• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Perlakuan Fumigasi Amonia Terhadap Tingkat Pewarnaan dan Keawetan Beberapa Jenis Kayu Rakyat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Perlakuan Fumigasi Amonia Terhadap Tingkat Pewarnaan dan Keawetan Beberapa Jenis Kayu Rakyat."

Copied!
273
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini hutan rakyat telah banyak dikelola dengan orientasi komersial, untuk

memenuhi kebutuhan pasar komoditas hasil hutan. Tidak seperti pada masa lampau,

dimana kebanyakan hutan rakyat berorientasi subsisten, hanya untuk memenuhi

kebutuhan rumah tangga petani sendiri. Belakangan ini hutan-hutan rakyat telah dikenal

sebagai penghasil kayu yang handal yang memiliki peluang tinggi untuk dijadikan

produk bernilai tambah tinggi khususnya furniture. Jenis-jenis kayu dari hutan rakyat

yang dimaksud diantaranya adalah Karet (Hevea brasiliensis), Afrika (Maesopsis

eminii), Jabon (Anthocephalus chinensis), Gmelina (Gmelina arborea), Sengon

(Paraserianthes falcataria), Mahoni (Swietenia macrophylla), Puspa (Alstonia

scholaris), Rasamala (Altingia excelsa), Durian (Durio zibethinus), Nangka

(Arthocarpus heterophyllus) dan lain-lain.

Namun mengingat rendahnya kualitas tampilan, seperti warna pucat dan tidak

seragam serta corak serat yang kurang menarik dari jenis-jenis kayu rakyat tersebut,

maka perlu adanya upaya untuk meningkatkan kualitas penampilan alaminya agar dapat

bersaing dan diterima konsumen khususnya internasional seperti layaknya kayu-kayu

yang sudah terkenal akan keindahan coraknya seperti kayu jati.

Saat ini proses pewarnaan kayu dilakukan dengan mengaplikasikan bahan-bahan

pewarna sintetis (stain, dye) yang memiliki beberapa kelemahan seperti warna cepat

luntur, sering mengangkat serat-serat kayu, terjadinya emisi komponen penyusun yang

dapat mengganggu kenyamanan dan kesehatan, proses aplikasinya butuh waktu lama

dan harganya relatif mahal. Fumigasi kayu (wood fuming) dengan amonia merupakan

salah satu metode yang dapat dikembangkan dan diterapkan di masa datang untuk

peningkatan kualitas penampilan warna dan corak alami kayu. Metoda fumigasi untuk

bidang perkayuan di Indonesia umumnya masih dipergunakan untuk tujuan pengawetan

produk perkayuan terhadap serangan jamur maupun serangga. Penggunaan untuk tujuan

lain seperti untuk merubah tampilan permukaan kayu sejauh ini belum pernah dilakukan

di Indonesia. Fumigasi menggunakan uap amonia (ammonia fumigation) merupakan

metode unggulan pewarnaan alami kayu untuk menggelapkan dan menyeragamkan

(2)

Melalui penelitian ini metode fumigasi amonia dicobakan pada beberapa jenis

kayu rakyat, seperti kayu Durian (Durio sp.), kayu Mahoni (Swietenia macrophylla),

kayu Menteng (Baccaurea racemosa), kayu Mindi (Melia azedarach), kayu Nangka

(Artocarpus heterophyllus) dan kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L). Larutan

amonia yang digunakan adalah amonia cair konsentrasi 25% yang dijual secara

komersil di pasaran. Dengan pertimbangan bahwa banyak faktor yang berpengaruh pada

proses fumigasi, maka pada penelitian ini cakupan penelitian dibatasi pada faktor

volume larutan dan lamanya waktu reaksi.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kondisi fumigasi optimum

(kombinasi antara volume larutan amonia serta lamanya waktu reaksi fumigasi)

sehingga diperoleh hasil pewarnaan yang menarik. Disamping itu penelitian ini juga

ditujukan untuk mengetahui daya tahan kayu yang difumigasi terhadap serangan rayap

kayu kering (Cryptotermes spp.) dan pelunturan warna oleh pengaruh cuaca.

1.3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menghasilkan suatu kondisi fumigasi yang baik

(kombinasi antara volume larutan amonia dan lamanya waktu fumigasi) untuk

mendapatkan warna kayu yang gelap dan tahan terhadap pelunturan akibat pengaruh

cuaca. Selain itu diharapkan diperoleh hasil pengujian daya tahan kayu terfumigasi

terhadap serangan rayap kayu kering, sehingga dapat digunakan sebagai metode

pengawetan kayu. Selanjutnya hasil-hasil ini dapat diterapkan secara nyata dalam

industri furniture, sehingga membantu perkembangan industri pengerjaan kayu di

(3)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fumigasi Kayu

Salah satu proses penting dalam produksi meubel dan furniture adalah finishing.

Proses ini berperan penting karena sangat menentukan hasil akhir dari suatu proses

pengerjaan kayu dan sangat signifikan dalam menentukan harga jual suatu produk

perkayuan. Proses ini pada dasarnya adalah memodifikasi penampilan kayu sedemikian

rupa sehingga sesuai dengan hasil yang kita inginkan.

Kramer (1989) menyatakan bahwa modifikasi penampilan atau warna kayu dapat

dilakukan melalui dua tehnik yaitu: staining dan dyeing. Staining merupakan metode

merubah warna alami kayu yang paling banyak diterapkan oleh industri kayu saat ini,

karena banyaknya pilihan warna yang tersedia berupa stain. Namun tehnik ini

berimplikasi pada tertutupnya penampilan alami serat kayu yang indah akibat masuknya

pigmen yang mengisi pori kayu sehingga mengurangi keindahan kayu. Disamping itu

penggunaan stain sebagai pewarna sangat dikhawatirkan oleh masyarakat konsumen

karena adanya emisi komponen bahan pewarna yang mengganggu kesehatan pada saat

pemakaian. Dyeing adalah suatu proses kimia yang mengkombinasikan penggunaan

bahan pewarna dan penggunaan mordants untuk pewarnaan dan merubah penampilan

serat-serat kayu. Kelemahan metode ini adalah kurang ramah lingkungan karena

menggunakan bahan-bahan kimia yang cukup berbahaya dan menyebabkan karat pada

alat-alat sambung dari logam.

Metoda pewarnaan menggunakan tehnik fumigasi amonia merupakan salah satu

metoda dalam proses finishing kayu yang bukan saja mudah dilakukan namun hampir

pasti selalu berhasil dan apabila hasilnya kurang memuaskan atau gagal maka

percobaan pewarnaan dapat diulang lagi. Perubahan warna yang telah terjadi pada kayu

diperkirakan dapat bertahan selama ratusan tahun karena pada proses fumigasi amonia

ini yang mengalami perubahan adalah pigmen kayu itu sendiri dan tidak perlu khawatir

akan terjadinya pengelupasan maupun pelunturan (fading) seperti yang sering terjadi

pada tehnik pewarnaan lainnya (staining atau dyeing). Disamping itu metoda

pewarnaan kayu dengan tehnik staining atau dyeing tidak mengubah pigmen alami

kayu, melainkan hanya menutupi permukaan alami kayu dengan pigmen baru, sehingga

(4)

Saat ini telah ada metoda pewarnaan cara fumigasi seperti fumigasi belerang

untuk menggelapkan dan mengkilapkan warna rotan secara alami. Belakangan ini

metoda fumigasi khususnya fumigasi amonia telah mulai dicobakan untuk pewarnaan

alami kayu. Metoda fumigasi (fuming) kayu pada intinya adalah menempatkan kayu

pada lingkungan panas dan terdapat uap amonia sehingga terjadi perubahan warna kayu

hasil reaksi antara komponen kayu yang diduga tanin dengan gas amonia. Kegelapan

dan keseragaman warna yang terbentuk setelah proses fumigasi sangat ditentukan oleh

kandungan dan distribusi tanin dalam kayu. Tanin merupakan polifenol dengan tingkat

keasaman rendah. Tanin terdapat secara alami pada hampir semua jenis kayu hanya

saja kandungannya berbeda-beda. Kayu Oak, Walnut dan Mahoni memiliki kandungan

tanin yang cukup tinggi sehingga variasi warna yang dapat diciptakan juga lebih

banyak mulai dari agak gelap ke gelap.

Waktu yang dibutuhkan mengubah warna kayu Oak sangat terantung pada

tingkat kepekatan kompartemen, secara teori 48 jam merupakan waktu yang cukup.

Apabila proses fumigasi tidak cukup praktis akibat bahan terlalu besar untuk ukuran

kompartemen, dapat digunakan dengan cara lain yaitu menempelkan amonia kuat

langsung ke permukaan bahan dengan bantuan kuas atau spon dengan syarat bahan

tersebut belum mengalami perlakuan staining dan perlakuan lainnya yang mempunyai

efek menutupi pori kayu karena akan menghalangi reaksi yang diinginkan (Dredsner,

2005).

2.2 Peran tanin dalam fumigasi amonia

Asam tanin (tannic acid) merupakan nama komersial untuk tanin. Asam tanin

merupakan bahan baku pembuatan stain (warna). Asam tanin secara alami terdapat

pada kayu Oak, Walnut dan Mahoni, dan dapat diaplikasikan pada kayu yang memiliki

kadar tanin rendah. Perubahan warna yang terjadi pada proses fuming disebabkan oleh

reaksi antara tanin terkondensasi terutama Flavonoids yang memiliki struktur (5-OH)

bebas dengan amonia NH3. Jenis tanin ini antara lain Robinetin, Kaempferol, Quercetin

dan Morin.

Pada penelitian perubahan warna pada empat bagian kayu teras pada kayu

Acacia maerensii dengan perlakuan fuming tidak terjadi perubahan warna sama sekali.

(5)

besar di kayu teras dan sedikit sekali kandungan (5-OH) bebas (Marby et al, 1970

dalam Carrodus, 1971).

2.3 Jenis Kayu

2.3.1 Nangka (Artocarpus heterophyllus)

Nangka termasuk ke dalam family Moraceae, nama ilmiahnya adalah

Artocarpus heterophyllus. Pohon Nangka umumnya berukuran sedang, dengan tinggi

rata-rata sekitar 20 m samapai 30 m. Batang bulat silindris, dengan garis tengah sekitar

1 m. Tajuknya padat dan lebat, melebar dan membulat apabila di tempat terbuka.

Seluruh bagian tumbuhan mengeluarkan getah putih pekat apabila dilukai.

Nangka tumbuh dengan baik di iklim tropis sampai dengan 25˚ lintang utara

maupun selatan, walaupun diketahui pula masih dapat berbuah hingga 30˚ lintang utara maupun selatan. Tanaman ini menyukai wilayah dengan curah hujan lebih dari 1500

mm pertahun di mana musim keringnya tidak terlalu keras. Nangka kurang toleran

terhadap udara dingin, kekeringan dan penggenangan.

Kayu Nangka berwarna kuning di bagian teras, berkualitas baik dan mudah

dikerjakan. Kayu ini cukup kuat, awet dan tahan terhadap serangan rayap atau jamur,

serta memiliki pola yang menarik, gampang mengkilap apabila diserut halus dan

digosok dengan minyak. Karena itu kayu nangka kerap dijadikan perkakas rumah

tangga, mebel, konstruksi bangunan, konstruksi kapal sampai ke alat musik. Kayu

Nangka memiliki serat agak kasar dan bewarna kuning sitrun mengkilat. Warna kuning

ini disebabkan oleh adanya kandungan Morine. Zat ini termasuk dapat diekstrak dengan

air mendidih atau alkohol. Morine dapat juga digunakan sebagai pewarna kuning pada

makanan.

Bailey (1962), dalam Isrianto (1997) mengemukakan klasifikasi nangka sebagai

berikut:

(6)

Kayu Nangka tergolong ke dalam kayu setengah keras, tahan terhadap serangan

rayap, tahan terhadap pembusukan jamur dan bakteri,mudah dikerjakan dan mengkilap

kalau disemir. Walaupun tidak sekuat kayu Jati, kayu Nangka dianggap lebih unggul

daripada kayu Jati untuk pembuatan mebel, konstruksi bangunan, pembubutan, tiang

kapal, dayung, perkakas dan alat musik (Veirheij dan Coronel, 1997).

2.3.2 Mahoni (Swietenia Macrophylla)

Nama botani mahoni adalah Swietenia macrophylla Blume, famili Meliaceae,

meliputi dua jenis yaitu Swietenia macrophylla King (mahoni daun besar) dan Swietenia

mahagoni Jacq (mahoni daun kecil), sedangkan di negara lain terdapat : American

Mahagoni, Baywood (Inggris), Acajou Amerique (Perancis); mahagony, Broadleaf

Mahagoni (USA).

Daerah penyebarannya di seluruh Jawa dengan ciri tinggi pohon mencapai 35

meter, diameter sampai 125 cm bentuk silindris, tidak berbanir tajuk membulat. Kayu

teras bewarna coklat muda sampai coklat tua kemerahan lambat laun menjadi lebih tua.

Tekstur kayu agak halus arah serat berpadu, kadang bergelombang. Permukan kayu

licin dan terdapat variasi gambar yang disebabkan oleh arah serat dan lingkaran tumbuh

yang tidak teratur (Martawijaya, 1995).

Kayu Mahoni memiliki pori soliter dan bergabung 2-3 dalam arah radial

diameter 100-200 mikron, frekuensi 30-65 per mm² , berisi deposit dengan bidang

perforasi yang sederhana. Terdapat Parenkim terminal yang merupakan pita panjang -

panjang pada kayu akhir dalam lingkaran tumbuh, jari-jari multiserat, lebar 30-50

mikron, heteroselular, panjang serat 1.362 mikron dengan diameter 27 mikron, tebal

dinding 3,4 mikron dan diameter rongga sel 10,2 mikron.

Berat jenis kayu Swietenia macrophylla 0,61 (0,53-0,67) kelas kuat II, kelas

awet III dan Swietenia mahagoni 0,64 (0,56-0,72), kelas kuat II, kelas awet III dengan

penyusutan sampa kering udara untuk Swietenia macrophylla 0,9% (radial) dan 1,3

(tangensial) sedangkan untk kering tanur 3,3% (radial) dan 5,7 (tangensial).

Tsoumis (1991) menyatakan bahwa warna kayu disebabkan oleh bahan yang

dapat di ekstrak (Tanin dan sebagainya) yang disebut ekstraktif. Ekstraktif adalah bahan

kimia dalam kayu yang dapat dilarutkan dalam pelarut netral seperti air, eter, alkohol,

benzen dan aseton. Kandungan ekstraktif dalam kayu bervariasi, mulai dari 1 % hingga

(7)

Achmadi (1990) menyatakan bahwa flavanoid, stilbena, tanin dan antosianin

termasuk golongan zat warna ekstraktif kayu. Uprichard (1993) juga menyatakan bahwa

polifenol dan tanin pada kayu daun lebar memiliki kontribusi besar pada warna kayu,

menggunakan bagan pengeringan moderat pada suhu 43ºC - 76ºC dengan kelembaban

nisbi 75%-33%. Kayu Mahoni mudah dikerjakan meskipun dalam proses pembubutan

kadang timbul bulu-bulu halus dan serat yang patah (Martawijaya 1995).

2.3.3 Rambutan (Nephelium lappaceum)

Rambutan (Nephelium lappaceum) adalah tanaman tropis yang tergolong ke

dalam suku lerak-lerakan atau Sapindaceae, berasal dari daerah kepulauan di Asia

Tenggara. Kata "rambutan" berasal dari bentuk buahnya yang mempunyai kulit

menyerupai rambut. Rambutan banyak terdapat di daerah tropis seperti Afrika,

Kamboja, Karibia , Amerika Tengah, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan

Sri Lanka.

Pohon Rambutan berukuran cukup besar di vegetasi alaminya, namun

pohon-pohon hasil perbanyakan (clonal trees) hanya memiliki tinggi sekitar 4-7 m. Daun

majemuk menyirip ganda sempurna (paripinnate) sampai 6 pasang anak daun.

Anak-anak daun berbentuk bulat telur sampai bulat telur sungsang, berukuran panjang 5-28

cm dan lebar 2-10.5 cm, permukaan atas daun halus dan ujung daun meruncing.

Pembungaan umumnya terminal (terkadang pseudo-terminal), terdapat bunga jantan dan

bunga hermafrodit. Bunga bersimetri banyak (actinomorphic), berwarna putih atau

kuning atau hijau. Daun kelopak terdiri atas 4-5 daun yang saling lepas. Umumnya tidak

ada daun-daun mahkota, terkadang dari 4 daun mahkota terreduksi menjadi satu daun

saja dengan ukuran yang tidak lebih dari 0.7-2.1 mm. Tangkai benang sari diselaputi

rambut-rambut panjang khususnya di bagian pangkalnya. Posisi kepala sari terlungkup

menghadap ke samping dan tergolong dapat pecah (anther dehiscing latero-introrse).

(8)

dengan baik. Buah berbentuk samara elips sampai semi globular dengan panjang 7 cm

dan lebar 5 cm, umumnya terdiri atas satu lembaga.

Rambutan dapat tumbuh subur pada daerah dataran rendah tropis lembab, pada

ketinggian dari permukaan air laut hingga 600 mdpl. Tumbuhan ini menyusun lapisan

kanopi bawah dan tengah hutan primer dan sekunder. Curah hujan di habitat alaminya

dapat mencapai 2500 mm per tahun. Jenis ini tumbuh pada tanah subur berpasir yang

kaya humus atau tanah liat yang kaya humus, dengan pH tanah berkisar antara 4.5-6.5.

Kayunya cocok untuk bahan bangunan. Pohon ini dapat ditanam untuk pemulihan

kembali lahan-lahan kritis.

2.3.4 Durian (Durio zibethinus)

Durian (Durio zibethinus) termasuk ke dalam famili Bombacaceae, di Sumatera

Utara dikenal dengan nama andurian, tarutung (toba), drotong (pakpak). Daerah

penyebarannya mulai dari Aceh, Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi dan Maluku. Tinggi

pohon ini bisa mencapai 50-60 m dengan diameter 120-140 cm dan biasanya berbanir.

Durian dapat tumbuh baik di daerah rendah sampai pada ketinggian 600m dpl, yang

mempunyai iklim basah dengan curah hujan antara 1500-2500 mm/tahun dan merata

sepanjang tahun. Suhu udara yang sesuai 20˚-30˚C, dengan pH antara 5,5-7. Kayu

terasnya bewarna coklat merah jika masih segar, lambat laun akan menjadi cokelat

kelabu atau coklat semu-semu lembayung. Kayu gubal berwarna putih dan dapat

dibedakan dengan jelas dari kayu teras, tebal sampai 5 cm. Teksturnya agak kasar dan

merata dengan arah serat lurus atau bepadu. Permukaan kayu agak licin dan mengkilap.

Kayu durian termasuk kelas awet IV/V dan kelas luat II-III dengan berat jenis

0,57. Kayunya mudah digergaji meskipun permukaan cenderung untuk berbulu, mudah

dikupas untuk dibuat vinir. Kayu durian cepat menjadi kering tanpa cacat, tetapi papan

yang tipis cenderung untuk menjadi cekung. Jika diawetkan dapat menyerap bahan

pengawet dengan mudah meskipun dengan proses perendaman. Kayu Durian biasa

dipakai sebagai bahan untuk pembuatan peti, plywood, veneer atau bahan-bahan seperti

(9)

2.3.5 Mindi (Melia azedarach)

Nama botani Mindi adalah Melia azedarach L, famili meliaceae. Nama Mindi di

negara lain adalah Persia lilac (United Kingdom), Arbre de paternoster (France),

Paraiso (Spain), Peternosterbaum (Germany).

Daerah penyebarannya di seluruh Jawa, Bali, NTT dan NTB. Dengan ciri tinggi

pohon mencapai 40 meter, diameter sampai 185 cm dan tidak berbanir. Kayu gubal

bewarna putih kemerah – merahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu

terasnya. Tekstur kayu sangat kasar dengan arah serat lurus atau agak berpadu.

Permukan kayu agak licin dan mengkilap indah.

Kayu Mindi memiliki pori soliter dan bergabung 2-3 dalam arah radial, dengan

ukuran diameter 30-360 mikron. Frekuensi 1-50 per mm² dan berisi zat bewarna coklat

sampai hitam. Parenkim paratrakeal berbentuk selubung lengkap atau tidak lengkap.

Parenkim apotrakeal tersebar membentuk pita pendek. Jari-jari homoseluler dan

umumnya multiseriat dengan lebar 7-61 mikron dan tinggi sampai 1000 mikron.

Panjang serat 1323 mikron, dengan diameter 27 mikron. Tebal dinding 2,8 mikron dan

diameter lumen 21,0 mikron. Berat jenis kayu Mindi 0,53 (0,42-0,65), dengan kelas

kuat II-III dan kelas awet IV-V.

Kayu Mindi dapat dikeringkan dengan baik tanpa cacat yang berarti,

pengeringan alami pada ketebalan 2,5cm dari kadar air 37 – 15% memerlukan waktu

40-50 hari. Pengeringan dalam Dry Klin disarankan menggunakan bagan pengeringan

moderat pada suhu 60ºC - 80ºC dengan kelembaban nisbi 80%-40%.

2.3.6 Menteng (Baccaurea racemosa)

Pohon Menteng (Baccaurea racemosa) memiliki ketinggian 15-25m,

diameternya 25-70 cm, tajuknya padat dan tidak teratur. Daunnya bundar telur-lonjong

sampai bundar telur sungsang, berukuran (7-18) cm x (37)cm, berkelenjar, bertangkai

daun 0,5-4,5 cm dengan penumpu segitiga. Racemosa dibedakan dalam dua forma:

yang satu daging buahnya putih (menteng), dan yang satu lagi daging buahnya merah

(bencoy). Kayunya digunakan untuk bangunan rumah, perahu, dan mebel. Sama halnya

dengan pohon-pohon kauliflora lainnya, Menteng dianggap sebagai pohon perambat

yang baik. Jenis-jenis yang dibudidayakan membentuk tajuk yang bagus dan dapat

(10)

digunakan untuk mewarnai sutra menjadi kuning, merah, atau lembayung muda, melalui

proses pewarnaan yang dalam bahasa Melayu disebut 'pekan'. Kulit kayu ini digunakan

juga untuk mengobati mata bengkak.

2.4 Pengolahan Citra (Image Prosessing)

Pengolahan citra adalah proses mengamati dan menganalisa suatu objek tanpa

berhubungan langsung dengan objek yang diamati. Proses dan analisanya melibatkan

persepsi visual dengan data masukan maupun data keluaran yang diperoleh berupa citra

dari objek yang diamati. Teknik-teknik pengolahan citra meliputi penajaman citra,

penonjolan fitur tertentu dari suatu citra, kompresi citra dan koreksi citra yang tidak

fokus atau kabur (Ahmad, 2005). Sebagaimana layaknya mata dan otak, sistem visual

yang buatan atau vision system (computer vision) adalah suatu sistem yang mempunyai

kemampuan untuk menganalisa objek secara visual, setelah data objek yang

bersangkutan dimasukkan dalam bentuk citra (image) untuk membuat model nyata dari

sistem visual (Ahmad, 2005).

Citra merupakan sekumpulan titik-titik dari gambar yang berisi informasi warna

dan tidak tergantung pada waktu. Umumnya citra dibentuk dari kotak-kotak persegi

empat yang teratur sehingga jarak horizontal dan vertikal antar pixel sama pada seluruh

bagian citra. Warna citra didapat melalui penjumlahan nilai Red, Green dan Blue

(RGB). Permukaan suatu benda yang terlihat sebenarnya hanya memantulkan cahaya

yang jatuh pada benda tersebut, itulah sebabnya mata kita tidak dapat melihat suatu

benda, apapun warnanya, bila ditempatkan dalam ruangan yang gelap sekali

(Ahmad,2005).

Selain memantulkan benda juga dapat memancarkan sinar sendiri agar dapat

terlihat oleh mata. Dengan cara mengalirkan sejumlah energi ke titik-titik penyusun

layar monitor, maka akan tampak suatu benda ke layar monitor. Monitor dan kartu

grafik komputer menggunakan model warna RGB (red, green blue), yaitu suatu model

warna yang didasarkan pada pembentukan warna melalui ketiga warna pokoknya, yaitu

merah, hijau dan biru untuk mempresentasikan suatu warna. Dalam hal ini warna

didefinisikan dengan jumlah relatif dari intensitas ketiga warna tersebut yang diperlukan

untuk membentuk suatu warna. Kekuatan intensitas setiap komponen warna tadi dapat

(11)

warna pokok tadi berarti ketiadaan suatu warna maupun kecerahan pada suatu piksel

sehingga tampak sebagai titik hitam pada monitor. Demikian sebaliknya jika nilai

intensitas penuh (100%) untuk ketiga warna pokok berarti semua komponen warna akan

saling menetralkan pada suatu piksel sehingga tampak suatu titik putih pada monitor.

Dengan demikian warna merah murni akan muncul bila komponen warna merahnya

bernilai penuh, sedangkan dua komponen lainya bernilai nol. Sama halnya dengan

keadaan warna hijau murni dan biru murni. Gabungan untuk berbagai nilai komponen

penyusunnya di luar keadaan tadi akan menghasilkan warna campuran yang dalam

kehidupan sehari-hari kita nilai secara kualitatif seperti kuning kemerahan, hijau muda,

kuning kehijauan dan sebagainya (Ahmad, 2005).

Citra masukan diperoleh melalui kamera yang didalamnya terdapat suatu alat

digitasi yang mengubah citra masukan berbentuk analog menjadi citra digital. Alat

digitasi ini dapat berupa penjelajahan solid-state yang menggunakan matrik sel yang

sensitif terhadap cahaya yang masuk, dimana citra yang direkam maupun yang

digunakan mempunyai kedudukan atau posisi yang tetap.

Alat masukan citra yang digunakan adalah kamera CCD (Charge coupled

Device) atau juga menggunakan kamera digital, dimana sensor citra dari alat ini

menghasilkan citra berupa citra analog sehingga dibutuhkan proses digitasi dengan

menggunakan alat digitasi.

Perangkat pengolahan citra terdiri dari perangkat keras (hardware) dan

perangkat lunak (software). Komponen utama dari perangkat keras citra digital adalah

komputer dan alat peraga komputer baik yang multiguna atau dari jenis khusus yang

dirancang untuk image processing digital. Proses pengolahan citra umumnya dilakukan

dari piksel ke piksel yang bersifat paralel.

Model warna telah banyak dikembangkan oleh para ahli, seperti model RGB

(red, green, blue), model CMY(K) (Cyan, Magenta, Yellow), YcbCr (Luminase serta

dua komponen kromasi Cb dan Cr), dan HSI (Hue, Saturation, Imtensity). Model warna

RGB merupakan model warna pokok aditif, yaitu warna dibentuk dengan

mengkombinasikan energi cahaya dari ketiga warna pokok dalam berbagai

perbandingan (Ahmad, 2005)

Salah satu cara yang mudah untuk menghitung nilai warna dan menafsirkan

(12)

ketiga komponen warna tersebut. Normalisasi perlu dilakukan terutama bila sejumlah

citra ditangkap dengan penerangan yang berbeda-beda. Hasil perhitungan tiap

komponen warna pokok yang telah dinormalisasi akan menghilangkan pengaruh

penerangan, sehingga nilai untuk setiap komponen warna dapat dibandingkan satu sama

lainnya walaupun berasal dari citra dengan kondisi penerangan yang berbeda.

Model warna RGB dapat dinormalisasi dengan rumus sebagai berikut:

Indeks warna merah (I Red) =

Indeks warna hijau (I Green =

Indeks warna biru (I Blue) =

Nilai R, G dan B masing-masing berupa besaran yang menyatakan nilai

intensitas warna merah, hijau dan biru. Nilai warna hasil normalisasi ini kemudian

ditafsirkan dengan melihat besarannya dimana apabila ketiga komponen yang telah

dinormalkan ini, katakanlah masing-masing menjadi indeks warna merah (R), hijau (G)

dan biru (B), mempunyai nilai yang sama (1/3) maka objek tidak berwarna. Bila R lebih

besar daripada G dan B maka objek bewarna merah, dan seterusnya. Warna merah

murni akan mempunyai nilai R yang sama dengan satu, sementara dua indeks lainnya

bernilai nol.

2.5. Rayap kayu kering

Iklim Indonesia yang terletak di daerah tropis sangat mendukung organisme

perusak kayu, termasuk rayap kayu kering (Cryptotermes cynochepalus). Di Indonesia

rayap tergolong ke dalam kelompok serangga perusak kayu utama. Binatang kecil yang

tergolong ke dalam serangga sosial ini, mampu menghancurkan bangunan yang

berukuran besar dan mengakibatkan kerugian yang besar pula. Rayap adalah serangga

berukuran kecil dan hidup dalam kelompok-kelompok sosial yang mempunyai sistem

kasta dan berkembang sempurna. Dalam setiap koloni terdapat tiga kasta yang menurut

fungsinya masing-masing diberi nama kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta

reproduktif (primer dan sekunder). Dalam penggolongan ini bentuk morfologi dari

setiap kasta sesuai dengan fungsinya masing-masing (Nandika dan Tambunan, 1989).

Rayap kayu kering termasuk famili kalotermitidae dan biasanya menyerang

kayu-kayu kering yang digunakan sebagai bahan bangunan, perlengkapan rumah tangga

(13)

tanah. Rayap kayu kering dapat bekerja dalam kayu yang mempunyai kadar air 10-12%

atau lebih rendah (Tarumingkeng, 1971)

Rayap kayu kering (Cryptotermes spp) adalah jenis rayap yang sangat umum

terdapat pada daerah-darah tropis, khususnya pada dataran rendah Jawa Barat,

Sumatera, Kalimantan dan Filipina. Penyebaran rayap kayu kering berhubungan dengan

iklim lembab. Nimfa Cryptotermes spp memiliki panjang 5-6 mm dengan warna kuning

kecoklatan. Pada kasta reproduktif muda berukuran 10 mm (Tarumingkeng, 1971).

Tarumingkeng (1971) juga menyatakan bahwa rayap kayu kering merupakan

perusak kayu paling banyak, terutama pada kayu yang berada dalam keadaan kering,

seperti kusen pintu, jendela, alat-alat rumah tangga dan lain-lain. Hampir semua kayu

ringan dan tidak awet diserang. Bahan-bahan lain yang mengandung selulosa seperti

kertas dan kain diserang juga.

Serangan tidak mudah terlihat dari luar karena hanya pada bagian yang

terlindung. Dari bagian luar, kayu yang diserang kelihatan masih utuh, padahal pada

bagian dalam telah berlubang-lubang atau rusak sama sekali. Hanya kotoran berbentuk

butiran halus merupakan ciri khas serangan rayap kayu kering. Rayap kayu kering

menyerang kayu kelas awet rendah sampai sedang, yaitu kelas awet III sampai IV dan

(14)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian ini, baik proses fumigasi maupun pengolahan data penelitian

dilakukan di Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan,

Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksakan selama 5 bulan,

mulai dari bulan Juni – November 2008.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan sebagai penunjang proses penelitian ini diantaranya:

1. Kilang fumigasi menyerupai bentuk oven yang terbuat dari bahan logam berpintu

kaca dengan alas berbahan aluminium dengan busa (stereoform) sebagai pembatas

antara aluminium dengan kaca. Bagian pintu dibuat dari kaca ditujukan agar

memudahkan pengamatan akan terjadinya perubahan warna. Ruangan fumigasi ini

berukuran 100 x 50 x 70 cm. Ruangan ini dilengkapi dengan 2 unit bohlam yang

masing-masing berdaya 100 watt yang berfungsi sebagai pemanas sekaligus

penerang. Bentuk dari ruang fumigasi disajikan pada Gambar 1a.

2. Wadah penampung amonia yang berupa satu unit bak plastik dengan ukuran 40 x 15

x 8 cm.

3. Satu unit termometer sebagai penunjuk suhu dalam ruangan.

4. Peralatan keselamatan (masker, kacamata, dan sarung tangan).

5. Seperangkat komputer dengan software pencitra warna RGB, aplikasi Adobe

Photoshop 7.0 dan aplikasi Microsoft Office 2007.

6. Alat pencatat, timbangan digital, kaliper, kalkulator dan moisture meter.

Bahan yang digunakan adalah papan dari 6 jenis kayu hutan rakyat, yaitu: kayu

Durian (Durio sp.), kayu Mahoni (Swietenia macrophylla), kayu Menteng (Baccaurea

racemosa), kayu Mindi (Melia azedarach), kayu Nangka (Artocarpus heterophyllus)

dan kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L). Persiapan contoh uji dikelompokan

menjadi dua, yaitu contoh uji berukuran 2 x 8 x 15 cm untuk pengujian daya tahan

pewarnaan terhadap cuaca sebanyak 18 contoh uji untuk setiap jenis kayu, dan contoh

uji berukuran 5 x 2,5 x 2 cm untuk pengujian daya tahan terhadap rayap kayu kering

berjumlah 18 contoh uji untuk setiap jenis kayu. Jadi total contoh uji yang dipersiapkan

(15)

3.3 Proses Fumigasi Kayu

Proses fumigasi amonia dilakukan pada kilang fumigasi. Kayu direaksikan dengan

uap amonia dalam ruangan fumigasi yang kedap udara dengan lama waktu yang

bervariasi, yaitu 24, 48, dan 72 jam. Tahapan fumigasi dijelaskan secara sistematis pada

uraian di bawah ini :

1. Persiapan contoh uji.

2. Pengambilan data gambar awal (kontrol) untuk tiap sampel yang akan difumigasi.

3. Pemanasan ruang fumigasi dengan menyalakan 2 bohlam berdaya 100 watt.

Pemberian panas ini bertujuan agar gas amonia cepat menguap dan reaksi antara

amonia dan kayu terjadi lebih cepat. Selain berfungsi sebagai pemanas bohlam juga

berfungsi sebagai penerang ruangan. Penyusunan empat contoh uji untuk setiap jenis

kayu, terdiri dari dua contoh uji berukuran 2 x 8 x 15 cm dan dua lainya berukuran 5

x 2,5 x 2 cm (Gambar 1b). Pada tahap ini harus diperhatikan penataan celah antar

sampel kayu supaya gas amonia dapat bereaksi merata keseluruh permukaan kayu.

4. Meletakan bak ke dalam ruang fumigasi.

5. Menuangkan larutan amonia ke dalam bak sesuai dengan volume yang diujikan (dua,

empat dan enam liter). Memakai peralatan keamanan untuk menghindari larutan atau

gas tidak kontak langsung dengan kulit, mata ataupun terhirup saat bernafas.

6. Pintu kaca ditutup agar tidak terjadi kebocoran.

7. Setelah waktu reaksi yang diinginkan tercapai, pintu ruang fumigasi dibuka secara

perlahan dan biarkan beberapa saat sampai kadar amonia dalam ruangan turun.

8. Keluarkan bak amonia sisa dan masukan amonia sisa tersebut ke dalam ember berisi

air untuk dinetralkan.

9. Contoh uji diangkat satu per satu dan didiamkan untuk beberapa saat (±24 jam),

selanjutnya difoto untuk mengamati dan mendokumentasikan perubahan warna yang

terjadi.

10. Setelah ruang fumigasi terbebas dari sisa gas yang masih ada, lantai dasar ruang

kedap dibersihkan dan dilap untuk menghindari terjadinya korosi akibat

(16)

(a) (b)

Gambar 1 Ruang fumigasi (a), dan penempatan contoh uji kayu dalam ruang fumigasi

(b)

3.4 Pengolahan Citra Gambar

Sampel yang telah di fumigasi didiamkan untuk beberapa saat, dengan tujuan

supaya saat didokumentasikan sampel sudah dalam keadaan kering dan tidak berbau,

serta tidak mengganggu saat proses pendokumentasian.

Pendokumentasian sampel dilakukan dengan menggunakan seperangkat komputer

yang dilengkapi dengan software pengolahan citra gambar yang bernama visual basic

6.0 dan satu unit mikroskop. Mikroskop ini telah terhubung kekomputer dengan

menggunakan kabel data. Selanjutnya setiap sampel akan diamati dibawah mikroskop,

dan kemudian dilakukan proses capture gambar dengan menggunakan Motic Image

Plus 2.0 setelah sebelumnya gambar difokuskan dulu dengan mikroskop. Gambar yang

telah dihasilkan kemudian disimpan kedalam memori hardisk untuk analisa citra lebih

lanjut.

Data diolah menggunakan pencitra warna RGB untuk menentukan nilai

perubahan pada warna utama. Program pengolahan citra secara langsung menentukan

indeks normalisasi pada setiap komponen warna sehingga dapat langsung diperoleh data

RGB pada masing-masing kayu dan volume amonia. Selanjutnya melakukan

pengamatan hasil, pencatatan dan pengolahan data menggunakan Microsoft Office Excel

(17)

3.5 Pengujian Daya Tahan Warna

Daya tahan warna yang akan diujikan adalah daya tahan terhadap pengaruh cuaca.

Contoh uji kayu yang telah difumigasi akan disingkapkan dibawah pengaruh langsung

sinar matahari selama 3 bulan (Gambar 2). Selanjutnya sampel diamati terhadap

kemungkinan terjadinya pelunturan warna.

Gambar 2 Pengujian daya tahan warna terhadap cuaca

3.6 Pengujian daya tahan terhadap rayap kayu kering (Cryptotermes spp)

Pengujian daya tahan rayap kayu kering ini dilakukan dengan mengumpankan

sampel kayu yang berukuran 5 x2,5 x 2 cm yang telah selesai di fumigasi. Sampel ini

tidak langsung diumpankan, melainkan dikondisikan terlebih dahulu dengan cara

mendiamkan sampel di ruangan terbuka yang dilengkapi dengan fan untuk beberapa

saat, sampai bau amonia pada sampel sudah hilang. Setelah bau amonia hilang sampel

tersebut diumpankan ke rayap kayu kering.

Tahap-tahap pengujian terhadap rayap kayu kering (Cryptotermes spp)

lengkapnya sebagai berikut :

1. Contoh uji terfumigasi yang berukuran 6 x 3 x 3 cm dipersiapkan sebanyak 150

buah (Gambar 3a).

2. Ke dalam wadah kaca dimasukkan contoh uji yang sebelumnya telah diketahui

berat awal dan kadar airnya, yang nantinya digunakan untuk mengukur BKT

dugaan dari setiap contoh uji.

3. Selanjutnya ke dalam wadah yang telah berisi sampel kayu dimasukkan 50 ekor

(18)

4. Bagian atas wadah kaca ditutup dengan menggunakan kain kasa yang berpori agak

besar supaya rayap tidak keluar dari wadah dan juga supaya wadah tidak dimasuki

oleh binatang pemakan rayap seperti tikus dan semut. Kemudian bagian atas wadah

yang telah tertutup kain kasa diikat dengan menggunakan karet gelang.

5. Wadah kaca kemudian disimpan di tempat gelap selama 12 minggu.

6. Setelah 12 minggu wadah dan kayu tersebut dibongkar.

7. Contoh uji kayu dibersihkan, sambil menghitung jumlah rayap kayu kering yang

masih hidup dan yang sudah mati untuk mengetahui persentase mortalitas rayap

kayu kering.

8. Selanjutnya contoh uji dimasukan kedalam oven bersuhu 103±2ºC untuk

memperoleh BKT, sehingga dapat dihitung persentase kehilangan berat.

(a)

(b)

(19)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh perlakuan fumigasi terhadap tingkat pewarnaan

4.1.1 Pengaruh perlakuan fumigasi terhadap tingkat pewarnaan pada kayu Nangka

Hasil pengamatan terhadap tingkat perubahan warna akibat perlakuan

konsentrasi dan lamanya waktu reaksi terhadap kayu Nangka disajikan pada Gambar 4.

Pada Gambar 4 nampak bahwa sampel kayu Nangka telah mengalami perubahan

warna mulai dari perlakuan fumigasi dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi

selama 24 jam. Hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan warna pada sampel kayu

Nangka dari warna kuning cerah menjadi kecokelatan. Peningkatan waktu reaksi

menjadi 48 jam ternyata menyebabkan terjadinya perubahan warna yang nyata pada

sampel kayu Nangka. Sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume

dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam menghasilkan warna yang lebih gelap

daripada sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan

waktu reaksi selama 24 jam. Peningkatan waktu reaksi menjadi 72 jam ternyata tidak

memberikan hasil yang signifikan. Sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan

amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 72 jam memiliki warna yang hampir

sama dengan warna sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume dua

liter dan waktu reaksi 48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan amonia dengan

volume dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam telah memperlihatkan hasil yang

cukup bagus tanpa meningkatkan waktu reaksinya.

Peningkatan volume amonia menjadi empat liter memperlihatkan perubahan

warna yang signifikan pada sampel kayu Nangka. Sampel kayu Nangka yang

difumigasi dengan amonia empat liter menghasilkan warna cokelat kehitaman. Sampel

kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume empat liter dan waktu reaksi

selama 72 jam memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan sampel kayu Nangka

yang difumigasi dengan amonia volume empat liter dan waktu fumigasi selama 24 dan

(20)

Gambar 4 Tingkat pewarnaan karena perlakuan konsentrasi amonia dan lama waktu reaksi fumigasi pada jenis kayu Nangka.

Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume dua liter Kontrol

Kontrol

Kontrol

24 jam 48 jam 72 jam

Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu

Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume empat liter

24 jam 48 jam 72 jam

Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume enam liter

24 jam 48 jam 72 jam

Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu

Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu

(21)

Pada perlakuan fumigasi dengan menggunakan amonia volume empat liter

terlihat pengaruh peningkatan waktu reaksi terhadap tingkat kegelapan warna yang

dihasilkan. Pada Gambar 4 terlihat sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan waktu

fumigasi yang lebih lama memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan dengan

sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan waktu reaksi yang lebih singkat.

Peningkatan volume amonia menjadi enam liter ternyata tidak memberikan

perbedaan yang mencolok dari segi kegelapan warna yang dihasilkan oleh sampel kayu

Nangka. Hal ini diduga karena reaksi antara amonia dengan tanin kayu telah mencapai

titik optimum pada perlakuan fumigasi dengan amonia empat liter dan waktu reaksi

selama 48 jam, sehingga penambahan amonia dengan volume yang lebih besar tidak

berpengaruh nyata terhadap tingkat kegelapan yang dihasilkan. Pada Gambar 4 terlihat

sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume enam liter, rata-rata

memiliki tingkat kegelapan warna yang hampir sama dengan sampel kayu Nangka yang

difumigasi dengan amonia volume empat liter. Peningkatan waktu reaksi juga tidak

memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan warna pada sampel kayu Nangka yang

difumigasi dengan amonia volume enam liter.

Hasil pengamatan kualitatif terhadap foto sampel kayu Nangka mengindikasikan

bahwa perlakuan fumigasi amonia untuk meningkatkan perubahan warna menunjukkan

pengaruh yang nyata. Kondisi ini mengindikasikan kayu Nangka reaktif terhadap

amonia.

Kuantifikasi perubahan warna akibat perlakuan fumigasi dilakukan melalui

analisis indeks warna RGB. Hasil pengukuran nilai indeks warna RGB akibat perlakuan

fumigasi disajikan pada Gambar 5. Perubahan indeks warna merah (R), hijau (G) dan

biru (B) menunjukkan besar perubahan warna pada kayu Nangka. Data hasil

pengukuran secara detail disajikan pada Lampiran 1.

Hasil pada Gambar 5 mengindikasikan adanya perubahan warna pada sampel

kayu Nangka, mulai terjadi pada perlakuan fumigasi dengan amonia volume dua liter

dan waktu reaksi selama 24 jam. Kecenderungan perubahan warna kayu menjadi

(22)

Gambar 5 Hasil kuantifikasi warna kayu menggunakan indeks warna RGB akibat perlakuan fumigasi dengan menggunakan amonia volume dua liter (a), empat liter (b) dan enam liter (c) pada kayu Nangka

(a)

(23)

warna merah (R). Sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia dua liter dan

waktu reaksi selama 24 jam telah mengalami penggelapan warna yang ditandai dengan

menurunnya indeks warna merah sebesar 0.01 poin. Penurunan nilai indeks warna hijau

(G) terbesar menunjukkan tingkat efektifitas perubahan warna tertinggi pada perlakuan

fumigasi amonia.

Nilai indeks warna hijau (G) juga mengalami penurunan sebesar 0.13 poin pada

sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi

selama 24 jam. Peningkatan indeks warna biru (B) mengindikasikan warna alami kayu

menjadi semakin gelap. Indeks warna biru (B) mengalami peningkatan yang signifikan

pada sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan waku

reaksi selama 24 jam sebesar 0.14 poin.

Peningkatan waktu reaksi menjadi 48 jam memberikan pengaruh terhadap

tingkat kegelapan warna yang dihasilkan pada sampel kayu Nangka yang difumigasi

dengan amonia volume dua liter. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya penurunan

nilai indeks warna merah yang dihasilkan. Sampel kayu Nangka yang difumigasi

dengan amonia volume dua liter dan waktu fumigasi selama 48 jam mengalami

penurunan nilai indeks warna merah yang lebih besar daripada sampel kayu Nangka

yang difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selama 24 jam, yaitu dengan

penurunan nilai indeks warna merah sebesar 0.05 poin. Hal ini menandakan sampel

kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam

memiliki warna yang lebih gelap daripada sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan

amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 24 jam. Sampel kayu Nangka yang

difumigasi dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam memiliki

nilai indeks warna hijau yang tidak jauh berbeda dengan sampel kayu Nangka yang

difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selama 24 jam, dengan nilai

penurunan sebesar 0.15 poin. Sementara itu nilai indeks warna biru (B) pada sampel

kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama

48 jam mengalami peningkatan dengan nilai yang lebih besar daripada sampel kayu

Nangka yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan waktu fumigasi selama 24

jam, yaitu sebesar 0.21 poin.

Pada perlakuan fumigasi dengan amonia volume dua liter, peningkatan waktu

(24)

yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan fumigasi yang menggunakan waktu

reaksi selama 24 dan 48 jam. Hal ini menandakan bahwa sampel kayu Nangka yang

difumigasi dengan waktu reaksi selama 72 jam memiliki warna yang lebih gelap

dibandingkan sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan waktu reaksi selama 24 dan

48 jam. Penurunan nilai indeks warna merah yang diperoleh yaitu sebesar 0.10 poin.

Sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan dua liter amonia dan waktu reaksi selama

72 jam memiliki penurunan nilai indeks warna hijau dan peningkatan nilai indeks warna

biru sebesar 0.07 (indeks warna hijau) dan 0.17 (indeks warna biru), yang menandakan

bahwa warna alami kayu semakin gelap.

Peningkatan volume amonia menjadi empat liter memberikan hasil yang

signifikan terhadap tingkat kegelapan warna yang dihasilkan. Hanya dengan difumigasi

selama 24 jam Sampel kayu Nangka telah mengalami penggelapan warna yang nyata,

yang ditandai dengan penurunan indeks warna merah yang signifikan yaitu sebesar 0.08

poin. Nilai penurunan indeks warna merah terbesar dimiliki oleh sampel kayu Nangka

yang difumigasi dengan amonia volume empat liter dan waktu fumigasi selama 72 jam,

yaitu sebesar 0.14 poin. Nilai ini melebihi nilai yang dihasilkan oleh sampel kayu

Nangka yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 48

jam. Penurunan nilai indeks warna hijau terbesar juga dimiliki oleh sampel kayu

Nangka yang difumigasi dengan amonia volume empat liter dan waktu reaksi selama 72

jam, yaitu sebesar 0.14 poin, yang menandakan kayu Nangka sangat reaktif terhadap

amonia. Sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume empat liter dan

waktu reaksi selama 72 jam memiliki peningkatan nilai indeks warna biru tertinggi

yaitu sebesar 0.25 poin, yang menandakan bahwa warna alami kayu ini semakin gelap.

Nilai ini juga melebihi nilai yang dicapai oleh sampel kayu Nangka yang difumigasi

dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam.

Peningkatan volume amonia menjadi enam liter tidak memberikan pengaruh

nyata terhadap perubahan warna kayu Nangka. Pada Gambar 5 nampak penurunan nilai

indeks wana merah yang terbesar dimiliki oleh sampel kayu Nangka yang difumigasi

dengan amonia enam liter dan waktu fumigasi selama 24 jam, yaitu 0.10 poin. Nilai ini

tidak lebih besar dari penurunan nilai indeks warna merah yang dimiliki oleh sampel

kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume empat liter dan waktu fumigasi

(25)

Nangka yang difumigasi dengan amonia volume enam liter dan waktu fumigasi selama

48 jam, yaitu sebesar 0.12 poin. Nilai indeks warna biru tertinggi dimiliki oleh sampel

kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume enam liter dan waktu fumigasi

selama 48 jam, yaitu sebesar 0.20 poin. Nilai ini tidak lebih besar dari pada nilai indeks

warna biru yang diperoleh sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia empat

liter dan waktu fumigasi selama 72 jam. Hal ini diduga karena pada perlakuan fumigasi

dengan amonia volume empat liter dan waktu reaksi selama 72 jam, reaksi yang terjadi

antara amonia dengan tanin kayu Nangka telah mencapai kondisi optimum, sehingga

dengan penambahan amonia yang lebih besar tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat

kegelapan warna yang dihasilkan.

4.1.2 Pengaruh perlakuan fumigasi terhadap tingkat pewarnaan pada kayu Mahoni

Hasil pengamatan terhadap tingkat perubahan warna akibat perlakuan

konsentrasi dan lamanya waktu reaksi terhadap kayu Mahoni disajikan pada Gambar 6.

Pada Gambar 6 terlihat secara umum seluruh sampel kayu Mahoni mengalami

penggelapan warna dari warna kemerahan menjadi merah kecokelatan sampai cokelat

kahitaman. Sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan

waktu fumigasi selama 24 jam belum memperlihatkan penggelapan warna yang nyata.

Pada Gambar 6 terlihat sampel kayu Mahoni yang memiliki warna awal kemerahan

tidak memperlihatkan perubahan warna yang berarti setelah difumigasi dengan amonia

dua liter dan waktu reaksi selama 24 jam, yang berarti dengan waktu reaksi selama 24

jam amonia belum mampu berikatan secara sempurna dengan tanin kayu. Peningkatan

waktu fumigasi menjadi 48 jam memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kegelapan

yang dihasilkan sampel kayu Mahoni. Fumigasi dengan menggunakan amonia volume

dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam menghasilkan warrna merah kecokelatan pada

sampel kayu Mahoni. Warna yang dihasilkan memiliki tingkat kegelapan yang lebih

tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan sebelumnya (24 jam waktu fumigasi).

Meningkatkan lama waktu reaksi fumigasi menjadi 72 jam ternyata tidak memberikan

pengaruh nyata terhadap tingkat kegelapan warna yang dihasilkan. Sampel kayu

Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 72

(26)

dibandingkan dengan sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan waktu reaksi

sebelumnya (48 jam).

Peningkatan volume amonia menjadi empat liter memberikan pengaruh nyata

terhadap perubahan warna sampel kayu Mahoni. Pada Gambar 6 terlihat seluruh sampel

kayu Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume empat liter memiliki tingkat

kegelapan warna yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan warna yang dihasilkan

oleh sampel-sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume dua liter.

Secara kualitatif pada perlakuan fumigasi menggunakan amonia dengan volume

empat liter, seluruh sampel kayu Mahoni dengan tingkat perlakuan berbeda cenderung

berubah warna dari warna kemerahan menjadi merah kecoklatan (Gambar 6), tetapi

dengan intensitas yang lebih gelap jika dibandingkan dengan warna merah kecokelatan

yang dihasilkan oleh sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan menggunakan

amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam.

Peningkatan volume amonia menjadi enam liter ternyata juga memberikan hasil

yang nyata terhadap tingkat penggelapan warna sampel kayu Mahoni. Seperti yang

terlihat pada Gambar 6, seluruh sampel kayu Mahoni berubah warna menjadi cokelat

kehitaman setelah difumigasi dengan menggunakan amonia volume enam liter.

Pengaruh lama waktu reaksi tidak terlihat nyata pada perlakuan fumigasi dengan

menggunakan amonia volume enam liter. Seperti yang terlihat pada Gambar 6, seluruh

sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume enam liter secara

(27)

Gambar 6 Tingkat pewarnaan karena perlakuan konsentrasi amonia dan lama waktu reaksi fumigasi pada jenis kayu Mahoni

Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume dua liter

24 jam 48 jam 72 jam

Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu

Kontrol

Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume empat liter

Kontrol 24 jam 48 jam 72 jam

Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu

Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume enam liter

Kontrol 24 jam 48 jam 72 jam

(28)

Hasil pengamatan kualitatif terhadap foto sampel kayu Mahoni di atas

mengindikasikan bahwa peningkatan volume amonia untuk meningkatkan perubahan

warna juga menunjukkan penggelapan warna yang berarti. Kondisi ini

menunjukkan kayu Mahoni reaktif terhadap fumigasi amonia, sehingga teknik fumigasi

amonia dapat diaplikasikan.

Kuantifikasi perubahan warna akibat perlakuan fumigasi dilakukan melalui

analisis indeks warna RGB. Hasil pengukuran nilai indeks warna RGB akibat perlakuan

fumigasi disajikan pada Gambar 7.

Penurunan nilai indeks warna merah tertinggi dimiliki pada sampel kayu

Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume dua liter, dimiliki oleh sampel kayu

Mahoni yang difumigasi dengan waktu reaksi selama 48 jam, yaitu sebesar 0.06 poin.

Penurunan nilai indeks warna hijau terbesar dimiliki oleh sampel kayu Mahoni yang

difumigasi dengan waktu reaksi selama 72 jam, yaitu sebesar 0.04 poin. Peningkatan

nilai indeks warna biru juga terjadi pada sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan

waktu reaksi selama 72 jam, yaitu sebesar 0.08 poin.

Peningkatan volume amonia menjadi empat liter memberikan hasil nyata

terhadap perubahan warna pada sampel kayu Mahoni. Sampel kayu Mahoni yang

difumigasi dengan amonia empat liter dan waktu reaksi 24 jam mengalami penurunan

indeks warna merah dengan nilai yang cukup signifikan, yaitu sebesar 0.09 poin, yang

diikuti oleh sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume empat liter

dan waktu reaksi 48 dan 72 jam, dengan nilai masing-masing sebesar 0.08 dan 0.06

poin. Penurunan nilai indeks warna hijau tertinggi dimiliki oleh sampel kayu Mahoni

yang difumigasi dengan amonia empat liter dan waktu fumigasi selama 72 jam, yang

diikuti oleh sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan amonia empat liter dan waktu

reaksi selama 48 dan 24 jam, dengan nilai masing-masing sebesar 0.04 dan 0.02 poin.

Nilai peningkatan indeks warna biru terbesar dimiliki oleh sampel kayu Mahoni yang

difumigasi dengan amonia empat liter dan waktu reaksi selama 72 dan 48jam, dengan

nilai yang sama yaitu sebesar 0.13 poin.

Peningkatan volume amonia menjadi enam liter ternyata memberikan hasil yang

signifikan terhadap tingkat kegelapan yang dihasilkan pada sampel kayu Mahoni. Pada

(29)

Gambar 7 Hasil kuantifikasi warna kayu menggunakan indeks warna RGB akibat perlakuan fumigasi dengan menggunakan amonia volume dua liter (a), empat liter (b) dan enam liter (c) pada kayu Mahoni

(a)

(30)

dengan amonia enam liter dan waktu reaksi selama 48 jam memiliki nilai penurunan

indeks warna merah paling besar, yaitu dengan nilai sebesar 0.16 poin. Sampel kayu

Mahoni yang difumigasi dengan amonia enam liter dan waktu reaksi selama 48 jam

juga memiliki nilai peningkatan indeks warna biru yang signifikan, yaitu sebesar 0.19

poin. Peningkatan waktu reaksi menjadi 72 jam ternyata tidak memberikan hasil yang

nyata terhadap tingkat kegelapan warna yang dihasilkan jika dibandingkan dengan

sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan amoia enam liter dan waktu reaksi selama

48 jam. Hal ini juga diduga disebabkan karena reaksi antara amonia dengan tanin kayu

Mahoni telah mencapai titik optimum, sehingga dengan peningkatan waktu reaksi

selama 72 jam tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kegelapan warna

yang dihasilkan. Nilai penurunan indeks warna merah yang dimiliki oleh sampel kayu

Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume enam liter dan waktu reaksi selama 72

jam adalah sebesar 0.11 poin, sedangkan nilai peningkatan indeks warna biru yang

dihasilkan hanya 0.15 poin.

4.1.3 Pengaruh perlakuan fumigasi terhadap tingkat pewarnaan pada kayu Rambutan

Hasil pengamatan terhadap tingkat perubahan warna akibat perlakuan

konsentrasi dan lamanya waktu reaksi terhadap kayu Rambutan disajikan pada Gambar

8.

Pada Gambar 8 terlihat sampel kayu Rambutan yang memiliki warna awal

merah kecokelatan tidak mengalami perubahan warna yang berarti setelah difumigasi

dengan menggunakan amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 24 jam.

Peningkatan waktu reaksi menjadi 48 jam ternyata berpengaruh terhadap

perubahan warna pada sampel kayu Rambutan, yang dibuktikan dengan bertambah

gelapnya warna yang dihasilkan. Peningkatan waktu reaksi menjadi 72 jam ternyata

juga berpengaruh terhadap perubahan warna yang terjadi. Warna awal sampel kayu

Rambutan yang merah kecokelatan berubah menjadi cokelat kehitaman setelah

difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selama 72 jam. Dari gambaran

diatas dapat disimpulkan bahwa peningkatan waktu fumigasi berpengaruh terhadap

(31)

Peningkatan volume amonia menjadi empat liter ternyata juga memberikan

pengaruh nyata terhadap perubahan warna pada sampel kayu Rambutan. Pada Gambar 8

nampak secara keseluruhan sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia

volume empat liter telah mengalami penggelapan warna mulai dari waktu reaksi 24 jam.

Secara kualitatif pada Gambar 8 nampak hampir semua sampel kayu Rambutan yang

difumigasi dengan amonia empat liter memiliki tingkat kegelapan yang hampir sama.

Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan lama waktu reaksi tidak berpengaruh nyata

terhadap perubahan warna pada sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan

menggunakan amonia volume empat liter.

Peningkatan volume amonia menjadi enam liter tidak menunjukkan hasil yang

nyata terhadap perubahan tingkat kegelapan warna yang dihasilkan pada sampel kayu

Rambutan. Pada Gambar 8 dapat kita lihat tingkat kegelapan warna yang dihasilkan

oleh sampel-sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia enam liter tidak

jauh berbeda dengan tingkat kegelapan warna yang dimiliki oleh sampel kayu

Rambutan yang difumigasi dengan amonia empat liter.

Hasil pengamatan kualitatif terhadap foto sampel kayu Rambutan diatas

mengindikasikan bahwa perlakuan fumigasi amonia untuk meningkatkan perubahan

warna menunjukkan pengaruh yang nyata. Kondisi ini menunjukkan kayu Rambutan

(32)

Gambar 8 Tingkat pewarnaan karena perlakuan konsentrasi amonia dan lama waktu reaksi fumigasi pada jenis kayu Rambutan

24 jam 48 jam

Kontrol

Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume dua liter

24 jam 48 jam 72 jam

Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu

Kontrol

Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume empat liter

Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu

Kontrol 24 jam 48 jam 72 jam

Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume enam liter

24 jam 48 jam 72 jam

Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu

(33)

Gambar 9 Hasil kuantifikasi warna kayu menggunakan indeks warna RGB akibat perlakuan fumigasi dengan menggunakan amonia volume dua liter (a), empat liter (b) dan enam liter (c) pada kayu Rambutan

(a)

(34)

Kuantifikasi perubahan warna akibat perlakuan fumigasi dilakukan melalui

analisis indeks warna RGB. Hasil pengukuran nilai indeks warna RGB akibat perlakuan

fumigasi disajikan pada Gambar 9.

Pada Gambar 9 nampak perubahan warna yang terjadi pada sampel kayu

Rambutan yang difumigasi dengan amonia volume dua liter. Penurunan indeks warna

merah terbesar dimiliki oleh sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia

volume dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam, yaitu sebesar 0.19 poin, yang

mengindikasikan warna kayu bertambah gelap. Sampel kayu Rambutan yang difumigasi

dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 72 jam memiliki nilai

penurunan indeks warna merah sebesar 0.09 poin. Penurunan indeks warna hijau terjadi

pada sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reasi

selama 24 dan 72 jam, namun sebaliknya indeks warna hijau pada sampel kayu

Rambutan yang difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam

justru mengalami peningkatan sebesar 0.01 poin. Penurunan indeks warna hijau terbesar

dimiliki oleh sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia dua liter dan

waktu reaksi selama 72 jam, yaitu sebesar 0.01 poin, yang menandakan fumigasi

dengan amonia efektif dilaukan pada kayu Rambutan. Peningkatan indeks warna biru

terbesar dimiliki oleh sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia dua liter

dan waktu reaksi selama 48 jam, yaitu sebesar 0.11 poin. Sampel kayu Rambutan yang

difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selama 72 jam memiliki nilai

peningkatan indeks warna biru sebesar 0.10 poin.

Peningkatan volume amonia menjadi empat liter ternyata memberikan pengaruh

nyata terhadap tingkat kegelapan warna yang dihasilkan. Sampel kayu Rambutan yang

difumigasi dengan amonia empat liter dan waktu reaksi selama 48 jam memiliki nilai

penurunan indeks warna merah terbesar, yaitu sebesar 0.16 poin, yang diikuti oleh

sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia volume empat liter dan waktu

reaksi selama 72 dan 24 jam, dengan nilai masing-masing 0.10 dan 0.09 poin.

Peningkatan indeks warna biru terbesar dimiliki oleh sampel kayu Rambutan yang

difumigasi dengan amonia volume empat liter dan waktu reaksi selama 48 jam, yaitu

sebesar 0.16 poin, yang diikuti oleh sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan

(35)

Peningkatan volume amonia menjadi enam liter ternyata tidak menunjukkan

hasil yang signifikan terhadap perubahan warna pada sampel kayu Rambutan. Hal ini

mengindikasikan bahwa pada perlakuan fumigasi menggunakan amonia volume empat

liter dan waktu reaksi selama 48 jam, reaksi antara amonia dengan tanin pada kayu

Rambutan telah mencapai titik optimum, sehingga dengan peningkatan volume amonia

yang lebih besar tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kegelapan yang dihasilkan.

Sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia enam liter dan waktu reaksi 48

jam memiliki peningkatan nilai indeks warna merah tertinggi, yaitu sebesar 0.19 poin,

yang diikuti oleh sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia volume enam

liter dan waktu reaksi selama 24 jam, yaitu sebesar 0.08 poin. Penurunan nilai indeks

warna hijau hanya terjadi pada sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia

enam liter dan waktu reaksi selama 48 dan 72 jam, sedangkan sampel kayu Rambutan

yang difumigasi dengan amonia enam liter dan waktu reaksi selama 24 jam mengalami

peningkatan nilai indeks warna hijau. Penurunan nilai indeks warna hijau terbesar

dimiliki sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia volume enam liter dan

waktu reaksi selama 48 jam yaitu sebesar 0.01 poin. Peningkatan nilai indeks warna

biru terbesar dimiliki oleh sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia

volume enam liter dan waktu reaksi selama 48 jam, yaitu dengan nilai sebesar 0.12

poin.

4.1.4 Pengaruh perlakuan fumigasi terhadap tingkat pewarnaan pada kayu Durian

Hasil pengamatan terhadap tingkat perubahan warna akibat perlakuan

konsentrasi dan lamanya waktu reaksi terhadap kayu Durian disajikan pada Gambar 10.

Pada Gambar 10 terlihat bahwa secara keseluruhan sampel kayu Durian tidak

mengalami perubahan warna yang nyata. Penggelapan warna akibat fumigasi amonia

tidak terlihat dengan jelas pada sampel kayu Durian.

Analisis kualitatif tidak menunjukkan perubahan warna sampel kayu Durian

yang diinginkan secara signifikan. Sampel kayu Durian yang difumigasi dengan

amonia dua liter secara umum tidak memperlihatkan penggelapan warna yang berarti

dan tetap menunjukkan warna yang tidak terlalu berbeda dengan warna awal kayu

(36)

menunjukkan perbedaan warna yang kecil antara warna awal sampel kayu Durian yang

telah difumigasi dengan warna sampel kayu Durian awal (kontrol). Sampel kayu Durian

yang difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam menyebabkan

sampel berubah warna menjadi cokelat terang. Sampel kayu Durian yang difumigasi

dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selam 72 jam ternyata juga memiliki warna

yang tidak jauh berbeda dengan warna yang dimiliki oleh sampel sebelumnya, sehingga

terlihat lama waktu fumigasi yang diterapkan tidak berpengaruh nyata terhadap

perubahan warna pada sampel kayu Durian yang difumigasi dengan amonia volume dua

liter.

Pengamatan terhadap Gambar 10 terindikasi bahwa peningkatan volume amonia

menjadi empat liter juga hanya menyebabkan perubahan warna yang kecil pada sampel

kayu Durian. Peningkatan lama waktu reaksi menjadi 48 dan 72 jam ternyata juga tidak

menghasilkan perubahan warna yang nyata terhadap sampel kayu Durian. Hal ini

dibuktikan dengan tidak meningkatnya kegelapan warna kayu Durian seiring dengan

peningkatan waktu reaksi.

Sampel kayu Durian yang diberi perlakuan fumigasi dengan amonia volume

enam liter ternyata juga tidak menyebabkan perubahan warna yang nyata. Pada Gambar

10 dapat dilihat perubahan warna yang sangat kecil terjadi pada sampel kayu Durian

yang difumigasi dengan amonia enam liter. Peningkatan waktu fumigasi juga tidak

mempengaruhi perubahan warna secara signifikan terhadap sampel kayu Durian yang

difumigasi dengan amonia volume enam liter. Pada Gambar 10 juga terlihat seluruh

sampel kayu Durian yang difumigasi dengan amonia enam liter dengan tingkat waktu

(37)

Gambar 10 Tingkat pewarnaan karena perlakuan konsentrasi amonia dan lama waktu reaksi fumigasi pada jenis kayu Durian

Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu

24 jam 48 jam 72 jam

Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume empat liter

Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu

24 jam 48 jam 72 jam

Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume enam liter

24 jam 48 jam 72 jam

Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu

Kontrol

Kontrol

Kontrol

(38)

Gambar 11 Hasil kuantifikasi warna kayu menggunakan indeks warna RGB akibat perlakuan fumigasi dengan menggunakan amonia volume dua liter (a), empat liter (b) dan enam liter (c) pada kayu Durian

(a)

Gambar

Gambar 4  Tingkat pewarnaan karena perlakuan konsentrasi amonia dan lama waktu Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume dua liter
Gambar 5  Hasil kuantifikasi warna kayu menggunakan indeks warna RGB akibat
Gambar 6  Tingkat pewarnaan karena perlakuan konsentrasi amonia dan lama waktu
Gambar 7  Hasil kuantifikasi warna kayu menggunakan indeks warna RGB akibat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian bahwa jenis tumbuhan yang memiliki nilai-nilai kesakralan/ ulayat bagi masyarakat Suku Dayak Kota Palangka Raya adalah Pinang Merah

Dengan melihat penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengaruh kepemimpinan lurah terhadap peningkatan kesadaran masyarakat dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan adalah apa

Penelitian kepustakaan merupakan tahap awal dari kegiatan penelitian, berupa pengumpulan data pustaka sebagai latar belakang ( theoritical background ), terutama tentang

Bantu atau Guru Tenaga Pekerja Harian Lepas dari satuan pendidikan formal ke satuan pendidikan formal yang lain dilakukan oleh Bupati sesuai dengan ketentuan

Dengan berlakunya Peraturan ini maka Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemasangan Alat Peraga Kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Secondly, based on sociological analysis, the movie reveals that there are some reasons underlying bad impression of society towards heavy metal culture. Social aspect deals

Dapat dinyatakan bahwa pencucian uang merupakan proses atau rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau suatu korporasi/badan usaha/organisasi dalam memperlakukan uang

Apabila kita mengadakan peninjauan lebih mendalam dari pengertian proyeksi, maka kurang lebih dapat disimpulkan bahwa proyeksi terjadi apabila seseorang