• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan Umum Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan Umum Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA (PENUMPANG)

ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 2009

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DIAN NATALIA

NIM : 070200147

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA (PENUMPANG) ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 2009

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DIAN NATALIA

NIM : 070200147

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum Maria Kaban, S.H., M.Hum

NIP. 196603031985081001 NIP. 196012251987032091

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih setia Nya yang selalu memenuhi hari-hari saya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk melengkapi tugas akhir dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Saya telah berupaya dan berusaha sebaik dan semaksimal mungkin dalam mengerjakan skripsi ini untuk memperoleh hasil yang terbaik. Adapun judul skripsi ini adalah “Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan Umum

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009”. Skripsi ini membahas tentang

kedudukan hukum pengguna jasa (penumpang) angkutan umum sebagai konsumen fasilitas publik transportasi. Kemudian juga akan dibahas mengenai hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum dalam penyelenggaraan pengangkutan. Dan dalam skripsi ini juga membahas mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 kepada pengguna jasa (penumpang) angkutan umum.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dalam tata bahasa maupun ruang lingkup pembahasannya. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang saya miliki. Oleh karena itu, dengan senang hati saya akan menerima setiap kritik dan saran yang sifatnya membangun dan membantu penulis dalam menyempurnakan skripsi ini.

(4)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu dan memberikan pengarahan kepada saya selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Maria Kaban, S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu dan memberikan pengarahan kepada saya selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum sebagai Dosen Wali saya selama saya berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

selalu membuat saya tersenyum sehingga saya menjadi kuat dan dapat menyelesaikan skripsi ini.

10.Kelompok Kecil Jingle Bells, abang saya Erwin A.P Silaban, saudara-saudara saya Desy K.C Sitepu, Sarah Simanjuntak, Julieta Simorangkir, R.N Abdelina, Linda, Jepta Panjaitan, Andryanto Pasaribu, dan Adik-Adik saya Revany Bangun, Sri Hartaty dan Pasca Putri.

11.Sahabat-sahabat saya di Fakultas Hukum USU: Rotua Hasibuan, Peggy Siahaan, Rina Stephanie, Rini Laura, Elsamaria, Andy Sitorus, Daniel, Bardixcon, Satra, Ismed, Aris, Christanti, Borry, dan yang lainnya. Rekan-Rekan MDC (Meriam Debating Club): Bang Anov, Bang Ucup, Kak Witra, Kak Wina, Satra, Jojo, Miranda, Li Pei Yung, Udur dan Akmal. Dan saudara saya Kak Rina Ginting.

12.Rekan-rekan saya di Permahi (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia) cabang Medan dan saudara-saudara saya di UKM KMK UP FH USU.

13.Untuk seluruh staf dan pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu saya.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Terima Kasih.

Medan, Februari 2011

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI...iv

ABSTRAK ...vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Perumusan Masalah ...8

C. Pembatasan Masalah ...8

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan...8

E. Keaslian Penulisan ...9

F. Tinjauan Kepustakaan ...10

G. Metode Penelitian ...16

H. Sistematika Penulisan ...18

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN A. Perjanjian Secara Umum Menurut KUHPerdata 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian ...21

2. Subjek dan Objek Perjanjian ...24

3. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian ...26

4. Jenis-Jenis Perjanjian dan Asas-Asas Hukum Perjanjian ...31

5. Akibat Hukum Suatu Perjanjian dan Berakhirnya Suatu Perjanjian ...34

B. Pengangkutan Pada Umumnya 1. Pengertian dan Jenis-Jenis Pengangkutan ...38

2. Tujuan dan Unsur-Unsur dalam Pengangkutan ...41

3. Prinsip –Prinsip Tanggung Jawab dalam Pengangkutan ...44

C. Perjanjian Pengangkutan 1. Pengertian Perjanjian Pengangkutan...45

2. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pengangkutan ...47

(7)

BAB III : KEDUDUKAN HUKUM PENGGUNA JASA (PENUMPANG) ANGKUTAN UMUM

A. Pengertian Pengguna Jasa dan Angkutan Umum ...53

B. Jenis-Jenis Angkutan Umum ...57

C. Pengaturan Mengenai Pemberian Izin Angkutan Umum di Indonesia ...61

D. Kedudukan Hukum Pengguna Jasa ( Penumpang) Angkutan Umum ...66

E. Hak dan Kewajiban Pengguna Jasa Angkutan Umum Sebagai Konsumen Fasilitas Publik Transportasi ...68

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA (PENUMPANG) ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN UU NO. 22 TAHUN 2009 A. Hal-Hal yang Dapat Menyebabkan Kerugian Bagi Pengguna Jasa ( Penumpang) Angkutan Umum Akibat Kesalahan dari Pengangkut ...74

B. Tanggung Jawab Pihak Pengangkut Terhadap Kesalahan yang di Lakukan Pihak Pengangkut dan Pihak Penumpang yang Mengakibatkan Kerugian Bagi Pengguna Jasa ( Penumpang) Angkutan Umum ...79

C. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa ( Penumpang) Angkutan Umum Sebagai Konsumen Fasilitas Publik Transportasi Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 ...85

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ...91

B. Saran ...92

DAFTAR PUSTAKA

(8)

Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

Dian Natalia 1 Hasim Purba 2 Maria Kaban 3

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Transportasi atau pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun dalam kenyataannya masih sering pengemudi angkutan melakukan tindakan yang dinilai dapat menimbulkan kerugian bagi penumpang. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut diharapkan dapat membantu mewujudkan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan jasa angkutan, baik itu pengusaha angkutan, pekerja (sopir/ pengemudi) serta penumpang. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah kedudukan hukum pengguna jasa (penumpang) angkutan umum sebagai konsumen fasilitas publik transportasi, hal-hal yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum dalam penyelenggaraan pengangkutan, dan bentuk perlindungan hukum yang diberikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 kepada pengguna jasa (penumpang) angkutan umum.

Metode penulisan yang mendasari penulisan skripsi ini adalah metode penelitian normatif dan penelitian sosiologis. Dalam penelitian normatif, penulis melakukan penelitian melalui peraturan-peraturan dan bahan hukum yang berhubungan dengan penulisan ini sedangkan dalam penelitian sosiologis, penulis melakukan penelitian terhadap salah satu perusahaan pengangkutan di kota Pematangsiantar, yaitu pada perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung. Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah dengan studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, catatan kuliah dan sumber literatur lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini dan studi lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung ke objek penelitian untuk mengumpulkan data dan keterangan-keterangan yang diperlukan.

Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pihak pengangkut dan pihak pengguna jasa sama tinggi. Adapun hal-hal yang dapat menyebabkan kerugian bagi penumpang akibat kesalahan pihak pengangkut antara lain kecelakaan yang diakibatkan kelalaian pengemudi, kondisi angkutan yang tidak layak pakai, maupun akibat barang bawaan penumpang hilang atau rusak.

Pemerintah hendaknya semakin meningkatkan kegiatan sosialisasi UU No. 22 Tahun 2009, baik terhadap penyelenggara angkutan umum dan terhadap masyarakat luas sebagai pengguna jasa angkutan umum, agar upaya perlindungan hukum terhadap pengguna jasa (penumpang) angkutan umum yang sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 dapat benar-benar dilaksanakan oleh seluruh perusahaan pengangkutan umum.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Transportasi atau pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pentingnya transportasi bagi masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau kecil dan besar, perairan yang terdiri dari sebagian besar laut, sungai dan danau yang memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, perairan, dan udara guna menjangkau seluruh wilayah Indonesia4. Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya akan kebutuhan alat transportasi adalah kebutuhan kenyamanan, keamanan, dan kelancaran pengangkutan yang menunjang pelaksanaan pembangunan yang berupa penyebaran kebutuhan pembangunan, pemerataan pembangunan, dan distribusi hasil pembangunan diberbagai sektor ke seluruh pelosok tanah air misalnya, sektor industri, perdagangan, pariwisata, dan pendidikan5

Pada umumnya sebagian besar masyarakat sangat tergantung dengan angkutan umum bagi pemenuhan kebutuhan mobilitasnya, karena sebagian besar masyarakat tingkat ekonominya masih tergolong lemah atau sebagian besar tidak memiliki kendaraan pribadi.

.

Secara umum, masyarakat yang melakukan pergerakan dengan tujuan yang berbeda-beda membutuhkan sarana penunjang pergerakan berupa angkutan pribadi (mobil, motor) maupun angkutan umum (paratransit dan masstransit). Angkutan umum paratransit merupakan angkutan yang tidak memiliki rute dan jadwal yang tetap dalam beroperasi disepanjang rutenya, sedangkan angkutan umum masstransit merupakan angkutan yang memiliki rute dan jadwal yang tetap serta tempat pemberhentian yang jelas.

(10)

Banyaknya kelompok yang masih tergantung dengan angkutan umum ini tidak diimbangi dengan penyediaan angkutan umum yang memadai, terutama ditinjau dari kapasitas angkut. Akibatnya hampir semua angkutan umum yang tersedia terisi penuh sesak oleh penumpang. Hal ini menyebabkan para penumpang berusaha memilih alternatif angkutan umum lainnya yang dirasa lebih nyaman, efektif dan efisien meskipun dengan biaya yang cukup besar.

Hal tersebut menunjukkan arti pentingnya tranportasi di Indonesia, sehingga pembangunan dan peningkatan kualitas pelayanan transportasi atau pengangkutan mutlak diperlukan. Pembangunan yang baik dan berkualitas tidak hanya mengenai peningkatan mutu sarananya saja, tetapi juga harus menyangkut pembangunan aspek hukum transportasi sendiri.

Pembangunan hukum tidak hanya menambah peraturan baru atau merobah peraturan lama dengan peraturan baru tetapi juga harus dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait dengan sistem transportasi terutama pengguna jasa transportasi. Mengingat penting dan strategisnya peran lalu-lintas dan angkutan jalan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta sangat penting bagi seluruh masyarakat, maka pembangunan dan pengembangan prasarana dan sarana pengangkutan perlu di tata dan dikembangkan dalam sistem terpadu6

Penyelenggaraan lalu-lintas dan angkutan jalan juga perlu dilakukan secara berkesinambungan dan terus ditingkatkan agar lebih luas jangkauan dan pelayanannya kepada masyarakat, dengan tetap memperhatikan kepentingan umum, kemampuan masyarakat, kelestarian lingkungan, dan ketertiban masyarakat dalam penyelenggaraan

dan kepentingan masyarakat umum sebagai pengguna jasa transportasi perlu mendapatkan prioritas dan pelayanan yang optimal baik dari pemerintah maupun penyedia jasa transportasi. Selain itu perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat sebagai konsumen transportasi juga harus mendapatkan kepastian.

(11)

lintas dan angkutan jalan sekaligus mewujudkan sistem transportasi nasional yang handal dan terpadu.

Pembahasan pembangunan aspek hukum transportasi tidak terlepas dari efektivitas hukum pengangkutan itu sendiri. Pengangkutan di Indonesia diatur dalam KUH Perdata pada Buku Ketiga tentang perikatan, kemudian dalam KUH Dagang pada Buku II titel ke V. Selain itu pemerintah telah mengeluarkan kebijakan di bidang transportasi darat yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai Pengganti UU No. 14 Tahun 1992, serta Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan yang masih tetap berlaku meskipun PP No. 41 Tahun 1993 merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 14 tahun 1992 dikarenakan disebutkan dalam Pasal 324 UU No. 22 Tahun 2009 bahwa :

Pada saat Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini. Dalam pasal 2 dan pasal 3 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (yang selanjutnya disingkat dengan UULLAJ) mengatur asas dan tujuan pengangkutan.

Adapun Asas penyelenggaraan lalu lintas adalah diatur dalam Pasal 2 UULLAJ yakni: a. asas transparan;

(12)

g. asas seimbang; h. asas terpadu; dan i. asas mandiri.

Sedangkan Pasal 3 UULLAJ menyebutkan mengenai tujuan dari Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yakni :

a. Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;

b. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan

c. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.

Menurut Pasal 4 UULLAJ dinyatakan undang-undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yangaman, selamat, tertib, dan lancar melalui:

a. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan;

b. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

c. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(13)

Dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 2009 tersebut diharapkan dapat membantu mewujudkan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan jasa angkutan, baik itu pengusaha angkutan, pekerja (sopir/ pengemudi) serta penumpang. Secara operasional kegiatan penyelenggaraan pengangkutan dilakukan oleh pengemudi atau sopir angkutan dimana pengemudi merupakan pihak yang mengikatkan diti untuk menjalankan kegiatan pengangkutan atas perintah pengusaha angkutan atau pengangkut. Pengemudi dalam menjalankan tugasnya mempunyai tanggung jawab untk dapat melaksanakan kewajibannya yaitu mengangkut penumpang sampai pada tempat tujuan yang telah disepakati dengan selamat, artinya dalam proses pemindahan tersebut dari satu tempat ke tempat tujuan dapat berlangsung tanpa hambatan dan penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya, luka, sakit maupun meninggal dunia. Sehingga tujuang pengangkutan dapat terlaksana dengan lancar dan sesuai dengan nilai guna masyarakat.

(14)

pasal 45 (1) UULLAJ mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang yang dimulai sejak diangkutnya penumpang sampai di tempat tujuan. Dan adanya perilaku pengangkut yang mengangkut penumpang melebihi kapasitas maksimum kendaraan.

Dengan melihat kenyataan tersebut, dapat diketahui bahwa dalam sektor pelayanan angkutan umum masih banyak menyimpan permasalahan klasik. Dan dalam hal ini pengguna jasa (penumpang) sering menjadi korban daripada perilaku pengangkut yang tidak bertanggung jawab.

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk mempelajari, memahami, dan meneliti secara lebih mendalam mengenai bentuk perlindungan hukum bagi pengguna jasa angkutan umum, yang mana dalam tulisan ini pengguna jasa yang dimaksud adalah penumpang dan penulis menggunakan UU No. 22 Tahun 2009 sebagai pedoman. Selanjutnya penulis menyusunnya dalam suatu penulisan hukum yang berjudul:

“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA (PENUMPANG)

ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN UU NO. 22 TAHUN 2009 ” .

B. Rumusan Masalah

Berlatar belakang pada uraian di atas, maka maka ada beberapa pokok permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan hukum pengguna jasa (penumpang) angkutan umum?

2. Hal-hal apa yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum akibat kesalahan dari pihak pengangkut?

(15)

C. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi permasalahan yakni angkutan umum yang akan dijelaskan dan dipaparkan dalam skripsi ini adalah angkutan umum berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009, hal ini mengingat banyaknya jenis angkutan umum. Dan dalam skripsi ini, penulis mengambil contoh rill sebuah perusahaan pengangkutan, yaitu perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, selain itu berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan hukum pengguna jasa (penumpang) angkutan umum.

2. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa ( penumpang) angkutan umum akibat kesalahan dari pihak pengangkut dan bagaimana tanggung jawab pihak pengangkut terhadap kesalahan yang mengakibatkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum.

3. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap pengguna jasa (penumpang) angkutan umum sebagai konsumen fasilitas publik transportasi berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009.

Sedangkan manfaat dari penulisan ini adalah :

(16)

2. Secara praktis, untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran juridis dan masukan-masukan yang bermanfaat demi perkembangan ilmu pengetahuan terhadap perlindungan hukum bagai pengguna jasa (penumpang) angkutan umum.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan tentang Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa (penumpang) Angkutan Umum Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 belum pernah ada sebelumnya. Keaslian penulisan skripsi ini benar merupakan hasil dari pemikiran penulis dengan mengambil panduan dari buku-buku, dan sumber lain yang berkaitan dengan judul skripsi penulis, ditambah dengan sumber riset dari lapangan .

Dalam penulisan ini yang ditekankan penulis adalah bagaimana bentuk perlindungan hukum yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 2009 terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa (penumpang), apabila terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak pengangkut dan bagaimana penerapan hukum yang dilaksanakan dalam usaha pengangkutan di jalan raya. Penulisan ini disusun berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Pengangkutan serta Peraturan Perundang-undangan yang membahas mengenai perlindungan hukum bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum. Oleh karena itu, penulisan ini dapat dikatakan penulisan yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penulisan ini dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis.

F. Tinjauan Kepustakaan

Hukum adalah tata aturan sebagai suatu sistem aturan-aturan tentang perilaku manusia.7

7 Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Sekjen dan Kepaniteraan MK RI.

Jakarta. 2006, hlm. 13

(17)

sistem. Sehingga konsekuensinya adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja.8 Menurut Van Apeldoorn tujuan hukum adalah untuk mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil. Perdamaian di antanra manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Hukum mempertahankan perdamaian dengan kepentingan kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya karena hukum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika hukum tersebut menuju peraturan yang adil. Artinya, peraturan yang mengandung keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.9 Aristoteles dalam buah pikirannya Ethica Nicomachea dan Rhetorica menyatakan hukum mempunyai tugas yang suci yakni memberikan kepada setiap orang apa yang berhak diterimanya. Anggapan ini berdasarkan etika dan Aristoteles berpendapat bahwa hukum bertugas hanya membuat keadilan.10 Sedangkan menurut Van Kant, tujuan hukum adalah untuk menjaga kepentingan tiap-tiap manusia sehingga kepentingan itu tidak dapat diganggu oleh manusia lain. Dengan kata lain hukum bertujuan untuk melindungi hak-hak setiap manusia yang diakui dan diatur oleh hukum.11

Berdasarkan teori-teori tentang tujuan hukum sebagaimana yang telah diuraikan maka dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa jika tujuan hukum semata-mata hanya untuk mewujudkan keadilan saja maka tidak seimbang sehingga akan bertentangan dengan kenyataan. Sebaliknya akan terjadi juga kesenjangan jika tujuan hukum hanya untuk mewujudkan hal-hal yang berfaedah atau yang sesuai dengan kenyataan karena akan bertentangan dengan nilai keadilan. Begitu juga jika tujuan hukum semata-mata hanya untuk

8 Ibid.

9

Chainur Arrasjid. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. 2000, hlm. 40.

10 Ibid.

(18)

menwujudkan kepastian hukum saja, maka akan menggeser nilai keadilan maupun nilai kegunaan dalam masyarakat. Sehingga kita harus melihat tujuan hukum dari ke tiga nilai dasar hukum, yakni nilai keadilan, kegunaan atau manfaat dan kepastian hukum.12

Perlindungan hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Perbuatan (hal tahu peraturan) untuk menjaga dan melindungi subjek hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”13

Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah suatu hal atau perbuatan untuk melindungi subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang melakukan Wanprestasi.

Pada umumnya perlindungan hukum merupakan bentuk pelayanan kepada seseorang dalam usaha pemulihan secara emosional.

14

Pengertian perlindungan hukum juga menurut Soedikno Mertokusumo yang dimaksud perlindungan hukum adalah adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam hubungan dengan manusia lain.15

Hukum merupakan wujud dari perintah dan kehendak negara yang dijalankan oleh pemerintah untuk mengemban kepercayaan dan perlindungan penduduk, baik di dalam maupun di luar wilayahnya. Pemerintah sendiri mendapat wewenang untuk menjalankan tugasnya yang diatur dalam Hukum Nasional, yang mana Hukum Nasional berguna untuk menyelaraskan hubungan antara pemerintah dan penduduk dalam sebuah wilayah negara yang berdaulat, mengembangkan dan menegakkan kebudayaan nasional yang serasi agar Kata perlindungan di atas menunjuk pada adanya terlaksananya penanganan kasus yang dialami dan akan diselesaikan menurut ketentuan hukum yang berlaku secara penal maupun non penal dan juga adanya kepastian-kepastian usaha-usaha untuk memberikan jaminan-jaminan pemulihan yang dialami.

12 Ibid, hlm. 47.

13

Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Buku Satu. Balai Pustaka. Jakarta. 1989, hlm. 874.

(19)

terdapat kehidupan bangsa dan masyarakat yang rukun, sejahtera dan makmur. Hukum juga berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.

Pengangkutan adalah berasal dari kata “angkut” yang berarti mengangkut dan membawa, sedangkan istilah pengangkutan dapat diartika sebagai pembawa barang-barang atau orang-orang (penumpang)16. Pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisien17. Sedangkan Hukum Pengangkutan adalah sebuah perjanjian timbal balik, yang mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang ke tempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya, yaitu pengirim barang, penerima barang dan penumpang wajib menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut18

Adapun arti hukum pengangkutan jika ditinjau dari segi keperdataan, dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan-peraturannya, di dalam dan di luar kodifikasi yang berdasarkan atas dan bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang terbit karena keperluan pemindahan barang-barang dan/ atau orang-orang dari suatu tempat ke tempat lain untuk memenuhi perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian-perjanjian tertentu, termasuk perjanjian-perjanjian untuk memberikan perantaraan mendapatkan.

.

19

Dari pengertian-pengertian yang telah diuraikan tersebut dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa pada pokoknya pengangkutan merupakan perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi.

16 W. J. S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Departemen P dan K, PN Balai Pustaka,

Jakarta, 1976, hlm.97.

17 Sinta Uli,Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan Laut, Angkutan

Darat dan Angkutan Udara, USU Press, Medan, 2006, hlm. 20.

18

Sution Usman Adji, Djoko Prakoso, dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 6-7.

(20)

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya ditulis dengan KUHD) tidak ada aturan mengenai pengangkutan orang di darat, begitu juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya ditulis dengan KUH Perdata) tidak terdapat peraturan umum mengenai pengangkutan orang. Oleh karena itu, perjanjian pengangkutan orang di darat hanya dapat didasarkan atas pasal-pasal yang terdapat pada Bab I sampai dengan bab IV Buku III KUH Perdata20

Pengertian pengguna jasa menurut Pasal 1 angka 20 UU No. 22 Tahun 2009 adalah perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan umum, sedangkan penumpang adalah orang yang mengikatkan diri kepada pihak pengangkut

.

Diluar KUHD dan KUH Perdata terdapat peraturan mengenai pengangkutan orang di darat, yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang UULLAJ, serta PP No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan. Dalam UU No. 22 Tahun 2009 secara khusus diatur mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengangkutan darat seperti asas-asas dan tujuan penyelenggaraan lintas dan angkutan jalan, fasilitas dan elemen pendukung dalam penyelenggaraan lalu-lintas dan angkutan jalan, asuransi, tarif angkutan, dan juga diatur mengenai tanggung jawab pihak pengangkut.

21

Pihak Pengangkut adalah pihak-pihak yang melakukan pengangkutan terhadap barang dan penumpang (orang) yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan baik dengan cara charter menurut waktu maupun menurut perjalanan

.

22

Angkutan umum merupakan sarana angkutan untuk masyarakat kecil dan menengah agar dapat melaksanakan kegiatannya sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam masyarakat.

. Perusahaan angkutan umum menurut UU No. 22 Tahun 2009 adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/ atau barang dengan kendaraan bermotor umum.

20 H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3, Hukum Pengangkutan,

Penerbit Djambatan, Jakarta, 1981, hlm. 50-51.

21

Sinta Uli, op.cit, hlm. 20.

22 Hasim Purba, Hukum Pengangkutan di Laut, Penerbit Pustaka, Bangsa Prees, Medan, 2005, hlm.

(21)

Sedangkan pengertian angkutan menurut UU No 22 Tahun 2009 adalah perpindahan orang dan/ atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas jalan.

Menurut Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 35 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum, angkutan adalah perpindahan orang dan/ atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan.

Keberadaan angkutan umum bertujuan untuk menyelenggarakan angkutan yang baik dan layak bagi masyarakat. Ukuran pelayanan yang baik dan layak antara lain mencakup pelayanan yang aman, nyaman, cepat, dan biaya murah.

G. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yakni perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung yang beralamat di Jalan Sidamanik No. 8, Kecamatan Siantar Selatan, Kota Pematangsiantar.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian normatif dan penelitian sosiologis. Dalam penelitian normatif, penulis melakukan penelitian melalui peraturan-peraturan dan bahan hukum yang berhubungan dengan penulisan ini sedangkan dalam penelitian sosiologis, penulis melakukan penelitian terhadap salah satu perusahaan pengangkutan di kota Pematangsiantar, yaitu pada perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung.

(22)

Adapun data yang dikumpul dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan pengumpulan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data sekunder dibagi atas 3 (tiga), yaitu:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat seperti KUH Perdata, KUHD, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1993 dan peraturan perundang-undangan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 4. Teknik Pengumpulan Data

a. Library Research (Studi Kepustakaan), yaitu mempelajari dan menganalisa

secara sistematika buku-buku, peraturan perundang-undangan, catatan kuliah dan sumber literatur lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini sehingga diperoleh data ilmiah sebagai bahan dalam uraian teoritis.

b. Field Research (Studi Lapangan), Field Research (Studi Lapangan), yaitu

(23)

hukum yang diberikan oleh perusahaan pengangkutan apakah sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

5. Analisis Data

Analisa data dalam penulisan ini menggunakan data kualitatif, yaitu suatu analisi data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas yang berhubungan dengan skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan keseluruhan ke dalam lima bab terperinci. Adapun bagian-bagiannya adalah :

Bab I : Pendahuluan

Pada bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Pengangkutan

Pada bab ini akan diuraikan mengenai perjanjian secara umum menurut KUH Perdata, pengangkutan secara umum, dan perjanjian pengangkutan.

Bab III : Kedudukan Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan Umum

(24)

pengguna jasa (penumpang) angkutan umum sebagai konsumen fasilitas publik transportasi.

Bab IV : Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan Umum Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009

Pada bab ini merupakan inti dari pembahasan penulisan yang mengetengahkan tentang pengaturan pemberian izin angkutan umum di Indonesia, hal-hal yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum akibat kesalahan dari pengangkut, tanggung jawab pihak pengangkut terhadap kesalahan yang mengakibatkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum, dan bentuk perlindungan hukum bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009. Bab V : Penutup

(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN

A. Perjanjian Secara Umum Menurut KUHPerdata

1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang dibuat atas dasar kehendak yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak. 23 Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut juga overeenkomst dan hukum perjanjian disebut overeenkomstenrech.24

Para Sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa defenisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan juga terlalu luas.

Hukum perjanjian diatur dalam buku III BW ( KUHPerdata). Pada pasal 1313 KUHPerdata, dikemukakan tentang defenisi daipada perjanjian. Menurut ketentuan pasal ini, “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

25

Adapun kelemahan-kelemahan dari defenisi di atas adalah seperti diuraikan berikut ini :26

a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih menguikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya dating dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak. Seperti misalnya pada perjanjian jual-beli , sewa-menyewa.

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hokum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung konsensus, seharusnya digunakan kata persetujuan.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang

23 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 117.

24 C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita,

Jakarta, 2006.

(26)

diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.

d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan perjanjian tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.

Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.27

“Perjanjian adalah : Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.

Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau tertulis.

Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai berikut :

28

“Sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.”

Menurut Wirjono Projodikioro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah :

29

“Perjanjian atau verbintenis mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.

Menurut M. Yahya Harahap mengemukakan:

30

27 Komariah, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2008, hlm.169. 28

R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Bandung, 1987, hlm.9.

(27)

Menurut Tirtodiningrat menyatakan bahwa:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebihuntuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh undang-undang”.31

“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan harta kekayaan”.

Menurut Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa:

32

“Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.

Menurut Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa:

33

2. Subjek dan Objek Perjanjian

Perbedaan-perbedaan pendapat para sarjana mengenai defenisi dari perjanjian memang berbeda-beda. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar sebab dalam mengemukakan defenisi dari perjanjian itu, para pakar hukum tersebut memiliki sudut pandang yang saling berbeda satu sama lain. Namun dalam setiap defenisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut tetap mencantumkan secara tegas bahwa dalam perjanjian terdapat pihak-pihak yang menjadi subjek dan objek dari perjanjian tersebut yaitu adanya hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak yang menyangkut pemenuhan prestasi dalam bidang kekayaan.

Adapun yang menjadi dasar hukum dari perjanjian ini antara lain Buku ke Tiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan.

Menurut R. Subekti, yang termasuk dalam subjek perjanjian antara lain:34

a. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum tersebut, siapapun yang menjadi para pihak dalam suatu perjanjian harus memenuhi syarat bahwa mereka adalah cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

31 Tirtodiningrat, Ikhtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, PT. Pembangunan, Jakarta, 1986,

hlm.83.

32

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 78.

33 Sudikno Mertokusumo, op. cit, hlm. 97.

(28)

b. Ada kesepakatan yang menjadi dasar perjanjian yang harus dicapai atas dasar kebebasan menentukan kehendaknya ( tidak ada paksaan, kekhilafan, atau penipuan), dengan adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya.

Apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif akibat hukumnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan (veerneetigbaar), artinya perjanjian tersebut batal jika ada yang memohonkan pembatalan.

Sedangkan untuk objek perjanjian, dinyatakan bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, sekurang-kurangnya objek tersebut dapat ditentukan. Bahwa objek tersebut dapat berupa benda yang sekarang ada dan benda yang nanti akan ada.

Sehingga dapat disimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi objek perjanjian, antara lain:

1. Barang-barang yang dapat diperdagangkan (pasal 1332 KUHPerdata),

2. Suatu barang yang sedikitnya dapat ditentukan jenisnya (pasal 1333 KUHPerdata) Tidak menjadi halangan bahwa jumlahnya tidak tentu, asal saja jumlah itu di kemudian hari dapat ditentukan atau dihitung.

3. Barang-barang yang akan ada dikemudian hari (pasal 1334 ayat 2 KUHPerdata). Sedangkan barang-barang yang tidak boleh menjadi objek perjanjian adalah :35 1. Barang-barang di luar perdagangan, misalnya senjata resmi yang dipakai negara, 2. Barang-barang yang dilarang oleh undang-undang, misalnya narkotika,

3. Warisan yang belum terbuka.

Menurut Subekti, mengenai objek perjanjian ditentukan bahwa :36

1. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak harus cukup jelas untuk menetapkan kewajiban masing-masing.

35

Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Penerbit Fakultas Hukum USU, Medan, 1974, hlm. 166.

(29)

2. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum (nietigbaar). Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

3. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4 (empat) syarat agar suatu perjanjian dinyatakan sah, antara lain:

a. Kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya,

Dengan sepakat dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian itu harus diberikan secara bebas.37

Mereka menghendaki sesuatu hal yang sama secara timbal balik. Dalam hal persetujuan ini, kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Dengan demikian kata sepakat antara kedua belah pihak atau lebih di dalam mengadakan perjanjian itu harus tanpa cacat, sebab jika terdapat cacat dalam perjanjian itu, persetujuan itu dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilah.

38

37

Komariah, op.cit, hlm. 175.

38 Djanius Djamin, Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi Keuangan dan Perbankan

(Perbanas), Medan, 1993, hlm. 176-177.

(30)

Mengenai kekhilafan/ kekeliruan yang dapat dibatalkan, harus mengenai inti sari pokok perjanjian, harus mengenai objek atau prestasi yang dikehendaki. Sedangkan kekhilafan/ kekeliruan mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat menjadi batal (Pasal 1322 KUHPerdata).

Paksaan (dwang) terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Dalam hal ini yang diancamkan oleh undang-undang harus merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau yang tidak diizinkan (tidak dibenarkan) undang-undang. Jika suatu perbuatan yang diancam itu dibenarkan atau diizinkan oleh undang-undang, misalnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di muka hakim dengan penyitaan barang, hal seperti itu tidaklah dikatakan suatu paksaan.39

Mengenai pengertian penipuan (bedrog) ini terjadi, apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan sehingga pihak lain terbujuk untuk melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu.40

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,

Syarat kedua sahnya perjanjian adalah adanya kecakapan atau cakap dalam hukum. Menurut Pasal 330 KUHPerdata, seseorang dikatakan cakap dalam hukum apabila telah berumur 21 tahun, atau yang telah melangsungkan pernikahan. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

1. Orang-orang yang belum dewasa ,

2. Mereka yang di bawah pengampuan (curatelen),

3. Perempuan yang telah kawin ( dengan adanya UU No. 1 Tahun 1974, ketentuan ini tidak berlaku lagi) dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan tertentu.

39

Ibid, hlm. 177.

40 Ibid, hlm. 178.

(31)

Menurut pasal 433 KUHPerdata, orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap dan boros. Apabila seseorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah pengampuan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing-masing adalah orang tua dan pengampunya.41

Ketiga hal ini, bila melakukan perjanjian tanpa izin dari yang mengawasinya maka dikatakan perjanjian itu bercacat. Oleh karena itu perjanjian itu dapat dibatalkan oleh hakim, baik secara langsung ataupun melalui orang yang mengawasinya.42

Hal ini dikarenakan dari sudut keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, sehingga harus mempunyai cukup kemampuan untuk menginsafi benar-benar tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatan itu. Sedangkan dari sudut hukum, karena orang yang membuat suatu perjanjian itu berarti dengan sendirinya ia mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat dengan harta kekayaannya.

Menurut ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata, setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap. Pasal tersebut menyatakan bahwa semua orang dianggap mampu atau cakap untuk mengikatkan diri dalam suatu persetujuan. Hal ini memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan hukum. Ketidakmampuan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum harus dinyatakan oleh undang-undang.

43

41 Mariam Darus Badrulzaman, op. cit, hlm. 165. 42

C.S.T Kansil, op.cit, hlm. 226.

43 Djanius Djamin, Syamsul Arifin, op.cit, hlm. 178-179.

(32)

c. Suatu hal tertentu,

Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata, suatu hal tertentu artinya barang yang menjadi objek perjanjian paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak menjadi soal asalkan dapat ditentukan kemudian.44

Hal tertentu mengenai objek hukum benda itu oleh pihak-pihak ditegaskan di dalam perjanjian mengenai :45

1. Jenis barang,

2. Kualitas dan mutu barang,

3. Buatan pabrik dan dari Negara mana, 4. Buatan tahun berapa,

5. Warna barang,

6. Ciri khusus barang tersebut, 7. Jumlah barang,

8. Uraian lebih lanjut mengenai barang itu.

Dengan demikian, perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenisnya tidak tertentu maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Objek atau jenis objek merupakan syarat yang mengikat dalam perjanjian.

d. Suatu sebab yang halal.

Sebab atau causa yang dimaksudkan undang-undang adalah isi perjanjian itu sendiri. Jadi sebab atau causa tidak berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang dimaksud.46

Menurut Subekti, “Sebab atau causa harus dibedakan dengan motif atau desakan jiwa yang mendorong seseorang untuk membuat suatu perjanjian”.47

44 Komariah, op.cit, hlm. 175. 45

C.S.T Kansil, op.cit, hlm. 227.

46 Komariah, op.cit, hlm. 175.

47 Djanius Djamin, Syamsul Arifin, op. cit, hlm. 180.

(33)

Dua syarat yang pertama disebut dengan syarat-syarat subjektif karena menyangkut subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.48

4. Jenis-Jenis Perjanjian dan Asas-Asas Hukum Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan atas berbagai cara, pembedaan tersebut antara lain: 49 a. Perjanjian timbal balik,

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban pokok bagi kedua belah pihak, misalnya perjanjian jual beli.

b. Perjanjian cuma-cuma atau perjanjian atas beban,

Perjanjian dengan cuma-cuma adalh perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja, misalnya hibah. Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap para prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungan menurut hukum.

c. Perjanjian bernama (benoemd) dan perjanjian tidak bernama (onbenoemd), Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.

Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dan tidak disebutkan dalam KUHPerdata dan KUHD, tetapi hidup dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Jumlah perjanjian tidak bernama ini tidak terbatas, dan lahirnya perjanjian ini di dalam kehidupan masyarakat adalah berdasarkan akan kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian tak bernama adalah perjanjian sewa-beli. d. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir,

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana hak milik dari seseorang atas sesuatu, beralih kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana para pihak terikat untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).

Menurut sistem hukum KUHPerdata perjanjian jual beli belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas benda yang diperjual-belikan masih diperlukan penyerahan. Perjanjian jual beli tersebut dinamakan perjanjian obligatoir, dan penyerahannya sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Dalam hal perjanjian benda-benda tidak bergerak, maka perjanjian jual beli tersebut disebut perjanjian jual beli sementara.

e. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.

Menurut pasal 1338 KUHPerdata perjanjian ini telah mempunyai kekuatan mengikat. Perjanjian riil adalah perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang misalnya perjanjian penitipan barang (pasal 1694 KUHPerdata), pinjam pakai (pasal 1740 KUHperdata).

48 Ibid, hlm. 17.

(34)

f. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya, antara lain:

1. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang atau kwijtsschelding (pasal 1438 KUHPerdata).

2. Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst), yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.

3. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi (pasal 1774 KUHPerdata).

4. Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebahagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak adalah penguasa yang bertindak sebagai penguasa, misalnya perjanjian ikatan dinas.

Menurut Komariah : “Perjanjian bernama adalah perjanjian khusus yang diatur dan disebutkan dalam KUHPerdata Buku III Bab V s/d Bab XVII dan yang diatur dalam KUHD, misalnya perjanjian jual-beli, sewa menyewa, penitipan barang, pinjam pakai, asuransi, dan perjanjian pengangkutan. Kemudian, perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat kedua belah pihak sejak adanya kesepakatan (konsensus) dari kedua belah pihak.”

Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas sebagai berikut:50

a. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak), artinya dengan adanya kata sepakat antara kedua belah pihak, perjanjian sudah mengikat. Jadi perikatan lahir sejak detik tercapinya kesepakatan. Terhadap asas ini terdapat pengecualian, yakni adanya perjanjian riil misalnya perjanjian penitipan barang (pasal 1694 KUHPerdata), perjanjian pinjam pakai (pasal 1740 KUHPerdata), perjanjian pinjam pakai sampai habis (pasal 1754 KUHPerdata).

b. Kebebasan berkontrak (partij otonomi)

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.

Asas kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menentukan : “semua perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan menekankan kata “semua”, pasal tersebut berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja, dan perjanjian itu akan mengikat para pihak yang membuatnya seperti suatu undang-undang.

Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat persetujuan harus menaati hukum yang sifatnya memaksa tersebut. Selain itu, meskipun setiap orang bebas untuk membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja, namun isi perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

c. Asas kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya. Tanpa ada kepercayaan pada kedua belah pihak maka perjanjian itu tidak mungkin diadakan oleh para pihak.

d. Asas kekuatan mengikat

50 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Penerbit

(35)

Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Mengikat artinya masing-masing para pihak dalam perjanjian tersebut harus menghormati dan melaksanakan isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan perbuatan yang bertentangan dengan isi perjanjian. Terikatnya para pihak pada perjanjian tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.

e. Asas persamaan hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat dan tidak ada perbedaan di hadapan hukum. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua belah pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

f. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan.

g. Asas kepastian hukum

Menurut asas ini perjanjian harus mengandung kepastian hukum bagi para pihak yang mengadakan perjanjian. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

h. Asas moral

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitur. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral), sebagi panggilan dari hati nuraninya.

i. Asas kepatutan

Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian, melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

j. Asas kebiasaan

Asas ini diatur dalam pasal 1339 jo. 1347 KUHPerdata. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti.

Menurut Komariah : “Setiap perjanjian dinyatakan sudah sah atau mengikat apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Isi perjanjian yang mengikat tersebut kemudian akan berfungsi sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.” 51

5. Akibat Hukum Suatu Perjanjian dan Berakhirnya Suatu Perjanjian

Menurut pasal 1338 KUHPerdata semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik

(36)

kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad baik olehpara pihak.52

Istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah semata-mata hanya perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian tidak bernama. Dengan istilah “secara sah” pembentu undang-undang menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut hukum.53

Menurut pasal 1381 KUHPerdata terdapat 10 (sepuluh) cara berakhirnya perjanjian, yakni:

Secara sah artinya adalah bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sah suatu perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian yang sah menimbulkan suatu akibat yakni perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali dengan sepakat antara kedua belah pihak.

54

1. Pembayaran

Pembayaran adalah setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela, misalnya pembayaran uang oleh pembeli, pemenuhan perjanjian kerja oleh buruh. Yang dimaksud dengan pembayaran oleh hukum perikatan bukan sebagaimana ditafsirkan dalam bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu pembayaran sejumlah uang, tetapi setiap tindakan pemenuhan prestasi, bagaimanapun sifat dari prestasi tersebut. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan dari prestasi atau tegasnya adalah pembayaran.

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

Penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh penyimpanan diatur di dalam pasal 1404 KUHPerdata. Penawaran pembayaran tunai terjadi apabila dalam suatu perjanjian kreditur tidak bersedian menerima prestasi yang dilakukan oleh debitur. Untuk membebaskan diri dari perikatan tersebut, maka kreditur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai. Prosedur penawaran tersebut diatur pada pasal 1405 KUHPerdata. Penawaran pembayaran tunai tersebut diikuti dengan penitipan dari benda atau uang yang akan diserahkan di Pengadilan Negari.

3. Pembaharuan utang (novasi)

Menurut Pasal 1413 KUHPerdata ada 3 (tiga) macam jalan untuk untuk melaksanakan pembaharuan utang (novasi), yaitu:

52

Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hlm. 168.

53 Ibid, hlm. 107.

(37)

a. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama, yang dihapuskan karenanya.

b. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.

c. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seseorang berpiutang ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya.

4. Perjumpaan utang atau kompensasi

Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berhutang satu pada yang lain dengan mana hutang-hutang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua orang tersebut telah terjadi suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUHPerdata)

Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menetapkan berdasarkan pasal 1427 KUHPerdata, yaitu utang tersebut :

a. Kedua-duanya berpokok sejumlah uang, atau

b. Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.

c. Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika. 5. Pencampuran utang

Pencampuran utang adalah salah satu hapusnya perikatan karena kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang. Pencampuran ini terjadi secara otomatis atau demi hukum.

Dalam hal ini demi hukum hapuslah perikatan yang semula ada diantara kedua belah pihak tersebut (pasal 1436 KUHPerdata).

6. Pembebasan utang

Pembebasan utang adalah pernyataan dengan tegas si berpiutang atau si kreditur bahwa ia tidak menghendaki lagi prestasi dari si debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian. Apabila terjadi pembebasan utang, maka hapuslah hubungan utang-piutang antara kreditur dan debitur. Pembebasab utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.

7. Musnahnya barang yang terutang

Menurut pasal 1444 KUHPerdata, jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka perikatan hapus. Dengan syarat musnahnya atau hilangnya barang itu di luar kesalahan si berutang (debitur) dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Jadi menurut ketentuan tersebut, apabila barang yang menjadi musnah di luar kesalahan debitur, maka debitur tidak diwajibkan memberikan prestasi kepada kreditur. Namun ketentuan tersebut hanya adil pada perjanjian cuma-cuma. Sedangkan dalam perjanjian timbal balik/ atas beban menurut pasal 1445 KUHPerdata, jika barang yang menjadi objek perjanjian musnah di luar kesalahan debitur, maka debitur harus tetap melakukan prestasi kepada kreditur. Artinya debitur tetap memberikan hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi kepada kreditur.

8. Batal atau pembatalan

Batal atau pembatalan yang dimaksud dalam hal ini adalah dapat dibatalkan. Sebab apabila perjanjian itu batal demi hukum maka tidak ada satu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, sehingga tentu saja tidak dapat dihapus.

(38)

a. Tidak memenuhi syarat subjektifnya (sepakat dan cakap bertindak dalam hukum), b. Salah satu pihak melakukan wanprestasi (tidak memenuhi perjanjian),

c. Karena adanya action pauliana (gugatan untuk membatalkan suatu perbuatan debatur yang secara curang dilakukan untuk merugikan para krediturnya).

9. Berlakunya syarat batal

Berlaku syarat batal maksudnya adalah syarat yang apabila dipenuhi akan menghentikan atau mengakhiri perjanjiannya, dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian. Berlakunya syarat batal ini berkaitan dengan adanya perjanjian bersyarat dengan syarat batal, yaitu perikatan yang berdasarkan pada peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu terjadi secara membatalkan perikatan.

10.Lewatnya waktu atau verjaring

Lewat waktu atau daluwarsa adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

Daluarsa untuk dibebaskan dari perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan “daluarsa extintif”. Ketentuan mengenai daluarsa diatur pada pasal 1967 KUHPerdata.

Menurut Komariah, Pasal 1382 KUHPerdata mengatur tentang orang-orang selain debitur sendiri dan dapat melaksanakan pembayaran, yakni :

a. Mereka yang mempunyai kepentingan, misalnya kawan berhutang dan seorang penanggung, yaitu mereka yang mempunyai hubungan dengan pihaik debitur dan isi perjanjian yang ada antara debitur dan kreditur.

b. Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asalkan orang ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya debitur.55

Pembaharuan hutang adalah suatu perjanjian dengan mana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan sekaligus diadakan suatu perikatan baru. Novasi menurut pasal 1413 KUHPerdata terjadi dalam tiga bentuk, yaitu:

a. Debitur dan kreditur mengadakan perjanjian baru, dengan perjanjian lama dihapuskan.

b. Apabila terjadi penggantian debitur, maka dilakukan penggantian perjanjian dengan mana debitur lama dibebaskan dari perikatannya.

c. Apabila terjadi penggantian kreditur, maka dilakukan penggantian perjanjian dengan mana kreditur lama dibebaskan dari perikatannya.

Menurut pasal 1415 KUHPerdata, maka kehendak untuk mengadakan novasi haruslah tegas, yaitu dengan sebuah akte.

Dalam hal pencampuran utang, pencampuran kedudukan dapat terjadi berdasarkan alas hak umum, misalnya bila kreditur meninggal dunia dan sebagai satu-satunya ahli waris yang ditinggalkannya adalah debitur dan sebaliknya, atau juga dapat terjadi berdasarkan alas hak khusus, misalnya jual beli.56

(39)

B. Pengangkutan Pada Umumnya

1. Pengertian dan Jenis-Jenis Pengangkutan

Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan manusia yang modern senantiasa didukung oleh pengangkutan. Bahkan salah satu barometer penentu kemajuan kehidupan dan peradaban suatu masyarakat adalah kemajuan dan perkembangan kegiatan maupun teknologi yang dipergunakan masyarakat tersebut dalam kegiatan pengangkutan.57

Istilah “Pengangkutan” berasal dari kata “angkut” yang berarti “mengangkut dan membawa”, sedangkan istilah “pengangkutan” dapat diartikan sebagai “pembawaan barang-barang atau orang-orang (penumpang)”.

58

Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.59

Pengertian lain dari pengangkutan adalah kegiatan pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui angkutan darat, angkutan perairan, maupun angkutan udara dengan menggunakan alat angkutan.

60

Pada pokoknya pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi.61

Pengangkutan sebagai usaha (business) mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:62 a. Berdasarkan perjanjian;

57

Hasim Purba, op.cit, hlm. 3.

58 Ibid.

59 H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm. 60. 60

Hasim Purba, op.cit, hlm. 4.

(40)

b. Kegiatan ekonomi di bidang jasa; c. Berbentuk perusahaan;

d. Menggunakan alat pengangkutan mekanik.

Sedangkan, pengangkutan sebagai proses (process), yaitu serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian di bawa menuju ke tempat yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan.63

Pihak-pihak yang terdapat dalam perjanjian pengangkutan adalah pengangkut dan pengirim. Adapun sifat perjanjian pengangkutan adalah timbal balik, artinya kedua belah pihak, baik pengangkut maupun pengirim masing-masing mempunyai kewajiban. Kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan kewajiban pengirim adalah membayar uang angkutan sebagai kontra prestasi dari penyelenggaraan pengangkutan yang dilakukan oleh pengangkut. 64

Pembagian jenis-jenis pengangkutan pada umunya didasarkan pada jenis alat angkut yang dipergunakan dan keadaan geografis yang menjadi wilayah tempat berlangsungnya kegiatan pengangkutan. Menurut H.M.N Purwosutjipto dalam bukunya Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, jenis-jenis pengangkutan terdiri dari pengangkutan darat, pengangkutan laut, pengangkutan udara, dan pengangkutan perairan darat.

Istilah menyelenggarakan pengangkutan berarti pengangkutan itu dapat dilakukan sendiri oleh pengangkut atau dilakukan oleh orang lain atas perintahnya.

65

Secara umum, pengangkutan terbagi atas 3 (tiga jenis), yakni:66 a. Pengangkutan Darat

Ruang lingkup angkutan darat dinyatakan sepanjang dan selebar negara, yang artinya ruang lingkupnya sama dengan ruang lingkup negara. Angkutan darat dapat dilakukan

63 Sution Usman Adji, dkk, op.cit, hlm 1. 64 H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm 2. 65

Ibid, hlm. 2-3.

66 Hasnil Basri, Hukum Pengangkutan, Kelompok Studi Hukum Fakultas Hukum USU, Medan, 2002,

(41)

dengan berjenis-jenis alat pengangkutan, antara lain dengan kendaraan bermotor di atas jalan raya dan dengan kendaraan kereta api dan listrik di atas rel.

Pada dasarnya pengangkutan melalui darat digunakan untuk menghubungkan kota yang satu dengan kota yang lain atau daerah yang lain di satu pulau. Selain dari jenis angkutan tersebut, pengangkutan surat-surat/ paket melalui pos dan berita lewat kawat radio dan televisi termasuk juga pengangkutan darat.

b. Pengangkutan Laut

Laut memiliki fungsi yang beraneka ragam. Selain berfungsi sebagai sumber makanan dan mata pencaharian bagi umat manusia, sebagai tempat berekreasi, dan sebagai alat pemisah atau pemersatu bangsa, laut juga berfungsi sebagai jalan raya perdagangan.

Ruang lingkup angkutan laut jauh berbeda dari ruang lingkup angkutan darat. Ruang lingkup angkutan laut meluas melampaui batas Negara, sehingga ruang lingkup itu dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:

1. Ruang lingkup angkutan laut dalam negeri, 2. Ruang lingkup angkutan laut luar negeri.

Dalam hal ini, hubungan nasional dan internasional tidak hanya terletak pada satu bidang hukum saja, melainkan pada bidang yang beraneka ragam, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum laut meliputi seluruh bidang hukum, baik hukum publik dan privat nasional maupun internasional.

c. Pengangkutan Udara

International Air Transport Association (IATA) sebagai organisasi internasional, yang mana tergabung sebagian besar pengangkut-pengangkut udara diseluruh dunia telah menyetujui syarat-syarat umum pengangkutan (General Condition of Carriage), baik untuk penumpang, bagasi maupun untuk barang. Syarat-syarat umum pengangkutan ini bertujuan untuk mengadakan keseragaman dalam syarat-syarat pengangkutan bagi para anggotanya.

Syarat-syarat khusus ini perlu diketahui lebih dulu oleh calon penumpang atau pengirim barang, sebab di dalam tiket penumpang selalu disebutkan bahwa pengangkutan udara dengan tiket itu tunduk pada syarat-syarat khusus pengangkutan dan ordonansi pengangkutan udara di Indonesia (S. 1939-100). Dengan membeli tiket pengangkutan udara, maka telah terjadi perjanjian pengangkutan antara pengusaha dengan penumpang dan dengan sendirinya semua ketentuan-ketentuan yang tercantum pada tiket pengangkutan udara telah berlaku.

Menurut Sution Usman Adji : “Pengangkutan melalui laut dapat dibagi atas pengangkutan antar pulau dan pengangkutan ke luar negeri, selain itu juga dapat dibagi atas pengangkutan dengan pelayaran tetap dan pengangkutan dengan tr

Referensi

Dokumen terkait

a. Tanggung jawab CV. PAS Transport adalah mengangkut barang dan orang dari tempat pemberangkatan atau loket, menuju tempat tujuan penumpang berdasarkan

Sebagai pihak Penyelenggara Sarana Perkeretaapian PT. KAI mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keselamatan penumpang atau pengguna jasa perkeretaapian. Dalam hal

Demikian pula menurut Pasal 1367 KUHPer tersebut tanggung jawab hukum tersebut tidak hanya terbatas perbuatan sendiri, melainkan juga perbuatan karyawan,

Ganti kerugian merupakan hak korban kecelakaan lalu lintas dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas, bukan hanya dimuat dalam Pasal

Penumpang yang mengalami kerugian jiwa dan atau barang akibat mengalami kecelakaan lalu lintas dari transportasi yang tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan umum dari

Definisi Operasional Tcrscdianya angkutan umum yang melayani wilayah yang telah tersedia jaringan jalan untuk jaringan jalan Provinsi, adalah persentase jumlah jaringan jalan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan.. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2016 Tentang

22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada Pasal 192 ayat (1) menjelaskan bahwa perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita