HUBUNGAN RETENSIO SEKUNDINAE DAN
ENDOMETRITIS PADA SAPI PERAH: Studi Kasus di Koperasi
Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat
FITRI JATI NURALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis pada Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Fitri Jati Nuralam
ABSTRAK
FITRI JATI NURALAM. Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis pada Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat. Dibimbing oleh KURNIA ACHJADI.
Retensio sekundinae dan endometritis merupakan gangguan reproduksi yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan adanya hubungan kejadian retensio sekundinae dan endometritis serta mengetahui pengaruhnya pada sapi perah. Penelitian dilaksanakan di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat. Data kejadian retensio sekundinae dan endometritis selama tahun 2011 sampai 2013 dianalisis secara deskriptif dan korelasi menggunakan aplikasi SPSS 22.0 untuk menyatakan ada atau tidaknya hubungan antara dua kejadian tersebut. Hasil menunjukan bahwa korelasi signifikannya yaitu 0.036 < 0.05. Hasil tersebut dapat dikatakan retensio sekundinae memiliki korelasi yang signifikan dengan endometritis. Nilai koefisien korelasinya positif yaitu 0.351 yang menunjukan bahwa jika jumlah kasus retensio sekundinae naik maka endometritis juga akan naik dan sebaliknya. Pengaruh kejadian tersebut yaitu dapat menurunkan tingkat kesuburan dan produksi pada sapi perah.
Kata kunci: endometritis, retensio sekundinae, sapi perah
ABSTRACT
FITRI JATI NURALAM. Retained Placenta and Its Relationship with Endometritis in Dairy Cow: A Case Study in Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, West Java. Supervised by KURNIA ACHJADI.
Retained placenta and endometritis are reproductive disorders which cause economic losses to farmers. This research aims to determine the relations between retained placenta and endometritis and their impacts on dairy cows. The research was conducted at Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, West Java. Data of retained placenta and endometritis from 2011 to 2013 were analyzed with descriptive and correlation analysis to determine their correlation using SPSS 22.0. Analysis results showed that the significant correlation was less than 0.05 (0.036). Thus, retained placenta has a significant correlation with endometritis. Positive correlation coefficient value was acquired 0.351 which means the increase of retained placenta cases will increase the occurrence of endometritis and vice-versa. The impacts of those disorders may decrease fertility rate and productivity of dairy cows.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
HUBUNGAN RETENSIO SEKUNDINAE DAN
ENDOMETRITIS PADA SAPI PERAH: Studi Kasus di Koperasi
Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat
FITRI JATI NURALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini adalah gangguan reproduksi dengan judul Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis pada Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat.
Selama penyusunan skripsi ini penulis mendapat begitu banyak bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Drh R. Kurnia Achjadi, MS selaku dosen pembimbing utama atas segala motivasi, kritik, saran, bantuan, dan kesabaran yang telah diberikan selama penelitian hingga penyelesaian skripsi.
2. Drh. Adi Winarto, Ph.D sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama penulis menjalankan studi di tingkat sarjana.
3. Ayah, ibu, dan segenap keluarga besar atas doa, bantuan, semangat, dan motivasi yang telah diberikan.
4. Pengurus dan staff Koperasi Peternakan Bandung Selatan yang telah memberikan izin dalam melakukan penelitian.
5. Drh H Asep Rahmat Khaerudin sebagai manajer kesehatan hewan di Koperasi Peternakan Bandung Selatan yang selama pengambilan data selalu membimbing dan membantu dalam studi kasus ini.
6. Petugas kesehatan hewan di Koperasi Peternakan Bandung Selatan yang senantiasa sabar dan membantu dalam studi kasus ini. Mohon maaf tidak dapat disebutkan satu per satu.
7. Teman satu penelitian Wuri Wulandari yang sama-sama berjuang dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman satu angkatan “Ganglion 48”. Terimakasih atas kebersamaannya selama ini.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, walaupun demikian penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Retensio sekundinae 2
Endometritis 3
METODE 4
Tempat dan waktu 4
Metode Penelitian 4
Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Gambaran Umum Koperasi Peternakan Bandung Selatan 5 Gambaran Umum Potensi Peternakan di KPBS Pangalengan 6 Kejadian Retensio Sekundinae di KPBS Pangalengan 6
Kejadian Endometritis di KPBS Pangalengan 7
Hubungan Retensio sekundinae dan Endometritis 8
SIMPULAN DAN SARAN 9
Simpulan 9
Saran 10
DAFTAR PUSTAKA 10
LAMPIRAN 13
DAFTAR TABEL
1 Populasi sapi perah di Koperasi Peternakan Bandung Selatan 5 2 Persentase jumlah kelahiran dengan kejadian retensio sekundinae di
KPBS Pangalengan 7
3 Hasil analisis korelasi pearson antara retensio sekundinae dan
endometritis 9
DAFTAR GAMBAR
1 Frekuensi jumlah kejadian retensio sekundinae di KPBS Pangalengan
tahun 2011 sampai 2013 8
2 Frekuensi jumlah kejadian endometritis di KPBS Pangalengan tahun
2011 sampai 2013 8
DAFTAR LAMPIRAN
1
Hasil kuesioner peternak 13
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peternakan sapi perah merupakan suatu usaha yang sudah lama berkembang di Indonesia khususnya Jawa Barat. Menurut Badan Pusat Statistik (2014), populasi ternak sapi perah di Jawa Barat mengalami penurunan pada tahun 2011 sampai 2013 yaitu 140.000 ekor menjadi 103.830 ekor. Seiring dengan penurunan populasi sapi perah tersebut, pola hidup masyarakat mulai mengalami peningkatan kesadaran terhadap konsumsi susu. Namun saat ini, produksi susu yang dihasilkan di Indonesia tidak sebanding dengan peningkatan konsumsi susu di masyarakat. Menurut Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan (2009), produksi susu segar di Indonesia hanya mampu memenuhi sekitar 30% kebutuhan nasional dan selebihnya impor. Impor susu yang cukup tinggi di negara kita dapat ditekan jumlahnya dengan memperbaiki pengelolaan manajemen pemeliharaan sapi perah. Salah satu faktor yang sangat penting dalam manajemen pemeliharaan sapi perah adalah produktivitas dari ternak tersebut. Ternak dengan produktivitas tinggi disertai seleksi perkawinan yang baik akan meningkatkan produksi ternak (Lindsay et al. 1982). Produktivitas ternak tersebut akan berhubungan dengan kemampuan reproduksinya.
Gangguan reproduksi pada sapi perah merupakan suatu hal yang harus diperhatikan. Gangguan reproduksi tersebut dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar sehingga angka kebuntingan dan kelahiran pedet menurun. Hal ini mengakibatkan perkembangan populasi sapi perah dan produksi susu nasional menjadi lambat. Gangguan reproduksi yang biasa terjadi pada sapi perah yaitu retensio sekundinae, distokia, abortus, kelahiran prematur, dan endometritis (Ratnawati et al. 2007).
Retensio sekundinae merupakan tertahannya plasenta lebih dari 8 sampai 12 jam (Manan 2002), 12 jam (Sammin et al. 2009), atau lebih dari 12 sampai 24 jam (Shenavai et al. 2010) setelah melahirkan. Plasenta tersebut tertahan karena vili kotiledon fetus gagal melepaskan diri dari kripta karunkula induk. Endometritis adalah peradangan pada endometrium yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme patogen. Mikroorganisme patogen tersebut dapat masuk secara langsung ke endometrium melewati vulva, vagina, serviks, uterus dan hematogen. Menurut Ilham (2004), retensio sekundinae merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya endometritis. Penanganan retensio sekundinae yang tidak baik disertai adanya infeksi mikroorganisme dari luar dapat mengakibatkan peradangan pada endometrium sehingga terjadilah endometritis.
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam melakukan tindakan pencegahan gangguan reproduksi melalui perbaikan manajemen secara menyeluruh.
TINJAUAN PUSTAKA
Retensio Sekundinae Etiologi
Retensio sekundinae adalah suatu kondisi tertahannya plasenta karena vili kotiledon fetus masih bertaut dengan kripta karunkula induk dan gagal melepaskan diri antara keduanya. Kotiledon fetus biasanya keluar 3 sampai 8 jam setelah melahirkan. Jika plasenta tidak keluar 8 sampai 12 jam (Manan 2002), 12 jam (Sammin etal. 2009), atau lebih dari 12 sampai 24 jam (Shenavai et al. 2010) setelah melahirkan maka dianggap sebagai kondisi patologis yang disebut retensio sekundinae. Menurut Krizanec dan Kosec (2003), beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus seperti Infectious Bovine Rhinotracheitis/Infectious Pustular Vulvovaginalis dan Bovine Viral Diarhea serta penyakit jamur dapat menyebabkan retensio sekundinae.
Gejala Klinis
Gejala yang terlihat pada kasus retensio sekundinae adalah adanya plasenta yang menggantung diluar alat kelamin (Hardjopranjoto 1995) dan ada juga yang menetap dalam uterus atau vagina. Pemeriksaan melalui uterus dapat dilakukan dalam waktu 24 sampai 36 jam setelah melahirkan. Kesulitan dalam memasukan tangan kedalam uterus dan serviks biasanya terjadi setelah 48 jam setelah melahirkan. Menurut Toelihere (1985), kontraksi serviks akan terhambat jika plasenta berada didalam serviks. Sekitar 75 sampai 80% sapi dengan retensio sekundinae tidak menunjukkan gejala sakit dan sekitar 20 sampai 25% memperlihatkan gejala-gejala metritis seperti anoreksia, depresi, suhu badan tinggi, pulsus meningkat dan berat badan turun (Toelihere 1985).
Sapi yang akan mengalami retensio sekundinae biasanya mengalami penurunan sistem imun nonspesifik yang terjadi 1 sampai 2 minggu sebelum melahirkan (Kimura et al. 2002). Hewan yang mengalami masalah keseimbangan energi negatif atau suboptimal kadar vitamin E pada minggu terakhir sebelum melahirkan akan lebih rentan untuk mengalami retensio sekundinae (LeBlanc et al.
2004).
Pencegahan dan Pengobatan
3 mencukupi pada sapi perah (Wilde 2006). Menurut Krunoslav et al. (2008), nutrisi seimbang dari Ca dan P dalam diet, pemberian Se intramuskular, dan injeksi vitamin A dengan suntikan β-karoten pada periode prepartum harus dipertimbangkan untuk mengurangi kejadian retensio sekundinae. Secara khusus, diet prepartum harus mencakup 0,3 ppm selenium dan vitamin E sebanyak 1000-2000 IU/sapi/hari. Menurut Han dan Kim (2005), faktor-faktor yang harus dihindari adalah tingginya body condition score saat melahirkan, hipokalsemia, serta diet kekurangan vitamin A, D, E, selenium, yodium, dan seng.
Metode pengobatan yang digunakan untuk kasus retensio sekundinae pada sapi perah yaitu pengeluaran plasenta secara manual dan pemberian antibiotik intrauterin sistemik dengan atau tanpa oksitosin dan PGF 2α (Drillich et al. 2006) .
Endometritis Etiologi
Endometritis adalah peradangan lokal permukaan endometrium tanpa tanda-tanda sistemik. Peradangan ini disebabkan oleh infeksi bakteri patogen seperti Arcanobacterium pyogenes, Escherichia coli, Fusobacterium necrophorum, dan Prevotella sp yang berlangsung selama lebih dari 3 minggu setelah melahirkan (Foldi et al. 2006). Endometritis dapat bersifat klinis dan subklinis. Endometritis klinis mempengaruhi sekitar 20% dari sapi perah laktasi dengan prevalensi antara 5 sampai lebih dari 30% di beberapa ternak (Galvao et al.
2009; McDougall et al. 2007). Studi pada endometritis subklinis memiliki prevalensi antara 12 sampai 94% pada suatu peternakan (Barlund et al. 2008; Hammon et al. 2006; Kasimanickam et al. 2005).
Gejala Klinis
Endometritis klinis ditandai dengan adanya keluaran yang bersifat purulen (lebih dari 50% nanah) atau mukopurulen (sekitar 50% nanah, 50% lendir) eksudat rahim dalam vagina serta diameter serviks yang membesar. Eksudat tersebut keluar 21 hari atau lebih setelah melahirkan dan tidak disertai dengan tanda-tanda sistemik (Sheldon et al. 2006). Sapi yang mengalami endometritis klinis 27% lebih lama untuk bisa mengalami kebuntingan lagi (Hammon et al.
2006).
Endometritis subklinis ditandai dengan adanya neutrofil (polimorfonuklear) lebih dari 18% dalam sampel sitologi rahim yang dikumpulkan antara 21 sampai 33 hari setelah melahirkan. Menurut Sheldon et al.
(2006), neutrofil yang lebih dari 10% polimorfonuklear antara 34 sampai 47 hari setelah melahirkan dapat dikatakan juga mengalami endometritis subklinis.
Diagnosa
Vaginoscopy diperlukan untuk mengidentifikasi 44% dari kasus endometritis, namun metode lain seperti pemeriksaan cairan yang keluar dari leher rahim juga efektif untuk mengidentifikasi endometritis klinis (McDougall et al.
4
dalam vagina sampai os eksternal serviks. Pemeriksaan cairan dalam rahim dapat dilakukan dengan bantuan lampu flash.
Teknik-teknik baru telah dijelaskan untuk mendiagnosis endometritis subklinis. Peradangan endometrium ditandai dengan proporsi polimorfonuklear sel dalam sampel sitologi. Sampel sitologi dapat diperoleh dengan pembilasan lumen uterus (Sheldon et al. 2006), mengambil biopsi endometrium (Chapwanya
et al. 2010), atau menggunakan teknik cytobrush (Kasimanickam et al. 2005). Teknik cytobrush dilakukan dengan menggunakan kuas kecil yang dimasukkan ke dalam rahim untuk mengumpulkan sel endometrium dan untuk menentukan proporsi polimorfonuklear dalam sampel.
Endometritis dapat didiagnosis dengan deteksi cairan dalam rahim menggunakan ultrasonografi. Namun, metode ini kurang sensitif dibandingkan sitologi endometrium (Balund et al. 2008).
Pencegahan dan Pengobatan
Prinsip terapi endometritis adalah untuk membalikkan perubahan inflamasi yang mengganggu kesuburan dengan mengurangi bakteri patogen dan meningkatkan proses pertahanan dan perbaikan rahim. Menurut Kasimanickam et al. (2005), pengobatan menggunakan cephapirin intra uterin atau PGF2α dapat meningkatkan angka kebuntingan pada sapi yang mengalami endometritis subklinis. Pengobatan endometritis klinis 4 minggu setelah melahirkan dengan 500 mg cephapirin intrauterin secara signifikan dapat mempercepat terjadinya kebuntingan daripada sapi yang tidak diobati (LeBlanc et al. 2002). Pemberian secara intrauterin dari cephapirin benzathine atau intramuskular PGF2α juga efektif dalam pengobatan endometritis klinis atau subklinis.
METODE
Tempat dan Waktu
Kegiatan studi kasus dilaksanakan di wilayah Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat dari bulan Januari 2014 sampai Februari 2015
Metode Penelitian
5
Tabel 1 Populasi sapi perah di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Tahun Populasi Sapi Perah (ekor) Populasi Sapi Betina Dewasa (ekor)
2011 21 991 12 874
2012 16 952 10 675
2013 13 366 8 444
2014 12 439 7 526
Sumber: Data Koperasi Peternakan Bandung Selatan
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan korelasi pearson (skala-skala). Teknik korelasi pearson ini dibantu menggunakan aplikasi SPSS 22.0. Analisis korelasi dilakukan untuk menyatakan ada atau tidaknya hubungan antara variabel X dengan variabel Y (Usman dan Akbar 2000). Variabel X dan Y pada analisis ini yaitu kejadian retensio sekundinae dan endometritis. Uji hipotesis korelasi menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau tingkat kesalahan α 5%. Uji hipotesis korelasi adalah H0 (tidak ada hubungan antara retensio sekundinae dan endometritis) dan H1 (ada hubungan antara retensio sekundinae dan endometritis). Jika menggunakan hasil SPSS 22.0 maka signifikansi yang < 0.05 menunjukkan bahwa terdapat cukup bukti untuk menolak H0. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara retensio sekundinae dan endometritis. Jika signifikansi > 0.05 maka tidak cukup bukti untuk menolak H0 (H0 tidak ditolak). Hal ini berarti bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara retensio sekundinae dan endometritis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Wilayah kerja Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 1420 meter diatas permukaan laut, suhu udara 12 sampai 28°C, dan kelembaban 60 sampai 70%. Kondisi alam tersebut sangat cocok untuk perkembangan sapi perah.
Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) didirikan secara resmi pada tanggal 1 April 1969 atas prakarsa beberapa tokoh masyarakat yang disepakati oleh peternak sapi perah. Wilayah kerja dari koperasi ini meliputi tiga kecamatan yaitu kecamatan Pangalengan, Pacet, dan Kertasari. Populasi sapi perah yang ada di Koperasi Peternakan Bandung Selatan dari tahun 2011 sampai dengan 2014 dapat dilihat pada Tabel 1.
6
Gambaran Umum Potensi Peternakan di KPBS Pangalengan
Hasil kuesioner dari 30 peternak mengenai potensi peternakan di KPBS Pangalengan dilihat dari tingkat pendidikan formal peternak yaitu 57% memperoleh pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar (SD), 33% pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), 7% pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 3% pada tingkat Perguruan Tinggi (PT). Menurut Hartini et al.
(2013), pengelolaan manajemen ternak yang baik membutuhkan tingkat pengetahuan yang memadai. Tingkat pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan yang harus dijalani oleh peternak. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempengaruhi kemampuan seorang peternak dalam menerima segala perkembangan di bidang peternakan. Tingkat pendidikan yang masih rendah cenderung mengalami kesulitan dalam menerima suatu perkembangan di bidang peternakan dan masih mempertahankan kebiasaan lama dalam beternak.
Pendidikan non formal peternak yaitu 47% pernah mengikuti penyuluhan di bidang peternakan dan 53% tidak pernah mengikuti penyuluhan. Pendidikan formal jika sudah tidak bisa ditempuh karena faktor usia, maka pendidikan nonformal bisa menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan pengetahuan peternak (Hartini et al. 2013).
Pengalaman peternak dalam memelihara sapi perah yaitu 10% berpengalaman kurang dari 5 tahun, 13% berpengalaman 5 sampai 10 tahun, dan 77% berpengalaman lebih dari 10 tahun. Pengalaman yang lebih lama akan cukup membantu dalam pemeliharaan sapi perah dan lebih cepat tanggap dalam mengambil keputusan karena pengalaman tersebut dijadikan pedoman dalam beternak sapi perah (Sulistyati et al. 2013).
Kejadian Retensio Sekundinae di KPBS Pangalengan
Hasil kuesioner dari 30 peternak mengenai pengetahuan terhadap kejadian retensio sekundinae yaitu sebanyak 70% mengatakan plasenta tidak keluar lebih dari 8 sampai 12 jam setelah melahirkan, sedangkan 30% tidak mengetahui penyakit ini. Sapi perah dikatakan mengalami retensio sekundinae jika plasenta tidak keluar 8 sampai 12 jam (Manan 2002), 12 jam (Sammin et al. 2009), dan lebih dari 12 sampai 24 jam (Shenavai et al. 2010) setelah melahirkan.
Penyebab retensio sekundinae menurut peternak yaitu 20% karena kurang nutrisi pakan, 33% distokia, dan 47% tidak mengetahui penyebab penyakit ini. Menurut Beagley et al. (2010) dan Islam (2013), faktor yang dapat menyebabkan retensio sekundinae yaitu lahir kembar, distokia, aborsi, fetotomi, induksi kelahiran, operasi cesar, infeksi agen, imunosupresi, serta kekurangan nutrisi vitamin E, selenium dan karoten.
Pengaruh retensio sekundinae menurut peternak yaitu 60% produksi turun, 60% nafsu makan kurang, dan 47% kesuburan menurun. Menurut Relic dan Vukovic (2013), sapi yang mengalami gangguan reproduksi secara langsung akan berpengaruh pada penurunan kinerja reproduksi dan secara signifikan mengalami penurunan produksi susu.
7
Tabel 2 Persentase jumlah kelahiran dengan kejadian retensio sekundinae di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Tahun Jumlah kelahiran Retensio sekundinae
ekor %
2011 7 170 800 11.2
2012 5 845 393 6.7
2013 4 836 431 8.9
Sumber: Data Koperasi Peternakan Bandung Selatan
pengeluaran plasenta secara manual dan pemberian antibiotik, dan 13% pemberian hormon. Metode pengobatan yang digunakan untuk kasus retensio sekundinae pada sapi perah yaitu pengeluaran plasenta secara manual dan pemberian antibiotik intrauterin sistemik dengan atau tanpa oksitosin atau PGF 2α (Drillich et al. 2006).
Kejadian retensio sekundinae di KPBS Pangalengan bervariasi setiap tahunnya. Menurut Noakes et al. (2009), kejadian retensio sekundinae terjadi sekitar 2 sampai 15% dari melahirkan. Hasil persentase kejadian retensio sekundinae dengan jumlah kelahiran yang bervariasi tahun 2011 sampai 2013 dapat dilihat pada Tabel 2.
Kejadian Endometritis di KPBS Pangalengan
Hasil kuesioner dari 30 peternak sebanyak 63% mengatakan ciri-ciri sapi yang mengalami endometritis yaitu keluar lendir keruh dan kental disekitar vagina, 33% siklus berahi diperpanjang dan sulit bunting, dan 43% lendir berahi transfaran, nafsu makan turun, sulit bunting namun berahi normal. Menurut Sheldon et al. (2006), endometritis klinis ditandai dengan adanya keluaran yang bersifat purulen atau mukopurulen eksudat rahim dalam vagina lebih dari 21 hari setelah melahirkan dan tidak disertai dengan tanda-tanda sistemik. Sapi yang mengalami endometritis klinis 27% lebih lama untuk bisa mengalami kebuntingan lagi (Hammon et al. 2006).
Penyebab endometritis menurut peternak yaitu 33.5% kesulitan melahirkan, 10% retensio sekundinae, 3% kematian fetus, dan 53.5% penanganan petugas yang tidak baik. Menurut Ratnawati et al. (2007), faktor pendukung terjadinya endometritis adalah sulit melahirkan, retensio sekundinae, faktor musim, kelahiran kembar, infeksi bakteri serta penyakit metabolit.
Pengaruh endometritis menurut peternak yaitu 57% produksi susu turun, 40% nafsu makan kurang, dan 30% kesuburan menurun. Pengaruh endometritis pada fertilitas yaitu dapat menurunkan kesuburan, jarak antar kelahiran dan
service per conception naik, serta sterilitas karena perubahan saluran reproduksi (Ratnawati et al. 2007).
8
Gambar 1 Frekuensi jumlah kejadian retensio sekundinae di KPBS Pangalengan tahun 2011 sampai 2013
Gambar 2 Frekuensi jumlah kejadian endometritis di KPBS Pangalengan tahun 2011 sampai 2013
PGF2α efektif dalam pengobatan endometritis klinis atau subklinis.
Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis
Kejadian retensio sekundinae dan endometritis di KPBS Pangalengan selama tahun 2011 sampai 2013 berjalan fluktuatif. Jumlah kejadian retensio sekundinae dan endometritis tahun 2011 sampai 2013 dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Kejadian retensio sekundinae selama tahun 2011 mengalami peningkatan jumlah sebanyak 39 kasus pada bulan Mei sampai dengan Juli, sedangkan kejadian endometritis sebanyak 21 kasus pada bulan Agustus sampai dengan November. Kejadian retensio sekundinae mengalami penurunan jumlah pada bulan April sampai dengan Mei sebanyak 22 kasus, sedangkan kejadian endometritis sebanyak 15 kasus pada bulan Juli sampai Agustus.
Kejadian retensio sekundinae pada tahun 2012 mengalami peningkatan jumlah sebanyak 32 kasus pada bulan Juni sampai dengan Agustus, sedangkan kejadian endometritis sebanyak 23 kasus pada bulan Agustus sampai dengan September. Kejadian retensio sekundinae mengalami penurunan jumlah pada bulan Mei sampai dengan Juni sebanyak 15 kasus, sedangkan kejadian endometritis sebanyak 9 kasus pada bulan September sampai dengan November.
9
Tabel 3 Hasil analisis korelasi pearson antara retensio sekundinae dan endometritis menggunakan aplikasi SPSS 22.0
Retensio sekundinae
Endometritis Retensio sekundinae Pearson Correlation 1 .351*
Sig. (2-tailed) .036
N 36 36
Endometritis Pearson Correlation .351*
1
Sig. (2-tailed) .036
N 36 36
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Analisis statistika dari jumlah kejadian retensio sekundinae dan endometritis menunjukan bahwa nilai signifikan korelasinya < 0.05 yaitu 0.036. Hal ini berarti ada hubungan antara kejadian retensio sekundinae dengan endometritis. Nilai koefisien korelasinya positif yaitu 0.351 menunjukkan bahwa hubungan antara keduanya positif. Jika jumlah kasus retensio sekundinae naik maka endometritis juga akan naik begitu juga sebaliknya. Hasil analisis statistika menggunakan aplikasi SPSS 22.0 dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil analisis statistika didukung dengan hasil kuesioner peternak mengenai hubungan antara retensio sekundinae dan endometritis. Hasil kuesioner dari 30 peternak, sebanyak 50% mengatakan setelah kejadian retensio sekundinae akan mengalami endometritis, 10% tidak akan mengalami endometritis, dan 40% tidak mengetahui hubungan kedua penyakit tersebut. Kejadian retensio sekundinae dan endometritis akan berdampak pada kebuntingan. Peternak mengatakan sebanyak 60% setelah kejadian retensio sekundinae dan endometritis masih bisa mengalami kebuntingan namun dalam jangka waktu lama, sedangkan 40% mengatakan tidak terjadi kebuntingan lagi.
Menurut Ilham (2004), retensio sekundinae merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya endometritis. Penanganan retensio sekundinae jika dilakukan tidak aseptis dan membuat karunkula induk ikut terputus bersama kotiledon fetus, maka akan menyebabkan terjadinya perlukaan. Perlukaan yang dipicu dengan adanya infeksi mikroorganisme dapat mengakibatkan peradangan. Peradangan tersebut akan menekan kemampuan fagositosis leukosit di uterus dan mendorong terjadinya invasi bakteri (Beagley et al. 2010) sehingga dapat berkembang menjadi endometritis dan berefek negatif pada kesuburan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
10
Saran
Penelitian disarankan untuk melihat beberapa data pembanding dari tempat penelitian dan parameter gangguan reproduksi lain dengan periode yang lebih lama. Diperlukan upaya untuk mencari penyebab dan memperoleh solusi agar kejadian retensio sekundinae tidak menjadi endometritis.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Populasi Ternak Tahun 2000 sampai 2014 [internet]. [diunduh 2015 April 30]. Tersedia dari: http://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1511.
Barlund CS, Carruthers TD, Waldner CL, Palmer CW. 2008. A comparison of diagnostic techniques for postpartum endometritis in dairy cattle.
Theriogenology. 69:714–723.doi:10.1016/j.theriogenology.2007.12.005. Beagley JC, Whitman KJ, Baptiste KE, Scherxer J. 2010. Physiology and
treatment of retained fetal membrane in cattle. J Vet Internal Med. 24(2):261-268.doi: 10.1111/j.1939-1676.2010.0473.x
Chapwanya A, Meade KG, Narciandi F, Stanley P, Mee JF, Doherty ML,
Callanan JJ, O’Farrelly C. 2010. Endometrial biopsy: A valuable clinical
and research tool in bovine reproduction. Theriogenology. 73(7):988–994. doi:10.1016/j.theriogenology.2009.11.015.
[DITJEN PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2009.
Kebijakan strategi dan program pengembangan agribisnis sapi perah di luar Jawa. Disampaikan pada acara Workshop Peluang Pengembangan Sapi Perah di Luar Pulau Jawa. Bogor, 10 Agustus 2009. Bogor [ID]: Puslitbang Peternakan.
Drillich M, U Reichert, M. Mahistedt and W Heuwieser. 2006. Comparision of two strategies for systemic antibiotic treatment of dairy cows with retained fetal membranes: Preventive versus selective treatment. J Dairy Sci. 89: 1502-1508.
Foldi J, Kulcsar M, Pecsi A, Huyghe B, de Sa C, Lohuis JACM, Cox P, Huszenicza G. 2006. Bacterial complications of postpartum uterine involution in cattle. Animal Reprod Science. 96: 265–281.
Galvao KN, Greco LF, Vilela JM, Sa Filho MF, Santos JEP. 2009. Effect of intrauterine infusion of ceftiofur on uterine health and fertility in dairy cows. J Dairy Sci. 92:1532- 1542. doi:10.3168/jds.2008-1615.
Hammon DS, IM Evjen, TR Dhiman, JP Goff, JL Walters. 2006. Neutrophil function and energy status in holstein cows with uterine health disorders.
Vet Immunol Immunopathol. 113:21-9. doi: 10.1016/j.vetimm.2006.03.022 Han YK, Kim IH. 2005. Risk factors for retained placenta and the effect of retained placenta on the occurrence of postpartum diseases and subsequent reproductive performance in dairy cows. J Vet Sci. 6(1):53-59.
11 Hartini, Putro S, Sutardji. 2013. Pengaruh tingkat pendidikan terhadap tingkat pendapatan masyarakat peternak sapi perah di desa Sukoreme kecamatan Musuk kabupaten Boyolali. J Edu Geography. 1(2):33-38.
Ilham SW. 2004. Hubungan antara Retensio Sekundinae dan Endometritis pada Sapi Perah (Studi kasus di Wilayah Koperasi Peternakan Sapi Perah (KPS) Gunung Gede, Sukabumi, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Islam H, Sarder JU, Jahan SS, Rahman M, Zahan M, Kader A, Hossain M. 2013. Retained placenta of dairy cows associated with managemental factors in Rajshahi, Bangladesh. Vet World. 6(4):180-184. doi:10.5455/vetworld.2013.180-184
Kasimanickam R, Duffield TF, Foster RA, Gartley CJ, Leslie KE, Walton JS, Johnson WH. 2005. A comparison of the cytobrush and uterine lavage techniques to evaluate endometrial cytology in clinically normal postpartum dairy cows. Can Vet J. 46(3):255–259.
Kimura K, JP Goff, ME Kehrli, TA Reinhardt. 2002. Decreased neutrophil function as a cause of retained placenta in dairy cattle. J Dairy Sci. 85:544-550.
Krizanec F, M Kosec. 2003. The effective use of synthetic prostaglandin to give support for the manual extraction of retained placenta in cattle. Slov Vet Res. 40: 107-117.
Krunoslav A, Matija D, Z Pavicic, Z Bukvic, Mirjana Baban, Boris Antunovic. 2008. The relationship between diet and retained placenta in cows. Acta agriculturae Slov. Suplement 2: 155–162.
LeBlanc SJ, Duffield TF, Leslie KE, Bateman KG, Keefe GP, Walton JS, Johnson WH. 2002. Defining and diagnosis postpartum clinical endometritis and its impact on reproductive performance in dairy cows. J Dairy Sci. 85:2223– 2236.
LeBlanc SJ, Herdt T, Seymour W, Duffield D, Leslie K. 2004. Factors associated
with peripartum serum concentrations of vitamin E, retinol, and β-carotene in holstein dairy cattle and their associations with periparturient disease. J Dairy Sci. 87:609–619.
Lindsay DR, KW Entwistle, A Winantea. 1982. Reproduction in Domestic Livestock in Indonesia. Melbourne (AUS): University of Queensland Press. Manan D. 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Banda Aceh (ID): Universitas
Syiah Kuala Press.
McDougall S, Macaulay R, Compton C. 2007. Association between endometritis diagnosis using a novel intravaginal device and reproductive performance in dairy cattle. Anim Reprod Sci. 99(1-2):9–23. doi:10.1016/j.anireprosci.2006.03.017.
Noakes DE, Parkinson TJ, England GCW. 2009. Veterinary Reproduction and Obstetrics 9thedition. London (GB): Saunders Elsevier.
Relic R, Vukovic D. 2013. Reproductive problem and welfare of dairy cows.
BUASVM. 70(2):301-309.doi:10.15835/buavmcn-vm:70:2:9187
12
Sammin D, Markey B, Bassett H, Buxton D. 2009. The ovine placenta and placentitis: a review. Vet Microbiol. 135: 90-97. doi:10.1016/j.vetmic.2008.09.054.
Sheldon IM, Lewis GS, LeBlanc S, Gilbert RO. 2006. Defining postpartum uterine disease in cattle. Theriogenology. 65:1516-1530. doi:10.1016/j.theriogenology.2005.08.021.
Shenavai S, Hoffmann B, Dilly M, Pfarrer C, Ozalp GR, Caliskan C, Intas KS, Schuler G. 2010. Use of the progesterone (P4) receptor antagonist aglepristone to characterize the role of P4 withdrawal for parturition and placental release in cows. Reproduction. 140: 623-632. doi: 10.1530/REP-10-0182.
Sulistyati M, Hermawan, Fitriani A. 2013. Potensi usaha peternakan sapi perah rakyat dalam menghadapi pasar global. Jurnal Ilmu Ternak. 13: 17-23. Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung (ID): Angkasa. Usman H, Akbar PS. 2000. Pengantar Statistika. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Wilde D. 2006. Influence of macro and micro minerals in the peri-parturient
13 Lampiran 1 Hasil kuesioner peternak di KPBS Pangalengan, Jawa Barat
Latar belakang Responden Jumlah responden yang menjawab (%)
Menjual susu dan ternak sapi perah
Sambilan
80 17 3 Jawaban lebih dari satu
Jenis hijaun yang diberikan
Rumput gajah Konsentrat didapat dari koperasi 100 Kualitas konsentrat Penggunaan konsentrat berapa kg
sehari
Kurang dari 10 kg
Lebih dari 10 kg
53 47 Konsentrat koperasi dicampur dengan
14
Lebih dari 8-12 jam setelah melahirkan
Tidak tahu
73 0 27 Sapi mengalami retensio
secundinae
Plasenta keluar kurang dari 8-12 jam setelah
melahirkan
Plasenta keluar lebih dari 8-12 jam setelah
Kurang nutrisi pakan
Kandang kotor
Distokia (sulit melahirkan)
Tidak tahu
20 0 33 47 Jawaban yang lebih dari satu
Pengaruh retensio secundinae
Produksi turun
Nafsu makan kurang
Kesuburan menurun
60 60 47 Pengobatan yang dilakukan
petugas
Pengeluaran plasenta secara manual
Pemberian antibiotik
15 Pengetahuan Responden terhadap
kejadian endometritis
Jumlah responden (%) Jawaban lebih dari satu
Ciri-ciri sapi yang mengalami endometritis
Keluar lendir keruh dan kental disekitar vagina
Siklus berahi diperpanjang dan sulit bunting
Lendir berahi transfaran,nafsu makan turun, sulit bunting namun birahi normal
Penanganan petugas yang tidak baik
33.5 10
3 53.5 Pengaruh kejadian endometritis
(Jawaban lebih dari satu)
Produksi susu turun
Nafsu makan kurang
Kesuburan menurun
57 40 30 Petugas melakukan apa pada sapi
yang mengalami penyakit tersebut
Pemberian antibiotik
Pemberian hormon
Pemberian antibiotik dan hormon Setelah kejadian retensio secundinae
sapi mengalami endometritis Setelah mengalami kejadian retensio
secundinae atau endometritis sapi mengalami bunting lagi
Ya
Tidak
16
Lampiran 2 Kuesioner Peternak KPBS Pangalengan
KUESIONER INI HANYA UNTUK KEPENTINGAN
PENELITIAN SEMATA SEBAGAI
PENDUKUNG SKRIPSI
Sebagai syarat menyelesaikan program sarjana Kedokteran Hewan di Institut Pertanian Bogor, saya melakukan penelitian tentang “Kejadian Retensio Sekundinae dan Hubungannya dengan Endometritis pada Sapi Perah (Studi kasus di KPBS Pangalengan). Saya mohon bantuan dan ketersediaannya untuk memberikan jawaban yang sesungguhnya. Terimakasih
PTK
Identitas Responden
Nama :
Alamat / Komda :
Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan
Umur :
Petunjuk pengisian :
Pilihlah jawaban yang anda anggap paling benar dan jawaban bisa lebih dari satu jawaban dengan menyilang (X) pilihan yang tersedia.
Latar Belakang Peternak
NO PERTANYAAN JAWABAN
1. Pendidikan terakhir Bapak/ ibu?
a. SD b. SMP
c. SMA/ SMK d. D3,S1,S2 2. Pendidikan non formal: a. Tidak ada
b. Penyuluhan dan pelatihan peternakan
c. Lain-lain...(Tuliskan) 3. Apa mata pencaharian pokok
Bapak/ ibu?
17
8. Berapa jumlah sapi yang Bapak/ ibu pelihara?
pada sapi yang dimiliki
a. Hijauan b. Konsentrat
c. Hijauan dan konsentrat 10. Hijauan jenis apa yang biasa 12. Konsentrat yang didapat berasal
dari mana?
a. Koperasi
b. Lain-lain ………. (Tuliskan)
13. Menurut Bapa/Ibu, bagaimana kualitas konsentrat yang diberikan pada sapi ?
18
14. Bagaimana harga konsentrat yang diberikan?
a. Murah b. Standar c. Mahal 15. Bagaimana penggunaan konsentrat
yang diberikan? ……….
(Tuliskan) 16. Berapa kali bapa/ibu memberi
makan sapi dalam sehari?
a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali
d. Lebih dari 3 kali 17. Apakah bapa/ibu menjaga
kebersihan kandang setiap hari?
a. Ya b. Tidak 18. Berapa kali bapa/ibu membersihkan
kandang setiap harinya?
a. 1 kali b. 2 kali
c. Lebih dari 2 kali Kejadian Retensio Sekundinae
19. Apakah bapa/ibu mengetahui penyakit retensio sekundinae?
a. Ya
sekundinae di daerah bapa/ibu? ……….
22. Kapan normalnya plasenta keluar dari dalam sapi setelah melahirkan?
a. Kurang dari 8-12 jam setelah melahirkan
b. Lebih dari 8-12 jam setelah melahirkan
c. Tidak tahu 23. Kapan sapi dikatakan mengalami
retensio sekundinae ?
a. Plasenta keluar kurang dari 8-12 jam setelah melahirkan b. Plasenta keluar lebih dari
8-12 jam setelah melahirkan c. Tidak tahu
24. Apakah penyebab dari retensio sekundinae ?
a. Kurang nutrisi pakan b. Kandang yang kotor c. distokia (sulit melahirkan) d. Lain-lain ……….
(Tuliskan) 25. Apa pengaruh kejadian retensio
sekundinae pada sapi yang dimiliki bapa/ibu?
a. Produksi susu turun b. Nafsu makan kurang c. Kesuburan menurun d. Lain-lain ……….
(Tuliskan) 26. Apa yang dilakukan jika sapi
bapa/ibu mengalami retensio
19
sekundinae? c. Lain-lain ……….
(Tuliskan) 27. Apakah bapa/ibu mengetahui
pengobatan yang biasa dilakukan oleh petugas untuk kejadian retensio sekundinae?
a. Ya b. Tidak
28. Jika ya, apa pengobatan yang dilakukan oleh petugas untuk kejadian retensio sekundinae?
a. Pengeluaran plasenta secara manual
b. Pemberian antibiotik
c. Pengeluaran plasenta secara manual dan antibiotic d. Pemberian hormon e. Tidak tahu
2.9 Mengapa bapa/ibu memilih pengobatan tersebut?
a. Saran dokter hewan b. Saran mantri hewan c. Kebiasaan/tradisi d.
Lain-lain…………...(tuliskan) Kejadian Endometritis
30. Apakah bapa/ibu mengetahui penyakit endometritis? 32. Bagaimana ciri-ciri sapi yang terkena
endometritis?
a. Keluar lendir keruh dan kental di sekitar vagina b. Siklus berahi diperpanjang
dan sulit terjadi kebuntingan c. Lendir berahi transfaran,
nafsu makan turun, sulit terjadi kebuntingan sedangkan siklus berahi normal
d.
Lain-lain…...
(Tuliskan)
33. Apakah penyebab dari endometritis ? a. Kesulitan melahirkan (distokia)
b. Retensio sekundinae c. Kematian fetus (abortus) d. Penangana petugas yang
tidak baik e. Tidak tahu 34. Apakah ada pengaruhnya pada sapi
bapa/ibu setelah sapi mengalami endometritis?
a. Ya b. Tidak
20
setelah sapi mengalami endometritis? b. Nafsu makan kurang c. Kesuburan menurun d.
Lain-lain………..
(Tuliskan) 36. Apa yang dilakukan bapa/ibu ketika
sapi mengalami endometritis?
a. Melapor pada petugas b. Menangani sendiri c. Lain-lain ……….
(Tuliskan) 37. Apa yang dilakukan oleh petugas
pada sapi yang mengalami endometritis?
a. Pemberian antibioitik b. Pemberian hormone c. Pemberian antibiotic dan
hormone
d. Tidak diberikan antibiotic maupun hormone
e. Tidak tahu 38. Apakah setelah kejadian retensio
sekundinae sapi mengalami endometritis?
a. Ya b. Tidak 39. Apakah setelah mengalami kejadian
retesio sekundinae maupun endometritis sapi bapa/ibu mengalami kebuntingan lagi?
21
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 29 Juni 1994 dari pasangan Bapak Jajang Kusmala dan Ibu Tanti Heryanti. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pangalengan pada tahun 2011 dan lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Undangan dengan jurusan Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan IPB.