• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan lanskap kawasan wisata sejarah perkampungan Portugis di Kampung Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan lanskap kawasan wisata sejarah perkampungan Portugis di Kampung Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara"

Copied!
229
0
0

Teks penuh

(1)

KECAMAT

DEPART

INS

ATAN CILINCING, JAKARTA UTARA

AGNES KRISTANDI

ARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

(2)

Perkampungan Portugis di Kampung Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Dibimbing oleh NURHAYATI H. S. ARIFIN.

Studi ini bertujuan untuk menyusun suatu perencanaan lanskap wisata sejarah Kampung Tugu, dengan menampilkan lanskap, termasuk budaya masyarakat, yang merepresentasikan lanskap perkampungan Portugis pada masa kolonial Belanda. Manfaat yang diharapkan dari hasil studi ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah Jakarta Utara dalam merencanakan dan mengembangkan kawasan tersebut terutama dalam sektor kepariwisataan. Manfaat lain adalah untuk melestarikan keberadaan peninggalan sejarah, khususnya melalui kegiatan pariwisata.

Kawasan Kampung Tugu telah dihuni sejak tahun 1661. Kawasan ini dihuni sebanyak 23 keluarga (kurang lebih 150 jiwa) masyarakat Portugis yang mengalami kekalahan dari Belanda, dalam perang Malaka pada tahun 1641. Asal-usul nama Kampung Tugu sangat bervariasi, antara lain nama Tugu berasal dari kata por tugu ese(Portugis), sebutan orang Portugis yang tinggal di kampung itu. Namun, ada juga versi yang menyebutkan bahwa nama Tugu dikaitkan dengan penemuan sebuah prasasti (tugu) batu bertuliskan huruf Pallawa dari masa kekuasaan Raja Purnawarman, Kerajaan Taruma(negara) yang dikenal dengan nama Prasasti Tugu.

Studi mengenai perencanaan lanskap kawasan wisata sejarah Kampung Tugu dilaksanakan pada wilayah Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Berdasarkan wilayah administratifnya, Kelurahan Semper Barat berbatasan dengan Jalan Raya Cilincing/Kelurahan Kali Baru di sebelah utara, Jalan Raya Cilincing/Kelurahan Semper Timur di sebelah timur, Kali Cakung Lama di sebelah barat, dan Kali Gubuk Genteng di sebelah selatan. Kelurahan Semper Barat memiliki luas kawasan sebesar 159,7 ha, pada ketinggian 2 meter dari permukaan laut.

Metode studi yang digunakan adalah metode perencanaan lanskap menurut Gold (1980) dengan pendekatan aktivitas. Tahapan perencanaan mencakup kegiatan inventarisasi melalui pengumpulan data primer serta sekunder, analisis dengan metode skoring, analisis spasial, dan analisis deskriptif, penyusunan konsep, sintesis, dan perencanaan lanskap.

(3)

Kampung Tugu melalui kegiatan wisata sejarah. Upaya pelestarian kawasan ditempuh melalui kegiatan wisata sejarah yang efektif, sehingga dapat memperkenalkan nilai sejarah dan budaya masyarakat asli Tugu. Berdasarkan konsep tersebut dikembangkan beberapa konsep lain seperti konsep ruang, konsep sirkulasi, konsep aktvitas dan fasilitas wisata, konsep tata hijau, dan konsep pelestarian kawasan.

Konsep ruang yang diterapkan merupakan konsep yang didapatkan dari hasil overlay antara zonasi pelestarian dan zonasi wisata sejarah. Zonasi pelestarian maupun zonasi wisata sejarah didapatkan berdasarkan hasil skoring terhadap kawasan studi. Berdasarkan hasil overlay tersebut didapatkan tiga ruang utama, yaitu ruang inti, ruang penyangga (transisi), dan ruang pengembangan.

Ruang inti merupakan ruang yang menampung atraksi dan objek wisata utama dari keseluruhan tapak. Peletakan objek dan atraksi diperhitungkan dengan seksama agar dapat memberikan pengetahuan dan informasi baru bagi para wisatawan. Selain itu, dalam pemanfaatannya ruang ini memperhatikan kelestarian objek dan atraksi wisata.

Ruang penyangga merupakan ruang yang berfungsi sebagai pembatas ruang inti agar dalam pengembangannya tidak rusak dan tetap terjaga kelestariannya. Pada ruang penyangga terdapat juga ruang transisi, dimana ruang ini menghubungkan ruang inti dengan ruang pengembangan. Adapun ruang pengembangan merupakan ruang yang terdapat fasilitas penunjang dan fasilitas pengelolaan kawasan wisata.

Konsep sirkulasi memiliki dasar untuk menghubungkan antar ruang, serta menghubungkan antar objek dan atraksi wisata. Sirkulasi pada tapak dibagi menjadi 3 jenis yaitu sirkulasi primer, sirkulasi sekunder, dan sirkulasi tersier. Masing-masing sirkulasi terletak pada ruang yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan fungsi setiap ruang. Sirkulasi berfungsi sebagai penunjang kegiatan pada setiap ruang, sehingga kegiatan wisata dapat berjalan secara efektif dengan memberikan pengetahuan baru, kepuasaan, dan kenyamanan kepada pengunjung.

Konsep tata hijau dikembangkan menjadi rencana tata hijau. Konsep tata hijau akan menunjang kegiatan wisata sejarah. Tanaman yang dipergunakan sebagian besar merupakan tanaman endemik dan tanaman yang dipergunakan pada masa perkampungan Portugis di Kampung Tugu. Konsep vegetasi tersebut bertujuan untuk memberikan interpretasi kepada pengunjung mengenai kondisi ruang terbuka hijau, termasuk hutan, ladang, sawah-sawah, dan rawa di Perkampungan Portugis, serta untuk menunjang kegiatan wisata sejarah.

(4)

sebagai fasilitas penunjang wisata sejarah.

Rencana jalur interpretasi dikembangkan dari konsep interpretasi berdasarkan pada periode perkembangan sejarah dan pola kehidupan serta aktivitas masyarakat pada kawasan Kampung Tugu. Tema interpretasi pada kawasan Kampung Tugu diangkat dari periode perkampungan Portugis pada kawasan Kampung Tugu yang merepresentasikan perkembangan sejarah. Sarana interpretasi yang direncanakan adalah sarana yang dapat merepresentasikan nilai sejarah dan budaya dengan merealisasikan keadaan perkampungan Portugis pada kawasan Kampung Tugu.

Rencana perjalanan wisata merupakan pengembangan dari rencana jalur sirkulasi. Penyusunan rencana wisata diterapkan dalam beberapa paket wisata yang dibuat berdasarkan pada jenis perjalanan wisata maupun jenis wisatawan. Dalam hal ini paket wisata yang dibuat berdasarkan jenis perjalanan wisata adalah paket wisata yang dimulai dari rumah tua (museum) dan paket wisata yang dimulai dari kawasan Gereja Tugu. Sedangkan paket perjalanan wisata berdasarkan jenis wisatawan adalah paket wisata bagi wisatawan yang datang secara individu (dan bagi wisatawan dalam kelompok.

(5)

KECAMATAN CILINCING, JAKARTA UTARA

AGNES KRISTANDI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

(6)

Nama : Agnes Kristandi NRP : A44061527

Menyetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc. NIP. 19620121 198601 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001

(7)

Agnes Kristandi dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 September 1988. Penulis merupakan putri tunggal dari pasangan Yohanes Budiyanto dan Emmy Budiyanto. Pendidikan yang ditempuh penulis dimulai dari TK Cor Jesu Marsudirini Jakarta pada tahun 1995-1997, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan pada SD Marsudirini Jakarta pada tahun 1997-2000, SMP St. Vincentius Jakarta pada tahun 2000-2003, dan SMA Fons Vitae Jakarta tahun 2003-2006.

Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), dan pada tahun 2007 diterima sebagai mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap melalui jalur mayor-minor. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan dalam kegiatan Departemen Arsitektur Lanskap maupun kegiatan Keluarga Mahasiswa Katolik (Kemaki). Selain itu, penulis juga pernah menjadi pengurus divisi PSDM Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (Himaskap) periode 2008-2009.

(8)

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi. Skripsi dengan judul “Perencanaan Lanskap Kawasan WisataSejarah Perkampungan Portugis di Kampung Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dengan Mayor Arsitektur Lanskap dan Minor Kewirausahaan Agribisnis dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini terdorong oleh keinginan untuk membantu upaya pelestarian kawasan Kampung Tugu, karena saat ini kawasan tersebut sangat kurang pemeliharaan serta perhatian dari pemerintah daerah maupun pengelola. Selain itu, sebagai suatu alternatif untuk menumbuhkan rasa kepedulian dan menghargai sejarah dan budaya Bangsa melalui kegiatan pariwisata.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, MSc. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penyusunan skripsi hingga selesai

2. Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Agr, Sc. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan pengarahan selama penulis menjadi mahasiswa 3. Kedua orang tua dan keluarga besar atas setiap cinta, doa, dukungan, dan

bantuannya yang telah memberikan kekuatan kepada penulis dalam menyelesaikan studi ini.

4. Mahro Syihabuddin atas cinta, perhatian, kesabaran, dan dukungannya. 5. Keluarga besar IKBT (Ikatan Keluarga Besar Tugu), Bapak Andre J.

(9)

7. Masyarakat Kampung Tugu atas bantuannya dan kesediaannya selama melakukan wawancara guna pengumpulan data.

8. Keluarga besar Arsitektur Lanskap 43 tercinta atas persahabatan, dukungan, dan doa.

9. Keluarga besar Arsitektur Lanskap 40, 41, 42, 44, dan 45 atas dukungannya.

10. Keluarga besar Arsitektur Lanskap (staf pengajar dan staf penunjang) atas ilmu, bimbingan, dan bantuanya selama penulis menjadi mahasiswa. Semoga hasil studi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang terkait dan berguna sebagai refrensi bagi penelitian lain yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang.

Bogor, Oktober 2010

(10)

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

1.3. Manfaat ... 3

1.4. Kerangka Pikir ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1. Lanskap Sejarah ... 5

2.2. Pelestarian lanskap Sejarah... 6

2.3. Benda Cagar Budaya... 10

2.4. Pemanfaatan Lanskap Sejarah Sebagai Kawasan Wisata... 12

2.5. Perencanaan Lanskap Wisata... 14

BAB III METODOLOGI... 16

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

3.2. Batasan Penelitian... 17

3.3. Tahapan dan Metode Penelitian... 17

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 23

4.1. Kondisi Umum... 23

4.1.1. Lokasi... 23

4.1.2. Aksessibilitas dan Sirkulasi ... 25

4.1.3. Tata Guna Lahan... 28

4.1.4. Biofisik... 31

4.1.4.1. Klasifikasi Jenis Tanah ... 31

4.1.4.2. Klasifikasi Kesesuaian Lahan ... 32

4.1.4.3. Kondisi Hidrologi ... 34

(11)

4.2. Kesejarahan Kawasan ... 41

4.2.1. Sejarah Kampung Tugu ... 41

4.2.2. Sejarah Gereja Tugu ... 42

4.2.3. Elemen Lanskap Sejarah... 46

4.2.3.1. Makam Gereja Tugu ... 46

4.2.3.2. Rumah Tua... 47

4.2.3.3. Peninggalan Arkeologi ... 49

4.3. Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat ... 50

4.3.1. Pola Pemukiman Penduduk ... 50

4.3.2. Elemen Lanskap Budaya ... 52

4.3.2.1. Masyarakat Tugu ... 52

4.3.2.2. Kroncong Tugu ... 55

4.3.2.3. Bahasa Portugis... 58

4.3.2.4. Perayaan Natal ... 60

4.3.2.5. Rabo-rabo... 61

4.3.2.6. Mandi-mandi... 61

4.3.2.7. Festival Kampung Tugu... 62

4.3.2.8. Makanan Khas Kampung Tugu ... 64

4.3.2.9. Pakaian Tradisional Masyarakat Tugu ... 65

4.3.2.10. Tarian Portugis... 67

4.3.3. Persepsi dan Harapan Masyarakat ... 68

4.4. Kepariwisataan... 74

4.4.1. Daya tarik dan Objek Wisata ... 74

4.4.2. Benda Cagar Budaya ... 82

4.4.3. Fasilitas Penunjang ... 84

4.4.4. Aspek Legal... 90

4.4.5. Pengelolaan Kawasan... 93

(12)

BAB V KONSEP... 111

5.1. Konsep Dasar Perencanaan Tapak... 111

5.2. Konsep Ruang ... 111

5.3. Konsep Aksessibilitas dan Sirkulasi... 114

5.4. Konsep Aktivitas Wisata ... 116

5.5. Konsep Fasilitas Wisata ... 116

5.6. Konsep Tata Hijau... 117

5.7. Konsep Pelestarian Kawasan... 119

BAB VI PERENCANAAN... 121

61. Rencana Ruang Wisata ... 121

6.2. Rencana Sirkulasi ... 123

6.3. Rencana Jalur Interpretasi ... 124

6.4. Rencana Fasilitas ... 127

6.5. Rencana Tata Hijau ... 138

6.6. Rencana Perjalanan Wisata ... 140

6.7. Rencana Lanskap Wisata Sejarah Portugis Kampung Tugu ... 147

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN... 150

7.1. Kesimpulan ... 150

7.2. Saran ... 152

DAFTAR PUSTAKA... 153

(13)

1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian... 17

2. Kelompok, Jenis dan Sumber Data... 19

3. Data Iklim ... 36

4. Objek Wisata pada Tapak ... 77

5. Atraksi Budaya yang Terdapat pada Tapak ... 78

6. Kriteria Penilaian Zonasi Wisata Sejarah ... 80

7. Kriteria Penilaian Zonasi Pelestarian... 102

8. Jumlah Pengunjung Objek Wisata Jakarta Utara... 104

9. Analisis dan Sintesis Tapak ... 106

10. Hubungan Ruang dan Tanaman... 119

11. Daya Tampung dan Total Pengunjung Setiap Ruang ... 120

12. Las Area yang Direncanakan pada Tapak ... 123

13. Rencana Ruang, Aktivitas, dan Fasilitas Wisata ... 137

14. Rencana Ruang, Jenis Tanaman, dan Fungsi Tanaman... 139

15. Rencana Paket Perjalanan Wisata Individu ... 143

(14)

1. Kerangka Pikir Penelitian ... 4

2. Lokasi Penelitian... 16

3. Tahapan Perencanaan Lanskap ... 18

4. Peta Lokasi Kawasan Penelitian ... 23

5. Lokasi Penelitian... 25

6. Peta Aksessibilitas Menuju Tapak ... 26

7. Peta Tata Guna Lahan Kelurahan Semper Barat ... 29

8. Peta Tata Guna Lahan Kawasan Kampung Tugu ... 31

9. Peta Jenis Tanah... 32

10. Kondisi Hidrologi Kawasan Kampung Tugu ... 34

11. Intensitas Curah Hujan DKI Jakarta ... 37

12. Vegetasi pada Tapak ... 39

13. Kebaktian di dalam Gereja Tugu III ... 43

14. Sekolah Tugu ... 43

15. Perkembangan Gereja Tugu... 45

16. Lonceng Gereja Tugu ... 45

17. Piring-piring Logam dan Mimbar Tua... 46

18. Makam tua di kawasan Gereja Tugu ... 47

19. Rumah Tua Peninggalan Masyarakat Asli Tugu ... 48

20. Bagian Depan Rumah Tua ... 48

(15)

24. Alat Musik Kroncong Prounga, Macina, dan Jitera... 56

25. Acara Mandi-mandi ... 62

26. Penampilan Krontjong Toegoe pada Festival Kampung Tugu 2008... 63

27. Pameran Foto Etnografi masyarakat Tugu ... 63

28. Tarian Tradisional Portugis pada Festival Kampung Tugu ... 64

29. Pakaian Tradisional Portugis ... 66

30. Pakaian Pemain Kroncong... 67

31. Tarian Tradisional Portugis ... 68

32. Derajat Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat Asli Tugu... 69

33. Faktor Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat Asli Tugu ... 69

34. Peran Serta Masyarakat Asli Tugu dalam Aktivitas Wisata... 70

35. Derajat Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat Pendatang ... 71

36. Faktor Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat Pendatang ... 72

37. Peran Serta Masyarakat Pendatang dalam Aktifitas Wisata ... 72

38. Objek Wisata Pada Tapak... 76

39. Zonasi Wisata Sejarah ... 81

40. Pintu ... 85

41. Pos Jaga... 86

42. Tempat Sampah ... 87

43. Area Parkir pada Kawasan Gereja Tugu... 88

(16)

47. Zonasi Pelestarian ... 103

48. Analisis dan Sintesis ... 110

49. Konsep Ruang... 112

50. Rencana Blok ... 115

51. Peta Jalur Interpretasi... 126

52. Ilustrasi Gerbang Utama pada Tapak... 128

53. Ilustrasi Area Parkir Mobil Tipe Tegak Lurus 900... 129

54. Ilustrasi Papan Interpretasi Sejarah... 130

55. Ilustrasi Papan Penunjuk Arah... 131

56. IlutrasiName Sign... 132

57. Ilustrasi Pusat Registrasi Dan Penjualan Tiket ... 132

58. Ilustrasi Perpustakaan ... 134

59. IlustrasiSite Furniture... 136

60. Peta Perjalanan Wisata... 142

61. Rencana Lanskap ... 148

(17)
(18)

1.1. Latar Belakang

Pada masa kolonial, Indonesia pernah dijajah oleh beberapa negara sebelum pada akhirnya merdeka. Negara-negara yang pernah berkuasa di Indonesia diantaranya adalah Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol dan Jepang. Pada masa pemerintahannya, mereka memusatkan pemerintahan mereka di wilayah Jakarta, yang dahulu dikenal dengan Sunda Kelapa yang akhirnya berganti nama menjadi Batavia setelah ditaklukkan oleh Jan Pieterszoon Coen pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia.

Periode penjajahan memberikan warna baru bagi perkembangan sosio-kultural di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai peninggalan sejarah baik peninggalan asli maupun hasil akulturasi antara bangsa penjajah dengan pribumi. Semua peninggalan tersebut memberikan ciri dari setiap periode kolonial. Bangsa Belanda yang memiliki periode terlama pada masa kolonial tentunya memberikan warna yang lebih dibandingkan bangsa lainnya. Namun demikian hal tersebut tidak menutup kemungkinan adanya bukti sejarah asli maupun hasil akulturasi dari bangsa lainnya, seperti beberapa peninggalan yang berhubungan dengan orang pribumi, orang Tionghoa, imigran Arab dan India.

(19)

Dalam perkembangannya orang Portugis yang semula merupakan tawanan Belanda kemudian dibebaskan, dan mereka mengembangkan kebudayaan Portugis pada kawasan tersebut (Heuken, 1997).

Saat ini, Kampung Tugu merupakan salah satu dari beberapa kampung khas dan daerah pemukiman dengan gedung-gedung yang menonjolkan serta mencirikan nilai arsitektural bersejarah sebagai kawasan yang dilindungi menurut Undang-undang No. 5 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah DKI Jakarta No. 9 tahun 1999 tentang benda cagar budaya. Kawasan ini termasuk ke dalam salah satu benda cagar budaya yang berada di wilayah Jakarta Utara. Oleh sebab itu, kawasan ini dilestarikan dan terintegrasi secara utuh dalam rencana pembangunan. Bila hal ini tidak dapat terealisasi maka Jakarta akan menjadi suatu kota yang tidak dapat memberikan inspirasi bagi penduduknya akan kekayaan warisan budaya dan sejarahnya.

Kawasan Kampung Tugu telah direncanakan sebagai salah satu objek wisata dalam kegiatan wisata pesisir oleh Pemerintah Daerah Jakarta Utara. Dalam pemanfaatannya sebagai objek wisata, kawasan Kampung Tugu seharusnya dapat memperkenalkan kekayaan sejarah dan budaya yang merupakan peninggalan periode kolonial kepada masyarakat Jakarta pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

(20)

wisata yang akan dilaksanakan dapat berjalan secara efektif dan dapat memberikan kenyamanan bagi pengunjung.

1.2. Tujuan

Kegiatan studi ini adalah menyusun suatu perencanaan lanskap wisata sejarah Kampung Tugu, agar aktifitas wisata sejarah dapat berjalan efektif dan menjaga kelestarian karakterisitik historiknya, dengan tetap mempertahankan aktifitas dan budaya masyarakat serta karakter unik dari lanskap Kampung Tugu.

1.3. Manfaat

Hasil studi diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam merencanakan dan mengembangkan daerahnya terutama dalam sektor kepariwisataan dan melestarikan keberadaan peninggalan sejarah, khususnya melalui kegiatan pariwisata.

1.4. Kerangka Pikir

Lanskap Kampung Tugu, Jakarta Utara, terdiri dari tiga lanskap utama, yaitu lanskap sejarah, lanskap wisata, dan lanskap permukiman. Lanskap sejarah terdiri dari nilai sejarah dari setiap objek serta atraksi yang terdapat pada tapak, kebutuhan, dan upaya pelestarian kawasan khususnya pada benda cagar budaya serta benda bernilai sejarah. Lanskap wisata sangat ditentukan oleh daya tarik dari setiap objek dan atraksi wisata, interpretasi yang dapat ditangkap oleh pengunjung, daya dukung yang sesuai bagi setiap objek dan kawasan tujuan wisata, dan kenyamanan yang diharapkan pengunjung. Lanskap permukiman merupakan lanskap yang didominasi oleh permukiman masyarakat sehingga dalam pengembangan wisata diperlukan persepsi masyarakat mengenai kawasan dan kegiatan wisata, serta partisipasi masyarakat pada kegiatan wisata yang akan dikembangkan.

(21)
(22)

2.1. Lanskap Sejarah

Lanskap sejarah (historical landscape) menurut Harris dan Dines (1988), secara sederhana dapat dinyatakan sebagai bentukan lanskap tempo dulu (landscape of the past), yang terdiri dari informasi fisik tentang keberadaan manusia pada suatu tempat. Lanskap sejarah mampu bertahan hingga keadaan masa kini namun tetap menampilkan keadaan pada masa lalu secara berkelanjutan, serta mengikuti perkembangan pembangunan. Lanskap sejarah juga memiliki fokus kepada lanskap budaya, diantara kontribusi manusia terhadap keadaan awal suatu tempat.

Lanskap sejarah merupakan bagian dari bentuk suatu lanskap budaya yang memiliki dimensi waktu didalamnya, yang juga dapat dinyatakan sebagai suatu kawasan geografis yang merupakan objek atau susunan (setting) atas suatu kejadian atau peristiwa interaksi yang bersejarah dalam keberadaan dan kehidupan manusia (Nurisyah dan Pramukanto, 2001).

Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), suatu bentukan lanskap dikatakan memiliki nilai sejarah bila memiliki minimal satu kriteria dan/atau alasan sebagai berikut:

1. Etnografis, yang merupakan produk khas suatu sistem ekonomi dan sosial suatu kelompok/suku masyarakat (etnik). Dua bentuk utama dari lanskap ini yaitu rural landscape (lanskap pedesaan) dan urban landscape (lanskap perkotaan).

(23)

- Urban landscape, yaitu bentuk lanskap yang berhubungan dengan pembangunan kota dan kehidupan perkotaan

2. Associative, suatu bentuk lanskap yang berasosiasi atau yang dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa, personal, masyarakat, legenda, pelukis, estetika, dan sebagainya.

3. Adjoining, adalah bentukan lanskap yang merupakan bagian dari suatu unit tertentu, bagian monumen, atau bagian struktur bangunan tertentu.

2.2. Pelestarian Lanskap Sejarah

Nurisyah dan Pramukanto (2001), mengungkapkan bahwa pelestarian lanskap sejarah dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan yang negatif atau yang merusak keberadaannya atau nilai yang dimilikinya.

Secara lebih spesifik dalam kaitannya dengan lanskap, Harris dan Dines (1988) mengajukan 4 (empat) hal utama dilakukannya tindakan preservasi untuk pelestarian lanskap sejarah ini, yaitu:

(1) Untuk menyelamatkan karakter estetik dari suatu areal, wilayah atau properti a. Untuk menekan kesinambungan antara masa lalu dengan masa sekarang b. Untuk melengkapi struktur kesejarahan

c. Untuk menahan degradasi karakter lingkungan

d. Untuk menginterprestasikan kehidupan sejarah dari seseorang, suatu kejadian, dan suatu tempat

(2) Untuk mengkonservasi sumberdaya

a. Untuk mempertahankan pepohonan, tanaman-tanaman semak, dan berbagai jenis tanaman lainnya

b. Untuk memperpanjang umur kehidupan dari suatusite features

(24)

d. Untuk mengurangi kegiatan pemeliharaan (3) Untuk memfasilitasi pendidikan lingkungan

a. Untuk mengilustrasikan nilai, cita rasa, proses, dan teknologi yang telah dimiliki pada masa yang lampau

b. Untuk mengevaluasi keterpakaian dari teknologi tempo dulu untuk digunakan pada saat sekarang

(4) Untuk mengakomodasi perubahan-perubahan kebutuhan akan hunian, baik yang terdapat dalam kawasan perkotaan, di tepi kota, maupun di kawasan pedesaan.

Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), kriteria untuk melakukan tindakan pelestarian atau preservasi didasarkan atas pertimbangan faktor-faktor:

(1) Makna sejarah (Historical significance)

- Pertimbangan didasarkan pada kepentingan relatif dari makna kesejarahan dan keunikannya

(2) Extant historic resources

- Pertimbangan didasarkan pada jumlah dan tipe dari features utama yang terkait dengan periode sejarah tapak tersebut

- Integritas historikal dari beberapa sumberdaya yang dapat dipertahankan keberadaannya (Historical integrity of surviving resources)

(3) Kondisi sumberdaya sejarah - Kondisi struktural

- Kondisi material tanaman (4) Seleksi periode sejarah

- Kepentingan dari asosiasi sejarah

(25)

- Keterkaitan antar sumberdaya eksisting dengan keterkaitan sejarah - Kondisi sumberdaya saat ini

- Ketersediaan informasi sejarah pada periode yang otentik untuk upaya restorasi

Bangunan dan daerah bersejarah tertentu dikatakan sebagai unsur kualitas perkotaan yang positif. Perlindungan (pemeliharaan) terhadap kawasan bersejarah tidak hanya mempunyai nilai intrinsik, melainkan juga mempunyai dampak ekstrensik sehingga dapat mendorong perbaikan daerah di sekitarnya. Menurut Catanese dan Snyder (1988), terdapat beberapa kategori perlindungan terhadap benda bersejarah, yaitu:

- Daerah alami

Daerah ini biasanya berbentuk daerah pantai, perkebunan, hutan, lereng perkebunan, dan lokasi-lokasi arkeologis. Kelompok pemelihara setempat biasanya bertindak sebagai konservator pada daerah lanskap.

- Skyline dan pemandangan koridor

Pada bangunan-bangunan tinggi diberlakukan pengendalian dan pembatasan ketinggian. Bentuk serta ketinggian skyline berada di bawah pengawasan secara seksama. Pembatasan tersebut ditujukan untuk menjamin bahwa pemandangan-pemandangan dari tempat lain serta dari bangunan-bangunan penting dan bersejarah dilindungi dari kerusakan.

- Wilayah

Kategori wilayah yang dilindungi biasanya merupakan daerah-daerah dengan konsistensi stylistis atau suatu tempat tradisional. Tempat-tempat tersebut dilindungi dari pembongkaran dan pengaruh orang luar atau perubahan-perubahan baru. Perhatian sebaiknya diberikan tidak hanya untuk memelihara daerah berciri arsitektur, tetapi juga ciri kehidupannya.

- Bentang jalan

(26)

hasil dari suburbanisasi banyak pusat perdagangan yang memburuk dan kehilangan perannya. Dalam beberapa kasus, usaha untuk memlihara jalan utama telah berada pada skala daerah dan mencakup rencana bagian arah pergerakan kendaraan dan tempat parkir. Namun, dalam kasus lain, sebagian besar perhatiannya dicurahkan bagi pemeliharaan penampilan tradisional jalan utama sebagai kenangan masa lalu.

- Bagian depan suatu gedung

Telah umum ditemukan beberapa gedung sejarah yang tetap mempertahankan bagian depan dari gedung tersebut, sementara perkembangan pembangunan terhadap gedung tersebut, seperti penyisipan bangunan yang lebih besar biasanya dilakukan pada bagian belakang gedung. Hal tersebut meupakan upaya dari perlindungan benda bersejarah, dengan dua tujuan utama, yaitu: (1) mempertahankan ciri jalan yang berada di bagian depan gedung bersejarah, dan (2) memungkinkan eksploitasi nilai lahan baru melalui konstruksi bangunan terhadap pasar real estate. Sasaran kritik terhadap metode pemeliharaan bersejarah ini mungkin melebihi dibandingkan pada bagian lain, karena makna (spirit) dari bangunan asli sering hilang bila dipenuhi dengan konstruksi baru dengan ciri dan skala yang berbeda.

- Bangunan

Pemeliharaan bangunan perorangan (individual) mempunyai sejarah paling lama dan merupakan tindakan pemeliharaan paling umum. Ini disebabkan adanya pola hak milik, bangunan tersendiri lebih mudah untuk dikendalikan dibandingkan dengan sekelompok bangunan. Hal ini juga dikarenakan pola dasar pemeliharaan yang hanya mengidentifikasikan bangunan bernilai tinggi, paling banyak, paling baik, paling tua untuk penyelamatan.

- Benda dan bagian bangunan (fragmen)

(27)

2.3. Benda Cagar Budaya

Benda cagar budaya memiliki dua definisi berdasarkan Undang-undang tentang Cagar Budaya No. 5 tahun 1992, yaitu:

1. Benda buatan manusia yang bergerak, maupun tidak bergerak yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

2. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan

Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, menjabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya, yaitu:

1. Tolok ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi simbol nilai kesejarahan pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

2. Tolok ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun.

3. Tolok ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya.

4. Tolok ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan simbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut.

(28)

Kepemilikan benda cagar budaya berdasarkan Undang-undang RI No. 5 tahun 1992 Bab III pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang.

Kegiatan pemugaran pada Benda Cagar Budaya harus sangat diperhatikan, terutama dari keaslian bentuk, bahan, tehnik pengerjaan, dan tata letak. Berikut adalah prasyarat kegiatan pemugaran benda cagar budaya (Suantra, 2010):

1). Keaslian Bentuk

Keaslian bentuk bangunan harus dikembalikan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan antara lain foto-foto lama, dokumen tertulis, saksi hidup, atau studi teknis.

2). Keaslian Bahan

a). Dalam pemugaran bahan bangunan yang harus digunakan adalah bahan asli dan harus dikembalikan ke tempatnya semula.

b). Apabila bahan bangunan mengalami rusak ringan maka harus dilakukan perbaikan dan pengawetan sehingga dapat digunakan kembali

c). Apabila telah rusak berat atau hilang, maka dapat diganti dengan bahan baru. Namun bahan pengganti harus sama, baik jenis maupun kualitasnya. 3). Keaslian Tata Letak

a). Tata letak bangunan harus dipertahankan dengan lebih dahulu melakukan pemetaan

b). Keletakan komponen-komponen bangunan seperti hiasan, arca, dan lain-lain harus dikembalikan ke tempat semula.

4). Keaslian Teknologi Pengerjaan

(29)

a). Teknologi pembuatan b). Teknologi konstruksi

Benda cagar budaya yang termasuk ke dalam bangunan museum memiliki beberapa persyaratan pendirian, diantaranya adalah dalam hal pendirian bangunan dimana berdasarkan bangunannya museum dapat dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu bangunan pokok (pameran tetap, pameran temporer, auditorium, kantor, laboratorium konservasi, perpustakaan, bengkel preparasi, dan ruang penyimpanan koleksi) dan bangunan penunjang (pos keamanan, museum shop, tiket box, toilet, lobby, dan tempat parkir). Selain dapat dikelompokan bangunan museum juga dapat berupa bangunan baru atau dapat juga memanfaatkan bangunan lama, dengan memperhatikan prinsip-prinsip konservasi (Direktorat Permuseuman, 2000). 2.4. Pemanfaatan Lanskap Sejarah Sebagai Kawasan Wisata

Wisatawan menurut Yoeti (1996) adalah setiap orang yang berpergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan tujuan menikmati perjalanan dan kunjungannya itu. Sedang pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu untuk menikmati perjalanan dan kunjungan itu (Yoeti, 1996).

Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2009), wisata merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dengan pergerakan manusia yang melakukan perjalanan dan persinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke satu atau beberapa tempat tujuan di luar dari lingkungan tempat tinggalnya. Kegiatan tersebut didorong oleh berbagai keperluan dan tanpa bermaksud untuk mencari nafkah tetap.

(30)

dikunjungi wisatawan; dan atraksi wisata adalah segala perwujudan dan sajian alam serta kebudayaan, yang secara nyata dapat dikunjungi, disaksikan dan dinikmati wisatawan di suatu kawasan wisata (Gunn, 1993).

Menurut Morley (1990) dalam Ross (1994) menyatakan bahwa permintaan akan pariwisata tergantung pada ciri-ciri wisatawan, seperti penghasilan, umur, motivasi, dan watak. Masing-masing dari ciri-ciri tersebut akan mempengaruhi kecenderungan orang untuk berpergian mencari kesenangan, kemampuannya untuk berpergian, dan pilihan tempat tujuan perjalanannya. Permintaan juga ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri tempat tujuan perjalanan, daya tariknya, harga dan efektif tidaknya kegiatan memasarkan tempat tujuan. Kebijaksanaan dan tindakan pemerintah dapat mendorong atau menurunkan permintaan akan pariwisata secara langsung dan sengaja, dan secara tidak langsung melalui faktor-faktor yang penting bagi wisatwan, seperti keamanan. Selain itu, faktor-faktor sosial dapat mempengaruhi permintaan, seperti sikap penduduk setempat pada para wisatawan dan minat yang dibangkitkan oleh budaya setempat.

Selain itu, menurut Allen, Long, Perdue dan Keiselbach (1988) dalam Ross (1994), terdapat tujuh aspek fungsi masyarakat: pelayanan umum, faktor ekonomi, faktor lingkungan, pelayanan kesehatan, peran serta warga, pendidikan formal dan pelayanan rekreasi bersama dan pembangunan pariwisata. Dimana dari ketujuh faktor tersebut peran serta warga, pelayanan umum dan lingkungan merupakan hal-hal yang paling peka dalam perkembangan pariwisata.

Menurut Pendit (2002), terdapat tiga kebutuhan utama yang harus dipenuhi oleh suatu daerah untuk menjadi tujuan wisata:

(31)

Sedangkan, untuk daerah tujuan wisata sejarah, termasuk didalamnya adalah kota-kota bersejarah yang mempunyai bangunan-bangunan bergaya arsitektur unik, monumen, balairung, teater, dan sebagainya.

Black (1990) dalam Ross (1994), mengatakan bahwa bangunan bersejarah memainkan peranan penting dalam memikat wisatawan dan sudah terbukti banyak pemasukan yang dapat diperoleh dari upaya pelestarian. Salah satunya adalah dengan menyesuaikan bangunan bersangkutan sehingga mempunyai nilai ekonomi.

2.5. Perencanaan Lanskap Wisata

Dalam kegiatan perencanaan lanskap, proses perencanaan dinyatakan sebagai suatu proses yang dinamis, saling terkait, dan saling mendukung satu dengan lainnya. Proses ini merupakan suatu alat terstruktur dan sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan awal dari suatu bentukan fisik dan fungsi lahan/tapak/bentang alam, keadaan yang diinginkan setelah dilakukan berbagai rencana perubahan, serta cara dan pendekatan yang sesuai dan terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan tersebut (Nurisyah dan Pramukanto, 2009).

Morley (1990) dalam Ross (1994) menyatakan bahwa dalam perencanaan pariwisata dibutuhkan pertimbangan berdasarkan tiga unsur dasar yang merupakan sendi model pariwisata, pertama wisatawan dan perjalanan, artinya orang yang melakukan perjalanan dan bermalam dan tempat tujuan. Kedua adalah organisasi dan fasilitas yang dinikmati wisatawan, karena pariwisata itu rumit, luas, dan membawa dampak. Ada lagi dampaknya pada ‘Pihak Lain’ atau pihak-pihak seperti pemerintah, masyarakat, ekonomi, dan orang-orang lain yang terlibat secara tidak langsung.

(32)

diklasifikasi melalui pengguna, area perencanaan atau level dari pelayanan pemerintah. Perbedaan ini dijelaskan melalui orientasi, skala analisis, dan produk dari perencanaan wisata.

Perencanaan suatu kawasan wisata juga membutuhkan perencanaan fasilitasnya, dimana seharusnya fasilitas wisata tersebut dikelompokkan menjadi satu wilayah. Selain itu, wilayah-wilayah khusus harus dibangun untuk menunjang keberadaan fasilitas wisata. Pembangunan fasilitas wisata harus lebih daripada sekedar menempatkan bangunan-bangunan, karena sebagian dari daya tarik wisata biasanya terletak pada pusat kota, tempat dengan nilai sejarah, dan sebagainya, dan biasanya dibangun dengan lokasi yang ditujukkan untuk faktor-faktor yang berbeda (Law, 1993).

Perencanaan wisata merupakan aliran sistematik dari antisipasi, sebab pelestarian maupun pengawasan terhadap perubahan yang berhubungan dengan kepentingan umum dan kepuasan pribadi. Perencanaan wisata juga merupakan proses yang berkelanjutan dari perubahan dalam respon terhadap nilai sosial, pola kehidupan, teknologi, legislasi, dan melihat ketersediaan dari sumberdaya.

(33)

DKI JAKARTA

(34)
(35)
[image:35.612.98.548.82.550.2]

Gambar 3. Tahapan Perencanaan Lanskap

Tahapan penelitian dalam proses perencanaan Kawasan Wisata Sejarah Kampung Tugu, Jakarta Utara ini dapat diuraikan, sebagai berikut:

1. Inventarisasi

Tahap ini merupakan tahap pengambilan data, berupa pengumpulan data primer melalui survei lapang dan pengumpulan data sekunder berdasarkan jenis data yang terkait dengan konsep perencanaan Kawasan Kampung Tugu melalui

Perkampungan Portugis Kampung Tugu Jakarta Utara

Lanskap Sejarah Aspek Wisata

Kondisi Lanskap: - Kondisi fisik alami - Pola Pemukiman - Elemen bersejarah - Pola RTH - Sosial-budaya

masyarakat - Landform, landuse

Kesejarahan: - Sejarah kawasan

Kampung Tugu - Kondisi dan elemen

yang mengandung nilai sejarah dan budaya

- Sistem pengelolaan/ pelestarian

Kondisi Fisik Penunjang Wisata: - Aksessibilitas - Sirkulasi - Fasilitas wisata

Kondisi Sosial-Ekonomi-Budaya: - Demografi dan

karakteristik penduduk

- Aktivitas sosial-ekonomi penduduk - Persepsi, harapan dan

pengaruh masyarakat sekitar

- Karakter pengunjung - Aktivitas pengunjung - Preferensi

pengunjung - Data pengunjung

Kebijakan/ Aspek Legal: - Tata ruang - Pengemb angan kawasan

1. Identifikasi Unit Lanskap Sejarah (Arsitektur Bangunan, Pola Pemukiman, Pola RTH) 2. Penilaian Daya Tarik Objek dan Atraksi WIsata

3. Kebijakan yang Mendukung 4. Keinginan Masyarakat

1. Konsep Pelestarian Lanskap 2. Konsep Pengembangan Wisata

Rencana Lanskap Kawasan Wisata Sejarah Kampung Tugu, Jakarta Utara (Zonasi Ruang Wisata, Jalur Interpretasi, Fasilitas dan Uitilitas Wisata, Sarana dan

Prasarana Wisata, Ruang Aktivitas, Tata Hijau, Aksessibilitas, Dan Sirkulasi) Inventarisasi

Analisis

Sintesis

Perencanaan

(36)

berbagai pihak antara lain pengelola kawasan Kampung Tugu, Ikatan Keluarga Besar Tugu (IKBT), serta beberapa dinas terkait, seperti sub dinas Kebudayaan Jakarta Utara, BMKG, Dinas Tata Ruang DKI Jakarta, BAPEDA DKI Jakarta, Balai Penelitian Tanah, dan Kelurahan Semper Barat.

Data yang diambil meliputi aspek lanskap sejarah, yaitu data pola pemukiman masyarakat Tugu di masa lalu serta pola pemukiman masyarakat asli Tugu di masa sekarang, fasilitas dan elemen bersejarah, sosial-budaya masyarakat, pola RTH, kesejarahan, serta pengelola atau pelestarian. Sedangkan data aspek wisata, meliputi kondisi fisik kawasan, kondisi sosial (pengunjung dan masyarakat), serta kebijakan atau aspek legal. Data dapat berbentuk data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung baik melalui survei lapang maupun wawancara, dan data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi pustaka (Tabel 2).

Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang berhubungan dengan pengembangan tapak, seperti pengelola kawasan dan pemerintah daerah Jakarta Utara. Berdasarkan wawancara diperoleh informasi tentang kehidupan sosial dan ekonomi, aktivitas yang biasa dilakukan, serta keinginan atau preferensi pengunjung maupun masyarakat sekitar. Sedangkan, studi pustaka dilakukan untuk memperoleh data biofisik, kesejarahan, aspek legal, serta sosial-ekonomi masyarakat.

Tabel 2. Kelompok, Jenis dan Sumber Data

Kelompok Data Jenis Data Sumber

Lanskap Sejarah 1. Pola Pemukiman - Tata Letak - Bentuk Pemukiman 2. Fasilitas/Elemen Bersejarah - Jumlah

- Jenis - Letak - Kondisi Fisik 3. Pola RTH

- Tata Letak Vegetasi - Pola Penanaman

4. Sosial-Budaya Masyarakat 5. Sejarah Kawasan Kampung Tugu 6. Pengelolaan/Pelestarian

- Struktur Organisasi

- Jadwal Kegiatan Pengelolaan

Survei, Studi Pustaka Survei, Studi Pustaka

Wawancara, Survei, Studi Pustaka Wawancara, Survei, Studi Pustaka Wawancara, Survei, Studi Pustaka Wawancara, Survei, Studi Pustaka Survei

Survei, Studi Pustaka

Survei, Wawancara, Studi Pustaka Pengelola, Studi Pustaka

(37)

Kelompok Data Jenis Data Sumber

- Tenaga Kerja - Metode Kerja

Wawancara, Survei Wawancara, Survei Wisata 1. Biofisik

- Letak - Batas Tapak - Aksessibilitas - Luas - Iklim

a. Temperatur b. Curah Hujan c. Kelembapan - Tanah - Topografi - Hidrologi a. Kualitas b. Letak - Sirkulasi - Tata Guna Lahan - Kependudukan

a. Jumlah b. Kelompok Etnis c. Pola Penyebaran 2. Pengunjung - Jumlah - Perilaku

- Aktivitas Pengunjung - Lama Berkunjung - Keinginan Pengunjung 3. Masyarakat - Sosial-Ekonomi - Aktivitas

- Persepsi Dan Keinginan Masyarakat 4. Kebijakan/Aspek Legal

- Peraturan Tata Ruang

- Peraturan Pengembangan Wilayah

Kelurahan Semper Barat Kelurahan Semper Barat Survei PEMDA

Kelurahan Semper Barat BMKG

BMKG BMKG

Balai Penelitian Tanah

Kelurahan Semper Barat, Pengelola Survei

Survei Survei

Dinas Tata ruang DKI Jakarta Kelurahan Semper Barat Kelurahan Semper Barat Wawancara, Studi Pustaka Pengelola, Survei Survei

Survei, Wawancara Pengelola, Survei Wawancara

Kelurahan Semper Barat Survei

Wawancara

Sub Dinas Kebudayaan, Studi Pustaka Sub Dinas Kebudayaan, Studi Pustaka

2. Analisis

Tahap ini merupakan tahap pengolahan data yang telah terkumpul. Analisis yang dilakukan meliputi metode skoring, analisis spasial, dan analisis deskriptif. - Analisis dengan metode skoring dilakukan untuk menentukan titik lokasi

(38)

wisata sejarah antara lain keterkaitan zonasi dengan sejarah masyarakat Tugu, jumlah objek, tata guna lahan, pengaruh kepadatan penduduk, fasilitas wisata, dan variasi kegiatan.

Perhitungan analisis melalui metode scoring:

 Interval Kelas (IK) = Skor maksimum (SMA)–Skor minimum (SMI) Jumlah Kategori (3)

= 12–0 3 = 4

 Kategori : A. Tinggi = (SMI + 2.IK + 1) sampai SMA = (0 + 2.4 + 1) sampai 12

= 9 sampai 12

B. Sedang = (SMI + IK + 1) sampai (SMI + 2.IK) = (0 + 4 + 1) sampai ( 0 + 2.4)

= 5 sampai 8

C. Rendah = SMI sampai (SMI + IK) = 0 sampai ( 0 + 4)

= 0 sampai 4

- Analisis spasial merupakan tahapan analisis untuk menentukan tata ruang wisata dan tata ruang pelestarian sesuai dengan analisis skoring.

- Analisis deskriptif untuk mengetahui potensi dan kendala dari tapak dengan membuat deskripsi dari karakter lanskap pada tapak penelitian.

Hasil analisis yang diperoleh disajikan dalam bentuk deskripsi dan peta. Hasil ini selanjutnya akan diolah melalui tahapan sintesis.

3. Konsep

(39)

nilai-nilai dan elemen-elemen sejarah dan budaya masyarakat asli Tugu, dengan memanfaatkan atraksi budaya melalui hubungan antar zona kesejarahan.

4. Sintesis

Pada tahap ini dilakukan integrasi dari hasil-hasil analisis yang telah diperoleh dengan konsep yang akan dikembangkan. Hasil dari tahap sintesis adalah didapatkan tata ruang yang dikembangkan sebagai kawasan wisata sejarah Kampung Tugu. Tata ruang tersebut dikembangkan dalam bentuk konsep dasar, konsep ruang, konsep sirkulasi, konsep aktivitas dan fasilitas wisata, konsep vegetasi, konsep pelestarian kawasan, konsep interpretasi, dan konsep jalur wisata.

5. Perencanaan

(40)

4.1.1. Lokasi

Kawasan penelitian ini terletak pada wilayah Jakarta Utara, Kecamatan

Cilincing, Kelurahan Semper Barat, Kampung Tugu (Gambar 4). Kelurahan

Semper Barat memiliki batas wilayah, yaitu sebelah utara berbatasan dengan Jalan

Raya Cilincing/Kelurahan Kali Baru, sebelah timur berbatasan dengan Jalan Raya

Cilincing Kelurahan Semper Timur, sebelah barat berbatasan dengan Kali Cakung

Lama dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kali Gubuk Genteng. Kelurahan

Semper Barat memiliki luas kawasan sebesar 159,7 ha, yang terdiri dari 17 RW

dan 245 RT. Kelurahan ini berada pada ketinggian 2 meter dari permukaan laut,

dan berjarak 25 km dari pusat pemerintahan propinsi DKI Jakarta, 10 km dari

[image:40.612.97.514.358.660.2]

pusat pemerintahan kotamadya, dan berjarak 5 km dari kecamatan.

Gambar 4. Peta Lokasi Kawasan Penelitian

(41)

Kawasan Kampung Tugu merupakan kawasan yang mengalami

pemekaran wilayah kelurahan pada November 1986. Daerah ini yang semula

termasuk pada wilayah administratif Kelurahan Tugu, setelah pemekaran terpecah

menjadi tiga wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Tugu Utara, Kelurahan Tugu

Selatan, dan Kelurahan Semper Barat (Dinas Museum dan Sejarah, 1993).

Kawasan Kampung Tugu yang menjadi objek studi ini berada pada daerah

administratif Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing.

Berdasarkan S. K. Gubernur Nomor Cb. 11/1/12/72, kawasan Gereja Tugu

sebagai benda cagar budaya memiliki zona perlindungan dalam radius 600 meter.

Namun, saat ini keberadaan kawasan disekitar Kawasan Gereja Tugu, tidak

memungkinkan untuk diberlakukan sebagai zona perlindungan. Hal tersebut

dikarenakan banyaknya pemukiman penduduk, kawasan industri, serta kawasan

perkantoran, sehingga tidak memperlihatkan karakter Portugis yang menjadi

karakter khas dari kawasan ini. Begitu juga dengan keberadaan elemen bersejarah

pada kawasan perlindungan, elemen yang terdapat saat ini hanya kawasan Gereja

tugu dan kawasan Rumah Tua. Pemukiman penduduk asli Tugu yang dahulu

berada di sekeliling Gereja Tugu saaat ini telah bercampur dengan penduduk lain,

sedangkan karakter Portugis telah hilang karena perubahan arsitektur rumah serta

pemukiman yang telah padat penduduk.

Oleh karena itu, kawasan penelitian yang memperlihatkan karakter

masyarakat Portugis berdasarkan denah Keluarga Tugu (Lampiran 1) yang

terdapat pada sekitar kawasan Gereja Tugu sampai dengan kawasan rumah tua

(Gambar 5). Adapun, kawasan industri berupa garasi truk kontainer akan diubah

fungsinya agar dapat menunjang kegiatan wisata, hal ini sesuai dengan penertiban

kawasan tersebut yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah Jakarta Utara1.

1

(42)

4.1.2. Aksessibilitas dan Sirkulasi

Aksessibilitas pada kawasan penelitian dapat ditempuh melalui beberapa

jalur sirkulasi. Jalur sirkulasi utama yang terdapat pada kawasan ini adalah Jalan

Raya Tugu (Gambar 6). Untuk mencapai jalur sirkulasi utama ini dapat ditempuh

hanya menggunakan jalur darat, karena transportasi air yang pernah ada pada

kawasan ini, yaitu Kali Cakung sudah tidak berfungsi lagi dikarenakan oleh

kondisi Kali Cakung yang sudah tercemar.

Jalur sirkulasi darat dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan

umum, baik berupa bus patas, metromini, mikrolet, koperasi wahana kalpika

(KWK), ojek dan becak, maupun dengan menggunakan kendaraan pribadi. Sarana

transportasi menuju kawasan penelitian memiliki jalur yang jelas serta mudah

untuk diakses.

Sarana transportasi umum yang menuju kawasan Kampung Tugu

memudahkan bagi para pengunjung, karena sarana transportasi ini tersedia mulai

dari terminal-terminal besar di Jakarta, seperti Terminal Bus Senen, Terminal Bus

Pulo Gadung, dan Terminal Bus Tanjung Priok.

Bagi wisatawan yang berangkat dari Stasiun Tanjung Priok, Jakarta

Utara, dapat melanjutkan perjalanan menuju kawasan Gereja Tugu dengan

angkutan kota bernomor 01 arah jalur Cakung-Cilincing. Setelah itu, berhenti di

jalan Raya Tugu,

Gambar 5. Lokasi Penelitian

(43)
[image:43.791.68.696.90.576.2]

Gambar 6. Peta Aksessibilitas Menuju Tapak ✆

(44)

kemudian tinggal berjalan kaki, dengan jarak sekitar 250 meter. Jika berangkat

dari Terminal Bus Senen, maka dapat menggunakan angkutan umum yaitu

Metromini bernomor 07 arah jalur Senen-Semper dan selanjutnya berhenti di

Pasar tugu untuk melanjutkan dengan KWK nomor 02 yang akan melewati Jalan

Raya Tugu. Begitu juga dengan wisatawan yang berangkat dari Terminal Bus

Pulo Gadung, dapat menggunakan angkutan umum, yaitu Metromini bernomor 41

arah jalur Pulo Gadung-Tanjung Priok, selanjutnya berhenti di Pasar Tugu dan

melanjutkan dengan KWK bernomor 02.

Wisatawan yang ingin berkunjung ke kawasan Kampung Tugu dengan

menggunakan kendaraan pribadi dapat melalui Jalan Yos Sudarso, Tanjung Priok,

dan selanjutnya menuju ke arah Semper melalui Pasar Ular Plumpang, setelah

melalui perlimaan Semper, mengambil jalur ke arah Pasar Tugu dan selanjutnya

melalui Jalan Raya Tugu.

Perkembangan jaman, menjadikan kawasan ini mengalami perubahan

fungsi menjadi kawasan industri, terutama karena letaknya yang dekat dengan

Pelabuhan Tanjung Priok. Perubahan fungsi ini juga berpengaruh terhadap jalur

sirkulasi menuju kawasan Kampung Tugu. Jalur sirkulasi menuju kawasan ini

padat dan seringkali terjadi kemacetan, terutama pada pagi dan sore hari.

Permasalahan sirkulasi menuju tapak juga terdapatnya kerusakan pada beberapa

bagian jalur sirkulasi berupa jalan yang berlubang maupun jalan yang

bergelombang. Maka, seharusnya jalur sirkulasi pada kawasan ini lebih

diperhatikan seperti menertibkan kegiatan industri dan pembuatan jalur khusus

bagi truk-truk besar agar tidak terjadi kepadatan dan tidak menganggu aktivitas

wisata yang nantinya akan dikembangkan.

Kawasan Kampung Tugu merupakan salah satu kawasan cagar budaya

yang terdapat di Indonesia dan dilestarikan secara khusus. Maka dari itu,

sebaiknya pemerintah memperhatikan jalur sirkulasi yang berada disekitar

kawasan Gereja Tugu maupun aksessibilitas menuju kawasan Kampung Tugu,

dengan memberikan penunjuk jalan yang jelas serta dapat dimengerti dengan baik.

Hubungan antara transportasi dan tata guna lahan sangatlah penting.

Bermacam-macam pola pengembangan lahan menghasilkan bermacam-macam

(45)

mempengaruhi pola pengembangan lahan. Pada lingkungan perkotaan, sistem

transportasi dan pola tata guna lahan saling berpengaruh, dengan berubahnya

salah satu dari bagian tersebut akan menghasilkan perubahan pada bagian yang

lain. Maka dari itu, harus dilakukan perbaikan terhadap sistem transportasi, salah

satunya data dilakukan dengan Transportation System Management (TSM).

Beberapa usaha yang dapat dilakukan dalam daftar TSM, meliputi: perbaikan arus

kendaraan, perlakuan istimewa bagi kendaraan berpenumpang banyak,

mengurangi periode puncak perjalanan, manajemen parkir, perbaikan angkutan

(kota) dan “angkutan pinggiran”, pembatasan penggunaan kendaraan atau

menggunakan kendaraan berpenumpang banyak, strategi manajemen angkutan,

dan manajemen perjalanan yang lebih baik yang berkenaan dengan pekerjaan.

4.1.3. Tata Guna Lahan

Berdasarkan data statistik wilayah DKI Jakarta tahun 2005, pengunaan

lahan pada kawasan Kecamatan Cilincing sebagian besar merupakan lahan

terbangun, antara lain pemanfaatan sebagai lahan pemukiman penduduk sebanyak

32.68%, lahan industri sebanyak 25.59%, kantor dan pergudangan sebanyak

4.81%. Sedangkan, lahan tidak terbangun pemanfaatannya hanya sebagai lahan

pertanian sebanyak 15.28%, serta terdapat pemanfaatan lahan lainnya sebanyak

(46)

Kelurahan Semper Barat merupakan kawasan dengan penggunaan lahan

sebesar 82.7% merupakan lahan terbangun. Dimana pemanfaatan lahan terbangun

sebagian besar merupakan kawasan pemukiman penduduk, pemanfaatan lain

adalah sebagai areal industri, perkantoran, dan pergudangan. Sedangkan untuk

penggunaan lahan yang merupakan lahan terbuka terdiri dari sungai, ruang

terbuka hijau, lahan pertanian, dan lahan kosong.

Kondisi penggunaan lahan pada Kelurahan Semper Barat mengalami

perkembangan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang menempati

kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan kondisi kawasan DKI Jakarta yang semakin

padat penduduk, sehingga semakin banyak lahan pertanian dan lahan terbuka

hijau lainnya yang semakin berkurang dan digantikan dengan lahan pemukiman.

Kawasan rawa dan hutan yang semula berada pada kawasan ini, saat ini sudah

[image:46.612.105.521.65.406.2]

hilang dan digantikan dengan lahan terbangun. Perkembangan penggunaan lahan Gambar 7. Peta Tata Guna Lahan Kelurahan Semper Barat

(47)

terbangun sebagai lahan industri dikarenakan lokasi yang berdekatan dengan

Pelabuhan Tanjung Priok, sehingga banyak dibangun gudang penyimpanan peti

kemas serta garasi bagi truk-truk pengantar barang.

Kampung Tugu yang pada mulanya termasuk salah satu daerah pertanian

yang menghasilkan padi yang cukup potensial, sekarang sudah memasuki era

pembangunan. Sebagian daerah pertanian telah berkembang menjadi daerah

pemukiman dan daerah industri. Sawah-sawah yang tersisa, walaupun masih

dipakai sebagai tanah garapan, sudah tidak diolah lagi. Selanjutnya daerah

persawahan yang masih ada akan dijadikan daerah pemukiman dan industri sesuai

dengan rencana induk pembangunan Pemerintah DKI Jakarta. Di sepanjang jalan

raya sekarang tidak lagi kita jumpai pohon-pohon yang rindang atau padi yang

sedang menguning, melainkan sudah menjadi tempat pemukiman, pertokoan,

bengkel, dan gudang-gudang.

Lingkungan disekitar kawasan Kampung Tugu terdiri dari lahan terbangun

antara lain pemukiman pendudut yang rapat, kawasan industri sebagai garasi bagi

truk-truk container, dan lahan terbangun lainnya. Namun terdapat pula lahan

terbuka, seperti kawasan terbuka hijau, Kali Cakung, dan lahan tidak terbangun

(Gambar 8).

Kawasan industri yang berada di sekitar kawasan penelitian sangat tidak

sesuai bagi kegiatan wisata. Ketidaksesuaian tersebut terutama karena banyaknya

debu dan polusi yang disebabkan oleh padatnya kegiatan lalu lalang kendaraan

serta keadaan lingkungan yang kering dan sangat jarang terjadi hujan. Kawasan

industri akan lebih baik jika direlokasi menjadi satu kawasan khusus dan

digantikan dengan peruntukan lahan yang dapat menunjang kegiatan wisata.

Keberadaan lahan pemukiman yang padat penduduk di sekitar kawasan

penelitian dapat dimanfaatkan bagi kegiatan wisata, yaitu dengan memberikan

penyuluhan kepada masyarakat tentang kegiatan wisata maupun dengan

mempertahankan kegiatan sosial yang dapat mendukung kegiatan wisata. Namun

lahan pemukiman juga harus diperhatikan perkembangannya agar tidak semakin

mengurangi lahan terbuka yang berada di sekitar kawasan dengan melakukan

(48)

4.1.4. Biofisik

4.1.4.1. Klasifikasi Jenis Tanah

Kawasan Gereja Tugu berada dalam Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.

Berdasarkan peta jenis tanah (Gambar 9), kawasan Jakarta Utara memiliki jenis

tanah dengan simbol Ujung Petang (UPG).

Tanah dengan simbol UPG termasuk jenis tanah dengan taksonomi

Ustipsamments dan Tropaquents. Berdasarkan taksonomi tersebut dapat diketahui

(49)

Tanah entisol merupakan jenis tanah yang baru mulai berkembang yang

dicirikan oleh belum terjadinya perkembangan horizon tanah. Jenis tanah ini

penyebarannya sangat bervariasi di Indonesia, namun sebagian besar daerah

penyebarannya merupakan kawasan pantai dan rawa. Tekstur tanah entisol

cenderung berpasir baik pada lapisan tanah bagian atas maupun bagian bawahnya

(Soepardi, 1983).

Jenis tanah entisol yang biasanya dipergunakan sebagai lahan pertanian

dan perkebunan (Hardjowigeno, 2003). Hal ini memperkuat keadaan Kampung

Tugu yang dahulu merupakan daerah sawah, rawa, dan hutan.

4.1.4.2. Klasifikasi Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan untuk peruntukan pertanian, perkebunan, maupun

peruntukan lainnya dipengaruhi oleh jenis tanah dan geologinya. Kesesuaian

lahan berdasarkan tipe penggunaan lahan tertentu, pada kawasan Kecamatan

Cilincing dapat dibagi menjadi peruntukan lahan untuk pekarangan, pertanian

lahan kering, pertanian lahan basah, peternakan, perikanan air payau, pengairan

[image:49.612.128.527.78.287.2]

pasang surut, tanaman perdagangan, perhutan tanian, dan penghutanan kembali. UPG

Gambar 9. Peta Jenis Tanah

(50)

Jenis tanah entisol yang terdapat pada kawasan Kecamatan Cilincing

merupakan jenis tanah yang kurang baik dan kurang subur, karena jenis tanah ini

merupakan jenis tanah yang baru berkembang sehingga kesuburannya kurang.

Penggunaan lahan pada jenis tanah entisol hanya sesuai bagi peruntukan lahan

penghutanan kembali. Sedangkan bagi penggunaan lahan untuk pekarangan,

termasuk dalam sistem lahan yang tidak sesuai yang mempunyai faset kecil sesuai

didalamnya. Tipe penggunaan lahan lain tidak sesuai karena penggunaan lahan

pada kawasan ini tidak memungkinkan untuk dipakai secara tetap (Turkandi T.,

Sidarto, D. A. Agustyanto, dan M. M. P. Hadiwidjojo, 1992).

Berdasarkan kelas kesesuaian lahan menurut Jawatan Pengawetan Tanah

dan Air Amerika Serikat dikenal delapan kelas kesesuaian lahan. Dari kelas

kesesuaian lahan tersebut jenis tanah pada Kecamatan Cilincing, termasuk

kedalam kelas VIII, dimana lahan yang termasuk ke dalam kelas ini merupakan

lahan yang tidak boleh dipakai untuk produksi tanaman secara komersial.

Penggunannya hanya terbatas pada kegiatan rekreasi, cagar alam, sumber air dan

tujuan-tujuan keindahan. Biasanya tanah yang termasuk ke dalam kelas VIII

adalah pantai berpasir, tonjolan batu, dan daerah luapan sungai.

Kesesuaian lahan yang berada pada kawasan Kecamatan Cilincing

disesuaikan dengan pengunaannya untuk kegiatan wisata yang akan direncanakan

pada kawasan Kampung Tugu, seperti kemampuan untuk menunjang sarana dan

prasarana wisata. Hal lain yang harus diperhatikan adalah kondisi tanah yang

sangat sering dilalui oleh kendaraan-kendaraan berat. Kawasan Jakarta Utara

merupakan kawasan rawan banjir, karena letaknya yang merupakan tempat

bermuara sembilan sungai dan dua banjir kanal. Hal ini perlu dipertimbangkan,

khususnya bagi kegiatan wisata, agar kegiatan wisata dapat tetap berlangsung

tanpa terganggu oleh kemungkinan bencana banjir.

Keadaan kawasan Kampung Tugu saat ini sudah sangat memprihatinkan,

terutama dalam hal penggunaan lahan untuk menunjang bangunan-bangunan

bersejarah, banyak bagian bangunan yang mengalami keretakan dan bangunan

mengalami perubahan khususnya dalam hal kemiringan bangunan yang berubah

(51)

b. Drainase a. Kali Cakung

Perubahan dan kerusakan yang terjadi pada bangunan-bangunan tersebut, tidak

lepas dari permasalahan kendaraan-kendaraan berat yang melalui kawasan ini,

Maka sebaiknya pemerintah daerah memperhatikan hal tersebut dengan

melindungi kawasan bersejarah dan kawasan penting lainnya dari kawasan

industri.

4.1.4.3. Kondisi Hidrologi

Kawasan Kampung Tugu merupakan kawasan yang dikelilingi oleh

sumber air yang potensial sebagai sarana transportasi air, yaitu Kali Cakung.

Selain itu, hidrologi yang berada pada kawasan Kampung Tugu juga berasal dari

drainase besar yang berada pada sisi-sisi Jalan Raya Tugu (Gambar 10).

Drainase yang terdapat pada sisi Jalan Raya Tugu memiliki lebar 1 m dan

kedalaman 1 m, dengan bahan dasar semen yang dibentuk sesuai ukuran lebar dan

kedalaman drainase. Lokasi dari drainase tersebut adalah di sebelah utara dan

barat tapak yang berbatasan langsung dengan pagar yang membatasai kawasan

Gereja Tugu, dan juga pada sisi kiri serta kanan Jalan Raya Tugu. Fungsi saluran

drainase ini adalah untuk mengalirkan air yang berasal dari Jalan Raya Tugu

menuju Kali Cakung. Kondisi drainase kurang baik, karena air yang mengalir

pada saluran drainase ini sangat kotor, berwarna keruh, dan banyak terdapat

sampah, namun alirannya sangat lancar.

(52)

Kali Cakung dapat dimanfaatkan kembali sebagai sarana transportasi air

bagi masyarakat sekitar maupun bagi para wisatawan yang berkunjung ke

kawasan Gereja Tugu. Kali Cakung sebagai sarana transportasi air juga dapat

mendukung kegiatan wisata, karena dapat menghubungkan Gereja Tugu dengan

kawasan wisata lain di Jakarta Utara, seperti Jakarta Islamic Center dan Rumah Si

Pitung, karena Kali Cakung juga mengalir melalui kawasan-kawasan tersebut.

Namun pengembalian fungsi Kali Cakung sebagai transportasi air tidaklah mudah,

membutuhkan program pembersihan kondisi Kali Cakung yang tepat, agar dapat

tercipta kondisi yang sesuai untuk dimanfaatkan sebagai sarana transportasi yang

nyaman. Pemerintah dapat bekerja sama dengan warga sekitar Kali Cakung untuk

melakukan pembersihan Kali Cakung serta pengembalian kondisi air Kali Cakung

agar tidak berbau serta tidak berwarna dan jauh dari sampah.

4.1.4.4. Kondisi Iklim

Kawasan Gereja Tugu termasuk kedalam wilayah Jakarta Utara yang

merupakan kawasan pantai beriklim panas. Suhu udara rata-rata pada kawasan ini

28.660C, dengan suhu udara maksimum 33.950C, dan suhu udara minimum

23.630C. Sedangkan curah hujan rata-rata pada daerah ini sebesar 149.99

mm3/bln, tekanan udara 1009.86 mb, kecepatan angin 3.60 knot, penyinaran

(53)

Kondisi iklim pada kawasan studi ini merupakan kawasan dengan iklim

pantai yang panas. Iklim pantai yang panas menyebabkan kawasan ini menjadi

kawasan kering dan memiliki curah hujan yang rendah sehingga menyebabkan

banyaknya debu pada kawasan Kampung Tugu dan sekitarnya. Berdasarkan

pengamatan langsung di lapang, didapatkan hasil bahwa kenyamanan pada

kawasan penelitian sangat kurang khususnya dari segi iklim. Banyaknya debu dan

kendaraan yang lewat menyebabkan debu tersebut berterbangan dan menganggu

para pejalan kaki. Menurut Gambar 11. Intensitas hujan BMKG DKI Jakarta,

dapat dilihat bahwa kawasan Jakarta Utara termasuk kedalam kawasan dengan

intensitas hujan yang rendah, maka dari itu, keadaan curah hujan yang rendah

pada kawasan penelitian harus dipertimbangkan khususnya untuk pemilihan

[image:53.612.136.524.107.315.2]

vegetasi yang akan ditanam dan untuk menunjang kenyamanan kegiatan wisata. Tabel 3. Data Iklim

(54)

Pengaruh keadaan iklim terhadap kenyamanan thermal yang merupakan

suatu kondisi yang dirasakan oleh manusia bukan oleh benda, binatang, dan

arsitektur, tetapi dikondisikan oleh lingkungan dan benda-benda sekitar

arsitekturnya (Surjamanto, 2000).

Keberadaan tapak yang berada pada kawasan pantai dengan sinar matahari

yang cukup menyengat dapat dilakukan dengan mengurangi radiasi matahari yang

masuk ke tapak dengan menggunakan sun shading (pembayangan matahari),

dimana pembayangan ini memiliki tiga tipe, antara lain pembayangan vertikal,

pembayangan horizontal, dan kombinasi pembayangan vertikal dan horizontal.

Tipe pembayangan yang terakhir adalah tipe yang paling efektif, karena sekaligus

dapat menyelesaikan arah sinar matahari vertikal dan horizontal.

4.1.4.5. Kondisi Vegetasi dan Satwa

Vegetasi memiliki peranan penting untuk mengontrol runoff, erosi,

stabilitas kemiringan tanah, iklim mikro, dan bising. Di dalam sebuah

perencanaan tapak vegetasi tidak hanya digunakan untuk mengontrol lingkungan,

tetapi juga untuk menambah keindahan, bingkai ruang, mempengaruhi perilaku

[image:54.612.185.479.75.280.2]

pedestrian, dan mengontrol pembatas.

(55)

Kawasan Kampung Tugu merupakan kawasan yang terletak di sekitar

pantai utara Jakarta, sehingga iklim, tanah, serta kondisi fisik yang berada pada

kawasan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi pantai. Begitu juga dengan vegetasi

yang berada pada kawasan ini, sebagian besar merupakan pepohonan besar yang

dibiarkan tumbuh tanpa pola tertentu dan terdapat pula beberapa vegetasi khas dan

dominan berada pada kawasan sekitar Kampung Tugu.

Vegetasi khas secara budaya dan sejarah yang terdapat pada kawasan

Kampung Tugu, antara lain sawo kecik, sengon, dan ketapang (Gambar 12).

Selain vegetasi khas tersebut, terdapat pula beberapa vegetasi lain yang ditanam

pada kawasan ini seperti pohon asem yang sudah tumbuh rimbun dan besar,

pohon asem ini konon menurut narasumber2 disebutkan bahwa ditanam oleh

puteri mantan presiden Indonesia kedua, yaitu ibu Siti Hardianti Rukmana. Pohon

ini ditanam bersamaan dengan pohon sawo kecik. Hanya saja, sawo kecik sudah

tidak terdapat lagi pada kawasan Kampung Tugu.

Vegetasi yang terdapat pada kawasan Gereja Tugu, antara lain kamboja

yang banyak terdapat disekitar kuburan, cemara yang terdapat di luar pagar

pembatas kawasan Gereja Tugu, sengon, sawo Belanda, dan akasia yang banyak

terdapat di sekitar tempat parkir.

2

(56)

Beberapa vegetasi y

terdapat pada tapak seperti

ketapang (Terminalia catap

juga merupakan vegetasi kh

pantai.

Selain vegetasi yang

besar merupakan serangga

kupu-kupu, belalang, capung

Vegetasi serta satwa

kawasan Kampung Tugu

ataupun mengurangi keindah

ini berada kurang diperhatik

endemik yang dapat emper

dilakukan penataan vegetasi

dapat menambah keindahan

digunakan pepohonan yang

seperti yang telah ada pada

kenyamanan.

Ga (a) Pohon Asem (Tamar

i yang merupakan vegetasi pada masa kolonial m

rti pohon asem (Tamarindus indica). Selain itu, p

tappa) yang merupakan vegetasi eksisting pada

khas pada kawasan dan menandakan vegetasi kawa

ng beragam terdapat pula beberapa satwa, yang seb

a yang banyak terdapat di sekitar pepohonan, se

ng, nyamuk, semut dan ulat.

wa yang beragam dapat memberikan pengaruh terh

u sebagai kawasan wisata, karena dapat mena

ahan serta kenyamanan pengunjung. Vegetasi yang

tikan penataannya, serta kurang memperhatikan veg

erkuat identitas Kampung Tugu. Akan lebih baik

asi baik dari segi fungsi, bentuk, maupun letaknya,

an dan kenyamanan pengunjung. Selain itu, dapat

ang rindang dan pepohonan yang mengurangi p

da bagian luar pagar pembatas tapak, untuk mena Gambar 12. Vegetasi pada Tapak

marindus indica) (b) Pohon Sengon (Albazia fal

l masih

, pohon

a tapak

awasan ebagian seperti erhadap nambah ang saat egetasi

aik jika

ya, agar

at juga

polusi

(57)

4.1.5. Kependudukan

Kawasan Kampung Tugu termasuk ke dalam wilayah administrasi

Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Kelurahan Semper Barat terdiri dari 245 RT dan 17 RW. Jumlah penduduk

kelurahan Semper Barat pada tahun 2009 berjumlah 61.583 jiwa atau 13.312 KK,

dengan jumlah penduduk laki-laki 29.971 orang dan jumlah penduduk perempuan

31.574 orang.

Kelompok umur produktif manusia secara ekonomi (15 – 64 tahun) pada

Kelurahan Semper Barat berjumlah 44.423 jiwa. Tingginya jumlah masyarakat

produktif dapat membantu kegiatan pariwisata yang akan dilaksanakan pada

Kelurahan Semper Barat, dengan berpartisipasi sebagai pengelola kawasan

maupun kegiatan promosi kawasan wisata.

Kawasan Kampung Tugu merupakan kawasan yang pada jaman dahulu

dihuni oleh masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan keturunan Portugis.

Namun saat ini mayoritas penduduk pada kawasan tersebut beragama Islam, yaitu

sebanyak 41.661 orang atau 67.65%, dengan etnis yang beragam.

Data yang didapat dari monografi Kelurahan Semper Barat, jumlah

penduduk yang memiliki mata pencaharian sebanyak 24.166 orang atau 39.24 %

dari keseluruhan penduduk Kelurahan Semper Barat. Data tersebut menunjukkan

bahwa penduduk di Kelurahan Semper Barat sebagian besar belum memiliki

pekerjaan atau belum memiliki pekerjaan yang tetap. Permasalahan tersebut dapat

ditanggulangi melalui langkah-langkah yang tepat dari pemerintah untuk

menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan dan memperhatikan kesejahteraan

warganya. Salah satu lapangan pekerjaan yang dapat diciptakan untuk

Gambar

Gambar 3. Tahapan Perencanaan Lanskap
Gambar 4. Peta Lokasi Kawasan Penelitian
Gambar 6. Peta Aksessibilitas Menuju Tapak
Gambar 7. Peta Tata Guna Lahan Kelurahan Semper Barat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pola komunikasi yang terjadi pada anggota komunitas APFAL di Kabupaten Nganjuk, dalam aktifitas apresiasi

1) Gangguan rasa aman dan nyaman (nyeri) berhubungan dengan proses inflamasi 2) Gangguan rasa aman dan nyaman (nyeri) akut berhubungan dengan stress.. 3) Gangguan rasa aman

Ciri-ciri karya hiasan dengan bahan alami:  Menggunakan bahan kering!.  Bahan terdapat di

Uraikan materi yang menurut Anda anggap esensial tetapi tidak dijelaskan dalam bagian ini. Materi apa saja yang tidak esensial namun ada dalam

The objective of this study is showing the potential of the use of terrestrial laser scanner in the documentation of historical heritage through achieving the 3D model by

[r]

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5/W2, 2013 XXIV International CIPA Symposium, 2 – 6 September 2013,

Capaian Program Jumlah cakupan (jenis) layanan administrasi perkantoran yang dilaksanakan sesuai dengan standar dan ketentuan yang berlaku.