• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PEMBUKTIAN UNSUR DENGAN KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN PADA TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 92/Pid.B/2008/PN.Mgl)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PEMBUKTIAN UNSUR DENGAN KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN PADA TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 92/Pid.B/2008/PN.Mgl)"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

ANCAMAN KEKERASAN PADA TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Menggala

Nomor 92/Pid.B/2008/PN.Mgl)

Oleh Nori Dewangga

Di Indonesia tindak pidana perkosaan kerap terjadi pada kaum wanita, tindak pidana perkosaan dapat menimpa semua wanita tanpa terkecuali, perkosaan dapat terjadi pada anak di bawah umur sampai wanita yang berusia lanjut. Tindak pidana perkosaan tidak hanya sulit dalam perumusannya tetapi juga sulit dalam hal pembuktiannya. Sulitnya pembuktian unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menyertai persetubuhan terjadi karena kurangnya atau lemahnya alat bukti. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pembuktian unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada tindak pidana perkosaan sesuai putusan Pengadilan Negeri Menggala No.92/Pid.B/2008/PN.Mgl, dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perkosaan.

Metode penelitian menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dan data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah 2 (dua) orang hakim pada Pengadlian Negeri Menggala, 2 (dua) orang jaksa pada Kejaksaan Negeri Menggala dan 1 (satu) orang dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(2)

Nori Dewangga

berdasarkan unsur-unsur Pasal 285 KUHP (dakwaan primair) yaitu dengan adanya keterangan saksi dalam hal ini saksi korban bahwa dalam melakukan perkosaan

terdakwa sempat mengancam dengan mengatakan “awas kamu jangan melawan” dan

menggunakan kekerasan yaitu dengan menampar pipi sebelah kiri saksi korban sebanyak 2 (dua) kali dan terdakwa membenarkannya, sulitnya pembuktian unsur tersebut karena di dalam hasil visum tidak ditemukan adanya bekas kekerasan di tubuh saksi korban, hal ini terjadi karena korban baru melakukan visum setelah 8 (delapan) hari setelah kejadian perkosaan. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perkosaan pada surat putusan hakim pada Pegadilan Menggala No .92/Pid.B/2008/PN.Mgl yaitu adanya tuntutan dan dakwaan jaksa, keterangan saksi, dan alat bukti yang telah dihadirkan dalam persidangan, selain itu juga karena adanya keadaan yang meringankan dan memberatkan terdakwa, motif dilakukanya tindak pidana, sikap dan tindakan terdakwa setelah melakukan tindak pidana, akibat yang ditimbulkan terhadap korban, dan pengaruh pidana yang dijatuhkan kepada pelaku.

(3)

A. Latar Belakang

Tindak pidana perkosaan adalah salah satu tindak pidana yang menjadi permasalahan di Negara Indonesia. Tindak pidana perkosaan dapat menimpa semua orang tanpa terkecuali siapa saja dapat menjadi korban perkosaan, tidak memandang jenis kelamin baik pria maupun wanita, tidak memandang usia, penampilan fisik, kelompok sosial, cara berpakaian, dan cara berjalan seseorang.

Di Indonesia sebagian besar tindak pidana perkosaan terjadi pada wanita, ada yang berpendapat wanita diperkosa karena penampilannya, seperti misalnya berpakaian minim sehingga dapat memancing seseorang untuk melakukan tindak pidana perkosaan terhadapnya.

(4)

2

Di media massa dapat kita ketahui banyak memberitakan mengenai tindak pidana perkosaan. Data pada tahun 2011, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia didominasi oleh angka perkosaan, yakni 400.939 dan angka terbanyak (70.115 kasus) perkosaan ternyata dilakukan dalam rumah tangga. Pelaku perkosaan dilakukan oleh suami, orangtua sendiri, bahkan saudara dan keluarga terdekat. Sementara perkosaan di tempat umum (publik) sebanyak 22.285 kasus, diantaranya yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan dan di media massa tentang perkosaan di angkot. Selain itu, negara telah melakukan kekerasan yang sama karena telah membiarkan 1.561 kasus perkosaan yang tidak terselesaikan.1

Tindak pidana perkosaan yang terjadi sebenarnya jauh lebih banyak daripada yang dilaporkan pada polisi dan yang diberitakakan oleh media massa. Kebanyakan kasus baru terbongkar setelah korban mengalami gejala fisik serius, seperti pendarahan di dubur atau vagina. Padahal masih ada begitu banyak kasus yang tidak menimbulkan trauma fisik yang berarti, namun berdampak serius pada psikiologis korban.

Ancaman pelaku perkosaan membuat sebagian korban dan keluarga korban enggan melaporkan tindak pidana perkosaan yang telah menimpanya atau keluarganya dikarenakan takut, malu, depresi, trauma dan rasa tidak berdaya. Belum lagi perasaan bahwa masalah mereka justru akan bertambah rumit apabila dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Korban harus menanggung stigma dari masyarakat ketika aib yang menimpa mereka diketahui oleh banyak orang. Aparat penegak hukum yang kurang

1

(5)

memahami ini juga memperparah trauma yang terjadi karena mengajukan pertanyaan yang justru menyudutkan korban. Belum lagi kemungkinan bahwa pelaku sering dihukum ringan atau dibebaskan dengan alasan kurangnya bukti.

Tindak pidana perkosaan ditentukan dalam Pasal 285 KUHP Bab. XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan yaitu:

"Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun"

Unsur-usur yang terdapat dalam pasal tersebut adalah:

1. Korban perkosaan adalah perempuan yang di luar perkawinan 2. korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan.

Berdasarkan unsur tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan pelaku.

Acaman pidana penjara maksimal dua belas (12) tahun pada kenyataannya masih belum mampu mencegah terjadinya tindak pidana perkosaan dan membuat pelaku tindak pidana perkosaan menjadi jera. Hal ini dapat dilihat dari contoh kasus perkosaan yang ada di dalam masyarakat, sebagai contoh kasus adalah sebagai berikut :

(6)

4

dan berkata “awas kamu” terhadap korban agar korban diam dan mau

menuruti keinginannya, perlakuan bejad pria ini terjadi pada tanggal 22 bulan januari tahun 2008 lalu (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Menggala

No.92/Pid.B/2008/PN.Mgl)”.

Berkaitan dengan kasus di atas terdakwa dituntut dengan pasal-pasal yang dikenakan yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal 285 KUHP Bab. XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan karena telah melakukan tindak pidana perkosaan dan dipidana penjara selama 8 (delapan) tahun.

Tindak pidana perkosaan tidak hanya sulit dalam perumusannya saja, tetapi juga sulit dalam hal pembuktiannya, baik ditingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan ataupun persidangan di pengadilan. Karena selama proses pembuktian adanya tindak pidana perkosaan sangat mempengaruhi keadaan psikis korban. Baik pada penyelidikan maupun penyidikan korban harus menceritakan kronologis kejadian terjadinya perkosaan. Pada saat itu dalam keadaan yang tertekan, korban seolah-olah harus kembali mengalami perkosaan yang telah menimpanya dalam sidang pengadilan.

(7)

1. barang siapa

2. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengannya di luar pernikahan

Kedua unsur di atas unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menyertai persetubuhan adalah unsur yang lebih sulit untuk dibuktikan dari pada unsur yang pertama. Sulitnya pembuktian unsur kekerasan atau ancaman kekerasan yang menyertai persetubuhan terjadi karena kurangnya atau lemahnya alat bukti untuk membuktikan terjadinya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan yang menyertai persetubuhan biasanya hanya keterangan saksi saja yaitu saksi korban, tidak didukung oleh alat bukti lainnya. Kurang atau lemahnya alat bukti dalam tindak pidana perkosaan menyebabkan banyak pelaku perkosaan yang lolos dari jeratan Pasal 285 KUHP Bab. XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Ini terjadi karena banyak hal, misalnya saja karena kurangmya pengetahuan dari korban.

(8)

6

dalam mengumpulkan alat bukti, yang kemudian akan menyebabkan kesulitan bagi jaksa dalam membuktikan dipersidangan bahwa telah terjadi suatu tindak pidanan perkosaan.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian dan menuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Pembuktian Unsur dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan pada Tindak Pidana Perkosaan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor

92/Pid.B/2008/PN.Mgl)”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan penelitian yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pembuktian unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada tindak pidana perkosaan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Menggala No. 92/Pid.B/2008/PN.Mgl?

(9)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada hukum pidana formil, khususnya mengenai pembuktian unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada tindak pidana perkosaan yang terkandung dalam Pasal 285 KUHP Bab. XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Sedangkan ruang lingkup pembahasan masalah skripsi ini pada putusan perkara No. 92/Pid.B/2008/PN.Mgl, adapun lokasi penelitian ini adalah pada Pengadilan Negeri Menggala.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelititan

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui pembuktian unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

pada tindak pidana perkosaan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Menggala No.92/Pid.B/2008/PN.Mgl.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perkosaan sesuai putusan Pengadilan Negeri Menggala No. 92/Pid.B/2008/PN.Mgl.

2. Kegunaan Penelitian

(10)

8

Sebagai informasi dan pengembangan Ilmu Hukum Pidana mengenai pembuktian unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada tindak pidana perkosaan. b. Kegunaan Praktis

Penulisan ini dimaksudkan untuk menambah wawasan berfikir dan memberikan informasi bagi para pembaca dan memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak terkait dalam rangka studi yang berhubungan dengan kasus kekerasan atau ancaman kekerasan pada tindak pidana perkosaan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan indentifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian.2

Teori tentang sistem pembuktian menurut R. Soesilo ada 4 yang terdiri dari: a. Teori berdasarkan keyakinan hakim belaka (conviction in time)

b. Teori berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction rasionnee) c. Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke

bewisjtheorie)

2

(11)

d. Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatvief wettelijke bewisjtheorie)3

Membahas permasalahan dalam skripsi ini penulis mengadakan pendekatan-pendekatan dengan menggunakan teori sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatifSistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction intime. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Dalam sistem negatif wetteljik ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: pertama, Wettelijk yaitu adanya alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan causal (sebab akibat). Oleh karena itu, walaupun kesalahan terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya meskipun hakim yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut

3

(12)

10

undang-undang, maka hakim harus menyatakan kesalahan terdakwa tidak terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam sistem pembuktian peradilan pidana di Indonesia.4 Teori pembuktian secara negatif dianut dalam KUHAP, hal ini tedapat dalam Pasal 183 KUHAP:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang syah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”

Alat bukti yang dimaksud adalah alat bukti yang sebagai mana diatur dalam Pasal 184 KUHP yaitu:

a. Keterangan Saksi;

Keterangan saksi adalah suatu bukti yang berupa keterangan dari saksi yang menyatakan suatu peristiwa yang ia lihat, dengar, dan ia alami sendiri.

b. Keterangan Ahli;

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hak yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

4

(13)

c. Surat;

Surat menurut Pasal 187 KUHAP adalah berita acara, surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, surat keterangan dari seorang ahli, dan Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

d. Petunjuk;

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

e Keterangan Terdakwa.

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

Suatu pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan perkara pidana.5

Hakim memegang peranan penting dalam hal penjatuhann pidana meskipun hakim dalam pemeriksaan dipersidangan berpedoman pada hasil pemeriksaan yang dialakukan oleh polisi dan dakwaan yang dibuat oleh jaksa, dalam Undang-undang

5

(14)

12

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim mempunyai kebebesan untuk menjatuhkan putusannya. Hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan jenis pidana, tinggi rendahnya pidana dan hakim bergerak pada batas minimum dan maksimum dari pidana yang diatur dalam undang-undang untuk tiap-tiap tindak pidana.6 Berarti dalam menjatuhkan pidana sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim.

Hakim pada dasarnya memiliki tugas dalam mengidentifikasi suatu perbuatan apakah merupakan tindak pidana atau bukan, mengidentifiasikan aturan hukum yang digunakan dan memberi hukuman yang pantas apabila telah terbukti bersalah. Adapun pertimbangan hakim tersebut sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) :

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Selain itu terdapat pula dalam Pasal 8 ayat (2) yang berbunyi:

“Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib

mempertimbangkan pula sifat yang baik dan yang jahat dari terdakwa”.

Tindak pidana perkosaan ditentukan dalam Pasal 285 KUHP, Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Pasal 81 Ayat (1) UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun demikian ada pasal-pasal lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku perkosaan, yaitu Pasal 286, 287, dan Pasal 332 ayat (1), (2) KUHP dan Pasal 82 UU RI No 23 Tahun 2002. Pasal 285 KUHP dan Pasal 6

(15)

81 Ayat (1) UU RI No 23 Tahun 2002 sifatnya adalah sebagai Pasal pokok untuk kasus perkosaan.

Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 285 KUHP Bab. XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan adalah:

a. Barang siapa

Memang tidak ada pengertian yang jelas mengenai subjek hukum ini di dalam KUHP, namun jika disimak Pasal 2, 44, 45, 46, 48, 49, 50, dan 51 KUHP dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah orang atau

manusia.

b. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengannya di luar pernikahan.

Wujud dari kekerasan dalam tindak pidana perkosaan antara lain bisa berupa perbuatan mendekap, mengikat, membius, menindih, memegang, melukai, dan lain sebagainya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik menyebabkan orang yang terkena tidak berdaya.

Unsur ancaman kekerasan terpenuhi jika adanya serangan psikis dengan perkataan

(16)

14

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menghubungkan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti atau diketahui. Sumber konsep adalah undang-undang, buku/karya tulis, laporan penelitian, ensiklopedia, kamus dan fakta/peristiwa. Konsep ini akan menjelaskan pengertian pokok dari judul penelitian, sehingga mempunyai batasan yang tepat dalam penafsiran beberapa istilah, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalah pahaman dalam melakukan penelitian.7

Adapun pengertian dasar dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Analisis adalah cara menganalisa atau mengkaji secara rinci suatu permasalahan. Analis dapat juga diartikan sebagai suatu penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab, musabab, duduk perkaranya dan sebagainya).8

b. Pembuktian sebagaimana dikutip oleh Yahya Harahap ditinjau dari segi hukum acara pidana adalah ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran.9

7

Soerjono soekanto, op, cit. , hal. 124 8

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,Kamus Besar Bahasa Indonesia(Jakarta: Balai Pustaka, 2007) hal. 32

9

(17)

c. Kekerasan menurut Undang-undang Republik Indonesia No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Bab.I ketentuan umum Pasal 1 ayat (11) adalah kekuatan setiap perbuatan secara melawan hukum dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik atau perbuatan fisik yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan

d. Ancaman kekerasan menurut Undang-undang Republik Indonesia No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Bab.I ketentuan umum Pasal 1 ayat (12) adalah setiap perbuatan yang melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.

e. Tindak pidana Perkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP adalah

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang

wanita bersetubuh dengan dia diluar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan, maka sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

(18)

16

Bab ini memuat latar belakang penulisan, dari uraian-uraian yang dibuat dalam latar belakang dapat ditentukan menjadi pokok-pokok permasalahan dengan dibatasi pada ruang lingkup tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta ditutup dengan sistematika penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang pengertian pembuktian dan hukum pembuktian, pengertian kekerasan dan ancaman kekerasan, pengertian dan jenis perkosaan, dasar hukum tindak pidana perkosaan, serta dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat metode penelitian yang memuat pendekatan masalah, langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengolahan data serta analisa data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi mengenai hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan yang diangkat mengenai pembuktian unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada tindakan pidana perkosaan dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perkosaan.

(19)
(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pembuktian dan Hukum Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian berasal dari kata bukti yang artinya adalah usaha untuk membuktikan. Kata membuktikan diartikan sebagai memperlihatkan bukti atau meyakinkan dengan bukti, sedangkan kata pembuktiaan diartikan sebagai proses, perbuatan, cara membuktikan, usaha menunjukan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.10

Berikut ini adalah pengertiaan pembuktian menurut beberapa sarjana:

1. Membuktikan adalah suatu proses meyakinkan hukum tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketa.11

2. Nico Ngani menjelaskan pengertian mengenai Pembuktian, yaitu membuktikan berarti usaha mengumpulkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menetapkan apakah suatu peristiwa yang telah lalu itu benar terjadi atau tidak sambil berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.12

10

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op.cit. , hal.133 11

R. Soebekti, .Hukum Pembuktian(Jakarta: Pradya Paramitha, 1987), hal.7 12

(21)

3. Pengertian pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakawa Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan.13

2. Pengertian Hukum Pembuktian

Hukum pembuktian pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai proses pembuktian. Di bawah ini adalah beberapa pengertiaan mengenai hukum pembuktian menurut beberapa sarjana:

a. Pembuktian adalah suatu rangkaian peraturan tata tertib yang harus diindahkan dalam melangsungkan pertarungan dimuka hakim, antara kedua belah pihak yang sedang mencari keadilan.14

b. Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan atau peraturan perundang-undangan mengenai setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap barang bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.15

13

Yahya Harahap,Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP(Jakarta: Sinar Grafika, 2000) hal. 52

14

R. Sobekti, op.cit., hal.8 15

(22)

19

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum pembuktian merupakan seperangkat ketentuan yang mengatur mengenai proses pembuktian, yang mana proses pembuktian tersebut harus dilakukan di depan sidang pengadilan.

B. Pengertian Kekerasan dan Ancaman Kekerasan

Penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan atau ancaman kekerasan tidak terdapat di dalam KUHP. Yang ada yaitu apa yang disamakan dengan menggunakan kekerasan. Pasal 89 KUHP menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunkan kekerasan.

Uraian apa yang dimaksud dengan kekerasan diberikan oleh para sarjana. Yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap orang atau barang dapat mendatangkan kerugian bagi si terancam atau mengagetkan orang yang dikerasi. Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena ada yang sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan. Ancaman itu dapat berupa penembakan keatas, penodongan senjata tajam, sampai suatu seruan dengan mengutarakan akibat-akibat yang merugikan jika tidak dilaksanakan.16

Mengenai unsur dengan kekerasan atau ancaman dengan kekerasan ini, H.A.K. Mochtar memberikan uraian sebagai berikut kekerasan adalah suatu sarana untuk memaksa, atau sarana yang mengakibakan perlawanan dari orang yang dipaksa

16

(23)

menjadi lemah. Apabila kekerasan menjadikan seorang wanita menjadi lemas atau tidak berdaya karena tenaga atau kekerasan mematahkan kemajuannya karena terjadi persentuhan antara kedua jenis kemaluan, perlawanan dari wanita terhenti, maka perbuatan memaksa dengan kekerasan tetap terjadi, wanita itu menyerahkan diri karena dipaksa dengan kekerasan.17

Sesuai dengan ketentuan Pasal 285 KUHP tentang Kejahatan Tentang Kesusilaan, kekerasan atau ancaman kekerasan yang digunakan si pelaku dalam memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia mengakibatkan si wanita tersebut tidak dapat melakukan perlawanan lagi sehingga terpaksa menyerahkan kehormatannya.

Kekerasan atau ancaman kekerasan yang dimaksud Pasal 285 KUHP tentang Kejahatan Kesusilaan adalah ditujukan untuk memaksa seorang wanita untuk bersetubuh dengan dia. Memaksa berarti melakukan tekanan kepada seseorang, sehingga orang itu berbuat sesuatu yang tidak akan diperbuatnya bila tekanan tidak ada.18 Sedangkan menurut Sianturi yang dimaksud dengan memaksa adalah suatu tindakan yang memojokkan seseorang sehingga tiada pilihan lain yang lebih wajar baginya selain daripada mengikuti kehendak si pemaksa, dengan perkataan lain tanpa tindakan si pemkasa itu si terpaksa tidak akan melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak si pemaksa .19 Dalam hal ini tidak diharuskan bagi si terpaksa untuk mengambil resiko yang sangat merugikannya, misalnya lebih baik mati atau luka-luka berat atau kesakitan daripada mengikuti kehendak si pemaksa.

17

H.A.K. Mochtar,Hukum Pidana Bagian Khusus(Bandung: Alumni, 1986) hal. 43 18

R. Soesilo,Teknik Berita Acara Ilmu Pembuktian dan Laporan(Bogor: Politea, 1985) hal 167 19

(24)

21

C. Pengertian dan Jenis Perkosaan

1. Pengertian Perkosaan

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah perkosaan berasal dari kata perkosa yang berarti (1) gagah; kuat (2) paksa; kekerasan; dengan paksa; dengan kekerasan; menjadi memperkosa yang artinya (1) menundukkan dan sebagainya dengan

kekerasan; mengagahi; memaksa dengan kekerasan (2) melanggar, menyerang dan sebagainya dengan kekerasan. Kemudian menjadi kata perkosaan yang artinya: (1) perbuatan memperkosa; penggagahan; paksaan (2) pelanggaran dengan kekerasan.20

Bismar Siregar dalam bukunya Keadilan Hukum dan Berbagai Aspek Hukum Nasioanal, meberikan perumusan (batasan) pengertian perkosaan. Perkosaan dimaksudkan sebagai pemaksaan kehendak seseorang pada umumnya pria, tetapi bukan mustahil juga wanita kepada orang lain. Paksaan ini didorong oleh keinginan yang tidak terkendali walaupun ada saluran resmi atau halal tetapi dilakukan secara tidak halal.21

Perkosaan adalah tindakan kekerasan atau kejahatan seksual yang berupa hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dengan kondisi:

1. Tidak ada kehendak persetujuan perempuan;

2. dengan “persetujuan” perempuan namun dibawah ancaman;

3. dengan “persetujuan” perempuan namun dibawah penipuan;

20

W.J.S Poerwadarminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia(Jakarta: Balai Pustaka, 2003) hal. 741 21

(25)

The Encyclopedia American Edition, Volume 23, dikatakan bahwa perkosaan (rape) dalam hukum adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dimana terjadi persetubuhan tanpa adanya persetujuan dari korban.22

Perempuan dan anak-anak adalah merupakan korban tindak pidana perkosaan pada umumnya. Tak seorang wanitapun aman dari perkosaan, sebuah advokasi bagi korban perkosaan di Florida (AS) menemukan bahwa korban perkosaan termuda berusia dua bulan dan tertua berumur 85 tahun. Hasil penelitian tim peneliti dari Universitas Airlangga bekerja sama dengan polda Jawa Timur tahun 1990/1991 di wilayah Kediri, Surabaya dan Besuki menemukan data bahwa korban perkosaan berusia 2,5 tahun hingga 60 tahun, sedang usia terbanyak antara 2,5 tahun hingga 14 tahun. Tidak ada kelompok usia, kelas sosial, kelas ekonomi, tingkat pendidikan, dan cara berpakaian yang dapat menjamin seorang wanita bahwa ia tidak akan diperkosa. Seorang wanita bagaimanapun keadaannya dapat menjadi korban perkosaan. Jika melihat hasil penelitian yang tersebut di atas maka dapat kita lihat bahwa yang lebih banyak menjadi korban perkosaan adalah anak-anak dibawah umur.23

Pelaku tindak pidana perkosaan adalah laki-laki, pelaku disebutkan sebagai setiap orang. Pembuat undang-undang ternyata menganggap tidak perlu untuk menentukan hukum bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukanlah semata-mata karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap laki-laki itu dipandang tidak

22

Topo Santoso,Seksualitas dan Hukum Pidana(Jakarta: Ind-Hill Co, 1997) hal. 33 23

(26)

23

mungkin, akan tetapi justru karena perbuatan itu dipandang tidak mengakibatkan sesuatu yang buruk atau merugikan.24

Subyek perkosaan hanya mungkin seorang pria, ini disimpulkannya dari perbuatan yaitu persetubuhan dengan obyek adalah wanita. Kemungkinan seorang wanita yang memperkosa laki-laki menurut Sianturi belum dipertimbangkan untuk dijadikan delik dengan alasan bahwa pada umumnya seorang pria terancam apabila dipakul, tidak membuat bergairah, yang karenanya tidak mungkin untuk terjadinya persetubuhan itu terjadi justru wanita itu akan lebih rugi karena kemungkinan ia hamil yang mengundang kehinaan baginya.25

2. Jenis Perkosaan

Jenis perkosaan yang dapat terjadi dalam masyarakat menurut Kalyanamitra digolongkan menjadi 5, yaitu:

1. Perkosaan oleh orang yang dikenal

Jenis pertama ini merupakan tindakan pidana yang dilakukan oleh orang yang telah dikenal korban. Dapat dilakukan oleh orang yang biasa berhubungan dengan korban dalam kesehariannya, misalnya oleh teman, tetangga, pacar, rekan kerja atau perkosaan yang dilakukan oleh dokter atau dukun terhadap pasiennya. Perkosaan oleh anggota keluarga (bapak, saudara, paman, suami) juga masuk dalam kategori ini.

24

R. Soesilo, op.cit., hal. 167 25

(27)

2. Perkosaan saat berkencan

Perkosaan ini terjadi ketika korban berkencan dengan pacarnya. Mungkin dawali dengan tindakan bercumbu, namun korban tidak menghendaki hubungan seks dan akhirnya dipaksa oleh pacarnya.

3. Perkosaan dengan ancaman halus

Jenis perkosaan ini terjadi pada korban yang tergantung terhadap pemerkosa, yang biasanya kedudukan ekonomi atau sosial yang lebih tinggi daripada korban. Misalnya perkosaan oleh majikan terhadap pembantu rumah tangga, majikan terhadap buruh, atau atasan terhadap bawahan. Perkosaan ini dapat disertai bujuk rayu tipuan atau janji-janji. Perkosaan yang dilakukan oleh guru terhadap murid, germo terhadap pekerja seks, atau polisi terhadap tahanan juga termasuk kategori ini. Kedudukan dan wewenang pemerkosa yang lebih tinggi dari korban membuat pemerkosa dapat memanfaatkan korban.

4. Perkosaan di dalam perkawinan

(28)

25

5. Perkosaan oleh orang yang tidak dikenal

Walaupun tidak selalu, perkosaan jenis ini sering menyertai tindakan kejahatan lainnya, seperti perampokan, pencurian dan lain-lain. Penganiayaan dan pembunuhan sering menyertai perkosaan jenis ini.26

D. Dasar Hukum Tindak Pidana Perkosaan

Tindak pidana perkosaan diatur dalam KUHP Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan dalam Pasal 285 KUHP yang menentukan:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang

wanita bersetubuh dengan dia diluar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas tahun)”.

Pasal 286 KUHP yang menentukan:

“Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan, padahal

diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”

Pasal 287 KUHP yang menentukan:

(1) “Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum 15 (lima belas) tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu kawin, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”

26

(29)

(2) “Penentuan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita belum sampai 12 (dua belas) tahun atau jika ada salah satu hal tersebut Pasal 291 dan Pasal 294.”

Pasal 288 KUHP yang menentukan:

(1) “Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita didalam pernikahan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa sebelum mampu dikawin, diancam, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”

(2) “Jika perbutan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.”

(3) “Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.”

Pasal 289 KUHP yang menentukan:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan keasusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”

Pasal 290 KUHP yang menentukan:

“Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

(1) “Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;

(2) “Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui sepatutnya diduga, bahwa umurnya belum 15 (lima belas) tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, belum mampu kawin;

(3) “Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum 15 (lima belas) tahun atau kalau umurrnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh diluar pernikahan dengan orang lain.”

Pasal 332 Ayat (1) ke-2 KUHP yang menentukan:

“Diancam dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan)

(30)

27

kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan dimaksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik didalam maupun diluar pernikahan.”

Selain dalam KUHP, tindak pidana perkosaan diatur juga dalam Pasal 81 Ayat (1) serta Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 81 Ayat (1) UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak menentukan:

“Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan atau memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”

Pasal 82 Ayat (2) UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak menentukan: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”

E. Dasar-dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Perkara Pidana

(31)

Dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan perkara pidana menurut SM. Amin antara lain adalah:

1. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan (Pasal 143 ayat (1) KUHAP). Dakwaan berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP).

Perumusan dakwaan didasarkan dari hasil pemeriksaan pendahuluan yang dapat disusun tunggal, kumulatif, alternatif maupun subsidair. Dakwaan disusun secara tunggal apabila seseorang atau lebih mungkin melakukan satu perbuatan saja. Namun, apabila lebih dari satu perbuatan dalam hal ini dakwaan disusun secara kumulatif. Oleh karena itu dalam penyusunan dakwaan ini disusun sebagai dakwaan kesatu, kedua, ketiga dan seterusnya.

2. Alat Bukti

Alat Bukti yang sah menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah:

a. Keterangan saksi

(32)

29

ia dengar, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

b. Keterangan ahli

Dinyatakan dalam Pasal 1 Butir 28 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hak yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

c. Surat

Surat dalam Pasal 187 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah: 1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat

umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu

2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.

(33)

d. Petunjuk

Pengertian petunjuk menurut Pasal 188 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

e. Keterangan Terdakwa

Pasal 189 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

3. Barang Bukti

Barang bukti menurut Pasal 39 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah:

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.

b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.

c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.

(34)

31

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.27

Sri Rahayu Sundari juga memiliki pendapat sendiri mengenai hal-hal yang mempengaruhi hakim dalam penjatuhan pidana yaitu:

1. Hal-hal yang memberatkan pemidanaan 2. Hal-hal yang meringankan pemidanaan

Hal-hal yang memberatkan pemidanaan menurut KUHP ada 3, yaitu:

a. Dasar Pemberatan Karena Jabatan

Pemberatan karena jabatan diatur dalam Pasal 52 KUHP:

“ Bilamana seorang pejabat melakukan tindak pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidana dapat ditambah sepertiganya”.

Dasar pemberatan pidana tersebut dalam Pasal 52 KUHP adalah terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai negeri) mengenai 4 hal, yaitu:

1) Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya

2) Melakukan tindak pidana dengan menggunakan kekuasaan dari jabatannya 3) Menggunakan kesempatan karena jabatannya

4) Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya 27

(35)

b. Pengulangan (recidive)

Seseorang yang sering melakukan perbuatan pidana dan karena dengan perbuatan-perbuatannya itu telah dijatuhi pidana bahkan telah sering dijatuhi pidana disebut recidivist. Istilah recidive menunjuk kepada kelakuan mengulangi perbuatan pidana, sedangkan residivist itu menunjuk kepada orang yang melakukan pengulangan perbuatan pidana.28

Jenis-jenis pemberatan pidana pengulangan menurut doktrin yang menganut ajaranrecidivedapat digolongkan sebagai berikut:

1) General recidive atau recidive umum, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan dan kejahatan tersebut telah dijatuhi pidana, maka apabila setelah bebas menjalani pidananya, kemudian ia melakukan kejahatan lagi yang dapat merupakan bentuk kejahatan semacam apapun.

2) Speciale recidive atau recidive khusus, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan dan terhadap kejahatan itu telah dijatuhi pidana oleh hakim, kemudia dia melakukan kejahatan lagi yang sama atau sejenis.

3) Tuksen stelsel, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan, misalnya pencurian, setelah diputus dengan dijatuhi pidana dan bebas menjalani pidananya, ia mengulangi perbuatan pidana yang merupakan golongan tertentu menurut undang-undang, misalnya penggelapan atau penipuan.29

28

Sri Rahayu Sundari,Hukum Penitensier(Palembang: UNSRI, 2005) hal.18 29

(36)

33

c. Gabungan (Samenloop)

Samenloop adalah satu orang melakukan satu perbuatan pidana dengan mana ia melanggar beberapa peraturan hukum pidana. Satu orang melakukan beberapa perbuatan kejahatan dan atau pelanggaran dan beberapa delik itu belum dijatuhi hukuman dan keputusan hakim dan beberapa delik itu akan diadili sekaligus Titel Buku I mengatur tentang gabungan atau samenloop atau kebalikan darideelming (turut serta).30

Ada dua jenis gabungan (samenloop) menurut Mustafa Abdullah yakni:

1)Concursus idealis

2)Concursus realis

Pasal 63 ayat (1) KUHP mengatur tentangconcursus idealisyang berbunyi:

“ Jika suatu perbuatan termasuk ke dalam beberapa ketentuan pidana, maka

hanyalah salah satu saja dari ketentuan itu jika hukumannya berlainan, maka yang

dikenakan adalah ketentuan yang terberat hukuman pokoknya”.

Berbeda dengan hal-hal yang memberatkan, Menurut Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) alasan-alasan yang meringankan pidana adalah:

a. Percobaan

Hal-hal yang meringankan tentang percobaan tindak pidana telah diatur dalam KUHP Pasal 53 ayat (2 dan 3):

30

(37)

Pasal 53ayat (2) “Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga”.

Pasal 53 ayat (3) “Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara

seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

b. Membantu ataumedeplichgqheid

Membantu dalam melakukan tindak pidana termasuk dalam hal-hal yang meringankan, yang diatur dalam KUHP Pasal 57 ayat (1 dan 2), yang berbunyi: Pasal 57 ayat (1) “Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,

dikurangi sepertiga”

Pasal 57 ayat (2) “Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

c. Belum dewasa atauminderjarigheid(Pasal 47)

Belum dewasa atauminderjarigheidtermasuk hal-hal yang meringankan pidana yang diatur dalam KUHP Pasal 47 ayat (1 dan 2):

Pasal 47 Ayat (1) “Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok

terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga”.

Pasal 47 ayat (2) “Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana

mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima

belas tahun”

Pendapat mengenai hal-hal yang meringankan penjatuhan pidana juga diutarakan J. E.

Sahetapy, yaitu sebagai berikut:

a. Sikapcorrect dan hormat terdakwa terhadap pengadilan, dan pengakuan terus terang

(38)

35

b. Pada kejahatannya tersebut tidak ada motif yang berhubungan dengan latar belakang

publik.

c. Dalam persidangan, terdakwa telah menyatakan penyesalan atas perbuatannya.

d. Terdakwa tidak terbukti ikut usaha percobaan beberapa oknum tersebut.

e. Terdakwa belum pernah dihukum tersangkut perkara kriminal.31

31

(39)

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam membahas permasalahan ini yaitu:

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan Yuridis Normatif dilakukan dengan cara melihat, menelaah, mempelajari beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi hukum, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum, sistem hukum secara literatur dan buku-buku bacaan yang berhubungan dengan masalah mengenai pembuktian unsur dengan kekerasan atau ancaman pada tindak pidana perkosaan.32

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris yaitu merupakan cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian di lanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data

32

(40)

37

primer di lapangan dengan mengadakan penelitian lapangan, yaitu berdasarkan fakta-fakta yang ada hubungannya mengenai pembuktian unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada tindak pidana perkosaan, dilakukan dengan cara studi lapangan terhadap objek penelitian secara langsung melalui observasi atau wawancara terhadap responden yang dijadikan narasumber.33

B. Sumber dan Jenis Data

Guna mendapatkan data yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, maka sumber dan jenis data yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer yaitu data yang penulis dapatkan dari hasil penelitian lapangan mengenai pembuktian unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada tindak pidana perkosaan, yaitu dilakukan dengan cara wawancara di Pengadilan Negeri Menggala dan Kejaksaan Negeri Menggala. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat.34

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier35.

33

Soerjono Soekanto, op.cit. , hal.19 34

Soerjono Soekanto, op.cit. , hal. 52 35

(41)

Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan atau library riset yang penulis lakukan diperpustakaan Universitas Lampung. Dalam studi pustaka ini penulis mengambil dan menggunakan bahan berupa sumber-sumber data yang dipergunakan tersebut guna memperoleh jawaban akurat dan relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Bahan tersebut terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Untuk penulisan skripsi ini, bahan hukum primer digunakan antara lain:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tetang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

b. Bahan Hukum Sekunder(Secondary Law Material)

Bahan hukum sekunder yaitu yang meberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti refrensi, rancangan undang-undang, peraturan pemerintah, dan putusan pengadilan No. 92/Pid.B/2008/PN.Mgl

c. Bahan Hukum Tersier

(42)

39

buku, literatur, pendapat dan anlisa para ahli atau sarjana, media massa, serta artikel internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karateristik yang sama.36 Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu dan seluruh gejala atau seluruh unit yang akan diteliti.37 Dalam penelitian ini menjadi populasi terdiri dari 4 (empat) kalangan, yaitu 2 (dua) Hakim Pengadilan Negeri Menggala, 2 (dua) Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Menggala dan 1 (satu) dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lampung

Penulis dalam menentukan sampel menggunakan Metode Purposive Sampling atau metode pengambilan sampel yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penelitian. Jadi anggota yang diambil oleh peneliti sesuai pertimbangan maksud dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan.38Maka dalam penelitian ini sampel yang diambil sebanyak 5(lima) orang. Dengan rincian sebagai berikut:

36

Soerjono Soekanto, op.cit., hal. 172 37

Ronny Hanitijo Soemitro,Metode Penelitian Hukum(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 44 38

(43)

1. Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas 1 A Menggala : 2 Orang 2. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung : 2 Orang 3. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung :1 Orang+

5 Orang

D. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Langkah-langkah yang ditempuh oleh penulis dalam mengumpulkan data untuk penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Studi kepustakaan(Library Research)

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara studi kepustakaan antaralain melalui rangkaian membaca, menelaah, mengutip, mencatat bahan-bahan literatur, peraturan perundang-undang dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan pembahasan dalam skripsi ini

b. Studi Lapangan(field Research)

(44)

pihak-41

pihak yang dianggap kompeten untuk mengadakan wawancara, seperti wawancara dengan hakim, jaksa dan dosen.

2. Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul diolah dengan pengolahan data melalui tahap-tahap sebagai berikut:

a. Seleksi Data

Seleksi data dilakukan dengan memilih data yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi Data

Yaitu melaporkan data-data dengan bidang pokok bahasan sehigga data yang diperoleh benar-benar dbutuhkan dalam penelitian ini.

c. Sistematika Data

Yaitu menyusun data menurut tata urutan yang sesuai dengan konsep, tujuan, dan bahasan kemudian disusun secara sistematis.

e. Editing

(45)

E. Analisis Data

(46)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pembuktian unsur kekerasan atau ancaman kekerasan pada tindak pidana perkosaan sesuai surat putusan hakim Pengadilan Negeri Menggala No. 92/Pid.B/2008/PN.Mgl berdasarkan Pasal 285 KUHP tentang Bab. XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan yaitu dengan adanya keterangan saksi dalam hal ini saksi korban bahwa dalam melakukan perkosaan terdakwa sempat mengancam dengan mengatakan “awas kamu jangan melawan” dan menggunakan kekerasan

(47)

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perkosaan pada surat putusan hakim pada Pengadilan Menggala No .92/Pid.B/2008/PN.Mgl yaitu adanya tuntutan dan dakwaan jaksa, keterangan saksi, dan alat bukti yang telah dihadirkan dalam persidangan, selain itu juga karena adanya keadaan yang meringankan dan memberatkan terdakwa, motif dilakukanya tindak pidana, sikap dan tindakan terdakwa setelah melakukan tindak pidana, akibat yang ditimbulkan terhadap korban, dan pengaruh pidana yang dijatuhkan kepada pelaku.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan adalah ;

1. Pihak penyidik dalam menangani kasus pidana perkosaan hendaknya lebih cermat dalam mencari bukti-bukti atas peristiwa tersebut, terutama bukti-bukti yang menunjukkan adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga pelaku tindak pidana perkosaaan dapat dipidana sesuai dengan 285 KUHP tentang Bab. XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan.

(48)

71

(49)

TINDAK PIDANA PERKOSAAN

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Menggala No.

92/Pid.B/2008/PN.Mgl)

Oleh

NORI DEWANGGA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(50)

Judul Skripsi : ANALISIS PEMBUKTIAN UNSUR DENGAN KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN PADA TINDAK PIDANA PERKOSAAN

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Menggala No.92/Pid.B/2008/PN.Mgl)

Nama Mahasiswa : Nori Dewangga No. Pokok Mahasiswa : 0742011249

Bagian : Hukum Pidana

Fakutas : Hukum

MENYETUJI 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H.,M.H. NIP 195411121986031004 NIP 197706012005012002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(51)

1. Tim Penguji

Ketua : Prof.Dr. Sunarto, S.H., M.H. ………..

Sekertaris/Anggota : Maya Shafira, S.H., M.H. ……….………..

Penguji Utama : Tri Andrisman, S.H., M.H. ………...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.H. NIP 196211091987031003

(52)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tulang Bawang pada tanggal 02 Oktober 1988. Penulis merupakan Putra kedua dari dua bersaudara dari pasangan ayahanda Norman Usman dan ibunda Kemala Dewi, A.Ma.

Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 1 Daya Sakti Tumijajar pada tahun 2000. Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 2 Tumijajar Tulang Bawang Barat dan diselesaikan pada tahun 2003. Kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 1 Tumijajar Tulang Bawang Barat dan diselesaikan pada tahun 2006.

(53)

Puji syukur kehadira AllahSWT, atas limpahan berkah dan Hidayah-NYA jualah sehingga skripsi ini dapat diselesaikan serta

kepada junjunganku

baginda Besar Muhammad S.A.W yang telah membawaku dari jaman kegelapan menuju jaman yang terang benerang ini, dengan ketulusan

dan kerendahan hati kupersembahkan skripsi ini kepada:

Papa dan mama tercinta yang senantiasa memberikan kasih Sayangnya, selalu berdoa dan bersabar untuk menanti keberhasilanku, saudaraku Nowi Usdani, seluruh keluarga, dan orang-orang terkasih yang senantiasa memberikan bantuan moril dan materil sehingga penulis selalu bersemangat dalam membuat skripsi.

(54)

MOTTO :

Jangan pernah berdoa untuk mempermudah suatu cobaan, berdoalah agar bisa menghadapi cobaan.

(Nori Dewangga)

Rugi materi masih bisa dicari dan kembali namun rugi waktu takkan pernah bisa kembali lagi, oleh karena itu pergunakanlah waktu sebaik mungkin

(Nori Dewangga)

Kesempatan datang seperti awan yang berlalu, oleh karena itu Pergunakanlah selai ia tampak

(55)

Assalamualikum Wr. Wb

Puji sukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : “Analisi Pembuktian Unsur Dengan Kekerasan Atau Ancaman

Kekerasan Pada Tindak Pidana Perkosaan (Studi Kasus Pada Pengadilan

Negeri Menggala No.92/Pid.B/2008/PN.Mgl)”

Dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi banyak mendapat bantuan, petunjuk, bimbingan, saran, dan kritik dari berbagi pihak baik secara langsung maupun tidak langsung untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H. Selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Universitas Lampung, terimaksaih atas saran yang diberikan dalam penulisan skripsi ini;

(56)

4. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini;

5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Pembahas I yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini;

6. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang telah memberikan saran dan kritiknya dalam penulisan skripsi ini;

7. Mbak Sri dan Mbak Yanti yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

8 Papa dan mama yang selalu berdoa untuk keberhasilan penulis dan memberikan bantuan moril maupun materil dalam penulisan skripsi ini;

9. Paksu dan maksu yang telah memberikan doa dan naungan tempat tinggal untuk penulis selama penulisan skripsi ini;

10. Kakakku Nowi Usdani dan sepupu-sepupuku Gilang, Aji, Bobi kak Husni Z, Bung Faizal yang telah mendoakan dan menemani penulis dalam penulisan skripsi ini;

(57)

Furqon Sanjaya,A. Setiawan, dan Imam Syafe’I;

15. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

16. Almamater tercinta yang sudah memberikan banyak wawasan dan pengalaman berharga;

Akhir kata, penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 14, Februari, 2013 Penulis

(58)
(59)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ...………... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………... 7

D. Kerangka teoritis dan konseptual ……… 8

E. Sistematika Penulisan ………... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembuktian dan Hukum Pembuktian ……….... 17

1. Pengertian Pembuktian ……… 17

2. Pengertian Hukum Pembuktian ………... 18

B. Pengertian Kekerasan dan Ancaman Kekerasan ………. 19

C. Pengertian dan Jenis Perkosaan ……….. 21

1. Pengertian Perkosaan ………... 21

2. Jenis Perkosaan ………... 23

D. Dasar Hukum Tindak Pidana Perkosaan ……….... 25

E. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Perkara Pidana ………. 27

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ……… 36

B. Sumber dan JenisData ………... 37

C. Penentuan Populasi danSampel ………... 39

D. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ……….. 40

(60)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ……….. 43 B. Gambaran Kasus ………... 45 C. Pembuktian Unsur dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan pada

Tindak Pidana Perkosaan Sesuai Putusan Pengadilan

No. 92/Pid.B/2008/PN.Mgl ……….. 51 D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap

Pelaku Tindak Pidana Perkosaan sesuai putusan Pengadilan

Negeri Menggala No. 92/Pid.B/2008/PN.Mgl ………. 55

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ………... 69

(61)

Abdullah, Mustafa. 1986. Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta. Amin, SM. 1981.Hukum Acara Pengadilan Negeri. Pradnya Paramita. Jakarta C.S.T Kansil.1989.Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta.

Hamzah, Andi. 2004.KUHP dan KUHAP. Rhineka Cipta. Jakarta.

Harahap, Yahya. 2000. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP. Sinar Grafika, Jakarta.

Kalyanamitra. 1998.Bila Perkosaan Terjadi.Kalyanamitra, Jakarta. Lamintang, P.A.F. 1986.Hukum Pidana Indoneisa. Sinar Baru, Bandung.

Mochtar, H.A.K. 1986. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II). Alumni, Bandung.

Moeljatno.2000.Asas-asas Hukum Pidana. Bhineka Cipta, Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998.Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung.

Ngani, Nico. 1984.Sinerama hukum pidana. Liberty, Jakarta.

Paslyadja, Adnan. 1997. Hukum Pembuktian. Pusat Diktat Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta

Poernomo, Bambang. 2004. Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang- Undang RI No.8 tahun 1981. Liberty Cet.XII, Bandung.

(62)

Rahayu Sundari, Sri. 2005.Hukum Penitensier, UNSRI, Palembang.

Sahetapy, J.E. 1981. Kausa kejahatan dan beberapa analisa kriminologik, Pradnya Paramitaha, Jakarta.

Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo. 1988. Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum. Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Santoso, Topo. 1997.Seksualitas dan Hukum Pidana.Ind-Hill Co. Jakarta.

Sianturi, S.R. 1983. Tindak pidana di KUHP berikut uraiannya. Alumni AHM-PTHM, Jakarta.

Sianturi, S.R. 1996. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Alumni AHM–PTHM, Jakarta.

Siregar, Bismar. 1986. Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional. Rajawali, Jakarta.

Soebekti, R. 1987.Hukum Pembuktian. Pradnya Paramitha, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia (UI Press), Jakarata.

Soesilo, R. 1985.Teknik Berita Acara Ilmu Pembuktian dan Laporan.Politea, Bogor. Syarifin, Pipin. 2000.Hukum Pidana Indonesia. Pustaka Setia, Bandung.

Sudarto. 1986.Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung. Surat putusan Pengadilan Negeri Menggala No. 92/Pid.B/2008/PN.Mgl

Universitas Lampung, 2007. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung (UNILA Press), Lampung.

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana(KUHAP).

Undang-undang Republik Indonesia No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakim

(63)

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil regresi tersebut menunjukan bahwa model persamaan regresi untuk tabel volume lokal hutan rakyat jenis Jabon ( ) di Desa Punggelan Kecamatan Punggelan Kabupaten

PERENCANAAN ULANG TIMBUNAN OPRIT DAN ABUTMENT JEMBATAN PLASMA BATU TUGU- PLASMA TANJUNG KURUNG, PALEMBANG (YANG MENGALAMI KERUNTUHAN SEBELUMNYA PADA SAAT PELAKSANAAN).. RIF’

Pada hemat penulis, keteladanan, bermain, bercerita, pujian, hukuman dan sebagainya merupakan metode atau cara yang dilakukan dalam melaksanakan model tertentu yang digunakan

Dengan adanya komposit EPDM dengan karet alam dan bahan proses lainnya (Tabel 1) maka terjadi ikatan sambung silang yang membentuk struktur jaringan tiga dimensi

Today, teaching profession is faced with changing roles, where, instead of undisputed authority figures, teachers are seen as facilitators, helpers, guides and coordinators

Setiap anggota Brodjonegoro yang sedianya akan melakukan MWA yang hadir berhak untuk memilih 3 (tiga) nama presentasi di urutan ke enam, tidak hadir dalam yang

Analisa Model Penggantian Komponen Berdasarkan Kriteria Total Down Time Terkecil Guna Menentukan Tingkat Persediaan Pengaman dan Reorder Point.. Ahmad

[r]