PEMANFAATAN MODAL SOSIAL DALAM REKONSTRUKSI
SOSIAL EKONOMI PASCA GEMPA BUMI DAN
GELOMBANG TSUNAMI
(
Studi Kasus Pada Pelaksanaaan Credit Union BSP Makmur Ratana di Kuta Geulumpang Kec. Samudra Gedong kabupaten Aceh Utara )TESIS
OLEH :
Mauludi
NIM 047024008/SP
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfatan modal sosial dalam rekonstruksi sosial ekonomi melalui Credit Union bagi korban bencana tsunami. Dalam penelitian ini difokuskan pada pelaksanan Credit Union BSP Makmur Ratana yang beroperasi pada wilayah kampung Geulupang.
Tipe penelitian ini adalah deskriptif .Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kuta Geulumpang Adapun pertimbangan pemilihan lokasi penelitian ini adalah mengingat bahwa Kuta Geulumpang Kecamatan Samudra Gedung Kabupaten Aceh Utara yang merupakan salah satu wilayah yang terkena bencana Tsunami yang sedang dalam tahap rekonstruksi. Untuk memenuhi kebutuhan akan data dan informasi untuk kebutuhan penelitian ini dipergunakan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan tipe penelitian. Metode pengumpulan data menggunakan teknik, interview, observasi dan studi dokumentasi.
Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan keberhasilan rekayasa modal sosial dalam membentuk lembaga keuangan swadaya masyarakat (Credit Union) dimana pembentukan Credit Union telah berhasil mengembangkan potensi ekonomi masyarakat Geulumpang dan juga telah mampu mendongkrak perkembangan dunia usaha masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa orang miskin bukan hanya perlu uang saja untuk keluar dari keadaannya yang miskin itu. Yang diperlukan adalah pembinaan dan pendampingan. Pembinaan dan pendampingan tersebut tersedia oleh.Credit Union bukan hanya berperan sebagai lembaga simpan pinjam, tetapi juga mendidik dan menyejahterakan anggotanya dalam banyak hal. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus berperan lebih aktif dalam mengembangkan Credit Union . Seharusnya lebih ditingkatkan lagi peran serta pemerintah dalam mensukseskan Credit Union di Indonesia dalam bentuk: bantuan, motivasi, pendampingan, pembinaan dan pelatihan.
ABSTRACT
The aim of this research is to acknowledge the profitable sosial capital in reconstruction sosial economic by Credit Union program for victim of Tsunami disaster. The focus of this research is the implementation of program Credit Union BSP makmur Ratana that was operatein Kampung Geulumpang.
The type of this research is descriptive. The location of research was doing in Kuta geulumpang. The reason to choose this location by consideration that Kuta Geulumpang, Kecamatan samudera Gedung kabupaten Aceh Utara was the one of the reconstruction area pasca natural disaster (tsunami). The data was collect by , interview, observation (perseption) and documentation study.
The result of this research show the successfully of profitable of sosial capital to build an finance foundation by Credit Union, where the Credit Union support the expand of economic potension of Geulupang people, and other side to grow up the trade and business society. Based on the results of this research it can be concluded that the poor do not just need money to be relieved of their situation. What is needed is both cultivation and guidance. This cultivation and guidance is provided by credit cooperatives. Not only do credit cooperatives play a role as a credit institution, but also educate and enhance the welfare of their members in a variety of ways. Because of this the Indonesian people should be providing encouragement, cultivation and financial aid in order to continue the success of credit cooperatives in Indonesia
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat
allah SWT, yang senantiasa memberikan rahmat, hidayah dan kekuatan sehingga
penulis dapat menyelesaiakan penyususnan tesis ini dengan judul “
PEMANFAATAN MODAL SOSIAL DALAM REKONSTRUKSI SOSIAL
EKONOMI PASCA GEMPA BUMI DAN GELOMBANG TSUNAMI (Studi
Kasus Pada Pelaksanaaan Credit Union BSP Makmur Ratana di Kuta
Geulumpang Kec. Samudra Gedong kabupaten Aceh Utara)
Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada semua
pihak yang dengan keiklasan hati telah banyak memberikan bantuan moril dan
materil untuk kelancaran studi dan penulisan tesis ini, yaitu :
1. Bapak Prof.Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, DSAK, selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara
2. Ibu Ir. Chairun Nisa, B. Msc, MS., selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Dr. Subhilhar, MA, selaku Ketua Program Magister Studi
Pembangunan Universitas Sumatera Utara
4. Bapak Drs. Badaruddin, M.Si selaku dosen Pembimbing I, yang telah
banyak memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam
penyelesaian tesis ini
5. Bapak Drs. Irfan, M.Si, selaku dosesn Pembimbing II, yang telah
6. Para pengurus dan staff BSP MAKMUR Ratana yang telah memberikan
dukungan dan bantuan guna kelancaran studi ini.
7. Segenap civitas akademika, terutama dosen dan staff sekretariat Sekolah
Pasca Sarjana Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan pelayanan akademik dan administratif guna kelancaran studi
ini.
Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut andil dan memberi bantuan
langsung maupun tidak langsung, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua dan atas segala saran dan
kritik untuk penyempurnaan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Januari 2008
DAFTAR ISI
HALAMAN
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.3 . Manfaat Penelitian ... 7
1.3. Kerangka Pemikran ... 8
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Modal Sosial ... 11
2.2. Rekonstruksi sosial ... 23
2.3. Pemberdayaan masyarakat ... 25
2.4. Koperasi Sebagai Penjelmaan Ekonomi Kerakyatan... 36
2.5. Credit Union... 46
BAB III METODE PENELTIAN ... 50
3.1. Jenis Penelitian ... 50
3.2. Defenisi Konsep ... 50
3.5. Informan ... 51
3.6 Teknik Pengumpulan Data... 51
3.6 Lokasi Penelitian ... 51
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53
4.1. Sejarah Desa Kuta Geulumbang ... 53
4.2. Rekayasa Modal Sosial Sebagai Pondasi
Pembentukan Credit Union... ... 59
4.3.Credit Union Sebagai Alternatif Rekonstruksi
Sosial Ekonomi Masyarakat ... 67
4.4. Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Credit Union ... 75
BAB V PENUTUP
KESIMPULAN ... 77
SARAN ... 78
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Permasalahan
Pasca bencana gempa bumi dan gelombang tsunami telah membawa pada
kondisi yang sangat memprihatinkan dengan melihat kerusakan fisik yang sangat
parah di propinsi NAD dan Sumatera Utara. Penderitaan masyarakat Aceh yang
demikian lama akibat konflik bersenjata yang panjang, ditambah lagi dengan
bencana gempa dan tsunami, telah menempatkan mereka pada posisi yang
semakin terpuruk. Dengan kata lain pembangunan kembali masyarakat Aceh
harus dilakukan dengan membangun (kembali) prakondisi yang diperlukan agar
Aceh bangkit. Demikian halnya masyarakat pulau nias Propinsi Sumatera Utara
yang mengalami bencana dapat segera memulihkan kondisi sosial ekonominya.
Berbagai infrastruktur sosial dan ekonomi, terutama yang berada di
wilayah perkotaan mengalami kerusakan berat/hancur. Diperkirakan akibat gempa
tersebut 90% masyarakat, terutama di perkotaan mengalami kehilangan mata
pencaharian. Pasca gempa, banyak program bantuan masuk ke Aceh, baik yang
berasal dari Pemerintah RI maupun dari berbagai negara donor, pihak swasta,
organisasi masyarakat sipil, politik, relawan dan pihak lainnya. Bantuan yang
diberikan terbagi dalam 2 kategori besar, yaitu yang bersifat darurat dan bersifat
membangun kembali (rekonstruksi, rehabilitasi dan pemulihan). Saat ini, bantuan
darurat secara umum telah dinyatakan selesai, sedangkan bantuan rekonstruksi,
Presiden RI mengeluarkan Keputusan Presiden tanggal 27 Desember 2004
yang menyatakan bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami di wilayah
Aceh dan Nias Sumatera Utara sebagai bencana nasional, dan selanjutnya juga
mengeluarkan arahan berupa 12 direktif kepada seluruh jajaran Kabinet Indonesia
Bersatu dan Gubernur Provinsi NAD untuk melakukan tindakan yang segera dan
komprehensif di dalam penanganan tanggap darurat bencana alam tersebut.
Sebagai tindak lanjut dari arahan direktif tersebut, telah diterbitkan pula Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 2005 tentang Kegiatan Tanggap Darurat dan
Perencanaan serta Persiapan Rehabilitasi dan rekonstruksi Pasca Bencana Alam
Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam .
Permasalahan di Aceh itu sendiri tidaklah hanya terbatas pada tatanan
kegiatan rekontruksi dan rehabilitasi, namun juga merupakan sintesa antara
bencana gempa bumi dan tsunami serta konflik yang berkepanjangan.
Permasalahan utama kenapa kemampuan seluruh pakar yang berkecimpung di
Aceh dalam kegiatan rehabilitasi dan rekontruksi seperti tidak kelihatan hasilnya
lebih dikarenakan oleh beberapa faktor utama, diantaranya:
1. Rusaknya struktur sosial akibat konflik yang berkepanjangan
2. Rusaknya infrastruktur pemerintahan dan pendidikan
3. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap integritas pemerintah (formal),
baik dalam skala lokal maupun skala yang lebih besar.
4. Konflik juga mentransformasikan sebagian besar masyarakat Aceh mejadi
masyarakat dengan pola pikir yang cendrung tertutup. (www.kompas.co.id)
Setelah selesainya masa emergency, hal yang paling perlu dilaksanakan
pengembangan ekonomi berdasarkan jenis usahanya. Adapun alasan diadakan
program rekonstruksi sosial ekonomi masyarakat adalah berdasar pada sulitnya
masyarakat dalam mengembangkan ekonominya karena mayoritas masyarakat
banyak yang kehilangan matapencahariannya akibat dari bencana alam gempa
bumi dan tsunami. Pola hidup masyarakat saat ini hanyalah bergantung kepada
kapasitas alam tanpa memikirkan suatu hal yang baru yang dapat merobah
keadaan menjadi lebih baik karena kurangnya pengetahuan mereka.
Melihat kondisi masyarakat yang terkena musibah tersebut perlu adanya
satu persiapan sosial dan pemanfatan potensi modal sosial yang didasari kepada
kemampuan masyarakat untuk dapat menemukan kembali jati dirinya. Adapun
hasil yang diinginkan dari pemanfaatan potensi modal sosial tersebut adalah
untuk membangun dan memulihkan kondisi yang lama ke kondisi yang baru
sehingga terbentuk program pembangunan yang didasari kepada norma-norma
dan hubungan sosial yang mengakar dalam struktur masyarakat sehingga
orang-orang dapat mengkoordinir tindakan untuk mencapai tujuan. Intinya adalah
kemampuan masyarakat untuk mengorganisir diri sendiri tujuan-tujuan mereka.
Dengan menggali kembali modal sosial tersebut, masyarakat kembali tumbuh
kepercayaan dan jati dirinya untuk menata kembali kehidupan dan mengharapkan
masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan tersebut.
Kabupaten Aceh Utara merupakan daerah yang turut tertimpa musibah
akibat gempa bumi dan gelombang Tsunami tersebut. Dari 22 kecamatan di
Kabupaten Aceh Utara terdapat 7 (tujuh) kecamatan yang terkena langsung
gelombang tsunami tersebut. Untuk pemulihan kondisi hasil dari dampak musibah
sufrastruktur yang begitu dasyhat, maka perlu di cari solusi alternatif agar
masyarakat Aceh, khususnya Aceh Utara dapat kembali melangsungkan tatanan
kehidupan yang normal seperti sebelum terjadinya musibah tersebut.
Modal sosial bisa dikatakan sebagai sumberdaya sosial yang dimiliki
oleh masyarakat. Sebagai sumberdaya tentunya modal sosial ini memberikan
kekuatan atau daya dalam beberapa kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat.
Putnam (1993) menemukan bahwa modal sosial merupakan unsur utama
pembangunan masyarakat Madani (civil community). Menurut Fukuyama (1995)
justru semakin bertambah bobotnya apabila semakin intensif di daya gunakan
modal sosial itu.
Putnam (dalam Badaruddin.2002) menyebutkan bahwa modal sosial
tersebut mengacu pada aspek-aspek utama dari organisasi sosial,seperti
kepercayaan (trust),norma-norma (norms) dan jaringan –jaringan (networks) yang
dapat meningkatkan efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas bagi
tindakan-tindakan yang terkoordinasi.
Modal sosial dapat terwujud di dalam kelompok sosial terkecil
(keluarga) hingga kelompok sosial terbesar (negara). Pada hakekatnya semua
kelompok masyarakat memiliki sejumlah modal sosial karena modal sosial
tercipta dari dinamika budaya masing-masing kelompok (Lister, 2002 : 11 ).
Modal sosial merupakan norma-norma dan hubungan-hubungan sosial
yang mengakar dalam struktur masyarakat,sehingga orang-orang dapat
mengkoordinir tindakan untuk mencapai tujuan. Secara sederhana Modal sosial
merupakan kemampuan masyarakat untuk mengkoordinir diri sendiri dalam
Sebelum terjadinya gempa bumi dan gelombang tsunami, kehidupan
masyarakat Aceh Utara dalam menjalankan aktifitasnya selalu bergotong royong
bekerja sama bahu membahu melaksanakan kegiatan saling bergandeng tangan
dan mengedepankan musyawarah mufakat, kepercayaan,jaringan-jaringan
mengikuti pranata-pranata yng sudah ada sejak dulu..”
Untuk mengembalikan dan pemulihan kondisi dari dampak gempa bumi
dan gelombang tsunami yang telah meluluh lantakkan seluruh sendi-sendi dan
potensi masyarakat yang ada di kabupaten Aceh Utara .Maka perlu di gali
kembali potensi modal sosial yang ada dan pernah ada di NAD khususnya di
kabupaten Aceh Utara untuk dapat menata kembali kehidupan dan pembangunan
masyarakat itu sendiri sehingga tidak tergantung kepada bantuan orang lain.
Salah satu alternative tindakan yang diimplementasikan dalam hal
perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat adalah dengan mensosialisasikan
program Credit Union dengan mengandalkan pondasi pada modal sosial
masyarakat yang ada selama ini. Dimana dengan konsep kredit simpan-pinjam ini
diharapkan dapat menjadi penopang pergerakan dan aktivitas kehidupan
masyarakat korban bencana. Program tersebut diharapkan dapat membawa
masyarakat kepada era perbaikan kualitas hidup dan juga kepada ikatan
solidaritas sosial untuk bersama-sama mengembangkan kesejahteraan bersama
dimana konsep koperasi kredit merupakan milik dan tanggung jawab bersama
para anggota untuk memupuk semangat solidaritas dan sikap saling tolong
1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana
pemanfaaatan modal sosial dalam rekonstruksi sosial ekonomi melalui Credit
Union bagi korban bencana tsunami?
1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan modal sosial dalam
rekonstruksi sosial ekonomi melalui Credit Union bagi korban bencana
tsunami di Kuta Geulumpang
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pemanfaatan modal sosial
dalam rekonstruksi sosial ekonomi melalui Credit Union bagi korban
bencana tsunami di Kuta Geulumpang.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan
kemampuan berfikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan
teori-teori yang penulis peroleh selama perkuliahan di Magister Studi
Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
2. Bagi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, akan melengkapi
ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa dan dapat menambah
KERANGKA BERPIKIR
Kepercayaan
Jaringan sosial
Modal sosial Rekayasa
modal sosial sosial ekonomi Rekonstruksi melalui
Credit union
Perbaikan kondisi sosial
ekonomi masyarakat
Pranata sosial
Kerangka pemikiran diatas merupakan gambaran sebuah kondisi
pemanfaaatan modal sosial dalam perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat
Aceh pasca bencana tsunami. Proses ini dimulai dari pemetaan sumber-sumber
modal sosial yang terdiri dari nilai-nilai kepercayaan, jaringan sosial dan pranata
kemudian akan dijadikan fondasi perbaikan kondisi ekonomi masyarakkat melalui
usaha swadaya masyarakat itu sendiri dengan menggunakan media yang disebut
dengan Credit Union. Credit Union ini merupakan sebuah pilihan strategi
rekonstruksi sosial ekonomi masyarakat yang mengandalkan kepada swdaya
masyarakat tersebut untuk keluar dari keterpurukan yang ada. Melalui Credit
Union ini diharapkan tercipta perbaikan-perbaikan tatanan kehidupan sosial
terutama ekonomi masyarakat karena pada dasarnya kekuatan dan keberhasilan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Modal sosial
Konsep modal sosial (sosial capital) diperkenalkan Robert Putnam (1993)
sewaktu meneliti Italia pada 1985. Masyarakatnya, terutama di Italia Utara,
memiliki kesadaran politik yang sangat tinggi karena tiap indvidu punya minat
besar untuk terlibat dalam masalah publik. Hubungan antar masyarakat lebih
bersifat horizontal karena semua masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang
sama. Sementara itu, Putnam prihatin atas kecenderungan runtuhnya jalinan sosial
masyarakat Amerika. Adanya televisi memberikan kontribusi bagi terciptanya
"couch potato syndrome". Kebiasaan orang Amerika "nongkrong" di depan layar
televisi berjam-jam sebagai cerminan hidup yang sangat individualistik.
Menurut Putnam (1993), modal sosial adalah kemampuan warga untuk
mengatasi masalah publik dalam iklim demokratis. Schaft dan Brown (2002)
mengatakan bahwa modal sosial adalah norma dan jaringan yang melancarkan
interaksi dan transaksi sosial sehingga segala urusan bersama masyarakat dapat
diselenggarakan dengan mudah.
Pengertian modal sosial, dalam kajian ilmu-ilmu sosial kontemporer,
terkait dengan perilaku kooperatif yang terorganisasikan secara horisontal, meski
sering kali tidak formal, yang bisa mendorong pada adanya keteraturan dan
peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Di samping itu, dalam modal
masyarakat dan antara masyarakat dengan negara, bukan hubungan-hubungan
dominasi dan otoritarianisme.
Dalam rumusan Robert D. Putnam (1993), modal sosial menunjuk pada
ciri-ciri organisasi sosial yang berbentuk jaringan-jaringan horisontal yang di
dalamnya berisi norma-norma yang memfasilitasi koordinasi, kerja sama, dan
saling mengendalikan yang manfaatnya bisa dirasakan bersama anggota
organisasi. Dalam konteks ekonomi, jaringan horisontal yang terkoordinasi dan
kooperatif itu akan menyumbang pada kemakmuran dan pada gilirannya diperkuat
oleh kemakmuran tersebut.
Modal sosial dalam bentuk asosiasi-asosiasi horisontal ini umpamanya
berperan penting dalam mendukung kemajuan ekonomi pada komunitas Cina
perantauan (overseas Chinese) melalui apa yang disebut dengan network
capitalism. Organisasi informal Cina perantauan di Asia Tenggara, misalnya di
Singapura dan Malaysia, mendorong pada kemampuan kompetitif mereka dalam
kegiatan bisnis. Keunggulan bersaing tersebut bukan hanya karena mereka
memiliki bakat kewiraswastaan, tapi juga berasal dari perkumpulan dan lembaga
dagangnya. Pendirian perkumpulan satu dialek bahasa dan jaringan keluarganya,
siang hwee (kamar dagang), memungkinkan mereka bisa saling membantu dan
mempercayai satu sama lain dalam transaksi ekonomi modern tanpa harus melalui
lembaga ekonomi formal yang birokratis.
Putnam juga mengajukan contoh mengenai kuatnya modal sosial
di antara kelompok-kelompok masyarakatnya, yang mengembangkan budaya
politik yang menekankan pada otonomi, kerja sama, toleransi, dan penghormatan
pada hukum, sehingga memungkinkan berkembangnya demokrasi partisipatif dan
ketertiban. Sebaliknya, organisasi sosial di Italia Selatan sangat hierarkhis, dengan
dominasi dan hegemoni kelompok elite, budaya politiknya berpola
atasan-bawahan (clientelistic) dan otoriter, yang dilambangkan dengan penguasaan mafia
yang mencolok.
Masyarakat Italia Selatan mengembangkan hubungan sosial yang vertikal,
memiliki ketergantungan yang luas pada keluarga, dan kepercayaan sosial pada
nonkeluarga yang rendah, karena lembaga-lembaga publik yang ada tidak dapat
diandalkan untuk terciptanya rasa keamanan dan perlindungan. Juga ada
kecurigaan meluas pada negara dan otoritas yang lebih tinggi. Di sini jaringan
sosial vertikal mencakup hubungan-hubungan asimetri dan eksploitasi, yang
mendorong pada munculnya ketimpangan sosial-ekonomi dan tindak kekerasan.
James S. Coleman (1990) melihat modal sosial dari sisi fungsinya. Dia
menunjukkan bahwa struktur sosial dalam bentuk jaringan yang sifatnya lebih
ketat dan relatif tertutup cenderung lebih efektif daripada yang terbuka. Jaringan
komunitas yang dikembangkan kelompok-kelompok perantau di berbagai daerah
lazimnya dibuat eksklusif, yang keanggotaannya didasari relasi kekerabatan dan
kesamaan daerah, bahasa, etnis, dan agama, dan mungkin karena ketertutupannya
itulah mereka bisa survive dan bisa menguasai jaringan perdagangan komoditas
Kiranya cukup penting untuk mengetengahkan konsep modal sosial yang
diajukan Francis Fukuyama (1999), yang tulisan-tulisannya dianggap
kontroversial, tetapi populer, yang menekankan bahwa modal sosial memiliki
kontribusi cukup besar atas terbentuk dan berkembangnya ketertiban dan
dinamika ekonomi. Dalam konsepsi Fukuyama, modal sosial adalah serangkaian
nilai dan norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu
kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka.
Apabila anggota kelompok mengharapkan anggota-anggotanya
berperilaku jujur dan terpercaya, mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan
ibarat pelumas yang membuat jalannya organisasi menjadi lebih efisien dan
efektif. dalam konteks ini, berarti modal sosial bukan hukum atau aturan formal,
tetapi norma informal yang mempromosikan perilaku konsesual dan kerja sama
yang juga di dalamnya terkandung kejujuran, pemenuhan tugas dan tanggung
jawab, saling mengendalikan, dan kesediaan untuk saling menolong.
Keluarga, dilihat Fukuyama, merupakan sumber penting bagi modal
sosial. Sebagai contoh, betapa pun rendah opini orang tua Amerika atas anak-anak
mereka yang berusia belasan tahun, jauh lebih mungkin di antara mereka saling
mempercayai dan bekerja sama ketimbang dengan orang asing. Inilah alasan
mengapa sebenarnya seluruh kegiatan bisnis dimulai dari keluarga. Di Cina dan
Amerika Latin, keluarga sangat kuat dan kohesif, tetapi ia sangat sulit untuk
memercayai orang asing, sehingga tingkat kejujuran dan kerja sama dalam
kehidupan publik jauh lebih rendah dan ini mendorong pada terjadinya nepotisme
bermakna bukanlah karena ia mendorong kejujuran, kesediaan saling menolong,
dan kepedulian di antara para wiraswastawannya, tetapi kebajikan-kebajikan itu
dipraktikkan secara luas di luar keluarga, terutama pada lembaga-lembaga publik.
Fukuyama (1999) menyebutkan, bahwa modal sosial menunjuk pada
seperangkat sumber daya yang melekat dalam hubungan keluarga dan dalam
organisasi sosial komunitas serta sangat berguna bagi pengembangan kognitif dan
sosial anak. Kerja sama dalam keluarga itu dimungkinkan karena adanya fakta
biologis yang kodrati dan itu tidak hanya memperlancar dan memudahkan
jenis-jenis aktivitas sosial lainnya, seperti menjalankan bisnis. Dalam dunia sekarang
ini pun banyak perusahaan besar yang impersonal dan birokratis sebagian besar
dijalankan oleh keluarga. Tapi kebergantungan berlebihan atas ikatan kekerabatan
itu bisa menimbulkan konsekuensi negatif atas masyarakat luas. Dalam
penglihatan Fukuyama, banyak kebudayaan, mulai dari Cina, Eropa Selatan,
hingga Amerika Latin yang mempromosikan familisme, yakni peningkatan ikatan
kekerabatan, tetapi itu mengakibatkan kewajiban moral atas otoritas publik dalam
segala bentuknya menjadi lemah.
Tetapi Fukuyama mengakui, ada modal sosial yang diproduksi dan
disosialisasikan institusi publik, yakni melalui sistem pendidikan, yang di
sebagian besar negara diberikan oleh negara sebagai kekayaan publik.
Sekolah-sekolah biasanya tidak hanya mengajarkan berbagai pengetahuan dan
keterampilan, juga memasyarakatkan para pelajar ke dalam kebiasaan-kebiasaan
budaya tertentu yang dirancang untuk membuat mereka menjadi warga negara
Namun demikian, banyak juga, menurut Fukuyama, pemerintah yang
cakap dalam menghancurkan modal sosial. Umpamanya, bagaimana negara telah
gagal memberikan dan melindungi hak-hak keamanan dan kepemilikan yang
stabil kepada publik, sehingga mengakibatkan para warga negara tidak percaya
bukan hanya pada pemerintah tapi juga saling tidak percaya di antara mereka
sendiri dan menjadi sangat sulit untuk diasosiasikan. Pertumbuhan negara-negara
kesejahteraan modern di Eropa Barat, sentralisasi fungsi-fungsinya, dan turut
campurnya pada hampir seluruh perjalanan kehidupan warga negaranya
cenderung melemahkan sosiabilitas spontan.
Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat
tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang
dihadapi.Diperlukan adanya kebersamaan dan kerjasama yang baik dari segenap
anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi masalah tersebut.
Pemikiran seperti inilah yang pada awal abad ke 20 mengilhami seorang pendidik
di Amerika Serikat bernama Lyda Judson Hanifan untuk memperkenalkan.
Konsep modal sosial (sosial capital) pertama kalinya. Dalam tulisannya berjudul
The Rural School Community Centre tahun 1916 mengatakan modal sosial,
bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih
mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting
dalam hidup bermasyarakat. Menurut Hanifan, dalam modal sosial termasuk
kemauan baik, rasa bersahabat; saling simpati serta hubungan sosial dan
kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu
Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis kenamaan, dalam sebuah
tulisan yang berjudul "The Forms of Capital" tahun 1986 (Syabra, 2003)
mengemukakan bahwa untuk dapat memahami struktur dan cara berfungsinya
dunia sosial perlu dibahas modal dalam segala bentuknya, tidak cukup hanya
membahas modal seperti yang dikenal dalam teori ekonomi. Penting juga
diketahui bentuk transaksi yang dalam teori ekonomi dianggapsebagai
non-ekonomi karena tidak dapat secara langsung memaksimalkan keuntungan
material. Padahal sebenarnya dalam setiap transaksi modal ekonomi selalu disertai
oleh modal immaterial berbentuk modal budaya dan modal sosial.
Bourdieu (Syabra, 2003) menjelaskan perbedaan antara modal ekonomi,
modal budaya dan modal sosial, dan menggambarkan bagaimana ketiganya dapat
dibedakan antara satu sama lain dilihat dari tingkat kemudahannya untuk
dikonversikan. Modal ekonomi, menurut Bourdieu memang dengan mudah dapat
dikonversikan ke dalam bentuk uang, dan dapat dilembagakan dalam bentuk hak
kepemilikan. Tetapi dalam kondisi tertentu modal budaya juga dapat
dikonversikan menjadi modal yang memiliki nilai ekonomi, dan dapat
dilembagakan, seperti kualifikasi pendidikan. Demikian pula modal sosial dalam
kondisi tertentu dapat dikonversikan ke dalam modal ekonomi dan bahkan dapat
dilembagakan dalam bentuk gelar kesarjanaan. Misalnya sekalipun diperoleh
melalui perguruan tinggi yang sama dan dalam jangka waktu pendidikan yang
sama, masing-masing gelar kesarjanaan dengan bidang keahlian yang berbeda
memiliki "nilai jual ekonomi" yang berbeda. Bahkan gelar kesarjanaan dalam
bidang sama tetapi diperoleh dari perguruan tinggi yang berbeda akan
memiliki nilai akreditasi tinggi pada umumnya akan lebih mudah mendapat
pekerjaan dengan penghasilan yang lebih besar dibandingkan dengan seorang
tamatan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta yang rendah nilai
akreditasinya (Todaro & Smith, 2003).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa modal sosial (sosial capital)
merupakan fasilitator penting dalam pembangunan ekonomi. Modal sosial yang
dibentuk berdasarkan kegiatan ekonomi dan sosial dimasa lalu dipandang sebagai
faktor yang dapat meningkatkan dan jika digunakan secara tepat mampu
memperkuat efektifitas pembangunan (Suharto dan Yuliani, 2005).
Tjondronegoro (2005) menjelaskan bahwa modal sosial dapat menjadi
unsur pendukung keberhasilan pembangunan, termasuk pula dinamika
pembangunan pedesaan dan pertanian di Indonesia. Seperti dicontohkan oleh
Tjondronegoro tentang bentuk-bentuk jaringan daerah pedesaan dan perkotaan
seperti gotong royong, kelompok arisan maupun pengajian dapat disebut sebagai
modal sosial. Sehingga dalam menjalankan program pembangunan, khususnya
pertanian dan pedesaan bentuk-bentuk modal sosial tersebut sebaiknya di
perhati-kan dan dimanfaatperhati-kan. Brehm dan Rahn (Bahtiar,1997) menjelasperhati-kan bahwa modal
sosial adalah jaringan kerjasama di antara warga masyarakat yang memfasilitasi
pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi.
Definisi lain dikemukakan oleh Pennar (Bahtiar,1997) bahwa modal sosial
adalah jaringan hubungan sosial yang mempengaruhi perilaku individual yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Prusak (2001) menjelaskan bahwa modal sosial adalah kumpulan dari
kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja
dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama.
Modal sosial mulai berkembang dan banyak menyita waktu para ilmuwan
sosial setelah manusia sadar bahwa keberhasilan ekonomi tidak hanya ditentukan
oleh modal ekonomi yang berbentuk material semata tetapi juga ada modal dalam
bentuk immaterial. Modal immaterial ini oleh banyak ilmuwan disebut sebagai
modal sosial. Modal sosial bisa melekat pada individu manusia dan juga bias
merupakan hasil interaksi sosial dalam bentuk jaringan sosial (Alder & Seok,
2002).
Oleh karena itu mengenai pengertian atau definisi modal sosial sangat
beragam tetapi tidak lepas dari dua obyek penekanan, pertama penekanan pada
karakteristik yang melekat pada individu (misalnya, norma-norma, saling percaya,
saling pengertian , kepedulian, dll) dan kedua penekanan pada jaringan hubungan
sosial (misalnya adanya kerjasama, pertukaran informasi, dll)
Bourdieu (Winter, 2000) menjelaskan bahwa modal sosial (sosial capital)
merupakan wujud nyata dari suatu institusi kelompok yang merupakan jaringan
koneksi yang bersifat dinamis dan bukan alami. Oleh karena itu modal sosial
dapat menghasilkan hubungan sosial secara langsung dan tidak langsung dan
jangka pendek maupun jangka panjang. Hubungan ini dapat dilakukan dalam
hubungan antar keluarga, tetangga, teman kerja, maupun masyarakat dalam arti
luas. Modal sosial merupakan kumpulan sumberdaya yang dimiliki setiap anggota
dalam suatu kelompok yang digunakan secara bersama-sama.
Grootaert dan Basteler (2001) mengungkapkan ada tiga manfaat modal
meningkatkan ketersediaan informasi dengan biaya rendah; (2) partisipasi dan
jaringan kerja lokal serta sikap saling percaya akan membuat kelompok lebih
mudah untuk mencapai keputusan bersama dan mengimplementasikan dalam
kegiatan bersama; dan (3) memperbaiki jaringan kerja dan sikap mengurangi
perilaku tidak baik dari anggota. Jika disimak, titik simpul kekuatan modal sosial
(sosial capital) itu bertumpu pada dua hal: jaringan dan sumber daya. Itulah yang
dapat dibaca dalam karya-karya para pemikir seperti Pierre Bourdieu, Robert
Putnam, James Coleman, Fukuyama, dan lain-lain. Mereka mengenalkan konsep
modal sosial itu merujuk dua komponen penting yaitu: (1) jaringan sosial yang
beroperasi di masyarakat yang memberi manfaat mutualistik bagi para warganya;
dan (2) berbagai jenis sumber daya yang tersedia di masyarakat bersangkutan
yang dapat didayagunakan bagi kepentingan publik.
2.1.1. Saling Percaya ( Trust)
Sikap saling percaya (trust) sebagai salah satu elemen dari modal sosial
adalah merupakan sikap salah satu dasar bagi lahirnya sikap saling percaya yang
terbangun antar beberapa golongan komunitas dan merupakan dasar bagi
munculnya keinginan untuk membentuk jaringan sosial (networks) yang akhirnya
di mapankan dalam wujud pranata (institution) saling percaya meliputi adanya
kejujuran (honesty ) kewajaran (fainerss), sikap egaliter (egali-tarianism),
toleransi (tolerance) dan kemurahan hati (generosity). Salah satu elemen-elemen
pokok modal sosial tersebut bukanlah sesuatu yang tumbuh dan berkembang
dengan sendirinya, melainkan harus dikreasikan dan di transmisikan melalui
keluarga, komunitas, asosiasi suka rela, negara, dan sebagainya. Menurut Pretty
dan Ward (1999 ),sikap saling percaya merupakan unsur pelumas yang sangat
penting untuk kerja sama, yang oleh Putnam di Italia, ia menemukan bahwa para
warga negara di negara bagian Emilia- Romagna dan Tuscany misalnya, memiliki
banyak organisasi-organisasi komonitas yang aktif, dan mereka ditautkan oleh
isu-isu publik, bukan melalui pola patronasme. Mereka percaya satu sama lain
untuk berlaku fair dan mematuhi hukum.para pimpinan di dalam
komunitas-komunitas ini relatif jujur dan komit terhadap kesetaraan, jaringan-jaringan sosial
dan politik di organisasi secara horizontal, bukan hiraikal. Komunitas seperti ini
menurut Putnam menilai penting solidaritas, partisipasi warga ( civic participation
) dan intergas; dan dalam komunitas seperti ini demokrasi berjalan
(democracy work ). Sikap saling percaya itu terbangun karena adanya dua unsur
yang saling terkait yaitu norma-norma resiproritas (norms of reciprocity) dan
jaringan keterlibatan keluarga (networks of civic engagement ).
Francois (2003) memandang trust sebagai komponen ekonomi yang
relevan melekat pada kultur yang ada pada masyarakat yang akan membentuk
rekayasa modal sosial.
Qionhong Fu (2004) merujuk ke beberapa pendapat para sosiolog,
membagi tiga tingkatan trust yaitu :
1. Tingkatan individual, merupakan kekayaan individu
2. Hubungan sosial, merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan
kelompok
3. Sistem sosial, merupakan nilai publik yang perkembangnnya difasilitasi
Dari mana sumber trust tersebut ? banyak peneliti merujuk ke jaringan
sebagai sumber penting tumbuh dan hilangnya trust. Nahapit dan ghosal (1998)
menyatakan bahwa pada tingkat individual, trust berasal dari adanya nilai –nilai
yang bersumber dari kepercayaan agama yang dianut, kompetensi seseorang dan
keterbukaan yang telah menjadi norma di masyarakat. Pada tingkatan komunitas,
sumber trust berasal dari norma sosial yang memang melekat pada stuktur sosial
setempat ( dalam Coleman, 1998).
Fukuyama yang mengkaji bidang ekonomi menyebutkan bahwa modal
sosial yang berintikan kepercayaan (trust) merupakan dimensi budaya dari
kehidupan ekonomi yang sangat menentukan dalam keberhasilan pembangunan
ekonomi. Hilangnya sikap saling percaya antar warga masyarakat, maupun antar
warga dengan pemerintah, merupakan contoh hilangnya potensi modal sosial
dalam kehidupan masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Badaruddin (2005)
tentang potensi modal sosial dalam komunitas nelayan menemukan adanya
beberapa potensi modal sosial, yaitu : patron-klien, koperasi, serikat tolong
menolong, arisan. Dalam keempat potensi modal sosial yang ditemukannya
tersebut diketahui bahwa kepercayaan (trust) adalah unsur utama yang
membentuk potensi-potensi tersebut. Menurut Badaruddin adanya sikap saling
percaya dalam komunitas nelayan merupakan faktor pendorong bagi munculnya
keinginan adanya suatu bentuk jaringan sosial yang dimapankan dalam wujud
pranata sosial, dan pranata sosial itu dikenal dengan patron-klien. Begitu juga
dengan koperasi, serikat tolong menolong , dan arisan, semuanya dapat terjadi
karena adanya kepercayaan dalam komunitas nelayan, yang kemudian melembaga
menjadi faktor utama dalam modal sosial, dimana kepercayaan dapat menjadi
perekat bagi kerjasama dalam masyarakat.
Fukuyama ( 2002 ) berpendapat bahwa kepercayaan adalah pengharapan
yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur, dan
kooperatif berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan
anggota yang lain dari komunitas itu. Ada tiga jenis perilaku dalam komunitas
yang mendukung kepercayaan ini, yaitu perilaku normal, jujur dan kooperatif.
Perilaku norma yaitu perilaku yang sesuai asas dan norma-norma yang dianut
bersama, jika dalam komunitas terdapat perilaku deviant (menyimpang) dari
beberapa anggotanya maka akan sulit mendapatkan adanya kejujuran dan sifat
kooperatif. Adanya jaminan tentang kejujuran dalam komunitas dapat
memperkuat rasa solidaritas dan sifat kooperatif dalam komunitas.
Kepercayaan timbal balik hanya muncul di dalam sebuah konteks sosial,
kata fukuyama. Kepercayaan sosial, termasuk kejujuran, keteladanan, kerjasama,
dan rasa tanggup jawab terhadap orang lain sangat penting untuk menumbuhkan
kebajikan-kebajikan individual. Hal itulah yang menjadi argumen sentral dari
Max Weber tentang etika protestan yang menunjukan bahwa kaum puritan
memperoleh kekayaan material sebagai hasil dari kepercayaan religiusnya, dan
telah mengembangkan kebajikan-kebajikan tertentu seperti kejujuran dan sikap
hemat yang sangat membantu bagi akumulasi modal.
Dalam bukunya Trust, Fukuyama mencoba membedah karakteristik
ekonomi beberapa negara berdasarkan unsur-unsur budaya negara bersangkutan (
modal sosial dan kepercayaan yang dianut ). Ia sampai pada kesimpulan bahwa
community dan low trust community. High trust commmunity adalah masyarakat
dengan tingkat kepercayaan yang tinggi dalam komunitasnya. Tingkat
kepercayaan yang tinggi tersebut dilihatnya dari apa yang disebutnya sosiabilitas
spontan.
2.1.2. Jaringan Sosial ( networks)
Aspek vital dari modal sosial adalah keterkaitan ( Connectedness ),
jaringan ( networks ) dan kelompok ( groups ). Keterkaitan terwujud didalam
beragam tipe kelompok pada tingkat lokal maupun di tingkat yang lebih tinggi.
Adanya jaringan hubungan antar individu, norma-norma dan kepercayaan, sebagai
bagian dari modal sosial memberikan manfaat dalam konteks terbentuknya
kerjasama kolektif dalam menghadapi dan memecahkan persoalan bersama
komunitas masyarakat kecil secara kolektif yang akan memperkuat posisi tawar
mereka terhadap kekuatan-kekuatan struktural, seperti pasar dan nelayan pemilik
yang senantiasa berupaya mengeksploitasikan mereka melalui penentuan harga
secara sepihak dan system bagi hasil yang tidak setara dan adil. Tentang
keterkaitan ini berikut akan dikutip pendapat dari penelitian terdahulu oleh
Zulkifli Lubis ( 2001) :
Adanya sikap saling percaya yang terbangun antar beberapa golongan
komunitas nelayan merupakan dasar bagi munculnya keinginan untuk membentuk
jaringan sosial (networks). Adanya saling percaya diantara beberapa golongan
komunitas nelayan tersebut membuat mereka mampu membentuk jaringan sosial.
Jaringan sosial tersebut terbentuk antar golongan nelayan yang berperan sebagai
”klien”. Jaringan sosial juga terbentuk antar sesama golongan ”klien”. Menurut
Putnam, kerjasama sukarela lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas yang
telah mewarisi sejumlah modal sosial yang substansial dalam bentuk aturan-
aturan yang telah mewarisi sejumlah modal sosial yang substansial dalam bentuk
aturan-aturan, pertukaran timbal balik (reciprocity), dan jaringan-jaringan antar
warga. Jaringan sosial (networks), yang meliputi adanya partisipasi
(participations), pertukaran timbal balik (reciprocity), solidaritas (solidarity),
kerjasama (collaboration/cooperation ), dan keadilan (equity). Elemen – elemen
pokok modal sosial ini tersebut bukanlah sesuatu yang tumbuh dan berkembang
dengan sendirinya, melainkan harus dikreasikan dan ditransmisikan melalui
mekanisme-mekanisme sosial budaya didalam sebuah unit sosial di dalam sebuah
unit soaial seperti keluarga, komunitas, asosiasi sukarela, negara, dan sebagainya.
Dalam penelitian Putnam di Italia, ia menemukan bahwa warga negara di negara
bagian EmiliaRomagna dan Tuscany misalnya, memiliki banyaknya organisasi
-organisasi komunitas yang aktif, dan mereka di tautkan oleh isu-isu publik, bukan
melalui pola patronasme. Mereka percaya satu sama lain untuk berlaku fair dan
mematuhi hukum. Para pemimpin didalam komunitas-komunitas ini relative jujur
dan komit terhadap kesetaraan, jaringan- jaringan sosial dan politik diorganisasi
penting solidaritas, partisipasi warga (civic participations) dan integritas; dan
dalam komunitas seperti ini demokrasi berjalan ( democracy work). Sikap saling
percaya itu terbangun karena adanya dua unsur yang paling terkait yaitu norma –
norma resiprositas norms of reciprocity). Salah satu elemen pokok modal sosial
adalah adanya jaringan sosial yang meliputi adanya partisipasi.
Solidaritas adalah faktor utama dalam merekatkan hubungan sosial dalam
sebuah komunitas. Karena rasa solidaritaslah masyarakat bisa menyatukan
resepsinya tentang hal yang ingin mereka perjuangkan. Salah satu unsur dalam
jaringan sosial adalah kerjasama. Kerjasama adalah suatu usaha bersama antara
orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa
tujuan bersama. Hampir pada semua kelompok manusia dapat ditemui adanya
pola-pola kerjasama. Kerjasama timbul karena individu memiliki orientasi
terhadap kelompoknya atau terhadap kelompok lain. Charles H Cooley ( Dalam
Soekanto, 1997) menggambarkan kerjasama sebagai :
Kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan – kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna.
2.1.3. Pranata Sosial
Pranata sosial merupakan salah satu merupakan elemen penting dari
modal sosial selain dari kepercayaan dan jaringan sosial. Pranata (institutions),
yang meliputi nilai-nilai yang di miliki bersama (shared value), norma-norma dan
Pranata atau lembaga adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang
memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi.
Pranata muncul di sebabkan adanya keperluan dan kebutuhan manusia yang tidak
dapat dipenuhi sendiri, dan lembaga ini muncul dengan norma-norma
masing-masing. Di dalam pranata, masayarakat dapat berinteraksi satu sama lain tetapi
sudah di ikat oleh aturan-aturan yang telah di sepakati bersama. Jika tidak ada
aturan-aturan dan pola-pola yang resmi maka belum di sebut sebagai pranata
sosial, karena hal itu masih merupakan interaksi sosial biasa.
Pranata sosial ini sangat bermacam-macam ragam bentuknya, mulai dari
yang tradisional (masyarakat adat) sampai pada pranata yang modern (partai
politik, koperasi, perusahaan dan perguruan tinggi). Menurut Koentjaraningrat
(1990) ada delapan tipe dari pranata sosial, yaitu :
1. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk mata
pencaharian hidupnya
2. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan
kkerabatan,yang sering di sebut Domestic institution.
3. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan pendidikan.
4. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan ilmiah manusia atau
sering disebut scientific institution.
5. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan untuk menghayatkan rasa
keindahan.
6. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan fisik dan kenyamanan
7. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk berbakti
kepada Tuhan .
8. Pranata yang berfungsi untuk keperluan manusia untuk mengatur
keseimbangan kekuasaan dalam masyrakat.
Di dalam suatu pranata supaya dapat tercipta kerjasama, maka harus ada
norma-norma yang mengatur . Norma-norma yang ada pada sebuah pranata dapat
terbentuk secara sengaja maupun tidak sengaja. Norma-norma yang ada pada
masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda, ada yang lemah
dan ada yang kuat ikatannya.
2.2. Rekontruksi Sosial Ekonomi
Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005
Tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan
Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi
Sumatera Utara disebutkan bahwa rekonstruksi adalah perumusan kebijakan, dan
usaha serta langkah-langkah nyata yang terencana, konsisten dan berkelanjutan
untuk membangun kembali semua prasarana, sarana, kelembagaan baik di tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sarana utama tumbuh
berkembangnya kegiatan perekonomian,sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
ketertiban, dan bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala
aspek kehidupan bermasyarakat di wilayah pasca bencana.
Rekontruksi dan rehabilitasi Aceh tengah berjalan, sekalipun oleh
sebahagiaan melihatnya agak lambat.Dua tahun lebih pasca musibah tsunami
hidupnya masih terkatung-katung,baik di pengungsian, tenda-tenda darurat
,bahkan yang masih berada di di areal hutan. Dari fenomena tersebut rekontruksi
sosial Aceh membutuhkan keteladanan dan keikhalasan,itulah kunci dan kiat
membangun kembali peradaban-peradaban yang hilang selama ini. Keteladanan
yang di maksud disini adalah rekontruksi sosial masyarakat Aceh mensyaratkan
kesatuan pandangan dan pola pikir yang jelas dan terarah.Rekontruksi sosial
masyarakat Aceh adalah kerja besar secara mental dan fisik.
Kesulitan hidup di era-era yang lalu untuk sekian dekade telah
membuahkan kekerasan struktural yang berbahaya dan penghancuran peradaban
yang di dalamnya termasuk hilangnya kekuatan yang ada sejak dulu yaitu modal
sosial di dalam kehidupan masyarakat. Rekontruksi sosial membutuhkan
komitmen juang yang di landasi pemikiran yang cerdas bahwa rekontruksi sosial
masyarakat Aceh harus bangkit dari keterpurukan.Rekontruksi sosial
membutuhkan keteladanan karena keikut sertaan masyarakat Aceh membangun
kembali jatidirinya tak terlepaskan dari kesadaran yang tinggi yang di barengi
dengan tarap apresiasi positif terhadap niat mulia membangun kembali Aceh. Di
sadari bahwa keikut sertaan publik Aceh menjadi tolak ukur utama dalam menatap
masa depan Aceh yang lebih baik.
Kendala pokok rekontruksi sosial di lapangan adalah kendala teknis dan
koordinasi.Secara teknis harus diakui bahwa kesulitan signifikan di lapangan
adalah dalam mengubah kebiasaan -kebiasaan turun temurun yang pernah ada di
dalam kehidupan dan peradaban Aceh sejak dulu.Di sini pentingnya penyatuan
langkah yang sistematis membangun jaringan kerja yang baik dengan tetap
koordinasi .Keikut sertaan publik dalam membangun Aceh harus diapresiasikan
dengan baik.Banyaknya LSM, NGO dan donatur-donatur lainnya yang
memberikan perhatian positif terhadap percepatan pembangunan Aceh membawa
pengaruh besar dalam pergeseran tatanan kehidupan dan mempengaruhi segi
modal sosial yang ada.Dengan demikian langkah koordinasi dilakukan bagaimana
masing-masing LSM,NGO dan donatur lainnya serta pemerintahan turut berjuang
bersama di dalam percepatan rekontruksi sosial masyarakat Aceh terwujud.
Untuk para korban gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut), pemerintah pusat bersama-sama
dengan pemerintah daerah setempat menyusun kebijakan-kebijakan serta
menjalankan program-program yang ditujukan untuk pemulihan akses terhadap
pelayanan publik dan motor penggerak kegiatan ekonomi masyarakat. Kebijakan
yang dilakukan adalah dengan menggerakkan sel-sel ekonomi dalam skala yang
tidak terlalu besar antara lain melalui kebijakan pemberdayaan ekonomi lokal,
terutama UMKM yang dibarengi dengan pembangunan jaringan/ keterkaitan
usaha (business linkages/networking) dengan usaha besar. Strategi pembangunan
NAD dan Sumatera Utara (pulau Nias) diupayakan menyeluruh (holistic) serta
memperhatikan dimensi spatial dan kemanusiaan, membangun basis kelembagaan
berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah dengan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan (stakeholders) setempat. Apapun rencana pembangunan rehabilitasi
dan rekonstruksi yang dilakukan, harus dapat menjamin penghidupan masyarakat
NAD dan Nias menjadi lebih baik antara lain jaminan kehidupan ekonomi yang
normal dengan tingkat pendapatan yang semakin meningkat, adanya lapangan
Relasi dan tanggung jawab masing-masing yang berkepentingan terhadap
Rekontruksi sosial harus berada dalam langkah-langkah koordinasi yang baik.Di
lapangan kondisi ini terasa sulit sekali karena masih terdapatnya keinginan dan
langkah beragam dari masing-masing pihak.
Alas pikiran ini merupakan bentuk konkrit dari perjuangan bersama
membangun kualitas kehidupan masyarakat Aceh yang lebih baik dengan
rekontruksi sosial yang baru berdasarkan kaidah-kaidah dan elemen-elemen
modal sosial .
2.3. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan adalah upaya memberdayakan ( mengembangkan klien dari
keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya ) guna mencapai
kehidupan yang lebih baik. Jadi pemberdayaan masyarakat adalah upaya
mengembangkan mayarakat dari keadaan kurang atau tidak berdaya menjadi
punya daya dengan tujuan agar masyarakat tersebut dapat mencapai / memperoleh
kehidupan yang lebih baik.
Payne (1997: 266) mengemukakan lebih jauh inti dari tujuan
pemberdayaan dilakukan :
“to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of sosial or personal blocks to exercising cacity and self-confidence to use power and by transferring power from the environment to clients.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada intinya tujuan
pemberdayaan masyarakat adalah untuk membantu masyarakat memperoleh daya
yang terkait dengan diri mereka sendiri, termasuk mengurangi efek hambatan
pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dapat dilakukan melalui
peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri pada masyarakat untuk
menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari
lingkungannya.
Shardlow (1998:32) melihat bahwa berbagai pengertian yang ada
mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok
maupun komunitas berusaha mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan
mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.
Gagasan Shardlow ini, tidak jauh dengan gagasan yang mengartikan
pemberdayaan sebagai upaya mendorong klien untuk menentukan sendiri apa
yang harus ia lakukan dalam kaitannya dengan upaya mengatasi permasalahan
yang ia hadapi sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam
membentuk hari depannya.
Pemberdayaan masyarakat mengacu kepada kata empowerment, yaitu
sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki sendiri oleh
masyarakat. Jadi, pendekatan pemberdayaan masyarakat bertitik berat pada
pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang
mengorganisir diri mereka sendiri sehingga diharapkan dapat memberi peranan
kepada individu bukan sekedar objek, tetapi justru sebagai subjek pelaku
pembangunanyan ikut menentukan masa depan dan kehidupan masyarakat secara
umum, (Setiana, 2002:8)
Dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai objek yang akan
kepada masyarakat agar mereka memiliki kesadaran dan kemampuan untuk
menentukan sendiri apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasi
permasalahan yang mereka hadapi.
Sebagaimana diutarakan pada urai terdahulu, rakyat berada dalam posisi
yang tidak berdaya (powerless). Posisi yang demikian memberi ruang yang lebih
besar terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi terhadap
pelanggaran hak-hak rakyat. Dengan demikian, rakyat harus diberdayakan
sehingga memiliki kekuatan posisi tawar (empowerment of the powerless).
Pemberdayaan (empowerment) dalam studi kepustakaan memiliki
kecenderungan dalam dua proses. Pertama, proses pemberdayaan yang
menekankan pada proses pemberian atau mengalihkan sebagian kekuasaan,
kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih
berdaya, dan kedua, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau
memotivasi individu agar mempuyai kemampuan atau keberdayaan untuk
menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.
Proses yang pertama merupakan suatu pendekatan alternatif tehadap
pembangunan yang menempatkan prioritas pada kaum miskin. Dalam hal ini
menurut John Friedman, pembangunan alternatif menekankan keutamaan politis
untuk melindungi kepentingan rakyat. Selanjutnya, tujuan dari pembangunan
alternatif adalah memanusiakan suatu sistem yang membungkam mereka dan
untuk mencapai tujuan ini diperlukan bentuk-bentuk perlawanan dan perjuangan
politis yang menekankan hak-hak mereka sebagai manusia dan sebagai warga
Di masa lampau hingga saat ini, pembangunan, termasuk Indonesia, telah
mengisolasi sebagian besar rakyat dari proses pembangunan, oleh karena itu
diperlukan pemecahan masalah- masalah melalui pemberdayaan.
Sementara itu menurut pendapat Kartasasmita, menyatakan bahwa upaya
pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: (1) menciptakan
suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang
(enabling); (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering); dan (3) memberdayakan mengandung pula arti melindungi
kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, dan mencegah
terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta eksplotasi yang kuat atas yang
lemah. (Setiana 2005: 6)
Pada intinya, pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat
makin tergantung pada program-program pemberian (charity). Karena tujuan
akhirnya adalah memandirikan masyarakat, dan membangun kemampuan untuk
memajukan diri kearah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.
Pembedayaan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan dan
kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya.Pemberdayaan
masyarakat dilakukan dengan menempatkan masyarakat sebagai pihak utama atau
pusat pengembangan dengan sasarannya adalah masyarakat yang terpinggirkan.
Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat guna menganalisa kondisi dan potensi serta masalah-masalah yang
perlu diatasi. Yang intinya adalah melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses
Pemberdayaan masyarakat bertitik tolak untuk memandirikan masyarakat
agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, mengoptimalkan sumber daya setempat
sebaik mungkin, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
Pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
menyampaikan kebutuhannya kepada instansi-instansi pemberi pelayanan.
Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, pemberdayaan
bertujuan untuk memberikan kekuatan terhadap rakyat agar memiliki posisi tawar
terhadap negara. Posisi tawar ini selanjutnya menjadi kekuatan untuk
mengkonntrol kekuasan negara dalam menyelenggarakan manajemen pemerintah,
sehingga hak-hak rakyat tidak terekploitasi dan dapat berpartisipasi secara aktif
dan bebas.
Didalam melakukan pemberdayaan keterlibatan masyarakat yang akan
diberdayakan sangatlah penting sehingga tujuan dari pemberdayaan dapat tercapai
secara maksimal. Program yang mengikutsertakan masyarakat, memliki beberapa
tujuan, yaitu agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan
mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka, serta meningkatkan keberdayaan
(empowering) masyarakat dengan pengalaman merancang, melaksanakan dan
mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonomi (Kartasasmita,
1996:249).
Untuk itu diperlukan suatu perencanaan pembangunan yang didalamnya
terkandung prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat. Dalam perencanaan
pembangunan seperti ini, terdapat dua pihak yang memiliki hubungan yang sangat
erat yaitu pertama, pihak yang memberdayakan (Community Worker) dan kedua,
mendukung sehingga masyarakat sebagai pihak yang akan diberdayakan bukan
hanya dijadikan objek, tapi lebih diarahkan sebagai subjek (pelaksana).
Pemberdayaan merupakan suatu bentuk upaya memberikan kekuatan,
kemampuan, keterampilan, pengetahuan dan berbagai bentuk inovasi kreatif
sesuai dengan kondisi, yang secara potensial dimiliki. Disamping itu secara
bertahap masyarakat juga didorong untuk meningkatkan kapasitas dirinya untuk
mengambil peran yang sejajar dengan mereka yang lebih berdaya melalui proses
penyadaran.
Menurut Prijono (1996:208-209), pemberdayaan terdiri dari
pemberdayaan pendidikan, ekonomi, sosial budaya, psikologi dan politik.
Pemberdayaan pendidikan merupakan faktor kunci yang ditunjang dan dilengkapi
oleh pemberdayaan yang lain, yaitu :
a. Pemberdayaan pendidikan. Pendidikan merupakan kunci
pemberdayaan masyarakat. Oleh karena pendidikan dapat
meningkatkan pendapatan, kesehatan, produktivitas.
Seringkali masyarakat berpendidikan rendah yang salah satu
penyebabnya adalah faktor ekonomi, karean dalam pendidikan
itu sendiri membutuhkan biaya yang cukup banyak.
b. Pemberdayaan ekonomi. Akses dan penghasilan atas
pendapatan bagi setiap orang merupakan hal yang penting
karena menyangkut otonominya (kemandirian). Sehingga
dengan faktor ekonomi tersebut memungkinkan manusia
untuk mengontrol dan mengendalikan kehidupannya sesuai
c. Pemberdayaan sosial budaya. Dalam kehidupan masyarakat
hendaknya tidak ada pembedaan-pembedaan peran dan
tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap
manusia hendaknya memiliki peran dan tanggung jawab yang
sama sehingga dapat berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat secara bersama-sama.
d. Pemberdayaan psikologi. Pemberdayaan sebagai perubahan
dalam cara berfikir manusia. Pemberdayaan tidak bermaksud
membekali manusia dengan kekuasaan dan kekayaan, tetapi
membuat mereka sadar terhadap dirinya dan apa yang
diinginkan dalam hidup ini. Interaksi antar masyarakat
didasarkan atas pengambilan keputusan bersama, tanpa ada
yang memerintah dan diperintah, tidak ada yang merasa
menang atau dikalahkan. Pemberdayaan didasarkan atas kerja
sama, untuk mencapai dengan hubungan timbal balik yang
saling memberdayakan.
e. Pemberdayaan politik. Dalam pemberdayaan politik pada
intinya adalah bagaimana setiap orang dapat memiliki peluang
dan partisipasi yangs sama dalam kegiatan-kegiatan politik.
Seperti kesempatan bersama dalam pengambilan keputusan
dan kepemimpinan, keterlibatan lembaga-lembaga politik,
kesempatan untuk memberikan pendapat dan menyampaikan
Dalam pelaksanaannya, pemberdayaan yang menurut Midgley dalam
Adi (2003:49-50) diidentikkan dengan pembangunan sosial yang dapat dilakukan
oleh individu, masyarakat/atau komunitas maupun oleh pemerintah, yaitu :
a. Pembangunan sosial melalui individu (Sosial Development By
Individual), dimana individu-individu dalam masyarakat secara
swadaya membentuk usaha pelayanan masyarakat pada pendekatan
individual ataupun perusahaan (individuals or enterprise
approach).
b. Pembangunan sosial melalui komunitas (Sosial Development By
Communities), dimana kelompok masyarakat secara bersama-sama
berupaya mengembangkan komitas lokalnya. Pendekatan ini lebih
dikenal dengan nama pendekatan komunitarian (communitarian
approach).
c. Pembangunan sosial melalui pemerintah (Sosial Development By
Goverments), dimana pembangunan sosial dilakukan oleh
lembaga-lembaga didalam organisasi pemerintah (governmental
agencies). Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan
statis (statist approach).
Dari beberapa pendapat diatas jelas dikatakan bahwa dalam melakukan
langkah perencanaan pemberdayaan, harus meliputi bidang politik, hukum dan
ekonomi sehingga masyarakat dapat berperan didalam pembangunan dengan
agar pemberdayaan dapat berjalan dengan baik, maka pemberdayaan dibidang
pendidikan merupakan faktor kunci dari pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan sebagai suatu proses perlu adanya pengembangan dari
keadaan yang tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya guna mencapai
kehidupan yang lebih baik. Untuk meningkatkan kapasitas masyarakat agar
mampu mentransfer daya adalah dengan strategi peningkatan pendidikan dan
kesadaran, sebagaimana Ife (1995:64), mengemukakan sebagai berikut:
“Empowerment through educationan and consciousness raising emphasizes the importance of an educative process (broadly understood) in equipping people to increase their power. This incorporates notion of consciousness raising : helping people to understand the society and the structures of oppression, giving people the vocabulary and the skill to work towards effective change, and so on.”
(Pemberdayaan melalui peningkatan pendidikan dan kesadaran menekankan pada pentingnya proses pendidikan (pengertian secara luas) untuk meningkatkan kemampuan masyarakat. Kerja sama ini menekankan pada kesadaran meningkatkan: membantu masyarakat untuk memahami masyarakat dan strukturnya, memberikan masyarakat wawasan dan keterampilan untuk bekerja menghadapi perubahan secara efektif, dan seterusnya).
Agar proses pemberdayaan sesuai dengan tujuannya Adi (2001:32-33)
mengatakan perlu adanya intervensi sosial yang dijabarkan melalui dua intervensi
yakni internesi makro yaitu intervensi yang dilakukan di tingkat komunitas dan
organisasi sedangkan intervensi mikro adalah suatu intervensi yang dilakukan
pada level individu, keluarga dan kelompok.
Dalam penerapannya dilapangan Adi (2001:160) menyatakan ada 2
(dua) pilihan pendekatan yang dapat dilakukan. Pendekatan direktif yang
dilakukan berdasarkan asumsi bahwa community worker tahu apa yang
dilakukan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat tahu apa yang sebenarnya
mereka butuhkan dan baik bagi mereka.
Menurut Hogan (2000:20) seperti yang dikutip Adi (2001:212),
tahapan-tahapan yang menggambarkan proses pemberdayaan yang berkelanjutan sebagai
suatu siklus, yaitu :
1. Menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan dan
tidak memberdayakan.
2. Mendiskusikan alasan mengapa terjadi pemberdayaan dan
pentidak berdayaan.
3. Mengidentifikasikan suatu masalah ataupun proyek.
4. Mengidentifikasikan basis daya yang bermakna.
5. Mengembangkan rencana aksi dan mengimplementasikannya.
Terkait dengan hal tersebut, Lapera (2001:57-59) mengungkapkan
langkah perencanaan pemberdayaan ini dapat dilakukan dalam bidang:
1.Di bidang politik, pada bidang ini adalah mengerakkan perubahan
sedemikian rupa, sehingga dipenuhi syarat minimal bagi sebuah
kondisi baru yaitu menyangkut kepastian akan hak-hak dasar
rakyat untuk ambil bagian dalam proses politik dan
penyelenggaraan pemerintahan. Inti dari usaha pemberdayaan di
bidang politik ini adalah menghilangkan seluruh hambatan yang
bagian secara konstruktif dalam proses pembangunan dan
pengambilan keputusan.
2.Di bidang hukum, di bidang ini diperlukan suatu kondisi minimal
yang berkembang memperkuat identitas masyarakat (komunitas),
termasuk identitas lokal yang antara lain dapat mengacu pada
nilai-nilai dan norma hukum adat setempat. Penguatan institusi
lokal sudah tentu tidak dilakukan dengan mata tertutup,
melainkan dengan pikiran kritis, sehingga jelas mana yang harus
dipertahankan dan mana yang harus ditinggalkan.
3.Di bidang ekonomi, program di lapangan ekonomi diawali dengan
langkah redistribusi sumber-sumber ekonomi. Hal ini dilakukan
untuk memenuhi syarat dasar bagi pemenuhan konsumsi dan
tingkat produksi tertentu di kalangan masyarakat.
Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab
utama dalam program pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan adalah
masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan
yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan,
kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan
prinsip-prinsip pemberdayaan. Kemampuan berdaya mempunyai arti yang sama
dengan kemandirian masyarakat. Salah satu cara untuk meraihnya adalah dengan
membuka kesempatan bagi seluruh komponen masyarakat dalam tahapan program
yang disebut potensi. Keutuhan potensi ini akan dapat dilihat apabila di antara
mereka mengintegrasikan diri dan bekerja sama untuk dapat berdaya dan mandiri.
Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan
bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk
membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut
meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka
lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh
masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta
melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan
masalahmasalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang
dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif,
psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material.
Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi
oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas
permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku
masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap
nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan
yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai
keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan
kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung
masyarakat dalam rangka melaku-kan aktivitas pembangunan.
Terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (kognitif, konatif,
afektif dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya