v
Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam
Indukan Pedaging Strain
Hubbard
(Studi Kasus pada Peternakan
Ayam Indukan Pedaging)
Oleh
YUNI HARTATI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ABSTRAK
YUNI HARTATI. Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam Indukan Pedaging Strain Hubbard (Studi Kasus pada Peternakan Ayam Indukan Pedaging). Dibawah bimbingan drh. Sri Murtini, MSi dan Ratu Cahyaningrat, SE.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat efikasi vaksin AI inaktif pada peternakan ayam indukan pedaging. Penelitian ini merupakan studi kasus di sebuah peternakan ayam indukan pedaging. Sebanyak 20.000 ekor ayam dibagi dalam empat kandang tertutup (close house) yaitu K1, K2, K3, dan K4 yang masing-masing kandang diisi oleh 5000 ekor ayam. Tiap kandang terdiri dari 10 pen dan setiap pen diisi oleh 500 ekor ayam. Vaksinasi AI menggunakan vaksin AI inaktif (Killed Vaccine) konvensional homolog. Vaksinasi dilakukan pada saat ayam berumur 10 minggu, 15 minggu, dan 32 minggu. Vaksinasi dilakukan dengan rute intramuskular, dosis yang berikan sesuai dengan anjuran perusahaan yaitu 0,5 ml / ekor.
i
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam Indukan Pedaging Strain
Hubbard (Studi Kasus pada Peternakan Ayam Indukan Pedaging)”. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tak langsung khususnya kepada :
1. Ibu drh. Sri Murtini, MSi selaku dosen pembimbing I, yang telah memberikan waktu, tenaga, dan arahan selama penelitian dan penulisan.
2. Ibu Ratu Cahyaningrat, SE selaku dosen pembimbing II, yang telah memberikan waktu, tenaga dan izin untuk melakukan penelitian di peternakan ayam P.T. Serpong Unggas Jaya, Tangerang.
3. Ibu drh. Ekowati Handaryani, MS. Ph.D. selaku Dosen Penguji pada saat seminar dan ujian akhir skripsi.
4. Ibu drh. Titiek Sunartatie, MS selaku dosen Pembimbing Akademik. 5. Bapak drh. M.B.M. Malole selaku dosen Pembimbing Akademik.
6. Ayahanda dan ibunda (amak), serta seluruh keluarga tercinta atas do’a, dorongan, bantuan material maupun spiritual dan kasih sayang serta cinta yang tiada hentinya.
7. Kekasihku tersayang Rahadian Muhammad Risma Wangsa Wasita atas cinta, kasih sayang, pengertian, dorongan, kesetiaan, dan bantuan.
8. Mbak Farida, pak Nur, dan Avi yang telah membantu dalam penelitian. 9. Dian Gustrini dan Dwi Endrawati atas persahabatan kita selama ini,
semoga persahabatan kita tetap terjalin dan seluruh teman-teman Gastro 38.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Bogor, Januari 2006
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ...……….... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL
... iiiDAFTAR GAMBAR ... iv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ... 1Tujuan Penelitian ... 2
TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Indukan Pedaging ... 3Sistem Kekebalan pada Unggas ... 5
Avian Influenza (AI) ... 6
Pengendalian Penyakit Viral Avian Influenza ... 10
Vaksin dan Vaksinasi AI pada Unggas ... 11
Profil Peternakan ... 15
MATERI DAN METODA
Tempat dan Waktu Penelitian ... 17Bahan Penelitian ... 17
Metode Penelitian ... 17
Pengambilan Darah dan Evaluasi Titer Antibodi ... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20
KESIMPULAN DAN SARAN
... 25DAFTAR PUSTAKA ... 26
LAMPIRAN ... 28
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Rancangan penelitian pada masing-masing kelompok ... 18 Tabel 2 Rataan titer antibodi pada masing-masing kelompok ayam ….. 20 Tabel 3 Rataan titer antibodi indukan pada anak ayam dari
masing-masing kelompok ... 23
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Ayam ras strain Hubbard ... 5 Gambar 2 Kenaikkan titer antibodi setelah vaksinasi dengan
vi
Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam
Indukan Pedaging Strain
Hubbard
(Studi Kasus pada Peternakan
Ayam Indukan Pedaging)
Oleh
YUNI HARTATI
B04101063
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam Indukan Pedaging Strain Hubbard (Studi Kasus pada Peternakan Ayam Indukan Pedaging).
Nama : Yuni Hartati NRP : B04101063
Menyetujui :
drh. Sri Murtini, MSi Ratu Cahyaningrat, SE Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui :
Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
Wakil Dekan
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Juni 1983 di Muara Bungo sebagai anak tunggal dari ayah Sudirman dan ibu Ermawati. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri No 200/II Simpang Teluk Pandak (1990-1995). Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri I Rimbo Bujang (1995-1998). Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMUN I Rimbo Bujang (1998-2001). Pada tahun 2001 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam merupakan komoditi ternak yang cukup tinggi populasinya di
Indonesia. Hal tersebut karena ayam merupakan ternak yang banyak diusahakan
oleh masyarakat. Dipilihnya ayam sebagai ternak yang diusahakan secara
komersial karena masa panen ayam cepat dan pemeliharaannya relatif lebih
mudah dibandingkan hewan lainnya (Akoso 1998). Daging dan telur ayam
merupakan sumber protein hewani utama masyarakat Indonesia, karena harganya
yang relatif terjangkau. Usaha peternakan ayam juga dapat menjadi sumber
penghasilan bagi peternak untuk memenuhi kebutuhannya. Namun usaha
peternakan ayam tidak selalu berjalan lancar. Ada beberapa kendala yang harus
dihadapi oleh peternak, salah satunya adalah munculnya berbagai macam penyakit
pada ayam yang dapat menurunkan tingkat produksinya bahkan menyebabkan
kematian (Anonim 2004a). Penyakit flu burung merupakan salah satu penyakit
menular pada unggas yang pertama kali mewabah di Indonesia sejak Agustus
2003. Akibat penyakit tersebut peternak mengalami kerugian yang besar akibat
tingginya kematian ayam. Banyak pekerja kandang kehilangan lapangan
pekerjaan dan tidak terpenuhinya kebutuhan protein hewani dalam negeri.
Dampak ini juga dirasakan oleh pemerintah, dengan adanya peningkatan jumlah
pengangguran dan terjadinya penurunan pendapatan daerah (Indartono et al.
2005).
Penyakit flu burung atau Avian Influenza adalah suatu penyakit menular
pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Menurut Soejoedono
dan Handaryani (2005), secara normal, virus AI hanya menginfeksi ternak unggas
seperti ayam, kalkun, dan itik. Namun data terakhir menunjukkan bahwa virus AI
juga dapat menginfeksi ternak lain, terutama babi. Virus AI menyerang organ
pernapasan, pencernaan, dan sistem saraf unggas. Penyebaran yang hebat dari
virus Avian Influenza disebabkan oleh migrasi burung-burung liar dan
transportasi unggas terinfeksi. Penyakit ini menyebabkan 30-50 juta ekor unggas
v
Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam
Indukan Pedaging Strain
Hubbard
(Studi Kasus pada Peternakan
Ayam Indukan Pedaging)
Oleh
YUNI HARTATI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ABSTRAK
YUNI HARTATI. Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam Indukan Pedaging Strain Hubbard (Studi Kasus pada Peternakan Ayam Indukan Pedaging). Dibawah bimbingan drh. Sri Murtini, MSi dan Ratu Cahyaningrat, SE.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat efikasi vaksin AI inaktif pada peternakan ayam indukan pedaging. Penelitian ini merupakan studi kasus di sebuah peternakan ayam indukan pedaging. Sebanyak 20.000 ekor ayam dibagi dalam empat kandang tertutup (close house) yaitu K1, K2, K3, dan K4 yang masing-masing kandang diisi oleh 5000 ekor ayam. Tiap kandang terdiri dari 10 pen dan setiap pen diisi oleh 500 ekor ayam. Vaksinasi AI menggunakan vaksin AI inaktif (Killed Vaccine) konvensional homolog. Vaksinasi dilakukan pada saat ayam berumur 10 minggu, 15 minggu, dan 32 minggu. Vaksinasi dilakukan dengan rute intramuskular, dosis yang berikan sesuai dengan anjuran perusahaan yaitu 0,5 ml / ekor.
i
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam Indukan Pedaging Strain
Hubbard (Studi Kasus pada Peternakan Ayam Indukan Pedaging)”. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tak langsung khususnya kepada :
1. Ibu drh. Sri Murtini, MSi selaku dosen pembimbing I, yang telah memberikan waktu, tenaga, dan arahan selama penelitian dan penulisan.
2. Ibu Ratu Cahyaningrat, SE selaku dosen pembimbing II, yang telah memberikan waktu, tenaga dan izin untuk melakukan penelitian di peternakan ayam P.T. Serpong Unggas Jaya, Tangerang.
3. Ibu drh. Ekowati Handaryani, MS. Ph.D. selaku Dosen Penguji pada saat seminar dan ujian akhir skripsi.
4. Ibu drh. Titiek Sunartatie, MS selaku dosen Pembimbing Akademik. 5. Bapak drh. M.B.M. Malole selaku dosen Pembimbing Akademik.
6. Ayahanda dan ibunda (amak), serta seluruh keluarga tercinta atas do’a, dorongan, bantuan material maupun spiritual dan kasih sayang serta cinta yang tiada hentinya.
7. Kekasihku tersayang Rahadian Muhammad Risma Wangsa Wasita atas cinta, kasih sayang, pengertian, dorongan, kesetiaan, dan bantuan.
8. Mbak Farida, pak Nur, dan Avi yang telah membantu dalam penelitian. 9. Dian Gustrini dan Dwi Endrawati atas persahabatan kita selama ini,
semoga persahabatan kita tetap terjalin dan seluruh teman-teman Gastro 38.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Bogor, Januari 2006
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ...……….... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL
... iiiDAFTAR GAMBAR ... iv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ... 1Tujuan Penelitian ... 2
TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Indukan Pedaging ... 3Sistem Kekebalan pada Unggas ... 5
Avian Influenza (AI) ... 6
Pengendalian Penyakit Viral Avian Influenza ... 10
Vaksin dan Vaksinasi AI pada Unggas ... 11
Profil Peternakan ... 15
MATERI DAN METODA
Tempat dan Waktu Penelitian ... 17Bahan Penelitian ... 17
Metode Penelitian ... 17
Pengambilan Darah dan Evaluasi Titer Antibodi ... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20
KESIMPULAN DAN SARAN
... 25DAFTAR PUSTAKA ... 26
LAMPIRAN ... 28
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Rancangan penelitian pada masing-masing kelompok ... 18 Tabel 2 Rataan titer antibodi pada masing-masing kelompok ayam ….. 20 Tabel 3 Rataan titer antibodi indukan pada anak ayam dari
masing-masing kelompok ... 23
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Ayam ras strain Hubbard ... 5 Gambar 2 Kenaikkan titer antibodi setelah vaksinasi dengan
vi
Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam
Indukan Pedaging Strain
Hubbard
(Studi Kasus pada Peternakan
Ayam Indukan Pedaging)
Oleh
YUNI HARTATI
B04101063
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam Indukan Pedaging Strain Hubbard (Studi Kasus pada Peternakan Ayam Indukan Pedaging).
Nama : Yuni Hartati NRP : B04101063
Menyetujui :
drh. Sri Murtini, MSi Ratu Cahyaningrat, SE Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui :
Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
Wakil Dekan
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Juni 1983 di Muara Bungo sebagai anak tunggal dari ayah Sudirman dan ibu Ermawati. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri No 200/II Simpang Teluk Pandak (1990-1995). Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri I Rimbo Bujang (1995-1998). Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMUN I Rimbo Bujang (1998-2001). Pada tahun 2001 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam merupakan komoditi ternak yang cukup tinggi populasinya di
Indonesia. Hal tersebut karena ayam merupakan ternak yang banyak diusahakan
oleh masyarakat. Dipilihnya ayam sebagai ternak yang diusahakan secara
komersial karena masa panen ayam cepat dan pemeliharaannya relatif lebih
mudah dibandingkan hewan lainnya (Akoso 1998). Daging dan telur ayam
merupakan sumber protein hewani utama masyarakat Indonesia, karena harganya
yang relatif terjangkau. Usaha peternakan ayam juga dapat menjadi sumber
penghasilan bagi peternak untuk memenuhi kebutuhannya. Namun usaha
peternakan ayam tidak selalu berjalan lancar. Ada beberapa kendala yang harus
dihadapi oleh peternak, salah satunya adalah munculnya berbagai macam penyakit
pada ayam yang dapat menurunkan tingkat produksinya bahkan menyebabkan
kematian (Anonim 2004a). Penyakit flu burung merupakan salah satu penyakit
menular pada unggas yang pertama kali mewabah di Indonesia sejak Agustus
2003. Akibat penyakit tersebut peternak mengalami kerugian yang besar akibat
tingginya kematian ayam. Banyak pekerja kandang kehilangan lapangan
pekerjaan dan tidak terpenuhinya kebutuhan protein hewani dalam negeri.
Dampak ini juga dirasakan oleh pemerintah, dengan adanya peningkatan jumlah
pengangguran dan terjadinya penurunan pendapatan daerah (Indartono et al.
2005).
Penyakit flu burung atau Avian Influenza adalah suatu penyakit menular
pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Menurut Soejoedono
dan Handaryani (2005), secara normal, virus AI hanya menginfeksi ternak unggas
seperti ayam, kalkun, dan itik. Namun data terakhir menunjukkan bahwa virus AI
juga dapat menginfeksi ternak lain, terutama babi. Virus AI menyerang organ
pernapasan, pencernaan, dan sistem saraf unggas. Penyebaran yang hebat dari
virus Avian Influenza disebabkan oleh migrasi burung-burung liar dan
transportasi unggas terinfeksi. Penyakit ini menyebabkan 30-50 juta ekor unggas
2 flu burung atau Avian Influenza telah menyebar di 11 negara Asia dan beberapa
negara dibelahan dunia lainnya, seperti : Vietnam, Kamboja, Taiwan, Jepang,
Cina, Pakistan, Laos, Thailand, Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia. Di
Indonesia Avian Influenza telah menyebar di 22 propinsi antara lain : Lampung,
Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogyakarta,
Jawa Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan
beberapa daerah lainnya (Anonim 2004c). Pemerintah telah menetapkan beberapa
langkah untuk membebaskan Indonesia dari flu burung, antara lain biosekuriti
yang ketat, vaksinasi untuk ayam di daerah endemis, dan depopulasi selektif untuk
ayam yang terbukti telah terinfeksi AI. Vaksinasi dilakukan secara massal pada
seluruh populasi unggas yang sehat. Depopulasi dilakukan pada seluruh unggas
sehat yang sekandang dengan unggas sakit (Indartono et al. 2005).
Vaksinasi telah dilakukan sejak lama terutama untuk mengatasi
penyakit-penyakit infeksius. Vaksinasi dapat dilakukan dengan pemberian vaksin aktif
maupan inaktif (Anonim 2004b). Dalam pengendalian virus AI ini digunakan
vaksin inaktif. Vaksin inaktif adalah vaksin virus mati tetapi struktur
antigenitasnya masih ada dan virus tersebut diinaktifkan dengan menggunakan
bahan kimia (Malole 1988).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efikasi vaksinasi vaksin
AI inaktif pada ayam indukan pedaging untuk menentukan program vaksinasi
TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Indukan Pedaging
Ayam pedaging atau lebih dikenal sebagai ayam ras broiler merupakan
ayam yang sengaja dikembangkan untuk menghasilkan daging berkualitas. Ayam
broiler yang dikenal saat ini merupakan ayam ras yang diseleksi untuk
menghasilkan daging dalam waktu yang cepat. Ayam ini baru dikembangkan
kurang lebih 50 tahun yang lalu. Di abad 19, ketika parlemen Inggris pada tahun
1849 melarang adu jago, para ahli unggas mengumpulkan ayam kelas bantam
yang ukurannya besar yaitu ukuran 10 sampai extra large untuk diseleksi. Dari
hasil seleksi dihasilkan bangsa ayam tipe berat Cornish. Bangsa ayam ini
kemudian dipilih yang berbulu putih dan seleksi diteruskan hingga dihasilkan
ayam broiler seperti saat sekarang dijumpai (Amrullah 2003).
Beberapa varitas dan ayam galur tertentu telah disilangkan dengan tujuan
untuk menghasilkan daging dan telur. Ayam yang diseleksi untuk tujuan
menghasilkan daging harus mampu menghasilkan daging dan menguntungkan
secara ekonomis. Secara umum, tidak mungkin membibitkan ayam yang
menghasilkan daging dan telur dalam jumlah banyak secara bersamaan.
Pemuliaan hewan ini harus memilih salah satu jenis yaitu untuk pedaging atau
petelur. Jika ditujukan untuk menghasilkan daging, kemampuan produksi telurnya
berkurang (Amrullah 2003).
Pada saat ini peternak memilih ayam yang akan dikembang berdasarkan
jenis kelamin ayam. Ayam jantan dikembangkan sebagai ayam pedaging
sedangkan ayam betina dikembangkan sebagai ayam bibit maupun petelur. Ayam
jantan yang dikembangkan harus memiliki perdagingan yang baik yang dicirikan
dari badannya yang besar, tumbuh cepat dan mempunyai konversi pakan yang
efisien. Sedangkan ayam betina yang dikembangkan sebagai ayam bibit atau
petelur harus memiliki produksi tinggi, kualitas kerabang dan telur yang baik
sehingga daya tetasnya baik dan dapat menghasilkan anak ayam yang berkualitas
4 Ayam ras yang dikembangkan oleh peternak saat ini merupakan hasil
persilangan dari berbagai macam ayam ras, sehingga diperoleh jenis ayam dengan
nilai ekonomi produksi yang tinggi dan bersifat turun temurun yang disebut strain
(Sudaryani dan Santosa 1994). Berbagai galur ayam indukan pedaging yang
dikembangkan di Indonesia yaitu ayam ras strain Hubbard, Cobb, dan lain
sebagainya. Ayam indukan pedaging strain Hubbard berasal dari Belanda,
sedangkan strain Cobb berasal dari Amerika. Ayam indukan pedaging strain
Hubbard merupakan hasil persilangan antara ayam ras strain New Hampshire dan
Cornish. Ayam ras strain New Hampshire pada awalnya dikembangkan sebagai
ayam petelur (Layer). Ayam ini memiliki ciri-ciri : bulu berwarna coklat muda
keemasan, kaki dan paruh berwarna kuning coklat, ukuran badan sedang (berat
badan ayam dewasa jantan 3,5-5 kg, betina 2,5-3), telur berwarna coklat, dan
jengger serta pial berwarna merah dengan bentuk jengger sebilah. Keunggulan
ayam ini yaitu mampu menghasilkan telur dalam jumlah banyak dan berkualitas,
serta daya tetas telur baik. Ayam ras strain Cornish memiliki ciri-ciri : bulu ada
yang berwarna hitam, putih, dan merah bergaris putih, bentuk badan padat,
kompak, berdaging penuh, cakar kaki besar, tidak berbulu, dan berwarna kuning,
jengger kecil dan berbentuk pea (ercis) telur berwarna coklat dan produksi telur
sedikit. Keunggulan ayam ini yaitu daya tetas telur baik dan menghasilkan anak
ayam yang berkualitas. Ayam indukan pedaging strain Hubbard memiliki ciri-ciri
: bulu berwarna putih, bentuk badan padat, jengger dan pial berwarna merah, telur
berwarna coklat. Keunggulan ayam ini yaitu mampu menghasilkan telur yang
dapat ditetaskan sebagai ayam bibit (Siregar 2003).
Ayam indukan pedaging strain Cobb merupakan hasil persilangan antara
ayam ras strain New Hampshire dan White Plymouth Rock.. Ayam ras strain White
Plymouth Rock memilik ciri-ciri : bulu ada yang berwarna putih, coklat,
keemasan, ukuran badan sedang dan agak bulat, jengger dan pial berwarna merah,
cuping telinga berwarna merah, bentuk jengger sebilah dan berdiri tegak, serta
telur berwarna coklat. Keunggulan ayam ini yaitu mampu menghasilkan anak
ayam sebagai ayam bibit (Parent Stock). Ayam indukan pedaging strain Cobb
memiliki ciri-ciri : bulu berwarna coklat muda, ukuran badan sedang, jengger
Keunggulan ayam ini yaitu mampu menghasilkan telur yang banyak dan
berkualitas, daya tetas telur baik serta dapat dikembangkan sebagai ayam bibit
(Siregar 2003).
Gambar 1 Ayam ras strain Hubbard.
Sistem Kekebalan pada Unggas
Antigen yang masuk ke dalam tubuh pertama kali akan dijerat sehingga
dapat diketahui sebagai bahan asing. Bila sudah dikenali sebagai bahan asing,
kemudian informasi ini dikirimkan ke sistem pembentuk antibodi atau ke sistem
kebal berperantara sel. Sistem ini harus segera menanggapi dengan membentuk
antibodi khusus dan / atau sel yang mampu menyingkirkan antigen. Sistem kebal
juga harus menyimpan “ingatan” tentang kejadian ini sehingga pada paparan
berikutnya dengan antigen yang sama, tanggapannya akan jauh lebih efisien
(Tizard 1987).
Secara umum sistem kekebalan pada unggas tidak jauh berbeda dengan
sistem kekebalan manusia maupun mamalia lainnya. Unggas mempunyai dua
organ limfoid primer yaitu timus dan bursa Fabricius. Bursa Fabricius adalah
organ limfoid primer yang berfungsi sebagai tempat pematangan dan diferensiasi
bagi sel dari sistem pembentuk antibodi, sehingga sel ini disebut sel B. Disamping
itu, bursa juga berfungsi sebagai organ limfoid sekunder (Tizard 1987). Limfosit
merupakan unsur kunci sistem kekebalan tubuh. Selama perkembangan janin,
6 menempati bursa Fabricius ditransformasi menjadi limfosit yang berperan dalam
kekebalan humoral (limfosit B). Sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel
B memori. Sel T dibagi menjadi 4 yaitu : sel T pembantu, sel T supresor, sel T
sitotoksik (sel T efektor atau sel pembunuh), dan sel T memori (Ganong 1998).
Sebelum terpapar dengan antigen yang spesifik, klon limfosit B tetap
dalam keadaan dormant di dalam jaringan limfoid. Bila ada antigen yang masuk,
makrofag yang terdapat dalam jaringan limfoid akan memfagositosis antigen
tersebut dan akan membawanya ke limfosit B didekatnya. Disamping itu antigen
tersebut juga dibawa ke sel T pembantu pada saat yang bersamaan (Guyton 1995).
Limfosit B berproliferasi menghasilkan sel plasma dan sel B memori. Selanjutnya
sel plasma akan menghasilkan antibodi sebagai sistem kekebalan humoral
(Wibawan dan Soejoedono 2003). Menurut Malole (1988), antibodi tidak dapat
menembus sel, sehingga antibodi hanya akan bekerja selama antigen berada di
luar sel. Antibodi bekerja melalui dua cara yang berbeda untuk mempertahankan
tubuh terhadap agen penyebab penyakit yaitu : (1) dengan cara langsung
menginaktivasi agen penyebab penyakit, atau (2) dengan mengaktifkan sistem
komplemen yang kemudian akan menghancurkan agen penyakit tersebut (Guyton
1995).
Anak ayam yang baru menetas memiliki antibodi maternal yang
diturunkan dari induknya. Antibodi maternal yang diperoleh secara pasif dapat
menghambat pembentukan imunoglobulin, sehingga mempengaruhi keberhasilan
vaksinasi. Penghambatan antibodi maternal berlangsung sampai antibodinya habis
yaitu sekitar 10 – 20 hari setelah menetas (Tizard 1987). Anak ayam yang
antibodi maternal asal induknya telah hilang akan menjadi sangat rentan terhadap
infeksi penyakit di alam. Oleh karena itu perlu dilakukan vaksinasi untuk
merangsang sistem kekebalan anak ayam.
Avian Influenza (AI)
Avian influenza atau flu burung adalah suatu penyakit menular pada
unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Virus ini digolongkan dalam
Virus ini bentuk virionnya membulat tidak beraturan atau menyerupai benang,
diameternya 90-120 nanometer. Partikel virus AI mempunyai lapisan luar yang
mengandung glikoprotein yang berperan dalam aktivitas aglutinasi, disebut
antigen hemaglutinin (HA) dan neuramidase (NA). Glikoprotein HA dan NA
merupakan protein permukaan yang sangat berperan dalam penempelan dan
pelepasan virus dari sel inang. Perbedaan kedua antigen pada setiap virus AI
tersebut digunakan untuk mengidentifikasi serotipe virus influenza dengan inisial
huruf H (untuk antigen hemaglutinin), dan N (untuk antigen neuramidase).
Terdapat 15 jenis antigen hemaglutinin dan 9 jenis antigen neuramidase. Jika
keduanya dikombinasikan maka terdapat 135 kemungkinan subtipe virus yang
bisa muncul. Virus influenza tipe A ini menyerang ternak unggas dan merupakan
tipe yang dapat menimbulkan wabah pada manusia. Tipe virus influenza lain
adalah virus influenza B dan C, virus ini hanya menyerang manusia, tetapi tidak
menyerang ternak (Rahardjo 2004). Virus AI dapat mengaglutinasi sel darah
merah unggas dan ditemukan pada dinding pembuluh darah inang (Lukman
2005).
Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk atau bermutasi dan
dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Mutasi bisa menjadikan virus ini
berubah menjadi virulen atau sebaliknya. Variasi antigenik pada virus AI dapat
ditemukan dengan frekuensi yang tinggi dan terjadi melalui 2 cara yaitu antigenik
drift dan antigenik shift. Antigenik drift terjadi oleh adanya perubahan struktur
antigenik yang bersifat minor pada antigen permukaan H dan/atau N. Perubahan
yang perlahan-lahan ini tidak merubah kedudukan ikatan antibodi dengan antigen.
Mutasi asam amino individual semacam itu tidak menimbulkan wabah, hanya
kehilangan kekebalan sebagian pada suatu populasi dan beberapa infeksi sehingga
menimbulkan gejala ringan. Antigenik shift terjadi oleh adanya perubahan struktur
antigenik yang bersifat dominan pada antigen permukaan H dan/atau N.
Perubahan dapat terjadi pada seluruh bagian hemaglutinin sehingga terbentuk
hemaglutinin yang baru dari virus tersebut. Perubahan ini dapat menimbulkan
wabah yang luas ke seluruh dunia. Hal ini terjadi karena tidak ada lagi
perlindungan kekebalan yang tersisa untuk melawan infeksi virus baru tersebut.
8 mamalia. Pengaturan kembali struktur genetik dari virus pada unggas dan
mamalia diperkirakan merupakan mekanisme timbulnya strain baru virus (Tabu
2000 dalam Mulia 2005). Pada suatu keadaan tertentu dapat terjadi infeksi dua
strain virus. Pertukaran segmen gen antara virus asal manusia dan virus asal
unggas dapat terjadi dan akan menghasilkan virus reassortant baru (Rahardjo
2004). Subtipe virus AI yang ganas adalah kelompok subtipe H5 dan H7. Infeksi
virus AI dapat mengakibatkan gangguan fungsi respirasi dan juga menimbulkan
efek pada sistem kardiovaskular sehingga akan menghambat pertumbuhan ayam
(Dunn et al. 2003).
Virus dikeluarkan dari tubuh unggas terinfeksi melalui sekresi hidung dan
feses. Virus ini dapat bertahan lama dalam kondisi lingkungan yang lembab dan
dingin. Virus ini mampu bertahan bertahan selama 30-35 hari pada suhu 40C dan
lebih dari 30 hari pada suhu 00C. Virus AI akan mati pada pemanasan 60 0C
selama 30 menit dan pemaparan menggunakan detergent, desinfektan misalnya
formalin, serta cairan yang mengandung iodin (Indartono et al. 2005).
Subtipe virus yang ditemukan mewabah dan menyebabkan terjadinya flu
burung di beberapa negara Asia adalah H5N1. Subtipe H5N1 ini pertama kali
ditemukan di Italia pada tahun 1878 dan sangat cepat menular pada unggas serta
cepat menyebabkan kematian. Virus H5N1 termasuk tipe ganas, tetapi peka
terhadap panas. Virus ini memiliki masa inkubasi 1 sampai 3 hari. Selain itu, virus
AI memiliki daya replikasi tinggi sehingga dapat berkembang sangat cepat di
dalam tubuh (Soejoedono dan Handaryani 2005). Patogenitas virus AI
dipengaruhi oleh spesies hewan, umur inang, keterpaparan dengan antigen (virus
AI), dan faktor lingkungan (Bano et al. 2003).
Terdapat beberapa kelompok hewan selain unggas yang rentan terhadap
virus flu burung meliputi kelompok mamalia terdiri dari babi, anjing, kucing,
kuda, kambing, dan manusia. Mahkluk yang berhasil bertahan hidup setelah
terinfeksi flu burung akan memiliki kekebalan selama 1-2 tahun, tetapi tidak kebal
terhadap virus flu burung subtipe lainnya. Pada umumnya zat kebal tubuh yang
ditimbulkan karena imunisasi atau infeksi virus alami dapat menangkal serangan
infeksi virus yang kedua. Prinsip serangan sistem kekebalan pada penyakit flu
Gejala klinik dari Avian Influenza ini bervariasi diantaranya, hewan susah
bernafas, sayap jatuh, jengger, pial, dan kulit perit yang tidak ditumbuhi bulu
berwarna biru keunguan, pembengkakan di sekitar kepala dan muka, ada cairan
yang keluar dari hidung dan mata, pendarahan di bawah kulit (sub kutan),
pendarahan titik (ptechie) pada daerah dada, kaki, dan telapak kaki, batuk, bersin
dan ngorok, diare, tingkat kematian tinggi. Berdasarkan patogenitasnya, virus flu
burung diklasifikasikan menjadi dua yaitu Low Pathogenic Avian Influenza
(LPAI) yang bersifat kurang ganas dan Highly Pathogenic Avian Influenza
(HPAI) yang bersifat ganas. HPAI dapat menyebabkan 100 % kematian pada
unggas yang terinfeksi virus ini (Soejoedono dan Handaryani 2005). Sebagian
besar subtipe virus AI termasuk dalam kategori LPAI yang apabila berjangkit
pada ayam akan menimbulkan gejala ringan. Gejala klinis infeksi LPAI sangat
tergantung pada ras ayam, jenis kelamin, kekebalan tubuh dan kondisi lingkungan
sekitar. LPAI bersifat kurang ganas dan tidak menimbulkan infeksi sekunder.
Ayam yang terjangkit LPAI secara umum tidak menunjukkan gejala klinis pada
awal infeksi sehingga sulit untuk diidentifikasi adanya hewan yang terinfeksi.
Salah satu gejala klinis yang dapat diamati yaitu terjadinya penurunan produksi
telur atau bahkan berhenti sama sekali, kerabang lembek, terjadi gangguan
pernapasan, nafsu makan menurun (anoreksia), depresi, dan tingkat kematian
rendah. Jika LPAI bermutasi menjadi HPAI, maka akan menimbulkan kematian
massal pada populasi unggas (Dunn et al. 2003)
Sumber utama penularan penyakit flu burung yaitu spesies lain dalam
kelompok unggas misalnya itik, entog, burung puyuh, burung-burung kesayangan
disekitar kandang, burung liar, dan unggas komersial yang telah terinfeksi. Flu
burung menular dari unggas ke unggas, dan dari unggas ke manusia, melalui air
liur, lendir dari hidung dan feses. Penyebaran utama penularan dari unggas ke
unggas tergantung subtipe virus, spesies unggas, dan faktor lingkungan, dapat
berasal dari virus yang sudah ada ditempat terjadinya infeksi atau masuknya virus
baru yang ditularkan oleh unggas liar. Penyakit ini dapat menular melalui udara
yang tercemar virus H5N1 dari kotoran atau sekreta burung/unggas yang
menderita flu burung. Penularan dari unggas ke manusia juga dapat terjadi jika
10 yang banyak. Contohnya pekerja di peternakan ayam, pemotong ayam dan
penjamah produk unggas lainnya (Indartono et al. 2005). Transmisi virus AI dapat
berlangsung melalui aerosol dan droplet serta unggas air (reservoir) (Murphy et
al. 1999).
Pengendalian Penyakit Viral Avian Influenza
Di Indonesia, langkah yang ditempuh untuk meredam keganasan AI
adalah dengan menerapkan 9 strategi diantaranya : peningkatan biosekuriti,
program vaksinasi, depopulasi (pemusnahan terbatas) di daerah tertular,
pengendalian lalu-lintas unggas, produk unggas dan limbah peternakan unggas,
surveilans dan penelusuran, pengisian kandang kembali (restocking), stamping out
(pemusnahan menyeluruh) di daerah tertular baru, peningkatan kesadaran
masyarakat (public awareness) serta monitoring dan evaluasi. Vaksinasi
dilakukan atas dasar pertimbangan tingkat kejadian penyakit atau untuk
mengantisipasi mengganasnya agen penyebab penyakit tertentu di satu lokasi
peternakan. Selain itu diperlukan biosekuriti yang ketat serta tata laksana
peternakan yang tepat untuk mencegah serangan virus AI (Indartono et al. 2005).
Biosekuriti adalah suatu tindakan pencegahan penyebaran penyakit ke
dalam suatu peternakan dan harus dilaksanakan secara ketat. Pada prinsipnya
biosekuriti mencakup 3 hal utama yaitu meminimalkan keberadaan agen penyebab
penyakit, menimimalkan kesempatan agen penyakit berhubungan dengan induk
semang, dan membuat lingkungan sedemikian rupa sehingga tidak kondusif untuk
kehidupan agen penyakit. Vaksinasi merupakan salah satu cara efektif untuk
memutus siklus suatu penyakit. Efektifitas vaksinasi AI dengan kombinasi
bersama pelaksanaan biosekuriti ketat terbukti mampu meredam kasus AI di tanah
air, yang telah dilakukan sejak November 2003 (Indartono et al. 2005). Vaksinasi
harus dilakukan pada semua jenis unggas yang sehat di daerah yang diketahui
telah ada virus flu burung. Vaksin yang digunakan adalah vaksin inaktif yang
resmi atau telah teregistrasi dari pemerintah (Seojoedono dan Handaryani 2005).
Depopulasi dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit lebih luas.
timbulnya gejala penyakit. Depopulasi dilakukan terhadap semua unggas tertular
dan sehat yang sekandang dengan dibunuh atau disembelih sesuai prosedur
pemotongan unggas. Depopulasi harus selalu diikuti dengan disposal (Rahardjo
2004). Pengaturan lalu lintas ternak bertujuan untuk menghindari terjadinya
pemindahan ternak yang sudah terinfeksi dari suatu daerah ke daerah lain yang
memungkinkan penyebaran virus lebih cepat. Surveilans dilakukan dengan cara
pengambilan sampel dari peternakan di daerah tertular, terancam maupun bebas.
Penelusuran bertujuan untuk mengidentifikasi penyebaran penyakit dan harus
mengikuti seluruh lalu lintas unggas, produk unggas dan lain sebagainya
(Indartono et al. 2005).
Pengisian kembali (restoking) unggas ke dalam kandang dapat dilakukan
paling cepat satu bulan setelah dilakukan pengosongan kandang dan telah selesai
dilaksanakan semua tindakan dekontaminasi dan disposal sesuai prosedur
(Seojoedono dan Handaryani 2005). Stamping out atau pemusnahan total dapat
dilaksanakan apabila di suatu peternakan baru tertular virus AI dan populasi
unggas yang terinfeksi masih terbatas. Peningkatan kesadaran masyarakat sangat
diperlukan melalui kerjasama dengan pemerintah dalam menanggulangi
penyebaran virus AI. Pada peternakan yang melakukan vaksinasi harus
melakukan monitoring. Ada 2 macam monitoring yaitu monitoring efektifitas
vaksin dan monitoring situasi epidemiologi untuk semua peternakan. Monitoring
efektifitas vaksin pada suatu daerah dilakukan pada minimal 30 peternakan yang
melakukan vaksinasi. Monitoring dilakukan dengan pemeriksaan antibodi dengan
uji HI pada 20 ekor unggas yang divaksinasi per peternakan per bulan. Monitoring
dilakukan setiap 30-45 hari dengan uji serologi (Rahardjo 2004).
Vaksin dan Vaksinasi AI pada Unggas
Tindakan pemusnahan virus AI oleh OIE adalah stamping out pada daerah
yang baru tertular virus AI. Namun setelah diadakan simposium Internasional AI
yang pertama pada tahun 1981, tindakan stamping out ini ditentang oleh berbagai
negara dengan alasan tidak memperhatikan kesejahteraan hewan. Sejak saat itu,
12 (Anonim 2004d). Vaksinasi adalah tindakan memasukkan antigen berupa virus
atau agen penyakit yang telah dilemahkan ke dalam tubuh sehat dengan maksud
untuk merangsang pembentukan kekebalan. Kekebalan tersebut diharapkan dapat
melindungi individu yang bersangkutan terhadap infeksi penyakit di alam (Tizard
1987). Vaksin secara umum adalah mikroorganisme atau parasit baik hidup
maupun yang telah dimatikan. Mikroorganisme tersebut dapat merangsang
pembentukan kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu (Malole 1988). Ada
beberapa jenis vaksin yaitu vaksin aktif, inaktif, rekombinan subunit, dan DNA.
Vaksin inaktif berisi antigen yang mati, sedangkan yang aktif berisi antigen hidup
(Ronohardjo 1995 dalam Syamsi 2003). Vaksin inaktif biasanya dibuat dari virus
virulen yang kemudian diinaktifkan secara fisik maupun dengan menggunakan
bahan-bahan kimia, tanpa merusak imunogenitas virus tersebut. Untuk
meningkatkan imunogenitas vaksin inaktif biasanya vaksin tersebut ditambah
dengan adjuvan. Adjuvan merupakan bahan kimia yang memperlambat proses
penghancuran antigen dalam tubuh serta merangsang pembentukan kekebalan.
Adjuvan yang sering dicampurkan ke dalam vaksin antara lain lemak nabati,
minyak mineral dan Al (OH)3 (Malole 1988).
Vaksin inaktif yang baik harus memberikan proteksi terhadap lebih dari
95% hewan dalam suatu percobaan atau tidak lebih dari 5% hewan yang terinfeksi
atau sakit (Malole 1988). Salah satu proses inaktifasi virus yaitu dengan
menggunakan bahan-bahan penginaktif seperti formalin, beta propiolakton,
asetilkimin (AEI) dan etilenimin (EEI) (Edington 1986 dalam Mulia 2005). Sejak
tahun 1990, beta propiolakton digunakan untuk menginaktif virus AI dalam
bentuk emulsi minyak oleh negara Mexico dan Pakistan. Di negara El savador dan
Guatemala, mereka menggunakan vaksin rekombinan fowl poxvirus untuk
mengatasi serangan virus AI. Beta propiolakton banyak digunakan oleh berbagai
negara di Asia untuk menginaktif virus AI, karena mampu membunuh virus AI
secara keseluruhan sehingga tidak menimbulkan virulensi bagi unggas yang
divaksin. Namun beta propiolakton mudah meledak, sehingga harus berhati-hati
dalam penggunaannya. Vaksinasi AI harus dapat melindungi hewan sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis dan kematian, mengurangi jumlah virus yang
seperti HPAI. Vaksinasi AI harus disertai dengan monitoring, biosekuriti, serta
depopulasi di daerah tertular agar keberhasilan vaksinasi dapat dicapai (Anonim
2004d).
Terdapat beberapa jenis vaksin yang digunakan untuk mengatasi virus AI
yaitu vaksin konvensional, vaksin rekombinan. Vaksin konvensional ada 2 yaitu
vaksin homolog dan heterolog. Vaksin konvensional diperoleh dengan cara
menginfeksikan virus HPAI atau LPAI ke dalam cairan alantois dan
diinaktifkan dengan beta propiolakton atau formalin serta minyak mineral dalam
bentuk emulsi sebagai adjuvan. Pada Vaksin konvensional homolog merupakan
vaksin dengan jenis virus AI yang memiliki subtipe hemaglutinin dan
neuraminidase sama dengan jenis virus yang menginfeksi ayam di daerah tersebut.
Sedangkan pada vaksin konvensional heterolog, jenis virus AI yang terdapat
dalam vaksin tersebut hanya memiliki kesamaan subtipe hemaglutinin dengan
virus penginfeksi di daerah tersebut. Vaksin konvensional homolog lebih sering
digunakan karena lebih mudah dalam pemeriksaan jenis virus. Dengan demikian,
bila terjadi mutasi virus AI dapat segera terdeteksi. Sedangkan vaksin
konvensional heterolog, hanya memiliki kesamaan subtipe hemaglutinin sehingga
mutasi virus AI pada subtipe neuraminidasenya susah untuk dideteksi. Kombinasi
subtipe virus yang banyak dan perbedaan strain virus AI merupakan salah satu
kendala dalam penbuatan vaksin AI. Vaksin ini mampu mengatasi serangan virus
AI yang memiliki subtipe hemaglutinin yang sama. Namun dalam aplikasinya,
konsentrasi vaksin harus ditingkatkan. Vaksin rekombinan untuk virus AI
diperoleh dengan cara memasukkan kode genetik untuk hemaglutinin virus AI ke
dalam vektor virus hidup. Vaksin rekombinan vektor hidup memiliki beberapa
keuntungan, antara lain : Vaksin hidup dapat meningkatkan kekebalan humoral
maupun selular, dapat digunakan untuk unggas yang masih muda, serta dapat
meningkatkan sistem kekebalan unggas dalam waktu yang singkat. Namun vaksin
hidup masih memiliki kemampuan untuk bereplikasi di dalam tubuh unggas,
sehingga unggas masih dapat terinfeksi virus AI (Anonim 2004d). Pada saat ini
vaksin rekombinan lebih banyak digunakan karena virus yang terdapat dalam
vaksin tersebut telah dimatikan terlebih dahulu, sehingga aman digunakan.
14 maksimal karena virus yang terdapat di dalam vaksin tersebut hanya dilemahkan.
Selain itu pembuatan vaksin konvensional membutuhkan biaya yang besar dan
proses pembuatan dengan tingkat keamanan yang tinggi (Siswono 2004).
Aspek positif dari vaksin AI inaktif berdasarkan pengalaman kasus di
Hongkong adalah proteksi klinis luas yaitu dapat digunakan untuk semua spesies
unggas, aman, standar vaksin mudah dikontrol serta tidak direkomendasikan
untuk ayam sebelum berumur 8-10 hari. Aspek negatifnya, konsentrasi virusnya
tidak distandarisasi, beresiko bila menggunakan vaksin high pathogenic,
diperlukan booster, dan monitoring lebih kompleks dengan antibodi berbeda-beda
untuk AGPT, HA, dan ELISA (Rahardjo 2004). Vaksinasi terhadap AI dengan
vaksin inaktif dapat diberikan melalui penyuntikan. Vaksin inaktif diberikan
dengan dosis yang rendah namun membutuhkan vaksinasi ulangan (booster)
sebanyak 2 atau 3 kali (Murphy et al. 1999). Vaksinasi secara penyuntikan
memerlukan pengawasan seorang ahli yaitu dokter hewan dan pemberiannya
harus sesuai dengan dosis yang ditentukan. Vaksinasi AI harus dilakukan pada
semua jenis unggas yang sehat di daerah yang telah diketahui ada virus AI
(Soejoedono dan Handaryani 2005).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mutu vaksin menurut Tizard
(1982) yaitu :
1. Cara penyimpanan
Vaksin dikemas dalam vial tertutup, disimpan pada suhu yang stabil 0-40C
dan dihindari dari cahaya matahari.
2. Cara vaksinasi
Cara penanganan vaksin dari tempat penyimpanan sampai ke tempat
vaksinasi juga mempengaruhi mutu vaksin. Vaksin harus dibawa dalam
kondisi dingin dan terhindar dari sinar matahari. Vaksin hanya diencerkan
dengan cairan khusus yang telah disediakan oleh pabrik dengan jumlah
pengencer yang telah ditentukan. Sisa vaksin yang telah diencerkan harus
dibuang dan tidak dapat digunakan lagi.
Keberhasilan vaksinasi dapat dilihat dari titer antibodi yang dibentuknya.
1. Status kesehatan unggas, berarti bahwa unggas yang divaksinasi dalam
keadaan sehat
2. Status nutrisi cukup.
3. Sanitasi lingkungan dan sistem perkandangan baik.
4. Vaksinasi dilakukan secara tepat, baik waktu serta umurnya
Keuntungan pemberian vaksin adalah mencegah timbulnya gejala klinis
dan kematian, mengurangi keluarnya virus dari tubuh unggas serta mengurangi
populasi unggas yang rentan. Kelemahan vaksinasi adalah memerlukan waktu
sebelum kekebalan protektif tercapai, flok yang divaksinasi tidak memperlihatkan
gejala kinis sesudah terekspos, tetapi tetap dapat terinfeksi virus dan bertindak
sebagai reservoir (Rahardjo 2004).
Profil Peternakan
Suatu areal peternakan memerlukan tanah yang cukup luas. Suasana
lingkungan disekitar daerah peternakan harus tenang, sehingga banyak peternakan
didirikan diluar kota dan jauh dari jalan raya serta lalu lalang manusia. Suasana
tenang ini berkaitan erat dengan produksi ayam yang bersangkutan. Peternakan
ayam yang digunakan dalam studi kasus ini merupakan peternakan ayam indukan
pedaging (breeding farm). Lokasi peternakan ini terletak di daerah Rumpin, Desa
Kerta Jaya, Kabupaten Bogor. Di lokasi peternakan tersebut dibangun 4 buah
kandang tertutup (close house), luas setiap kandangnya adalah 100 X 12 m2.
Pertumbuhan dan konversi pakan ayam pedaging sangat dipengaruhi oleh
suhu di dalam kandang. Suhu yang terlalu dingin atau terlalu panas akan
menurunkan menurunkan konsumsi ransum secara langsung, karena ayam berada
dalam cekaman stress akibat perubahan suhu. Dalam pemilihan lokasi kandang
hendaknya dipilih lokasi dengan suhu mendekati ideal yaitu 210C. Bila lokasi
dengan kondisi ideal tidak dapat diperoleh, maka dapat dilakukan modifikasi
kandang dan lain sebagainya (Amrullah 2003). Salah satu bentuk kandang adalah
kandang tertutup (Close House). Kandang tertutup adalah kandang dengan desain
seluruh dinding ditutup dan untuk ventilasi serta pengaturan suhu digunakan
16 mengurangi perbedaan ilklim yang sangat mencolok. Di dalam kandang ini,
kelembaban, suhu, serta intensitas cahaya dapat diatur sesuai kebutuhan
(Sudaryani dan Santosa 1994). Dinding harus dibuat dari bahan yang kuat dan
rapat, tetapi tetap memberikan kondisi yang nyaman bagi lingkungan dalam
kandang. Dinding tertutup pada umumnya menggunakan foam (bahan stry foam
untuk membuat dinding kedap temperatur) atau bahan rapat lainnya.
Kandang tertutup dibagi menjadi beberapa ruangan dan setiap ruangan
disekat. Kandang tertutup juga harus dilengkapi dengan alat pengatur suhu dan
kelembaban dan kandang ini didesain untuk mengurangi stres pada ayam.
Populasi ayam dalam setiap kandang juga harus dibatasi sehingga ruang gerak
ayam di dalam kandang tidak terbatas atau sempit dan ayam akan merasa nyaman.
Selain itu, penggunaan kandang tertutup bagi ayam ras komersial sangat penting,
karena ayam ini sangat peka terhadap infeksi penyakit di alam dibandingkan ayam
bukan ras.
Pengaturan suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya, kandang ayam ini
dilengkapi dengan kipas angin besar dan deck serta layar. Layar akan terbuka
secara otomatis saat listrik mati. Kelembaban di dalam kandang berkisar antara
40-60 % dan suhu rata-rata 270C. Alas lantai kandang menggunakan sistem litter.
Sistem ini berupa lantai semen atau tanah yang dipadatkan kemudian di atasnya
ditaburi kulit padi (sekam), serbuk gergaji, tongkol jagung, atau bahan lainnya
yang berfungsi untuk menyerap kotoran ayam yang jatuh. Sistem ini sangat cocok
digunakan untuk ayam pedaging, namun sistem litter ini harus dikontrol agar
kadar amoniak dalam ruang kandang tidak terlalu tinggi (Priyatno 1996). Pada
peternakan ini, ayam dipelihara secara intensif yaitu kehidupan ayam
dikendalikan secara penuh oleh si pemelihara sehingga lingkungan hidup dan
kebutuhan makan, minum harus diusahakan sebaik-baiknya dan sesempurna
mungkin. Sistem ini banyak digunakan pada pemeliharaan ayam secara modern
MATERI DAN METODA
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di peternakan ayam indukan pedaging di Bogor
dan Laboratorium Virologi FKH-IPB, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor dari bulan Januari sampai bulan September 2004.
2. Bahan Penelitian
a. Hewan Percobaan
Hewan coba ayam indukan pedaging strain Hubbard umur 10 minggu.
Jumlah ayam yang diamati sebanyak 20.000 ekor. Ayam tersebut dibagi dalam
empat kandang tertutup (close house), masing-masing kandang diisi oleh 5000
ekor ayam. Tiap kandang terdiri dari 10 pen dan setiap pen diisi oleh 500 ekor
ayam.
b. Vaksin AI
Vaksin AI yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari vaksin AI
inaktif (Killed Vaccine) konvensional homolog.
c. Reagensia dan Alat Penelitian
Bahan reagensia yaitu virus AI standar dengan titer 4 HAU/0,05 ml,
suspensi RBC 0,5%, serum kebal AI, alkohol 70 %, dan es batu.
Alat penelitian yang digunakan yaitu syring, refrigerator, mikroplate U
bottom, mikropipet 200 µl, kapas, botol kecil dan termos es.
3. Metode Penelitian
a. Rancangan percobaan
18
Tabel 1 Rancangan penelitian pada masing-masing kelompok
Kelompok Perlakuan pada ayam umur (minggu)
10 15 32
K1 Vaksinasi ke-1 Vaksinasi ke-2 Vaksinasi ke-3
K2 Vaksinasi ke-1 Vaksinasi ke-2 Vaksinasi ke-3
K3 Vaksinasi ke-1 Vaksinasi ke-2 Vaksinasi ke-3
K4 Vaksinasi ke-1 Vaksinasi ke-2 Vaksinasi ke-3
Pada penelitian ini dilakukan vaksinasi dengan vaksin AI inaktif. Rute
vaksinasi intramuskular dan dosis yang diberikan sesuai dengan anjuran
perusahaan yaitu 0,5 ml / ekor. Vaksinasi dilakukan sebanyak tiga kali pada saat
ayam berumur 10 minggu, 15 minggu, dan 32 minggu. Dari setiap pen diambil 2
ekor ayam sebagai sampel. Sampel darah diambil saat sebelum dan setelah
vaksinasi sesuai jadwal. Serum yang diambil dititrasi antibodinya terhadap virus
AI dengan uji HI.
b. Pemeliharaan Hewan Coba
Populasi ayam indukan pedaging yang diamati secara keseluruhan yaitu
20.000 ekor. Ayam ini dibagi dalam empat kandang tertutup (close house) yaitu
K1, K2, K3, dan K4. Masing-masing kandang diisi oleh 5000 ekor ayam. Pada
tiap-tiap kandang terdiri dari 10 pen dan masing-masing pen diisi oleh 500 ekor
ayam. Kandang ayam indukan pedaging ini terletak di daerah Rumpin Desa Kerta
Jaya, Kabupaten Bogor. Kelembaban di dalam kandang sekitar 40-60% dan suhu
rata-rata 270C. Ayam diberi pakan dengan standar komersial dan diberi minum ad
libitum.
4. Pengambilan Darah dan Evaluasi Titer Antibodi
Ayam diambil darahnya di daerah sayap yaitu pada vena brachialis secara
legeartis dengan menggunakan syring. Darah diambil saat sebelum dan sesudah
vaksinasi sesuai jadwal. Darah tersebut selanjutnya dibawa ke Laboratorium
dalam refrigerator selama satu malam. Selanjutnya serum yang terpisah dari darah
diambil dan dilakukan evaluasi titer antibodi dengan uji HI.
Evaluasi titer antibodi menggunakan uji Haemaglutinasi Inhibisi (HI Test)
mikrotitrasi metode Beta sebagai berikut :
● Masing-masing lubang di mikroplate dengan dasar U dimasukkan 50 µl suspensi virus AI standar dengan menggunakan mikropipet.
● 50 µl serum AI dimasukkan pada lubang pertama dan dilakukan pencampuran cairan tersebut dengan mengocok dan dipindahkan sebanyak 50 µl ke lubang
kedua dan seterusnya sampai lubang 12.
● Kemudian diinkubasikan pada suhu ruangan selama 15 menit.
● Suspensi RBC 0,5 % sebanyak 50 µl dimasukkan ke dalam seluruh sumur, lalu digoyang-goyangkan agar suspensi tercampur.
● Mikroplate didiamkan selama 30 menit dan diamati adanya penghambatan aglutinasi.
● Rataan titer antibodi dihitung dengan cara :
Log2 GMT = (Log2 t1)(S1) + (Log2 t2)(S2) + ... + (Log2 tn)(Sn)
N
Dimana :
N= jumlah contoh serum yang diamati
t= titer antibodi pada sampel
S= jumlah contoh serum yang bertiter t
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan titer antibodi 3
minggu setelah vaksinasi pertama. Ini menunjukkan bahwa vaksin AI inaktif
mampu menginduksi pembentukan antibodi dengan titer antibodi protektif 3
minggu setelah vaksinasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahardjo (2004) yang
menyatakan, bahwa berdasarkan standar OIE, 3 minggu setelah vaksinasi minimal
terbentuk antibodi setinggi 24. Setelah vaksin AI inaktif masuk ke dalam tubuh
ayam, maka virusnya tidak perlu bermultiplikasi (memperbanyak diri) tetapi
langsung memacu jaringan limfoid tubuh untuk membentuk kekebalan.
Pembentukan kekebalan yang terjadi memang relatif lebih lambat, namun dapat
bertahan dalam waktu lebih lama. Antibodi dengan titer yang tinggi tersebut
[image:39.612.132.509.374.610.2]bersifat protektif terhadap adanya infeksi lapangan (Indartono et al. 2005).
Tabel 2 Rataan titer antibodi pada masing-masing kelompok ayam
Umur
(minggu)
Rataan titer antibodi pada kelompok ayam (Log2)
K1 K2 K3 K4
10 0 ± 0 0 ± 0 0 ± 0 0 ± 0 13 5,45 ± 0,51a 4,70 ± 0,73b 5,40 ± 0,50a 4,50 ± 0,51b 16 6,45 ± 1,32a 6,15 ± 1,18a 6,85 ± 1,27a 6,50 ± 1,64a 17 6.00 ± 0,82a 5,33 ± 0,82a 5,33 ± 1,37a 5,00 ± 1,41a 22 7,50 ± 0,55a 7,50 ± 1,22a 8,00 ± 0,00a 7,83 ± 0,41a 26 7,00 ± 1,41a 7,40 ± 0,55a 7,80 ± 0,45a 7,80 ± 0,45a 31 4,40 ± 1,14a 4,00 ± 2,35a 5,20 ± 0,45a 1,60 ± 2,19b 36 7,60 ± 0,55a 7,80 ± 0,45a 8,00 ± 0,00a 7,80 ± 0,45a 41 7,00 ± 0,00b 7,40 ± 1,21ab 7,80 ± 0,45a 7,80 ± 0,45a 42 7,83 ± 0,41a 8,00 ± 0,00a 7,67 ± 0,52a 7,83 ± 0,41a 48 7,60 ± 0,55a 6,80 ± 1,30a 7,40 ± 0,55a 6,80 ± 0,84a
* Keterangan : Tanda huruf (superskrip) yang berbeda pada baris yang sama
menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada taraf uji P<0,05.
Timbulnya kekebalan protektif baru muncul 3 minggu setelah vaksinasi
adjuvan. Adjuvan akan membentuk “depo” ditempat penyuntikan dan akan
meningkatkan jumlah limfosit di lokasi tersebut. Depo berisi antigen tersebut akan
menangkap limfosit tersebut dan selanjutnya merangsang sistem kekebalan
melalui stimulasi sel limfosit T dan limfosit B secara umum dan menyeluruh
(Indartono et al. 2005). Adjuvan akan memperlambat proses penghancuran
antigen dalam tubuh serta merangsang pembentukan kekebalan (Malole 1988).
Adjuvan hanya mempengaruhi tanggap kebal primer dan sedikit pengaruhnya
terhadap tanggap kebal sekunder (Tizard 1987).
Saat ayam berumur 15 minggu dilakukan vaksinasi ke-2. Satu minggu
setelah vaksinasi kedua dari hasil evaluasi titer antibodi, terjadi peningkatan titer
antibodi yang tidak berbeda nyata diantara kelompok ayam dan titer antibodi
protektif yang dihasilkan dapat bertahan selama 15 minggu. Tingginya respon
vaksinasi kedua ini karena vaksinasi tersebut merupakan vaksinasi ulangan. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Wibawan dan Soejoedono (2003) yang menyatakan,
bahwa pemaparan oleh antigen yang sama pada saat kedua kalinya, maka terjadi
pembentukan respon imun sekunder dalam waktu singkat dan peningkatan titer
antibodi lebih tinggi dari sebelumnya. Hal ini disebabkan karena adanya sel B dan
sel T memori serta antibodi yang masih tersisa akibat pemaparan pertama. Sel T
memori akan segera mengenali antigen yang pernah dikenali sebelumnya dan
membantu sel B untuk berproliferasi dan menghasilkan sel plasma, selanjutnya sel
plasma akan membentuk antibodi. Sistem pembentukan antibodi memiliki
kemampuan untuk “mengingat” keterpaparan dengan suatu antigen sebelumnya
(Tizard 1987). Pada saat ayam berumur 31 minggu atau 16 minggu setelah
vaksinasi kedua, mulai terjadi penurunan titer antibodi. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Malole (2005) yang menyatakan bahwa titer antibodi protektif akan
22
Gambar 2 Kenaikkan titer antibodi setelah vaksinasi dengan vaksin AI inaktif.
Pada umur 32 minggu dilakukan vaksinasi ke-3. Pemberian booster yang
ke-3 ini sesuai dengan pernyataan Tizard (1987) yang menyatakan vaksin inaktif
menghasilkan kekebalan yang lemah karena virus inaktif tidak mampu bereplikasi
di dalam tubuh, sehingga memerlukan booster yang berulang kali agar dapat
mempertahankan titer antibodi protektif. Empat minggu setelah vaksinasi ke-3
terlihat kembali adanya peningkatan titer antibodi yang tidak berbeda nyata
diantara kelompok ayam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wibawan dan
Soejoedono (2003) yang menyatakan, pada saat pemaparan kedua dan seterusnya,
antigen akan dapat dikenal oleh sel pertahanan dengan lebih efisien. Kondisi
tersebut disebabkan oleh jumlah sel B dan T spesifik juga lebih banyak,
kemungkinan untuk berinteraksi dengan antigen akan lebih besar, sehingga titer
antibodi juga cepat meningkat. Titer antibodi yang terbentuk setelah vaksinasi
ke-3 ini lebih tinggi dari sebelumnya dan memerlukan waktu yang semakin
singkat. Setelah vaksinasi ke-3, titer antibodi protektif mampu bertahan sampai
masa akhir produksi ayam (umur 60 minggu).
Tabel 3 Rataan titer antibodi indukan pada anak ayam dari masing-masing
Kelompok
Kelompok Titer antibodi Log 2
K1 4,40 ± 1,14a
K2 4,20 ± 1,48 a
K3 4,40 ± 1,14a
K4 4,00 ± 1,58a
* Keterangan : Tanda huruf (superskrip) yang berbeda menunjukkan nilai yang
berbeda nyata pada taraf uji P<0,05.
Tingginya titer antibodi pada ayam indukan ini juga diturunkan pada anak
ayam melalui telur. Hasil evaluasi titer antibodi, menunjukkan bahwa anak ayam
pada masing-masing kelompok memiliki titer antibodi dengan titer cukup
protektif yang diturunkan dari induk ayam. Titer antibodi maternal pada anak
ayam dari masing-masing kelompok tidak berbeda nyata. Hal ini terjadi karena
semua kelompok ayam mendapat perlakuan yang sama, sehingga antibodi
maternal pada anak ayam yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Tizard (1987) yang menyatakan anak ayam memperoleh
antibodi IgG dari kuning telur. Imunoglobulin ini dapat diturunkan dari serum
induk ayam ke dalam kuning telur ketika telur masih berada dalam ovarium.
Dalam fase cair kuning telur, IgG ditemukan memiliki titer yang sama dengan
yang ada dalam serum induk. Selama embrio ayam berkembang, IgG dari kuning
telur akan diserap. Sedangkan IgM dan IgA maternal ditemukan dalam cairan
amnion akan ditelan oleh embrio. Dengan demikian bila anak ayam menetas, telah
memiliki IgG di dalam serum dan IgM dan IgA di dalam saluran pencernaan.
Titer antibodi induk yang tinggi akan mempengaruhi titer antibodi maternal pada
anak ayam. Malole (2005) menyatakan bahwa anak ayam berasal dari induk ayam
yang divaksinasi mempunyai titer antibodi maternal lebih lama, dan akan
mempengaruhi umur vaksinasi pada anak ayam tersebut. Lamanya antibodi
maternal ini dipengaruhi oleh banyaknya antibodi yang dipindahkan kepada anak
ayam yang baru menetas dan umur paro imunoglobulin yang bersangkutan
24 kurun waktu yang singkat, namun akan mempengaruhi perkembangan tanggap
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa vaksinasi AI dengan vaksin
inaktif mampu menginduksi pembentukan antibodi dengan titer protektif.
Vaksinasi AI dengan vaksin inaktif memerlukan 3 kali ulangan untuk
mempertahankan titer antibodi protektif. Titer antibodi induk yang tinggi dapat
diturunkan pada anak ayam.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap respon kekebalan vaksin
26
DAFTAR PUSTAKA
Akoso BT. 1998. Manual Kesehatan Unggas. Kanisius, Yogyakarta.
Amrullah IK. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunungbudi. Bogor.
Anonimous. 2004a. Kajian Masalah Kesehatan. http://www.litbang.depkes/flu burung1.htm. [25 Januari 2004].
Anonimous. 2004b. Bagaimana Mengendalikan Influenza Unggas. http://www. Poultryindonesia.com. [22 Desember 2003].
Anonimous. 2004c. Flu Burung. http://www.infeksi.com/penyakit_flu burung 1.htm [15 Januari 2004].
Anonimous. 2004d. Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animal. Edisi ke-5. http:www.oie.int/eng/normes/manual/A-37.htm. [11 September 2005].
Bano S, Naeem K, Malik SA. 2003. The Fifth International Symposium on Avian Influenza. The University of Georgia, Athens, GA.
Direktoral Jendral Bina Produksi Peternakan. 2004. Kebijakan Pemerintah RI Dalam Penanggulangan Wabah Avian Influenza. Makalah Seminar. FKH, IPB. Bogor.
Dunn PA, Wallner EA, Lu H, Shaw DP, Kradel D. 2003. The Fifth International Symposium on Avian Influenza. The University of Georgia, Athens, GA.
Ganong WF. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 17. Widjajakusumah, M, Dkk, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology.
Guyton AC. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 7. Bagian I. Tengadi, K.A, Dkk, penerjemah; Oswari, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari:
Text Book of Medical.
Lukman DW. 2005. Diktat Penyakit Zoonosis. Bagian Kesmavet, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, FKH, IPB. Bogor.
Malole MBM. 2005. Komunikasi pribadi.
Malole MBM. 1988. Virologi. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor.
Mulia BH. 2005. Inaktivasi Virus Avian Influenza (AI) Untuk Pembuatan Vaksin AI Inaktif dengan Penambahan Formalin Konsentrasi Bertingkat [skripsi]. FKH, IPB. Bogor.
Murphy FA, E. Paul JG, Marian CH, Michael JS. 1999. Veterinary Virology.
Third Edition. Academic Press. USA.
Rahardjo Y. 2004. Avian Influenza, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasannya: Hasil Investigasi Kasus Lapangan. Edisi I. PT Gallus Indonesia Utama. Jakarta.
Russel PH, Edington N. 1986. Veterinary Viruses. Royal Veterinary College. London.
Siregar R. 2003. Beternak Ayam Broiler Komersial. Penebar Swadaya. Jakarta.
Siswono. 2004. Vaksin Flu Burung Belum Maksimal. http://www. Mediaindo.co.id. [ 10 Desember 2005].
Soejoedono RD, Handaryani E. 2005. Flu Burung. Penebar Swadaya. Jakarta. Sudaryani T, Santoso H. 1994. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya. Jakarta.
Syamsi L. 2003. Efektifitas Vaksinasi ND dengan Cara Spray pada Ayam Buras Diukur dari Kenaikan Titer Antibodi dan Berat Badan [skripsi]. FKH, IPB. Bogor.
Tizard. 1987. Pengantar Imunologi Veteriner. Edisi II. Partodiredjo, M, penerjemah. Surabaya: Airlangga University Press. Terjemahan dari:
Introduction to Veterinary Immunology.
Utami S. 1998. Infeksi Buatan Virus ND pada burung puyuh (Coturnix coturnix Japonica) [skripsi]. FKH, IPB. Bogor.
Lampiran
UJI BEDA NILAI TENGAH MINGGU KE‐13 (UMUR) Analysis of Variance Procedure
Class Level Information
Class Levels Values PERL 4 K1 K2 K3 K4
Number of observations in data set = 80
Analysis of Variance Procedure
Dependent Variable: MG4
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 3 14.03750000 4.67916667 14.25 0.0001 Error 76 24.95000000 0.32828947
Corrected Total 79 38.98750000
R‐Square C.V. Root MSE MG4 Mean 0.360051 11.43073 0.57296551 5.01250000 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F PERL 3 14.03750000 4.67916667 14.25 0.0001 Analysis of Variance Procedure
Level of ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐MG13‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ PERL N Mean SD K1 20 5.45000000 0.51041779 K2 20 4.70000000 0.73269510
K3 20 5.40000000 0.50262469
K4 20 4.50000000 0.51298918 Analysis of Variance Procedure
Duncan's Multiple Range Test for variable: MG13
NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate
Alpha= 0.05 df= 76 MSE= 0.328289
Number of Means 2 3 4
Critical Range .3609 .3797 .3922
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N PERL A 5.4500 20 K1
A 5.4000 20 K3 B 4.7000 20 K2
B 4.5000 20 K4
UJI BEDA NILAI TENGAH MINGGU KE‐16 (UMUR) Analysis of Variance Procedure
Class Level Information
Class Levels Values PERL 4 K1 K2 K3 K4
Number of observations in data set = 80 Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: MG7
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 3 4.93750000 1.64583333 0.89 0.4519 Error 76 141.05000000 1.85592105
Corrected Total 79 145.98750000
R‐Square C.V. Root MSE MG7 Mean 0.033821 20.99918 1.36232193 6.48750000 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F
PERL 3 4.93750000 1.64583333 0.89 0.4519 Analysis of Variance Procedure
Level of ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐MG16‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ PERL N Mean SD K1 20 6.45000000 1.31689427 K2 20 6.15000000 1.18210339
K3 20 6.85000000 1.26802789 K4 20 6.50000000 1.63835604
Analysis of Variance Procedure
Duncan's Multiple Range Test for variable: MG16
NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate
Alpha= 0.05 df= 76 MSE= 1.855921
Number of Means 2 3 4 Critical Range .8580 .9028 .9324
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N PERL A 6.8500 20 K3
A 6.5000 20 K4 A 6.4500 20 K1
UJI BEDA NILAI TENGAH MINGGU KE‐17 (UMUR) General Linear Models Procedure
Class Level Information Class Levels Values
PERL 4 K1 K2 K3 K4 Number of observations in data set = 22
General Linear Models Procedure Dependent Variable: MG8
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 2.42424242 0.80808081 0.59 0.6297
Error 18 24.66666667 1.37037037 Corrected Total 21 27.09090909
R‐Square C.V. Root MSE