalam
terminologi bank syariah disebut non perfoming financing (NPF).
Non Performing Financing (NPF) adalah rasio antara pembiayaan
yang bermasalah dengan total pembiayaan yang disalurkan oleh bank
syariah. berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia
kategori yang termasuk dalam NPF adalah pembiayaan kurang lancar,
diragukan dan macet. Dalam peraturan bank indonesia Nomor
8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Bank
Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
pasal 9 ayat (2), bahwa kualitas aktiva produktif dalam bentuk
pembiayaan dibagi dalam 5 golongan yaitu lancar (L), dalam perhatian
khusus (DPK), kurang lancar (KL), diragukan (D), macet (M).
Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.31
“Kredit non performing pada umumnya merupakan kredit yang pembayaran angsuran pokok dan/atau bunganya telah terlewat sembilan puluh hari atau lebih setelah jatuh tempo, atau kredit yang pembayarannya secara tepat waktu sangat diragukan. Kredit non performing terdiri atas kredit yang digolongkan sebagai kredit kurang lancar, diragukan, dan macet.”
Sedangkan Sutojo (2008:13) menyatakan jika “pengertian kredit
bermasalah adalah suatu keadaan di mana debitur mengingkari janji
mereka membayar bunga dan atau kredit induk yang telah jatuh tempo,
sehingga terjadi keterlambatan pembayaran atau sama sekali tidak ada
pembayaran.
Dari kelima kualitas pembiayaan yaitu lancar, dalam perhatian
khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet, yang tergolong dalam
pembiayaan bermasalah atau non performing financing adalah
pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet.
Berdasarkan surat Edaran Bank Indonesia Nomor7/56/DPbS
tanggal 9 Desember 2005, pedoman untuk perhitungan rasio non
performing finance (NPF) dihitung dengan cara sebagai berikut:
NPF= X 100%
Rasio ini menunjukan kualitas pembiayaan yang dilakukan oleh
perbankan. Semakin tinggi rasio NPF maka kualitas pembiayaan yang
diberikan oleh perbankan syariah semakin memburuk. Kelancaran
kegiatan usaha bank syariah dapat terganggu apabila rasio semakin
meningkat dan dapat berakibat pada tingkat kesehatan bank itu sendiri. Pembiayaan yang bermasalah
Bank Indonesia sebagai regulator yang turut mengatur perbankan
syariah di Indonesia menetapkan bahwa batas maksimum tingkat
pembiayaan yang bermasalah sebesar 5% dari total pembiayaan yang
diberikan.
2. Penyebab Pembiayaan Bermasalah
Pembiayaan bermasalah merupakan sumber permasalahan bank.
Adanya pembiayaan bermasalah ini dapat disebabkan oleh banyak faktor.
Sutojo (2008:18) menuturkan terjadinya kredit bermasalah disebabkan
oleh berbagai faktor diantaranya:
a. Faktor Internal:
1) Rendahnya kemampuan atau ketajaman bank melakukan
analisis kelayakan permintaan kredit yang diajukan oleh calon
debitur.
2) Lemahnya sistem administrasi kredit atau pembiayaan serta
sistem administrasi bank.
3) Campur tangan yang berlebihan dari para pemegang saham
4) Pengikatan jaminan kredit yang kurang sempurna
b. Faktor debitur
1) Salah urus atau missmanagement
2) Kurangnya pengalaman dan pengetahuan pemilik dalam
bidang usaha yang dijalani.
c. Faktor Eksternal
1) Perkembangan kondisi ekonomi atau bidang usaha yang
merugikan.
2) Bencana alam
3) Regulasi pemerintah
3. Dampak Pembiayaan Bermasalah
Adanya pembiayaan bermasalah ini akan memberikan dampak
negatif kepada beberapa pihak, Sutojo (2008:25) menjelaskan bahwa
terdapat beberapa dampak yang ditimbulkan dari pembiayaan bermasalah
diantaranya adalah:
a. Bank yang bersangkutan akan mengalami gangguan profitablitias
untuk menutupi cadangan pembiayaan bermasalah.
b. Jumlah modal bank akan terkikis dan menurunkan rasio kecukupan
modal bank.
c. Nasabah sendiri akan kehilangan kepercayaan pihak luar dan relasi
bisnis, serta citra dan nama baik yang rusak. Sementara nasabah
lainnya akan kesulitan mendapatkan pembiayaan dari bank yang
bersangkutan.
d. Perputaran dana bank di masyarakat akan terhenti.
e. Pengusaha di dalam negeri akan kehilangan kesempatan untuk
D. Inflasi
1. Pengertian Inflasi
Inflasi dapat diartikan sebagai suatu proses meningkatnya
harga-harga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses
menurunnya nilai mata uang secara kontinu (Manurung, 2008:359).
Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat
harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu
menunjukkan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga
berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi.
Manurung lebih lanjut menggambarkan inflasi sebagai salah satu
dari persoalan politik yang sering diangkat menjadi komoditas politik.
Sebuah pemerintahan dianggap gagal bila tidak bisa mengatasi masalah
inflasi. Setidaknya terdapat dua efek utama yang disebabkan oleh inflasi,
yaitu redistribusi dan distorsi. Inflasi mengakibatkan efek distribusi
pendapatan dan kemakmuran karena terjadinya perbedaan pada aset dan
utang yang dipegang masyarakat. Inflasi mengakibatkan efek distorsi
karena perekonomian mengalami masalah efisiensi dan masalah
penilaian total output. Masalah efisiensi ekonomi terjadi karena adanya
distorsi pada harga dan penggunaan uang, sedangkan masalah penilaian
total output terjadi karena adanya inflasi mendorong pelaku ekonomi
menyesuaikan penilaian terhadap harga-harga dan adanya penyesuaian
2. Jenis-jenis Inflasi
Dalam teori ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis:
a. Penggolongan inflasi didasarkan sifatnya, inflasi dibagi menjadi tiga
kategori utama yaitu (Putong, 2002:260)
1) Inflasi Merayap (creeping Inflation)
Biasanya ditandai dengan laju inflasi yang rendah, yaitu
kurang dari 10% per tahun.
2) Inflasi Menengah (galloping inflation)
Ditandai dengan meningkatnya harga yang cukup besar dan
kondisi tersebut berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta
mempunyai sifat akselerasi, yang artinya harga pada
bulan/minggu berikutnya selalu lebih tinggi dari waktu
sebelumnya.
3) Inflasi Tinggi (hyper inflation)
Inflasi jenis ini sangat mengkhawatirkan, karena harga-harga
barang meningkat sampai dengan lima atau enam kali,
sehingga nilai uang turun secara tajam. Inflasi yang tinggi
biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang panas (over
heated), artinya permintaan atas produk melebihi kapasitas
penawaran produknya.
b. Penggolongan inflasi berdasarkan penyebabnya, dibedakan menjadi
1) Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan terlalu
kuatnya peningkatan agregat permintaan terhadap
komoditi-komoditi di pasar barang.
2) Cost low inflation, yaitu inflasi yang dissebabkan bergesernya
kurva agregat penawaran ke arah kiri atas. Penyebabnya adalah
meningkatnya harga-harga faktor produksi sehingga menaikan
harga komoditi di pasar.
3. Efek Buruk Inflasi
Ledakan inflasi telah membuat rumit perekonomian dan
meningkatkan angka kemiskinan. Inflasi dua digit yang dipicu oleh
melambungnya harga minyak dunia telah terbukti menjadi peristiwa yang
banyak mengacaukan perekonomian dunia selama beberapa dekade
terakhir sehingga banyak menimbulkan persoalan. Bahkan dampak
inflasi yang dirasakan oleh masyarakat miskin jauh lebih besar
dibandingkan dengan angka inflasi itu sendiri. Inflasi telah mendepresiasi
nilai kekayaan dan pendapatan riil masyarakat sehingga terjadi
penurunan daya beli. Dalam kondisi demikian perusahaan dililit oleh
biaya – biaya produksi dan pemasaran yang makin naik. Sehingga
pendapatan perusahaan makin menurun.
Manurung (2008:371) mengungkapkan setidaknya ada tiga biaya
sosial yang harus ditanggung dari tingginya angka inflasi. Dampak sosial
tersebut ialah menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat, memburuknya
Inflasi dapat menimbulkan beberapa efek buruk terhadap kegiatan
ekonomi dan kemakmuran individu dan masyarakat (Sukirno 2006:338).
a. Efek Buruk Inflasi terhadap Perkembangan Ekonomi
Biaya yang terus menerus naik menyebabkan kegiatan produktif
sangat tidak menguntungkan. Maka pemilik modal biasanya lebih
suka menggunakan uangnya untuk tujuan spekulasi. Kegiatan
ekonomi semacam ini dapat meningkatkan produktivitas dan berakibat
pada peningkatan pengangguran. Naiknya harga barang lokal
menyebabkan produk dalam negeri tidak bisa bersaing di luar negeri
sehingga ekspor akan menurun.
b. Efek Buruk Inflasi terhadap Kemakmuran Masyarakat
Inflasi dapat menurunkan pendapatan riil orang-orang yang
berpendapatan tetap. Selain itu inflasi dapat mengurangi nilai
kekayaan yang berbentuk uang. Sebaliknya harta-harta tetap seperti
rumah dan tanah akan terus mengalami kenaikan harga. Hal demikian
dapat menyebabkan tidak meratanya kekayaan di masyarakat.
4. Hubungan antara Inflasi dengan Pembiayaan Bermasalah Sektor
UKM
Dalam perekonomian, inflasi merupakan hal yang wajar.
Kehadirannya bisa menggairahkan perekonomian atau justru
menghancurkannya. Kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh inflasi
juga akan dirasakan oleh para pengusaha, terutama dalam memperoleh
menyesuaikan penilaian terhadap harga-harga dan adanya penyesuaian
itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit (Manurung, 2008:260). Selain
itu inflasi juga mengharuskan pengusaha untuk menaikan gaji para
pegawainya. Kedua hal tersebut dapat berdampak pada kegiatan usaha
yang dilakukan. Selain dapat menurunkan keuntungan perusahaan, inflasi
juga dapat mengurangi kemampuan pengusaha untuk melunasi
pembiayaan yang telah diberikan. Keadaan tersebut dapat menyebabkan
kenaikan tingkat pembiayaan bermasalah yang dihadapi oleh perbankan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hoggart et al. (2005:26)
peningkatan penghapusan pinjaman meningkat setelah terjadi kenaikan
inflasi harga eceran. Sementara Babouček dan Jančar (2005:9) mengukur
efek dari guncangan makroekonomi pada kualitas kredit dari sektor
perbankan Ceko untuk periode 1993-2006 menemukan bukti laporan
korelasi positif dari non-performing loan dengan Tingkat pengangguran
dan inflasi harga konsumen.
E. Tingkat Suku Bunga
1. Konsep Tingkat Suku Bunga
Sebagai lembaga perantara keuangan akan memperoleh keuntungan
dari selisih bunga yang diberikan kepada penyimpan dengan bunga yang
diterima dari peminjam. Keuntungan tersebut disebut dengan spread
based. Selain itu bank memperoleh dari jasa-jasa bank lainnya yang
disebut fee based. Kegiatan utama bank sebagai lembaga intermediasi
Kasmir (2003: 134) bunga merupakan komponen biaya dan pendapatan
bagi bank.
Kasmir (2003: 133) menyatakan bunga bank merupakan balas jasa
yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada
nasabah yang membeli atau menjual produknya. Atau bisa diartikan
sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki
simpanan) dan harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank
(nasabah yang memiliki pinjaman).
Adapun beberapa macam teori mengenai tingkat bunga yang
dikemukakan oleh para ahli, antara lain (Amalia, 2010:75)
a. Teori Keynes
Menurut keynes tingkat bunga merupakan hasil interaksi antara
tabungan dan investasi. Tingkat bunga menurut Keynes merupakan
suatu fenomena moneter artinya tingkat bunga ditentukan oleh
penawaran dan permintaan akan uang. Menurut Keynes uang
merupakan salah satu bentuk kekayaan yang dipunya seseorang
(portofolio) seperti halnya kekayaan dalam bentuk tabungan di bank,
saham atau surat berharga lainnya dengan memperoleh keuntungan.
Apabila suku bunga naik maka harga surat berharga akan turun,
sehingga menyebabkan orang tertarik untuk membeli surat berharga.
b. Teori Klasik
Pendapat kaum klasik mengenai harga, bahwa fluktuasi bunga
adalah ”harga” dari penggunaan (loanable funds) atau ”dana yang
tersedia untuk dipinjamkan”, sebab menurut teori klasik bunga adalah
”harga” yang terjadi di ”pasar” dana investasi.
Harapan tingkat suku bunga di masa yang akan datang
mempengaruhi seseorang untuk memanfaatkan uangnya. Namun
dalam jangka panjang pendapatanlah yang mempengaruhi kegiatan
seseorang dalam perekonomian.
Untuk menentukan besar kecilnya tingkat bunga simpanan dan
pinjaman sangat dipengaruhi oleh keduanya. Artinya baik bunga
simpanan maupun pinjaman saling mempengaruhi disamping
pengaruh faktor-faktor lainnya.
2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Suku Bunga
Menurut Kasmir dalam bukunya Bank dan Lembaga Keuangan
Lainnya, edisi keenam (2002 : 122) mengungkapkan beberapa faktor
yang mempengaruhi besar kecilnya tingkat suku bunga, antara lain :
a. Kebutuhan dana
Apabila bank kekurangan dana, sementara permohonan pinjaman
meningkat, maka yang dilakukan oleh bank agar dana tersebut cepat
tepenuhi dengan meningkatkan suku bunga simpanan. Peningkatan
suku bunga simpanan secara otomatis akan meningkatkan bunga
b. Persaingan
Dalam memperebutkan dan simpanan, maka disamping faktor
promosi, yang paling utama pihak perbankan harus memperhatikan
pesaing. Dalam arti jika untuk bunga simpanan rata-rata 16%, maka
jika hendak membutuhkan dana dengan cepat sebaiknya bunga
simpanan dinaikkan diatas bunga pesaing misalnya 16%. Namun
sebaliknya untuk bunga pinjaman harus dibawah bunga pesaing.
c. Kebijakan Pemerintah
Dalam arti baik untuk bunga simpanan maupun bunga pinjaman
tidak boleh melebihi bunga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
d. Target Laba yang diinginkan
Sesuai dengan target laba yang diinginkan, jika laba yang
diinginkan besar maka bunga pinjaman ikut besar dan sebaliknya.
e. Jangka waktu
Semakin panjang jangka waktu pinjaman, maka akan semakin
tinggi bungannya, hal ini disebabkan besarnya kemungkinan resiko
dimasa mendatang. Demikian pula sebaliknya jika pinjaman berjangka
pendek, maka bunganya relatif rendah.
f. Kualitas jaminan
Semakin likuid jaminan yang diberikan, maka semakin rendah
g. Reputasi perusahaan
Bonfiditas suatu perusahaan yang akan memperoleh kredit sangat
menentukan tingkat suku bunga yang akan dibebankan nantinya,
karena biasanya perusahaan yang bonafit kemungkinan risiko kredit
macet relatif kecil dan sebaliknya.
h. Produk yang kompetitif
Maksudnya adalah produk yang dibiayai tersebut laku dipasaran.
Untuk produk yang kompetitif, bunga kredit yang diberikan relatif
rendah jika dibandingkan dengan produk yang kurang kompetitif.
i. Hubungan baik
Biasanya bank menggolongkan nasabahnya antara nasabah utama
(primer) dan nasabah biasa (sekunder). Penggolongan ini didasarkan
kepada keaktifan serta loyalitas nasabah yang bersangkutan terhadap
bank.
j. Jaminan pihak ketiga
Dalam hal ini pihak yang membarikan jaminan kepada penerima
kredit. Biasanya pihak yang memberikan jaminan bonafit, baik dari
segi kemampuan membayar, nama baik maupun loyalitasnya tehadap
bank, maka bunga yang dibeban pun juga berbeda.
Sementara itu dalam situs resminya Bank Indonesia mendefinisikan