I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini hutan rakyat telah banyak dikelola dengan orientasi komersial, untuk
memenuhi kebutuhan pasar komoditas hasil hutan. Tidak seperti pada masa lampau,
dimana kebanyakan hutan rakyat berorientasi subsisten, hanya untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga petani sendiri. Belakangan ini hutan-hutan rakyat telah dikenal
sebagai penghasil kayu yang handal yang memiliki peluang tinggi untuk dijadikan
produk bernilai tambah tinggi khususnya furniture. Jenis-jenis kayu dari hutan rakyat
yang dimaksud diantaranya adalah Karet (Hevea brasiliensis), Afrika (Maesopsis
eminii), Jabon (Anthocephalus chinensis), Gmelina (Gmelina arborea), Sengon
(Paraserianthes falcataria), Mahoni (Swietenia macrophylla), Puspa (Alstonia
scholaris), Rasamala (Altingia excelsa), Durian (Durio zibethinus), Nangka
(Arthocarpus heterophyllus) dan lain-lain.
Namun mengingat rendahnya kualitas tampilan, seperti warna pucat dan tidak
seragam serta corak serat yang kurang menarik dari jenis-jenis kayu rakyat tersebut,
maka perlu adanya upaya untuk meningkatkan kualitas penampilan alaminya agar dapat
bersaing dan diterima konsumen khususnya internasional seperti layaknya kayu-kayu
yang sudah terkenal akan keindahan coraknya seperti kayu jati.
Saat ini proses pewarnaan kayu dilakukan dengan mengaplikasikan bahan-bahan
pewarna sintetis (stain, dye) yang memiliki beberapa kelemahan seperti warna cepat
luntur, sering mengangkat serat-serat kayu, terjadinya emisi komponen penyusun yang
dapat mengganggu kenyamanan dan kesehatan, proses aplikasinya butuh waktu lama
dan harganya relatif mahal. Fumigasi kayu (wood fuming) dengan amonia merupakan
salah satu metode yang dapat dikembangkan dan diterapkan di masa datang untuk
peningkatan kualitas penampilan warna dan corak alami kayu. Metoda fumigasi untuk
bidang perkayuan di Indonesia umumnya masih dipergunakan untuk tujuan pengawetan
produk perkayuan terhadap serangan jamur maupun serangga. Penggunaan untuk tujuan
lain seperti untuk merubah tampilan permukaan kayu sejauh ini belum pernah dilakukan
di Indonesia. Fumigasi menggunakan uap amonia (ammonia fumigation) merupakan
metode unggulan pewarnaan alami kayu untuk menggelapkan dan menyeragamkan
Melalui penelitian ini metode fumigasi amonia dicobakan pada beberapa jenis
kayu rakyat, seperti kayu Durian (Durio sp.), kayu Mahoni (Swietenia macrophylla),
kayu Menteng (Baccaurea racemosa), kayu Mindi (Melia azedarach), kayu Nangka
(Artocarpus heterophyllus) dan kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L). Larutan
amonia yang digunakan adalah amonia cair konsentrasi 25% yang dijual secara
komersil di pasaran. Dengan pertimbangan bahwa banyak faktor yang berpengaruh pada
proses fumigasi, maka pada penelitian ini cakupan penelitian dibatasi pada faktor
volume larutan dan lamanya waktu reaksi.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kondisi fumigasi optimum
(kombinasi antara volume larutan amonia serta lamanya waktu reaksi fumigasi)
sehingga diperoleh hasil pewarnaan yang menarik. Disamping itu penelitian ini juga
ditujukan untuk mengetahui daya tahan kayu yang difumigasi terhadap serangan rayap
kayu kering (Cryptotermes spp.) dan pelunturan warna oleh pengaruh cuaca.
1.3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan menghasilkan suatu kondisi fumigasi yang baik
(kombinasi antara volume larutan amonia dan lamanya waktu fumigasi) untuk
mendapatkan warna kayu yang gelap dan tahan terhadap pelunturan akibat pengaruh
cuaca. Selain itu diharapkan diperoleh hasil pengujian daya tahan kayu terfumigasi
terhadap serangan rayap kayu kering, sehingga dapat digunakan sebagai metode
pengawetan kayu. Selanjutnya hasil-hasil ini dapat diterapkan secara nyata dalam
industri furniture, sehingga membantu perkembangan industri pengerjaan kayu di
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fumigasi Kayu
Salah satu proses penting dalam produksi meubel dan furniture adalah finishing.
Proses ini berperan penting karena sangat menentukan hasil akhir dari suatu proses
pengerjaan kayu dan sangat signifikan dalam menentukan harga jual suatu produk
perkayuan. Proses ini pada dasarnya adalah memodifikasi penampilan kayu sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan hasil yang kita inginkan.
Kramer (1989) menyatakan bahwa modifikasi penampilan atau warna kayu dapat
dilakukan melalui dua tehnik yaitu: staining dan dyeing. Staining merupakan metode
merubah warna alami kayu yang paling banyak diterapkan oleh industri kayu saat ini,
karena banyaknya pilihan warna yang tersedia berupa stain. Namun tehnik ini
berimplikasi pada tertutupnya penampilan alami serat kayu yang indah akibat masuknya
pigmen yang mengisi pori kayu sehingga mengurangi keindahan kayu. Disamping itu
penggunaan stain sebagai pewarna sangat dikhawatirkan oleh masyarakat konsumen
karena adanya emisi komponen bahan pewarna yang mengganggu kesehatan pada saat
pemakaian. Dyeing adalah suatu proses kimia yang mengkombinasikan penggunaan
bahan pewarna dan penggunaan mordants untuk pewarnaan dan merubah penampilan
serat-serat kayu. Kelemahan metode ini adalah kurang ramah lingkungan karena
menggunakan bahan-bahan kimia yang cukup berbahaya dan menyebabkan karat pada
alat-alat sambung dari logam.
Metoda pewarnaan menggunakan tehnik fumigasi amonia merupakan salah satu
metoda dalam proses finishing kayu yang bukan saja mudah dilakukan namun hampir
pasti selalu berhasil dan apabila hasilnya kurang memuaskan atau gagal maka
percobaan pewarnaan dapat diulang lagi. Perubahan warna yang telah terjadi pada kayu
diperkirakan dapat bertahan selama ratusan tahun karena pada proses fumigasi amonia
ini yang mengalami perubahan adalah pigmen kayu itu sendiri dan tidak perlu khawatir
akan terjadinya pengelupasan maupun pelunturan (fading) seperti yang sering terjadi
pada tehnik pewarnaan lainnya (staining atau dyeing). Disamping itu metoda
pewarnaan kayu dengan tehnik staining atau dyeing tidak mengubah pigmen alami
kayu, melainkan hanya menutupi permukaan alami kayu dengan pigmen baru, sehingga
Saat ini telah ada metoda pewarnaan cara fumigasi seperti fumigasi belerang
untuk menggelapkan dan mengkilapkan warna rotan secara alami. Belakangan ini
metoda fumigasi khususnya fumigasi amonia telah mulai dicobakan untuk pewarnaan
alami kayu. Metoda fumigasi (fuming) kayu pada intinya adalah menempatkan kayu
pada lingkungan panas dan terdapat uap amonia sehingga terjadi perubahan warna kayu
hasil reaksi antara komponen kayu yang diduga tanin dengan gas amonia. Kegelapan
dan keseragaman warna yang terbentuk setelah proses fumigasi sangat ditentukan oleh
kandungan dan distribusi tanin dalam kayu. Tanin merupakan polifenol dengan tingkat
keasaman rendah. Tanin terdapat secara alami pada hampir semua jenis kayu hanya
saja kandungannya berbeda-beda. Kayu Oak, Walnut dan Mahoni memiliki kandungan
tanin yang cukup tinggi sehingga variasi warna yang dapat diciptakan juga lebih
banyak mulai dari agak gelap ke gelap.
Waktu yang dibutuhkan mengubah warna kayu Oak sangat terantung pada
tingkat kepekatan kompartemen, secara teori 48 jam merupakan waktu yang cukup.
Apabila proses fumigasi tidak cukup praktis akibat bahan terlalu besar untuk ukuran
kompartemen, dapat digunakan dengan cara lain yaitu menempelkan amonia kuat
langsung ke permukaan bahan dengan bantuan kuas atau spon dengan syarat bahan
tersebut belum mengalami perlakuan staining dan perlakuan lainnya yang mempunyai
efek menutupi pori kayu karena akan menghalangi reaksi yang diinginkan (Dredsner,
2005).
2.2 Peran tanin dalam fumigasi amonia
Asam tanin (tannic acid) merupakan nama komersial untuk tanin. Asam tanin
merupakan bahan baku pembuatan stain (warna). Asam tanin secara alami terdapat
pada kayu Oak, Walnut dan Mahoni, dan dapat diaplikasikan pada kayu yang memiliki
kadar tanin rendah. Perubahan warna yang terjadi pada proses fuming disebabkan oleh
reaksi antara tanin terkondensasi terutama Flavonoids yang memiliki struktur (5-OH)
bebas dengan amonia NH3. Jenis tanin ini antara lain Robinetin, Kaempferol, Quercetin
dan Morin.
Pada penelitian perubahan warna pada empat bagian kayu teras pada kayu
Acacia maerensii dengan perlakuan fuming tidak terjadi perubahan warna sama sekali.
besar di kayu teras dan sedikit sekali kandungan (5-OH) bebas (Marby et al, 1970
dalam Carrodus, 1971).
2.3 Jenis Kayu
2.3.1 Nangka (Artocarpus heterophyllus)
Nangka termasuk ke dalam family Moraceae, nama ilmiahnya adalah
Artocarpus heterophyllus. Pohon Nangka umumnya berukuran sedang, dengan tinggi
rata-rata sekitar 20 m samapai 30 m. Batang bulat silindris, dengan garis tengah sekitar
1 m. Tajuknya padat dan lebat, melebar dan membulat apabila di tempat terbuka.
Seluruh bagian tumbuhan mengeluarkan getah putih pekat apabila dilukai.
Nangka tumbuh dengan baik di iklim tropis sampai dengan 25˚ lintang utara
maupun selatan, walaupun diketahui pula masih dapat berbuah hingga 30˚ lintang utara maupun selatan. Tanaman ini menyukai wilayah dengan curah hujan lebih dari 1500
mm pertahun di mana musim keringnya tidak terlalu keras. Nangka kurang toleran
terhadap udara dingin, kekeringan dan penggenangan.
Kayu Nangka berwarna kuning di bagian teras, berkualitas baik dan mudah
dikerjakan. Kayu ini cukup kuat, awet dan tahan terhadap serangan rayap atau jamur,
serta memiliki pola yang menarik, gampang mengkilap apabila diserut halus dan
digosok dengan minyak. Karena itu kayu nangka kerap dijadikan perkakas rumah
tangga, mebel, konstruksi bangunan, konstruksi kapal sampai ke alat musik. Kayu
Nangka memiliki serat agak kasar dan bewarna kuning sitrun mengkilat. Warna kuning
ini disebabkan oleh adanya kandungan Morine. Zat ini termasuk dapat diekstrak dengan
air mendidih atau alkohol. Morine dapat juga digunakan sebagai pewarna kuning pada
makanan.
Bailey (1962), dalam Isrianto (1997) mengemukakan klasifikasi nangka sebagai
berikut:
Kayu Nangka tergolong ke dalam kayu setengah keras, tahan terhadap serangan
rayap, tahan terhadap pembusukan jamur dan bakteri,mudah dikerjakan dan mengkilap
kalau disemir. Walaupun tidak sekuat kayu Jati, kayu Nangka dianggap lebih unggul
daripada kayu Jati untuk pembuatan mebel, konstruksi bangunan, pembubutan, tiang
kapal, dayung, perkakas dan alat musik (Veirheij dan Coronel, 1997).
2.3.2 Mahoni (Swietenia Macrophylla)
Nama botani mahoni adalah Swietenia macrophylla Blume, famili Meliaceae,
meliputi dua jenis yaitu Swietenia macrophylla King (mahoni daun besar) dan Swietenia
mahagoni Jacq (mahoni daun kecil), sedangkan di negara lain terdapat : American
Mahagoni, Baywood (Inggris), Acajou Amerique (Perancis); mahagony, Broadleaf
Mahagoni (USA).
Daerah penyebarannya di seluruh Jawa dengan ciri tinggi pohon mencapai 35
meter, diameter sampai 125 cm bentuk silindris, tidak berbanir tajuk membulat. Kayu
teras bewarna coklat muda sampai coklat tua kemerahan lambat laun menjadi lebih tua.
Tekstur kayu agak halus arah serat berpadu, kadang bergelombang. Permukan kayu
licin dan terdapat variasi gambar yang disebabkan oleh arah serat dan lingkaran tumbuh
yang tidak teratur (Martawijaya, 1995).
Kayu Mahoni memiliki pori soliter dan bergabung 2-3 dalam arah radial
diameter 100-200 mikron, frekuensi 30-65 per mm² , berisi deposit dengan bidang
perforasi yang sederhana. Terdapat Parenkim terminal yang merupakan pita panjang -
panjang pada kayu akhir dalam lingkaran tumbuh, jari-jari multiserat, lebar 30-50
mikron, heteroselular, panjang serat 1.362 mikron dengan diameter 27 mikron, tebal
dinding 3,4 mikron dan diameter rongga sel 10,2 mikron.
Berat jenis kayu Swietenia macrophylla 0,61 (0,53-0,67) kelas kuat II, kelas
awet III dan Swietenia mahagoni 0,64 (0,56-0,72), kelas kuat II, kelas awet III dengan
penyusutan sampa kering udara untuk Swietenia macrophylla 0,9% (radial) dan 1,3
(tangensial) sedangkan untk kering tanur 3,3% (radial) dan 5,7 (tangensial).
Tsoumis (1991) menyatakan bahwa warna kayu disebabkan oleh bahan yang
dapat di ekstrak (Tanin dan sebagainya) yang disebut ekstraktif. Ekstraktif adalah bahan
kimia dalam kayu yang dapat dilarutkan dalam pelarut netral seperti air, eter, alkohol,
benzen dan aseton. Kandungan ekstraktif dalam kayu bervariasi, mulai dari 1 % hingga
Achmadi (1990) menyatakan bahwa flavanoid, stilbena, tanin dan antosianin
termasuk golongan zat warna ekstraktif kayu. Uprichard (1993) juga menyatakan bahwa
polifenol dan tanin pada kayu daun lebar memiliki kontribusi besar pada warna kayu,
menggunakan bagan pengeringan moderat pada suhu 43ºC - 76ºC dengan kelembaban
nisbi 75%-33%. Kayu Mahoni mudah dikerjakan meskipun dalam proses pembubutan
kadang timbul bulu-bulu halus dan serat yang patah (Martawijaya 1995).
2.3.3 Rambutan (Nephelium lappaceum)
Rambutan (Nephelium lappaceum) adalah tanaman tropis yang tergolong ke
dalam suku lerak-lerakan atau Sapindaceae, berasal dari daerah kepulauan di Asia
Tenggara. Kata "rambutan" berasal dari bentuk buahnya yang mempunyai kulit
menyerupai rambut. Rambutan banyak terdapat di daerah tropis seperti Afrika,
Kamboja, Karibia , Amerika Tengah, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan
Sri Lanka.
Pohon Rambutan berukuran cukup besar di vegetasi alaminya, namun
pohon-pohon hasil perbanyakan (clonal trees) hanya memiliki tinggi sekitar 4-7 m. Daun
majemuk menyirip ganda sempurna (paripinnate) sampai 6 pasang anak daun.
Anak-anak daun berbentuk bulat telur sampai bulat telur sungsang, berukuran panjang 5-28
cm dan lebar 2-10.5 cm, permukaan atas daun halus dan ujung daun meruncing.
Pembungaan umumnya terminal (terkadang pseudo-terminal), terdapat bunga jantan dan
bunga hermafrodit. Bunga bersimetri banyak (actinomorphic), berwarna putih atau
kuning atau hijau. Daun kelopak terdiri atas 4-5 daun yang saling lepas. Umumnya tidak
ada daun-daun mahkota, terkadang dari 4 daun mahkota terreduksi menjadi satu daun
saja dengan ukuran yang tidak lebih dari 0.7-2.1 mm. Tangkai benang sari diselaputi
rambut-rambut panjang khususnya di bagian pangkalnya. Posisi kepala sari terlungkup
menghadap ke samping dan tergolong dapat pecah (anther dehiscing latero-introrse).
dengan baik. Buah berbentuk samara elips sampai semi globular dengan panjang 7 cm
dan lebar 5 cm, umumnya terdiri atas satu lembaga.
Rambutan dapat tumbuh subur pada daerah dataran rendah tropis lembab, pada
ketinggian dari permukaan air laut hingga 600 mdpl. Tumbuhan ini menyusun lapisan
kanopi bawah dan tengah hutan primer dan sekunder. Curah hujan di habitat alaminya
dapat mencapai 2500 mm per tahun. Jenis ini tumbuh pada tanah subur berpasir yang
kaya humus atau tanah liat yang kaya humus, dengan pH tanah berkisar antara 4.5-6.5.
Kayunya cocok untuk bahan bangunan. Pohon ini dapat ditanam untuk pemulihan
kembali lahan-lahan kritis.
2.3.4 Durian (Durio zibethinus)
Durian (Durio zibethinus) termasuk ke dalam famili Bombacaceae, di Sumatera
Utara dikenal dengan nama andurian, tarutung (toba), drotong (pakpak). Daerah
penyebarannya mulai dari Aceh, Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi dan Maluku. Tinggi
pohon ini bisa mencapai 50-60 m dengan diameter 120-140 cm dan biasanya berbanir.
Durian dapat tumbuh baik di daerah rendah sampai pada ketinggian 600m dpl, yang
mempunyai iklim basah dengan curah hujan antara 1500-2500 mm/tahun dan merata
sepanjang tahun. Suhu udara yang sesuai 20˚-30˚C, dengan pH antara 5,5-7. Kayu
terasnya bewarna coklat merah jika masih segar, lambat laun akan menjadi cokelat
kelabu atau coklat semu-semu lembayung. Kayu gubal berwarna putih dan dapat
dibedakan dengan jelas dari kayu teras, tebal sampai 5 cm. Teksturnya agak kasar dan
merata dengan arah serat lurus atau bepadu. Permukaan kayu agak licin dan mengkilap.
Kayu durian termasuk kelas awet IV/V dan kelas luat II-III dengan berat jenis
0,57. Kayunya mudah digergaji meskipun permukaan cenderung untuk berbulu, mudah
dikupas untuk dibuat vinir. Kayu durian cepat menjadi kering tanpa cacat, tetapi papan
yang tipis cenderung untuk menjadi cekung. Jika diawetkan dapat menyerap bahan
pengawet dengan mudah meskipun dengan proses perendaman. Kayu Durian biasa
dipakai sebagai bahan untuk pembuatan peti, plywood, veneer atau bahan-bahan seperti
2.3.5 Mindi (Melia azedarach)
Nama botani Mindi adalah Melia azedarach L, famili meliaceae. Nama Mindi di
negara lain adalah Persia lilac (United Kingdom), Arbre de paternoster (France),
Paraiso (Spain), Peternosterbaum (Germany).
Daerah penyebarannya di seluruh Jawa, Bali, NTT dan NTB. Dengan ciri tinggi
pohon mencapai 40 meter, diameter sampai 185 cm dan tidak berbanir. Kayu gubal
bewarna putih kemerah – merahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu
terasnya. Tekstur kayu sangat kasar dengan arah serat lurus atau agak berpadu.
Permukan kayu agak licin dan mengkilap indah.
Kayu Mindi memiliki pori soliter dan bergabung 2-3 dalam arah radial, dengan
ukuran diameter 30-360 mikron. Frekuensi 1-50 per mm² dan berisi zat bewarna coklat
sampai hitam. Parenkim paratrakeal berbentuk selubung lengkap atau tidak lengkap.
Parenkim apotrakeal tersebar membentuk pita pendek. Jari-jari homoseluler dan
umumnya multiseriat dengan lebar 7-61 mikron dan tinggi sampai 1000 mikron.
Panjang serat 1323 mikron, dengan diameter 27 mikron. Tebal dinding 2,8 mikron dan
diameter lumen 21,0 mikron. Berat jenis kayu Mindi 0,53 (0,42-0,65), dengan kelas
kuat II-III dan kelas awet IV-V.
Kayu Mindi dapat dikeringkan dengan baik tanpa cacat yang berarti,
pengeringan alami pada ketebalan 2,5cm dari kadar air 37 – 15% memerlukan waktu
40-50 hari. Pengeringan dalam Dry Klin disarankan menggunakan bagan pengeringan
moderat pada suhu 60ºC - 80ºC dengan kelembaban nisbi 80%-40%.
2.3.6 Menteng (Baccaurea racemosa)
Pohon Menteng (Baccaurea racemosa) memiliki ketinggian 15-25m,
diameternya 25-70 cm, tajuknya padat dan tidak teratur. Daunnya bundar telur-lonjong
sampai bundar telur sungsang, berukuran (7-18) cm x (37)cm, berkelenjar, bertangkai
daun 0,5-4,5 cm dengan penumpu segitiga. Racemosa dibedakan dalam dua forma:
yang satu daging buahnya putih (menteng), dan yang satu lagi daging buahnya merah
(bencoy). Kayunya digunakan untuk bangunan rumah, perahu, dan mebel. Sama halnya
dengan pohon-pohon kauliflora lainnya, Menteng dianggap sebagai pohon perambat
yang baik. Jenis-jenis yang dibudidayakan membentuk tajuk yang bagus dan dapat
digunakan untuk mewarnai sutra menjadi kuning, merah, atau lembayung muda, melalui
proses pewarnaan yang dalam bahasa Melayu disebut 'pekan'. Kulit kayu ini digunakan
juga untuk mengobati mata bengkak.
2.4 Pengolahan Citra (Image Prosessing)
Pengolahan citra adalah proses mengamati dan menganalisa suatu objek tanpa
berhubungan langsung dengan objek yang diamati. Proses dan analisanya melibatkan
persepsi visual dengan data masukan maupun data keluaran yang diperoleh berupa citra
dari objek yang diamati. Teknik-teknik pengolahan citra meliputi penajaman citra,
penonjolan fitur tertentu dari suatu citra, kompresi citra dan koreksi citra yang tidak
fokus atau kabur (Ahmad, 2005). Sebagaimana layaknya mata dan otak, sistem visual
yang buatan atau vision system (computer vision) adalah suatu sistem yang mempunyai
kemampuan untuk menganalisa objek secara visual, setelah data objek yang
bersangkutan dimasukkan dalam bentuk citra (image) untuk membuat model nyata dari
sistem visual (Ahmad, 2005).
Citra merupakan sekumpulan titik-titik dari gambar yang berisi informasi warna
dan tidak tergantung pada waktu. Umumnya citra dibentuk dari kotak-kotak persegi
empat yang teratur sehingga jarak horizontal dan vertikal antar pixel sama pada seluruh
bagian citra. Warna citra didapat melalui penjumlahan nilai Red, Green dan Blue
(RGB). Permukaan suatu benda yang terlihat sebenarnya hanya memantulkan cahaya
yang jatuh pada benda tersebut, itulah sebabnya mata kita tidak dapat melihat suatu
benda, apapun warnanya, bila ditempatkan dalam ruangan yang gelap sekali
(Ahmad,2005).
Selain memantulkan benda juga dapat memancarkan sinar sendiri agar dapat
terlihat oleh mata. Dengan cara mengalirkan sejumlah energi ke titik-titik penyusun
layar monitor, maka akan tampak suatu benda ke layar monitor. Monitor dan kartu
grafik komputer menggunakan model warna RGB (red, green blue), yaitu suatu model
warna yang didasarkan pada pembentukan warna melalui ketiga warna pokoknya, yaitu
merah, hijau dan biru untuk mempresentasikan suatu warna. Dalam hal ini warna
didefinisikan dengan jumlah relatif dari intensitas ketiga warna tersebut yang diperlukan
untuk membentuk suatu warna. Kekuatan intensitas setiap komponen warna tadi dapat
warna pokok tadi berarti ketiadaan suatu warna maupun kecerahan pada suatu piksel
sehingga tampak sebagai titik hitam pada monitor. Demikian sebaliknya jika nilai
intensitas penuh (100%) untuk ketiga warna pokok berarti semua komponen warna akan
saling menetralkan pada suatu piksel sehingga tampak suatu titik putih pada monitor.
Dengan demikian warna merah murni akan muncul bila komponen warna merahnya
bernilai penuh, sedangkan dua komponen lainya bernilai nol. Sama halnya dengan
keadaan warna hijau murni dan biru murni. Gabungan untuk berbagai nilai komponen
penyusunnya di luar keadaan tadi akan menghasilkan warna campuran yang dalam
kehidupan sehari-hari kita nilai secara kualitatif seperti kuning kemerahan, hijau muda,
kuning kehijauan dan sebagainya (Ahmad, 2005).
Citra masukan diperoleh melalui kamera yang didalamnya terdapat suatu alat
digitasi yang mengubah citra masukan berbentuk analog menjadi citra digital. Alat
digitasi ini dapat berupa penjelajahan solid-state yang menggunakan matrik sel yang
sensitif terhadap cahaya yang masuk, dimana citra yang direkam maupun yang
digunakan mempunyai kedudukan atau posisi yang tetap.
Alat masukan citra yang digunakan adalah kamera CCD (Charge coupled
Device) atau juga menggunakan kamera digital, dimana sensor citra dari alat ini
menghasilkan citra berupa citra analog sehingga dibutuhkan proses digitasi dengan
menggunakan alat digitasi.
Perangkat pengolahan citra terdiri dari perangkat keras (hardware) dan
perangkat lunak (software). Komponen utama dari perangkat keras citra digital adalah
komputer dan alat peraga komputer baik yang multiguna atau dari jenis khusus yang
dirancang untuk image processing digital. Proses pengolahan citra umumnya dilakukan
dari piksel ke piksel yang bersifat paralel.
Model warna telah banyak dikembangkan oleh para ahli, seperti model RGB
(red, green, blue), model CMY(K) (Cyan, Magenta, Yellow), YcbCr (Luminase serta
dua komponen kromasi Cb dan Cr), dan HSI (Hue, Saturation, Imtensity). Model warna
RGB merupakan model warna pokok aditif, yaitu warna dibentuk dengan
mengkombinasikan energi cahaya dari ketiga warna pokok dalam berbagai
perbandingan (Ahmad, 2005)
Salah satu cara yang mudah untuk menghitung nilai warna dan menafsirkan
ketiga komponen warna tersebut. Normalisasi perlu dilakukan terutama bila sejumlah
citra ditangkap dengan penerangan yang berbeda-beda. Hasil perhitungan tiap
komponen warna pokok yang telah dinormalisasi akan menghilangkan pengaruh
penerangan, sehingga nilai untuk setiap komponen warna dapat dibandingkan satu sama
lainnya walaupun berasal dari citra dengan kondisi penerangan yang berbeda.
Model warna RGB dapat dinormalisasi dengan rumus sebagai berikut:
Indeks warna merah (I Red) =
Indeks warna hijau (I Green =
Indeks warna biru (I Blue) =
Nilai R, G dan B masing-masing berupa besaran yang menyatakan nilai
intensitas warna merah, hijau dan biru. Nilai warna hasil normalisasi ini kemudian
ditafsirkan dengan melihat besarannya dimana apabila ketiga komponen yang telah
dinormalkan ini, katakanlah masing-masing menjadi indeks warna merah (R), hijau (G)
dan biru (B), mempunyai nilai yang sama (1/3) maka objek tidak berwarna. Bila R lebih
besar daripada G dan B maka objek bewarna merah, dan seterusnya. Warna merah
murni akan mempunyai nilai R yang sama dengan satu, sementara dua indeks lainnya
bernilai nol.
2.5. Rayap kayu kering
Iklim Indonesia yang terletak di daerah tropis sangat mendukung organisme
perusak kayu, termasuk rayap kayu kering (Cryptotermes cynochepalus). Di Indonesia
rayap tergolong ke dalam kelompok serangga perusak kayu utama. Binatang kecil yang
tergolong ke dalam serangga sosial ini, mampu menghancurkan bangunan yang
berukuran besar dan mengakibatkan kerugian yang besar pula. Rayap adalah serangga
berukuran kecil dan hidup dalam kelompok-kelompok sosial yang mempunyai sistem
kasta dan berkembang sempurna. Dalam setiap koloni terdapat tiga kasta yang menurut
fungsinya masing-masing diberi nama kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta
reproduktif (primer dan sekunder). Dalam penggolongan ini bentuk morfologi dari
setiap kasta sesuai dengan fungsinya masing-masing (Nandika dan Tambunan, 1989).
Rayap kayu kering termasuk famili kalotermitidae dan biasanya menyerang
kayu-kayu kering yang digunakan sebagai bahan bangunan, perlengkapan rumah tangga
tanah. Rayap kayu kering dapat bekerja dalam kayu yang mempunyai kadar air 10-12%
atau lebih rendah (Tarumingkeng, 1971)
Rayap kayu kering (Cryptotermes spp) adalah jenis rayap yang sangat umum
terdapat pada daerah-darah tropis, khususnya pada dataran rendah Jawa Barat,
Sumatera, Kalimantan dan Filipina. Penyebaran rayap kayu kering berhubungan dengan
iklim lembab. Nimfa Cryptotermes spp memiliki panjang 5-6 mm dengan warna kuning
kecoklatan. Pada kasta reproduktif muda berukuran 10 mm (Tarumingkeng, 1971).
Tarumingkeng (1971) juga menyatakan bahwa rayap kayu kering merupakan
perusak kayu paling banyak, terutama pada kayu yang berada dalam keadaan kering,
seperti kusen pintu, jendela, alat-alat rumah tangga dan lain-lain. Hampir semua kayu
ringan dan tidak awet diserang. Bahan-bahan lain yang mengandung selulosa seperti
kertas dan kain diserang juga.
Serangan tidak mudah terlihat dari luar karena hanya pada bagian yang
terlindung. Dari bagian luar, kayu yang diserang kelihatan masih utuh, padahal pada
bagian dalam telah berlubang-lubang atau rusak sama sekali. Hanya kotoran berbentuk
butiran halus merupakan ciri khas serangan rayap kayu kering. Rayap kayu kering
menyerang kayu kelas awet rendah sampai sedang, yaitu kelas awet III sampai IV dan
III. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian ini, baik proses fumigasi maupun pengolahan data penelitian
dilakukan di Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan,
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksakan selama 5 bulan,
mulai dari bulan Juni – November 2008.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan sebagai penunjang proses penelitian ini diantaranya:
1. Kilang fumigasi menyerupai bentuk oven yang terbuat dari bahan logam berpintu
kaca dengan alas berbahan aluminium dengan busa (stereoform) sebagai pembatas
antara aluminium dengan kaca. Bagian pintu dibuat dari kaca ditujukan agar
memudahkan pengamatan akan terjadinya perubahan warna. Ruangan fumigasi ini
berukuran 100 x 50 x 70 cm. Ruangan ini dilengkapi dengan 2 unit bohlam yang
masing-masing berdaya 100 watt yang berfungsi sebagai pemanas sekaligus
penerang. Bentuk dari ruang fumigasi disajikan pada Gambar 1a.
2. Wadah penampung amonia yang berupa satu unit bak plastik dengan ukuran 40 x 15
x 8 cm.
3. Satu unit termometer sebagai penunjuk suhu dalam ruangan.
4. Peralatan keselamatan (masker, kacamata, dan sarung tangan).
5. Seperangkat komputer dengan software pencitra warna RGB, aplikasi Adobe
Photoshop 7.0 dan aplikasi Microsoft Office 2007.
6. Alat pencatat, timbangan digital, kaliper, kalkulator dan moisture meter.
Bahan yang digunakan adalah papan dari 6 jenis kayu hutan rakyat, yaitu: kayu
Durian (Durio sp.), kayu Mahoni (Swietenia macrophylla), kayu Menteng (Baccaurea
racemosa), kayu Mindi (Melia azedarach), kayu Nangka (Artocarpus heterophyllus)
dan kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L). Persiapan contoh uji dikelompokan
menjadi dua, yaitu contoh uji berukuran 2 x 8 x 15 cm untuk pengujian daya tahan
pewarnaan terhadap cuaca sebanyak 18 contoh uji untuk setiap jenis kayu, dan contoh
uji berukuran 5 x 2,5 x 2 cm untuk pengujian daya tahan terhadap rayap kayu kering
berjumlah 18 contoh uji untuk setiap jenis kayu. Jadi total contoh uji yang dipersiapkan
3.3 Proses Fumigasi Kayu
Proses fumigasi amonia dilakukan pada kilang fumigasi. Kayu direaksikan dengan
uap amonia dalam ruangan fumigasi yang kedap udara dengan lama waktu yang
bervariasi, yaitu 24, 48, dan 72 jam. Tahapan fumigasi dijelaskan secara sistematis pada
uraian di bawah ini :
1. Persiapan contoh uji.
2. Pengambilan data gambar awal (kontrol) untuk tiap sampel yang akan difumigasi.
3. Pemanasan ruang fumigasi dengan menyalakan 2 bohlam berdaya 100 watt.
Pemberian panas ini bertujuan agar gas amonia cepat menguap dan reaksi antara
amonia dan kayu terjadi lebih cepat. Selain berfungsi sebagai pemanas bohlam juga
berfungsi sebagai penerang ruangan. Penyusunan empat contoh uji untuk setiap jenis
kayu, terdiri dari dua contoh uji berukuran 2 x 8 x 15 cm dan dua lainya berukuran 5
x 2,5 x 2 cm (Gambar 1b). Pada tahap ini harus diperhatikan penataan celah antar
sampel kayu supaya gas amonia dapat bereaksi merata keseluruh permukaan kayu.
4. Meletakan bak ke dalam ruang fumigasi.
5. Menuangkan larutan amonia ke dalam bak sesuai dengan volume yang diujikan (dua,
empat dan enam liter). Memakai peralatan keamanan untuk menghindari larutan atau
gas tidak kontak langsung dengan kulit, mata ataupun terhirup saat bernafas.
6. Pintu kaca ditutup agar tidak terjadi kebocoran.
7. Setelah waktu reaksi yang diinginkan tercapai, pintu ruang fumigasi dibuka secara
perlahan dan biarkan beberapa saat sampai kadar amonia dalam ruangan turun.
8. Keluarkan bak amonia sisa dan masukan amonia sisa tersebut ke dalam ember berisi
air untuk dinetralkan.
9. Contoh uji diangkat satu per satu dan didiamkan untuk beberapa saat (±24 jam),
selanjutnya difoto untuk mengamati dan mendokumentasikan perubahan warna yang
terjadi.
10. Setelah ruang fumigasi terbebas dari sisa gas yang masih ada, lantai dasar ruang
kedap dibersihkan dan dilap untuk menghindari terjadinya korosi akibat
(a) (b)
Gambar 1 Ruang fumigasi (a), dan penempatan contoh uji kayu dalam ruang fumigasi
(b)
3.4 Pengolahan Citra Gambar
Sampel yang telah di fumigasi didiamkan untuk beberapa saat, dengan tujuan
supaya saat didokumentasikan sampel sudah dalam keadaan kering dan tidak berbau,
serta tidak mengganggu saat proses pendokumentasian.
Pendokumentasian sampel dilakukan dengan menggunakan seperangkat komputer
yang dilengkapi dengan software pengolahan citra gambar yang bernama visual basic
6.0 dan satu unit mikroskop. Mikroskop ini telah terhubung kekomputer dengan
menggunakan kabel data. Selanjutnya setiap sampel akan diamati dibawah mikroskop,
dan kemudian dilakukan proses capture gambar dengan menggunakan Motic Image
Plus 2.0 setelah sebelumnya gambar difokuskan dulu dengan mikroskop. Gambar yang
telah dihasilkan kemudian disimpan kedalam memori hardisk untuk analisa citra lebih
lanjut.
Data diolah menggunakan pencitra warna RGB untuk menentukan nilai
perubahan pada warna utama. Program pengolahan citra secara langsung menentukan
indeks normalisasi pada setiap komponen warna sehingga dapat langsung diperoleh data
RGB pada masing-masing kayu dan volume amonia. Selanjutnya melakukan
pengamatan hasil, pencatatan dan pengolahan data menggunakan Microsoft Office Excel
3.5 Pengujian Daya Tahan Warna
Daya tahan warna yang akan diujikan adalah daya tahan terhadap pengaruh cuaca.
Contoh uji kayu yang telah difumigasi akan disingkapkan dibawah pengaruh langsung
sinar matahari selama 3 bulan (Gambar 2). Selanjutnya sampel diamati terhadap
kemungkinan terjadinya pelunturan warna.
Gambar 2 Pengujian daya tahan warna terhadap cuaca
3.6 Pengujian daya tahan terhadap rayap kayu kering (Cryptotermes spp)
Pengujian daya tahan rayap kayu kering ini dilakukan dengan mengumpankan
sampel kayu yang berukuran 5 x2,5 x 2 cm yang telah selesai di fumigasi. Sampel ini
tidak langsung diumpankan, melainkan dikondisikan terlebih dahulu dengan cara
mendiamkan sampel di ruangan terbuka yang dilengkapi dengan fan untuk beberapa
saat, sampai bau amonia pada sampel sudah hilang. Setelah bau amonia hilang sampel
tersebut diumpankan ke rayap kayu kering.
Tahap-tahap pengujian terhadap rayap kayu kering (Cryptotermes spp)
lengkapnya sebagai berikut :
1. Contoh uji terfumigasi yang berukuran 6 x 3 x 3 cm dipersiapkan sebanyak 150
buah (Gambar 3a).
2. Ke dalam wadah kaca dimasukkan contoh uji yang sebelumnya telah diketahui
berat awal dan kadar airnya, yang nantinya digunakan untuk mengukur BKT
dugaan dari setiap contoh uji.
3. Selanjutnya ke dalam wadah yang telah berisi sampel kayu dimasukkan 50 ekor
4. Bagian atas wadah kaca ditutup dengan menggunakan kain kasa yang berpori agak
besar supaya rayap tidak keluar dari wadah dan juga supaya wadah tidak dimasuki
oleh binatang pemakan rayap seperti tikus dan semut. Kemudian bagian atas wadah
yang telah tertutup kain kasa diikat dengan menggunakan karet gelang.
5. Wadah kaca kemudian disimpan di tempat gelap selama 12 minggu.
6. Setelah 12 minggu wadah dan kayu tersebut dibongkar.
7. Contoh uji kayu dibersihkan, sambil menghitung jumlah rayap kayu kering yang
masih hidup dan yang sudah mati untuk mengetahui persentase mortalitas rayap
kayu kering.
8. Selanjutnya contoh uji dimasukan kedalam oven bersuhu 103±2ºC untuk
memperoleh BKT, sehingga dapat dihitung persentase kehilangan berat.
(a)
(b)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh perlakuan fumigasi terhadap tingkat pewarnaan
4.1.1 Pengaruh perlakuan fumigasi terhadap tingkat pewarnaan pada kayu Nangka
Hasil pengamatan terhadap tingkat perubahan warna akibat perlakuan
konsentrasi dan lamanya waktu reaksi terhadap kayu Nangka disajikan pada Gambar 4.
Pada Gambar 4 nampak bahwa sampel kayu Nangka telah mengalami perubahan
warna mulai dari perlakuan fumigasi dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi
selama 24 jam. Hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan warna pada sampel kayu
Nangka dari warna kuning cerah menjadi kecokelatan. Peningkatan waktu reaksi
menjadi 48 jam ternyata menyebabkan terjadinya perubahan warna yang nyata pada
sampel kayu Nangka. Sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume
dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam menghasilkan warna yang lebih gelap
daripada sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan
waktu reaksi selama 24 jam. Peningkatan waktu reaksi menjadi 72 jam ternyata tidak
memberikan hasil yang signifikan. Sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan
amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 72 jam memiliki warna yang hampir
sama dengan warna sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume dua
liter dan waktu reaksi 48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan amonia dengan
volume dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam telah memperlihatkan hasil yang
cukup bagus tanpa meningkatkan waktu reaksinya.
Peningkatan volume amonia menjadi empat liter memperlihatkan perubahan
warna yang signifikan pada sampel kayu Nangka. Sampel kayu Nangka yang
difumigasi dengan amonia empat liter menghasilkan warna cokelat kehitaman. Sampel
kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume empat liter dan waktu reaksi
selama 72 jam memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan sampel kayu Nangka
yang difumigasi dengan amonia volume empat liter dan waktu fumigasi selama 24 dan
Gambar 4 Tingkat pewarnaan karena perlakuan konsentrasi amonia dan lama waktu reaksi fumigasi pada jenis kayu Nangka.
Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume dua liter Kontrol
Kontrol
Kontrol
24 jam 48 jam 72 jam
Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu
Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume empat liter
24 jam 48 jam 72 jam
Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume enam liter
24 jam 48 jam 72 jam
Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu
Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu
Pada perlakuan fumigasi dengan menggunakan amonia volume empat liter
terlihat pengaruh peningkatan waktu reaksi terhadap tingkat kegelapan warna yang
dihasilkan. Pada Gambar 4 terlihat sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan waktu
fumigasi yang lebih lama memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan dengan
sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan waktu reaksi yang lebih singkat.
Peningkatan volume amonia menjadi enam liter ternyata tidak memberikan
perbedaan yang mencolok dari segi kegelapan warna yang dihasilkan oleh sampel kayu
Nangka. Hal ini diduga karena reaksi antara amonia dengan tanin kayu telah mencapai
titik optimum pada perlakuan fumigasi dengan amonia empat liter dan waktu reaksi
selama 48 jam, sehingga penambahan amonia dengan volume yang lebih besar tidak
berpengaruh nyata terhadap tingkat kegelapan yang dihasilkan. Pada Gambar 4 terlihat
sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume enam liter, rata-rata
memiliki tingkat kegelapan warna yang hampir sama dengan sampel kayu Nangka yang
difumigasi dengan amonia volume empat liter. Peningkatan waktu reaksi juga tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan warna pada sampel kayu Nangka yang
difumigasi dengan amonia volume enam liter.
Hasil pengamatan kualitatif terhadap foto sampel kayu Nangka mengindikasikan
bahwa perlakuan fumigasi amonia untuk meningkatkan perubahan warna menunjukkan
pengaruh yang nyata. Kondisi ini mengindikasikan kayu Nangka reaktif terhadap
amonia.
Kuantifikasi perubahan warna akibat perlakuan fumigasi dilakukan melalui
analisis indeks warna RGB. Hasil pengukuran nilai indeks warna RGB akibat perlakuan
fumigasi disajikan pada Gambar 5. Perubahan indeks warna merah (R), hijau (G) dan
biru (B) menunjukkan besar perubahan warna pada kayu Nangka. Data hasil
pengukuran secara detail disajikan pada Lampiran 1.
Hasil pada Gambar 5 mengindikasikan adanya perubahan warna pada sampel
kayu Nangka, mulai terjadi pada perlakuan fumigasi dengan amonia volume dua liter
dan waktu reaksi selama 24 jam. Kecenderungan perubahan warna kayu menjadi
Gambar 5 Hasil kuantifikasi warna kayu menggunakan indeks warna RGB akibat perlakuan fumigasi dengan menggunakan amonia volume dua liter (a), empat liter (b) dan enam liter (c) pada kayu Nangka
(a)
warna merah (R). Sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia dua liter dan
waktu reaksi selama 24 jam telah mengalami penggelapan warna yang ditandai dengan
menurunnya indeks warna merah sebesar 0.01 poin. Penurunan nilai indeks warna hijau
(G) terbesar menunjukkan tingkat efektifitas perubahan warna tertinggi pada perlakuan
fumigasi amonia.
Nilai indeks warna hijau (G) juga mengalami penurunan sebesar 0.13 poin pada
sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi
selama 24 jam. Peningkatan indeks warna biru (B) mengindikasikan warna alami kayu
menjadi semakin gelap. Indeks warna biru (B) mengalami peningkatan yang signifikan
pada sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan waku
reaksi selama 24 jam sebesar 0.14 poin.
Peningkatan waktu reaksi menjadi 48 jam memberikan pengaruh terhadap
tingkat kegelapan warna yang dihasilkan pada sampel kayu Nangka yang difumigasi
dengan amonia volume dua liter. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya penurunan
nilai indeks warna merah yang dihasilkan. Sampel kayu Nangka yang difumigasi
dengan amonia volume dua liter dan waktu fumigasi selama 48 jam mengalami
penurunan nilai indeks warna merah yang lebih besar daripada sampel kayu Nangka
yang difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selama 24 jam, yaitu dengan
penurunan nilai indeks warna merah sebesar 0.05 poin. Hal ini menandakan sampel
kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam
memiliki warna yang lebih gelap daripada sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan
amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 24 jam. Sampel kayu Nangka yang
difumigasi dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam memiliki
nilai indeks warna hijau yang tidak jauh berbeda dengan sampel kayu Nangka yang
difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selama 24 jam, dengan nilai
penurunan sebesar 0.15 poin. Sementara itu nilai indeks warna biru (B) pada sampel
kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama
48 jam mengalami peningkatan dengan nilai yang lebih besar daripada sampel kayu
Nangka yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan waktu fumigasi selama 24
jam, yaitu sebesar 0.21 poin.
Pada perlakuan fumigasi dengan amonia volume dua liter, peningkatan waktu
yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan fumigasi yang menggunakan waktu
reaksi selama 24 dan 48 jam. Hal ini menandakan bahwa sampel kayu Nangka yang
difumigasi dengan waktu reaksi selama 72 jam memiliki warna yang lebih gelap
dibandingkan sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan waktu reaksi selama 24 dan
48 jam. Penurunan nilai indeks warna merah yang diperoleh yaitu sebesar 0.10 poin.
Sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan dua liter amonia dan waktu reaksi selama
72 jam memiliki penurunan nilai indeks warna hijau dan peningkatan nilai indeks warna
biru sebesar 0.07 (indeks warna hijau) dan 0.17 (indeks warna biru), yang menandakan
bahwa warna alami kayu semakin gelap.
Peningkatan volume amonia menjadi empat liter memberikan hasil yang
signifikan terhadap tingkat kegelapan warna yang dihasilkan. Hanya dengan difumigasi
selama 24 jam Sampel kayu Nangka telah mengalami penggelapan warna yang nyata,
yang ditandai dengan penurunan indeks warna merah yang signifikan yaitu sebesar 0.08
poin. Nilai penurunan indeks warna merah terbesar dimiliki oleh sampel kayu Nangka
yang difumigasi dengan amonia volume empat liter dan waktu fumigasi selama 72 jam,
yaitu sebesar 0.14 poin. Nilai ini melebihi nilai yang dihasilkan oleh sampel kayu
Nangka yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 48
jam. Penurunan nilai indeks warna hijau terbesar juga dimiliki oleh sampel kayu
Nangka yang difumigasi dengan amonia volume empat liter dan waktu reaksi selama 72
jam, yaitu sebesar 0.14 poin, yang menandakan kayu Nangka sangat reaktif terhadap
amonia. Sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume empat liter dan
waktu reaksi selama 72 jam memiliki peningkatan nilai indeks warna biru tertinggi
yaitu sebesar 0.25 poin, yang menandakan bahwa warna alami kayu ini semakin gelap.
Nilai ini juga melebihi nilai yang dicapai oleh sampel kayu Nangka yang difumigasi
dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam.
Peningkatan volume amonia menjadi enam liter tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap perubahan warna kayu Nangka. Pada Gambar 5 nampak penurunan nilai
indeks wana merah yang terbesar dimiliki oleh sampel kayu Nangka yang difumigasi
dengan amonia enam liter dan waktu fumigasi selama 24 jam, yaitu 0.10 poin. Nilai ini
tidak lebih besar dari penurunan nilai indeks warna merah yang dimiliki oleh sampel
kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume empat liter dan waktu fumigasi
Nangka yang difumigasi dengan amonia volume enam liter dan waktu fumigasi selama
48 jam, yaitu sebesar 0.12 poin. Nilai indeks warna biru tertinggi dimiliki oleh sampel
kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia volume enam liter dan waktu fumigasi
selama 48 jam, yaitu sebesar 0.20 poin. Nilai ini tidak lebih besar dari pada nilai indeks
warna biru yang diperoleh sampel kayu Nangka yang difumigasi dengan amonia empat
liter dan waktu fumigasi selama 72 jam. Hal ini diduga karena pada perlakuan fumigasi
dengan amonia volume empat liter dan waktu reaksi selama 72 jam, reaksi yang terjadi
antara amonia dengan tanin kayu Nangka telah mencapai kondisi optimum, sehingga
dengan penambahan amonia yang lebih besar tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat
kegelapan warna yang dihasilkan.
4.1.2 Pengaruh perlakuan fumigasi terhadap tingkat pewarnaan pada kayu Mahoni
Hasil pengamatan terhadap tingkat perubahan warna akibat perlakuan
konsentrasi dan lamanya waktu reaksi terhadap kayu Mahoni disajikan pada Gambar 6.
Pada Gambar 6 terlihat secara umum seluruh sampel kayu Mahoni mengalami
penggelapan warna dari warna kemerahan menjadi merah kecokelatan sampai cokelat
kahitaman. Sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan
waktu fumigasi selama 24 jam belum memperlihatkan penggelapan warna yang nyata.
Pada Gambar 6 terlihat sampel kayu Mahoni yang memiliki warna awal kemerahan
tidak memperlihatkan perubahan warna yang berarti setelah difumigasi dengan amonia
dua liter dan waktu reaksi selama 24 jam, yang berarti dengan waktu reaksi selama 24
jam amonia belum mampu berikatan secara sempurna dengan tanin kayu. Peningkatan
waktu fumigasi menjadi 48 jam memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kegelapan
yang dihasilkan sampel kayu Mahoni. Fumigasi dengan menggunakan amonia volume
dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam menghasilkan warrna merah kecokelatan pada
sampel kayu Mahoni. Warna yang dihasilkan memiliki tingkat kegelapan yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan sebelumnya (24 jam waktu fumigasi).
Meningkatkan lama waktu reaksi fumigasi menjadi 72 jam ternyata tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap tingkat kegelapan warna yang dihasilkan. Sampel kayu
Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 72
dibandingkan dengan sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan waktu reaksi
sebelumnya (48 jam).
Peningkatan volume amonia menjadi empat liter memberikan pengaruh nyata
terhadap perubahan warna sampel kayu Mahoni. Pada Gambar 6 terlihat seluruh sampel
kayu Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume empat liter memiliki tingkat
kegelapan warna yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan warna yang dihasilkan
oleh sampel-sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume dua liter.
Secara kualitatif pada perlakuan fumigasi menggunakan amonia dengan volume
empat liter, seluruh sampel kayu Mahoni dengan tingkat perlakuan berbeda cenderung
berubah warna dari warna kemerahan menjadi merah kecoklatan (Gambar 6), tetapi
dengan intensitas yang lebih gelap jika dibandingkan dengan warna merah kecokelatan
yang dihasilkan oleh sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan menggunakan
amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam.
Peningkatan volume amonia menjadi enam liter ternyata juga memberikan hasil
yang nyata terhadap tingkat penggelapan warna sampel kayu Mahoni. Seperti yang
terlihat pada Gambar 6, seluruh sampel kayu Mahoni berubah warna menjadi cokelat
kehitaman setelah difumigasi dengan menggunakan amonia volume enam liter.
Pengaruh lama waktu reaksi tidak terlihat nyata pada perlakuan fumigasi dengan
menggunakan amonia volume enam liter. Seperti yang terlihat pada Gambar 6, seluruh
sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume enam liter secara
Gambar 6 Tingkat pewarnaan karena perlakuan konsentrasi amonia dan lama waktu reaksi fumigasi pada jenis kayu Mahoni
Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume dua liter
24 jam 48 jam 72 jam
Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu
Kontrol
Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume empat liter
Kontrol 24 jam 48 jam 72 jam
Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu
Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume enam liter
Kontrol 24 jam 48 jam 72 jam
Hasil pengamatan kualitatif terhadap foto sampel kayu Mahoni di atas
mengindikasikan bahwa peningkatan volume amonia untuk meningkatkan perubahan
warna juga menunjukkan penggelapan warna yang berarti. Kondisi ini
menunjukkan kayu Mahoni reaktif terhadap fumigasi amonia, sehingga teknik fumigasi
amonia dapat diaplikasikan.
Kuantifikasi perubahan warna akibat perlakuan fumigasi dilakukan melalui
analisis indeks warna RGB. Hasil pengukuran nilai indeks warna RGB akibat perlakuan
fumigasi disajikan pada Gambar 7.
Penurunan nilai indeks warna merah tertinggi dimiliki pada sampel kayu
Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume dua liter, dimiliki oleh sampel kayu
Mahoni yang difumigasi dengan waktu reaksi selama 48 jam, yaitu sebesar 0.06 poin.
Penurunan nilai indeks warna hijau terbesar dimiliki oleh sampel kayu Mahoni yang
difumigasi dengan waktu reaksi selama 72 jam, yaitu sebesar 0.04 poin. Peningkatan
nilai indeks warna biru juga terjadi pada sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan
waktu reaksi selama 72 jam, yaitu sebesar 0.08 poin.
Peningkatan volume amonia menjadi empat liter memberikan hasil nyata
terhadap perubahan warna pada sampel kayu Mahoni. Sampel kayu Mahoni yang
difumigasi dengan amonia empat liter dan waktu reaksi 24 jam mengalami penurunan
indeks warna merah dengan nilai yang cukup signifikan, yaitu sebesar 0.09 poin, yang
diikuti oleh sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume empat liter
dan waktu reaksi 48 dan 72 jam, dengan nilai masing-masing sebesar 0.08 dan 0.06
poin. Penurunan nilai indeks warna hijau tertinggi dimiliki oleh sampel kayu Mahoni
yang difumigasi dengan amonia empat liter dan waktu fumigasi selama 72 jam, yang
diikuti oleh sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan amonia empat liter dan waktu
reaksi selama 48 dan 24 jam, dengan nilai masing-masing sebesar 0.04 dan 0.02 poin.
Nilai peningkatan indeks warna biru terbesar dimiliki oleh sampel kayu Mahoni yang
difumigasi dengan amonia empat liter dan waktu reaksi selama 72 dan 48jam, dengan
nilai yang sama yaitu sebesar 0.13 poin.
Peningkatan volume amonia menjadi enam liter ternyata memberikan hasil yang
signifikan terhadap tingkat kegelapan yang dihasilkan pada sampel kayu Mahoni. Pada
Gambar 7 Hasil kuantifikasi warna kayu menggunakan indeks warna RGB akibat perlakuan fumigasi dengan menggunakan amonia volume dua liter (a), empat liter (b) dan enam liter (c) pada kayu Mahoni
(a)
dengan amonia enam liter dan waktu reaksi selama 48 jam memiliki nilai penurunan
indeks warna merah paling besar, yaitu dengan nilai sebesar 0.16 poin. Sampel kayu
Mahoni yang difumigasi dengan amonia enam liter dan waktu reaksi selama 48 jam
juga memiliki nilai peningkatan indeks warna biru yang signifikan, yaitu sebesar 0.19
poin. Peningkatan waktu reaksi menjadi 72 jam ternyata tidak memberikan hasil yang
nyata terhadap tingkat kegelapan warna yang dihasilkan jika dibandingkan dengan
sampel kayu Mahoni yang difumigasi dengan amoia enam liter dan waktu reaksi selama
48 jam. Hal ini juga diduga disebabkan karena reaksi antara amonia dengan tanin kayu
Mahoni telah mencapai titik optimum, sehingga dengan peningkatan waktu reaksi
selama 72 jam tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kegelapan warna
yang dihasilkan. Nilai penurunan indeks warna merah yang dimiliki oleh sampel kayu
Mahoni yang difumigasi dengan amonia volume enam liter dan waktu reaksi selama 72
jam adalah sebesar 0.11 poin, sedangkan nilai peningkatan indeks warna biru yang
dihasilkan hanya 0.15 poin.
4.1.3 Pengaruh perlakuan fumigasi terhadap tingkat pewarnaan pada kayu Rambutan
Hasil pengamatan terhadap tingkat perubahan warna akibat perlakuan
konsentrasi dan lamanya waktu reaksi terhadap kayu Rambutan disajikan pada Gambar
8.
Pada Gambar 8 terlihat sampel kayu Rambutan yang memiliki warna awal
merah kecokelatan tidak mengalami perubahan warna yang berarti setelah difumigasi
dengan menggunakan amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 24 jam.
Peningkatan waktu reaksi menjadi 48 jam ternyata berpengaruh terhadap
perubahan warna pada sampel kayu Rambutan, yang dibuktikan dengan bertambah
gelapnya warna yang dihasilkan. Peningkatan waktu reaksi menjadi 72 jam ternyata
juga berpengaruh terhadap perubahan warna yang terjadi. Warna awal sampel kayu
Rambutan yang merah kecokelatan berubah menjadi cokelat kehitaman setelah
difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selama 72 jam. Dari gambaran
diatas dapat disimpulkan bahwa peningkatan waktu fumigasi berpengaruh terhadap
Peningkatan volume amonia menjadi empat liter ternyata juga memberikan
pengaruh nyata terhadap perubahan warna pada sampel kayu Rambutan. Pada Gambar 8
nampak secara keseluruhan sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia
volume empat liter telah mengalami penggelapan warna mulai dari waktu reaksi 24 jam.
Secara kualitatif pada Gambar 8 nampak hampir semua sampel kayu Rambutan yang
difumigasi dengan amonia empat liter memiliki tingkat kegelapan yang hampir sama.
Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan lama waktu reaksi tidak berpengaruh nyata
terhadap perubahan warna pada sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan
menggunakan amonia volume empat liter.
Peningkatan volume amonia menjadi enam liter tidak menunjukkan hasil yang
nyata terhadap perubahan tingkat kegelapan warna yang dihasilkan pada sampel kayu
Rambutan. Pada Gambar 8 dapat kita lihat tingkat kegelapan warna yang dihasilkan
oleh sampel-sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia enam liter tidak
jauh berbeda dengan tingkat kegelapan warna yang dimiliki oleh sampel kayu
Rambutan yang difumigasi dengan amonia empat liter.
Hasil pengamatan kualitatif terhadap foto sampel kayu Rambutan diatas
mengindikasikan bahwa perlakuan fumigasi amonia untuk meningkatkan perubahan
warna menunjukkan pengaruh yang nyata. Kondisi ini menunjukkan kayu Rambutan
Gambar 8 Tingkat pewarnaan karena perlakuan konsentrasi amonia dan lama waktu reaksi fumigasi pada jenis kayu Rambutan
24 jam 48 jam
Kontrol
Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume dua liter
24 jam 48 jam 72 jam
Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu
Kontrol
Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume empat liter
Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu
Kontrol 24 jam 48 jam 72 jam
Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume enam liter
24 jam 48 jam 72 jam
Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu
Gambar 9 Hasil kuantifikasi warna kayu menggunakan indeks warna RGB akibat perlakuan fumigasi dengan menggunakan amonia volume dua liter (a), empat liter (b) dan enam liter (c) pada kayu Rambutan
(a)
Kuantifikasi perubahan warna akibat perlakuan fumigasi dilakukan melalui
analisis indeks warna RGB. Hasil pengukuran nilai indeks warna RGB akibat perlakuan
fumigasi disajikan pada Gambar 9.
Pada Gambar 9 nampak perubahan warna yang terjadi pada sampel kayu
Rambutan yang difumigasi dengan amonia volume dua liter. Penurunan indeks warna
merah terbesar dimiliki oleh sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia
volume dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam, yaitu sebesar 0.19 poin, yang
mengindikasikan warna kayu bertambah gelap. Sampel kayu Rambutan yang difumigasi
dengan amonia volume dua liter dan waktu reaksi selama 72 jam memiliki nilai
penurunan indeks warna merah sebesar 0.09 poin. Penurunan indeks warna hijau terjadi
pada sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reasi
selama 24 dan 72 jam, namun sebaliknya indeks warna hijau pada sampel kayu
Rambutan yang difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam
justru mengalami peningkatan sebesar 0.01 poin. Penurunan indeks warna hijau terbesar
dimiliki oleh sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia dua liter dan
waktu reaksi selama 72 jam, yaitu sebesar 0.01 poin, yang menandakan fumigasi
dengan amonia efektif dilaukan pada kayu Rambutan. Peningkatan indeks warna biru
terbesar dimiliki oleh sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia dua liter
dan waktu reaksi selama 48 jam, yaitu sebesar 0.11 poin. Sampel kayu Rambutan yang
difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selama 72 jam memiliki nilai
peningkatan indeks warna biru sebesar 0.10 poin.
Peningkatan volume amonia menjadi empat liter ternyata memberikan pengaruh
nyata terhadap tingkat kegelapan warna yang dihasilkan. Sampel kayu Rambutan yang
difumigasi dengan amonia empat liter dan waktu reaksi selama 48 jam memiliki nilai
penurunan indeks warna merah terbesar, yaitu sebesar 0.16 poin, yang diikuti oleh
sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia volume empat liter dan waktu
reaksi selama 72 dan 24 jam, dengan nilai masing-masing 0.10 dan 0.09 poin.
Peningkatan indeks warna biru terbesar dimiliki oleh sampel kayu Rambutan yang
difumigasi dengan amonia volume empat liter dan waktu reaksi selama 48 jam, yaitu
sebesar 0.16 poin, yang diikuti oleh sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan
Peningkatan volume amonia menjadi enam liter ternyata tidak menunjukkan
hasil yang signifikan terhadap perubahan warna pada sampel kayu Rambutan. Hal ini
mengindikasikan bahwa pada perlakuan fumigasi menggunakan amonia volume empat
liter dan waktu reaksi selama 48 jam, reaksi antara amonia dengan tanin pada kayu
Rambutan telah mencapai titik optimum, sehingga dengan peningkatan volume amonia
yang lebih besar tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kegelapan yang dihasilkan.
Sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia enam liter dan waktu reaksi 48
jam memiliki peningkatan nilai indeks warna merah tertinggi, yaitu sebesar 0.19 poin,
yang diikuti oleh sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia volume enam
liter dan waktu reaksi selama 24 jam, yaitu sebesar 0.08 poin. Penurunan nilai indeks
warna hijau hanya terjadi pada sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia
enam liter dan waktu reaksi selama 48 dan 72 jam, sedangkan sampel kayu Rambutan
yang difumigasi dengan amonia enam liter dan waktu reaksi selama 24 jam mengalami
peningkatan nilai indeks warna hijau. Penurunan nilai indeks warna hijau terbesar
dimiliki sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia volume enam liter dan
waktu reaksi selama 48 jam yaitu sebesar 0.01 poin. Peningkatan nilai indeks warna
biru terbesar dimiliki oleh sampel kayu Rambutan yang difumigasi dengan amonia
volume enam liter dan waktu reaksi selama 48 jam, yaitu dengan nilai sebesar 0.12
poin.
4.1.4 Pengaruh perlakuan fumigasi terhadap tingkat pewarnaan pada kayu Durian
Hasil pengamatan terhadap tingkat perubahan warna akibat perlakuan
konsentrasi dan lamanya waktu reaksi terhadap kayu Durian disajikan pada Gambar 10.
Pada Gambar 10 terlihat bahwa secara keseluruhan sampel kayu Durian tidak
mengalami perubahan warna yang nyata. Penggelapan warna akibat fumigasi amonia
tidak terlihat dengan jelas pada sampel kayu Durian.
Analisis kualitatif tidak menunjukkan perubahan warna sampel kayu Durian
yang diinginkan secara signifikan. Sampel kayu Durian yang difumigasi dengan
amonia dua liter secara umum tidak memperlihatkan penggelapan warna yang berarti
dan tetap menunjukkan warna yang tidak terlalu berbeda dengan warna awal kayu
menunjukkan perbedaan warna yang kecil antara warna awal sampel kayu Durian yang
telah difumigasi dengan warna sampel kayu Durian awal (kontrol). Sampel kayu Durian
yang difumigasi dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selama 48 jam menyebabkan
sampel berubah warna menjadi cokelat terang. Sampel kayu Durian yang difumigasi
dengan amonia dua liter dan waktu reaksi selam 72 jam ternyata juga memiliki warna
yang tidak jauh berbeda dengan warna yang dimiliki oleh sampel sebelumnya, sehingga
terlihat lama waktu fumigasi yang diterapkan tidak berpengaruh nyata terhadap
perubahan warna pada sampel kayu Durian yang difumigasi dengan amonia volume dua
liter.
Pengamatan terhadap Gambar 10 terindikasi bahwa peningkatan volume amonia
menjadi empat liter juga hanya menyebabkan perubahan warna yang kecil pada sampel
kayu Durian. Peningkatan lama waktu reaksi menjadi 48 dan 72 jam ternyata juga tidak
menghasilkan perubahan warna yang nyata terhadap sampel kayu Durian. Hal ini
dibuktikan dengan tidak meningkatnya kegelapan warna kayu Durian seiring dengan
peningkatan waktu reaksi.
Sampel kayu Durian yang diberi perlakuan fumigasi dengan amonia volume
enam liter ternyata juga tidak menyebabkan perubahan warna yang nyata. Pada Gambar
10 dapat dilihat perubahan warna yang sangat kecil terjadi pada sampel kayu Durian
yang difumigasi dengan amonia enam liter. Peningkatan waktu fumigasi juga tidak
mempengaruhi perubahan warna secara signifikan terhadap sampel kayu Durian yang
difumigasi dengan amonia volume enam liter. Pada Gambar 10 juga terlihat seluruh
sampel kayu Durian yang difumigasi dengan amonia enam liter dengan tingkat waktu
Gambar 10 Tingkat pewarnaan karena perlakuan konsentrasi amonia dan lama waktu reaksi fumigasi pada jenis kayu Durian
Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu
24 jam 48 jam 72 jam
Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume empat liter
Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu
24 jam 48 jam 72 jam
Perkembangan warna hasil fumigasi dengan amonia pada volume enam liter
24 jam 48 jam 72 jam
Setelah disingkap dibawah pengaruh cuaca selama 12 minggu
Kontrol
Kontrol
Kontrol
Gambar 11 Hasil kuantifikasi warna kayu menggunakan indeks warna RGB akibat perlakuan fumigasi dengan menggunakan amonia volume dua liter (a), empat liter (b) dan enam liter (c) pada kayu Durian
(a)