PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI
DAERAH, DANA BAGI HASIL, DANA ALOKASI UMUM DAN DANA
ALOKASI KHUSUS TERHADAP ANGGARAN BELANJA MODAL PADA
PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA Se- PROPINSI LAMPUNG
Oleh
AGUS KURNIAWAN
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS AKUNTANSI
Pada
Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA ILMU AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui dan menganalisa apakah Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh terhadap Anggaran Belanja Modal pada Pemko/Pemkab Lampung. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif, dengan pengujian regresi berganda dengan
melakukan uji asumsi klasik sebelum mendapatkan model penelitian yang terbaik.
Variabel dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sebagai variabel independen dan Belanja Modal sebagai variabel dependen. Jumlah populasi penelitian ini sebanyak 14 kabupaten dan kota dan dengan menggunakan
purposive sampling diperoleh 10 Kabupaten/Kota sebagai sampel dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa secara simultan Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh signifikan terhadap belanja modal di
Kabupaten/Kota di Lampung hal ini dapat dijelaskan dalam Adjusted R2 sebesar
30,3% variabel Belanja Modal dapat dijelaskan oleh variabel independen yang ada yaitu Pertumbuhan Ekonomi, Dana Bagi Hasil, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh terhadap Belanja Modal. Sisanya sebesar 69,7% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan oleh model penelitian ini.
Secara parsial variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang berpengaruh signifikan terhadap belanja modal di Kabupaten/Kota di Lampung, sedangkan Pertumbuhan Ekonomi yang diproksikan oleh PDRB harga konstan, tidak berpengaruh secara signifikan terhadap besarnya Belanja Modal.
ABSTRACT
The purpose of this research is to find out and to analyze whether Economic Growth, Local Own Revenue, Revenue Sharing Fund, General Alocation
Fund,and Special Alocation Fund influence the Capital Expenditure in Lampung Province. The analyze method that is used in this research is quantitative method with multiple linier regression with bring about classical assumption test before finding out the best linier model.
The variable used in this research are Economic Growth, Local Own Revenue, Revenue Sharing Fund, General Alocation Fund, Special Alocation Fund as independent variable and the Capital Expenditure as dependent variable. The population is 14 regencies and cities in Lampung, and by using purposive sampling technique, 10 regencies and cities in Lampung Province the year 2008 up to year 2012 are chosen as samples.
The result proof that Economic Growth, Local Own Revenue, Revenue Sharing Fund, General Alocation Fund, Special Alocation Fund influence significanly and simultaneously
the Capital Expenditure of regencies and cities in Lampung. Adjusted R2
expressed that 30,3% influence given by Independent variables. The rest 69,7% influence given by other variables is not mentioned in this research model.
Partially Local Own Revenue and Special Alocation Fund variable influence Capital Expenditure. Economic Growth with PDRB with constan price haveno significant influence to the Capital Expenditure.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... ii
DAFTAR GAMBAR ... iii
DAFTAR LAMPIRAN ... iv
BAB I PENDAHULUAN1 1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1
1.2. Rumusan Masalah Penelitian ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS ... 8
2.1. Landasan Teoritis ... 8
2.1.1. Anggaran Daerah ... 8
2.1.2. Proses Penyusunan Anggaran di Indonesia ... 9
2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi ... 9
2.1.4. Pendapatan Asli Daerah ... 11
2.1.5. Dana Bagi Hasil ... 15
2.1.6 .Dana Alokasi Umum ... 16
2.1.7. Dana Alokasi Khusus ... 19
2.1.8. Belanja Modal dalam Anggaran Daerah ... 20
2.1.9. Hubungan Keagenan dalam Penganggaran Pemerintah Daerah ... 23
2.1.9.1 Hubungan Keagenan antara Eksekutif dan Legislatif ... 25
2.1.9.2 Hubungan Keagenan antara Legislatif dan Publik ... 25
2.1.9.3 Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran Daerah di Indonesia ... 26
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 26
2.3. Hipotesis Penelitian ... 28
BAB III METODE PENELITIAN... 36
3.1. Populasi dan Sampel Penelitian ... 36
3.2. Metode Pengumpulan Data ... 37
3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 37
3.3.1. Variabel penelitian ... 37
3.3.1.1. Variabel Bebas (Independen) ... 37
3.3.1.2. Variabel Terikat (Dependen)... 38
3.3.2. Definisi Operasional ... 37
3.4. Metode Analisis ... 40
3.4.1. Statistik Deskriptif ... 40
3.4.2. Uji Asumsi Klasik ... 40
3.4.3. Model Pengujian Hipotesis ... 35
3.4.3.1. Uji Regresi Berganda ... 43
3.4.3.2. Koefisien Determinasi... 44
3.4.3.3. Uji F ... 45
3.4.3.4. Uji t ... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46
4.1. Deskripsi Data Penelitian ... 46
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 66
5.1. Kesimpulan ... 66
5.2. Keterbatasan Penelitian ... 67
5.3. Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang tercermin dalam
anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu wujud
dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam
mengevaluasi kinerja masing-masing satuan perangkat daerah. Hal ini dipertegas
dalam undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara pasal 19 (1)
dan (2) yaitu, pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Dengan
membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan
kinerja dengan anggaran Tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana
yang tersedia dengan hasil yang diharapkan. Demikian pula dalam undang-undang
nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang nomor 33
tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah ditegaskan bahwa pemerintah daerah diberi kesempatan secara
luas untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan
dan prioritasnya masing-masing, termasuk dalam hal penyusunan dan
pertanggungjawaban atas pengalokasian dana yang Otonomi daerah merupakan
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. dimiliki dengan cara yang efisien dan efektif,
masyarakat. Sejalan dengan pembagian kewenangan yang disebutkan di atas maka
pengaturan pembiayaan Daerah dilakukan berdasarkan azas desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan
berdasarkan azas desentralisasi dilakukan atas beban APBD, pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelaksanaan azas dekonsentrasi
dilakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan
dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat
pemerintahan yang menugaskan. Manajemen keuangan daerah yang tercermin
dalam APBD merupakan media utama pemerintah daerah dalam melakukan
alokasi sumberdaya daerah secara optimal, sekaligus merupakan media yang
dapat digunakan untuk mengevaluasi prestasi pemerintah daerah dalam
membiayai pembangunan di daerah. Sebagai media utama maka setiap
pengeluaran pemerintah harus diperuntukan untuk kepentingan publik dan wajib
dipertanggungjawabkan. Artinya pengelolaan dalam bentuk alokasi anggaran
publik diharapkan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat agar
dapat mandiri secara ekonomis. Dari sisi keuangan negara, kebijaksanaan
pelaksanaan desentralisasi fiskal telah menimbulkan implikasi yang mendasar
dalam peta pengelolaan fiskal. Artinya dengan adanya desentralisasi fiskal
pemerintah daerah diharapkan mampu mengoptimalkan potensi sumberdaya
daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengotimalan tersebut
harus secara tegas dicantumkan dalam APBD sebagai salah satu media utama
dalam perencanaan penerimaan dan pembiayaan pembangunan di daerah. Ini
berarti pengalokasian anggaran publik harus lebih diperuntukan pada bagi
pengelolaan dan pengalokasian anggaran menempati posisi strategis dalam
pembangunan suatu negara, termasuk anggaran daerah. Anggaran publik yang
dikelola oleh pemerintah memiliki tiga fungsi utama, yaitu; alokasi, distribusi dan
stabilitas. Dalam fungsi alokasi, anggaran publik memainkan peranan dalam
pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik atau penyelanggaraan
pemerintahan yang pada gilirannya dapat meningkatkan pelayanan publik. Fungsi
distribusi tercermin dari pemerataan pendapatan dan pengetasan kemiskinan.
Fungsi stabilitas tercermin dari penciptaan lingkungan makroekonomi yang
kondusif. Ketiga fungsi tersebut menjadi landasan utama kebijakan fiskal
pemerintah, baik dari sisi pendapatan, pembiyaaan maupun belanja negara,
termasuk kebijakan pemerintah daerah dalam pengalokasian anggaran publik. Di
sisi lain, dalam proses penyusunan sampai implementasinya Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memiliki berbagai permasalahan, salah
satunya adalah pengalokasian sumber-sumber pendapatan daerah yang
diperuntukan untuk kepentingan publik, baik alokasi dana untuk belanja langsung
maupun tidak langsung. Fozzard (2001) menunjukkan bahwa pengalokasian
sumberdaya merupakan permasalahan mendasar dalam anggaran sektor publik.
Hal ini menenujukkan perlu adanya suatu desain sistem pengeluaran yang mampu
mengendalikan pola konsumsi sumberdaya ekonomi, khususnya anggaran publik
yang tidak tepat sasaran. Salah satu pendekatan yang dipandang relevan dewasa
ini adalah manajemen pengeluaran sektor publik. Hal ini penting karena selama
ini banyak pengeluaran pemerintah terutama pemerintah daerah, misalnya untuk
belanja modal rata-rata masih dibawah 30% dari yang disyaratkan. Permasalahan
daerah secara mandiri dalam pengelolaan keuangan daerah tidak mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat
berdasarkan azas desentralisasi, kepala Daerah diberikan kewenangan untuk
memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan
(revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana
perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD. Secara umum, sumber dana bagi
daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan (dana bagi hasil,
dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman daerah, dekonsentrasi
dan tugas pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh Pemerintah
Daerah melalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh Pemerintah Pusat
melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah. Salah satu wujud dari
desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah
yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing.
Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan
undang nomor 34 tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari
undang-undang nomor 18 tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaan-nya
dengan peraturan pemerintahn nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan
peraturan pemerintah nomor 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Sejak
diberlakukan reformasi keuangan daerah dan sejalan dengan implementasi
Otonomi daerah, tampak kita cermati sejumlah daerah tertentu tidak mampu
membiayai rumah tangga daerahnya sebagai akibat kapasitas fiskal yang rendah.
Hal ini tentunya berdampak pada pelaporan keuangan pemerintah daerah yang
pemerintah daerah perlu diperkuat agar dapat mendorong perekonomian daerah.
Halim (2004) menegaskan bahwa tuntutan untuk mengubah struktur belanja
menjadi semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah yang mengalami kapasitas
fiskal rendah. Penegasan ini menunjukkan bahwa bagi daerah-daerah yang
memiliki celah fiskal yang tinggi perlu memperkuat struktur anggaran belanjanya,
ini bukan berarti daerah-daerah yang celah fiskal yang rendah tidak perlu
memperkuat struktur belanja. Dengan memperkuat struktur belanja daerah dapat
meningkatkan kepercayaan publik. Hal ini penting karena anggaran yang
digunakan oleh pemerintah daerah dalam menjalankan aktivitas pembangunan
daearah merupakan anggaran publik. Alokasi belanja yang dilakukan oleh
pemerintah daerah setiap tahun harus betul-betul dimanfaatkan untuk
aktivitas-aktivitas yang produktif. Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja
hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misalnya untuk melakukan
aktivitas pembangunan. Sejalan dengan Saragih, Stine (1994) menyatakan bahwa
penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-program layanan
publik. Gagasan yang dikemukakan baik oleh Saragih maupun Stine menunjukkan
bahwa pengalokasikan belanja untuk berbagai kepentingan publik merupakan hal
yang sangat penting dan strategis dalam mendorong perekonomian daerah.
Dikatakan penting dan strategis karena, dengan peningkatan sarana publik,
misalnya membangun jembatan dan jalan dapat mempermudah akses masyarakat
dalam melakukan aktvitas bisnis maupun non bisnis. Di sisi lain, bagi
daerah-daerah yang memiliki potensi sumberdaya yang dapat diandalkan, baik
sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam kebijakan Otonomi daerah
daerahnya secara mandiri termasuk dalam hal pengelolaan keuangan daerah.
Salah satu harapan dari kebijakan tersebut adalah daerah diberi kesempatan untuk
mempercepat pertumbuhan ekonominya dan memperhatikan kesejahteraan
masyarakat. Sebaliknya bagi daerah-daerah yang memiliki keterbatasan
sumberdaya, kebijakan demikian akan memberatkan. Daerah yang tidak memiliki
potensi sumberdaya dalam hal sumber keuangan atau dana yang melimpah akan
mengalami kesulitan dalam membiayai belanja daerahnya.
Dengan adanya otonomi daerah pula, maka dengan tegas terjadi pemisahan fungsi
antara fungsi Pemerintahan Daerah (Eksekutif) dengan fungsi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Legislatif). Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut,
menunjukkan bahwa antara legislatif dan eksekutif terjadi hubungan keagenan,
eksekutif melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas anggaran
daerah, yang merupakan manifestasi dari pelayanan kepada publik, sedangkan
legislatif berperan aktif dalam melaksanakan legislasi, penganggaran, dan
pengawasan (Halim, 2006).
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Situngkir (2009).
Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan variabel
yang ada pada penelitian yang dilakukan oleh Situngkir (2009). Variabel-variabel
yang digunakan diantaranya pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah
(PAD), dan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK).
Namun dalam tesis ini peneliti menambahkan variabel independen lain dalam
penelitiannya,yaitu Dana Bagi Hasil (DBH), karena pada penelitian yang
belanja modal.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan
dalam penelitian ini adalah apakah Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli
Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
berpengaruh terhadap Anggaran Belanja Modal?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk memberikan bukti empiris pada Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,
Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana
Alokasi Khusus terhadap alokasi Anggaran Belanja Modal.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kabupaten/kota se-Lampung tentang
Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DBH, DAU, DAK dan Belanja Modal.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten/Kota se-Lampung
dalam penyusunan Anggaran Belanja Modal.
3. Sebagai bahan referensi bagi peneliti tentang Pertumbuhan Ekonomi, PAD,
BAB II
TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Landasan Teori
2.1. 1 Anggaran Daerah
Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa anggaran merupakan pernyataan mengenai
estimasi kinerja yang hendakdicapai selama periode waktu tertentu yang
dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau
metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Anggaran daerah merupakan salah
satu alat yang memegang peranan penting dalam meningkatkan pelayanan publik
dan didalamnya tercermin kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi
dan sumber-sumber kekayaan daerah. APBN merupakan rencana keuangan
tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (UU
No 17/2003).
Penganggaran mempunyai tiga tahapan, yaitu (1) perumusan proposal anggaran,
(2) pengesahan proposal anggaran, (3) pengimplementasian anggaran yang telah
ditetapkan sebagai produk hukum (Samuels, 2000). Von Hagen (2005) dalam
Darwanto (2007) menyatakan bahwa penganggaran dibagi ke dalam empat
tahapan, yaitu executive planning, legislative approval, executive implementation,
and ex post accountability. Pada tahapan executive planning dan legislative
approval terjadi interaksi antara eksekutif dengan legislatif dimana politik
anggaran paling mendominasi, sementara pada tahapan executive implementation
2.1.2 Proses Penyusunan Anggaran di Indonesia
Perubahan paradigma baru dalam pengelolaan dan penganggaran daerah
merupakan akibat dari penerapan otonomi daerah di Indonesia. Penganggaran
kinerja ( performance budgeting) merupakan konsep dalam penganggaran yang
menjelaskan keterkaitan antara pengalokasian sumberdaya dengan pencapaian
hasil yang dapat diukur. Proses penyusunan APBD dimulai dengan penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), selanjutnya RPJMD
dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk periode 1
tahun. Berdasarkan RKPD tersebut, Pemerintah Daerah menyusun Kebijakan
Umum Anggaran (KUA) yang dijadikan dasar dalam penyusunan APBD.
Kemudian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menerima penyerahan
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang sebelumnya disusun oleh
Pemda untuk disetujui. Setelah Pemda menyetujui PPAS, selanjutnya disusun
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang kemudian
disahkan menjadi APBD (PP No.58/2005).
2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita diproduksi dengan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita (Boediono, 1985).
Satu-satunya ukuran yang paling penting dalam konsep ekonomi adalah produk
domestik bruto (PDB) yang mengukur total nilai barang dan jasa yang dihasilkan
pada suatu negara atau nasional dan PDRB untuk mengukur total nilai barang dan
jasa yang dihasilkan pada suatu daerah atau lokal. PDB digunakan untuk banyak
suatu perekonomian (Samuelson, 2004).
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah
barang dan jasa yang dihasilkan dari seluruh kegiatan perekonomian di suatu
daerah. Penghitungan PDRB menggunakan dua macam harga yaitu harga berlaku
dan harga konstan. PDRB atas harga berlaku merupakan nilai tambah barang dan
jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada tahun bersangkutan,
sementara PDRB atas dasar harga konstan dihitung dengan menggunakan harga
pada tahun tertentu sebagai tahun dasar dan saat ini menggunakan tahun 2000
(BPS 2003).
Penghitungan PDRB dapat dilakukan dengan dua metode pendekatan yakni:
a. Pendekatan Produksi
Pendekatan ini disebut juga pendekatan nilai tambah dimana Nilai Tambah
Bruto (NTB) diperoleh dengan cara mengurangkan nilai output yang dihasilkan
oleh seluruh kegiatan ekonomi dengan biaya antara dari masing-masing nilai
produksi bruto tiap sektor ekonomi. Nilai tambah merupakan nilai yang
ditambahkan pada barang dan jasa yang dipak ai oleh unit produksi dalam
proses produksi sebagai input antara. Nilai yang ditambahkan ini sama dengan
balas jasa faktor produksi atas ikut sertanya dalam proses produksi.
b. Pendekatan pendapatan
Pada pendekatan ini, nilai tambah dari kegiatan-kegiatan ekonomi dihitung
dengan cara menjumlahkan semua balas jasa faktor produksi yaitu upah dan gaji,
surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung neto. Untuk sektor
pemerintahan dan usaha-usaha yang sifatnya tidak mencari untung, surplus usaha
jumlah penduduk pada tahun bersangkutan dapat digunakan untuk membanding
tingkat kemakmuran suatu daerah dengan daerah lainnya. Perbandingan PDRB
atas dasar harga berlaku terhadap PDRB atas dasar harga konstan dapat juga
digunakan untuk melihat tingkat inflasi atau deflasi yang terjadi (BPS , 2003)
Dalam penelitian ini PDRB yang digunakan adalah PDRB Harga Konstan. PDRB
atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung
menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar
penghitungannya. Harga konstan dapat digunakan untuk mengetahuipertumbuhan
ekonomi dari tahun ke tahun. Dengan demikian, PDRB merupakan
indikator untuk mengatur sampai sejauh mana keberhasilan pemerintah
dalam memanfaatkan sumber daya yang ada, dan dapat digunakan sebagai
perencanaan dan pengambilan keputusan.
Salah satu alat ukur yang digunakan dalam mengukur nilai uang dari barang dan
jasa adalah menggunakan harga pasar untuk barang dan jasa yang berbeda
(Samuelson, 2004). Berdasarkan teori tersebut peneliti menggunakan PDRB harga
konstan sebagai alat ukur untuk menilai pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan semakin tinggi tingkat pertumbuhan
perekonomian tentu akan mengakibatkan bertumbuhnya investasi modal swasta
maupun pemerintah. Hal inilah mengakibatkan pemerintah lebih leluasa dalam
menyusun anggaran belanja modal.
2.1.4. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah adalah salah satu sumber penerimaan yang harus selalu
pemerintah daerah sangat dituntut dalam pembiayaan pembangunan daerah dan
pelayaan kepada masyarakat. Oleh sebab itu pertumbuhan investasi di pemerintah
kabupaten dan kota di Lampung perlu diprioritaskan karena diharapkan
memberikan dampak positif terhadap peningkatan perekonomian regional.
Menurut Halim (2004: 67), "Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua
penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pasal 157 UU
No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa
sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri:
1. Pajak Daerah,
2. Retribusi Daerah,
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan,
4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah.
Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Pasal 1, “Pendapatan Asli Daerah
adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya
sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber
penerimaan daerah yang asli digali di daerah yang digunakan untuk modal dasar
pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk
memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat.
Menurut Mardiasmo (2002: 132), Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan
daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli
Menurut Halim (2004: 96) kelompok Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi
empat jenis pendapatan:
a. Pajak Daerah.
Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009 jenis pendapatan pajak untuk kabupaten/
kota terdiri dari:
1) Pajak hotel,
2) Pajak restoran,
3) Pajak hiburan,
4) Pajak reklame,
5) Pajak penerangan jalan,
6) Pajak pengambilan bahan galian golongan C,
7) Pajak Parkir.
8) Pajak Air Tanah.
9) Pajak Sarang Burung Walet.
10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
b. Retribusi Daerah.
Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi.
Terkait dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 jenis pendapatan retribusi untuk
kabupaten/kota meliputi objek pendapatan yang terdiri dari 29 objek.
c. Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan.
Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan
penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang
mencakup:
1) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD.
2) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMD.
3) Bagian laba penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau
kelompok usaha masyarakat.
d. Lain-lain PAD yang sah.
Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik
Pemda. Rekening ini disediakan untuk mengakuntansikan penerimaan daerah
selain yang disebut di atas. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan
berikut:
1) Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan.
2) Jasa giro.
3) Pendapatan bunga.
4) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah.
5) Penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan pengadaan barang, dan jasa oleh daerah.
6) Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing.
7) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan.
8) Pendapatan denda pajak.
9) Pendapatan denda retribusi.
10) Pendapatan eksekusi atas jaminan.
11) Pendapatan dari pengembalian.
13) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
14) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
Secara konseptual, perubahan pendapatan akan berpengaruh terhadap belanja atau
pengeluaran, namun tidak selalu seluruh tambahan pendapatan tersebut akan
dialokasikan dalam belanja.
Abdullah & Halim (2004) menemukan bahwa sumber pendapatan daerah berupa
PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja daerah secara
keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya sebesar 10% dari total
pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian anggaran cukup besar,
terutama bila dikaitkan dengan kepentingan politis (Abdullah, 2004).
2.1.5. Dana Bagi Hasil
DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004).
DBH yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari dua
(2) jenis, yaitu DBH pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA). Pola bagi hasil
penerimaan tersebut dilakukan dengan prosentase tertentu yang didasarkan atas
daerah penghasil. Penerimaan DBH pajak bersumber dari: 1) Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), (2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan
(3) Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri (PPh WPOPDN) dan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21). Sedangkan
(3) Perikanan, (4) Pertambangan Minyak Bumi, (5) Pertambangan Gas Bumi, dan
(6) Pertambangan Panas Bumi Prinsip otonomi daerah sendiri adalah prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah
yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
Berdasarkan Undang - Undang No.32 Tahun 2004, sebagai konsekuensi dari
kewenangan otonomi yang luas, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk
meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil,
merata, dan berkesinambungan. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah
daerah mampu mengelola potensi daerahnya yaitu potensi SDA, sumber daya
manusia (SDM), dan potensi sumber daya keuangan secara optimal. Setiap daerah
dituntut untuk lebih meningkatkan kemampuan sumber daya manusia untuk dapat
menggali potensi yang ada dan mengelolanya sehingga pendapatan daerah dapat
terus meningkat dan ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan
pemerintah pusat dapat berkurang. Melalui bagi hasil penerimaan negara tersebut,
diharapkan potensi penerimaan daerah menjadi semakin meningkat dan daerah
merasakan bahwa haknya atas pemanfaatan SDA yang dimiliki
masing-masing daerah diperhatikan oleh pemerintah pusat.
2.1.6. Dana Alokasi Umum
Dalam pengaturan keuangan menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 adalah provisi
berupa transfer antar pemerintah dari pusat ke kabupaten dan kota yang disebut
dengan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana Alokasi Umum adalah
semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan
kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan dengan formula berdasarkan
prinsip-pinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan
terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah kaya. Dengan kata lain
tujuan alokasi DAU adalah dalam rangka pemerataan kemampuan penyediaan
pelayanan publik antar pemda di Indonesia (Kuncoro, 2004).
Secara definisi DAU dapat diartikan sebagai berikut:
1. Salah satu komponen dari dana perimbangan pada APBN, yang
pengalokasiannya didasarkan atas konsep kesenjangan fiskal yaitu selisih
antara kebutuhan fiskal dengan kapital fiskal.
2. Instrumen untuk mengatasi horizontal balance yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dan penggunaannya ditetapkan
sepenuhnya oleh daerah.
3. Equalization grant berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan kemampuan
keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak dan bagi hasil SDA yang
diperoleh daerah (Kuncoro, 2004).
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan
pengeluarannya di dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berkaitan dengan
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut
merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan
didalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah
pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat atau untuk keperluan lain yang
tidak penting. DAU merupakan salah satu alat bagi pemerintah pusat sebagai alat
pemerataan pembangunan di Indonesia yang bertujuan untuk mengurangi
ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat
dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan
Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari
Penerimaan Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU
akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber
pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung
jawabnya. Hal ini sesuai dengan prinsip fiscal gap yang dirumuskan oleh
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan yang sejalan
dengan Sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah
(Propinsi, Kabupaten dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan
konsep fiscal gap, di mana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh
kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi daerah (fiscalcapacity). Dengan
pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah/gap yang terjadi karena
kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada.
Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah
yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya
daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh
DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan oleh Holtz-Eakin et.al., (1985)
dalam Situngkir (2009) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara
transfer dari pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah. Secara spesifik
mereka menegaskan bahwa variabel-variabel kebijakan pemerintah daerah dalam
jangka pendek disesuaikan ( adjusted) dengan transfer yang diterima, sehingga
memungkinkan terjadinya respon yang non-linier dan asymmetric
2.1.7. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan
keuangan di bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan
penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang telah
merupakan urusan daerah. DAK merupakan dana yang berasal dari APBN dan
dialokasikan ke daerah kabupaten/kota untuk membiayai kebutuhan tertentu yang
sifatnya khusus, tergantung tersedianya dana dalam APBN (Suparmoko, 2002).
Kebutuhan khusus adalah kebutuhan yang sulit diperkirakan dengan rumus
alokasi umum, dan atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas
nasional.
Kebijakan DAK secara spesifik: (www.depkeu.djpk.go.id)
1. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan
di bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan
urusan daerah;
2. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah pesisir
dan pulau-pulau kecil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah
tertinggal/terpencil, daerah rawan banjir/longsor, serta termasuk kategori
daerah ketahanan pangan dan daerah pariwisata;
3. Mendorong peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan
diversifikasi ekonomi terutama di pedesaan, melalui kegiatan khusus di bidang
pertanian, kelautan dan perikanan, serta infrastruktur;
4. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan prasarana
dasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur;
5. Menjaga dan meningkatkan kualitas hidup, serta mencegah kerusakan
lingkungan hidup, dan mengurangi risiko bencana melalui kegiatan khusus di
bidang lingkungan hidup, mempercepat penyediaan serta meningkatkan
cakupan dan kehandalan pelayanan prasarana dan sarana dasar
6. Mendukung penyediaan prasarana di daerah yang terkena dampak pemekaran
pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi melalui kegiatan khusus di bidang
prasarana pemerintahan;
7. Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari DAK
dengan kegiatan yang didanai dari anggaran Kementerian/Lembaga dan
kegiatan yang didanai dari APBD;
8. Mengalihkan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang
digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi urusan daerah
Umum, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan.
2.1.8. Belanja Modal dalam Anggaran Daerah
Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset
lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal
meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan,
peralatan dan aset tak berwujud (PP Nomor 71 Tahun 2010). Dengan kata lain
belanja modal dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya
menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode
akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan
yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan
kapasitas dan kualitas aset. Belanja Modal dapat dikategorikan dalam 5 (lima)
kategori utama:
1. Belanja Modal Tanah
Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk
pengadaan/pembeliaan/pembebasan penyelesaian, balik nama dan sewa tanah,
pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertipikat,
dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan
sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai.
2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan
untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan kapasitas
peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih
dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam
3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan termasuk
pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan
gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan
dimaksud dalam kondisi siap pakai.
4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatan pembangu-
nan/pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan,
pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah
kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
5. Belanja Modal Fisik Lainnya
Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk
pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatan pembangunan/pembuatan
serta perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan kedalam
criteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan
jalan irigasi dan jaringan, termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal
kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan
barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal
ilmiah.
Aset tetap merupakan prasayarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh
mengalokasikan dana dalam bentuk belanja modal dalam APBD. Alokasi belanja
modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik
untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik.
Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintahan daerah,
sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak
jangka panjang secara finansial.
Menurut Halim (2004), belanja modal merupakan belanja yang manfaatnya
melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah serta
akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan. Munir
(2003) dalam Situngkir (2009) juga menyatakan menyatakan hal sama. Bahwa
belanja modal memiliki karakteristik spesifik menunjukkan adanya berbagai
pertimbangan dalam pengalokasiannya.
2.1.9. Hubungan Keagenan dalam Penganggaran Pemerintah Daerah
Teori keagenan yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen berakar pada teori
ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori keagenan
menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok,
atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara
implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen
akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh prinsipal.
Menurut Ross (1973) contoh-contoh hubungan keagenan sangat universal.
Para teoretisi berpegang pada proposisi bahwa agents behave opportunistically
drift, yakni ketika prinsipal tidak mematuhi kesepakatan pendelegasian yang telah
dibuat.
Hubungan prinsipal-agen terjadi whenever one individual’s actions have an effect
on another individual atau whenever one individual depends on the action of
another (Gilardi, 2001). Stiglitz (1999) menyatakan bahwa masalah keagenan
terjadi pada semua organisasi, baik publik maupun privat.Menurut Andvig et al.
(2001) principal-agent model sangat berguna dalam menjelaskan masalah insentif
dalam institusi publik, karena dua hal: (1) terdapat beberapa prinsipal dengan
masing-masing tujuan dan kepentingan yang tidak koheren dan (2) prinsipal bisa
berlaku korup dan tidak bertindak sesuai kepentingan masyarakat, tetapi mengejar
kepentingannya sendiri.
Teori keagenan berfokus pada persoalan asimetri informasi: agents mempunyai
informasi lebih banyak tentang kinerja aktual, motivasi, dan tujuannya yang
sesungguhnya, yang berpotensi menciptakan moral hazard dan adverse selection.
Prinsipal sendiri harus mengeluarkan biaya (costs) untuk memonitor kinerja
agents dan menentukan struktur insentif dan monitoring yang efisien. Adanya
asimetri informasi di antara eksekutif-legislatif dan legislatif-pemilih
menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunistik dalam
proses penyusunan anggaran, yang justru lebih besar daripada di dunia bisnis yang
memiliki automatic checks berupa persaingan.
Menurut Moe (1984) dan Strom (2000), hubungan keagenan dalam penganggaran
publik adalah antara (1) pemilih-legislatur, (2) legislatur-pemerintah, (3) menteri
keuangan-pengguna anggaran, (4) perdana menteri-birokrat, dan (5)
melihat hubungan keagenan sebagai hubungan pendelegasian (chains of
delegation).
2.1.9.1 Hubungan Keagenan antara Eksekutif dan Legislatif
Dalam hubungan keagenan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif (Pemda)
bertindak sebagai agen dan legislatif (DPRD) bertindak sebagai prinsipal. Pemda
menyusun anggaran daerah dalam bentuk RAPBD yang selanjutnya diserahkan
kepada DPRD untuk diperiksa. Jika RAPBD telah sesuai dengan Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD), maka pihak legislatif (DPRD) akan melakukan
pengesahan RAPBD menjadi APBD. Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah
oleh pihak legislatif (DPRD) dijadikan alat kontrol untuk mengawasi kinerja
pihak eksekutif (Pemda).
2.1.9.2 Hubungan Keagenan antara Legislatif dan Publik
Dalam hubungan antara legislatif dan publik, legislatif (DPRD) bertindak sebagai
agen dan publik bertindak sebagai prinsipal. Menurut Von Hagen (2003) bahwa
hubungan yang terjadi antara publik dan legislatif pada dasarnya menunjukkan
bagaimana publik memilih politisi untuk membuat keputusan-keputusan tentang
belanja publik dan memberikan dana dengan membayar pajak. Kemudian
legislatif terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam
anggaran, maka DPRD diharapkan mewakili kepentingan publik. Jadi walaupun
legislatif menjadi pihak prinsipal, disisi lain dapat bertindak senagai agen dalam
hubungannya dengan publik. Sehingga legislatif menempatkan dirinya sebagai
pihak yang menerima tugas dari publik, dan melakukan pendelegasian kepada
2.1.10. Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran Daerah di
Indonesia
Penyusunan APBD yang dibuat antara eksekutif dan legislatif berpedoman pada
Kebijakan Umum APBD dan Plafon Anggaran. Pihak eksekutif membuat
rancangan APBD yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari
dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai Perda. Dalam perspektif
keagenan, APBD merupakan bentuk kontrak yang dijadikan alat oleh legislatif
untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif (Darwanto, 2007).
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini diantaranya.
Harahap (2009) melakukan penelitian tentang pengaruh Dana Bagi Hasil Pajak
dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam terhadap Belanja Modal pada
Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara menemukan besarnya Dana Bagi Hasil
Pajak berpengaruh positif terhadap belanja modal sedangkan Dana Bagi Hasil
Sumber Daya Alam tidak berpengaruh positif terhadap belanja modal .
Maimunah (2006) melakukan penelitian tentang Flypaper Effect pada DAU dan
PAD terhadap belanja daerah Kabupaten/Kota di Sumatera dan menemukan
besarnya nilai DAU dan PAD berpengaruh positif terhadap belanja daerah dan ada
Pengaruh flypaper effect dalam memprediksi belanja daerah periode ke depan.
Darwanto (2007) meneliti Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, dan DAU
Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi, PAD
dan DAU berpengaruh signifikan terhadap anggaran belanja modal. Sedangkan
secara parsial PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhdap anggaran belanja
modal, sedangkan pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh.
Situngkir (2009) meneliti Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU dan DAK
terhadap Anggaran Belanja Modal dengan mengambil sampel Kabupaten/Kota di
Sumatra Utara, menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi, PAD DAU dan DAK
berpengaruh signifikan terhadap anggaran belanja modal. Sedangkan secara
parsial PAD, DAU dan DAK berpengaruh signifikan terhdap anggaran belanja
modal, sedangkan pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh.
Beberapa penelitian sebelumnya yang dijadikan sebagai pedoman untuk
melakukan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini:
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
Nama
Peneliti/Tahun
Maimunah
Sumber: Review dari beberapa artikel
2.3 Hipotesis Penelitian
2.3.1 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Anggaran Belanja Modal
Kebijakan otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan kepada
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus tiap-tiap daerah. Hal ini
mendorong pemerintah daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat. Tetapi, kemampuan daerah yang satu dengan daerah yang lainnya
dalam mengelola potensi lokalnya dan ketersediaan sarana prasarana serta sumber
daya sangat berbeda. Perbedaan ini dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi
yang beragam antara satu daerah dengan daerah lainnya (Nugroho, 2005).
Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan output perkapita yang diukur
dengan Produk Domestik Regional Bruto. Pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk
peningkatan ekonomi yang berkelanjutan. Menurut penelitian Lin dan Liu (2000)
bahwa upaya desentralisasi memberikan pengaruh yang sangat berarti terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah. Oates (1995) dalam Lin dan Liu (2000)
membuktikan bahwa antara desentralisasi dengan pertumbuhan ekonomi memiliki
hubungan yang positif dan signifikan. Darwanto (2007) menyatakan bahwa
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembanguan. Faktor-faktor tersebut
antara lain sumber daya alam, tenaga kerja, investasi modal, kewirausahaan,
transportasi, komunikasi, komposisi sektor industri, teknologi, pasar ekspor,
situasi perekonomian internasional, kapasitas pemerintah daerah, pengeluaran
pemerintah dan dukungan pembangunan.
Berdasarkan landasan teori dan argumen di atas dapat disimpulkan bahwa dengan
adanya kebijakan otonomi daerah mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi
suatu daerah. Dimana pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah berbeda-beda
sesuai dengan potensi tiap-tiap daerah. Sehingga semakin tinggi tingkat
pertumbuhan perekonomian tentu akan mengakibatkan bertumbuhnya investasi
lebih leluasa dalam menyusun anggaran belanja modal. Oleh karena itu, untuk
hipotesis pertama dinyatakan sebagai berikut :
Ha1 : Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap anggaran
Belanja Modal.
2.3.2 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap anggaran Belanja Modal
Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanakan kebijakannya sebagai daerah
otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam
menghasilkan pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan asli daerah yang
diterima, maka semakin besar pula kewenangan pemerintah daerah tersebut dalam
melaksanakan kebijakan otonomi. Pelaksanaan otonomi daerah bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Salah satu
cara untuk meningkatkan pelayanan publik dengan melakukan belanja untuk
kepentingan investasi yang direalisasikan melalui belanja modal.
Menurut Mardiasmo (2002: 132), Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan
daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli
Daerah yang sah.
Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset
lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal
meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan,
peralatan dan aset tak berwujud (Halim, 2004).
Darwanto (2007) menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif
bahwa besarnya PAD menjadi salah satu faktor penentu dalam menentukan
belanja modal. Hal ini sesuai dengan PP No 58 tahun 2005 yang menyatakan
bahwa APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan
kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan. Setiap penyusunan APBD,
alokasi belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah dengan
mempertimbangkan PAD yang diterima. Sehingga apabila Pemda ingin
meningkatkan belanja modal untuk pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat, maka Pemda harus menggali PAD yang sebesar-besarnya.
Berdasarkan landasan teori dan beberapa hasil penelitian diatas maka hipotesis
berikutnya adalah sebagai berikut :
Ha2 : Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap anggaran
Belanja Modal.
2.3.3 Pengaruh Dana Bagi Hasil terhadap Anggaran Belanja Modal
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun
2004). Secara teoritis Pemerintah daerah akan mampu menetapkan belanja modal
yang semakin besar jika anggaran DBH semakin besar pula, begitupun Sebaliknya
semakin kecil belanja modal yang akan ditetapkan jika anggaran DBH semakin
kecil. DBH berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. Hasil penelitian Harahap
(2009), menunjukkan bahwa secara simultan Dana Bagi Hasil berpengaruh secara
positif terhadap Belanja Modal, sedangkan secara parsial Dana Bagi Hasil Bukan
Berdasarkan landasan teori dan beberapa hasil penelitian diatas maka hipotesis
berikutnya adalah sebagai berikut:
Ha3 : Dana Bagi Hasil berpengaruh positif terhadap anggaran Belanja Modal
2.3.4 Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Anggaran Belanja Modal
Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan
pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi,
dan pembantuan. Pelaksanaan desentralisasi dilakukan dengan pemerintah pusat
menyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengurus sendiri daerahnya. Wujud desentralisasi yaitu pemberian dana
perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan ini bertujuan untuk
mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
(UU No. 33/2004). Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN
yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah untuk
membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Hasil penelitian Darwanto (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif
dan signifikan antara DAU dengan belanja modal. Penelitian empiris yang
dilakukan oleh Holtz-Eakin et. Al. (1985) dalam Hariyanto Adi menyatakan
bahwa terdapat keterkaitan antara dana transfer dari pemerintah pusat dengan
belanja modal. Prakosa (2004) memperoleh bukti empiris bahwa jumlah belanja
modal dipengaruhi oleh dana Dana Alokasi Umum yang diterima dari pemerintah
pusat. Hasil penelitan Harianto dan Adi (2007) semakin memperkuat bukti
empiris tersebut. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi
lebih baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan
tinggi. Hal ini memberikan adanya indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah
khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan DAU.
Berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan semakin tinggi DAU maka alokasi
belanja modal juga meningkat. Hal ini disebabkan karena daerah yang memiliki
pendapatan (DAU) yang besar maka alokasi untuk anggaran belanja daerah
(belanja modal) akan meningkat. Hipotesis berikutnya adalah sebagai berikut :
Ha4 : Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap anggaran Belanja Modal
2.3.5 Pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap Anggaran Belanja Modal
Salah satu perwujudan pelaksanaan otonomi daerah adalah desentralisasi.
Pelaksanaan desentralisasi dilakukan oleh pemerintah pusat dengan memberikan
wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahnya. Urusan pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah
daerah disertai dengan penyerahan keuangan yang terwujud dalam hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah (UU No.33/2004).
Dana perimbangan merupakan perwujudan hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dengan daerah. Salah satu dana perimbangan adalah Dana Alokasi Khusus,
DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada
pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah dan prioritas nasional. Tujuan DAK untuk mengurangi beban biaya
kegiatan khusus yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah. Pemanfaatan
DAK diarahkan kepada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan,
peningkatan, perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan publik dengan umur
tersebut diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik yang direalisasikan
dalam belanja modal. Penelitian yang dilakukan oleh Situngkir (2009) Dana
Alokasi Khusus berpengaruh positif dan signifikan terhadap anggaran belanja
modal. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara pemberian dana
transfer dari pemerintah pusat (DAK) dengan alokasi anggaran pengeluaran
daerah melalui belanja modal. Berdasarkan landasan teori dan penemuan empiris
tersebut maka menghasilkan hipotesis sebagai berikut :
Ha5 : Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif terhadap anggaran Belanja Modal
Gambar 3.1. Model Penelitian
Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita diproksi dengan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita (Boediono, 1985).
PAD adalah pendapatan asli daerah yang berasal dari hasil pajak daerah, hasil
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain
(Mardiasmo, 2002).
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun
2004).
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah merupakan transfer yang bersifat umum
(block grant) untuk mengatasi masalah ketimpangan horizontal (antar daerah)
dengan tujuan utama pemerataan kemampuan keuangan antar daerah (UU No.33
Tahun 2004).
DAK adalah merupakan transfer yang bersifat khusus untuk mengatasi masalah
khusus dengan dana pendampingan dari APBN dengan tujuan utama
pembangunan nasiona l (UU No.33 Tahun 2004).
Anggaran Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap
dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja
modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan
bangunan, peralatan dan aset tak berwujud (PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintah). Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam
bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi
belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana,
baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk kualitas
pelayanan publik. Besarnya belanja modal yang dialokasikan pemerintah daerah
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pemerintahan Kota/Kabupaten
di Provinsi Lampung berjumlah 14 kabupaten dan kota. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pemerintah daerah kabupaten dan kota
di Provinsi Lampung pada tahun 2008-2012. Data sampel diambil dengan
menggunakan purposive sampling dengan kriteria yaitu:
1. Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung yang mempublikasikan
laporan keuangannya secara konsisten dari tahun 2008-2012.
2. Pemerintah daerah kabupaten dan kota yang tidak dimekarkan pada kurun
waktu 2008 -2012.
Dari 14 daerah kota dan kabupaten yang dijadikan populasi, hanya sebanyak
10 yang memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai sampel penelitian. Sumber
data dari dokumen laporan realisasi APBD yang diperoleh dari situs Dirjen
Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah melalui website
www.djpk.depkeu.go.id. Dari laporan realisasi APBD tahun 2008-2012 dapat
diperoleh data mengenai jumlah anggaran Belanja Modal, Pendapatan Asli
Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana
Alokasi Khusus (DAK). Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per
3.2. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder bersumber dari
dokumen laporan realisasi APBD yang diperoleh dari situs Dirjen Perimbangan
Keuangan Pemerintah Daerah melalui www.depkeu.djpk.go.id. Dari laporan
realisasi APBD ini diperoleh data mengenai jumlah anggaran belanja modal, dana
alokasi umum, dana alokasi khusus. Variabel Pertumbuhan Ekonomi yang
diproksikan oleh PDRB dan PAD bersumber dari BPS Lampung melalui
www.bps.go.id/lampung.
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.3.1 Variabel Penelitian
Variabel adalah apa pun yang dapat membedakan atau membawa variasi pada nilai
(Sekaran, 2002). Penelitian yang dilakukan adalah penelitian asosiatif kausal, yaitu
penelitian yang bertujuan untuk menganalisis hubungan antara dua variabel dengan
variabel lainnya atau bagaimana suatu variabel mempengaruhi variabel lainnya
(Sekaran, 2002 : 30). Pengujian ini untuk menganalisis secara empiris mengenai
pengaruh pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum terhadap belanja langsung.
3.3.1.1 Variabel Bebas (Independen)
Ghozali (2005) menjelaskan bahwa disebut variabel independen karena veriabel ini
tidak dipengaruhi oleh variabel antiseden (sebelumnya). Variabel independen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli
Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
3.3.1.2 Variabel Terikat (Dependen)
Ghozali (2005) menjelaskan bahwa disebut variabel dependen karena variabel ini
dipengaruhi variabel sebelumnya. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah
belanja modal.
3.3.2 Definisi Operasional
Definisi operasional variabel adalah suatu definisi yang diberikan pada suatu variabel
atau dengan cara memberikan arti atau menspesifikasikan kegiatan ataupun
membenarkan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut
(Sekaran, 2002).
Variabel Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan output per kapita
(Boediono, 1985). Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu ukuran kuantitatif
yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian daerah dalam suatu
tahun tertentu. Pertumbuhan Ekonomi diukur dengan rumus :
Dimana dalam pengukurannya menggunakan skala rasio. (Sumber : UU No. 33 tahun 2004).
Variabel Pendapatan Asli Daerah menurut UU No. 33 Tahun 2004 adalah
penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya
sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber
penerimaan daerah asli yang digali di daerah tersebut untuk digunakan sebagai
modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha
daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat.
Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil
Pertumbuhan Ekonomi = (�����−�����−1) x 100%
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah
yang sah. Variabel Pendapatan Asli daerah diukur dengan rumus :
(Sumber : UU No. 33 tahun 2004).
Variabel Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka
persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004).
Variabel Dana Alokasi Umum (DAU) adalah transfer yang bersifat umum dari
Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatasi ketimpangan horizontal
dengan tujuan utama pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Dana
Alokasi Umum untuk masing-masing Kabupaten / Kota dapat dilihat dari pos
dana perimbangan dalam Laporan Realisasi APBD. Rumusan alokasi Dana
Alokasi Umum untuk daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota dapat
dinyatakan sebagai berikut :
Dimana,
(Sumber : UU No. 33 tahun 2004).
Variable Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang bersumber dari APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas PAD = Pajak Daerah + Retribusi Daerah + Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah
yang Dipisahkan + Lain-lain PAD yang Sah
DAU = Celah Fiskal + Alokasi Dasar
nasional. Dana Alokasi Khusus untuk masing-masing Kabupaten / Kota dapat
dilihat dari pos dana perimbangan dalam Laporan Realisasi APBD.
Variabel dependen yang digunakan adalah belanja modal. Menurut PP Nomor 71
Tahun 2010, belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan
aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode
akuntansi. Belanja modal meliputi belanja modal untuk perolehan tanah, gedung
dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud.Indikator variabel ini diukur
dengan :
(Sumber : UU No. 33 tahun 2004).
3.4. Metode Analisis
3.4.1. Statistik Deskriptif
Penyajian statistik deskriptif bertujuan untuk melihat profil dari data penelitian
tersebut dengan hubungan yang ada antar variabel yang digunakan dalam
penelitian tersebut. Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah
Pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi
Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Belanja Modal.
3.4.2. Uji Asumsi Klasik
Sebelum dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis regresi
maka diperlukan pengujian asumsi klasik meliputi:
1. Uji Normalitas bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam variabel yang Belanja Modal = Belanja Tanah + Belanja Peralatan dan Mesin +
digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak digunakan dalam
penelitian adalah data yang memiliki distribusi normal (Nugroho, 2005).
Untuk menguji apakah distribusi normal atau tidak dapat dilihat melalui normal
probability plot dengan membandingkan distribusi kumulatif dan distribusi
normal. Data normal akan membentuk satu garis lurus diagonal, dan ploting
data akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data adalah
normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti
garis diagonalnya (Ghozali, 2005).
2. Uji Multikolinieritas, diperlukan untuk mengetahui apakah ada tidaknya
variable independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain
dalam satu model (Nugroho, 2005: 58). Selain itu deteksi terhadap
multikoliniearitas juga bertujuan untuk menghindari bias dalam proses
pengambilan keputusan mengenai pengaruh pada uji parsial masing-masing
variabel independen terhadap variable dependen. Deteksi multikolinieritas pada
suatu model dapat dilihat jika nilai Variance Inflation Factor (VIF) tidak lebih
dari 10 dan nilai Tolerance tidak kurang dari 0,1, maka model tersebut dapat
dikatakan terbebas dari multikolinieritas. VIF = 1/Tolerance, jika VIF = 10
maka Tolerance = 1/10 = 0,1.
3. Uji Heteroskedastisitas, bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
terjadi perbedaan variance residual suatu periode pengamatan ke periode
pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah model regresi yang
memiliki kesamaan variance residual suatu periode pengamatan dengan
pengamatan yang lain, atau homokesdastisitas. Menurut Ghozali (2005: 107)
terjadi heteroskedastitas. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya
heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan dengan Uji Glesjer. Asumsi utama
Uji Glesjer yaitu dengan melakukan regresi variabel independen terhadap
residual (Ghozali, 2005: 111).
4. Uji Autokorelasi, dilakukan untuk mengetahui apakah dalam model regresi
linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dan dengan
kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi,
maka dinamakan ada problem autokorelasi. Autokorelasi muncul karena
observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya.
Pengujian asumsi ketiga ini, dilakukan dengan menggunakan uji Durbin
Watson (Durbin-Watson Test), yaitu untuk menguji apakah terjadi korelasi
serial atau tidak dengan menghitung nilai d statistik. Salah satu pengujian yang
digunakan untuk mengetahui adanya autokorelasi adalah dengan memakai uji
statistik Durbin.Watson (DW test), dimana hasil pengujian ditentukan
berdasarkan nilai Durbin-Watson (Wardani, 2008).
Tabel 3.1
Kriteria Autokorelasi Durbin-Watson
DW Kesimpulan
< 1,414 Ada autokorelasi positif
1,414 - 1,724 Tanpa kesimpulan
1,724 - 2,276 Tidak ada autokorelasi
2,276 - 2,586 Tanpa kesimpulan
> 2,586 Ada auotokorelasi negative