• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengukuran Kadar Antibodi Ig M Anti PGL-1 pada Penderita Kusta : Suatu Studi Banding antara Sampel Darah Kapiler Cuping Telinga dengan Kertas Saring dan Sampel Darah Vena Mediana Kubiti dengan dan Tanpa Kertas Saring

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengukuran Kadar Antibodi Ig M Anti PGL-1 pada Penderita Kusta : Suatu Studi Banding antara Sampel Darah Kapiler Cuping Telinga dengan Kertas Saring dan Sampel Darah Vena Mediana Kubiti dengan dan Tanpa Kertas Saring"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUKURAN KADAR ANTIBODI IG M ANTI PGL-1 PADA PENDERITA KUSTA: SUATU STUDI BANDING ANTARA SAMPEL DARAH KAPILER CUPING TELINGA

DENGAN KERTAS SARING DAN SAMPEL DARAH VENA MEDIANA KUBITI DENGAN DAN TANPA KERTAS SARING

TESIS

Oleh

KHAIRINA NIM : 077105003

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGUKURAN KADAR ANTIBODI IG M ANTI PGL-1 PADA PENDERITA KUSTA: SUATU STUDI BANDING ANTARA SAMPEL DARAH KAPILER CUPING TELINGA

DENGAN KERTAS SARING DAN SAMPEL DARAH VENA MEDIANA KUBITI DENGAN DAN TANPA KERTAS SARING

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Oleh KHAIRINA NIM : 077105003

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Tesis : Pengukuran Kadar Antibodi Ig M Anti PGL-1 pada Penderita Kusta : Suatu Studi Banding antara Sampel Darah Kapiler Cuping Telinga dengan Kertas Saring dan Sampel Darah Vena Mediana Kubiti dengan dan Tanpa Kertas Saring

Nama : Khairina Nomor Induk : 077105003

Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Konsentrasi : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Menyetujui :

Pembimbing I

(dr. H. Syahril R Lubis, SpKK(K))

Pembimbing II

(dr. Kristina Nadeak, SpKK)

Ketua Program Studi

(dr. Chairiyah Tanjung, SpKK(K))

Ketua Departemen

(4)

Pengukuran Kadar Antibodi IgM Anti PGL-1 pada Penderita Kusta : Suatu Studi Banding antara Sampel Darah Kapiler Cuping Telinga dengan

Kertas Saring dan Sampel Darah Vena Mediana Kubiti dengan dan Tanpa Kertas Saring

Khairina

Departeman Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin , Kristina Nadeak, Syahril R. Lubis

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik Medan ABSTRAK

Latar belakang : Untuk menetapkan diagnosis kusta yang lebih akurat, diperlukan pemeriksaan tambahan salah satunya adalah pemeriksaan serologi yaitu ELISA. Pengumpulan darah lewat pungsi vena mediana kubiti untuk pemeriksaan serologi memiliki beberapa masalah, sehingga dipertimbangkan pengambilan sampel darah pada daerah cuping telinga karena merupakan tempat yang umum dilakukan pemeriksaan bakteriologis.

Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan kadar antibodi IgM anti PGL-1 dari darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring dengan darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dan tanpa kertas saring (metode konvensional) pada penderita kusta.

Metode : Suatu studi analitik observasional dengan rancangan cross-sectional dan melibatkan 30 penderita kusta yang ditegakkan apabila dijumpai minimal salah satu dari tanda kardinal, kemudian dilakukan pemeriksaan ELISA dari sampel darah cuping telinga dengan kertas saring, sampel darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dan metode konvensional untuk mengetahui kadar antibodi IgM anti PGL-1.

Hasil : Nilai rerata kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah cuping telinga dengan kertas saring (1476,62 μ/ml) relatif sama dengan rerata kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti metode konvensional (1476,77 μ/ml) namun nilai rerata kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti dengan kertas saring (1210,37 μ/ml) lebih rendah dari keduanya tetapi secara statistik tidak ada perbedaan bermakna diantara ketiganya.

Kesimpulan : Tidak ada perbedaan bermakna antara nilai rerata kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah cuping telinga dengan kertas saring, darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dan metode konvensional.

(5)

IgM Anti PGL-1 Antibody Level Measuring in Patients with Leprosy: A Comparative Study between Ear lobes Capillary Blood Samples with Filter

Paper and Median Cubital Vein Blood Samples with and without Filter Paper

Khairina

Department of Dermatology and Venereology , Kristina Nadeak, Syahril R. Lubis

Faculty of Medicine, University of North Sumatera / RSUP. H. Adam Malik Medan

ABSTRACT

Background: To establish diagnosis of leprosy accurately, additional examination such as serologic examination with ELISA is required. Taking blood samples from median cubital vein puncture for serology had some problems, therefore blood sampling is considered to be performed on the ear lobe region which is common site for bacteriological examination.

Objective: To determine the differences of IgM anti PGL-1 antibody levels from ear lobe capillary blood sample with filter paper and median cubital vein blood sample with and without filter paper (conventional method) in leprosy patients. Methods: An observational analytic study using a cross-sectional study involving 30 patients with leprosy based on the cardinal signs. ELISA examination of earlobe blood samples with filter paper and the median cubital vein blood samples with filter paper and conventional methods were perfomed to determine IgM anti PGL-1 antibody levels.

Results: The mean value of IgM anti PGL-1 antibody levels from earlobe blood samples with filter paper (1476.62 μ / ml) was relatively similar with median cubital vein blood samples with conventional method (1476.77 μ / ml), but the mean value of IgM anti PGL-1 antibody levels from median cubital vein blood samples with filter paper (1210.37 μ / ml) was lower from other methods, however there was no statistically significance difference between them.

Conclusion: There are no significant differences between the mean levels of IgM anti PGL-1 antibody from earlobe blood samples with filter paper, the median cubital vein blood samples with filter paper and the conventional method.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya atas rahmat dan hidayahNya saya dapat menyelesaikan tesis ini yang merupakan persyaratan untuk memperoleh gelar keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.

Dalam menjalani pendidikan spesialis ini, berbagai pihak telah turut berperan serta sehingga terlaksananya seluruh rangkaian pendidikan ini. Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. dr. H. Syahril R. Lubis, SpKK (K), selaku pembimbing utama tesis ini, yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta dengan penuh kesabaran selalu membimbing, memberikan nasehat, masukan, koreksi dan motivasi kepada saya selama proses penyusunan tesis ini.

2. dr. Kristina Nadeak, SpKK, selaku pembimbing kedua tesis ini, yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta dengan penuh kesabaran selalu membimbing, memberikan nasehat, masukan, koreksi dan motivasi kepada saya selama proses penyusunan tesis ini.

3. Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK(K), sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan sebagai anggota tim penguji tesis saya yang telah memberikan bimbingan dan koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.

4. dr. Chairiyah Tanjung, SpKK(K), sebagai Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang juga telah banyak membantu saya, senantiasa mengingatkan dan memberikan dorongan dalam penyelesaian tesis ini maupun selama menjalani pendidikan sehari-hari.

5. Prof. DR. Syahril Pasaribu, SpA(K), DTM&H, Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, dan Prof. DR. Chairuddin P Lubis, SpA(K), DTM&H, Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara pada saat saya diterima sebagai peserta program pendidikan dokter spesialis yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melaksanakan studi pada Universitas yang Bapak pimpin.

6. Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH, Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

(7)

8. Prof. dr. Diana Nasution SpKK(K), sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara pada saat saya diterima sebagai peserta program pendidikan dokter spesialis, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

9. Para Guru Besar, Prof. Dr. dr. Marwali Harahap, SpKK (K), Prof. dr. Mansur A. Nasution, SpKK (K), serta seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU, RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini. 10. Prof. DR. dr. Indropo Agusni, SpKK(K), yang dengan penuh kesabaran

membimbing, memberi pelatihan dan saran serta koreksi kepada saya selama proses penyusunan tesis ini.

11. Kepala Rumah Sakit Kusta Sicanang Belawan beserta seluruh staf/pegawai dan perawat, yang telah memberikan izin dan bantuan kepada saya untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Kusta Sicanang Belawan.

12. Bapak Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan dan Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya selama menjalani pendidikan keahlian ini.

13. dr. Surya Dharma, MPH, selaku staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, yang telah banyak membantu saya dalam metodologi penelitian dan pengolahan statistik penelitian saya ini.

14. Seluruh staf/pegawai dan perawat di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, baik di RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, atas bantuan, dukungan, dan kerjasama yang baik selama ini.

15. Kedua orangtua saya tercinta Prof. dr. H. Darulkutni Nasution, SpS(K) dan Hj.Gunarningsih, yang dengan penuh cinta kasih, keikhlasan, doa, kesabaran, dan pengorbanan yang luar biasa untuk mengasuh, mendidik, dan membesarkan saya, dan tidak bosan-bosannya memotivasi saya untuk terus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kiranya hanya Allah SWT yang dapat membalas segalanya.

16. Bapak dan Ibu mertua saya dr.H. M. Yamin Mahmud, SpM dan Hj. Hafizah, terima kasih atas doa dan dukungan yang telah diberikan kepada saya.

17. Suami saya tercinta dr. Dudy Aldiansyah Sp.OG, terima kasih yang setulus-tulusnya atas segala pengorbanan, kesabaran dan pengertiannya serta untuk selalu memberikan dukungan, doa, semangat, bantuan disetiap saat hingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini.

18. Anak saya tercinta Nadira Shahana yang selalu saya rindukan disaat saya tidak bisa menemaninya dan menjadi pendorong semangat saya untuk menyelesaikan pendidikan ini.

(8)

20. Sahabat-sahabat saya tersayang, dr. Dina Aprillia Ariestine SpPD, Lidya Norman SE, Imelda Afrina SE, dr. Fera Wahyuni SpA, terima kasih atas doa dan dukungan yang telah diberikan kepada saya.

21. Teman seangkatan saya tersayang, dr. Riana Miranda Sinaga, dr. Imanda J. Siregar SpKK, dr. Fahmi Rizal SpKK, terima kasih untuk kerja sama, kebersamaan, waktu dan kenangan yang tidak akan pernah terlupakan selama menjalani pendidikan ini.

22. dr. Khairur Rahmah SpKK, dr. Sharma Hernita SpKK, dr. Sauri Putra SpKK, dr. Dina Arwina Dalimunthe, dr. Rudyn R Panjaitan SpKK, dr.Olivia, dr.Sufina, dr. Rini ACS, dr. Wahyuni, dr. Cut Putri, dr. Nova, dr. T. Sy. Dessi Indah Sari AS, dr. Sri Naita Purba, dr. Oliviti Natali, dr. Herlin Novita Pane, dr. Meilania Hashnatasha yang telah menjadi teman berbagi cerita suka dan duka selama menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini.

23.Semua teman-teman PPDS Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan kerjasama kepada saya selama menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

24.Seluruh keluarga dan handai tolan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah banyak memberikan bantuan, baik moril maupun materil, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, izinkanlah saya untuk menyampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan, kekhilafan dan kekurangan yang telah saya lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama saya menjalani pendidikan. Semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang telah diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Medan, April 2013 Penulis

(9)

DAFTAR ISI

3.5 Cara Pengambilan Sampel Penelitian ... 26

3.6 Identifikasi Variabel ... 26

3.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 26

3.7.1 Kriteria Inklusi ... 26

(10)

3.8 Alat, Bahan dan Cara Kerja ... 27

3.8.1 Alat dan bahan untuk pengambilan sampel ... 27

3.8.2 Alat dan bahan untuk pemeriksaan serologi kusta dengan uji ELISA ... 28

3.8.3 Cara Kerja ... 28

3.9 Defenisi Operasional ... 33

3.10 Kerangka Operasional ... 34

3.11 Pengolahan dan Analisis Data ... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Karakteristik Subyek Penelitian ... 37

4.2 Analisis Bivariat ... 40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

5.1 Kesimpulan ... 48

5.2 Saran ... 48 DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut WHO (1982) ... 13 Tabel 2. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan

klasifikasi menurut WHO (1982) pada penderita kusta ... 14 Tabel 3. Karakteristik subyek penelitian ... 37 Tabel 4. Hasil uji korelasi antara kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah

cuping telinga dengan kertas saring dengan darah vena mediana kubiti secara konvensional ... 40 Tabel 5. Hasil uji korelasi antara kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah

vena mediana kubit dengan kertas saring dengan darah vena mediana kubiti secara konvensional ... 41 Tabel 6. Hasil uji regresi linier antara kadar antibodi IgM anti PGL-1

darah cuping telinga dengan kertas saring terhadap kadar antibodi

IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti metode konvensional ... 43 Tabel 7. Hasil uji regresi linier antara kadar antibodi IgM anti PGL-1

darah vena mediana kubiti dengan kertas saring terhadap kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti metode konvensional ... 43 Tabel 8. Hasil uji konversi antara nilai kadar antibodi IgM anti PGL-1

darah cuping telinga dengan kertas saring terhadap darah vena mediana kubiti secara konvensional dan nilai kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti dengan kertas saring terhadap darah vena mediana kubiti secara konvensional ... 45 Tabel 9. Perbedaan antara kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah dari

(12)

DAFTAR GAMBAR

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Naskah penjelasan kepada calon subjek penelitian / orangtua / keluarga calon subjek penelitian

Lampiran 2. Persetujuan setelah penjelasan dalam penelitian Lampiran 3. Status penelitian

Lampiran 4. Master tabel

Lampiran 5. Data hasil analisis statistik Lampiran 6. Komite etik

(14)

DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA

BTA : Bakteri tahan asam

ELISA : Enzyme linked immuno-assay

FLA-ABS : Fluorescent leprosy antibody absorption

Ig : Imunoglobulin

M. leprae : Mycobacterium leprae

MB : Multibasiler

MLPA : Mycobacterium leprae particle agglutination

NT-P-BSA : Natural trisaccharide-phenyl-bovine serum albumin PB : Pausibasiler

PBS : Phosphate buffer saline PBST : Phosphate buffer saline tween PCR : Polymerase chain reaction PGL : Phenolic glycolipid RIA : Radio immunoassay WHO : World Health Organization NaN3

NaNO

: Natrium nitrit

3

(15)

Pengukuran Kadar Antibodi IgM Anti PGL-1 pada Penderita Kusta : Suatu Studi Banding antara Sampel Darah Kapiler Cuping Telinga dengan

Kertas Saring dan Sampel Darah Vena Mediana Kubiti dengan dan Tanpa Kertas Saring

Khairina

Departeman Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin , Kristina Nadeak, Syahril R. Lubis

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik Medan ABSTRAK

Latar belakang : Untuk menetapkan diagnosis kusta yang lebih akurat, diperlukan pemeriksaan tambahan salah satunya adalah pemeriksaan serologi yaitu ELISA. Pengumpulan darah lewat pungsi vena mediana kubiti untuk pemeriksaan serologi memiliki beberapa masalah, sehingga dipertimbangkan pengambilan sampel darah pada daerah cuping telinga karena merupakan tempat yang umum dilakukan pemeriksaan bakteriologis.

Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan kadar antibodi IgM anti PGL-1 dari darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring dengan darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dan tanpa kertas saring (metode konvensional) pada penderita kusta.

Metode : Suatu studi analitik observasional dengan rancangan cross-sectional dan melibatkan 30 penderita kusta yang ditegakkan apabila dijumpai minimal salah satu dari tanda kardinal, kemudian dilakukan pemeriksaan ELISA dari sampel darah cuping telinga dengan kertas saring, sampel darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dan metode konvensional untuk mengetahui kadar antibodi IgM anti PGL-1.

Hasil : Nilai rerata kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah cuping telinga dengan kertas saring (1476,62 μ/ml) relatif sama dengan rerata kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti metode konvensional (1476,77 μ/ml) namun nilai rerata kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti dengan kertas saring (1210,37 μ/ml) lebih rendah dari keduanya tetapi secara statistik tidak ada perbedaan bermakna diantara ketiganya.

Kesimpulan : Tidak ada perbedaan bermakna antara nilai rerata kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah cuping telinga dengan kertas saring, darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dan metode konvensional.

(16)

IgM Anti PGL-1 Antibody Level Measuring in Patients with Leprosy: A Comparative Study between Ear lobes Capillary Blood Samples with Filter

Paper and Median Cubital Vein Blood Samples with and without Filter Paper

Khairina

Department of Dermatology and Venereology , Kristina Nadeak, Syahril R. Lubis

Faculty of Medicine, University of North Sumatera / RSUP. H. Adam Malik Medan

ABSTRACT

Background: To establish diagnosis of leprosy accurately, additional examination such as serologic examination with ELISA is required. Taking blood samples from median cubital vein puncture for serology had some problems, therefore blood sampling is considered to be performed on the ear lobe region which is common site for bacteriological examination.

Objective: To determine the differences of IgM anti PGL-1 antibody levels from ear lobe capillary blood sample with filter paper and median cubital vein blood sample with and without filter paper (conventional method) in leprosy patients. Methods: An observational analytic study using a cross-sectional study involving 30 patients with leprosy based on the cardinal signs. ELISA examination of earlobe blood samples with filter paper and the median cubital vein blood samples with filter paper and conventional methods were perfomed to determine IgM anti PGL-1 antibody levels.

Results: The mean value of IgM anti PGL-1 antibody levels from earlobe blood samples with filter paper (1476.62 μ / ml) was relatively similar with median cubital vein blood samples with conventional method (1476.77 μ / ml), but the mean value of IgM anti PGL-1 antibody levels from median cubital vein blood samples with filter paper (1210.37 μ / ml) was lower from other methods, however there was no statistically significance difference between them.

Conclusion: There are no significant differences between the mean levels of IgM anti PGL-1 antibody from earlobe blood samples with filter paper, the median cubital vein blood samples with filter paper and the conventional method.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat.

Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat.

1-4

Sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 menurut data dari

World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi peningkatan penderita baru seperti pada Republik Demokrasi Kongo, Indonesia dan Filipina. Menurut data WHO, pada tahun 2011, tercatat 219.075 kasus baru kusta di dunia dengan prevalensi 4,06 per 10.000 penduduk. Menurut profil data kesehatan Indonesia tahun 2011, terdapat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk, sedangkan di Sumatera Utara terdapat 170 kasus baru kusta dengan prevalensi 1,3 per 100.000 penduduk.

2

(18)

Penyakit kusta merupakan penyakit pada manusia yang dapat merusak saraf tepi sehingga menimbulkan kecacatan pada tangan, kaki, wajah dan beberapa kasus pada mata.1,2 Strategi untuk menegakkan diagnosis secara dini dan penatalaksanaan secara tepat dapat membantu dalam mencegah kecacatan yang serius pada penderita kusta serta transmisi dari penyakit karena penderita kusta yang belum diobati merupakan sumber dari penularan penyakit.

Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda kardinal, yaitu lesi kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf dan adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit. Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat minimal salah satu dari tanda-tanda kardinal.

7

Diagnosis penyakit kusta di lapangan seringkali hanya berdasarkan gambaran klinis yang didukung dengan pemeriksaan bakteriologis saja, tetapi pada kasus-kasus tertentu diperlukan pemeriksaan tambahan yang akan dapat menetapkan diagnosis yang lebih akurat.

2

8

(19)

uji mycobacterium leprae particle agglutination (MLPA), antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa dan uji enzyme linked immuno-assay (ELISA).

Banyak penelitian mengenai pemeriksaan serologi yang telah dilakukan untuk mengukur kadar antibodi pada manusia dengan menggunakan uji ELISA untuk mendeteksi antibodi terhadap phenolic glicolipid-1 (PGL-1) beberapa tahun terakhir ini. Penelitian akhir-akhir ini membahas tentang pemeriksaan serologi dalam mendeteksi antibodi imunoglobulin M (IgM) terhadap PGL-1, dalam aplikasinya sebagai pemeriksaan pelengkap untuk diagnosis dari penderita kusta untuk tujuan pengobatan, pengawasan, identifikasi resiko terjadinya relaps dan seleksi dari individu kontak serumah dengan resiko paling tinggi untuk menderita penyakit kusta.

9

Pengumpulan darah lewat pungsi vena mediana kubiti untuk pemeriksaan serologi memiliki beberapa masalah pada prakteknya, terutama jika sampel darah dari pos kesehatan di daerah perifer harus dikirim ke laboratorium pusat. Pada metode ini perlu dilakukan sentrifugasi, dan cara penyimpanannya serta pengiriman sampel darah yang tidak mudah. Timori et al. melakukan penelitian pertama untuk pemeriksaan ELISA dalam mendeteksi antibodi IgM terhadap PGL-1 menggunakan kertas saring dengan metode finger prick.

7-10

Di Indonesia, Syahputra et al. telah melakukan penelitian tentang pengukuran kadar antibodi anti PGL-1 pada penderita kusta tipe pausibasiler

(20)

dan multibasiler dengan membandingkan pemeriksaan darah vena menggunakan kertas saring dengan pemeriksaan darah vena tanpa kertas saring, yang selanjutnya akan disebut metode konvensional. Dari hasil penelitian didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kadar antibodi anti PGL-1 pada kertas saring dan metode konvensional.12

Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet, pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.

13,14

Cuping telinga merupakan daerah yang relatif dingin dan merupakan tempat pengambilan sampel yang umumnya dilakukan pada pemeriksaan bakteriologis sehingga dapat meminimalisasi vena punktur. Pada pemeriksaan BTA, daerah cuping telinga sering masih positif walaupun pada tempat lain sudah negatif.15

1.2 Rumusan Masalah

Dengan alasan di atas, dilakukan penelitian pengukuran kadar antibodi IgM anti PGL-1 pada penderita kusta tipe multibasiler dan tipe pausibasiler dengan ELISA dengan membandingkan pemeriksaan darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring dan darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dan metode konvensional.

(21)

dari vena mediana kubiti dengan kertas saring maupun metode konvensional pada penderita kusta ?

1.3 Hipotesis

Pemeriksaan serologi ELISA untuk menentukan kadar antibodi IgM anti PGL-1 dari darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring memberikan hasil titer yang lebih tinggi dibandingkan dengan darah dari vena mediana kubiti dengan kertas saring maupun metode konvensional pada penderita kusta.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum:

Untuk mengetahui perbedaan kadar antibodi IgM anti PGL-1 dari darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring dengan darah dari vena mediana kubiti dengan kertas saring maupun dengan metode konvensional pada penderita kusta.

1.4.2 Tujuan khusus:

A. Untuk mengetahui kadar antibodi IgM anti PGL-1 berdasarkan pemeriksaan serologi ELISA dengan menggunakan darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring pada penderita kusta. B. Untuk mengetahui kadar antibodi IgM anti PGL-1 berdasarkan

(22)

C. Untuk mengetahui kadar antibodi IgM anti PGL-1 berdasarkan pemeriksaan serologi ELISA dengan menggunakan darah vena mediana kubiti dengan metode konvensional pada penderita kusta.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Dapat membuka wawasan klinisi mengenai pemeriksaan penunjang serologis pada penderita kusta terutama yang berhubungan dengan penentuan kadar antibodi IgM anti PGL-1.

1.5.2 Dapat menambah pengetahuan klinisi mengenai alternatif pemeriksaan penunjang serologis yang lebih sederhana, lebih murah, lebih cepat, dan akurat dalam membantu menegakkan diagnosis penderita kusta sehingga dapat diterapkan untuk pelayanan kesehatan.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Kusta (Morbus Hansen, Lepra)

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki.

2.2 Epidemiologi

1-4

Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.

Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985 dijumpai 107 negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000. Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih penderita baru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai kontribusi 94%

(24)

dari seluruh penderita baru didunia. Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil.

Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per 100.000 penduduk.

2,7

2

Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk.

2.3 Etiologi

6,16

(25)

Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari : A. Kapsul

1,17

Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk M. leprae . Zona transparan ini terdiri dari dua lipid,

phthioceroldimycoserosate, yang dianggap memegang peranan protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang terdiri dari tiga molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul fenol pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia yang unik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M. leprae

B. Dinding sel

Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:

a. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan

yang diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat , mirip dengan yang ditemukan pada Mycobacteria lainnya.

(26)

C. Membran

Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar organisme. Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa enzim dan secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat membentuk ‘antigen protein permukaan’ yang diekstraksi dari dinding sel M. leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas.

D. Sitoplasma

Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam mengkonfirmasi identitas sebagai

M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari armadillo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara genetik, terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.

2.4 Diagnosis

Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda kardinal, yaitu:

1,2,7,18,19

A. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.

(27)

B. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.

Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf tepi berupa:

a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.

b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise).

c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering.

C. Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis. 2.5 Klasifikasi

Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi.

Klasifikasi bertujuan untuk:

2,4,19,20

A. Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.

4

B. Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang menularkan dan memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai target utama pengobatan.

(28)

Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India dan klasifikasi menurut WHO.

A. Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953)

1,2,7,19,21

Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas

Indeterminate (I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B),

Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling sederhana berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy Association di Madrid tahun 1953.1,2,7,19

B. Klasifikasi Ridley-Jopling (1966)

Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum klinis mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap M.leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity = CMI) seseorang yang akan menentukan apakah dia akan menderita kusta apabila individu tersebut mendapat infeksi M.leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya pada spektrum penyakit kusta. Sistem klasifikasi ini banyak digunakan pada penelitian penyakit kusta, karena bisa menjelaskan hubungan antara interaksi kuman dengan respon imunologi seseorang, terutama respon imun seluler spesifik.

Kelima tipe kusta menurut Ridley-Jopling adalah tipe

Lepromatous (LL), tipe Borderline Lepromatous (BL), tipe Mid

(29)

Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe

Tuberculoid (T).

C. Klasfikasi menurut WHO

1,2,7,19,22-24

Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB). Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi.

Tabel 1. Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi / tipe penyakit kusta menurut WHO (1982)*

2,24-26

Tanda utama Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB) Bercak kusta. Jumlah 1 sampai

dengan 5

Jumlah lebih dari 5

Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi (gangguan fungsi bisa berupa kurang/mati rasa atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang bersangkutan.

Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf

Pemeriksaan bakteriologi. Tidak dijumpai basil tahan asam (BTA negatif)

Dijumpai basil tahan asam (BTA positif)

(30)

Tabel 2. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi menurut WHO (1982) pada penderita kusta* Kelainan kulit dan hasil

pemeriksaan

Pausibasiler (PB)

Multibasiler (MB) 1. Bercak (makula) mati rasa

a. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil b. Distribusi Unilateral atau

bilateral asimetris

Bilateral simetris

c. Konsistensi Kering dan kasar

Halus, berkilat d. Batas Tegas Kurang tegas e. Kehilangan rasa

pada bercak

Selalu ada dan tegas

Biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi pada yang sudah lanjut f. Kehilangan

kemampuan berkeringat, rambut rontok pada bercak

Selalu ada dan jelas

Biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi pada yang sudah lanjut

2. Infiltrat

a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang tidak ada

b. Membran mukosa Tidak pernah ada

Ada, kadang-kadang tidak ada

c. Ciri-ciri Centralhealing - Punched out lession

- Madarosis

- Ginekomasti

- Hidung pelana - Suara sengau d. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada e. Deformitas Terjadi dini Biasanya asimetris *dikutip dari kepustakaan no.2 sesuai aslinya

2.6 Antigen M. leprae

Unsur kimia utama dari M. leprae bersifat antigenik, tetapi M. leprae

(31)

1981, saat Brennan melaporkan phenolic glikolipid dan menunjukkan bahwa phenolic glikolipid bersifat spesifik pada M. leprae, semua antigen yang diidentifikasi sampai sejauh ini umumnya bereaksi-silang dengan

Mycobacteria lainnya, walaupun ada sebagian kecil molekul, suatu epitope, yang spesifik pada M. leprae. Spesifisitas epitope memungkinkan tes antibodi spesifik bisa ditetapkan dengan menggunakan serum yang telah diabsorbsi dengan spesies Mycobacteria lainnya.

Antigenisitas dari M. leprae didominasi oleh antigen yang mengandung karbohidrat, yang stabil secara fisik-kimia.

1,16

A. Phenolic Glicolipid (PGL)

1

Terdapat varian-varian kecil pada struktur ditandai dengan I, II dan III. PGL-1 mengandung suatu kelompok glikosilasi fenol dengan karakteristik trisakarida yang hanya dijumpai pada M.leprae. PGL-1 berbeda dengan PGL-2 dan PGL-3 dalam pola residu gula. Trisakarida terminal pada PGL-1 memberikan spesifisitas antigenik pada M.leprae. Trisakarida ini telah berhasil disintesis dan dapat berikatan dengan

sample carrier protein yang digunakan pada seroepidemiologik pada beberapa penelitian.

Antigen PGL-1 dapat menstimulasi produksi antibodi IgM. Antigen ini ditemukan pada semua jaringan yang terinfeksi dengan

M. leprae dan tetap bertahan dalam waktu yang lama bahkan setelah organisme mati. Individu dengan indeks bakteri yang tinggi umumnya menunjukkan titer antibodi IgM anti PGL-1 yang tinggi.

(32)

Kecenderungan kadar antibodi IgM anti PGL-1 yang rendah untuk tetap positif mungkin berhubungan dengan persistensi basiler. Antigen PGL-1 itu sendiri tidak larut dalam air dan dapat menetap di jaringan dalam jangka waktu yang lama, menstimulasi respon antibodi yang rendah tanpa adanya basil yang hidup. Respon antibodi anti PGL-1 terutama pada kelas IgM mengindikasikan bahwa sifat IgM tidak tergantung oleh respon sel T terhadap antigen glikolipid ini, berbeda dengan respon IgG yang predominan terhadap antigen karbohidrat utama lipoarabinomannan (LAM).1,16,28-31

B. Lipoarabinomannan (LAM)

Ini merupakan komponen utama dari dinding sel M. leprae; komponen ini stabil dan tidak bisa dicerna. Komponen ini bereaksi-silang dengan Mycobacteria lainnya, tetapi mengandung epitope spesifik yang dikenali oleh serum yang terabsorbsi, dan memicu antibodi IgG.

C. Antigen protein

1,16

Ada banyak antigen protein pada M. leprae, di mana lima di antaranya sangat menarik perhatian karena antibodi monoklonal tikus menunjukkan bahwa antigen protein ini mengandung epitope spesifik

M. leprae. Protein yang bisa larut yang diekstraksi dari M. leprae

(33)

dan diekspresikan pada E. coli, yang sangat membantu dalam analisa antigen tersebut.

2.7 Imunologi Kusta

1,16

Respon imun pada penyakit kusta sangat kompleks, dimana melibatkan respon imun seluler dan humoral. Sebagian besar gejala dan komplikasi penyakit ini disebabkan oleh reaksi imunologi terhadap antigen yang dimiliki oleh M. leprae. Jika respon imun yang terjadi setelah infeksi cukup baik, maka multiplikasi bakteri dapat dihambat pada stadium awal sehingga dapat mencegah perkembangan tanda dan gejala klinis selanjutnya.

M. leprae merupakan bakteri obligat intraseluler, maka respon imun yang berperan penting dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi adalah respon imun seluler. Respon imun seluler merupakan hasil dari aktivasi makrofag dengan meningkatkan kemampuannya dalam menekan multiplikasi atau menghancurkan bakteri.

1,32

Respon imun humoral terhadap M. leprae merupakan aktivitas sel limfosit B yang berada dalam jaringan limfosit dan aliran darah. Rangsangan dari komponen antigen basil tersebut akan mengubah sel limfosit B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi yang akan membantu proses opsonisasi. Namun pada penyakit kusta, fungsi respon imun humoral ini tidak efektif, bahkan dapat menyebabkan timbulnya beberapa reaksi kusta karena diproduksi secara berlebihan yang tampak pada kusta lepromatosa.

1,32

(34)

2.8 Pemeriksaan Serologi

Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit kusta, tes serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi

M. leprae sebelum timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan untuk menentukan adanya antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam darah. Dengan diagnosis yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul manifestasi klinis lepra diharapkan dapat mencegah penularan penyakit sedini mungkin.

Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan cukup banyak manfaatnya, khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah endemik. Selain itu pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis kusta pada keadaan yang meragukan karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis tidak jelas. Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta maka bila ditemukan antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada seseorang maka patutlah dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh M.leprae. Pada kusta subklinis seseorang tampak sehat tanpa adanya penyakit kusta namun di dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik terhadap basil kusta dalam kadar yang cukup tinggi.

33

(35)

Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan, antara lain:

A. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)

Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah dilabel dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen dari mikrobakteri lain.

B. Radio Immunoassay (RIA)

34

Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam tubuh Armadillo yang diberi label radio aktif.

C. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)

34

Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan di lapangan, terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif.

D. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa

M.leprae menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan sensitif untuk serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. leprae adalah suatu target spesifik dan yang utama dari respon imun seluler terhadap M. leprae, merangsang proliferasi sel T dan sekresi interferon gamma pada pasien kusta dan kontak.

34

(36)

E. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)

Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai penanda.35

Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi atau antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa spektrofotometer.

Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi yang terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan tersebut, selanjutnya terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang tertentu. Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat mikro untuk tempat terjadinya reaksi.

35

Terdapat tiga metode ELISA, antara lain:

34-36

35

A. Direct ELISA

(37)

B. Indirect ELISA

Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan antibodi primer, kemudian dilakukan penambahan antibodi sekunder yang dilabel enzim dan terjadi reaksi antara antibodi primer dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer.

C. Sandwich ELISA.

Pada sandwich ELISA, prinsip kerjanya hampir sama dengan

direct ELISA, hanya saja pada sandwich ELISA, larutan antigen yang diinginkan tidak perlu dipurifikasi.

(38)

yang tidak sakit kusta. Di daerah Jawa Timur, nilai ambang untuk antibodi IgM anti PGL-1 telah diketahui sekitar 605 μ/ml.

Pada penelitian ini akan menggunakan metode indirect ELISA untuk mengukur kadar antibodi IgM anti PGL-1 pada penderita kusta. Salah satu keuntungan dari uji ELISA adalah sensitif karena dapat mendeteksi dari level 0,01 μg/ml.

34,35

2.9 Kerangka Teori

35

Gambar 1. Diagram kerangka teori penelitian Penderita

kusta

Mycobacteriu m leprae

Kapsul

Dinding sel

Membran sel

Sitoplasma

Phthioceroldimycoserosate

(PDIM)

Phenolic glycolipid (PGL)

PGL-1

Antigenik lipid M.leprae yang spesifik

Gula terminal

Sintesis disakarida natural dan trisakarida natural

Pemeriksaan ELISA Dikonyugasi dengan Bovine

Serum Albumin (BSA)

(39)

2.10 Kerangka Konsep

Gambar 2. Diagram kerangka konsep penelitian Darah kapiler cuping

telinga dengan kertas

Darah vena mediana kubiti dengan kertas

Darah vena mediana kubiti metode

Kadar antibodi IgM anti PGL-1 Penderita

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu studi analitik observasional dengan rancangan cross- sectional.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2012 - Juni 2012, bertempat di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan dan Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

3.2.2 Pengambilan sampel darah dilakukan di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan dan Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Sampel darah cuping telinga dan vena mediana kubiti dengan kertas saring disimpan dalam kotak dengan temperatur ruangan sedangkan sampel darah vena mediana kubiti dengan metode konvensional dikumpulkan di dalam freezer pada suhu 0 – (-20)0

3.2.3 Setelah jumlah sampel terpenuhi maka semua sampel akan dibawa ke Tropical Disease Center, Kampus C Universitas Airlangga Surabaya untuk pemeriksaan tes serologi antibodi IgM anti PGL-1 dengan uji ELISA.

(41)

3.3 Populasi Penelitian 3.3.1 Populasi target:

Pasien-pasien yang menderita kusta. 3.3.2 Populasi terjangkau:

Pasien-pasien rawat jalan dan rawat inap yang menderita kusta tipe multibasiler dan pausibasiler di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan dan Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan sejak bulan Maret 2012 - Juni 2012.

3.3.3 Sampel :

Pasien-pasien rawat jalan dan rawat inap yang menderita kusta tipe multibasiler dan pausibasiler di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan dan Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan sejak bulan Maret 2012 – Juni 2012 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4 Besar Sampel

Untuk menghitung besarnya sampel penelitian, maka digunakan rumus sebagai berikut: 37

Zα = Nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai α yang ditentukan, maka jika α = 0,05  maka Zα = 1,64

Zβ = Nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai β yang ditentukan, maka jika β = 0,20  maka Zβ = 0,84

2

(42)

S = Standard deviasi gabungan antara sampel darah metode konvensional dan sampel darah kertas saring, yaitu: 1311,55

x1 – x2 = selisih rerata yang bermakna

= 21,16 orang ~ 22 orang Besar sampel pada penelitian ini adalah 30 orang. 3.5 Cara Pengambilan Sampel Penelitian

Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan metode consecutive sampling.

3.6 Identifikasi Variabel

3.6.1 Variabel bebas : Darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring, darah vena mediana kubiti dengan kertas saring, darah vena mediana kubiti metode konvensional .

3.6.2 Variabel terikat : Kadar antibodi IgM anti PGL-1 3.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.7.1 Kriteria Inklusi

A. Penderita kusta yang diagnosisnya ditegakkan apabila dijumpai minimal salah satu dari tanda kardinal.

B. Penderita kusta dengan usia di atas 14 tahun.

C. Bersedia ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani

informed consent.

2

1000

(43)

3.7.2 Kriteria Eksklusi

A. Terjadi kesulitan dalam pengambilan sampel darah pada daerah cuping telinga.

3.8 Alat, Bahan dan Cara Kerja

3.8.1 Alat dan bahan untuk pengambilan sampel A. Sarung tangan.

B. Alat ikat pembendungan (torniquet). C. Kapas alkohol 70%.

D. Spuit disposible 3 cc.

E. Vacutainer (tabung pengumpul darah steril) 5 cc. F. Pisau toreh (skalpel no.15).

G. Kertas saring (Whatman chromthography Gr.41). H. Kertas label.

I. Plastik klip. J. Spidol.

K. Tabung mikrokapiler (hematocrite tube).

L. Microtube (tabung mikro) 1 ml yang berisi bahan pengawet (NaNO3

M. Plester luka.

) untuk sampel serum.

N. Satu buah freezer.

(44)

P. Kotak pendingin untuk menyimpan serum pada saat transportasi ke laboratorium pusat.

Q. Dry ice.

3.8.2 Alat dan bahan untuk pemeriksaan serologi kusta dengan uji ELISA A. Immunowash (BIORAD model 1575).

B. Microplate.

C. Mikropipet. D. Gunting kertas. E. Vortek.

F. Blocking buffer.

G. Biolise/X-read.

H. Tabung Eppendorf (1,5 μl, 0,5 μl). I. Kontak inkubasi

J. Larutan buffer PBST (phosphate buffer saline tween +0,05% tween 20)

3.8.3 Cara Kerja

A. Penderita kusta

(45)

Pulau Sicanang Belawan dan Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

B. Prosedur pengambilan sampel

(46)

b. Darah sebanyak 3 cc dimasukkan ke dalam vacutainer 5 cc dan diberi label kemudian disentrifugasi menggunakan

sentrifuge dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit untuk mendapatkan serum. Serum yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam microtube 1 cc yang berisi bahan pengawet NaNO3 untuk penyimpanan serum dan diberi

label, selanjutnya serum disimpan pada freezer dengan suhu 0-(-20)0

c. Sampel darah pada tabung mikrokapiler yang diambil dari vena mediana kubiti tadi diteteskan pada kertas saring (Whattman chromathographypaper Gr.41) sampai terserap merata membentuk bulatan, biarkan kering dengan alami pada suhu kamar kemudian masukkan ke dalam plastik klip dan diberi label selanjutnya disimpan di dalam kotak dengan temperatur ruangan.

C.

(47)

pada suhu kamar kemudian dimasukkan ke dalam plastik klip dan diberi label selanjutnya disimpan di dalam kotak dengan temperatur ruangan.

C. Prosedur pengiriman sampel

Masing-masing sampel selanjutnya dibawa ke Tropical Disease Center yang berlokasi di Jalan Mulyorejo, Kampus C Universitas Airlangga Surabaya

D. Prosedur pemeriksaan serologi uji ELISA

. Sampel darah cuping telinga dan vena mediana kubiti dengan kertas saring dibawa dengan menggunakan kotak biasa sedangkan sampel darah vena mediana kubiti dengan metode konvensional dibawa dengan menggunakan kotak pendingin berisi dry ice.

a. Kertas saring yang mengandung darah dipotong kecil-kecil. b. Dimasukkan ke dalam tabung eppendorf dan ditambahkan

800 μl larutan PBST + NaN3

c. Dilakukan vortex selama 5 menit untuk melarutkan serum. 20% (pengenceran 10 kali).

d. Masukkan 50 μl coating buffer pH 9,6 (PBS) dan antigen NT-P-BSA working solution ke dalam mikroplat yang telah dibagi sesuai skema dan diinkubasi pada suhu 370

e. Mikroplat dicuci dengan washing buffer (larutan PBST) sebanyak 3 kali dengan alat BioRad Immunowash model 1575.

(48)

f. Dimasukkan blocking buffer 200 μl dalam mikroplat, diinkubasi pada suhu 370

g. Blocking buffer dibuang.

C selama 1 jam.

h. Dimasukkan larutan 50 μl serum (sampel serum dan larutan kertas saring) yang telah diencerkan dengan dilution buffer

(1:300) ke dalam mikroplat, inkubasi pada suhu 370

i. Cuci mikroplat dengan washing buffer sebanyak 3 kali. C selama 1 jam.

j. Dimasukkan masing-masing 50 μl 2nd antibodi IgM sesuai skema ke dalam mikroplat, diinkubasi 370

k. Mikroplat dicuci kembali dengan washing buffer sebanyak 3 kali.

C selama 1 jam dan diencerkan dengan dilution buffer dengan perbandingan 1:2000.

l. Substrat solution diberikan sebanyak 100 μl dalam ke dalam mikroplat hingga warna kuning/jingga, hitung waktunya. m. Reaksi pewarnaan dihentikan setelah ± 10-30 menit

(dihitung waktu optimasi perubahan warna paling baik) dengan menambahkan 100μl stopping solution.

n. Dihitung nilai serapan (optical density) dengan alat ELISA

(49)

3.9 Defenisi Operasional 3.9.1 Usia:

Usia subjek saat pengambilan sampel dihitung dari tanggal lahir, bila lebih dari 6 bulan, usia dibulatkan ke atas; bila kurang dari 6 bulan, usia dibulatkan ke bawah.

3.9.2 Kusta:

Penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae

(M. leprae). Diagnosis kusta ditegakkan bila dijumpai minimal salah satu dari tanda kardinal kusta.

3.9.3 Pemeriksaan bakteriologi:

Pemeriksaan sediaan yang diperoleh lewat irisan dan kerokan kecil pada cuping telinga dan kulit yang dicurigai yang kemudian diberi pewarnaan dengan metode Ziehl-Nielsen untuk melihat M. leprae.

3.9.4 Enzyme-linkedimmunosorbentassay (ELISA):

Suatu teknik pemeriksaan biokimiawi yang digunakan terutama pada bidang imunologi untuk mendeteksi antibodi IgM pada sampel yang diambil dari cuping telinga dan vena mediana kubiti dengan menggunakan kertas saring dan metode konvensional.

3.9.5 Metode konvensional:

(50)

dikirim dengan menggunakan dry ice untuk kemudian dilakukan pemeriksaan ELISA.

3.9.6 Kertas saring:

Kertas saring adalah perangkat pengambilan sampel darah yang sekaligus sebagai media transport sampel darah dengan merk Whattman Chromathography Paper Gr.41.

3.10 Kerangka Operasional

Gambar 3. Diagram kerangka operasional penelitian Penderita kusta (berdasarkan tanda kardinal)

Pemeriksaan ELISA dari sampel darah vena

mediana kubiti dengan metode konvensional Pemeriksaan

ELISA dari sampel darah vena

mediana kubiti

(51)

3.11 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul diolah menggunakan perangkat komputer kemudian ditabulasi dan dideskripsikan dalam bentuk tabel distribusi atau grafik. Untuk mengetahui perbedaan kadar antibodi IgM anti PGL-1 dari darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring dengan darah vena mediana kubiti dengan kertas saring maupun metode konvensional terlebih dahulu dihitung nilai konversi kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring terhadap darah vena mediana kubiti metode konvensional dan nilai kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti dengan kertas saring terhadap darah vena mediana kubiti metode konvensional karena belum ada nilai ambang (cut off) untuk kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring dan darah vena mediana kubiti dengan kertas saring. Nilai konversi dihitung berdasarkan hasil analisis regresi linier. Sebelum dilakukan uji regresi linier, terlebih dahulu dilakukan uji korelasi kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring dengan darah vena mediana kubiti metode konvensional dan kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dengan darah vena mediana kubiti metode konvensional dengan uji korelasi Pearson dengan nilai kekuatan korelasi (r) :

A. Sangat lemah : r = 0,00 – 0,199

38

(52)

D. Kuat : r = 0,60 – 0,799 E. Sangat kuat : r = 0,80 – 1,00

(53)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan terhadap 30 orang penderita kusta yang dimulai dari bulan Maret 2012 hingga bulan Juni 2012. Diagnosis kusta pada penelitian ini ditegakkan berdasarkan tanda kardinal. Seluruh penderita kusta pada penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan kadar antibodi IgM anti PGL-1 dengan uji ELISA dari sampel darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring, sampel darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dan sampel darah vena mediana kubiti metode konvensional.

4.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Karakteristik subyek pada penelitian ini ditampilkan berdasarkan distribusi jenis kelamin, kelompok usia, dan tipe kusta.

Tabel 3. Karakteristik subyek penelitian

Karakteristik Subyek penelitian

(54)

Berdasarkan tabel 3 dari total 30 subyek penelitian didapatkan 23 orang (76,7%) adalah laki-laki dan 7 orang (23,3%) adalah perempuan. Hal ini memperlihatkan bahwa jumlah pasien kusta berjenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan.

Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI tahun 2007, sebagian besar negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada perempuan. Rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi.

Tiwary et al. (2011) melaporkan penelitiannya pada 3569 pasien kusta, jumlah pasien dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak (2741 orang) dibandingkan perempuan (945 orang).

2

Schuring et al. (2006) melaporkan penelitiannya pada 1025 pasien kusta, jumlah pasien dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak (673 orang) dibandingkan perempuan (352 orang).

39

Kumar et al. (2004) melaporkan penelitiannya pada 273 pasien kusta, jumlah pasien dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak (183 orang) dibandingkan perempuan (90 orang).

40

41

Butlin et al. (1997) melaporkan penelitiannya pada 192 pasien kusta, jumlah pasien dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak (129 orang) dibandingkan perempuan (63 orang).

Dari 30 subyek yang ikut dalam penelitian terbanyak adalah kelompok umur >45 tahun berjumlah 12 orang (40%) diikuti dengan

(55)

kelompok 15-25 tahun berjumlah 11 orang (36,7%) dan proporsi yang terendah adalah kelompok umur 26-35 tahun berjumlah 2 orang (6,7%).

Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI tahun 2007, kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta diketahui terjadi pada semua umur, namun yang terbanyak adalah umur muda dan produktif.

Dari total 30 subyek penelitian didapatkan 28 orang (93,3%) adalah tipe multibasiler dan 2 orang (6,7%) adalah tipe pausibasiler. Hal ini memperlihatkan bahwa jumlah pasien kusta tipe multibasiler lebih banyak daripada tipe pausibasiler.

2

(56)

4.2 Analisis Bivariat

Untuk mengetahui korelasi kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring dengan darah vena mediana kubiti metode konvensional dan kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dengan darah vena mediana kubiti metode konvensional maka dilakukan analisis korelasi Pearson. Hasil analisis statistik ditunjukkan pada tabel 4 dan 5.

Tabel 4. Hasil uji korelasi antara kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring dengan darah vena mediana kubiti metode konvensional

Darah kapiler cuping telinga (kertas saring)

Darah vena mediana kubiti (metode konvensional)

r

p

n

0,726 < 0,001

30 Uji korelasi Pearson

Pada tabel 4 ditampilkan analisis korelasi antara kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring dengan darah vena mediana kubiti metode konvensional. Dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring dengan kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti metode konvensional (r=0,726).

(57)

telinga dengan kertas saring dengan kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti metode konvensional dengan nilai r = 0,812.

Hasil penelitian ini dan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa cuping telinga dapat digunakan untuk pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan antibodi IgM anti PGL-1 dengan uji ELISA. Menurut kepustakaan dikatakan cuping telinga merupakan tempat yang relatif dingin sehingga banyak terdapat M. leprae dan pada pemeriksaan BTA sering masih positif walaupun pada tempat lain sudah negatif.

15

Tabel 5. Hasil uji korelasi antara kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dengan darah vena mediana kubiti metode konvensional

13,15

Darah vena mediana kubiti (kertas saring) Darah vena mediana kubiti

(metode konvensional) Uji korelasi Pearson

Pada tabel 5 ditampilkan analisis korelasi antara kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dengan darah vena mediana kubiti metode konvensional. Dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat antara kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dengan antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti metode konvensional. (r=0,832).

(58)

dengan kertas saring dengan kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti metode konvensional dengan nilai r = 0,773.

Syahputra et al. (2004) dalam penelitiannya tentang studi banding antara pemeriksaan darah vena dengan menggunakan kertas saring dengan pemeriksaan darah vena metode konvensional juga menyatakan terdapat korelasi linier diantara pemeriksaan darah vena dengan menggunakan kertas saring dan metode konvensional.

15

Hasil penelitian ini dan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kertas saring dapat digunakan untuk menyimpan sampel darah untuk pemeriksaan antibodi IgM anti PGL-1 dengan uji ELISA.

12

(59)

Tabel 6. Hasil uji regresi linier antara kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring terhadap kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti metode konvensional Variabel Koefisien Koefisien korelasi p

Darah cuping telinga (kertas saring)

3,771 0,726 < 0,001

Konstanta 429,026 0,174

Pada tabel 6 ditampilkan nilai konstanta adalah 429,026, nilai faktor pembeda untuk darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring adalah 3,771. Selanjutnya dapat dihitung nilai konversi darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring terhadap nilai darah vena mediana kubiti metode konvensional dengan rumus sebagai berikut :

Rumus : y = a + (b.x)

y = nilai konversi dari darah cuping telinga dengan kertas saring a = nilai konstanta (yaitu : 429,026)

b = nilai faktor pembeda (yaitu : 3,771)

x = nilai sampel darah cuping telinga dengan kertas saring

Tabel 7. Hasil uji regresi linier antara kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti dengan kertas saring terhadap kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti metode konvensional Variabel Koefisien Koefisien korelasi p

Darah vena mediana kubiti (kertas saring)

3,04 0,832 < 0,001

Konstanta 365,63 0,140

(60)

kertas saring terhadap nilai darah vena mediana kubiti metode konvensional dengan rumus sebagai berikut :

Rumus : y = a + b.x

y = nilai konversi dari darah vena mediana kubiti dengan kertas saring

a = nilai konstanta (yaitu : 365,63) b = nilai faktor pembeda (yaitu : 3,04)

x = nilai sampel darah vena mediana kubiti dengan kertas saring Selanjutnya akan dihitung semua nilai konversi antara kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring terhadap darah vena mediana kubiti metode konvensional dan nilai konversi kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti dengan kertas saring terhadap darah vena mediana kubiti metode konvensional.

(61)

Tabel 8. Hasil uji konversi antara nilai kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring terhadap darah vena mediana kubiti metode konvensional dan nilai kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti dengan kertas saring terhadap darah vena mediana kubiti metode konvensional

No Nilai konversi kadar antibodi IgM anti

PGL-1 darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring(µ/ml)

Nilai konversi kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena

mediana kubiti dengan kertas saring

(µ/ml)

Kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti

metode

(62)

Berdasarkan tabel 8 di atas dapat dilihat bahwa nilai rerata konversi kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring (1476,62 μ/ml) relatif sama dengan nilai rerata kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti metode konvensional (1476,77 μ/ml), namun nilai rerata konversi kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti dengan kertas saring (1210,37 μ/ml) lebih rendah dari keduanya.

Untuk mengetahui perbedaan antara kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah dari konversi darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring, konversi darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dan darah vena mediana kubiti metode konvensional dilakukan uji Kruskal Wallis oleh karena data tidak berdistribusi normal. Hasil analisis statistik ditunjukkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 9. Perbedaan antara kadar antibodi IgM anti PGL-1 dari konversi darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring, konversi darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dan darah vena mediana kubiti metode konvensional dengan uji Kruskal Wallis

N P

Kadar antibodi IgM anti PGL-1

Darah kapiler cuping telinga (kertas saring)

Darah vena mediana kubiti (kertas saring)

Darah vena mediana kubiti (metode konvensional)

30 30 30

0,164

(63)

Dari hasil analisis statistik di atas didapatkan nilai p>0,05 yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah kapiler cuping telinga dengan kertas saring, darah vena mediana kubiti dengan kertas saring dan metode konvensional.

(64)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Nilai rerata kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah kapiler cuping telinga (1476,62 μ/ml) dengan kertas saring relatif sama dengan nilai rerata kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti metode konvensional (1476,77 μ/ml) namun nilai rerata kadar antibodi IgM anti PGL-1 darah vena mediana kubiti dengan kertas saring (1210,37 μ/ml) lebih rendah dari keduanya tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna diantara ketiganya.

5.2 Saran

Gambar

Tabel 1.  Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi / tipe penyakit kusta menurut WHO (1982)*
Tabel 2.  Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi menurut WHO (1982) pada penderita kusta*
Gambar 1. Diagram kerangka teori penelitian
Gambar 2. Diagram kerangka konsep penelitian
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian kualitatif ini yang menjadi satuan kajian yang akan diteliti adalah implementasi audit operasional yang merupakan suatu metodologi audit yang

Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian ini, remaja yang mengkonsumsi alkohol komunikasi dengan keluarga yang berada di kategori tinggi diperkirakan

Pengembangan Teknologi Proses Bioetanol Riset diarahkan pada :. • Pengembangan proses bioetanol

Uraian target, realisasi dan capaian Indikator Kinerja pada Sasaran Strategis 2 dua adalah sebagai berikut: Tabel 3.7 Pencapaian Indikator Kinerja pada Sasaran Strategis 2 Tahun

Dam’z Cleaning and Service Computer merupakan usaha jasa dengan tujuan untuk memberikan kemudahan pelayanan jasa bagi masyarakat yang kurang mengerti dibidang

Dengan melihat hasil perhitungan metode regresi linier berganda yang peneliti dapat menarik kesimpulan untuk hasil pengujjian hipotesis menyatakan bahwa tingkat suku bunga

Sedangkan pelaksanaan ritual azan pitu yang dilakukan berkeliling, mengingatkan memory collective masyarakat Cirebon tentang wabah yang pernah melanda Kerajaan

Berbagai pemikir telah menawarkan „budaya berpikir baru‟ ini, seperti budaya berpikir „holistik‟, yang diusulkan oleh pemikir-pemikir seperti Fritjof Capra dan