• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN KOMPREHENSIF PERMASALAHAN REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSEELING DI SEKOLAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN KOMPREHENSIF PERMASALAHAN REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSEELING DI SEKOLAH"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN KOMPREHENSIF KENAKALAN REMAJA (Juvenile Deliquence) SERTA IMPLIKASINYA BAGI PROGRAM

BIMBINGAN DAN KONSEELING DI SEKOLAH Oleh: EKA SAKTI YUDHA

A. Spektrum Masalah Remaja

Batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai dengan 21 tahun (Haditono, 1998). Pada usia remaja, seseorang akan banyak mengalami badai dan tekanan. Aspek perkembangan yang menonjol pada usia ini adalah adanya perubahan bentuk tubuh, meningkatnya tuntutan dan harapan sosial, tuntutan kemandirian dari orangtua, meningkatnya kebutuhan akan berhubungan dengan kelompok sebaya, mampu bersikap sesuai dengan norma sekitar, kompeten secara intelektual, mengembangkan tanggung jawab pribadi dan sosial, serta belajar mengambil suatu keputusan.

Perubahan-perubahan yang dialami remaja sangat rentan mengalami berbagai masalah, beberapa diantaranya adalah seks bebas, penyalahgunaan narkoba, perkelahian antar pelajar/ tawuran, merokok dan lain sebagainya.

Penyalahgunaan zat psikoaktif atau zat aditif, saat ini sering disebut Narkoba (narkotik dan zat aditif lainnya) merupakan masalah dunia yang tidak akan pernah dapat dimusnahkan, meskipun demikian upaya pencegahan dan pemberantasan harus terus diupayakan. Tahun 2008 berjuta-juta remaja di Asia telah menggunakan Narkoba dan di Indonesia tidak kurang dari 4,1 juta remaja menyalahgunakannya, mulai dari menghirup bahan-bahan kimia (ngelem) kemudian ectasy oleh anak remaja sampai kepada pecandu berat heroin (putauw).

Kesengsaraan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan Narkoba tidak terhitung besarnya. Pemaiakian Narkoba tidak hanya menyebabkan hilangnya harta, meningkatnya biaya perawatan, kekerasan dan tindakan criminal, tetapi juga hancurnya sebuah keluarga dan masyarakat.

(2)

orang, namun meningkat drastic di tahun 2003 menjadi 63 orang. Berdasarkan jenis kelamin diketahui laki-laki lebih banyak dari wanita. Usia terbanyak adalah kelompok usia 18-25 tahun dan termuda usia 12 tahun. Umumnya usia pertama kali menggunakan Narkoba adalah usia 12-17 tahun, sedangkan untuk tingkat pendidikan terbanyak lulusan SLTP dan SLTA.

Ada beberapa ciri remaja yang mempunyai resiko tinggi untuk menjadi penyalahguna Narkoba, yaitu remaja yang:

 Mudah kecewa dan bereaksi agresif terhadap kegagalan

 Senang menantang resiko dan senang mencari sensasi

 Mudah bosan, murung dan tertekan

 Merasa tidak puas terhadap kehidupan

 Prestasi belajar buruk dan kurangnya partisipasi terhadap kegiatan

ekstrakurikuler

 Kurang sedang pada kegiatan olahraga dan cenderung makan berlebihan

 Suka tidur larut malam

 Menunjukkan perilaku antisocial seperti: hubungan seksual dini, putus

sekolah, membohong, mencuri., mengabaikan peraturan, melakukan tindak kekerasan, suka protes, merokok pada usia dini.

 Hubungan yang kurang dekat dengan anggota keluarga

 Kehidupan agama yang kurang religious.

Memperhatikan perkembangan terakhir nampaknya masalah Narkoba telah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Perdagangan zat aditif di Indonesia telah menyusup ke sendi-sendi masyarakat mulai usia 7-8 tahun telah menggunakan ganja dan lem. Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya pecendu yang meninggal karena over dosis, dan lebih parahnya lagi penggunaan jarum suntik narkoba digunakan secara bergantian, sehingga menjadi jalan untuk virus HIV bersarang.

(3)

1. Seksual fantasi. Seksual awal remaja biasanya tidak lepas dari upaya remaja untuk berfantasi mengenai segala seluk-beluk masalah seksual sampai dengan mimpi basah. Ada berbagai alasan mengapa remaja melakukan fantasi seksual, yaitu: untuk menikmati aktivitas seksual secara pribadi untuk menggantikan penyaluran dorongan seksual secara nyata, untuk mencoba-coba membangkitkan kepuasan seksual, dan untuk latihan sebelum perilaku seksual tersalurkan secara nyata. Yang jelas fantasi seksual ini berguna bagi eksistensi perilaku seksual remaja di masa dewasa nanti, dan dapat menimbulkan rasa percaya diri remaja saat hubungan seksual yang sesungguhnya dilakukan.

2. Indepensi. Keterdekatan remaja dengan kelompok bermainnya sangat membantu dalam upaya mendapatkan support dan bimbingan dari perilaku yang dilakukan. Walaupun tidak dipungkiri bahwa kelompok bermain itu sendiri memiliki pola aturan itu spesifik, dan tuntunan perilaku yang dikehendaki. Namun remaja lebih memilih teman sebayanya sebagai pelarian dari keterikatan dengan orang tua. Jadi kemandirian yang ditunjukan oleh remaja sebenarnya masih butuh topangan bimbingan. Remaja umumnya menentang larangan orang tua mengenai perilaku seksual bebas. Masalah kebebasan seksual inilah yang seringkali dijadikan senjata bagi remaja untuk melarikan diri dari ikatan orang tua.

3. Reaksi orang tua. Sikap orang tua terhadap masalah seksual sangat berpengaruh terhadap sikap seksual remaja. Bila orang tua mengagungkan keperawanan maka biasanya anaknya akan memiliki nilai yang sama mengenai keperarawanan. Walau pun tidak semua orang tua memiliki sikap yang kaku dan keras terhadap perilaku seksual terhadap remajanya, namun hampir sebagian besar orang tua tidak mau membiarkan anaknya memiliki sikap seksual yang bebas.

(4)

1. Masturbasi. Ada perbedaan persentase antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan tindakan masturbasi. Hampir 82% dari laki-laki usia 15 tahun melakukan masturbasi, sedangkan hanya 20% dari perempuan usia 15 tahun yang melakukan masturbasi. Perilaku masturbasi ini sendiri secara psikologis menimbulkan kontroversi perasaan antara perasaan "bersalah" dan perasaan "puas". Masturbasi itu sendiri bila dilakukan secara proporsional sebenarnya memiliki beberapa nilai positif, yaitu: melepaskan tekanan seksual yang menghimpit, merupakan eksperimen seksual yang sifatnya “aman”; untuk meningkatkan rasa percaya diri dalam membuktikan kemampuan seksualnya; mengendalikan dorongan seksual yang tidak terkontrol; mengatasi rasa kesepian; dan memulihkan stress dan tekanan hidup.

2. Petting. Definisi petting adalah upaya membangkitkan dorongan seksual antar jenis kelamin dengan tanpa melakukan tindakan intercourse. Usia 15 tahun ditemukan bahwa 39% remaja perempuan melakukan petting, sedangkan 57% remaja laki-laki melakukan petting.

3. Oral-genital seks. Tipe ini saat sekarang banyak dilakukan oleh remaja untuk menghindari terjadinya kehamilan. Tipe hubungan seksual model oral-genital ini merupakan alternatif aktivitas seksual yang dianggap aman oleh remaja masa kini.

4. Sexual Intercourse. Ada dua perasaan yang saling bertentangan saat remaja pertama kali melakukan seksual intercourse. Pertama muncul perasaan nikmat, menyenangkan, indah, intim dan puas. Pada sisi lain muncul perasaan cemas, tidak nyaman, khawatir, kecewa dan perasaan bersalah. Dari hasil penelitian tampak bahwa remaja laki-laki yang paling terbuka untuk menceritakan pengalaman intercoursenya dibandingkan dengan remaja perempuan. Sehingga dari data tampaknya frekuensi untuk melakukan hubungan seksual intercourse lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan remaja perempuan.

(5)

beberapa kasus menunjukkan bahwa homoseksual dijadikan sebagai sarana latihan remaja untuk menyalurkan dorongan seksual yang sebenarnya di masa yang akan datang. Pada remaja yang memiliki orientasi seksual homo, biasanya sejak dini melakukan proses pencarian informasi mengenai kondisi yang menimpa dirinya. Informasi bisa diperoleh dari bacaan, sesama teman homo, atau justru sangat ketakutan dengan kondisi dirinya sehingga mencoba-coba melakukan hubungan seksual secara hetero. Tidak mudah bagi remaja jika ia mengetahui bahwa orientasi seksualnya bersifat hetero, sebab pada dirinya kemudian akan timbul konflik yang menyangkut nilai-nilai kultural mengenai hubungan antar jenis.

6. Efek Aktifitas seksual. Ada bahaya personal dan sosial yang mengancam remaja bila melakukan aktivitas seksual secara salah. Bahaya tersebut adalah: terjangkitnya penyakit HIV/AIDS, kehamilan tidak dikehendaki, menjadi ayah atau ibu di usia sini

Masalah lain yang kerap muncul pada usia remaja adalah perkelahian antar pelajar, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.

(6)

Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.

Masalah lain yang kerap muncul pada remaja adalah merokok. Meski semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat merokok, perilaku merokok tidak pernah surut dan tampaknya merupakan perilaku yang masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Hal ini dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan rumah, kantor, angkutan umum maupun di jalan-jalan. Hampir setiap saat dapat disaksikan dan di jumpai orang yang sedang merokok. Bahkan bila orang merokok di sebelah ibu yang sedang menggendong bayi sekalipun orang tersebut tetap tenang menghembuskan asap rokoknya dan biasanya orang-orang yang ada disekelilingnya seringkali tidak perduli.

Hal yang memprihatinkan adalah usia mulai merokok yang setiap tahun semakin muda. Bila dulu orang mulai berani merokok biasanya mulai SMP maka sekarang dapat dijumpai anak-anak SD kelas 5 sudah mulai banyak yang merokok secara diam-diam.

(7)

nikotin yang masuk ke dalam sirkulasi darah hanya 25 persen. Walau demikian jumlah kecil tersebut memiliki waktu hanya 15 detik untuk sampai ke otak manusia.

Nikotin itu di terima oleh reseptor asetilkolin-nikotinik yang kemudian membaginya ke jalur imbalan dan jalur adrenergik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan rasa nikmat, memacu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Sementara di jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan sorotonin. Meningkatnya serotonin menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi. (Agnes Tineke, Kompas Minggu 5 Mei 2002: 22). Hal inilah yang menyebabkan perokok sangat sulit meninggalkan rokok, karena sudah ketergantungan pada nikotin. Ketika ia berhenti merokok rasa nikmat yang diperolehnya akan berkurang.

Efek dari rokok/tembakau memberi stimulasi depresi ringan, gangguan daya tangkap, alam perasaan, alam pikiran, tingkah laku dan fungsi psikomotor. Jika dibandingkan zat-zat adiktif lainnya rokok sangatlah rendah pengaruhnya, maka ketergantungan pada rokok tidak begitu dianggap gawat (Roan, Ilmu kedokteran jiwa, Psikiatri, 1979 : 33).

Mereka yang dikatakan perokok sangat berat adlah bila mengkonsumsi rokok lebih dari 31 batang perhari dan selang merokoknya lima menit setelah bangun pagi. Perokok berat merokok sekitar 21-30 batang sehari dengan selang waktu sejak bangun pagi berkisar antara 6 - 30 menit. Perokok sedang menghabiskan rokok 11 – 21 batang dengan selang waktu 31-60 menit setelah bangun pagi. Perokok ringan menghabiskan rokok sekitar 10 batang dengan selang waktu 60 menit dari bangun pagi.

Menurut Silvan Tomkins (dalam Al Bachri,1991) ada 4 tipe perilaku merokok berdasarkan Management of affect theory, ke empat tipe tersebut adalah :

(8)

a. Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya merokok setelah minum kopi atau makan.

b. Stimulation to pick them up. Perilaku merokok hanya dilakukan sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.

c. Pleasure of handling the cigarette. Kenikmatan yang diperoleh dengan memegang rokok. Sangat spesifik pada perokok pipa. Perokok pipa akan menghabiskan waktu untuk mengisi pipa dengan tembakau sedangkan untuk menghisapnya hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja. Atau perokok lebih senang berlama-lama untuk memainkan rokoknya dengan jari-jarinya lama sebelum ia nyalakan dengan api.

2. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Banyak orang yang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif, misalnya bila ia marah, cemas, gelisah, rokok dianggap sebagai penyelamat. Mereka menggunakan rokok bila perasaan tidak enak terjadi, sehingga terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak.

3. Perilaku merokok yang adiktif. Oleh Green disebut sebagai psychological Addiction. Mereka yang sudah adiksi, akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang. Mereka umumnya akan pergi keluar rumah membeli rokok, walau tengah malam sekalipun, karena ia khawatir kalau rokok tidak tersedia setiap saat ia menginginkannya.

(9)

B. Tinjauan secara Psikologis

Secara teoritis beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batas-batas umur remaja, tetapi dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan tidak dapat menjelaskan secara pasti tentang batasan usia remaja karena masa remaja ini adalah masa peralihan. Dari kesimpulan yang diperoleh maka masa remaja dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:

1. Periode Masa Puber usia 12-18 tahun

a. Masa Pra Pubertas: peralihan dari akhir masa kanak-kanak ke masa awal pubertas. Cirinya:

 Anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi  Anak mulai bersikap kritis

b. Masa Pubertas usia 14-16 tahun: masa remaja awal. Cirinya:

 Mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya  Memperhatikan penampilan

 Sikapnya tidak menentu/plin-plan

 Suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib

c. Masa Akhir Pubertas usia 17-18 tahun: peralihan dari masa pubertas ke masa adolesen. Cirinya:

 Pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya

 Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja pria

2. Periode Remaja Adolesen usia 19-21 tahun

Merupakan masa akhir remaja. Beberapa sifat penting pada masa ini adalah:

 perhatiannya tertutup pada hal-hal realistis  mulai menyadari akan realitas

(10)

Dengan mengetahui tugas perkembangan dan ciri-ciri usia remaja diharapkan para orangtua, pendidik dan remaja itu sendiri memahami hal-hal yang harus dilalui pada masa remaja ini sehingga bila remaja diarahkan dan dapat melalui masa remaja ini dengan baik maka pada masa selanjutnya remaja akan tumbuh sehat kepribadian dan jiwanya.

Dalam hidupnya, setiap manusia akan mengalami berbagai tahap perkembangan. Dan salah satu tahap perkembangan yang sering menjadi sorotan adalah ketika seseorang memasuki usia remaja. Betapa tidak? Usia remaja adalah gerbang menuju kedewasaan, jika dia berhasil melalui gerbang ini dengan baik, maka tantangan-tantangan di masa selanjutnya akan relatif mudah diatasi.

Begitupun sebaliknya, bila dia gagal maka pada tahap perkembangan berikutnya besar kemungkinan akan terjadi masalah pada dirinya. Oleh karena itu, agar perkembangannya berjalan dengan baik, setidaknya ada lima aspek penting yang harus dicermati, baik oleh orang tua, pendidik, maupun si remaja itu sendiri.

1. Kondisi fisik

Penampilan fisik merupakan aspek penting bagi remaja dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Biasanya mereka mempunyai standar-standar tertentu tentang sosok fisik ideal yang mereka dambakan. Misalnya, standar cantik adalah berpostur tinggi, bertubuh langsing, dan berkulit putih.

Namun tentu saja tidak semua remaja memiliki kondisi fisik seideal itu. Karenanya, remaja mesti belajar menerima dan memanfaatkan seperti apapun kondisi fisiknya dengan seefektif mungkin.

(11)

bentuk-bentuk tubuhmu dan harta-hartamu, tetapi Allah melihat hati dan amal-amalmu." (HR Muslim)

2. Kebebasan emosional

Gejolak emosi remaja dan masalah remaja lainnya umumnya disebabkan oleh adanya konflik peran sosial. Di satu pihak ia sudah ingin mandiri sebagai orang dewasa, di lain pihak ia masih terus menerus mengikuti kemauan orang tua.

Konflik peran yang dapat menimbulkan gejolak emosi dan kesulitan-kesulitan lain pada masa remaja dapat dikurangi dengan memberi latihan agar anak dapat mandiri sedini mungkin. Dengan kemandiriannya anak dapat memilih jalannya sendiri dan ia akan berkembang lebih mantap. Oleh karena itu ai tahu dengan tepat saat-saat yang berbahaya dimana ia harus kembali bekonsultasi dengan orang tuanya atau dengan orang dewasa lain yang lebih tahu dari dirinya sendiri.

Peran gender pada hakikatnya merupakan bagian dari peran sosial. Sama halnya dengan anak yang harus mempelajari perannya sebagai anak terhadap orang tua atau murid terhadap guru, maka ia pun harus mempelajari perannya sebagai anak dari jenis kelamin tertentu terhadap jenis kelamin lawannya.

Dalam hubungan ini Susan. A Basow pernah mengadakan penelitian lintas budaya tentang peranan seksual. Penelitian itu dilakukan terhadap penduduk kepulauan Fiji yang terdiri yang terdiri dari suku bangsa Melansia, India, Eropa dan Cina. Dari penelitinnya diketahui bahwa dalam masyarakat di mana perawatan dan pengasuhan anak-anak hanya semata-mata tanggung jawab wanita dan dimana kekuatan fisik sangat menentukan dalam kehidupan perekonomian, maka perbedaan peran gender adalah yang paling tajam (Basow,1984:577-585).

(12)

memang biseksual, namun dalam perkembangannya anak laki-laki yang mempunyai penis ingin memiliki ibunya dan ia bersaing dengan ayahnya. Dalam persaingan itu ia mengidentifikasikan dirinya dengan ayahnya, maka menjadi kelaki-lakian lah ia. Dan sebaliknya, anak perempuan yang tidak berpenis iri hatinya pada ayahnya yang berpenis(“penis envy”). Ia ingin memiliki ayah yang berpenis itu dan untuk itu ia bersaing dengan ibunya dan dalam persaingan itu ia mengidentfikasikan dirinya dengan ibunya. Maka timbullah sifat kewanitaan pada diri anak perempuan tersebut (Freemen dan Small, 1960:110, Rocah,1984 dan Bertens,1980:xxiii-xxiv).

Teori freud ini dianggap oleh para ilmuwan yang lain sebagai terlalu berorientasi pada pria (“Phallocentric”) dan menganggap wanita sebagai manusia jenis yang lebih rendah. Karena itu Freud ini banyak di kritik dan sejak tahun 1920 mulai-muncul studi-studi tentang wanita, dipelopori antara lain oleh K. Horney salah seorang pengikut Freud sendiri. Dari penelitian-penelitian yang telah berlangsung sampai tahun 1972 terkumpul bukti-bukti bahwa naggapan-anggapan berikut ini adalah tidak benar:

1. Anak perempuan lebih bersifat sosial daripada laki-laki 2. Anak perempuan lebih mudah terpengaruh

3. Anak perempuan punya harga diri yang lebih rendah

4. Anak perempuan lebih mudah mempelajari peran dan tugas yang lebih sederhana

5. Anak laki-laki lebih analitis

6. Anak perempuan lebih dipengaruhi oleh bakat, sedangkan anak laki-laki oleh lingkungan

7. Anak perempuan kurang memiliki hasrat untuk berprestasi

8. Anak perempuan cenderung lebih mendengarkan, sedangkan anak lak-laki lebih melihat (Benedik,1979:12)

(13)

1. Pembauran antargenerasi. Tidak ada pemisahan antargenerasi yang tegas, anak-anak segera menjadi dewasa dan mengambil alih seluruh peran orang dewasa

2. Perekonomian yang dilancarkan dari rumah tangga. Setiap rumah tangga merupakan unit penghasil barang produksi, baik berupa hasil pertanian maupun kerajinan. Setiap anggota keluarga jadinya terlibat dalam kegiatan perekonomian.

3. Anak-anak sudah terlibat dalam kegiatan ekonomi sejak usia 10-11 tahun.

4. Selalu ada orang dewasa di rumah, karena nenek dan kakek tinggal serumah dengan anak cucu mereka sampai mereka meninggal. 5. Sebagai proses sosialisasi anak-anak dikirimkan ke keluarga lain

(terutama yang perempuan) untuk menjadi pembantu rumah tangga sambil belajar baca-tulis-hitung (catatan: di masyarakat Jawa juga dikenal kebiasaan serupa yang dinamakan “ngenger” yang dikenakan kepada anak laki-laki sedangkan anak laki-laki suku Minang harus tidur di surau bersama teman-teman sebayanya, karena dianggap sudah tidak pantas lagi bercampur dengan kaum wanita di rumah gadang).

(14)

(pada orang tua, pada guru, dan lain-lain), kontrol diri yang kuat dan terikat pada ide-ide tentang kemurnian dalam kesucian (M. Sugar, 1979: 80).

Tak mengherankan jika akhir-akhir ini timbul kecenderungan baru dalam teori-teori tentang peran gender. Aliran baru yang ditokohi anatar alin oleh Sandra Bem ini berpendapat bahwa sifat kelaki-lakian (masculinity) dan kewanitaan (feminity) bukanlah merupakan dua hal yang bertolak belakang di mana jika seseorang itu berjiwa laki-laki tidak mungkin ia berjiwa wanita atau sebaliknya. Demikian pula, aliran baru ini tidak mengaitkan sifat-sifat kelaki-lakian dan kewanitaan ini dengan jenis kelamin seseorang secara langsung yang mengakibatkan bahwa seorang yang berjenis kelamin laki-laki tetapi mempunyai sifat-sifat kewanitaan digolongkan sebagai banci. Sandra Bem dalam teorinya yang baru menganggap kelaki-lakian dan kewanitaan sebagai dua sifat yang berbeda, terlepas satu dari yang lainnya dan tidak selalu terkait dengan jenis kelamin seseorang.

Dengan menggunakan sebuah skala khusus yang dinamaknanya BSRI (Bem Sex-Role Inventory). Bem mencoba mengukur sifat-sifat kelaki-lakian (ambisius, aktif, kompetitif, objektif, mandiri, agresif, pendiam, dan seterusnya) dan sifat-sifat kewanitaan (pasif, lemah lembut, subjektif, dependen, emosional, dan sebagainya) dari sejumlah orang percobaanya. Hasilnya ternyata ada 4 macam manusia ditinjau dari perans eksualnya, yaitu :

1. Tipe maskulin, yaitu yang sifat kelaki-lakiannya di atas rata-rata, sifat kewanitaannya kurang dari rata-rata

2. Tipe feminin, yaitu yang sifat kewanitaannya di atas rata-rata, sifat kelaki-lakiannnya kurang dari rata-rata.

3. Tipe androgin, yaitu yang sifat kelaki-lakian maupun kewanitaannya di atas rata-rata.

(15)

Dalam masyarakat tradisional atau yang hidup dalam lingkungan pra-industir, kecenderungan memang lebih besar bahwa anak- laki-laki cenderung akan menumbuhkan sifat maskulinnya, sedangkan anak perempuan cenderung menjadi feminin. Akan tetapi dalam kehidupan yang lebih modern makin besar kemungkinana timbulnya tipe-tipe androgin dan “Undiferetiated”. Istilah androgin berasal dari bahasa Yunani yang berarti andro yang berarti laki-laki dan gyne yang berarti perempuan. Istilah ini kemudian dipinjam oleh para ahli Psikologi Sosial untuk menerangkan adanya pembauran ciri psikologis maskulin dan feminin dalam diri seseorang. Demikianlah maka di dalam masyarakat modern banyak dijumpai wanita yang mampu melakukan profesi pria dan sebaliknya pria yang mampu mengambil alih tugas wanita. Kepribadian undiferentiated lebih kaku dan lebih sulit menyesuaikan diri kepada tugas-tugas kepribadian maupun tugas-tugas kewanitaan.

Keadaaan di Indonesia sendiri pada hakikatnya tidak jauh berbeda dari yang diuraikan oleh Sandra Bem tersebut di atas. Yang menjadi masalah sekarang adalah bahwa, dalam mencari identitas seksualnya banyak remaja (khususnya yang wanita) di Indonesia ini yang masih menghadapai tekanan sosial dari keluarga dan masyarakatnya yang masih menghadapi tekanan sosial dari keluarga dan masyarakatnya yang masih tradisional,s ehingga mereka harus menghadapi konflik berat dalam menuju kepribadian androgin. Banyaka yang harus kembali berperan feminin walaupun ia dibesarkan dan dididik untuk menjadi androgin, contoh dalam kasus III menunjukkan salah satu perwujudan konflik seorang anak perempuan yang ingin tampil sebagai pribadi androgin tetapi terhambat oleh kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan.

(16)

Dengan demikian jika terjadi perbedaan pendapat antara anak dengan orang tua, maka pendekatan yang bersifat demokratis dan terbuka akan terasa lebih bijaksana. Salah satu caranya dapat dilakukan dengan membangun rasa saling pengertian, di mana masing-masing pihak berusaha memahami sudut pandang pihak lain.

Saling pengertian juga dapat dibangkitkan dengan bertukar pengalaman atau dengan melakukan beberapa aktivitas tertentu bersama-sama, di mana orang tua dapat menempatkan dirinya dalam situasi remaja, dan sebaliknya. Menurut Gordon, inti dari metode pemecahan konflik yang aman antara orang tua dan anak adalah dengan menjadi pendengar aktif.

3. Interaksi sosial

Kemampuan untuk melakukan interaksi sosial juga sangat penting dalam membentuk konsep diri yang positif, sehingga dia mampu melihat dirinya sebagai orang yang kompeten dan disenangi oleh lingkungannya. Dengan demikian, maka diharapkan dia dapat memiliki gambaran yang wajar tentang dirinya sesuai dengan kenyataan (tidak dikurangi atau dilebih-lebihkan).

Menurut Abdul Halim Abu Syuqqah, dalam bukunya Kebebasan Wanita, pergaulan yang sehat adalah pergaulan yang tidak terjebak dalam dua ekstrem, yakni terlalu sensitif (menutup diri) atau terlalu bebas. Konsep pergaulan semestinya lebih ditekankan kepada hal-hal positif, seperti untuk mempertegas eksistensi diri atau guna menjalin persaudaraan serta menambah wawasan yang bermanfaat.

4. Pengetahuan terhadap kemampuan diri

Setiap kelebihan atau potensi yang ada dalam diri manusia sesungguhnya bersifat laten. Artinya, ia harus digali dan terus dirangsang agar keluar secara optimal. Dengan demikian, akan terlihat sejauh mana potensi yang ada dan di jalur mana potensi itu terkonsentrasi, untuk selanjutnya diperdalam hingga dapat melahirkan karya yang berarti.

(17)

terhadap apa yang akan ia jalani, seperti memilih sekolah atau jenis kegiatan yang akan diikutinya.

5. Penguasaan diri terhadap nilai-nilai moral dan agama

William James, seorang psikolog yang mendalami psikologi agama mengatakan bahwa orang yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai agama cenderung mempunyai jiwa yang lebih sehat. Kondisi tersebut ditampilkan dengan sikap yang positif, optimis, spontan, bahagia, serta penuh gairah dan vitalitas.

Sebaliknya, orang yang memandang agama sebagai suatu kebiasaan yang membosankan atau perjuangan yang berat dan penuh beban, akan memiliki jiwa yang sakit (sick soul). Dia akan dihinggapi oleh penyesalan diri, rasa bersalah, murung serta tertekan.

Bagi keluarga Muslim, nampaknya harus mulai ditanamkan pemahaman bahwa di usianya si remaja sudah termasuk baligh. Artinya dia sudah taklif, atau bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban agama serta menanggung sendiri dosa-dosanya apabila melanggar kewajiban-kewajiban tersebut. Dengan pemahaman yang kuat terhadap nilai-nilai moral dan agama, maka lingkungan yang buruk tidak akan membuatnya menjadi buruk. Bahkan boleh jadi, si remaja sanggup proaktif mempengaruhi lingkungannya dengan frame religius

Tidak kalah penting dari tugas perkembangan di atas adalah adanya kesadaran pada remaja untuk mempelajari segala seluk-beluk yang berkaitan dengan masalah seksual. Beberapa tema yang berkaitan dengan perkembangan seksual remaja adalah sebagai berikut:

(18)

akan berdampak pada keyakinan diri remaja dalam proses berinteraksi sosial dengan lingkungan sekitarnya.

2. Minat untuk mempelajari tubuh sendiri, respon seksual, dan kebutuhannya. Ketidaktahuan remaja bahwa kemasakan hormon seksual akan memiliki implikasi terhadap reaksi-reaksi tubuh yang muncul saat remaja putri mengalami menstruasi dan laki-laki mengalami mimpi basah. Adanya kemasakan hormon seksual ini mencemaskan remaja terhadap permasalahan yang berkaitan dengan organ seksualnya. Ada reaksi seksual tertentu saat remaja putri menggunakan pembalut untuk pertama kali, sedangkan pada remaja pria dibingungkan dengan ukuran alat kelaminnya yang kemudian dicoba untuk diukur kenormalannya dalam segala dimensi. Pada saat ini juga remaja sudah mampu menghayati makna rangsangan seksual terlepas dari apakah rangsangan seksual tersebut berasal dari proses persentuhan dengan lawan jenis (sosio-erotik) atau akibat berfantasi (auto-(sosio-erotik).

3. Pencarian identitas diri dengan fokus pada pemenuhan tuntunan sosial terhadap peran jenis kelamin dan upaya untuk pemantapan orientasi seksual pribadi. Pusat dari proses perkembangan remaja adalah supaya proses pencarian. Ada tuntunan sosial yang dicoba dipelajari remaja mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh remaja putri dan putra dalam memenuhi harapan perilaku sosial. Sedangkan tingkah laku seksual sendiri pada umumnya tertuju pada upaya untuk menunjukkan pada teman sebaya agar dirinya dapat diterima. Dan biasanya tingkah laku seksual tersebut tidak terfokus pada "actual sexual desire" (penyaluran nafsu seksual).

(19)

5. Mengembangkan sistem nilai seksual pribadi. Sistem nilai seksual berkaitan dengan kesadaran remaja mengenai siapa dirinya. Dengan mengenal siapa dirinya, remaja mengembangkan sikap dan perilaku sebagaimana konsep diri yang terbentuk. Hal ini kemudian berkaitan dengan cara remaja memilih sikap dan perilaku pasangannya sesuai dengan kondisi diri remaja sendiri.

C. Tinjauan secara Nilai-nilai Agama Islam

Perilaku menyimpang dalam hal ini adalah kenakalan remaja merupakan perbuatan dosa yang akan dimintakan pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Usia remaja sudah termasuk baligh. Artinya dia sudah taklif, atau bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban agama serta menanggung sendiri dosa-dosanya apabila melanggar kewajiban-kewajiban tersebut.

Berkenaan dengan penyalahgunaan Narkoba, dalam surat Al-Baqoroh (2) ayat 219 sebagai berikut:

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang

mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.

( TQS Al-Baqoroh (2) : 219)

(20)

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat

keberuntungan (TQS Al-Maidah [5] : 90)

Dalam surat Al-Maidah ayat 90 tersebut dengan tegas Allah SWT mengharamkan segala sesuatu yang memabukkan, termasuk di dalamnya Narkoba, jika seorang hamba yang beriman tetap melakukannya, maka termasuk perbuatan dosa besar.

Ayat lain yang menerangkan tentang sex bebas adalah surat Al Isra ayat 32, yang artinnya sebagai berikut:

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah

suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.

D. Tinjauan secara Sosial Budaya

(21)

Padahal penyebab kenakalan remaja tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar, masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.

Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja, penyalahgunaan narkoba, seks bebas dan merokok digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.

Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal kenakalan ramaja. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor mengapa seorang remaja terlibat dalam kenakalan remaja.

(22)

berkelahi dan menggunakan Narkoba jenis apapun, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan. Secara agresif, maka remaja akan menyerang dan menyakiti orang lain, dan secara represif remaja lari pada penyalahgunaan obat-obatan terlarang.

2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.

(23)

3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.

4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya kenakalan remaja. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi. Apalagi suguhan hiburan di televise yang tidak bernuansa edukatif, bahkan cenderung konsumtif dan hura-hura, sehingga remaja cenderung untuk meniru dan menerapkannya dalam kehidupan kesehariannya.

(24)

sahabat yang perokok begitu pula dengan remaja non perokok (Al Bachri, 1991)

E. Implikasi Program Bimbingan dan Konseling 1.

DASAR PEMIKIRAN

Masa remaja adalah masa peralihan dari periode anak menuju dewasa. Banyak hal terjadi pada masa remaja, perubahan bentuk fisik dan kondisi psikologis terakumulasi mendorong penyimpangan-penyimpangan perilaku yang disebut sebagai kenakalan remaja (juvenile delinquency). Pada taraf-taraf tertentu perilaku remaja dianggap lumrah, namun pada taraf-taraf tertentu mengarah pada aksi asusila dan criminal.

Bentuk-bentuk kenalan remaja beragam mulai dari merokok, penyalahgunaan NArkoba, seks bebas dan pencurian. Faktor penyebab munculnya perilaku tersebut beragam, namun secara umum merupakan akumulasi dari factor interen individu dan factor ekstern termasuk pola pendidikan keluarga dan pola pendidikan sekolah di dalamnya.

Kecenderungan meningkatnya angka penyimpangan perilaku remaja merupakan tanggung jawab semua pihak untuk menanggulanginya, karena mereka lah yang kelak akan menggantikan para pemimpin yang saat ini berkuasa. Jika tidak segera mendapatkan intervensi, maka dimugkinkan terjadinya kehancuran bangsa Indonesia di masa yang akan datang.

Sekolah sebagai institusi formal, mamiliki peran yang lebih, dalam mengkondisikan remaja di sekolah untuk berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Maka dari itu program bimbingan dan konseling yang baik menjadi kebutuhan yang perlu direalisasikan dengan optimal.

2. LANDASAN PROGRAM

a. Al-Qur’an Surat Al Maidah ayat 90

b. Al-Qur’an Surat Al-BAqoroh ayat 219

c. UUSPN No.20/2003 Pasal 1 ayat 1 tentang arti Pendidikan.

d. UUSPN No.20/2003 Pasal 12 ayat 1 dan 2 tentang Hak dan

(25)

3. NAMA PROGRAM

Program Bimbingan dan Konseling untuk Menanggulangi Kenakalan

Remaja

4. TUJUAN PROGRAM

1. Tujuan Umum

Memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kemampuan

beradaptasi dengan lingkungan dan berperilaku sesuai dengan

norma yang berlaku di masyarakat

2. Tujuan Khusus

Membantu siswa agar :

a. Memiliki kesadaran terhadap perubahan bentuk fisik serta

bersyukur atas karunia yang diberikan Allah SWT kepadanya.

b. Terampil mengelola waktu yang dimilikinya, sehingga tidak akan

terjerumus pada perilaku yang menyimpang.

c. Independen dalam mengembangkan sikap dan tindakan.

d. Membentuk komunitas yang positif (

peer group)

untuk

pengembangan diri dan berbagi satu sama lain.

3. DESKRIPSI KEGIATAN PROGRAM

a. Lingkup Program

Muatan program bimbingan dan konseling ini secara khusus berisi

layanan bimbingan pribadi & sosial dalam penanggulangan perilaku

menyimpang pada remaja. Sesuai dengan tujuan khusus program, rincian

substansi muatan materi, metode dan teknik serta layanan dukungan

sistem program dipaparkan sebagai berikut :

(26)

1) Metode : konseling, sosiodrama,

role play

, simulasi,

brainstorming

,

simulasi,

modeling,

relaksasi,

training/pelatihan.

Untuk pelatihan, materi-materi yang dilatihkan disesuaikan

dengan kebutuhan. Pelatihan dimaksudkan untuk

memperluas sebagian dari pokok-pokok materi pada ke

dalam topik-topik praktis yang lebih dominan dibutuhkan

oleh siswa peserta pelatihan. Makna keputusan dan

jenis-jenisnya, yaitu : keputusan yang besar, keputusan yang

kecil, keputusan yang mudah, keputusan yang sulit,

keputusan yang benar dan keputusan yang salah.

Kebutuhan yang mendukung pengambilan keputusan

yang baik : informasi, tujuan, kebebasan, rencana,

kemudahan memeriksa kemajuan proses pengambilan

keputusan, hasil berupa keputusan.

Teknik mengambil keputusan yang baik melalui proses

persiapan, inkubasi, iluminasi dan verifikasi.

Dewasa mengambil keputusan dengan penerapan kajian

transaksi Eric Berne dalam proses dan refleksi sesudah

pengambilan keputusan sendiri maupun yang melibatkan

orang lain.

Transaksi merupakan pertukaran antara dua orang, salah

satunya berkata atau melakukan sesuatu dan yang

lainnya menanggapi. Di antara dua orang tersebut

cenderung ditemukan peran-peran dominan yang

berlainan, yaitu orang tua, orang dewasa dan anak.

Mengenal tipe-tipe pengambilan keputusan dalam

(27)

segelintir orang, keputusan kelompok

clique

, keputusan

kelompok minoritas, keputusan hasil voting mayoritas,

konsensus diam sebagai keputusan, keputusan sebagai

hasil konsensus.

Teknik merencanakan dan membaca medan potensi

pelaksanaan keputusan.

Teknik evaluasi dan peninjauan kembali keputusan.

Perencanaan aksi pembuatan keputusan/pelaksanaan

keputusan peningkatan kinerja akademik.

2) Teknik :

a) Individual untuk konseling individual.

b) Kelompok secara periodik sesuai kelompok bimbingan

PA atau kelompok ampuan

peer counselors

.

c) Klasikal dalam bimbingan yang terintegrasi dalam

kegiatan perkuliahan di bawah bimbingan mata kuliah.

b. Layanan Dukungan Sistem

1) Pelatihan dan Konsultasi

a) Pelatihan dan konsultasi diselenggarakan untuk calon

fasilitator teman sebaya sebagai paraprofesional untuk

menanggulangi perilaku menympang di kalangan remaja.

Materi latihan untuk paraprofesional terdiri dari :

Pemahaman terhadap pengertian, fungsi dan peran

paraprofesional bimbingan dan konseling

Pengenalan terhadap program bimbingan dan

konseling untuk menanggulangi perilaku kenakalan

remaja

Delapan keterampilan dasar bagi paraprofesional

bimbingan dan konseling :

Keterampilan

attending

(28)

Keterampilan empati

Keterampilan

sumarizing

(menyimpulkan isi

perbincangan dan konseling secara keseluruhan)

Keterampilan bertanya

Keterampilan bersikap

genuine

Keterampilan assertif

Keterampilan melakukan konfrontasi ungkapan

klien

Keterampilan penyelesaian masalah

Microcounseling

Evaluasi dan perencanaan aksi tindak lanjut pelatihan

untuk implementasi program di lapangan.

b) Pelatihan dan konsultasi juga diselenggarakan untuk

orangtua siswa.

2) Media :

a) Cetak berupa publikasi informasi tentang dan

pengembangan kinerja personal siswa untuk

menyongsong sukses pribadi, sosial, akademik dan

karier;

b) Telepon melalui pemanfaatan fasilitas Hot Line

Counseling Services (HLCS) untuk mendekatkan

keterjangkauan siswa dengan

peer counselor

;

c) Internet, peningkatan pengelolaan situs internet sebagai

media informasi, konseling dan konsultasi remaja.

b. Mekanisme Penyelenggaraan Program

(29)

Inventarisasi Kebutuhan Penyelenggaraan Program

Identifikasi dan klasifikasi sasaran program

Identifikasi, rekruitmen, pelatihan pelaksana program Rumusan alur koordinasi dan evaluasi program

Identifikasi sarana-prasana penunjang program

Pengembangan Disain Program

Untuk setiap klasifikasi sasaran

Pilihan teknik bimbingan : individual, kelompok atau klasikal

Cakupan contents (materi), metode dan durasi efektif bimbingan

Implementasi Program sesuai Disain

Evaluasi dan Perencanaan Tindak Lanjut

Segi Evaluasi dengan rumus CIPP

: Context (konteks program) meliputi

relevansi program dengan kebutuhan siswa dan tujuan program, kelengkapan isi dan ketepatan rumusan program.

Input (masukan program) meliputi karakteristik siswa (klien), , siswa peer counselors, fasilitas, pembiayaan, media dan instrumen program serta lingkungan penyelenggaraan program.

Proccess (proses program) meliputi

pengumpulan, pengolahan dan penafsiran data siswa serta rekapitulasi data proses penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Product (hasil program) meliputi perubahan cara pandang, sikap dan perilaku siswa sebagai klien maupun konselor, PA dan peer counselors

Perencanaan Tindak Lanjut

: Pengembangan program meliputi perangkat-perangkat alat ukur, alat ukur evaluasi program, fasilitas

program dan kualitas program secara keseluruhan.

Pengembangan siswa sasaran dengan siklus klien pembimbing/konselor. Sasaran prioritas tiga diprioritaskan sebagai kandidat peer counselors, kemudian prioritas madya dan prioritas utama + sasaran kritis. Pengembangan kompetensi konselor, dan peer counselors.

(30)

a. Inventarisasi kebutuhan penyelenggaraan program diperoleh

dari beberapa sumber melalui beberapa teknik, yaitu :

1) Siswa sebagai sasaran program yang diklasifikasikan

berdasarkan skor tingkat yang diukur menggunakan skala

psikologi, penguatan dari dua orang teman.

Tiga alur masukan penentuan klasifikasi siswa tersebut

ditanggungjawabi oleh PA sesuai jumlah siswa yang

dibimbingnya, walaupun penafsiran skor skala psikologi

tetap dilakukan oleh konselor.

2) Pada tahap awal, siswa kandidat

peer counselors

ditentukan

sesuai referensi yang dapat dipercaya dari , ketua jurusan

dan sesama siswa. Untuk tahap selanjutnya,

peer

counselors

ditentukan dari klasifikasi sasaran prioritas tiga,

kemudian sasaran prioritas madya lalu sasaran prioritas

utama. Bahkan lebih efektif lagi manakala sasaran kritis juga

direkrut sebagai

peer counselors

. Tujuannya adalah untuk

menjaga kontinuitas penyelenggaraan program secara

efektif.

3) Arsip data inventaris fasilitas Universitas yang dapat

dimanfaatkan dalam penyelenggaraan program.

b. Pengembangan disain program merupakan penentuan prosedur

taktis dan teknis penyelenggaran program sesuai dengan hasil

inventarisasi kebutuhan. Dalam disain program, selain

setting

bimbingan juga diatur agenda dan biaya program.

c. Implementasi program dilakukan sesuai dengan disain yang

dirancang.

(31)

(hasil program). Tujuannya adalah untuk menentukan

keputusan terhadap kualitas pra program, proses program dan

hasil program sehingga dapat ditentukan langkah tindak lanjut

yang dibutuhkan untuk pengembangan program selanjutnya.

1) Teknik Evaluasi

Evaluasi diselenggarakan menggunakan teknik non-tes.

2) Bentuk Evaluasi

Wawancara, angket, skala psikologi,

self-report inventory

,

biografi terstruktur dengan jenis-jenis instrumen berupa :

Skala Siswa

Daftar Riwayat Hidup (DRH) siswa

Pedoman wawancara

Pedoman observasi

Rekaman studi dokumentasi

Format risalah kegiatan bimbingan dan konseling

Instrumen pelengkap dalam setiap sessi bimbingan dan

konseling sesuai materi

Daftar Pustaka

Astiyanti, N, et.al. (2003). Aplikasi Camp Counseling untuk Mengatasi Kejenuhan belajar Siswa SMA. Bandung: tidak diterbitkan.

Cavanagh, M. (2000). The Counseling Experience: A Theoritical and Practical Aproach.California: Wadsworth, Inc

Chaplin, J.P. (1993). Kamus Lengkap Psikologi. Terjemahan. Jakarta: Rajawali Press.

Harefa, A. (2002). Sekolah Saja Tak Pernah Cukup. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

(32)

Kartadinata, S. (2005). “Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling Profesional: Proposisi Historik-Futuristik”. Kumpulan Makalah Seminar Bimbingan dan Konseling Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Moh. Djawad Dahlan. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Kroth, J. (1973). Conseling, Psychology and Guidance. USA: Charles C. Thomas Publisher.

Lucas. B. (2006). Optimalkan Otak Anda. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.

Makmun, A. (2000). Psikologi Kependidikan. Edisi Revisi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya

Miller, FW. (1978). Guidance: Principles and Services. Columbus Ohio: Charles E. Merrill Books, Inc.

Nggermanto, A. (2001). Quantum Quotient. Bandung: Nuansa.

Nurihsan, J (1998). Bimbingan Komprehensif: Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum. Bandung: Disertasi UPI Tidak Diterbitkan.

_________. (2002). Pengantar Bimbingan dan Konseling. Bandung: PPB UPI.

Referensi

Dokumen terkait

Dan dalam Roadshow tersebut target sasaran juga akan diajak untuk mengikuti event eksibisi pada peringatan Hari Anak Nasional yang diselenggarakan di alun-alun

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor individu (usia, jenis kelamin, IMT dan kebiasaan merokok) tidak berhubungan dengan kejadian LBP pada pengguna game online

Telah terbukti bahwa dengan menggunakan model pembelajaran Direct Instruction dapat meningkatkan pemahaman dan motivasi belajar matematika siswa SMPIT ANNUR T.P

 Untuk membuat posisi center kedua lingkaran tersebut , Jaring kedua lingkaran tersebut, kemudian Klik Arrange , klik Align Distribute, pilih center vertikal dan center

Sumber daya manusia, modal, dan teknologi menempati posisi yang amat strategis dalam mewujudkan tersedianya barang dan jasa.Penggunaan sumber daya manusia, modal,

Dari hasil uji statistik Spearman Corelation menggunakan Software Computer didapatkan hasil p value (0,007) < (0,05), sehingga Ho ditolak , berati ada hubungan

Formulir Pemesanan Pembelian Unit Penyertaan beserta bukti pembayaran yang diterima secara lengkap dan disetujui oleh Manajer Investasi atau Agen Penjual Efek Reksa Dana yang

Pelanggaran tersebut dilakukan oleh berbagai pihak dalam setiap tahapan, yaitu sponsor, pihak penampungan/Balai Latihan Kerja (BLK), pihak Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja