• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN DAN HASIL BELAJAR SISWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN DAN HASIL BELAJAR SISWA"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN DAN HASIL

BELAJAR SISWA

(Studi Eksperimen Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Natar Semester Genap Tahun Pelajaran 2013/2014 Pada Materi Pokok

Ciri-ciri Makhluk Hidup) Oleh

MILA VANALITA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap kemampuan komunikasi lisan dan hasil belajar aspek kognitif siswa.

Penelitian ini menggunakan desain pretes-postes kelompok tak ekuivalen. Sampel penelitian adalah siswa kelas VII A dan VII B yang dipilih dari populasi secara purposive sampling. Data penelitian ini berupa data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif berupa rata-rata nilai kemampuan komunikasi lisan siswa dan angket tanggapan siswa yang dianalisis secara deskriptif. Data kuantitatif diperoleh dari rata-rata nilai pretes, postes dan gain, kemudian dianalisis secara statistik

(2)

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata siswa kelas eksperimen memiliki kemampuan komunikasi lisan dengan kriteria baik (81,48± 5,13). Dalam setiap aspek kemampuan komunikasi lisan rata-rata siswa (menunjukkan etika,

kesediaan menghargai pendapat orang lain, kelancaran, pemahaman isi materi dan penggunaan bahasa) yang baik. Siswa menunjukkan etika berbicara dengan kriteria “baik” (77,16± 6,11) dengan mengucapkan salam dan terimakasih ketika mengawali dan mengakhiri pembicaraan. Siswa menunjukkan kesediaan

menghargai pendapat orang lain dengan kriteria “baik” (80,86± 0,87) dengan mendengarkan dengan seksama pendapat siswa lain dan ketika terjadi perbedaan pendapat mereka tidak saling memaksakan pendapatnya, melainkan bersama-sama mendiskusikan perbedaan tersebut untuk mendapatkan pemahaman yang padu. Siswa memiliki pemahaman isi materi dengan kriteria “sangat baik” (87,04± 0,87) sehingga dapat menyampaikan materi dengan kelancaran yang berkriteria “baik” (86,42± 5,24), tidak terbata-bata serta penggunaan bahasa dengan kriteria “baik” (75,93± 6.11) yaitu dengan berbahasa yang baik dan benar sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Hasil belajar siswa mengalami peningkatan, dengan rata-rata nilai gain berkriteria baik (0,57± 0,18). Sebagian besar siswa (96,30 %) memberikan tanggapan positif terhadap penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Dengan demikian, model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan komunikasi lisan dan hasil belajar siswa.

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

Penulis dilahirkan di Sidowaras pada tanggal 3 Juni 1993, merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari

pasangan Bapak Maknudin dan Ibu Ratna Wati. Tempat tinggal penulis di Kelurahan Sidowaras, Kecamatan Bumiratu Nuban, Kabupaten Lampung Tengah. (CP: 085768804116)

Pendidikan yang ditempuh penulis adalah SD Negeri Sidowaras (1998-2004), SMP Negeri 2 Bumiratu Nuban (2004-2007), SMA Negeri 3 Metro (2007-2010). Pada tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Pendidikan Biologi FKIP Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

(9)

 

Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, Niscaya akan menjadikan

baginya kemudahan dalam (semua) urusannya

(Ath-Thalaq 65:4)

“Jika kau memandang orang yang lebih tua, ingatlah dia lebih banyak

amal ibadahnya dari pada kau. Jika kau memandang orang yang lebih

muda, ingatlah dia lebih sedikit dosanya dari pada kau”

(Al-Manshurin)

Kesuksesan tidak ada yang datang dengan serta-merta. Melewati

proses yang panjang dan membutuhkan perjuangan. Kesabaran adalah

syaratnya, Keikhlasan adalah nyawanya dan Rasa Syukur adalah

obatnya.

(Deassy M. Destiani)

Sukses itu datang di tempat dan waktu yang tepat

(Dr.Tri Jalmo, M.Si)

Ketika kamu merasa gagal, hal yang perlu kamu lakukan adalah

bersabar, bersujud kepada-Nya, dan bersyukur karena Dia

membuatmu menjadi pribadi satu tingkat lebih kuat

(Mila Vanalita)

(10)

WxÇztÇ `xÇçxuâà atÅt TÄÄÉ{ çtÇz `t{t cxÇztá|{ Ätz|

`t{t cxÇçtçtÇz

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT yang selalu memberikan karunia dan

nikmat-Nya, dengan kerendahan hati ku persembahkan karya kecil ini untuk :

Ibuku (Ratna Wati) dan Bapakku (Maknudin) yang telah menjadi cahaya hidupku Yang selalu memanjatkan do’a untuk putri tercinta dalam setiap sujudnya. Karenamu diri ini ada,

karena cinta dan kasih sayangmu diri ini tumbuh dalam balutan cinta dan kasih sayang Allah.

Adikku tersayang Hanivan Maulana.

Semoga kita bisa membanggakan keluarga ini terutama Ibu dan Bapak

Om terbaikku Edi Gunarto yang selalu memberikan semangat, dukungan, serta inspirasi yang menjadikanku berani untuk mewujudkan mimpi-mimpiku

Para pendidik dan dosen yang terhormat

(11)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas ridha-Nya sehingga skripsi dengan judul “PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN DAN HASIL BELAJAR SISWA (Studi Eksperimen Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Natar Semester Genap Tahun Pelajaran 2013/2014 Pada Materi Pokok Ciri-ciri Makhluk Hidup)” dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pendidikan Biologi di Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung; 2. Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan PMIPA FKIP Universitas

Lampung;

3. Pramudiyanti, S.Si., M.Si., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Biologi; 4. Dr. Tri Jalmo, M.Si., selaku Pembimbing I atas saran-saran dan motivasi

yang sangat berharga dan telah memberikan bimbingan dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. Rini Rita T Marpaung, S.Pd., M.Pd., selaku Pembimbing Akademik dan Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dalam proses penyelesaian skripsi ini;

(12)

VII B SMP Negeri 3 Natar Lampung Selatan atas kerjasamanya yang baik; 8. Teristimewa keluarga besar Eyang Kakung dan Eyang Putri atas semua do’a,

dukungan, nasehat yang telah diberikan;

9. Sahabat ku Sarvia Trisniati, Dira Tiara, Erni Oftika, Arinta Winsi, Sisca Puspita Sari Nasution, Qurratu A’ini Naima, Sefty Goestira, Eli Komariah, Kartika Ayu Wulandari, Marettha Ania dan yang tidak bisa disebut satu persatu atas semangat, motivasi dan kebersamaan yang telah kita jalani selama ini;

10. Keluarga Al-Mansurin Yuni Purwaningsih, Sylvia Farantika dan Teristimewa Agustina Dwi Jayanti, yang telah memberi warna-warni yang begitu indah dalam episode kehidupanku;

11. Teman-teman KKN-PPL, terima kasih untuk semangat perjuangan dan kerjasamanya;

12. Kakak tingkat, teman seperjuangan dan semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandarlampung, Agustus 2014 Penulis

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 6

F. Kerangka Pikir ... 7

G. Hipotesis Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ... 10

B. Hasil Belajar Kognitif ... 19

C. Kemampuan Komunikasi Lisan ... 23

III.METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 41

B. Populasi dan Sampel ... 41

C. Desain Penelitian ... 41

D. Prosedur penelitian ... 42

E. Jenis dan Teknik Pengambilan Data ... 51

F. Teknik Analisis Data ... 55

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 61

B. Pembahasan ... 67

(14)

B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79

LAMPIRAN 1. Silabus ... 84

2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 88

3. Lembar Kerja Siswa (LKS)... 99

4. Pretes dan Postes ... 131

5. Angket Tanggapan Siswa Terhadap Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ... 142

6. Lembar Observasi Kemampuan Komunikasi Lisan ... 143

7. Foto-Foto Penelitian ... 147

8. Surat-surat Penelitian ... 152

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Sintaks/fase-fase pembelajaran kooperatif ... 12

2. Lembar Observasi Kemampuan Komunikasi Lisan Siswa ... 53

3. Keterangan aspek penilaian kemampuan komunikasi lisan siswa ... 53

4. Angket tanggapan siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ... 54

5. Kriteria tingkat kemampuan komunikasi lisan siswa ... 58

6. Skor Per Jawaban Angket ... 59

7. Tabulasi data angket tanggapan siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ... 59

8. Kriteria persentase angket tanggapan siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ... 60

9. Kemampuan komunikasi lisan siswa ... 61

10.Hasil statistik terhadap rata-rata nilai pretes, postes, dan Gain ... 63

11.Hasil analisis rata-rata Gain setiap indikator hasil belajar siswa ... 64

12.Peningkatan setiap indikator hasil belajar siswa ... 65

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat ... 8

2. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli ... 17

3. Desain pretest – posttest kelompok tak ekuivalen ... 42

4. Kemampuan komunikasi lisan siswa ... 62

5. Tanggapan siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ... 66

6. Contoh jawaban siswa untuk indikator C1... 74

(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tinggi rendahnya kualitas sumberdaya manusia dalam suatu bangsa salah satunya dipengaruhi oleh faktor kualitas pendidikan negara tersebut. Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 (1) pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terncana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Depdiknas, 2003: 1). Dengan demikian, tujuan dari pendidikan tidak hanya mencakup pada pengembangan intelektualitas, tetapi juga bertujuan untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki oleh peserta didik.

(18)

Kenyataan yang dijumpai saat ini bahwa proses pembelajaran di Indonesia belum optimal. Hal ini terungkap dalam hasil Trend in Mathematics and Science Study (TIMSS) yang diikuti siswa kelas VIII tahun 2011, menunjukkan bahwa untuk bidang IPA Indonesia berada di urutan ke-40 dengan skor 406 dari 42 negara yang ikut berpartisipasi dalam tes. Skor tes IPA Indonesia ini tururn 21 angka dibandingkan TIMSS 2007

(Napitupulu, 2013: 1). Hal ini menunjukkan masih rendahnya kualitas pembelajaran yang berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa.

Berikutnya yang sering dijumpai yaitu dalam proses pembelajaran di sekolah, siswa yang pasif lebih mendominasi dibandingkan dengan siswa yang aktif berbicara misalnya dalam hal mengkomunikasikan informasi melalui kegiatan presentasi, ataupun bertanya dan menyampaikan pendapat selama proses diskusi. Hal ini masih menjadi masalah klasik dalam dunia pendidikan di Indonesia. Ketika sesi tanya jawab, hanya sebagian kecil siswa yang bertanya atau menanggapi terhadap presentasi yang disampaikan. Hal ini karena berbicara di depan umum atau menyampaikan pendapat dalam proses diskusi masih dianggap hal yang menakutkan bagi siswa. Sehingga siswa menjadi tidak aktif, kemampuan komuniksi lisan siswa tidak terlatih dengan baik.

Rendahnya kemampuan komunikasi lisan dan hasil belajar aspek kognitif siswa juga terjadi di tingkat sekolah menengah pertama. Hasil wawancara dengan guru IPA dan pengamatan terhadap siswa selama proses pembelajaran IPA di SMP Negeri 3 Natar, diperoleh informasi bahwa kemampuan

(19)

yang berpusat pada siswa. Selama proses pembelajaran guru sering menggunakan metode diskusi yang kurang interaktif, sebagian kecil saja siswa yang bersedia menyampaikan pendapatnya ketika proses diskusi berlangsung, hal ini dikarenakan siswa cenderung malu dan belum memiliki kepercayaan diri untuk mengungkapkan pikirannya sehingga pembelajaran membuat siswa bosan dan akhirnya pencapaian hasil belajar kognitif siswa menjadi rendah. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu alternatif model pembelajaran yang interaktif dan efektif sehingga meningkatkan kemampuan komunikasi lisan siswa dalam belajar yang dapat memberikan dampak positif terhadap hasil belajar kognitif siswa.

Untuk mengatasi masalah tersebut salah satu alternatifnya adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif yang diduga bisa digunakan salah satunya adalah model pembelajaran tipe Jigsaw. Model pembelajaran tipe Jigsaw ini lebih

menekankan pada pentingnya interaksi dan kerjasama dalam suatu tim. Selain itu Jigsaw menuntut kemandirian dan tanggung jawab setiap siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa dituntut untuk benar-benar memahami pembelajarannya sendiri yang mana nantinya akan disampaikan pada orang lain. Menurut Isjoni (2010: 54) model

(20)

dan bertanggung jawab untuk mengajarkannya kembali kepada teman-teman satu kelompoknya. Setelah seluruh ambaran informasi bergabung, siswa telah memiliki puzzle utuh yang disebut “Jigsaw”. Tanggung jawab yang

dibebankan kepada siswa akan membuat siswa termotivasi untuk belajar dengan bersungguh-sungguh dan menuntut siswa untuk mengkomunikasikan hasil belajarnya kepada teman-temannya.

Hasil penelitian Melizawati (2011: 43) mengenai model pembelajaran tipe Jigsaw menyatakan bahwa penggunaan model Jigsaw berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada materi sistem ekskresi oleh siswa SMA Negeri 1 Tanjungbintang. Begitu juga dengan penelitian Yati (2008: 33) yang

mengungkapkan bahwa model pembelajaran tipe Jigsaw dapat meningkatkan aktivitas dan penguasaan konsep materi oleh siswa. Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maya (2013: 87) pada siswa SMP Negeri 1 Lembang diketahui bahwa kemampuan komunikasi lisan siswa dapat dinilai dengan menggunakan Peer Assesment pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada materi pencemaran lingkungan. Merujuk pada hasil penelitian tersebut diduga model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat diterapkan dalam pembelajaran sub materi ciri-ciri makhluk hidup untuk meningkatkan kemampuan komunikasi lisan siswa.

(21)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap kemampuan komunikasi lisan siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup?

2. Apakah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berpengaruh

signifikan terhadap hasil belajar aspek kognitif siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap

kemampuan komunikasi lisan siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup.

2. Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap hasil belajar aspek kognitif siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagi peneliti, dapat memberikan wawasan, pengalaman, dan bekal berharga sebagai calon guru biologi yang profesional, dan untuk perbaikan

(22)

2. Bagi guru, dapat dijadikan alternatif dalam memilih model pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan hasil belajar kognitif dan kemampuan komunikasi lisan siswa.

3. Bagi siswa, dapat memberikan pengalaman belajar yang berbeda sehingga diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar kognitif dan kemampuan komuniksai lisan siswa.

4. Bagi sekolah, dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan ditingkat SMP.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk menghindari kesalahan penafsiran pada permasalahan yang dibahas, maka penulis memberi batasan masalah sebagai berikut :

1. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 3 Natar tahun pelajaran 2013/2014 dengan subjek penelitian siswa kelas VIIB sebagai kelompok eksperimen dan kelas VIIA sebagai kelompok kontrol 2. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah model pembelajaran

(23)

3. Materi pokok pada penelitian ini adalah Ciri-ciri Makhluk Hidup di kelas VII semester 2 dengan kompetensi dasar “Mengidentifikasi Ciri-ciri Makhluk Hidup (KD 6.1)”.

4. Hasil belajar dalam penelitian ini berupa aspek kognitif yang terdiri dari 6 kategori yaitu mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis,

mengevaluasi, dan mencipta.

5. Indikator kemampuan berkomunikasi lisan yang diamati terdiri beberapa aspek antara lain (1) etika, (2) kesediaan menghargai pendapat orang lain, (3) kelancaran, (4) pemahaman isi materi, (5) bahasa.

F. Kerangka Pikir

Dalam pembelajaran biologi terdapat banyak sekali konsep-konsep ilmiah yang saling berhubungan yang menuntut siswa untuk lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran sehingga siswa dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Strategi yang dapat digunakan agar siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran yaitu dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw untuk meningkatkan kemampuan komunikasi lisan siswa dalam pelajaran biologi

(24)

mengkomunikasikan sub materi kepada siswa lain guna membangun

pengertian/pemahaman yang padu. Dengan tanggung jawab yang dibebankan kepada siswa akan membuat siswa termotivasi untuk belajar dengan

bersungguh-sungguh dan menuntut siswa untuk mengkomunikasikan hasil belajarnya kepada teman-temannya. Dengan langkah-langkah yang dilakukan dalam model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw kemampuan berkomunikasi lisan siswa dapat terlatih dan meningkat dengan baik. Apabila kemampuan komunikasi lisan siswa terlatih dengan baik maka siswa dapat menyampaikan informasi yang diperolehnya dengan efektif kepada temannya. Sehingga hasil belajar aspek kognitif siswa akan lebih meningkat.

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental semu dengan menggunakan dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada penelitian ini dilakukan pengujian untuk mengetahui hasil belajar kognitif dan kemampuan komunikasi lisan siswa melalui model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup. Hubungan antar variabel dalam penelitian ini digambarkan dalam diagram berikut:

Keterangan: X = model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw; Y1 =

kemampuan komunikasi lisan siswa; Y2 = hasil belajar kognitif siswa

(25)

G. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan komunikasi lisan siswa.

2. Ho = Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar aspek kognitif siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup.

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang

mengkondisikan siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil

secara kolaborasi yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi

yang disampaikan oleh guru (Slavin, 2008: 8). Demikian pula, Rusman

(2012: 202) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif (cooperative

learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya

terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat

heterogen. Model pembelajaran kooperatif seperti yang dinyatakan Amri & Ahmadi (2010: 90) merupakan salah satu model pembelajaran yang

mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pembelajaran kooperatif dapat

didefinisikan sebagai sistem kerja/belajar kelompok yang terstruktur.

Terdapat tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran

kooperatif menurut Nur (2005: 3) adalah sebagai berikut: (1) Penghargaan

kelompok; pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok

untuk memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh

(27)

individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar

personal yang saling mendukung, saling membantu, dan saling peduli, (2)

Pertanggungjawaban individu; keberhasilan kelompok tergantung dari semua

anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada

aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya

pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan seiap anggota siap

untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya tanpa bantuan teman

sekelompoknya, dan (3) Kesempatan yang sama untuk mencapai

keberhasilan; pembelajaran kooperatif metode skoring yang mencakup nilai

perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari

yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini baik yang

berprestasi rendah, sedang atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan

untuk berhasil dan melakukan yang terbaik pada kelompoknya.

Pembelajaran yang dilaksanakan secara berkelompok belum tentu mencerminkan

pembelajaran kooperatif . Oleh karena itu, menurut Johnson (dalam Tran,

2012 : 2) terdapat lima elemen dasar dalam pembelajaran kooperatif . Kelima

elemen dasar tersebut dinyatakan sebagai berikut: (1) Saling ketergantungan

positif, (2) Interaksi promotif, (3) Tanggung jawab perorangan, (4)

Keterampilan interpersonal dan sosial, dan (5) Kualitas antar anggota

(28)

Menurut Jauhar (2011: 54), pembelajaran kooperatif memiliki

sintaks/fase-fase sebagai berikut:

Tabel 1. Sintaks/fase-fase pembelajaran kooperatif

Fase Peran Guru

1. Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar 2. Menyajikan informasi Menyajikan informasi kepada siswa

dengan jalan cara demonstrasi atau lewat bahan bacaan

3. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar

Menjelaskan kepada siswa bagaimana cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien 4. Membimbing kelompok

bekerja dan belajar

Membimbing kelompok dalam belajar, yaitu pada saat mereka mengerjakan tugas

5. Evaluasi Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari kelompok atau masing-masing kelompok

mempresentasikan hasil kerjanya 6. Memberikan penghargaan Memberi pengharagaan kepada

individu ataupun kelompok yang mendapatkan hasil yang baik. Misalnya dengan memberi hadiah

Pembelajaran kooperatif memberikan keuntungan baik pada siswa kelompok

bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan

tugas-tugas akademiknya (Trianto, 2009: 59). Menurut Johnson (dalam Eggen dan

Kauchak, 2012: 153) siswa yang bekerja sama di dalam kelompok kooperatif

mengasah keterampilan sosial mereka, menerima siswa dengan kemampuan

kesulitan belajar, dan membangun persahabataan dan sikap positif terhadap

orang lain yang memiliki prestasi, etnisitas, dan gender berbeda. Hal lain

yang mendukung adalah pernyataan Trianto (2009: 60) bahwa di dalam

(29)

berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama

lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan

kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain.

Poin penting dalam pembelajaran kooperatif menurut Johnson and Johnson

(dalam Kam-wing, 2004: 2) adalah pembelajaran kooperatif merupakan

praktek instruksional dimana siswa saling membantu satu sama lain untuk

belajar di dalam kelompok kecil menuju tujuan bersama. Sedangkan menurut

Eggen dan Kauchak (2012: 136) pembelajaran kooperatif dipandang sebagai

strategi mengajar yang memberikan peran terstruktur bagi siswa seraya

menekankan interaksi siswa-siswa. Menurut pendapat Ratumanan (dalam

Trianto, 2009: 62) interaksi yang terjadi dalam pembelajaran kooperatif dapat

memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual

siswa. Lebih lanjut Slavin (dalam Rusman, 2012: 201) menerangkan bahwa

dalam pembelajaran kooperatif dibolehkan terjadinya pertukaran ide dan

pemeriksaan ide sendiri dalam kelompok. Model pembelajaran kooperatif

menjadikan guru lebih berperan sebagai fasilitator yang berfungsi sebagai

jempatan penghubung kearah pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan

siswa sendiri. Guru tidak banyak memberikan pengetahuan kepada siswa,

tetapi juga harus membangun pengetahuan dalam pikirannya. Siswa

mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman langsung untuk

menerapkan ide-ide mereka, ini merupakan kesempatan bagi siswa untuk

menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri.

Menurut Rusman (2012:213-225) ada beberapa variasi jenis model dalam

(30)

kooperatif ini tidak berubah, jenis-jenis model tersebut adalah model STAD

(Student Teams Achievement Division), model Jigsaw, investigasi kelompok (Group Investigation), model Make a Match (Membuat Pasangan), model

TGT (Teams Games Tournaments), dan model struktural.

Model pembelajaran kooperatif dapat mendorong siswa aktif dalam

pembelajaran dan sudah banyak digunakan dalam proses pembelajaran.

Model pembelajaran kooperatiftipe Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatifyang mendorong siswa aktif dan saling membantu

dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal.

Model pembelajaran kooperatifteknik Jigsaw ini pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas,

dan kemudian diadaptasi oleh Slavindan teman-teman di Universitas John

Hopkins. Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson sebagai model pembelajaran kooperatif. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran

membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara (Amri dan Ahmadi,

2010: 94).

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah model pembelajaran

kooperatif yang mengkondisikan siswa belajar dalam kelompok kecil yang

terdiri dari beberapa orang secara heterogen dan bekerja sama saling

ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntaasan bagian

materi pembelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut

kepada anggota kelompok yang lain (Arends dalam Amri dan Ahmadi, 2010:

(31)

salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang fleksibel. Banyak

riset telah dilakukan berkaitan dengan pembelajaran kooperatif dengan dasar

Jigsaw. Riset tersebut menunjukkan bahwa siswa yang terlibat di dalam

pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw ini memperoleh prestasi lebih

baik, mempunyai sikap yang lebih baik dan lebih positif terhadap

pembelajaran, di samping saling menghargai perbedaan dan pendapat orang

lain.

Sementara itu Aronson dkk (dalam Darnon dan Desbar. 2011: 443)

menyebutkan kelas Jigsaw karena seperti puzzle Jigsaw yang membagi

materi akademik menjadi potongan-potongan menjadi informasi yang

berbeda-beda. Mereka melibatkan 3 aspek dalam metode Jigsaw. Ketiga

aspek tersebut dinyatakan yaitu pertama, dibentuk suatu kelompok yang

terdiri dari 3-5 siswa. Masing-masing siswa ditugaskan mempelajari satu

bagian sub materi dan diharapkan dapat menjadi “ahli” untuk sub materi

tersebut. Untuk tujuan ini, siswa akan mempunyai kesempatan untuk

mendiskusikan keahlian sub materi mereka dengan siswa lain yang bukan

merupakan kelompok asal, tetapi mereka mendiskusikan sub materi yang

sama. Kelompok diskusi ini disebut dengan kelompok ahli. Akhirnya, setiap

murid mempresentasikan laporan yang telah mereka pelajari ketika berada di

(32)

Langkah langkah pelaksanaan pembelajaran kooperatif Jigsaw yaitu sebagai berikut; (1) siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang

beranggotakan 5 sampai 6 orang, (2) guru memberikan materi pelajaran yang

akan diajarkan dalam bentuk teks yang telah dibagi-bagi menjadi beberapa

sub bab, 3) setiap anggota kelompok membaca sub bab yang ditugaskan dan

bertanggung jawab untuk mempelajarinya, (4) anggota dari kelompok lain

yang telah mempelajari sub bab yang sama bertemu dalam

kelompok-kelompok ahli untuk mendiskusikannya, (5) setiap anggota kelompok-kelompok ahli

setelah kembali ke kelompok asal bertugas mengajar teman-temannya, (6)

pada pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa-siswa dikenai tagihan

berupa kuis individu (Trianto, 2007: 57).

Sementara itu Rusman (2012:219) merumuskan kegiatan-kegiatan yang

dilakukan dalam pembelajaran model Jigsaw sebagai berikut:

1. Melakukan membaca untuk menggali informasi

Siswa memperoleh topik-topik permasalahan untuk dibaca, sehingga

mendapatkan informasi dari permasalahan tersebut.

2. Diskusi kelompok ahli

Siswa yang telah mendapatkan topik permasalahan yang sama bertemu

dengan kelompok ahli untuk membicarakan topik permasalahan tersebut.

3. Laporan kelompok

Kelompok ahli kembali ke kelompok asal dan menjelaskan hasil yang

didapat dari diskusi tim ahli.

4. Kuis mencakup semua topik permasalahan yang dibicarakan tadi.

(33)

Pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok dengan setiap kelompok terdiri dari empat sampai enam

siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut dengan

kelompok asal. Setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian

materi pembelajaran. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama

belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli. Dalam

kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama,

serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika

kembali kekelompok asal. Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli

maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing

kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan

hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan

persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan (Amri dan

Ahmadi, 2010: 96-98).

Hubungan yang terjadi antar kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan

oleh Arrends dalam Ainy (2000:15) sebagai berikut:

α β

λ π α β λ π α β λ π α β λ π

α α

α α β ββ β λ λ λ λ π π π π

(34)

Interaksi kooperatif yang terjadi dalam pembelajaran model Jigsaw

menunjukkan beberapa pengaruh positif terhadap perkembangan anak. Hal ini

didukung oleh hasil penelitian oleh Jhonson (dalam Rusman, 2012: 219)

tentang pengaruh positif dari pembelajaran kooperatif Jigsaw. Pengaruh positif tersebut adalah (1) meningkatkan hasil belajar; (2) meningkatkan daya

ingat; (3) dapat digunakan untuk mencapai tarap penalaran tingkat tinggi; (4)

mendorong tumbuhnya motivasi intrinsik (kesadaran individu); (5)

meningkatkan hubungan antar manusia yang heterogen; (6) meningkatkan

sikap anak yang positif terhadap sekolah; (7) meningkatkan sikap positif

terhadap guru; (8) meningkatkan harga diri anak; (9) meningkatkan perilaku

menyesuaian social yang positif; dan (10) meningkatkan keterampilan hidup

bergotong-royong.

Sebagai salah satu model pembelajaran yang kooperatif, Jigsaw mempunyai

kelebihan-kelebihan menurut Budiningarti (dalam Pratiwi, 2009: 57) yaitu

sebagai berikut: (1) Dapat mengembangkan hubungan antara pribadi positif

diantara siswa yang memiliki kemampuan belajar berbeda, (2) Menerangkan

bimbingan secara teman, (3) Rasa harga diri siswa yang lebih tinggi, (4)

Memperbaiki kehadiran, (5) Penerimaan terhadap perbedaan individu lebih

besar, (6) Sikap apatis berkurang, (7) Pemahaman materi lebih mendalam, (8)

Meningkatkan motivasi belajar. Jigsaw merupakan salah satu tipe model

pembelajaran kooperatif yang fleksibel, namun metode ini juga mempunyai

kelemahan. Kelemahan metode pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, yaitu sebagai berikut: (1) Jika guru tidak mengingatkan agar siswa selalu

(35)

masing-masing maka dikhawatirkan kelompok akan macet. (2) Jika jumlah anggota

kurang akan menimbulkan masalah, misal jika ada anggota yang hanya

membonceng dalam menyelesaikan tugas-tugas yang pasif dalam diskusi. (3)

Membutuhkan waktu yang lebih lama apabila penataan ruang belum

terkondisi dengan baik.

B. Hasil Belajar Kognitif

Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui

kegiatan belajar. Hasil pembelajaran dapat dibedakan atas: pengetahuan,

keterampilan intelektual, keterampilan motorik dan sikap. Sedangkan Bloom

(dalam Sudijono, 2005: 49) berpendapat bahwa taksonomi (pengelompokan)

tujuan pendidikan harus senantiasa mengacu pada 3 jenis domain (daerah

binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu: (1) ranah

proses berfikir (cognitive domain), (2) ranah nilai sikap (affective domain), dan (3) ranah keterampilan motorik (psikomotor). Sehingga secara

keseluruhan peserta didik dapat memahami, menghayati dan mengamalkan

pelajaran yang telah diberikan. Selain itu definisi hasil belajar menurut

Abdurrahman (2003 :38) yaitu kemampuan yang diperoleh siswa setelah

melakukan kegiatan belajar.

Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha

untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap.

Anderson (dalam Khoerul, 2012: 1) menguraikan dimensi proses kognitif

(36)

1. menghafal (remember), yaitu menarik kembali informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang, yang mencakup dua macam proses kognitif

mengenali dan mengingat

2. memahami (understand), yaitu mengkonstruk makna atau pengertian berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, atau mengintegrasikan

pengetahuan yang baru ke dalam skema yang ada dalam pemikiran siswa,

yang mencakup tujuh proses kognitif: menafsirkan (interpreting), memberikan contoh (exemplifying), mengklasifikasikan (classifying),

meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining)

3. mengaplikasikan (apply), yaitu penggunaan suatu prosedur guna

meyelesaikan masalah atau mengerjakan tugas, yang mencakup dua proses

kognitif: menjalankan (executing) dan mengimplementasikan

(implementing)

4. menganalisis (analyze), yaitu menguraikan suatu permasalahan atau obyek

ke unsur-unsurnya dan menentukan bagaimana saling keterkaitan antar

unsur-unsur tersebut, yang mencakup tiga proses kognitif: menguraikan

(differentiating), mengorganisir (organizing), dan menemukan pesan

tersirat (attributing)

5. mengevaluasi (evaluate), yaitu membuat suatu pertimbangan berdasarkan

kriteria dan standar yang ada, yang mencakup dua proses kognitif:

(37)

6. membuat (create), yaitu menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan, yang mencakup tiga proses kognitif: membuat

(generating), merencanakan (planning), dan memproduksi (producing).

Hasil belajar siswa merupakan suatu hal yang berkaitan dengan kemampuan

siswa dalam menyerap atau memahami suatu materi yang disampaikan.

Dengan kata lain, hasil belajar merupakan bukti adanya proses

belajar-mengajar antara guru dan siswa. Hasil belajar yang bisa diperoleh siswa

setelah pembelajaran dapat berupa informasi verbal. Keterampilan intelek,

keterampilan motorik, sikap, dan strategi kognitif. Gagne (dalam Dimyati dan

Mujiono, 2002:10) menyatakan kelima hasil belajar tersebut merupakan

kapabilitas siswa. Kapabilitas siswa tersebut berupa:

1. Informasi verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan

dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Pemilihan informasi

verbal memungkinkan individu berperan dalam kehidupan.

2. Keterampilan intelektual adalah kecakapan yang berfungsi untuk

berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep

dan lambang. Keterampilan intelek ini terdiri dari diskriminasi jamak,

konsep konkret dan definisi, dan prinsip.

3. Strategi kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahkan

aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan

konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.

4. Keterampilan motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak

(38)

5. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan

penilaian terhadap objek tersebut.

Hasil belajar juga dapat diartikan sebagai suatu perubahan tingkah laku ke

arah lain dari tingkah laku sebelumnya. Hal ini sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Winkel (dalam Amrina, 2004) bahwa adanya perubahan

dalam pola perilaku inilah yang menandakan telah terjadinya belajar. Makin

banyak kemampuan yang diperoleh sampai menjadi milik pribadi.

Kemampuan kognitif, kemampuan sensorik, kemampuan psikomotor dan

kemampuan dinamik, semua pengubahan dibidang itu merupakan hasil

belajar dan mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah laku.

Untuk menilai dan mengukur keberhasilan siswa dipergunakan tes hasil

belajar. Terdapat beberapa tes yang dilakukan guru, diantaranya: uji blok,

ulangan harian, tes lisan saat pembelajaran berlangsung, tes mid semester dan

tes akhir semester. Hasil dari tes tersebut berupa nilai-nilai yang pada

akhirnya digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan proses pembelajaran

yang terjadi. Tes ini dibuat oleh guru berkaitan dengan materi yang telah

diajarkan. Setiap kegiatan belajar akan berakhir dengan hasil belajar. Hasil

belajar setiap siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas.

Bahan mentah hasil belajar terwujud dalam lembar-lembar jawaban soal

ulangan atau ujian dan yang berwujud karya atau benda. Semua hasil belajar

tersebut merupakan bahan yang berharga bagi guru dan siswa. Bagi guru,

hasil belajar siswa di kelasnya berguna untuk melakukan perbaikan tindak

mengajar atau evaluasi. Bagi siswa, hasil belajar tersebut berguna untuk

(39)

Tinggi rendahnya hasil belajar kognitif siswa dapat diketahui melalui

pedoman penilaian. Menurut Arikunto (2008: 245), bila nilai siswa ≥ 66 maka

dikategorikan baik. Bila 55 ≤ nilai siswa <66 maka dikategorikan cukup baik.

Bila nilai siswa < 55 maka dikategorikan kurang baik (Arikunto, 2007:214).

Selain itu, tinggi rendahnya hasil belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa

faktor. Djamarah (2008: 176-177) menjelaskan bahwa terdapat beberapa

faktor yang mempengaruhi proses serta hasil belajar. Faktor utamanya adalah

faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar yang mempengaruhi proses serta

hasil belajar meliputi lingkungan serta instrumental. Lingkungan yang

dimaksud disini adalah lingkungan alami serta lingkungan sosial budaya.

Faktor instrumental antara lain kurikulum, program, sarana dan fasilitas, serta

guru. Sedangkan untuk faktor dalam yang mempengaruhi proses dan hasil

belajar antara lain fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis meliputi

kondisi fisiologis dan kondisi pancaindra. Sedangkan faktor psikologis antara

lain minat, kecerdasan, bakat, motivasi serta kemampuan kognitif.

C. Kemampuan Komunikasi Lisan

Komunikasi merupakan suatu proses sosial yang sangat mendasar dan vital

dalam kehidupan manusia. Kata komunikasi berasal dari bahasa latin

communis” yang berarti “bersama. Sedangkan menurut kamus, definisi komunikasi dapat meliputi ungkapan-ungkapan seperti berbagai informasi

atau pengetahuan, memberi gagasan atau bertukar pemikiran, informasi, atau

(40)

Komunikasi bersifat kompleks dan merupakan proses pertukaran antara

beberapa orang, seperti yang dinyatakan Johnstone, et.al (2012 : 2) bahwa komunikasi dapat didefinisikan dalam bermacam-macam cara tergantung

pada pengaturan, konteks, sifat atau fokus studi, lingkungan, atau lingkungan

budaya. Sedangkan menurut Pie (dalam Johnstone, et.al .2012 : 2)

menyatakan bahwa komunikasi didasarkan pada nilai-nilai simbolik dan

dengan proses pengekspresian yang berbeda-beda seperti kata,

suara, bahasa tubuh, tulisan dan gambar. Semua diakumulasi menjadi

pengalaman dan ditransmisikan antara individu, generasi, zaman, ras, dan

budaya dalam beberapa bentuk seperti berbicara, menulis, bahasa tubuh atau

simbol. Dalam arti luas, bahwa sebagai bentuk komunikasi, bahasa menjadi

komponen utama dalam semua kegiatan manusia, sebagai komunitas

pemahaman antara pengirim dan penerima pesan.

Salah satu unsur komunikasi menurut Wisnuwardhani dan Mashoedi (2012:

38-90) adalah konteks. Konteks dalam komunikasi adalah lingkungan dimana

komunikasi terjadi. Lingkungan itu dapat berupa lingkungtan fisik, seperti

ruang kelas, ruang rapat dan ruang tunggu dokter yang tentunya akan

mempengaruhi topik ataupun cara berbicara orang-orang yang berkomunikasi

disana. Pengirim dan penerima pesan merupakan unsur komunikasi

berikutnya yang sangat penting dalam kominukasi. Adanya keinginan dari

pengirim untuk menyampaikan pesan kepada seseorang (dalam hal ini

penerima) memungkinkan terjadinya komunikasi. Lebih lanjut unsur

berikutnya adalah pesan yang akan disampaikan . Pesan dapat berupa pesan

(41)

kepada pengirim disebut umpan balik (feedback). Saluran merupakan unsur komunikasi, yaitu berupa media yang digunakan dalam komunikasi.

Masing-masing media yang digunakan tentunya akan menimbulkan efek yang

berbeda pada penerima antara lain efek dapat berupa penambahan informasi

baru bagi seseorang (aspek kognitif), menimbulkan perasaan suka atau tidak

suka (aspek afektif), atau membuat seseorang mampu melakukan kegiatan

tertentu (aspek psikomotor).

Komunikasi melibatkan seluruh rasa, pengalaman, emosi dan kecerdasan.

Dalam istilah umum yang sederhana, proses komunikasi berupa arus pesan

melalui suatu saluran dari sumber pesan atau informasi menuju penerima

pesan. Sebelum pesan dikirim, pesan harus diwujudkan dalam bentuk

penggalan-penggalan informasi yangdikirimkan dengan menguunakan sarana

komunikasi. Ketika pesan yang dikirim sampai pada penerima, pesan terseut

harus dapat ditafsirkan. Pesan yang sampai kepada pihak penerima tidak

selalu tepat sebagaimana yang dimaksudkan oleh pihak pengirim pesan. Hal

ini disebabkan terjadinya faktor-faktor gangguan yang terjadi pada

penyusunan penggalan informasi, atau pada penafsiran pesan di pihak

penerima. Jelaslah bahwa pada komunikasi efektif unsur pemahaman dan

keselarasan memegang peranan penting didalam penyampaian suatu

informasi/pesan untuk merangsang penerima pesan agar mempunyai

pemahaman yang samadan “bergerak” dalam kerangka pemahaman,

(42)

Menurut Darojah (2011: 21) proses komunikasi tersebut berupa transformasi

nilai-nilai, pengetahuan, teknologi, dan keterampilan. Sedangkan objek sasaran

yang menerima proses adalah siswa yang sedang tumbuh dan berkembang

menuju ke arah pendewasaan kepribadian dan penguasaan pengetahuan. Untuk

menjaga proses ini agar berlangsung dengan baik, dituntut adanya hubungan

edukatif yang baik antara pengajar atau pendidik dengan anak didik atau siswa.

Kemampuan komunikasi merupakan salah satu bentuk keterampilan proses

sains yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menyampaikan atau

menerima gagasan, ide baik secara lisan maupun tulisan, menggambarkan dan

menyajikan hasil pengamatan secara visual dalam bentuk tabel, dan grafik.

Berkomunikasi tidak hanya dapat dilakukan dengan komunikasi verbal,

namun juga dapat menggunakan peta konsep, bagan, grafik, gambar,

simbol-simbol dan diagram. Komunikasi yang nyata adalah komunikasi yang efektif,

tepat, praktis dan tidak bermakna ganda (Dewi dalam Rohaeni, 2013: 22).

Untuk senantiasa berkomunikasi efektif dalam kehidupan sehari-hari,

individu juga harus memahami tata cara berbicara yang baik untuk lebih

memperkaya wawasan dalam melakukan komunikasi efektif seperti yang

dinyatakan oleh Hutagalung (2007: 68-69), yaitu:

a. Lihatlah lawan bicara

Saat seseorang melakukan komunikasi, tataplah dan lihatlah lawan bicara

dengan pandangan bersahabat. Janganlah menoleh kekiri atau kekanan

selama pembicaraan berlangsung yang mengesankan kejenuhan atau

kegelisahan terhadap lawan bicara, karena hal ini akan menimbulkan

(43)

kedua mata lawan bicara dengan tatapan mata teduh (T zone) dan bukan dengan amarah atau pandangan yang sinis.

b. Suara harus terdengar jelas

Jika berkomunikasi dengan orang lain, suara yang dikeluarkan harus jelas

terdengar. Jangan bergumam.

c. Ekspresi wajah yang menyenangkan

Wajah adalah cerminan hati. Jika anda selama berkomunikasi

menampakkan wajah cemberut, maka hal ini menggambarkan sifat anda

yang tidak bersahabat dengan lawan bicara. Untuk itu tampilkanlah

ekspresi wajah yang bersahabat selama komunikasi berlangsung

d. Tata bahasa yang baik

Gunakanlah bahasa yang sesuai dengan kondisi dan situasi selama

komunikasi berlangsung

e. Pembicaraan mudah dimengerti, singkat dan jelas

Selama komunikasi berlangsung, selain tata bahasa yang baik, perhatikan

pula susunan kata-kata yang diucapkan. Jangan terlalu panjang,

berbelit-belit, susah untuk dipahami

Elemen konsep komunikasi efektif menurut (Johnstone, et.al .2012: 2)

meliputi teknik mendengarkan aktif seperti mengklarifikasi untuk

memastikan pemahaman. Ini juga mencakup empati terhadap sudut pandang

orang lain, dengan ketertarikan terhadap sesuatu yang orang lain sampaikan.

Rasa saling percaya penting untuk meningkatkan kejujuran sehingga

(44)

prasangka, atau bagaimana kita memandang orang lain, dan bagaimana yang

dapat mempengaruhi komunikasi kita dengan orang tersebut.

Secara sederhana komunikasi dikatakan efektif bila orang berhasil

menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Secara umum, komunikasi dinilai

efektif bila rangsangan yang diberikan dan yang dimaksudkan oleh pengirim

atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami

oleh penerima. Adapun ukuran bagi komunikasi efektif yaitu, pemahaman,

kesenangan, pemgaruh pada sikap, hubungan yang makin baik dan tindakan

(Tubbs dan Moss. 2001 : 22-23).

Ditunjau dari sifatnya kemampuan komunikasi dibedakan menjadi

kemampuan berkomunikasi tulisan dan komunikasi lisan (Effendi dalam

Rohaeni, 2013 : 23).

a. Kemampuan komunikasi tulisan

Kemampuan komunikasi tulisan merupakan bagian dari Keterampilan

Proses Sains (KPS), dimana komunikasi ini dilakukan melalui gambar, grafik, tabel dan bagan (Dewi dalam Rohaeni, 2013: 23).

b. Kemampuan komunikasi lisan

Kemampuan komunikasi lisan merupakan kemampuan dasar yang harus

dimiliki setiap orang. Untuk komunikasi lisan, kemampuan

mendengarkan dan menyampaikan gagasan secara lisan perlu

dikembangkan. Kemampuan mendengarkan akan membuat orang mampu

memahami isi pembicaraan orang lain, sementara lawan bicara merasa

(45)

Kemampua komunikasi lisan penting untuk dikembangkan dalam

pembelajaran sains, kecakapan tersebut mncakup kemampuan untuk

menjelaskan ide-ide ilmiah dan konsep kepada audiens yang bervariasi baik

secara formal maupun nonformal (Lie dalam Rohaeni, 2013: 24). Seperti

yang dinyatakan oleh Rustaman, et. al (dalam Rohaeni, 2013: 24) bahwa

komunikasi merupaka bagian dari keterampilan proses sains yang penting

untuk dilatihkan opada peserta didik dalam pembelajaran biologi. Dalam

pembelajaran biologi kemampuan komunikasi lisan dapat berupa

penyampaian informasi secara langsung salah satunya melalui kegiatan

presentasi dan diskusi.

Presentasi merupakan cara penyampaian informasi satu arah dari penyampai

berita kepada penerima berita. Berita atau laporan tersebut adalah mengenai

suatu proyek atau kegiatan investigasi yang disampaikan secara lisan.

Presentasi dilakukan untuk memberikan penjelasan mengenai suatu

permasalahan dengan mengguanakan bahasa yang dapat dipahami oleh

audiens (Harris, et.al dalam Rohaeni, 2013: 24). Dalam pembelajaran biologi,

presentasi digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran atau

menginformasikan hasil percobaan yang telah dilakukan.

Kriteria atau aspek berkomunikasi yang dapat diamati atau dinilai saat

presentasi dan diskusi berlangsung menurut Stiggins (dalam Rohaeni, 2013:

23) adalah sebagai berikut:

a. Menyampaikan gagasan sesuai dengan topik

(46)

c. Meminta penjelasan pertanyaan

d. Membuat catatan singkat dan jelas

e. Menarik siswa lainnya untuk terlibat diskusi

f. Tidak takut untuk menentukan sikap dan mempertahankannya.

Dalam suatu hasil konferensi musim panas pada tahun 1990 tentang penilaian

komunikasi mengembangkan instrumen evaluasi yang disebut dengan The

Competent Speaker mengidentifikasi standar untuk mengevaluasi delapan kompetensi dasar berbicara siswa. Hal ini menurut Morreale, et.al (dalam Brooks, Dunbar dan Kubicka. 2004: 8) yaitu (1) mampu memilih topik yang

sesuai dan membatasinya sesuai dengan tujuan dan pendengar, (2)

mengkomunikasikan tujuan dari pidato dengan menggunakan cara yang tepat

untuk pendengar, (3) menggunakan bahan pendukung yang sesuai untuk

memenuhi tujuan wacana lisan, (4) menggunakan pola organisasi yang sesuai

dengan topik, pendengar dan acara, (5) menggunakan bahasa yang sesuai

dengan pendengar, (6) menggunakan beberapa tingkatan vokal serta intensitas

yang bervariasi (7) artikulasi jelas, dan menggunakan tata bahasa dan

pengucapan yang benar, (8) menunjukkan perilaku nonverbal yang

mendukung pesan verbal.

Kemampuan berkomunikasi lisan sering diartikan sebagai kemapuan

berbicara. Menurut Tarigan (dalam Darojah, 2011: 20) berbicara adalah

kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk

mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan

(47)

tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan

tujuan gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara

merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor

fisik, psikologis, semantik, dan linguistik sedemikian ekstensif secara luas

sehingga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi

kontrol sosial. Dengan demikian, berbicara itu lebih daripada sekedar hanya

pengucapan bunyi atau kata-kata.

Senada dengan Tarigan, Hurlock (dalam Darojah, 2011: 20) menyatakan

bahwa berbicara merupakan bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau

kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud. Berbicara

merupakan keterampilan mental-motorik yang melibatkan koordinasi otot

mekanisme suara yang berbeda dengan mekanisme mengkaitkan arti dengan

bunyi-bunyi yang dihasilkan.

Menurut Arsjad dan Mukti (dalam Darojah, 2011: 14), keterampilan berbicara

dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu eksternal dan internal. Faktor internal

adaalah segala potensi yang ada di dalam diri seseorang, baik fisik maupun

nonfisik. Faktor fisik menyangkut kesempurnaan organ-organ berbicara

seperti lidah, gigi, pita suara, bibir, dan lain-lain. Faktor-faktor nonfisik

meliputi kepribadian, cara berpikir, intelektualitas, dan sebagainya.

Untuk dapat menjadi pembicara yang baik, harus berbicara secara efektif dan

efisien selain menguasai masalah yang dibicarakan juga harus memperlihatkan

(48)

Arsjad dan Mukti (dalam Darojah, 2011: 26) terdapat dua faktor yang harus

diperhatikan pembicara agar dapat berbicara secara efektif dan efisien, yaitu

faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan.

1. Faktor-Faktor Kebahasaan

a. Ketepatan Ucapan

Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi

bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat

mengalihkan perhatian pendengar. Hal ini dikarenakan pola ucapan dan

artikulasi tidak selalu sama. Setiap orang memiliki gaya tersendiri dan

gaya yang dipakai bisa berubah-ubah sesuai dengan pokok

pembicaraan, perasaan, dan sasaran. Akan tetapi, kalau perbedaan atau

perubahan itu terlalu mencolok sehingga menjadi suatu penyimpangan,

keefektifan komunikasi akan terganggu. Pengucapan bunyi-bunyi

bahasa yang tidak tepat atau cacat akan menimbulkan kebosanan,

kurang menyenangkan, kurang menarik atau sedikitnya mengalihkan

perhatian pendengar. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa dianggap

menyimpang jika terlalu jauh dari ragam bahasa lisan, sehingga terlalu

menarik perhatian, mengganggu komunikasi, atau pemakaiannya

(pembicara) dianggap aneh. Selain itu, pembicara juga harus bisa

menempatkan penggunaan istilah, sisipan bahasa asing atau daerah

secara tepat dalam sebuah pembicaraan.

b. Penempatan Tekanan, Nada, Sendi, dan Durasi yang Sesuai

Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan durasi merupakan daya tarik

tersendiri dalam berbicara. Bahkan, bisa dikatakan sebagai faktor

(49)

kurang menarik tetapi dengan penempatan tekanan, nada, sendi, dan

durasi yang sesuai akan membuat pembicaraan menjadi menarik.

Sebaliknya, masalah yang menarik jika disampaikan dengan ekspresi

datar akan menimbulkan kejenuhan dan keefektifan berbicarapun

menjadi berkurang. Demikian juga halnya dalam pemberian tekanan

pada kata atau suku kata. Tekanan suara yang biasanya jatuh pada suku

kata terakhir atau suku kata kedua dari belakang tetapi ditempatkan

pada suku kata pertama. Misalnya kata penyanggah, pemberani, dan

kesempatan yang diberi tekanan pada pe-, pem-, dan ke- tentu

kedengarannya janggal. Jika hal ini terjadi, perhatian pendengar dapat

beralih sehingga pokok pembicaraan yang disampaikan kurang

diperhatikan.

c. Pilihan Kata (Diksi)

Pilihan kata yang digunakan oleh pembicara hendaknya jelas, tepat, dan

bervariasi. Maksudnya, pendengar sebagai sasaran mudah mengerti

maksud yang hendak disampaikan oleh pembicara. Sebaiknya

pembicara memilih menggunakan kata-kata yang populer dan konkret

dengan variasi dan perbendaharaan kata yang banyak sehingga tidak

monoton. Penggunaan kata-kata konkret yang menunjukkan aktivitas

akan lebih mudah dipahami oleh pendengar. Selain itu, pemilihan

kata-kata yang populer (diketahui secara luas) di masyarakat akan

mendukung keberhasilan mencapai tujuan pembicaraan. Sasaran

pembicaraan adalah orang yang diajak berbicara atau pendengar.

Pendengar akan lebih tertarik jika pembicara berbicara dengan jelas

(50)

yang disesuaikan dengan pokok pembicaraan merupakan kunci

keberhasilan pembicaraan.

d. Ketepatan Sasaran Pembicaraan

Ketepatan sasaran pembicaraan berkaitan dengan penggunaan kalimat

yang efektif dalam komunikasi. Ciri kalimat efektif ada empat, yaitu

keutuhan, perpautan, pemusatan perhatian, dan kehematan. Keutuhan

maksudnya setiap kata betul-betul merupakan bagian yang padu dari

kalimat. Keutuhan kalimat akan rusak karena ketiadaan subjek atau

adanya kerancuan. Perpautan memiliki makna bahwa pertalian

unsur-unsur kalimat saling terkait dalam satu pokok bahasan dan saling

mendukung sehingga tidak berdiri sendiri. Pemusatan perhatian dalam

hal ini memiliki arti pembicaraan memiliki topik yang jelas dan tidak

melebar kemana-mana. Fungsi kehematan memiliki arti bahwa kalimat

yang digunakan singkat dan padat tetapi sudah mewakili atau mencakup

topik yang dibicarakan sehingga tidak ada kata-kata yang mubazir.

Sebagai sarana komunikasi, setiap kalimat terlibat dalam proses

penyampaian dan penerimaan. Hal yang disampaikan dan diterima

tersebut dapat berupa ide, gagasan, pengertian, atau informasi. Kalimat

dikatakan efektif bila mampu membuat proses penyampaian dan

penerimaan berlangsung sempurna. Kalimat efektif mampu membuat isi

atau maksud yang disampaikan tergambar lengkap dalam pikiran

pendengar sama seperti yang disampaikan pembicara.

2. Faktor-Faktor Nonkebahasaan

Keefektifan berbicara tidak hanya didukung oleh faktor kebahasaan seperti

(51)

nonkebahasaan. Dalam sebuah pembicaraan, faktor nonkebahasaan ini

sangat mempengaruhi keefektifan dalam berbicara.

a. Sikap Wajar, Tenang, dan Tidak Kaku

Seorang pembicara yang baik ketika berbicara di depan umum

seharusnya memiliki kemampuan yang baik dalam mengatur koordinasi

tubuhnya. Hal ini dimaksudkan agar sikap tubuh tersebut mampu

mendukung keberhasilan pembicaraan. Sikap tubuh yang ditunjukkan

tersebut antara lain wajar, yaitu dengan tidak bersikap berlebihan

seperti terlalu banyak berkedip dan menggunakan gerakan tangan yang

tidak penting. Dari sikap yang wajar saja sebenarnya pembicara sudah

dapat menunjukkan otoritas dan integritas dirinya. Tentu saja sikap ini

sangat ditentukan oleh situasi, tempat, dan penguasaan materi.

Penguasaan materi yang baik setidaknya akan menghilangkan

kegugupan. Namun, bagaimanapun sikap ini memerlukan latihan agar

terbiasa, sehingga rasa gugup akan hilang dan timbul sikap tenang dan

wajar. Sikap tenang ditunjukkan dengan tidak terlihat grogi atau

gelisah, tidak terlihat takut, tidak sering berpindah posisi dan

sebagainya. Sikap yang fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan

situasi pembicaraan akan mendukung keberhasilan pembicara dalam

menyampaikan ide-idenya.

b. Pandangan Harus Diarahkan Kepada Lawan Bicara

Ketika berbicara di depan umum hendaknya seorang pembicara

mengarahkan pandangannya kepada lawan bicara. Hal ini dimaksudkan

sebagai bagian dari bentuk penghormatan kepada lawan bicara. Selain

(52)

pembicaraan yang disampaikannya, sehingga pembicara dapat

memposisikan diri agar dapat menguasai situasi dengan baik.

Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah, akan menyebabkan

pendengar merasa kurang diperhatikan. Agar perhatian pendengar tidak

berkurang, hendaknya seorang pembicara mengusahakan pendengar

merasa terlibat dan diperhatikan.

c. Kesediaan Menghargai Pendapat Orang Lain

Dalam menyampaikan isi pembicaraan, seorang pembicara hendaknya

memiliki sikap terbuka dalam arti dapat menerima pendapat pihak lain,

bersedia menerima kritik, dan bersedia mengubah pendapatnya jika

ternyata pendapat tersebut tidak benar. Namun, tidak berarti pembicara

begitu saja mengikuti pendapat orang lain dan mengubah pendiriannya,

tetapi harus mempertahankan pendapat tersebut jika argumen tersebut

benar-benar diyakini kebenarannya. Seorang pembicara yang baik

selalu berusaha menghargai pendapat orang lain. Maksudnya, ketika

berbicara tersebut seorang pembicara tidak menganggap bahwa

pendapatnya paling baik dan paling benar. Jika hal tersebut terjadi,

lawan bicara yang berbeda pendapat semakin tidak dapat menerima

gagasan pembicara. Oleh karena itu, agar diperhatikan lawan bicaranya,

seorang pembicara harus memiliki sikap mengapresiasi pendapat dan

pola pikir lawan bicaranya.

d. Gerak-Gerik dan Mimik yang Tepat

Gerak-gerik dan mimik yang tepat juga mendukung keberhasilan tujuan

pembicaraan seorang pembicara. Hal-hal yang penting selain mendapat

(53)

dapat menghidupkan komunikasi agar tidak kaku. Dalam hal ini

gerak-gerik pembicara dan mimik yang tepat dapat ditunjukkan untuk

mendukung pembicaraan. Sebagai contohnya, ketika sedang

membicarakan kebahagiaan maka ekspresi wajah dan gerak tubuh juga

harus menunjukkan mimik kegembiraan. Hal ini berbeda ketika sedang

mengungkapkan ekspresi kepanikan maka harus didukung dengan

mimik muka yang bingung, takut, gugup, dan sebagainya.

e. Kenyaringan Suara

Kenyaringan suara berkaitan dengan situasi tempat, jumlah pendengar,

dan akustik. Situasi tempat berhubungan dengan tempat melakukan

pembicaraan, apakah di dalam ruang tertutup atau di ruang terbuka.

Jumlah pendengar juga mempengaruhi pembicara dalam mengatur

volume suaranya. Semakin banyak jumlah pendengar, semakin keras

volume suara pembicara agar mampu mengatasi situasi. Berbeda halnya

jika jumlah pendengarnya hanya sedikit, pembicara tidak perlu

menggunakan volume suara yang keras atau bahkan sampai berteriak.

Akustik yang dimaksud adalah apakah ada musik yang mengiringi

pembicaraan tersebut. Jika ada, seorang pembicara harus

menyeimbangkan suaranya dengan suara musik agar pendengar tetap

mampu menangkap isi pembicaraan dengan baik.

f. Kelancaran

Kelancaran yang dimaksud adalah penggunaan kalimat lisan yang tidak

terlalu cepat dalam pengucapan, tidak terputus-putus, dan jarak antar

kata tetap atau ajek. Kelancaran juga didukung oleh kemampuan olah

(54)

sebagainya. Sebaliknya, pembicara yang terlalu cepat juga akan

menyulitkan pendengar menangkap pokok pembicaraan. Jadi, hal yang

menjadi titik pokok kelancaran adalah penggunaan kalimat yang ajek,

tidak terlalu cepat, dan tidak terputus-putus sehingga pembicaraan lebih

efektif.

g. Relevansi/Penalaran

Dalam sebuah pembicaraan seharusnya antar bagian dalam kalimat

memiliki hubungan yang saling mendukung dan tidak bisa dipisahkan.

Gagasan demi gagasan haruslah berhubungan dengan runtut. Proses

berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan harus logis dan relevan.

Relevansi atau penalaran berkaitan dengan tepat tidaknya isi

pembicaraan dengan topik yang sedang dibicarakan. Selain itu,

relevansi juga berkaitan dengan apakah penggunaan kalimat-kalimat

tersebut saling mendukung dalam konteks pembicaraan atau tidak.

h. Penguasaan Topik

Penguasaan topik dalam sebuah pembicaraan memiliki arti yang

penting. Hal ini dikarenakan seseorang yang menguasai topik dengan

baik akan lebih mudah dalam meyakinkan pendengar. Misalnya, dalam

hal menanamkan suatu ilmu, mempengaruhi, menyampaikan pendapat,

dan menyampaikan sikap hidup kepada audiens akan berlangsung lebih

efektif dan efisien. Jika seorang pembicara menguasai topik yang

dibicarakannya dengan baik, pendengarpun akan lebih percaya dan

apresiatif terhadap apa yang diungkapkan tersebut. Oleh karena itu,

penguasaan topik yang baik akan menumbuhkan keberanian dan

(55)

Menurut Tarigan (dalam Darojah, 2011: 24) tujuan berbicara ada tiga, yaitu

(1) memberitahukan, melaporkan (to inform), (2) menjamu, menghibur (to entertain), dan (3) membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan (to

persuade). Singkatnya, semua orang dalam setiap kegiatan yang

menggunakan komunikasi sebagai sarananya perlu memiliki keterampilan

berbicara. Terlebih lagi seorang pelajar dan pengajar dalam dunia pendidikan

selalu membutuhkan komunikasi yang baik agar proses belajar mengajar bisa

berjalan dengan lancar.

Dalam suatu kelompok belajar, setiap siswa harus mampu bekerja sama

dengan baik untuk mencapai tujuan bersama. Sementara itu, menurut Jhonson

(dalam Tran, 2012 : 2) terdapat beberapa hal yang harus dilakukan untuk

mencapai tujuan bersama tersebut, yaitu saling memahami dan percaya satu

sama lain, berkomunikasi secara akurat dan tidak membingungkan, menerima

dan mendukung satu sama lain, menyelesaikan permasalahan secara

konstruktif.

Komunikasi kelompok kecil diartikan sebagai “proses pertukaran pesan

verbal dan nonverbal antara tiga orang atau lebih anggota kelompok yang

bertujuan untuk saling mempengaruhi”. Komunikasi kelompok kecil dapat

terjadi antara lain di masjid, gereja, dalam lingkungan sosial, dalam bidang

pendidikan dan lain-lain. Dinamika kelompok adalah bidang penelitian yang

menarik untuk dikaji, yang cenderung diarahkan pada komunikasi kelompok

kecil yang berkecimpung dalam pemecahan masalh dan pembuatan

(56)

dilakukan sebagai cara untuk mnyempurnakan pekerjaan yang dapat

diselesaikan dalam kelompok (Tubbs dan Moss. 2001 : 17).

Mereka yang berbicara paling banyak dalam suatu diskusi kelompok kecil

menurut Bostrom (dalam Tubbs dan Moss. 2001: 159-165), akan merasa puas

terhadap diskusi itu dan mereka yang berpartisipasi paling sedikit merasa

paling tidak puas. Jelas bahwa secara umum, berbicara lebih menyenangkan

daripada mendengakan orang lain berbicara. Hal ini disebabkan beberapa

faktor, meliputi memperoleh pengakuan sosial, mengemukakan topik yang

sesuai dengan minat anda dan menarik perhatian orang lain untuk diri anda.

Mendengarkan sesungguhnya suatu proses yang rumit yang melibatkan empat

unsur: (1) mendengar, (2) memperhartikan, (3) memahami dan (4) mengingat.

Mendengar merupakan proses fisiologis otomatik penerimaan rangsangan

pendengaran. Memperhatikan rangsangan dilingkungan kita berarti

memusatkan kesadaran kita pada rangsangan khusus. Memahami biasnya

diartikan sebagai proses pemberian makna pada kata yang kita dengar , sesuai

dengan makna yang dimaksudkan oleh si pengirim pesan. Mengingat adalah

menyimpan informasi untuk diperoleh kembali.

Salah satu syarat untuk berkembangnya kemampuan interaksi antara satu

individu dengan individu lainnya adalah berkembangnya kemampuan

komunikasi . Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan

kemampuan tersebut antara lain adalah memberikan kesempatan kepada

siswa untuk menjelaskan dan berargumentasi secara lisan atau tulisan,

mengajukan atau menjawab pertanyaan, dan berdiskusi baik dalam kelompok

(57)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014 di SMP Negeri 3 Natar

Lampung Selatan.

B. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII semester genap

SMP Negeri 3 Natar Tahun Pelajaran 2013/2014 yang terdiri dari 7 kelas.

Sampel dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas VII B (sebagai

kelompok eksperimen) dan kelas VII A (sebagai kelompok kontrol) yang

dipilih dengan teknik purposive sampling (Sugiyono, 2009:83-84).

C. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain pretes – postes

kelompok tak ekuivalen (Sukardi, 2007: 186). Peneliti menggunakan secara

utuh kelompok subyek yang telah ditentukan dan kelompok tersebut telah

diorganisasikan dalam kelompok yaitu kelas-kelas. Kelas eksperimen diberi

perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw,

sedangkan kelas kontrol menggunakan metode diskusi. Hasil pretes, postes,

Gambar

Gambar 1. Hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat
Tabel 1. Sintaks/fase-fase pembelajaran kooperatif
Gambar 2.  Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli Arrends dalam Ainy (2000:15)
Gambar 3.        Desain pretest – posttest  kelompok tak ekuivalen (dimodifikasi dari Sukardi (2007: 186)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Sudjana dan Rivai (1990) mengemukakan bahwa guru atau pendidik tetap harus mendampingi siswa selama kegiatan belajar dan berkewajiban memberikan bantuan kepada

Peneliti menyapa siswa dan dilanjutkan dengan memeriksa kelengkapan buku siswa serta mengingatkan siswa akan materi yang telah dipelajari pada pertemuan sebelumnya

Pada paper ini, sesuai dengan judul kami akan membahas proses pengolahan kacang merah menjadi tepung dan apa saja yang terjadi pada vitamin B1 atau thiamin

up litologi batupasir dengan struktur sedimen perlapisan.. 68 Gambar 4.26 Kenampakan sayatan tipis batupasir ... 69 Gambar 4.27 A) Singkapan batupasir dari Satuan batupasir

ANALISIS KEWENANGAN PEMUSNAHAN BARANG SITAAN NARKOTIKA YANG MASIH DIGUNAKAN SEBAGAI BARANG BUKTI DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG

Universitas Kristen Maranatha

Setelah melalui proses pengumpulan data, diskusi ahli dan penelitian terhadap pelaksanaan Standar Perencanaan Irigasi terdahulu serta hasil perencanaan yang telah

Adapun relevansi gagasan-gagasan tadi untuk zaman sekarang sudah jelas bagi siapa pun juga. Sudah selayaknya pula kami kemudian masih kembali untuk menguraikan