• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Rantai Pasok Kubis Di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Rantai Pasok Kubis Di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RANTAI PASOK KUBIS DI KABUPATEN

SIMALUNGUN, SUMATERA UTARA

YONA OCTAVA PURBA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Rantai Pasok Kubis di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

YONA OCTAVA PURBA. Analisis Rantai Pasok Kubis di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh SUHARNO dan NETTI TINAPRILLA.

Sayuran Indonesia diharapkan dapat bersaing di pasar ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Volume produksi kubis di Indonesia menempati peringkat pertama mulai tahun 2009 sampai 2013 dibanding dengan sayuran lainnya. Perkembangan volume ekspor kubis dari provinsi Sumatera Utara mengalami peningkatan selama delapan tahun berturut-turut mulai tahun 2005 sampai 2012.

Komoditas kubis dari Kabupaten Simalungun merupakan salah satu produk sayuran yang digemari oleh pasar domestik dan importir dari Singapura. Volume produksi kubis yang tinggi diharapkan mampu memenuhi permintaan tersebut, tetapi permintaan tersebut tidak didukung oleh keberadaan pedagang pengumpul dan eksportir. Keberadaan pedagang pengumpul dan eksportir sangat dipengaruhi oleh sinyal harga kubis. Demikian pula ketidakpastian ketersedian kubis dipengaruhi oleh pola tanam kubis yang dilakukan petani masih tergolong sesuai keinginan petani. Hal ini mempengaruhi ketidakpastian harga sehingga menyebabkan fluktuasi harga di pasar dan di tingkat petani. Untuk memahami situasi tersebut perlu menganalisis kondisi rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun dengan menggunakan kerangka Food Supply Chain Network (FSCN) dan menganalisis kinerja rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun dengan menggunakan analisis marjin pemasaran, analisis farmer’s share.

Hasil analisis dengan menggunakan kerangka Food Supply Chain Network (FSCN) dapat disimpulkan kondisi rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun belum berjalan dengan baik. Pengintegrasian kualitas dan pengoptimuman rantai pasok belum menjadi sasaran setiap pelaku yang terkait dalam rantai pasok kubis. Hasil penelusuran produk kubis menggunakan product traceability tools sebagai indikator food quality menunjukkan bahwa lembaga yang terkait dalam rantai pasok kubis belum dapat menjamin kualitas dan keamanan kubis. Kinerja rantai pasok Kubis di Kabupaten Simalungun dari sisi sistem pemasaran tergolong efisien.

Rekomendasi yang bisa disarankan dari penelitian ini yaitu perlu adanya lembaga khusus yang mengelola rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun. Saran terhadap kebijakan manajerial yaitu sebaiknya setiap pelaku yang terlibat dalam rantai pasok kubis memiliki kesepakatan kontrak atau perjanjian tertulis yang jelas terkait harga, kuantitas, dan kualitas kubis. Pemerintah sebaiknya meningkatkan penyebaran informasi terkait persiapan agribisnis Indonesia agar dapat bersaing di pasar internasional menghadapi ASEAN Economic Community. Kata kunci: kubis, Food Supply Chain Network, Food Quality, analisis rantai

(5)

SUMMARY

YONA OCTAVA PURBA. Supply Chain Analysis of Cabbage in Simalungun District, North Sumatera. Supervised by SUHARNO and NETTI TINAPRILLA.

The Indonesian vegetables was expected to compete in the market of ASEAN Economic Community (AEC) in 2015. Cabbage is one of the superior commodities in Indonesia. Cabbage production ranked first from 2009 to 2013 compared to other vegetables. The growth of the cabbage export volume of the province of North Sumatra has increased for eight consecutive years from 2005 to 2012.

Cabbage from Simalungun is one of vegetable products favored by the domestic market and importerof Singapore. High production volume of cabbage are expected to fulfill the demand,but the demand was not supported by the presence of traders and exporters. The existence of traders and exporters strongly in fluenced by the price signals of cabbage. Similarly,the uncertainty of the availability of cabbage is affected by the cropping pattern of cabbage, that is still classified as desired by farmers. These affect of the price uncertainty of cabbage, causing fluctuations in the market price and at the farm level. To understand the

situation, it‟s important to analyse the condition of the supply chain cabbage in

Simalungun using the framework of the Food Supply Chain Network (FSCN) and to analyze the performance of supply chain cabbage in Simalungun using marketing margin analysis and analysis of farmer's share.

From the analysis using the framework of the Food Supply Chain Network (FSCN) it can be concluded that the conditions of cabbage supply chain in Simalungun is still not going well. Integrating quality and supply chain optimisation are still not the main target of any relevant actors in the cabbage supply chain. The tracking result of cabbage using product traceability tools as a food quality indicator showed that the relevant actors in the cabbage supply chain can not ensure the quality and safety of cabbage. The performance of cabbage supply chain in Simalungun of the marketing system is relatively efficient.

Recommendation could be advised from this research is the need for a special institution that manages the cabbage supply chain in Simalungun. This research suggests the managerial policy that every actor involved in the cabbage supply chain must have a clear written contract or agreement related to the price, quantity, and quality of their cabbage. The government should improve the dissemination of information related to the preparation of Indonesian agribusiness so that can compete in international markets facing the ASEAN Economic Community.

(6)

© hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

ANALISIS RANTAI PASOK KUBIS DI KABUPATEN

SIMALUNGUN, SUMATERA UTARA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Rantai Pasok Kubis di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara

a na : Y ona Octava Purba

M : H351120051

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir M.Adev

Ketua

Ketua Program Studi Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Tanggal Ujian: 31 Agustus 2015

Diketahui oleh

Dr Ir Netti Tin rilla M

Anggota

D�kan Sekolah Pascasarjana

Tanggal Lulus:

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Analisis Rantai Pasok Kubis di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Suharno, M. Adev selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Netti Trinaprilla, MM selaku Anggota Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran sehingga penulis menyelesaikan penelitian dan tesis ini. Terimakasih kepada Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis, Dr Ir Suharno M, Adev selaku Sekretaris Program Studi Magister Sains Agribisnis dan seluruh staf Program Studi Magister Sains Agribisnis untuk bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan Beasiswa Unggulan (BU) selama dua tahun sehingga penulis dapat melanjutkan sekolah di Program Studi Magister Sains Agribisnis.

Karya ini penulis persembahkan kepada orangtua yaitu Hiskia Purba dan Mintarina Sipayung serta kepada saudara dan sahabat. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada seluruh pihak dari Dinas Pertanian Kabupaten Simalungun, Ketua Kelompok Tani Cempaka dan seluruh pihak yang terkait yang telah memberikan informasi yang bermanfaat dalam penyelesaian tesis.

Semoga tesis ini bermanfaat.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Rantai Pasok 5

Food Supply Chain Network (FSCN) 6

Pengukuran Kinerja Rantai Pasok 8

3 KERANGKA PEMIKIRAN 10

Kerangka Pemikiran Teoritis 10

Kerangka Pemikiran Operasional 18

4 METODOLOGI PENELITIAN 19

Lokasi dan Waktu Penelitian 19

Jenis dan Sumber Data 19

Metode Pengambilan Data 20

Metode Analisis 20

5 PEMBAHASAN 23

Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Simalungun 23

Gambaran Rantai Pasok Kubis di Kabupaten Simalungun 32

Analisis Kinerja Rantai Pasok Kubis 44

6 SIMPULAN DAN SARAN 47

Simpulan 47

Saran 47

DAFTAR PUSTAKA 48

LAMPIRAN 51

(14)

DAFTAR TABEL

1 Produksi kubis menurut provinsi (Ton) tahun 2009-2012 2

2 Proses bisnis 16

3 Komponen manajemen 16

4 Perbandingan umur petani sayuran kubis di Kabupaten Simalungun 25

5 Perbandingan Pengalaman Usahatani Kubis 26

6 Perbandingan tingkat pendidikan petani kubis 26

7 Perbandingan luas lahan kubis 26

8 Perbandingan luas lahan kubis 27

9 Keterangan nomor registrasi 34

10 Fungsi-fungsi pemasaran pada lembaga pemasaran kubis 40 11 Marjin pemasaran saluran pemasaran kubis di Kabupaten

Simalungun 45

12 Farmer’s Share saluran pemasaran di Kabupaten Simalungun 46

DAFTAR GAMBAR

1 Volume produksi sayuran unggulan di Indonesia tahun 2008-2013 1 2 Volume ekspor dan impor kubis di Provinsi Sumatera Utara tahun 2 3 Produksi kubis per kabupaten di Propinsi Sumatera Utara tahun 3 4 Harga kubis di tingkat petani dan pasar pada bulan 4

5 Diagram skema rantai pasok 7

6 Representasi dari defenisi marjin pemasaran, 12

7 Kerangka Food Supply Chain Network 15

8 Kerangka Pemikiran Operasional 18

9 Spesifikasi kubis permintaan ekspor dan domestik 32

10 Budidaya kubis 37

11 Kegiatan Pascapanen 38

12 Saluran pemasaran kubis di Kabupaten Simalungun 41

DAFTAR LAMPIRAN

1 Produktivitas sayuran di Indonesia tahun 2009-2013 51 2 Luas lahan Kabupaten Simalungun tahun 2007-2011 52 3 Luas panen tanaman sayuran menurut kecamatan dan jenis sayuran

di Kabupaten Simalungun tahun 2012 (Ha) 53

4 Jumlah produksi tanaman sayuran menurut kecamatan dan jenis sayuran di Kabupaten Simalungun tahun 2012 (Ton) 54 5 Volume panen kubis di Kabupaten Simalungun tahun 2013 55 6 Harga komoditas unggulan di tingkat petani Kabupaten Simalungun 56 7 Harga komoditas unggulan di pasar Kabupaten Simalungun 57 8 Analisis R/C ratio usahatani kubis di Kabupaten Simalungun 58 9 Surat keterangan registrasi komoditas kubis pada Kelompok Tani

(15)

10 Sertifikat kubis aman konsumsi pada Kelompok Tani Cempaka di

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

ASEAN sedang menjalani proses pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) sebagai perwujudan ide kesatuan ekonomi kawasan dalam era keterbukaan perdagangan global. Sesuai jadwal yang disepakati AEC pada tahun 2015 akan menjadi pasar tunggal dan basis produksi. Produk pertanian ASEAN diharapkan siap bersaing di pasar global ASEAN dan menawarkan produk aman konsumsi, sehat dan berkualitas (Kementerian Perdagangan 2011).

Posisi hasil pertanian Indonesia di pasar ASEAN bisa dilihat dari kondisi ekspor sayuran Indonesia di Singapura. Singapura tidak merupakan negara pertanian sehingga hampir 95 persen sayurannya diimpor dari negara lain (Chin 2005). Pasar Singapura disebutkan sebagai contoh nyata tentang keberadaan pasar eksportasi bagi hasil pertanian Indonesia. Pada tahun 2009, besar pasokan buah-buahan dan sayuran segar Singapura berasal dari Cina dan Malaysia, sementara kontribusi produk buah-buahan dan sayuran Indonesia hanya sebesar 6% dari 350.000 ton per tahun jumlah permintaan buah-buahan dan sayuran segar Singapura (Perdana dan Kusnandar 2012). Demikian pula pada Tahun 2010 Singapura mengimpor 450.000 ton sayuran dari dunia dan dari angka tersebut Indonesia hanya mampu memenuhi 4 persen saja (Kementan 2012). Kontribusi Indonesia yang rendah terhadap tingginya permintaan Singapura tidak sesuai dengan potensi agronomis sayuran Indonesia yang besar. Hal ini mengindikasikan adanya masalah sistem agribisnis sayuran di Indonesia meskipun belum teridentifikasi. Identifikasi masalah agribisnis dapat dimulai dengan melihat rantai pasok sayuran di Indonesia.

Volume produksi kubis menempati peringkat pertama dari tahun 2009 sampai 2013 dibanding dengan sayuran lainnya (Gambar 1). Perkembangan volume produksi kubis mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga 2010. Pada tahun 2011 mengalami penurunan produksi sebesar 1.54 persen dibandingkan tahun 2010 akan tetapi volume produksi kubis mengalami peningkatan kembali pada periode tahun 2011 hingga 2013. Produktivitas kubis

Gambar 1 Volume produksi sayuran unggulan di Indonesia tahun 2008-2013

(18)

2

juga mengalami peningkatan pertumbuhan sebesar 0.59 persen dari tahun 2012 hingga 2013 (Lampiran 1).

Provinsi Sumatera Utara menempati peringkat ketiga sebagai salah satu sentra produksi kubis di Indonesia seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Kubis merupakan salah satu komoditas unggulan Sumatera Utara.

Perkembangan volume ekspor kubis di Sumatera Utara selama 8 tahun dari tahun 2005 hingga 2012 memiliki tren yang positif (Gambar 2). Volume ekspor kubis tahun 2012 sebesar 36 153 ton sedangkan volume impor terhadap kubis sangat kecil dan bahkan pada tahun 2010-2012 sama sekali tidak mengimpor kubis dari negara lain. Hal ini menunjukkan volume produksi kubis masih mampu memenuhi kebutuhan domestik dan mampu meningkatkan ekspor.

Kubis merupakan salah satu komoditas unggulan yang berprospek untuk dikembangkan di Sumatera Utara baik sebagai kebutuhan domestik maupun luar negeri. Negara tujuan ekspor kubis provinsi Sumatera Utara yaitu Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Malaysia dan Pakistan. Kajian rantai pasok menjadi sangat

Tabel 1 Produksi kubis menurut provinsi (Ton) tahun 2009-2012

No Provinsi Tahun Pertumbuhan/

Growth

2009 2010 2011 2012 2012 over 2011

(%)

1 Sumatera Utara 210 239 196 718 173 565 180 160 -9.84

2 Sumatera Barat 90 321 83 883 69 675 85 632 22.92

3 Bengkulu 47 866 76 772 73 865 69 065 -6.50

4 Jawa Barat 298 332 286 647 270 780 301 241 11.25

5 Jawa Tengah 348 616 383 686 384 685 370 599 -3.66

6 Jawa Timur 197 985 181 344 182 899 236 817 29.48

7 Bali 25 628 47 077 42 926 40 197 -6.36

Sumber: Direktorat Jenderal Holtikultura (2013)

Gambar 2 Volume ekspor dan impor kubis di Provinsi Sumatera Utara tahun 2005-2012

Sumber: Dinas Pertanian Sumatera Utara (2013)

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Ekspor 3147 28323 25975 30275 25039 24390 17614 36153

(19)

3

penting untuk mendukung pemasaran ekspor sayuran ke Singapura. Demikian pula singapura terletak secara geografis berdekatan dengan Indonesia (khususnya pulau Sumatera). Secara logis kedekatan fisik suatu negara dengan negara lainnya merupakan faktor penyumbang dalam perdagangan internasional. Dengan pemikiran ini kedekatan pulau Sumatera memberi peluang pasar permintaan Singapura terhadap buah-buahan dan sayuran.

Kabupaten Simalungun merupakan salah satu kabupaten yang memiliki volume produksi kubis paling tinggi dibanding dengan kabupaten sentra produksi kubis lainnya di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Simalungun berada pada tingkat pertama sebagai sentra produksi kubis dari tahun 2009-2012 dibanding dengan dua kabupaten sentra kubis lainnya di Sumatera Utara (Gambar 3).

Wilayah Kabupaten Simalungun 67 persen merupakan dataran tinggi. Demikian juga 65 persen penduduknya bermatapencaharian pada sektor pertanian (BPS 2013). Hal ini menjadi potensi Kabupaten Simalungun sebagai sentra produksi kubis.

Perumusan Masalah

Komoditas kubis dari Kabupaten Simalungun merupakan salah satu produk sayuran yang digemari oleh pasar domestik dan importir dari Singapura. Volume produksi kubis yang tinggi diharapkan mampu memenuhi permintaan tersebut, tetapi permintaan tersebut tidak didukung oleh keberadaan pedagang pengumpul dan eksportir. Keberadaan pedagang pengumpul dan eksportir sangat dipengaruhi oleh sinyal harga kubis. Demikian pula ketidakpastian ketersedian kubis dipengaruhi oleh pola tanam kubis yang dilakukan petani masih tergolong sesuai keinginan petani. Hal ini mempengaruhi ketidakpastian harga sehingga menyebabkan fluktuasi harga di pasar dan di tingkat petani (Gambar 4). Oleh karena itu diperlukan pemahaman dan informasi tentang rantai perdagangan yang terlibat, dari petani ke rantai perniagaan berikutnya.

Van der Vorst (2005) telah mendiskusikan sebuah kerangka untuk menggambarkan rantai pasok, pelaku yang terlibat, proses, produk, sumber daya dan manajemen, hubungan diantaranya dan ciri khas untuk memahami rantai

Gambar 3 Produksi kubis per kabupaten di Propinsi Sumatera Utara tahun 2008-2012

(20)

4

pasok yang kompleks. Gambaran rantai pasok kubis penting untuk dapat digambarkan sesuai dengan kerangka kerja Food Supply Chain Network (FSCN) yang terdiri dari empat elemen yang meliputi Struktur Jaringan (Network Structure), Proses Bisnis Rantai (Chain Business Processes), Manajemen Rantai (Chain Management) dan Sumber Daya Rantai (Chain Resources).

Setiap elemen tersebut secara langsung terkait dengan sasaran rantai (Chain objectives). Rantai pasok sayuran memiliki spesifikasi yang berbeda dengan rantai pasok lainnya. Contoh spesifikasi rantai pasok sayuran terdiri dari pelaku rantai yang terpisah, umur simpan produk yang singkat dan mudah rusak, produksi tergantung musim, kondisi keamanan produk yang sulit diukur, penanganan terhadap penyimpanan dan transportasi, kondisi alam mempegaruhi kuantitas dan kualitas produk-produk pertanian (Van der Vorst 2000; Van der Spiegel 2004). Aramyan et al. (2006) berpendapat spesifikasi tersebut mempengaruhi permintaan konsumen terhadap kesegaran dan kualitas produk. Hal tersebut menjadi alasan Aramyan et al. (2007) dan Hotegni et al. (2014) menambahkan indikator food quality sebagai bagian dari sasaran rantai pasok sayuran untuk mengetahui kualitas produk. Oleh karena itu perlu mengidentifikasi sejauh mana kubis di Kabupaten Simalungun aman konsumsi dan berkualitas.

Kinerja rantai pasok kubis perlu diukur untuk mengetahui sejauh mana upaya yang dilakukan untuk memperbaiki permasalahan. Efisiensi pemasaran bagian dari indikator pengukuran kinerja rantai pasok dalam menentukan sistem pemasaran yang lebih efisien.

Berdasarkan uraian di atas, maka timbul pertanyaan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan kerangka Food Supply Chain Network (FSCN)?

Gambar 4 Harga kubis di tingkat petani dan pasar pada bulan Maret-November tahun 2013

Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Simalungun (2013) 0

500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

H

a

rga

(R

p)

(21)

5 2. Bagaimana kinerja rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun Provinsi

Sumatera Utara?

Tujuan Penelitian

1. Menggambarkan rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara.

2. Menganalisis kinerja rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berharga serta dapat menjadi literatur bagi penelitian selanjutnya. Adapun manfaat bagi berbagai pihak, diantaranya :

1. Bagi Peneliti ; sebagai sarana dalam peningkatan kompetensi diri. baik pengetahuan maupun keterampilan dalam menganalisis potensi serta permasalahan yang terjadi di dalam agribisnis sayuran dan rantai pasok sayuran khususnya komoditi kubis.

2. Bagi Pelaku Agribisnis; hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi masukan ataupun saran yang berharga demi perbaikan dalam sisi rantai pasok sayuran.

3. Bagi Institusi ; sebagai literatur dan informasi mengenai analisis kinerja rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara.

Ruang Lingkup Penelitian

1. Penelitian ini dibatasi di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari tiga kecamatan sentra sayuran kubis.

2. Penelitian ini mengkaji gambaran rantai pasok kubis, dan analisis kinerja rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan indikator efisiensi pemasaran.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Rantai Pasok

(22)

6

mungkin terhadap rantai pasok secara keseluruhan yang pada saat bersamaan memenuhi berbagai persyaratan dari pelaku lain dalam rantai pasok (Van der Vost 2000). Demikian pula Woods et al. (2002) menggolongkan proses bisnis dalam manajemen rantai pasok terdiri dari kegiatan produksi, distribusi dan proses pemasaran yang menghasilkan produk sesuai keinginan konsumen. Kondisi rantai pasok yang terjadi pada negara berkembang yaitu aliran informasi yang buruk, biaya transaksi yang tidak transparan dan melibatkan banyak pelaku dalam menyampaikan produk dari produksi hingga sampai kepada konsumen sehingga dibutuhkan praktek manajemen rantai pasok yang tepat (Woods 2004).

Jan van Roekel et al. (2002) menganggap keuntungan adanya manajemen rantai pasok yaitu meningkatkan penjualan, mengurangi biaya transaksi, mengawasi kualitas dan keamanan produk, penggunaan sumber daya (modal, manusia, teknologi) yang tepat. Pelaksanaan dan pengimplementasian manajemen rantai pasok digunakan untuk menjamin pengotimalan kinerja rantai.

Food Supply Chain Network (FSCN)

Menurut Simatupang dalam Krisnamurthi et al. (2010) konsep manajemen sistem agribisnis sama dengan konsep manajemen rantai pasok dan perbedaan hanya berada pada manajemen sistem agribisnis yang hanya berlaku khusus untuk komoditas yang berkaitan pertanian sedangkan manajemen rantai pasok berlaku umum. Sub sistem sarana produksi (hulu), sub sistem usahatani, sub sistem pengolahan dan pemasaran (hilir) serta sub sistem penunjang merupakan elemen sistem agribisnis kubis yang saling terkait. Oleh karena itu contohnya kinerja usahatani dipengaruhi oleh relasi sinergis dari subsistem agribisnis lainnya begitu juga sebaliknya.

Manajemen rantai pasok produk pertanian mewakili manajemen keseluruhan proses produksi dari kegiatan pengolahan distribusi, pemasaran, hingga produk yang diinginkan sampai ke tangan konsumen (Marimin dan Maghfiroh 2010). Manajemen rantai pasok pertanian memiliki cara penanganan yang berbeda (kompleks, probalistik, dan dinamis) dibanding dengan manajemen rantai pasok non pertanian. Perbedaan terdapat pada karakteristik produk pertanian yang perishable (mudah rusak) dan ukuran produk yang bervariasi (tidak seragam), proses produksi yang tergantung pada musim dan iklim, serta perubahan perilaku konsumen terhadap keamanan pangan. Begitu pula Asmarantaka (2012) menambahkan karateristik produk pertanian secara luas adalah mudah rusak, volume besar, dan mengambil ruang besar (perishable,voluminous, dan bulky). Beberapa peneliti (Van der Vorst 2000; Van der Spiegel 2004) menyimpulkan beberapa karakteristik rantai pasok pertanian secara khusus yaitu: umur simpan produk yang singkat; produk yang mudah rusak dan busuk; waktu produksi yang panjang; produksi tergantung musim; panen raya dan Paceklik; penangangan terhadap penyimpanan; kualitas dan kuantitas produksi dipengaruhi oleh musim, cuaca, hama dan penyakit tanaman; dan permintaan konsumen terhadap keamanan pangan.

(23)

7 umumnya. Oleh karena itu rantai pasok pangan memiliki sistem pengukuran rantai pasok yang disesuaikan dengan karakeristiknya.

Pelaku dan aktivitas agribisnis kubis sangat kompleks dimana memiliki beberapa rantai pasok yang terdiri dari beragam pelaku yang terlibat (petani, pedagang bibit, pedagang pengumpul, pedagang besar, pengecer, perusahaan eksportir dan importir dan konsumen) pada saat bersamaan dan waktu yang berbeda. Hal ini sesuai dengan diagram skema rantai pasok Van der Vorst (2006) pada Gambar 5.

Penjelasan dari diagram skema rantai pasok yang ditunjukkan pada Gambar 4 yaitu setiap pelaku berada pada lapisan jaringan yang memiliki paling sedikit satu rantai pasok. Dari setiap rantai pasok biasanya memiliki pemasok dan konsumen pada saat yang bersamaan dan waktu yang berbeda. Pelaku lainnya pada jaringan mempengaruhi kinerja dari rantai pasok. Setiap pelaku bisa saja melakukan aturan yang berbeda pada rantai yang berbeda dan bekerjasama dengan rantai berbeda yang kemungkinan menjadi pesaingnya pada rantai lain. Oleh karena itu analisis rantai pasok yang dievaluasi dalam konteks jaringan yang kompleks pada rantai pasok pangan, dinamakan Food Supply Chain Network (FSCN). Singkatnya, pelaku rantai kemungkinan terlibat pada rantai pasok yang berbeda pada FSCN yang berbeda dan berpartisipasi pada proses bisnis yang beranekaragam yang dapat berubah setiap waktu dan memiliki hubungan vertikal dan horizontal yang dinamis.

Van der Vost (2006) dan para peneliti telah mendiskusikan sebuah kerangka untuk menggambarkan rantai pasok, pelaku yang terlibat, proses, produk, sumber daya dan manajemen, hubungan, dan ciri khas untuk memahami rantai pasok yang kompleks yang disebut kerangka FSCN. Awal pembahasan dalam kerangka FSCN yaitu sasaran rantai (chain objectives) dengan mengidentifikasi karakteristik spesifik dari rantai pasok, pengintegrasian kualitas dan pengoptimalan rantai. Aramyan (2007) menganggap Food quality sebagai indikator yang penting sebagai sasaran rantai pasok sayuran. Food quality dibagi menjadi product quality dan process quality. Product quality terdiri dari keamanan pangan, umur simpan, kandungan pangan, dan tampilan produk.

Gambar 5 Diagram skema rantai pasok

(24)

8

Pangan yang sehat dan aman yaitu aman untuk dikonsumsi dan bermutu. Process quality berhubungan dengan penggunaan pestisida serta pengaruh terhadap lingkungan (Luning et al. 2002 dalam Aramyan 2007).

Selanjutnya dimulai dengan membahas struktur rantai (network structure) untuk menjawab pertanyaan siapa anggota dalam FSCN dan perannya dan apa saja aturannya. Demikian pula proses bisnis rantai (chain business processes) untuk menjawab pertanyaan yaitu siapa pelaku yang terlibat dalam proses FSCN dan bagaimana tingkat integrasi proses. Sedangkan manajemen rantai (chain management) menekankan manajemen diantara setiap proses, kontrak yang terjalin dan sejauh mana dukungan pemerintah. Sumber daya rantai (chain resources) yaitu sumber daya yang digunakan dalam setiap proses. Penjelasan Kerangka FSCN secara deskriptif tidak cukup untuk menjelaskan kondisi rantai pasok. Oleh karena itu pengukuran kinerja rantai pasok (chain performance) penting untuk melihat sejauh mana efisiensi dan efektifitas rantai pasok.

Empat keputusan dalam kerangka FSCN tersebut yaitu: 1) struktur jaringan; 2) proses bisnis rantai; 3) manajemen rantai; 4) sumber daya rantai. Menurut Van der Vost et al. (2005) Empat keputusan tersebut di adaptasi dari Lambert dan Cooper et al. Tiga keputusan utama dari manajemen rantai pasok menurut Lambert dan Cooper et al (2000) yaitu: 1) Struktur Jaringan Rantai Pasok (Pelaku penting yang terlibat dalam rantai pasok) ; 2) Proses Bisnis Rantai Pasok (Proses bisnis yang terjalin antar pelaku rantai pasok); 3) Komponen Manajemen Rantai Pasok (Manajemen yang harus dilaksanakan antar proses yang saling terkait).

Pengukuran Kinerja Rantai Pasok

Pengukuran kinerja rantai pasok (Performance Measurement in Supply Chain) digunakan perusahaan untuk menilai keberhasilan rantai pasok. Pengukuran kinerja rantai pasok digambarkan sebagai sebuah parameter dalam mengukur efisiensi rantai pasok (Thoo 2010). Menurut Rosenau et al. (1996) dalam Aramyan et al. (2007) Performance Measurement System (PMS) merupakan rangkaian pendekatan yang diaplikasikan dalam mengukur keefektifan dan efisiensi tindakan dalam rantai pasok (Nelly et al. 1995; Shepherd dan Gunter 2006 dalam Thoo 2010). PMS sebagai suatu sistem yang memungkinkan perusahaan untuk mengawasi indikator kinerja rantai pasok. Menurut Van der Vost (2000) indikator kinerja adalah ukuran untuk mengevaluasi kinerja produk. pelayanan dan proses produksi sesuai dengan tujuan usaha. Pengukuran terhadap kinerja rantai pasok pangan (Agri-food Supply Chain Performance) semakin berkembang sesuai karateristik. Secara umum rantai pasok pangan dibedakan menjadi dua macam karakteristik: 1) rantai pasok produk segar seperti bunga, sayur-sayuran dan buah-buahan; 2) rantai pasok makanan olahan.

(25)

9 Distribusi yang baik dibutuhkan agar produk pertanian segar yang dihasilkan dapat sampai ke tangan konsumen dengan tepat waktu, jumlah, dan tempat. Perasio et al. (2001) menyimpulkan yang terpenting dari rantai pasok produk segar adalah mempertahankan produk tetap segar hingga sampai kepada konsumen. Jarak menjadi salah satu penentu kualitas produk segar. Oleh karena itu rantai pasok tidak hanya menyampaikan barang hingga sampai kepada konsumen tetapi produk tetap memiliki nilai yang sesuai dengan permintaan konsumen. Hasil penelitian Thongsavath et al. (2012) menjelaskan penyusutan rantai pasok sayuran kubis domestik Thailand lebih kecil dibanding penyusutan rantai pasok sayuran kubis ekspornya. Negara pengimpor sayuran dan buah-buahan segar mengharapkan dapat secara langsung menjalin pemasaran dengan petani untuk mendapatkan sayuran yang lebih segar dan menghindari broker (Martinez dan Thornsbury 2006). Kesegaran produk menjadi sebagai salah satu yang diharapkan konsumen.

Kearney dalam Van der Vorst (2000) menyatakan rantai pasok sayuran di belanda harus berubah dari orientasi produksi kepada orientasi permintaan konsumen. Permintaan konsumen terhadap produk pertanian mengalami perkembangan yaitu tidak hanya sebatas produk segar tetapi harus didukung oleh kualitas produk segar tersebut. Kualitas produk pertanian segar dilihat konsumen dari keamanan produk pertanian seperti kandungan pestisida dan zat kimia lainnya, karakteristik dan kesegaran produk (Van der Spiegel 2004).

Thailand sebagai salah satu negara yang telah menerapkan sertifikat Good Agricultural Practices (GAP) terhadap sayuran kubis sebagai standar keamanan pangan dan kualitas produk. Penelitian Kramchote et al. (2012) menyimpulkan kemauan petani Thailand untuk memenuhi permintaan konsumen semakin meningkat. Analisis rantai pasok terhadap produk pertanian menjadi penting untuk mengetahui masalah dan kondisi agribisnis sehingga dapat memenuhi permintaan konsumen. Rattanachai et al. (2013) menggunakan model SCOR (Supply Chain Operations Reference) yang terdiri dari Plan, Source, Make Deliver, Return sebagai tolak ukur dalam mengimplementasikan manajemen rantai pasok pada gudang pengemasan jagung muda (baby corn) di Thailand.

Beberapa peneliti telah menggunakan kerangka FSCN untuk mengetahui kondisi rantai pasok pangan (Rizqiah 2013; Fajar AI 2014; Hotegni et al. 2014). Kerangka FSCN yang digunakan terdiri dari sasaran rantai pasok, struktur hubungan rantai pasok, manajemen rantai pasok, sumber daya rantai pasok, proses bisnis rantai pasok dan kinerja rantai pasok. Fajar AI (2014) mengukur kinerja rantai pasok jagung di Jawa Barat dengan menggunakan analisis efisiensi pemasaran dan analisis nilai tambah. Sedangkan Rizqiah (2013) mengukur kinerja rantai pasok brokoli dan mengukur ketidakefisienan rantai pasok dengan menggunakan pendekatan lean thinking. Hotegni et al. (2014) menambahkan pengukuran kualitas produk sebagai sasaran rantai pada rantai pasok nenas segar di Benin dan yang menjadi hambatan dalam menjaga kualitas nenas segar yaitu kurangnya kemampuan dalam budidaya yang baik, keterbatasan kelompok petani,buruknya sistem pemasaran, dan ketidaktersediaan kemasan untuk ekspor.

(26)

10

Kabupaten Simalungun aman konsumsi dan berkualitas dan mengukur kinerja rantai pasok kubis dengan menggunakan analisis efisiensi pemasaran.

3

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Levens (2010) mendefenisikan pemasaran sebagai proses menciptakan, mengkomunikasikan dan menyampaikan nilai kepada pelanggan dan mengelola hubungan pelanggan dengan cara yang menguntungan perusahaan dan para pemegang sahamnya. Pemasaran pangan menurut Khols dan Uhl (2002) yaitu kinerja dari semua kegiatan bisnis meliputi aliran produk dan jasa mulai dari titik awal produksi pertanian hingga produk dan jasa sampai ke tangan konsumen.

Pemasaran dapat dikatakan sebagai proses penambahan nilai (value-added process). Proses penambahan nilai berarti adanya kegiatan produktif yang menciptakan utilitas (utility). Utilitas terdiri dari utilitas bentuk, utilitas tempat, utilitas waktu dan utilitas kepemilikan. Utilitas bentuk merupakan perubahan dari bahan mentah menjadi produk yang lebih berguna sesuai dengan permintaan konsumen. Pada umumnya proses produksi pangan mempunyai jarak dengan konsumen sehingga tercipta utilitas tempat. Produk pangan yang musiman menyebabkan terciptanya utilitas waktu yang menghasilkan ketersediaan produk. Demikian pula melalui adanya kegiatan pemasaran menciptakan utilitas kepemilikan yang memudahkan konsumen dalam memenuhi keinginannya (Khols dan Uhl 2002).

Manajemen pemasaran timbul karena satu pihak berfikir dan berusaha untuk memenuhi permintaan pihak lain. jadi manajemen pemasaran menurut Kotler dan Keller (2006) merupakan seni dan ilmu memilih target pasar dan mendapatkan, menjaga dan menumbuhkan pelanggan melalui menciptakan, menyampaikan dan mengkomunikasikan nilai kepada pelanggan. Hal tersebut sependapat dengan defenisi manajemen pemasaran pangan menurut Khols dan Uhl (2002) yang merupakan proses yang digunakan perusahaan atau organisasi dalam mengembangkan dan mengimplementasikan perencanaan yang memuaskan konsumen dan mendapatkan keuntungan.

Perpindahan produk hingga sampai kepada konsumen dipengaruhi oleh saluran pemasaran dan lembaga pemasaran. Saluran pemasaran menurut Kotler dan Keller (2006) yaitu suatu rangkaian dari lembaga-lembaga yang saling memiliki ketergantungan satu sama lain dalam proses menciptakan produk hingga sesuai permintaan konsumen. Dalam saluran pemasaran terjadi suatu proses pemindahan barang yang berasal dari produsen hingga sampai ke tangan konsumen yang dipengaruhi waktu, tempat dan kepemilikan. Menurut Rahim dan hastuti (2008) dalam Sinaga (2011) menyatakan bahwa panjang pendeknya saluran pemasaran yang dilalui komoditas pertanian dapat dipengaruhi oleh jarak antara produsen dan konsumen, daya tahan produk, skala produksi dan keadaan modal.

(27)

11 hubungan dengan dengan badan usaha atau individu lainnya disebut lembaga pemasaran (Kotler dan Armstrong 2008).

Fokus kepada pelanggan tidak hanya berlaku kepada divisi pemasaran. Setiap bagian dari usaha harus berfokus kepada pelanggan. Nilai tambah dapat diciptakan melalui adanya fungsi pemasaran produktif. Fungsi pemasaran adalah untuk menggerakkan barang dari produsen ke konsumen, dimana saluran pemasaran tersebut dapat mengatasi kesenjangan waktu, tempat, dan kepemilikan yang memisahkan barang dan jasa dari mereka yang memerlukan atau menginginkannya. Fungsi-fungsi pemasaran terdiri dari fungsi pertukaran (exchange functions), fungsi fisik (physical functions), dan fungsi fasilitas (facilitating functions). Fungsi pertukaran merupakan aktivitas dalam perpindahan hak milik barang/jasa yang terdiri dari fungsi pembelian, penjualan, dan pengumpulan. Fungsi fisik merupakan aktivitas penanganan. pergerakan dan perubahan fisik dari barang/jasa serta turunannya. Fungsi fisik terdiri dari fungsi penyimpanan. pengangkutan dan pengolahan. pabrikan dan pengemasan. Fungsi fasilitas merupakan fungsi yang memperlancar fungsi pertukaran dan fisik. Fungsi tersebut terdiri dari fungsi standarisasi, keuangan, penanggungan risiko, fungsi intelijen pemasaran, komunikasi dan promosi.

Saluran pemasaran menurut Kotler dan Armstrong (2008) dapat didefinisikan sebagai sekelompok organisasi yang saling bergantung dan terlibat dalam proses pembuatan produk dan jasa yang disediakan untuk digunakan atau dikonsumsi. Beberapa faktor yang mempengaruhi panjang pendeknya saluran pemasaran yang dilalui oleh suatu komoditas pertanian yaitu jarak antara produsen dan konsumen, daya tahan produk, skala produksi, dan kondisi keuangan produsen.

Efisiensi Pemasaran

Efisiensi pemasaran merupakan perbandingan dari output dan input pemasaran. Input pemasaran mencakup sumber daya dalam melaksanakan fungsi pemasaran. Sedangkan output pemasaran terdiri dari kegunaan waktu, bentuk, tempat dan kepemilikan dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Indikator efisiensi pemasaran pangan yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga (Dahl dan hammond 1977). Efisiensi operasional yaitu keadaan dimana menurunkan biaya pemasaran tanpa mempengaruhi output. Namun yang terpenting adalah memperhatikan keseimbangan biaya pemasaran dan kepuasan konsumen. Asmarantaka (2012) berpendapat bahwa efisiensi pemasaran harus memperhitungkan fungsi-fungsi pemasaran yang ada, biaya-biaya dan atribut produk. Efisiensi harga menekankan kepada kemampuan sistem pemasaran dalam mengalokasikan sumberdaya dan mengkoodinasikan seluruh produksi pertanian dan proses pemasaran agar efisien yang sesuai dengan kebutuhan konsumen (Kohl dan Uhl 2002).

(28)

12

pemasaran (Value Marketing Margin) (Gambar 6). Value Marketing Margin (VMM) mirip dengan konsep value added. VMM mengandung upah tenaga kerja, bunga dari modal, sewa lahan dan bangunan dan laba dari usaha dan resiko. Bagian tersebut disebut sebagai biaya pemasaran (marketing cost). VMM lainnya adalah pembayaran berbagai lembaga pemasaran seperti pengecer, pedagang grosir, pedagang besar, pedagang pengumpul. Bagian tersebut disebut sebagai beban pemasaran (marketing charge). Menurut Asmarantaka (2012) marjin pemasaran merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai akibat dari adanya aktivitas produktif atau konsep (value added). Marjin pemasaran dapat dipergunakan untuk mengkaji sebaran harga yang dibayar konsumen akhir sampai kepada petani.

Marjin pemasaran sangat erat kaitannya dengan farmer’s share. Farmer’s share merupakan bagian harga yang diterima petani dari harga di tingkat retail. Nilai farmer’s share yaitu rasio harga yang diterima produsen (Pf) dan harga yang dibayarkan konsumen (Pr) yang dinyatakan dalam persentase. Menurut Khols dan Uhl (2002) faktor yang mempengaruhi marjin pemasaran dan farmer’s share komoditas pertanian yaitu biaya transportasi, daya simpan produk, produk musiman, biaya perlakuan dan modal kerja.

Supply Chain Management

Menurut Chopra (2007) supply chain terdiri dari semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya memenuhi permintaan pelanggan. Supply chain tidak hanya melibatkan produsen dan pemasok tetapi juga pengangkut, gudang, pengecer dan bahkan pelanggan sendiri. Supply chain mencakup semua fungsi diperlukan mulai dari menerima hingga memenuhi permintaan pelanggan. Lambert (2000) berpendapat bahwa supply chain memiliki makna yang lebih kompleks dimana tidak hanya sekedar rantai bisnis one-to-one, business-to-business relationships namun sebuah jaringan dari berbagai bisnis dan

(29)

13 hubungannya. The Global Supply Chain Forum (GSCF) sebuah kelompok yang terdiri dari perusahaan dan para peneliti mendefenisikan SCM (Supply Chain Management) adalah integrasi dari proses bisnis dalam menyediakan produk. pelayanan dan informasi dengan memberi nilai tambah kepada pelanggan dan pelaku lainnya. Proses bisnis menurut Davenport (1993) dalam Vorst (2005) dapat didefenisikan sebagai struktur, ukuran dalam merangkai aktivitas untuk menghasilkan produk (output) yang spesifik sesuai pelanggan dan pasar. Sedangkan proses bisnis menurut Chopra dan Meindl (2007) pengembangan produk baru, pemasaran, keuangan, dan manajemen hubungan dengan pelanggan. Van der Vost (2000) mendefinisikan SCM adalah intergasi dari semua proses bisnis dan aktivitas di dalam rantai pasok untuk menyampaikan nilai yang diharapkan konsumen dengan biaya sekecil mungkin terhadap rantai pasok secara keseluruhan yang pada saat bersamaan memenuhi berbagai persyaratan dari pelaku lain dalam rantai pasok.

Nilai (Value) adalah jumlah yang pembeli bersedia bayar untuk barang/jasa yang disediakan perusahaan dan nilai diukur dari total penerimaan (Van der Vost

2000). Konsep “value-added activity” berasal dari kerangka “value chain” oleh Porter. Aktivitas nilai tambah (Value-adding activities) dibagi menjadi dua yaitu aktivitas primer (primary activities) dan aktivitas pendukung (support activities). Aktivitas primer merupakan aktivitas yang terlibat dalam penciptaan fisik produk, penjualannya dan pengiriman kepada pembeli. Aktivitas pendukung mendukung aktivitas primer. Garis putus-putus pada gambar mencerminkan bahwa pembelian (procurement), pengembangan teknologi (technology development), manajemen sumber daya manusia (human resources management) dapat dihubungkan dengan aktivitas primer yang spesifik dan mendukung keseluruhan rantai. Infrastruktur perusahaan (infrastructur company) tidak dihubungkan dengan aktivitas primer tertentu. tetapi mendukung keseluruhan rantai (Porter 1985). Porter menganggap melalui rantai nilai dapat mengidentifikasi keunggulan bersaing dan mencipatakan nilai tambah bagi pelanggan. Konsep nilai (value) semakin berkembang. Value

dapat dihubungkan dengan „Triple P‟: People, Planet dan Profit Van der Vost (2006).

Lambert dan Cooper (2000) menggolongkan pelaku primer sebagai sebagai semua perusahaan yang terlibat dalam proses bisnis yang melakukan aktivitas nilai tambah (value-adding activities) sedangkan pelaku pendukung adalah perusahaan yang menyediakan sumberdaya, modal, keperluan pelaku primer.

Evolusi Supply Chain Management

(30)

14

yang merencanakan. menerapkan dan mengendalikan efisiensi, efektivitas aliran dan penyimpanan barang, penyimpanan barang, jasa dan menyampaikan informasi dari produksi hingga konsumsi sesuai dengan permintaan pelanggan. Pendapat tersebut sejalan dengan konsep supply chain management (SCM) yang dikemukakan oleh Levens (2010) yaitu SCM merupakan konsep yang lebih luas dari logistik yang melibatkan semua perusahaan atau organisasi yang terlibat dalam pemasaran barang baik di dalam maupun di luar perusahaan yang akan mempengaruhi berjalannya proses pemasaran.

Manajemen rantai pasokan atau dikenal dengan istilah SCM merupakan suatu jaringan logistik. dimana terdapat keterkaitan diantara beberapa stakeholder, seperti pemasok bahan baku, bagian distribusi, pengecer yang pada akhirnya barang tersebut sampai ke tangan konsumen. Dalam SCM, logistik pemasaran tidak hanya melibatkan distribusi keluar (memindahkan produk dari pabrik ke penjual perantara dan pada akhirnya ke pelanggan) tetapi juga distribusi ke dalam (memindahkan produk dan bahan dari pemasok ke pabrik) dan distribusi terbalik (memindahkan produk yang rusak, tidak diinginkan atau berlebih yang dikembalikan oleh konsumen).

SCM seharusnya dimulai dengan adanya perencanaan yang disusun dengan matang. Rencana tersebut memberikan stimulasi kepada pemasok untuk memberikan respon terhadap rencana yang telah dibuat. Dari respon tersebut akan berdampak pada stakeholder lainnya untuk dapat mengirimkan produk-produk tersebut hingga kepada pembeli atau konsumen. Manajemen rantai pasok adalah keterpaduan antara perencanaan, koordinasi dan kendali seluruh proses dan aktivitas bisnis dalam rantai pasok untuk memenuhi kebutuhan konsumen (Chopra dan Meindel 2007). Karakteristik usaha agribisnis yang berbeda dengan industri memprakarsai Van der Vost (2000) untuk mengembangkan rantai pasok pangan (Food Supply Chain Network) dalam manajemen rantai pasok.

Food Supply Chain Network

Van der Vost (2000) mendefinisikan rantai pasok pangan adalah sebuah rangkaian dari aktivitas-aktivitas (fisik dan pengambilan keputusan) yang terhubung oleh saluran barang dan informasi serta terkait dengan aliran-aliran uang dan hak milik yang berseberangan dengan batasan organisasi. Manajemen rantai pasok penting untuk menciptakan integrasi dari perencanaan, koordinasi dan pengawasan dari semua proses bisnis dan aktivitas di dalam rantai pasok untuk menyampaikan nilai yang diharapkan konsumen dengan biaya sekecil mungkin terhadap rantai pasok secara keseluruhan yang pada saat bersamaan memenuhi berbagai persyaratan dari pelaku lain dalam rantai pasok.

(31)

15

Kerangka FSCN pada Gambar 7 terdiri dari empat unsur yaitu: 1. Struktur jaringan/ rantai pasok (Network Structure)

Menetapkan batas dari jaringan rantai pasok dan menggambarkan pelaku yang utama dalam jaringan, menetapkan aturan yang berlaku dan susunan kelembagaan yang terdapat pada jaringan. Intinya menetapkan pelaku utama dalam keberhasilan usaha dan rantai pasok sesuai dengan kendali manajerial dan sumber daya.

2. Proses bisnis dalam rantai (Chain Business Processes)

Serangkaian aktivitas bisnis yang terukur dan terstruktur dibangun untuk memproduksi output tertentu (produk fisik, jasa dan informasi) untuk pasar/ konsumen tertentu. Lambert dan Cooper (2000) telah mengidentifikasi delapan petunjuk proses bisnis yang dapat diintegrasi seusai dengan pelaku rantai pasok (Tabel 2).

3. Manajemen jaringan dan rantai (network and chain management) melambangkan koodinasi dan manajemen struktur dalam pelaksanaan proses oleh pelaku di dalam jaringan. Lambert dan Cooper (2000) membedakan komponen manajemen menjadi dua kelompok yaitu physical and technical components dan managerial and behaviourial components (Tabel 3). Managerial and behaviourial components dapat menjadi penghambat dalam perkembangan kepercayaan, komitmen dan keterbukaan diantara pelaku di dalam rantai pasok.

4. Sumber daya rantai (Chain resources)

Sumber daya rantai digunakan untuk menghasilkan produk dan mengirim hingga sampai kepada pelanggan sebagai contoh sumber daya yaitu sumber daya manusia,mesin, dan informasi.

Gambar 7 Kerangka Food Supply Chain Network

(32)

16

Setiap unsur dalam kerangka FSCN bertujuan untuk mencapai sasaran rantai. Sasaran rantai terdiri dari tiga nilai penting yaitu: 1) Sasaran Pasar: Penentuan target yang sesuai dengan permintaan pelanggan secara spesifik; 2) Pengintegrasian Kualitas: Penentuan target yang dapat meningkatkan permintaan konsumen, pemerintah, lembaga swadaya, mitra bisnis, dan produk yang aman; dan 3) Pengoptimalan rantai pasok dengan adanya informasi pasokan yang jelas.

Tiga keputusan utama dari manajemen rantai pasok menurut Lambert dan Cooper et al (2000) yaitu: 1) Struktur Jaringan Rantai Pasok (Pelaku penting yang terlibat dalam rantai pasok) ; 2) Proses Bisnis Rantai Pasok (Proses bisnis yang terjalin antar pelaku rantai pasok); 3) Komponen Manajemen Rantai Pasok (Manajemen yang harus dilaksanakan antar proses yang saling terkait).

Tabel 3 Komponen manajemen

Physical and technical components Managerial and behaviourial components

Metode perencanaan dan

pengawasan Filosofi usaha dan teknik manajemen

Susunan aktivitas/ aliran kerja Budaya dan perilaku disekitar usaha

Susunan organisasi Risiko usaha

Aliran informasi Kondisi kepemimpinan dan wewenang

Aliran barang

Sumber: Lambert dan Cooper (2000)

Tabel 2 Proses bisnis

Proses Bisnis Keterangan

Costumer relationship Penyesuaian kesepakatan pelayanan dengan pelanggan

Management yang potensial

Costumer service Penyediaan informasi yang jelas kepada pelanggan perihal Management waktu keberangkatan produk, ketersediaan produk, dan

kegiatan distribusi

Demand management Penyeimbangan kebutuhan pelanggan dengan kapasitas persediaan perusahaan

Order fulfilment Pengiriman produk dan menyesuaikan sesuai waktu yang diminta pelanggan

Manufacturing flow Penyediaan produk sesuai pesanan pelanggan Management

Procurement Pengembangan rencana strategi dengan pemasok untuk mendukung manajemen aliran barang, pengembangan produk baru

Product development Pelanggan dan pemasok harus terintegrasi dengan proses

and commer- pengembangan produk agar menghemat

Cialisation waktu untuk dipasarkan

Proses pengembalian Penyesuaian proses untuk mencapai efisiensi pengembalian produk yang dapat digunakan kembali

(33)

17

Food Quality

Menurut Kohls dan Uhl (2002) Food quality merupakan sifat dasar dari produk pangan yang berhubungan dengan kegunaan, keinginan, dan nilainya. Sifat produk terdiri dari dari rasa, aroma, warna, tekstur, ukuran, umur, bentuk dan lain-lain. Oleh karena itu sifat produk sangat mempengaruhi kualitas produk tersebut. Demikian pula menurut Santacoloma dan Cuevas (2011) Nilai (value) pada produk terjadi pada saat ditambahkan pada setiap tahap proses yang dilaluinya hingga sampai ke tangan konsumen. Quality berhubungan dengan tingkat kepuasan para pelaku yang terlibat dalam proses di sepanjang rantai pasok hingga sampai ke konsumen akhir. Oleh karena itu food quality didefenisikan sebagai sifat produk dan karakteristik produk yang sesuai dengan permintaan pelanggan. Karakteristik produk secara fisik contohnya ukuran. warna. bentuk. kesegaran dan tidak rusak, kualitas organoleptik dan nilai gizi yang bermanfaat bagi kesehatan. Selain itu, karakteristik proses yang berhubungan dengan produksi dan pengolahan yang berdampak terhadap lingkungan, kesehatan makhluk hidup, dan kesejahteraan karyawan. Kontribusi pelaku di sepanjang rantai pasok sangat berpengaruh terhadap kualitas produk.

FAO (Food and Agriculture Organization) menganggap pentingnya mengelola kualitas pangan bagi wirausaha pangan baik skala kecil maupun menengah di negara sedang berkembang untuk mampu memenuhi permintaan konsumen terhadap kualitas produk. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pangan (Food quality) dibagi menjadi empat bagian yaitu:

1. Sifat nutrisi (Nutritional properties) terdiri dari kandungan nutrisi dan nilai label nutrisi.

2. Sifat Organoleptik (Organoleptic properties) terdiri dari aroma, tekstur, dan lain-lain.

3. Sifat kebersihan dan kesehatan: kondisi dasar untuk menjamin bahwa pangan tidak berbahaya bagi kesehatan manusia.

4. Sifat fungsional: harga, kemasan, berguna bagi konsumen, tampilan, pelayanan kepada pelanggan dan lain-lain.

Menurut Jha (2010) beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pangan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan yaitu: kebersihan dan karnatina; Penampilan: ukuran, bentuk, warna, dan tekstur; rasa dan nutrisi.

Jaminan kualitas (quality) dan keamanan (safety) produk merupakan bagian dari manajemen kualitas (management quality). Penelusuran produk (traceability product) sebagai salah satu alat untuk menjamin kualitas dan keamanan pangan. FAO mendefinisikan Traceability sebagai kemampuan untuk mengikuti pergerakan pangan di berbagai tingkatan yang spesifik dalam kegiatan produksi. pemrosesan dan distribusi. Demikian pula defenisi Traceability Standard ISO 9000 yaitu kemampuan untuk menelusuri sejarah, pelaksanaan, atau lokasi dari semua yang berhubungan dengan produk pangan. Menurut (Santacoloma dan Cuevas 2011) tidak hanya informasi tentang penulusaran produk dan lokasi produk yang dibutuhkan tetapi juga bahan baku yang digunakan untuk membuat produk.

(34)

18

Kerangka Pemikiran Operasional

ASEAN sedang menjalani proses pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) sebagai perwujudan ide kesatuan ekonomi kawasan dalam era keterbukaan perdagangan global. Terkait dengan hal ini, produk pertanian Indonesia diharapkan dapat bersaing di pasar global ASEAN dan menawarkan produk aman konsumsi, sehat dan berkualitas.

Kontribusi ekspor Indonesia yang rendah terhadap tingginya impor Singapura dari dunia tidak sesuai dengan potensi agronomis sayuran Indonesia yang besar. Demikian pula singapura terletak secara geografis berdekatan dengan Indonesia (khususnya pulau Sumatera). Hal ini mengindikasikan adanya masalah sistem agribisnis sayuran di Indonesia meskipun belum teridentifikasi. Identifikasi masalah agribisnis dapat dimulai dengan melihat rantai pasok sayuran di Indonesia.

Kabupaten Simalungun merupakan salah satu kabupaten yang memiliki volume produksi kubis paling tinggi dibanding dengan kabupaten lainnya di Provinsi Sumatera Utara. Komoditas kubis dari Kabupaten Simalungun merupakan salah satu produk sayuran yang digemari oleh pasar domestik dan

Gambar 8 Kerangka Pemikiran Operasional

Efisiensi Pemasaran -Marjin Pemasaran

-Farmer’s Share

- Kebijakan Manajerial - Kebijakan Pemerintah

Analisis rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun ASEAN sedang menjalani proses pembentukan

ASEAN Economic Community (AEC)

Kontribusi Indonesia yang rendah terhadap tingginya permintaan sayuran Singapura tidak sesuai dengan potensi

agronomis sayuran Indonesia yang besar

Identifikasi masalah agribisnis dapat dimulai dengan mengkaji rantai pasok sayuran

Gambaran rantai pasok kubis Kinerja rantai pasok kubis

Kerangka Food Supply Chain Network

(35)

19 importir dari Singapura. Volume produksi kubis yang tinggi diharapkan mampu memenuhi permintaan tersebut, tetapi permintaan tersebut tidak didukung oleh keberadaan pedagang pengumpul dan eksportir. Keberadaan pedagang pengumpul dan eksportir sangat dipengaruhi oleh sinyal harga kubis. Demikian pula ketidakpastian ketersedian kubis dipengaruhi oleh pola tanam kubis yang dilakukan petani masih tergolong sesuai keinginan petani. Hal ini mempengaruhi ketidakpastian harga sehingga menyebabkan fluktuasi harga di pasar dan di tingkat petani. Oleh sebab itu penting untuk menggambarkan kondisi rantai pasok kubis dan menganalisis kinerja rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara.

Gambaran rantai pasok kubis penting untuk dapat digambarkan sesuai dengan kerangka kerja Food Supply Chain Network (FSCN) yang terdiri dari empat elemen yang meliputi struktur jaringan, proses-proses rantai bisnis, manajemen rantai dan sumber daya rantai dan setiap elemen didukung oleh sasaran rantai sedangkan pengukuran kinerja rantai pasok pangan menggunakan efisiensi pemasaran yang terdiri dari marjin pemasaran dan farmer’s share.

4

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan bulan Januari 2014 hingga Maret 2014 di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan Kabupaten Simalungun di Sumatera Utara merupakan salah satu daerah sentra produksi sayuran kubis dengan jenis usahatani monokultur (tanaman utama). Kabupaten Simalungun terdiri dari 31 Kecamatan. Kecamatan Silimakuta, Pematang Silimahuta, dan Purba sebagai kecamatan sentra produksi kubis.

Jenis dan Sumber Data

(36)

20

Metode Pengambilan Data

Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Sampel yang diambil yaitu 45 orang petani kubis masing-masing 15 orang petani dari Kecamatan Silimakuta, 15 orang petani dari Kecamatan Pematang Silimahuta, dan 15 Orang petani dari Kabupaten Purba. Sampel dari lembaga pemasaran yaitu 1 orang dari Kecamatan Silimakuta, 1 orang dari Kecamatan Silimahuta dan 1 orang dari Kecamatan Purba, pedagang pengecer berjumlah 3 orang yang membeli kubis dari ketiga pedagang pengumpul, dan 1 orang pedagang besar luar kota (Batam).

Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Gambaran rantai pasok kubis menggunakan metode analisis kualitatif sesuai dengan kerangka Food Supply Chain Network (FSCN) yang dikembangkan oleh Van der Vorst (2006). Sasaran rantai pasok yaitu dengan menambahkan indikator food quality menjadi penting karena spesifikasi rantai pasok pangan berupa sayuran yang menuntut kesegaran dan kualitas. Indikator food quality menggunakan analisis kualitatif dengan mengimplementasikan penelusuran produk (product traceability tools). Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis kinerja rantai pasok sesuai dengan efisiensi pemasaran yang terdiri dari marjin pemasaran dan farmer’s share.

Gambaran Rantai Pasok Kubis

Langkah awal yaitu penentuan sasaran rantai yang berhubungan langsung dengan keempat unsur kerangka FSCN. Sasaran rantai terdiri dari tiga nilai penting yaitu: 1) Sasaran Pasar: Penentuan target yang sesuai dengan permintaan pelanggan secara spesifik; 2) Pengintegrasian Kualitas: Penentuan target yang dapat meningkatkan permintaan konsumen, pemerintah, lembaga swadaya, mitra bisnis, dan produk yang aman; dan 3) Pengoptimalan rantai pasok dengan adanya informasi pasokan yang jelas.

Penelusuran Produk (Product Traceability Tools)

Indikator food safety sebagai bagian dari sasaran rantai pasok yaitu menggunakan penelusuran produk (product traceability tools). Penelusuran produk (product traceability tools) diimplementasikan dengan metode analisis kualitatif.

Karakteristik produk sayuran segar yang harus terjaga kesegaran, kualitas dan keamanannya menjadi suatu nilai tambah yang harus dipenuhi pelaku yang terlibat di dalam rantai pasok. Indikator food safety menggunakan product traceability tools bertujuan untuk menjamin kualitas dan keamanan pangan (Santocoloma dan Cuevas 2011). Product traceability tools mengikuti dan mengidentifikasi produk mulai dari produk belum jadi hingga produk siap konsumsi.

(37)

21 penelusuran produk yang sudah diberlakukan pelaku rantai pasok. Penelusuran produk berupa pelaksanaan usaha secara tertulis (record-keeping practices) yang dimiliki pelaku rantai pasok yang harus dilaksanakan maupun syarat yang harus dipenuhi pemasok lain dalam menjamin kualitas produk. Beberapa pemasok telah memiliki standar pelaksanaan tertentu yang harus dipenuhi antar pelaku yang terlibat dalam rantai pasok. Langkah kedua yaitu terjalin komunikasi antara pemasok dan pelanggan. Pelaku rantai pasok yang terlibat seharusnya menginformasikan sumber bahan bahan baku, cara pelanggan memperoleh produk, target pasar dan penyediaan bukti dan petunjuk penelusuran produk yang telah diberlakukan untuk menjamin kualitas produk. Langkah ketiga yaitu identifikasi pelaksanaan mulai dari produksi, pengolahan/ pengemasan hingga distribusi produk. Pencatatan terhadap proses yang dilakukan menjadi sebuah informasi penting yang harus dimiliki pelaku rantai pasok. Informasi dapat berupa pencatatan, foto, dan lain-lain. hal ini menjadi bukti apabila terjadi keluhan dari konsumen. Langkah keempat yaitu penetapan identifikasi produk. Identifikasi produk sebagai sumber informasi bagi konsumen untuk mengetahui deskripsi produk. Informasi identifikasi produk yang jelas dapat menjadi acuan konsumen untuk mengetahui kualitas dan keamanan produk. Identifikasi produk dapat berupa label produk yang tertera pada kemasan produk. Langkah kelima yaitu adanya informasi kriteria produk yang dibutuhkan konsumen dan yang ditawarkan pemasok. Sama halnya dengan langkah keenam yaitu adanya mekanisme pemesanan dan pengiriman bahan baku dan produk. Keefektifan pelaksanaan yaitu dapat dilakukan dengan informasi pemesanan dan pengiriman bahan baku maupun produk yang jelas. Pelaksanaan yang efektif juga harus dapat merespon masalah yang terjadi. Langkah ketujuh yaitu adanya komunikasi antar pelaku yang terlibat dalam rantai pasok. Pelaku yang terlibat dalam rantai pasok harus saling mengetahui aturan yang diberlakukan dan adanya ketersediaan informasi yang dibutuhkan masing-masing pelaku rantai pasok. Langkah kedelapan yaitu adanya mekanisme reaksi cepat untuk menjamin pemecahan masalah, mencari penyebab dan mencegah agar tidak terulang kembali. Dan langkah kesembilan yaitu menetapkan standar yang mendukung kualitas dan keamanan pangan.

Kerangka FSCN terdiri dari empat keputusan/unsur dengan tujuan sasaran yang jelas menjadi penting dalam keberhasilan manajemen rantai pasok (Van der Vost 2006). Empat keputusan/unsur kerangka FSCN digunakan untuk menggambarkan, menganalisis dan mengembangkan rantai pasok yaitu sebagai berikut:

1) Struktur jaringan/ rantai pasok (Network Structure)

Menetapkan batas dari jaringan rantai pasok dan menggambarkan pelaku yang utama dalam jaringan, menetapkan aturan yang berlaku, susunan kelembagaan yang terdapat pada jaringan. Intinya menetapkan pelaku utama dalam keberhasilan usaha dan rantai pasok sesuai dengan kendali manajerial dan sumber daya. Stuktur rantai pasok kubis yaitu dengan mengindentifikasi lembaga pemasaran yang terlibat serta fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan terhadap produk.

2) Proses bisnis rantai (Chain Business Processes)

(38)

22

rantai pasok kubis diidentifikasi dengan mendeskripsikan saluran pemasaran.

3) Manajemen jaringan dan rantai (network and chain management) Melambangkan koodinasi dan manajemen struktur dalam pelaksanaan proses oleh pelaku di dalam jaringan. Lambert dan Cooper (2000) membedakan komponen manajemen menjadi dua kelompok yaitu physical and technical components dan managerial and behaviourial components. Physical and technical components terdiri atas metode perencanaan dan pengawasan. susunan aktivitas/ aliran kerja, susunan organisasi, aliran informasi dan aliran barang. Managerial and behaviourial components terdiri atas filosofi usaha dan teknik manajemen, budaya dan perilaku disekitar usaha, risiko usaha, kondisi kepemimpinan dan kekuasaan. Managerial and behaviourial components dapat menjadi penghambat dalam perkembangan kepercayaan, komitmen dan keterbukaan diantara pelaku di dalam rantai pasok. Manajemen rantai pasok kubis diidentifikasi dengan mendeskripsikan aliran barang, informasi dan kesepakatan kontraktual.

4) Sumber daya rantai (Chain resources)

Sumber daya rantai digunakan untuk menghasilkan produk dan mengirim hingga sampai kepada pelanggan sebagai contoh sumber daya yaitu sumber daya manusia, sumber daya fisik dan sumber daya permodalan.

Analisis Kinerja Rantai Pasok Kubis

Analisis kinerja rantai pasok kubis menggunakan efisiensi pemasaran dengan metode analisis kuantitatif. Efisensi pemasaran terdiri dari efisiensi operasional dan efisiensi harga (Dahl dan hammond 1977; Khols dan Uhl 2002). Analisis efisiensi pemasaran yang digunakan pada penelitian ini hanya efisiensi operasional. Efisiensi pemasaran operasional terdiri atas marjin pemasaran dan farmer’s share.

Analisis Marjin Pemasaran

Marjin pemasaran di tingkat lembaga ke-i diperoleh dari selisih antara harga penjualan untuk lembaga pemasaran ke-i dengan harga belinya. Keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke-i diperoleh dari selisih antara marjin pemasaran di tingkat ke-i dengan biaya lembaga pemasarannya. Oleh karena itu cara lain untuk memperoleh hasil marjin pemasaran di tingkat lembaga ke-i yaitu biaya lembaga pemasaran tingkat ke-i ditambah keuntungannya. Maka jumlah dari marjin pemasaran dari semua lembaga pemasaran yang terlibat disebut marjin total. Marjin total juga dapat diperoleh dari selisih dari harga di tingkat petani produsen dengan harga di tingkat konsumen akhir. Secara matematis analisis marjin pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut:

(39)

23 Pji = harga penjualan untuk lembaga pemasaran ke-i

Pbi = harga pembelian untuk lembaga pemasaran ke-i Ci = Biaya lembaga pemasaran tingkat ke-i

πi = Keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke-i MT = Marjin Total

Pr = harga di tingkat retail (tingkat konsumen akhir) Pf = harga di tingkat petani produsen

Penggunaan analisis marjin pemasaran sebagai indikator efisiensi pemasaran juga harus memperhatikan fungsi-fungsi pemasaran yang bertujuan meningkatkan nilai tambah dan nilai guna agar konsumen puas. Pelaksaan fungsi pemasaran yang produktif dapat mempengaruhi biaya-biaya pemasaran yang lebih besar yang akibatnya marjin pemasaran akan tinggi (Asmarantaka 2012).

Analisis Farmer’s Share

Persentasi bagian yang diperoleh petani dari harga yang dibayarkan konsumen terhadap produk yang dibelinya adalah farmer’s share. Secara sistematis nilai farmer’s share dapat diperoleh dari rumus sebagai berikut:

Fs =Pf

Pr x 100%

Fs = Farmer‟s share

Pf = harga di tingkat petani

Pr = harga yang dibayar konsumen akhir

Analisis marjin pemasaran dan farmer’s share sebagai indikator pengukuran efisiensi pemasaran harus dibarengi dengan memperhitungkan fungsi-fungsi yang terjadi. biaya-biaya. lembaga-lembaga rantai pasok yang terlibat dan nilai tambah (waktu, bentuk dan tempat) yang tercipta pada produk. Semakin besar marjin pemasaran makan penerimaan petani relatif kecil.

5

PEMBAHASAN

Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Simalungun

Gambar

Gambar 1  Volume produksi sayuran unggulan di Indonesia tahun 2008-2013
Tabel 1  Produksi kubis menurut provinsi (Ton) tahun 2009-2012
Gambar 3  Produksi kubis per kabupaten di Propinsi Sumatera Utara tahun
Gambar 4  Harga kubis di tingkat petani dan pasar pada bulan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penjelasan untuk grafik hubungan diatas, lebih lengkapnya dapat dilihat pada grafik – grafik berikut ini : 4.4.1 Grafik Hubungan Antara Daya dan Torsi Untuk Kincir Angin dengan

Model yang dibuat terdiri dari model perhitungan kebutuhan bahan, model penugasan mesin, dan model penjadwalan untuk semua workstation yang ada, sedang pengujian

1) Cause promotions, memberikan kontribusi dana atau penggalangan dana untuk meningkatkan kesadaran akan masalah-masalah sosial. 2) Cause related marketing, bentuk

Dari ke enam isolat BPF yang diuji diperoleh dua isolat yang paling potensial yang diekspresikan dengan Aktivitas fosfatase dan produksi asam organik adalah P. cepacea dan BPF

Dalam hubungannya dengan tingkat generalisasi, untuk mempertahankan tingkat kejelasan dan menghindari penuhnya detail, perlu dilakukan penyederhanaan beberapa tipe dari

merupakan jenis bakteri Gram positif yang sering ditemukan di jaringan tubuh lumba-lumba termasuk pada blowhole (Dunn et al.. Higgins (2000) menyebutkan beberapa

Skripsi ini merupakan kajian tentang “Pengaruh Green Marketing Terhadap Keputusan Pembelian Produk The Body Shop di Kota Medan” sebagai salah satu syarat untuk dapat

Nilai–nilai agama dan moral merupakan salah satu aspek perkem- bangan anak didik di taman kanak – kanak yang sangat penting apalagi anak– anak, karena dengan nilai agama