• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi pakan dan perilaku makan rusa sambar (Cervus unicolor Kerr, 1972) di Resort Teluk Pulai, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi pakan dan perilaku makan rusa sambar (Cervus unicolor Kerr, 1972) di Resort Teluk Pulai, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

TELUK PULAI, TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING,

KALIMANTAN TENGAH

AFROH MANSHUR

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN

EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

TELUK PULAI, TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING,

KALIMANTAN TENGAH

AFROH MANSHUR

E34062877

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN

EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

AFROH MANSHUR (E34062877). Studi Pakan dan Perilaku Makan Rusa Sambar (Cervus unicolor Kerr, 1972) di Resort Teluk Pulai, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh ABDUL HARIS MUSTARI dan BURHANUDDIN MASYUD

Keberadaan rusa sambar (Cervus unicolor) yang semakin terancam terjadi akibat adanya kerusakan habitat. Salah satu kawasan perlindungan rusa sambar secara in-situ di Indonesia adalah Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP).

Penurunan populasi rusa sambar dapat dihindari dengan melakukan pembinaan habitatnya. Komponen habitat rusa sambar yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah pakan. Selain aspek pakan, pemahaman tentang perilaku makan diperlukan sebagai pelengkap untuk mendapatkan keahlian dan pembinaan populasi rusa sambar. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengetahui jenis pakan, bagian yang dimakan dan pola penyebaran tumbuhan pakan rusa sambar di Taman Nasional Tanjung Puting; (2) mengetahui produktivitas, daya dukung dan ketersediaan pakan rusa sambar di Taman Nasional Tanjung Puting serta (3) mengetahui perilaku makan rusa sambar di Taman Nasional Tanjung Puting.

Secara umum seluruh data diperoleh dengan tiga cara, yakni: studi literatur, observasi lapang dan wawancara. Data yang dikumpulkan meliputi: data analisis vegetasi, identifikasi jenis pakan, produktivitas pakan, ketersediaan pakan dan perilaku makan rusa sambar. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa jenis pakan rusa sambar di Resort Teluk Pulai teridentifikasi sebanyak 53 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 33 famili. Bagian tumbuhan yang dimakan rusa sambar meliputi: daun (31 jenis), daun dan batang (4 jenis), daun dan bunga (6 jenis), daun dan buah (10 jenis) dan buah sebanyak dua jenis yakni kasai (Pometia alnifolia) dan betiti (Mangifera longipetiolata). Pola sebaran tumbuhan pakan rusa sambar meliputi: mengelompok (57,38 %), acak (16,39 %) dan tidak diketahui (26,23 %). Tidak ditemukan jenis tumbuhan yang menyebar secara merata. Untuk jenis tumbuhan yang mengikuti pola merata tidak ditemukan. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa produktivitas tumbuhan pakan rusa sambar di Resort Teluk Pulai sebesar 1.809.879,644 kg/hari−2.613.587,565 kg/hari. Daya dukung kawasan di Resort Teluk Pulai sebanyak 2 individu/ha atau sebanyak 122.958 individu untuk seluruh kawasan. Sedangkan untuk besaran ketersediaan pakannya adalah 789.101.569,4 kg. Selanjutnya berdasarkan pengamatan dengan metode kombinasi focal animal sampling dan time series

terhadap perilaku makan diketahui bahwa cara makan rusa sambar pada satu pohon adalah memilih berdasarkan ketinggiannya. Jenis daun yang pertama kali dimakan oleh rusa sambar adalah daun pada suatu pohon yang paling tinggi yang masih dapat dijangkau oleh tubuh rusa sambar. Berdasarkan uji chi-square dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa lama makan rusa sambar dipengaruhi oleh jenis kelamin dan umurnya (χ2 hitung = 121,547; χ2 tabel = 7,378).

(4)

AFROH MANSHUR (E34062877). Diet and Feeding Behavior of Sambar Deer (Cervus unicolor Kerr, 1972) at Teluk Pulai Resort, Tanjung Puting National Park, Central Kalimantan. Under Supervision of ABDUL HARIS MUSTARI and BURHANUDDIN MASYUD

The existence of sambar deer (Cervus unicolor) are increasingly threatened due to the destruction of habitat. One of the sambar deer protected area in Indonesia is Tanjung Puting National Park (TNTP). Population decline of sambar deer can be avoided by habitat management. Component of sambar deer habitat thats need to get more attention is food. An understanding of feeding behavior is needed as a complement to acquire the expertise and guidance sambar deer population. The aims of this study were: (1) understand the type of food, edible parts of plants and distribution pattern of sambar deer feed at Tanjung Puting National Park, (2) know the productivity, carrying capacity and the availability of sambar deer feed at Tanjung Puting National Park and (3) know the sambar deer feeding behavior at Tanjung Puting National Park.

Data were obtained in three ways, consist of: literature study, field observation and interviews to stakeholders. Data were collected includes: vegetation analysis, identify the type of food, food productivity, food availability and feeding behavior of sambar deer. Results of vegetation analysis showed that the type of sambar deer foods in the Teluk Pulai Resort identified 53 plant species included to 33 families. Parts of plants eaten by sambar deer, consited: leaves (31 species), leaves and stems (4 species), leaves and flowers (6 species), leaves and fruits (10 species) and fruit as much as 2 types namely kasai (Pometia alnifolia) and betiti (Mangifera longipetiolata). The distribution pattern of sambar deer food plants including: clumped distribution (57,38%), random (16,39%) and unknown (26,23%). For plant species that follow the uniform pattern was not found. The data also showed that plant productivity of sambar deer food at Teluk Pulai Resort between 1.809.879,644 kg/day to 2.613.587,565 kg/day. Resulting carrying capacity of 2 individuals/ha or as many as 122.958 individuals in total. As for the amount of feed availability is 789.101.569,4 kg. Based on observations with a combination of focal animal sampling and time series methods about feeding behavior known that sambar deer eat on a tree is choosed based on height. Type the first leaves eaten by deer sambar are leaves on a tree that can be reached by sambar deer. Based on chi-square with 95% confidence interval indicates that the long eating sambar deer is influenced by gender and age (χ2 count = 121,547; χ2 table = 7,378).

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”Studi Pakan dan Perilaku Makan Rusa Sambar (Cervus unicolor Kerr, 1972) di Resort

Teluk Pulai, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2011

(6)

unicolor Kerr, 1972) di Resort Teluk Pulai, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah.

Nama Mahasiswa : Afroh Manshur NIM : E34062877

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc. F. NIP. 19651015 199103 1 003

Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, M.S. NIP. 19581121 198603 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor,

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. NIP. 19580915 198403 1 003

(7)

Penulis dilahirkan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah pada tanggal 01 Mei 1988 sebagai anak kesepuluh dari sebelas bersaudara. Penulis terlahir dari kedua orang tua yang bernama Bapak Mahfudhi (Alm.) dan Ibu Mas’udah. Penulis memulai pendidikan formal di MI An-Nashriyyah tahun 1994−2000, dilanjutkan MTsN Lasem tahun 2000−2003, dan MAN Lasem tahun 2003−2006. Selanjutnya tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institiut Pertanian Bogor.

Selama perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) (2007−sekarang), Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM) Tarsius (2007−sekarang), Dewan Perwakilan Mahasiwa-TPB (2006−2007), Himpunan Mahasiswa Rembang di Bogor (HKRB) (2006−sekarang) serta Perhimpunan Beswan Djarum (2009−sekarang).

(8)

Skripsi ini tidak dapat terwujud tanpa adanya bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Allah SWT, Rabb yang senantiasa memberikan keberuntungan dan kebarakahan dalam setiap langkah kehidupan.

2. Ibunda Mas’udah dan Ayahanda Mahfudhi (Alm.), guru terbaik dalam hidup. Terima kasih atas semua nasehat kehidupan dan semangatnya. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik, Allohummaghfirlii waliwaalidaiya warhamhuma kamaa robbayaanii sighoroo.

3. Keluarga besar EM-REFA, 11 saudara kandung bersama pasangannya, Bang Mad, Mbak Roh, Mbak Nab, Kak Aly, Mbah Oank, Mbak Muk, Mbak Mus, Mbah Aun, Mbak Icha dan adekku Mushoffa Jamil atas kehangatan keluarga dan senantiasa memotivasi untuk membuat keluarga jauh lebih baik.

4. Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

5. Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc. F. dan Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, M.S. atas kasih sayang, pengertian dan kesabaranya selama membimbingku.

Allohumma nawwir qolbii bi nuuri hidaayatika kamaa nawwartal ardho bi nuuri syamsyika wa qomarika abadan abadaa.

6. Dr. Ir. Omo Rusdiana, M. Sc., Dr. Efi Yuliati Yovi, S. Hut, M. Life. Env. Sc., Arinana, S. Hut, M. Si. selaku dosen penguji.

7. Kepala Balai TN Tanjung Puting beserta staff, khususnya kepada Pak Taufik, Mas Cahyo, Bu Umi dan Pak Rohimat yang membantu kelancaran penelitian di Resort Teluk Pulai.

8. Pak Hamjan dan istri yang menjadikan saya sebagai bagian keluarga selama di resort serta Mas Amir dan keluarga yang telah mengurus saya selama di kota Pangkalan Bun, semoga ALLOH membalas kebaikan kalian.

9. Ibu Evan, Ibu Titin, Ibu Ratna, Bapak Hasan, Bapak Acu, Bapak Yatna, dan Bapak Sutoro yang selalu siap membantu pengurusan administrasi selama penelitian.

10. Ega Ayudini, S. Hut beserta keluarga yang memberi ketenangan batin, cinta kasihnya dan motivasi untuk segera menyelesaikan studi.

(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrabil’alamin, segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan kepada kita, diantaranya meningkatkan derajat bagi orang orang yang berilmu. Shalawat dan salam penulis panjatkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang memberikan cahaya yang menerangi jalan hidup manusia beserta keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada para pengikutnya yang senantiasa setia sampai akhir zaman.

Skripsi ini merupakan laporan akhir dari penelitian yang berjudul ”Studi Pakan dan Perilaku Makan Rusa Sambar (Cervus unicolor Kerr, 1972) di

Resort Teluk Pulai, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah”,

disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Karya ini tidak dapat terwujud tanpa adanya bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc. F. dan Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, M.S. selaku dosen pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Balai Taman Nasional Tanjung Puting beserta seluruh staff. Tak lupa pula ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh keluarga dan sahabat atas dukungan,

do’a dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki. Oleh karena itu saran dan kritik sangat diperlukan untuk perbaikan dan pengembangan karya ilmiah ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2011

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ………. ... vi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi ... 3

2.2 Morfologi ... 3

2.3 Habitat ... 5

2.3.1 Pakan, bagian yang dimakan dan penyebaran pakan ... 5

2.3.2 Produktivitas, daya dukung dan ketersediaan pakan ... 7

2.4 Perilaku ... 10

2.4.1 Perilaku makan ... 10

2.4.2 Perilaku lainnya ... 11

III. METODELOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 13

3.2 Bahan dan Alat ... 13

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 14

3.3.1 Metode analisis vegetasi ... 14

3.3.2 Identifikasi jenis tumbuhan dan bagian yang dimakan rusa sambar ... 15

3.3.3 Produktivitas tumbuhan pakan ... 15

3.3.4 Potensi ketersediaan pakan ... 16

(11)

3.4 Analisis Data ... 17

3.4.1 Analisis deskriptif ... 17

3.4.2 Analisis kuantitatif ... 17

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak, Luas dan Status Kawasan ... 20

4.2 Kondisi Fisik ... 21

4.2.1 Topografi ... 21

4.2.2 Geologi dan tanah ... 22

4.2.3 Iklim ... 22

4.3 Kondisi Biologi ... 22

4.3.1 Ekosistem ... 22

4.4.2 Flora ... 23

4.4.3 Fauna ... 23

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Habitat ... 25

5.2 Potensi Pakan ... 32

5.2.1 Jenis pakan rusa sambar ... 32

5.2.2 Bagian tumbuhan yang dimakan rusa sambar ... 36

5.2.3 Pola sebaran tumbuhan pakan ... 39

5.3 Produktivitas, Daya Dukung dan Ketersediaan Pakan ... 43

5.4 Perilaku Makan ... 49

5.4.1 Cara makan ... 49

5.4.2 Lama waktu makan ... 50

5.4.3 Perilaku lain ... 52

5.5 Rekomendasi Pengelolaan ... 58

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 61

6.2 Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Rencana luasan zonasi kawasan Taman Nasional Tanjung Putting ... 21 2. Beberapa jenis tumbuhan dominan pada berbagai habitat di Resort

Teluk Pulai... 27 3. Perbandingan antar tipe habitat berdasarkan kekayaan tumbuhannya ... 30 4. Pola penyebaran jenis beberapa jenis dominan pada berbagai

tingkat pertumbuhan di seluruh habitat ... 40 5. Sebaran jenis tumbuhan pada tingkat pertumbuhan di berbagai tipe

habitat di Resort Teluk Pulai ... 41 6. Produktivitas dan biomassa masing-masing hijauan pakan rusa sambar .. 44 7. Produktivitas dan biomassa hijauan total pakan rusa sambar di berbagai

tipe habitat ... 46 8. Analisis lama makan rusa sambar dalam satu segmen di Resort

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Daerah penyebaran rusa sambar di dunia ... 3

2. Pejantan tua rusa sambar ... 4

3. Pola penyebaran individu suatu populasi secara mendatar dalam komunitas ... 7

4. Pelaksanaan metode garis berpetak di lapangan untuk hutan dataran rendah dan hutan rawa air tawar ... 14

5. Peta kawasan Taman Nasional Tanjung Puting ... 20

6. Beberapa tipe habitat di kawasan Resort Teluk Pulai, Taman Nasional Tanjung Puting ... 25

7. Kubangan rusa sambar yang teridentifikasi di habitat rawa air tawar ... 28

8. Jenis pakan rusa sambar berdasarkan famili ... 33

9. Kekayaan pakan rusa sambar di tiap habitat ... 34

10. Pakan rusa sambar berdasarkan habitusnya ... 36

11. Contoh daun yang dimakan rusa sambar ... 37

12. Variasi bagian tumbuhan yang dimakan oleh rusa sambar ... 37

13. Kombinasi jumlah jenis berdasarkan bagian tumbuhan yang dimakan oleh rusa sambar ... 38

14. Sebaran jenis tumbuhan pakan yang ditemukan di berbagai tipe habitat di Resort Teluk Pulai ... 43

15. Sebaran waktu ditemukannya rusa sambar ketika makan di Resort Teluk Pulai, TN Tanjung Puting ... 50

16. Tingkat perjumpaan rusa sambar berdasarkan jumlah individu yang ditemukan di Resort Teluk Pulai, TN Tanjung Putting ... 53

17. Tingkat perjumpaan aktivitas rusa sambar selain makan ketika merumput ... 55

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Jenis tumbuhan yang teridentifikasi di Resort Teluk Pulai,

Taman Nasional Tanjung Puting ... 68 2. Tally sheet metode kurva species area di habitat padang rumput

dan semak belukar ... 73 3. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai di habitat hutan dataran

rendah, Tanjung Paring, Resort Teluk Pulai ... 74 4. Indeks Nilai Penting (INP) tumbuhan bawah dan jenis lain di

habitat hutan dataran rendah, Tanjung Paring, Resort Teluk Pulai ... 74 5. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang di habitat hutan dataran

rendah, Tanjung Paring, Resort Teluk Pulai ... 75 6. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang di habitat hutan dataran

rendah, Tanjung Paring, Resort Teluk Pulai ... 77 7. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon di habitat hutan dataran

rendah, Tanjung Paring, Resort Teluk Pulai ... 79 8. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai di habitat hutan rawa air

tawar, Sungi Buluh Besar, Resort Teluk Pulai ... 81 9. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tumbuhan bawah dan jenis lain di

habitat hutan rawa air tawar, Sungi Buluh Besar, Resort Teluk Pulai ... 83 10. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang di habitat hutan rawa air

tawar, Sungi Buluh Besar, Resort Teluk Pulai ... 84 11. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang di habitat hutan rawa air tawar,

Sungi Buluh Besar, Resort Teluk Pulai ... 85 12. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon di habitat hutan rawa air tawar,

Sungi Buluh Besar, Resort Teluk Pulai ... 87 13. Indeks Nilai Penting (INP) di habitat padang rumput, Eks.

P.T. Hesubazah, Resort Teluk Pulai ... 89 14. Indeks Nilai Penting (INP) di habitat semak belukar, Sungi Buluh Besar,

(15)

16. Pola sebaran jenis tumbuhan tingkat semai di habitat hutan dataran

rendah, Tanjung Paring, Resort Teluk Pulai ... 93 17. Pola sebaran jenis tumbuhan bawah dan jenis lain di habitat hutan dataran

rendah, Tanjung Paring, Resort Teluk Pulai ... 96 18 Pola sebaran jenis tumbuhan tingkat pancang di habitat hutan dataran

rendah, Tanjung Paring, Resort Teluk Pulai ... 97 19. Pola sebaran jenis tumbuhan tingkat tiang di habitat hutan dataran

rendah, Tanjung Paring, Resort Teluk Pulai ... 102 20. Pola sebaran jenis tumbuhan tingkat pohon di habitat hutan dataran

rendah, Tanjung Paring, Resort Teluk Pulai ... 105 21. Pola sebaran jenis tumbuhan tingkat semai di habitat hutan rawa air

tawar, Sungai Buluh Besar , Resort Teluk Pulai ... 110 22. Pola sebaran jenis tumbuhan bawah dan jenis lain di habitat hutan rawa

air tawar, Sungai Buluh Besar, Resort Teluk Pulai ... 113 23. Pola sebaran jenis tumbuhan tingkat pancang di habitat hutan rawa air

tawar, Sungai Buluh Besar, Resort Teluk Pulai ... 115 24. Pola sebaran jenis tumbuhan tingkat tiang di habitat hutan rawa air

tawar, Sungai Buluh Besar, Resort Teluk Pulai ... 118 25. Pola sebaran jenis tumbuhan tingkat pohon di habitat hutan rawa air

tawar, Sungai Buluh Besar, Resort Teluk Pulai ... 122 26. Pola sebaran jenis tumbuhan di habitat Padang Rumput, Sungai Buluh

Besar Resort Teluk Pulai ... 126 27. Pola sebaran jenis tumbuhan di habitat Semak Belukar, Sungai Buluh

Besar Resort Teluk Pulai ... 128 28. Data tutupan lahan Resort Teluk Pulai, Taman Nasional Tanjung

Puting berdasarkan rencana zonasi ... 130 29. Perhitungan produktivitas dan daya dukung lingkungan habitat pakan bagi

rusa sambar di Resort Teluk Pulai ... 131 30. Data pengamatan waktu beberapa aktivitas dalam perilaku makan rusa

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rusa sambar (Cervus unicolor) merupakan rusa yang terbesar ukurannya di daerah tropika. Penyebaran rusa sambar di Indonesia hanya terbatas di daerah Sumatera dan Kalimantan (Yasuma 1994). Meskipun belum terdaftar dalam

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and

Flora (CITES) (Soehartono & Mardiastuti 2003), di Indonesia, rusa sambar telah terdaftar dalam Keputusan Menteri Kehutanan No 305/ Kpts-11/1991, tanggal 19 Juni 1991 dan PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa sebagai jenis satwa yang dilindungi. Selain itu dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature), rusa sambar dikategorikan dalam jenis yang terancam (vurnerable) akibat populasinya yang terus menurun (IUCN 2010).

Keberadaan rusa sambar yang semakin terancam terjadi akibat adanya kerusakan habitat. Penurunan populasi rusa sambar dapat dihindari dengan melakukan pembinaan habitatnya. Komponen habitat rusa sambar yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah pakan. Hal ini dikarenakan pakan merupakan faktor pembatas dan sumber energi utama bagi rusa. Selain itu, vegetasi pakan ditinjau dari potensinya memiliki korelasi positif dengan jumlah populasi dan daya dukung habitatnya. Secara umum, keadaan tumbuhan pakan di suatu habitat tidak selalu tersedia dengan cukup, sempurna dan merata. Kondisi yang demikian misalnya terjadi akibat adanya gangguan baik dari rusa itu sendiri, kondisi lingkungan (iklim dan tanah), pengaruh manusia atau persaingan antar jenis tumbuhan. Oleh karena itu, diperlukan campur tangan manusia untuk mengelola habitat agar tercapai kondisi optimum dalam mendukung kehidupan rusa sambar.

Selain aspek pakan, pemahaman tentang perilaku makan rusa sambar juga penting diketahui dalam rangka perumusan usaha perbaikan habitat dan pembinaan populasi satwa tersebut secara tepat. Hal ini dikarenakan perilaku makan sangat erat kaitannya dengan jenis pakan yang dimakan oleh satwa tersebut (Wirdateti et al. 1997).

(17)

Meskipun telah ditetapkan sebagai kawasan cagar biosfer dunia oleh UNESCO sejak tahun 1977, namun masih terdapat banyak permasalahan di Taman Nasional Tanjung Puting. Diantara permasalahan tersebut adalah adanya degradasi dan konversi lahan akibat perambahan hutan, illegal logging dan penambangan liar dalam kawasan (Soedjito 2004), yang diduga berdampak negatif pada kerusakan habitat rusa sambar. Jika kondisi ini tetap dibiarkan, maka dalam jangka waktu yang tidak lama populasi rusa sambar terancam punah di habitat alaminya. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan populasi dan perlindungan terhadap habitatnya.

Salah satu bentuk pengelolaan rusa sambar di Taman Nasional Tanjung Puting adalah akan didirikannya pusat pembinaan habitat rusa sambar. Keberhasilan pengelolaan tergantung pada rencana pengelolaan dan pemahaman terhadap seluruh proses ekologi yang berjalan di dalam ekosistem. Oleh karena itu, pemahaman tentang kondisi habitat terutama aspek pakan dan aspek perilaku makannya merupakan salah satu informasi penting dalam menentukan rencana pengelolaan rusa sambar di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting secara tepat dan berdaya guna.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui jenis pakan, bagian yang dimakan dan pola penyebaran tumbuhan pakan rusa sambar di Taman Nasional Tanjung Puting. 2. Mengetahui produktivitas, daya dukung dan ketersediaan pakan rusa

sambar di Taman Nasional Tanjung Puting.

3. Mengetahui perilaku makan rusa sambar di Taman Nasional Tanjung Puting.

1.3 Manfaat penelitian

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi

Rusa sambar (C. unicolor) atau sering disebut rusa air tergolong dalam famili Cervidae (Siregar et al. 1983). Penyebarannya meliputi Srilangka, India, Nepal, Cina, Indocina, Malaysia, Filipina dan Indonesia (Gambar 1). Ada beberapa perbedaan morfologi di setiap daerah penyebaran tersebut, sehingga rusa sambar dibagi menjadi 16 sub-spesies. Sub-spesies rusa sambar di Kalimantan adalah C. unicolor brokei yang merupakan rusa sambar paling kecil ke dua setelah

C. unicolor nigricans yang berasal dari Filipina (Redaksi Ensiklopedi Indonesia 1988). Menurut Lekagul dan McNeely (1988), rusa sambar dikelompokkan ke dalam filum Chordata, sub filum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, sub ordo Ruminantia, famili Cervidae, genus Cervus dan spesies Cervus unicolor

Kerr, 1792. Sedangkan sinonimnya adalah Cervus uqienus Cuvier, 1823; Cervus cambojensis Gray, 1861 dan Rusa dejani Pousargus, 1896.

Gambar 1 Daerah penyebaran rusa sambar di dunia.

2.2 Morfologi

Rusa sambar termasuk rusa berukuran tubuh paling besar di antara rusa-rusa yang hidup di Indonesia (Semiadi 2006). Berat tubuhnya mencapai 185−260 kg dengan panjang tubuh 140−160 cm (Lekagul & McNeely 1988), bahkan

(19)

Carter (1978) melaporkan berat rusa sambar dapat mencapai 300 kg. Semiadi (2006) menyatakan bahwa pada

pejantan, panjang tubuh rusa sambar dapat mencapai 160 cm dengan berat badan 136−320 kg. Sedangkan pada betina dewasa di peternakan Australia, berat badan rusa sambar dapat mencapai 228 kg (Anderson 1984 diacu dalam Semiadi 1998).

Kulit dan rambut pada rusa

sambar umumnya kasar dan tidak terlalu rapat. Warna rambut cokelat dengan variasi agak kehitaman atau cokelat gelap pada jantan atau yang telah tua (Gambar 2). Perubahan warna menjadi gelap tersebut khususnya pada jantan dominan menandakan masuknya pejantan ke musim kawin terutama pada musim pakan melimpah (Semiadi 2006). Sedangkan pada musim panas warna yang lebih gelap pada seluruh rusa sambar terjadi karena rambutnya akan rontok, sehingga rusa sambar akan terlihat lebih gelap (Lekagul & McNeely 1988).

Ciri lain pada rusa sambar adalah telinganya yang besar, ekor panjang dan lebat seperti ekor kuda. Rambut ekor bagian bawah berwarna putih sehingga sangat kontras dengan lingkungan sekitarnya (Veever-Carter 1978). Lekagul dan McNeely (1988) menyatakan bahwa fungsi dari rambut ekor yang kontras tersebut dapat digunakan sebagai tanda bahaya bagi rusa yang lain jika diangkat. Ranggah bagi pejantan relatif kecil tetapi padat dan kuat. Susanto (1980) yang diacu dalam

Semiadi (2006) mengemukakan bahwa panjang total ranggah berkisar 300−750 mm sedangkan lebar antar ujung tanduknya 250−500 mm. Secara sosiologis Bartos (1990) menyatakan bahwa ranggah merupakan status sosial pada pejantan saat musim kawin. Pada musim kawin ukuran dan bentuk ranggah berperan penting untuk kepentingan dominansi kelompok dibandingkan ukuran badan pejantan itu sendiri.

Bentuk ranggah dapat digunakan untuk memperkirakan umur rusa sambar (hanya pada tingkat umur kurang dari 4 tahun). Rusa sambar jantan yang berusia 1−2 tahun memiliki ranggah dengan satu cabang, tiga tahun dengan dua cabang

Gambar 2 Pejantan tua rusa sambar.

(20)

dan empat tahun dengan tiga cabang atau kadang-kadang dengan empat cabang (Yasuma 1994). Sedangkan pada rusa sambar betina perkiraan umur didasarkan atas tinggi pada bagian bahu. Betina dewasa tingginya kurang lebih 120 cm; rusa sambar yang tingginya kurang dari 90 cm dikelompokkan sebagai anak dan rusa dengan tinggi antara 90 cm sampai kurang dari 120 cm dikelompokkan sebagai

juvenil (Eisenberg & Lockhart 1972).

2.3 Habitat

Kehidupan satwaliar memerlukan tempat-tempat yang dapat memenuhi segala kebutuhannya, sebagai contoh adalah tempat makan, minum, berlindung dan berkembang biak. Tempat-tempat yang berfungsi semacam ini jika membentuk satu kesatuan disebut habitat (Alikodra 1990). Rusa sambar dapat hidup pada kisaran habitat yang luas. Rusa sambar di Thailand umumnya dijumpai pada hutan dengan tegakan rapat dan kadang-kadang di tepi hutan yang berbatasan dengan perkebunan penduduk (Leng-Ee 1978). Hal ini menurut Semiadi (2006) dikarenakan hutan dengan tegakan yang rapat akan melindungi rusa dari terik matahari dan gangguan insekta terutama pada pejantan yang sedang mengelupas kulit velvetnya. Selanjutnya Semiadi (2006) menyatakan bahwa tegakan yang rapat juga dapat dimanfaatkan oleh rusa sebagai tempat persembunyian dan melepaskan diri dari pemangsa.

Daerah yang disenangi rusa dapat berupa padang alang-alang, hutan muda, dan daerah yang banyak menerima sinar matahari dari ketinggian 0 mdpl hingga daerah pegunungan yang mencapai ketinggian 600 mdpl (Siregar et al. 1983). Seidensticker (1976) yang diacu dalam Subagyo (2000) melaporkan bahwa rusa sambar lebih sering dijumpai di hutan berair yang bagian bawahnya berupa semak-semak. Sedangkan Garsetiasih dan Takandjandji (2007) melaporkan bahwa rusa sambar dapat dijumpai di hutan payau.

2.3.1 Pakan, bagian yang dimakan dan penyebaran pakan

(21)

pakan rusa. Berdasarkan tingkat kesukaannya, tujuh jenis yang lebih disukai rusa sambar berturut-turut adalah Paspalum conjugatum, Wrightia tementosa, Alpinia

sp., Neyraudia reynaudiana, Veromia elliptica, Imperata cylindrica dan

Cratoxylum formosum. Akan tetapi hanya lima jenis yang secara kuantitatif berperan penting dalam pakan rusa, yaitu: Imperata cylindrica, Neyraudia reynaudiana, Ischaemum muticum, Carex crutiaca dan Veronica elliptica.

Jenis-jenis pakan rusa sambar di Indonesia berdasarkan hasil penelitian Sutrisno (1986) menunjukkan bahwa berdasarkan familinya jenis hijauan rusa sambar termasuk dalam 6 famili yaitu Graminaceae, Cyperaceae, Fabaceae, Ericaceae dan Commelinaceae. Sedangkan di Pulau Peucang selain famili Graminaceae, sumber makanan rusa kebanyakan terdiri dari famili Euphorbiaceae, Umbelliferaceae dan Urticeae (Susanto 1977 diacu dalam

Semiadi 2006). Seperti halnya penelitian Ngampongsai (1987), Sutrisno (1986) juga menyatakan bahwa jenis Imperata cylindrica merupakan pakan utama rusa sambar di padang penggembalaan Cigumentong.

Pengamatan Ngampongsai (1987) pada rusa sambar yang ditangkarkan menunjukkan bahwa rusa sambar dapat dikategorikan sebagai pemakan segalanya. Namun Bentley (1978) mengklasifikasikannya sebagai pemakan rerumputan. Sedangkan Burke (1982) cenderung mengklasifikasikannya sebagai pemakan dedaunan. Selanjutnya Stafford (1997) menyatakan bahwa rusa sambar di Selandia Baru sangat menyukai rumput yang bertekstur kasar. Hal ini dikuatkan oleh Kelton dan Skipworth (1987) dengan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa tumbuhan jenis rumput merupakan pakan yang dominan meskipun diketahui rusa sambar memakan berbagai jenis hijauan.

Berdasarkan habitusnya, tumbuhan pakan rusa sambar dapat dibagi menjadi 6 kelompok (Soerianegara & Indrawan 1988), yakni: pohon, semak, terna, liana, perdu dan herba. Pohon adalah tumbuhan berkayu yang memiliki batang utama dan mengalami penebalan kambium. Semak adalah tumbuhan berkayu dengan

tinggi 5−6 m yang memiliki cabang banyak dan salah satunya merupakan

(22)

Gambar 3 Pola penyebaran individu suatu populasi secara mendatar dalam komunitas.

akarnya harus berada di tanah karena tumbuhan ini juga memerlukan unsur hara dari tanah. Habitus ini berbeda dengan epifit yang tidak membutuhkan unsur hara dari tanah. Terna adalah tumbuhan yang memiliki batang lunak dikarenakan tidak berkayu. Sedangkan terna yang memiliki khasiat sebagai tumbuhan obat dikategorikan sebagai herba.

Pola sebaran erat hubungannya dengan lingkungan. Organisme di suatu tempat bersifat saling bergantung, tidak terikat oleh kesempatan semata, dan jika terjadi gangguan pada suatu organisme atau sebagaian faktor lingkungan berpengaruh terhadap keseluruhan komunitas (Sabarno 2002). Setiap jenis tumbuhan dalam suatu komunitas akan mempunyai pola penyebaran yang tersendiri. Pola ini dapat memiliki persamaan dengan jenis lainnya tetapi tidak mungkin seluruhnya sama. Ludwig dan Reynold (1988) membagi tipe penyebaran jenis tumbuhan menjadi 3, yakni acak, mengelompok dan seragam (Gambar 3).

Sumber: Ludwig dan Reynold (1988)

Ludwig dan Reynold (1988) menjelaskan bahwa pola tumbuhan pakan yang acak menggambarkan heterogenitas lingkungan serta pola perilaku yang tidak selektif. Sebaliknya pola sebaran yang mengelompok dan seragam menggambarkan adanya hambatan-hambatan oleh suatu jenis tumbuhan untuk dapat hidup di suatu habitat. Sedangkan pola ke tiga, yakni seragam mengindikasikan bahwa tumbuhan tersebut mampu hidup di berbagai habitat mikro dan jumlah populasinya yang hampir sama di tiap petaknya.

2.3.2 Produktivitas, daya dukung dan ketersediaan pakan

(23)

Heddy et al. (1986) menjelaskan bahwa produktivitas adalah laju penambatan atau penyimpanan energi oleh suatu komunitas dalam ekosistem. Sedangkan Alikodra (2002) menjelaskan konsep produktivitas sebagai hasil yang dipungut per satuan bobot, luas dan waktu. Produktivitas hijauan pakan dalam setahun merupakan jumlah antara produktivitas pada musim penghujan dengan produktivitas pada musim kemarau. Produktivitas hijauan pada musim kemarau menurut Syarief (1974) adalah setengah dari produktivitas pada musim penghujan.

McIlory (1977) menyatakan bahwa produktivitas padang rumput bergantung pada beberapa faktor, yaitu: (1) Persistensi (daya tahan), yaitu kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang secara vegetatif, (2) agresivitas (daya saing), yakni kemampuan memenangkan persaingan dengan jenis lain yang tumbuh bersama, (3) kemampuan untuk tumbuh kembali setelah injakan oleh satwa yang berat, (4) sifat tanah yang kering dan tahan kering, (5) penyebaran produksi musiman, (6) kemampuan menghasilkan cukup banyak biji yang dapat tumbuh baik atau dapat berkembang baik secara vegetatif, (7) kesuburan tanah dan (8) iklim, terutama besaran curah hujan dan distribusi hujan. Sedangkan kualitas padang rumput menurut Sabarno (2002) dipengaruhi oleh: (1) Suksesi, yaitu suatu proses perubahan dari unsur biotik dan abiotik sesuai dengan ekosistemnya, (2) persaingan jenis rumput, terutama padang rumput alam dan kemungkinan jenis rumput tidak disukai oleh satwa akan muncul menggantikan jenis-jenis yang disukai oleh satwa, (3) pengaruh musim, yaitu dalam musim kemarau mengalami kekeringan sehingga ketersediaan hijauan pakan akan menurun, (4) over grazing, yakni suatu kondisi yang menunjukkan bahwa populasi satwa yang merumput telah melebihi daya dukung padang rumput.

(24)

dan berbukit dengan kemiringan 5−23 °, dan pada kemiringan > 23° yang berarti kondisi topografinya berbukit hingga curam sehingga nilai proper use adalah 25%−30% dari total kawasan.

Daya dukung adalah banyaknya satwa yang dapat ditampung di suatu areal pada situasi dan kondisi tertentu (Alikodra 2002). Sedangkan Brown (1954) yang diacu dalam Aziz (1996) mendefinisikan daya dukung sebagai jumlah satwa maksimum yang dapat ditampung di suatu areal pada beberapa periode tanpa merusak tanah, bahan makanan, pertumbuhan vegetasi, tata air dan kebutuhan satwa lainnya. Menurut Priyono (2006) habitat hanya mampu menampung jumlah satwa pada batas tertentu sehingga yang menentukan daya dukung adalah faktor habitat yakni pakan, air dan cover. Sedangkan menurut Syarief (1974) daya dukung bergantung pada kondisi tanah dan hijauan yang tumbuh. Selanjutnya Susetyo (1980) menerangkan bahwa kemampuan padang rumput dalam menampung satwa berbeda-beda karena adanya perbedaan dalam hal produktivitas, tanah, curah hujan, penyebaran satwa, dan topografi.

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1979) biomassa adalah hasil yang dapat dipungut atau dipanen pada suatu saat per satuan bobot dan luas. Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap karbondioksida (CO2) dari

udara dan mengubah zat ini menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Pada ekosistem hutan alam yang kondisi vegetasinya sempurna, jumlah biomassa satuan luas lebih banyak dibandingkan dengan ekosistem lainnya. Hal itu disebabkan karena keanekaragaman yang tinggi dari spesies tumbuhan penyusunnya dan stratifikasi yang kompleks menempatkan daun-daun pada setiap strata tajuk, sehingga jumlah energi radiasi matahari yang dapat diubah menjadi energi kimia pada ekosistem hutan menjadi lebih banyak (Indriyanto 2006).

Perkiraan biomassa di savana bagi herbivora pada beberapa taman nasional telah dilakukan secara intensif. Perkiraan biomassa di tiap taman nasional yaitu TN Kivu, Zaire (17,448 kg/m2), TN Rwenzori, Uganda (19,928 kg/m2), TN Manyarra, Tanzania (19,189 kg/m2), TN Kruger bagian utara Afrika Selatan (984 kg/m2) serta bagian tenggara Kenya (405 kg/m2) (Coe et al. 1976 diacu dalam

(25)

2.4 Perilaku

2.4.1 Perilaku makan

Perilaku satwa adalah ekspresi suatu satwa yang disebabkan oleh faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini setiap perilaku ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor genetik maupun lingkungan (Suratmo 1979 diacu dalam

Subagyo 2000). Makanan harus selalu tersedia bagi satwaliar karena jika tidak satwa tersebut akan berpindah untuk mencari daerah yang banyak makanannya (Alikodra 1990).

Rusa sambar lebih bersifat browser (pemakan tunas-tunas daun muda) dari pada grazer (pemakan rumput) (Lekagul & McNeely 1988). Akan tetapi Ngampongsai (1978) melaporkan kondisi sebaliknya, rusa sambar di Thailand lebih bersifat grazer dari pada browser. Browsing biasanya dilakukan pada pagi hari di dalam hutan. Pada tengah hari beristirahat di dalam hutan dan muncul untuk browsing dan kemudian ke daerah padang rumput atau semak belukar untuk memakan rumput (grazing) pada malam hari (Eisenberg & Lockhart 1972). Oleh karena itu jenis ini digolongkan dalam hewan krepuskular dan nokturnal (Yasuma 1994).

Semiadi et al. (1993) melaporkan bahwa perkembangan anak rusa sambar dalam mencari pakan dimulai pada umur 3 hari. Perilaku menggigit-gigit dedaunan kering dimulai pada umur 10 hari. Pada umur 19 hari aktivitas memakan rumput mulai tampak dan memakan dedaunan secara sederhana (nibling) pada umur 21 hari. Selanjutnya pada umur 36 hari perilaku ruminasi baru nyata terlihat.

(26)

hijauan dari dalam tempat pakan, sehingga rusa-rusa lain tinggal memakannya. Jika rusa jantan telah merasa cukup kenyang maka akan berjalan-jalan kemudian kembali ke tempat pakan untuk mengulangi hal serupa (Wirdateti et al. 1997).

Menurut Sutrisno (1986) bila hendak makan atau merumput rusa sambar muncul dari dalam hutan yang berada di sekitar padang penggembalaan untuk mencari hijauan yang disukai. Jika jenis hijauan yang disukai telah berhasil ditemukan, hijauan tersebut direnggut dengan mulutnya dan dikunyah. Pada saat makan, posisi kepala kadang-kadang merunduk dan kadang-kadang tegak, sambil menengok ke kiri dan ke kanan, disertai dengan telinga yang berputar. Hal ini dimaksudkan untuk mengontrol kemungkinan adanya gangguan atau bahaya yang mengancam.

2.4.2 Perilaku lainnya

Rusa sambar umumnya tidak memiliki teritori yang khusus, meskipun pada saat musim kawin rusa jantan membentuk teritori khusus yang ditandai dengan

urine yang mengandung feromon (Lekagul & McNeely 1988). Rusa sambar jantan umumnya hidup soliter dan betina lebih sering berkelompok dalam jumlah yang kecil dengan anggota kelompok antara 2−3 individu (Lekagul & McNeely 1978). Menurut penelitian Karant dan Sunquist (1992), rusa sambar di India merupakan hewan yang soliter. Tetapi di dalam penangkaran, selama proses penjinakan rusa sambar membentuk kelompok antara satu sampai tiga kelompok dan setiap kelompok memiliki jumlah yang bervariasi hingga 18 individu (Semiadi 1996).

Sutrisno (1986) melaporkan terdapat beberapa tipe sosial di dalam kehidupan rusa sambar di Jawa Barat. Setidaknya terdapat 4 tipe kehidupan sosial yakni: (1) satu individu rusa jantan yang hidup menyendiri, (2) kelompok rusa yang terdiri dari satu individu rusa betina dewasa dengan satu individu rusa betina remaja, (3) kelompok rusa yang terdiri dari satu individu rusa betina dewasa dengan dua ekor rusa betina remaja dan (4) kelompok rusa yang terdiri dari satu individu rusa jantan dewasa, satu individu rusa betina dan dewasa dan tiga ekor rusa betina remaja.

(27)

yang telah dikenalnya, biasanya di padang rumput yang memiliki kubangan air. Kubangan atau rawa-rawa merupakan tempat berkumpul pada akhir senja untuk membentuk kelompok temporal sebelum menyebar mencari makan. Kelompok sosial terbentuk pada daerah yang dikenal dengan home range yang tumpang tindih. Setelah berkelompok rusa jantan kembali soliter. Ada beberapa kasus jantan dewasa juga disertai oleh rusa yang berusia dua tahun atau jantan juvenil. Sedangkan untuk rusa betina dewasa dalam mencari makan akan disertai oleh rusa sambar juvenil atau anak rusa sambar yang berusia satu tahun (Lekagul & McNeely 1988).

Aktivitas rusa sambar untuk merumput dilakukan pada dini hari hingga menjelang pagi dan sore hari. Pada dini hari sekitar 03.45−05.00 WIB sedangkan sore hari 17.30−18.30 WIB (Sutrisno 1986). Sedangkan penelitian Subagyo (2000) di Taman Nasional Way Kambas, rusa sambar aktif berada di padang rumput mulai 05.00 WIB hingga 10.00 WIB dan sore hari mulai 16.00 WIB hingga malam hari. Diantara dua periode tersebut rusa sambar banyak terlihat dalam keadaan berbaring pada jam 15.00 WIB. Rutinitas harian pada sebagian hewan herbivora menurut Arnold (1981) ditentukan oleh tipe diurnal dari grazing, waktu untuk memamah biak, periode istirahat dan minum yang disesuaikan dengan interval ketika hewan tidak merumput. Sebagian besar periode merumput dimulai pada pagi hari sampai tengah hari, kemudian berakhir pada saat matahari mulai terbenam.

(28)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Resort Teluk Pulai, SPTN III Tanjung Harapan, Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP). Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan pada bulan Juli−September 2010.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan selama kegiatan penelitian antara lain:

1. Label spesimen, digunakan untuk memberi tanda nama lokasi dan nama jenis vegetasi (herbarium).

2. Peta kerja, digunakan untuk mengetahui lokasi penelitian.

3. Alkohol 70%, sprayer dan kertas koran untuk pembuatan spesimen herbarium.

Alat yang digunakan selama kegiatan penelitian yaitu:

1. GPS, digunakan untuk menentukan posisi pada saat pengambilan data penelitian.

2. Kompas Bruton, digunakan untuk mengukur kelerengan dan penunjuk arah.

3. Binokuler, digunakan untuk memperjelas pandangan ketika pengamatan perilaku satwa dan mengidentifikasi jenis tumbuhan ketika analisis vegetasi.

4. Termometer, untuk mengukur suhu dan kelembaban udara. 5. Kamera, digunakan untuk alat dokumentasi.

6. Tambang/ tali plastik, digunakan untuk penanda arah jalur dan plot contoh pada analisis vegetasi.

(29)

3.3 Metode Pengumpulan Data

Secara umum seluruh data diperoleh dengan tiga cara, yakni studi literatur, observasi lapang dan wawancara. Data yang dikumpulkan meliputi data analisis vegetasi, identifikasi jenis pakan, produktivitas pakan, ketersediaan pakan dan perilaku makan rusa sambar.

3.3.1 Metode analisis vegetasi

3.3.1.1 Analisis vegetasi untuk hutan dataran rendah dan hutan rawa air tawar

Parameter kuantitatif vegetasi diperoleh dengan metode kombinasi garis berpetak (Soerianegara & Indrawan 1988). Penempatan plot identifikasi vegetasi dilakukan secara sistematis dengan dasar lokasi yang diketahui merupakan tempat makan rusa sambar. Petak ukur yang digunakan berukuran 20 m x 20 m sebanyak 25 petak. Jarak antar petak ukur adalah 10 meter (Gambar 4). Pada setiap petak ukur dilakukan pengukuran terhadap semua tingkat pertumbuhan.

Sumber: Soerianegara dan Indrawan (1988) Keterangan:

A = untuk analisis tingkat semai (2 m x 2 m) B = untuk analisis tingkat pancang (5 m x 5 m) C = untuk analisis tingkat tiang (10 m x 10 m) D = untuk analisis tingkat pohon (20 m x 20 m).

Gambar 4 Pelaksanaan metode garis berpetak di lapangan untuk hutan dataran rendah dan hutan rawa air tawar.

Stadium pertumbuhan vegetasi dibedakan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 1988):

1. Semai (seedling), permudaan mulai kecambah sampai tinggi 1,5 m.

2. Pancang (sapling), permudaan yang tingginya lebih dari 1,5 m sampai pohon-pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm.

3. Tiang (pole), pohon-pohon muda yang berdiameter 10 cm hingga 20 cm. 4. Pohon dewasa (tree), pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm.

D C

B

A

(30)

3.3.1.2 Analisis vegetasi untuk padang rumput dan semak belukar

Semiadi (2006) melaporkan bahwa rusa sambar tergolong jenis ruminansia

intermediate, yakni rusa sambar selain sebagai browser juga bersifat sebagai

grazer. Oleh karena itu, analisis vegetasi di kawasan padang rumput dan semak belukar perlu dilakukan. Metode yang digunakan adalah jalur berpetak. Akan tetapi sebelumnya digunakan metode kurva species area untuk menentukan luasan petak ukur (Soerianegara & Indrawan 1988), yaitu dengan mendaftar jenis vegetasi yang terdapat pada suatu petak kecil. Luasan minimal yang didapatkan dalam satu plot adalah sama pada habitat padang rumput dan semak belukar yakni 2 m x 2 m (data terlampir). Banyaknya petak ukur yang digunakan dalam analisis vegetasi ini adalah 25 petak dengan jarak antar petak ukur 10 m. Sama halnya dengan analisis vegetasi di hutan dataran rendah dan hutan rawa air tawar, penempatan plot identifikasi vegetasi dilakukan secara sistematis dengan dasar lokasi yang diketahui merupakan tempat makan rusa sambar.

3.3.2 Identifikasi jenis tumbuhan dan bagian yang dimakan rusa sambar

Identifikasi jenis tumbuhan pakan dilakukan dengan menggunakan dua tahapan utama, yaitu:

1. Identifikasi jenis tumbuhan pakan secara langsung atau dengan melihat bekas makan rusa sambar yang dikuatkan dengan penemuan jejak atau kotoran (feces) rusa sambar di sekitarnya.

2. Identifikasi jenis tumbuhan pakan rusa secara tidak langsung dengan studi literatur meliputi :pakan rusa secara umum dan pakan rusa sambar dari hasil penelitian orang lain.

Hasil identifikasi ini kemudian dicek silang dengan jenis tumbuhan pakan rusa sambar yang ditemukan di lokasi penelitian.

3.3.3 Produktivitas tumbuhan pakan

(31)

kurang dari 4 meter dan pemotongan hanya pada daun yang masih muda. Interval waktu pemotongan selama 20 hari sebanyak 3 ulangan waktu. Penentuan waktu 20 hari didasari atas kemampuan hijauan pakan untuk beregenerasi kembali dan menghasilkan pakan yang kaya protein dan rendah serat sesuai kebutuhan rusa sambar (McIlory 1977). Petak ukur yang digunakan sebanyak 10 petak yang ditentukan secara sistematis dengan dasar lokasi yang pernah dijumpai rusa sambar pada setiap tipe habitat. Jarak antar petak contoh adalah 10 meter. Penghitungan produktivitas ini menggunakan 2 asumsi, yaitu: (1) terdapat 4 tipe habitat yang digunakan dalam penghitungan produktivitas dan (2) hanya 3 tipe habitat yang digunakan dalam perhitungan produktivitas. Asumsi ini digunakan karena pada buku statistika TN Tanjung Puting Tahun 2009, berdasarkan data citra yang digunakan, hutan dataran rendah Tanjung Paring dikategorikan sebagai hutan rawa primer. Hal ini dikarenakan pada musim penghujan hutan dataran rendah di Tanjung Paring akan tergenang akibat luapan danau di sekitarnya.

3.3.4 Potensi ketersediaan pakan

Data potensi ketersediaan pakan diperoleh dengan pengukuran biomassa terhadap tumbuhan yang merupakan pakan rusa sambar. Plot pengambilan contoh sama halnya dengan pengukuran produktivitas tumbuhan pakan. Jenis tersebut ditimbang berat basah dari setiap bagian tumbuhan (daun, ranting, dan batang) dengan masing-masing tiga kali ulangan.

3.3.5 Perilaku makan

(32)

pada dasarnya aktivitas mencari makan oleh rusa sambar dipengaruhi oleh

fotoperiod. Waktu aktif satwa tidak akan persis sama, dapat bergeser satu jam kedepan atau satu jam mundur (circadian). Perilaku yang dapat membedakan panjang relatif siang dan malam diatur oleh perubahan dalam fotoperiod.

Pencatatan waktu dalam aktivitas rusa menggunakan metode non-stop recording. Hal ini berarti pencatatan dilakukan terus-menerus pada beberapa perilaku dalam satu waktu pengamatan.

3.4 Analisis Data

Data yang telah diperoleh pada penelitian ini selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif.

3.4.1 Analisis deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk menguraikan perilaku harian rusa sambar seperti perilaku makan, aktivitas-aktivitas yang dilakukan rusa sambar sewaktu makan dan aktivitas lainnya. Selain itu, teknik analisis ini juga digunakan untuk menguraikan jenis pakan dan bagian yang dimakan oleh rusa sambar serta kondisi fisik dan keanekaragaman jenis vegetasi di lokasi penelitian. Hasil analisis ini dilengkapi dengan penyajian gambar untuk lebih memperkuat hasil diskripsi.

3.4.2 Analisis kuantitatif

2.4.2.1 Analisis vegetasi

Analisis vegetasi digunakan untuk mencari Indeks Nilai Penting (INP). Persamaan yang digunakan untuk mencari nilai penting tersebut adalah rumus Soerianegara dan Indrawan (1988):

Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis Luas unit contoh

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis

(33)

3.4.2.2 Pola penyebaran tumbuhan pakan

Pola penyebaran tumbuhan pakan rusa sambar dianalisis dengan indeks penyebaran berdasarkan Ludwig dan Reynold (1988). Data yang digunakan adalah hasil analisis vegetasi dengan jumlah plot (n) < 30, sehingga persamaan

X = rata-rata jumlah individu tiap jenis (individu)

χ2

= Nilai uji

n = jumlah petak ukur jenis pakan.

Kriteria yang digunakan adalah, jika:

χ2≤ χ2

0.975;maka jenis tumbuhan tersebut menyebar secara merata. χ2

0.975 < χ2 < χ2 0.0.25;maka jenis tumbuhan tersebut menyebar secara acak. χ2≥ χ2

0.025;maka jenis tumbuhan tersebut menyebar secara berkelompok. 3.4.2.3 Produktivitas tumbuhan pakan dan daya dukung kawasan

Produktivitas tumbuhan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (Garsetiasih 1990):

Keterangan:

P = Produktivitas hijauan (kg/ha/hari)

Bb = Biomassa tumbuhan setelah dilakukan pemotongan (kg) Lpu = Luas petak ukur (10-3 ha)

t = Interval waktu pemotongan (hari)

Kebutuhan makan rusa sambar antar individu menurut Staines et al.

(34)

Keterangan:

P = Produktivitas hijauan (kg/ha/hari) DD = Daya dukung kawasan (individu/ha) p.u = Proper use (0.70)

A = luas permukaan yang ditumbuhi rumput (ha) C = kebutuhan makan rusa (kg/ind/hari)

3.4.2.4 Potensi ketersediaan pakan

Untuk dapat menduga biomassa tumbuhan pakan rusa sambar dapat dilakukan melalui pendugaan ukuran bagian-bagian tumbuhannya (Soerianegara & Indrawan 1988). Pendugaan biomassa dilakukan untuk melihat produktivitas tumbuhan sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dalam menentukan banyaknya pakan yang tersedia di alam. Adapun rumus yang digunakan untuk mengetahui potensi ketersediaan pakan tiap jenis adalah:

Biomassa (Kg/ ha)= Kerapatan jenis/ ha x biomassa tumbuhan (kg)

3.4.2.5 Analisis data perilaku makan

Data perilaku makan yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis secara kuantitatif untuk mengetahui hubungan antar parameter dilakukan dengan uji Chi-square (χ2). Persamaannya yang digunakan adalah rumus Ludwig dan Reynold (1988), yaitu:

Keterangan:

χ2

= Nilai uji

Oi = Frekuensi hasil pengamatan

Ei = Frekuensi harapan

i = Kategori ke-i

Uji Chi-square ini dilakukan untuk menguji hipotesis, yaitu:

H0 = Kelas umur dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap lamanya waktu

makan.

H1 = Kelas umur dan jenis kelamin berpengaruh terhadap lamanya waktu makan.

Pengambilan kesimpulan atas uji hipotesisi tersebut dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:

Jika χ2 hitung > tabel, maka tolak H0 dan terima H1

Jika χ2 hitung < tabel, maka terima H0 dan tolak H1

Pengujian akan dilakukan pada selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas (db) = (b-1) (k-1), dengan b adalah baris dan k adalah kolom.

χ2

= Σ (Oi - Ei)2

(35)

IV. KONDISI UMUM

4.1 Letak, Luas dan Status Kawasan

Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) merupakan perpaduan kawasan pantai, hutan rawa dan dataran rendah. Secara administrasi pemerintahan, TNTP terletak di Kalimantan Tengah, tepatnya di Kabupaten Kotawaringin Barat (240.778 ha) yang meliputi Kecamatan Kumai serta Kabupaten Seruyan (174.202 ha). yang meliputi Kecamatan Hanau, Danau Semburan, dan Seruyan Hilir. Batas wilayah sebelah utara

Taman Nasional Tanjung Puting ditetapkan sebagai Cagar Biosfer oleh UNESCO pada tahun 1977 dengan dasar perlindungan terhadap satwa langka yaitu bekantan (Nasalis larvatus) dan Orangutan (Pongo pygmaeus) (Soedjito 2004). Upaya untuk melindungi kedua satwa langka tersebut telah dimulai sejak tahun 1936/1937 oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan ditetapkannya Cagar Alam Sampit dan Suaka Margasatwa Kotawaringin seluas 305.000 hektar.

Setelah kemerdekaan berdasarkan Surat Pernyataan No.736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 tentang Calon Taman-Taman Nasional, disebutkan bahwa Suaka Margasatwa Tanjung Puting dinyatakan sebagai Calon Taman

Gambar 5 Peta kawasan Taman Nasional Tanjung Puting.

(36)

Nasional dengan luas 355.000 ha. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan No.46/Kpts/VI-Sek/84 tanggal 11 Desember 1984, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam mengubah status Suaka Margasatwa Tanjung Puting seluas 300.040 ha menjadi taman nasional. Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting kemudian diperluas melalui SK Menteri Kehutanan No. 687/kpts-II/1996 tanggal 25 Oktober 1996 menjadi 415.040 ha yang terdiri dari Suaka Margasatwa Tanjung Puting (300.040 ha), hutan produksi eks. PT Hesubazah (90.000 ha), dan kawasan daerah perairan sekitar 25,000 ha (Ditjen PHKA 2007). Pada tahun 2009 kawasan Taman Nasional Tanjung Puting dibagi menjadi 9 zonasi yang belum definitif (Tabel 1).

Tabel 1 Rencana luasan zonasi kawasan Taman Nasional Tanjung Puting

No. Zona Luas (Ha) Persen (%)

1 Inti 115.260 27,77

2 Rimba 95.693 23,06

3 Pemanfaatan Intensif 1.045 0,25

4 Pemanfaatan Khusus 8.861 2,13

5 Pemanfaatan Terbatas 2.458 0,59

6 Rehabilitasi 98.659 23,77

Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) memiliki topografi relatif datar sampai bergelombang dengan ketinggian tempat bervariasi dari 0 sampai 1000 m dpl. Beberapa pegunungan yang rendah dan bergelombang terdapat di bagian utara hingga bagian selatan. Akan tetapi di bagian selatan dari Sungai Sekonyer tidak terdapat pegunungan atau bukit. Anak-anak sungai telah terbentuk karena terjadinya luapan air sungai pada waktu musim hujan. Sedangkan di bagian tengah kawasan taman nasional banyak dijumpai natai atau tanah tinggi.

Natai ini terisolasi oleh rawa atau danau yang besar dan jarang dijumpai pepohonan. Keadaan ini akan lebih tampak terutama pada musim hujan, yaitu antara bulan Oktober sampai dengan Februari (Soedjito 2004).

(37)

berlumpur mulai dari muara Sungai Sekonyer ke selatan sampai Sungai Arut Tebal. Kawasan Tanjung puting juga mengalami pendangkalan pasir dan lumpur setiap tahun yang bergerak ke arah selatan dan barat (Ditjen PHKA 2007).

4.2.2 Geologi dan tanah

Secara geologis kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) relatif berumur muda dengan kawasan berawa-rawa datar yang meluas ke pedalaman sekitar 5−20 km. Jenis bebatuan yang menjadi komponen penyusun kawasan TNTP sebagian besar adalah sedimen aluvial dengan bentuk fisik tanah berlumpur dan miskin hara (Soedjito 2004).

Pada umumnya tanah di kawasan TNTP adalah miskin hara. Oleh karena itu, jenis tanah ini hanya mampu mendukung usaha pertanian secara temporer. Semua tanah di TNTP memiliki kisaran pH antara 3.8 hingga 5.0 sehingga dikategorikan asam. Tanah-tanah sekitar anak-anak sungai dicirikan oleh suatu lapisan top soil

yang berwarna abu-abu kecoklatan serta suatu lapisan sub soil yang lengket yang juga berwarna abu-abu kecoklatan (Soedjito 2004).

Tanah di rawa-rawa daerah hulu memiliki kandungan unsur organik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan formasi gambut lainnya yang tersebar luas di kawasan TNTP dengan ketebalan mencapai 2 meter. Jalur-jalur tanah tinggi yang mendukung tumbuhnya hutan tanah kering (dry land forest) memiliki kandungan pasir yang lebih tinggi berupa pasir kuarsa putih. Namun kandungan pasir ini telah tercuci habis akibat adanya perubahan zat besi menjadi senyawa-senyawa besi serta terlarutnya unsur-unsur ini (Ditjen PHKA 2007).

4.2.3 Iklim

Kawasan ini tergolong beriklim ekuatorial bercurah hujan berkisar antara 2.000 hingga 3.000 m dengan rata-rata 2.400 mm/tahun. Kisaran suhu udara minimun antara 18° sampai 21° C dan maksimum 31°−33° C, serta kelembaban udara nisbi antara 55% hingga 98%. Sehingga berdasarkan klasifikasi Schmidt & Ferguson kawasan ini termasuk dalam iklim A (Ditjen PHKA 2007).

4.3 Kondisi Biologi

4.3.1 Ekosistem

(38)

kerangas, ekosistem hutan rawa air tawar, ekosistem hutan rawa gambut, ekosistem hutan bakau, ekosistem hutan pantai dan ekosistem hutan sekunder (Ditjen PHKA 2007).

4.3.2 Flora

TNTP sebenarnya memiliki potensi bagi pengembangan wilayah Kalimantan Tengah secara berkelanjutan. Keanekaragaman ekosistemnya mulai dari hutan pesisir pantai, lahan basah mangrove, rawa air tawar, hutan gambut, hingga hutan daratan dataran rendah, hutan kerangas, serta sebagian diantaranya berupa semak belukar dan hutan sekunder. Formasi pantainya ditumbuhi cemara (Casuarina sp.), pandan (Pandanus tectorius), keben (Barringtonia asiatica),

nyamplung (Calophylum inophyllum), dudulan (Scaevola sp.), dan katang-katang (Ipomoea pes-capre). Tumbuhan lahan basah mangrove dan rawa gambut umumnya adalah bakau (Rhizophora sp.), pedada (Sonneratia sp.), butun

(Barringtonia sp.), nipah (Nypa fruticans), pulai (Alstonia scholaris), jelutung (Dyera lowii), antumbus (Campnosperma sp.),nyatoh (Palaquium sp.) dan gaharu (Gonystylus bancanus). Jenis pohon belangiran (Shorea belangeran) banyak tumbuh di pingiran rawa gambut. Sedangkan flora khas pinggiran Sungai Sekonyer adalah pandan (Pandanus sp.)dan bakung (Crinum asiaticum) (Soedjito 2004).

Ekosistem hutan dataran rendahnya sangat kaya jenis diantaranya adalah meranti dan tengkawang (Shorea sp.) keruing (Dipterocarpus sp.), kayu ulin

(Eusideroxylon zwageri) dan berbagai jenis dari marga Alstonia, Beckia, Campnosperma, Castanopsis, Dacrydium, Diospyros, Durio, Eusgenia, Ganua, Hopea, Jackia, Licuala, Lithocarpus, Melaleuca, Mesua, Palaquium, Schima, Tetramerista, dan Vatica. Selain tumbuhan berkayu, terdapat juga berbagai jenis rotan, anggrek, paku-pakuan, dan tumbuhan bawah lainnya seperti kantong semar (Nepenthes sp.) (Soedjito 2004).

4.3.3 Fauna

(39)

stormi) masih dijumpai di danau yang berada dalam kawasan taman nasional. Satwa langka endemik lain yang mudah ditemukan adalah orangutan (Pongo pygmaeus) dan bekantan (Nasalis larvatus) (Soedjito 2004). Selain itu, satwa langka lainnya adalah klampiau (Hylobates agilis), lutung merah (Presbytis rubicunda), lutung abu-abu (Trachypithecus cristatus), monyet (Macaca fascicularis dan Macaca nemestrina), beruang (Helarctos malayanus), sambar

(Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulusjavanus), macan dahan (Neofelis nebulosa), kucing hutan (Felis bengalensis), babi hutan (Sus barbatus), dan tupai (Callosciurus notatus). Kawasan ini juga memiliki satwa yang berasosiasi dengan air seperti biawak (Varanus salvator), buaya muara

(40)

Keterangan:

(a) Hutan Dataran Rendah (b) Hutan Rawa Air Tawar (c) Padang Rumput (d) Semak Belukar

Gambar 6 Beberapa tipe habitat di kawasan Resort Teluk Pulai, Taman Nasional Tanjung Puting.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Habitat

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa Resort Teluk Pulai memiliki setidaknya 4 tipe habitat yang sebagian besar digunakan oleh rusa sambar yakni meliputi vegetasi hutan dataran rendah, hutan rawa air tawar, padang rumput dan semak belukar (Gambar 6). Selain sebagai penyedia pakan, hutan dataran rendah dan hutan rawa air tawar di Resort Teluk Pulai memiliki tutupan yang cukup rapat sehingga dimanfaatkan rusa sambar sebagai tempat berteduh (cover) dan menghindar dari gangguan predator atau manusia.

(a) (b)

(41)

Tanjung Paring sebagai perwakilan vegetasi hutan dataran rendah di Resort Teluk Pulai terletak di 50 KM dari pantai dan dapat diakses melalui Sungai Buluh Kecil (SBK) atau dari Camp Leakey. Kawasan hutan ini cukup datar dengan kelerengan rendah yakni < 5°. Pohon-pohon di Tanjung Paring memiliki ketinggian yang cukup bervariasi yakni 22 ± 10 m dengan tutupan tajuk yang hampir rapat hinggga rapat. Permukaan lantai hutan tertutupi oleh tanah yang terdiri dari serabut-serabut akar dan serasah. Kondisi ini disebabkan tipe hutan dataran rendah di lokasi penelitian termasuk dalam hutan dataran rendah sekunder. Hal lain yang menguatkan bahwa kawasan hutan Tanjung Paring pernah terganggu dan sedang mengalami suksesi adalah ditemukannya lewari (Schima wallichii) dan mahang (Macaranga hypoleuca) yang merupakan tumbuhan pioner dan menjadi tumbuhan dominan di kawasan ini pada tingkat pertumbuhan pohon dan tiang (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan pernyataan Setyawan (2000) bahwa lewari (Schima wallichii) merupakan tumbuhan kanopi pertama dan dapat tumbuh cepat pada bekas hutan yang ditebangi.

Selain itu hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 5 jenis Dipterocarpaceae yang dapat ditemukan di Tanjung Paring, yakni Bekapas (Vatica oblongifolia), Keruwing (Dipterocarpus elongatus), Lanan (Shorea ovalis), Meranti (Shorea leprosula) dan Rasak (Vatica rassak). Padahal menurut MacKinnon et al. (2000) hutan dataran rendah Kalimantan memiliki kekayaan jenis Dipterocarpaceae yang terbesar. Hal ini dikarenakan adanya praktek illegal logging terhadap kayu yang bernilai ekonomis tinggi di kawasan Sungai Buluh Kecil (SBK) pada tahun 1997-2000 sesuai laporan EIA-Telapak Indonesia (2003).

(42)

Tingkat dominasi tumbuhan dapat diidentifikasi melalui nilai INP-nya. Semakin tinggi nilai INP dari suatu jenis tumbuhan, maka semakin tinggi tingkat dominasi jenis tersebut di areal yang dikaji. Habitat hutan dataran rendah Tanjung Paring didominasi oleh jenis lewari (Schima wallichii) pada tingkat pohon dan tiang dengan INP masing-masing sebesar 54,32 pada tingkat pohon dan 39,94 pada tingkat tiang. Jenis dominan pada tingkat pancang adalah tembaras (Memecylon edule) dengan INP sebesar 23,97 dan pada tingkat pertumbuhan semai didominasi oleh jenis ribu-ribu (Lygodium microphyllum) dengan INP sebesar 34,45 (Tabel 2).

Tabel 2 Beberapa jenis tumbuhan dominan pada berbagai habitat di Resort Teluk Pulai

Tipe Habitat Tingkat

Pertumbuhan Nama Lokal Nama Ilmiah INP (%)

Hutan Dataran Rendah

Semai Ribu-Ribu Lygodium microphyllum 34,45

Ubar Merah Syzygium leucoxylum 21,43

Pancang Tembaras Memecylon edule 23,97

Ubar Merah Syzygium leucoxylum 18,89

Tiang Lewari Schima wallichii 39,94

Bulin Payak ??? 27,73

Pohon Lewari Schima wallichii 54,32

Idat Cratoxylon glaucum 17,71 Tumbuhan

Bawah

Langkur Tinomiscium petiolare 152,59 Ubi Hantu Dioscorea esculenta 23,70 Hutan Rawa

Air Tawar

Semai Poga Santiria laevigata 20,78

Medang Actinodaphne sp. 15,32

Pancang Ketiau Ganua motleyana 15,50

Bedaru Cantleya corniculata 14,63

Tiang Bedaru Cantleya corniculata 24,68

Bekapas Vatica oblongifolia 20,69

Pohon Ketiau Ganua motleyana 41,68

Kelakai Stenochlaena palustris 34,72

(43)

dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Lokasi ini tidak terlalu jauh dari pantai yakni 15 KM. Kawasan hutan rawa ini cukup datar dengan kelerengan < 5°. Jenis-jenis pohon memiliki tinggi yang bervariasi mulai dari < 10 m hingga > 30 m. Sungai utama memiliki lebar sungai yang lebih besar jika dibandingkan dengan lebar sungai di Buluh Kecil. Hal ini berdampak pada lamanya waktu yang dibutuhkan oleh Sungai Buluh Besar untuk mengalami surut kembali. Hal ini menyebabkan habitat rawa di kawasan ini selalu tergenang dengan ketinggian 20−120 cm. Pada beberapa tempat terdapat sungai-sungai kecil yang memiliki aliran hingga ke dalam hutan rawa. Dalam hutan rawa sendiri pada bagian yang hampir kering terkadang terdapat beberapa bekas kubangan yang diidentifikasi merupakan kubangan rusa sambar (Gambar 7).

Gambar 7 Kubangan rusa sambar yang teridentifikasi di habitat rawa air tawar. Habitat di hutan rawa air tawar didominasi oleh jenis ketiau (Ganua motleyana) pada tingkat pohon (INP= 41,68) dan pancang (INP= 15,50). Jenis bedaru (Cantleya corniculata) dengan INP sebesar 24,68 mendominasi tumbuhan pada tingkat tiang sedangkan pada tingkat semai dengan INP sebesar 20,78 didominasi oleh poga (Santiria laevigata). Tumbuhan dominan ini diketahui merupakan jenis yang juga dapat ditemukan di hutan dataran rendah juga seperti ketiau (Ganua motleyana), poga (Santiria laevigata) dan medang (Actinodaphne

Gambar

Gambar 1 Daerah penyebaran rusa sambar di dunia.
Gambar 2 Pejantan tua rusa sambar.
Gambar 3 Pola penyebaran individu suatu populasi secara mendatar dalam komunitas.
Gambar 4  Pelaksanaan metode garis berpetak di lapangan untuk hutan dataran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat kesamaan jenis tumbuhan yang juga merupakan salah satu pakan yang disukai oleh orangutan sumatera di Taman Nasional Gunung Leuser dan orangutan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan Bekantan ( Nasalis larvatus ) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah

Terkait dengan alang-alang sebagai jenis yang lebih disukai diantara jenis-jenis tumbuhan pakan yang ditemukan dimakan rusa, antara lain juga dilaporkan oleh

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan Bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah

Tesis dengan judul “Profil Metabolit Hormon Estrogen dan Progesteron Feses selama Kebuntingan serta Pola Kelahiran Rusa Sambar (Cervus unicolor)” merupakan salah satu syarat