PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI BIDAN PRAKTEK
TERHADAP PEMBERIAN SUSU FORMULA PADA BAYI BARU
LAHIR DI KLINIK BERSALIN KOTA MEDAN
TAHUN 2007
Kasminah : Pengaruh Karakteristik Dan Motivasi Bidan Praktek Terhadap Pemberian Susu Formula Pada Bayi Baru Lahir Di Klinik Bersalin Kota Medan Tahun 2007, 2008
PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI BIDAN PRAKTEK
TERHADAP PEMBERIAN SUSU FORMULA PADA BAYI BARU
LAHIR DI KLINIK BERSALIN KOTA MEDAN
TAHUN 2007
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
KASMINAH
057012018/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI BIDAN PRAKTEK TERHADAP PEMBERIAN SUSU FORMULA PADA BAYI BARU LAHIR DI KLINIK BERSALIN DI KOTA MEDAN TAHUN 2007
Nama Mahasiswa : Kasminah Nomor Pokok : 057012018
Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM) (dr. Heldy BZ, MPH) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Telah diuji pada Tanggal : 29 Mei 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM Anggota : 1. dr. Heldy BZ, MPH
PERNYATAAN
PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI BIDAN PRAKTEK
TERHADAP PEMBERIAN SUSU FORMULA PADA BAYI BARU
LAHIR DI KLINIK BERSALIN KOTA MEDAN
TAHUN 2007
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Mei 2008
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
ASI eksklusif adalah suatu keadaan pemberian ASI (Air Susu Ibu) sedini
mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal dan tidak diberi makanan lain,
walaupun hanya air putih, sampai bayi berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan, bayi mulai
dikenalkan dengan makanan lain dan tetap diberikan ASI sampai bayi berumur 2
tahun (Rachmawati, 2006).
ASI eksklusif merupakan pemberian ASI saja termasuk kolostrum tanpa
tambahan apapun sejak dari lahir, dengan perkataan lain pemberian susu formula, air
matang, air gula, air madu untuk bayi baru lahir tidak dibenarkan, para pakar sepakat
bahwa ASI eksklusif lebih unggul dari pada susu sapi atau bahan pengganti lainnya
(Krisnatuti, 2003).
Sayangnya perilaku yang baik memberikan ASI eksklusif kepada bayi sendiri
dianggap sebagian orang suatu tingkah laku yang tradisional, sehingga sedikit demi
sedikit ditinggalkan, hal tersebut dipengaruhi oleh kemajuan di negara industri yang
memperkenalkan susu buatan untuk bayi dan mempunyai manfaat yang sama dengan
ASI eksklusif, pemakaian lebih praktis, dengan promosi pemasaran susu buatan atau
Program ASI eksklusif di pelayanan masyarakat merupakan salah satu
pelaksanaan program pembangunan kesehatan yang bertujuan menurunkan angka
kematian bayi dan anak Indonesia. Oleh sebab itu pada tanggal 22 Desember 1990
Presiden mengajak bangsa Indonesia melaksanakan Gerakan Nasional Peningkatan
Penggunaan ASI (Depkes RI, 2000).
Dalam pelaksanaan program ASI eksklusif di rumah sakit, puskesmas dan
praktek klinik selalu berpedoman pada pelaksanaan Permenkes RI No.
240/Men.Kes/Per/V/1995 tentang Pengganti Air Susu Ibu, di mana tertuang
di dalamnya pokok-pokok kebijaksanaan peningkatan ASI eksklusif (Krisnatuti,
2003).
ASI eksklusif sebagai makanan terbaik untuk bayi dan mudah dicerna oleh
sistem pencernaan bayi, mengandung zat gizi berkualitas tinggi berguna untuk
kecerdasan dan pertumbuhan, mengandung asam amino essensial yang sangat penting
untuk meningkatkan jumlah sel otak bayi terutama sampai usia bayi 6 bulan. ASI
eksklusif memiliki berbagai kelebihan seperti mengandung zat kekebalan melindungi
bayi dari berbagai penyakit infeksi, selalu aman dan bersih, tidak pernah basi, dan
mempunyai suhu yang tepat sehingga dapat langsung diberikan kepada bayi setiap
saat (Depkes RI, 2003).
Dalam proses pemberian ASI eksklusif terjadi interaksi antara ibu dan bayi,
hal tersebut penting untuk perkembangan kejiwaan/mental anak. Pemberian ASI
eksklusif selain mempererat hubungan kasih sayang ibu dan anak adalah dapat
payudara, uterus cepat pulih, ibu lebih sehat dan bayi tidak kegemukan, mencegah
timbulnya diabetes mellitus pada masa bayi/anak-anak (Kristanto, 2000).
Menurut WHO (2000), upaya pencegahan diare dan ISPA dapat dicegah
dengan pemberian ASI eksklusif, dan menganjurkan agar bayi diberikan ASI
eksklusif selama enam bulan pertama, sebab terbukti bahwa menyusu ASI eksklusif
selama enam bulan menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi (http ://www.
kompas.com.documen/eksklusif%.htm).
Pelaksanaan memberikan ASI eksklusif di Indonesia tidak seperti yang
diharapkan. Cakupan ASI eksklusif yang ditargetkan dalam Propenas dan Strategi
PP-ASI adalah sebesar 80%. Sementara cakupan eksklusif untuk Indonesia tahun
2003 hanya 47,5%. Ada kecenderungan penurunan dibandingkan tahun 1997 sebesar
52% (Depkes RI, 2004).
Untuk data di Provinsi Sumatera Utara, kecenderungan pemberian ASI
eksklusif pada bayi mengalami penurunan, pada tahun 2005 cakupan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) sebesar 35,25% dan untuk target 5 tahun ke depan yang
akan dicapai pada tahun 2010 sebesar 80%. Demikian juga di Kota Medan jumlah
bayi yang diberi ASI eksklusif mengalami penurunan dari jumlah bayi 44.592 hanya
sebesar 1.301 bayi atau sekitar 2.92% yang diberi ASI eksklusif (Profil Kesehatan
Prop. Sumut, 2005).
Melihat data cakupan ASI eksklusif rendah, hal ini sangat berdampak pada
jangka panjang, berpengaruh terhadap sumber daya manusia (SDM) dan
keadaan memberikan ASI eksklusif terus bergeser kepada penggunaan susu formula,
keadaan ini harus segera diatasi dan diwaspadai dengan serius karena didukung lagi
semakin banyaknya kasus-kasus gizi buruk di hampir semua wilayah Indonesia
(Soekirman, 2000).
Berg (1986) mengemukakan bahwa para ibu di negara berkembang
tampaknya telah banyak yang tidak memberikan ASI eksklusif dan menghentikan
kegiatan menyusui anaknya, kebiasaan ini merupakan gejala yang mencolok di dalam
kehidupan perkotaan, selain ibu sibuk bekerja, kegiatan minum susu botol merupakan
salah satu kemajuan dalam kehidupan perkotaan yang diikuti oleh penduduk yang
pindah ke kota, penyebab utama penurunan memberikan susu eksklusif adalah
masalah modernisasi dan urbanisasi. Semakin tinggi nilai keduniaan, semakin
merosot pula kegiatan menyusui, minum susu botol telah dijadikan lambang status.
Lebih dari 80% ibu di perkotaan dari golongan kaya dan berpendidikan tinggi
tidak sanggup memberikan ASI sampai 6 bulan, hal ini karena masalah yang bersifat
psiko-fisiologis, sosial dan budaya, emosional dan psikologis di dukung lagi semakin
efektifnya teknik komunikasi yang benar-benar berkembang dan penilaian mereka
yang tinggi kemajuan duniawi (Berg, 1986).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2001), kenyataan rendahnya ibu tidak
memberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan disebabkan banyak faktor, seperti
faktor dari ibu sendiri, keluarga, masyarakat dan dari pelayanan kesehatan yang ada,
semua faktor ini dapat saling berkaitan dan saling mendukung menyebabkan
besar, karena persiapan menyusui dari masa kehamilan sudah dapat dibentuk, ibu-ibu
yang memeriksakan kehamilannya ke bidan sudah dapat diberikan informasi
mengenai ASI eksklusif. Program-program yang mendukung pelaksanaan ASI
eksklusif sudah digalakkan melalui pusat-pusat pelayanan kesehatan, seperti
puskesmas, klinik-klinik bersalin, praktek dokter dan bidan serta rumah sakit.
Bidan banyak mempengaruhi perilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif.
Pada kebanyakan kasus, pemberian ASI eksklusif segera setelah lahir tergantung pada
pengetahuan dan komitmen bidan yang membantu persalinan ibu tersebut, penyusuan
dini setelah melahirkan yang dianjurkan tidak dilakukan karena menganggap ibu dan
bayi masih dalam keadaan kotor, dan kecenderungan pelayanan bidan belum
mengupayakan agar si ibu memberikan ASI eksklusif pada bayi, melainkan langsung
memberikan susu botol pada bayi (Penny, 1990).
Hasil penelitian (Depkes RI, 2003) di Bogor menunjukkan bahwa anak yang
diberi ASI eksklusif tidak ada yang menderita gizi buruk. Data untuk penelitian yang
sama menunjukkan bahwa 57% ibu-ibu dianjurkan oleh bidan untuk memberikan
susu formula pada minggu pertama setelah kelahiran, dan ibu yang memberikan susu
formula dari iklan promosi sebesar 8.7%. Sedangkan lebih dari 25% ibu-ibu
menyatakan menerima susu formula melalui rumah sakit atau rumah bersalin, sekitar
9.5% ibu yang menerima hadiah dari perusahaan susu formula. Temuan penting
lainnya dari studi tersebut adalah 14,8% bidan menyatakan setuju untuk memberi
Selain melalui iklan di media dan promosi di pertokoan, para produsen susu
formula juga aktif berpromosi di rumah sakit dan klinik bersalin melalui bidan.
Sampel susu kaleng secara gratis diberikan kepada pasien. Ibu yang baru pulang dari
RS banyak yang diberi oleh-oleh susu kaleng gratis. Kini semakin banyak ibu-ibu
yang tidak percaya diri dengan manfaat dari kandungan ASI akibat pengaruh iklan
yang mengidealkan kandungan zat gizi terdapat dalam susu formula "(http://ms.
Wikipedia.org/wiki/Bidan).
Gencarnya promosi susu formula ditengarai menjadi penyebab menurunnya
jumlah bayi yang mendapat Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif. Dalam praktek
pelayanan yang dilakukan oleh bidan dan sarana pelayanan kesehatan lainnya banyak
mempengaruhi perilaku pemberian ASI eksklusif. Pada kebanyakan kasus, pemberian
ASI eksklusif segera setelah melahirkan juga tergantung pada pengetahuan dan
komitmen bidan yang membantu persalinan ibu tersebut (Depkes RI, 2002).
Berbagai alasan yang mengatakan pemberian ASI eksklusif di tempat
pelayanan klinik/rumah bersalin sangat tergantung bidan. Hal ini disebabkan bidan
adalah orang pertama yang membantu dan memotivasi ibu bersalin melakukan
pemberian ASI eksklusif tersebut. Pentingnya, klinik/rumah bersalin dalam
pengambilan keputusan tentang pemberian ASI eksklusif kepada bayi baru lahir
tergantung pada kelahiran yang memberikan ASI eksklusif menurun dari 8% menjadi
3,7%. Pemberian ASI eksklusif selama enam bulan menurun dari 42,2% menjadi
menjadi 32,5%. Penelitian Hasibuan (2004), dapat diasumsikan bahwa bidan
mempunyai peranan dalam upaya pemberian susu formula.
Mengingat klinik/rumah bersalin merupakan sarana dan bidan sebagai
motivator dalam pemberi informasi kepada ibu yang baru melahirkan, maka
diharapkan bidan meningkatkan pengetahuan dan berperan aktif dalam meningkatkan
kesadaran ibu melakukan penggunaan ASI eksklusif pada bayinya.
Melihat kenyataan tersebut di atas, penulis bermaksud mengadakan penelitian
lebih jauh, sehingga dapat diketahui permasalahan yang berkaitan dengan pengaruh
karakteristik dan motivasi bidan terhadap pemberian susu formula pada bayi baru
lahir di klinik bersalin Kota Medan tahun 2007.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, dapat dirumuskan
permasalahan peneliti adalah bagaimana pengaruh karakteristik dan motivasi bidan
terhadap pemberian susu formula pada bayi baru lahir di klinik bersalin di Kota
Medan tahun 2007.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh karakteristik dan motivasi
bidan terhadap pemberian susu formula pada bayi baru lahir pada klinik bersalin
1.4. Hipotesis
1. Ada pengaruh karakteristik bidan (umur, pendidikan, pengetahuan, sikap,
tingkat pendapatan, dan lama kerja) terhadap pemberian susu formula pada
bayi baru lahir.
2. Ada pengaruh motivasi bidan (insentif, kebutuhan dan berhasilan) terhadap
pemberian susu formula pada bayi baru lahir.
1.5. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi:
1. Dinas Kesehatan Kota Medan khusus klinik/rumah bersalin.
2. Peningkatan pengetahuan bidan dalam memberikan ASI eksklusif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bidan Suatu Profesi
Bidan merupakan profesi yang diakui secara Nasional maupun Internasional
dengan sejumlah praktisi di seluruh dunia. Pengertian bidan dan bidang prakteknya
secara internasional telah diakui oleh International Confederation of Midwives (ICM)
tahun 1972 dan Federation of International Gynaecologist and Obstetrician (FIGO)
tahun 1973, WHO dan badan lainnya. Pada tahun 1990 pada pertemuan dewan
di Kobe, ICM menyempurnakan definisi tersebut yang kemudian disahkan oleh FIGO
(1991) dan WHO (1992).
Bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan Program Pendidikan Bidan
yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk
menjalankan praktek kebidanan. Seorang bidan harus mampu memberikan supervise,
asuhan, dan memberikan nasehat yang dibutuhkan kepada wanita selama masa hamil,
persalinan dan masa pasca persalinan (post partum period), memimpin persalinan
atas tanggung jawabnya sendiri serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak (Christine,
2006).
Asuhan ini termasuk tindakan preventif, pendeteksian kondisi abnormal pada
ibu dan bayi, dan mengupayakan bantuan medis serta melakukan tindakan
mempunyai tugas penting dalam konsultasi dan pendidikan kesehatan, tidak hanya
untuk wanita tersebut, tetapi juga termasuk keluarga dan komunitasnya.
Pekerjaan ini termasuk pendidikan antenatal, dan persiapan untuk menjadi
orang tua dan meluas ke daerah tertentu dari ginekologi, keluarga berencana dan
asuhan anak, bidan biasa berpraktek di rumah sakit, klinik, unit kesehatan, rumah
perawatan atau tempat-tempat pelayanan lainnya (Christine, 2006).
Demikian luas dan dalamnya profesi bidan, maka dapat dikatakan bahwa
bidan Indonesia adalah seorang wanita yang telah mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan bidan yang telah diakui pemerintah dan lulus ujian dengan persyaratan
yang berlaku. Jika melakukan praktek, yang bersangkutan harus mempunyai
kualifikasi agar mendapatkan lisensi untuk praktek.
Keberadaan bidan di Indonesia sangat diperlukan untuk meningkatkan
kesejahteraan ibu dan janinnya. Pelayanan kebidanan berada di mana-mana dan
kapan saja selama ada reproduksi manusia. Dan bidan adalah profesi yang khusus,
dinyatakan suatu pengertian bahwa bidan adalah orang pertama yang melakukan
penyelamat kelahiran sehingga ibu dan bayinya lahir dengan selamat. Tugas yang
diemban oleh bidan, berguna untuk kesejahteraan manusia. Dengan demikian
pengertian masyarakat, ada kelahiran pasti ada bidan (Christine, 2006).
Pada saat ini, pengertian bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan
pendidikan kebidanan yang diakui dan mendapatkan lisensi untuk melaksanakan
Pelayanan kebidanan adalah pelayanan profesional yang merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan, yang diberikan kepada ibu dalam kurun waktu
masa reproduksi dan bayi baru lahir.
2.2. Bidan adalah Jabatan Profesional
Sesuai dengan uraian tersebut di atas, sudah jelas bahwa bidan adalah jabatan
profesional. Persyaratan dari bidan sebagai jabatan profesional telah dimiliki oleh
bidan tersebut. Persyaratan tersebut adalah:
1. Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bersifat khusus atau
spesialis.
2. Melalui jenjang pendidikan yang menyiapkan bidan sebagai tenaga
profesional.
3. Keberadaannya diakui dan diperlukan oleh masyarakat.
4. Mempunyai kewenangan yang disahkan atau diberikan oleh pemerintah.
5. Mempunyai peran dan fungsi yang jelas.
6. Mempunyai kompetensi yang jelas dan terukur.
7. Memiliki organisasi profesi sebagai wadah.
8. Memiliki kode etik bidan.
9. Memiliki etika kebidanan.
10.Memiliki standar pelayanan.
12.Memiliki standar pendidikan yang mendasari dan mengembangkan profesi
sesuai dengan kebutuhan pelayanan.
13.Memiliki standar pendidikan berkelanjutan sebagai wahana pengembangan
kompetensi.
14.Keselamatan dan kesejahteraan ibu secara menyeluruh merupakan perhatian
yang paling utama bagi bidan. Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan
bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan prakteknya. Dalam
melaksanakan praktek, bidan sering dihadapkan dalam pertanyaan, apa yang
dikerjakan bidan dan bagaimana ia berkarya, maka sangat ditegaskan
kompetensi pendukung yang harus dimiliki bidan (Wastidar, 2001).
2.3. Dasar-Dasar Susu Formula 2.3.1. Pengertian Susu Formula
Susu formula bayi adalah cairan atau bubuk dengan formula tertentu yang
diberikan pada bayi dan anak-anak. Susu formula berfungsi sebagai pengganti ASI.
Susu formula memiliki peranan yang penting dalam makanan bayi karena seringkali
bertindak sebagai pengganti ASI. Susu formula memiliki peranan yang penting dalam
makanan bayi karena seringkali bertindak sebagai satu-satunya sumber gizi bagi bayi,
karenanya komposisi susu formula yang diperdagangkan dikontrol dengan hati-hati
dari FDA (Food and Drugs Association) Badan Pengawas Obat dan Makanan
Amerika mensaratkan produk ini harus memenuhi standar ketat tertentu (Ruslina,
2.3.2. Kandungan dalam Susu Formula
Asam Arakhidonat (AA) dan Asam Dokoheksaenoat (DHA) merupakan asam
lemak tak jenuh ganda rantai panjang (LCPUFA), dibentuk dari prekursor yaitu Asam
Linoleat (Omega-3). Asam Linoleat merupakan asam lemak tidak essensial yang
tidak dapat dibuat oleh tubuh sendiri, harus didapat makanan. Tetapi menurut
penelitian terakhir ternyata pada periode emas perkembangan otak, AA dan DHA
merupakan kebutuhan essensial yang juga harus disuplai dari luar tubuh.
(Rachmawati, 2006).
AA dan DHA adalah komponen struktural dan fungsional otak dan retina
yang penting. Terdapat cukup bukti bahwa AA dan DHA mempunyai potensi
memperbaiki perkembangan dan fungsi otak serta ketajaman penglihatan. AA dan
DHA dalam jumlah yang cukup sangat dibutuhkan pada periode Pacu Tumbuh
Kembang Otak (Brain Growth Support), yaitu terjadi pada usia 2 bulan sebelum lahir
sampai 4 tahun. Pada masa itu dibutuhkan AA dan DHA dalam bentuk siap pakai dan
dalam jumlah yang lebih banyak sesuai dengan perbandingan seperti dalam ASI
(Rachmawati, 2006).
Sumber terbaik AA dan DHA adalah ASI, selain itu AA dan DHA juga dapat
diperoleh dari minyak ikan, kuning telur, dan sel tunggal dari lemak nabati.
Kelemahan dari AA dan DHA yang berasal dari minyak ikan adalah berbau amis,
mengandung DHA terlalu tinggi dan mengandung EPA (Asam Eksosa Pentanoat)
yang dapat menekan sintesa AA. Sumber minyak ikan ini kemungkinan juga
mengandung kolesterol yang tinggi dan lemak berbentuk fosfolipid. Sumber AA dan
DHA lainnya adalah lemak nabati yang merupakan sel tunggal yang bebas kolesterol
dan dalam bentuk trigliserida seperti yang terdapat pada ASI (Muchtadi, 1986).
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh para ahli, ditemukan bahwa bayi
yang memperoleh ASI, mengalami perkembangan psikomotorik yang lebih baik
dibandingkan bayi yang tidak memperoleh ASI. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa bayi yang mengkonsumsi AA dan DHA memiliki kemampuan kognitif,
ketajaman penglihatan, perkembangan mental dan psikomotor yang lebih baik dari
bayi yang hanya mengkonsumsi DHA saja atau tanpa keduanya. Hal ini
dimungkinkan karena AA dan DHA adalah komponen yang penting dari membrane
sel, dan secara khusus terdapat dalam jumlah lebih banyak pada jaringan otak dan
retina. Karena itu pemberian AA dan DHA dalam bentuk siap pakai sangat
dianjurkan oleh para ahli nutrisi untuk anak terutama pada periode emas pertumbuhan
otak (Kalangi, 1994).
AA dan DHA adalah bentuk lemak siap pakai yang merupakan hasil dari
asam linoleat (omega - 6) dan asam linolenat (omega - 3). Pada periode emas
pertumbuhan otak, anak lebih membutuhkan AA dan DHA dalam bentuk siap pakai.
Karena jaringan lemak yang banyak terdapat di dalam membrane sel otak adalah AA
dan DHA, sintesa AA dan DHA sangat dipengaruhi oleh system enzimatis dalam
tubuh, oleh karena itu untuk hasil optimal lebih baik diberikan AA dan DHA dalam
2.4. Perilaku
2.4.1. Definisi dan Determinan Perilaku
Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia
itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain, berbicara,
berjalan, menangis, tertawa, membaca, dan sebagainya. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati
langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Skiner merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang
terhadap stimulus (rangsangan dari luar), namun dalam memberikan respons sangat
tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.
Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun
respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor yang membedakan respons terhadap stimulus
yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan
menjadi dua, yakni:
1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan,
yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat
emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik,
sosial budaya, ekonomi, dan sebagainya.
Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003) faktor-faktor yang
a. Faktor-faktor predisposisi
Faktor-faktor ini mencakup; pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat
sosial ekonomi dan sebagainya, ikhwal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, untuk
berperilaku kesehatan, misalnya pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil diperlukan
pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat pemeriksaan hamil, baik
bagi kesehatan ibu sendirinya dan janinnya, di samping itu kadang-kadang
kepercayaan, tradisi dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau
menghambat ibu untuk periksa hamil, faktor-faktor yang positif mempermudah
terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor pemudah.
b. Faktor-faktor pemungkin
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan bagi masyarakat, misalnya, air bersih, tempat pembuangan sampah,
ketersediaan makanan yang bergizi, termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan
seperti Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas), rumah sakit, poliklinik, Pelayanan
Terpadu (posyandu), Poliklinik Desa (polindes), dokter dan bidan praktek swasta,
untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung,
fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku
c. Faktor-faktor penguat
Faktor-faktor ini meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama,
sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan, undang-undang,
peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan
kesehatan. Untuk berperilaku sehat masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu
pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan
perilaku contoh dari para tokoh masyarakat, petugas kesehatan dan undang-undang
diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut.
2.5. Karakteristik Bidan terhadap Pemberian Susu Formula
Sutrisna (1994) menyatakan bahwa karakteristik individu merupakan suatu
proses psikologis yang mempengaruhi individu dalam memperoleh, mengkonsumsi
serta menerima barang dan jasa serta pengalaman. Karakteristik individu merupakan
faktor internal (interpersonal) yang menggerakkan dan mempengaruhi perilaku.
Adapun yang termasuk karakteristik individu yaitu Bidan dalam
mempengaruhi pemberian susu formula antara lain umur, pendidikan, pengetahuan,
sikap dan lama kerja.
2.5.1. Umur
Umur adalah lamanya hidup dihitung sejak dilahirkan hingga saat ini. Umur
merupakan periode penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan baru.
Pada masa ini merupakan usia produktif, masa bermasalah, masa ketegangan emosi,
nilai, masa penyesuaian dengan cara hidup baru, masa kreatif. Pada masa dewasa
ditandai oleh adanya perubahan jasmani dan mental, kemahiran dan keterampilan
profesional yang dapat menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
teknologi dan kesenian (Soekanto, 1990).
2.5.2. Pendidikan
Pendidikan dalam arti formal adalah suatu proses penyampaian materi guna
mencapai perubahan dan tingkah laku (Notoatmodjo, 2003). Pendidikan secara umum
adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik
individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang
diharapkan oleh pelaku pendidikan. Dari batasan ini tersirat unsur-unsur pendidikan
yakni:
a. Input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat) dan
pendidikan (pelaku pendidikan).
b. Procses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain).
c. Output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku) (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Notoatmodjo (2003) konsep dasar dari pendidikan adalah suatu
proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan,
perkembangan, perubahan kearah yang lebih baik, lebih dewasa dan lebih matang
sehingga dapat menghasilkan perubahan perilaku pada diri individu, kelompok atau
masyarakat.
Koentjoroningrat (1997) mengatakan pendidikan adalah kemahiran menyerap
ini berhubungan erat dengan sikap seseorang terhadap pengetahuan yang diserapnya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah untuk dapat menyerap
pengetahuan.
2.5.3. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (overt behavior) (Bloom, dalam Notoatmodjo, 2003).
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Rogers dalam Notoatmodjo (2003),
mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru),
dalam dirinya orang tersebut terjadi proses berurutan, yaitu:
a. Awarenes (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
b. Interest, di mana orang mulai tertarik kepada stimulus.
c. Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya.
d. Trial, di mana orang telah mulai mencoba perilaku baru.
e. Adoption, di mana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
2.5.4. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan
tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Bloom (1908) dalam
Notoatmodjo (2003)).
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau obyek. Menurut Newcomb, menyatakan sikap itu
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana
motif tertentu, sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi
adalah merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang ada
dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi bersifat emosional terhadap stimulus
2.6. Motivasi
2.6.1. Definisi Motivasi
Robert C. Beck dalam Uno (2007) menyatakan bahwa motivasi berasal dari
kata motif yang dapat diartikan sebagai tenaga penggerak yang mempengaruhi
kesiapan untuk memulai melakukan rangkaian kegiatan dalam suatu perilaku.
Motivasi tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat diinterpretasikan dari
tingkah lakunya.
Menurut Purwanto (1999) motivasi diartikan sebagai keadaan dalam pribadi
seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan
tertentu guna mencapai tujuan.
Motivasi adalah perasaan atau pikiran yang mendorong seseorang melakukan
pekerjaan atau menjalankan kekuasaan terutama dalam berperilaku (Sbortell &
Kaluzny) dalam Soekanto (1990). Dalam suatu organisasi motivasi mempersoalkan
cara mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan
memberikan semua kemampuannya dan keterampilannya untuk menwujudkan tujuan.
Sehubungan dengan definisi di atas, Malone membedakan dua bentuk motivasi yang
meliputi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik timbul tidak
memerlukan rangsangan dari luar karena memang telah ada dalam diri individu
sendiri, yaitu sesuai atau sejalan dengan kebutuhan. Sedangkan motivasi ekstrinsik
timbul karena adanya rangsangan dari luar individu, misalnya insentif.
Dari berbagai macam definisi motivasi, Scanford (1970), terdapat tiga point
tujuan. Kebutuhan muncul karena adanya sesuatu yang kurang dirasakan oleh
seseorang, baik fisiologis maupun psikologis. Dorongan merupakan arahan untuk
memenuhi kebutuhan tadi (Tahir, 1984).
2.6.2. Teori Motivasi
1. Teori Kebutuhan Maslow
Teori Maslow sering disebut disebut dengan hirarki kebutuhan, karena
menyangkut kehidupan manusia. Maka teori ini dapat digunakan untuk menunjukkan
kebutuhan seseorang yang harus dipenuhi untuk termotivasi bekerja. Lima hirakhi
kebutuhan manusia menurut Maslow: 1) kebutuhan fisologis (physiological needs)
yaitu kebutuhan yang paling mendasar termasuk kebutuhan makan, minum, tempat
tinggal, 2) rasa aman (safety needs), 3) kebutuhan sosial (social needs) di mana
adanya rasa keterlibatan emosional yang mengikat persamaan dan persahabatan
4) penghargaan dan 5) aktualisasi diri yakni senantiasa percaya pada diri sendiri
menjadi seseorang hidup berarti (Purwanto, 1999).
2. Teori Motivasi Hyginis
Frederick Herberg mengusulkan teori Hyginis yang juga dikenal dengan teori
motivasi dua faktor. Dalam teori ini dijelaskan beberapa karakteristik mempunyai
hubungan dengan kepuasan kerja dan karakteristik lainnya dengan ketidakpuasan
kerja. Faktor intrinsik seperti keberhasilan, pengakuan, sering dihubungkan dengan
kepuasan kerja. Sebaliknya apabila menemukan ketidakpuasan kerja maka cenderung
dan hubungan kerja. Kemudian Herberg menyimpulkan kepuasan kerja dan
ketidakpuasan dalam bekerja muncul dari dua faktor yang terpisah (Purwanto, 1999).
3. Teori Mc. Clelland
Memiliki tiga jenis kebutuhan, yaitu: 1) kebutuhan untuk mencapai prestasi
(needs for achievement) yaitu dorongan untuk menjadi baik sesuai standar yang telah
ditetapkan, 2) kebutuhan untuk kekuatan (needs of power) kebutuhan membuat orang
lain dapat berperilaku sesuai dengan cara-cara yang dikehendaki, 3) kebutuhan untuk
berafiliasi atau berhubungan dekat dengan orang lain (Purwanto, 1999).
2.7. Landasan Teori
Agar penelitian ini relevan dengan topiknya, perlu digali beberapa pendapat
para ahli terdahulu yang ada kaitannya dengan faktor internal dan eksternal yang
diperkirakan ada pengaruhnya terhadap perilaku bidan dalam pemberian susu formula
pada bayi baru lahir.
Blum dalam Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa ada 4 faktor yang
mempengaruhi status kesehatan individu/masyarakat yaitu lingkungan, perilaku,
pelayanan kesehatan dan keturunan, di mana perilaku memberi pengaruh terbesar
kedua setelah faktor lingkungan.
Untuk menganalisis determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku dan erat kaitannya dengan faktor internal dan eksternal dapat
ditelusuri melalui salah satu konsep teori yang dikemukan oleh Lawrence Green
faktor utama yakni; faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin
(enabling factors), dan faktor penguat (reinforcing factors).
Faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. Faktor pemungkin
(enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya
fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan,
alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya. Faktor penguat (reinforcing factors)
yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain,
yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Dengan demikian Notoatmodjo (2007) menyimpulkan bahwa faktor
determinan perilaku itu dibedakan menjadi dua yaitu; faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal adalah merupakan karakteristik orang yang bersangkutan,
yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional,
jenis kelamin dan sebagainya. Faktor eksternal yaitu lingkungan, baik lingkungan
fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Faktor lingkungan ini
sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
Motivasi adalah perasaan atau pikiran yang mendorong seseorang melakukan
pekerjaan atau menjalankan kekuasaan terutama dalam berperilaku (Sbortell &
Kaluzny) dalam Soekanto (1990). Dalam suatu organisasi motivasi mempersoalkan
cara mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan
memberikan semua kemampuannya dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan.
meliputi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik timbul tidak
memerlukan rangsangan dari luar karena memang telah ada dalam diri individu
sendiri, yaitu sesuai atau sejalan dengan kebutuhan. Sedangkan motivasi ekstrinsik
timbul karena adanya rangsangan dari luar individu, misalnya insentif, kebutuhan dan
keberhasilan.
2.8. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian ini secara skematis dapat digambarkan pada
bagan berikut ini:
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah merupakan survey deskriptif dengan rancangan
penelitian menggunakan pendekatan sekat lintang (cross sectional study). Metode ini
digunakan sebagai suatu bentuk penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan
pengaruh atau menganalisis kecenderungan antara variabel-variabel penelitian
karakteristik dan motivasi bidan praktek terhadap pemberian susu formula.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bidan yang memiliki klinik/rumah bersalin
di 5 (lima) kecamatan di bawah wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Medan yaitu
sebanyak 403 bidan, dengan alasan klinik/rumah bersalin tersebut memiliki
persentase tingkat kelahiran yang tinggi dalam satu bulan rata-rata terdapat 15 sampai
25 kelahiran bayi, dan dikaitkan dengan laporan situs http://ms.wikipedia.org/wiki/
Bidan tanggal 25 Oktober 2006 yang menyatakan bahwa banyak klinik yang tidak
mendukung pemberian ASI eksklusif, maka penulis berasumsi bahwa ada
3.2.2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dimulai dengan melakukan penelusuran pustaka, konsultasi,
penyusunan proporsal, kolokium dan dilanjutkan dengan penelitian lapangan,
pengumpulan data, analisa data serta penyusunan laporan atau seminar hasil.
penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2007.
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh bidan di Kota Medan yang memiliki
klinik/rumah bersalin sebanyak 403 bidan.
3.3.2. Sampel Penelitian
Pengambilan sampel dari populasi unit analisis dilakukan secara sampel acak
sederhana (simple random sampling), yaitu setiap anggota dari populasi mempunyai
kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel (Lemeshow, 1997). Tehnik
pengambilan sampel acak sederhana dalam penelitian ini dengan mengundi anggota
populasi (lottery technique) atau tehnik undian.
Langkah-langkah dalam pengambilan sampel dalam penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Menyiapkan daftar subjek yaitu daftar nama bidan yang memiliki praktek
2. Memberi nomor urut subjek anggota populasi, penomoran dilakukan sesuai
alphabet nama.
3. Menyiapkan potongan kertas.
4. Menulis nama dan nomor dari masing-masing anggota populasi.
5. Randominasi dengan mengocok undian, proses ini dilakukan sampai besar
sampel tercapai. Sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan
rumus uji hipotesis satu sampel (Lemeshow, 1997).
{
z
1-α √ Po (1 – Po) + Z1 – β √ Pa (1 – Pa)}
²n = —————————————————————
(Pa – Po) ²
Keterangan:
n = besar sampel
α = 5 % = 0,05 maka Z1 - α = 1,645
Po = pemberian ASI eksklusif 35,25 %
Pa = 45.25 %
Power (kekuatan uji) = 90% (β = 10%), maka Z1 – β = 1,282.
Berdasarkan perhitungan didapatkan jumlah sampel yang diteliti sebesar 120
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Alat Pengumpul Data
Metode pengumpulan data adalah dengan menggunakan kuesioner terstruktur
yang telah dipersiapkan. Kuesioner yang digunakan telah dilakukan uji validitas dan
reliabilitas, di mana hasil uji menyimpulkan bahwa kuesioner valid dan reliabel untuk
digunakan dalam penelitian ini.
3.4.2. Uji Validitas dan Realibilitas
Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Variabel Item
Pertanyaan
r-hitung Status Alpa Cronbach
Kebutuhan 1 0,7633 valid 0,8989 Reliabel
2 0,7778 valid 0,8889 Reliabel
3 0,8898 valid 0,7895 Reliabel
Nilai r dari masing-masing item instrumen mempunyai nilai r lebih besar dari
Nilai koefisien Alpa Cronbach dari semua variabel lebih besar dari 0,632 sehingga
dapat dikatakan instrumen dari semua item pertanyaan sudah reliabel.
3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Jenis Variabel
1. Variabel Dependen (variabel terikat): Pemberian susu formula.
2. Variabel Independen (variabel bebas): Karakteristik (umur, pendidikan,
pengetahuan, sikap, tingkat penghasilan dan lama kerja) dan motivasi
(insentif, kebutuhan dan keberhasilan) bidan praktek.
3.5.2. Definisi Operasional a. Karakteristik Bidan
1. Umur adalah jumlah tahun yang dimiliki bidan sejak ia dilahirkan sampai saat
dikumpulkan data penelitian.
2. Tingkat pendidikan adalah derajat tertinggi dari sekolah yang telah
diselesaikan oleh bidan.
3. Pengetahuan, adalah sesuatu yang perlu diketahui bidan tentang manajemen
laktasi, ASI eksklusif, kolostrum, menyusui dengan baik dan benar, mengatasi
masalah menyusui, waktu penyusuan, serta menjaga kualitas dan kuantitas
ASI.
4. Sikap adalah bentuk perilaku yang masih tersembunyi dan belum merupakan
5. Tingkat penghasilan adalah jumlah penghasilan perbulan yang didapat
seorang bidan, yang berasal dari pekerjaan bidan praktek sendiri dan dari
pekerjaan suami.
6. Lama kerja adalah rentang waktu yang dihitung mulai saat buka praktek klinik
sampai saat penelitian dilakukan.
b. Motivasi Bidan
1. Insentif yaitu penghargaan dari produsen susu formula kepada bidan yang
dinyatakan dalam satuan uang yang tergantung jumlah susu yang dapat dijual
sehingga diharapkan bisa mendorong bidan untuk meningkatkan pemakaian
susu formula pada pasien.
2. Kebutuhan adalah pendapat bidan tentang perlu tidaknya susu formula
diberikan kepada bayi baru lahir dan untuk promosi klinik.
3. Keberhasilan adalah segala hal yang telah diperoleh bidan setelah bekerja
Metode Pengukuran
Tabel 3.2. Metode Pengukuran Variabel-variabel Penelitian
N0 Jenis
1. Dependen Pemberian
Susu Formula
Wawancara Nominal 0.Ya
1.Tidak
2. Independent Umur Wawancara Interval 1. 26-31 tahun
2. 32-37 tahun 3. 38-43 tahun
3. Independent Pendidikan Wawancara Ordinal 1. D-I Kebidanan
2. DIII/D-IV Kebidanan
4. Independent Pengetahuan Wawancara Ordinal 1. Buruk (0-7)
2. Baik (8-16)
5. Independent Sikap Wawancara Ordinal 1. Tidak setuju (0-4)
2. Setuju (5-10)
6. Independent Penghasilan Wawancara Nominal 1. Rendah (< nilai
UMR)
2. Tinggi (≥ UMR).
7. Independent Lama kerja Wawancara Interval 1. 4-8 tahun
2. 9-13 tahun 3. 14-18 tahun
8. Independent Insentif Wawancara Ordinal 1. Tidak Cukup (0-1)
2. Cukup (2-3)
9. Independent Kebutuhan Wawancara Ordinal 1. Tidak Ada (0-1)
2. Ada (2-3)
10. Independent Keberhasilan Wawancara Ordinal 1. Tidak Ada (0-1)
Metode Analisis Data
Data yang sudah dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan
bantuan perangkat lunak komputer. Analisa univariat digunakan untuk
mendiskripsikan faktor karakteristik (umur, pendidikan, pengetahuan, sikap, tingkat
penghasilan dan lama kerja) dan motivasi (insentif, kebutuhan dan keberhasilan)
bidan praktek dan faktor pemberian susu formula.
Untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen yang sama-sama variabel katagorik digunakan Chi–Square Test (Sutanto,
2001). Analisa bivariat digunakan untuk mendapatkan informasi adanya hubungan
antara variabel independen karakteristik (umur, pendidikan, pengetahuan, sikap,
tingkat penghasilan dan lama kerja) dan motivasi (insentif, kebutuhan dan
keberhasilan) bidan praktek dengan variabel dependen (pemberian susu formula).
Hubungan ini diidentifikasi dengan melihat p-value, bila p-value < 0,05 maka
disimpulkan ada hubungan variabel independen dengan variabel dependen. Analisis
bivariat juga dimaksudkan untuk melihat variabel-variabel yang potensial
dimasukkan kedalam analisa multivariat (uji regresi logistik), yaitu variabel-variabel
yang mempunyai p value < 0,25. Analisa multivariat untuk mengetahui pengaruh
variabel independen yang mempunyai hubungan signifikan pada analisa bivariat (Chi
Square Test) secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Dan untuk
mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadap pemberian susu formula
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bidan yang memiliki klinik/rumah bersalin
di 5 (lima) kecamatan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Medan yaitu
Kecamatan Johor, Medan Denai, Medan Amplas, Medan Tembung, dan Medan
Polonia.
Secara keseluruhan Dinas Kesehatan Kota Medan memiliki 403 klinik /rumah
bersalin. Penelitian ini dilakukan di 45 klinik/rumah bersalin yang ada di Kota Medan
dengan jumlah sampel sebanyak 120 responden.
4.2. Analisis Univariat
4.2.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir
Untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi karakteristik responden
dan motivasi bidan terhadap pemberian susu formula, dapat diuraikan sebagai berikut
Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah bidan yang memiliki praktek klinik
atau rumah bersalin di lima kecamatan wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Medan,
responden yang meliputi umur, pendidikan, penghasilan, lama karja, pengetahuan dan
sikap.
Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Bidan di Klinik Bersalin Kota Medan Tahun 2007
No Variabel Jumlah
Distribusi responden berdasarkan umur dibagi dalam 3 kelompok umur yaitu
kelompok umur 26 – 31 tahun, kelompok umur 32 – 37 tahun dan kelompok umur 38
– 43 tahun. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas responden yaitu 57 orang
(47,5%) berusia antara 38 – 43 tahun (Tabel 4.1).
Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan dikategorikan pada 2
tingkatan yaitu pendidikan D-I Kebidanan dan D-III Kebidanan/D-IV Kebidanan.
Dari tabel di atas diketahui bahwa mayoritas responden mempunyai tingkat
pendidikan D-III Kebidanan yaitu 74 orang (61,7%).
Distribusi responden berdasarkan penghasilan dibagi dalam 2 kategori, dari
tabel di atas diperoleh data bahwa mayoritas responden mempunyai tingkat
penghasilan tinggi yaitu 79 orang (65,8%).
Distribusi responden berdasarkan lama kerja dikategorikan dalam 3 kelompok
yaitu dengan lama kerja 4 – 8 tahun, 9 – 13 tahun dan 14 – 18 tahun. Dari tabel
di atas diketahui bahwa mayoritas responden sudah bekerja antara 4 – 8 tahun yaitu
73 orang (60,8%).
Distribusi responden berdasarkan pengetahuan dibagi menjadi 2 kategori yaitu
buruk dan baik, dari tabel di atas diperoleh data bahwa mayoritas pengetahuan
responden tentang ASI eksklusif dan susu formula dapat dikatakan sudah baik yaitu
103 responden (85,8%).
Distribusi responden berdasarkan sikap dibedakan dalam 2 kategori yaitu
terdapat 82 orang (68,3%) yang memiliki sikap setuju terhadap pemberian susu
formula pada bayi baru lahir.
4.2.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Motivasi Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir
Untuk melihat distribusi motivasi yang meliputi antara lain: insentif,
kebutuhan dan keberhasilan terhadap pemberian susu formula pada bayi baru lahir
dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini:
Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi Bidan di Klinik Bersalin Kota Medan Tahun 2007
No Variabel Jumlah
Frekuensi Persen
Distribusi responden berdasarkan faktor insentif diperoleh data bahwa
responden yang berpendapat tidak cukup menerima insentif menjawab cukup terdapat
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pemberian susu formula bukan merupakan
kebutuhan yaitu 72 orang (60,0%) dan yang berpendapat bahwa pemberian susu
formula merupakan kebutuhan ada 48 orang (40,0%).
Untuk faktor keberhasilan dalam pemberian susu formula yang menyatakan
tidak ada keberhasilan 35 orang (29,2%) dan yang menyatakan bahwa ada
keberhasilan dalam pemberian susu formula terdapat 85 orang (70,8%).
4.3. Analisis Bivariat
4.3.1. Pengaruh Karakteristik Bidan terhadap Tindakan Bidan dalam Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir
Tabel 4.3. Pengaruh Umur Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir
Pemberian Susu Formula
Ya Tidak Total
Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa 50,9% (30 orang), responden yang
berumur 38 – 43 tahun memberikan susu formula pada bayi baru lahir, umur 32 – 37
tahun sebanyak 25 orang (51,0%) dan dari kelompok umur 26 – 31 tahun terdapat 7
Dari hasil chi square, p value = 0,978, hal ini berarti bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara umur bidan dengan pemberian susu formula pada
bayi baru lahir.
Tabel 4.4. Pengaruh Pendidikan Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir
Pemberian Susu Formula
Ya Tidak Total
Dalam Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa 52,7% (29 orang) responden dengan
tingkat pendidikan D-1 Kebidanan memberikan susu formula pada bayi baru lahir,
untuk tingkat pendidikan D-III/ D-IV kebidanan sebanyak 23 orang (50,0%).
Dari hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa nilai value 0,920, hal
ini berarti, namun tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan bidan dengan
pemberian susu formula pada bayi baru lahir.
Tabel 4.5. Pengaruh Lama Kerja Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir
Pemberian Susu Formula
Faktor lama kerja responden dalam Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa 50,7% (37
orang) dengan lama kerja 4 – 8 tahun, memberikan susu formula pada bayi baru lahir,
lama kerja 9 – 13 tahun sebanyak 20 orang (55,5%) dan dari rentang waktu lama
kerja 14 – 18 tahun terdapat 5 orang (45,5%).
Dari analisa dengan hasil uji chi square, p value = 0,812, hal ini berarti bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara lama karja dengan pemberian susu formula
pada bayi baru lahir.
Tabel 4.6. Pengaruh Penghasilan Bidan terhadap Pemberian Formula pada Bayi Baru Lahir
Pemberian Susu Formula
Ya Tidak Total
Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa 53,7% (22 orang) yang berpenghasilan
rendah memberikan susu formula pada bayi baru lahir, untuk responden dengan
penghasilan tinggi terdapat 40 orang (50,6%).
Pengaruh penghasilan bidan dari hasil uji chi square dengan p value 0,903.
Angka ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur
Tabel 4.7. Pengaruh Pengetahuan Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir
Pemberian Susu Formula Ya Tidak Total
Pengaruh pengetahuan bidan dengan pemberian susu formula menunjukkan
bahwa responden dengan pengetahuan buruk sebanyak 14 orang (82,4%) dalam
pemberian susu formula pada bayi baru lahir dan responden dengan pengetahuan baik
terdapat 48 orang (46,6%)
Dari hasil uji chi square, p value = 0,013, hal ini bermakna bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara pengetahuan bidan dengan pemberian susu formula
pada bayi baru lahir.
Tabel 4.8. Pengaruh Sikap Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir
Pemberian Susu Formula Ya Tidak Total
Tabel 4.8 menggambarkan bahwa responden 32 orang (84,2%) yang memiliki
sikap tidak setuju dengan pemberian susu formula untuk bayi baru lahir, sedangkan
Hasil uji dengan chi square menunjukkan bahwa nilai p value 0,000 hal ini
berarti ada hubungan yang sangat signifikan antara sikap bidan dengan pemberian
susu formula pada bayi baru lahir.
4.3.2. Pengaruh Motivasi Bidan terhadap Tindakan Bidan dalam Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir
Tabel 4.9. Pengaruh Insentif Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir
Pemberian Susu Formula Ya Tidak Total
Dari Tabel 4.9 dapat dilihat bahwa 23,4% (15 orang), responden yang
menerima insentif tidak cukup terhadap pemberian susu formula pada bayi baru lahir,
sedangkan responden yang cukup menerima insentif sebanyak 47 orang (83,9%).
Dari hasil analisa dengan hasil uji chi square p value = 0,000 hal ini berarti
ada hubungan yang sangat signifikan antara insentif dengan pemberian susu formula
pada bayi baru lahir.
Tabel 4.10. Pengaruh Kebutuhan Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir
Untuk faktor kebutuhan dari Tabel 4.10 dapat dilihat bahwa 62,5% (45 orang)
dengan responden tidak ada kebutuhan dalam pemberian susu formula terhadap bayi
baru lahir, dan 17 orang (35,4%) berpendapat ada kebutuhan terhadap pemberian susu
formula.
Hasil uji dari chi square p value = 0,006 hal ini bermakna, bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara kebutuhan bidan dengan pemberian susu formula
pada bayi baru lahir.
Tabel 4.11. Pengaruh Keberhasilan Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir
Pemberian Susu Formula Ya Tidak Total
Untuk keberhasilan dari Tabel 4.11 dapat dilihat bahwa 34,3% (12 orang)
dengan responden tidak ada keberhasilan dalam pemberian susu formula terhadap
bayi baru lahir, sedangkan 50 orang (58,8%) berpendapat ada keberhasilan terhadap
pemberian susu formula.
Hasil uji dari chi square p value = 0,025 hal ini berarti tidak ada hubungan
yang signifikan antara kebutuhan bidan dengan pemberian susu formula pada bayi
4.4. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel independen mana
yang paling berpengaruh terhadap pemberian susu formula oleh bidan. Karena
variabel dependen dikotom (ya dan tidak), maka uji statistik yang digunakan adalah
Regresi Logistik.
Tabel 4.12. Hasil Analisis Multivariat Pengaruh Karakteristik dan Motivasi Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir No Variabel B p value Adjusted
OR
95% CL
1. Pengetahuan 2,017 0,011 7,515 1,597-35,369
2. Sikap 1,866 0,002 6,463 2,036-20,515
3. Insentif -2,600 0,000 0,074 0,027-0,204
Constant -3,297 0,093 0,037
Dari hasil uji Regresi Logistik di atas dapat dilihat bahwa ada 3 variabel
independen yang paling berpengaruh terhadap variabel dependen yaitu variabel
pengetahuan (0,011) sikap (0,002) dan variabel insentif (0,000). Hal ini berarti nilai p
variabel-variabel tersebut tersebut lebih kecil dari 0,05 yang berarti variabel
pengetahuan sikap dan insentif paling mempengaruhi dan yang paling dominan
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Bidan
Karakteristik bidan dinilai berdasarkan pengumpulan data terhadap bidan
yang membuka lahan praktek di bawah wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Medan.
Variabel karakteristik bidan dalam penelitian ini dijabarkan berdasarkan sub variabel
sebagai berikut: umur, pendidikan, pengetahuan, sikap, penghasilan, dan lama kerja.
Data yang dikumpulkan dari hasil wawancara untuk karakteristik bidan dilihat
dari distribusi umur, dapat dikatakan bahwa persentase usia responden tertinggi
berada usia 38 – 43 tahun sekitar 47,5%, usia ini merupakan usia yang sangat
produktif dan berpotensi dalam mengembangkan klinik yang dikelolanya.
Untuk pendidikan responden rata-rata menamatkan sekolah D-I Kebidanan
yaitu 74 responden sekitar 61,7%. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pemahaman
tentang pemberian ASI eksklusif sudah cukup baik karena sudah termasuk dalam
kurikulum materi perkuliahan.
Untuk penghasilan dari responden secara umum menunjukkan bahwa tingkat
penghasilan dikatakan sudah cukup mapan yaitu 79 responden dengan persentase
60,8%, variabel ini tidak berpengaruh terhadap tindakan bidan dalam memberikan
yang tinggi responden tidak memiliki kecenderungan dalam tindakan pemberian susu
formula.
Lama kerja responden 4 – 8 tahun sekitar 60,8% dalam menolong persalinan,
dengan rentang waktu tersebut, responden dalam perawatan bayi diharapkan dapat
menginformasikan tentang ASI eksklusif yang baik, dan idealnya responden harus
selalu memberikan arti dan pentingnya pemberian ASI eksklusif tersebut kepada bayi
baru lahir, sehingga ibu dapat mengerti dengan baik tentang manajemen laktasi
seperti masa segera setelah lahir, masa neonatal dan masa post neonatal.
Untuk pengetahuan responden dapat dikatakan sangat baik yaitu 85,8% dalam
pemberian ASI eksklusif, hal ini terkait dengan pendidikan dan lama kerja, melihat
keterkaitan ini sudah selayaknya sebenarnya seorang bidan lebih mengutamakan ASI
eksklusif dari pada pemberian susu formula pada bayi baru lahir tersebut. Pandangan
ini sesuai yang diungkapkan oleh Notoatmodjo (1993) bahwa pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya sikap dan tindakan
seseorang. Tindakan yang didasari dengan pengetahuan, sifatnya lebih lestari dan
tertanam baik pada diri seseorang. Begitu pula dalam pemilihan memberikan ASI
eksklusif atau pemberian susu formula tersebut.
Sikap dari responden dapat dikatakan buruk karena dari hasil distribusi dilihat
68,3% menyatakan setuju memberikan susu fomula dari pada ASI eksklusif dengan
berbagai alasan seperti pelayanan/service, sudah langganan dengan produsen susu, air
susu ibu belum keluar, supaya ibu lebih tenang setelah melahirkan dan dari ibunya
jauh dengan pengetahuan responden, hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang
baik tidak menjamin sikap yang baik pula.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap stimulus atau objek. Warnen dan Fleur dalam Azwar (2005) menyatakan
bahwa sikap verbal merupakan petunjuk yang cukup akurat untuk memprediksi apa
yang akan dilakukan seseorang bila ia dihadapkan pada suatu objek sikap.
Dari hasil pengamatan penulis, diketahui bahwa hampir rata-rata bidan
menunjukkan sikap yang positif terhadap pemberian susu formula, hal ini penulis
amati pada saat bayi baru lahir, bayi langsung dipisahkan dari ibunya dan
ditempatkan diruangan bayi khusus, saat bayi menangis si bidan langsung
membuatkan dan memberikan susu formula dan berlangsung 1 sampai 3 hari dan
ketika si ibu hendak pulangpun dibawakan sampel susu kaleng atau oleh-oleh susu
formula secara gratis.
Kenyataan ini sangat bertentangan dengan pendapat Roesli (2000) yang
menyatakan bahwa bayi normal langsung diletakkan di dada ibunya minimal 30
menit, pada usia 20 menit dia akan merangkak sendiri ke payudara ibunya. Pada usia
50 menit, dengan susah payah merangkak, dia akan menemukan puting susu ibunya
5.2. Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi Bidan
Untuk distribusi responden berdasarkan motivasi bidan, variabel motivasi
diteliti berdasarkan variabel insentif, kebutuhan, keberhasilan.
Dalam variabel insentif distribusi responden diperoleh data bahwa bidan
dalam menjawab cukup dalam menerima insentif terdapat 64 responden (53,3%) dan
56 (46,7%) responden menyatakan tidak cukup. Dengan demikian insentif yang
diterima oleh bidan dari produsen susu formula memberikan dampak yang negatif
dalam pemberian ASI eksklusif.
Mayoritas responden menjawab tidak ada kebutuhan dalam pemberian susu
formula sebanyak 72 responden (60,0%), dan responden menjawab ada sebesar 48
orang (40,0%). Pemberian susu formula ini dapat dikatakan sebagai kebutuhan oleh
bidan, apabila ASI eksklusif tidak keluar atau tidak cukup, maka solusinya bayi
diberikan susu formula. Jadi hal yang wajar bila si bidan selalu menyediakan susu
formula di kliniknya.
Untuk variabel keberhasilan dari 120 responden, maka dari tabel di atas dapat
dilihat bahwa sebanyak 35 responden (29,2%) menyatakan tidak ada keberhasilan,
sedangkan responden yang menjawab ada keberhasilan terhadap pemberian susu
formula hanya 85 responden (70,8%). Untuk variabel keberhasilan ini dapat
dikatakan bahwa setelah bidan memberikan susu formula gratis, berdampak pada
perkembangan kliniknya, walaupun tidak sepenuhnya keberhasilan ini karena hal
5.3. Pengaruh Karakteristik Bidan dengan Tindakan Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir
Untuk karakteristik bidan dari seluruh variabel umur, pendidikan,
pengetahuan sikap, lama kerja dan pendapatan, maka variabel sikap mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap pemberian susu formula pada bayi baru lahir, yang
berdampak pada rendahnya tingkat persentase pemberian ASI eksklusif (0 – 6 bulan)
dengan hasil uji Regresi Logistik nilai p 0,002.
Menurut penulis, dalam hal ini terjadi pergeseran pola perilaku bidan dari
pemberian ASI eksklusif ke susu formula, kenyataan ini tidak terlepas dari tanggung
jawab petugas kesehatan, orang tua dan masyarakat, dan kini ditambah lagi semakin
gencarnya promosi yang dilakukan produsen susu formula, apalagi promosi ini tidak
hanya melalui iklan di media cetak maupun elektronik tetapi juga secara langsung
melalui bidan.
Di lokasi penelitian penulis melihat selain bidan tidak mendorong si ibu
memberikan ASI eksklusif, terkadang banyak orang tua merasa ASInya masih
sedikit, sehingga banyak yang segera memberikan susu formula, padahal pemberian
susu formula itu justru akan menyebabkan ASI semakin tidak lancar, anak relatif
malas menyusu atau malah bingung puting terutama pemberian susu formula dengan
dot. Begitu bayi diberikan susu formula, maka saat ia menyusu pada ibunya akan
kekenyangan, sehingga volume ASI makin berkurang, makin sering susu formula
Ibu yang melahirkan normal di klinik bersalin menjadi pasar utama dalam
pemberian susu formula, selain biayanya lebih murah dibandingkan rumah sakit atau
puskesmas juga si pasien merasa pelayanan di klinik lebih maksimal, sehingga hal ini
juga yang mendorong para produsen susu mempromosikan susu formula untuk bayi
baru lahir.
5.4. Pengaruh Motivasi Bidan dengan Tindakan Bidan terhadap Pemberian Susu Formula pada Bayi Baru Lahir
Untuk pengaruh motivasi bidan, maka variabel yang berhubungan signifikan
ada yaitu variabel insentif terhadap pemberian susu formula kepada bayi baru lahir
dengan hasil uji Regresi Logistik dengan nilai p0,000.
Insentif yang diterima bidan dalam pemberian susu formula kepada pasien
mendapatkan bonus dari produsen susu dalam berbagai bentuk, hal ini sangat
mendorong bidan untuk melakukan tindakan pemberian susu formula, ini sesuai
dengan pandangan dari Wexley (1998) yang menyatakan bahwa program insentif
yang menggunakan bonus dapat mengkokohkan ketergantungan yang lebih kuat dan
adanya keterkaitan yang erat antara pelaksanaan individu dengan insentif tersebut.
Pengamatan penulis di lapangan menunjukkan bahwa pemberian insentif oleh
produsen susu formula kepada bidan memberikan dampak yang negatif dalam
pemberian ASI eksklusif, produsen susu formula setiap kali datang ke klinik bukan
hanya membawa susu formula saja, tetapi ada hal lain yang menarik diberikan kepada
Kode Etik Internasional Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu (PASI) maupun peraturan
pemerintah yang berlaku, masalahnya hingga kini hampir tidak ada tindakan terhadap
pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Ikatan Bidan Indonesia yang memiliki Kode Etik Bidan Indonesia disusun
atas dasar penekanan keselamatan di atas kepentingan lainnya. Terwujudnya kode
etik ini merupakan bentuk kesadaran dan kesungguhan hati setiap bidan untuk
memberi pelayanan kesehatan secara profesional dan sebagai anggota tim kesehatan
demi tercapainya cita-cita pembangunan nasional di bidang kesehatan umumnya,
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Tindakan bidan dalam pemberian susu formula kepada bayi baru lahir,
sebanyak 51,7% menyatakan setuju, dan 48,3% menyatakan tidak setuju.
2. Variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap tindakan bidan dalam
pemberian susu formula pada bayi baru lahir adalah variabel pengetahuan
dengan nilai p = 0,011 sikap dengan nilai p= 0,002. Sedangkan variabel
insentif dengan nilai p = 0,000 artinya terdapat pengaruh yang signifikan
antara pengetahuan, sikap dan insentif terhadap pemberian susu formula.
3. Variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tindakan
pemberian susu formula pada bayi baru lahir yaitu umur, pendidikan,
pendapatan, lama kerja, kebutuhan, keberhasilan.
6.2. Saran
Dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat disarankan:
6.2.1. Seorang bidan sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan program ASI
eksklusif diharapkan dapat meningkatkan dalam memberikan informasi yang
kepada bayi baru lahir, maka sebaiknya kapan dan bagaimana pemberian susu
formula tersebut, dan seorang bidan harus berani mengatakan tidak
memberikan susu formula dan tidak menerima dalam bentuk apapun yang
ditawarkan produsen susu.
6.2.2. Petugas kesehatan diharapkan lebih meningkatkan perannya dalam
memprioritaskan pemberian ASI eksklusif dari pada kebutuhan ekonomi, dan
dilarang mencantumkan/menempelkan iklan produk susu formula di praktek
klinik/klinik bersalin tersebut.
6.2.3. Dinas Kesehatan Kota Medan, diharapkan lebih berpartisipasi dalam
menggalakkan program ASI eksklusif dan memberikan sanksi kepada petugas
kesehatan yang lebih mengutamakan pemberian susu formula dari pada ASI
DAFTAR PUSTAKA
Berg, Alam dan Sayogyo, 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional, Edisi I CV Rajawali, Jakarta.
Catharina Maria Sri Saltati, 1994. Perilaku, Akademi Kebidanan Sint Carolus, Jakarta.
Christine Henderson dan Kathleen Jones, 2006. Konsep Kebidanan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, 2001. Manajemen Laktasi. Buku Panduan Bagi Bidan dan Petugas Kesehatan di Puskemas, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, 2002. Progam Save Motherhood di Indonesia. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
_________, 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator
Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Depkes RI. Jakarta.
Diah Krisnatuti, Rina Yenrina, 2001. Menyiapkan MakananPendamping ASI, Puspa Swara, Anggota IKAPI, Jakarta.
Hamid, D.E, 1996. Intoleran Susu pada Bayi dan Anak,Majalah Kesehatan Nasional
Medan, Volume 26 No. 4, Desember 1996.
Hasibuan Masrah, 2004. Hubungan Faktor Komitmen Rumah Sakit dan Karakteristik Ibu Bersalin dengan Tingkat Keberhasilan Pelaksanaan Program ASI Eksklusif, Tesis, Program Pasca Sarjana USU, Medan.
http : / / www . kompas . com . documen / eksklusif % htm. 05 September 2006 Profesi Bidan.com, Jakarta.
http: //www. kompas. com.documen/eksklusif%.htm 25 Oktober 2005.
Kalangi, NS, 1994. Kebudayaan dan Kesehatan, Penerbit Meapoint, Jakarta.