• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Dosen Politeknik Negeri Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Dosen Politeknik Negeri Medan"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

POLITEKNIK NEGERI MEDAN

TESIS

Oleh

RISMAWATI

057019026/IM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Para ahli dan praktisi manajemen telah mengakui bahwa sumber daya manusia dalam organisasi merupakan faktor sentral yang perlu mendapat perhatian. Dalam paradigma masa kini, sumber daya manusia yang bekerja dalam perusahaan adalah merupakan kekayaan (asset) dan salah satu sumber keunggulan kompetitif dan elemen kunci yang penting untuk meraih kesuksesan dalam bersaing dan mencapai tujuan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam memenuhi kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas adalah melalui sistem pendidikan yang dapat dihandalkan. Untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, perlu diupayakan melalui pendidikan dan latihan yang diprogram dengan baik dan benar. Era globalisasi, reformasi, dan demokratisasi yang sangat dinamis, mengharuskan dunia pendidikan mengembangkan paradigma akademik baru dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang mampu mengantisipasi perubahan global yang sedang terjadi. Berbagai pandangan, dasar berpikir, keputusan dan upaya pengembangan secara sistematik perlu diperhatikan dalam merumuskan tujuan yang akan dicapai.

Politeknik Negeri Medan adalah lembaga pendidikan tinggi yang memiliki peran strategis yang didirikan sejak tahun 1982. Hal ini karena Politeknik Negeri Medan menawarkan jalur pendidikan vokasi (kejuruan) untuk mempersiapkan tenaga trampil dan profesional yang dibutuhkan dalam proses pembangunan daerah maupun pembangunan nasional.

(3)

disiplin yang tinggi dan sesuai dengan kebutuhan pasar. Sekarang kondisi ini berubah. Hal ini dapat dilihat dari misalnya: bahan ajar yang dihasilkan sangat terbatas dalam kuantitas maupun kualitas. Dari hasil kuesioner yang diberikan pada saat evaluasi yang diadakan di setiap akhir semester diperoleh pula beberapa keluhan yaitu penguasaan metodologi pembelajaran oleh dosen tidak lagi terstruktur baik, dosen mengajar cenderung satu arah, pemberian umpan balik kurang terlaksana, dan sistem evaluasi pembelajaran yang tidak lagi standard. Selain itu, dosen sering mengajar tidak tepat waktu, persentase jumlah jam mengajar per semester rata-rata hanya memenuhi batas minimal yang ditetapkan lembaga. Selain itu para dosen tidak dapat lagi berkonsentrasi untuk proses pembelajaran yang lebih baik, karena cenderung tidak lagi memiliki waktu untuk melakukan persiapan, kurang memanfaatkan waktu luang yang ada, sistem monitoring yang melemah, dan tidak adanya lagi pelatihan teaching methodology yang lengkap bagi staf pengajar baru, lemahnya budaya menulis serta perubahan dalam hubungan sosial diantara sesama dosen.

Keseluruhan indikasi diatas banyak mempengaruhi kualitas alumni Politeknik Negeri Medan. Selain itu, masalah lain yang muncul adalah lembaga kurang meresponi tuntutan dosen akan perbaikan tingkat kesejahteraan sehingga motivasi mengajarnya sudah berkurang karena lembaga tidak dapat meningkatkan pendapatan para dosen sesuai dengan kebutuhannya

(4)

meningkatkan kinerja itu biasanya dilakukan dengan cara memberikan motivasi. Dosen yang memiliki tingkat kemampuan yang memadai tetapi tidak memiliki motivasi kerja untuk melaksanakan tugasnya dapat mengakibatkan tidak tercapainya tujuan yang diharapkan.

Berdasarkan ketiga unsur Tri Darma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian serta Pengabdian, maka unsur Pendidikan dan Pengajaran yang menjadi perlu menjadi perhatian, karena dari data-data untuk dua unsur terakhir dari Tri Darma Perguruan Tinggi terlihat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan dari tahun ke tahun ada pertambahan bantuan dana untuk kegiatan penelitian dan pengabdian yang diberikan kepada dosen. Selain itu, beberapa jurusan yang ada di Politeknik Negeri Medan berhasil memenangkan beberapa program hibah bersaing yang diberikan Dikti, dan salah satu kegiatan yang didanai adalah kegiatan penelitian. Hal inilah yang menyebabkan unsur penelitian dan pengabdian senantiasa banyak dilakukan di Politeknik Negeri Medan.

(5)

Tabel 1.1

Rekapitulasi Rata-rata Kehadiran Mengajar Dosen Politeknik Negeri Medan Tahun Ajaran 2004/2005 dan 2005/2006

RATA-RATA KEHADIRAN MENGAJAR DOSEN

Sumber: Politeknik Negeri Medan (2007)

Pada Tabel 1.1 diatas, rata-rata kehadiran dosen masih berada pada tingkat minimal yang diharapkan (75%). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata dosen hanya berusaha memenuhi standard minimal yang ditetapkan Politeknik Negeri Medan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, ditemukan bahwa dosen memperlihatkan pencapaian kinerja yang tidak memuaskan. Relatif rendahnya pencapaian kinerja dosen diakui memberikan dampak terhadap tingkat kepuasan mahasiswa.

(6)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dirumuskan masalah sebagai berikut: bagaimana pengaruh motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kinerja dosen Politeknik Negeri Medan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kinerja dosen Politeknik Negeri Medan

2. Untuk mengetahui variabel mana yang paling dominan mempengaruhi kinerja dosen Politeknik Negeri Medan

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak terutama:

1. Memberi masukan bagi pimpinan Politeknik Negeri Medan dalam rangka memotivasi dan menciptakan budaya organisasi yang bermanfaat untuk meningkatan kinerja dosen

2. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan khasanah ilmu pengetahuan, artinya dapat memperkuat teori-teori tentang motivasi kerja, budaya organisasi, dan kinerja, maupun untuk merespon penelitian terdahulu.

3. Menambah dan memperluas pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam bidang manajemen personalia khususnya mengenai topik motivasi, budaya organisasi dan kinerja

(7)

1.5 Kerangka Pemikiran

Dosen yang memiliki tingkat kemampuan yang baik dan didorong oleh kuatnya motivasi kerja akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga dapat menghasilkan tamatan (alumni) yang berkualitas dan profesional sesuai dengan harapan. Proses pembelajaran sangat tergantung pada motivasi kerja dosen. Untuk itu motivasi kerja dosen harus selalu ditingkatkan. Upaya-upaya untuk meningkatkan motivasi kerja itu harus selalu dipikirkan. Staf pengajar yang memiliki tingkat kemampuan yang memadai tetapi tidak memiliki motivasi kerja untuk melaksanakan tugasnya dapat mengakibatkan tidak tercapainya tujuan yang diharapkan.

Pemikiran diatas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Siagian (2002), yang menyatakan bahwa: ”motivasi sebagai keseluruhan proses pemberian motif bekerja pada karyawan sedemikian rupa, sehingga karyawan mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan”. Selanjutnya, menjadi bagian dari organisasi berarti menjadi bagian dari budayanya. Pada kaitan organisasi, maka budaya organisasi adalah nilai yang mendasar dalam cara mengelola serta mengorganisasikannya. Nilai-nilai itu merupakan keyakinan yang dipegang teguh dan kadang-kadang tidak terungkapkan. Nilai-nilai dan semangat ini merupakan suatu kunci yang sangat strategis, bahkan menjadi alat motivasi masing-masing individu dan atau organisasi dalam usaha menjawab tantangan serta usaha memanfaatkan peluang guna meningkatkan kinerja organisasi. Robbins (2002) menyatakan bahwa: ”strong cultures increase behavioral consistency”.

(8)

organisasi yang tidak hanya harus fleksibel, tetapi juga harus sensitif terhadap berbagai perbedaan budaya yang dihadapi oleh anggota organisasi. Dosen yang sudah memahami keseluruhan nilai-nilai organisasi akan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai suatu kepribadian organisasi. Nilai dan keyakinan tersebut akan diwujudkan menjadi perilaku keseharian mereka dalam bekerja, sehingga akan menjadi kinerja individual.

Djokosantoso (2003) menyatakan bahwa: “ada keterkaitan hubungan antara budaya organisasi dengan kinerja organisas. Semakin baik kualitas faktor-faktor yang terdapat dalam budaya organisasi, maka makin baik kinerja organisasi tersebut”.

Seorang Dosen yang memiliki kemampuan dalam penguasaan di bidang pekerjaannya, mempunyai minat untuk melakukan pekerjaan tersebut, serta mengerti perannya dengan jelas, maka dosen tersebut akan memiliki motivasi bekerja yang baik serta landasan yang kuat untuk berprestasi dan memiliki kinerja yang lebih baik.

(9)

Gambar 1.1 menjelaskan kerangka konseptual pengaruh motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kinerja karyawan.

Motivasi Kerja

Kinerja

Budaya Organisasi

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

1.6 Hipotesis Penelitian

(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Marifah (2005), melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pekerja Sosial pada Unit Pelaksana

Teknik Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis motivasi kerja, budaya organisasi dan kinerja pegawai serta pengaruhnya. Penelitian ini merupakan tipe penelitian eksplanatory (penjelasan) karena penelitian ini bermaksud menjelaskan variabel-variabel melalui pengujian hipotesis yang telah dirumuskan. Populasi penelitian ini adalah seluruh pekerja sosial yang ada di UPT Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur, yaitu sebanyak 77 orang. Analisis data menggunakan metode regresi linear berganda (multiple regression).

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa motivasi kerja dan budaya organisasi secara partial dan simultan berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai.

(11)

termasuk tingkat kinerja dengan kriteria ”sedang”. (3) Terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara motivasi kerja dengan kinerja guru SLTP Negeri Muara Lawa. Guru disarankan untuk meningkatkan motivasi kerja dan kinerjanya. Kepala sekolah diminta untuk memperhatikan faktor-faktor yang mampu meningkatkan motivasi kerja dan kinerja guru, misalnya melalui penghargaan, insentif maupun menciptakan suasana yang harmonis di sekolah, sehingga kinerja guru meningkat.

Penelitian Arnita (2002) yang berjudul “Pengaruh Budaya Organisasi Baru terhadap Motivasi dan Prestasi Kerja di PT Nusantara IV (Persero) Sumatera

(12)

Tabel 2.1

Mapping Perbedaan Masing-masing Hasil Penelitian

No - Terkaitan dengan lingkungan - Hakekat kegiatan manusia

- Hakekat realitas dan kebenaran

- Hakekat waktu - Hakekat sifat manusia

- Hakekat hubungan antar manusia - Homogenity vs diversity

Kinerja:

- Faktor kualitas kerja - Faktor kuantitas - Faktor pengetahuan - Faktor keandalan

- Imbalan yang layak - Kesempatan untuk

promosi

- Memperoleh pengakuan - Keamanan bekerja - Lingkungan kerja yang

baik

(13)

menggunakan sumber belajar

- Kesetiaan

- Bertanggung jawab - Kedisiplinan - Kreativitas

- Melakukan interaksi dengan murid

- Kepribadian yang baik, jujur dan objektif - Mampu berpikir

sistematis

- Menguasai administrasi - Dinamika peluang karir - Dinamika tim kerja - Aspek kompetisi - Dinamika kebijakan perusahaan

Motivasi:

- Sikap menyatu dengan pekerjaan

- Bertanggung jawab se- Cara kreatif dan inovatif

- Keinginan umpan balik

Prestasi kerja: - Prestasi kerja - Kemampuan teknis - Kepribadian dan penam- pilan

(14)

Kinerja:

- Kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas mengajar

- Bertanggung jawab memantau hasil belajar - Melakukan interaksi

dengan mahasiswa untuk menimbulkan motivasi

(15)

2.2 Motivasi Kerja

Orang-orang yang termotivasi akan melakukan pekerjaannya lebih baik daripada yang tidak. Namun, pernyataan ini bersifat relatif. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi anggota organisasi berbeda satu dengan yang lainnya, termasuk dalam hal kebutuhan dan keinginan. Hal ini berbeda karena setiap anggota organisasi adalah unik secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses yang berbeda pula. Oleh karena itu berikut ini akan dijelaskan beberapa pengertian dan teori motivasi.

2.2.1 Pengertian Motivasi Kerja

Stanford dalam Mangkunegara (2002) menyatakan bahwa: ”motivasi sebagai suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah suatu tujuan tertentu”.

Supardi dan Anwar (2004) menyatakan bahwa: ”motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan”. Motivasi yang ada pada seseorang akan mewujudkan suatu perilaku yang diarahkan pada tujuan mencapai sasaran kepuasan. Motivasi bukanlah yang dapat diamati tetapi adalah hal yang dapat disimpulkan karena sesuatu perilaku yang tampak.

(16)

Menurut As'ad (2003) bahwa: ’motivasi seringkali diartikan dengan istilah dorongan’. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat sehingga motivasi tersebut merupakan driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Lebih lanjut Wexley & Yulk dalam As'ad (2003), memberikan batasan mengenai motivasi sebagai: “the process by which behaviour is energized and directed (motivasi merupakan hal yang melatar belakangi individu berbuat untuk mencapai tujuan tertentu)”. Seseorang yang dengan sengaja mengikatkan diri menjadi bagian dari organisasi mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, salah satunya adalah agar mereka dapat berinteraksi dengan manusia lainnya dan agar kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi.

Hasibuan (2003) menyatakan bahwa motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti ‘dorongan atau daya penggerak’. Hasibuan mengemukakan bahwa: ”motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja sama, efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan”.

Motivasi ini hanya diberikan kepada manusia, khususnya kepada para bawahan atau pengikut. Motivasi penting karena dengan motivasi ini diharapkan setiap individu (karyawan) mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi. Motivasi harus dilakukan pimpinan terhadap bawahannya karena adanya dimensi tentang pembagian pekerjaan untuk dilakukan dengan sebaik-baiknya.

(17)

mengaktifkan, memberi daya, serta mengarahkan perilaku untuk melaksanakan tugas-tugas dengan baik guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2.2.2 Teori Motivasi

Dalam pembahasan teori-teori motivasi, ada beberapa yang cukup menonjol. Robbins (2002) menyatakan bahwa ada beberapa teori motivasi, yaitu:

1. Teori motivasi higienis diajukan oleh Frederick Herzberg, dengan keyakinan bahwa hubungan individu dengan pekerjaan adalah sesuatu yang mendasar dan bahwa sikap seseorang terhadap pekerjaan akan sangat menentukan kesuksesan atau kegagalannya. Menurut teori ini motivasi ini ditekankan pada prestasi kerja, pengaruh, pengendalian, ketergantungan, pengembangan, dan afiliasi (Parrek dalam Ariadi: 2006).

Prestasi kerja, yaitu sesuatu yang dicapai oleh seorang pekerja di bawah lingkungan kerja yang sulit sekalipun. Misalnya dalam menyelesaikan tugas yang dibatasi oleh jadwal waktu (deadline) yang ketat yang harus dipenuhi, seorang pekerja dapat menyelesaikan tugasnya dengan hasil yang memuaskan.

Pengaruh, yaitu upaya yang dilakukan untuk mempertahankan gagasan atau argumentasi sebagai bentuk dari kuatnya pengaruh yang ingin ditanamkan kepada orang lain. Saran-saran atau gagasan yang diterima sebagai bentuk partisipasi dari seorang pekerja akan menumbuhkan motivasi, apalagi jika gagasan atau pemikiran tersebut dapat diikuti oleh orang lain yang dapat dipakai sebagai metode kerja baru dan ternyata hasilnya adalah positif dan dirasakan lebih baik.

(18)

bawahannya untuk bekerja sendiri sepanjang pekerjaan itu memungkinkan dan menumbuhkan partisipasi.

Ketergantungan, yaitu kebutuhan dari bawahan terhadap orang-orang yang berada di lingkungan kerjanya, baik terhadap sesama pekerja maupun terhadap atasan. Adanya saran, gagasan atau ide dari atasan kepada bawahan yang dapat membantunya memahami suatu masalah atau cara penyelesaian masalah akan menjadi motivasi yang positif.

Pengembangan, yaitu upaya yang dilakukan oleh organisasi terhadap pekerja atau oleh atasan terhadap bawahannya untuk memberikan kesempatan guna meningkatkan potensi dirinya melalui pendidikan ataupun pelatihan. Pengembangan ini dapat menjadi motivator yang kuat bagi karyawan. Di samping pengembangan yang menyangkut kepastian karir pekerja, pengertian pengembangan dimaksudkan disini juga menyangkut metode kerja yang dipakai. Adanya perubahan metode kerja yang dirasakan lebih baik karena membantu penyelesaian tugas juga menjadi motivasi bagi pekerja.

Afiliasi, yaitu dorongan untuk berhubungan dengan orang-orang atas dasar sosial. Keterbukaan orang-orang yang berada di lingkungan kerja yang memungkinkan hubungan antar pribadi dapat berjalan dengan baik, saling membantu masalah pribadi akan menjadi motivasi yang positif dari pekerja.

2. Abraham Maslow, membagi kebutuhan manusia dalam hirarki kebutuhan, bahwa motivasi manusia berhubungan dengan lima kebutuhan, yaitu a). kebutuhan fisik (physiological need), b). kebutuhan untuk memperoleh keamanan dan keselamatan (Security of safety need), c). kebutuhan bermasyarakat (social need),

(19)

Abraham Maslow menyatakan bahwa proses motivasi seseorang secara bertahap mengikuti pemenuhan kebutuhan, dari kebutuhan yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling kompleks. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan dasar, yang bersifat primer dan vital, yang menyangkut fungsi-fungsi biologis seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan, kesehatan fisik, dan lain-lain. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan, seperti terjaminnya keamanan, terlindung dari bahaya dan ancaman penyakit, perang, kemiskinan, kelaparan, perlakuan tidak adil, dan lain sebagainya. Kebutuhan sosial, meliputi kebutuhan akan dicintai, diperhitungkan sebagai pribadi, diakui sebagai anggota kelompok, dan sebagainya. Kebutuhan akan penghargaan, termasuk kebutuhan dihargai karena prestasi, kemampuan, kedudukan, pangkat, dan sebagainya. Kebutuhan akan aktualisasi diri, seperti kebutuhan mempertinggi potensi yang dimiliki, pengembangan diri secara maksimum, kreatifitas, ekspresi diri, dan sebagainya. Kebutuhan tertinggi menurut Maslow adalah kebutuhan transenden, yaitu kebutuhan untuk berperilaku mulia, memberi arti bagi orang lain, terhadap sesama, terhadap alam, dan sebagainya.

Berdasarkan pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang memasuki organisasi didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan, berupa penghasilan yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhannya.

(20)

untuk mencapai tujuan yang diinginkan, c). Karyawan akan mengelakkan tanggung jawab dan sedapat mungkin hanya mengikuti perintah formal, dan d). Kebanyakan pekerja mengutamakan rasa aman (agar tidak ada alasan untuk dipecat) diatas semua faktor dan hanya menunjukkan sedikit ambisi. Dalam teori Y, juga terdapat empat asumsi yang berlawanan, yaitu: a). karyawan memandang pekerjaan sama alamiahnya dengan istirahat dan bermain, b). Seseorang yang memiliki komitmen pada tujuan akan melakukan pengarahan dan pengendalian diri, c). Seorang yang biasa-biasa saja dapat belajar untuk menerima, bahkan mencari tanggung jawab, dan d). Kreativitas – yaitu kemampuan untuk membuat keputusan yang baik – didelegasikan kepada karyawan secara luas dan tidak harus berasal dari orang yang berada dalam manajemen.

4. McCleland dan kawan-kawan telah mengajukan tiga motif atau kebutuhan utama yang relevan di tempat kerja:

a. Kebutuhan akan prestasi: Dorongan untuk unggul, untuk mencapai sederetan standar guna meraih kesuksesan.

c. Kebutuhan akan kekuasaan: Kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dengan cara yang diinginkan

d. Kebutuhan akan afiliasi: Hasrat akan hubungan persahabatan dan kedekatan antarpersonal.

(21)

6. Teori Reinforcemen (B F Skinner); Teori ini memiliki pendekatan perilaku, yang menyatakan bahwa reinforcement membentuk perilaku.

7. Teori Equity atau kewajaran (Jane Pearson); Menyatakan bahwa karyawan membandingkan apa yang mereka berikan ke dalam suatu situasi kerja (input) terhadap apa yang mereka dapatkan dari pekerjaan tersebut (outcome) dan kemudian membandingkan rasio input-outcome mereka dengan rasio input-outcome rekan kerja sejawatnya. Jika mereka menganggap rasio input-outcome

mereka sama dengan orang lain, keadaan tersebut dianggap adil. Jika rasio tidak sama, rasa ketidak adilan muncul; artinya karyawan cenderung melihat diri mereka sendiri kurang diberi penghargaan. Bila ketidak adilan terjadi, karyawan akan berusaha untuk melakukan koreksi.

8. Teori ekspektasi (Victor Vrooms); Pada dasarnya teori ekspektasi menyatakan bahwa kekuatan dari kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu tergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil tertentu serta pada daya tarik hasil tersebut bagi individu. Oleh karena itu, teori ini mengemukakan tiga variabel berikut ini:

a. Daya tarik: Pentingnya individu mengharapkan outcome dan penghargaan yang mungkin dapat dicapai dalam bekerja. Variabel ini mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu yang tidak terpuaskan.

b. Kaitan kinerja-penghargaan: Keyakinan individu bahwa dengan menunjukkan kinerja pada tingkat tertentu akan mencapai outcome yang diinginkan.

(22)

manajer adalah mengidentifikasi dan menggerakkan motif pegawai untuk berprestasi baik dalam pelaksanaan tugas atau mengurangi ketidak seimbangan. (Keith Davis, Bernard Berendoom dan Gary A Stainer dalam Sedarmayanti (2001).

2.2.3 Manfaat Motivasi Kerja

Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan, serta orang senang melakukan pekerjaannya. Sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan membuat orang senang mengerjakannya. Orang pun akan merasa dihargai/diakui, hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi, sehingga orang tersebut akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi, karena dorongan yang begitu tinggi menghasilkan sesuai target yang mereka tetapkan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak

pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi (Ishak dan Tanjung: 2003).

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi

(23)

Keinginan atau dorongan tersebut harus datang dari individu itu sendiri dan bukanlah dari orang lain dalam bentuk kekuatan dari luar”.

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah suatu perangsang keinginan dan daya gerak yang menyebabkan seseorang bersemangat dalam bekerja karena terpenuhi kebutuhannya. Karyawan yang bersemangat dalam bekerja disebabkan telah terpenuhinya kebutuhannya seperti gaji yang cukup, keamanan dalam bekerja, bebas dari tekanan dari pimpinan maupun rekan sekerja, dan kebutuhan lainnya, hal ini akan berdampak pada kepuasan kerja yang akhirnya mampu menciptakan kinerja yang baik.

Motivasi kerja adalah kekuatan yang mendorong semangat yang ada di dalam maupun diluar dirinya baik itu yang berupa reward maupun punishment, sehingga Herzberg dalam Luthans (2003) menyatakan bahwa pada manusia terdapat sepuluh faktor pemuas (motivation factor) yang disebut dengan satisfier atau intrinsic motivation, yang meliputi: 1). prestasi yang diraih (achievement), 2). pengakuan oranglain (recognition), 3). tanggung jawab (responsibility), 4). peluang untuk maju (advancement), 5). kepuasan kerja itu sendiri (the work itself), 6). dan pengembangan karir (the possibility of growth). Sedangkan faktor pemelihara (maintenance factor) yang disebut dengan disatisfier atau extrinsic motivation meliputi, 1). kompensasi; 2). keamanan dan keselamatan kerja; 3). kondisi kerja; 4). status; 5). prosedur perusahaan; 6). Mutu dari supervisi teknis dari hubungan interpersonal diantara teman sejawat, atasan, dan bawahan.

2.3 Budaya Organisasi

(24)

hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan budaya organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi itu dirasakan penting dan memiliki manfaat langsung maupun tidak langsung bagi perkembangan organisasi.

Sejak berdirinya organisasi atau perusahaan, secara sadar atau tidak pendiri meletakkan dasar bagi budaya organisasi yang didirikan. Pertumbuhan organisasi, sebagai hasil interaksi organisasi dengan lingkungannya, juga dalam mengusahakan pengembangan organisasinya, secara sadar perlu merubah nilai-nilai pokok tertentu. Budaya perusahaan perlu juga menyesuaikan diri terhadap pertumbuhan perusahaan.

Ketika orang berbicara soal budaya, maka yang dimaksudkan bukan hanya sesuatu yang “dimiliki” bersama, tapi ada makna kedalaman (kadang tidak terukur, kasat mata, dan tidak disadari).

Menurut Robbins (2002), terdapat tiga perspektif budaya organisasi, yaitu budaya yang kuat, budaya yang sesuai dan budaya yang adaptif. Budaya kuat mengacu pada nilai inti organisasi yang dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas oleh anggota organisasi, namun budaya yang kuat tidaklah cukup untuk dapat meningkatkan kinerja. Diperlukan adanya perspektif yang ke dua, yaitu budaya yang sesuai dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan kesesuaian konteks di sini adalah kesesuaian antara budaya dengan filosofi organisasi (visi, misi, tujuan organisasi); kesesuaian dengan kondisi objektif dari lingkungan industrinya; dan kesesuaian dengan strategi yang dijalankan oleh organisasi. Budaya yang kuat namun tidak sesuai dengan konteks budaya yang seharusnya akan mengakibatkan organisasi kehilangan arah dan menimbulkan ketidak-sesuaian jalur yang semestinya ditempuh.

(25)

kepuasan yang tinggi. Semakin kuat budaya organisasi, semakin tinggi komitmen yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja. Oleh karenanya, keunikan karakteristik suatu organisasi yang dicerminkan oleh budaya organisasi, perlu dikembangkan dan dianut oleh anggota organisasi tersebut.

Budaya perusahaan mengandung bauran nilai-nilai, kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan, dan pola perilaku. Budaya relatif stabil karena perubahannya sangat lamban. Budaya akan meningkatkan komitmen organisasi dasn meningkatkan konsistensi dari perilaku pegawai yang akan menuntun pegawai ke arah yang penting bagi organisasi.

2.3.1 Pengertian Budaya Organisasi

Ed Schein dari MIT, yang dikutip oleh Armstrong (1998) mendefinisikan bahwa:

”budaya perusahaan sebagai pola asumsi dasar yang ditemukan oleh kelompok tertentu, ditemukan atau dikembangkan untuk mempelajari cara mengatasi masalah-masalah adaptasi dari luar dan cara berintegrasi, yang telah berfungsi dengan baik atau di anggap berlaku, dan karena itu, harus diajarkan kepada para anggota baru sebagai yang benar untuk mengundang, memikirkan, dan merumuskan masalah-masalah ini.

Robbins (1998) mendefinisikan bahwa: “budaya organisasi (organization culture) sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain”. Lebih lanjut, Robbins (1998) menyatakan bahwa:

“sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi (“a system of shared meaning held by members that distinguishes the organization from other organization. This system of shared meaning is, on closer examination , a set of key characteristics that the organization values”).

Pendapat lain dikemukakan oleh Susanto (1997) yang menyatakan bahwa: “budaya organisasi adalah sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber

(26)

organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak dan berperilaku”.

Luthans (2003) menjelaskan bahwa: ”budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi”. Agar dapat diterima oleh lingkungannya, maka setiap anggota organisasi akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku pada organisasi tersebut. Jadi budaya organisasi berhubungan dengan lingkungan yang merupakan gabungan dari asumsi, perilaku, cerita, ide dan pemahaman penting untuk menentukan bagaimana seharusnya bekerja dalam suatu organisasi.

Definisi serupa diberikan oleh Van Muijen dan kawan-kawan (1997) yang menyatakan bahwa: “budaya perusahaan dapat digambarkan sebagai kumpulan dari nilai, norma, ungkapan, dan perilaku yang ikut menentukan bagaimana orang-orang dalam perusahaan saling berhubungan”. Hofstede (1994) mengemukakan bahwa pada tingkat organisas, budaya merupakan serangkaian asumsi, keyakinan, dan nilai-nilai dan persepsi dari para anggota organisasi yang mempengaruhi dan membentuk sikap dan perilaku kelompok yang bersangkutan.

(27)

petugas menerima tamu, kondisi ruangan, pakaian seragam, cara menerima telepon, dsb. Dapat juga dikatakan budaya organisasi adalah pola terpadu perilaku manusia di dalam organisasi termasuk pemikiran-pemikiran, tindakan-tindakan, pembicaraan-pembicaraan yang dipelajari dan diajarkan kepada generasi berikutnya.

2.3.2 Proses Terbentuknya Budaya Organisasi

Budaya bisa dilihat sebagai “fenomena” yang mengelilingi kehidupan orang banyak dari hari ke hari, bisa direkayasa dan dibentuk. Jika budaya dikecilkan ruang lingkupnya ke tingkat organisasi atau bahkan ke kelompok yang lebih kecil, akan dapat terlihat bagaimana budaya terbentuk, ditanamkan, berkembang, dan akhirnya direkayasa, diatur, dan diubah.

Kriteria Seleksi

Manajemen Puncak

Sosialisasi

Budaya Organisasi Filosofi Pendiri

Organisasi

Sumber: Robbins (2002)

Gambar 2.1

Proses Terbentuknya Budaya Organisasi

(28)

2.3.3 Tingkatan Budaya Organisasi

Menurut Daft (2002), terdapat tiga tingkatan budaya, yaitu:

1. Artifak (artifact), adalah budaya organisasi tingkat pertama, yaitu hal-hal yang dilihat, didengar dan dirasa ketika seseorang berhubungan dengan suatu kelompok baru. Artifak bersifat kasat mata (visible), misalnya lingkungan fisik organisasi, cara berperilaku, cara berpakaian, dan lain-lain. Karena antara organisasi yang satu dengan organisasi lainnya artifak-nya berbeda-beda, maka anggota baru dalam suatu organisasi perlu belajar dan memberikan perhatian terhadap budaya organisasi tersebut.

2. Nilai (espoused values), merupakan alasan yang diberikan oleh sebuah organisasi untuk mendukung caranya melakukan sesuatu. Ini adalah budaya organisasi tingkat kedua yang mempunyai tingkat kesadaran yang lebih tinggi dari pada artifak. Pada tingkat ini, baik organisasi maupun anggota organisasi memerlukan tuntunan strategi, tujuan dan filosofi dari pemimpin organisasi untuk bersikap dan bertindak. Oleh karena itu, untuk memahami espoused values ini, seringkali dilakukan wawancara dengan anggota kunci organisasi misalnya, atau menganalisa kandungan artifak seperti dokumen.

(29)

2.3.4 Fungsi dan Manfaat Budaya Organisasi

Budaya organisasi memiliki beberapa fungsi dalam organisasi, yaitu: (1) memberi batasan untuk mendefinisikan peran, sehingga memperlihatkan perbedaan yang jelas antar organisasi; (2) memberikan pengertian identitas terhadap anggota organisasi; (3) memudahkan munculnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar dibanding minat anggota organisasi secara perorangan; (4) menunjukkan stabilitas sistem sosial; (5) memberikan pengertian dan mekanisme pengendalian yang dapat dijadikan pedoman untuk membentuk sikap serta perilaku para anggota organisasi; dan (6) membantu para anggota organisasi mengatasi ketidakpastian, karena pada akhirnya budaya organisasi berperan untuk membentuk pola pikir dan perilaku anggota organisasi (Robbins, 2002).

Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh kedua belah pihak, baik organisasi maupun para anggotanya, manakala suatu organisasi menerapkan budaya organisasi, dalam pengertian memberi perhatian pada sistem nilai yang dianut organisasi. Manfaat tersebut adalah: (1) memberikan pedoman bagi tindakan pengambilan keputusan; (2) mempertinggi komitmen organisasi; (3) menambah konsistensi perilaku para anggota organisasi; dan (4) mengurangi keraguan para anggota organisasi, karena budaya memberitahukan pada mereka bagaimana sesuatu dilakukan dan apa yang dianggap penting.

(30)

2.3.5 Karakteristik Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2002), ada tujuh ciri-ciri utama yang secara keseluruhan mencakup pentingnya budaya organisasi. Ketujuh ciri-ciri tersebut adalah:

a. Inovasi dan pengembalian resiko. Sejauh mana karyawan didukung untuk menjadi inovatif dan berani mengambil resiko.

b. Perhatian terhadap detail. Sejauhmana karyawan diharapkan menunjukkan kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail.

c. Orientasi terhadap hasil. Sejauhmana manajemen lebih berfokus pada hasil-hasil dan keluaran daripada kepada teknik-teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai keluaran tertentu.

d. Orientasi terhadap individu. Sejauhmana keputusan-keputusan yang diambil manajemen ikut untuk mempertimbangkan efek-efek hasil terhadap individu yang ada dalam organisasi.

e. Orientasi tim. Sejauhmana kegiatan-kegiatan kerja lebih diorganisasi dalam tim, bukan secara perorangan.

f. Agresivitas. Sejauhmana agar orang-orang berlaku agresif dan bersaing, dan tidak bersikap santai.

g. Stabilitas. Sejauhmana kegiatan-kegiatan keorganisasian lebih menekankan status quo dibandingkan dengan pertumbuhan.

O’Reilly, Chatman, dan Caldwell (1997), menemukan ciri-ciri budaya organisasi sebagai berikut:

(31)

b. Stabilitas dan keamanan. Menghargai hal-hal yang dapat diduga sebelumnya, keamanan dan penggunaan dari aturan-aturan yang mengarahkan perilaku.

c. Penghargaan terhadap orang. Memperlihatkan toleransi, keadilan dan penghargaan terhadap orang lain.

d. Orientasi hasil. Memiliki perhatian dan harapan yang tinggi terhadap hasil, capaian dan tindakan.

e. Orientasi tim dan kolaborasi. Bekerja bersama secara terkordinasi dan berkolaborasi.

f. Keagresifan dan persaingan. Mengambil tindakan-tindakan tegas menghadapi para pesaing.

2.3.6 Sumber-sumber Budaya Organisasi

Isi dari suatu budaya organisasi terutama berasal dari tiga sumber (Robbins:

2002), yaitu:

a. Pendiri organisasi. Pendiri sering disebut memiliki kepribadian dinamis, nilai yang kuat, dan visi yang jelas tentang bagaimana organisasi seharusnya. Pendiri mempunyai peranan kunci dalam menarik karyawan. Sikap dan nilai mereka siap diteruskan kepada karyawan baru. Akibatnya, pandangan mereka diterima oleh karyawan dalam organisasi, dan tetap dipertahankan sepanjang pendiri berada dalam organisasi tersebut, atau bahkan setelah pendirinya meninggalkan organisasi.

(32)

c. Karyawan, hubungan kerja. Karyawan membawa harapan, nilai, sikap mereka ke dalam organisasi. Hubungan kerja mencerminkan aktivitas utama organisasi yang membentuk sikap dan nilai.

Jadi budaya organisasi sering dibentuk oleh pengaruh orang-orang yang mendirikan organisasi tersebut, oleh lingkungan eksternal dimana organisasi beroperasi, dan oleh karyawan serta hakekat dari organisasi tersebut.

Variabel dimensi budaya organisasi yang dijadikan dasar pengukuran diturunkan dari 6 (enam) dimensi budaya organisasi yang dikemukakan oleh Hofstede dalam Ariadi (2006) yang meliputi:

1. Profesionalisme, merupakan ukuran kecakapan atau keahlian yang dimiliki oleh pekerja dalam organisasi. Suatu jabatan yang ditempati oleh seorang pekerja yang profesional atau suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh pekerja yang profesional akan membuahkan hasil yang optimal. Dalam organisasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai professionalisme semua pekerja akan mencurahkan perhatiannya pada pekerjaan sebagai bentuk dari tanggung jawab yang harus ditunaikan. Seorang pekerja yang professional akan menyelesaikan tugas yang di berikan kepadanya tanpa banyak mengeluh, karena ia yakin bahwa dia dapat menyelesaikannya walaupun dibawah tekanan (under pressure), seperti harus memenuhi deadline

yang ketat. Untuk keyakinan dan kemampuannya menyelesaikan tugas, seorang professional cenderung akan menuntut penghasilan yang lebih baik atau reward

yang berbeda dari pekerja lainnya.

(33)

melakukan promosi, atau mempertahankan orang-orang yang dinilai baik bagi suatu divisi juga melibatkan hubungan antar pribadi. Seorang atasan mungkin akan mempertahankan seorang bawahan bagi divisinya yang menurut penilaiannya bertipe loyal dan mudah dibina walaupun mungkin potensinya belum tentu lebih baik dari pekerja lainnya.

3. Kepercayaan kepada rekan sekerja, yaitu interaksi yang terbina antara sesama pekerja dalam organisasi. Sikap yang terbuka, ramah dalam pergaulan dan perilaku yang menunjukkan rasa persaudaraan yang tinggi diantara sesama pekeja, karena merasa senasib dan seperjuangan akan menumbuhkan kepercayaan dan perilaku yang positif. Dengan adanya rasa percaya kepada rekan sekerja yang tertanam dengan baik, masalah-masalah pekerjaan ataupun masalah pribadi akan dapat diatasi dengan perhatian dari rekan-rekan sekerja yang rela membantu mem- berikan saran.

4. Keteraturan, yaitu kondisi lingkungan kerja yang menunjukkan adanya aturan-aturan atau ketentuan yang harus dipatuhi oleh anggota organisasi. Tujuannya adalah untuk menjamin adanya keseragaman dalam pelaksanaan, memudahkan koordinasi dan pengawasan. Adanya aturan yang ditetapkan oleh organisasi harus berlaku sama untuk semua orang atau departemen dalam organisasi, sehingga mencerminkan adanya rasa keadilan.

(34)

Di samping itu, karyawan baru mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat beradaptasi, diterima sebagai anggota organisasi dan merasa nyaman bekerja pada lingkungan barunya tersebut.

6. Integrasi, yaitu iklim yang terbentuk dalam organisasi dimana pekerja merasa memiliki ikatan yang kuat dengan organisasi. Dalam kondisi seperti ini, pekerja akan menunjukkan loyalitas kepada organisasi. Pekerja akan merasa bangga karena menjadi bagian dari organisasi dan merasa aman dengan pekerjaannya karena merasa dihargai dan dipenuhi kebutuhan hidupnya. Lingkungan kerja yang menyenangkan ini juga didukung oleh kerjasama yang terjalin baik di antara sesama pekerja atau sesama departemen.

Nilai-nilai budaya apabila dikaitkan dengan kehidupan organisasi, seyogianya dijadikan sebagai budaya organisasi dengan peran dan fungsi antara lain: 1. Pengendalian diri masing-masing anggota organisasi

2. Perekat anggota organisasi untuk membangun kepentingan organisasi dan kepentingan bersama

3. Perekat solidaritas antara anggota organisasi untuk hidup saling menghargai, menghormati dan saling mendukung.

Budaya organisasi yang berfungsi seperti itu dalam suatu organisasi akan menjadi alat untuk menyemangati dan mendorong aktifitas-aktifitas para SDM tersebut dalam rangka mewujudkan cita-cita dan perjuangan organisasinya.

(35)

Kebersamaan dalam organisasi, dapat dilihat dari 2 dimensi, yaitu kebersamaan terhadap intern organisasi dan kebersamaan terhadap ekstern organisasi atau pihak-pihak terkait (stakeholders). Diantara kedua dimensi itu perlu dipelihara dan dikembangkan sehingga saling bersinergi, saling mendukung yang pada akhirnya memberi manfaat terhadap peningkatan kinerja organisasi (organization performance). Apabila berbicara mengenai kebersamaan, maka tidak dapat dilepaskan dari budaya organisasi yang telah ditetapkan dan menjadi komitmen masing-masing individu atau semua pihak dalam organisasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kerjasama baik yang dituangkan dalam bentuk kerja tim, hubungan kerja sebagai akibat fungsionalisasi, maupun karena sinergisme akan sangat bermanfaat dan merupakan sarana yang handal untuk meningkatkan kinerja organisasi.

2.4 Kinerja

(36)

2.4.1 Pengertian Kinerja

Kinerja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, work performance

atau job performance tetapi dalam bahasa Inggris sering disingkat menjadi performance saja. Dalam bahasa Indonesia disebut juga prestasi kerja. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan (Hasibuan: 2003). Kinerja organisasi atau kinerja perusahaan merupakan indikator tingkatan prestasi yang dapat dicapai dan mencerminkan keberhasilan manajer/pengusaha. Lebih tegas lagi, Lawler dan Poter dalam As’ad (2003) menyatakan bahwa: “kinerja adalah succesfull role achievement yang diperoleh seseorang dari perbuatan-perbuatannya”. Jadi kinerja organisasi merupakan hasil yang diinginkan organisasi dari perilaku orang-orang di dalamnya. Kinerja atau prestasi kerja (performance)

diartikan sebagai ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap, ketrampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu.

Kinerja karyawan yang dikemukakan Mangkunegara (2002) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya’. Oleh karena itu output baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai SDM persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

2.4.2 Tujuan Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja memiliki sejumlah tujuan dalam organisasi (Robbins 2002), yaitu:

(37)

2. Penilaian memberikan penjelasan tentang pelatihan dan pengembangan yang dibutuhkan. Dalam hal ini, penilaian menjelaskan keterampilan dan daya saing para pekerja yang belum cukup tetapi dapat diperbaiki jika suatu program yang memadai dikembangkan.

3. Penilaian kinerja dapat dijadikan sebagai kriteria untuk program seleksi dan pengembangan yang disahkan.

4. Memenuhi tujuan umpan balik yang ada terhadap para pekerja tentang bagaimana organisasi memandang kinerja mereka.

5. Sebagai dasar untuk mengalokasikan atau menentukan penghargaan

2.4.3 Penilai Kinerja

Pihak-pihak yang dapat menilai kinerja adalah: 1. Atasan langsung

Penilaian kinerja mayoritas dilaksanakan oleh atasan langsung karena memang merekalah yang bertanggung jawab terhadap kinerja bawahannya. Sekalipun begitu, sejumlah organisasi mengakui mengalami kemunduran dalam hal ini, karena banyak juga pimpinan yang tidak memenuhi persyaratan untuk mengevaluasi. Sementara pimpinan yang lain merasa enggan saat diminta untuk menilai kinerja para pekerja mereka.

2. Rekan Kerja

(38)

3. Pengevaluasian diri sendiri

Karyawan yang mengevaluasi kinerjanya sendiri (self evaluation), konsisten dengan nilai-nilai seperti swakelola dan pemberdayaan. Evaluasi yang dilakukan sendiri memberi nilai yang tinggi bagi pekerja. Cara ini cenderung mengurangi sifat membela diri yang dilakukan karyawan saat proses penilaian, dan mereka membuat wahana yang baik untuk merangsang diskusi kinerja pekerjaan antara pekerja dengan atasan mereka.

4. Bawahan Langsung

Penilaian kinerja dilakukan oleh bawahan langsung seorang pekerja.. Evaluasi ini dapat memberikan informasi yang akurat dan rinci tentang perilaku seorang manajer karena si penilai secara khusus memiliki hubungan yang baik dengan manajer. Masalah yang muncul dengan bentuk penilaian ini adalah kekhawatiran akan tindakan balasan dari pimpinan yang dinilai tidak baik. Oleh karena itu kerahasiaan responden sangatlah penting jika evaluasi ini ingin dilaksanakan dengan akurat (Robbins: 2002).

2.4.4 Metode Penilaian Kinerja

Menurut Robbins (2002) ada enam metode penilaian kinerja karyawan:

1. Esai Tertulis, metode ini menilai kinerja dengan menulis sebuah narasi yang menggambarkan kelebihan, kekurangan, prestasi waktu lampau, potensi dan saran-saran mengenai seorang karyawan untuk perbaikan. Metode ini tidak membutuhkan bentuk format yang rumit, tetapi hasilnya sering menggambarkan kemampuan penulisnya.

(39)

apa-apa saja yang dilakukan para pekerja yang efektif atau tidak efektif. Yang menjadi kunci adalah perilaku yang sifatnya khusus. Sebuah daftar keadaan kritis memuat serangkaian contoh-contoh, dimana dengan daftar ini para pekerja dapat melihat perilaku-perilaku yang diharapkan dan perilaku-perilaku yang membutuhkan pengembangan.

3. Grafik Skala Penilaian, merupakan metode tertua dan terpopuler dalam penilaian kinerja. Dalam metode ini faktor-faktor kinerja seperti kualitas dan kuantitas kerja, tingkat pengetahuan, kerja sama, loyalitas, kehadiran, kejujuran, dan inisiatif dicatat, dan selanjutnya si penilai memeriksa daftar tersebut dan menilai setiap faktor sesuai dengan skala peningkatan berdasarkan lima poin. Metode ini sangat populer karena cara ini tidak menyediakan informasi yang mendalam sifatnya jika dibandingkan dengan metode esai atau metode keadaan kritis, dan membutuhkan sedikit waktu untuk pengembangan dan pengolahannya. Metode ini juga memberikan analisis yang kuantitatif dan analisis perbandingan.

4. Skala Peningkatan Perilaku, metode ini merupakan metode terbaru dan telah dianggap sebagai pemikiran yang hebat pada tahun-tahun terakhir ini, dimana metode ini mengkombinasikan antara metode keadaan kritis dan metode grafik skala penilaian. Si penilai menilai para pekerja berdasarkan kepada hal-hal dalam rangkaian kesatuan, tetapi poin-poinnya merupakan contoh perilaku aktual di dalam pekerjaan, bukan sekadar deskripsi atau ciri-ciri umum.

(40)

pekerja ke dalam sebuah klasifikasi khusus, seperti yang teratas dari lima orang atau peringkat kedua dari lima orang. Pendekatan peringkat individu menggolongkan para pekerja mulai dari yang terbaik hingga yang terburuk. Jika seorang manajer diminta untuk menilai 30 orang bawahan, pendekatan ini menganggap perbedaan antara pekerja pertama dengan yang kedua sama dengan perbedaan antara pekerja kedua puluh satu dengan pekerja ke dua puluh dua. Hasilnya jelas merupakan pengurutan tenaga kerja, mulai dari yang terbaik hingga yang paling jelek. Pendekatan perbandingan berpasangan membandingkan setiap pekerja dengan masing-masing pekerja lainnya dan menilai pekerja mana yang lebih baik atau lebih buruk satu dengan yang lainnya. Setelah semua perbandingan semua dibuat, setiap pekerja mendapatkan hasil ranking urutan yang dilakukan berdasarkan jumlah skor tertinggi yang mereka capai.

2.4.5 Manfaat Penilaian Kinerja

Mengenai manfaat penilaian kinerja, Handoko dalam Srimulyo (1999) mengemukakan:

1. Perbaikan prestasi kerja atau kinerja. Umpan balik pelaksanaan kerja mernungkin- kan karyawan, manajer dan departemen personalia dapat memperbaiki

kegiatan-kegiatan mereka untuk meningkatkan prestasi.

2. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi. Evaluasi prestasi keja membantu para pengambil keputusan dalam mcnentukan kenaikan upah, pemberian bonus dan bentuk kompensasi iainnya.

(41)

4. Perencanaan kebutuhan latihan dan pengembangan. Prestasi kerja atau kinerja yang jelek mungkin menunjukkan perlunya latihan. Demikian pula sebaliknya, kinerja yang baik mungkin mencerminkan potensi yang harus dikembangkan. 5. Perencanaan dan pengembangan karir. Umpan balik prestasi mengarahkan

keputusan-keputusan karir, yaitu tentang jalur karir tertentu yang harus diteliti. 6. Mendeteksi penyimpangan proses staffing. Prestasi kerja yang baik atau buruk

adalah mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing departemen personalia.

7. Melihat ketidakakuratan informasi. Prestasi kerja yanng jelek mungkin menunjuk-kan kesalahan-kesalahan dalam informasi analisis jabatan, rencana sumberdaya manusia, atau komponen-komponen lain sistem informasi manajemcn personalia. Menggantungkan pada informasi yang tidak akurat dapat rnenyebabkan keputusan-kcputusan personalia tidak tepat.

8. Mendeteksi kesalahan-kesalahan desain pekerjaan. Prestasi kerja yang jelek mungkin merupakan tanda kesalahan dalam desain pekerjaan. Penilaian prestasi membantu men-diagnosa kesalahan-kesalahan tersebut.

9. Menjamin kesempatan kerja yang adil. Penilaian prestasi kerja yang akurat akan menjamin keputusan-keputusan penempatan internal diambil tanpa diskriminasi. 10. Melihat tantangan-tantangan eksternal. Kadang-kadang prestasi seseorang

di-pengaruhi oleh faktor-faktor diluar lingkungan kerja, seperti keluarga, kesehatan, dan masalah-masalah pribadi lainnya

2.4.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

(42)

yang antara lain termasuk: kuantitas output, kualitas output, jangka waktu output,

kehadiran di tempat kerja, dan sikap kooperatif. Tampaknya dimensi lain dari kinerja mungkin tepat untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, tetapi yang didata ini adalah yang paling umum, yang mengidentifikasikan elemen-elemen yang paling penting dari suatu pekerjaan. Sebagai contoh, pekerjaan sebagai dosen, memiliki kriteria pekerjaan seperti mengajar, penelitian dan pengabdian serta pelayanan.

Kriteria pekerjaan adalah faktor yang terpenting dari apa yang dilakukan orang di pekerjaannya. Kriteria pekerjaan menjelaskan yang sudah dibayar oleh organisasi untuk dikerjakan para karyawannya. Oleh karena itu, kriteria-kriteria ini penting dan harus diukur, dibandingkan dengan standar yang ada. Hasilnya harus dikomunikasikan kepada setiap karyawan. Pekerjaan hampir selalu memiliki lebih dari satu kriteria atau dimensi untuk dinilai, dan ini berarti bahwa si karyawan mungkin berkinerja lebih baik dalam satu kriteria dibandingkan kriteria lainnya. Beberapa kriteria mungkin memiliki nilai lebih penting daripada kriteria lainnya. Pembobotan adalah suatu cara untuk menunjukkan hal ini. Misalnya, di beberapa perguruan tinggi atau akademi, pengajaran yang dilakukan dosen merupakan bagian pekerjaan yang memiliki bobot yang lebih besar dibandingkan dengan penelitian atau pengabdian.

(43)

Pekerjaan umumnya melibatkan beberapa tugas dan tanggung jawab. Jika penilaian kinerja mengabaikan beberapa tanggung jawab yang penting, maka penilaian menjadi tidak efisien. Sebagai contoh, jika kinerja seorang pewawancara hanya dinilai dari jumlah pelamar yang dipekerjakan, dan bukannya kualitas pelamar, maka hal ini bisa jadi tidak efisien. Jika beberapa kriteria yang tidak relevan dimasukkan, maka kriteria bisa dikatakan sudah terkontaminasi.

Memang diakui bahwa banyak orang mampu tetapi tidak mau sehingga tetap tidak menghasilkan kinerja. Demikian pula halnya banyak orang mau tetapi tidak mampu, juga tetap tidak menghasilkan kinerja apa-apa. Kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan atau kemampuan bekerja, dengan kata lain bahwa kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja.

Kinerja merupakan kuantitas dan kualitas pekerjaan yang diselesaikan oleh individu, maka kinerja merupakan output pelaksanaan tugas. Kinerja mempunyai hubungan yang erat dengan masalah produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Hasibuan (2001) menyatakan bahwa: “produktivitas adalah perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input)”. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja menurut Sedarmayanti (2001) antara lain: “1). sikap mental (motivasi kerja, disiplin kerja, etika kerja); 2). pendidikan; 3). ketrampilan; 4). manajemen kepemimpinan; 5). tingkat penghasilan; 6). gaji dan kesehatan; 7). jaminan sosial; 8). iklim kerja; 9). sarana prasarana; 10). teknologi; 11). kesempatan berprestasi”.

2.4.7 Penilaian Kinerja dosen

(44)

atau kurang. Penilaian ini penting bagi setiap dosen dan berguna dalam menetapkan kegiatannya.

Adapun penilaian merupakan bentuk perhatian dosen dari atasannya sehingga dapat mendorong mereka untuk bersemangat bekerja, tentu saja asal penilaian ini dilakukan secara obyektif dan jujur serta ada tindak lanjutnya. Tindak lanjut penilaian ini memungkinkan dosen untuk memperoleh imbalan balas jasa dengan memperoleh kenaikan jabatan seperti menjadi Sekretaris Jurusan, Ketua Jurusan, Asisten Direktur, bahkan menjadi Direktur dan lain-lain, dan juga untuk modal mendapatkan kenaikan pangkat dengan sistem kredit.

Penilaian kinerja menurut Simamora (1999) adalah alat yang berfaedah tidak hanya untuk mengevaluasi kerja dari para karyawan, tetapi juga untuk mengembangkan dan memotivasi kalangan karyawan. Sejalan dengan pendapat tersebut Hasibuan (2001) mengatakan: Penilaian prestasi adalah kegiatan manajer untuk mengevaluasi perilaku prestasi kerja karyawan serta menetapkan kebijaksanaan selanjutnya.

Pada penilaian kinerja tidak hanya semata-mata menilai hasil fisik, tetapi pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan, kerajinan, disiplin, hubungan kerja atau hal-hal khusus sesuai bidang tugasnya, yang semuanya itu layak untuk dinilai.

(45)

Dosen dalam melaksanakan tugasnya, merupakan bagian penting dari lembaga pendidikan nasional, dan karena itu ia terikat pada rambu-rambu yang telah ditetapkan secara nasional mengenai apa yang mesti dilakukannya. Dalam konteks profesionalisme, dosen merupakan pekerjaan profesional, sehingga dosen dituntut untuk profesional dalam melaksanakan tugasnya. Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme dosen bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan juga di negara-negara maju, dan hal itu masih berlangsung hingga sekarang.

Berdasarkan jurnal pendidikan, Educational Leadership (1993) menurunkan laporan utama tentang soal ini (Supriadi: 1998). Menurut jurnal itu untuk menjadi profesional, seorang dosen dituntut untuk memiliki lima hal :Pertama, dosen mempunyai komitmen kepada mahasiswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi dosen adalah kepada kepentingan mahasiswa; Kedua, dosen menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para mahasiswa. Bagi dosen, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan; Ketiga, dosen bertanggung jawab memantau hasil belajar mahasiswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku mahasiswa sampai tes hasil belajar; Keempat, dosen mampu berpikir sistematis tentang apa apa yang akan dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk dosen guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap yang dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar mahasiswa; Kelima, dosen seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

(46)

oleh diri sendiri selaku dosen yang menyangkut tugasnya sebagai pengajar. Berdasarkan kajian teori di atas, hal-hal yang yang dinilai terdiri dari: 1). kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas mengajar, 2). menguasai dan mengembangkan metode, 3). menguasai bahan pelajaran dan menggunakan sumber belajar, 4). bertanggung jawab memantau hasil belajar mengajar, 5). disiplin dalam mengajar dan tugas lainnya, 6). kreativitas dalam pelaksanaan pengajaran, 7). melakukan interaksi dengan mahasiswa untuk menimbulkan motivasi, 8). memiliki kepribadian yang baik, jujur dan obyektif dalam membimbing mahasiswa, 9). mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan 10). paham dalam administrasi pengajaran .

(47)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Politeknik Negeri Medan, Jl. Almamater No. 1 Kampus USU, Medan, dan dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan Agustus 2007.

3.2 Metode Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah studi kasus yang didukung survei. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. yaitu penelitian yang menjelaskan hubungan antara beberapa variabel penelitian yaitu variabel motivasi kerja dan budaya organisasi sebagai variabel predictor dengan kinerja dosen sebagai variabel criterion. Studi korelasi ini akan menggunakan analisis regresi berganda.

3.3 Populasi dan Sampel

(48)

ni = Ni x n N dimana:

ni = Jumlah sampel pada unit kerja Ni = Jumlah populasi pada unit kerja N = Jumlah populasi keseluruhan

n = Jumlah sampel keseluruhan yang telah ditentukan

Berdasarkan rumus tersebut diatas, maka data sampel yang dibutuhkan yang berasal dari 5 (lima) jurusan yang ada di Politeknik Negeri Medan dapat dirinci sebagai berikut:

Tabel 3.1

Jumlah Sampel Penelitian

No. Jurusan Populasi (orang) Sampel (orang)

1. Administrasi Niaga 34 34/297 x 74 = 8

2. Akuntansi 70 70/297 x 74 =17

3. Teknik Elektro 71 71/297 x 74 =18 4. Teknik Mesin 75 75/297 x 74 = 19 5. Teknik Sipil 47 47/297 x 74 = 12

T o t a l 297 74

Sumber: Politeknik Negeri Medan (2007)

Selanjutnya, pemilihan responden ditetapkan berdasarkan kriteria bahwa dosen tersebut telah bekerja di Politeknik Negeri Medan paling sedikit 5 (lima) tahun, dengan asumsi bahwa dosen yang telah bekerja paling sedikit lima tahun telah mendapatkan pengalaman yang cukup untuk diteliti dan mengenal dengan baik Politeknik Negeri Medan

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian ini adalah:

(49)

2. Daftar pertanyaan (Questionaire) yang diberikan kepada dosen Politeknik Negeri Medan yang menjadi responden. Kuesioner berisi pertanyaan mengenai persepsi dosen mengenai motivasi kerja dan budaya organisasi serta penilaian dosen terhadap dirinya sendiri mengenai kinerjanya.

3. Studi dokumentasi; mengumpulkan data berupa peraturan-peraturan yang ada, tingkat kehadiran dosen dan jumlah dosen Politeknik Negeri Medan, yang diperoleh dari data dokumentasi, baik yang ada di tingkat jurusan maupun dari bagian Administrasi Pusat.

3.5 Jenis dan Sumber Data

Data penelitian ini bersumber dari:

1. Data primer, yaitu data yang langsung dikumpulkan peneliti dari responden melalui wawancara (interview) dan dengan menggunakan daftar pertanyaan (questionaire).

2. Data sekunder, yaitu data yang mendukung data primer yang diperoleh peneliti dari Politeknik Negeri Medan melalui studi dokumentasi guna mendukung penelitian ini, seperti: data jumlah dosen, rekapitulasi jam kehadiran dosen tiap semester, peraturan yang berlaku, data penelitian dan pengabdian dosen, dan sebagainya.

3.6 Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini diidentifikasikan sebagai berikut:

(50)
(51)

Tabel 3.2

Definisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel

3.Kepercayaan kepada rekan sekerja

1. Kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas mengajar 2. Menguasai dan

mengembangkan metode

3. Menguasai bahan pelajaran dan menggunakan sumber belajar 4. Bertanggung jawab memantau

hasil belajar mengajar 5. Disiplin dalam mengajar dan

tugas lainnya

6. Kreatif dalam pelaksanaan pengajaran

7. Melakukan interaksi dengan mahasiswa untuk menimbulkan motivasi

8. Memiliki kepribadian yang baik, jujur dan objektif dalam membimbing mahasiswa 9. Mampu berpikir sistematis

tentang apa yang dilakukannya 10. Paham dalam administrasi

pengajaran

Likert

(52)

3.7 Uji Validitas dan Reliabilitas

Sebelum penelitian dilaksanakan, maka langkah yang utama adalah melakukan uji coba instrumen penelitian. Uji coba dari butir-butir instrumen pada ketiga variabel dimaksudkan untuk menguji keabsahan dan kehandalan butir-butir instrumen yang digunakan dalam penelitian. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian validitas dan reliabilitas instrumen sebelum daftar pertanyaan diberikan pada responden. Pengujian validitas dan reliabilitas instrumen dilakukan pada 30 dosen Politeknik Negeri Medan yang tidak dijadikan responden dalam penelitian (Umar: 2003). Dengan jumlah minimal 30 orang, maka distribusi skor (nilai) akan lebih mendekati kurve normal. Asumsi ini sangat diperlukan dalam perhitungan statistik. Pengujian validitas instrumen dengan bantuan perangkat lunak SPSS ver 13.

3.7.1 Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen penelitian. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan mampu mengungkap data yang diteliti (Arikunto: 2002). Validitas instrumen diuji dengan menggunakan korelasi skor butir dengan skor total “Product Moment (Pearson)". Analisis dilakukan terhadap semua butir instrumen. Kriteria pengujiannya dilakukan dengan cara membandingkan rhitung dengan r table pada taraf a = 0,05. Hasil perhitungan temyata rhitung > rtabel maka butir instrumen dianggap valid, sebaliknya jika rhitung < rtabel maka dianggap tidak valid (invalid), sehingga instrumen tidak dapat digunakan dalam penelitian.

(53)

kalau r ≥ 0,3” (Sugiyono (2002). Jadi kalau korelasi antara butir dengan skor total kurang dari 0,3 maka butir dalam instrumen tersebut dinyatakan tidak valid

3.7.2 Reliabilitas

Koefisien reliabilitas instrumen dimaksudkan untuk melihat konsistensi jawaban butir-butir pemyataan yang diberikan oleh responden. Untuk reliabilitas instrumen yang skornya dalam bentuk skala Likert, misalnya: 1 – 3, 1 – 5 atau 1 – 7, dan seterusnya dapat digunakan ”koefisien alpha” dari Cronbach. Cronbah alpha yang baik adalah yang makin mendekati 1 (Umar: 2003).

Pedoman dari Ghozali (2005), pemberian interpretasi terhadap reliabilitas (ri) pada umumnya digunakan patokan sebagai berikut : 1). Reliabilitas (ri) uji coba sama dengan atau lebih dari 0,60 berarti hasil uji coba tesnya memiliki reliabilitas tinggi; 2). Reliabilitas (ri) uji coba kurang dari 0,60 berarti hasil uji coba tesnya memiliki reliabilitas kurang (unreliable).

3.8Pengujian Asumsi Klasik

Sebelum melakukan pengujian hipotesis penelitian ini, terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik untuk memastikan bahwa alat uji regressi berganda telah dapat digunakan atau tidak. Apabila uji asumsi klasik ini telah terpenuhi, maka alat uji statistik regressi linear berganda sudah dapat digunakan.

3.8.1 Uji Normalitas

(54)

jika data menyebar menjauhi garis diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. Secara statistik, uji normalitas pada penelitian ini juga dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Menurut Ghozali (2005), jika angka signifikansi yang ditunjukkan dalam tabel lebih kecil dari alpha 5%, maka dikatakan data tidak memenuhi asumsi normalitas, sedangkan sebaliknya, jika angka signifikansi dalam tabel lebih besar dari alpha 5%, maka data sudah memenuhi asumsi normalitas.

3.8.2 Uji Heteroskedastisitas

Uji ini dilakukan untuk melihat apakah dalam suatu model regressi itu terjadi perbedaan varians dari residual satu pengamatan dengan pengamatan lain. Sebuah model analisis regresi yang baik adalah yang homokedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas, yang artinya varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya tidak tetap atau berbeda. Menurut Santoso (2002), untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas adalah dengan melihat gejala yang dapat dilihat pada Scatterplot yang dihasilkan oleh program SPSS dengan ciri-ciri:

1. Titik-titik data menyebar di atas dan dibawah atau di sekitar angka 0 2. Titik-titik data tidak mengumpul hanya diatas atau dibawah saja

3. Penyebaran titik-titik tidak boleh membentuk pola bergelombang melebar kemudian menyempit dan melebar kembali

4. Penyebaran titik-titik data sebaiknya tidak berpola

3.8.3 Uji Multikolinieritas

(55)

baik, seharusnya tidak terjadi multikolinieritas. Ada tidaknya masalah multi-kolinieritas di dalam model regressi, dapat dilihat dari nilai Variance Inflation Factor (VIF) dan nilai Tolerance. Pedoman suatu model regresi yang bebas multikolinieritas adalah mempunyai nilai VIF di sekitar angka 1, angka tolerance mendekati 1 (Santoso: 2002).

3.9 Uji Goodness of Fit

Pengujian Goodness of fit dilakukan untuk menentukan kelayakan suatu model regresi, yang dilihat dari koefisien determinasi (R Square).

3.10 Analisis Data

Menjawab hipotesis yang telah dirumuskan, maka dilakukan analisis data berupa analisis deskripsi, dan uji statistik regresi ganda. Mengenai penjelasan masing-masing analisis data adalah sebagai berikut:

3.10.1 Analisis Deskripsi

Uji statistik dasar untuk menentukan deskriptif data mengenai motivasi kerja, budaya organisasi dan kinerja dosen dalam bentuk frekuensi dan prosentase.

3.10.2 Uji Statistik Regresi Ganda

Persamaan regresi berganda menurut Sugiyono dan Wibowo (2002: 347) adalah sebagai berikut.

Y = a + b1X1+ b2 X2 + e dimana:

(56)

e = error (variabel bebas lain diluar model regresi).

Pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat diuji dengan tingkat

kepercayaan (confidence level) 95% atau α sama dengan 5%.

Kriteria pengujian hipotesis untuk uji serempak adalah:

H0 : b1 = b2 = 0 (tidak terdapat pengaruh positif dan signifikan antara motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kinerja dosen)

H1 : b1 ≠ b2 ≠ 0 (terdapat pengaruh positif dan signifikan antara motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kinerja dosen)

Uji statistik regresi ganda digunakan untuk mengetahui pengaruh keseluruhan variabel bebas terhadap variabel terikat, dan uji signifikansi koefisien determinasi secara keseluruhan di uji dengan uji F. Fhitung dibandingkan dengan Ftabel, jika Fhitung > Ftabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima, sedangkan jika Fhitung < Ftabel, maka H0 diterima dan H1 ditolak.

Menguji signifikansi koefisien determinasi masing-masing variabel bebas secara parsial digunakan uji t. Uji t (uji 2 arah) digunakan untuk menguji apakah hipotesis yang digunakan diterima atau ditolak (motivasi kerja dan budaya organisasi secara parsial berpengaruh terhadap kinerja dosen Politeknik Negeri Medan ).

Ketentuannya adalah apabila hasil uji t-hitung dengan tingkat kepercayaan 95% dan α = 5% lebih besar dari t-tabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Sebaliknya apabila t-hitung lebih kecil dari t-tabel, maka H0 diterima dan H1 ditolak.

(57)

pengaruhnya terhadap variabel terikat dengan melihat nilai standardized coefficients

(58)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Sejarah Berdirinya Politeknik Negeri Medan

Pendidikan Politeknik di Indonesia diawali dengan berdirinya Politeknik Mekanik Swiss tahun 1975, dan yang sekarang dikenal dengan Polytechnic Manufacturing (Polman) ITB Bandung. Mengingat kebutuhan tenaga kerja terhadap tenaga profesional terus meningkat, maka mulai tahun 1979, dirintis pembangunan enam Politeknik tahap pertama yang berada dibawah naungan Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Politeknik Negeri Medan didirikan berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No. 031/DJ/KEP/1979 tentang pembentukan Politeknik di 6 (enam) Daerah/Perguruan Tinggi. Pembangunan Pendidikan Politeknik dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai suatu proyek pemerintah yang dibiayai dengan bantuan Bank Dunia (World Bank). Adapun keenam Politeknik tersebut adalah:

1. Politeknik Universitas Sumatera Utara (Politeknik USU) 2. Politeknik Universitas Sriwijaya (Politeknik UNSRI) 3. Politeknik Universitas Indonesia (Politeknik UI) 4. Politeknik Institut Teknologi Bandung (Politeknik ITB)

5. Politeknik Universitas Diponegoro (Politeknik UNDIP) 6. Politeknik Universitas Brawijaya (Politeknik UNIBRAW)

(59)

Pembangunan fisik dimulai pada tahun 1980, dan pengadaan peralatan tahap awal hampir selesai dilaksanakan pada tahun 1982, sedangkan program pendidikan dimulai pada tahun akademik 1982/1983 di bulan September, dengan 3 program studi dibidang Keteknikan, yaitu : Teknik Mesin, Teknik Sipil, Teknik Elektro, dan pada tahun 1983/1984 dibuka program studi Elektronika. Operasional pendidikan berkembang dengan mendapat bantuan tenaga ahli dari Swiss, yang disebut “Swisscontact”.

Selanjutnya pada tahun 1985 sejalan dengan pengembangan Politeknik di Indonesia, maka Politeknik USU Medan menambah 2 jurusan dibidang Tata Niaga dengan 3 program studi yaitu : Administrasi Niaga, Perbankan & Keuangan serta Akuntansi dengan bantuan tenaga ahli dari Australia.

SK Mendikbud RI No. 35/DIKTI/KEP/1990 tanggal 5 September 1990 dikeluarkan untuk menegaskan kembali mengenai jumlah program studi yang ada di Politeknik Negeri Medan yaitu: Program Studi Teknik Mesin, Teknik Energi, Teknik Sipil, Teknik Listrik, Teknik Elektronika Industri, Teknik Telekomunikasi, Administrasi Niaga, Perbankan & Keuangan dan Akuntansi. Berdasar Kepmen No. 084/O/1997 tanggal 20 April 1997 Politeknik USU berubah menjadi Politeknik Negeri Medan. Untuk melaksanakan seluruh kegiatan tersebut, Politeknik Negeri Medan telah memiliki kampus seluas 8,5 hektar yang terletak di dalam lingkungan kampus Universitas Sumatera Utara (USU).

4.2 Bidang Kegiatan Usaha

Gambar

Tabel 1.1 Rekapitulasi Rata-rata Kehadiran Mengajar
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
Tabel 2.1  Perbedaan Masing-masing Hasil Penelitian
Gambar 2.1 Proses Terbentuknya Budaya Organisasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pengaruh iklim organisasi dan motivasi kerja lebih kuat secara langsung terhadap kinerja dosen daripada melalui kepuasan kerja sebagai

kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, MOTIVASI,

Hal ini sejalan dengan hasil uji deskripsi indikator variabel yang menunjukkan bahwa secara keseluruhan tanggapan dosen Politeknik Negeri Medan terhadap variabel

1 Hasil kerja selama ini selalu teliti, tidak pernah diprotes 2 Saya dipercaya oleh atasan untuk melaksanakan tugas penting karena hasil kerja yang memuaskan.

yang tepat bagi karyawan sehingga dapat melakukan tugasnya dengan baik. Bagi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara

motivasi kerja dapat dilihat dari suatu kebutuhan yang dipenuhi, seorang guru akan termotivasi untuk menyelesaikan suatu pekerjaan apabila ada kebutuhan yang akan

Judul Tesis : Analisis Pengaruh Iklim Organisasi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Dosen Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Politeknik

Hasil kerja yang telah dilakukan oleh seorang karyawan merupakan implementasi dari perencanaan yang telah disusun sebelumnya sehingga membentuk sebuah kinerja yang memuaskan dari