• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan - Indra BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan - Indra BAB II"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian yang Relevan

Penelitian dengan menggunakan pendekatan religi untuk mengkaji novel memang telah banyak dilakukan. Pendekatan religi sebagai pendekatan yang menitikberatkan pada ajaran agama. Pendekatan ini menuntut orang untuk meyakini, dan memahami dan kemudian setelah meyakini dan memahami baru kemudian melaksanakan ajaran agamanya. Semua itu karena titik tolak pendekatan religi adalah bersumber pada ajaran agama. Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, ada beberapa judul skripsi yang telah mengkaji tentang religius, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Penelitian dengan judul Religiusitas Tokoh Dalam Novel Kabar Bunga Karya Marsiraji Thahrir hasil penelitian dari Nia Sri Mulyati (2013).

(2)

Pada penelitian ini meneliti akan membahas religiusitas lebih kompleks lagi

yang meliputi tiga hal yaitu: Pertama hubungan manusia dengan Tuhan yang

meliputi: beriman kepada Allah, beribadah kepada Allah, mengingat Allah, bersyukur kepada Allah, bersabar menerima cobaan Allah, memohon ampun kepada Allah, dan

pasrah kepada Allah. Kedua hubungan manusia dengan sesama manusia yang

meliputi: (a) Tolong-menolong, (b) Suka memaafkan kesalahan orang lain, (c) Menepati janji, (d) Lapang dada, (e) mengajak kebaikan dan mencegah keburukan.

Ketiga hubungan manusia dengan alam sekitarnya dengan cara memanfaatkan alam sekitar dengan sebaik-baiknya, merawat, dan tidak membuat kerusakan. Perbedaan dengan penelitian sebelumya juga terletak pada sumber data. Sumber data pada

penelitian yang dilakukan Nia Sri Mulyati adalah novel Kabar Bunga Karya Marsiraji

Thahrir. Sedangkan sumber pada penelitian ini adalah novel Demi Dhuha karya

Muhammad Makhdlori. Persamaan dalam penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh Nia Sri Mulyati adalah sama-sama membahas tentang religiusitas dalam novel dan sama-sama menggunakan pendekatan religi.

2. Penelitian dengan judul Aspek Religiusitas Pada Antologi Cerpen Nyanyian Cinta dan Saran Penerapannya Sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di SMA hasil penelitian dari Nur Intan Risana (2013).

(3)

dilakukan oleh Nur Intan Risana adalah cerpen Nyanyian Cinta, sedangkan sumber

data pada penelitian ini adalah novel Demi Dhuha karya Muhammad Makhdlori.

Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan dengan Nur Intan Risana adalah sama-sama menggunakan pendekatan religi.

3. Penelitian dengan judul Perbandingan Religiusitas Tokoh Utama Antara Novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral dengan Novel Jejak Sang Pencerah Karya Didik L. Hariri hasil penelitian dari Syamsul Maarif (2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Samsul Maarif yaitu membandingkan

kereligiusan tokoh utama yang ada di dalam kedua novel Sang Pencerah karya

Akmal Nasery Basral dengan novel Jejak Sang Pencerah karya Didik L. Hariri.

Perbedaan antara penelitian yang akan dilakukan peneliti dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Samsul Maarif adalah terletak pada pembahasan dan juga sumber

data. Sumber data penelitian yang dilakukan oleh Samsul Maarif adalah novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral dengan novel Jejak Sang Pencerah karya Didik L. Hariri. Sedangkan sumber data penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah

novel Demi Dhuha karya Muhammad Makhdlori. Persamaan antara penelitian yang

dilakukan oleh Samsul Maarif dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah sama-sama menggunakan pendekatan religi dan sama-sama meneliti novel.

(4)

diharapkan kita mampu menangkap pelajaran-pelajaran yang mengarah kepada perintah Tuhan.

B. Pengertian Novel

Suyitno (2009:35) berpendapat bahwa kata novel berasal dari bahasa Latin yaitu novellus. Kata novellus dibentuk dari kata novus yang berarti baru, atau new

dalam bahasa Inggris. Dikatakan baru karena bentuk novel adalah bentuk karya sastra yang datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya seperti puisi dan drama. Sayuti (2000:10-11) mengatakan bahwa novel hampir berkebalikan dengan cerpen

yang bersifat memadatkan, sedangkan novel cenderung bersifat expands “meluas”.

Novel yang baik cenderung menitikberatkan munculnya complexity “kompleksitas”.

Novel juga memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar mengenai tempat (ruang) tertentu. Hawthon dalam Azies dan Hasim (2010:1-2) mengatakan bahwa novel adalah sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup panjang (sekarang biasanya yang cukup panjang untuk dimuat dalam satu volume atau lebih). Tokoh-tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata di masa sekarang ataupun di masa lampau, dan yang digambarkan dalam satu plot yang cukup kompleks.

(5)

C. Tokoh dalam Karya Sastra

Endraswara (2008:179) mengatakan bahwa tokoh adalah figur yang dikenai

dan sekaligus mengenai tindakan psikologis. Dia adalah “eksekutor” dalam sastra.

Abrams dalam Nurgiyantoro (2010:164) berpendapat bahwa tokoh dalam cerita adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Azies dan Hasim (2010:63) mengatakan penciptaan tokoh-tokoh yang berbeda oleh pengarang dimaksudkan untuk sejumlah tujuan yang berbeda. Dilihat dari segi peran tokoh dalam sebuah cerita, tokoh dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1. Tokoh Utama

(6)

2. Tokoh Tambahan

Sayuti (2000:77) berpendapat bahwa tokoh sederhana atau datar adalah tokoh yang kurang mewakili keutuhan personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisinya saja. Pernyataan tersebut dilengkapi oleh Nurgiantoro (2010:169) bahwa tokoh tambahan adalah tokoh yang dimunculkan hanya beberapa kali saja dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Thobroni (2008:83-84) mengatakan bahwa tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya ditampilkan sesekali atau beberapa kali dalam cerita dan mungkin dengan penceritaan yang sangat pendek. Jadi, dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh tambahan yaitu tokoh yang muncul pada cerita namun tidak terlalu sering dan posisinya dalam cerita tidak terlalu penting. Tetapi tokoh tambahan perlu ada di dalam cerita karena membuat cerita akan lebih menarik.

Karya sastra mempunyai hubungan dengan manusia dalam masyarakat, oleh karena itu, karya sastra dapat dijadikan sumber belajar bagi masyarakat. Damono (2002:9) berpendapat bahwa sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat, usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Aristoteles dalam Kurniawan (2009:6) mengatakan bahwa karya sastra itu bisa

memberikan katarsis atau penyucian jiwa pada pembacanya, yaitu setiap orang yang

intens membaca karya sastra pasti mempunyai perasaan yang halus, lembut, dan baik. Karya sastra mengandung banyak nilai yang dapat dipelajari dan dijadikan contoh dalam kehidupan masyarakat. Salah satu nilai yang terdapat dalam karya sastra adalah nilai religius. Nurgiantoro (2010:326-327) mengatakan kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra

(7)

makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya menyaran pada makna yang berbeda. Wachid (2002:177-181) berpendapat bahwa kesusastraan menjadi religius jika di dalamnya mempersoalkan dimensi kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transendental. Kesusastraan religius selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dengan ditopang nilai kerohanian, yang berpuncak kepada Tuhan melalui lubuk hati terdalam kemanusiaannya. Karya sastra dapat dikatakan religius sebab di dalamnya mengandung moralitas. Menghadapi karya demikian pembaca sastra sering mengasumsikan bahwa moralitas di dalamnya selaras dengan moralitas pengarang. Konsep kesungguhan estetis ataupun moralitas dalam karya sastra religius Islam berpangkal pada Alquran, tetapi tidak didasari penafsiran yang sempit.

D. Religiusitas

1. Pengertian

Menurut James dalam Wachid (2010:176) religi berarti menyerahkan diri, taat, tetapi dalam pengertian positif, yakni berkaitan dengan kebahagiaan seseorang yang seakan memasuki dunia baru yang penuh kemuliaan. Sementara itu, perasaan keagamaan adalah segala perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan, seperti perasaan takut kepada Tuhan (fear to bad), perasaan dosa (guilt feeling),

kebesaran tuhan (God’s glory). Menurut Paul Tillich dalam Wachid (2010:176)

religiusitas disebut dengan penuh kerinduan menanyakan tentang eksistensinya dan sangat menginginkan memperoleh jawaban, sekalipun mungkin jawabannya akan

(8)

kehidupan secara lebih dalam daripada batas lahiriah semata, yang bergerak dengan dimensi vertikal dari kehidupan ini, dan mentransendensikan hidup. Ratnawati, dkk (2002:16-18) berpendapat bahwa religiusitas sebagai suatu sikap keberagamaan. Pada dasarnya religiusitas tidak lebih hanya sebagai suatu sikap seseorang (manusia) dalam usahanya, secara bebas dan merdeka untuk menggapai zat tertinggi, yang di atas sana yaitu Allah SWT.

Lebih lanjut Ratnawati menjelaskan bahwa pada prinsipnya religiusitas dan agama tidak dapat dipisahkan. Hal itu dinyatakan demikian karena keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu: (1) untuk mendekatkan hubungan manusia dengan tuhan (Allah SWT), (2) berhubungan dengan kemanusiaan, misalnya: seorang agamawan, meskipun secara formal rajin menjalankan ibadah dan melaksanakan hukum-hukum serta rukun-rukun yang diwajibkannya, ia tetap tidak religius apabila kadar penghayatan keberagamaannya tidak terefleksikan ke dalam kehidupan nyata sehari-hari. Sebaliknya, meskipun seorang tidak secara resmi-formal menjalankan ritualisme hukum agama (tertentu), orang itu tetaplah mampu mencapai tahap religius apabila sikap dan tindakannya dalam kehidupan nyata sehari-hari justru mencerminkan kedalaman penghayatan keberagamaannya. (3) Religiusitas pada hakikatnya merupakan sikap yang mencerminkan rasa cinta-kasih-rindu, rasa ingin

bertemu-bersatu, rasa ingin mencapai eksistensi bersama dengan yang “nun jauh di

(9)

memikirkan atau pertimbangan terlebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun. Jadi, dari uraian pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah suatu tindakan atau pengamalan keagamaan yang dilakukan oleh seseorang secara bebas dan merdeka untuk mencari ridha ilahi. Religiusitas ini meliputi tiga aspek yaitu: hubungan manusia dengan

Tuhan (Allah) (hablumminallah), hubungan manusia dengan sesama manusia

(hablumminannas), dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

2. Aspek-aspek Religiusitas

a) Hubungan Manusia dengan Tuhan (Allah)

(10)

ُه َللّٱ

ُ

ُهدَم َصلٱ

ُ

٢

ُ

Artinya: Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu.

Telah menjadi keyakinan seluruh umat manusia bahwa hubungan manusia dengan Tuhan bersifat vertikal, bukan horisontal. Di dalam hubungan vertikal itu

manusia (yang biasa disebut makhluk) berada pada posisi ‘bawah’ atau ‘yang

diciptakan’, sedangkan Tuhan (yang sering disebut Khalik, tidak lain adalah Allah)

berada pada posisi ‘atas’ atau ‘yang menciptakan’ (Sang Pencipta). Posisi masing -masing dalam hubungan vertikal antara Tuhan dan manusia bersifat mutlak, dalam arti posisi tersebut tidak mungkin berubah-ubah, apalagi terjadi sebaliknya. Hubungan manusia dengan Tuhan-Nya diatur dalam kitab suci agama Islam yaitu pada Q.S. Azz Djariat ayat 56 yang artinya “dan aku tidak menciptakan jin dan

manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. Dari ayat tersebut dapat

dipahami bahwa manusia diciptakan oleh Allah hanya untuk berbakti dan mengabdi kepada Allah. Untuk memberi petunjuk kepada manusia mengenai cara-cara mengabdi kepada Allah maka Ia mengutus Nabi-Nabi untuk menjelaskan tentang pengabdian di dalam agama Islam. Hubungan manusia dengan Tuhannya atau bisa juga disebut ketakwaan seseorang kepada Tuhannya meliputi:

1) Beriman kepada Allah

Pengertian beriman kepada Allah adalah meyakini keberadaan Allah beserta sifat-sifat yang dimiliki-Nya. Maksudnya kita harus yakin bahwa Allah itu ada serta

Dia memiliki sifat-sifat yang mulia (asma’ul khusna). Beriman kepada Allah

(11)

lainnya (Muchtar, 2005:26). Ratnawati dkk, (2002:27) berpendapat bahwa iman

artinya ialah “percaya”, jadi iman kepada Tuhan artinya percaya kepada Tuhan, yaitu

percaya bahwa Tuhan itu Maha Esa, Maha Memberi, dan Maha Segalanya. Manusia harus percaya penuh bahwa Tuhan sungguh-sungguh Maha Esa. Oleh karena itu, nilai keimanan harus diresapi dalam pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan. Samani dan Hariyanto (2011:122) berpendapat iman adalah kepercayaan yang tinggi terhadap adanya Tuhan Sang Maha Pencipta dengan berbuat sesuai perintah dan tuntunan-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. Jadi, menurut pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa iman kepada Allah yaitu percaya atau meyakini dalam hati dengan adanya Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa beserta sifat-sifat-Nya yang mulia, kemudian berbuat sesuai perintah dan tuntunannya.

2) Beribadah kepada Allah

(12)

Salah satu ibadah yang hukumnya sunnah adalah shalat sunnah Dhuha. Shalat sunnah Dhuha ini kalau dikerjakan akan mendapat pahala, sedangkan jika tidak dikerjakan tidak mendapat pahala dan tidak berdosa.

Jamaluddin (2014:223-225) mengatakan bahwa shalat Dhuha atau disebut juga shalat Al-awwabin adalah shalat sunnat yang dikerjakan pada saat matahari sudah naik kira-kira sepenggalah (setinggi tonggak) dan berakhir saat tergelincirnya matahari di waktu dhuhur. Jika shalat dhuha ini dilakukan

persis di awal waktu terbitnya matahari maka disebut dengan shalat al-isyraq

(terbit). Shalat ini umumnya dilakukan dua rakaat ada juga yang melaksanakan empat rakaata tau delapan rakaat dengan salam setiap dua rakaat. Bahkan ada yang melaksanakan sampai dua belas rakaat. Batas minimal shalat Dhuha adalah dua rakaat dan maksimal dua belas rakaat dengan salam setiap dua rakaat. Shalat ini boleh dikerjakan secara sendiri, namun boleh juga berjamaah, karena nabi SAW pernah shalat sunat dhuha di rumah Itban lalu para sahabat berdiri di belakangnya lalu mengikuti shalat beliau.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa beribadah kepada Allah adalah sebuah penghambaan diri hanya kepada Allah bukan yang lain. Beribadah kepada Allah yaitu dengan jalan melaksanakan shalat lima kali sehari semalam, menunaikan zakat apabila telah sampai nishab dan haulnya, berpuasa selama sebulan dalam setahun, melakukan ibadah haji sekali seumur hidup menurut cara-cara yang ditetapkan-Nya.

3) Mengingat Allah

Muchtar (2005:27) berpendapat bahwa berzikir berarti mengingat Allah. Berzikir bisa dilakukan dengan mengingat Allah dalam hati atau menyebutnya

(berupa ucapan-ucapan zikrullah) dengan lisan, atau bisa juga dengan mentadaburi

atau mentafakuri (memikirkan kekuasaan Allah) yang terdapat pada alam semesta.

Anwar (2010:92) mengatakan bahwa mengingat Allah (zikrullah) adalah asas dari

setiap ibadah kepada Allah SWT karena merupakan pertanda hubungan antara hamba

(13)

dan paling mulia bagi Allah SWT. Rasullullah SAW bersabda yang artinya “tidak inginkah kalian kuberitahu tentang amal yang paling baik yang dapat meningkatkan derajat kalian di hadapan Allah, yang lebih bagus dari pada menyedekahkan emas dan perak yang lebih baik dari pada kalian berperang melawan musuh, lalu kalian saling

memukul dengan mereka? Kaum muslim menjawab, ‘ya’ tentu saja kami ingin.

Rasullullah bersabda: yaitu zikir kepada Allah yang Maha Agung dan Maha Tinggi”.

Ratnawati dkk (2002:31) berpendapat bahwa menurut pandangan

hidup Jawa, eling (marang Pangeran) ingat kepada (Tuhan) merupakan salah

satu bentuk penghayatan religi yang cukup signifikan karena dibalik ungkapan itu tercermin suatu keyakinan bahwa memang manusia tidak bisa berpaling dari-Nya. Oleh karena itu, dalam mengarungi kehidupannya dengan landasan

iman (pracaya’percaya’) manusia harus selalu eling kepada Tuhan yang

memberi hidup. Dalam keadaan eling manusia kemudian berusaha taat

menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Jika segala ketentuan Tuhan tersebut dilanggar, manusia akan selalu tidak tenang dan dalam menjalani hidup ia tidak akan memperoleh ketenangan. Padahal, tujuan hidup

manusia yang utama adalah mencapai keadaan harmoni dan tata-tentrem

‘ketenteraman’.

Dalam buku yang disusun Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI (2000:169) mengatakan bahwa berdzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berdzikir kepada Allah melahirkan ketenangan dan ketenteraman hati sebagaimana diungkapkan dalam

firman Allah pada surat Ar-Ra’d ayat 28 yang berbunyi:

َُنيِ

لَّٱ

َ

Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram

dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram

(14)

Allah ini bisa dilakukan dengan menyebut kalimat zikrullah baik diucapkan dengan lisan maupun dalam hati. Mengingat Allah juga bias dilakukan dengan cara memikirkan ciptaan-ciptaan-Nya. Kebiasaan selalu mengingat Allah, manusia akan merasa selalu sadar bahwa manusia tidak bisa berpaling dari Allah SWT. Dengan mengingat Allah setiap saat, maka kehidupan seseorang akan terasa lebih tenang dan tentram. Dalam keadaan ingat kepada Allah, manusia akan berusaha taat menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam keadaan ingat kepada Allah, manusia akan lebih bisa berpikir jernih dalam menghadapi sebuah permasalahan.

4) Bersyukur kepada Allah

Anwar (2010:98-99) mengatakan syukur merupakan sikap seseorang untuk tidak menggunakan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT dalam melakukan maksiat kepada-Nya. Bentuk syukur ini ditandai dengan keyakinan hati bahwa nikmat yang diperoleh berasal dari Allah SWT bukan selain-Nya, lalu diikuti pujian oleh lisan, dan tidak menggunakan nikmat tersebut untuk sesuatu yang dibenci pemberinya. Manusia harus selalu bersyukur karena manusia telah diberikan kenikmatan-kenikmatan oleh Allah SWT tanpa dapat dihitung satu per satu. Bentuk rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan Allah SWT tersebut adalah dengan jalan menggunakan nikmat Allah SWT itu dengan sebaik-baiknya. Sebagian kecil karunia yang diberikan oleh Allah SWT harus kita manfaatkan dan kita pelihara seperti: pancaindra, harta benda, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Allah SWT berfirman

dalam surat Ibrahim ayat 7 yang artinya adalah “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu

(15)

(nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku

sangat berat” ayat ini menghendaki agar kita bersyukur atas karunia yang Allah berikan kepada kita.

Muchtar (2005:29) mengatakan bahwa bersyukur secara sederhana dapat diartikan sebagai ungkapan terimakasih kepada Allah. Kita bersyukur kepada Allah dengan cara melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya serta memanfaatkan semua yang dianugerahkan Allah secara benar. Ali (2008:369) mengatakan mensyukuri nikmat Allah dengan jalan menerima, mengurus, memanfaatkan semua pemberian Allah kepada manusia. Syukur adalah sikap berterimakasih atas pemberian nikmat Allah yang tidak bisa dihitung. Syukur diungkapkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Syukur dengan ucapan adalah

memuji Allah dengan bacaan hamdallah, sedangkan syukur dengan perbuatan

dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan keharusannya, seperti bersyukur diberi penglihatan dengan menggunakannya untuk membaca ayat-ayat Allah baik yang tersurat dalam Alquran maupun yang tersirat pada alam semesta (Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2000:171). Jadi, menurut pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bersyukur kepada Allah yaitu berterimakasih atas seluruh nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita. Syukur ini

dapat dilakukan dengan cara mengucap kata syukur “hamdalllah” kepada Allah,

menerima, dan memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan kegunaannya.

5) Bersabar Menerima Cobaan Allah

(16)

Muchtar (2005:29) mengatakan bersabar adalah tabah menerima cobaan atau ujian dari Allah SWT. tetapi tentu saja sambil berusaha untuk mengubah atau memperbaikinya apabila kita mampu.

Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI (2000:170-171) mengatakan bahwa sabar adalah perilaku seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai hasil dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa yang menimpanya. Sabar diungkapkan ketika melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan ketika ditimpa musibah dari Allah. Sabar melaksanakan perintah adalah sikap menerima dan melaksanakan segala perintah tanpa pilih-pilih dengan ikhlas. Sedangkan sabar dalam menjauhi larangan Allah adalah berjuang mengendalikan diri untuk meninggalkannya. Sabar terhadap musibah adalah menerima musibah apa saja yang menimpa dengan tetap berbaik sangka kepada Allah serta tetap yakin bahwa ada hikmah dalam setiap musibah itu. Abu Thalib Al-Makky (dalam Anwar, 2010:96) berpendapat bahwa sabar adalah menahan diri dari dorongan hawa nafsu demi menggapai keridaan Tuhannya dan menggantinya dengan bersungguh-sungguh menjalani cobaan-cobaan Allah SWT terhadapnya. Jadi, bersabar adalah sikap tabah dalam menghadapi semua cobaan yang diberikan oleh Allah SWT dan menerima semua cobaan dengan ikhlas. Semua manusia harus bersabar menerima cobaan Allah, karena dengan bersabar maka manusia itu akan mendapat sebuah kebaikan dari Allah SWT. Cobaan yang diberikan Allah SWT tidak hanya berupa kesedihan saja, melainkan juga keadaan yang menyenangkan adalah ujian.

6) Memohon Ampun kepada Allah

Ali (2008:369) mengatakan bahwa memohon ampun atas segala dosa dan taubat dalam makna sadar untuk tidak lagi melakukan segala perbuatan jahat atau tercela. Ilyas (2012:62) mengatakan bahwa memohon ampunan kepada Allah SWT.

(17)

Semakin banyak dan sering seseorang mengucapkan istighfar kepada Allah SWT

maka akan semakin baik. Rasullullah saw. bersabda yang mempunyai arti “Tidak ada

dosa besar dengan istighfar, dan tidak ada dosa yang kecil kalau diulang-ulang” (HR.

Thabrani). Jadi, dari pendapat-pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa memohon ampun adalah merupakan perbuatan yang baik dan sangat dianjurkan untuk selalu dilaksanakan. Manusia adalah tempatnya salah, maka tidak mungkin ada manusia yang tidak pernah berbuat salah sedikitpun. Maka dari itu, kita sebagai manusia dan umat muslim sudah selayaknya kita meminta ampun kepada Allah setiap saat.

7) Pasrah atau Tawakal kepada Allah

Anwar (2010:93-94) mengatakan bahwa tawakal adalah menyerahkan segala

urusan kepada Allah ‘Azza wa Jalla’, membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan

tetap menapaki kawasan-kawasan hukum dan ketentuan. Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah SWT. Pasrah terhadap keadaan yang sedang dijalani menunjukkan keteguhan hatinya yakin kepada kuasa Allah. Pasrah atau tawakal mempunyai hubungan yang erat dengan pemahaman manusia akan takdir, rida, ikhtiar, sabar, dan doa. Pasrah atau tawakal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah SWT untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah kemudaratan, baik menyangkut urusan dunia maupun urusan akhirat. Ratnawati dkk (2002:39) berpendapat bahwa pasrah bukan merupakan sikap yang negatif, melainkan mengandung dimensi positif. Sikap itu dikatakan

demikian karena dengan cara pasrah manusia menjadi sadar

(18)

maka akan membuat manusia dapat bertahan. Manusia dapat mengantisipasi kemungkinan yang menimbulkan kegelisahan, tidak hancur, dan sebagainya sehingga kelak dapat menemukan alternatif lain yang lebih baik. Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI (2000:169-170) berpendapat bahwa tawakal kepada Allah yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan. Keadaan tersebut diterangkan pula dalam Alquran pada surat Hud ayat 123 yang berbunyi: kepada-Nyalah dikembalikan segala urusan. Oleh karena itu sembahlah dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak akan melupakan apa yang kemu kerjakan.

(19)

akan keadilan dan rahmat Allah. Jadi, dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pasrah atau tawakal kepada Allah adalah menyerahkan diri kepada Allah atas apa yang terjadi dan percaya bahwa Allah akan memberikannya yang terbaik.

b) Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia

Manusia adalah makhluk sosial, maka dari itu manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Manusia satu dengan yang lain harus menjaga hubungannya agar tercipta kehidupan yang harmonis. Ali (2008:370) menerangkan bahwa hubungan antar manusia ini dapat dibina dan dipelihara, antara lain dengan mengembangkan cara dan gaya hidup yang selaras dengan nilai dan norma yang disepakati bersama dalam masyarakat dan negara yang sesuai dengan nilai dan norma agama. Cara dan gaya hidup tersebut antara lain yaitu: a) tolong menolong, bantu membantu; b) suka memaafkan kesalahan orang lain; c) menepati janji; d) lapang dada; dan e) menegakkan keadilan dan berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain.

Muchtar (2005:39-41) menambahkan bahwa kewajiban terhadap sesama

manusia ada beberapa poin yaitu: pertama, menghormati dan memenuhi hak-haknya

antara lain: hak untuk hidup, hak untuk beragama, hak untuk mendapat pendidikan,

hak untuk bekerja, dan hak untuk berpendapat atau menentukan pilihan. Kedua,

bersikap lemah lembut dan sopan santun kepada siapapun tanpa membedakan suku bangsa, ras, keturunan, agama, golongan, kedudukan, tingkat sosial, maupun tingkat

pendidikan. Ketiga, saling menolong dalam kebaikan tanpa memandang atau

(20)

Keempat, mengajak kebaikan dan mencegah keburukan. Penelitian ini memfokus pada lima aspek yaitu: a) tolong menolong; b) suka memaafkan kesalahan orang lain; c) menepati janji; d) lapang dada; dan e) mengajak kebaikan dan mencegah keburukan.

1) Tolong-menolong

Anwar (2010:113) mengatakan bahwa dalam hidup ini jarang sekali ada orang yang tidak memerlukan pertolongan orang lain. Ada kalanya karena sengsara dalam hidup; ada kalanya karena penderitaan batin atau kegelisahan jiwa; ada kalanya

karena sedih mendapat berbagai musibah. Ilyas (2012:224) mengatakan Ta’awun

artinya saling tolong menolong. Yang kuat menolong yang lemah, yang mempunyai kelebihan menolong yang kekurangan. Tolong menolong terdapat pada hadits yang

diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dengan artinya berbunyi “Seorang muslim adalah

saudara muslim lainnya, masing-masing tidak boleh menzalimi dan membiarkan yang lain tanpa pertolongan. Barangsiapa memperhatikan kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memperhatikan kebutuhannya. Barangsiapa melepaskan kesusahan saudaranya, maka Allah akan melepaskan kesusahannya di Hari Kiamat. Dan barangsiapa menutup cela seorang muslim, maka Allah akan menutup cela dirinya

pada Hari Kiamat (HR. Bukhari Muslim)”. Muchtar (2005:38) mengatakan bahwa

dalam Alquran kita diperintahkan untuk saling menolong dalam hal kebaikan dan

takwa (wata’awanu alal birri wa taqwa) serta dilarang saling menolong dalam

keburukan dan permusuhan (wala ta’awanu alal itsmi wal udwan). Jadi, dalam

(21)

2) Suka Memaafkan Kesalahan Orang Lain

Ilyas (2012:140-141) mengatakan bahwa pemaaf adalah sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada sedikitpun rasa benci dan keinginan

untuk membalas. Dalam bahasa Arab sifat pemaaf tersebut disebut dengan al-‘afwu

yang secara etimologis berarti kelebihan atau yang berlebih. Sebagian terdapat dalam Surat Al Baqarah ayat 219 yang berbunyi:

ُ ۡسَيَو

Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir

Yang berlebih seharusnya diberikan agar keluar. Dari pengertian

mengeluarkan yang berlebih itu, kata al-afwu kemudian berkembang maknanya

menjadi menghapus. Dalam konteks bahasa ini memaafkan berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati. Memaafkan kesalahan seseorang ini memanglah berat, namun kita sebagai orang yang beriman kepada Allah harus sesalu berusaha untuk dapat memaafkan kesalahan orang lain. Sifat pemaaf adalah salah satu dari manifestasi ketakwaan kepada Allah SWT. Allah berfirman dalam surat

Ali’imran 133-134 yang berbunyi:

Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada

(22)

diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Islam mengajarkan kepada kita untuk dapat memaafkan kesalahan orang lain tanpa harus menunggu permohonan maaf dari yang bersalah.

Shihab dalam Ilyas (2012:141-142) mengatakan bahwa tidak ditemukan satu

ayat pun yang menganjurkan untuk meminta maaf, tetapi yang ada adalah

perintah untuk memberi maaf. Sekalipun orang yang bersalah telah menyadari keslahannya dan berniat untuk minta maaf, tetapi boleh jadi dia mengalami hambatan psikologis untuk mengajukan permintaan maaf. Apalagi bagi orang-orang merasa status sosialnya lebih tinggi daripada orang-orang yang akan dimintainya maaf itu. Misalnya seorang pemimpin kepada rakyatnya, seorang bapak kepada anaknya, seorang manajer kepada karyawannya, atau yang lebih tua kepada yang lebih muda. Barangkali itulah salah satu hikmahnya, kenapa Allah memerintahkan kita untuk memberi maaf sebelum dimintai maaf. Nashori (2008:53) mengatakan bahwa dalam pemaafan terdapat kesiapan memberikan ampunan atau maaf bagi orang lain, baik diminta atau tidak diminta. Keterbukaan diri untuk memberikan maaf kepada orang lain adalah tanda utama yang dapat segera ditangkap orang lain. Jadi, memaafkan kesalahan orang lain adalah anjuran yang diperintahkan oleh Allah SWT. Memaafkan kesalahan orang lain itu harus dengan ikhlas tanpa orang yang berbuat salah itu harus meminta maaf kepada kita terlebih dahulu.

3) Menepati Janji

(23)

apabila berjanji, seorang muslim akan selalu menepatinya, sekalipun dengan musuh

atau anak kecil. Rasulullah bersabda yang artinya adalah “Barang siapa yang berkata

kepada anak kecil, mari kemari, saya beri korma ini. Kemudian dia tidak

memberikannya, maka dia telah membohongi anak itu (HR. Ahmad)”. Mungkir janji

juga termasuk salah satu sifat munafik sebagaimana telah disebutkan dalam hadits tersebut. Allah SWT menyukai orang-orang yang menepati janji. Dalam Al Quran disebutkan pujian Allah SWT kepada Nabi Ismail as. yang menepati janji, terdapat

pada surat Maryamayat 54 yang berbunyi:

ُۡرهكۡاٱَو

Artinya: Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail

(yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi

Jadi, menurut pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa janji adalah hutang, dan hutang haruslah dibayarkan. Janji itu ibarat hutang, jadi kalau janji itu tidak ditepati maka orang yang sudah berjanji itu dia terkena dosa. Orang yang tidak menunaikan janjinya termasuk juga dalam golongan orang-orang munafik. Orang munafik itu tidak disukai Allah SWT. Berdasarkan hal itu, maka jika kita akan berjanji harus dengan hati-hati, apakah kita bisa menepatinya atau tidak.

4) Lapang Dada

(24)

berbagai situasi yang secara objektif tidak menyenangkan secara psikis dan menyakitkan secara fisik. Ilyas (2012:142-143) berpendapat bahwa berlapang dada

dalam bahasa Arab disebut dengan ash-shafhu yang secara etimologis berarti lapang.

Halaman pada sebuah buku dinamai shafahah karena kelapangan dan keluasannya.

Dari sini ash-shafhu dapat diartikan kelapangan dada. Berjabat tangan dinamai

mushafahah karena melakukannya menjadi lambang kelapangan dada.

Ibarat menulis di selembar kertas, jika terjadi kesalahan tulis, kesalahan itu akan dihapus dengan alat penghapus. Tapi serapi-rapi menghapus tentu akan meninggalkan bekas, bahkan barangkali kertas tersebut menjadi kusut. Supaya lebih baik dan rapi, sebaiknya diganti saja kertasnya dengan lembaran baru. Menghapus kesalahan itulah yang disebut dengan memaafkan, sedangkan berlapang dada adalah menukar lembaran yang salah dengan lembaran yang baru sama sekali. Jadi, dari pendapat-pendapat tersebut, lapang dada adalah sikap menerima berbagai kenyataan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh orang lain dengan tenang dan terkendali. Lapang dada menuntut seseorang untuk membuka lembaran baru hingga sedikitpun hubungan tidak ternodai, tidak kusut dan tidak seperti halaman yang telah dihapus kesalahannya. Lapang dada berarti menerima dengan ikhlas perlakuan tidak mengenakkan oleh orang lain kepada kita.

5) Mengajak Kebaikan dan Mencegah Keburukan

Mengajak kebaikan dan mencegah keburukan ini biasa disebut dengan istilah

(25)

dari kemungkaran merupakan ciri orang-orang yang beriman. Hal ini merupakan tujuan dilahirkannya kita yang membedakannya dari umat-umat lain.

Ilyas (2012:241) mengatakan bahwa yang menjadi ukuran ma’ruf atau

munkanya sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati nurani. Bisa kedua-duanya sekaligus atau salah satunya. Semua yang diperintahkan oleh

agama adalah ma’ruf, begitu juga sebaliknya, semua yang dilarang agama

adalah munkar. Hal-hal yang tidak ditentukan oleh agama ma’ruf dan

munkarnya ditentukan oleh akal sehat atau hati nurani.

Muchtar (2005:39-41) mengatakan bahwa dengan mengajak kebaikan berarti kita mencegahnya dari berbuat buruk, dan dalam mencegah keburukan berarti kita telah

menuju ke arah kebaikan. Perbuatan ma’ruf adalah perbuatan baik yang kebaikannya

diketahui dengan salah satu dari dua jalan. Pertama, diketahui oleh akal pikiran yang sehat. Kedua, diketahui melalui dalil-dalil syar’i yang terdapat dalam Alquran dan

hadis Nabi Muhammad saw. Oleh karenanya, ma’ruf meliputi semua jenis kebaikan

yang ada, baik ada dalilnya dari Alquran dan al-hadits, atau hanya berdasar pikiran

dan hati nurani manusia semata. Amar ma’ruf nahi munkar ini adalah kewajiban

orang-orang yang beriman, baik secara individu maupun secara kelompok atau kolektif. Mengajak pada kebaikan atau dalam bahasa lain berdakwah tidak harus dalam pengertian ceramah dimuka publik, mengajak kebaikan bisa dilakukan perorangan kepada perorangan dan hal ini merupakan salah satu sunah yang dilakukan Rasulullah Muhammad saw. Orang yang mengajak kebaikan tentu dirinya sendiri akan terjaga dalam kebaikan tersebut.

c) Hubungan Manusia dengan Alam

(26)

dari alam sekitarnya, melainkan bersama-sama dengan sekitarnya, baik sekitar fisik, terutama sekitar sosial. Hubungan manusia dengan sekitar fisik dan sosial ini bersifat kausal (sebab akibat). Pada satu sisi manusia menimbulkan perubahan alam sekitar, tetapi pada sisi yang lain, manusia dipengaruhi oleh alam sekitar. Dari hubungan-hubungan dengan sekitar sosial ini pula manusia memperoleh stimulus-stimulus sosial, seperti: sikap-sikap, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan tingkah laku, dan sebagainya.

Berpegang pada dalil-dalil Alquran yang ada, maka alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan adalah untuk kepentingan manusia dan untuk dipelajari manusia agar manusia dapat menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai manusia di muka bumi ini. Ayat yang membahas tentang hal tersebut adalah sebagai berikut:

a) Pertama terdapat pada surat Al Mulk ayat 15 yang berbunyi:

َُوهه

berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan

b) Kedua terdapat pada surat Al Baqarah ayat 29 yang berbunyi:

َُوهه

Artinya: Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu

(27)

c) Ketiga terdapat pada surat Luqman ayat 20 yang berbunyi:

Artinya: Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan

untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan

Manusia juga dibebani tugas, di samping tugas untuk memanfaatkan alam ini dengan sebaik-baiknya juga tugas untuk memelihara dan melestarikan alam ini dan dilarang untuk merusaknya. Seperti tercantum pada surat-surat berikut:

a) Pertama terdapat pada surat Al Jumuah ayat 10 yang berbunyi:

اَاِإَف

Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka

bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung

b) Kedua terdapat pada surat Al Baqarah ayat 60 yang berbunyi:

ُِاوَإِ۞

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami

(28)

Selanjutnya Salahudin dan Alkrienciehie (2013:114) berpendapat bahwa relasi

manusia dengan alam semesta dimaknai dalam kerangka taskhir dan ta’mir

(menundukkan dan memakmurkan), bukan mengeksploitasi dan merusak. Alam harus ditundukkan dengan diamati, dipelajari, diteliti, dan dikonsepsikan hukum-hukum yang berlaku padanya, sehingga dengan penguasaan hukum-hukum alam (hukum kasualitas), kita dapat membangun, memakmurkan, dan menyejahterakan umat manusia.

Misi agama Islam adalah mengembangkan rahmat bukan hanya kepada manusia tetapi juga kepada alam dan lingkungan hidup. Allah berfirman dalam surat

Al Anbiyaa ayat 107 yang mempunyai arti “Tidaklah kami mengutus engkau

(Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”. Misi tersebut

tidak terlepas dari tujuan diangkatnya manusia sebagai khalifah di muka bumi, yaitu sebagai wakil Allah yang bertugas memakmurkan, mengelola, dan melestarikan alam. Berakhlak kepada lingkungan hidup adalah menjalin dan mengembangkan hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya. Memakmurkan alam adalah mengelola sumber daya sehingga dapat memberi manfaat bagi kesejahteraan manusia tanpa merugikan alam itu sendiri.

Allah menyediakan bumi yang subur ini untuk disikapi oleh manusia dengan kerja keras mengolah dan memeliharanya sehingga melahirkan nilai tambah yang

tinggi sebagaimana firman-Nya dalam surat Hud ayat 61 yang mempunyai arti “Dia

menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian sebagai pemakmurannya”.

(29)

perbuatan yang merusakkan alam. Alam dan lingkungan yang terkelola dengan baik dapat memberi manfaat yang berlipat-lipat, sebaliknya alam yang dibiarkan merana atau hanya diambil manfaatnya akan mendatangkan mala petaka bagi manusia. (Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, 2000:175-176). Muchtar (2005:41-42) mengatakan bahwa ada tiga kewajiban utama manusia terhadap alam sekitar yaitu: a) Mengelola sumber daya alam; b) tidak merusak lingkungan; c) memanfaatkan sumber daya alam.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, evaluasi DTPs pada pengobatan pasien tifoid di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 -

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul

The science of food, an introduction to food science, nutrition and microbiology second edition (Terjemahan: Ilmu pangan: pengantar ilmu pangan, nutrisi, dan

Manfaat penelitian secara teoritis adalah mengembangkan ilmu keperawatan anak melalui penyuluhan imunisasi dan menambah referensi penelitian dengan cara mengetahui pengaruh

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) tidak ada hubungan prestasi belajar mata pelajaran kewirausahaan dengan jiwa kewirausahaan siswa SMK; (2) tidak ada

Rangkaian dekoder digunakan untuk pengkodean (sandi) untuk menentukan jumlah pulsa yang digunakan Dalam hal ini jumlah kodenya adalah tiga sinyal jika bukan maka akan

In order to produce steamed buns with desirable physical qualities and antioxidant activity, appropriate mixing time, mixing speed, and angkak concentration are

Dalam rangka mencari metode pembelajaran yang tepat maka, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) pemahaman awal siswa mengenai konsep usaha dan energi; (2) pemahaman