• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model simulasi pengaturan hasil dinamik kasus di KPH Blora, Cepu dan Randublatung, Perum Perhutani, Unit I Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model simulasi pengaturan hasil dinamik kasus di KPH Blora, Cepu dan Randublatung, Perum Perhutani, Unit I Jawa Tengah"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL SIMULASI PENGATURAN HASIL DINAMIK

(Kasus di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung

Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)

IRHAMNA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

IRHAMNA. Simulation Model of Dynamic Yield Regulation (Case in KPH Blora, Cepu , and Randublatung Perum Perhutani Unit I West Java). Supervised by Dr. Ir. BUDI KUNCAHYO, MS

Pressure about forest resources can cause happen over exploitation until of forest resources not capable to give optimal benefit in fact on contrary, forest sustainable more offer decrease. The excalation of population in around forest area cause pressure about forest can effect to increase use area for settlement with construction wood and fuel wood consumption.

The management of forest in Java Island which is whole almost of plant forest, at this time used one method of yield regulation of which is used in entire area of productin forest. This method only enter stand of forest factor, with the result of approach that currently used for aimed at method yield regulation of forest have the quality of partial.

This research is aimed to arrange dinamics yield regulation of forest method in KPH Blora, Cepu, and Randublatung and study wood consumption effect for model of yield regulation by used.

According to result khi-square test (X2) for KPH Blora shows X2hitung 3,77 and

values X2tabcl shows 16,92 on confidence level of 95% by degrees of freedom 9.

X2hitung values more liitle than X2tabcl can be conclusion that variability of simulation

data not difference evidence with variability of actual data. For KPH Cepu according of result khi-square test (X ), shows X2hitung 9,15 and X2tabcl 16,92 on

confidence level of 95% by degrees of freedom 9. X2hitun2 values more little than

X2tabcl, can be conclusion that variability of simulation data not difference evidence

with variability of actual data. For KPH, Randublatung shows X2hitung 3,31 and

values X2tabcl shows 16,92 on confidence level of 95% by degrees of freedom 9.

X2hitung values more liitle than X2tabcl, can be conclusion that variability of

simulation data not difference evidence with variability of actual data.

According to scenario influence of construction wood and fuel wood consumption to fluctuation wood production (etat volume), sum of tree steal and enterprise profit in each KPH of result that : at KPH Blora of simulation result during 20 next years shows increase fuel wood consumption 50%, consequence of decrease etat volume 13.593,31 m or 3,34 %; increase sum of tree steal shows 66.176 tree and decrease KPH Profit shows Rp 12.158.321.453,- or 6,57.

KPH Cepu of shows increase fuel wood consumption 50%, consequence decrease etat volume 34.870,68 m3 or 1,33%; increase sum of tree steal shows 61.624 tree and decrease KPH Profit shows Rp 44.227.957.527,- or 2,92%.

KPH Randublatung of shows increase fuel wood consumption 50%, consequence decrease etat volume 34.870,68 m3 or 1,33%; increase sum of tree steal shows 61.624 tree and decrease KPH Profit shows Rp 44.227.957.527,- or 2,92%.

(3)

KPH Cepu shows increase construction wood consumption 50%, consequence of decrease etat volume 34.426,3 m or 0,07%; increase sum of tree steal shows 73.978 tree and decrease KPH profit shows Rp 43.016.394.576,- or 0,89%.

(4)

RINGKASAN

IRHAMNA. Model Simulasi Pengaturan Hasil Dinamik (Kasus di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah). Dibimbing oleh Dr. Ir. BUDI KUNCAHYO, MS

Tekanan terhadap sumber daya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal bahkan sebaliknya, kelestarian hutan semakin mengalami penurunan. Peningkatan jumlah penduduk di sekitar areal hutan yang menyebabkan tekanan terhadap hutan berpengaruh terhadap meningkatnya permintaan lahan untuk pemukiman serta permintaan kayu pertukangan dan kayu bakar.

Pengelolaan hutan di Pulau Jawa yang hampir seluruhnya hutan tanaman, pada saat ini digunakan satu metode pengaturan hasil yang diterapkan di seluruh kawasan hutan produksi. Metode ini hanya memasukkan faktor tegakan hutan, sehingga pendekatan yang digunakan dalam merumuskan metode pengaturan hasil hutan masih bersifat parsial. Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya variabel komponen lain, seperti faktor sosial masyarakat sekitar hutan.

Penelitian ini bertujuan menyusun model pengaturan hasil hutan yang dinamis di KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung dan mengkaji pengaruh konsumsi kayu terhadap model pengaturan hasil hutan yang digunakan.

Berdasarkan hasil uji khi-kuadrat (X2) untuk KPH Blora besarnya X2hitung

sebesar 7,01 dan nilai X2tabel sebesar 16,92 pada selang kepercayaan 95% dengan

derajat bebas 9. Nilai X2hitung lebih kecil X2tabel, dapat disimpulkan bahwa

keragaman data simulasi tidak berbeda nyata dengan keragaman data aktual. Untuk KPH Cepu Berdasarkan hasil uji khi-kuadrat (X2), besarnya X2hitung

sebesar 12,01 dan nilai X2tabel sebesar 16,92 pada selangkepercayaan 95% dengan

derajat bebas 9. Nilai X2hitung lebih kecil X2tabel, dapat disimpulkan bahwa

keragaman data simulasi tidak berbeda nyata dengan keragaman data aktual. Untuk KPH Randublatung, besarnya X2hitung adalah 5,42 dan nilai X2tabel sebesar

16,92 pada selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 9. Nilai X2hitung lebih

kecil X2tabel, dapat disimpulkan bahwa keragaman data simulasi tidak berbeda

nyata dengan keragaman data aktual. Berdasarkan evaluasi maka model KPH Blora, Cepu, dan Randublatung dianggap dapat menjelaskan kondisi aktual.

Berdasarkan skenario pengaruh tingkat konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar terhadap besarnya fluktuasi produksi kayu (etat volume), jumlah pohon yang di curi serta keuntungan perusahaan pada masing-masing KPH diperoleh :pada KPH Blora hasil simulasi selama 20 tahun ke depan menunjukan besarnya kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 50 % mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 13.593,31 m3 atau 3,34 %; peningkatan jumlah pencurian

pohon sebesar 66.176 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 12.158.321.453,- atau sebesar 6,57 %.

(5)

Untuk KPH Randublatung kenaikan 50% konsumsi kayu bakar mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 35.114,65 m3 atatu 1,36 %, peningkatan jumlah pencurian pohon sebesar 68.940 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 110.901.329.061,- atau sebesar 2,51 %.

Pada KPH Blora hasil simulasi selama 20 tahun ke depan menunjukan besarnya kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 50 % mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 13.104,97 m3 atau 0,18 %; peningkatan jumlah pencurian pohon sebesar 78.957 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 11.339.104.192,- atau sebesar 0,35 %.

Untuk KPH Cepu kenaikan 50% konsumsi kayu pertukangan mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 34.426,3 m3 atau 0,07 %; peningkatan jumlah pencurian pohon sebesar 73.978 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 43.016.394.576,- atau sebesar 0,89 %.

(6)

MODEL SIMULASI PENGATURAN HASIL DINAMIK

(Kasus di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung

Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)

IRHAMNA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Skripsi : Model Simulasi Pengaturan Hasil Dinamik (Kasus di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)

Nama : Irhamna

NRP : E01499066

Departemen : Manajemen Hutan

Program Studi : Manajemen Hutan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS NIP. 131 578 798

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131 430 799

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT atas karunia Iman, Islam dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa

dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Karya ilmiah ini adalah salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana

Kehutanan dengan Judul yang diambil adalah Model Simulasi Pengaturan Hasil

Dinamik dengan mengambil kasus di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung Perum

Perhutani Unit I Jawa Tengah..

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS selaku

pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan arahan. Tidak lupa kepada

Abah (alm.), Umi dan Kak Hilda (alm.) atas segala doa, bantuan, dan kasih

sayangnya.Tak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak

yang turut membantu penyusunan karya ilmiah ini, hanya Allah Yang Maha

Pemurah dan Penyayang yang akan membalasnya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna,

oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran sehingga karya tulis

ini menjadi lebih baik.

Bogor, Agustus 2006

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1981 di Desa Peulanggahan,

Kecamatan Kuta Raja, Kotamadya Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam.

Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak

Muhammad Djamil Achmad (alm.) dan Ibu Fauziah Sungkar (alm.).

Penulis memulai pendidikan formal di SDN 17 Banda Aceh, tahun 1987

dilanjutkan di SMPN 7 Banda Aceh. Selanjutnya pada tahun 1996 penulis

melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 3 Banda Aceh. Pada tahun 1999 penulis

menyelesaikan pendidikan menengah atasnya dan lulus seleksi masuk IPB melalui

jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis diterima di Program Studi

Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama kuliah Penulis mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan

Hutan (P3H), dengan Pengenalan Hutan di jalur Batu Raden-Cilacap dan

Pengelolaan Hutan di KPH Indramayu, Jawa Barat, dan Praktek Kerja Lapang di

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN Latar belakang ... 2

Tujuan ... 2

Hipotesis ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Pengaturan Hasil Hutan ... 3

Pengelolaan Hutan Lestari ... 5

Karakteristik Masyarakat Desa Sekitar Hutan ... 6

Analisis Sistem ... 7

Penelitian yang telah dilakukan ... 11

METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian ... 13

Alat dan Bahan ... 13

Jenis dan Sumber Data ... 13

Analisis Data ... 14

KEADAAN UMUM Letak dan Luas ... 18

Geologi dan Topografi ... 20

Iklim dan Curah Hujan ... 20

Sosial Ekonomi Masyarakat ... 21

Potensi Hutan ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN Kelestarian Hasil ... 26

(11)

Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Masyarakat ... 33

Pendekatan Sistem ... 35

Formulasi Model Konseptual ... 37

Spesifikasi Model Kuantitatif ... 48

Evaluasi Model ... 52

Penggunaan Model ... 57

KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Letak astronomis KPH Blora, KPH Cepu dan

KPH Randublatung ... 18

2 Batas geografis wilayah hutan KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung ... 18

3 Pembagian hutan KPH Blora ... 18

4 Pembagian wilayah kerja KPH Cepu ... 19

5 Pembagian bagian hutan KPH Randublatung ... 20

6 Keadaan geologi dan topografi KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung ... 20

7 Tipe iklim dan curah hujan di KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung ... 21

8 Jumlah penduduk, kepadatan dan rata-rata luas kepemilikan lahan per kecamatan . ... 21

9 Jumlah penduduk menurut kecamatan wilayah KPH Blora Tahun 1997-2001 . ... 22

10 Kepadatan penduduk desa sekitar hutan KPH Cepu... 23

11 Penyebaran penduduk tiap Kecamatan sekitar wilayah KPH Randublatung ... 24

12 Potensi Hutan di KPH Cepu, KPH Randublatung, dan KPH Blora ... 25

13 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Blora ... 27

14 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Cepu ... 27

15 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Randublatung ... 28

16 Penentuan etat dan perhitungan jangka waktu penebangan ... 29

17 Konsumsi kayu bakar dan kayu pertukangan di Masing-masing KPH ... 31

18 Konsumsi kayu bakar pada desa contoh di masing-masing KPH ... 32

(13)

20 Pendapatan dan pengeluaran rata-rata setiap rumah

tangga desa contoh ... 33

21 Jumlah responden desa contoh dalam kategori

miskin dan tidak ... 34

22 Perbandingan luas risalah sela dan luas hasil

simulasi KPH Blora ... 56

23 Perbandingan luas risalah sela dan luas hasil

simulasi KPH Cepu ... 56

24 Perbandingan luas risalah sela dan luas hasil

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Perbandingan metode pemecahan masalah dalam lingkup

pemahaman relatif dan jumlah data relatif ... 10

2 Hubungan antar sub model ... 36

3 Diagram Causal Loop antara jumlah penanaman dengan jumlah pohon dalam tegakan ... 40

4 Diagram Causal Loop antara jumlah pencurian dengan jumlah pohon dalam tegakan ... 41

5 Diagram Causal Loop antara jumlah pohon penjarangan dengan jumlah pohon dalam tegakan... 41

6 Sub model dinamika penduduk ... 44

7 Sub model gangguan hutan ... 45

8 Sub model pengangguran ... 46

9 Sub model keuangan perusahaan ... 47

10 Sub model kayu konsumsi ... 48

11 Etat luas dan etat volume pada KPH Blora yang tidak mengalami gangguan ... 52

12 Etat luas dan etat volume pada KPH Cepu yang tidak mengalami gangguan ... 53

13 Etat luas dan etat volume pada KPH Randublatung yang tidak mengalami gangguan ... 53

14 Etat luas KPH Blora pada luas gangguan 100 Ha/ tahun (1), 500 Ha/tahun (2) dan 900 Ha/ tahun (3) ... 54

15 Etat luas KPH Randublatung pada luas gangguan 100 Ha/ tahun (1), 1.000 Ha/tahun (2) dan 2.000 Ha/ tahun (3) ... 54

16 Etat luas KPH Cepu pada luas gangguan 1.000 Ha/ tahun (1), 1.500 Ha/tahun (2) dan 2.000 Ha/ tahun (3)... 55

17 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 58

(15)

19 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu

bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 59

20 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar

0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 60

21 Pendapatan bersih KPH Cepu pada kenaikan konsumsi

kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 61

22 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu

bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 61

23 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar

0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 62

24 Pendapatan bersih KPH Randublatung pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2)

dan 100% (3) ... 62

25 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu

bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 63

26 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan

sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 64

27 Pendapatan bersih KPH Blora pada kenaikan konsumsi

kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 64

28 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu

pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 65

29 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan

sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 65

30 Pendapatan bersih KPH Cepu pada kenaikan konsumsi

kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 66

31 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu

pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 66

32 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan

sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ... 67

33 Pendapatan bersih KPH Randublatung pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2)

(16)

34 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Sub model jumlah pohon ... 74

2 Sub model luas areal berhutan ... 75

3 Sub model pengaturan hasil ... 76

4 Potensi tegakan hasil risalah sela KPH Blora ... 77

5 Potensi tegakan hasil risalah sela KPH Cepu ... 78

6 Potensi tegakan hasil risalah sela KPH Randublatung ... 79

7 Contoh perhitungan etat tebangan metode Cotta, Burn dan Von Mantel ... 80

8 Data bagian hutan contoh di masing-masing KPH ... 81

9 Data dasar dan asumsi ... 82

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan dalam perkembangannya dituntut untuk dikelola secara multiguna.

Kondisi yang diharapkan tidak hanya hutan lestari tetapi juga masyarakat di dalam

dan sekitar hutan hidupnya sejahtera. Pengelolaan sumberdaya hutan meliputi

aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, sehingga pemanfaatannya tidak hanya

diarahkan untuk menghasilkan keuntungan ekonomi semata, tetapi yang lebih

penting adalah keberlanjutan fungsí sumberdaya hutan itu sendiri, yaitu untuk

menopang kehidupan manusia antar generasi.

Tekanan terhadap sumber daya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi

yang berlebihan sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan

manfaat yang optimal bahkan sebaliknya, kelestarian hutan semakin mengalami

penurunan. Laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menyebabkan

timbulnya berbagai masalah, diantaranya konsumsi kayu oleh masyarakat desa

sekitar hutan.

Konsumsi kayu yang terus meningkat sementara daya beli masyarakat

menurun berpotensi meningkatkan gangguan hutan. Gangguan hutan berpengaruh

pada standing stock. Sementara pengaturan hasil yang digunakan mengacu pada besarnya standing stock.

Hutan tanaman di seluruh Pulau Jawa selama ini menggunakan sistem

pengelolaan hutan yang seragam di seluruh kawasan hutan produksi. Metode ini

hanya memasukkan faktor tegakan hutan, sehingga pendekatan yang digunakan

dalam merumuskan metode pengaturan hasil hutan masih bersifat parsial. Hal ini

ditunjukkan oleh tidak adanya variabel komponen lain, seperti faktor sosial

masyarakat sekitar hutan.

Besarnya etat yang diperoleh dengan metode pengaturan hasil saat ini

sudah tidak sesuai. Untuk itu diperlukan suatu metode pengaturan hasil dalam

rangka penentuan etat luas dan etat volume yang dinamis. Faktor konsumsi kayu

merupakan salah satu faktor digunakan dalam metode pengaturan hasil yang

(19)

Konsumsi kayu oleh masyarakat yang dipengaruhi laju pertumbuhan

penduduk dapat digunakan untuk mengkaji pengaruh kebutuhan kayu terhadap

model pengaturan hasil yang diterapkan. Penyusunan rencana pengaturan hasil

hutan dilakukan dengan memasukkan faktor konsumsi kayu masyarakat dalam

sistem pengelolaan.

Tujuan

1. Menyusun model pengaturan hasil hutan yang dinamis di KPH Blora,

KPH Cepu dan KPH Randublatung.

2. Menguraikan besarnya konsumsi kayu oleh masyarakat sekitar hutan.

3. Mengkaji pengaruh konsumsi kayu terhadap model pengaturan hasil hutan

yang digunakan.

4. Menguji sub model konsumsi kayu dalam berbagai skenario.

Hipotesis

Perubahan konsumsi kayu bakar dan kayu pertukangan akan

mempengaruhi etat volume setiap tahun, jumlah pencurian pohon serta

pendapatan KPH.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu memberi pedoman bagi pihak pengelola dan

perencana hutan dalam penentuan pengaturan hasil hutan yang memperhitungkan

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengaturan Hasil Hutan

Pengaturan hasil adalah penentuan kayu dan produksi lainnya dalam

preskripsi rencana pengelolaan, termasuk di mana, kapan dan bagaimana hasil

seharusnya diekstraksi (FAO 1998).

Pengaturan hasil bertujuan untuk memperoleh hasil akhir yang berazaskan

kelestarian. Ada beberapa alasan penebangan dan pengaturan hasilnya dalam

hubungan dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu. Osmaston (1968)

mengemukakan alasan-alasan tersebut adalah :

1. Penyedian bagi konsumen

Penebangan harus dilakukan agar tersedia jenis, ukuran, mutu dan jumlah kayu

sesuai dengan permintaan pasar.

2. Pemeliharaan growing stock untuk mempertahankan dan mengembangkan produksi di dalam bentuk serta kualitas yang baik secepat mungkin.

3. Penyesuaian jumlah dan bentuk tegakan persediaan agar lebih sesuai dengan

tujuan pengelolaan.

4. Penebangan perlindungan, terutama dipergunakan dalam sistem silvikultur

untuk melindungi tegakan dari angin, kebakaran hutan dan sebagainya.

Menurut Osmaston (1968), beberapa hal yang dibutuhkan dan harus dicakup

dalam pengaturan hasil, yaitu:

1. Perhitungan jumlah hasil yang akan diperoleh.

2. Bagaimana hasil tersebut dapat dibagi dalam hasil akhir dan penjarangan.

3. Penyusunan suatu rencana penebangan yang dibatasi oleh kepadatan tegakan

yang akan ditebang.

Vanclay (1995) mengatakan bahwa pengelolaan tegakan secara

keseluruhan dapat digunakan untuk menggambarkan parameter-parameter tingkat

tegakan (langsung per unit area), seperti tegakan persediaan (pohon/Ha), bidang

dasar tegakan (m2/Ha) dan volume tegakan (m3/Ha).

Ada empat aspek pokok yang patut mendapat pemikiran dalam

(21)

ganda hutan, yaitu fungsi sosial ekonomis dan fungsi ekologis, yaitu (Proceeding

1995) :

1. Aspek kepastian dan keamanan sumberdaya hutan

2. Aspek kesinambungan produksi

3. Aspek konservasi fauna, flora dan keanekaragaman jenis serta berbagai

fungsi hutan bagi lingkungan

4. Aspek ekonomi bagi pertumbuhan bangsa dan partisipasi mayarakat.

Simon (1994) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pengaturan hasil

memerlukan tiga tahap kegiatan sebagai berikut :

1. Perhitungan etat, yaitu jumlah hasil hutan yang dapat diperoleh setiap

tahun atau selama jangka waktu tertentu. Jika hasil tersebut dinyatakan

dalam luas dinamakan etat luas, dan jika dinyatakan dalam m3 dinamakan etat volume.

2. Pemisahan jumlah hasil tersebut ke dalam hasil penjarangan dan hasil

tebangan akhir (untuk etat volume).

3. Penyusunan rencana tebangan, baik tebangan penjarangan maupun

tebangan akhir, berikut keterangan tentang keadaan tegakan serta tata

waktunya.

Meyer et al. (1961), dan Osmaston (1968) menyebutkan terdapat beberapa metode pengaturan hasil yang telah dikembangkan. Metode tersebut adalah :

1. Metode berdasarkan luas

ƒ Pengendalian berdasarkan prinsip silvikultur

ƒ Pengendalian dengan daur dan penyebaran kelas umur

ƒ Pengendalian berdasarkan kelas pengembangan dan pembinaan

2. Metode berdasarkan volume dan riap

ƒ Metode Austrian ƒ Metode Hundeshagen ƒ Metode Von Mantel ƒ Metode Gerhardt ƒ Metode Chapman

3. Metode berdasarkan luas dan volume

(22)

Pengelolaan Hutan Lestari

Kelestarian hutan mengandung makna kelestarian dalam hal keberadaan

wujud biofisik hutan, produktifitas hutan, dan fungsi-fungsi ekosistem hutan yang

terbentuk akibat terjadinya interaksi antar komponen ekosistem hutan dengan

komponen lingkungannya (Suhendang 2004).

Definisi kelestarian hasil dalam Conservation Code 1938 adalah

pengelolaan kawasan hutan tertentu yang jelas status pemiliknya, dengan luas

wilayah yang ekonomis dan memiliki sistem pengelolaan yang jelas berdasarkan

rencana kerja yang rasional (Simon 1994).

Pengelolaan hutan lestari adalah proses mengelola hutan untuk mencapai

satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu yang jelas dalam menghasilkan barang

dan jasa hutan yang diperlukan secara bekelanjutan, tanpa adanya pengurangan

nilai dan produktifitas hutan di masa yang akan datang dan tanpa adanya dampak

yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial (ITTO 1998).

Konsep pengelolan hutan lestari berlandaskan pada pandangan hutan

sebagai ekosistem, yaitu sistem sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Oleh

karenanya maka pengelolaan hutan haruslah dilaksanakan berlandaskan pada

pendekatan yang bersifat menyeluruh dan utuh (holistic), terpadu (integrated), dan berkelanjutan (sustainable) (Helms 1998).

Konsep kelestarian hasil mengandung unsur kenisbian. Salah satu unsur

kenisbian ini adalah ukuran yang dipakai untuk menyatakan hasilnya, baik luas,

volume kayu, nilai uang, atau jumlah batang pohon. Tak ada jaminan pemakaian

salah satu ukuran hasil memberikan tingkat kelestarian yang sama apabila diukur

oleh ukuran yang lain (Suhendang 1995).

Secara teoritis ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan asas

kelestarian, yaitu (Simon 1994) :

1. Ada jaminan kepastian kawasan hutan yang tetap dan diakui oleh semua

pihak, baik rakyat, lembaga swasta maupun pemerintah.

2. Sistem perhitungan etat yang tidak over-cutting, sehingga dapat disusun

rencana tebangan tahunan dengan asas kelestarian.

3. Adanya rumusan sistem permudaan yang menjamin permudaan kembali

(23)

Meyer et al. (1961), menyatakan terdapat beberapa tipe kelestarian hasil yaitu 1. Integral yield (hasil integral), hutan tersusun atas pohon dengan umur

yang sama, ditanam pada saat yang sama dan ditebang pada saat yang

sama pula. Tipe ini pada umumnya hanya berlaku untuk pemilikan hutan

yang kecil, khususnya daur pendek sampai menengah.

2. Intermitten yield (hasil periodik), yaitu bila dalam kawasan hutan ada berbagai kelas umur, dengan demikian akan dapat ditebang dalam

beberapa kali dalam interval waktu tertentu atau secara regulasi.

3. Annual yield (hasil tahunan), penebangan selalu siap dilakukan pada setiap tahun.

Karakteristik Masyarakat Desa Sekitar Hutan

Desa hutan adalah wilayah desa yang secara geografis dan administratif

berbatasan langsung dengan kawasan hutan atau di sekitar kawasan hutan.

Sedangkan masyarakat desa hutan adalah kelompok orang yang bertempat tinggal

di desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumberdaya

hutan untuk mendukung kehidupannya (Perhutani 1988).

Suhendang (2004) mengatakan aspek sosial hutan merupakan salah satu

aspek yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan hutan dengan prinsip

pengelolaan hutan lestari. Fungsi sosial dan budaya hutan menyatakan

kemampuan hutan dalam memenuhi kepentingan masyarakat, terutama

masyarakat di sekitar hutan dalam memenuhi kebutuhannya.

Menurut Alrasyid (1979) diacu dalam Sudjatmiko (1981) diperkirakan

konsumsi energi yang berasal dari kayu oleh masyarakat desa mencapai 70-75%

dari total kebutuhan energi rumah tangga. Hal ini dapat dipahami mengingat

sebagian besar penduduk Indonesia bermukim di pedesaan dan pinggiran kota

dengan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah. Konsumsi kayu,

terutama di desa yang semakin jauh dari kota cenderung semakin tinggi. Ini

merupakan indikasi bahwa di daerah-daerah dengan aksesibilitas rendah,

konsumsi kayu bakar perkapita semakin meningkat karena pertambahan penduduk

(24)

Kelangkaan sumberdaya telah menyebabkan masyarakat desa hutan sangat

tergantung dengan hutan-hutan di sekitarnya, baik secara ekologi, ekonomi

maupun sosial. Salah satu pemecahan masalah langkanya sumberdaya lahan dan

kesempatan kerja di desa-desa sekitar hutan adalah dengan meningkatkan

kesempatan menghasilkan pangan, makanan ternak, dan persedian kayu bakar di

dalam kawasan hutan tanpa harus mengorbankan fungsi hutan itu sendiri

(Andajani 1997).

Struktur masyarakat pedesaan, khususnya di Jawa menurut Soedjatmoko

(1980), dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu ;

1. Golongan pertama adalah mereka yang memilki tanah cukup besar untuk

kehidupan yang cukup bagi keluarganya.

2. Golongan kedua, terdiri dari petani yang memiliki atau menguasai tanah

yang luasnya atau kualitasnya marginal, sehingga kehidupan keluarganya

sangat tergantung dari kesempatan kerja sampingan, selain karena faktor

iklim dan faktor pasar.

3. Golongan ketiga, yang makin lama makin besar jumlahnya baik di

Indonesia maupun di Asia pada umumnya adalah mereka yang sama sekali

tidak mempunyai tanah.

Analisis Sistem

Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang mempunyai

pengertian demikian, (Amirin 2001) :

1. Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian.

2. Hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen secara

teratur.

Muhammadi et al. (2001) mengatakan sistem adalah keseluruhan inter-aksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu. Sistem sebagai obyek didekati dengan berpikir sistem. Syarat awal untuk memulai

berpikir sistem adalah adanya kesadaran untuk mengapresiasi dan memikirkan

suatu kejadian sebagai sebuah sistem (system approach).

Sistem adalah sehimpunan unsur yang melakukan sesuatu kegiatan atau

(25)

mencapai sesuatu atau beberapa tujuan dengan cara mengolah data dalam jangka

waktu tertentu guna menghasilkan informasi (Amirin 2001).

Sistem dinamis adalah adalah sistem yang secara tetap dan terus-menerus

berubah, sistem mengatur diri sendiri, mengarahkan dan berperilaku sesuai tujuan

(Amirin 2001).

Amirin (2001) mengatakan ciri-ciri sistem adalah berorientasi pada tujuan

dan perilakunya atau segala kegiatannya memiliki tujuan. Rumusan ciri-ciri pokok

sistem diantaranya :

1. Sistem mempunyai tujuan.

2. Sistem mempunyai batas.

3. Suatu sistem terdiri dari beberapa subsistem.

4. Terdapat saling hubungan dan saling ketergantungan baik di dalam sistem

maupun anatara sistem dan lingkungannya.

5. Sistem memiliki mekanisme kontrol dengan memanfaatkan tersedianya umpan

balik.

6. Adanya mekanisme kontrol, maka sistem dapat menyesuaikan diri dengan

lingkungannya.

Sistem secara garis besar dapat digolongkan pada dua golongan

penggunaan, yaitu (Amirin 2001):

1. Sistem sebagai suatu wujud (“Entitas”)

Suatu sistem dianggap merupakan suatu himpunan bagian yang saling

berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi

merupakan satu kesatuan. Sistem sebagai suatu entitas pada dasarnya bersifat

deskriptif.

2. Sistem sebagai suatu metode

Sistem dipergunakan untuk menunjukkan tata cara (prosedur), jadi bersifat

(preskriptif). Konsep pengertian sistem sebagai suatu metode ini dikenal dalam pengertian umum sebagai pendekatan sistem (system approach) yang merupakan penerapan metode ilmiah di dalam usaha memecahkan masalah.

Validitas atau keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan

(26)

model sesuai dengan tujuan penyusunan model tersebut dilakukan melalui

seperangkat tahapan pengujian yang meliputi empat aspek, yaitu (Simon 1993) :

1. Validasi struktural (structural validity) untuk menunjukkan bahwa model yang telah diciptakan mempunyai hubungan yang erat dengan sistem yang senyata

di lapangan, khususnya ditinjau dari saling keterkaitan antara struktur sistem

tersebut.

2. Validasi watak (behavioral validity) untuk menunjukkan bahwa model yang diciptakan menghasilkan dinamika watak yang sama dengan sistem yang

senyata di lapangan, khususnya ditinjau dari hubungannya dengan lingkungan

sistem tersebut.

3. Validasi empirik (empirical validity) yaitu hasil perhitungan atau logika yang diperoleh dari model yang diciptakan sesuai dengan data empirik untuk sistem

yang senyata di lapangan.

4. Validasi aplikasi (application validity) untuk menunjukkan bahwa model yang telah dirumuskan berhubungan erat dengan tujuan studi dan model tersebut

dapat menyediakan informasi yang serupa dengan sistem yang senyata di

lapangan.

Simulasi adalah suatu aktivitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulan

tentang perilaku dari suatu sistem, melalui penelaahan perilaku model yang

selaras, dimana hubungan sebab-akibatnya sama dengan atau seperti yang ada

pada sistem sebenarnya (Eriyatno 1998).

Simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses yang bertujuan

untuk memahami gejala atau proses tersebut, sehingga dapat dilakukan analisis

dan peramalan perilaku gejala dan proses yang terjadi (Muhammadi et al 2001). Menurut Eriyatno (1998), analisis sistem didefinisikan sebagai gugus

kriteria prilaku sistem yang kemudian dievaluasikan. Analisis sistem didasarkan

pada penentuan informasi yang terperinci yang dihasilkan melalui tahap-tahap

tertentu. Analisis sistem dapat juga didefinisikan sebagai studi yang dibentuk dari

satu atau beberapa sistem, atau sifat-sifat umum dari sistem.

Analisis sistem merupakan aplikasi yang bersifat paling langsung dari

metode ilmiah untuk suatu masalah yang mencakup sistem yang kompleks.

(27)

menggambarkan, dan membuat prediksi tentang sesuatu yang kompleks yang

besarnya dicirikan dengan penggunaan prosedur matematis tingkat tinggi serta

penggunaan komputer (Grant et al 1997). Dikatakan juga oleh Grant et al, analisis sistem menekankan pendekatan holistik pada pemecahan masalah dan

penggunaan model matematis untuk mengidentifikasi serta mensimulasikan

karakter-karakter dalam suatu sistem yang kompleks.

Banyak

Sedikit

Tingkat Pemahaman Relatif

Rendah Tinggi

Gambar 1 Perbandingan metode pemecahan masalah dalam lingkup pemahaman relatif dan jumlah data relatif (Grant et al 1997).

Menurut Muhammadi et al. (2001), untuk memahami gejala atau proses dari suatu model dapat dilakukan dengan mengidentifikasi tahapan dasar dalam

pengembangan dan penggunaan model sistem, yaitu :

1. Formulasi Model Konseptual

Langkah awal dalam analisis sistem untuk menentukan

komponen-komponen yang berperan dalam proses yang akan ditirukan sesuai dengan

tujuan dari model yang akan dibentuk. Komponen ini saling berhubungan

dan berinteraksi sehingga dapat dirumuskan sebagai model dalam bentuk

uraian, gambar, atau rumus.

2. Formulasi Model Kualitatif

Pengembangan model kualitatif dari keterkaitan sistem dengan menjelaskan

aturan aliran material dengan menggunakan model yang berbentuk

rumus-rumus matematik, statistik, atau komputer. Pembentukan model kuantitatif Banyak Data

Analisis Sistem dan Simulasi

(28)

ditujukan untuk masing-masing nilai variabel dan menterjemahkan setiap

hubungan antar variabel dan komponen penyusun model tersebut ke dalam

persamaan persamaan matematik untuk dapat dilakukan simulasi.

3. Simulasi

Simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Dalam

model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam

model, dimana perhitungan dilakukan untuk mengetahui perilaku gejala

atau proses.

4. Evaluasi model

Pada tahapan ini dilakukan pengujian terhadap model yang telah

disimulasikan, yaitu sejauh mana interaksi variabel model dapat mendekati

interaksi kejadian nyata. Model dapat dinyatakan baik apabila kesalahan

atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan

kecil.

5. Penggunaan model

Hasil simulasi yang telah dievaluasi selanjutnya dapat digunakan untuk

memahami perilaku gejala atau proses serta mengetahui kecenderungannya

di masa mendatang.

Penelitian yang telah dilakukan

Sumadi (2002), melakukan penelitian penyusunan model simulasi

pengaturan hasil yang paling sesuai di KPH Blora. Metode Von Mantel

merupakan metode yang paling sesuai diterapkan di KPH Blora.

Pengaturan hasil dengan metode Von Mantel yang berfluktuasi dapat

menghasilkan volume kayu tebangan sebesar 732.956,84 m3 sedangkan pada metode Burn statis yang ditetapkan 10 tahun sekali saat penyusunan buku RPKH

volume kayu tebangan yang dapat dihasilkan sebesar 671.163,45 m3. Penyerapan tenaga kerja penanaman rata-rata tiap tahunnya metode Von mantel fluktuasi

sebesar 706 orang/tahun, sedangkan pada metode Burn statis sebanyak 702

orang/tahun.

Triono (2002), melakukan penelitian penyusunan model simulasi

(29)

penerapan metode von mantel dinamis lebih baik dalam hal besarnya etat massa,

penerimaan KPH dan penyerapan tenaga kerja dibanding metode Burn statis.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa penerapan metode von mantel dinamis daur

20 tahun merupakan daur yang terbaik dalam hal besarnya etat massa, penerimaan

KPH, penyerapan tenaga kerja di banding metode Burn statis.

Munandar (2005), melakukan penelitian penyusunan model pengaturan

hasil kelas perusahaan Jati yang mempertimbangkan aspek gangguan berupa

pencurian kayu di KPH Cepu. Hasil penelitian menunjukkan metode Burn dalam

pengaturan hasil di KPH Cepu memiliki prospek kelestarian yang rendah karena

untuk memperoleh jumlah tebangan yang kurang lebih sama setiap tahun

membutuhkan waktu lebih dari satu daur. Metode Burn tidak mampu merespon

terhadap penurunan potensi akibat pencurian pohon. Penggunaan etat volume

dinamis lebih disukai dibandingkan dengan etat volume berdasarkan metode Burn

karena mampu merespon penurunan potensi tegakan akibat pencurian kayu.

Penelitian model simulasi pengaturan hasil pada hutan alam juga telah

dilakukan, seperti pada penelitian Aryanto (2001), dengan tujuan mencari metode

pengaturan hasil yang lebih baik ditinjau dari segi finansial dan kelestarian hutan.

Hasil penelitian menunjukkan pengaturan hasil adaptif mampu memberikan

keuntungan finansial yang lebih besar dibandingkan pengaturan hasil dengan

siklus 20 tahun, 35 tahun dan 50 tahun. Hal ini disebabkan pengaturan hasil

(30)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH

Randublatung Perum Perhutani unit I Jawa Tengah pada bulan Oktober –

Desember 2004

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan untuk penelitian ini yaitu : alat tulis, kalkulator,

komputer, software microsoft Excel, Minitab 13, dan Stella 8. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder yang

digunakan untuk proses simulasi.

Jenis dan Sumber Data

1. Data Primer

Data primer yang dikumpulkan meliputi data pendapatan dan

pengeluaran serta data konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar

masyarakat desa sekitar hutan dari setiap KPH. Konsumsi kayu berasal

dari kawasan hutan KPH Blora, Cepu dan Randublatung. Data diperoleh

melalui wawancara dan kuisioner dari 40 rumah tangga yang dipilih secara

acak dari setiap desa yang dijadikan desa contoh. Desa contoh yang

dipilih sebanyak 10 desa. Pemilihan desa contoh dilakukan secara

purposive, artinya desa contoh yang dipilih merupakan desa-desa yang lokasinya berbatasan langsung dengan hutan.

2. Data Sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi :

a. Data luas areal produktif, KBD rata-rata, bonita rata-rata.

b. Data biaya pengelolaan hutan.

c. Harga kayu pertukangan dan kayu bakar.

d. Data jumlah penduduk sekitar hutan, persen kelahiran dan persen

kematian.

(31)

Analisis Data

A. Penentuan Etat

Dalam penetuan etat, metode pengaturan hasil yang digunakan adalah

Metode Burn, Metode Cotta, dan Metode Von Mantel. Data yang digunakan

dalam penentuan etat meliputi luas areal produktif, KBD rata-rata, dan bonita

rata-rata.

Untuk penentuan etatnya :

D

2. Metode Cotta

R 1/2I V

AY= +

4. Metode Von Mantel

(32)

B. Pendekatan Sistem

Tahapan analisis sistem yang dilakukan dalam penelitian ini didasarkan

atas tahapan yang dilakukan Grant et al. (1997), yaitu :

1. Formulasi Model konseptual

Tujuan tahapan ini adalah untuk menentukan suatu konsep dan tujuan

model sistem yang akan dianalisis. Penyusunan model konseptual ini didasarkan

pada keadaan nyata di alam dengan segala sistem yang terkait antara yang satu

dengan yang lainnya serta saling mempengaruhi sehingga dapat mendekati

keadaan yang sebenarnya. Kenyataan yang ada di alam dimasukkan dalam

simulasi dengan memperhatikan komponen-komponen yang terkait sesuai dengan

konsep dan tujuan melakukan permodelan simulasi. Tahapan ini terdiri dari enam

langkah sebagai berikut :

a. Menentukan tujuan model.

b. Batasan model.

c. Kategorisasi komponen-komponen dalam sistem.

Setiap komponen yang masuk dalam ruang lingkup sistem

dikategorisasikan ke dalam berbagai kategori sesuai dengan karakter dan

fungsinya sebagai berikut :

c. 1. state variable, yang menggambarkan akumulasi materi dalam sistem. c. 2. driving variable, variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain namun

tidak dapat dipengaruhi oleh sistem.

c. 3. konstanta adalah nilai numerik yang menggambarkan karakteristik

sebuah sistem yang tidak berubah atau suatu nilai yang tidak mengalami

perubahan pada setiap kondisi simulasi.

c. 4. auxilary variable, variabel yang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi sistem.

c. 5. material transfer, menggambarkan transfer materi selama periode tertentu. Mateial transfer terletak diantara dua state, source dan state, state dan sink.

(33)

c. 7. source dan sink, berturut-turut menggambarkan awal dimulainya proses dan akhir dari masing-masing transfer materi.

d. Pengidentifikasian hubungan antar komponen.

e. Menyatakan komponen dan hubungannya dalam model yang lazim.

f. Menggambarkan pola yang diharapkan dari perilaku model.

g. Menentukan pola perilaku dari model sesuai dengan pengetahuan dan teori

yang ada.

2. Spesifikasi model kuantitatif

Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengembangkan model kuantitatif

dari sistem yang diinginkan. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :

a. Memilih struktur kuantitatif umum untuk model.

b. Memilih unit waktu dasar untuk simulasi.

c. Mengidentifikasi bentuk-bentuk fungsional dari persamaan model.

d. Menduga parameter dan persamaan model.

e. Memasukan persamaan ke dalam program simulasi.

f. Menjalankan simulasi acuan (baseline simulation). g. Menetapkan persamaan model.

3. Evaluasi model

Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengetahui keterandalan model yang

dibuat sesuai tujuan yang telah ditetapkan. Langkah evaluasi yang ditempuh

adalah sebagai berikut :

a. Mengevaluasi kewajaran dan kelogisan model.

b. Mengevaluasi hubungan perilaku model dengan pola yang diharapkan.

c. Membandingkan model dengan sistem nyata.

Membandingkan model dengan sistem nyata dapat dilakukan dengan

menggunakan uji beda khi-kuadrat. Model dianggap dapat menjelaskan kondisi

aktual apabila keragaman populasi hasil analisis model tidak berbeda nyata

dengan keragaman populasi aktual. Uji khi-kuadrat sebagai berikut :

= 2 aktual

model aktual

hitung

2 (Y Y ) /Y

(34)

Hipotesis uji : Ho : Y model = Y aktual

H1 : Y model≠ Y aktual

Kriteria uji :

X2hitung< X2tabel : terima Ho

X2hitung> X2tabel : tolak Ho

4. Penggunaan Model

Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah

diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan

dan simulasi dari beberapa skenario hasil simulasi yang telah dievaluasi, sehingga

dapat digunakan untuk memahami perilaku model serta mengetahui

kecenderungannya di masa mendatang. Skenario dilakukan pada variabel

konsumsi kayu, baik kayu pertukangan maupun kayu bakar. Tujuan utama yang

ingin dicapai adalah mengetahui pengaruh tingkat konsumsi kayu pertukangan

dan kayu bakar terhadap besarnya fluktuasi produksi kayu (etat volume), jumlah

pencurian pohon serta keuntungan yang diperoleh perusahaan. Untuk keperluan

tersebut disusun suatu skenario untuk mengetahui tingkat perubahan yang terjadi.

Skenario-skenario yang akan dijalankan adalah :

ƒ Skenario 1 : Konsumsi kayu bakar dinaikkan sebesar 0% , 50% dan 100%

(35)

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak dan Luas

Letak KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung secara astronomis

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Letak astronomis KPH Blora, Cepu dan Randublatung

Blora Cepu Randublatung

Bujur Timur 111016’ - 111033’ 111016’ - 111033’ 111025’ - 111040’ Lintang Selatan 06028’ - 07048’ 06052’ - 07024’ 07005’ - 07020 Sumber : Buku RPKH KPH Blora, Cepu dan Randublatung

Berdasarkan letak geografis dari wilayah hutannya ketiga KPH yaitu

Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu, Kesatuan Pemangkuan Hutan Randublatung,

dan Kesatuan Pemangkuan Hutan Blora mempunyai wilayah yang saling

berbatasan satu sama lain sebagaimana terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Batas geografis wilayah hutan KPH Blora, Randublatung, dan Cepu

Batas Sebelah KPH Blora KPH Cepu KPH Randublatung Utara KPH Mantingan dan Pati KPH Kebonharjo KPH Blora

Timur KPH Cepu KPH Parengan KPH Cepu

Selatan KPH Randublatung Bengawan Solo KPH Ngawi Barat KPH Purwodadi KPH Randublatung KPH Gundih Sumber : Buku RPKH KPH Blora, Cepu dan Randublatung

Luas kawasan hutan KPH Blora adalah 15.000 Ha dan dibagi dalam 6

BKPH dan 1 Kring Hutan. Pembagian hutan KPH Blora secara rinci dapat dilihat

pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Pembagian hutan KPH Blora

(36)

Kepitu 896,9

Luas Hutan 14.855,9

Luas Alur 144,1

Luas Total 15.000

Sumber : Buku RPKH KPH Blora

Kawasan hutan KPH Cepu berada pada dua wilayah Kabupaten, yaitu

Kabupaten Blora (Propinsi Jawa Tengah) dan Kabupaten Bojonegoro (Propinsi

Jawa Timur). KPH Cepu yang mempunyai luas 33.109,9 Ha terbagi atas dua Sub

KPH Cepu Utara dan Sub KPH Cepu Selatan yang masing-masing terdiri dari 6

BKPH. Rincian pembagian wilayah kerja disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Pembagian wilayah kerja KPH Cepu

No Sub KPH BKPH Luas (Ha) Sumber : Buku RPKH KPH Cepu

Selain dibagi kedalam Sub KPH dan BKPH, wilayah hutan KPH

Cepu dikelompokan dalam 7 bagian hutan (BH) yaitu Bagian Hutan Payaman

(3.376,3 Ha), Bagian Hutan Cabak (4.506,8 Ha), Bagian Hutan Nanas (4.960,6

Ha), Bagian Hutan Ledok (4.435,3 Ha), Bagian Hutan Kedewan (5.949,1 Ha),

Bagian Hutan Kedinding (5.088,9 Ha) dan Bagian Hutan Blungun (4.792,9 Ha).

Luas KPH Randublatung adalah 32.464,1 Ha yang terletak pada

(37)

seluas 332,9 Ha (1,03%) berada di Kabupaten Grobogan. KPH Randublatung

dibagi menjadi 6 bagian hutan, uraian rinci tersaji pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5 Pembagian Bagian Hutan KPH Randublatung

No Bagian Hutan Luas (Ha)

1 Doplang 5.894,8 2 Bekutuk 4.907,2 3 Ngilron 6.336,2 4 Randublatung 5.216,6 5 Banyuurip 5.128,7 6 Banglean 4.980,8

Jumlah 32.464,1 Sumber : Buku RPKH KPH Randublatung

Geologi dan Topografi

Kawasan hutan di KPH Blora, Cepu dan Randublatung terletak di lereng

Gunung Kendeng Utara, yang memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda karena

letaknya berdekatan dan berbatasan antara satu KPH dengan yang lain, seperti

terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Keadaan geologi dan topografi KPH Blora, Cepu dan Randublatung

KPH Blora KPH Cepu KPH Randublatung

Topografi Berbatu (batu kapur), datar, berombak, bergelombang sampai berbukit.

Miring, lereng, sebagian berbatu (batu kapur), sedikit berbukit, dan berombak/ bergelombang.

Datar, miring, berbukit, berombak, ergelombang kebanyakan tidak terlalu curam.

Geologi (Bahan Induk)

Batuan Kapur. Batuan beku, Batuan semen keror, Batuan sedimen keror, margel, List Tuf Volkan, Batu kapur keras, dan Tuf Volkan Basa.

Endapan kapur, tanah liat/lempung, dan napal.

Ketinggian Tempat

30-280 mdpl 30-250 mdpl 10-250 mdpl

Jenis Tanah

Regosol, Grumosol, dan Mediteran.

Latosol, Grumusol, Mediteran, dan Aluvial.

(38)

Iklim dan Curah Hujan

Kabupaten Blora secara umum mempunyai kondisi tanah yang kering dan

tandus dengan curah hujan yang sangat rendah terutama di musim kering. Curah

hujan relatif banyak jatuh pada bulan Nopember sampai Februari, sedangkan

bulan Juni sampai September merupakan bulan kering (kemarau). Iklim dan

curah hujan di ketiga Kesatuan Pemangkuan Hutan relatif sama karena daerahnya

saling berdampingan. Tipe iklim di ketiga Kesatuan Pemangkuan Hutan ini

termasuk dalam tipe iklim C-D Schmidt and Ferguson (1951), seperti terlihat pada

Tabel 7.

Tabel 7 Tipe iklim dan curah hujan di KPH Blora, Cepu dan Randublatung

KPH

Cepu Randublatung Blora Tipe Iklim

(Schmid dan Ferguson)

Tipe Iklim C Nilai Q rata-rata

58% Curah Hujan Rata-rata per

tahun (mm/tahun) 1636 1632 1644

Sumber : Buku RPKH KPH Blora, Cepu dan Randublatung

Sosial Ekonomi Masyarakat

Kondisi sosial ekonomi masyarakat dapat dilihat dari data keadaan

penduduk, luas kepemilikan lahan rata-rata, dan pendapatan per kapita.

Tabel 8 Jumlah penduduk, kepadatan dan rata-rata luas kepemilikan lahan per kecamatan

No Kecamatan Jumlah Desa

(39)

Luas Kabupaten Blora 1.820,59 Km2. Jumlah penduduk Kabupaten Blora seluruhnya berjumlah 826.229 orang yang terdiri 407.921 orang laki-laki dan

418.308 orang perempuan. Distribusi penduduk rata-rata sebesar 454 orang/Km2. Rata-rata luas kepemilikan lahan 0,4 ha/KK.

Keadaan sosial ekonomi masyarakat secara kumulatif di KPH Blora, KPH

Cepu, dan KPH Randublatung masih tergolong rendah, hal ini sangat dipengaruhi

oleh keadaan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang sebagian besar

berinteraksi langsung dengan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari-harinya. Keadaan penduduk di masing-masing KPH secara lebih rinci dijelaskan

sebagai berikut :

1. Kesatuan Pemangkuan Hutan Blora.

Jumlah penduduk dari desa yang berbatasan langsung dengan hutan

sebanyak 137.860 jiwa (34.629 KK). Rata-rata jumlah anggota keluarga dalam

KK sebanyak 4 orang. Besarnya persentase kelahiran pada desa yang berbatasan

dengan hutan sebesar 0,69% dan persentase kematian sebesar 0,22%.

Jumlah desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan KPH Blora

seluruhnya berjumlah 55 desa yang tersebar pada 5 kecamatan. Kecamatan

Banjarjo terdapat 6 desa, Kecamatan Japah terdapat 13 desa, Kecamatan

Kunduran 8 desa, Kecamatan Ngawen 8 desa, Kecamatan Todanan 17 desa, dan

Kecamatan Tunjungan terdapat 3 desa.

Berdasarkan data stasistik Kabupaten Blora tahun 2001 dapat diketahui

bahwa jumlah penduduk untuk setiap kecamatan yang termasuk kedalam wilayah

KPH Blora seperti terlihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Jumlah Penduduk menurut Kecamatan Wilayah KPH Blora Tahun 1997-2001

Kecamatan 1997 1998 1999 2000 2001

Tunjungan 42.161 42.457 42.689 43.035 43.050

Banjarejo 55.845 55.774 55.557 55.575 55.581

Ngawen 55.818 56.163 58.053 58.974 59.099

Japah 32.334 32.676 32.705 32.359 32.812

Kunduran 61.184 61.599 62.499 62.872 63.595

Todanan 55.807 55.993 56.200 56.407 56.743

(40)

Mata pencaharian sebagian besar penduduk sekitar hutan di bidang

pertanian sebesar 73,86%, kemudian di bidang jasa sebesar 10,57%, perdagangan

7,90%, industri dan angkutan masing-masing sebesar 1,65% dan 1,02% serta

lainnya termasuk Pegawai Negri Sipil (PNS) dan TNI sebesar 5%. Angkatan kerja

yang ada pada 55 desa sekitar hutan sebesar 79,20% dari jumlah total penduduk.

Persentase yang bekerja dari angkatan kerja sebesar 67,03% sedangkan yang

lainnya sebagai pengangguran. Pendidikan formal penduduk sekitar hutan

sebagian besar hanya sampai tingkat Sekolah Dasar, dengan persentase 70%,

sedangkan yang berpendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama kurang lebih

17%, dan Sekolah Menengah Atas kurang lebih 11%.

2. Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu.

Hubungan masyarakat di sekitar wilayah kerja KPH Cepu, baik yang masuk

daerah Pemerintahan Kabupaten Blora maupun Kabupaten Bojonegoro dengan

hutan masih cukup tinggi, tetapi interaksi negatif lebih dominan dibandingkan

dengan interaksi yang positif. Hal ini disebabkan karena potensi lapangan kerja

baik di bidang pertanian maupun di bidang industri masih sangat terbatas.

Tabel 10 Kepadatan penduduk desa sekitar hutan KPH Cepu

Jumlah Penduduk

Desa Laki-laki Perempuan Jumlah

Kepadatan Sumber : Buku RPKH KPH Cepu

Lahan pertanian (berupa sawah dan tegalan) yang ada di sekitar wilayah

kerja KPH Cepu luasnya sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah

(41)

wilayah kerja KPH Cepu sangat tinggi, keadaan ini merupakan salah satu

ancaman terhadap keamanan hutan utamanya untuk tanaman muda.

3. Kesatuan Pemangkuan Hutan Randublatung.

Kawasan hutan KPH Randublatung secara administratif, masuk wilayah

Kabupaten Dati II Blora. Kabupaten Blora dengan luas 182.059 Ha terbagi

kedalam 4 wilayah pembantu Bupati yang meliputi 14 Kecamatan, sedangkan

yang berdekatan dengan KPH Randublatung ada 5 Kecamatan, yaitu Kecamatan

Jati, Randublatung, Kradenan, Jepon, dan Banjarejo. Jumlah penduduk dalam

kecamatan yang termasuk wilayah kerja KPH Randublatung di sekitar hutan

sebesar 271.765 orang yang terdiri dari 135.102 orang laki-laki dan 136.663 orang

perempuan. Adapun penyebaran penduduk untuk tiap kecamatan yang ada

disekitar wilayah KPH Randublatung terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Penyebaran penduduk tiap kecamatan sekitar wilayah KPH Randublatung

Jumlah Penduduk No Kecamatan

Laki-laki Perempuan Jumlah 1

Jumlah 135.102 136.663 271.765

Sumber : Buku RKPH KPH Randublatung

Berdasarkan data yang terhimpun diketahui bahwa luas kepemilikan tanah

tiap desa rata-rata yang terendah berada di desa-desa wilayah kecamatan

Randublatung yaitu seluas 198,0 Ha/desa, sedangkan rata-rata kepemilikan tanah

tiap desa dalam 5 kecamatan adalah 218 Ha/desa. Sebagian besar penduduk desa

sekitar hutan banyak yang bercocok tanam di lahan kering (tegalan) dan

menempati sekitar 45% dari seluruh pemilikan tanah. Pada usaha tani rata-rata

luas lahan yang mereka miliki adalah 0,25 Ha, baik itu lahan milik maupun

menggarap lahan milik Perhutani.

Sebagian besar masyarakat berpendidikan yang berada di wilayah

kecamatan Randublatung sekitar 32%. Berdasarkan data yang didapat bahwa

(42)

hutan yang mata pencahariannya bercocok tanam sebesar 88% dan berdagang 7%,

sisanya sebesar 5% bekerja di bidang lain.

Potensi Hutan

Hutan Jati di Kabupaten Blora merupakan gabungan dari tiga KPH dengan

potensi produktifitas yang besar, sehingga menjadi andalan utama produksi kayu

Jati bagi Perhutani. Potensi hutan yang ada di masing-masing KPH dapat dilihat

pada Tabel 12.

Tabel 12 Kondisi dan potensi hutan di KPH Cepu, Randublatung, dan Blora

KPH Cepu KPH Randublatung KPH Blora Keadaan (Ha) Kelas Umur (KU) VIII Kelas Umur (KU) IX

Sumber : Buku RPKH KPH Cepu, Randublatung, dan Blora Keterangan :

(43)
(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kelestarian Hasil

Kegiatan pengelolaan hutan tanaman oleh Perum Perhutani pada saat

sekarang menggunakan metode pengaturan hasil yang bersifat statis, sementara

kondisi hutan sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat beragam

dan dinamis. Pengaruh sosial ekonomi masyarakat merupakan salah satu faktor

dinamis yang sangat berperan dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan yang

lestari sangat terkait dengan perubahan faktor sosial ekonomi masyarakat,

khususnya masyarakat sekitar hutan.

Salah satu tahapan dalam pengaturan hasil adalah penentuan etat (Simon

1994). Untuk menentukan jatah penebangan, Perhutani melakukan penentuan etat

yang dilakukan pada areal tebang habis berdasarkan Surat Keputusan Direktur

Jenderal Kehutanan No : 143/Kpts./Dj/I/7a tentang Peraturan Inventarisasi Hutan

Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan, Khusus

Kelas Perusahaan Tebang Jati (Perum Perhutani 1974). Etat kelas perusahaan

ditentukan berdasarkan metode kombinasi antara luas areal dan volume kayu.

Pada KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung, daur yang digunakan untuk

setiap KPH adalah 80 tahun. Daur ini merupakan daur pada waktu suatu jenis

yang diusahakan sudah dapat menghasilkan kayu yang dapat dipakai untuk tujuan

tertentu (Simon 1994). Besarnya luas penebangan ditentukan berdasarkan luas

areal produktif tiap-tiap KPH dibagi dengan daur.

Kelestarian hutan tiap-tiap KPH dapat diketahui berdasarkan tabel

tegakan persediaan hasil risalah yang dinyatakan dalam bentuk luas (ha) dan

volume (m3). Luas tegakan persediaan hasil risalah awal rata-rata lebih besar dari luas tegakan persediaan hasil risalah sela. Hal ini menunjukkan adanya penurunan

riap tegakan sebagai akibat gangguan terhadap tegakan hutan berupa pencurian

yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Besarnya riap yang diperoleh dari

selisih antara hasil risalah awal dan hasil risalah sela.

Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan hasil risalah sela menurut

(45)

Tabel 13 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Blora Tegakan Persediaan

Hasil Risalah awal

Tegakan Persediaan Hasil Risalah Sela Kelas

VIII 458,6 74302,372 430,3 69715,48

VII 581,6 91159,984 462,5 72492,25

VI 501,8 65806,052 496,2 65071,67

V 443,2 50910,384 287,9 33071,65

IV 840,4 67400,08 628,4 50395,17

III 1.623.10 106897,37 1.001.70 65971,96

II 1.926.60 105076,76 1.219.80 66527,89

I 1.973.20 39424,536 1.720.80 34385,03

Jumlah 9848,1 755455,36 7982 626765,4

Sumber : Buku RPKH Blora

Luas total tegakan hasil risalah awal untuk KPH Blora sebesar 9.848,1 Ha,

sedangkan luas total hasil risalah sela sebesar 7.982 Ha atau terjadi penurunan

sebesar 18,94%. Volume tegakan hasil risalah awal sebesar 755.455,36 m3 sedangkan volume tegakan hasil risalah sela sebesar 626.765,4 m3 atau terjadi penurunan sebesar 17,03%.

Tabel 14 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Cepu Tegakan Persediaan

Hasil Risalah awal

Tegakan Persediaan Hasil Risalah Sela Kelas

Jumlah 23170,35 2168048,3 18217,25 1422351,7

Sumber : Buku RPKH Cepu

Berdasarkan Tabel 14, diperoleh luas total tegakan hasil risalah awal KPH

Cepu sebesar 23.170,35 Ha. Sedangkan luas total tegakan hasil risalah sela

(46)

risalah awal besarnya 2.168.048,3 m3; sedangkan untuk risalah sela besarnya 1.422.351,7 m3 atau terjadi penurunan sebesar 34,39%.

Tabel 15 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Randublatung

Tegakan Persediaan Hasil Risalah awal

Tegakan Persediaan Hasil Risalah Sela Kelas

Hutan

Luas (Ha) Volume (m3) Luas (Ha) Volume (m3)

MT 1409,34 67944,28 1060,5 67951

MR 300,55 501,92 6,7 503

X 17,4 3389,58 17,4 3389,58

IX 423,6 101973,47 186,4 44872,18

VIII 1892,56 342313,52 1188,7 215004,06

VII 2697,24 466430,94 1180,9 204211,82

VI 2071,1 289935,67 956,4 133887,53

V 2353,18 250696,72 2161,7 230297,35

IV 4611,15 487931,37 1982,5 209779,33

III 4483,75 331310,93 2457,9 181617,87

II 4452,19 314033,84 3610,9 254693,71

I 3962,47 80413,36 7369 149544,62

Jumlah 28657,13 2733486 22179 1627298,1

Sumber : Buku RPKH Randublatung

Untuk KPH Randublatung luas total tegakan persedian hasil risalah awal

sebesar 28.657,13 Ha. Sedangkan luas total tegakan hasil risalah sela 22.179 Ha

atau terjadi penurunan sebesar 22,6%. Untuk volume tegakan hasil risalah awal

besarnya 2.733.486 m3, sedangkan hasil risalah sela sebesar 1.627.298,1 m3 atau terjadi penurunan sebesar 40,46%.

Berdasarkan tabel hasil risalah awal dan risalah sela dari ketiga KPH,

pertambahan luas hanya terjadi di KPH Cepu dan KPH Randublatung. Pada KPH

Cepu luas tegakan persediaan hasil risalah awal lebih besar dari luas tegakan

persediaan hasil sela pada KU I. Luas hasil risalah awal sebesar 3.584,3 Ha,

sedangkan luas hasil risalah sela sebesar 5.687,4 Ha. KU I pada KPH

Randublatung juga mengalami kenaikan dengan luas hasil risalah awal sebesar

3.962,47 Ha, sedangkan luas hasil risalah sela sebesar 7.369 Ha.

Pengujian jangka waktu penebangan (cutting time test) merupakan pengujian terhadap kelestarian produksi selama daur berdasarkan luas tegakan

areal produksi. Apabila jumlah kumulatif tahun-tahun penebangan selama daur

yang diperoleh berbeda dengan daur yang telah ditetapkan, maka besarnya etat

(47)

pengujian kembali. Etat massa diuji sampai menghasilkan perbedaan lebih kurang

2 tahun. Pengujian dibatasi sampai lima kali dengan alasan semakin banyak

pengujian akan semakin lama waktu yang dibutuhkan tegakan untuk kembali

membentuk suatu tegakan normal.

Berdasarkan perhitungan jangka waktu penebangan dengan menggunakan

tiga metode pengaturan hasil diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 16 Penentuan Etat dan Perhitungan Jangka Waktu Penebangan

KPH

Sumber : Hasil Pengujian Etat KPH Cepu, KPH Randublatung dan KPH Blora

Pada KPH Cepu etat massa sebelum pengujian dengan menggunakan

metode Cotta sebesar 42.209,13 m3/tahun. Metode Burn menghasilkan etat massa sebelum pengujian sebesar 28.137,96 m3/tahun. Metode Von Mantel memiliki etat massa sebelum pengujian sebesar 33.784,12 m3/tahun.

Pengujian jangka waktu penebangan dengan metode Cotta dilakukan

sebanyak lima kali dengan etat massa setelah diuji sebesar 27.517,79 m3/tahun. Untuk metode Burn pengujian dilakukan sebanyak dua kali dengan etat massa

setelah uji sebesar 29.544,86 m3/tahun. Sedangkan untuk metode Von Mantel pengujian dilakukan sebanyak empat kali dengan etat massa setelah pengujian

(48)

Selisih jangka waktu penebangan kumulatif terbesar pada KPH Cepu

terdapat pada metode Cotta yaitu -0,51 tahun dan selisih terkecil terdapat pada

metode Burn sebesar -0,05 tahun.

Untuk KPH Randublatung etat massa sebelum pengujian dengan

menggunakan metode Cotta sebesar 56.595,35 m3/tahun. Metode Burn menghasilkan etat massa sebelum pengujian sebesar 33.455,85 m3/tahun. Metode Von Mantel memiliki etat massa sebelum pengujian sebesar 33.784,11 m3/tahun. Pengujian jangka waktu penebangan dengan metode Cotta dilakukan

sebanyak lima kali dengan etat massa setelah diuji sebesar 38.522,31 m3/tahun. Untuk metode Burn pengujian dilakukan sebanyak dua kali dengan etat massa

setelah uji sebesar 38.949,2 m3/tahun. Sedangkan untuk metode Von Mantel pengujian dilakukan sebanyak empat kali dengan etat massa setelah pengujian

sebesar 37.641,49 m3/tahun.

Selisih jangka waktu penebangan kumulatif terbesar pada KPH

Randublatung terdapat pada metode Cotta yaitu 5,30 tahun dan selisih terkecil

terdapat pada metode Burn sebesar 1,78 tahun.

Untuk KPH Blora etat massa sebelum pengujian dengan menggunakan

metode Cotta sebesar 16.850,4 m3/tahun. Metode Burn menghasilkan etat massa sebelum pengujian sebesar 13.551,8 m3/tahun. Metode Von Mantel memiliki etat massa sebelum pengujian sebesar 15669,14 m3/tahun.

Pengujian jangka waktu penebangan dengan metode Cotta dilakukan

sebanyak lima kali dengan etat massa setelah diuji sebesar 12.515,97 m3/tahun. Untuk metode Burn pengujian dilakukan sebanyak dua kali dengan etat massa

setelah uji sebesar 12.880,11 m3/tahun. Sedangkan untuk metode Von Mantel pengujian dilakukan sebanyak empat kali dengan etat massa setelah pengujian

sebesar 12.888,54 m3/tahun.

Selisih jangka waktu penebangan kumulatif terbesar KPH Blora terdapat

pada metode Cotta yaitu 2,17 tahun dan selisih terkecil terdapat pada metode

(49)

B. Konsumsi Kayu

Tingkat konsumsi kayu pertukangan dan konsumsi kayu bakar merupakan

salah satu faktor yang dirumuskan dalam tujuan pengelolaan hutan tanaman di

Pulau Jawa (Simon, 1993). Tabel 17 menyajikan total konsumsi kayu pada

masing-masing KPH.

Tabel 17 Konsumsi kayu bakar dan kayu pertukangan di masing–masing KPH

No KPH Jumlah

2 Randublatung 39 126.591 2.288.403,59 47.956,26

3 Blora 24 51.441 971.720,49 15.689,55

Sumber : Hasil survei responden tahun 2004

Berdasarkan tabel 14 diperoleh, konsumsi kayu bakar tertinggi terdapat di

KPH Cepu sebesar 3.113.445,92 sm/tahun. Untuk KPH Blora konsumsi kayu

bakar memiliki nilai terendah sebesar 917.720,49 sm/tahun. Konsumsi kayu

pertukangan terbesar pada KPH Randublatung dengan nilai 47.956,26 m3/tahun. Untuk KPH Cepu konsumsi kayu pertukangan sebesar 45.008,72 m3/tahun. Untuk KPH Blora konsumsi kayu pertukangan memiliki nilai terendah sebesar

15.689,55 m3/tahun.

B.1. Konsumsi Kayu Bakar

Kayu bakar mempunyai peranan yang sangat penting sebagai sumber

energi tradisional, terutama bagi masyarakat pedesaan. Ketersediaan bahan bakar

pengganti seperti minyak tanah, arang, dan gas diperkirakan konsumsi masyarakat

terhadap kayu bakar cenderung menurun, namun dengan semakin bertambahnya

jumlah penduduk kecenderungan ini tidak berpengaruh besar terhadap konsumsi

kayu bakar. Penggantian kayu bakar oleh sumber energi lain lebih banyak terdapat

di daerah kota, sedangkan kayu bakar merupakan bahan bakar utama bagi

masyarakat pedesaan.

Meningkatnya kebutuhan konsumsi kayu bakar bagi masyarakat desa

sekitar hutan, khususnya masyarakat yang berbatasan langsung dengan hutan

menyebabkan pemenuhan kebutuhan kayu bakar dari pekarangan atau tanah

pertanian tidak lagi memadai. Hutan menjadi pilihan masyarakat sebagai sumber

(50)

Masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan areal hutan, khususnya

KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH Randublatung memiliki interaksi yang tinggi

terhadap hutan. Hal ini didasarkan pada tingkat konsumsi kayu bakar yang

berasal dari areal hutan di tiap-tiap desa contoh. Tabel 18 menyajikan besarnya

konsumsi kayu bakar oleh masyarakat pada desa contoh di masing-masing KPH.

Tabel 18 Konsumsi kayu bakar pada desa contoh di masing-masing KPH

Konsumsi

(Jiwa) sm/RT/th sm/kapita/th Rp/RT/th Rp/kapita/th

1 Ngiyono 1.003 109,5 27,17 2.737.500 684.375

2 Jegong 2.615 46,81 11,46 1.170.250 292.563

3 Ngliron 2.554 23,27 7,51 581.750 145.438

4 Bodeh 1.529 40,24 12,02 1.006.000 251.500

5 Kemiri 2.015 44,83 10,61 1.120.750 280.188

6 Klopoduwur 4.427 45,85 14 1.146.250 286.563

7 Sumberejo 942 94,44 26,08 2.361.000 590.250

8 Kalisari 2.530 102,66 27,47 2.566.500 641.625

9 Temengan 2.308 87,6 29,84 2.190.000 547.500

10 Sambongwangan 3.980 94,44 28 2.361.000 590.250

Jumlah 23.903 689,64 194,16 17.241.000 4.310.250

Rata-rata 2.390 68,96 19,42 1.724.100 431.025

Sumber : Hasil survei responden tahun 2004

Tingkat konsumsi kayu bakar terbesar terdapat pada Desa Ngiyono,

sebesar 109,5 sm/RT/tahun dengan harga Rp 2.737.500,-. Pada Desa Ngliron,

tingkat konsumsi kayu bakar memiliki nilai terkecil sebesar 23,27 sm/RT/tahun

atau sebanding dengan Rp 581.750,-/RT/tahun. Sedangkan rata-rata konsumsi

kayu bakar untuk seluruh desa contoh adalah sebesar 68,96 sm/RT/tahun, yang

setara dengan dengan Rp 1.724.100,-/RT/tahun.

B.2. Konsumsi Kayu Pertukangan

Kayu pertukangan oleh masyarakat pedesaan sebagian besar digunakan

untuk pembuatan rumah, dan sebagian kecil yang dijual. Kayu pertukangan di

hasilkan dari tebangan AII. Konsumsi kayu pertukangan oleh masyarakat bukan

hanya berasal dari lokasi tebangan AII, namun juga berasal dari tegakan yang

berada pada semua kelas umur. Tindakan ini menyebabkan pertumbuhan tegakan

yang telah di inventarisasi pada risalah awal menjadi berkurang pada saat

Gambar

Tabel 5  Pembagian Bagian Hutan KPH Randublatung
Tabel 8 Jumlah penduduk, kepadatan dan rata-rata luas kepemilikan lahan per kecamatan
Tabel 10  Kepadatan penduduk desa sekitar hutan KPH Cepu
Tabel 12  Kondisi dan potensi hutan di KPH Cepu, Randublatung, dan Blora
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

In these figures the blue points are data points, the green lines depict the edges of minimum spanning tree constructed from neighborhood graphs of data points before

Jadi keluargakurang memahami dan mereka tidak mempunyai banyak waktu untukmemperhatikan perkembangan lansia Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data/fakta yang tepat (shahih, benar, valid) dan dapat dipercaya (reliabel) tentang sejauh mana hubungan antara bauran promosi dengan

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan yaitu ditemukan serangga ordo Hymenoptera di Cagar Alam Imogiri sebanyak 22 jenis.

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada bab terdahulu, dapat ditarik kesimpulan yang terkait yaitu; kemampuan mengapresiasi drama sinetron keluarga

[r]

1) Semakin tinggi kecepatan feedwater (kecepatan tube), maka koefisien konveksi sisi tube akan semakin meningkat, dengan laju alir massa feedwater konstan.