PERANAN LEMBAGA KEAGAMAAN
DALAM MEMBINA KEBERAGAMAAN MUALLAF
(Studi Kasus Di Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah Pondok Cabe Ilir poncol)
Oleh
ABDULLAH WARID WH NIM: 2030322048
JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan kuasanya telah memberikan inspirasi dan bimbingan-Nya kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa disampaikan kepada
junjungan Nabi Besar Muhammad Saw beserta keluarga dan para sahabatnya. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini jauh dari baik, apalagi
sempurna. Sekalipun penulis mencoba berusaha melakukan yang terbaik, namun masih ada banyak kekurangan dan kelemahan yang dapat ditemukan. Dengan demikian, penulis membuka diri untuk menerima masukan dan kritik yang
konstruktif demi perbaikan skripsi dan diri penulis.
Penulis tidak dapat menghindari keterlibatan banyak pihak dalam
penulisan skripsi ini. Karena kata pepatah al-rajulu ibnu bi'atihi (orang itu anak dari lingkungannya). Maka, boleh jadi apa yang tertuang dalam skripsi ini ada pikiran-pikiran mereka yang terkutip yang tidak disadari penulis. Motivasi,
nasehat, teguran dan peringatan dari mereka, hingga penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis merasa sangat perlu untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak DR. M. Amin Nurdin, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, yang telah memberikan kebijakan-kebijakan yang cukup berarti bagi penulis.
2. Bapak Drs. Harun Rasyid, MA. selaku Direktur Ekstensi yang telah membantu penulis selama masa perkuliahan.
3. Joharatul Jamilah, M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
4. Pimpinan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah dan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat yang telah memberikan fasilitas pada penulis.
5. Drs. H. Abdul Karim SA. selaku pengasuh Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah yang telah mengorbankan waktu dan menerima penulis untuk
mengadakan penelitian dan wawancara guna untuk mengumpulkan bahan-bahan dan melengkapi data yang berhubungan dengan penulisan skripsi.
6. Keluarga di madura, Aba dan Umi yang telah mengajariku "belajar hidup mandiri" dan yang mengajariku untuk tetap tabah dalam menghadapi segala cobaan dan rintangan yang datang menghadang. Dan adikku Zahratut
Tamamah WH. yang saat ini dalam pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman An-Nuqayah (STIKA). Kakak-ku tercinta M. Qudsi WH. yang
selama ini telah memberikan saran, semangat belajar kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi sebagai syarat akhir dari study di UIN Jakarta. 7. Teman-teman di Jurusan sosiologi Agama angkatan 2003 yang telah
memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya atas koreksi dan perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga Yang Maha Kuasa memberikan balasan yang setimpal. Amin yaa
Rabbal al-alamin.
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5
D. Metodologi Penelitian ... 5
E. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Agama dan Lembaga Keagamaan ... 10
1. Pengertian Agama dan Keberagamaan ... 10
2. Pengertian Lembaga Keagamaan... 18
3. Fungsi Agama dan Lembaga Keagamaan... 20
B. Definisi Peranan ... 25
C. Muallaf ... 27
1. Pengertian Muallaf ...27
2. Konversi Agama dan Prosesnya...28
3. Pengalaman Keberagamaan Pada muallaf ...30
BAB III GAMBARAN UMUM YAYASAN SOSIAL PENDIDIKAN AL-KARIMIYAH
A. Sejarah Berdirinya... 38
B. Visi dan Misi ... 39
C. Tujuan dan Struktur Kepengurusan ... 40
D. Sistematika Pengislaman Muallaf di Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah ... 41
E. Profil Muallaf ... 42
F. Pola Pembinaan dan Bentuk-bentuk Kegiatan... 49
BAB IV PERAN YAYASAN SOSIAL PENDIDIKAN AL-KARIMIYAH DALAM MEMBINA KEBERAGAMAAN MUALLAF A. Ilmu Pengetahuan ... 52
B. Akidah atau Keyakinan ... 55
C. Ibadah ... 56
D. Amal Shalih ... 59
E. Penghayatan ... 60
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 61
B. Saran ... 62
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Di zaman sekarang ini, kebutuhan manusia semakin kompleks dan permasalahan yang dihadapi pun beragam pada berbagai bidang kehidupan. Maka
modal pertama yang harus dimiliki setiap orang yang merindukan kebahagiaan adalah ketenangan jiwa.1 Salah satu cara untuk mendapatkannya adalah melalui sebuah agama, sehingga manusia disebut makhluk yang beragama. Di dalam buku
pengantar ilmu jiwa dikatakan bahwa tatkala Allah membekali manusia itu dengan nikmat berpikir dan daya penelitian, diberinya pula rasa bingung dan
bimbang untuk memahami dan belajar mengenali alam sekitarnya disamping rasa ketakutan terhadap kegarangan dan kebengisan alam. Hal inilah yang mendorong manusia tadi untuk mencari sesuatu kekuatan yang dapat melindungi dan
membimbingnya di saat-saat yang gawat.2
Kebutuhan spiritual ini merupakan kebutuhan untuk mempertahankan, mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama serta kebutuhan
untuk mendapatkan pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya pada Tuhan.3 Karena manusia itu beragam serta mempunyai keterbatasan
untuk mengatasi masalah tersebut. Apabila seseorang memiliki kepribadian yang displatis (terpecah), maka orang itu akan mudah terjebak oleh perasaan frustasi
1
Zakiah Darajat, Pembinaan Jiwa Mental (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 12. 2
Djalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 70.
3
(kegagalan) yang nantinya akan berkiblat pada sikap pesimis (putus asa) dan tidak
berdaya terhadap problem yang dihadapinya.4
Tak heran lagi, jika sekarang ini banyak manusia yang mengalami gangguan mental spiritual dalam dirinya. Adalah konflik keagamaan yang
menimbulkan adanya paham yang berkecamuk dalam hati manusia itu sendiri serta hampir putus asa dalam menjalani hidupnya.
Oleh karenanya kekuatan spiritual seseorang sangatlah ditentukan oleh kedalaman keyakinan (aqidah), kebenaran nilai-nilai ibadah, dan ketulusan solidaritas diri. Adapun sumber dari gangguan tersebut terletak pada fungsi-fungsi
yang tidak normal serta tidak harmonis dan tidak stabil ketika mengalami dilematis atau juga keterbatasan dalam hidup. Penyakit mental dapat merasuki
berbagai kalangan baik dikalangan masyarat kecil maupun menengah sampai elit pun mengalami yang namanya gangguan mental, akan tetapi tergantung pada kadar penyakit yang dideritanya. Pengaruh mental tersebut sangatlah besar dalam
menentukan berbagai segi kehidupan, maka ketenangan jiwa adalah modal utama yang harus dimiliki oleh setiap orang yang merindukan kebahagiaan hidup.5
Ketika seseorang mengalami konversi agama, di mana seseorang masuk
atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan lain yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.6 Maka, ketika itu dia membutuhkan bimbingan yang
dapat mengarahkan kemana dia akan jalani hidup ini. Adapun orang yang berkompeten dalam menangani hal tersebut adalah tokoh-tokoh agama antara lain; para kyai, dan ustadz yang tentunya berpengalaman dan profesional.
4
M. Arifin, Teori-Teori Konseling dan Agama (Jakarta: PT Golden Terayon, 1996)), h. 3. 5
Zakiah Darajat, Pembinaan Jiwa Mental, h. 15. 6
Konversi agama terkadang terjadi disebabkan oleh kegelisahan terhadap
agama, jika tidak mendapatkan solusi dari problem yang dihadapinya, karena segala bentuk kehidupan batinnya yang semula mempunyai pola tersendiri berdasarkan pandangan hidup yang dianutnya (agama), maka setelah terjadi
konversi agama pada dirinya pandangan hidup tersebut akan ditinggalkannya. Segala bentuk perasaan batin terhadap kepercayaan lama seperti: harapan,
keselamatan, kemantapan berubah menjadi berlawanan arah. Lalu timbullah gejala-gejala baru berupa; perasaan serba tak lengkap dan tidak sempurna. Gejala ini menimbulkan proses kejiwaan dalam bentuk merenung, timbulnya tekanan
batin, penyesalan diri, rasa berdosa, cemas terhadap masa depan, perasaan susah yang ditimbulkan oleh kebimbangan. Perasaan yang berlawanan itu timbul dalam
batin sehingga untuk mengatasi masalah tersebut harus dicari jalan penyalurnya.7 Berbicara masalah pembinaan muallaf tidak jauh berbeda ketika berbicara masalah pembinaan terhadap orang Islam lainnya, hal tersebut dapat dilaksanakan
oleh siapapun. Akan tetapi selama ini yang menjadi masalah adalah banyak lembaga-lembaga keagamaan seperti masjid dan lain-lain yang menangani permasalahan muallaf hanya sebatas mengadakan prosesi pengislaman semata
tanpa ada tindak lanjut (follow up). Padahal banyak muallaf-muallaf yang merasa malu dalam mempelajari agama ketika mereka harus bergabung dengan muslim
lainnya yang sudah lama masuk Islam. Sebagai seorang muallaf yang baru masuk Islam membutuhkan kasih sayang, bimbingan dari orang-orang yang berkompeten dalam menangani masalah tersebut.
7
Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah adalah salah satu yayasan yang
bergerak dibidang keagamaan yang mempunyai peran strategis dalam meningkatkan pemahaman tentang keagamaan muallaf dan membantu para muallaf dalam memberikan pengertian yang lebih dalam mengenai ajaran-ajaran
yang ada dalam agama Islam serta memantapkan keyakinan mereka melalui program-program khusus untuk para muallaf tentang Islam secara baik dan benar
untuk lebih berislam secara Kaffah.
Dari latar belakang pemikiran di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis peranan pembinaan Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah,
karena yayasan tersebut memiliki peranan dalam membimbing dan mengarahkan muallaf. Oleh karena itu, dalam penulisan skripsi ini penulis sengaja mengambil
judul: “Peranan Lembaga Keagamaan Dalam Membina Keberagamaan Muallaf: Studi Kasus Di Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah Pondok Cabe Ilir Poncol".
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk menghindari kerancuan dalam penelitian ini, maka peneliti sengaja membuat suatu batasan. Ruang lingkup masalah yang akan diteliti dibatasi pada
kegiatan keagamaan yang terdapat pada salah satu lembaga sosial di yayasan sosial pendidikan al-Karimiyah.
Kemudian untuk memperjelas permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan penelitian ini, maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimanakah peranan Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah dalam
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengungkap dan memperjelas tentang pembinaan keberagamaan muallaf di Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah Pondok Cabe.
Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah: 1. Kegunaan Bagi penulis
Melatih berpikir ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah melalui penelitian langsung pada objek tertentu yang menjadi sasaran, sehingga ilmu yang selama ini dipelajari dapat diaplikasikan, serta sebagai syarat
untuk memperoleh gelar sarjana S1 Fakultas Ushuluddin dan filsafat Jurusan sosiologi Agama di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Kegunaan Bagi Lembaga
Sebagai salah satu referensi bagi pengelola lembaga sosial pendidikan keagamaan (yayasan, pesantren, dan sebagainya) untuk mengembangkan
dan meningkatkan bidang pembinaan moral. D. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penlitian ini adalah metode kualitatif, yaitu
studi tentang suatu penelitian yang berupaya menghimpun data, mengolah dan menganalisis secara deskriptif dengan menafsirkan secara kualitatif. Untuk itu
Menurut Bogdan dan Taylor bahwa metodologi penelitian kualitatif adalah
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.8
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah Yayasan Sosial Pendidikan Al-Karimiyah, sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang peduli terhadap keberadaan
para muallaf, dan objek penlitian ini adalah peranan yayasan sosial pendidikan al-Karimiyah dalam membina keberagamaan para muallaf yang berjumlah 6 orang. Sedangkan yang diperoleh berupa wawancara dengan pengasuh yayasan,
staf-stafnya untuk mendapatkan gambaran tentang yayasan al-Karimiyah, yang merupakan data primer. Sedangkan data sekunder berupa literatur yang berkaitan
dengan penelitian ini yang didapat melalui peneliltian kepustakaan. Dari data yang diperoleh dengan menggunakan metode tersebut, peneliti akan menyimpulkan sebagai kesimpulan akhir.
2. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi
Penulis melakukan observasi untuk memperoleh data dalam bentuk
mengamati serta mengadakan pencatatan dari hasil observasi. Teknik observasi yang penulis lakukan adalah bersifat langsung mendatangi
Yayasan Sosial Pendidikan Al-Karimiyah, di wilayah tersebut terdapat informan sebagai nara sumber dari peneliti.
8
b. Wawancara
Untuk mendukung analisa tersebut, penulis melakukan wawancara secara langsung kepada pihak pengasuh dan muallaf dengan mengajukan beberapa pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan, kemudian
setelah itu dijawab oleh pemberi data dengan bebas dan terbuka. Adapun nara sumber yang diwawancarai adalah Drs. Abdul Karim SA, sebagai
pengasuh sekaligus ketua, Drs. Agus Shirly sebagai sekretaris Yayasan Sosial Pendidikan Al-Karimiyah, dan sebagian para muallaf.
Dalam pelaksanaan wawancara penulis menggunakan metode sebagai
berikut:
• Wawancara bebas (inguided interview), dimana penulis bebas
menanyakan apa saja yang berkaitan yang diinginkan, tetapi ia juga harus mengingat akan data apa yang akan dikumpulkan. Dalam pelaksanaannya
pewawancara tidak membawa pedoman apa yang akan ditanyakan.
• Wawancara terpimpin (guided interview), yaitu wawancara yang
dilakukan dengan membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci.9
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian ini adalah
pedoman wawancara, tape recorder, dan buku catatan. Pedoman wawancara digunakan agar lebih fokus menggali apa yang menjadi sasaran penelitian.
Sedangkan tape recorder digunakan untuk merekam kata-kata yang dikatakan oleh
9
informan, sedangkan buku catatan digunakan untuk mncatat hal-hal yang tidak
dapat terekam.
c. Proses Penafsiran
Dalam penafsiran ini penulis melakukan analisis selama pengumpulan data
dengan menggunakan beberapa bukti, membangun rangkaian bukti dan mengklarifikasinya. Setelah data itu direduksi dan dilakukan berbagai
proses pemilihan pemusatan perhatian dan penyederhanaan data dasar. Selanjutnya dilakukan penyajian data yang merupakan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan.
E. Sitematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan pada pelitian ini, penulis membagi menjadi lima bagian:
Bab Pertama, yaitu pendahuluan, penulis membahas mengenai latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah. Kemudian, agar tulisan terfokus, maka tujuan penelitian, metodologi penelitian, tempat penelitian, sistematika penelitian.
Bab Kedua, bagian ini menguraikan mengenai pengertian agama dan lembaga keagamaan, fungsi agama, pengertian muallaf dan definisi peranan,
konversi agama serta faktor-faktor yang mempengaruhi konversi agama.
Bab Ketiga, membahas tentang gambaran umum subjek penelitian seperti latar belakang berdirinya Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah, visi dan misi,
Sosial Pendidikan al-Karimiyah, profil muallaf, dan pola pembinaan dan
bentuk-bentuk kegiatan.
Bab keempat, menjelaskan hasil penelitian berupa keberagamaan muallaf setelah mendapatkan pembinaan dilihat dari beberapa segi antara lain; ilmu
pengetahuan, aqidah, ibadah, amal shalih, penghayatan.
Sebagai bab terakhir, penulis menyimpulkan dan saran dari penelitian
BAB II
TINJAUAN TEORITIS A. Agama dan Lembaga Keagamaan
Pada bagian ini akan diuraikan tentang pengertian agama dan keberagamaan, pengertian lembaga keagamaan, fungsi-fungsi agama dan lembaga
keagamaan, dimensi-dimensi keberagamaan, definisi peranan, pengertian muallaf, konversi agama, dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi agama.
1. Pengertian agama dan keberagamaan
Secara etimologis kata “agama” berasal dari bahasa sansakerta agama
yang berarti tidak kacau. Untuk menyatakan konsep ini agama berasal dari dua
kata, yaitu “a” yang berarti tidak dan ‘gama” yang berarti kacau. Dari pengertian ini, dapat dikatakan bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur
kehidupan manusia agar tidak kacau. Dalam istilah yang sama juga ditemukan kata religi yang berasal dari bahasa latin yaitu religio dan berakar pada kata kerja
religare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan berreligi, seseorang
mengikat dirinya kepada Tuhan.10
Secara umum, agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan
peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Aturan-aturan tersebut penuh dengan muatan sistem-sistem nilai, karena pada dasarnya aturan-aturan tersebut
bersumber pada etos dan pandangan hidup. Karena itu juga, aturan-aturan dan peraturan-peraturan yang ada dalam agama lebih menekankan pada hal-hal yang
10
normatif atau yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan dan bukannya berisikan
petunjuk-petunjuk yang bersifat praktis dan teknis dalam hal manusia menghadapi lingkungannya dan sesamanya.11
Dalam perspektif sosiologis, agama tidak dipandang sebagai sebuah
keyakinan yang diturunkan Tuhan kepada umatnya tapi agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu.12
Agama dalam pengertian sosiologi merupakan gejala sosial yang general dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia. Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat.
Agama juga bisa dilihat sebagai unsur kebudayaan suatu masyarakat disamping unsur-unsur yang lain seperti kesenian, bahasa, sistem mata pencaharian, suku
peralatan, dan sistem organisasi sosial.13 Menurut Emile Durkheim bahwa agama merupakan sumber semua kebudayaan yang sangat tinggi. Sedangkan menurut Marx bahwa agama merupakan candu bagi manusia. Maksudnya manusia dibius
dalam suasana ketertindasan, menjanjikan pahala di kehidupan akhirat atau memberikan jalan ritual mencapai kegembiraan luar biasa sebagai kompensasi atau status yang rendah atas penindasan yang dialami.14
Menurut J. Milton Yinger bahwa agama merupakan sistem kepercayaan dan praktek dimana suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga
menghadapi masalah terakhir dalam hidup. Dunlop juga menambahkan bahwa agama sebagai sarana terakhir yang sanggup menolong manusia bilamana instansi
11
Parsudi Suparlan, Kebudayaan dan Pembangnunan, (Jakarta: 1996), h. 2. 12
Thomas F.O’Dea, Sosiologi Agama, Suatu Pengantar Awal, (Jakarta: CV. Rajawali Press, 1985), h. 1.
13
Dadang kahmad, Sosiologi Agama, h. 14. 14
lainnya gagal tak berdaya. Maka ia merumuskan bahwa agama sebagai suatu
instansi atau bentuk kebudayaan yang menjalankan fungsi pengabdian kepada umat manusia jika suatu institusi atau lembaga lain tidak bisa menanganinya.15
Seorang tokoh sosiologi agama Thomas F.O’Dea dalam teori
fungsionalisnya mengatakan bahwa agama merupakan pendayagunaan sarana-sarana supra empiris untuk maksud-maksud non empiris atau supra empiris.16
Selain itu juga, agama merupakan tanggapan manusia terhadap titik kritis dimana dia bersentuhan dengan kekuatan tertinggi dan sakral.
Elizabeth K. Nottingham mengatakan bahwa agama bukan sesuatu yang
dapat dipahami melalui definisi, melainkan melalui deskripsi (penggambaran).17 Tidak ada definisi tentang agama yang benar-benar memuaskan. Karena satu hal,
agama dalam keanikaragamannya yang hampir tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan definisi (batasan). Agama adalah gejala yang begitu sering terdapat di mana-mana sehingga sedikit
membantu usaha-usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah. Agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta.
Menurut Dister bahwa agama merupakan hubungan yang dihayati manusia dengan yang transinden yang melebihi dan mengatasi alam ciptaan ini (Tuhan).
Hubungan tersebut bersifat lahir dan batin. Yang bersifat lahir, agama menyangkut kelakuan, perilaku, atau tindak tanduk tertentu yang mengungkapkan
15
Hendro Puspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1983), h. 35. 16
Hendro Puspito, Sosiologi Agama, h. 34. 17
segi batin dalam praktek kehidupan. Sedangkan yang bersifat batin, agama
menyangkut perasaan, keinginan, harapan, dan keyakinan yang dimiliki manusia terhadap kekuasaan yang transinden.18
Agama merupakan sistem keyakinan, pemujaan yang bertujuan
mengekang berbagai dorongan hasrat problematis manusia; memberikan petunjuk dan peraturan moral bagi pemeluknya tentang bagaimana menjalani kehidupan
yang dipertahankan dan diperkuat lewat interaksi kelompok; juga memberikan koherensi serta kontinuitas akan pengalaman-pengalaman manusia ke dalam suatu kebutuhan. Selain itu juga, agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran
penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada di luar jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya supra natural sehingga diharapkan dapat
mengatasi masalah-masalah yang empirik.
Dalam disiplin perbandingan agama, suatu aliran kepercayaan bisa disebut sebagai agama apabila di dalamnya terdapat lima aspek, kelima aspek tersebut
antara lain; adanya ajaran-ajaran kepercayaan (aqidah), adanya sistem pemujaan atau penyembahan (ibadah atau ritual), adanya aturan-aturan dalam melaksanakan hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia (syari’at), adanya Nabi yang
membawa risalah, adanya kitab suci yang dijadikan sumber hukum penghambaan manusia kepada tuhannya. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung
kelima aspek tersebut dapat disebut agama.19
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama merupakan sarana kebudayaan bagi manusia dan dengan sarana itu dia mampu menyesuaikan diri
18
Nico Syukur Dister, Psikologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 9. 19
dengan pengalaman-pengalamannya dalam keseluruhan lingkungan hidupnya;
termasuk dirinnya sendiri, anggota-anggota kelompoknya, alam, dan lingkungan lain yang dia rasakan sebagai sesuatu yang tidak terjangkau. Agama merupakan institusi yang mengayomi dan mengatur kehidupan manusia yang lebih
menunjukkan kepada Tuhan dalam aspek yang resmi serta jelas peraturan-peraturan dan hukumnya.
Agama dan keberagamaan adalah dua istilah yang dapat dipahami secara terpisah, meskipun keduanya mempunyai makna yang sangat erat. Agama adalah sebuah konsep yang terpisah dari penganutnya, dan setelah mendapat awalan
"ber" kata agama menjadi "keberagamaan" yang mempunyai arti menganut (memeluk agama) dan beribadah, taat pada agama serta baik hidupnya menurut
agama.20 Keberagamaan berarti pengalaman atau fenomena yang menyangkut hubungan antara agama dengan penganutnya untuk bertingkah laku yang sesuai dengan agamanya.21
Agama memiliki fungsi pengawasan sosial terhadap tingkah laku masyarakat dan merasa ikut bertanggung jawab atas adanya norma-norma yang baik yang berlaku untuk masyarakat. Menurut Abd. Aziz al-Bone dalam
paloutziah bahwa keberagamaan adalah ketergantungan terhadap Tuhan dan kehidupan abstrak dan kometmen kepribadian seseorang, cara berpikir, berbuat,
berprilaku moral serta tindakan lainya.22
20
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 9.
21
Jamaluddin Ancok, PsikologiIslami, h. 76. 22
Muhammad Djamaluddin mendefinisikan bahwa keberagamaan adalah
“manifestasi” seberapa jauh individu penganut agama meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari dalam semua aspek kehidupan.23
Hamka memberikan pandangan bahwa keberagamaan bukanlah 'uzlah atau kecenderungan untuk menarik diri, melainkan dia memberikan dorongan kepada
setiap orang untuk "berani hidup" tapi "tidak takut mati" keberanian untuk hidup itu hanya akan timbul jika orang bisa menangkap makna hidup.24
Berkaitan dengan keberagamaan islam, kualitas keberagamaan seseorang
ditentukan oleh seberapa jauh individu memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran serta perintah Allah secara menyeluruh dan optimal. Untuk mencapai hal
tersebut maka diperlukan iman dan ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan sehingga fungsi sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia dan seluruh alam dapat dirasakan. Keberagamaan Islam meliputi jasmani dan rohani, pikiran dan
dzikir, aqidah dan ritual, peribadatan, penghayatan dan pengamalan, akhlak, individu dan sosial masyarakat serta masalah duniawi dan akhirat.25
Dalam dimensi aqidah seseorang harus meyakini dan mengimani aspek
dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat digoyahkan. Keyakinan seperti itu akan diperoleh oleh seseorang dengan argumentasi (dalil
aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan tersebut pada intinya berkisar pada
23
Muhammad Djamaluddin, Religiusitas dan Stress Kerja Pada Polisi (Yogyakarta: UGK Press, 1995), h. 44.
24
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim I (Bandung: Mizan, 1996), h. 375.
25
keimanan kepada Allah dan hari akhir. Selanjutnya dalam dimensi syariat adalah
konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan mengamalkan syariat representasi dari keyakinan sehingga sulit dipercaya jika seorang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir tetapi tidak mengindahkan syariatnya, karena syariat
merupakan kewajiban dan larangan yang datang darinya. Maksudnya adalah keyakinan harus disertai dengan pengamalan kepada Allah.26
Menurut penulis bahwa keberagamaan adalah bagaimana seseorang itu berprilaku dalam beragama, ia memahami dan mengamalkan ajaran agamanya sesuai dengan perintah Allah dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam isi atau dimensi. Seperti yang diungkapkan Glock dan Stark, agama adalah sistem simbol,
keyakinan, dan sistem perilaku yang terlembagakan. Dengan demikian agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak. Glock dan Stark menyatakan bahwa ada lima dimensi keberagamaan, yaitu: keyakinan (ideological),
peribadatan dan praktek agama (ritualistic), pengalaman (experiental), pengetahuan agama (intellectual), konsekuensi-konsekuensi (consequential).27
Fuad Nashori terinspirasi untuk membagi religiusitas (agama islam)
menjadi lima dimensi, yaitu: dimensi akidah, dimensi ibadah, dimensi amal shalih, dimensi ihsan, dimensi ilmu.
Pertama, dimensi akidah (Ideologi/keyakinan) dimensi ini menyangkut keyakinan dan hubungan manusia dengan Tuhan, Malaikat, Kita-kitab yang diturunkan Allah, para Nabi, hari pembalasan, serta qadha dan qadar, kebenaran
26
http/www.al-Shina.com/html/id/service/maqolat/agama. 27
agama, dan masalah-masalah gaib yang diajarkan agama. Inti dari dimensi ini
adalah tauhid atas mengesakan Allah.
Kedua, dimensi Ibadah (Ritual), dimensi ini diketahui dari sejauh mana tingkat kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ibadah
sebagaimana yang diperintahkan oleh agamanya. Dimensi ini berkaitan dengan frekuensi, dan intensitas pelaksanaan ibadah seseorang.
Ketiga, dimensi amal (pengamalan), Dimensi ini berkaitan dengan kegiatan pemeluk agama untuk merealisasikan ajaran-ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan pada etika dan
spiritualitas agama. Dimensi ini menyangkut hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya.
Keempat, Dimensi ihsan (penghayatan) dimensi ini berkaitan dengan seberapa jauh seseorang dekat dan dilihat oleh Allah dalalm kehidupan sehari-hari. Dimensi ihsan mencakup pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Allah,
keyakinan menerima balasan, perasaan dekat dengan Allah, dan dorongan untuk melaksanakan perintah agama.
Kelima, dimensi ilmu (pengetahuan), dimensi ini berkaitan dengan
pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya. Orang-orang yang beragama paling tidak harus mengetahui hal-hal pokok mengenai
dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi. Al-qur’an merupakan pedoman hidup sekaligus sumber ilmu pengetahuan bagi umat Islam28
28
2. Pengertian lembaga keagamaan
Secara sosiologis lembaga keagamaan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi
hukum guna untuk mencapai kebutuhan dasar yang berkenaan dengan dunia supra-empiris.29
Istilah lembaga keagamaan adalah merupakan organisasi yang dibangun oleh manusia yang bertujuan mengembangkan kehidupan beragama yang harmonis, semarak, dan mendalam yang ditandai dengan semakin meningkatnya
kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkembangnya akhlak mulia bagi masyarakat. Lembaga keagamaan atau
organisasi keagamaan adalah salah satu unsur yang mempunyai tanggung jawab dalam menunjang keberhasilan dibidang keagamaan.
Keberadaan lembaga keagamaan merupakan lembaga sosial keagamaan
yang memegang peranan penting dalam pembinaan kehidupan keagamaan masyarakat. Peranan tersebut tampak dalam kegiatan penyelenggaraan pendidikan baik formal maupun non formal, serta keaktipan lembaga keagamaan dalam
kegiatan amal dan pembinaan kerukunan hidup beragama. Masyarakat masih merasakan manfaatnya yang besar dari peran lembaga keagamaan dalam
pembinaan kehidupan keagamaan masyarakat.30
Lembaga keagamaan dimaksudkan adalah untuk membentuk prilaku sesuai dengan pola yang ditentukan oleh doktrin agama. Apabila lembaga
29
Hendro Puspito, Sosiologi Agama, h. 114. 30
keagamaan tersebut ingin berhasil dalam mempengaruhi masyarakat sesuai
dengan arah dan tujuannya, maka lembaga tersebut harus berhasil dalam dua sektor: Pertama, lembaga tersebut harus menertibkan peran anggota sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapai. Kedua, apabila lembaga tersebut juga ingin
mempengaruhi masyarakat yang lebih luas, maka harus mengembangkan lembaga dan memperbesar pengaruhnya yang potensial dengan cara memasukkan
orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan di luar lingkungan mereka. Oleh karena itu lembaga keagamaan dihadapkan kepada dua pilihan: melestarikan kemurnian etik dan spiritual dengan resiko lingkungan pengaruh sosialnya
terbatas, atau jika lembaga tersebut ingin berpengaruh kuat dalam masyarakat tertentu, mungkin resikonya adalah mengorbankan semua atau sebagian dari
cita-cita utamanya itu sendiri.31
Oleh karena itu lembaga keagamaan sebenarnya merupakan agen perubahan sosial yang mampu memberi pengalaman dan pengetahuan bagi
masyarakat akan perlunya perubahan ke arah yang lebih baik dalam kehidupan keagamaan maupun dalam kehidupan sosial.
Dengan demikian lembaga keagamaan perlu didorong agar terus
mengembangkan perannya sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat. Oleh karena itu keterlibatan lembaga keagamaan sebagai agen perubahan sosial masih sangat
dibutuhkan masyarakat.32
31
Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, h. 145. 32
3. Fungsi agama dan lembaga keagamaan
a. Fungsi agama
Fungsi agama tidak dapat dilepas dari tantangan-tantangan yang dihadapi manusia dan masyarakatnya. Tantangan-tantangan tersebut dikembalikan pada
tiga hal antara lain; ketidak pastian, ketidak mampuan, dan kelangkaan. Untuk mengatasi semua itu manusia lari kepada agama, karena manusia percaya dengan
keyakinan yang kuat, bahwa agama memiliki kesanggupan yang definitif dalam menolong manusia. Dengan kata lain, manusia memberikan suatu fungsi tertentu kepada agama. Di bawah ini akan disebutkan fungsi-fungsi agama antara lain
sebagai berikut:
1. Fungsi sebagai edukatif
Manusia mempercayakan fungsi edukatif kepada agama yang mencakup tugas mengajar dan tugas bimbingan. Lain dari instansi (institusi profan) agama dianggap sanggup memberikan pengajaran yang otoritatif, bahwa dalam hal-hal
yang “sakral” tidak dapat salah. Agama menyampaikan ajarannya dengan perantara petugas-petugasnya baik di dalam upacara (perayaan) keagamaan, khutbah, renungan (meditasi), pendalaman rohani dan lain-lain. Untuk
melaksanakan tugas itu ditunjuk sejumlah fungsionaris seperti: dukun, kyai, pendeta, imam, nabi. Mengenai yang disebut Nabi ini dipercayai bahwa
penunjukannya dilakukan oleh Tuhan sendiri. Kebenaran ajaran agama yang harus diterima dan yang tak dapat keliru, didasarkan atas kepercayaan penganut-penganutnya, bahwa dapat berhubungan langsung dengan “yang ghaib” dan yang
Tugas bimbingan yang diberikan petugas-petugas agama juga dibenarkan
dan diterima berdasarkan pertimbangan yang sama. Masyarakat mempercayakan anggota-anggotanya kepada instansi agama dengan keyakinan bahwa mereka sebagai manusia (di bawah bimbingan agama) akan berhasil mencapai
kedewasaan pribadinya yang penuh melalui peroses hidup yang telah ditentukan oleh hukum pertumbuhan yang penuh ancaman dari situasi yang tidak menentu
dan marabahaya yang dapat menggagalkannya mulai dari masa kelahiran dan anak-anak menuju kemasa remaja dan masa dewasanya.33
2. Fungsi sebagai penyelamatan
Dimanapun manusia berada dia selalu menginginkan dirinya selamat, baik dalam hidup sekarang maupun sesudah mati. Usaha untuk mencapai cita-cita
tertinggi (yang tumbuh dari naluri manusia sendiri) itu tidak boleh dipandang ringan begitu saja. Jaminan untuk itu mereka temukan dalam agama. Terutama karena agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara yang khas
untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yang pencapaiannya mengatasi kemampuan manusia secara mutlak, karena kebahagiaan itu berada di luar batas kekuatan manusia (breking point).34 Dalam mencapai keselamatan itu
agama mengajarkan para penganutnya melalui pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan. Pelaksanaan pengenalan kepada unsur (dzat
supranatural) itu bertujuan agar dapat berkomunikasi baik secara langsug maupun dengan perantara langkah menuju kearah itu secara praktisnya dilaksanakan dengan berbagai cara sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, diantaranya;
33
Hendro Puspito, Sosiologi Agama, h. 38. 34
mempersatukan diri dengan Tuhan (pantheisme), pembebasan dan pensucian diri
(penebusan dosa) dan kelahiran kembali (reinkarnasi). Untuk itu dipergunakan berbagai lembaga keagamaan. Kehadiran Tuhan dapat dihayati secara batin maupun benda-benda lambang. Kehadiran dalam bentuk penghayatan batin yaitu
melalui meditasi, sedangkan kehadiran dalam menggunakan benda-benda lambang melalui: pertama, theophanea spontanea, kepercayaan bahwa Tuhan
dapat dihadirkan dalam benda-benda tertentu: tempat angker, gunung, area dan lainnya. Kedua, theophanea invocativa: kepercayaan bahwa Tuhan hadir dalam lambang karena dimohon, baik melalui invocativa magis (mantra, dukun) maupun
invocativa religius (permohonan, do’a, kebaktian dan sebagainya).35 3. Fungsi sebagai kontrol sosial
Agama merasa ikut bertanggung jawab atas adanya norma-norma susila yang baik yang diberlakukan atas masyarakat manusia umumnya. Maka agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang ada dan mengukuhkan yang baik sebagai
kaidah yang baik dan menolak kaidah yang buruk untuk ditinggalkan sebagai larangan atau tabu. Agama memberi juga sanksi-sanksi yang harus dijatuhkan kepada orang yang melanggarnya dan mengadakan pengawasan yang ketat atas
pelaksanaannya.
Kaidah-kaidah moral yang asli tercantum dalam hukum adat. Hukum itu
merupakan cetusan hati nurani masyarakat yang hidup dalam kesadaran masyarakat dan dinilai sebagai pusaka suci yang berasal dari para leluhur yang menerimanya dari Tuhan. Sebagaimana adanya hukum adat merupakan suatu
35
kompleks kebiasaan dengan kadar moral yang bervariasi dari yang berbobot moral
(harus) turun ke yang berkadar kepantasan hingga yang berbobot sopan santun yang mengatur prilaku lahiriah. Dalam masyarakat di mana adat dan agama masih menjadi satu, maka pengawasan-pengawasan (kontrol) atas hukum yang tidak
tertulis itu dilaksanakan oleh kepala adat (yang sekaligus kapala agama).36 4. Fungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu-kesatuan; iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan
kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Pada beberapa agama rasa persaudaraan itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan.37
5. Fungsi sebagai transformatif
Mengenai fungsi ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui arti dari kata “transformatif” karena fungsi ini menurut pengertiannya berbeda dengan
pengertian pengawasan dan kenabian. Kata transfomatif berasal dari kata latin “transformare” artinya mengubah bentuk jadi fungsi transformatif (yang dilakukan kepada agama) berarti mengubah bentuk kehidupan masyarakat lama
dalam bentuk kehidupan baru. Ini berarti mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru. Jadi fungsi transformatif adalah mengubah
kesetiaan manusia adat kepada nilai-nilai adat yang kurang menusiawi dan membentuk kepribadian manusia yang ideal.38
36
Hendro Puspito, Sosiologi Agama, h. 44-45. 37
Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, h. 128. 38
Selain itu juga, agama memiliki peranan penting terhadap pemeliharaan
masyarkat, ialah dalam kehidupan masyarakat mereka pasti akan melaksanakan tugas-tugas sosial untuk kelangsungan hidupnya dan pemeliharaannya sampai batas-batas tertentu. Agama merupakan salah satu bagian yang memenuhi
kebutuhan itu. Sebagai contoh adalah kehidupan ekonomi, bahwa roda ekonomi akan berjalan tergantung pada apakah antara manusia yang satu dengan yang lain
saling menaruh kepercayaan bahwa mereka akan memenuhi kewajiban-kewajiban bersama dibidang tersebut (keuangan). Hal ini memerlukan kekuatan yang memaksa dan mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan mau mengorbankan
kepentingan pribadinya demi kepentingan tugas dan kewajiban.39
Sebagai suatu kelengkapan yang penting bagi terlaksananya fungsi agama
sebagai pemersatu adalah sumbangan fungsionalnya terhadap sosialisasi masing-masing anggota masyarakat. Setiap disaat dia tumbuh menjadi dewasa memerlukan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan
aktivitas manusia dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya.40
b. Fungsi lembaga keagamaan
1. Memelihara dan meningkatkan kualitas kehidupan beragama.
2. Merupakan tempat silaturrahmi yang dapat menumbuhkan rasa
persaudaraan.
3. Untuk melayani kebutuhan bagian keagamaan secara mantap dan mendalam.
39
Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994) h. 35.
40
4. Untuk terjaminnya stabilitas dan kontinuitas tercapainnya kepentingan
dasar yang berkenaan dengan keagamaan. Maksudnya untuk mencegah terjadinya perubahan-perubahan hakiki mengenai isi dan penerapannya dari waktu ke waktu.41
5. Wahana untuk membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut keagamaan.
6. Mewakili umat dalam berdialog dan mengembangkan sikap saling menghormati serta kerjasama dengan umat beragama lain.
7. Menyalurkan aspirasi umat kepada pemerintah dan menyebarluaskan
kebijakan pemerintah kapada umat.42 B. Definisi Peranan
Istilah peranan berasal dari kata “peran” yang berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Kata peran mendapat awalan pe dan akhiran an menjadi “peranan” yang mempunyai
arti bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.43
Para sarjana sosiologi berpandangan tentang manusia di dalam masyarakat diungkapkan dalam konsep peranan. Bagi sarjana sosiologi manusia dilihat
sebagai pelaku dari peranan-peranan sosial. Misalnya peranan seseorang sebagai suami, ayah, pemimpin masyarakat dan pendeta, atau sebagai tukang, pekerja toko
dan sebagainya.
41
Hendro Puspito, Sosiologi Agama, h. 116. 42
Http//www.e-dukasi.net/mol/mo. 43
Dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaannya, seseorang
diharapkan menjalankan kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya. Gross, Mason dan Mc. Eechern mengatakan bahwa peranan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang
menempati kedudukan sosial tertentu.44 Harapan-harapan tersebut merupakan imbangan dari norma-norma sosial dan oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
peranan-peranan itu ditentukakn oleh norma-norma di dalam masyarakat. Maksudnya seseorang diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkakan oleh masyarakat di dalam peranan-peranan lainnya.
Di dalam peranan terdapat 2 (dua) macam harapan, yaitu; Pertama,
harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau
kewajiban-kewajiban dari pemegang peran. Kedua, harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya dalam menjalankan perannya atau kewajiban-kewajibannya.
Dalam teori peran dikatakan bahwa harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang mempunyai peran tertentu misalnya
sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang
mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien yang datang kepadanya.45
44
Fuad Nashori dan Bactiar Diana Mucharam, Membangun Kreatifitas Dalam Perspektif Psikologo Islam, h. 71.
45
Kemudian tentang peranan sebagai seperangkat harapan yang ditentukan
oleh masyarakat terhadap si pemegang peran, misalnya peranan sebagai kepala sekolah ditentukan oleh guru-guru, orang tua-orang tua (wali murid), murid-murid, petugas pemerintah lokal dan perwakilan-perwakilan rakyat setempat,
artinya; harapan-harapan dari semua orang ini harus diperhitungkan oleh para kepala sekolah dalam menjalankakn tugas-tugasnya.46
C. Muallaf
1. Pengertian muallaf
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa muallaf adalah orang
yang hatinya diteguhkan agar cenderung kepada Islam.47 Dalam fikqih sunnah juga disebutkan bahwa muallaf adalah orang yang diusahakan dirangkul dan
ditarik serta diteguhkan hatinya dalam keislaman disebabkan belum mantapnya keimanan mereka.48
Dari pengertian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa muallaf adalah
orang-orang yang hatinya dibujuk dan dijinakkan hatinya agar cenderung kepada Islam. Mereka adalah orang-orang yang baru mengetahui dan belum memahami tentang Islam. Oleh karena itu mereka berada pada posisi yang membutuhkan
pembinaan, dan bimbingan ajaran-ajaran agama Islam.
Pada masa Nabi Saw para muallaf diposisikan sebagai penerima zakat
untuk menjamin kelestarian mereka pada Islam dengan terus memberikan pembinaan tentang agama Islam. Salah satu alasan Nabi Saw memberikan zakat
46
David Berry, Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi, h. 102. 47
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Pradaya Paramita, 1993), h. 173.
48
kepada mereka adalah menyatukan hati mereka pada Islam. Oleh karenanya
mereka dinamakan al-muallafah Qulubuhum.49
Menurut Buya Hamka muallaf adalah orang yang dijinakkan hatinya dan diteguhkan hatinya agar mantap dalam keislamannya dan kedudukannya
disamakan tingginya dengan orang Islam lainnya.50
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa muallaf adalah orang yang
baru memeluk Islam yang diteguhkan hatinya dalam keislaman. Karena mereka baru memeluk agama Islam dan baru mengetahui agama Islam. Maka, mereka berada pada posisi pihak yang membutuhkan pembinaan dan bimbingan
ajaran-ajaran yang ada dalam agama Islam. Agar mereka mengetahui syariat Islam untuk kemudian dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Konversi agama dan prosesnya a. Konversi agama
Secara umum konversi agama dapat diartikan berubah agama atau pindah
agama. Untuk memberikan gambaran yang lebih mengena tentang maksud kata-kata tersebut perlu dijelaskan melalui uraian yang dilatarbelakangi oleh pengertian secara etimologis. Dengan pengertian asal kata tersebut tergambar ungkapan kata
itu secara jelas.
Konversi berasal dari kata latin yaitu “conversio” yang berarti tobat,
pindah, berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut dipakai dalam bahasa inggris
49
Syarif Hade Masyah, Hikmah di Balik Hukum Islam (Jakarta: Mustaqim, 2002) , h. 3006-3007.
50
“ Conversion” yang mempunyai arti berubah dari suatu keadaan, atau dari suatu
agama ke agama lain.51
Menurut Max Heirick bahwa konversi agama adalah suatu tindakan dimana seseorang atau kelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem
kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.52 b. Proses konversi agama
Konversi agama menyangkut perubahan batin seseorang secara mendasar. Proses konversi agama ini merupakan segala bentuk kehidupan batin yang semula mempunyai pola tersendiri berdasarkan pandangan hidup yang dianutnya
(agama), maka setelah terjadi konversi agama pada dirinya secara spontan akan ditinggalkan. Segala bentuk perasaan batin terhadap kepercayaan lama seperti:
harapan, rasa bahagia, keselamatan, kemantapan berubah menjadi berlawanan arah. Lalu timbullah gejala-gejala baru berupa: perasaan serba tidak lengkap dan tidak sempurna. Gejala ini menimbulkan proses kejiwaan dalam bentuk:
merenung, timbulnya tekanan batin, penyesalan diri, rasa berdosa, cemas terhadap masa depan, perasaan susah yang ditimbulkan oleh kebimbangan.
Menurut M.T.L. Penindo bahwa konversi agama mengandung dua unsur
yaitu:
a. Unsur dari dalam (endogenos origin), yaitu proses perubahan yang terjadi
dalam diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang diambil seseorang berdasarkan
51
DJalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, h. 53 52
pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang
bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru dan dipilih.
b. Unsur dari luar (exogenos origin), yaitu peroses perubahan yang berasal dari
luar diri atau kelompok sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang datang dari luar ini kemudian
menekan pengaruhnya terhadap kesadaran mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan.53
Dari kedua unsur tersebut di atas terlihat adanya pengaruh motivasi dari
unsur tersebut terhadap batin. Jika pemilihan tersebut sudah serasi dengan kehendak batin maka akan terciptalah suatu ketenangan seiring dengan timbulnya
ketenangan batin tersebut terjadilah semacam perubahan total dalam struktur psikologis sehingga struktur lama terhapus dan digantikan dengan yang baru sebagai hasil pilihan yang dianggap baik dan benar.
3. Pengalaman keagamaan pada muallaf
Orang yang telah masuk Islam, maka akan banyak pengalaman yang ia rasakan antara lain:
a. Pengalaman ritual
Pengalaman ritual yang dibahas pada skripsi ini adalah ibadah
yang sifatnya pribadi, contohnya shalat. Shalat merupakan salah satu ibadah kepada Allah yang terpenting. Dengannya seorang hamba bisa berhubungan langsung kepada Allah dengan cara-cara yang telah diajarkan
53
secara benar melalui rasulullah.54 Shalat yang benar akan membawa
dampak positif bagi dirinya dan bagi orang lain. Allah berfirman:
وا
ا
ﻼ
ة
ا
ن
ا
ﻼ
ة
ْﻬ
ﻰ
ْا
ْ
ﺸ
ءﺎ
و
ْا
ْﻜ
ﺮ
.
)
ﻮ ﻜ ا
ت
:
45
(
“Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari
perbuatan keji dan munkar” (Q.S. al-Ankabut: 45).
Selain shalat, do’a dan dzikir merupakan bentuk amalan atau ibadah yang
dapat dilakukan oleh masing-masing orang muslim, yang dapat mendekatkan dirinya pada Allah.
b. Keterlibatan sosial
Untuk konteks keterlibatan sosial ini penulis mengutip kata yang dipakai imam al-Ghazali yaitu ulfah (berkasih sayang) dan ukhuwah
(persaudaraan).
1. Ulfah (berkasih sayang)
Berkasih sayang adalah buah kebaikan budi. Buah kebaikan budi itulah
yang dipujikan Allah Swt. Akan Nabi-Nya, firman Allah.55
“Dan sesungguhnya engkau mempunyai budi pekerti yang tinggi” (Q.S.
al-Qalam, 68: 4). Nabi Saw bersabda:
54
Anwar R. Prawira, et. Al, Tuntunan Shalat, (Jakarta: Pengurus YPI al-Azhar, 2002), h. 1.
55
لﺎ
ةﺮْﺮه
أ
ْ
ﺎ
ﺮﺜْآأ
ﺎ
و
ْ
ا
ﻰ
ا
ﺌ
ﺔ ْا
ْﺪ
؟
ا
لﺎ
ْﺪ
ﺎ
ﺮﺜْآأ
ﺎ
ﺌ و
ْا
ْ و
ىﻮْ
رﺎ ا
؟
جْﺮ ْاو
ْا نﺎ ﻮْ ﺄْا لﺎ
.
)
ﻮ ا
اور
دواد
(
“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah Saw ditanya: perbuatan apakah yang sspaling banyak memasukkan manusia ke dalam surga? Beliau menjawab: bertaqwa kepada Allah dan budi pekerti yang baik. Dan beliua juga ditanya: perbuatan apakah yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka? Beliau menjawab: mulut dan kemaluan. (H.R Tirmidzi).56
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa buah kebaikan budi adalah berkasih sayang (ulfah) yang bisa terwujud dalam kehidupan
sehari-hari, dan siapa yang melakukannya maka ia akan masuk surga. 2. Persaudaraan (ukhuwah)
Ukhuwah merupakan suatu karunia dari Allah yang hanya bisa didapat oleh hamba-hamba-Nya yang ikhlas dalam beramal. Sebagaimana firman Allah:
ْﻮ
أ
ْ
ْ
ﺎ
ﻰ
ﺄْا
ْر
ض
ْ
ﺎ
اﺎ
ْ
ْ
ﻮ
ﻬ
ْ
و
ﻜ
ﷲا
ا
ْ
ﻬ
ْا
ﺰ
ْﺰ
ﻜْ
.
)
ﻷا
لﺎ
:
63
(
“Walaupun kamu membelanjakan semua kekayaan yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka” (Q.S. al-Anfal: 63).
Ukhuwah merupakan kekuatan iman dan spiritual yang dapat menimbulkan kasih sayang yang amat dalam dan cinta kasih, kemuliyaan dapat
saling percaya terhadap sesama. Yakni yang terdapat ikatan akidah, iman dan
56
taqwa.57 Dengan ukhuwah akan timbul keutamaan dan keikhlasan dalam berkasih
sayang dan cinta kasih, sehingga terciptalah nilai-nilai positif dalam kehidupan bermasyarakat. Yakni tolong menolong dan lebih mengutamakan kepentingan orang lain, bersikap kasih dan pemaaf, pemurah dan setia kawan. Ukhuwah juga
akan memberikan dampak positif bagi pengusiran akhlak tercela.58 Dengan persaudaraan mereka senantiasa menghindarkan hal-hal yang membahayakan
pihak lain, baik yang menyangkut kehormatan maupun martabat, harta benda maupun harkat kemanusiaan.
c. Pemikiran atau ide
Manusia adalah makhluk yang dilengkapi Allah dengan sama berpikir yaitu akal. Sebenarnya setiap orang memiliki tingkat kemampuan berpikir yang
seringkali ia sendiri tidak menyadarinya. Ketika mulai menggunakan kemampuan berpikir tersebut, fakta-fakta yang sampai sekarang tidak mampu diketahuainya, lambat laun mulai terbuka dihadapanya. Semakin dalam ia berpikir, 59 semakin
bertambah kemampuan berpikirnya dan hal ini mungkin sekali berlaku bagi setiap orang. Harus disadari bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin.
Dengan berpikir maka akan timbul ide-ide atau pemikiran-pemikiran yang bisa menghasilkan sesuatu. Seperti seorang berpikir mengenai tujuan penciptaan
alam dan arti keberadaan dirinya di dunia, maka akan lahirlah sebuah pemikiran atau ide bagaimana cara ia bisa mengetahui hal tersebut.
57
Abdullah Nashih Ulwan, Merajut Keping-Keping Ukhuwah (Solo: CV. Ramadhani, 1989), h. 11.
58
Abdullah Nashih Ulwan, Merajut Keping-Keping Ukhuwah, h. 12. 59
Salah satu jalan yang akan ditempuhnya adalah mentadabburi al-Qur’an
dan membaca buku-buku yang bersangkutan dengan apa yang ia pikirkan bahkan dengan jalan diskusi ataupun konsultasi.
d. Seni budaya
Kehidupan sederhana dan jihad fi sabilillah mempengaruhi masyarakat Islam pada zaman rasul dan zaman Khulafaurrasyidin. Masyarakat pada waktu itu,
“bukanlah tanah yang subur bagi segala cabang kesenian” demikian tulis Zaki Muhammad Hasan dalam bukunya fununul Islam. Pada waktu wilayah Islam telah berkembang luas dan arab Muslim telah bercampur baur dengan berbagai bangsa
lain, terbukalah mata mereka melihat ke arah seni budaya lama dan kemudian dikembangkan dengan jiwa agama. Demikian, ufuk seni menjadi meluas dalam
pandangan mereka, dan akhirnya merekapun berhasil menciptakan seni budaya baru yang tidak menyimpang dari garis Islam.60
Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa Islam tidak hanya membahas
mengenai persoalan-persoalan yang sifatnya jihad. Tapi sesuai dengan perkembangan zaman umat Islampun bisa mengembangkan diri dalam hal seni budaya. Hal ini terbukti dengan munculnya syair-syair, kasidah-kasidah61 ataupun
nyanyian yang bernuansa Islami.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi agama
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi agama, antara lain sebagai berikut:
60
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam Edisi ke-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 143.
61
a. Pertentangan batin (konflik jiwa) dan ketegangan perasaan. Orang yang
gelisah, yang di dalam dirinya bertarung berbagai persoalan, kadang-kadang merasa tidak berdaya menghadapi persoalan itu akan mudah mengalami konversi agama. Dalam kegoncangan jiwa kadang-kadang
orang dengan tiba-tiba terangsang melihat orang yang sedang beribadah (shalat), atau dalam keadaan bingung tiba-tiba terdengar suara adzan
subuh mengalun di udara, hatinya merasa tertarik, ingin merasa tentram dan ingin mendapat ampunan dari Tuhan.
b. Pengaruh hubungan dengan tradisi agama. Pendidikan dan suasana
keluarga, serta aktivitas-aktivitas keagamaan diwaktu kecil ikut mempunyai pengaruh yang besar terhadap diri orang yang kemudian
terjadi konversi agama.
c. Ajakan atau seruan dan sugesti. Banyak pula terbukti, bahwa diantara peristiwa konversi agama terjadi karena proses sugesti dan bujukan dari
luar. Kendatipun pengaruh sugesti dan bujukan itu pada mulanya dangkal saja, atau tidak mendalam. Namun jika orang yang mengalami konversi itu dapat merasakan kelegaan dan ketentraman batin dalam keyakinan yang
baru, maka lama kelamaan akan masuklah keyakinan itu ke dalam kepribadiannya.
d. Faktor emosi, orang yang emosionil (lebih sensitif atau banyak dikuasai oleh emosinya), mudah kena sugesti apabila ia sedang ia mengalami kegelisahan. Kendatipun faktor emosi, secara lahir tampaknya tidak terlalu
faktor yang ikut mendorong kepada terjadinya konversi agama, yaitu
penelitian George A. Coe terhadap orang-orang yang mengalami peristiwa konversi agama, ditemukannyalah bahwa konversi agama lebih banyak terjadi pada orang-orang yang dikuasai emosinya.
e. Kemauan. Inipun memainkan peranan penting dalam konversi agama. Biasanya terjadi sebagai hasil dari hasil perjuangan batin yang mengalami
perubahan. Dengan mempelajari bermacam-macam ilmu dari berbagai buku, mengikuti kajian-kajian keilmuan, membandingkan kitab satu dengan kitab lainya, maka akan timbul keraguan yang berkecamuk dalam
batinya.62
Dari faktor-faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa ada lima faktor yang
mempengaruhi konversi agama yaitu: Pertama; terjadinya konflik di dalam jiwa.
Kedua; pendidikan suasana keluarga serta aktivitas-aktivitas keagamaan diwaktu kecil. Ketiga; pegaruh sugesti dan bujukan dari lingkungan. Keempat; faktor
emosi. Kelima; faktor kemauan untuk berubah, yaitu dengan belajar tentang kajian-kajian keilmuan, seperti; membandingkan kitab agama yang ia anut dengan kitab agama yang lain.
Jadi, dengan demikian menurut analisis penulis bahwa melihat fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini terjadinya konversi agama tidak hanya faktor
pertentangan batin, pengaruh hubungan dengan tradisi agama, ajakan atau seruan dan sugesti, faktor emosi, dan kemauan; melainkan juga faktor kebutuhan
62
ekonomi. Hal ini merupakan faktor dominan atas kecenderungan konversi agama
saat ini.
[image:42.595.112.502.173.538.2]BAB III
GAMBARAN UMUM
YAYASAN SOSIAL PENDIDIKAN AL-KARIMIYAH A.Sejarah Berdirinya
Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah didirikan pada tahun 1998 oleh
Drs. H. Abdul Karim SA. Yayasan Pendidikan Sosial al-Karimiyah merupakan lembaga yang bergerak dibidang keagamaan.63 Letak geografis Yayasan ini berlokasi di kawasan lingkungan perkampungan Poncol Kelurahan Pondok Cabe
Kecamatan Pamulang Kabupaten Tangerang, dengan luas tanah + 1000 meter. Keberadaan Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah ini adalah untuk
mendidik anak-anak yang berlatar belakang yatim piatu, fakir miskin, janda, dan muallaf. Tetapi secara khusus bergerak dibidang sosial pendidikan keagamaan. Yang menjadi ciri khas lembaga ini adalah shalat malam (tahajjud), kajian
63
Qur'an, penerimaan dan penyaluran zakat, infaq dan shadaqah, pembinaan kaum
muallaf yang dilakukan secara intensive.64
Pada tahun 1999 lembaga ini memiliki 4 orang anak asuh (muallaf). Dengan keinginan yang kuat untuk menyebarkan syi'ar Islam, Drs. H. Abdul
Karim SA, tetap optimis untuk terus melanjutkan misi keagamaan. Sehingga, lambat laun yayasan tersebut semakin berkembang dan bertambah anak asuhnya
menjadi 16 orang, 6 orang muallaf dan 10 orang yatim piatu. Pada perkembangan berikutnya dirasakan sarana dan prasarana kurang memadai dengan bertambahnya anak asuh, maka dibangunlah gedung (tiga lantai). Adapun gedung yang dibangun
antara lain; lantai pertama sebagai tempat ibadah (musholla), lantai kedua terdiri dari dua ruangan yang meliputi ruangan tempat kegiatan belajar mengajar dan
ruang kantor. Kemudian lantai ketiga terdiri dari dua ruangan yang berfungsi sebagai asrama putra dan putri bagi yang tinggal di Yayasan, masing-masing ruangan terdapat 20 buah tempat tidur bertingkat yang dilengkapi dengan kasur
dan bantal guling.
Seiring dengan perkembangan Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah pada tahun 2001 muncul keinginan untuk membenahi manajemen lembaga,
membentuk struktur kepengurusan, membuat AD/ART, dan mengurus akte notaris berlabel Yayasan ke Departemen Agama. Yayasan Sosial Pendidikan
al-Karimiyah yang awalnya tidak berlabel yayasan akhirnya menjadi sebuah yayasan yang memiliki akte notaris yang berkekuatan hukum yaitu tepatnya pada tanggal 21 pebruari 2001. Hal ini dilakukan untuk mengikuti gerak tuntutan zaman yang
64
meniscayakan adanya perubahan pola pengelolaan tradisional menuju pola
moderen tanpa meninggalkan trade mark paguyuban (Yayasan). Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah menerapkan sistem pola kehidupan bersama, bergotong royong, dan penyelesaian problem secara musyawarah serta pendayagunaan
potensi dan swadaya keuangan dari kantong sendiri tetap dijadikan sebagai penopang keberlangsungan yayasan hingga saat ini.65
B. Visi dan Misi
Visi dan misi adalah suatu aspek penting dalam menjalankan suatu organisasi, setiap langkah yang diterapkan mengacu pada visi dan misi, hal ini
karena perlunya pembinaan yang terarah tidak hanya belajar dan belajar asal jadi. Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, yayasan sosial pendidikan
al-Karimiyah memiliki visi dan misi yang jelas sebagai penuntun langkah ke depan. Adapun visi yayasan sosial pendidikan al-Karimiyah adalah menjadikan yayasan al-Karimiyah menjadi sebuah lembaga keagamaan Islam yang terkemuka
dalam menerapkan ukhuwah islamiyah dan mempersatukan umat yang bercirikan independen, menjaga silaturrahmi dan bersikap amanah. Sedangkan misi Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah adalah:
1. Menyampaikan ajaran agama Islam kepada muallaf.
2. Membina muallaf serta meningkatkan keimanan dan pengetahuan
keislamannya.
3. Mempersatukan muallaf
4. Menggalang persatuan umat Islam demi terwujudnya ukhuwah Islamiyah.
65
C. Tujuan dan Struktur Kepengurusan
Maksud dan tujuan didirikannya yayasan ini adalah untuk membantu pemerintah dalam usaha pemerataan pelayanan, pembinaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan yang berguna. Dilihat dari sudut ini,
tampak jelas peran dan fungsi Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah yang semula hanya bergerak dibidang dakwah secara kecil-kecilan, kemudian
merambah pada wilayah-wilayah lain yang lebih luas. Wilayah operasional dakwah Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah yang semakin luas tersebut sesuai dengan tuntutan zaman yang menghendaki implementasi syi'ar Islam bukan
hanya pada tataran konvevsional, melainkan juga pada tataran teknis kehidupan.66
Struktur Kepengurusan
66
Dokumen Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah Pengasuh
Drs. H. Abdul Karim SA
Bendahara Hj. Azdawati SPG
Tenaga pengajar Mubdi Tazai S.Pd.I Drs. H. Syrajuddin SA.
M. Mashuri S.Sos.I M. Khotibul Umam M. Junaidi S.Ag
Pembantu Umum Ahmad Busyro
D. Sistematika Pengislaman Muallaf di Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah
Ada beberapa proses pengislaman muallaf yang dilakukan di Yayasan
Sosial Pendidikan al-Karimiyah terhadap para muallaf antara lain; pertama,
dilakukan upacara pemeriksaan kesehatan. Kedua, khitan oleh tim kesehatan,
ketiga, diajarkan mengucapkan 2 (dua) kalimat syahadat yang dipimpin langsung
oleh pengasuh dibaca secara bersama-sama yang disaksikan oleh para hadirin. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat maka calon yang ingin masuk Islam
tersebut sudah menjadi seorang muslim, kewajiban-kewajiban serta larangan-larangan dalam Islam berlaku atas dirinya.
Hal ini merupakan upacara pengislaman yang dilakukan di Yayasan Sosial
Pendidikan al-Karimiyah. Kemudian penjelasan singkat dari pengasuh yayasan tentang dasar-dasar Islam seperti rukun Islam, rukun iman, akhlak dan sebagainya. Setelah penjelasan selesai, para muallaf diharapkan memahami apa
yang telah disampaikan oleh pengasuh tersebut terutama yang paling penting adalah menghafal 2 (dua) kalimat syahadat beserta terjemahannya.67
E. Profil Muallaf
67
Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah (YASPAK) merupakan salah
satu tempat mendidik para muallaf yang kurang mendapat perhatian dari lembaga-lembaga keagamaan lain. Muallaf yang ada di Yayasan ini di sebut "pelajar".
Melihat lebih lanjut, pelajar yang ada di yayasan sosial pendidikan
al-Karimiyah mayoritas berasal dari daerah yang ada di Pulau Jawa. Kondisi sosial pedesaan di Jawa memiliki pekerjaan sebagai petani. Dilihat dari letak
geografisnya, Pulau Jawa adalah daerah yang potensial untuk bidang agraris, selain sebagai petani mereka bekerja sebagai pedagang, dan juga sebagai pembantu rumah tangga.
Jika dilihat dari tingkat pendidikan, sebagian besar dari pelajar di Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah tidak merasakan pendidikan secara formal seperti
pada umumnya, walaupun ada hanya sebagian saja yang pernah duduk di bangku sekolah. Faktor utama penyebab kurangnya pendidikan adalah faktor ekonomi yang kurang menunjang serta sarana yang tersedia kurang memadai, dikarenakan
di tempat tinggal asal mereka untuk mendapatkan pendidikan sangatlah sulit berhubung situasi yang tidak memungkinkan. Ada juga diantara mereka yang tidak memperhatikan pentingnya pendidikan. Seperti dikatakan oleh Ibu Sari:
"…Saya dulu ingin sekolah, tetapi orang tua saya tidak mengijinkan untuk sekolah, karena anak perempuan nanti juga kalau sudah menikah pasti hanya kerja di dapur…"68
Dalam pendidikan formal, materi keagamaan diberikan hanya sebatas teori dengan ditambah sedikit prakteknya. Lain halnya dengan pendidikan non formal,
68
dimana pendidik banyak mengajarkan agama serta prakteknya yang diperagakan
oleh pendidik. Bahkan dalam hal biayapun tidak begitu memberatkan, karena biasanya pendidik tidak menetapkan iuran-iuran wajib. Para muallaf sebelum masuk Islam mayoritas pemeluk agama Kristen, hal ini dapat dilihat pada riwayat
hidup sebagai berikut: 1. Informan Ibu Sari
Ibu Sari berusia 38 tahun, ia berasal dari Karawang sebelumnya beragama Kristen dan masuk Islam ketika berusia 34 tahun. Alasan masuk Islam karena ikut-ikutan dengan teman-temannya yang beragama Islam. Pada tahun 2004 Ibu
Sari mempunyai inisiatif untuk mengikuti kegiatan keagamaan dengan rutin di Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah, sudah terhitung empat tahun.
Pendidikan terakhirnya sebatas sekolah dasar (SD), ia tinggal bersama anaknya di rumah kontrakan. Saat ini ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk memenuhi biaya hidupnya. Dia menjalankan pekerjaannya dengan tekun, karena
ia seorang janda sekaligus kepala rumah tangga. Ia merasa senang masuk Yayasan ini , karena bisa belajar dan beribadah dengan tenang bersama para muallaf lainnya.
2. Informan Sitorus
Sitorus adalah seorang yang beragama kristen berusia 35 tahun berasal
dari Lampung. Mulai masuk Islam pada tahun 2005 setelah diajak temannya menghadiri suatu tempat pengajian yaitu langgar (mushollah) di Krui-Lampung. Awalnya Sitorus sudah mengalami kegelisahan dalam batinnya, bahkan lebih
kemudian, Sitorus memutuskan untuk masuk Islam dengan membaca sahadat.
Namun sahadat yang ia baca terasa masih kurang sempurna tanpa disaksikan oleh seorang ustadz, akhirnya ia meminta izin kepada keluarganya untuk pergi ke Jakarta dan mencari Yayasan yang membina para muallaf, tanpa malu-malu ia
masuk ke Yayasan Sosial al-Karimiyah dengan tekad dan keinginan yang kuat untuk bisa membaca sahadat dan kenal lebih akrab dengan agama Islam.
Keputusan Sitorus memeluk agama Islam mendapat restu dari keluarganya sekalipun mereka sendiri sampai saat ini masih sebagai pemeluk agama kristen. Pendidikan terakhir Sitorus sampai SMP. ia tinggal di rumah pamannya tak jauh
dari yayasan. Ia seorang duda dan tidak mempunyai anak.
Pada tahun 2006 Sitorus mulai aktif mengikuti kegiatan di Yayasan Sosial
Pendidikan al-Karimiyah. Ia merasa senang belajar di yayasan ini karena ia merasa bisa mengenal Islam lebih jauh dan beribadah berjamaah, sehingga jiwa merasa tenang dan damai, selain itu ukhuwah Islamiyah lebih terlihat nyata saling
membantu dan saling mengunjungi sesama muallaf. 3. Informan Kliwon
Bapak Kliwon berusia 45 tahun berasal dari Yogyakarta, sebelumnya ia
beragama Kristen, masuk Islam pada usia 39 tahun. Alasan masuk Islam karena ia terharu mendengar tetangganya sedang mendendangkan ayat-ayat al-Qur'an
Pada tahun 2003 Bapak Kliwon mencoba mengikuti beberapa kegiatan
yang dilaksanakan di Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah bahkan tergolong aktif. Dan sekarang ia tinggal di rumah kontrakan tak jauh dari yayasan bersama istri dan anaknya di Pondok Cabe Ilir Pamulang. Bapak Kliwon pernah merasakan
pendidikan formal sampai SMA.
Bapak Kliwon bekerja sebagai karyawan PLN. Ia dikenal bertetangga
sangat baik, sering memberi makan tetangganya yang tidak mampu.
Berawal Informasi dari temannya bahwa ada yayasan yang melaksanakan pembinaan kegamaan terhadap para muallaf, maka ia memutuskan untuk belajar
dan mengikuti kegiatan keagamaan secara rutin di Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah. Ia sangat senang karena bisa belajar tentang Islam lebih dalam dan
sekaligus punya banyak teman sesama muallaf. 4. Informan Ibu Juminah
Seperti halnya ibu Sari, Ibu Juminah sebelum masuk Islam termasuk orang
yang beragama kristen yang taat beribadah. Ia berasal dari Solo, masuk Islam ketika berusia 34 tahun pendidikan terakhir kelas 2 sekolah dasar (SD), sekarang ia berusia 37 tahun dan tinggal di rumah kontrakan bersama dua anaknya. Ibu
Juminah hidup sebagai seorang janda. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya Ibu Juminah harus berjualan sayur. Ia bekerja keras dengan harapan dapat
Selain sebagai pedagang sayur, ia juga sebagai muallaf yang kritis tentang
keyakinannya. Sebelum belajar di Yayasan Sosial Pendidikan al-Karimiyah ia mengalami keragu-raguan tentang keyakinan agamanya, ia merasa bahwa semua agama tidak ada yang bisa memberikan ketenangan dan kebahagiaan. Seperti yang
diungkapkan oleh ibu Juminah bahwa "Kehidupan saya dari dulu sampai sekarang tetap saja susah".69 Setelah beberapa lama kemudian saya bertemu dengan seorang
guru agama, saya bertanya, agama yang benar yang mana pak Ustadz?. Soalnya banyak orang mengatakan ba