TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA
TRI WAHYU NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul “DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA”, merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juli 2006
TRI WAHYU NUGROHO. 2006. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia (ARIEF DARYANTO sebagai Ketua dan D.S. PRIYARSONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing)
Kebijakan pemerintah yang diterapkan di sektor pertanian memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan para pelaku yang terlibat di sektor pertanian secara langsung maupun tak langsung. Dampak kebijakan pembangunan di sektor pertanian terhadap pengentasan kemiskinan selama ini perlu diketahui dan dievaluasi, sehingga ke depan dapat diambil kebijakan pembangunan pertanian yang strategis dan mampu menjadi solusi terhadap masalah tingginya tingkat kemiskinan.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dampak kebijakan pembangunan pertanian terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia. Untuk menjawab tujuan tersebut, digunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun model sistem persamaan simultan dengan pendugaan menggunakan metode 2SLS. Hasil pendugaan parameter model kemudian digunakan untuk melakukan simulasi skenario kebijakan yang relevan.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa kemiskinan di perkotaan dapat dikurangi dengan pendekatan peningkatan kebijakan tingkat upah riil, peningkatan pertumbuhan ekonomi, penambahan belanja pemerintah di sektor jasa dan peningkatan stok pangan nasional. Hasil parameter dugaan menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap peubah endogen kemiskinan di perkotaan. Sementara itu, kemiskinan di pedesaan dapat ditekan dengan pendekatan peningkatan kebijakan peningkatan tingkat upah riil, pertumbuhan ekonomi, peningkatan belanja pemerintah di sektor pertanian, harga komoditas pertanian dan produksi pertanian, sedangkan inflasi dan krisis ekonomi memberikan pengaruh posit if terhadap peningkatan angka kemiskinan di pedesaan.
Kombinasi kebijakan meningkatkan luas areal dan peningkatan kredit pertanian masing-masing 10 persen, serta menurunkan suku bunga sebesar 2 persen merupakan kombinasi kebijakan yang memberikan pengaruh paling besar terhadap pengentasan kemiskinan, yaitu sebesar 4.30 persen. Kombinasi kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi pengentasan kemiskinan di pedesaan, yaitu sebesar 4.66 persen. Kombinasi kebijakan ini mampu mendorong produksi sebesar 5.01 persen dan memperbaiki harga komoditas pertanian sebesar 1.97 persen.
TRI WAHYU NUGROHO. 2006. Impact of Agricultural Development Policy on Poverty Reduction in Indonesia (ARIEF DARYANTO as Chairman, and D.S. PRIYARSONO as Members of the Advisory Committe)
Government policy applied in agricultural sectors, giving opportunity for welfare improvement and poverty reduction of all perpetrator in concerned agricultural sector directly and also indirectly. Impact of agriculture development policy on poverty reductionduring the time it is important to know and evaluated, so that necessary action can be taken a strategic agriculture development policy and able to become solution about height problem of poverty level.
This study aims at analyzing the impact of agricultural development policy on poverty reduction in Indonesia. To reach this objective, a simultaneous equations model is constructed and estimated using the 2SLS method. Simulations of a set of policy scenarios are undertaken based on estimeted parameters of the model.
The result of this research show that urban poverty can to reduced by improvement policy of real wage rate, improvement of economic growth, goverment expenditure in service sector and improvement of nasional food stock. Furthermore, rural poverty can be depressed by improvement of real wage rate, economic growth, goverment expenditure on agriculture, price of agriculture commodity and improvement of agricultural production. While for the economic crisis and inflation give positive influence to poorness number improvement in rural.
Policy combination to increase of areal agriculture and credit improvement each 10 percent, and also degrade rate of interest equal to 2 percent representing policy combination giving biggest influence to poverty reduction, that is equal to 4.30 percent. This Policy combination bring influence for poverty reduction in rural, that is equal to 4.66 percent. This policy combination also able to push production of equal to 5.01 percent and repair of agriculture commodity price equal to 1.97 percent.
TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Oleh :
TRI WAHYU NUGROHO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
Nama : Tri Wahyu Nugroho
Nomor Pokok : A. 151030091
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec.
Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS .
Ketua Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS .
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan hasil penelitian dengan judul : Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia.
Secara umum studi ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan pembangunan pertanian yang telah dilakukan selama ini terhadap pengentasan kemiskinan. Hasil penelitian ini mampu mendeteksi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Selain itu juga diperoleh hasil pilihan kebijakan pembangunan pertanian yang strategis khususnya berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. dan Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan yang konstruktif. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Isang Gonarsyah selaku penguji dan Prof. Bonar M. Sinaga selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah memberikan arahan yang membangun. Di samping itu, ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan juga kepada kedua Orang Tua, Kakak dan Adik atas do’a, restu dan kasih sayangnya. Serta tak lupa kepada dik Haning, terima kasih atas kesetiaan dan kesabaranmu menunggu. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pada rekan-rekan Tim Hibah Pascasarjana, teman-teman EPN angkatan 2003, serta semua pihak yang telah membantu dalam bentuk bahan pendukung penelitian, saran dan waktu untuk berd iskusi, sehingga karya ini bisa terselesaikan.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2006
Penulis dilahirkan di Ngawi pada tanggal 18 Mei 1979 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, anak pasangan Koesnanto, SPd. dan Astuti Hariniwati.
Tahun 1997 penulis lulus dari SMA Negeri Maospati, Magetan, Jawa Timur dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 2003 penulis diterima menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana (jenjang Magister) pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
©
Hak cipta milik Tri Wahyu Nugroho, tahun 2006
H ak cipta dilindungi
Halaman DAFTAR TABEL ... IV
DAFTAR GAMBAR ... V DAFTAR LAMPIRAN ... VI
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah Penelitian ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
1.5. Ruang Lingkup Penelitian... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Kebijakan Pembangunan Pertanian ... 11
2.1.1. Kebijakan Harga... 12
2.1.2. Kebijakan Pasar ... 16
2.1.3. Kebijakan Input ... 16
2.1.4. Kebijakan Perkreditan ... 19
2.1.5. Kebijakan Mekanisasi Pertanian ... 19
2.1.6. Kebijakan Reformasi Agraria... 20
2.1.7. Kebijakan Penelitian Pertanian ... 22
2.1.8. Kebijakan Irigasi ... 23
2.2. Kemiskinan ... 23
2.3. Keterkaitan Variabel Makroekonomi... 30
2.3.1. Keseimbangan Pendapatan Nasional ... 30
2.3.2. Nilai Hasil Produksi dan Harga... 35
2.3.3. Ekspor – Impor... 36
2.3.4. Kebijakan Fiskal dan Moneter ... 40
ii
4.2.3. Peranan Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian ... 89
iii
5.2.5. Ekspor Komoditas Pertanian ... 114
5.2.6. Impor Komoditas Pertanian ... 115
5.2.7. Kemiskinan di Perkotaan ... 117
5.2.8. Kemiskinan di Pedesaan ... 119
5.2.9. Stok Pangan Nasional ... 121
5.2.10. Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian ... 122
5.2.11. GDP Sektor Pertanian... 123
5.2.12. Penerimaan Pemerintah ... 125
5.2.13. Pajak Total ... 126
5.2.14. Konsumsi Sektor Pertanian ... 127
5.2.15. Penawaran Uang ... 128
5.2.16. Inflasi... 129
5.2.17. Kemiskinan Total ... 131
5.2.18. GDP Total... 131
VI. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN ... 133
6.1. Validasi Model ... 133
6.2. Evaluasi Alternatif Kebijakan Tunggal Pembangunan Pertanian dan Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Pengentasan Kemiskinan ... 135
6.3. Evaluasi Alternatif Kombinasi Kebijakan Pembangunan Pertanian dan Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Pengentasan Kemiskinan ... ...141
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 147
7.1. Kesimpulan ... 147
7.2. Implikasi Kebijakan ... 150
DAFTAR PUSTAKA ... 152
iv
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Indikator Kemiskinan Indonesia ... 7
2. Pertumbuhan Sektor Pertanian Indonesia Tahun 1967-2001 ... 71
3. Persentase Pekerja yang Keluar Sektor Pertanian ... 88
4. Produksi Pertanian pada Awal Pelita I (Tahun 1969) dan Pelita V (Tahun 1992) ... 92
5. Pangsa Sektor Pertanian Dalam Struktur Ekonomi Indonesia ... 99
6. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Sektor Pekerjaan Utamanya... 102
7. Hasil Pendugaan Parameter Produksi Pertanian ... 107
8. Hasil Pendugaan Parameter Investasi di Sektor Pertanian ... 109
9. Hasil Pendugaan Parameter Tenaga Kerja di Sektor Pertanian...111
10. Hasil Pendugaan Para meter Harga Komoditas Pertanian ... 112
11. Hasil Pendugaan Parameter Ekspor Komoditas Pertanian ... 114
12. Hasil Pendugaan Parameter Impor Komoditas Pertanian ... 115
13. Hasil Pendugaan Parameter Kemiskinan di Perkotaan ... 117
14. Hasil Pendugaan Parameter Kemiskinan di Pedesaan ... 119
15. Hasil Pendugaan Parameter Stok Pangan Nasional ... 121
16. Hasil Pendugaan Parameter Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian ... 122
17. Hasil Pendugaan Parameter GDP Sektor Pertanian ... 123
18. Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan Pemerintah... 125
19. Hasil Pendugaan Parameter Pajak Total ... 126
20. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Sektor Pertanian... 127
21. Hasil Pendugaan Parameter Penawaran Uang ... 128
22. Hasil Pendugaan Parameter Inflasi ... 130
23. Hasil Pengujian Validasi Model Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian Terhadap Pengentasan Kemiskinan ... 134
24. Dampak Alternatif Kebijakan Tunggal Pembangunan Pertanian dan Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Perubahan Nilai Rata-rata Peubah Endogen Pada Periode 1984 – 2003... 136
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Diagram Distribusi Persentase Penduduk Miskin Menurut Lapangan
Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Tahun 2003 ... 5
2. Dampak Stabilisasi Harga Akibat Pergeseran Penawaran Terhadap Kesejahteraan ...14
3 . Kurva Respon Penggunaan Pupuk Nitrogen dan Bibit Unggul Terhadap Hasil Panen Padi... 17
4. Kurva Kuznets Berbentuk “U” Terbalik ... 28
5. Keterkaitan Beragam Faktor dalam Lingkaran Setan Kemiskinan ... 29
6. Keseimbangan Perekonomian ... 32
7 Dampak Tarif Impor... 38
8 Pengenaan Pajak Ekspor... 39
9. Alur Pemikiran Penelitian ... 46
10. Hubungan Antar Peubah dalam Penelitian ...63
11. Tahapan : Langkah-langkah dan Umpan Balik dalam Penelitian Ekonometrika ... 65
12. Garis Waktu Peramalan... 68
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Program Model Pembangunan Pertanian dan Peng entasan Kemiskinan di Indonesia ... 157 2. Hasil Pendugaan Parameter Model Pembangunan Pertanian dan
1.1. Latar Belakang
Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang komplek s, karena
melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan telah dilakukan secara besar-besaran. Kebijakan merupakan kontrol pemerintah, dan besarnya intervensi dari kebijakan
tersebut merupakan keleluasaan pemerintah atas hajat hidup orang banyak, khususnya terhadap mata pencaharian masyarakat (Ellis, 1992).
Indonesia sebagai negara yang sebagian besar penduduknya
bermatapencaharian sebagai petani, sudah selayaknya mengarahkan kebijakan pembangunan untuk meningkatkan dan memperkokoh sektor pertanian. Modal sumberdaya manusia di sektor peretanian yang melimpah di Indonesia seharusnya
mampu dijadikan sebagai modal penting dalam pembangunan ekonomi yang berbasiskan pertanian. Trasformasi struktural dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang diarahkan pada pembangunan industri berbasis teknologi tinggi
sebagai sektor unggulan, mengakibatkan banyak tenaga kerja dari sektor pertanian terserap ke sektor industri dan jasa, meskipun tenaga kerja yang dipakai tersebut adalah tenaga kerja yang tidak siap pakai untuk sektor industri. Maka, hal ini
apabila kita cermati kebijakan pemerintah sejak masa orde baru, maka seharusnya pertanian merupakan sektor penopang dalam pembangunan perekonomian secara menyeluruh, namun yang terjadi justru sebaliknya. Selama satu dekade tarakhir sektor pertanian mengalami perkembangan yang lambat dibandingkan dengan sektor jasa dan manufaktur. Proses transformasi struktural yang diharapkan dengan meletakkan sektor pertanian sebagai basis perekonomian justru ditinggalkan.
Jumlah penduduk Indonesia menurut Rajasa (2002), cenderung meningkat dari 206 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi sekitar 220 juta jiwa pada tahun 2002, dapat menimbulkan beberapa permasalahan pokok seperti ketersediaan pangan, papan, jaminan kesehatan, dan kelestarian sumberdaya alam. Khusus dalam bidang pertanian dan pangan masalah yang dihadapi adalah masalah produksi pangan/pertanian yang belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga masih dilakukan impor, masalah daya saing produk pangan yang lemah baik di pasar lokal maupun internasional, dan masalah tingkat kesejahteraan petani yang jauh dari memadai.
Uraian di atas mengindikasikan bahwa sektor pertanian kita belum menjadi primadona atau andalan dalam proses pembangunan bangsa demi kesejahteraan rakyat banyak. Maksudnya adalah bahwa sektor pertanian kita belum memiliki kemampuan untuk mengembangkan atau mendayagunakan keunggulan komparatif yang dimilikinya.
Dalam paradigma ekonomi pembangunan, sebenarnya telah diketahui secara luas bahwa terdapat paradoks pembangunan (development paradox) yang
berteknologi tinggi, yang memiliki tingkat penghasilan per kapita sangat besar umumnya memproteksi petaninya, yang hanya sedikit jumlahnya. Sedangkan negara-negara miskin yang berbasis pertanian seperti Indonesia justru tidak berp ihak terhadap petaninya sendiri, sehingga kemiskinan yang terjadi khususnya di sektor pertanian menjadi semakin bertambah.
Krisis ekonomi di Indonesia yang terus berlangsung mulai tahun 1997 telah menimbulkan pemikiran kembali tentang pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia, yang berlangsung sekitar 30 tahun telah berhasil menurunkan angka kemiskinan absolut secara signifikan. Mulai tahun 1970-an hingga awal 1990-an, angka kemiskinan berhasil diturunkan sebesar 50 persen. Namun, sejak krisis berlangsung mulai pertengahan 1997, angka kemiskinan naik dua kali lipat, sehingga menghapus prestasi tersebut, dan membuat upaya pengentasan kemiskinan kembali menjadi sesuatu yang mendesak untuk dilaksanakan dengan serius (Sumarto, et al, 2004).
resiko tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada kepastian akan keberlanjutannya.
Tingginya jumlah pekerja di sektor kurang produktif berakibat pada rendahnya pendapatan, sehingga mereka tergolong miskin atau tergolong pada pekerja dengan pendapatan yang rentan menjadi miskin (nearly poor). Data Sakernas menunjukkan tingginya angka setengah pengangguran (bekerja kurang dari 35 jam per minggu) yang mencapai 31.4 persen pada tahun 2003. Berdasarkan sektor usaha, pekerja setengah pengangguran tersebut sebagian besar bekerja di sektor pertanian yang terdapat di perdesaan. Jumlah pekerja informal terus meningkat sejak adanya krisis, dari 58.5 juta pada tahun 2001 meningkat sebesar 1.5 juta (1 juta d i daerah perdesaan dan 0.5 juta di perkotaan) sehingg a pada tahun 2002 menjadi 60 juta. Pada tahun 2003 meningkat sebesar 1.2 juta (0.5 juta di daerah perdesaan dan 0.7 juta perkotaan) sehingga jumlah total menjadi 61.2 juta. Hal ini juga didukung dengan meningkatnya pangsa lapangan kerja di sektor pertania n dari 40.1 persen tahun 1997 menjadi 43.3 persen tahun 2001, disertai dengan menurunnya pangsa lapangan kerja bergaji dari 35.5 persen tahun 1997 menjadi 33.3 persen tahun 2002, dan menurunnya lapangan kerja di sektor manufaktur dari 2.8 persen pada periode 1994-1997 menjadi 0.6 persen pada periode 1998-2001 (Bappenas, 2005 ).
Penduduk miskin yang umumnya berpendidikan rendah harus bekerja apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan lemahnya posisi tawar masyarakat miskin dan tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan. Masyarakat miskin juga harus menerima pekerjaan dengan imbalan
89.7 perlindungan terhadap keselamatan dan kesejahteraan mereka di lingkungan kerja.
Sumber : Bappenas, 2005
Gambar 1. Diagram Distribusi Persentase Penduduk Miskin Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Tahun 2003
1.2. Perumusan Masalah Penelitian
Kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia telah mengalami berbagai
modifikasi. Mulai dari program penyaluran kredit usaha tani yang telah mengalami beberapa kali perubahan format dalam penyalurannya. Selain itu masalah subsidi pupuk mengalami penurunan dari 4.4 persen dari total investasi
pertanian pada tahun 1985 menjadi 0.7 persen pada tahun 2000, kemudian masalah penentuan harga dasar gabah serta proteksi perdagangan komoditas pertanian juga mengalami fluktuasi yang dinamis pada beberapa tahun terakhir. Sementara itu kebijakan terhadap penguasaan lahan petani semakin lama semakin
menipis, hal ini menyebabkan semakin tingginya tingkat ketidakpastian dalam berusahatani. Dengan semakin tingginya tingkat ketidakpastian tersebut, mengakibatkan semakin rendahnya insvestasi di sektor pertanian yang pada
akhirnya akan menurunkan kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang ditunjukkan dengan penurunan kontribusi sebesar 57.1 persen pada tahun 1965 menjadi 17 persen pada tahun 2000 (Arifin, 2004).
Semakin menurunnya tingkat kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, akan mengancam pada semakin tingginya angka kemiskinan yang terjadi di sektor ini, sementara itu sektor industri dan jasa tidak
mampu menampung suplai tenaga kerja dari sektor pertanian. Pada kondisi ketidakmampuan sektor industri dan jasa dalam menampung limpahan tenaga kerja dari sektor pertanian, maka akan mengakibatkan semakin tingginya tingkat
pengangguran dan kemiskinan secara menyeluruh.
pemenuhan konsumsi masyarakat. Hal tersebut juga merupakan agenda utama bagi pembangunan di negara-negara dunia ketiga yang tercantum dalam poin pertama Millenium Development Goals yaitu pengentasan kemiskinan dan penghapusan kelaparan . Sementara itu, melihat proporsi tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat tajam saat krisis ekonomi dan sampai saat ini belum mengalami penurunan yang signifikan, hal tersebut bisa ditunjukkan pada Tabel 1 berikut : terhadap faktor penyebab tersebut, kita bisa mengetahui langkah atau kebijakan yang harus diambil ke depan khususnya berkaitan dengan strategi pengentasan kemiskinan.
Dalam proses pembangunan ekonomi, keterlibatan pemerintah sebagai
pengambil kebijakan sangatlah penting. Pengaturan tingkat harga, pemberian
subsidi dan insentif bagi sektor produksi sangat menunjang peningkatan produksi
khususnya guna mengatur kebijakan yang berkaitan dengan penyediaan sarana
produksi bagi petani misalnya melalui subsidi pupuk dan bibit. Peran pemerintah
diperlukan dalam mengendalikan harga komoditas pertanian baik harga atap
maupun harga dasar. Selain itu , peran pemerintah juga sangat vital dalam
memproteksi komoditas pertanian produksi dalam negeri terhadap maraknya
produk pertanian impor. Sementara itu, masih banyak lagi kebijakan pemerintah
yang bersinggungan secara langsung maupun tak langsung dengan sektor
pertanian.
Keterlibatan pemerintah dalam mengintervensi sektor pertanian
memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan para pelaku yang terlibat di
sektor pertanian secara langsung maupun tak langsung. Namun intervensi yang
berwujud kebijakan yang telah dilakukan selama ini mengindikasikan adanya
ketimpangan dalam pendistribusian peluang bagi pemerataan kesejahteraan.
Sektor pertanian yang mendominasi proporsi golongan tenaga kerja miskin,
ternyata sampai saat ini belum mampu bergerak secara signifikan dalam
meningkatkan kesejahteraan petani. Dampak kebijakan di sektor pertanian
terhadap pengentasan kemiskinan perlu diketahui dan dievaluasi, sehingga ke
depan dapat diambil beberapa kebijakan pembangunan pertanian yang strategis
dan mampu menjadi solusi terhadap masalah tingginya tingkat kemiskinan
khususnya di sektor pertanian.
Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk merespon persoalan
-persoalan yang telah diuraikan di atas. Secara khusus akan mengkaji bagaimana
optimal sebagai upaya pengentasan kemiskinan. Pada penelitian ini dibangun
suatu kerangka berfikir yang dituangkan dalam model persamaan simultan yang
mengkaji dan memformulasikan interaksi antara kebijakan pembangunan
pertanian dengan variabel-variabel makroekonomi lainnya dalam suatu sistem
yang dinamis.
Dari uraian di atas, maka dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang
akan dikaji, yaitu :
1. Bagaimana dinamika kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia serta
kaitannya dengan upaya pengentasan kemiskinan.
2. Faktor-faktor apa saja yang turut mempengaruhi kemiskinan di perkotaan dan
pedesaan.
3. Seberapa besar dampak kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa
variabel perekonomian lainnya terhadap kemiskinan di Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian rumusan permasalahan penelitian di atas, maka dirumuskan beberapa tujuan penelitian yaitu :
1. Mendeskripsikan kebijakan pembangunan pertanian dan pengentasan
kemiskinan d i Indonesia.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di perkotaan dan pedesaan.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya pemahaman yang menyeluruh dan terarah terhadap peran atau kontribusi yang diberikan sektor pertanian terhadap pembangunan ekonomi, khususnya menyangkut masalah pengentasan kemiskinan, baik ditinjau dari peningkatan pendapatan perkapita maupun kemampuan pemenuhan konsumsi untuk pangan . Dari penelitian ini juga bisa dideteksi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Selain itu hasil simulasi kebijakan diharapkan akan mampu memperoleh pilihan kebijakan pembangunan pertanian yang strategis khususnya berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini kebijakan pembangunan pertanian yang dimaksudkan adalah antara lain kebijakan harga, kebijakan pasar, kebijakan input, kebijakan penguasaan lahan, kebijakan pembangunan sarana irigasi, kebijakan perkreditan, kebijakan mekanisasi pertanian dan kebijakan pengembangan penelitian pertanian. Selain kebijakan di sektor pertanian ini juga dikaji mengenai kebijakan makro ekonomi, seperti kebijakan fiskal dan moneter.
2.1. Kebijakan Pembangunan Pertanian
Secara umum alat utama kebijakan pertanian diwujudkan melalui
anggaran belanja pemerintah di sektor pertanian. Pembiayaan fiskal sangat
penting untuk membuat berbagai macam tujuan di dalam pembangunan pertanian.
Beberapa hal yang menyangkut format anggaran sektor pertanian merupakan
investasi di dalam pembangunan infrastruktur sektor pertanian yang diwujudkan
untuk tujuan seperti penyediaan irigasi, penyimpanan hasil panen, pemasaran dan
transportasi, serta mengarahkan penyaluran kredit ke petani, pembiayaan
perluasan riset dan produksi benih, membiayai defisit yang terjadi akibat program
pembelian dari petani dengan harga mahal dan melakukan penjualan ke
konsumen dengan harga yang lebih rendah, dan beberapa program pendukung
lainnya (Norton, 2004).
Sementara itu menurut Ellis (1992), kebijakan pembangunan pertanian
diidentifikasi menggunakan pendekatan pengaruh yang dirancang khususnya
terhadap sistem pertanian mikro. Kebijakan pertanian di sini dikaitkan dengan
masalah output dan input pertanian, kebijakan tersebut antara lain : kebijakan
harga, kebijakan pasar, kebijakan input, kebijakan perkreditan, kebijakan
mekanisasi, kebijakan reformasi agraria, kebijakan penelitian, dan kebijakan
2.1.1. Kebijakan Harga
Kebijakan harga di sini adalah kebijakan harga output pertanian. Secara
umum kebijakan harga output pertanian ini memiliki tiga fungsi utama di dalam sistem ekonomi. Ketiga fungsi tersebut antara lain : (1) untuk mengalokasikan sumberdaya pertanian secara merata, (2) untuk mendistribusikan pendapatan, dan
(3) mendorong investasi dan formasi modal di sektor pertanian (Mellor dan Ahmed, 1988). Selain itu fungsi dari kebijakan harga output pertanian juga bisa dideskripsikan sebagai isyarat, insentif dan instrumen untuk alokasi sumberdaya dan pendapatan secara merata.
Tiga tujuan utama dari kebijakan harga output pertanian adalah : pertama, untuk mempengaruhi output pertanian; kedua, untuk mencapai perubahan pada sisi distribusi pendapatan; dan yang ketiga adalah untuk mempengaruhi kontribusi
sektor pertanian pada semua proses pembangunan ekonomi (Norton, 2004). Sementara itu Ellis (1992), juga menyebutkan bahwa instrumen dari kebijakan harga ini merupakan intervensi pemerintah yang bisa dilakukan dengan
berbagai jalan. Instrumen disini dikelompokkan mengarah pada masing-masing tipe dampak pada tingkat dan stabilitas harga pertanian. Deskripsi dari instrumen kebijakan harga diikuti oleh beberapa observasi yang dikonsentrasikan pada
interaksi antar instrumen, dan hubungan antara instrumen dengan tujuan. Instrumen tersebut antara lain adalah instrumen kebijakan harga itu sendiri, kebijakan nilai tukar, kebijakan pajak dan subsidi dan kebijakan atau intervensi
Kebijakan harga dalam bidang pertanian berkaitan erat dengan
kebijaksanaan dagang. Langkah-langkah yang diambil dalam perdagangan luar
negeri dapat mempengaruhi baik harga di dalam maupun di luar negeri,
sebaliknya kebijakan harga produk pertanian dapat mempengaruhi volume dan
komposisi dagang. Kecuali untuk pembayaran defisit, bantuan ekspor diperlukan
untuk menunjang harga produsen di negara-negara surplus, sedangkan dukungan
impor diperlukan apabila harga konsumen harus dilindungi dari keadaan
kekurangan pangan.
Jenis pokok dari kebijakan harga dalam pertanian masuk dalam dua
kategori, yaitu stabilitas harga dan penetapan tingkat harga (perlindungan harga),
kebijakan akhir -akhir ini ditujuk an untuk mendukung kelompok tertentu
(produsen dan konsumen) pada sasaran produksi, anggaran atau akumulasi devisa
tertentu.
Stabilisasi harga menurut Ellis (1992) adalah salah satu hal yang akan
dijadikan alasan umum bagi pemerintah untuk melakukan intervensi pada pasar
pertanian, dan hal ini merupakan ciri yang sangat kuat adanya suatu kebijakan
pertanian baik yang ada di negara maju maupun di negara berkembang. Intervensi
pada pasar pertanian ini dilakukan karena pasar bebas pada produk pertanian
terkenal cenderung memiliki harga yang fluktuatif.
Analisis sederhana dari stabilisasi harga dapat dijelaskan menggunakan
Gambar 2 . Dampak Stabisasi Harga Akibat Pergeseran Penawaran Terhadap Kesejahteraan
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa :
1. Jika terjadi kekurangan penawaran, yang biasa terjadi ada musim paceklik maka penawaran akan turun menuju S2. Hal tersebut mengakibatkan harga meningkat menjadi P2. Penjualan dari stok penyangga akan mengembalikan menuju Pe.
Consumer surplus gain = a + b
Producer surplus loss = a
Buffer stock income = d + g (dari hasil penjualan)
Buffer stock costs = e + f + h (dari biaya pembelian)
3. Posisi akhir pada keseimbangan antara kesejahteraan dan perubahan sumberdaya adalah sebagai berikut :
Buffer stock cancels out : d + g = e + f + h
Consumer surplus loss : d (sebab c + e = a + b)
Producer surplus gain : d + e + f
Net welfare gain : e + f (pertambahan untuk produsen)
Kebijakan harga barang hasil pertanian yang tepat memegang peranan kunci dalam pembangunan suatu perekonomian yang terbelakang. Harga barang pertanian sangat rawan terhadap keadaan permintaan dan penawaran. Karena
output pertanian merupakan 50 persen dari produk nasional, maka tingkat harga
2.1.2. Kebijakan Pasar
Tujuan dari kebijakan pemerintah pada pemasaran komoditas pertanian
tidak mencakup persepsi tentang struktur, perilaku dan bentuk dari hubungan pemasaran swasta/individu. Tujuan utama dari kebijakan pemasaran ini antara lain : (1) untuk memproteksi petani dan konsumen dari perdagangan yang bersifat
menghisap, (2) untuk menstabilkan atau bahkan meningkatkan harga di tingkat petani, (3) untuk mengurangi margin pemasaran, (4) untuk meningkatkan kualitas dan memberikan standar minimum, dan (5) untuk meningkatkan ketahanan pangan (Ellis, 1992).
Pada intinya kebijakan pasar ini bertujuan untuk memperpendek rantai pemasaran komoditas pertanian, sehingga produsen dan konsumen tidak mengalami kerugian akibat permainan harga di tingkat pedagang. Maka dari itu, pemerintah melakukan intervensi kebijakan ini melalui lembaga penyangga untuk membeli hasil pertanian dari petani, seperti misalnya Bulog. Selain itu pemerintah
juga bisa membentuk lembaga pemasaran di tingkat petani sendiri. Kemudian pemerintah juga bisa mengambil peran lewat penerangan tentang informasi pasar.
2.1.3. Kebijakan Input
Ketiga, adalah sistem informasi yang baik kepada petani tentang tipe, kuantititas, dan kombinasi input yang tepat untuk sistem usahatani.
Proporsi utama kebijakan subsidi input dan sistem penyalurannya dapat diambil dari referensi spesifik tentang pupuk dan bibit unggul. Pupuk kimiawi serta penggunaan bibit unggul dijadikan suatu variabel penting karena memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan produksi dibandingkan input yang lain. Pemberian subsidi pupuk dan bibit baru yang dilakukan di India mampu meningkatkan has il beras nasionalnya dari 0.8 juta ton pada tahun 1965 menjadi 7.7 juta ton pada tahun 1983. Berikut dapat dilihat pada Gambar 3 tentang pengaruh optimalisasi penggunaan pupuk nitrogen (Urea) dan bibit unggul pada peningkatan hasil padi. Kurva yang menggunakan varietas unggul dan penggunaan pupuk nitrogen lebih optimal akan memberikan hasil yang lebih tinggi (Ellis, 1992).
Kebijakan input ini dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi petani untuk memperoleh bahan baku untuk usahataninya, misalnya untuk pemenuhan kebutuhan bibit, pestisida dan pupuk. Kebijakan input ini secara umum didominasi oleh kebijakan masalah pupuk.
Pupuk merupakan sarana produksi utama bagi peningkatan kualitas dan kuantitas produksi pertanian, maka dari itu barang sangat dibutuhkan oleh petani dalam bercocok tanam. Semakin meningkatnya jumlah penduduk yang berarti semakin meningkatnya permintaan akan pangan dan keberadaan lahan pertanian yang semakin sempit, memaksa pemerintah untuk mentargetkan peningkatan produksi pangan nasional. Maka dari itu tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain meningkatkan produksi pangan nasio nal dengan intensifikasi pertanian .
Harga pupuk yang tinggi, mengakibatkan petani mengalami kendala dalam pemenuhan untuk optimalisasi usahataninya. Namun karena pemerintah terdesak untuk pemenuhan kebutuhan pangan yang semakin meningkat, seperti yang diungkapkan di atas, maka pemerintah memberikan subsidi untuk pupuk, sehingga diharapkan petani dapat menjangkaunya dan optimalisasi produksi dapat dilakukan.
2.1.4. Kebijakan Perkreditan
Bagian penting dari kebijakan kredit pertanian yang paling sering ditemui
di negara-negara berkembang ialah kebijakan penetapan tingkat bunga yang rendah, yang biasanya berhubungan erat dengan kebijaksanaan harga dan pajak usahatani. Tingkat bunga yang rendah pada umumnya menunjukkan pengaruh
yang negatif. Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya, tingkat bunga yang rendah menimbulkan kesulitan untuk merangsang simpanan deposito. Hal ini menghambat bank untuk menambah modal yang dimilikinya dan mendorong lembaga-lembaga menjadi semakin bergantung pada subsidi pemerintah.
Pertumbuhan kredit menurun dan efektifitas bank terhambat.
Sehubungan dengan alokasi sumber-sumber dana, tingkat bunga yang rendah akan menurunkan standar pemilihan dan menyebabkan investasi dengan
produktivitas yang semakin lebih rendah. Secara keseluruhan ini mengakibatkan pengurangan produktivitas. Bahkan rendahnya tingkat bunga mengubah rasio faktor harga demi kepentingan modal, ini akan mendorong usaha produksi dan
teknologi yang padat modal dan mempunyai pengaruh negatif terhadap pengurangan serta perkembangan teknologi yang tepat (Heinz, 1988).
2.1.5. Kebijakan Mekanisasi Pertanian
Mekanisasi pertanian ini lebih lanjut dibedakan menjadi bentuk yaitu
mekanisasi bergerak dan tidak bergerak. Mekanisasi yang bergerak yang
dimaskud di sini seperti traktor pengolah lahan, sedangkan mekanisasi yang tidak
bergerak dicontohkan seperti pompa air. Kebijakan mekanisasi pertanian ini pada
intinya adalah memberikan efisiensi terhadap komponen tenaga kerja, sehingga
petani akan lebih efisien dan memberikan hasil yang lebih cepat (Ellis, 1992).
2.1.6. Kebijakan Reformasi Agra ria
Pengertian reformasi agraria/landreform secara luas mencakup pengaturan
hubungan manusia dan lahan, termasuk redistribusi pemilikan lahan, konservasi,
dan kelembagaan yang mengatur hubungan manusia dan lahan (Norton, 2004).
Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai oleh adanya kebijaksanaan adalah
pemerataan kesempatan yang menyangkut pemanfaatan lahan bagi warga
masyarakat sehingga masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya. Atas
dasar tersebut tujuan kebijaksanaan pertanahan dapat meliputi :
1. Pemerataan pemilikan dan penggarapan lahan. Pemilikan dicegah untuk tidak
terpusat pada segelintir orang, yang menyebabkan menurunnya produktivitas
lahan. Program landreform merupakan usaha meningkatkan produktivitas,
usaha distribusi penguasaan lahan serta usaha mengubah landless menjadi
pemilik lahan. Dengan demikian, pemerataan ini akan memperbaiki distribusi
pendapatan masyarakat.
3. Pengaturan hubungan pemilik-penggarap (UU bagi hasil, dan lain-lain). 4. Penyebaran informasi/peraturan yang menyangkut pertanahan kepada
masyarakat.
5. Pengaturan tentang konservasi/pelestarian sumberdaya lahan.
6. Pengaturan penggunaan lahan secara tepat (untuk pertanian, industri, pemukiman, hutan lindung, dan lain-lain).
Adapun tujuan dari landreform adalah : (1) penyebaran/pemerataan pemilikan lahan sehingga terjadi pemerataan pendapatan, (2) peningkatan produktivitas pertanian, dan (3) peningkatan pendapatan nasional. Berdasarkan pengertian dan tujuan dari landreform, dapat dikemukakan beberapa keuntungan dari landreform, yaitu :
1. Pendapatan petani meningkat sehingga daya belinya juga meningkat. Peningkatan pendapatan tersebut diharapkan dapat merubah status buruh tani menjadi pemilik tanah.
2. Industri berkembang.
3. Secara multiplier akan meningkatkan GNP.
Hal-hal di atas perlu menjadi perhatian karena kondisi pengusaan lahan di Indonesia yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian mengalami penurunan luasan yang banyak akibat adanya konversi lahan (S ilitonga, et al, 1995).
Ketersediaan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit terutama lahan sawah sehingga upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan
Konversi lahan ini, terutama Jawa sebagai gudang pangan nasional, menyebabkan gangguan yang serius dalam pengadaan pangan nasional. Konversi lahan sawah yang tidak terkendali akan dapat menyebabkan penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian dan pedesaan serta penurunan hilangnya aset pertanian bernilai tinggi. Akhir-akhir ini berkembang kecenderungan yang menunjukkan bahwa pertumbuhan hasil panen padi per hektar mengalami stagnasi akibat kejenuhan teknologi. Dalam situasi tersebut maka upaya untuk menekan “kehilangan produksi pangan” akibat konversi lahan sawah menjadi lebih penting. Untuk kasus di Jawa, memang sulit menghindari kenaikan lahan untuk kegiatan non pertanian, sedangkan lahan yang tersedia sangat terbatas. Atas pertimbangan itu, diperlukan upaya mengarahkan proses konversi lahan pada lahan pertanian yang kurang produktif, sedangkan lahan pertanian produktif dicadangkan bagi produksi pangan (Irawan, 2001).
2.1.7. Kebijakan Penelitian Pertanian
Kebijakan penelitian ini adalah kebijakan mengenai peraturan pemerintah di dalam melakukan pendekatan alternatif untuk mengembangkan dan menyebarkan teknologi pertanian yang baru kepada rumah tangga petani.
Ada beberapa dimensi yang termasuk dalam pengertian kebijakan penelitian ini. Pengembangan teknologi pertanian yang baru merupakan faktor utama untuk menunjang inovasi. Hal ini masuk dalam penetuan kekuatan topik
Penyebaran teknologi pertanian baru yang menjadi faktor utama dalam ukuran keberhasilannya adalah tingkat adopsi teknologi ditingkatan petani. Hal ini termasuk berkaitan dengan tingkatan lahan dan hambatan perekonomian yang juga ikut mempengaruhi adopsi teknologi (Ellis, 1992).
2.1.8. Kebijakan Irigasi
Dalam proses budidaya yang berkesinambungan tentunya tidak bisa dilepaskan dari irigasi. Kebijakan pembangunan sarana irigasi merupakan jawaban untuk adanya efisiensi, pemerataan dan keberlanjutan usahatani,
sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada alam yang berupa hujan. Dengan adanya irigasi yang lancar maka akan memungkinkan petani untuk berproduksi di berbagai musim.
Dengan membangun sarana irigasi yang baik dan tertata juga akan menunjang keseimbangan lingkungan yang baik. Akan tetapi apabila pembangunan sarana irigasi tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem maka
akan merusak habitat alami, seperti misalnya konstruksi sistem irigasi akan menyebabkan kekeringan dan bahkan banjir pada area-area baru. Namun demikian, kerana kebutuhan akan pangan semakin tinggi maka tidak ada pilihan
lain untuk tetap memprioritaskan pada pem enuhan permintaan pangan, maka dari itu pembangunan sarana irigasi sangatlah diperlukan (Norton, 2004).
2.2. Kemiskinan
Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan ini, kemiskinan
dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak -hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya.
Dengan diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan
dipandang sebagai suatu peristiwa penolakan atau pelanggaran hak dan tidak
terpenuhinya hak. Kemiskinan juga dipandang sebagai proses perampasan atas
daya rakyat miskin. Konsep ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin
terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang
memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghormati,
melindungi d an memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin.
Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks, bersifat multidimensi
dan tidak dapat secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Luasnya wilayah
dan sangat beragamnya budaya masyarakat menyebabkan kondisi dan
permasalahan kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat
lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda antara perempuan dan
laki-laki. Kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak langsung tergambar
dari fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat miskin
itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan
ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan surv ei (Bappenas , 2005).
Sejak tahun 1976 Badan Pusat Statistik (BPS) membuat perkiraan jumlah
penduduk miskin (dibedakan antara wilayah perdesaan, perkotaan dan propinsi di
Indonesia) dengan berpatokan pada pengeluaran rumah tangga menurut data
SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Penduduk miskin ditentukan
berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan
maupun bukan makanan yang dianggap ‘dasar’ dan diperlukan selama jangka
waktu tertentu agar dapat hidup secara layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan
diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang
disebut sebagai garis kemiskinan. Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan
tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara
1. biaya untuk memperoleh makanan dengan kandungan 2100 kalori per kapita
per hari; dan
2. biaya untuk memperoleh bahan bukan makanan yang dianggap dasar, seperti
pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan
Tolok ukur individu dikatakan miskin memang masih menjadi perdebatan,
ada yang menyebutkan bahwa kemiskinan diukur dari tingkat pendapatan di
bawah 1 $ US / hari, di lain pihak ada yang menggunakan ukuran konsumsi
kalori per hari yaitu sebanyak 2100 kalori, bahkan beberapa waktu yang lalu
pemerintah memakai salah satu indikator kemiskinan adalah rumah yang tidak di
plester (berlantaikan tanah) sehingga mengadakan program plesterisasi. Perbedaan
terminologi di atas secara general sebenarnya memilki tujuan yang sama yaitu
adanya ketidakmampuan untuk mencapai kesejahteraan (Kelompok Kerja Pro penas,
2002).
Kemiskinan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan
kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural yang terjadi terus-menerus
dan kemiskinan sementara (transient poverty) yang ditandai dengan menurunnya
pendapatan masyarakat secara sementara sebagai akibat dari perubahan siklus
ekonomi dari kondisi normal menjadi kondisi krisis dan bencana alam.
Masyarakat miskin umumnya lemah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
seperti pangan dan gizi, pendidikan dan kesehatan, kemampuan berusaha, dan
mempunyai akses yang terbatas kepada kegiatan sosial ekonomi sehingga
menumbuhkan perilaku miskin. Selain itu, perilaku miskin ditandai pula oleh
fatalistis. Dalam kaitan itu, upaya penanggulangan kemiskinan terkait erat dengan
upaya pemberdayaan masyarakat dan penyediaan berbagai kebutuhan pokok
dengan biaya yang terjangkau sehingga secara bertahap mereka dapat
meningkatkan kemampuannya untuk memanfaatkan peluang yang terbuka (Heinz,
1988).
Secara umum upaya penanggulangan kemiskinan ada dua strategi utama
yang ditempuh. Pertama, melakukan berbagai upaya dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan pokok dan melindungi keluarga dan kelompok masyarakat
yang meng alami kemiskinan sementara akibat dampak negatif krisis ekonomi dan
kemiskinan struktural. Kedua, melakukan berbagai upaya untuk membantu
masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural, antara lain, memberdayakan
mereka agar mempunyai kemampuan yang tinggi untuk melakukan usaha, dan
mencegah terjadinya kemiskinan baru.
Gross National Product (GNP) yang selama ini menjadi indikator
keberhasilan pembangunan suatu negara ternyata terkadang menyesatkan.
Menurut Kuznets mengemukakan bahwa pola pertumbuhan historis negara maju
pada tahap -tahap awal pertumbuhannya mengalami penurunan tingkat
kesejahteraan, namun pada akhirnya akan membaik secara perlahan dan
membutuhkan waktu yang cukup lama. Observasi inilah yang dikenal secara luas
sebagai kurva Kuznetz “U-terbalik”. Konsep tersebut memperoleh namanya dari
bentuk rangkaian perubahan longitudinal (antar waktu) atas distribusi pendapatan
(yang diukur dengan koefisien Gini) sejalan dengan pertumbuhan GNP per kapita
Koefisien Gini
Kemiskinan berdampak pada kondisi keadaan kurang gizi dan tingkat kesakitan (morbiditas), dan hal ini merupakan suatu lingkaran setan yang akan membuat kondisi suatu bangsa semakin terpuruk. Masih relatif tingginya masalah-masalah gizi masyarakat itu menunjukkan bahwa aspek kemampuan ekonomi (daya beli) berpengaruh paling dominan dalam timbulnya masalah gizi masyarakat, disamping adanya faktor kurang sadar gizi, kondisi lingkungan sanitasi dan keterbatasan akses bagi golongan masyarakat yang kurang mampu. Kemampuan ekonomi keluarga yang rendah itu tidak terlepas dari faktor keterbatasan lapangan kerja, termasuk keterbatasan dalam hal kemampuan psikomotorik dan kognitif yang dapat dikembangkan untuk memperluas peluang mendapatkan tambahan pendapatan. Berikut ini gambaran keterkaitan beragam faktor dalam lingkaran setan kemiskinan, dimana faktor kekurangan gizi masuk di dalamnya (Todaro, 1999).
Dampak dari kondisi kurang gizi pada jangka waktu lama akan tercermin pada beragam maslaah gizi masyarakat dan pada gilirannya menyangkut langsung pada sumberdaya insani yang memprihatinkan, yakni rendahnya produktivitas fisik, mental (ketahanan menerima stres) dan intelektual (kecerdasan) (Sitorus, 1996).
0,50
0,35 0,25 0,75
0 GNP Per Kapita
Gambar 5. Keterkaitan Beragam Faktor dalam “Lingkaran Setan” Kemiskinan
Kelaparan kronis menyebabkan kemunduran intelektual, menghalangi pertumbuhan produktifitas dan menjadi penyebab utama timbulnya penyakit, sehingga orang atau komonitas menjadi tidak mampu untuk merealisasikan potensi yang dimilikinya. Kelaparan dan kekurangan nutrisi/gizi mikro diperkirakan akan menurunkan kapasitas belajar sampai dengan lebih dari 10%. Untuk keluarga miskin, kelaparan yang dihubungkan dengan kondisi sakit merupakan biaya yang tinggi bagi rumah tangga dan meningkatkan beban terhadap kesehatan anggota keluarga. Penyakit merupakan tambahan beban kesulitan yang sangat berarti.
Ada dua indikator yang direkomendasikan dalam memonitor keberlangsungan pencapaian target untuk mengurangi kelaparan, yaitu meratanya
populasi di bawah tingkat minimum menu konsumsi energi (Kelompok Kerja Propenas, 2002).
2.3. Keterkaitan Variabel Makroekonomi 2.3.1. Keseimbangan Pendapatan Nasional
Keseimbangan pendapatan nasional dicerminkan oleh keseimbangan internal dan eksternal secara simultan. Keseimbangan internal terjadi apabila dalam pasar barang dan pasar uang terjadi keseimbangan. Sedangkan keseimbangan eksternal terjadi jika neraca perdagangan sama dengan neraca
modal asing (net capital flow).
Secara teoritis proses terbentuknya keseimbangan pendapatan nasional tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Pendapatan nasional yang dihitung
berdasarkan sisi pengeluaran didefinisikan sebagai penjumlahan dari pengeluaran konsumsi rumah tangga, ditambah pengeluaran investasi swasta, ditambah pengeluaran pemerintah, dan ditambah ekspor neto. Sedangkan pendapatan yang
siap dibelanjakan (disposible income) adalah pendapatan nasional dikurangi pajak (Glahe, 1977). Secara matematis dapat dijelaskan sebagai berikut :
Y = C + I + G + ( X – M ) ...(1)
YD = Y – T ...(2) dimana :
Y = Pendapatan nasional
C = Pengeluaran konsumsi rumah tangga I = Pengeluaran investasi swasta
G = Pengeluaran Pemerintah
X = Ekspor
I = Impor
Besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga didefinisikan sebagai pendapatan yang siap dibelanjakan dikurangi tabungan rumah tangga (S), secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
C = YD – S ...(3) Sedangakan dari sisi penerimaan secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
Y = C + S + T ...(4) Keseimbangan umum terjadi apabila persamaan (1) sama dengan persamaan (4), yaitu :
C + I + G + X – M = C + S + T atau I + G + X = S + T + M ...(5) Persamaan (5) merupakan persamaan keseimbangan di pasar barang. Keseimbangan tersebut membentuk kurva IS yang ditunjukkan pada gambar 6d. Pada Gambar 6d juga terdapat kurva LM yang menunjukkan keseimbangan di pasar uang yang terbentuk dari keseimbangan permintaan uang (MD) dan penawaran uang (MS) (Gambar 6e).
Berdasarkan teori Keynes permintaan uang adalah mempunyai tiga motif atau tujuan, yaitu : (1) permintaan uang untuk tujuan trans aksi, (2) permintaan uang untuk tujuan berjaga-jaga, dan (3) permintaan uang untuk tujuan spekulasi. Permintaan uang untuk tujuan transak si dan berjaga merupakan fungsi dari pendapatan, sedangkan permintaan uang untuk tujuan spekulasi merupakan fungsi dari tingkat suku bunga yang secara teoritis dapat ditulis sebagai berikut :
Mt = f (Y) ...(6) Mj = f (Y) ...(7)
MD = Mt + Mj + Msp ...(9) Keseimbangan terjadi apabila :
MS = MD ...(10) dimana :
Mt = Permintaan uang untuk transaksi Mj = Permintaan uang untuk berjaga-jaga Msp = Permintaan uang untuk spekulasi MD = Total permintaan uang
MS = Total penawaran uang Y = Pendapatan nasional r = Tingkat suku bunga
Persamaan (10) merupakan keseimbangan di pasar uang dan membentuk kurva LM. Keseimbangan internal terjadi apabila terjadi keseimbangan di pasar barang dan pasar uang atau (IS = LM) yang akan menentukan tingkat pendapatan nasional yang diukur dari sisi pengeluaran yang ditunjukkan oleh kurva permintaan agregat (Gambar 6f).
Perubahan-perubahan dalam aktivitas konsumsi, tabungan, pajak, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor akan merubah kurva IS yang selanjutnya akan merubah permintaan agregat. Begitu pula perubahan -perubahan dalam aktivitas moneter baik dari sisi permintaan maupun penawaran uang akan merubah kurva LM yang selanjutnya akan merubah permintaan agregat.
Keseimbangan dalam pasar barang dan pasar uang ini akan menentukan tingkat bunga. Kebijakan fiskal dicerminkan oleh pergeseran kurva IS, sedangkan kebijakan pemerintah dari segi moneter dicerminkan pada kurva LM.
Pendekatan pendapatan nasional tersebut didasarkan pada sisi pengeluaran, sehingga sulit digunakan untuk mengevaluasi perubahan -perubahan
ditunjukkan pada Gambar 6h. Dalam teori makro Glahe (1977), fungsi produksi agregat didefinis ikan sebagai berikut :
Y = f ( K, L, T, N) ...(11) dimana :
Y = Pendapatan nasional
K = Modal
L = Lahan
T = Teknologi N = Tenaga Kerja
Dalam jangka pendek diasumsikan bahwa K, T, L adalah tetap sehingga hanya N yang menjadi variabel input. Oleh karena itu fungsi produksi agregat dituliskan menjadi :
Y = f (N) ...(12) Mengacu pada teori makro ekonomi dan mengasumsikan pen awaran tenaga kerja elastis sempurna (perfectly elastic) pada upah W dan harga produk perusahaan adalah konstan pada P, maka keuntungan perusahaan dapat disajikan sebagai berikut :
p = (P.Y) – (W.N) ...(13) Keuntungan maksimum terjadi apabila turunan pertama dari fungsi keuntungan adalah nol, sehingga dp/dN = P.dY/dN – W = 0, dengan asumsi turunan kedua terpenuhi. Oleh karena dY/dN = MPn adalah produk marginal dari tenaga kerja, maka :
W = P.MPn ...(14) Persamaan (14) ini merupakan permintaan tenaga kerja yang digambarkan sebagai kurva permintaan tenaga kerja (ND) dalam Gambar 6i. Perubahan harga
diasumsikan bahwa upah tenaga kerja (W) bersifat kaku terhadap perubahan harga dalam jangka pendek sebagaimana asumsi Keynes, maka adanya perubahan harga (P) akan terjadi perubahan dalam pasar tenaga kerja akibatnya akan terjadi perubahan permintaan tenaga kerja, sehingga akan menyebabkan perubahan jumlah produksi. Begitu pula apabila terjadi perubahan tenaga kerja akibat naiknya jumlah penduduk dan angkatan kerja, juga akan menyebabkan perubahan permintaan tenaga kerja.
Penempatan kurva keseimbangan eksternal (EB) pada Gambar 6d dan 6f, maka akan diperoleh keseimbangan internal dan eksternal. Keseimbangan internal dan eksternal pada Gambar 6d adalah EB = IS = LM, dimana jika EB > (IS =LM) menunjukkan perekonomian dalam keadaan surplus, sebaliknya jika EB < (IS=LM) menunjukkan perekonomian dalam keadaan defisit, yang umumnya dilakukan dalam evaluasi jangka pendek. Sedangkan dalam jangka panjang keseimbangan internal dan eksternal ditunjukkan dalam Gambar 6f yaitu AS =AD = EB, dimana jika EB > (AS=AD) menunjukkan perekonomian dalam keadaan surplus, sebaliknya jika EB < (AS=AD) menunjukkan perekonomian dalam keadaan defisit (Glahe, 1977).
2.3.2. Nilai Hasil Produksi dan Harga
Asnawi (2005), dalam tulisannya menyatakan bahwa secara garis besar perhitungan pendapatan nasional dari sisi nilai produksi (Q) dirumuskan sebagai penjumlahan dari nilai produksi sektor dan sub sektor (Qij) :
Q = ? Qij ...(15)
dimana : Q = Total produksi
Masing-masing produksi Qij dianggap respon terhadap perubahan harganya, modal, dan tenaga kerja, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut :
Qij = f (Pij, Kij, Nij)...(16) dimana :
Pij = Indeks harga dari sektor i dan subsektor j Kij = Modal di sektor i dan subsektor j
Nij = Penggunaan tenaga kerja di sektor i dan subsektor j
Kekuatan harga domestik tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan pasar dalam negeri saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kekuatan pasar internasional. Oleh karena itu secara empiris besarnya harga domestik sangat dipengaruhi oleh produksi, konsumsi, harga impor dan ekspor, dan nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Secara matematis dapat dirumuskan seb agai berikut :
Pij = f ( Qij, Cij, PXij, PM ij, NT) ...(17) dimana :
Pij = Harga Qij = Produksi Cij = Konsumsi PXij = Harga ekspor PMij = Harga impor NT = Nilai tukar rupiah
2.3.3. Ekspor – Impor
Total ekspor merupakan penjumlahan dari masing-masing sektor atau sub sektor. Sementara total impor merupakan penjumlahan dari masing-masing sektor
besarnya impor dari masing -masing sektor dan sub sektor dipengaruhi oleh pajak / tarif impor, indeks harga impor, harga dunia, nilai tukar rupiah terhadap dollar US, harga domestik, dan produksi domestik (Asnawi, 2005). Sedangkan mengenai dampak pengenaan tarif impor dan pajak ekspor dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Pengenaan Tarif Impor
Pengenaan tarif sebagai pajak menyebabkan biaya perdagangan meningkat, harga barang-barang impor di negara pengimpor mengalami kenaikan, harga yang lebih rendah untuk barang-barang ekspor dan menurunnya volume perdagangan. Tarif dapat mengurangi pendapatan dunia, tetapi memberikan keuntungan bagi kelompok-kelompok tertentu dalam negara pengek spor dan pengimpor. Efek ekonomi dari pengenaan pajak ekspor sama dengan pengenaan tarif impor, karena pajak ek spor akan meningkatkan biaya ekspor dan mengurangi volume ekspor. Untuk negara-negara kecil, harga dunia tidak terpengaruh dan harga domestik lebih rendah sebesar jumlah pajak yang dikenakan (Caves dan
Jones, 1981).
tarif akan menggeser permintaan faktor relatif dan harga faktor relatif. Tarif impor
Permintaan domestik sebelum dik enakan tarif impor adalah sebesar 0Q1,
yaitu terdiri dari produksi domestik sebesar 0Q2 dan impor sebesar Q2Q1. Setelah
pemerintah mengenakan tarif sebesar PWP1 per unit, maka permintaan domestik
akan berubah menjadi 0Q3, yaitu terdiri dari produksi domestik sebesar 0Q4 dan
impor sebesar Q4Q3.
Dimana PW merupakan harga dunia, sedangkan P1 merupakan harga
domestik setelah diberlakukan tarif. Dengan adanya tarif, maka surplus produsen
bertambah dari sebesar luas area 5 menjadi sebesar 5 + 1, sedangkan surplu s konsumen berkurang dari sebesar luas area 1 + 2 + 3 + 4 + 6 + 7 menjadi sebesar luas area 6 + 7, dan penerimaan pemerintah dari tarif sebesar luar area 3. Dengan adanya tarif, maka telah terjadi deadweigh loss sebesar luas area 2 + 4, yaitu pada area 2 adalah inefisiensi akibat penambahan produksi domestik, sedangkan area 4 ditangkap oleh konsumen luar negeri.
2) Pengenaan Pajak Ekspor
Efek ekonomi dari pengenaan pajak ekspor adalah sama dengan pengenaan tarif impor. Pengenaan pajak ekspor meningkatkan biaya ekspor dan
Apabila keseimbangan mula-mula pada titik E, tingkat harga adalah 02A =
01P1 dan volume ekspor 02E1. Pajak ekspor menggeser kurva penawaran ekspor
naik ke E2s mengurangi ekspor ke 02E2. Harga domestik turun ke 02B = 01P2,
produksi turun ke 01Q3 dan konsumsi naik ke 01Q4. Pajak ekspor akan
menurunkan harga baik untuk produsen domestik maupun konsumen. Pajak ekspor merupakan penerimaan bagi pemerintah (Caves dan Jones, 1981).
2.3.4. Kebijakan Fiskal dan Moneter
Permasalahan utama dalam makroekonomi selalu dihubungkan dengan
permasalahan kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan fiskal yang banyak menyangkut masalah pajak dan belanja pemerintah merupakan alat kebijakan yang diperankan oleh pemerintah eksekutif. Sedangkan kebijakan moneter
dipegang oleh bank sentral selaku pemegang stok uang (Ekelund dan Tollison, 1996).
Komponen kebijakan fiskal meliputi penerimaan pajak, pengeluaran
pemerintah, dan investasi. Penerimaan pajak terdiri dari pajak ekspor yang besarnya tergantung dari nilai ekpsor, tarif impor yang besarnya tergantung dari nilai impor, pajak penghasilan yang besarnya tergantung dari pendapatan
nasional, dan pajak lainnya. Sedangkan pengeluaran pemerintah adalah pengeluaran total yang besarnya tergantung dari total penerimaan pemerintah yang melaui pajak dan bukan pajak, dan kondisi perekonomian secara makro
termasuk inflasi.
tidak langsung harga juga turut mempengaruhi tingkat invesatsi, karena dengan naik dan turunnya harga akan memberikan pengaruh terhadap perilaku investasi.
Sektor moneter bisa didekati berdasarkan perilaku permintaan dan penawaran uang. Berdasarkan teori Keynes, permintaan uang mempunyai tiga tujuan, yaitu : (1) tujuan transaksi, (2) tujuan berjaga-jaga, dan (3) tujuan spekulasi. Permintaan uang untuk tujuan transaksi dan berjaga-jaga besarny a ditentukan oleh tingkat bunga, sehingga banyaknya permintaan uang banyak dipengaruhi oleh tingkat suku bunga dan juga tingkat inflasi.
Sementara itu, jumlah penawaran uang sangat ditentukan oleh tingkat bunga pasar, inflasi, nilai tukar, dan intervensi pemerintah berupa giro wajib minimum atau cadangan wajib bank komersial. Oleh karena itu tingkat suku bunga dalam keseimbangan ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran uang (Asnawi, 2005).
pertumbuhan masih relatif rendah, yang diperkirakan hanya sekitar 5 persen pada tahun 2004.
Keadaan ekonomi riil, khususnya pengangguran dan kemiskinan, hingga akhir-akhir ini belum menunjukkan perkembangan yang cukup baik, Sebelum krisis, jumlah penduduk miskin dibawah 16 persen, namun ketika krisis datang pada pertengahan 1997, meningkat menjadi 40 persen. Hingga tahun 1999, angk a tersebut masih 23.4 persen dan pada tahun 2002 sekitar 18.2 persen. Pada tahun 2003, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup besar yakni mencapai 37 juta jiwa atau 17 persen dari julah penduduk. Diprediksikan dalam Propenas 2000-2004 bahwa angka kemiskinan tahun 2004 kemungkina hanya bisa ditekan hingga 16 persen. Komitmen untuk mengurangi utang luar negeri, yang akan membawa konsekuensi terhadap berkurangnya dana-dana pembiayaan pembangunan, mengurangi dana untuk penanggulangan kemiskinan.
Upaya menekan angka pengangguran dan kemiskinan memerlukan kebijakan-kebijakan yang komprehensif. Kebijakan moneter yang diterapkan setelah diberlakukannya UU No. 23/1999, yang hanya memfokuskan pada pengendalian inflasi dan nilai tukar rupiah, sulit diharapkan secara langsung dapat menekan pengangguran dan kemiskinan. Dengan kata lain, stimulus ekonomi melalui kebijakan moneter sulit dilakukan. Kebijakan fiskal lebih efektif untuk merangsang perekonomian.
berpendidikan memiliki kerentanan yang relatif kecil untuk menjadi penganguran (Yudhoyono, 2004).
2.4. Hasil Penenelitian Terdahulu
Kemiskinan di pedesaan dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran pemerintah untuk pertanian, pertumbuhan ekonomi, tingkat upah, serta rezim pemerintahan. Masing-masing pengeluaran pemerintah untuk pertanian, pertumbuhan ekonomi dan upah berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di pedesaan, menunjukkan peningkatan tiap-tiap variabel ini dapat mengurangi kemiskinan di pedesaan secara nyata. Sementara kemiskinan di perkotaan secara nyata dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, rezim pemerintahan dan desentralisasi (Yudhoyono, 2004).
Sementara Simatupang (2000), mengungkapkan bahwa salah satu keunggulan sektor pertanian ialah dalam hal pengentasan kemiskinan yang merupakan tujuan utama pembangunan ekonomi nasional. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertan ian sangat efektif dalam pengentasan kemiskinan, nilai peningkatan pendapatan perkapita dan penurunan harga makanan khususnya harga beras. Penurunan harga beras sangat efektif menurunkan jumlah penduduk miskin di pedesaan maupun di perkotaan. Peningakatan pendapatan per kapita sektor pertanian terutama berpengaruh nyata terhadap jumlah penduduk miskin di pedesaan.
3.1. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan studi literatur dan logika yang digunakan, analisis dampak kebijakan di sektor pertanian terhadap pengentasan kemiskinan melibatkan peubah-peubah yang saling mempengaruhi satu sama lain. Peubah-peubah tersebut berkontribusi dalam perancangan model yang akan digunakan. Dalam penelitian ini peubah-peubah yang digunakan selain peubah jenis kebijakan pertanian dan kemiskinan, juga melibatkan peubah kebijakan ekonomi makro seperti belanja pemerintah, GDP Nasional, pajak, inflasi, nilai tukar dan lain-lain. Kerangka pemikiran analisis dampak kebijakan sektor pertanian terhadap pengentasan kemiskinan menunjukkan hubungan antar aspek kebijakan pembangunan ekonomi melalui sektor pertanian dan peningkatan kesejahteraan dengan ditunjukkan adanya pengurangan angka kemiskinan. Setiap kebijakan yang diambil tentunya memiliki target yang ingin dicapai. Dari beberapa kebijakan pembangunan di sektor pertanian yang antara lain adalah kebijakan harga, kebijakan pasar, kebijakan input, kebijakan penguasaan lahan, kebijakan pembangunan sarana irigasi, kebijakan perkreditan, kebijakan mekanisasi pertanian dan kebijakan pengembangan penelitian pertanian akan dianalisis untuk melihat seberapa besar pengaruh dari masing-masing kebijakan yang telah diambil tersebut terhadap pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Untuk lebih jelasnya kerangka umum penelitian ini dapat dilihat pada diagram berikut :
Gambar 9. Alur Pemikiran Penelitian Pembangunan Pertanian
- Penyedia bahan pangan - Penyedia bahan baku primer - Penghasil devisa
Peningkatan Produksi dan Perbaikan Distribusi
Pembangunan Ekonomi
Peningkatan Pendapatan Petani
Kebijakan di sektor pertanian
Ø kebijakan harga, Ø kebijakan pasar, Ø kebijakan input,
Ø kebijakan penguasaan lahan,
Ø kebijakan pembangunan sarana irigasi, Ø kebijakan perkreditan,
Ø kebijakan mekanisasi pertanian dan
Ø kebijakan pengembangan penelitian pertanian
Ketersediaan Pangan
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
3.2. Hipotesis Penelitian
Dari tujuan yang telah ditentukan, dapat diperkirakan hipotesis yang akan ditentukan dalam penelitian ini, antara lain :
1. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara umum antara lain adalah faktor peningkatan anggaran pemerintah , peningkatan tingkat upah, peningkatan produksi pertanian, dan pertumbuhan ekonomi, sementara faktor inflasi dan krisis ekonomi akan semakin meningkatkan angka kemiskinan.
2. Kebijakan pembangunan sarana irigasi, mekanisasi, proteksi harga, penelitian pertanian, dan penambahan penguasaan lahan akan mengurangi tingkat kemiskinan. Kebijakan pada peubah makro ekonomi lainnya yang dapat mengurangi tingkat kemiskinan adalah penurunan suku bunga dan peningkatan upah riil.
Pemilihan peubah yang mampu mengurangi tingkat kemiskinan didasarkan pada hasil penelitian Yudhoyono (2004) yang menyatakan bahwa angka kemiskinan dipengaruhi oleh kebijakan peningkatan anggaran pemerintah atau kebijakan fiskal, pertuimbuhan ekonomi dan tingkat upah. Peningkatan produksi pertanian akan mampu menjamin peningkatan stok pangan nasional, sehingga akan memberikan jaminan pangan bagi masyarakat dan kemiskinan dapat dikurangi. Tingginya angka inflasi dan terjadinya krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia diduga sebagai faktor penyebab meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia, karena menyebabkan mahalnya faktor produksi sehingga banyak industri yang rugi dan memunculkan pengangguran baru, serta
Menurut Mitchel (1985), dalam perumusan model pembangunan pertanian di Korea, kebijakan pembangunan pertanian yang berupa pengadaan sarana irigasi, mekanisasi, proteksi harga, dan peningkatan penguasaan lahan akan meningkatkan jumlah produksi dan memperbaiki harga khususnya ditingkat petani. Penelitian di sektor pertanian diduga mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi pertanian, sehingga akan meningkatkan daya saing komoditas pertanian itu sendiri. Peubah makro ekonomi peningkatan upah riil yang proporsional akan meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat, serta penurunan tingkat suku bunga secara teori akan mendorong tingkat investasi, yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
3.3. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder time series tingkat nasional (Indonesia) tahun 1984 – 2003. Data ini bersumber dari Biro Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia, Departemen Pertanian, dan berbagai intansi terkait lainnya. Data yang didapatkan tersebut digunakan untuk melakukan pendugaan parameter berdasarnya model yang telah dibangun.
3.4. Spesifikasi Model