WIDI YUDHA BITAMA
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Widi Yudha Bitama (E 24102076), 2007. Biodeteriorasi Kayu Dalam Variasi Perlakuan Sinar Matahari dan Air. Di bawah bimbingan Ir. Trisna Priadi M.Eng.Sc.
Indonesia diketahui mempunyai sekitar 120,35 juta hektar hutan tropis. Berdasarkan luasannya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo (FWI dan GFW, 2001). Indonesia juga dikenal sebagai negara mega biodiversity (memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi). Negeri ini mempunyai tidak kurang dari 4000 jenis kayu yang tersebar disepanjang hutan. Namun dari jumlah tersebut tidak lebih dari 200 jenis kayu telah dikenal dan secara komersil diperdagangkan selama ini.
Laju deforestasi saat ini yang diperkirakan mencapai lebih dari 3 juta ha/ tahun menyebabkan keberadaan jenis kayu komersial kian berkurang. Walupun demikian permintaan kayu sebagai bahan baku masih sangat tinggi, sehingga dibutuhkan bahan baku lain berupa kayu solid yang dapat mensubtitusi jenis-jenis kayu komersial yang ada. Dalam hal ini kayu sengon sebagai kayu cepat tumbuh (fast growing species) dan kayu kelapa hibrida sebagai jenis kayu yang kurang dikenal (lasser known species) dapat menjadi pilihan untuk dapat menggantikan jenis-jenis kayu komersial yang ada.
Ancaman biodeteriorasi di Indonesia sangat besar mengingat sebagian besar kayu (80 – 85%) yang terdapat di Indonesia memiliki tingkat keawetan yang rendah sehingga mudah terserang organisme perusak kayu. Kenyataan ini ditunjang pula oleh letak geografis Indonesia di khatulistiwa dengan iklim tropis yang merupakan kondisi yang ideal untuk organisme perusak kayu untuk tumbuh dan berkembang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik biodeteriorasi kayu dengan menekankan pada pengaruh lingkungan yaitu sinar matahari dan air terhadap variasinya pada jenis kayu dalam hal ini sengon, kamper dan kelapa hibrida yang dinyatakan dengan perubahan sifat fisis dan mekanisnya. Sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik biodeteriorasi kayu oleh sinar matahari dan air diharapkan menjadi pertimbangan dalam pencegahan dan pengendalian biodeteriorasi kayu dalam penyimpanan, pengolahan dan penggunaan kayu.
Penelitian lapangan dilakukan dari bulan Juli sampai dengan Oktober 2006, di Ciomas. Kegiatan laboratorium dilakukan di Laboratorium Kayu Solid dan Keteknikan Kayu Fakultas Kehutanan, IPB. Bahan yang digunakan adalah sejumlah papan dan balok kayu sengon, kamper dan kelapa hibrida. Standar yang digunakan untuk pengujian sifat fisis dan mekanis adalah B.S. 373 : 1957 dan ASTM D 2017 : 2002. Contoh uji yang telah dibuat kemudian diletakkan pada 6 tempat berbeda yang merupakan kombinasi antara perlakuan sinar matahari (tanpa dan terkena) dan air (tanpa, terkena hujan dan air mengalir) selama 4 bulan. Perangkat lunak yang digunakan untuk mengolahan dan analisis data hasil pengujian sifat fisis dan mekanis adalah SAS versi 6.12.
kayu. Penurunan nilai berat jenis secara nyata terjadi hanya pada kayu kamper dengan perlakuan diberi air mengalir. Kuat dugaan hal tersebut terjadi karena zat ekstraktif yang bersifat racun pada jamur yang terdapat dalam kayu kamper tercuci pada saat terkena air mengalir. Sehingga menyebabkan daya tahan kayu kamper terhadap biodeteriorasi menurun sehinnga terjadi biodeteriorasi dan akhirnya menyebabkan berat jenisnya menurun. Kondisi yang menyimpang terjadi pada kayu kelapa hibrida yang diberi perlakuan air mengalir berat jenisnya relatif tinggi. Setelah dicermati hal tersebut disebabkan vascular bundle pada contoh uji perlakuan tersebut lebih rapat dibanding dengan contoh uji lainnya. Peningkatan kehilangan berat kayu secara nyata terjadi seiring dengan pemberian air pada setiap jenis kayu. Nilai kehilangan berat tertinggi terjadi pada perlakuan air mengalir (kayu sengon 21,32%, kayu kamper 6,83% dan kayu kelapa hibrida 10,30%). Nilai kehilangan berat kayu yang tinggi mengindikasikan tingkat biodeteriorasi yang tinggi pula.
Dari hasil pengujian sifat mekanis diketahui bahwa terjadi perubahan nilai MOE, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat. Faktor sinar matahari selama kurun waktu penelitian terbukti tidak berpengaruh secara nyata terhadap perubahan nilai sifat mekanis kayu. Faktor pemberian air mengalir terbukti secara nyata mempengaruhi penurunan sifat mekanis (MOE, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat) hanya pada kayu kamper saja. Hal ini diduga terkait dengan tercucinya zat ekstraktif dalam kayu kamper yang bersifat racun sehingga kayu kamper terdegradasi oleh jamur dan besarnya nilai penurunan kekuatan yang terjadi pada kayu kamper. Air hujan selama jangka waktu penelitian pada umumnya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap terjadinya biodeteriorasi.
Oleh
WIDI YUDHA BITAMA E 24102076
Skripsi
Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Penelitian : Biodeteriorasi Kayu Dalam Variasi Perlakuan Sinar Matahari dan Air
Nama : Widi Yudha Bitama
Nomor Pokok : E 24102076
Program Studi : Hasil Hutan
Sub-Program Studi : Pengolahan Hasil Hutan
Menyetujui :
Dosen Pembimbing
Ir. Trisna Priadi M.Eng.Sc
NIP. 132045535
Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
NIP. 131430799
Penulis lahir pada tanggal 28 Juni 1984 di Majalengka sebagai anak
Pertama dari tiga bersaudara, putra pasangan Achmad Sanusi dan Tuti Sustilah.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Cipaku Perumda pada
tahun 1996. Pendidikan lanjutan tingkat pertama penulis tempuh di SLTPN 2
Bogor, lulus tahun 1999. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMUN 4
Bogor dan lulus pada tahun 2002.
Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2002. Dan penulis diterima di
Jurusan Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB dengan mengambil Laboratorium
Kayu Solid
Selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan, penulis telah
melaksanakan kegiatan Magang pada bulan Juli 2004 di KPH Banyumas Timur.
Pada tahun 2005 penulis mengikuti Praktek Umum Pengenalan dan Pengelolaan
Kehutanan (P3H) di Perum Perhutani KPH Banyumas Barat, Banyumas Timur
dan Ngawi. Penulis juga aktif dalam lembaga kemahasiswaan diantaranya panitia
pelepasan wisuda “Pemanenan” tahun 2003, anggota IFSA LC IPB periode
2003-2004, pengurus Departemen PSDM Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan
(Himasiltan) periode 2004-2005, ketua panitia Up-Greading HIMASILTAN 2005,
dan panitia pertandingan basket antar mahasiswa “E-competition” tahun 2005. Pada Bulan Februari sampai dengan April 2006, penulis melaksanakan Kuliah
Kerja Profesi (KKP) di PT. Super Poly Industri, Gunung Putri, Kabupaten Bogor.
Dalam rangka menyelesaikan studi, penulis menyusun skripsi dengan
judul “Biodeteriorasi Kayu Dalam Variasi Perlakuan Sinar Matahari dan Air” di bawah bimbingan Ir. Trisna Priadi M.Eng.Sc.
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
laporan tugas akhir yang berjudul Biodeteriorasi Kayu dalam Variasi Perlakuan
Sinar matahari dan Air.
Ancaman biodeteriorasi di Indonesia sangat besar mengingat sebagian
besar kayu yang terdapat di Indonesia memiliki tingkat keawetan yang rendah
sehingga mudah terserang organisme perusak kayu. Kenyataan ini ditunjang pula
oleh letak geografis Indonesia di khatulistiwa dengan iklim tropis yang
merupakan kondisi yang ideal untuk organisme perusak kayu untuk tumbuh dan
berkembang. Sehingga dengan penulisan tugas akhir ini diharapkan dapat
memberikan informasi tentang pengaruh sinar matahari dan air terhadap
biodeteriorasi kayu.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih terdapat kekurangan, maka
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat lebih baik.
Bogor, Maret 2007
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya
dengan hidayah-Nya penulis berhasil menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat
pada waktunya. Berkat bimbingan Allah Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang serta dorongan dari keluarga, teman-teman, dan Pembimbing berbagai
hambatan dapat diatasi. Selain itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang tak terhingga kepada para pihak, sebagai berikut :
1. Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan, bimbingan dan nasihat-nasihat yang mendidik pada
penulis.
2. Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr sebagai dosen penguji wakil dari Departemen
Manajemen Hutan, dan Ir. Endes N Dahlan, MS sebagai dosen penguji
wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
3. Kedua orang tua dan seluruh keluarga atas dukungan dan bantuan moril dan
materil yang selalu diberikan kepada penulis.
4. Mbak Esti, Mbak Lastri, Ibu Istie, Pak Kadiman, Irfan dan Pak Amin atas
segala bantuan, bimbingan dan kerjasamanya.
5. Rekan-rekan sebimbingan dan seperjuangan Laboratorium Kayu Solid
(Rully, Daniel (akhirnya), Andy, Rendy, Agung, Rais, Dimas, Itan, Teny,
Irma, Nuci & Ike (bantuannya)), Keteknikan Kayu (Siho (banyak masukan
yang berarti), Chiput, Ipank, Danang, Iman, Qq & Ratih), Kimia Kayu (Ieka
(kameranya), Fadli, Agus, Wilin, Encie, Nura & Tia), Biokomposit (Budi
(Last/Single Fighter??), Poncho (transportasi) & Heri), Ekonomi Industri
(Buyuang, Yoan (Laptop), Ruri & Anie) dan rekan-rekan seperjuangan
THH 39 lainnya atas kebersamaan selama 4 tahun terakhir.
6. Barudak PMS (Alvin, Atje, Togu, John, Bani & Bayu), PF (Andri & Neni
(konsultasinya)) dan Yasmin (Ujang (konsultasinya), Ruri & Oox) serta
Dipta, Iera & Riesmol atas kameranya.
7. Brantakan team (Recak, Iyo, Franses), Buyung & Adhenia.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu
KATA PENGANTAR... i
UCAPAN TERIMA KASIH... ii
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR TABEL... iv
DAFTAR GAMBAR... v
DAFTAR LAMPIRAN... vi
PENDAHULUAN Latar Belakang... 1
Tujuan Penelitian... 2
Manfaat Penelitian... 2
TINJAUAN PUSTAKA Kayu Sebagai Bahan Alami... 3
Sifat Kimia Kayu... 3
Sifat Fisis Kayu... 6
Sifat Mekanis Kayu ... 6
Sifat Keawetan Kayu ... 8
Biodeteriorasi Kayu... 8
Karakteristik Kayu... 12
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian... 16
Bahan dan Alat Penelitian... 16
Tahapan Penelitian... 16
Rancangan Percobaan dan Analisis Data... 21
HASIL DAN PEMBAHASAN Biodeteriorasi Kayu oleh Mikrooragisme Perusak Kayu... 22
Kadar Air... 24
Berat Jenis... 27
Kehilangan Berat... 29
MOE... 33
MOR... 35
Tekan Sejajar Serat... 38
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 41
Saran ... 41
DAFTAR PUSTAKA... 42
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Perlakuan contoh uji sebelum diuji………. 17
2 Analisa sidik ragam pengaruh jenis kayu dan perlakuan terhadap KA kayu... 25 3 Kelas kuat kayu... 28
4 Analisa sidik ragam pengaruh jenis kayu dan perlakuan terhadap BJ kayu... 29 5 Analisa sidik ragam pengaruh jenis kayu dan perlakuan terhadap
kehilangan berat kayu... 31 6 Analisa sidik ragam pengaruh jenis kayu dan perlakuan terhadap MOE
kayu... 34
7 Analisa sidik ragam pengaruh jenis kayu dan perlakuan terhadap MOR kayu... 37
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Skema pembuatan contoh uji BJ, KA dan tekan sejajar serat dari contoh
uji MOE dan MOR yang telah diuji………... 17
2 Contoh uji kehilangan berat………... 17
3 Kondisi perlakuan... 18
4 Skema pengujian MOE dan MOR... 20
5 Skema pengujian tekan sejajar serat……….. 21
6 Perkembangan molds, jamur pewarna dan miselium pada contoh uji kayu perlakuan terkena air mengalir dan air hujan... 22
7 Perkembangan miselium dan tubuh buah jamur pada contoh uji kayu sengon... 23
8 Grafik rataan kadar air (KA) kayu berdasarkan perlakuan... 24
9 Grafik rataan berat jenis (BJ) kayu berdasarkan perlakuan... 27
10 Grafik rataan kehilangan berat kayu berdasarkan perlakuan... 30
11 Grafik rataan Modulus of Elasticity (MOE) kayu berdasarkan perlakuan... 33
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Uji lanjut Duncan pada pengaruh perlakuan terhadap KA kayu... 45
2 Uji lanjut Duncan pada pengaruh interaksi terhadap KA kayu... 45
3 Uji lanjut Duncan pada pengaruh jenis kayu terhadap BJ kayu... 46
4 Uji lanjut Duncan pada pengaruh interaksi terhadap BJ kayu... 46
5 Uji lanjut Duncan pada pengaruh jenis kayu terhadap kehilangan berat... 47
6 Uji lanjut Duncan pada pengaruh perlakuan terhadap kehilangan berat.... 47
7 Uji lanjut Duncan pada pengaruh interaksi terhadap kehilangan berat... 47
8 Uji lanjut Duncan pada pengaruh jenis kayu terhadap MOE... 48
9 Uji lanjut Duncan pada pengaruh perlakuan terhadap MOE... 48
10 Uji lanjut Duncan pada pengaruh interaksi terhadap MOE... 48
11 Uji lanjut Duncan pada pengaruh jenis kayu terhadap MOR... 49
12 Uji lanjut Duncan pada pengaruh perlakuan terhadap MOR... 49
13 Uji lanjut Duncan pada pengaruh interaksi terhadap MOR... 49
14 Uji lanjut Duncan pada pengaruh jenis kayu terhadap σ // serat... 50
15 Uji lanjut Duncan pada pengaruh perlakuan terhadap σ // serat... 50
16 Uji lanjut Duncan pada pengaruh interaksi terhadap σ// serat... 50
17 Korelasi vascular bundle kelapa hibrida dengan peubah……… 51
18 Contoh uji MOE dan MOR setelah perlakuan………….……… 52
19 Contoh uji kehilangan berat setelah perlakuan………….……… 52
20 Contoh uji KA dan BJ setelah perlakuan………….……… 53
21 Contoh uji tekan sejajar serat setelah perlakuan………….………. 53
Latar Belakang
Indonesia diketahui mempunyai sekitar 120,35 juta hektar hutan tropis.
Berdasarkan luasannya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah
Brasil dan Republik Demokrasi Kongo (dahulu Zaire). Hutan-hutan tersebut
memiliki kekayaan hayati yang unik. Tipe-tipe hutan utama di Indonesia berkisar
dari hutan-hutan Dipterocarpaceae dataran rendah yang selalu hijau di Sumatera
dan Kalimantan, sampai hutan monsun musiman dan padang savana di Nusa
Tenggara, serta hutan-hutan non-Dipterocarpaceae dataran rendah dan kawasan
Alpin di Irian Jaya (Papua). Indonesia juga memiliki hutan mangrove terluas di
dunia. Luasnya diperkirakan sebesar 4,25 juta hektar pada awal tahun 1990-an
(FWI dan GFW, 2001).
Martawidjaya dan Kartasujana (1986) menyatakan bahwa Indonesia juga
dikenal sebagai negara mega biodiversity (memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi). Negeri ini mempunyai tidak kurang dari 4000 jenis kayu yang tersebar
disepanjang hutan. Namun dari jumlah tersebut tidak lebih dari 200 jenis kayu
telah dikenal dan secara komersil diperdagangkan selama ini.
Sebagai produk alamiah, kayu memiliki banyak manfaat bagi manusia.
Jenis kayu yang biasa dimanfaatkan untuk kebutuhan struktural adalah dari jenis
komersial yang memiliki keawetan dan kekuatan yang baik seperti kayu meranti,
keruing, kamper, jati dan lainnya. Pada saat ini keberadaan jenis kayu komersial
ini kian berkurang, sehingga dibutuhkan bahan baku lain berupa kayu solid yang
dapat mensubtitusi jenis-jenis kayu komersial yang ada. Dalam hal ini kayu
sengon sebagai kayu cepat tumbuh (fast growing species)dan kayu kelapa hibrida sebagai jenis kayu yang kurang dikenal (lasser known species) dapat menjadi pilihan untuk dapat menggantikan jenis-jenis kayu komersial yang ada.
Ancaman biodeteriorasi di Indonesia sangat besar mengingat sebagian
besar kayu (80 – 85%) yang terdapat di Indonesia memiliki tingkat keawetan yang
rendah sehingga mudah terserang organisme perusak kayu. Kenyataan ini
ditunjang pula oleh letak geografis Indonesia di khatulistiwa dengan iklim tropis
dan berkembang pada kayu, baik pada kayu yang memiliki keawetan tinggi
ataupun rendah. Padlinurjaji (1987) menyatakan bahwa di tempat penyimpanan
atau log yard, semua kayu dalam berbagai bentuk dan ukuran dapat terserang
jamur sehingga kayu menjadi rusak atau lapuk. Maka penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui seberapa besar pangaruh cahaya matahari dan air terhadap
biodeteriorasi kayu sengon, kamper dan kelapa hibrida.
Tujuan Penelitan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik biodeteriorasi kayu
dengan menekankan pada pengaruh lingkungan yaitu cahaya matahari dan air
terhadap variasinya pada jenis kayu dalam hal ini sengon, kamper dan kelapa
hibrida yang dinyatakan dengan perubahan sifat fisis dan mekanisnya.
Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui karakteristik biodeteriorasi kayu oleh cahaya matahari
dan air diharapkan menjadi pertimbangan dalam pencegahan dan pengendalian
Kayu Sebagai Bahan Alami
Kayu merupakan bahan organik yang berasal dari pohon. Kayu disusun
oleh komponen-komponen kimia kayu terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin,
dan zat ekstraktif. Kayu merupakan bahan yang anisotropik yaitu memperlihatkan
sifat-sifat yang berlainan jika diukur menurut tiga arah utamanya (longitudinal,
radial dan tangensial). Kayu juga dapat terdegradasi karena diserang hama dan
penyakit serta dapat terbakar terutama dalam keadaan kering (Tsoumis,1991).
Kayu memiliki kelebihan dibanding material lain (metal, plastik, semen)
dalam hal variasi warna, tekstur dan corak serta kekuatan. Hal tersebut
menyebabkan permintaan kayu sebagai bahan bangunan tetap tinggi. Selain
kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, kayu juga memiliki kelemahan. Kelemahan
yang dimiliki adalah kayu bersifat higroskopik yaitu dapat menyerap, mengikat
dan melepaskan air dalam bentuk cair dan uap sebagai akibat perubahan
kelembaban dan suhu udara disekelilingnya (Tsoumis,1991).
Sifat Kimia Kayu
Komponen-komponen kimia kayu merupakan unsur-unsur yang menyusun
dinding sel kayu. Komponen kimia kayu tersebut terdiri dari selulosa,
hemiselulosa, lignin, zat ekstraktif dan abu. Tiga komponen pertama merupakan
bagian dinding sel sedangkan zat ekstraktif merupakan zat organik dan anorganik
yang sebagian besar terdapat dalam lumen (Fengel dan Wegener, 1995).
Fengel dan Wegener (1995) juga menyatakan komponen kimia kayu
memiliki arti penting untuk menentukan kegunaan/manfaat suatu jenis kayu.
Komponen kimia yang dimaksud adalah komponen utama penyusun dinding sel
kayu yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin serta komponen penyerta
Selulosa
Selulosa merupakan struktur dasar sel-sel tanaman, oleh karena itu
merupakan bahan alam yang penting yang dibuat oleh organisme hidup. Selulosa
juga merupakan komponen kimia kayu yang terbesar, yang di dalam kayu lunak
dan kayu keras jumlahnya dapat mencapai setengahnya (Fengel dan Wegener,
1995). Sjostrom (1995) menyatakan bahwa selulosa merupakan homopolisakarida
yang tersusun atas unit-unit β-D-glukopiranosa yang terikat satu sama lain dengan
ikatan-ikatan glikosida (1 → 4).
Selulosa merupakan polimer linier dengan unit-unit dan ikatan-ikatan yang
seragam. Ukuran rantai molekul dinyatakan dengan derajat polimerisasi. Derajat
polimerisasi selulosa untuk tumbuhan berkisar antara 7000 sampai dengan 15000.
Gugus fungsional yang terdapat dalam rantai selulosa adalah gugus-gugus
hidroksil. Permukaaan rantai selulosa penuh dengan gugus-gugus OH- yang menentukan sifat kimia dan sifat fisika selulosa. Gugus OH- pada selulosa dapat mengadakan interaksi satu dengan lainnya atau dengan gugus O-, N-, S- dengan ikatan hidrogen (Fengel dan Wegener, 1995).
Hemiselulosa
Hemiselulosa semula diduga merupakan senyawa antara biosintesis
selulosa. Namun saat ini diketahui bahwa hemiselulsa termasuk dalam kelompok
polisakarida heterogen yang dibentuk melalui jalan biosintesis yang berbeda dari
selulosa. Berbeda dengan selulosa yang merupakan homopolisakarida,
hemiselulosa merupakan heteropolisakarida. Seperti halnya selulosa kebanyakan
hemiselulosa berfungsi sebagai bahan pendukung dalam dinding sel
(Sjostrom,1995).
Masih menurut Sjostrom (1995) hemiselulosa relatif mudah dihidrolisis
oleh asam menjadi komponen-komponen monomernya yang terdiri dari
D-glukosa, D-manosa, D-galaktosa, D-xilosa, L-arabinosa, dan sejumlah kecil
Rowell (1984) menyatakan bahwa komponen penyusun hemiselulosa pada
kayu daun lebar berbeda dengan kayu daun jarum. Pada kayu daun lebar terdiri
glukuronoxilan dan glukomanan, sedangkan pada kayu daun jarum terdiri dari
arabinoxilan dan galaktoglukomanan.
Lignin
Lignin merupakan komponen makromolekul kayu ketiga setelah selulosa
dan hemiselulosa. Struktur molekul lignin berbeda bila dibandingkan dengan
polisakarida karena terdiri atas sistem aromatik yang tersusun atas unit-unit fenil
propana. Lignin merupakan senyawa amorf yang terdapat di dalam lamela tengah
maupun di dalam dinding sekunder. Dalam kayu daun jarum kandungan lignin
lebih banyak bila dibandingkan dalam kayu daun lebar. Terdapat perbedaan
struktur lignin di dalam kayu daun jarum dan kayu daun lebar (Fengel dan
Wegener, 1995). Menurut Sjostrom (1995) konsentrasi lignin tertinggi di dalam
dinding sel terdapat dalam lamela tengah dan akan semakin rendah pada dinding
sekunder.
Achmadi (1990) menyatakan bahwa lebih dari 2/3 fenil propana dalam
lignin dihubungkan melalui ikatan eter, sedangkan sisanya 1/3 melalui ikatan
karbon-karbon dan gugus fungsi yang sangat mempengaruhi reaktivitas lignin.
Lignin terdiri dari hidroksil fenolik, hidroksil benzelik dan gugus karbonil.
Berdasarkan strukturnya lignin dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :
a. Lignin guaiasil : Terdapat pada kayu daun jarum (22-32 %) dengan prazat
koniferil alkohol.
b. Lignin guaiasil_siringil : Merupakan ciri khas kayu daun lebar (20-28 %; pada
kayu tropis > 30 %) dengan prazat koniferil alkohol : sinapil alkohol dengan
nisbah 4:1 sampai 4:2.
Zat Ekstraktif
Zat ekstraktif merupakan sejumlah senyawa kimia luas, meskipun terdapat
dalam kayu dalam jumlah kecil. Jumlah ekstraktif dalam kayu daun jarum dan
kayu daun lebar berbeda (Fengel dan Wegener, 1995). Zat ekstraktif merupakan
senyawa-senyawa ekstraseluler dengan berat molekul rendah. Biasanya bagian-bagian yang
berbeda dari pohon yang sama yaitu batang, cabang, akar, dan kulit kayu berbeda
baik dalam jumlah ataupun komposisi ekstraktifnya. Zat ekstraktif menempati
tempat-tempat morfologi tertentu dalam kayu (Sjostrom, 1995).
Ekstraktif dapat dibagi menjadi fraksi lipofilik dan fraksi hidrofilik
walupun batasnya kurang jelas. Yang termasuk fraksi lipofilik adalah lemak, lilin,
terpena, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi, sedangkan fraksi hidrofilik meliputi
senyawa fenolik (tannin, lignan, stilbena), karbohidrat terlarut, protein, vitamin
dan garam organik (Achmadi, 1990).
Zabel dan Morell (1992) menyatakan bahwa zat ekstraktif yang
menentukan ketahanan kayu terhadap biodeteriorasi adalah polyfenol, terpenoid,
tropolon dan tannin.
Sifat Fisis Kayu
Haygreen dan Bowyer (1989) menyatakan bahwa sifat fisis yang
terpenting adalah kadar air kerapatan dan berat jenis. Kadar air didefinisikan
sebagai banyaknya air yang terdapat dalam kayu yang dinyatakan dalam persen
terhadap berat kering tanur. Kadar air suatu kayu sangat dipengaruhi oleh sifat
higroskopis kayu, yaitu sifat kayu yang mengikat dan melepaskan air dari udara
sampai tercapai keadaan seimbang dengan kadar air lingkungan sekitarnya.
Ditambahkan bahwa dalam bagian xylem, air umumnya lebih dari separuh berat
total, sehingga berat air dalam kayu umumnya sama atau lebih besar dari berat
kering kayu. Kemampuan kayu untuk menyimpan air dapat dipengaruhi oleh ada
tidaknya zat ekstraktif yang bersifat hidrofobik yang mungkin terdapat dalam
dinding sel atau lumen.
Kerapatan digunakan untuk menerangkan massa suatu bahan per satuan
volume. Sedangkan berat jenis didefinisikan sebagai perbandingan antara
kerapatan suatu benda (atas dasar berat kering oven) dengan kerapatan benda
standar (air pada suhu 4o C kerapatannya 1 g/cm3 atau 1000 kg/m3). Semakin tinggi berat jenis dan kerapatan kayu maka semakin banyak zat kayu pada dinding
Sifat Mekanis Kayu
Sifat mekanis kayu adalah sifat yang berhubungan dengan kemampuan
kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja padanya (Haygreen dan Bowyer,
1989). Sifat mekanis mencakup sifat yang berhubungan erat dengan
tegangan/stress dan perubahan bentuk/deformasi yang terjadi akibat beban/gaya
dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi sifat mekanis.
Menurut Tsoumis (1991) sifat mekanis kayu yang dapat dipakai untuk
menilai kekuatan kayu adalah keteguhan lentur statik (strength in bending), Keteguhan tekan (strength in compressive), keteguhan tarik (strength in tensile), keteguhan geser (strength in shear), keuletan (thougness), kekerasan (hardness), dan ketahan belah (cleavage).
Masih menurut Tsoumis (1991) sifat mekanis kayu dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti kadar air; kerapatan dan berat jenis; suhu atau temperatur;
jangka waktu pembebanan; dan cacat (mata kayu, retak dan pecah, miring serat,
jamur/cendawan, dan kayu tekan dan kayu tarik).
Keteguhan Lentur Statik (static bending strength)
Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) keteguhan lentur statik merupakan
sifat yang digunakan untuk menentukan beban yang dapat dipikul suatu gelagar.
Apabila suatu gelagar dibengkokkan, separuh bagian atas mengalami tegangan
tekan dan separuh bagian bawah mengalami tegangan tarik, sedangkan sumbu
netral tidak mengalami tegangan tarik maupun tegangan tekan. Pada bagian netral
timbul tegangan geser maksimal.
Dalam pengujian keteguhan lentur statik akan diperoleh nilai keteguhan
kayu pada batas proporsi dan keteguhan maksimum. Di bawah batas terdapat
hubungan garis lurus antara besarnya tegangan dengan regangan, dimana nilai
perbandingan antara regangan dan tegangan ini di sebut modulus of Elasticity (MOE). Modulus of Rupture (MOR) dihitung dari beban maksimum atau beban pada saat patah denagn menggunakan pengujian yang sama untuk penentuan
Keteguhan Tekan (compressive strength)
Mardikanto (1979) menyatakan bahwa pada pengujian tekan tegak lurus
serat nilai yang dicari adalah tegangan pada batas proporsi, karena setelah
melewati batas tersebut akan terjadi pemadatan sel (sel rusak). Sedangkan pada
pengujian tekan sejajar serat beban tekan yang bekerja dapat mengakibatkan
lenturan sebelum tiang patah (pada tiang panjang). Kerusakan terjadi sebelum
tiang mencapai kekuatan maksimal akibatnya adanya lenturan. Tahapan kerusakan
yang terjadi pada uji batang pendek berawal dari timbulnya patahan pada dinding
sel. Patahan ini selanjutnya membesar membentuk garis yang semakin nyata pada
permukaan kayu yang selanjutnya akan mengalami pelipatan atau pengerutan.
Sifat Keawetan Kayu
Keawetan adalah ketahanan kayu terhadap serangan dari unsur-unsur
perusak kayu dari luar seperti jamur, rayap, bubuk dan faktor fisik. Keawetan
kayu tersebut disebabkan adanya zat ekstraktif di dalam kayu yang merupakan
unsur racun bagi perusak kayu. Zat ekstraktif tersebut terbentuk pada saat kayu
gubal berubah menjadi kayu teras sehingga pada umumnya kayu teras lebih awet
dari kayu gubal (Dephut, 2000).
Menurut Tobing (1977) variasi keawetan dalam pohon yang sama terjadi
antara kayu gubal dengan kayu teras. Kayu gubal mempunyai keawetan yang
rendah karena kayu gubal mengandung zat ekstraktif dalam jumlah yang sedikit.
Ini sebabnya pengolongan keawetan kayu didasarkan pada keawetan kayu
terasnya. Variasi keawetan juga terdapat di dalam kayu teras, dimana kayu teras
bagian luar lebih awet dibanding kayu teras bagian dalam. Ini dihubungkan
dengan umur pohon ketika kayu teras tersebut dibentuk.
Biodeteriorasi Kayu
Tarumingkeng (2000) menyatakan bahwa deteriorasi hasil hutan (kayu)
adalah semua proses dan akibat yang menyebabkan menurunnya kualitas hasil
hutan (kayu). Terjadinya deteriorasi hasil hutan (kayu) diakibatkan oleh berbagai
Zabel dan Morell (1992) menyatakan bahwa deteriorasi adalah penurunan
kualitas kayu baik dari segi fisik dan mekanis kayu yang disebabkan oleh faktor
abiotik dan biotik. Faktor abiotik diantaranya adalah cuaca, panas (thermal), kimia dan mekanis. Faktor biotik adalah serangga, jamur dan bakteri, dan marine borers. Masih menurut Zabel dan Morell (1992), pelapukan kayu merupakan
rantai yang kompleks dari proses yang saling berinteraksi yang melibatkan
mikroorganisme, serangga dan kondisi lingkungan yang mempengaruhinya serta
substrat kayu yang tidak merespon hal tersebut. Ini merupakan konsep yang
sangat penting mengingat kayu tidak dapat bereaksi untuk melindungi dirinya
sendiri dan ini berpengaruh pada penggunaan kayu selanjutnya.
Pelapukan kayu adalah proses akibat kombinasi berbagai faktor (biologis,
lingkungan). Proses pelapukan dapat terjadi karena pengaruh sinar matahari
(khususnya panjang gelombang ultra ungu/ultraviolet) yang secara perlahan-lahan
merusak bagian-bagian dinding sel. Cendawan pembusuk lunak juga sering
terlibat pada kondisi basah dan kering yang berganti-gantian. Penyusutan dan
pengembangan lapisan-lapisan permukaan yang bergantian mengakibatkan
tegangan-tegangan yang dapat menyebabkan retak-retak kecil. Akhirnya abrasi
mekanis oleh angin dan air secara berangsur-angsur mengikis permukaan yang
telah dirusak oleh berbagai mekanisme lain (Haygreen dan Bowyer, 1989).
Menurut Tambunan dan Nandika (1982), jasad hidup perusak kayu yang
terpenting adalah jamur, bakteri, rayap, kumbang, lebah dan binatang laut
(Molusca dan Crustacea). Jasad hidup perusak kayu merusak kayu karena mereka menjadikan kayu sebagai tempat tinggalnya (shelter) atau sebagai makanan (food).
Zabel dan Morell (1992) menyatakan bahwa jamur dapat menyebabkan
noda (stain) pada permukaan kayu dan kayu gubal. Jamur juga dapat menyebabkan pelapukan dan perubahan warna (decay dan dislocoration) pada kayu (soft rots, white dan brown rots). Sedangkan bakteri dapat menggores dan melubangi dinding sel kayu.
Mold dan staining fungi memerlukan kelembaban yang tinggi untuk menghasilkan spora. Kedua jenis jamur ini tidak menyebabkan penuruan kekuatan
ungu, merah dan warna lainnya pada kayu. Mold juga dapat menyebabkan alergi pada manusia. Staining fungi memiliki micelium berwarna hitam dan biru, yang dapat memberikan warna hitam atau biru pada kayu. Dampak yang ditimbulkan
oleh jamur jenis ini hanya pada penurunan penampilan kayu saja. Jamur jenis ini
dapat tumbuh dengan baik pada permukaan kayu yang lembab
(Zabel dan Morell, 1992).
Decay fungi merupakan jenis jamur yang dapat mencerna komponen-komponen penyusun kayu sehingga dapat menyebabkan perubahan fisik, mekanik
dan kimia kayu. Hal tersebut terjadi terkait oleh reaksi enzimatik (hydrolases dan oxido-reductases) akibat dari aktifitas jamur ini. Soft rots menyerang lapisan S2 dinding sel, jamur jenis ini berkembang dengan baik pada kayu dengan kadar air
yang tinggi dan berhubungan langsung dengan tanah. Brown rots mendegradasi karbohidrat (selulosa) yang terdapat di dalam dinding sel, sedangkan white rots mendegradasi selulosa dan lignin (Zabel dan Morell, 1992).
Kehadiran jamur pada kayu melibatkan spora yang berukuran mikroskopik
yang dapat tersebar melalui udara, serangga dan air. Spora membutuhkan kondisi
yang ideal untuk berkembang menjadi hifa yang kemudian menyebar di dalam
kayu. Kondisi ideal untuk perkembangan jamur melibatkan temperatur, sumber
makanan (kayu), oksigen, kadar air kayu, kelembaban relatif dan cuaca
(Zabel dan Morell, 1992).
Menurut Tambunan dan Nandika (1982) pada umumnya pengaruh
serangan jamur terhadap sifat-sifat kayu dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Pengurangan berat, hal ini disebabkan hilangnya sebagian selulosa dan lignin
karena dirombak oleh jamur. Bila persentase penyerangan jamur ini tinggi
maka kayu akan menjadi semakin ringan.
b. Pengurangan kekuatan, kayu yang diserang jamur akan terpengaruhi
keteguhan pukul, keteguhan lengkung, keteguhan tekan, kekerasan serta
elastisitasnya dan mengakibatkan kekuatan kayu akan berkurang.
c. Peningkatan kadar air, kayu yang lapuk akan menyerap air lebih banyak dari
d. Penurunan nilai kalori, nilai kalori ada hubungannya dengan pengaruh berat,
dimana bila nilai pelapukan makin tinggi maka nilai kalori makin kecil, sebab
kayu yang lapuk memberikan panas yang lebih kecil dari pada kayu yang
sehat.
e. Perubahan warna, white-rot menimbulkan warna putih, brown-rot
menimbulkan warna coklat dan blue stain menimbulkan warna hitam
kebiru-biruan.
f. Perubahan bau, umumnya kayu yang lapuk baunya berbeda dengan kayu yang
sehat. Jenis jamur Lentinus lepideus menyebabkan bau pada kayu yang diserang.
g. Perubahan struktur mikroskopis, white-rot menyebabkan dinding sel dari pada
kayu makin lama makin tipis dan akhirnya habis. Brown-rot menyerang
selulosa kayu sedang dinding sel kelihatan masih utuh. Soft-rot menyerang
melalui dinding sekunder dan bila dilihat dengan mikroskop polarisasi maka
terlihat lubang-lubang spiral yang memanjang dengan ujung berlubang.
Blue-stain menyerang melalui noktah karena tidak bisa merusak dinding sel, hanya
hidup dari zat pengisi (protoplasma), sehingga kekuatan mekanik kayu tidak
berubah.
Sifat-sifat mekanis kayu dapat turun dalam tahap pertama pelapukan oleh
jamur perusak kayu. Pada kehilangan berat 5 – 10 % keuletan dan keteguhan
pukul turun hingga sekitar 60 – 80 %. Kehilangan 50 – 70 % dapat diperkirakan
dapat mempengaruhi kelenturan, modulus patah elastisitas dan modulus patah
(Fengel dan Wegener, 1995).
Menurut Fengel dan Wegener (1995), degradasi oleh bakteri terbatas
karena berkembang biak dengan pembelahan sel. Bakteri tidak dapat bergerak di
dalam kayu kecuali pada kayu yang disimpan di dalam air. Bakteri cenderung
membentuk koloni dalam sel-sel parenkim dengan menggunakan protein sebagai
sumber hidupnya. Pada rongga-rongga noktah bakteri melarutkan selaput-selaput
noktah. Bakteri juga dapat menyerang dindung sel karena bakteri dapat
Karakteristik Kayu
Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)
Pohon sengon dengan nama botani Paraserianthes falcataria (L) Nielsen termasuk dalam famili Leguminosae dan sub famili Mimosaceae. Pohon sengon
secara alami banyak dijumpai di Maluku. Sekarang tanaman ini sudah tersebar
luas di seluruh Indonesia, Filipina, Malaysia, Srilangka, dan India (LBN-LIPI,
1980).
Martawijaya et. al. (1989) menyatakan bahwa Sengon memiliki nama daerah yang beragam sesuai dengan tempat tumbuhnya: jeunjing; sengon laut
(Jawa), tedehu pute (Sulawesi), rare; selanoku merah; seka; sika; sikabot; sikas;
tawa sela (Maluku), bai; wahogan; wai; nikkie (Irian).
Penyebaran pohon sengon di Indonesia meliputi seluruh Jawa, Maluku,
Sulawesi selatan dan Irian Jaya. Tinggi pohon sengon dapat mencapai 40 m
dengan panjang batang bebas cabang 10-30 m, diameter sampai 80 cm, kulit luar
berwarna putih atau kelabu, tidak beralur, tidak mengelupas dan tidak berbanir
(Martawijaya et. al.,1989).
Pandit dan Ramdan (2002) menjelaskan bahwa warna kayu teras dan gubal
sengon sukar dibedakan, warnanya putih abu-abu kecoklatan atau putih merah
kecoklatan pucat. Kayu sengon bertekstur agak keras sampai kasar, arah serat
terpadu dan kadang-kadang lurus sedikit bercorak. Arah seratnya lurus,
bergelombang lebar atau berpadu dan permukaan kayunya agak licin atau
licin. Kayu sengon memiliki kekerasan agak lunak dan beratnya ringan.
Martawijaya et. al. (1989) menyatakan bahwa kayu sengon memiliki berat jenis antara 0,24-0,49 (0,33) dan termasuk kelas kuat IV/V. Sedangkan untuk kelas
awet, sengon termasuk kelas awet IV/V. Kayu sengon yang masih segar berbau
petai.
Menurut Martawijaya et. al. (1989) kayu sengon banyak digunakan oleh penduduk Jawa Barat untuk bahan perumahan (papan, balok, tiang, kaso, dan
sebagainya). Selain daripada itu dapat juga dipakai untuk pembuatan peti, venir,
pulp, papan semen wol kayu, papan serat, papan partikel, korek api (tangkai dan
Kamper (Dryobalanops spp)
Menurut Martawijaya et. al. (1981) kayu kamper (Dryobalanops spp) termasuk dalam Dipterocarpaceae dan memiliki banyak nama daerah diantaranya adalah ampadu, ampalang, awang tanet, bayau, belakan, binderi, empedu,
kalampait, kapur, kapur hitam, kapur kademba, kapur merah, kapur naga, kapur
sintuk, kapur tanduk, kapur tulang, kayatan, keladan, melampait, mengkayat,
mohoi, muri, serapan, sintok, tulai, wahai (Kalimantan); haburuan, kaberun,
kamfer, kuras (Sumatera). Kayu kamper banyak mengandung silika, karena itu
sulit dikerjakan dengan mesin dan gergaji dalam keadaan kering.
Martawijaya et. al. (1981) menyatakan bahwa penyebaran pohon kamper di Indonesia meliputi seluruh Kalimantan, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
dan Riau. Tinggi pohon umumnya berkisar antara 35 – 45 m dan dapat mencapai
60 m, panjang batang bebas cabang 30 m atau lebih, diameter 80 -100 cm. bentuk
batang sangat baik, lurus dan silindris dengan tajuk kecil, kadang-kadang berbanir
sampai 2 meter.
Pandit dan Ramdan (2002) menjelaskan bahwa warna kayu teras kamper
berwarna merah, merah kecoklatan bila lama disimpan di tempat terbuka menjadi
warna merah coklat kehitaman. Mudah dibedakan dengan gubalnya biasanya
berwarna kuning kecoklatan, dalam keadaan basah kayunya berbau harum seperti
kamper. Kayu kamper bertekstur sedang sampai kasar tapi rata, arah serat lurus
kadang berombak sampai terpadu. Corak akibat jari-jari tersingkap sering nampak
pada bidang radial dan sedikit licin dan mengkilap. Kayu kamper memiliki
saluran interseluler yang merupakan deratan panjang dalam arah tangensial, lebih
kecil dari pori, berisi damar berwarna putih. Kayu kamper memiliki bau khas
kamper jika masih segar, tetapi cendrung hilang saat dikeringkan.
Pandit dan Ramdan (2002) menyatakan berat jenis kayu kamper rata-rata
0,76 (0,46-1,01) dengan kelas awet II-III (-IV)dan kelas kuat II-I (-III). Kayu
kamper biasa digunakan untuk bahan bangunan (kusen, pintu panel dan jendela),
kuda-kuda, jembatan, bantalan kereta api, perabot rumah, kapal dan bahan baku
kayu lapis. Martawijaya et. al. (1981) juga menyatakan bahwa kayu kamper dapat dipakai untuk balok, tiang, rusuk dan papan pada bangunan perumahan dan
Kelapa Hibrida (Cocos nucifera L)
Menurut sistem klasifikasi, kelapa hibrida termasuk dalam Divisi
Spermathophyta, Subdivisi Angiospermae Kelas Monocotyledoneae Ordo
Palmae, Familia Arecaceae, Genus Cocos, Spesies Cocos nucifera L (Saroso, 2000).
Varietas kelapa yang banyak dibudidayakan, yaitu kelapa dalam dan
kelapa genjah. Kelapa hibrida adalah hasil perkawinan silang antara 2 varietas
kelapa baik antara sesama varietas dalam; varietas genjah dengan dalam maupun
antara varietas genjah, sehingga menghasilkan sifat-sifat yang baik dari kedua
jenis kelapa asal. Karakteristik kelapa hibrida pada dasarnya adalah memproduksi
kopra 6.0-7.0 ton/ha/tahun dengan produksi buah sekitar 140 buah/ha/tahun. Akan
tetapi memiliki ketahanan yang rendah terhadap penyakit (sangat rentan terhadap
penyakit), bahkan kayu kelapa hibrida sangat rentan terhadap serangan jamur dan
serangga perusak kayu. Kelapa hibrida memiliki masa produktif antara umur 3-4
tahun dengan habitus pohon kira kira 6-7 meter (Saroso, 2000).
Kelapa hibrida memiliki riap tumbuh sebesar 50 – 70 m3/ha/tahun, dengan BJ (Berat Jenis) sebesar 0.57 – 0.62. Kelapa hibrida termasuk kayu yang memiliki
kekuatan tinggi (kelas kuat II – III), tetapi mudah terserang penyakit (kelas awet
IV). Bagian batang luar pangkal sampai tengah batang (sekitar 0,45 m3 per pohon) dimanfaatkan sebagai kayu (timber), yang diklasifikasikan kayu kelas kuat II,
sedangkan bagian tengah batang dan pucuk (sekitar 0,60 m3) diklasifikasikan sebagai kayu kelas kuat III-IV. Batang kelapa hibrida yang sudah tua dapat
dijadikan sebagai bahan kontruksi out door, alat rumah tangga dan gazebo. Batang yang benar-benar tua dan kering sangat tahan terhadap serangan rayap. Batang
kelapa hibrida yang dijadikan mebel dapat diserut sampai permukaannya licin
dengan tekstur yang menarik (Deptan, 2002). Batang kelapa akhir-akhir ini
dipakai untuk membuat rumah yang ramah lingkungan (Saroso, 2000).
Lubis et. al. (1992) menyatakan bahwa berat jenis kelapa erat
hubungannya dengan sifat-sifat kayu yang bersangkutan :
a. High Density Wood 600 Kg per m3 atau dikatakan BJ 0,6 (meliputi 53%). Umumnya terdapat pada bagian terluar dekat dengan kulit kayu dan
Kegunaan kayu ini untuk bahan bangunan utama dan dipakai dibagian luar
bangunan, misalnya untuk dinding bagian luar, tiang, kuda-kuda dan
sebagainya. Untuk bahan bangunan, alat rumah tangga, furniture dan alat-alat
pertukangan umumnya dipakai dari bagian ini.
b. Medium Density Wood 400 – 600 Kg per m3 atau dikatakan BJ 0,4 – 0,6 (25%). Bagian ini tempatnya setelah High Density Wood dan mempunyai ketebalan berkisar 2 – 4 inchi, masih tahan terhadap goresan tapi tidak tahan
terhadap cuaca yang lembab. Apabila kayu ini dipakai untuk bangunan
biasanya dipakai pada bagian dalam seperti kisi-kisi. Kayu dari bagian ini juga
dapat digunakan untuk alat-alat rumah tangga seperi asbak dan lain-lain.
c. Low Density Wood 400 Kg per m3 atau dikatakan BJ 0,4 (22%). Kayu ini terdapat dibagian tengah, kayunya cukup lunak, cepat lapuk, tidak tahan
terhadap goresan dan kelembaban yang tinggi. Kayu ini biasanya dipakai
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian lapangan ini dilaksanakan di Ciomas, Bogor dan kegiatan
laboratorium dilakukan di Laboratorium Kayu Solid dan Laboratorium
Keteknikan Kayu, Fakultas Kehutanan, IPB. Penelitian lapangan dilaksanakan
pada bulan Juli sampai Oktober 2006 dengan temperatur rata-rata sebesar
25,98 0C, curah hujan rata-rata 5,75 mm/hari dan kelembaban relatif rata-rata sebesar 75,25 %. Data iklim selama penelitian di lapangan selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 22.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejumlah papan dan
balok kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen), kamper
(Dryobalanops spp) dan batang kelapa hibrida (Cocos nucifera L).
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah band saw dan table
circular saw, oven, kaliper, moisture meter (BOSSMAN EM-2G), bak plastik,
sirkulasi air, timbangan, fan dan UTM Instron.
Tahapan Penelitian Pembuatan Contoh Uji
Papan dan balok kayu sengon, kamper dan batang kelapa hibrida digergaji
menjadi potongan-potongan untuk pengujian sebagai berikut :
1. Kadar Air (KA) = 2 x 2 x 2 cm (B.S. 373 : 1957)
2. Berat Jenis (BJ) = 2 x 2 x 2 cm (B.S. 373 : 1957)
3. MOE dan MOR = 2 x 2 x 30 cm (B.S. 373 : 1957)
4. Tekan sejajar serat = 2 x 2 x 6 cm (B.S. 373 : 1957)
5. Kehilangan berat = 0,9 x 2,5 x 2,5 cm (ASTM D 2017 : 2002)
Contoh uji KA, BJ (B) dan tekan sejajar serat (C) dibuat dari contoh uji
MOE dan MOR (A) yang telah diuji. Sedangkan untuk contoh uji kehilangan
berat dibuat terpisah dari contoh uji lainnya. Hal ini dikarenakan contoh uji
kehilangan berat memiliki ukuran yang tidak sama dengan contoh uji lainnya.
2,5 cm
2,5 cm
0,9 cm
Gambar 1. Skema pembuatan contoh uji BJ, KA (B) dan tekan sejajar serat (C)
dari contoh uji MOE dan MOR (A) yang telah diuji.
Gambar 2. Contoh uji kehilangan berat.
Perlakuan
Contoh uji yang telah dibuat, diberi perlakuan terlebih dahulu sebelum di
uji. Contoh uji tersebut diletakkan di 6 tempat berbeda yang memiliki kondisi
penyinaran dan air yang berbeda selama 4 bulan. Bentuk perlakuan dijelaskan
pada tabel berikut :
Tabel 1. Perlakuan contoh uji sebelum diuji.
Perlakuan Air Simbol
Hujan Mengalir
( - ) Sinar Matahari
- - C1A1
+ - C1A2
- + C1A3
( + ) Sinar Matahari
- - C2A1
+ - C2A2
- + C2A3
Ket : C1A1 = Tanpa terkena sinar mataharidan tanpa terkena air (kontrol) C1A2 = Tanpa terkena sinar matahari; terkena air (hujan)
C1A3 = Tanpa terkena sinar matahari; terkena air (mengalir) C2A1 = Terkena sinar matahari; tanpa terkena air
C2A2 = Terkena sinar mataharidan terkena air (hujan) C2A3 = Terkena sinar mataharidan terkena air (mengalir)
A
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini :
C1A1 C1A2 C1A3
[image:30.612.133.509.84.364.2]C2A1 C2A2 C2A3
Gambar 3. Kondisi perlakuan
Setelah contoh uji ketiga kayu tersebut diletakkan pada berbagai kondisi
yang berbeda selama 4 bulan, kemudian dilakukan pengujian sifat fisis dan
mekanis serta kehilangan berat pada contoh uji.
Pengujian
1. Sifat Fisis 1.1 Kadar Air
Contoh uji berukuran 2 x 2 x 2 cm. Contoh uji yang telah diberi perlakuan
dan dikondisikan pada suhu ruangan selama 3 minggu dengan menggunakan fan,
kemudian ditimbang beratnya sebelum dioven untuk mengetahui berat awal
kering udara. Setelah dioven dengan suhu (103±2)oC selama 2 x 24 jam (berat konstan), kemudian ditimbang kembali untuk mengetahui berat akhir kering oven.
100
(%)
Air
Kadar
1 1 0X
B
B
B
−
=
Ket :
B0 = Berat awal kering udara (gram)
B1 = Berat akhir kering oven (gram)
1.2 Berat Jenis
Pada pengujian berat jenis, contoh uji yang digunakan sama sengan contoh
uji untuk kadar air. Contoh uji ini diukur dimensinya untuk mengetahui volume
kering udara. Contoh uji dioven dengan suhu (103±2)oC selama 2 x 24 jam (berat konstan), kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kering oven. Perhitungan
berat jenis adalah sebagai berikut :
air kayu
ρ
ρ
=
Jenis
Berat
Ket :
ρkayu = Kerapatan kayu (Berat kering oven (gram) / volume kering udara kayu (cm3)) ρair = Kerapatan air (pada suhu 4o C (1atm) kerapatannya 1 gram/cm3 )
1.3 Kehilangan Berat
Contoh uji kehilangan berat yang berukuran 2,5 x 2,5 x 0,9 cm sebelum
diberi perlakuan, dioven terlebih dahulu dengan suhu (103±2)oC selama 2 x 24 jam (berat konstan), kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kering oven
awal. Setelah diberi perlakuan selama 4 bulan contoh uji kemudian ditimbang
berat kering ovennya untuk mengetahui berat kering oven akhir. Perhitungan
kehilangan berat adalah sebagai berikut :
100
(%)
berat
Kehilangan
0 1 0X
B
B
B
−
=
Ket :
B0 = Berat kering oven awal (gram)
B1 = Berat kering oven akhir (gram)
2. Sifat Mekanis
2.1 Keteguhan Lentur Statis (Static Bending Strength)
Pada pengujian keteguhan lentur statis (static bending), akan diperoleh
modulus elastis (MOE) dan modulus patah (MOR). Pengujian dilakukan dengan
P
h b L2
L1
L p
perlakuan selama 4 bulan dikondisikan terlebih dahulu pada suhu ruangan selama
3 minggu dengan menggunakan fan, setelah itu baru dilakukan pengujian.
Besarnya nilai MOE dan MOR dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut :
3 3
4
MOE
ybh
PL
Δ
Δ
=
dan
2
2
3
MOR
bh
PL
=
Ket :
MOE = Modulus of Elasticity (kg/ cm2) MOR = Modulus of Rupture (kg/ cm2) ∆P = Selisih beban pada batas proporsi (kg)
P = Beban Maksimum pada saat contoh uji mengalami kerusakan (kg) L = Panjang bentang (cm)
b = Lebar penampang contoh uji (cm) h = Tebal penampang contoh uji (cm) p = Panjang contoh uji (cm)
[image:32.612.129.508.105.517.2]∆y = Defleksi karena beban (cm)
Gambar 4. Skema pengujian MOE dan MOR
2.2 Keteguhan Tekan Sejajar Serat
Pengujian keteguhan tekan sejajar serat dilakukan untuk mengetahui
besarnya beban atau gaya maksimal yang dapat ditahan oleh contoh uji pada
kedua ujung. Pengujian dilakukan dengan membebani contoh uji berukuran
2 x 2 x 6 cm pada posisi sejajar serat kemudian diberi beban secara
perlahan-lahan. Gaya tekan maksimal didefinisikan sebagai gaya atau beban maksimal yang
dapat menyebabkan kerusakan pada contoh uji. Sama halnya dengan contoh uji
P
2 cm 2 cm
6 cm
dahulu pada suhu ruangan sebelum diuji. Nilai keteguhan tekan sejajar serat dapat
dihitung dengan persamaan berikut :
A
PMaks
Tk
=
δ
Ket :
Tk = Keteguhan tekan sejejar serat (kg/ cm2)
[image:33.612.132.465.100.346.2]PMaks = Beban maksimal yang menyebabkan kerusakan pada contoh uji (kg) A = Luas penampang contoh uji (cm2)
Gambar 5. Skema pengujian tekan sejajar serat
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
analisis faktorial dalam rancangan acak lengkap. Hal ini digunakan untuk
mengetahui pengaruh faktor variasi perlakuan awal sebelum pengujian, meliputi
faktor jenis kayu dan faktor perlakuan (sinar matahari dan air). Ulangan yang
dipakai dalam penelitian ini adalah sebanyak 5 ulangan. Model umum statistik
linier dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
Yijk = µ + Ki + Pj + (KP)ij + ijk
Ket :
Yijk = Respon peubah yang diamati
µ = Nilai rataan umum
Ki = Nilai pertambahan karena jenis kayu ; i = 1, 2, 3
Pj = Nilai pertambahan karena faktor perlakuan ; j = 1, 2, 3, 4, 5, 6
(KP)ij = Interaksi antara jenis kayu ke-i dan faktor perlakuan ke-j ijk = Galat
Jika terdapat beda nyata antara perlakuan maka diuji lanjut dengan
Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada selang kepercayaan 95 %. Jenis
software yang digunakan untuk pengolahan model statistik linier dan uji lanjut
Biodeteriorasi kayu oleh organisme perusak kayu
Biodeteriorasi adalah penurunan kualitas kayu baik dari segi fisik dan
mekanis kayu yang disebabkan oleh faktor biologis. Faktor biologis yang
dimaksud adalah serangga, jamur dan bakteri, dan marine borers. Proses biodeteriorasi merupakan kombinasi berbagai faktor yang membentuk rantai
kompleks dari proses yang saling berinteraksi meliputi mikroorganisme perusak
kayu dan kondisi lingkungan yang mempengaruhinya serta substrat kayu.
Hasil pengamatan selama jangka waktu penelitian menunjukkan bahwa
pada setiap contoh uji kayu yang terkena air mengalami proses biodeteriorasi oleh
jamur dan bakteri. Hal tersebut terkait dengan ditemukannya noda-noda hitam
(molds dan stains), miseliumdan tubuh buah jamur pada permukaan contoh uji kayu yang terkena air baik air hujan maupun air mengalir. Noda-noda hitam dan
miselium pada contoh uji kayu yang terkena air mengalir sudah mulai tampak
pada minggu ke-2 pengamatan sedangkan pada contoh uji yang terkena air hujan
pada minggu ke-4 (Gambar 6).
Keterangan : (a) kayu sengon terserang molds dan jamur pewarna; (b) kayu kamper terserang
molds dan jamur pewarna; (c) batang kelapa terserang miselium jamur; (d) batang
kelapa hibrida terserang molds dan jamur pewarna; (e) kayu kamper terserang
[image:34.612.130.516.396.560.2]molds dan jamur pewarna; (f) kayu sengon terserang molds dan jamur pewarna.
Gambar 6. Perkembangan molds, jamur pewarna dan miselium pada contoh uji kayu (1) perlakuan air mengalir (2) perlakuan air hujan
Kondisi lingkungan yang lembab merupakan hal yang ideal bagi
organisme perusak kayu untuk tumbuh dan berkembang pada kayu. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa pada perlakuan terkena air mengalir tanpa
(1) (2)
a
b
c
d
terkena sinar matahari, terdapat miselium dan tubuh buah jamur (basiomycetes) di permukaan contoh uji kayu sengon pada minggu ke-12 pengamatan (Gambar 7).
Gambar 7. Perkembangan (a) miselium dan (b) tubuh buah jamur pada contoh uji kayu sengon
Pada perlakuan air mengalir serangan jamur terjadi pada semua jenis
contoh uji kayu. Pada contoh uji kayu sengon dan batang kelapa hibrida terdapat
miselium jamur yang menutupi sekitar 90 % permukaan contoh uji kayu
sedangkan pada contoh uji kayu kamper miselium jamur hanya menutupi sekitar
10 % permukaan contoh uji. Pada contoh uji kayu yang mendapat perlakuan air
hujan juga terdapat serangan miselium jamur, namun dapat dikatakan intensitas
serangannya relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang mendapat perlakuan
air mengalir. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 18.
Jamur berkembangbiak dengan spora yang disebarkan oleh angin, air dan
serangga. Perkembangan spora selanjutnya adalah menjadi hifa berupa serabut
seperti akar pada tumbuhan, hifa tersebut kemudian berkembang menjadi
miselium. Jamur dapat tumbuh dan berkembang pada permukaan kayu dan di
dalam kayu. Jamur mendapatkan makanannya dengan cara mendegradasi
komponen kayu dengan menggunakan enzim.
Bakteri cenderung berkoloni di dalam kayu yang memiliki kadar air kayu
yang tinggi, baik pada saat kondisi kayu masih segar (fresh cut), terkena air pada saat penyimpanan, terendam air di sungai ataupun kayu diletakkan pada tanah
yang basah (Zabel dan Morel, 1993). Dalam penelitian ini serangan bakteri terjadi
pada semua jenis contoh uji kayu yang mendapat perlakuan terkena air mengalir
saja sedangkan pada perlakuan terkena air hujan tidak terjadi serangan. Serangan
bakteri diindikasikan dengan adanya lendir pada contoh uji kayu yang mendapat
perlakuan air mengalir. b
14. 72 29 .0 7 11. 70 20. 78 13. 10 16. 25 29. 64 20. 76 11. 64 14. 09 14. 83 13. 71 13. 58 15. 81 28 .6 3 19. 17 12. 93 14. 75 0 5 10 15 20 25 30 35
C1A1 C1A2 C1A3 C2A1 C2A2 C2A3
Perlakuan K a d a r A ir ( % )
SENGON KAMPER KELAPA Sifat Fisis Kayu
Pengujian sifat fisis yang dilakukan terhadap contoh uji kayu (sengon,
kamper dan kelapa hibrida) berupa kadar air (KA), berat jenis (BJ) dan kehilangan
berat. Hasil pengujian sifat fisis contoh uji kecil bebas cacat kayu sengon
(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen), kamper (Dryobalanops spp) dan batang kelapa hibrida (Cocos nucifera L) setelah perlakuan selama 4 bulan dijelaskan pada penjelasan berikut.
Kadar Air
Kadar air didefinisikan sebagai banyaknya air yang terdapat dalam kayu
yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur. Kadar air suatu kayu
sangat dipengaruhi oleh sifat higroskopis kayu, yaitu sifat kayu yang mengikat
dan melepaskan air sampai tercapai keadaan seimbang dengan kelembaban
lingkungan sekitarnya.
Untuk mengetahui hasil pengukuran nilai kadar air rata-rata pada berbagai
perlakuan dari ketiga contoh uji kayu setelah dikeringudarakan selama tiga
minggu dapat dilihat pada Gambar 8.
[image:36.612.138.504.392.602.2]Keterangan : C1A1 (tanpa sinar matahari & air), C1A2 (tanpa sinar matahari ; terkena air hujan), C1A3 (tanpa sinar matahari ; terkena air mengalir), C2A1 (terkena sinar matahari ; tanpa air), C2A2 (terkena sinar matahari & terkena air hujan), dan C2A3 (terkena sinar matahari & terkena air mengalir).
Pada Gambar 8 dapat diketahui bahwa nilai kadar air pada contoh uji yang
diberi perlakuan tanpa sinar matahari relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
contoh uji yang diberi perlakuan dengan sinar matahari. Nilai kadar air rata-rata
contoh uji tanpa perlakuan sinar matahari dan air (C1A1) adalah sebesar 13.10 %
(kayu sengon), 13.71 % (kayu kamper) dan 13.58 % (batang kelapa hibrida),
sedangkan nilai kadar air rata-rata contoh uji pada perlakuan terkena sinar
matahari tanpa terkena air (C2A1) adalah sebesar 11.64 % (kayu sengon), 11.70
% (kayu kamper) dan 12.93 % (batang kelapa hibrida). Begitu pula nilai kadar air
contoh uji pada perlakuan C1A2 dan C1A3 relatif lebih tinggi dari pada C2A2 dan
C2A3.
Berdasarkan hasil pengukuran dapat diketahui bahwa nilai kadar air
semakin tinggi pada perlakuan air hujan dan mengalir. Contoh uji kayu yang
diberi perlakuan air mengalir memiliki nilai kadar air yang lebih tinggi dibanding
dengan contoh uji yang diberi perlakuan air hujan. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 8 dengan membandingkan contoh uji perlakuan C1A1 dengan C1A2 dan
C1A3, atau contoh uji perlakuan C2A1 dengan C2A2 dan C2A3.
Data pengukuran kadar air yang diperoleh kemudian dianalisa dengan
metoda faktorial dengan tujuan mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap nilai kadar air kayu. Hasil analisa sidik ragam menunjukan bahwa faktor
jenis kayu tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air kayu, sedangkan faktor
perlakuan dan interaksi berpengaruh nyata pada nilai kadar air kayu, hal ini dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisa sidik ragam pengaruh jenis kayu dan perlakuan terhadap KA kayu
Sumber db JK KT F-Hit P
Kayu 2 0.22785658 0.11392829 0.10 0.9045
Perlakuan 5 3003.05554499 600.61110900 530.04** 0.0001
Kayu*Perlakuan 10 24.96079229 2.49607923 2.20* 0.0270
Error 72 81.58578386 1.13313589
Total 89 3109.82997773
Keterangan : * Berpengaruh nyata pada P < 0,05
* * Berpengaruh sangat nyata pada P < 0,01
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 1) dapat diketahui bahwa
setiap perlakuan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap perubahan nilai kadar
C1A3, C2A3, C1A2, C2A2, C1A1 dan C2A1. Hal ini berkaitan erat dengan
adanya penambahan air terhadap contoh uji yang mengakibatkan meningkatnya
nilai kadar air kayu. Kayu memiliki sifat higroskopis sehingga kayu dapat
mengikat dan melepaskan air sampai tercapai keadaan seimbang sehingga nilai
kadar air kayu dapat berubah sesuai dengan kelembaban lingkungan sekitarnya.
Pengaruh interaksi antara jenis kayu dengan perlakuan tanpa terkena sinar
matahari dan terkena sinar matahari (Lampiran 2) menunjukan bahwa dalam
kondisi tanpa pemberian air hanya kayu kamper memiliki nilai kadar air yang
berbeda nyata antara perlakuan tanpa sinar matahari (C1A1) dengan perlakuan
terkena sinar matahari (C2A1). Hal ini diduga terjadi karena kondisi kadar air
awal contoh uji kayu kamper yang lebih kering dibanding contoh uji kedua jenis
kayu lainnya. Perlakuan air hujan hanya pada kayu sengon yang memiliki nilai
kadar air yang berbeda nyata antara perlakuan yang diberi sinar matahari langsung
(C2A2) dengan yang tidak (C1A2). Hal ini terjadi dikarenakan kayu sengon lebih
mudah menyerap (mengikat) dan melepas air. Perlakuan air mengalir, semua jenis
kayu memiliki nilai kadar air yang berbeda antara yang diberi sinar matahari
langsung (C2A3) dengan yang tidak (C2A3).
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 2) pada perlakuan tanpa terkena sinar
matahari dan terkena air hujan (C1A2) nilai kadar air kayu sengon dan batang
kelapa hibrida menunjukan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan tanpa
terkena air (C1A1), sedangkan pada kayu kamper menunjukan hasil yang tidak
berbeda nyata. Hal tersebut diduga karena kayu kamper memiliki dinding sel yang
relatif lebih tebal dibandingkan dengan kedua jenis lainnya, sehingga dengan
adanya perlakuan terkena air hujan tidak menyebabkan kenaikan nilai kadar air
secara nyata pada kayu kamper. Pada perlakuan terkena sinar matahari dan
terkena air hujan (C2A2) pada ketiga jenis kayu menunjukkan nilai kadar air yang
berbeda nyata dengan perlakuan tanpa terkena air (C2A1).
Pada perlakuan air mengalir pada perlakuan tanpa terkena sinar matahari
dan terkena sinar matahari (C1A3 dan C2A3) nilai kadar air pada ketiga jenis
kayu (sengon, kamper dan kelapa hibrida) menunjukan hasil yang berbeda nyata
dengan perlakuan tanpa terkena air (C1A1 dan C2A1) dan terkena air hujan
0. 2 4 0. 22 0. 23 0. 2 4 0. 2 4 0. 23 0. 7 3 0. 7 0 0. 6 1 0. 72 0. 7 2 0. 6 7 0. 5 2 0. 4 5 0. 5 5 0. 50 0. 47 0. 53 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80
C1A1 C1A2 C1A3 C2A1 C2A2 C2A3
Perlakuan B er at Jen is
SENGON KAMPER KELAPA
mempunyai pengaruh yang nyata pada kenaikan nilai kadar air kayu. Seiring
dengan bertambahnya nilai kadar air kayu hingga titik jenuh serat atau lebih,
kemungkinan kayu tersebut terserang agen perusak kayu (jamur dan bakteri)
semakin besar.
Berat Jenis
Berat jenis di definisikan sebagai perbandingan antara kerapatan suatu
benda (atas dasar berat kering oven) dengan kerapatan benda standar (air pada
suhu 4oC (1 atm) kerapatannya 1 g/cm3). Semakin tinggi berat jenis dan kerapatan kayu maka semakin banyak zat kayu pada dinding sel yang berarti semakin tebal
dinding sel tersebut (Haygreen dan Bowyer, 1989).
Untuk mengetahui hasil pengukuran berat jenis (BJ) pada berbagai
perlakuan dari ketiga contoh uji kayu dapat dilihat pada Gambar 9.
[image:39.612.139.513.311.520.2]Keterangan : C1A1 (tanpa sinar matahari & air), C1A2 (tanpa sinar matahari ; terkena air hujan), C1A3 (tanpa sinar matahari ; terkena air mengalir), C2A1 (terkena sinar matahari ; tanpa air), C2A2 (terkena sinar matahari & terkena air hujan), dan C2A3 (terkena sinar matahari & terkena air mengalir).
Gambar 9. Grafik rataan berat jenis (BJ) kayu berdasarkan perlakuan
Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui bahwa pemberian sinar matahari
relatif tidak memberikan perubahan pada nilai berat jenis kayu, hal ini didukung
dengan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 4). Seiring dengan pemberian air hujan
dan air mengalir (C1A2, C1A3, C2A2 dan C2A3) terdapat kecenderungan
penurunan nilai berat jenis kayu kamper, namun hal tersebut tidak terjadi pada
bahwa dalam kondisi tanpa terkena sinar matahari langsung tapi terkena air
mengalir (C1A3) memiliki nilai berat jenis yang berbeda nyata dibandingkan
dengan yang tanpa air dan terkena air hujan (C1A1 dan C1A2). Dapat
disimpulkan bahwa pemberian air mengalir dalam kondisi tanpa sinar matahari
(C1A3) memberikan pengaruh yang nyata pada peningkatan biodeteriorasi kayu
yang dinyatakan dengan penurunan nilai berat jenisnya. Hal ini disebabkan
kandungan zat ekstraktif yang terdapat di dalam kayu kamper diduga tercuci oleh
air yang mengalir, sehingga ketahanan kayu kamper terhadap biodeteriorasi
semakin berkurang. Hal tersebut dapat menyebabkan kayu menjadi rentan
terserang agen biologis perusak kayu (jamur dan bakteri).
Pemberian air pada kayu sengon tidak menyebabkan penurunan berat
jenis yang nyata. Hal ini dikarenakan zat ekstraktif dalam kayu sengon yang
diduga tidak bersifat racun bagi jamur sehingga walaupun terjadi pencucian zat
ekstraktifnya oleh air nilai berat jenis tidak menurun. Kondisi yang menyimpang
terjadi pada batang kelapa hibrida yang diberi perlakuan berupa pemberian air
secara mengalir (C1A3 dan C2A3) berat jenisnya relatif tinggi. Setelah dicermati
hal tersebut disebabkan vascular bundle pada contoh uji perlakuan tersebut lebih rapat dibanding dengan contoh uji lainnya.
Menurut Den Berger (1923) dalam Martawijaya et. al. (1981)berat jenis kayu menentukan kelas kuatnya. Tabel 3 menunjukkan hubungan antara berat
[image:40.612.128.507.497.599.2]jenis dengan keteguhan lentur dan keteguhan tekan.
Tabel 3. Kelas kuat kayu Kelas
kuat
Berat jenis Keteguhan lentur mutlak (kg/cm2)
Keteguhan tekan mutlak (kg/cm2)
I > 0,90 > 1100 > 650
II 0,60 – 0,90 725 – 1100 425 – 650
III 0,40 – 0,60 500 – 725 300 – 425
IV 0,30 – 0,40 360 - 500 215 – 300
V < 0,30 < 360 < 215
Sumber : DEN BERGER (1923) dalam Martawijaya et. al. (1981)
Berdasarkan Tabel 4, kayu sengon pada penelitian ini termasuk kelas kuat
V karena memiliki nilai berat jenis < 0,30 (0,22 – 0,24), kayu kamper termasuk
kelas kuat II karena memiliki berat jenis 0,61 – 0,73 sedangkan batang kelapa
Data berat jenis kayu yang diperoleh dianalisa secara faktorial dengan
tujuan mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai berat jenis. Hasil
analisa menunjukan bahwa faktor jenis kayu dan interaksi berpengaruh nyata
terhadap nilai berat jenis, sedangkan faktor perlakuan tidak berpengaruh nyata
[image:41.612.129.509.190.297.2]pada nilai berat jenis, hal ini dapat dilihat pada sidik ragam Tabel 4.
Tabel 4. Analisa sidik ragam pengaruh jenis kayu dan perlakuan terhadap BJ kayu
Sumber db JK KT F-Hit P
Kayu 2 3.14361883 1.57180942 457.93** 0.0001
Perlakuan 5 0.01373701 0.00274740 0.80 0.5530
Kayu*Perlakuan 10 0.08030266 0.00803027 2.34* 0.0188
Error 72 0.24713413 0.00343242
Total 89 3.48479264
Keterangan : * Berpengaruh nyata pada P < 0,05
* * Berpengaruh sangat nyata pada P < 0,01
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 3) diketahui bahwa setiap
jenis kayu mempunyai nilai BJ yang berbeda nyata. Perbedaan berat jenis kayu ini
bisa menjadi indikasi perbedaan sifat fisis dan mekanis ketiga jenis kayu tersebut.
Berat jenis batang kelapa hibrida sangat dipengaruhi oleh distribusi
vascular bundle per cm2. Dari analisa korelasi Lampiran 17 diketahui bahwa hubungan antara vascular bundle dengan BJ batang kelapa hibrida adalah berkolerasi positif kuat. Sehingga apabila jumlah vascular bundle per cm2 meningkat maka akan meningkat pula nilai BJ tersebut.
Kehilangan Berat
Nilai rata-rata hasil pengukuran kehilangan berat contoh uji kecil bebas
6. 9 7 21 .32 7. 76 20. 06 6. 83 2. 18 5. 49 4. 3 9 10. 30 6. 49 0.
65 1.4
5 0. 57 1. 1 2 1. 1 8 1. 8 2 0. 1 7 7. 4 9 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
C1A1 C1A2 C1A3 C2A1 C2A2 C2A3
Perlakuan K e h il a nga n B e ra t ( % )
SENGON KAMPER KELAPA
[image:42.612.137.505.79.270.2]Keterangan : C1A1 (tanpa sinar matahari & air), C1A2 (tanpa sinar matahari ; terkena air hujan), C1A3 (tanpa sinar matahari ; terkena air mengalir), C2A1 (terkena sinar matahari ; tanpa air), C2A2 (terkena sinar matahari & terkena air hujan), dan C2A3 (terkena sinar matahari & terkena air mengalir).
Gambar 10. Grafik rataan kehilangan berat kayu berdasarkan perlakuan
Pada Gambar 10 dapat diketahui bahwa jenis kayu yang memiliki nilai
kehilangan berat tertinggi sampai terendah adalah sengon, batang kelapa hibrida
dan kamper. Pada Gambar 10 juga dapat diketahui bahwa nilai kehilangan berat
pada contoh uji perlakuan tanpa sinar matahari relatif lebih rendah dibandingkan
dengan contoh uji yang diberi perlakuan dengan sinar matahari, kecuali pada
perlakuan tanpa sinar matahari tapi terkena air secara mengalir (C1A3). Pada
perlakuan tersebut nilai kehilangan berat yang diukur merupakan nilai tertinggi
untuk setiap jenis kayu.
Nilai kehilangan berat cenderung semakin tinggi seiring dengan adanya
perlakuan terkena air hujan dan mengalir. Contoh uji kayu yang diberi perlakuan
berupa pemberian air secara mengalir memiliki nilai kehilangan berat yang lebih
tinggi dibanding dengan contoh uji yang diberi tambahan perlakuan terkena air
hujan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10 dengan membandingkan contoh uji
perlakuan C1A1 dengan C1A2 dan C1A3, atau contoh uji perlakuan C2A1
dengan C2A2 dan C2A3.
Data kehilangan berat yang diperoleh kemudian dianalisa dengan metoda
faktorial dengan tujuan mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai
dan interaksi berpengaruh nyata terhadap nilai kehilangan berat, hal ini dapat
[image:43.612.126.508.146.243.2]dilihat pada sidik ragam Tabel 5 di bawah ini :
Tabel 5. Analisa sidik ragam pengaruh jenis kayu dan perlakuan terhadap kehilangan berat kayu
Sumber db JK KT F-Hit P
Kayu 2 723.19079597 361.59539798 155.18* * 0.0001
Perlakuan 5 1876.99807502 375.39961500 161.10* * 0.0001
Kayu*Perlakuan 10 661.88229574 66.18822957 28.40* * 0.0001
Error 72 167.77169374 2.33016241
Total 89 3429.84286046
Keterangan : * Berpengaruh nyata pada P < 0,05
* * Berpengaruh sangat nyata pada P < 0,01
Berdasarkan hasil uji