• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN PAKAN BEKANTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN PAKAN BEKANTAN"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KEANEKARAGAMAN

JENIS TUMBUHAN PAKAN BEKANTAN (Nasalis larvatus)

DI TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING

KALIMANTAN TENGAH

(Studi Kasus di Areal Research Pondok Ambung )

ELISA FEBRI BETHESMAN PURBA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(2)

STUDI KEANEKARAGAMAN

JENIS TUMBUHAN PAKAN BEKANTAN (Nasalis larvatus)

DI TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING

KALIMANTAN TENGAH

(Studi Kasus di Areal Research Pondok Ambung )

ELISA FEBRI BETHESMAN PURBA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(3)

SUMMARY

Elisa Febri Bethesman Purba. E34104002. Study of Feed Variety in Bekantan

(Nasalis larvatus), at Tanjung Puting National Park, Center Kalimantan (Case Study

in Pondok Ambung Areal Research). Under supervision of Dr. Ir. Yanto Santosa,

DEA.

Bekantan (Nasalis larvatus) is one of an endemic primate in Indonesia,

especially in Kalimantan and this species protected by the law. Bekantan had a

priority to be an object in food ecology research because of this species is rare and

also endemic. Their habitat limited in forest around the rivers, mangrove and peat

swamp forests and nowadays some of that threatened by human activities. On

February, 22

nd

2008 fire attack Pondok Ambung Areal Research part of Tanjung

Puting National Park which burned around 5,6 ha. This damage decrease the number

of bekantan population along the year. Because of that, conservation action needed

into population of bekantan, ecosystem of peat swamp forest and swamp forest

around the rivers. Study about food variety in bekantan especially at Tanjung Puting

National Park, Province of Center Kalimantan really important as an a conservation

action in population of bekantan.

Direct and indirect identification of feed variety was used as method to collect

the data. Direct observation was conducted for 12 days on 4 groups of bekantan.

Vegetation analyze was conducted by using line transect method.

This study found 11 species that consumed by bekantan in 12 observation

days. From 12 time monitoring, most after consumed vegetation is Genua motleyana,

but they just consumed the leaves. Crudia teysmanii and Eugenia zeylanica are

another choice often Genua motleyana. In Eugenia zeylanica, bekantan just

consumed the flowers and leaves. Comparison between leaves : flowers : fruit is 79%

: 18 % : 3%. Result from vegetation analysis in swamp forest and lowland forest

found 22 food variety of bekantan. Result from species diversity indexs

(Shannon-Wieners index) showed foods variety level in swamp forest is more diverse than in

lowland forest. This difference may influenced by difference of seasons that related to

tree phenology.

If was found 22 foods species of bekantan in swamp forest and lowland forest,

among them Genua motleyana, Syzygium leucoxylon, Neoscortechinia sp., Eugenia

zeylanica and Crudia teysmanii. Bekantan prefer to consumed leaves than flowers

and fruits.

(4)

RINGKASAN

Elisa Febri Bethesman Purba. E34104002. Studi keanekaragaman Jenis

Tumbuhan pakan Bekantan (Nasalis larvatus) Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (Studi Kasus di Areal Research Pondok Ambung). Dibimbing oleh Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.

Bekantan (Nasalis larvatus) salah satu jenis primata yang terdapat di Indonesia merupakan primata endemik dari pulau Kalimantan yang dilindungi oleh undang-undang. Jenis primata ini perlu diprioritaskan untuk diteliti ekologi pakannya karena jenis ini tergolong langka dan endemik dengan habitat terbatas pada hutan di sekitar sungai, hutan bakau dan rawa gambut yang sebagian telah terancam oleh berbagai aktivitas manusia. Pada tanggal 22 Februari 2008, di areal research Pondok Ambung yang merupakan salah satu bagian dalam kawasan Taman Nasional Tanjung Puting terjadi kebakaran yang mengakibatkan kurang lebih 5,6 ha hutan terbakar. Kerusakan tersebut dapat mengakibatkan populasi bekantan dapat menurun sepanjang tahunnya, sehingga perlu upaya pelestarian populasi bekantan dan ekosistem hutan rawa gambut serta hutan rawa disekitar sungai. Maka diperlukan penelitian studi keanekaragaman jenis tumbuhan pakan bekantan (Nasalis larvatus) khususnya di Taman Nasional Tanjung Puting, Provinsi Kalimantan sebagai upaya pelestarian populasi bekantan.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengidentifikasi jenis pakan bekantan secara langsung dan tidak langsung. Pengamatan langsung dilakukan selama 12 hari dengan pengamatan terhadap 4 kelompok bekantan. Analisis vegetasi dilakukan dengan metode garis berpetak.

Terdapat 11 jenis yang dimakan bekantan selama 12 hari pengamatan. Ganua motleyana yang paling sering dimakan bekantan dari 12 kali pengamatan 12 kali bekantan terlihat memakan jenis ini, bekantan hanya memakan bagian daunnya saja. Crudia teysmanii dan Eugenia zeylanica merupakan jenis pakan yang disukai bekantan setelah Ganua motleyana. Untuk jenis Eugenia zeylanica, bekantan memakan bagian bunga dan daun. Bekantan memakan bagian daun sebesar 79%, bagian bunga sebesar 18% dan bagian buah sebesar 3%. Dari hasil analisis vegetasi di hutan rawa dan hutan dataran rendah terdapat 22 jenis pakan bekantan. Dilihat dari indeks keanekaragaman jenis (indeks Shannon-Wieners) tingkat keanekaragaman pakan bagi bekantan di hutan rawa lebih beranekaragam dibanding dengan di hutan dataran rendah. Perbedaan ini dapat dipengaruhi oleh perbedaan waktu (musim) yang erat kaitannya dengan fenologi pohon.

Terdapat 22 jenis pakan bekantan di hutan rawa dan hutan dataran rendah, diantaranya terdapat 5 jenis pakan yang disukai oleh bekantan yaitu Ganua motleyana, Syzygium leucoxylon, Neoscortechinia sp., Eugenia zeylanica dan Crudia teysmanii. Bekantan lebih dominan mengkonsumsi bagian daun dibanding bagian bunga dan buah. 

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan Bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (Studi Kasus di Areal research Pondok Ambung) adalah benar – benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing skripsi dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

 

Bogor, Januari 2009

Elisa Febri Bethesman Purba

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan Bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (Studi Kasus di Areal Research Pondok Ambung)

Nama : Elisa Febri Bethesman Purba

NRP : E34104002

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA Nip. 131 430 800

Mengetahui

Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,

Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr Nip. 131 578 788

(7)

  i

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas izin dan kemudahan-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih yaitu Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan Bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Tujuan pembuatan skripsi ini adalah untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan pakan bekantan serta memperoleh data dan informasi mengenai keanekaragaman jenis tumbuhan pakan bekantan di hutan alam. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang keanekaragaman jenis tumbuhan pakan bekantan di hutan alam dan dapat digunakan sebagai panduan dalam kegiatan rehabilitasi lahan bagi kehidupan bekantan, ketika habitatnya mengalami gangguan..

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik pada saat penyusunan proposal, pelaksanaan kegiatan penelitian di lapangan dan pada saat penyelesaian skripsi ini. Dengan menyadari ketidaksempurnaan diri sebagai manusia, penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan terutama untuk pengelolaan kawasan konservasi di Taman Nasional Tanjung Puting.

Bogor, Januari 2009

Penulis

(8)

   

ii   

RIWAYAT HIDUP

Elisa Febri Bethesman Purba, dilahirkan di Medan pada tanggal 28 Februari 1986 sebagai anak ketujuh dari tujuh bersaudara pasangan Pendeta James Karmen Purba dan Penginjil wanita Nemmy Damanik. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Pematang Siantar dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan menjadi mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) khususnya Kelompok Pemerhati Flora (KPF) pada tahun 2005, Persekutuan Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB, Ikatan Mahasiswa Siantar dan Sekitarnya (IKANMAS). Pada periode 2006-2007 menjabat sebagai Pengurus Persekutuan Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB.

Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di CA Kamojang, CA Leuweung Sancang dan Perum Perhutani KPH Sukabumi pada tahun 2007. Pada tahun 2008, penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di TN Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian skripsi dengan judul Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (Studi Kasus di Areal Research Pondok Ambung) di bawah bimbingan Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.

(9)

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan

rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Studi Keanekaragaman Jenis

Tumbuhan Pakan bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Tengah (Studi Kasus di Areal research Pondok Ambung). Pada kesempatan ini, penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi

ini :

1. Tuhan Sang Pencipta, Kekuatan dan Inspirasi-Nya adalah tangan yang menyusun

kata-kata ini.

2. Untaian rasa syukur tiada henti kehadirat Sang Pencipta yang memberikan mama

Nemmy Damanik dan bapa James Karmen Purba sebagai orangtuaku dengan segala kasih

sayang dan cintanya yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan doa, moril, dan

materiil.

3. Untaian rasa syukur kepada keluarga besar : Keluarga bang Rikardo Purba, Keluarga

bang Hendrik Purba, keluarga bang Toni Purba, Keluarga bang Kharisma Purba, abang

Erwin Purba dan abang Jhon Edi Purba.

4. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA selaku pembimbing skripsi atas bimbingan, masukan, diskusi

dan nasihat-nasihat yang diberikan kepada penulis.

5. Ir. Suwarno Sutarahardja selaku dosen penguji dalam ujian komprehensif dari perwakilan

Departemen Manejemen Hutan.

6. Arinana, S. Hut, M. Si selaku dosen penguji dalam ujian komprehensif dari perwakilan

Departemen Teknologi Hasil Hutan.

7. Bapak Ir. Yohanes Sudarto, MSc. Selaku Kepala Balai Taman Nasional Tanjung Puting

yang telah memberikan ijin dan dukungan dalam penelitian ini.

8. Prof. Birute Marija Filomena Galdikas. Selaku president OFI (Orangutan Foundation

International) atas dukungan moril maupun finansial selama penulis melaksanakan

penelitian.

9. Drs. Al Zaqie, Selaku Manager Projek OFI (Orangutan Foundation International) atas

saran dan masukan selama penulis melaksanakan penelitian.

(10)

iv

10. Seluruh staf OFI (Orangutan Foundation International), Mas Fajar, Mas Ivran, Mas

Robet, Mas Adi, Mas Hendra, Mas Jikun, Mba Floren atas bantuan yang diberikan

selama penulis melaksanakan penelitian.

11. Lesan, Pawi, Bang Dudin, Pak Engkot, Om Cecep, Bang Iim, Bang Kis, Bang Manto,

serta asisten lapang lainnya yang selalu siap membantu kegiatan lapang serta

memberikan masukan selama penulis melaksanakan penelitian.

12. Bang Togu, Ka Devis, Mba Isna, dan kawan-kawan Yayorin-OFUK.

13. Batak’ers yang berada di FAHUTAN atas persaudaraan dan perjuangan kita selama ini.

14. Andri Ginting, Sangkot V. R. Situngkir dan Edward Usboko untuk persahabatan dan

kegilaan kita selama ini,

15. Pengurus Persekutuan Fakultas Kehutanan IPB tahun 2006/2007 (Andri Ginting,

Melincah Naibaho, Katherin, Novi, dan Lilis Tambunan) untuk kerjasama dan dukungan

doanya.

16. Keluarga besar KSH 41 “emang beda lah..” atas segala dukungan, kebersamaan,

kekompakan, semua hal yang dilakukan bersama, semua hal-hal yang bikin aneh, bikin

kita kompak selalu.

17. Special thanks Nuri Fathia (Pan”) atas kasih sayang, dukungan serta semangat yang

dicurahkan dan yang diberikan.

18. Tim se-perjuangan PKLP dan penelitian Taman Nasional Tanjung Puting : Dede, Hendra,

Eko dan Ai.

19. Teman-teman se-perjuangan dalam HIMAKOVA.

20. Anak-anak tongkrongan Budak Bageur yang selalu berbagi keceriaan bersama (Boy,

Yandri, Andri, Adi, Kaka, Tumpal, Heru, Dwi, dan yang tidak dapat disebutkan satu

persatu).

21. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis menyadari dalam penulisan Skripsi ini masih banyak kekurangan dan

jauh dari kesempurnaan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas semua

dukungan, doa, saran dan kritik yang diberikan untuk penulisan skripsi ini.

(11)

v

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... .

i

RIWAYAT HIDUP... ii

UCAPAN TERIMA KASIH...

iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi ... 3

2.2 Morfologi ... ... 4

2.3 Habitat ... 7

2.4 Penyebaran ... 8

2.5 Pakan ...………….. 9

2.6 Perilaku Makan (Ingestive Behaviour) ………... 10

III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat ……….. 12

3.2 Bahan dan Alat ... 12

3.3 Pengenalan Lapangan (Orientasi) ... 12

3.4 Metode Pengambilan Data ... 12

3.4.1 Identifikasi Jenis Pakan Bekantan (Nasalis larvatus) ... 12

3.4.2 Analisis Vegetasi ... 13

3.4.3 Pembuatan Herbarium ... 14

(12)

vi

3.5. 1 Data Primer ... 15

3. 5. 2 Data Sekunder ... 15

3.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 16

3.6.1 Indeks Nilai Penting ... 16

3.6.2 Tingkat Keanekaragaman Jenis ... 17

IV KONDISI UMUM PENELITIAN

4.1 Sejarah dan Status Kawasan Taman Nasional Tanjung ... 18

4.2 Kondisi Fisik Taman Nasional Tanjung Puting ... 20

4.2.1 Geologi ... 20

4.2.2 Tanah …... 20

4.2.3 Topografi ... 21

4.2.4 Hidrologi ... 21

4.2.5 Iklim ………. ... 22

4.3 Kondisi Biotik Taman Nasional Tanjung Puting... 22

4.3.1 Flora ... 23

4.3.2 Fauna ... 23

4.4 Aksesibilitas ……… 27

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Jenis Tumbuhan Pakan Bekantan ... 28

5.2 Perilaku Makan ... 35

5.2.1 Lokasi Makan ... 35

5.2.2 Waktu Makan ... 39

5.3 Struktur dan Komposisi Vegetasi ……… 40

5.3.1 Vegetasi Hutan Rawa ……….... 41

5.3.1.1 Tingkat Semai ………. 41

5.3.1.2 Tingkat Pancang ……….. 42

5.3.1.3 Tingkat Tiang ……….. 43

5.3.1.4 Tingkat Pohon ………. 44

5.3.2 Vegetasi Hutan Dataran Rendah ... 46

5.3.2.1 Tingkat Semai ………. 46

(13)

vii

5.3.2.3 Tingkat Tiang ……….. 48

5.3.2.4 Tingkat Pohon

 

………. 49

           

V KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 51

6.2 Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 53

LAMPIRAN ... 56

(14)

viii

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Perbedaan morfologi antar bekantan jantan dengan betina …………. 6

2. Klasifikasi Struktur Umur Bekantan ……… 6

3. Frekuensi Bagian Pakan Bekantan ……… 28

4. Tingkat Kesukaan Bekantan Terhadap Pakan Pada Setiap Bulan…... 31

5. Daftar Jenis Pohon yang Dimakan Nasalis larvatus………. 32

6. Jumlah Kelompok Bekantan Yang Diamati………. 36

7. Analisis Vegetasi Tingkat Semai (15 jenis dengan nilai INP tinggi) .. 41

8. Analisis Vegetasi Tingkat Pancang (15 jenis dengan nilai INP tinggi). 42

9. Analisis Vegetasi Tingkat Tiang (15 jenis dengan nilai dominansi tinggi)……… 43

10. Analisis Vegetasi Tingkat Pohon (15 jenis dengan nilai dominansi tinggi)……… 44

11. Analisis Vegetasi Tingkat Semai (15 jenis dengan nilai INP tinggi) .. 46

12. Analisis Vegetasi Tingkat Pancang (15 jenis dengan nilai INP tinggi)……… 47

13. Analisis Vegetasi Pada Tingkat Tiang (15 jenis dengan nilai dominansi tinggi)……… 48

14. Analisis Vegetasi Tingkat Pohon (15 jenis dengan nilai dominansi tinggi)……… 49

(15)

ix

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Plot contoh untuk analisis vegetasi………. 14

2. Peta Studi Area Pondok Ambung……… ... 18

3. Peta Taman Nasional Tanjung Puting……….. 19

4. Frekuensi bagian yang dimakan oleh bekantan …….……… .... 31

5. Indeks keanekaragaman jenis pakan bekantan di hutan rawa dan hutan dataran rendah ... 35

6. Ketinggian bekantan makan pada pohon dengan ketinggian 3 – 10 m dari permukaan air sungai. Daun rasau (A) dan daun muda Parastemon urophyllus (B). ... 36

7. Bekantan makan pada ujung pohon ... 37

8. Bekantan menggunakan kedua tangannya untuk menarik ranting yang kemudian menggunakan mulut untuk mengambilnya... 38

9. Piramida kerapatan semai (S), pancang (Pa), tiang (T), dan pohon (Po). (a) Genua motleyana, (b) Syzygium leucoxylon ………. . 45

(16)

   

x

 

DAFTAR LAMPIRAN

No.

Halaman

1.

Jenis Pakan Bekantan Berdasarkan Bagian yang Dimakan ……….

57

2.

Jumlah Bekantan dalam Kelompok yang Diamati ………...

58

3.

Analisis Vegetasi Tingkat Semai Pada Hutan Rawa ………...

59

4.

Analisis Vegetasi Tingkat Pancang Pada Hutan Rawa ………...

61

5.

Analisis Vegetasi Tingkat Tiang Pada Hutan Rawa ………

64

6.

Analisis Vegetasi Tingkat Pohon Pada Hutan Rawa ………...

66

7.

Analisis Vegetasi Tingkat Semai Pada Hutan Dataran Rendah ………..

69

8.

Analisis Vegetasi Tingkat Pancang Pada Hutan Dataran Rendah ………..

72

9.

Analisis Vegetasi Tingkat Tiang Pada Hutan Dataran Rendah ………..

76

10. Analisis Vegetasi Tingkat Pohon Pada Hutan Dataran Rendah ……….

79

11. Gambar Daun Pakan Bekantan ………

82

12. Gambar Hutan Rawa (a) dan Hutan Dataran Rendah (b) ………

83

13. Gambar Kegiatan Analisis Vegetasi (a) dan Pembuatan Herbarium (b) ……….

83

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bekantan (Nasalis larvatus) adalah salah satu jenis primata yang terdapat di Indonesia merupakan primata endemik dari pulau Kalimantan yang dilindungi oleh undang-undang (undang-undang No. 5 tahun 1990 dan ordonansi perlindungan binatang-binatang liar No.266 tahun 1931). Jenis satwa primata ini perlu diprioritaskan untuk diteliti ekologi makannya karena jenis ini tergolong langka dan endemik, dengan habitat terbatas pada hutan di sekitar sungai, hutan bakau dan rawa gambut yang sebagian telah terancam oleh berbagai aktivitas manusia. Di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah merupakan salah satu habitat bagi bekantan yang berupa hutan rawa gambut yang terdapat di sepanjang sungai.

Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting pada awalnya adalah kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Puting yang merupakan gabungan dari Cagar Alam Sampit dan Suaka Margasatwa Kotawaringin. Status kawasan suaka margasatwa ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1936-1937 dengan luas sebesar 305.000 ha yang berfungsi untuk perlindungan satwaliar jenis primata yaitu orangutan (Pongo pygmaeus) dan bekantan (Nasalis larvatus). Pada tanggal 12 Mei 1984 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 096/kpts-II/84 kawasan suaka alam ini ditetapkan menjadi kawasan taman nasional. Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 45/kpts/IV-Sek/84 tanggal 11 Desember 1984 wilayah kerja Taman Nasional Tanjung Puting ditetapkan meliputi areal Suaka Margasatwa Tanjung Puting dengan luas kawasan 300.040 ha.

Pada tanggal 22 Februari 2008, di areal research Pondok Ambung yang merupakan salah satu bagian dalam kawasan Taman Nasional Tanjung Puting terjadi kebakaran yang mengakibatkan kurang lebih 5,6 ha hutan terbakar. Jarak areal hutan yang terbakar dari pinggir sungai 70 m. Kebakaran ini mengakibatkan habitat bekantan mengalami gangguan. Kerusakan habitat bekantan di Taman Nasional Tanjung Puting dikarenakan adanya pembukaan lahan oleh masyarakat

(18)

sekitar taman nasional dengan cara membakar hutan, adanya kegiatan penambangan emas dan puya serta penebangan hutan.

Kerusakan-kerusakan tersebut mengakibatkan populasi bekantan dapat menurun sepanjang tahunnya, karena bekantan kurang toleran terhadap kerusakan habitat (Wilson dan Wilson, 1975; Yeager, 1992). Dengan demikian perlu upaya pelestarian populasi bekantan dan ekosistem hutan rawa gambut serta hutan rawa disekitar sungai. Dalam program pelestarian bekantan tersebut diperlukan informasi tentang keanekaragaman jenis pakan yang dimakan bekantan. Sumber pakan primata dalam habitat merupakan salah satu faktor ekologis yang sangat menentukan terhadap kelestarian populasi primata. Kualitas dan kuantitas pakan dapat berpengaruh pada perilaku, organisasi sosial primata dan perilaku pergerakan primata (Jolly, 1972). Karena sumber pakan merupakan faktor ekologis yang sangat menentukan terhadap kelestarian populasi bekantan, maka diperlukan penelitian mengenai studi keanekaragaman jenis tumbuhan pakan bekantan (Nasalis larvatus) khususnya di Taman Nasional Tanjung Puting, Provinsi Kalimantan Tengah.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi jenis tumbuhan pakan bekantan.

2. Memperoleh data dan informasi mengenai keanekaragaman jenis tumbuhan pakan bekantan di hutan alam.

1.3 Manfaat Penelitian

1. Menambah pengetahuan tentang keanekaragaman jenis tumbuhan pakan bekantan di hutan alam.

2. Sebagai panduan kegiatan rehabilitasi lahan bagi kehidupan bekantan, ketika habitatnya mengalami gangguan.

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi

Genus Nasalis atau lebih dikenal dengan nama lain “Proboscis Monkey” diberikan oleh Geoffroy St. Hilaire melalui publikasinya yang berjudul “Tablean des Quadrumanes” pada tahun 1812. Sebelumnya pada tahun 1781 Van Wurmb telah memberikan nama Cercopithecus larvatus pada satwa ini (Martin, 1837 dalam Mardiastuti, 1982). Genus lain yang masih erat hubungannya dengan bekantan adalah “Snub-nosed Monkey” (Rhinopithecus) dari Cina Barat, Tonkin dan Kepulauan Mentawai, Sumatera (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1978).

Nasalis terbagi lagi menjadi 2 jenis, yaitu Nasalis concolor yang hidup endemik di Kepulauan Mentawai dan Nasalis larvatus yang hidup endemik di Pulau Kalimantan (Bismark, 1984)

Menurut Napier and Napier (1967), bekantan (Nasalis larvatus) diklasifikasikan sebagai berikut :

Ordo : Primata Linnaeus, 1758 Sub Ordo : Anthropoidea Mivart, 1864 Super famili : Cercopitheciodea Simpson, 1931 Famili : Cercopithecidea Gray, 1821 Sub Famili : Colobinae Elliot, 1913 Genus : Nasalis E. Geoffroy, 1812 Spesies : Nasalis larvatus Wurmb, 1781

Selanjutnya Chasen (1940) membedakan lagi bekantan menjadi dua sub spesies yaitu Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis larvatus orientalis. N.l. larvatus memiliki kepala yang berwarna lebih gelap, punggung sebelah bawah lebih kaya akan warna dibandingkan punggung dan bahu bagian depan yang berwarna lebih coklat. Sub spesies ini ditemukan di Pontianak, Kalimantan Barat. N. l. orientalis memiliki warna kepala yang tidak begitu jelas, bagian atas lainnya

(20)

berwarna lebih pucat tetapi seragam, punggung dan bagian atas berwarna agak kelabu. Sub spesies ini dapat ditemukan di Bulungan, Kalimantan Utara.

Bekantan juga dikenal dengan nama lokal bekara, raseng, pika, batangan (Arief, 1998), kahau (Direktorat Jenderal Kehutanan 1978; Payne, Prancis dan Phillipps, 2000), kera belanda (LBN, 1982) dan monyet belanda (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1978; Arief, 1998). Sedangkan dalam bahasa Inggris bekantan disebut “Proboscis Monkey” (Napier and Napier, 1967; Direktorat Jenderal Kehutanan, 1978; Yasuma and Alikodra, 1990; Payne et al., 2000) atau “Long-nosed Monkey” (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1978).

2.2 Morfologi

Bekantan memiliki ciri khusus yang tidak dijumpai pada jenis primata lain, yaitu hidung yang besar dan khas pada yang jantan dan dapat mencapai panjang lebih dari 7,5 cm. Pada bekantan jantan hidung tersebut terus berkembang walaupun bekantan sudah mencapai fase dewasa. Hidung pada jantan dewasa panjang seperti umbi dan melengkung ke bawah. Para ahli ada yang berpendapat bahwa hidung jantan tersebut adalah hasil adaptasi seleksi. Betina lebih tertarik pada jantan yang berhidung besar. Hidung betina dan bekantan muda lebih kecil, kurang lebih seukuran dengan hidung manusia dan mencuat ke atas. Bentuk hidung jantan yang unik ini digunakan untuk mengeraskan suara ketika ia mengeluarkan pekikan penandaan teritorial (Napier and Napier, 1967). Bekantan jantan yang mempunyai hidung paling besar berhak dinobatkan menjadi pemimpin kelompok (Suharyo, 2002).

Ciri khas yang lain yang dimiliki bekantan adalah perut mereka yang buncit. Hal ini dikarenakan daun-daunan yang merupakan bahan makanan bekantan mempunyai nutrisi yang rendah, sehingga untuk memenuhi kebutuhan energi dan nutrisinya, bekantan harus makan daun-daunan dalam jumlah yang besar (Suharyo, 2002)

Bekantan memiliki warna tubuh yang bervariasi. Tubuh bagian atas umumnya berwarna kuning keabu-abuan pucat dan kusam sampai coklat merah, lebih gelap pada punggung bagian atas dan mempunyai semacam tudung tengguli

(21)

pada bagian atas kepala (Payne et al., 2000), yang digambarkan oleh Yasuma and Alikodra (1990) sebagai rambut merah yang menyerupai topi pada bagian atas kepala. LBN (1982) menjelaskan bahwa rambut berwarna kuning coklat kemerah-merahan, terutama di kepala dan punggung bagian atas. Bagian belakang atau punggung berwarna merah bata (Napier and Napier, 1967). Ekor dan pantat keputih-putihan, terutama pada jantan dewasa (Payne et al., 2000). Ketika duduk di pohon, ekornya bergantung vertikal ke bawah (Yasuma and Alikodra, 1990; Payne et al. 2000). Pada bagian tubuh lainnya rambut berwarna coklat pucat dan kelabu putih terutama di dada, perut, dan ekor (LBN, 1982). Jantan dewasa memiliki kerah pucat di sekeliling leher bagian depan dan kedua sisinya (Payne et al., 2000).

Bagian wajah bekantan berwarna merah tua kecoklatan dan tidak berbulu, sedangkan pada bayi atau individu muda mempunyai wajah berwarna biru tua (Napier and Napier, 1967; Payne et al., 2000). Wajah bekantan berbentuk “orthognathous” dengan sebuah profil lurus dan rahang yang jelas. Tulang hidung panjang dan lurus dibanding dengan Presbytis yang tulang hidungnya lebih pendek. Lekuk mata bagian dalam relatif sempit dibanding dengan jenis-jenis Colobinae lainnya, kecuali simias. Susunan gigi seri, taring, premolar dan molar (geraham) adalah 2/2, 1/1, 2/2, 3/3, jumlah 32 buah. Anggota badan bagian depan (radius dan humerus) dan bagian belakang (femur dan tibia) lebih panjang dibanding dengan Presbytis atau Colobus atau dapat dikatakan bahwa indeks intermembral pada bekantan tinggi.

Kaki dan tangan bekantan berwarna abu-abu pucat dengan telapak tangan berwarna gelap. Tangan bekantan bersifat “prehensile”, yaitu dapat memegang benda dengan jari tangannya. Tangan digunakan dalam makan untuk memetik daun-daunan dan memasukkannya ke dalam mulut (Napier and Napier, 1967). Selain itu tangan digunakan juga untuk memegang dahan dalam kegiatan berjalan atau melompat (Alikodra, Yasuma, Santoso, Soekmadi dan Suzanna, 1990). Jari-jari yang sangat panjang memungkinkan satwa ini menjadi pemanjat yang tangkas (Yasuma dan Alikodra, 1990).

(22)

Perbandingan morfologi antara bekantan jantan dengan betina dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1 Perbedaan Morfologi antar Bekantan Jantan dengan Betina

Morfologi Jantan Betina

Berat badan (Kg) 11,700-23,608 8,650–11,790 Panjang kepala sampai badan (cm) 55,500-72,300 54,000-60,500 Panjang ekor (cm) 66,000-74,500 57,000-62,000 Sumber : Napier and Napier (1967)

LBN (1982) menjelaskan bahwa umumnya bekantan memiliki badan yang ramping dan berekor panjang. Ekornya lebih panjang daripada badan dan kepala. Yang betina berukuran lebih kecil dan lebih ringan. Bekantan jantan yang sudah lewat dewasa berperut buncit dan dapat mengeluarkan suara seperti sapi melenguh pendek.

Yeager (1990) mengkategorikan struktur umur bekantan sebagai berikut : Tabel 2 Klasifikasi Struktur Umur Bekantan

Struktur Umur Ciri-ciri

Jantan dewasa (Adult males)

Hidung besar (telah berkembang sempurna), alat kelamin luar tampak jelas, ukuran tubuh besar (20 sampai 22 kg), terdapat warna putih berbentuk segitiga pada bagian pinggul, lapisan-lapisan lemak terlihat jelas di bagian punggung, berkembang otot paha yang kuat. Betina dewasa

(Adult females)

Ukuran tubuh relatif lebih kecil dari ukuran tubuh jantan dewasa (10 sampai 12 kg, puting susu tampak lebih jelas, hidung lebih kecil dan runcing

Jantan setengah dewasa (Adolescent males)

Ukuran tubuhnya sama atau lebih besar dari pada betina dewasa, alat kelamin luar tampak jelas, otot bagian paha lebih berkembang dibandingkan dengan betina dewasa, hidung mulai membesar, tidak ada lapisan lemak di bagian punggungnya

Betina setengah dewasa (Adolescent females)

Memiliki ukuran tubuh yang hampir sama dengan betina dewasa, puting susu belum jelas. Remaja

(Juvenile)

Ukuran tubuh setengah atau dua pertiga dari ukuran tubuh betina dewasa. Sudah bisa berdiri sendiri, tetapi masih tidur dengan induknya. Anak/Bayi Berumur 1,5 tahun atau kurang,bayi yang baru

lahir memiliki warna yang lebih gelap dan muka berwarna gelap tetapi terus memudar, masih dekat dan bergantung dengan induknya. Sumber : Yeager (1990)

(23)

2.3 Habitat

Bekantan memiliki sifat “pemalu” dan daerah yang cenderung dihuni oleh bekantan berada di pedalaman, relatif tidak terganggu atau relatif jauh dari sungai-sungai tempat pemukiman berkembang (Soendjoto, Akhdiat, Haitami, dan Kusmajaya, 2001b).

Napier and Napier (1967) menjelaskan bahwa bekantan memiliki habitat berupa hutan rawa dan hutan mangrove dan mudah ditemukan di dekat sungai, atau pada vegetasi nipah (Nipa fruticans) dan rawa mangrove sepanjang pantai, teluk-teluk atau daerah pasang surut. Selanjutnya dijelaskan bahwa bekantan lebih suka berteduh pada vegetasi mangrove pada siang hari dan beristirahat pada pohon pedada (Sonenratia spp.) pada malam hari.

LBN (1982) mencatat bahwa bekantan menyukai hutan bakau dekat muara sungai dan hutan dataran rendah di pedalaman yang dilalui sungai sebagai habitatnya. Selain itu, bekantan dikenal pula sebagai salah satu jenis monyet yang paling menyukai habitat di atas aliran sungai. Bekantan pandai berenang dan menyelam, bahkan tampak senang berjalan-jalan di lumpur dalam rawa di hutan bakau. Sungai termasuk komponen ekologi yang mempengaruhi pemilihan habitat oleh populasi bekantan di hutan bakau. Bagi bekantan sendiri, sungai berfungsi sebagai sumber air minum dan sarana untuk berenang (Bismark, 1994).

Di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, habitat bekantan terdiri atas hutan mangrove, hutan galam, hutan tepi sungai, hutan rawa serta kebun masyarakat (ditanami karet dan buah-buahan). Keberadaan bekantan di hutan galam masih dalam penyelidikan, tetapi ada dua hipotesa yang dikembangkan, yaitu : 1) Fragmentasi habitat menyebabkan bekantan yang berada di hutan mangrove atau hutan tepi sungai tergusur ke hutan galam dan 2) Secara alami bekantan tersebut di hutan galam (Soendjoto, Akhdiat, Haitami dan Kusumajaya, 2001a). Bekantan yang hidup di hutan galam berukuran relatif lebih besar dan memiliki warna bulu lebih pucat dari pada bekantan di hutan mangrove. Di hutan galam, sumber pakan bekantan antara lain pucuk galam (Melaleuca cajuputi, sinonim M.leucadendron), piai (Acrostichum aureum), dan kelekai (Stenochlaena

(24)

palustris). Sedangkan di hutan karet sumber pakan utama bekantan adalah tanaman karet (Hevea brasiliensis) (Soendjoto, Djami’at, Johansyah dan Hairani, 2002).

Di Sabah bagian Timur, sebagian besar bekantan sering ditemukan di hutan mangrove, campuran mangrove dan nipah serta di muara sungai, jarang ditemukan di dalam tegakan murni yang terdiri atas nipah Casuarina, hutan kerangas atau hutan rawa. Di Serawak dan P. Kalimantan, bekantan lebih umum ditemukan di tepi sungai dan hutan rawa gambut. Jantan soliter kadang terlihat di tepi hutan lainnya beberapa kilometer dari hutan mangrove atau sungai besar (Payne et al., 2000).

2.4 Penyebaran

Bekantan adalah salah satu primata endemik yang hanya terdapat di Pulau Kalimtan, khususnya yang terdapat di muara S. Brunei dan P. Sebatik di perbatasan Sabah/Kalimantan Timur (Payne et al., 2000), dan beberapa pulau di dekat pantai (Yasuma and Alikodra, 1990; Payne et al., 2000), termasuk Pulau Bunyu dan Pulau Laut (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1978). Sedangkan LBN (1982) mencatat bahwa bekantan dapat ditemukan di Kalimantan dan beberapa pulau kecil di sebelah Timurnya.

Bekantan biasanya ditemukan di dekat sungai besar. Di sungai-sungai Sabah bagian Timur yang lebih besar, bekantan terdapat jauh di hulu sungai (misalnya, di atas S. Danum di hulu S. Segama). Berdasarkan laporan yang diperoleh, di hulu S. Kapuas di Kalimantan Barat, di Tumbang Maruwe di S. Barito di Kalimantan Tengah, di S. Mahakam dan S. Kayan di Kalimantan Timur terdapat pulau bekantan. Kondisi saat ini sudah berubah, kemungkinan adanya bekantan di daerah hulu adalah kecil. Namun demikian bekantan masih dapat ditemui di beberapa bagian pesisir Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur, Khususnya di S. Barito. Penyebaran bekantan di Sabah bagian Barat, Brunei dan Serawak jarang dan tersebar, karena kerusakan habitat dan tekanan perburuan (Payne et al., 2000).

(25)

2.5 Pakan

Makanan utama bekantan terdiri dari daun-daun muda (pucuk) serta sering ditemukan memakan pucuk dari tumpukan mangrove. Kurang lebih dari 5% dari makanannya berupa bunga dan buah, serta 95% berupa daun (Napier and Napier, 1967). Berdasarkan hasil penimbangan bobot kering kotoran bekantan, Bismark (1980) mengemukakan bahwa komposisi makanan bekantan terdiri dari 96,2% pucuk daun, daun muda, tangkai daun dan daun tua, 3,5% biji/buah, kuncup bunga dan kulit kayu, dan 0,3% insekta. Dilihat dari jumlah daun yang dikonsumsi oleh bekantan maka jenis monyet ini diduga sebagai pemakan daun lebih banyak di antara jenis-jenis monyet yang termasuk dalam anak suku Colobinae.

Menurut Payne et. al. (2000) makanan bekantan terdiri dari atas dedaunan, buah-buahan dan pucuk daun. Salter and Aken (1983) menyatakan bahwa daun merupakan makanan utama bekantan. Alikodra, Yasuma dan Mustari (1991) menjelaskan bahwa bagian tumbuhan yang dimakan bekantan adalah daun (leaf), pucuk (shoot), bunga (flower), dan buah (fruit). Bekantan suka memilih makanannya (daun, pucuk, bunga, dan buah) yang masih muda dan segar. Salah satu makanan utama bekantan adalah pucuk-pucuk daun Sonneratia caseolaris, terutama bagian yang masih berwarna hijau muda (Napier and Napier, 1967; Mardiastuti, 1982; Alikodra et. al., 1991; Alikodra, 1997; Suharyo, 2002). Selain sebagai sumber pakan, tumbuhan ini juga digunakan sebagai tempat tidur dan istirahat.

Dalam satu pohon sering terdapat 2-4 bekantan. Lamanya makan pada setiap pohon tergantung pada jenis pohon serta jumlah persediaan makanannya (Bismark, 1980). Dari penelitian yang dilakukan terhadap bekantan di Kebun Binatang Ragunan Jakarta, diperoleh data bahwa bekantan menghabiskan rata-rata 1572,5 gram ransum/ekor/hari (Alikodra et al., 1990).

Menurut Bismark (1984) makanan yang paling banyak dikonsumsi adalah daun-daunan (96,2%). Dikatakan lebih lanjut bahwa selain dari pucuk yang masih lembut, bekantan juga memakan daun-daun tua, tangkai daun (petiol),

(26)

paku-pakuan, cendawan, dan umbut Pandanus sp. Makanan yang paling disukai terutama daun muda dan buah pedada (Sonneratia lanceolata) yang tumbuh di hutan bakau sepanjang tepian sungai dekat pantai (Suharto, 1989). Jenis lain yang juga dimakan oleh bekantan adalah rumbai-rumbai darat, laban (Vitex sp), waru laut (Hibiscus tilliaceus), Keladi air, karet (Hibiscus brasiliensis), durian (Durio sp), mersafat, masintan, karamunting laut, lai, kelakar, pakis, buas-buas, rumput peredang dan daun pepaya serta ketela pohon. Selain itu bekantan juga memakan buah kecapi dan karet (biasanya yang masih mentah), serta bunga durian dan lai (Alikodra et al., 1990). Untuk mendapatkan protein hewani, bekantan juga memakan larva insekta dan rayap. Umbut nipa (Alikodra et al., 1991; Alikodra, 1997) dan kulit batang (Alikodra dan mustari, 1993) menambahkan bahwa bekantan juga suka memakan serangga dan kepiting. Selain itu, untuk mencukupi kebutuhan mineral bekantan juga memakan ujung akar Rhizophora apiculata yang berasa asin dan diduga memakan tanah dan sarang rayap.

Bekantan tidak dapat mengkonsumsi buah-buahan yang manis untuk menghindari makan gula yang banyak. Gula yang berlebihan akan terfermentasi dalam lambung bekantan dan akan menghasilkan banyak gas yang bisa menyebabkan perut kembung, yang apabila tidak segera diobati maka akan menyebabkan kematian (Suharyo, 2002).

2.6 Perilaku Makan (Ingestive behaviour)

Bekantan biasanya makan di ujung-ujung pohon, duduk pada salah satu cabang atau ranting yang relatif besar. Salah satu tangan dipergunakan untuk berpegang pada cabang atau ranting di bagian atasnya sedangkan tangan yang lain untuk meraih makanan. Kalau berada pada posisi sulit, kedua tangan akan berfungsi untuk berpegangan sedangkan makanan langsung diambil dengan mulut (Bismark 1984, 1986). Selain digunakan dalam makan untuk memetik daun-daunan, tangan juga berfungsi untuk memasukkan makanan ke dalam mulut (Napier and Napier, 1967). Cara mendapatkan makanan adalah dengan menggunakan tangan untuk memetik daun, lalu dimasukkan 1-3 lembar daun ke dalam mulut secara berurutan, lalu dikunyah (Alikodra et al., 1990). Sedangkan Bismark (1994) menjelaskan bahwa daun yang dikonsumsi bekantan adalah daun

(27)

muda dengan urutan 1 sampai 3 dari ujung ranting, bunga dan buah, yang diambil langsung dengan mulut atau dengan cara memetik. Daun dimakan dengan cara menggigit hingga 3 kali. Setiap gigitan dikunyah 15-30 kali.

Sewaktu mencari makan, kelompok bekantan terbagi atas beberapa anak kelompok yang umumnya terdiri atas 1-7 ekor. Setiap anak kelompok makan pada beberapa pohon yang tidak begitu berjauhan satu sama lain. Dalam satu pohon biasa terdapat 2-4 ekor bekantan yang makan tanpa menunjukan persaingan diantara mereka. Lamanya makan pada setiap pohon bergantung pada jenis pohon serta jumlah persediaan makannya. Pada pohon Ganua motleyana, bekantan dapat bertahan selama 20-50 menit (Bismark, 1984).

Kegiatan makan bekantan rata-rata sebesar 27,9%, sedangkan kegiatan berjalan dan istirahat masing-masing sebesar 19,9% dan 52,2%. Dari 3,6 jam waktu makan bekantan, 41,2% dilakukan di pagi hari, yaitu antara pukul 07.00-10.00. Kegiatan makan yang tertinggi dicapai pukul 15.00-16.00 (Bismark, 1986). Selanjutnya dijelaskan bahwa lebih dari 50% kegiatan makan berada di ketinggian 10-15 meter.

Alikodra et al. (1990) menyatakan bahwa aktivitas makan bekantan dipengaruhi oleh cuaca. Pada kondisi terang, aktivitas makan bekantan pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan dengan sore hari, dan pada kondisi cuaca mendung (terjadi hujan) aktivitas makan bekantan dilakukan setelah cuaca terang (tidak hujan) dimana banyak dilakukan pada siang atau sore hari.

             

(28)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan selama 2 bulan, dimulai dari bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2008. Penelitian dilakukan di areal studi Pondok Ambung – Sungai Sekonyer Kanan, Taman Nasional Tanjung Puting, Provinsi Kalimantan Tengah.

3.2 Bahan dan Alat

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa kompas, tali rafia, golok, gunting, peta kerja, meteran, patok kayu, kertas koran, alkohol, alat tulis menulis dan tally sheet. Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian ini adalah kelompok bekantan dan jenis tumbuhan pakan bekantan.

3.3 Pengenalan Lapangan (Orientasi)

Pengenalan lapangan atau orientasi lapangan dilakukan selama 1 minggu. Orientasi ini berupa habituasi terhadap kelompok-kelompok bekantan yang ada di sekitar sungai Sekonyer Kanan yang masuk ke dalam kawasan research Pondok Ambung. Tujuan dari kegiatan habituasi ini adalah untuk mengenali kelompok-kelompok bekantan dan juga untuk membiasakan bekantan terhadap kehadiran peneliti.

3.4 Metode Pengambilan Data

3.4.1 Identifikasi Jenis Pakan Bekantan (Nasalis larvatus)

Identifikasi jenis pakan bekantan di lapangan dilakukan secara pengamatan langsung dan tidak langsung (wawancara non formal dan studi literatur). Pengamatan langsung dilakukan selama 12 hari, pengamatan dilakukan pada pagi hari pada jam 06.00 sampai jam 09.00 dan pada sore hari pada jam 15.00 sampai jam 18.30. Bekantan yang diteliti atau yang diamati sebanyak 4 kelompok, dimana setiap hari kelompok bekantan yang diamati berbeda, ini dikarenakan kelompok yang sebelumnya diamati tidak selalu kembali ketempat asalnya. Jumlah bekantan pada setiap kelompok kurang lebih 8 – 15 ekor.

(29)

Identifikasi jenis difokuskan pada bagian-bagian yang dimakan oleh bekantan yang berupa daun muda/pucuk, daun tua, buah, dan bunga.

3.4.2 Analisis Vegetasi

Metode analisis vegetasi yang digunakan adalah metode garis berpetak. Pada areal penelitian dibuat garis transek sepanjang 1 km (1000 m) yang diambil secara acak dari 10 km panjang Sungai Sekonyer Kanan, dengan plot-plot contoh sebanyak 50 plot yang dapat mewakili seluruh areal penelitian. Pada garis transek dibuat petak-petak contoh berukuran 2 m x 2 m, 5 m x 5 m, 10 m x 10 m, dan 20 m x 20 m.

Untuk setiap petak ukur dilakukan pengukuran terhadap semua tingkat tumbuhan, yaitu :

• Petak 20 m x 20 m dilakukan pengukuran dan pencatatan terhadap tingkat pohon. Parameter yang diamati dan yang diukur meliputi : nama jenis, jumlah dan diameter pohon. Diameter yang diambil adalah diameter setinggi dada (dbh) serta ukuran diameternya ≥ 20 cm. Kegiatan pembuatan profil tajuk digunakan data tambahan yaitu panjang transek, lebar transek, tajuk terpanjang dan tajuk terpendek.

• Petak 10 m x 10 m dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat tiang. Parameter yang diamati atau yang diukur meliputi : nama jenis, jumlah dan diameter tumbuhan pada tingkat tiang, dengan batasan diameter yang diambil adalah antara 10 ≤ dbh < 20 cm

• Petak 5 m x 5 m dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat pancang. Parameter yang diamati atau diukur meliputi : nama jenis dan jumlah setiap jenisnya, dengan batasan pohon muda yang berdiameter < 10 cm. Atau anakan pohon dengan tinggi > 1,5 m.

(30)

• Petak 2 m x 2 m dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingakat semai. Parameter yang diamati atau yang diukur meliputi : nama jenis dan jumlah setiap jenis, dengan batasan anakan pohon mulai dari tingkat kecambah sampai yang memiliki tinggi < 1,5 m.

1 km

1 Km

Gambar 1 Plot contoh untuk analisis Vegetasi Keterangan : A : 2 m x 2 m

B : 5 m x 5 m C : 10 m x 10 m D : 20 m x 20 m

3.4.3 Pembuatan Herbarium

Herbarium adalah koleksi spesimen tumbuhan yang terdiri dari bagian-bagian tumbuhan (ranting lengkap, dengan daun, serta kalau ada bunga dengan buahnya). Herbarium yang dibuat adalah dengan cara kering.

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pembuatan herbarium :

• Mengambil contoh herbarium yang terdiri dari ranting lengkap dengan daunnya, kalau ada bunga dan buahnya juga diambil,

    D          C      B     A         

(31)

• Dengan menggunakan penggunting daun, contoh herbarium dipotong dengan panjang kurang lebih 40 cm x 60 cm,

• Kemudian contoh herbarium diberi etiket yang berukuran 3 cm x 5 cm. Etiket berisi keterangan tentang nomor spesies, nama lokal, lokasi pengumpulan dan nama pengumpul (kolektor) di lakukan di camp,

• Spesimen atau contoh herbarium tersebut kemudian disemprot dengan alkohol 70 % secara merata pada semua bagian daun dan ranting lalu spesimen tersebut dimasukan/dibungkus rapi dengan kertas Koran,

• Herbarium yang telah dimasukan kedalam koran, kemudian dimasukan ke dalam trasbek yang kemudian diikat dengan rapat dan rapi,

• Herbarium yang sudah kering lengkap dengan keterangan-keterangan yang diperlukan diidentifikasi untuk mendapatkan nama ilmiahnya di Herbarium Bogoriense Balitbang Botani, Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor.

3.5 Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder.

3.5.1 Data Primer

Data primer merupakan data yang didapat melalui pengamatan secara langsung di lapangan meliputi data analisis vegetasi dan jenis pakan yang dimakan oleh bekantan secara langsung di lapangan.

3.5.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang dikumpulkan untuk menunjang pelaksanaan penelitian yang didapat dengan cara studi pustaka atau dengan mencari literatur. Data sekunder tersebut berupa keadaan umum Areal Research Pondok Ambung, pengenalan jenis tumbuhan, wawancara mengenai jenis tumbuhan yang dimakan bekantan kepada masyarakat dan pekerja atau staf-staf Orangutan Foundation International (OFI) dan Orangutan Foundation United-Kingdom (OFUK).

(32)

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

Data primer dan data sekunder yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan membandingkan hasil dari data sekunder yang telah diperoleh lalu dilakukan rekapitulasi data dalam bentuk tabel identifikasi : nama jenis dan nama famili pakan bekantan serta bagian yang dimakan oleh bekantan, juga ketersedian tumbuhan pakan bekantan di alam dilihat dari kerapatan, frekuensi dan dominansi jenisnya.

3.6.1 Indeks Nilai Penting

Untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi, maka pada jalur dilakukan analisis kerapatan, frekuensi dan dominansi untuk masing-masing jenis tumbuhan. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus-rumus sebagai berikut

A. Kerapatan suatu jenis (K)

K (batang/ha) = Jumlah individu setiap jenis Luas petak contoh B. Kerapatan relatif suatu jenis (KR)

KR (%) = Kerapatan suatu jenis x 100 % Kerapatan seluruh jenis

C. Frekuensi suatu jenis (F)

F = Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot D. Frekuensi relatif suatu jenis (FR)

FR (%) = Frekuensi suatu jenis

x 100% Frekuensi seluruh jenis

E. Dominansi suatu jenis (D)

D (m2/ha) = Luas bidang dasar suatu jenis Luas petak contoh

LBDS (m2) = 1/4 π d2

F. Dominansi relatif suatu jenis (DR)

DR (%) = Dominansi suatu jenis x 100% Dominansi seluruh jenis

(33)

Indeks Nilai Penting (INP) untuk pohon dan tiang adalah Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif + Dominansi Relatif (DR). Untuk tingkat pancang dan semai adalah Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif (FR).

3.6.2 Tingkat Keanekaragaman Jenis

Untuk menghitung keanekaragaman jenis pakan dan keanekargaman jenis pada vegetasi hutan rawa dan hutan dataran rendah digunakan Indeks Keanekaragaman Shannon (H’) H’ = - Σ [Pi ln Pi] N N Pi = i Keterangan : 

H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon Ni = Jumlah individu suatu jenis N = Jumlah individu seluruh jenis

(34)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Areal Research Pondok Ambung yang merupakan salah satu kawasan yang berada di dalam Taman Nasional Tanjung Puting, yang dikhususkan sebagai tempat atau kawasan penelitian. Areal penelitian ini masuk ke dalam Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) 1 di wilayah Timur kawasan di Pembuang Hulu dan berada di dekat aliran Sungai Sekonyer Kanan. Sungai Sekonyer Kanan memiliki air yang berwarna seperti air teh yang pekat dengan pH sekitar 5, kandungan mineral rendah, lumpur cukup dalam serta proses pembusukan di dalam air yang berjalan sangat lambat. Pondok Ambung belum memiliki data mengenai total luasan wilayahnya, tetapi telah memiliki areal jalur penelitian

Gambar 2 Peta Studi Area Pondok Ambung

4.1 Sejarah dan Status Kawasan Taman Nasinal Tanjung Puting

Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting pada awalnya merupakan kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Puting yang merupakan gabungan dari Cagar Alam Sampit dan Suaka Margasatwa Kotawaringin. Status kawasan Suaka

(35)

Margasatwa ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1936-1937 dengan luas sebesar 305.000 ha yang berfungsi untuk perlindungan satwaliar jenis primata yaitu orangutan (Pongo pygmaeus) dan bekantan (Nasalis larvatus).

Pada tanggal 12 Mei 1984 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 096/kpts-II/84 kawasan suaka alam ini ditetapkan menjadi kawasan Taman Nasional. Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 45/kpts/IV-Sek/84 tanggal 11 Desember 1984 wilayah kerja Taman Nasional Tanjung Puting ditetapkan meliputi areal Suaka Margasatwa Tanjung Puting dengan luas kawasan 300.040 ha. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1996 melalui SK Menteri Kehutanan No. 687/kpts-II/96 luas kawasan menjadi 415.040 ha terdiri dari Suaka Margasatwa Tanjung Puting 300.040 ha, hutan produksi 90.000 ha (ex. PT Hesubazah), dan kawasan daerah perairan sekitar 25.000 ha. Letak astronomisnya terletak pada 02" 35' - 03" 35' LS, dan 111" 50'- 112" 15' BT.

(36)

4.2 Kondisi Fisik Taman Nasional Tanjung Puting

4.2.1 Geologi

Tanjung Puting, seperti halnya kebanyakan daerah berawa-rawa dataran pantai Kalimantan, secara relatif berumur geologi muda dan daerah berawa-rawa datar yang meluas ke pedalaman sekitar 5-20 km dari pantai. Sebagian besar sedimen tanah/lumpur adalah alluvial muda. Dataran pantai merupakan bagian dari dataran atau dangkalan sunda yang muncul ke permukaan setelah jaman es Pleistocene dan kemudian secara bertahap dipenuhi oleh sedimen dari formasi pre-tertiary dan teriary dari Kalimantan Tengah. Bagian Utara kawasan taman nasional yang mencuat beberapa meter di atas permukaan laut mungkin merupakan bagian dari deposisi "sandstone" tertiary.

Erosi lebih lanjut dari pegunungan dan tertahannya atau menggenangnya air di daerah pantai telah menyebabkan berlangsungnya proses pembentukan rawa-rawa dan kurang lebih 8.000-12.000 tahun yang lalu permukaan air laut naik mencapai ketinggian permukaan seperti yang ada saat ini serta kemungkinan malah lebih tinggi beberapa meter. Tepian sungai yang tinggi serta bukit-bukit pasir telah menahan aliran-aliran sungai dan sedimentasi lumpur serta lumpur laut telah menyebabkan terjadinya pertumbuhan (meluasnya) daratan dari dataran pantai Kalimantan. Di Tanjung Puting sendiri terlihat adanya pertumbuhan (perluasan) daerah pantai, dan dari perbandingan yang terlihat antara foto udara tahun 1949 dengan foto udara serta citra satelit saat ini tampak perbedaan yang nyata pada arah tanjung serta posisi garis pantai.

4.2.2 Tanah

Pada umumnya tanah di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting adalah "miskin" (kurang subur), "tercuci" berat serta kurang berkembang. Semua tanah bersifat sangat asam dengan kisaran pH antara 3,8-5,0. Tanah-tanah sekitar anak-anak sungai dicirikan oleh suatu lapisan "top soil" yang berwarna abu-abu kecoklatan serta suatu lapisan "sub soil" yang lengket yang juga berwarna abu-abu kecoklatan. Di rawa-rawa daerah pedalaman (daerah hulu), tanah memiliki kandungan unsur organik yang lebih tinggi dan formasi gambut tersebar luas di

(37)

banyak tempat dengan ketebalan sampai 2 meter. Jalur-jalur tanah tinggi yang mendukung tumbuhnya hutan tanah kering (dry land forest), meskipun banyak diantaranya telah digarap atau ditanami, memiliki kandungan pasir yang lebih tinggi, bahkan kadang-kadang pasir kuarsa putih, namun telah tercuci habis-habisan sebagai akibat perubahan besi ke senyawa-senyawa besi serta terus terlarutnya unsur-unsur ini. Semua tanah di Taman Nasional Tanjung Puting, seperti halnya sebagian besar tanah di Kalimantan adalah sangat tidak subur dan secara umum hanya mampu mendukung usaha pertanian secara temporer.

4.2.3 Topografi

Secara umum, topografi Taman Nasional Tanjung Puting adalah datar sampai bergelombang dengan ketinggian 0 sampai 11 meter dari permukaan laut. Di bagian Utara, terdapat beberapa punggung pegunungan yang rendah dan bergelombang serta umumnya mengarah ke Selatan, akan tetapi di sebelah Selatan dari Sungai Sekonyer tidak terdapat pegunungan atau bukit. Anak-anak sungai telah terbentuk karena terjadinya luapan air sungai pada waktu musim hujan.

Natai atau tanah tinggi banyak dijumpai di bagian tengah kawasan taman nasional. Natai ini terisolasi oleh rawa atau danau yang besar dimana jarang dijumpai pepohonan. Keadaan ini akan lebih tampak terutama pada musim hujan, yaitu antara bulan Oktober sampai dengan Februari. Daerah pantai sebagian berpasir (antara sungai Arut Tebal sampai Teluk Ranggau di bagian Barat dan Pantai Selatan) dan sebagian berlumpur (mulai dari muara Sungai Sekonyer ke selatan sampai Sungai Arut Tebal).

Di Tanjung Puting sendiri terjadi pendangkalan pasir dan lumpur setiap tahun dan bergerak ke arah Selatan dan Barat. Beberapa daerah pantai dengan gundukan-gundukan pasir terdapat di sekitar muara Sungai Perlu.

4.2.4 Hidrologi

Di dalam kawasan Taman Nasional Tanjung Puting terdapat 7 Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Sub DAS yaitu DAS Sekonyer, Buluh Kecil, Buluh Besar, Cabang, Perlu, Segintung dan DAS Pembuang. Dimana DAS dan Sub Das

(38)

tersebut mempunyai air yang berwarna hitam, serta mengalir dari bagian utara dan tengah kawasan taman nasional. Aliran sungai-sungai ini pelan dan di beberapa tempat terpengaruh oleh adanya pasang surut. Banjir sering terjadi dan beberapa danau sering terbentuk di daerah hulu sebagian besar terjadi pada musim hujan mulai bulan Oktober sampai dengan April. Air tanah menjadi bagian penting dari semua habitat di Tanjung Puting dan lebih dari 60 % kawasan taman nasional tergenang air paling tidak selama 4 bulan setiap tahunnya.

Selama musim kemarau yang panjang, air payau dapat masuk ke daerah hulu sejauh ± 10 km, sepanjang Sungai Sekonyer. Fluktuasi harian dari permukaan air Sungai Sekonyer yang terkait dengan adanya pasang surut dapat diukur sampai ± 15 km dari muara. Fluktuasi musiman permukaan air di daerah rawa-rawa memiliki variasi rata-rata antara 1,5 sampai 2 meter dan di beberapa tempat bisa mencapai 3 meter.

4.2.5 Iklim

Secara garis besar kawasan Taman Nasional Tanjung Puting mempunyai curah hujan rata-rata mencapai 2.400 mm/tahun. Berdasarkan tipe iklim Schmidt & Ferguson hal seperti ini termasuk dalam iklim selalu basah tipe A.

4.3 Kondisi Biotik Taman Nasional Tanjung Puting

Taman Nasional Tanjung Puting memiliki beberapa tipe ekosistem, yaitu: 1. Ekosistem hutan tropika dataran rendah,

2. Ekosistem hutan tanah kering (hutan kerangas), 3. Ekosistem hutan rawa air tawar,

4. Ekosistem hutan rawa gambut, 5. Ekosistem hutan bakau, 6. Ekosistem hutan pantai, 7. Ekosistem hutan sekunder.

(39)

4.3.1 Flora

Jenis-jenis tumbuhan yang dapat ditemui di Taman Nasional Tanjung Puting adalah meranti (Shorea sp.), ramin (Gonystylus bancanus), jelutung (Dyera costulata), gaharu, kayu lanan, keruing (Dipterocarpus sp.), ulin (Eusideroxylon zwagerii), tengkawang (Dracontomelas sp.), Dacrydium sp., Lithocarpus sp., Castanopsis sp., Hopea sp., Schima sp., Melaleuca sp., Diospyros sp., Beckia sp., Jackia sp., Licuala sp., Vatica sp., Tetramerista sp., Palaquium sp., Campnosperma sp., Casuarina sp., Ganua sp., Mesua sp., Dactylocladus sp., Alstonia sp., Durio sp., Eugenia sp., Calophyllum sp., Pandanus sp., Crinum sp., Sonneratia, Rhizophora, Barringtonia, nipah (Nypa fruticans), Podocarpus sp., rotan (Calamus sp.), dan Imperata cylindrica.

Di bagian Utara kawasan terdapat hutan kerangas dan di lantai hutannya terdapat jenis tumbuhan pemakan serangga seperti kantong semar (Nepenthes sp.). Hutan rawa gambut yang tumbuhannya memiliki akar lutut, dan akar nafas yang mencuat dari permukaan air, ditemukan di bagian tengah kawasan dan di tepi beberapa sungai. Di sepanjang tepi semua sungai di kawasan ini terdapat hutan rawa air tawar (aluvial) dengan jenis tumbuhan yang kompleks termasuk jenis tumbuhan merambat berkayu yang besar dan kecil, epifit dan paku-pakuan dalam jumlah besar. Di daerah Utara menuju Selatan kawasan, terdapat belukar yang luas yang merupakan areal bekas tebangan dan kebakaran.

Tumbuhan di daerah hulu Sungai Sekonyer terdiri atas hutan rawa yang didominasi oleh Pandanus sp. dan bentangan (bakung) yang mengapung, seperti Crinum sp. Hutan bakau (mangrove) yang berada di daerah pantai, dan payau yang berada di muara sungai, tedapat nipah yang merupakan tumbuhan asli setempat. Nipah tumbuh meluas sampai ke pedalaman sepanjang sungai. Di daerah pesisir pada pantai-pantai berpasir, banyak ditumbuhi tumbuhan marga Casuarina, Pandanus, Podocarpus, Scaevola dan Barringtonia.

4.3.2 Fauna

Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting dihuni oleh sekitar 38 jenis mamalia. Jenis-jenis tersebut antara lain tupai (Tapala spp.), tikus (Echinoserex

(40)

gymnurus), kumbang tando (Cycephalus variegates), Tarsius (Tarsius bancanus), kukang (Nycticebus coucang), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), kelasi (Presbytis rubicunda), lutung (Presbytis cristata), bekantan (Nasalis larvatus), owa-owa (Hylobates agilis), orangutan (Pongo pygmaeus), trenggiling (Manis javanica), bajing (Ratuva affinis), landak (Hystrix brachyura), beruang madu (Helarctos malayanus), berang-berang (Lutra sp), musang (Matres flavigula), kucing batu (Felis bengalensis), macan dahan (Neofelis nebulosa), babi hutan (Sus barbatus), kancil (Tragulus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak) dan mamalia air tawar yaitu ikan duyung (Dugong dugon)

Meskipun observasi paling akhir menunjukkan hanya 3,5% dari jenis burung yang ada di Tanjung Puting endemik, akan tetapi Tanjung Puting secara khusus sangat penting bagi populasi ekstensif dan keanekaragaman burung yang ada di sana, yang mendiami habitat dataran rendah yang sangat luas, serta tidak dijumpai di tempat lain manapun. Daftar awal (preliminary list) mencatat 200 jenis burung hidup di kawasan taman nasional ini. Beberapa jenis yang telah tercatat misalnya "the bornean Bristlehead" atau "bald headed wood shrike" (Pityariasis gymnocephala), dinyatakan jarang ditemukan di tempat lain di Kalimantan. Beberapa jenis lainnya, bahkan termasuk jenis yang terancam punah.

Jenis burung yang paling penting di Taman Nasional Tanjung Puting adalah sindanglawe atau storm's stork (Ciconia stormii), yang dinyatakan termasuk dari 20 jenis burung bangau yang paling langka di dunia serta dimasukkan ke dalam kategori terancam kepunahan oleh IUCN. Dikenal sebagai burung soliter di hutan primer yang lebat dan rawa-rawa, sindanglawe sering terlihat baik "sendirian" maupun dalam kelompok, di tepian sungai-sungai yang banyak terdapat di Tanjung Puting, bahkan pada tengah hari. Dibanding dengan kawasan lain di Indonesia, Tanjung Puting mungkin dapat dikatakan yang memiliki densitas paling besar. Sifat ekologis burung ini sangat mirip dengan bangau hitam (Ciconia nigra) yang sering memadati hutan primer di Eurasia dan daerah jelajah jenis burung ini "simpatrik" dengan "wolly-necked stork" (Ciconia episcopus) yang tampaknya berafiliasi dengan daerah-daerah terbuka. Tidak

(41)

banyak diketahui mengenai makanan sindanglawe ini, namun dikatakan bahwa cacing dan katak termasuk dalam daftar menunya.

Beberapa jenis burung, terutama yang sebarannya luas atau yang mempunyai habitat di hutan rawa dapat ditemukan di Danau Burung yang berlokasi di dekat Sungai Buluh Besar. Antara lain bultok kecil (Megalaima australis), walet pantat kelabu (Collocalia fuciphaga), tepekong kecil (Hemiprocne comata), lelayang pasifik (Hirundo tahitica), kutilang hitam putih (Pycnonotus melanoleucos), kutilang emas (Pycnonotus atriceps), pernah teridentifikasi di Danau Burung.

Beberapa tahun silam di Danau Burung juga tercatat keberadaan burung air, bahkan menjadi surga bagi burung air. Tidak mengherankan jika jumlahnya dapat mencapai ribuan dan membentuk koloni besar. Burung-burung tersebut terdiri atas lima jenis yang berbeda, yaitu Egretta alba, Anhinga melanogaster, Ardea purpurea, Nycticorax nycticorax, dan satu jenis "cormorant". Satu jenis burung, yaitu Egretta garzetta di Tanjung Puting hanya dapat ditemukan di Danau Burung saja. Akan tetapi, akibat kebakaran hutan, eksploitasi hutan, dan eksploitasi ikan yang menjadi makanan burung tersebut, saat ini sangat sulit menemukan burung-burung air tersebut di Danau Burung.

Beberapa jenis elang juga telah teridentifikasi di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting seperti elang laut perut putih, elang bondol, 'black kite', elang hitam, dan 'changeable hawk eagle'. Pada jenis elang laut perut putih (Haliaetus leucogaster), spesies ini hanya terdapat atau teragregasi di wilayah batas-batas terdepan pantai. Selama pemantauan di Tanjung Puting dan sekitarnya, elang laut perut putih termasuk sarangnya terdistribusi di wilayah perifer pantai dengan laut. Karakter pemilihan habitat disebabkan oleh pola makan spesies tersebut yang hampir 100 % diambil dari laut (ikan, kerang dan ketam) dan hanya ada satu catatan sekitar 500 m dari tepi pantai di Sungai Sinthuk, Desa Kapitan, bertengger berpasangan dan diperkirakan terdapat sarang elang laut perut putih di kawasan tersebut. Pada elang bondol (Haliastur indus), spesies ini terdistribusi random artinya dapat dijumpai di wilayah pesisir pantai sampai ke dalam radius 1000 m

(42)

dari pantai. Tetapi, spesies ini juga dapat dijumpai sampai ke pelosok-pelosok hutan kecuali di wilayah pegunungan.

Berikut beberapa jenis burung lainnya yang dapat ditemukan di Taman Nasional Tanjung Puting, antara lain cangak besar (Ardea sumatrana), bletok rawa (Buloridos striatus), tamtoma kedondong hitam (Dupeter flapicolis), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), belibis pohon (Dendrocyna arcuata), alap-alap kelelawar (Machaerthampus alcinus), alap-alap Asia (Pernis ptylorhynchus), elang bondol (Haliastur Indus), alap-alap sisko (Accipiter trivigatus), alap-alap Jepang kancil (Accipiter gularis), elang garuda hitam (Ictinaetus malayanus), elang hitam kepala kerbau (Icthyophaga ichthyaetus), elang ikan kecil (Icthyophaga nana), baca (Spilornis cheela), elang belalang (Microhierax fringillarius), puyuh mahkota (Rollulus routroul), blelang sempidan (Lophura erythrophithaima), kuau bolwer (Lophura bulweri), kuau melayu (Polypiectron malacenses), kuau besar (Argusianus argus), trulek pasifik (Pluvialis dominica), trinil batis merah (Tringa tetanus), camar hitam sayap putih (Chlidonias leocopterus), rangkong kode (Anorrhinus galeritus), rangkong tahun (Rhiticeros corugatus), dan rangkong badak (Buceros rhinoceros).

Selain satwaliar diatas terdapat juga herpetofauna, namun karena jenis satwaliar ini kurang populer di Taman Nasional Tanjung Puting sehingga catatan mengenai keberadaan hewan ini pun masih sangat terbatas. Akan tetapi, paling tidak terdapat beberapa jenis reptil yang berhasil teridentifikasi, yaitu buaya sinyong supit (Tomistoma schlegel), buaya muara (Crocodilus porosus), bidawang (Trionyx cartilaganeus), ular sawa (Python reticulates), ular sendok (Naja-naja), kura-kura (Testuda emys) dan biawak (Varanus salvator). Beberapa jenis amphibi, sebetulnya terdapat di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, tetapi observasi dan identifikasi terhadap amphibi belum pernah dilakukan.

Beberapa jenis ikan juga telah teridentifikasi, mulai dari ikan yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti lais, toman, seluang, bakut, dan sebagainya, sampai jenis ikan hias, seperti ikan arwana. Ikan arwana dengan penampilannya yang begitu indah dan mempesona telah mengundang orang-orang tertentu untuk menangkap, kemudian menjualnya. Harganya yang tinggi di pasaran, membuat

(43)

bisnis penjualan ikan arwana menjadi sesuatu yang menjanjikan. Tidak mengherankan jika keberadaan ikan arwana semakin terancam, bukan hanya karena eksploitasi terhadap jenis ikan ini, melainkan juga karena pencemaran sungai oleh limbah penambangan emas yang kerap kali terjadi.

4.4 Aksesibilitas

Cara terbaik menuju Taman Nasional Tanjung Puting adalah melalui Kumai, kota kecamatan dan pelabuhan laut yang terletak 15 km dari Pangkalan Bun (Ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat). Di Pangkalan Bun terdapat bandar udara yang menghubungkan ke kota-kota Ketapang, Palangka Raya, Sampit, Banjarmasin dan Semarang. Dari Pangkalan Bun ke Kumai pengunjung dapat memakai taksi umum atau taksi carteran. Kumai juga dapat dicapai dengan kapal laut PELNI (Krakatau, Bukit Raya, dan Lawit) dari Semarang, Surabaya dan Banjarmasin. Untuk mencapai lokasi kawasan Taman Nasional Tanjung Puting dari Kumai dapat menggunakan Klotok atau Speed Boat.

                       

(44)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Jenis Tumbuhan Pakan Bekantan

Bekantan (Nasalis larvatus) merupakan primata yang termasuk subfamili Cilobinae, pada umumnya golongan primata yang dominan memakan daun (folivorous). Bekantan sangat menyukai daun-daun muda (pucuk) dan juga tidak jarang bekantan terlihat memakan bunga dan buah. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan selama 12 hari (12 kali pengulangan) yang disajikan dalam lampiran, didapat frekuensi makan bekantan berdasarkan bagian yang dimakan.

Tabel 3 Frekuensi Bagian Pakan Bekantan

No. Jenis Frekuensi

Frekuensi Relatif Daun (%) Bunga (%) Buah (%) 1 Ganua motleyana 12 21.05 0.00 0.00 2 Symplocos fasciculata 5 5.26 3.51 0.00 3 Crudia teysmanii 8 14.04 0.00 0.00 4 Eugenia zeylanica 7 8.77 3.51 0.00 5 Parastemon urophyllus 4 7.02 0.00 0.00 6 Dialium indum 1 1.75 0.00 0.00 7 Actinodaphne sp 2 3.51 0.00 0.00 8 Polyalthia lateriflora 5 5.26 3.51 0.00 9 Santiria laevigata 2 0.00 0.00 3.51 10 Syzygium leucoxylon 6 7.02 3.51 0.00 11 Syzygium tawaense 5 5.26 3.51 0.00

Dari Tabel 3 dapat terlihat bahwa pakan yang disukai oleh bekantan adalah jenis Ganua motleyana dengan frekuensi perjumpaan makan yang terbesar yaitu sebanyak 12 kali yang berarti dalam setiap pengamatan bekantan terlihat memakan jenis ini. Pohon Ganua motleyana berukuran sedang, tinggi pohon kira-kira sampai 40 m, diameter batang bisa mencapai 100 cm, pohon tidak berbanir tetapi kadang-kadang mempunyai banir kecil berbentuk akar napas dan daun pada umumnya terkumpul di ujung ranting. Bekantan sangat suka jenis ini karena di dalam daun Ganua motleyana terdapat kandungan mineral yang dibutuhkan bekantan seperti lateks, resin, tanin, terpenol, dan fenol, hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Bismark pada tahun 1980 di Taman Nasional

Gambar

Tabel 1  Perbedaan Morfologi antar Bekantan Jantan dengan Betina
Gambar 1  Plot contoh untuk analisis Vegetasi  Keterangan  : A : 2 m x 2 m
Gambar 2  Peta Studi Area Pondok Ambung
Gambar 3  Peta Taman Nasional Tanjung Puting
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kepada peserta Seleksi Umum yang keberatan pengumuman ini diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan/sanggahan dengan ketentuan :.. Sanggahan ditujukan kepada

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 286 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun

Jenis makanan ikan hidung budak ( C. scleronema) yang teridentifikasi selama penelitian terdiri dari 5 kelompok makanan yaitu Ikan Kryptopterus sp., serangga,

Pelaksanaan Seminar Nasional Media Pembelajaran merupakan program kerja kelompok yang waktu pelaksanaannya mundur dari perencanaan. Dalam perencanaan, seminar diadakan

Adapun batasan yang kurang saya maksudkan adalah dimana setiap mahasiswa KEMA FK UNPAD yang memilih KKM yang memiliki ranah cukup luas masih dapat memilih KKM (Komunitas) yang

[r]

maka di dalamnya dapat diperoleh makna model masyarakat madani Indonesia- Dari sila-sila yang ad4 dapat dikontruksikan bahwa Masyarakat Madani Indonesia merupakan

 Untuk mengetahui hasil uji coba yang dilakukan pada logam aluminium dan timah, tungku pengecoran logam non ferro (aluminium (AI) dan timah) dengan kapasitas 30 kg