ABSTRAK
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN DAN HASIL
BELAJAR SISWA
(Studi Eksperimen Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Natar Semester Genap Tahun Pelajaran 2013/2014 Pada Materi Pokok
Ciri-ciri Makhluk Hidup) Oleh
MILA VANALITA
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap kemampuan komunikasi lisan dan hasil belajar aspek kognitif siswa.
Penelitian ini menggunakan desain pretes-postes kelompok tak ekuivalen. Sampel penelitian adalah siswa kelas VII A dan VII B yang dipilih dari populasi secara purposive sampling. Data penelitian ini berupa data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif berupa rata-rata nilai kemampuan komunikasi lisan siswa dan angket tanggapan siswa yang dianalisis secara deskriptif. Data kuantitatif diperoleh dari rata-rata nilai pretes, postes dan gain, kemudian dianalisis secara statistik
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata siswa kelas eksperimen memiliki kemampuan komunikasi lisan dengan kriteria baik (81,48± 5,13). Dalam setiap aspek kemampuan komunikasi lisan rata-rata siswa (menunjukkan etika,
kesediaan menghargai pendapat orang lain, kelancaran, pemahaman isi materi dan penggunaan bahasa) yang baik. Siswa menunjukkan etika berbicara dengan kriteria “baik” (77,16± 6,11) dengan mengucapkan salam dan terimakasih ketika mengawali dan mengakhiri pembicaraan. Siswa menunjukkan kesediaan
menghargai pendapat orang lain dengan kriteria “baik” (80,86± 0,87) dengan mendengarkan dengan seksama pendapat siswa lain dan ketika terjadi perbedaan pendapat mereka tidak saling memaksakan pendapatnya, melainkan bersama-sama mendiskusikan perbedaan tersebut untuk mendapatkan pemahaman yang padu. Siswa memiliki pemahaman isi materi dengan kriteria “sangat baik” (87,04± 0,87) sehingga dapat menyampaikan materi dengan kelancaran yang berkriteria “baik” (86,42± 5,24), tidak terbata-bata serta penggunaan bahasa dengan kriteria “baik” (75,93± 6.11) yaitu dengan berbahasa yang baik dan benar sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Hasil belajar siswa mengalami peningkatan, dengan rata-rata nilai gain berkriteria baik (0,57± 0,18). Sebagian besar siswa (96,30 %) memberikan tanggapan positif terhadap penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Dengan demikian, model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan komunikasi lisan dan hasil belajar siswa.
Penulis dilahirkan di Sidowaras pada tanggal 3 Juni 1993, merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari
pasangan Bapak Maknudin dan Ibu Ratna Wati. Tempat tinggal penulis di Kelurahan Sidowaras, Kecamatan Bumiratu Nuban, Kabupaten Lampung Tengah. (CP: 085768804116)
Pendidikan yang ditempuh penulis adalah SD Negeri Sidowaras (1998-2004), SMP Negeri 2 Bumiratu Nuban (2004-2007), SMA Negeri 3 Metro (2007-2010). Pada tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Pendidikan Biologi FKIP Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, Niscaya akan menjadikan
baginya kemudahan dalam (semua) urusannya
(Ath-Thalaq 65:4)
“Jika kau memandang orang yang lebih tua, ingatlah dia lebih banyak
amal ibadahnya dari pada kau. Jika kau memandang orang yang lebih
muda, ingatlah dia lebih sedikit dosanya dari pada kau”
(Al-Manshurin)
Kesuksesan tidak ada yang datang dengan serta-merta. Melewati
proses yang panjang dan membutuhkan perjuangan. Kesabaran adalah
syaratnya, Keikhlasan adalah nyawanya dan Rasa Syukur adalah
obatnya.
(Deassy M. Destiani)
Sukses itu datang di tempat dan waktu yang tepat
(Dr.Tri Jalmo, M.Si)
Ketika kamu merasa gagal, hal yang perlu kamu lakukan adalah
bersabar, bersujud kepada-Nya, dan bersyukur karena Dia
membuatmu menjadi pribadi satu tingkat lebih kuat
(Mila Vanalita)
WxÇztÇ `xÇçxuâà atÅt TÄÄÉ{ çtÇz `t{t cxÇztá|{ Ätz|
`t{t cxÇçtçtÇz
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT yang selalu memberikan karunia dan
nikmat-Nya, dengan kerendahan hati ku persembahkan karya kecil ini untuk :
Ibuku (Ratna Wati) dan Bapakku (Maknudin) yang telah menjadi cahaya hidupku Yang selalu memanjatkan do’a untuk putri tercinta dalam setiap sujudnya. Karenamu diri ini ada,
karena cinta dan kasih sayangmu diri ini tumbuh dalam balutan cinta dan kasih sayang Allah.
Adikku tersayang Hanivan Maulana.
Semoga kita bisa membanggakan keluarga ini terutama Ibu dan Bapak
Om terbaikku Edi Gunarto yang selalu memberikan semangat, dukungan, serta inspirasi yang menjadikanku berani untuk mewujudkan mimpi-mimpiku
Para pendidik dan dosen yang terhormat
SANWACANA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas ridha-Nya sehingga skripsi dengan judul “PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN DAN HASIL BELAJAR SISWA (Studi Eksperimen Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Natar Semester Genap Tahun Pelajaran 2013/2014 Pada Materi Pokok Ciri-ciri Makhluk Hidup)” dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pendidikan Biologi di Universitas Lampung.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung; 2. Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan PMIPA FKIP Universitas
Lampung;
3. Pramudiyanti, S.Si., M.Si., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Biologi; 4. Dr. Tri Jalmo, M.Si., selaku Pembimbing I atas saran-saran dan motivasi
yang sangat berharga dan telah memberikan bimbingan dalam proses penyelesaian skripsi ini;
5. Rini Rita T Marpaung, S.Pd., M.Pd., selaku Pembimbing Akademik dan Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dalam proses penyelesaian skripsi ini;
VII B SMP Negeri 3 Natar Lampung Selatan atas kerjasamanya yang baik; 8. Teristimewa keluarga besar Eyang Kakung dan Eyang Putri atas semua do’a,
dukungan, nasehat yang telah diberikan;
9. Sahabat ku Sarvia Trisniati, Dira Tiara, Erni Oftika, Arinta Winsi, Sisca Puspita Sari Nasution, Qurratu A’ini Naima, Sefty Goestira, Eli Komariah, Kartika Ayu Wulandari, Marettha Ania dan yang tidak bisa disebut satu persatu atas semangat, motivasi dan kebersamaan yang telah kita jalani selama ini;
10. Keluarga Al-Mansurin Yuni Purwaningsih, Sylvia Farantika dan Teristimewa Agustina Dwi Jayanti, yang telah memberi warna-warni yang begitu indah dalam episode kehidupanku;
11. Teman-teman KKN-PPL, terima kasih untuk semangat perjuangan dan kerjasamanya;
12. Kakak tingkat, teman seperjuangan dan semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bandarlampung, Agustus 2014 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Ruang Lingkup Penelitian ... 6
F. Kerangka Pikir ... 7
G. Hipotesis Penelitian ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ... 10
B. Hasil Belajar Kognitif ... 19
C. Kemampuan Komunikasi Lisan ... 23
III.METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 41
B. Populasi dan Sampel ... 41
C. Desain Penelitian ... 41
D. Prosedur penelitian ... 42
E. Jenis dan Teknik Pengambilan Data ... 51
F. Teknik Analisis Data ... 55
IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 61
B. Pembahasan ... 67
B. Saran ... 77
DAFTAR PUSTAKA ... 79
LAMPIRAN 1. Silabus ... 84
2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 88
3. Lembar Kerja Siswa (LKS)... 99
4. Pretes dan Postes ... 131
5. Angket Tanggapan Siswa Terhadap Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ... 142
6. Lembar Observasi Kemampuan Komunikasi Lisan ... 143
7. Foto-Foto Penelitian ... 147
8. Surat-surat Penelitian ... 152
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Sintaks/fase-fase pembelajaran kooperatif ... 12
2. Lembar Observasi Kemampuan Komunikasi Lisan Siswa ... 53
3. Keterangan aspek penilaian kemampuan komunikasi lisan siswa ... 53
4. Angket tanggapan siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ... 54
5. Kriteria tingkat kemampuan komunikasi lisan siswa ... 58
6. Skor Per Jawaban Angket ... 59
7. Tabulasi data angket tanggapan siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ... 59
8. Kriteria persentase angket tanggapan siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ... 60
9. Kemampuan komunikasi lisan siswa ... 61
10.Hasil statistik terhadap rata-rata nilai pretes, postes, dan Gain ... 63
11.Hasil analisis rata-rata Gain setiap indikator hasil belajar siswa ... 64
12.Peningkatan setiap indikator hasil belajar siswa ... 65
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat ... 8
2. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli ... 17
3. Desain pretest – posttest kelompok tak ekuivalen ... 42
4. Kemampuan komunikasi lisan siswa ... 62
5. Tanggapan siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ... 66
6. Contoh jawaban siswa untuk indikator C1... 74
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tinggi rendahnya kualitas sumberdaya manusia dalam suatu bangsa salah satunya dipengaruhi oleh faktor kualitas pendidikan negara tersebut. Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 (1) pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terncana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Depdiknas, 2003: 1). Dengan demikian, tujuan dari pendidikan tidak hanya mencakup pada pengembangan intelektualitas, tetapi juga bertujuan untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki oleh peserta didik.
Kenyataan yang dijumpai saat ini bahwa proses pembelajaran di Indonesia belum optimal. Hal ini terungkap dalam hasil Trend in Mathematics and Science Study (TIMSS) yang diikuti siswa kelas VIII tahun 2011, menunjukkan bahwa untuk bidang IPA Indonesia berada di urutan ke-40 dengan skor 406 dari 42 negara yang ikut berpartisipasi dalam tes. Skor tes IPA Indonesia ini tururn 21 angka dibandingkan TIMSS 2007
(Napitupulu, 2013: 1). Hal ini menunjukkan masih rendahnya kualitas pembelajaran yang berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa.
Berikutnya yang sering dijumpai yaitu dalam proses pembelajaran di sekolah, siswa yang pasif lebih mendominasi dibandingkan dengan siswa yang aktif berbicara misalnya dalam hal mengkomunikasikan informasi melalui kegiatan presentasi, ataupun bertanya dan menyampaikan pendapat selama proses diskusi. Hal ini masih menjadi masalah klasik dalam dunia pendidikan di Indonesia. Ketika sesi tanya jawab, hanya sebagian kecil siswa yang bertanya atau menanggapi terhadap presentasi yang disampaikan. Hal ini karena berbicara di depan umum atau menyampaikan pendapat dalam proses diskusi masih dianggap hal yang menakutkan bagi siswa. Sehingga siswa menjadi tidak aktif, kemampuan komuniksi lisan siswa tidak terlatih dengan baik.
Rendahnya kemampuan komunikasi lisan dan hasil belajar aspek kognitif siswa juga terjadi di tingkat sekolah menengah pertama. Hasil wawancara dengan guru IPA dan pengamatan terhadap siswa selama proses pembelajaran IPA di SMP Negeri 3 Natar, diperoleh informasi bahwa kemampuan
yang berpusat pada siswa. Selama proses pembelajaran guru sering menggunakan metode diskusi yang kurang interaktif, sebagian kecil saja siswa yang bersedia menyampaikan pendapatnya ketika proses diskusi berlangsung, hal ini dikarenakan siswa cenderung malu dan belum memiliki kepercayaan diri untuk mengungkapkan pikirannya sehingga pembelajaran membuat siswa bosan dan akhirnya pencapaian hasil belajar kognitif siswa menjadi rendah. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu alternatif model pembelajaran yang interaktif dan efektif sehingga meningkatkan kemampuan komunikasi lisan siswa dalam belajar yang dapat memberikan dampak positif terhadap hasil belajar kognitif siswa.
Untuk mengatasi masalah tersebut salah satu alternatifnya adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif yang diduga bisa digunakan salah satunya adalah model pembelajaran tipe Jigsaw. Model pembelajaran tipe Jigsaw ini lebih
menekankan pada pentingnya interaksi dan kerjasama dalam suatu tim. Selain itu Jigsaw menuntut kemandirian dan tanggung jawab setiap siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa dituntut untuk benar-benar memahami pembelajarannya sendiri yang mana nantinya akan disampaikan pada orang lain. Menurut Isjoni (2010: 54) model
dan bertanggung jawab untuk mengajarkannya kembali kepada teman-teman satu kelompoknya. Setelah seluruh ambaran informasi bergabung, siswa telah memiliki puzzle utuh yang disebut “Jigsaw”. Tanggung jawab yang
dibebankan kepada siswa akan membuat siswa termotivasi untuk belajar dengan bersungguh-sungguh dan menuntut siswa untuk mengkomunikasikan hasil belajarnya kepada teman-temannya.
Hasil penelitian Melizawati (2011: 43) mengenai model pembelajaran tipe Jigsaw menyatakan bahwa penggunaan model Jigsaw berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada materi sistem ekskresi oleh siswa SMA Negeri 1 Tanjungbintang. Begitu juga dengan penelitian Yati (2008: 33) yang
mengungkapkan bahwa model pembelajaran tipe Jigsaw dapat meningkatkan aktivitas dan penguasaan konsep materi oleh siswa. Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maya (2013: 87) pada siswa SMP Negeri 1 Lembang diketahui bahwa kemampuan komunikasi lisan siswa dapat dinilai dengan menggunakan Peer Assesment pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada materi pencemaran lingkungan. Merujuk pada hasil penelitian tersebut diduga model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat diterapkan dalam pembelajaran sub materi ciri-ciri makhluk hidup untuk meningkatkan kemampuan komunikasi lisan siswa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap kemampuan komunikasi lisan siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup?
2. Apakah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berpengaruh
signifikan terhadap hasil belajar aspek kognitif siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap
kemampuan komunikasi lisan siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup.
2. Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap hasil belajar aspek kognitif siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi peneliti, dapat memberikan wawasan, pengalaman, dan bekal berharga sebagai calon guru biologi yang profesional, dan untuk perbaikan
2. Bagi guru, dapat dijadikan alternatif dalam memilih model pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan hasil belajar kognitif dan kemampuan komunikasi lisan siswa.
3. Bagi siswa, dapat memberikan pengalaman belajar yang berbeda sehingga diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar kognitif dan kemampuan komuniksai lisan siswa.
4. Bagi sekolah, dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan ditingkat SMP.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Untuk menghindari kesalahan penafsiran pada permasalahan yang dibahas, maka penulis memberi batasan masalah sebagai berikut :
1. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 3 Natar tahun pelajaran 2013/2014 dengan subjek penelitian siswa kelas VIIB sebagai kelompok eksperimen dan kelas VIIA sebagai kelompok kontrol 2. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah model pembelajaran
3. Materi pokok pada penelitian ini adalah Ciri-ciri Makhluk Hidup di kelas VII semester 2 dengan kompetensi dasar “Mengidentifikasi Ciri-ciri Makhluk Hidup (KD 6.1)”.
4. Hasil belajar dalam penelitian ini berupa aspek kognitif yang terdiri dari 6 kategori yaitu mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis,
mengevaluasi, dan mencipta.
5. Indikator kemampuan berkomunikasi lisan yang diamati terdiri beberapa aspek antara lain (1) etika, (2) kesediaan menghargai pendapat orang lain, (3) kelancaran, (4) pemahaman isi materi, (5) bahasa.
F. Kerangka Pikir
Dalam pembelajaran biologi terdapat banyak sekali konsep-konsep ilmiah yang saling berhubungan yang menuntut siswa untuk lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran sehingga siswa dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Strategi yang dapat digunakan agar siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran yaitu dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw untuk meningkatkan kemampuan komunikasi lisan siswa dalam pelajaran biologi
mengkomunikasikan sub materi kepada siswa lain guna membangun
pengertian/pemahaman yang padu. Dengan tanggung jawab yang dibebankan kepada siswa akan membuat siswa termotivasi untuk belajar dengan
bersungguh-sungguh dan menuntut siswa untuk mengkomunikasikan hasil belajarnya kepada teman-temannya. Dengan langkah-langkah yang dilakukan dalam model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw kemampuan berkomunikasi lisan siswa dapat terlatih dan meningkat dengan baik. Apabila kemampuan komunikasi lisan siswa terlatih dengan baik maka siswa dapat menyampaikan informasi yang diperolehnya dengan efektif kepada temannya. Sehingga hasil belajar aspek kognitif siswa akan lebih meningkat.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental semu dengan menggunakan dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada penelitian ini dilakukan pengujian untuk mengetahui hasil belajar kognitif dan kemampuan komunikasi lisan siswa melalui model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup. Hubungan antar variabel dalam penelitian ini digambarkan dalam diagram berikut:
Keterangan: X = model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw; Y1 =
kemampuan komunikasi lisan siswa; Y2 = hasil belajar kognitif siswa
G. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan komunikasi lisan siswa.
2. Ho = Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar aspek kognitif siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang
mengkondisikan siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil
secara kolaborasi yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi
yang disampaikan oleh guru (Slavin, 2008: 8). Demikian pula, Rusman
(2012: 202) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif (cooperative
learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya
terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat
heterogen. Model pembelajaran kooperatif seperti yang dinyatakan Amri & Ahmadi (2010: 90) merupakan salah satu model pembelajaran yang
mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pembelajaran kooperatif dapat
didefinisikan sebagai sistem kerja/belajar kelompok yang terstruktur.
Terdapat tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran
kooperatif menurut Nur (2005: 3) adalah sebagai berikut: (1) Penghargaan
kelompok; pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok
untuk memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh
individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar
personal yang saling mendukung, saling membantu, dan saling peduli, (2)
Pertanggungjawaban individu; keberhasilan kelompok tergantung dari semua
anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada
aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya
pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan seiap anggota siap
untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya tanpa bantuan teman
sekelompoknya, dan (3) Kesempatan yang sama untuk mencapai
keberhasilan; pembelajaran kooperatif metode skoring yang mencakup nilai
perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari
yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini baik yang
berprestasi rendah, sedang atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan
untuk berhasil dan melakukan yang terbaik pada kelompoknya.
Pembelajaran yang dilaksanakan secara berkelompok belum tentu mencerminkan
pembelajaran kooperatif . Oleh karena itu, menurut Johnson (dalam Tran,
2012 : 2) terdapat lima elemen dasar dalam pembelajaran kooperatif . Kelima
elemen dasar tersebut dinyatakan sebagai berikut: (1) Saling ketergantungan
positif, (2) Interaksi promotif, (3) Tanggung jawab perorangan, (4)
Keterampilan interpersonal dan sosial, dan (5) Kualitas antar anggota
Menurut Jauhar (2011: 54), pembelajaran kooperatif memiliki
sintaks/fase-fase sebagai berikut:
Tabel 1. Sintaks/fase-fase pembelajaran kooperatif
Fase Peran Guru
1. Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar 2. Menyajikan informasi Menyajikan informasi kepada siswa
dengan jalan cara demonstrasi atau lewat bahan bacaan
3. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
Menjelaskan kepada siswa bagaimana cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien 4. Membimbing kelompok
bekerja dan belajar
Membimbing kelompok dalam belajar, yaitu pada saat mereka mengerjakan tugas
5. Evaluasi Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari kelompok atau masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya 6. Memberikan penghargaan Memberi pengharagaan kepada
individu ataupun kelompok yang mendapatkan hasil yang baik. Misalnya dengan memberi hadiah
Pembelajaran kooperatif memberikan keuntungan baik pada siswa kelompok
bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan
tugas-tugas akademiknya (Trianto, 2009: 59). Menurut Johnson (dalam Eggen dan
Kauchak, 2012: 153) siswa yang bekerja sama di dalam kelompok kooperatif
mengasah keterampilan sosial mereka, menerima siswa dengan kemampuan
kesulitan belajar, dan membangun persahabataan dan sikap positif terhadap
orang lain yang memiliki prestasi, etnisitas, dan gender berbeda. Hal lain
yang mendukung adalah pernyataan Trianto (2009: 60) bahwa di dalam
berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama
lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan
kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain.
Poin penting dalam pembelajaran kooperatif menurut Johnson and Johnson
(dalam Kam-wing, 2004: 2) adalah pembelajaran kooperatif merupakan
praktek instruksional dimana siswa saling membantu satu sama lain untuk
belajar di dalam kelompok kecil menuju tujuan bersama. Sedangkan menurut
Eggen dan Kauchak (2012: 136) pembelajaran kooperatif dipandang sebagai
strategi mengajar yang memberikan peran terstruktur bagi siswa seraya
menekankan interaksi siswa-siswa. Menurut pendapat Ratumanan (dalam
Trianto, 2009: 62) interaksi yang terjadi dalam pembelajaran kooperatif dapat
memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual
siswa. Lebih lanjut Slavin (dalam Rusman, 2012: 201) menerangkan bahwa
dalam pembelajaran kooperatif dibolehkan terjadinya pertukaran ide dan
pemeriksaan ide sendiri dalam kelompok. Model pembelajaran kooperatif
menjadikan guru lebih berperan sebagai fasilitator yang berfungsi sebagai
jempatan penghubung kearah pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan
siswa sendiri. Guru tidak banyak memberikan pengetahuan kepada siswa,
tetapi juga harus membangun pengetahuan dalam pikirannya. Siswa
mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman langsung untuk
menerapkan ide-ide mereka, ini merupakan kesempatan bagi siswa untuk
menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri.
Menurut Rusman (2012:213-225) ada beberapa variasi jenis model dalam
kooperatif ini tidak berubah, jenis-jenis model tersebut adalah model STAD
(Student Teams Achievement Division), model Jigsaw, investigasi kelompok (Group Investigation), model Make a Match (Membuat Pasangan), model
TGT (Teams Games Tournaments), dan model struktural.
Model pembelajaran kooperatif dapat mendorong siswa aktif dalam
pembelajaran dan sudah banyak digunakan dalam proses pembelajaran.
Model pembelajaran kooperatiftipe Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatifyang mendorong siswa aktif dan saling membantu
dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal.
Model pembelajaran kooperatifteknik Jigsaw ini pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas,
dan kemudian diadaptasi oleh Slavindan teman-teman di Universitas John
Hopkins. Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson sebagai model pembelajaran kooperatif. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran
membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara (Amri dan Ahmadi,
2010: 94).
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah model pembelajaran
kooperatif yang mengkondisikan siswa belajar dalam kelompok kecil yang
terdiri dari beberapa orang secara heterogen dan bekerja sama saling
ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntaasan bagian
materi pembelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut
kepada anggota kelompok yang lain (Arends dalam Amri dan Ahmadi, 2010:
salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang fleksibel. Banyak
riset telah dilakukan berkaitan dengan pembelajaran kooperatif dengan dasar
Jigsaw. Riset tersebut menunjukkan bahwa siswa yang terlibat di dalam
pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw ini memperoleh prestasi lebih
baik, mempunyai sikap yang lebih baik dan lebih positif terhadap
pembelajaran, di samping saling menghargai perbedaan dan pendapat orang
lain.
Sementara itu Aronson dkk (dalam Darnon dan Desbar. 2011: 443)
menyebutkan kelas Jigsaw karena seperti puzzle Jigsaw yang membagi
materi akademik menjadi potongan-potongan menjadi informasi yang
berbeda-beda. Mereka melibatkan 3 aspek dalam metode Jigsaw. Ketiga
aspek tersebut dinyatakan yaitu pertama, dibentuk suatu kelompok yang
terdiri dari 3-5 siswa. Masing-masing siswa ditugaskan mempelajari satu
bagian sub materi dan diharapkan dapat menjadi “ahli” untuk sub materi
tersebut. Untuk tujuan ini, siswa akan mempunyai kesempatan untuk
mendiskusikan keahlian sub materi mereka dengan siswa lain yang bukan
merupakan kelompok asal, tetapi mereka mendiskusikan sub materi yang
sama. Kelompok diskusi ini disebut dengan kelompok ahli. Akhirnya, setiap
murid mempresentasikan laporan yang telah mereka pelajari ketika berada di
Langkah langkah pelaksanaan pembelajaran kooperatif Jigsaw yaitu sebagai berikut; (1) siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang
beranggotakan 5 sampai 6 orang, (2) guru memberikan materi pelajaran yang
akan diajarkan dalam bentuk teks yang telah dibagi-bagi menjadi beberapa
sub bab, 3) setiap anggota kelompok membaca sub bab yang ditugaskan dan
bertanggung jawab untuk mempelajarinya, (4) anggota dari kelompok lain
yang telah mempelajari sub bab yang sama bertemu dalam
kelompok-kelompok ahli untuk mendiskusikannya, (5) setiap anggota kelompok-kelompok ahli
setelah kembali ke kelompok asal bertugas mengajar teman-temannya, (6)
pada pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa-siswa dikenai tagihan
berupa kuis individu (Trianto, 2007: 57).
Sementara itu Rusman (2012:219) merumuskan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan dalam pembelajaran model Jigsaw sebagai berikut:
1. Melakukan membaca untuk menggali informasi
Siswa memperoleh topik-topik permasalahan untuk dibaca, sehingga
mendapatkan informasi dari permasalahan tersebut.
2. Diskusi kelompok ahli
Siswa yang telah mendapatkan topik permasalahan yang sama bertemu
dengan kelompok ahli untuk membicarakan topik permasalahan tersebut.
3. Laporan kelompok
Kelompok ahli kembali ke kelompok asal dan menjelaskan hasil yang
didapat dari diskusi tim ahli.
4. Kuis mencakup semua topik permasalahan yang dibicarakan tadi.
Pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok dengan setiap kelompok terdiri dari empat sampai enam
siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut dengan
kelompok asal. Setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian
materi pembelajaran. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama
belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli. Dalam
kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama,
serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika
kembali kekelompok asal. Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli
maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing
kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan
hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan
persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan (Amri dan
Ahmadi, 2010: 96-98).
Hubungan yang terjadi antar kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan
oleh Arrends dalam Ainy (2000:15) sebagai berikut:
α β
λ π α β λ π α β λ π α β λ π
α α
α α β ββ β λ λ λ λ π π π π
Interaksi kooperatif yang terjadi dalam pembelajaran model Jigsaw
menunjukkan beberapa pengaruh positif terhadap perkembangan anak. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian oleh Jhonson (dalam Rusman, 2012: 219)
tentang pengaruh positif dari pembelajaran kooperatif Jigsaw. Pengaruh positif tersebut adalah (1) meningkatkan hasil belajar; (2) meningkatkan daya
ingat; (3) dapat digunakan untuk mencapai tarap penalaran tingkat tinggi; (4)
mendorong tumbuhnya motivasi intrinsik (kesadaran individu); (5)
meningkatkan hubungan antar manusia yang heterogen; (6) meningkatkan
sikap anak yang positif terhadap sekolah; (7) meningkatkan sikap positif
terhadap guru; (8) meningkatkan harga diri anak; (9) meningkatkan perilaku
menyesuaian social yang positif; dan (10) meningkatkan keterampilan hidup
bergotong-royong.
Sebagai salah satu model pembelajaran yang kooperatif, Jigsaw mempunyai
kelebihan-kelebihan menurut Budiningarti (dalam Pratiwi, 2009: 57) yaitu
sebagai berikut: (1) Dapat mengembangkan hubungan antara pribadi positif
diantara siswa yang memiliki kemampuan belajar berbeda, (2) Menerangkan
bimbingan secara teman, (3) Rasa harga diri siswa yang lebih tinggi, (4)
Memperbaiki kehadiran, (5) Penerimaan terhadap perbedaan individu lebih
besar, (6) Sikap apatis berkurang, (7) Pemahaman materi lebih mendalam, (8)
Meningkatkan motivasi belajar. Jigsaw merupakan salah satu tipe model
pembelajaran kooperatif yang fleksibel, namun metode ini juga mempunyai
kelemahan. Kelemahan metode pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, yaitu sebagai berikut: (1) Jika guru tidak mengingatkan agar siswa selalu
masing-masing maka dikhawatirkan kelompok akan macet. (2) Jika jumlah anggota
kurang akan menimbulkan masalah, misal jika ada anggota yang hanya
membonceng dalam menyelesaikan tugas-tugas yang pasif dalam diskusi. (3)
Membutuhkan waktu yang lebih lama apabila penataan ruang belum
terkondisi dengan baik.
B. Hasil Belajar Kognitif
Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui
kegiatan belajar. Hasil pembelajaran dapat dibedakan atas: pengetahuan,
keterampilan intelektual, keterampilan motorik dan sikap. Sedangkan Bloom
(dalam Sudijono, 2005: 49) berpendapat bahwa taksonomi (pengelompokan)
tujuan pendidikan harus senantiasa mengacu pada 3 jenis domain (daerah
binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu: (1) ranah
proses berfikir (cognitive domain), (2) ranah nilai sikap (affective domain), dan (3) ranah keterampilan motorik (psikomotor). Sehingga secara
keseluruhan peserta didik dapat memahami, menghayati dan mengamalkan
pelajaran yang telah diberikan. Selain itu definisi hasil belajar menurut
Abdurrahman (2003 :38) yaitu kemampuan yang diperoleh siswa setelah
melakukan kegiatan belajar.
Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha
untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap.
Anderson (dalam Khoerul, 2012: 1) menguraikan dimensi proses kognitif
1. menghafal (remember), yaitu menarik kembali informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang, yang mencakup dua macam proses kognitif
mengenali dan mengingat
2. memahami (understand), yaitu mengkonstruk makna atau pengertian berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, atau mengintegrasikan
pengetahuan yang baru ke dalam skema yang ada dalam pemikiran siswa,
yang mencakup tujuh proses kognitif: menafsirkan (interpreting), memberikan contoh (exemplifying), mengklasifikasikan (classifying),
meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining)
3. mengaplikasikan (apply), yaitu penggunaan suatu prosedur guna
meyelesaikan masalah atau mengerjakan tugas, yang mencakup dua proses
kognitif: menjalankan (executing) dan mengimplementasikan
(implementing)
4. menganalisis (analyze), yaitu menguraikan suatu permasalahan atau obyek
ke unsur-unsurnya dan menentukan bagaimana saling keterkaitan antar
unsur-unsur tersebut, yang mencakup tiga proses kognitif: menguraikan
(differentiating), mengorganisir (organizing), dan menemukan pesan
tersirat (attributing)
5. mengevaluasi (evaluate), yaitu membuat suatu pertimbangan berdasarkan
kriteria dan standar yang ada, yang mencakup dua proses kognitif:
6. membuat (create), yaitu menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan, yang mencakup tiga proses kognitif: membuat
(generating), merencanakan (planning), dan memproduksi (producing).
Hasil belajar siswa merupakan suatu hal yang berkaitan dengan kemampuan
siswa dalam menyerap atau memahami suatu materi yang disampaikan.
Dengan kata lain, hasil belajar merupakan bukti adanya proses
belajar-mengajar antara guru dan siswa. Hasil belajar yang bisa diperoleh siswa
setelah pembelajaran dapat berupa informasi verbal. Keterampilan intelek,
keterampilan motorik, sikap, dan strategi kognitif. Gagne (dalam Dimyati dan
Mujiono, 2002:10) menyatakan kelima hasil belajar tersebut merupakan
kapabilitas siswa. Kapabilitas siswa tersebut berupa:
1. Informasi verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan
dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Pemilihan informasi
verbal memungkinkan individu berperan dalam kehidupan.
2. Keterampilan intelektual adalah kecakapan yang berfungsi untuk
berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep
dan lambang. Keterampilan intelek ini terdiri dari diskriminasi jamak,
konsep konkret dan definisi, dan prinsip.
3. Strategi kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahkan
aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan
konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.
4. Keterampilan motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak
5. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan
penilaian terhadap objek tersebut.
Hasil belajar juga dapat diartikan sebagai suatu perubahan tingkah laku ke
arah lain dari tingkah laku sebelumnya. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Winkel (dalam Amrina, 2004) bahwa adanya perubahan
dalam pola perilaku inilah yang menandakan telah terjadinya belajar. Makin
banyak kemampuan yang diperoleh sampai menjadi milik pribadi.
Kemampuan kognitif, kemampuan sensorik, kemampuan psikomotor dan
kemampuan dinamik, semua pengubahan dibidang itu merupakan hasil
belajar dan mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah laku.
Untuk menilai dan mengukur keberhasilan siswa dipergunakan tes hasil
belajar. Terdapat beberapa tes yang dilakukan guru, diantaranya: uji blok,
ulangan harian, tes lisan saat pembelajaran berlangsung, tes mid semester dan
tes akhir semester. Hasil dari tes tersebut berupa nilai-nilai yang pada
akhirnya digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan proses pembelajaran
yang terjadi. Tes ini dibuat oleh guru berkaitan dengan materi yang telah
diajarkan. Setiap kegiatan belajar akan berakhir dengan hasil belajar. Hasil
belajar setiap siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas.
Bahan mentah hasil belajar terwujud dalam lembar-lembar jawaban soal
ulangan atau ujian dan yang berwujud karya atau benda. Semua hasil belajar
tersebut merupakan bahan yang berharga bagi guru dan siswa. Bagi guru,
hasil belajar siswa di kelasnya berguna untuk melakukan perbaikan tindak
mengajar atau evaluasi. Bagi siswa, hasil belajar tersebut berguna untuk
Tinggi rendahnya hasil belajar kognitif siswa dapat diketahui melalui
pedoman penilaian. Menurut Arikunto (2008: 245), bila nilai siswa ≥ 66 maka
dikategorikan baik. Bila 55 ≤ nilai siswa <66 maka dikategorikan cukup baik.
Bila nilai siswa < 55 maka dikategorikan kurang baik (Arikunto, 2007:214).
Selain itu, tinggi rendahnya hasil belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Djamarah (2008: 176-177) menjelaskan bahwa terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi proses serta hasil belajar. Faktor utamanya adalah
faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar yang mempengaruhi proses serta
hasil belajar meliputi lingkungan serta instrumental. Lingkungan yang
dimaksud disini adalah lingkungan alami serta lingkungan sosial budaya.
Faktor instrumental antara lain kurikulum, program, sarana dan fasilitas, serta
guru. Sedangkan untuk faktor dalam yang mempengaruhi proses dan hasil
belajar antara lain fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis meliputi
kondisi fisiologis dan kondisi pancaindra. Sedangkan faktor psikologis antara
lain minat, kecerdasan, bakat, motivasi serta kemampuan kognitif.
C. Kemampuan Komunikasi Lisan
Komunikasi merupakan suatu proses sosial yang sangat mendasar dan vital
dalam kehidupan manusia. Kata komunikasi berasal dari bahasa latin
“communis” yang berarti “bersama. Sedangkan menurut kamus, definisi komunikasi dapat meliputi ungkapan-ungkapan seperti berbagai informasi
atau pengetahuan, memberi gagasan atau bertukar pemikiran, informasi, atau
Komunikasi bersifat kompleks dan merupakan proses pertukaran antara
beberapa orang, seperti yang dinyatakan Johnstone, et.al (2012 : 2) bahwa komunikasi dapat didefinisikan dalam bermacam-macam cara tergantung
pada pengaturan, konteks, sifat atau fokus studi, lingkungan, atau lingkungan
budaya. Sedangkan menurut Pie (dalam Johnstone, et.al .2012 : 2)
menyatakan bahwa komunikasi didasarkan pada nilai-nilai simbolik dan
dengan proses pengekspresian yang berbeda-beda seperti kata,
suara, bahasa tubuh, tulisan dan gambar. Semua diakumulasi menjadi
pengalaman dan ditransmisikan antara individu, generasi, zaman, ras, dan
budaya dalam beberapa bentuk seperti berbicara, menulis, bahasa tubuh atau
simbol. Dalam arti luas, bahwa sebagai bentuk komunikasi, bahasa menjadi
komponen utama dalam semua kegiatan manusia, sebagai komunitas
pemahaman antara pengirim dan penerima pesan.
Salah satu unsur komunikasi menurut Wisnuwardhani dan Mashoedi (2012:
38-90) adalah konteks. Konteks dalam komunikasi adalah lingkungan dimana
komunikasi terjadi. Lingkungan itu dapat berupa lingkungtan fisik, seperti
ruang kelas, ruang rapat dan ruang tunggu dokter yang tentunya akan
mempengaruhi topik ataupun cara berbicara orang-orang yang berkomunikasi
disana. Pengirim dan penerima pesan merupakan unsur komunikasi
berikutnya yang sangat penting dalam kominukasi. Adanya keinginan dari
pengirim untuk menyampaikan pesan kepada seseorang (dalam hal ini
penerima) memungkinkan terjadinya komunikasi. Lebih lanjut unsur
berikutnya adalah pesan yang akan disampaikan . Pesan dapat berupa pesan
kepada pengirim disebut umpan balik (feedback). Saluran merupakan unsur komunikasi, yaitu berupa media yang digunakan dalam komunikasi.
Masing-masing media yang digunakan tentunya akan menimbulkan efek yang
berbeda pada penerima antara lain efek dapat berupa penambahan informasi
baru bagi seseorang (aspek kognitif), menimbulkan perasaan suka atau tidak
suka (aspek afektif), atau membuat seseorang mampu melakukan kegiatan
tertentu (aspek psikomotor).
Komunikasi melibatkan seluruh rasa, pengalaman, emosi dan kecerdasan.
Dalam istilah umum yang sederhana, proses komunikasi berupa arus pesan
melalui suatu saluran dari sumber pesan atau informasi menuju penerima
pesan. Sebelum pesan dikirim, pesan harus diwujudkan dalam bentuk
penggalan-penggalan informasi yangdikirimkan dengan menguunakan sarana
komunikasi. Ketika pesan yang dikirim sampai pada penerima, pesan terseut
harus dapat ditafsirkan. Pesan yang sampai kepada pihak penerima tidak
selalu tepat sebagaimana yang dimaksudkan oleh pihak pengirim pesan. Hal
ini disebabkan terjadinya faktor-faktor gangguan yang terjadi pada
penyusunan penggalan informasi, atau pada penafsiran pesan di pihak
penerima. Jelaslah bahwa pada komunikasi efektif unsur pemahaman dan
keselarasan memegang peranan penting didalam penyampaian suatu
informasi/pesan untuk merangsang penerima pesan agar mempunyai
pemahaman yang samadan “bergerak” dalam kerangka pemahaman,
Menurut Darojah (2011: 21) proses komunikasi tersebut berupa transformasi
nilai-nilai, pengetahuan, teknologi, dan keterampilan. Sedangkan objek sasaran
yang menerima proses adalah siswa yang sedang tumbuh dan berkembang
menuju ke arah pendewasaan kepribadian dan penguasaan pengetahuan. Untuk
menjaga proses ini agar berlangsung dengan baik, dituntut adanya hubungan
edukatif yang baik antara pengajar atau pendidik dengan anak didik atau siswa.
Kemampuan komunikasi merupakan salah satu bentuk keterampilan proses
sains yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menyampaikan atau
menerima gagasan, ide baik secara lisan maupun tulisan, menggambarkan dan
menyajikan hasil pengamatan secara visual dalam bentuk tabel, dan grafik.
Berkomunikasi tidak hanya dapat dilakukan dengan komunikasi verbal,
namun juga dapat menggunakan peta konsep, bagan, grafik, gambar,
simbol-simbol dan diagram. Komunikasi yang nyata adalah komunikasi yang efektif,
tepat, praktis dan tidak bermakna ganda (Dewi dalam Rohaeni, 2013: 22).
Untuk senantiasa berkomunikasi efektif dalam kehidupan sehari-hari,
individu juga harus memahami tata cara berbicara yang baik untuk lebih
memperkaya wawasan dalam melakukan komunikasi efektif seperti yang
dinyatakan oleh Hutagalung (2007: 68-69), yaitu:
a. Lihatlah lawan bicara
Saat seseorang melakukan komunikasi, tataplah dan lihatlah lawan bicara
dengan pandangan bersahabat. Janganlah menoleh kekiri atau kekanan
selama pembicaraan berlangsung yang mengesankan kejenuhan atau
kegelisahan terhadap lawan bicara, karena hal ini akan menimbulkan
kedua mata lawan bicara dengan tatapan mata teduh (T zone) dan bukan dengan amarah atau pandangan yang sinis.
b. Suara harus terdengar jelas
Jika berkomunikasi dengan orang lain, suara yang dikeluarkan harus jelas
terdengar. Jangan bergumam.
c. Ekspresi wajah yang menyenangkan
Wajah adalah cerminan hati. Jika anda selama berkomunikasi
menampakkan wajah cemberut, maka hal ini menggambarkan sifat anda
yang tidak bersahabat dengan lawan bicara. Untuk itu tampilkanlah
ekspresi wajah yang bersahabat selama komunikasi berlangsung
d. Tata bahasa yang baik
Gunakanlah bahasa yang sesuai dengan kondisi dan situasi selama
komunikasi berlangsung
e. Pembicaraan mudah dimengerti, singkat dan jelas
Selama komunikasi berlangsung, selain tata bahasa yang baik, perhatikan
pula susunan kata-kata yang diucapkan. Jangan terlalu panjang,
berbelit-belit, susah untuk dipahami
Elemen konsep komunikasi efektif menurut (Johnstone, et.al .2012: 2)
meliputi teknik mendengarkan aktif seperti mengklarifikasi untuk
memastikan pemahaman. Ini juga mencakup empati terhadap sudut pandang
orang lain, dengan ketertarikan terhadap sesuatu yang orang lain sampaikan.
Rasa saling percaya penting untuk meningkatkan kejujuran sehingga
prasangka, atau bagaimana kita memandang orang lain, dan bagaimana yang
dapat mempengaruhi komunikasi kita dengan orang tersebut.
Secara sederhana komunikasi dikatakan efektif bila orang berhasil
menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Secara umum, komunikasi dinilai
efektif bila rangsangan yang diberikan dan yang dimaksudkan oleh pengirim
atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami
oleh penerima. Adapun ukuran bagi komunikasi efektif yaitu, pemahaman,
kesenangan, pemgaruh pada sikap, hubungan yang makin baik dan tindakan
(Tubbs dan Moss. 2001 : 22-23).
Ditunjau dari sifatnya kemampuan komunikasi dibedakan menjadi
kemampuan berkomunikasi tulisan dan komunikasi lisan (Effendi dalam
Rohaeni, 2013 : 23).
a. Kemampuan komunikasi tulisan
Kemampuan komunikasi tulisan merupakan bagian dari Keterampilan
Proses Sains (KPS), dimana komunikasi ini dilakukan melalui gambar, grafik, tabel dan bagan (Dewi dalam Rohaeni, 2013: 23).
b. Kemampuan komunikasi lisan
Kemampuan komunikasi lisan merupakan kemampuan dasar yang harus
dimiliki setiap orang. Untuk komunikasi lisan, kemampuan
mendengarkan dan menyampaikan gagasan secara lisan perlu
dikembangkan. Kemampuan mendengarkan akan membuat orang mampu
memahami isi pembicaraan orang lain, sementara lawan bicara merasa
Kemampua komunikasi lisan penting untuk dikembangkan dalam
pembelajaran sains, kecakapan tersebut mncakup kemampuan untuk
menjelaskan ide-ide ilmiah dan konsep kepada audiens yang bervariasi baik
secara formal maupun nonformal (Lie dalam Rohaeni, 2013: 24). Seperti
yang dinyatakan oleh Rustaman, et. al (dalam Rohaeni, 2013: 24) bahwa
komunikasi merupaka bagian dari keterampilan proses sains yang penting
untuk dilatihkan opada peserta didik dalam pembelajaran biologi. Dalam
pembelajaran biologi kemampuan komunikasi lisan dapat berupa
penyampaian informasi secara langsung salah satunya melalui kegiatan
presentasi dan diskusi.
Presentasi merupakan cara penyampaian informasi satu arah dari penyampai
berita kepada penerima berita. Berita atau laporan tersebut adalah mengenai
suatu proyek atau kegiatan investigasi yang disampaikan secara lisan.
Presentasi dilakukan untuk memberikan penjelasan mengenai suatu
permasalahan dengan mengguanakan bahasa yang dapat dipahami oleh
audiens (Harris, et.al dalam Rohaeni, 2013: 24). Dalam pembelajaran biologi,
presentasi digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran atau
menginformasikan hasil percobaan yang telah dilakukan.
Kriteria atau aspek berkomunikasi yang dapat diamati atau dinilai saat
presentasi dan diskusi berlangsung menurut Stiggins (dalam Rohaeni, 2013:
23) adalah sebagai berikut:
a. Menyampaikan gagasan sesuai dengan topik
c. Meminta penjelasan pertanyaan
d. Membuat catatan singkat dan jelas
e. Menarik siswa lainnya untuk terlibat diskusi
f. Tidak takut untuk menentukan sikap dan mempertahankannya.
Dalam suatu hasil konferensi musim panas pada tahun 1990 tentang penilaian
komunikasi mengembangkan instrumen evaluasi yang disebut dengan The
Competent Speaker mengidentifikasi standar untuk mengevaluasi delapan kompetensi dasar berbicara siswa. Hal ini menurut Morreale, et.al (dalam Brooks, Dunbar dan Kubicka. 2004: 8) yaitu (1) mampu memilih topik yang
sesuai dan membatasinya sesuai dengan tujuan dan pendengar, (2)
mengkomunikasikan tujuan dari pidato dengan menggunakan cara yang tepat
untuk pendengar, (3) menggunakan bahan pendukung yang sesuai untuk
memenuhi tujuan wacana lisan, (4) menggunakan pola organisasi yang sesuai
dengan topik, pendengar dan acara, (5) menggunakan bahasa yang sesuai
dengan pendengar, (6) menggunakan beberapa tingkatan vokal serta intensitas
yang bervariasi (7) artikulasi jelas, dan menggunakan tata bahasa dan
pengucapan yang benar, (8) menunjukkan perilaku nonverbal yang
mendukung pesan verbal.
Kemampuan berkomunikasi lisan sering diartikan sebagai kemapuan
berbicara. Menurut Tarigan (dalam Darojah, 2011: 20) berbicara adalah
kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk
mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan
tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan
tujuan gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara
merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor
fisik, psikologis, semantik, dan linguistik sedemikian ekstensif secara luas
sehingga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi
kontrol sosial. Dengan demikian, berbicara itu lebih daripada sekedar hanya
pengucapan bunyi atau kata-kata.
Senada dengan Tarigan, Hurlock (dalam Darojah, 2011: 20) menyatakan
bahwa berbicara merupakan bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau
kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud. Berbicara
merupakan keterampilan mental-motorik yang melibatkan koordinasi otot
mekanisme suara yang berbeda dengan mekanisme mengkaitkan arti dengan
bunyi-bunyi yang dihasilkan.
Menurut Arsjad dan Mukti (dalam Darojah, 2011: 14), keterampilan berbicara
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu eksternal dan internal. Faktor internal
adaalah segala potensi yang ada di dalam diri seseorang, baik fisik maupun
nonfisik. Faktor fisik menyangkut kesempurnaan organ-organ berbicara
seperti lidah, gigi, pita suara, bibir, dan lain-lain. Faktor-faktor nonfisik
meliputi kepribadian, cara berpikir, intelektualitas, dan sebagainya.
Untuk dapat menjadi pembicara yang baik, harus berbicara secara efektif dan
efisien selain menguasai masalah yang dibicarakan juga harus memperlihatkan
Arsjad dan Mukti (dalam Darojah, 2011: 26) terdapat dua faktor yang harus
diperhatikan pembicara agar dapat berbicara secara efektif dan efisien, yaitu
faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan.
1. Faktor-Faktor Kebahasaan
a. Ketepatan Ucapan
Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi
bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat
mengalihkan perhatian pendengar. Hal ini dikarenakan pola ucapan dan
artikulasi tidak selalu sama. Setiap orang memiliki gaya tersendiri dan
gaya yang dipakai bisa berubah-ubah sesuai dengan pokok
pembicaraan, perasaan, dan sasaran. Akan tetapi, kalau perbedaan atau
perubahan itu terlalu mencolok sehingga menjadi suatu penyimpangan,
keefektifan komunikasi akan terganggu. Pengucapan bunyi-bunyi
bahasa yang tidak tepat atau cacat akan menimbulkan kebosanan,
kurang menyenangkan, kurang menarik atau sedikitnya mengalihkan
perhatian pendengar. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa dianggap
menyimpang jika terlalu jauh dari ragam bahasa lisan, sehingga terlalu
menarik perhatian, mengganggu komunikasi, atau pemakaiannya
(pembicara) dianggap aneh. Selain itu, pembicara juga harus bisa
menempatkan penggunaan istilah, sisipan bahasa asing atau daerah
secara tepat dalam sebuah pembicaraan.
b. Penempatan Tekanan, Nada, Sendi, dan Durasi yang Sesuai
Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan durasi merupakan daya tarik
tersendiri dalam berbicara. Bahkan, bisa dikatakan sebagai faktor
kurang menarik tetapi dengan penempatan tekanan, nada, sendi, dan
durasi yang sesuai akan membuat pembicaraan menjadi menarik.
Sebaliknya, masalah yang menarik jika disampaikan dengan ekspresi
datar akan menimbulkan kejenuhan dan keefektifan berbicarapun
menjadi berkurang. Demikian juga halnya dalam pemberian tekanan
pada kata atau suku kata. Tekanan suara yang biasanya jatuh pada suku
kata terakhir atau suku kata kedua dari belakang tetapi ditempatkan
pada suku kata pertama. Misalnya kata penyanggah, pemberani, dan
kesempatan yang diberi tekanan pada pe-, pem-, dan ke- tentu
kedengarannya janggal. Jika hal ini terjadi, perhatian pendengar dapat
beralih sehingga pokok pembicaraan yang disampaikan kurang
diperhatikan.
c. Pilihan Kata (Diksi)
Pilihan kata yang digunakan oleh pembicara hendaknya jelas, tepat, dan
bervariasi. Maksudnya, pendengar sebagai sasaran mudah mengerti
maksud yang hendak disampaikan oleh pembicara. Sebaiknya
pembicara memilih menggunakan kata-kata yang populer dan konkret
dengan variasi dan perbendaharaan kata yang banyak sehingga tidak
monoton. Penggunaan kata-kata konkret yang menunjukkan aktivitas
akan lebih mudah dipahami oleh pendengar. Selain itu, pemilihan
kata-kata yang populer (diketahui secara luas) di masyarakat akan
mendukung keberhasilan mencapai tujuan pembicaraan. Sasaran
pembicaraan adalah orang yang diajak berbicara atau pendengar.
Pendengar akan lebih tertarik jika pembicara berbicara dengan jelas
yang disesuaikan dengan pokok pembicaraan merupakan kunci
keberhasilan pembicaraan.
d. Ketepatan Sasaran Pembicaraan
Ketepatan sasaran pembicaraan berkaitan dengan penggunaan kalimat
yang efektif dalam komunikasi. Ciri kalimat efektif ada empat, yaitu
keutuhan, perpautan, pemusatan perhatian, dan kehematan. Keutuhan
maksudnya setiap kata betul-betul merupakan bagian yang padu dari
kalimat. Keutuhan kalimat akan rusak karena ketiadaan subjek atau
adanya kerancuan. Perpautan memiliki makna bahwa pertalian
unsur-unsur kalimat saling terkait dalam satu pokok bahasan dan saling
mendukung sehingga tidak berdiri sendiri. Pemusatan perhatian dalam
hal ini memiliki arti pembicaraan memiliki topik yang jelas dan tidak
melebar kemana-mana. Fungsi kehematan memiliki arti bahwa kalimat
yang digunakan singkat dan padat tetapi sudah mewakili atau mencakup
topik yang dibicarakan sehingga tidak ada kata-kata yang mubazir.
Sebagai sarana komunikasi, setiap kalimat terlibat dalam proses
penyampaian dan penerimaan. Hal yang disampaikan dan diterima
tersebut dapat berupa ide, gagasan, pengertian, atau informasi. Kalimat
dikatakan efektif bila mampu membuat proses penyampaian dan
penerimaan berlangsung sempurna. Kalimat efektif mampu membuat isi
atau maksud yang disampaikan tergambar lengkap dalam pikiran
pendengar sama seperti yang disampaikan pembicara.
2. Faktor-Faktor Nonkebahasaan
Keefektifan berbicara tidak hanya didukung oleh faktor kebahasaan seperti
nonkebahasaan. Dalam sebuah pembicaraan, faktor nonkebahasaan ini
sangat mempengaruhi keefektifan dalam berbicara.
a. Sikap Wajar, Tenang, dan Tidak Kaku
Seorang pembicara yang baik ketika berbicara di depan umum
seharusnya memiliki kemampuan yang baik dalam mengatur koordinasi
tubuhnya. Hal ini dimaksudkan agar sikap tubuh tersebut mampu
mendukung keberhasilan pembicaraan. Sikap tubuh yang ditunjukkan
tersebut antara lain wajar, yaitu dengan tidak bersikap berlebihan
seperti terlalu banyak berkedip dan menggunakan gerakan tangan yang
tidak penting. Dari sikap yang wajar saja sebenarnya pembicara sudah
dapat menunjukkan otoritas dan integritas dirinya. Tentu saja sikap ini
sangat ditentukan oleh situasi, tempat, dan penguasaan materi.
Penguasaan materi yang baik setidaknya akan menghilangkan
kegugupan. Namun, bagaimanapun sikap ini memerlukan latihan agar
terbiasa, sehingga rasa gugup akan hilang dan timbul sikap tenang dan
wajar. Sikap tenang ditunjukkan dengan tidak terlihat grogi atau
gelisah, tidak terlihat takut, tidak sering berpindah posisi dan
sebagainya. Sikap yang fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan
situasi pembicaraan akan mendukung keberhasilan pembicara dalam
menyampaikan ide-idenya.
b. Pandangan Harus Diarahkan Kepada Lawan Bicara
Ketika berbicara di depan umum hendaknya seorang pembicara
mengarahkan pandangannya kepada lawan bicara. Hal ini dimaksudkan
sebagai bagian dari bentuk penghormatan kepada lawan bicara. Selain
pembicaraan yang disampaikannya, sehingga pembicara dapat
memposisikan diri agar dapat menguasai situasi dengan baik.
Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah, akan menyebabkan
pendengar merasa kurang diperhatikan. Agar perhatian pendengar tidak
berkurang, hendaknya seorang pembicara mengusahakan pendengar
merasa terlibat dan diperhatikan.
c. Kesediaan Menghargai Pendapat Orang Lain
Dalam menyampaikan isi pembicaraan, seorang pembicara hendaknya
memiliki sikap terbuka dalam arti dapat menerima pendapat pihak lain,
bersedia menerima kritik, dan bersedia mengubah pendapatnya jika
ternyata pendapat tersebut tidak benar. Namun, tidak berarti pembicara
begitu saja mengikuti pendapat orang lain dan mengubah pendiriannya,
tetapi harus mempertahankan pendapat tersebut jika argumen tersebut
benar-benar diyakini kebenarannya. Seorang pembicara yang baik
selalu berusaha menghargai pendapat orang lain. Maksudnya, ketika
berbicara tersebut seorang pembicara tidak menganggap bahwa
pendapatnya paling baik dan paling benar. Jika hal tersebut terjadi,
lawan bicara yang berbeda pendapat semakin tidak dapat menerima
gagasan pembicara. Oleh karena itu, agar diperhatikan lawan bicaranya,
seorang pembicara harus memiliki sikap mengapresiasi pendapat dan
pola pikir lawan bicaranya.
d. Gerak-Gerik dan Mimik yang Tepat
Gerak-gerik dan mimik yang tepat juga mendukung keberhasilan tujuan
pembicaraan seorang pembicara. Hal-hal yang penting selain mendapat
dapat menghidupkan komunikasi agar tidak kaku. Dalam hal ini
gerak-gerik pembicara dan mimik yang tepat dapat ditunjukkan untuk
mendukung pembicaraan. Sebagai contohnya, ketika sedang
membicarakan kebahagiaan maka ekspresi wajah dan gerak tubuh juga
harus menunjukkan mimik kegembiraan. Hal ini berbeda ketika sedang
mengungkapkan ekspresi kepanikan maka harus didukung dengan
mimik muka yang bingung, takut, gugup, dan sebagainya.
e. Kenyaringan Suara
Kenyaringan suara berkaitan dengan situasi tempat, jumlah pendengar,
dan akustik. Situasi tempat berhubungan dengan tempat melakukan
pembicaraan, apakah di dalam ruang tertutup atau di ruang terbuka.
Jumlah pendengar juga mempengaruhi pembicara dalam mengatur
volume suaranya. Semakin banyak jumlah pendengar, semakin keras
volume suara pembicara agar mampu mengatasi situasi. Berbeda halnya
jika jumlah pendengarnya hanya sedikit, pembicara tidak perlu
menggunakan volume suara yang keras atau bahkan sampai berteriak.
Akustik yang dimaksud adalah apakah ada musik yang mengiringi
pembicaraan tersebut. Jika ada, seorang pembicara harus
menyeimbangkan suaranya dengan suara musik agar pendengar tetap
mampu menangkap isi pembicaraan dengan baik.
f. Kelancaran
Kelancaran yang dimaksud adalah penggunaan kalimat lisan yang tidak
terlalu cepat dalam pengucapan, tidak terputus-putus, dan jarak antar
kata tetap atau ajek. Kelancaran juga didukung oleh kemampuan olah
sebagainya. Sebaliknya, pembicara yang terlalu cepat juga akan
menyulitkan pendengar menangkap pokok pembicaraan. Jadi, hal yang
menjadi titik pokok kelancaran adalah penggunaan kalimat yang ajek,
tidak terlalu cepat, dan tidak terputus-putus sehingga pembicaraan lebih
efektif.
g. Relevansi/Penalaran
Dalam sebuah pembicaraan seharusnya antar bagian dalam kalimat
memiliki hubungan yang saling mendukung dan tidak bisa dipisahkan.
Gagasan demi gagasan haruslah berhubungan dengan runtut. Proses
berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan harus logis dan relevan.
Relevansi atau penalaran berkaitan dengan tepat tidaknya isi
pembicaraan dengan topik yang sedang dibicarakan. Selain itu,
relevansi juga berkaitan dengan apakah penggunaan kalimat-kalimat
tersebut saling mendukung dalam konteks pembicaraan atau tidak.
h. Penguasaan Topik
Penguasaan topik dalam sebuah pembicaraan memiliki arti yang
penting. Hal ini dikarenakan seseorang yang menguasai topik dengan
baik akan lebih mudah dalam meyakinkan pendengar. Misalnya, dalam
hal menanamkan suatu ilmu, mempengaruhi, menyampaikan pendapat,
dan menyampaikan sikap hidup kepada audiens akan berlangsung lebih
efektif dan efisien. Jika seorang pembicara menguasai topik yang
dibicarakannya dengan baik, pendengarpun akan lebih percaya dan
apresiatif terhadap apa yang diungkapkan tersebut. Oleh karena itu,
penguasaan topik yang baik akan menumbuhkan keberanian dan
Menurut Tarigan (dalam Darojah, 2011: 24) tujuan berbicara ada tiga, yaitu
(1) memberitahukan, melaporkan (to inform), (2) menjamu, menghibur (to entertain), dan (3) membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan (to
persuade). Singkatnya, semua orang dalam setiap kegiatan yang
menggunakan komunikasi sebagai sarananya perlu memiliki keterampilan
berbicara. Terlebih lagi seorang pelajar dan pengajar dalam dunia pendidikan
selalu membutuhkan komunikasi yang baik agar proses belajar mengajar bisa
berjalan dengan lancar.
Dalam suatu kelompok belajar, setiap siswa harus mampu bekerja sama
dengan baik untuk mencapai tujuan bersama. Sementara itu, menurut Jhonson
(dalam Tran, 2012 : 2) terdapat beberapa hal yang harus dilakukan untuk
mencapai tujuan bersama tersebut, yaitu saling memahami dan percaya satu
sama lain, berkomunikasi secara akurat dan tidak membingungkan, menerima
dan mendukung satu sama lain, menyelesaikan permasalahan secara
konstruktif.
Komunikasi kelompok kecil diartikan sebagai “proses pertukaran pesan
verbal dan nonverbal antara tiga orang atau lebih anggota kelompok yang
bertujuan untuk saling mempengaruhi”. Komunikasi kelompok kecil dapat
terjadi antara lain di masjid, gereja, dalam lingkungan sosial, dalam bidang
pendidikan dan lain-lain. Dinamika kelompok adalah bidang penelitian yang
menarik untuk dikaji, yang cenderung diarahkan pada komunikasi kelompok
kecil yang berkecimpung dalam pemecahan masalh dan pembuatan
dilakukan sebagai cara untuk mnyempurnakan pekerjaan yang dapat
diselesaikan dalam kelompok (Tubbs dan Moss. 2001 : 17).
Mereka yang berbicara paling banyak dalam suatu diskusi kelompok kecil
menurut Bostrom (dalam Tubbs dan Moss. 2001: 159-165), akan merasa puas
terhadap diskusi itu dan mereka yang berpartisipasi paling sedikit merasa
paling tidak puas. Jelas bahwa secara umum, berbicara lebih menyenangkan
daripada mendengakan orang lain berbicara. Hal ini disebabkan beberapa
faktor, meliputi memperoleh pengakuan sosial, mengemukakan topik yang
sesuai dengan minat anda dan menarik perhatian orang lain untuk diri anda.
Mendengarkan sesungguhnya suatu proses yang rumit yang melibatkan empat
unsur: (1) mendengar, (2) memperhartikan, (3) memahami dan (4) mengingat.
Mendengar merupakan proses fisiologis otomatik penerimaan rangsangan
pendengaran. Memperhatikan rangsangan dilingkungan kita berarti
memusatkan kesadaran kita pada rangsangan khusus. Memahami biasnya
diartikan sebagai proses pemberian makna pada kata yang kita dengar , sesuai
dengan makna yang dimaksudkan oleh si pengirim pesan. Mengingat adalah
menyimpan informasi untuk diperoleh kembali.
Salah satu syarat untuk berkembangnya kemampuan interaksi antara satu
individu dengan individu lainnya adalah berkembangnya kemampuan
komunikasi . Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan
kemampuan tersebut antara lain adalah memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menjelaskan dan berargumentasi secara lisan atau tulisan,
mengajukan atau menjawab pertanyaan, dan berdiskusi baik dalam kelompok
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014 di SMP Negeri 3 Natar
Lampung Selatan.
B. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII semester genap
SMP Negeri 3 Natar Tahun Pelajaran 2013/2014 yang terdiri dari 7 kelas.
Sampel dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas VII B (sebagai
kelompok eksperimen) dan kelas VII A (sebagai kelompok kontrol) yang
dipilih dengan teknik purposive sampling (Sugiyono, 2009:83-84).
C. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain pretes – postes
kelompok tak ekuivalen (Sukardi, 2007: 186). Peneliti menggunakan secara
utuh kelompok subyek yang telah ditentukan dan kelompok tersebut telah
diorganisasikan dalam kelompok yaitu kelas-kelas. Kelas eksperimen diberi
perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw,
sedangkan kelas kontrol menggunakan metode diskusi. Hasil pretes, postes,