KECAMAT
DEPART
INS
ATAN CILINCING, JAKARTA UTARA
AGNES KRISTANDI
ARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN
Perkampungan Portugis di Kampung Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Dibimbing oleh NURHAYATI H. S. ARIFIN.
Studi ini bertujuan untuk menyusun suatu perencanaan lanskap wisata sejarah Kampung Tugu, dengan menampilkan lanskap, termasuk budaya masyarakat, yang merepresentasikan lanskap perkampungan Portugis pada masa kolonial Belanda. Manfaat yang diharapkan dari hasil studi ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah Jakarta Utara dalam merencanakan dan mengembangkan kawasan tersebut terutama dalam sektor kepariwisataan. Manfaat lain adalah untuk melestarikan keberadaan peninggalan sejarah, khususnya melalui kegiatan pariwisata.
Kawasan Kampung Tugu telah dihuni sejak tahun 1661. Kawasan ini dihuni sebanyak 23 keluarga (kurang lebih 150 jiwa) masyarakat Portugis yang mengalami kekalahan dari Belanda, dalam perang Malaka pada tahun 1641. Asal-usul nama Kampung Tugu sangat bervariasi, antara lain nama Tugu berasal dari kata por tugu ese(Portugis), sebutan orang Portugis yang tinggal di kampung itu. Namun, ada juga versi yang menyebutkan bahwa nama Tugu dikaitkan dengan penemuan sebuah prasasti (tugu) batu bertuliskan huruf Pallawa dari masa kekuasaan Raja Purnawarman, Kerajaan Taruma(negara) yang dikenal dengan nama Prasasti Tugu.
Studi mengenai perencanaan lanskap kawasan wisata sejarah Kampung Tugu dilaksanakan pada wilayah Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Berdasarkan wilayah administratifnya, Kelurahan Semper Barat berbatasan dengan Jalan Raya Cilincing/Kelurahan Kali Baru di sebelah utara, Jalan Raya Cilincing/Kelurahan Semper Timur di sebelah timur, Kali Cakung Lama di sebelah barat, dan Kali Gubuk Genteng di sebelah selatan. Kelurahan Semper Barat memiliki luas kawasan sebesar 159,7 ha, pada ketinggian 2 meter dari permukaan laut.
Metode studi yang digunakan adalah metode perencanaan lanskap menurut Gold (1980) dengan pendekatan aktivitas. Tahapan perencanaan mencakup kegiatan inventarisasi melalui pengumpulan data primer serta sekunder, analisis dengan metode skoring, analisis spasial, dan analisis deskriptif, penyusunan konsep, sintesis, dan perencanaan lanskap.
Kampung Tugu melalui kegiatan wisata sejarah. Upaya pelestarian kawasan ditempuh melalui kegiatan wisata sejarah yang efektif, sehingga dapat memperkenalkan nilai sejarah dan budaya masyarakat asli Tugu. Berdasarkan konsep tersebut dikembangkan beberapa konsep lain seperti konsep ruang, konsep sirkulasi, konsep aktvitas dan fasilitas wisata, konsep tata hijau, dan konsep pelestarian kawasan.
Konsep ruang yang diterapkan merupakan konsep yang didapatkan dari hasil overlay antara zonasi pelestarian dan zonasi wisata sejarah. Zonasi pelestarian maupun zonasi wisata sejarah didapatkan berdasarkan hasil skoring terhadap kawasan studi. Berdasarkan hasil overlay tersebut didapatkan tiga ruang utama, yaitu ruang inti, ruang penyangga (transisi), dan ruang pengembangan.
Ruang inti merupakan ruang yang menampung atraksi dan objek wisata utama dari keseluruhan tapak. Peletakan objek dan atraksi diperhitungkan dengan seksama agar dapat memberikan pengetahuan dan informasi baru bagi para wisatawan. Selain itu, dalam pemanfaatannya ruang ini memperhatikan kelestarian objek dan atraksi wisata.
Ruang penyangga merupakan ruang yang berfungsi sebagai pembatas ruang inti agar dalam pengembangannya tidak rusak dan tetap terjaga kelestariannya. Pada ruang penyangga terdapat juga ruang transisi, dimana ruang ini menghubungkan ruang inti dengan ruang pengembangan. Adapun ruang pengembangan merupakan ruang yang terdapat fasilitas penunjang dan fasilitas pengelolaan kawasan wisata.
Konsep sirkulasi memiliki dasar untuk menghubungkan antar ruang, serta menghubungkan antar objek dan atraksi wisata. Sirkulasi pada tapak dibagi menjadi 3 jenis yaitu sirkulasi primer, sirkulasi sekunder, dan sirkulasi tersier. Masing-masing sirkulasi terletak pada ruang yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan fungsi setiap ruang. Sirkulasi berfungsi sebagai penunjang kegiatan pada setiap ruang, sehingga kegiatan wisata dapat berjalan secara efektif dengan memberikan pengetahuan baru, kepuasaan, dan kenyamanan kepada pengunjung.
Konsep tata hijau dikembangkan menjadi rencana tata hijau. Konsep tata hijau akan menunjang kegiatan wisata sejarah. Tanaman yang dipergunakan sebagian besar merupakan tanaman endemik dan tanaman yang dipergunakan pada masa perkampungan Portugis di Kampung Tugu. Konsep vegetasi tersebut bertujuan untuk memberikan interpretasi kepada pengunjung mengenai kondisi ruang terbuka hijau, termasuk hutan, ladang, sawah-sawah, dan rawa di Perkampungan Portugis, serta untuk menunjang kegiatan wisata sejarah.
sebagai fasilitas penunjang wisata sejarah.
Rencana jalur interpretasi dikembangkan dari konsep interpretasi berdasarkan pada periode perkembangan sejarah dan pola kehidupan serta aktivitas masyarakat pada kawasan Kampung Tugu. Tema interpretasi pada kawasan Kampung Tugu diangkat dari periode perkampungan Portugis pada kawasan Kampung Tugu yang merepresentasikan perkembangan sejarah. Sarana interpretasi yang direncanakan adalah sarana yang dapat merepresentasikan nilai sejarah dan budaya dengan merealisasikan keadaan perkampungan Portugis pada kawasan Kampung Tugu.
Rencana perjalanan wisata merupakan pengembangan dari rencana jalur sirkulasi. Penyusunan rencana wisata diterapkan dalam beberapa paket wisata yang dibuat berdasarkan pada jenis perjalanan wisata maupun jenis wisatawan. Dalam hal ini paket wisata yang dibuat berdasarkan jenis perjalanan wisata adalah paket wisata yang dimulai dari rumah tua (museum) dan paket wisata yang dimulai dari kawasan Gereja Tugu. Sedangkan paket perjalanan wisata berdasarkan jenis wisatawan adalah paket wisata bagi wisatawan yang datang secara individu (dan bagi wisatawan dalam kelompok.
KECAMATAN CILINCING, JAKARTA UTARA
AGNES KRISTANDI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada
Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN
Nama : Agnes Kristandi NRP : A44061527
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc. NIP. 19620121 198601 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001
Agnes Kristandi dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 September 1988. Penulis merupakan putri tunggal dari pasangan Yohanes Budiyanto dan Emmy Budiyanto. Pendidikan yang ditempuh penulis dimulai dari TK Cor Jesu Marsudirini Jakarta pada tahun 1995-1997, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan pada SD Marsudirini Jakarta pada tahun 1997-2000, SMP St. Vincentius Jakarta pada tahun 2000-2003, dan SMA Fons Vitae Jakarta tahun 2003-2006.
Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), dan pada tahun 2007 diterima sebagai mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap melalui jalur mayor-minor. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan dalam kegiatan Departemen Arsitektur Lanskap maupun kegiatan Keluarga Mahasiswa Katolik (Kemaki). Selain itu, penulis juga pernah menjadi pengurus divisi PSDM Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (Himaskap) periode 2008-2009.
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi. Skripsi dengan judul “Perencanaan Lanskap Kawasan WisataSejarah Perkampungan Portugis di Kampung Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dengan Mayor Arsitektur Lanskap dan Minor Kewirausahaan Agribisnis dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini terdorong oleh keinginan untuk membantu upaya pelestarian kawasan Kampung Tugu, karena saat ini kawasan tersebut sangat kurang pemeliharaan serta perhatian dari pemerintah daerah maupun pengelola. Selain itu, sebagai suatu alternatif untuk menumbuhkan rasa kepedulian dan menghargai sejarah dan budaya Bangsa melalui kegiatan pariwisata.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, MSc. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penyusunan skripsi hingga selesai
2. Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Agr, Sc. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan pengarahan selama penulis menjadi mahasiswa 3. Kedua orang tua dan keluarga besar atas setiap cinta, doa, dukungan, dan
bantuannya yang telah memberikan kekuatan kepada penulis dalam menyelesaikan studi ini.
4. Mahro Syihabuddin atas cinta, perhatian, kesabaran, dan dukungannya. 5. Keluarga besar IKBT (Ikatan Keluarga Besar Tugu), Bapak Andre J.
7. Masyarakat Kampung Tugu atas bantuannya dan kesediaannya selama melakukan wawancara guna pengumpulan data.
8. Keluarga besar Arsitektur Lanskap 43 tercinta atas persahabatan, dukungan, dan doa.
9. Keluarga besar Arsitektur Lanskap 40, 41, 42, 44, dan 45 atas dukungannya.
10. Keluarga besar Arsitektur Lanskap (staf pengajar dan staf penunjang) atas ilmu, bimbingan, dan bantuanya selama penulis menjadi mahasiswa. Semoga hasil studi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang terkait dan berguna sebagai refrensi bagi penelitian lain yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang.
Bogor, Oktober 2010
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR GAMBAR... xiv
DAFTAR LAMPIRAN... xvii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan ... 3
1.3. Manfaat ... 3
1.4. Kerangka Pikir ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 5
2.1. Lanskap Sejarah ... 5
2.2. Pelestarian lanskap Sejarah... 6
2.3. Benda Cagar Budaya... 10
2.4. Pemanfaatan Lanskap Sejarah Sebagai Kawasan Wisata... 12
2.5. Perencanaan Lanskap Wisata... 14
BAB III METODOLOGI... 16
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16
3.2. Batasan Penelitian... 17
3.3. Tahapan dan Metode Penelitian... 17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 23
4.1. Kondisi Umum... 23
4.1.1. Lokasi... 23
4.1.2. Aksessibilitas dan Sirkulasi ... 25
4.1.3. Tata Guna Lahan... 28
4.1.4. Biofisik... 31
4.1.4.1. Klasifikasi Jenis Tanah ... 31
4.1.4.2. Klasifikasi Kesesuaian Lahan ... 32
4.1.4.3. Kondisi Hidrologi ... 34
4.2. Kesejarahan Kawasan ... 41
4.2.1. Sejarah Kampung Tugu ... 41
4.2.2. Sejarah Gereja Tugu ... 42
4.2.3. Elemen Lanskap Sejarah... 46
4.2.3.1. Makam Gereja Tugu ... 46
4.2.3.2. Rumah Tua... 47
4.2.3.3. Peninggalan Arkeologi ... 49
4.3. Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat ... 50
4.3.1. Pola Pemukiman Penduduk ... 50
4.3.2. Elemen Lanskap Budaya ... 52
4.3.2.1. Masyarakat Tugu ... 52
4.3.2.2. Kroncong Tugu ... 55
4.3.2.3. Bahasa Portugis... 58
4.3.2.4. Perayaan Natal ... 60
4.3.2.5. Rabo-rabo... 61
4.3.2.6. Mandi-mandi... 61
4.3.2.7. Festival Kampung Tugu... 62
4.3.2.8. Makanan Khas Kampung Tugu ... 64
4.3.2.9. Pakaian Tradisional Masyarakat Tugu ... 65
4.3.2.10. Tarian Portugis... 67
4.3.3. Persepsi dan Harapan Masyarakat ... 68
4.4. Kepariwisataan... 74
4.4.1. Daya tarik dan Objek Wisata ... 74
4.4.2. Benda Cagar Budaya ... 82
4.4.3. Fasilitas Penunjang ... 84
4.4.4. Aspek Legal... 90
4.4.5. Pengelolaan Kawasan... 93
BAB V KONSEP... 111
5.1. Konsep Dasar Perencanaan Tapak... 111
5.2. Konsep Ruang ... 111
5.3. Konsep Aksessibilitas dan Sirkulasi... 114
5.4. Konsep Aktivitas Wisata ... 116
5.5. Konsep Fasilitas Wisata ... 116
5.6. Konsep Tata Hijau... 117
5.7. Konsep Pelestarian Kawasan... 119
BAB VI PERENCANAAN... 121
61. Rencana Ruang Wisata ... 121
6.2. Rencana Sirkulasi ... 123
6.3. Rencana Jalur Interpretasi ... 124
6.4. Rencana Fasilitas ... 127
6.5. Rencana Tata Hijau ... 138
6.6. Rencana Perjalanan Wisata ... 140
6.7. Rencana Lanskap Wisata Sejarah Portugis Kampung Tugu ... 147
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN... 150
7.1. Kesimpulan ... 150
7.2. Saran ... 152
DAFTAR PUSTAKA... 153
1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian... 17
2. Kelompok, Jenis dan Sumber Data... 19
3. Data Iklim ... 36
4. Objek Wisata pada Tapak ... 77
5. Atraksi Budaya yang Terdapat pada Tapak ... 78
6. Kriteria Penilaian Zonasi Wisata Sejarah ... 80
7. Kriteria Penilaian Zonasi Pelestarian... 102
8. Jumlah Pengunjung Objek Wisata Jakarta Utara... 104
9. Analisis dan Sintesis Tapak ... 106
10. Hubungan Ruang dan Tanaman... 119
11. Daya Tampung dan Total Pengunjung Setiap Ruang ... 120
12. Las Area yang Direncanakan pada Tapak ... 123
13. Rencana Ruang, Aktivitas, dan Fasilitas Wisata ... 137
14. Rencana Ruang, Jenis Tanaman, dan Fungsi Tanaman... 139
15. Rencana Paket Perjalanan Wisata Individu ... 143
1. Kerangka Pikir Penelitian ... 4
2. Lokasi Penelitian... 16
3. Tahapan Perencanaan Lanskap ... 18
4. Peta Lokasi Kawasan Penelitian ... 23
5. Lokasi Penelitian... 25
6. Peta Aksessibilitas Menuju Tapak ... 26
7. Peta Tata Guna Lahan Kelurahan Semper Barat ... 29
8. Peta Tata Guna Lahan Kawasan Kampung Tugu ... 31
9. Peta Jenis Tanah... 32
10. Kondisi Hidrologi Kawasan Kampung Tugu ... 34
11. Intensitas Curah Hujan DKI Jakarta ... 37
12. Vegetasi pada Tapak ... 39
13. Kebaktian di dalam Gereja Tugu III ... 43
14. Sekolah Tugu ... 43
15. Perkembangan Gereja Tugu... 45
16. Lonceng Gereja Tugu ... 45
17. Piring-piring Logam dan Mimbar Tua... 46
18. Makam tua di kawasan Gereja Tugu ... 47
19. Rumah Tua Peninggalan Masyarakat Asli Tugu ... 48
20. Bagian Depan Rumah Tua ... 48
24. Alat Musik Kroncong Prounga, Macina, dan Jitera... 56
25. Acara Mandi-mandi ... 62
26. Penampilan Krontjong Toegoe pada Festival Kampung Tugu 2008... 63
27. Pameran Foto Etnografi masyarakat Tugu ... 63
28. Tarian Tradisional Portugis pada Festival Kampung Tugu ... 64
29. Pakaian Tradisional Portugis ... 66
30. Pakaian Pemain Kroncong... 67
31. Tarian Tradisional Portugis ... 68
32. Derajat Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat Asli Tugu... 69
33. Faktor Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat Asli Tugu ... 69
34. Peran Serta Masyarakat Asli Tugu dalam Aktivitas Wisata... 70
35. Derajat Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat Pendatang ... 71
36. Faktor Perubahan Kawasan Menurut Masyarakat Pendatang ... 72
37. Peran Serta Masyarakat Pendatang dalam Aktifitas Wisata ... 72
38. Objek Wisata Pada Tapak... 76
39. Zonasi Wisata Sejarah ... 81
40. Pintu ... 85
41. Pos Jaga... 86
42. Tempat Sampah ... 87
43. Area Parkir pada Kawasan Gereja Tugu... 88
47. Zonasi Pelestarian ... 103
48. Analisis dan Sintesis ... 110
49. Konsep Ruang... 112
50. Rencana Blok ... 115
51. Peta Jalur Interpretasi... 126
52. Ilustrasi Gerbang Utama pada Tapak... 128
53. Ilustrasi Area Parkir Mobil Tipe Tegak Lurus 900... 129
54. Ilustrasi Papan Interpretasi Sejarah... 130
55. Ilustrasi Papan Penunjuk Arah... 131
56. IlutrasiName Sign... 132
57. Ilustrasi Pusat Registrasi Dan Penjualan Tiket ... 132
58. Ilustrasi Perpustakaan ... 134
59. IlustrasiSite Furniture... 136
60. Peta Perjalanan Wisata... 142
61. Rencana Lanskap ... 148
1.1. Latar Belakang
Pada masa kolonial, Indonesia pernah dijajah oleh beberapa negara sebelum pada akhirnya merdeka. Negara-negara yang pernah berkuasa di Indonesia diantaranya adalah Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol dan Jepang. Pada masa pemerintahannya, mereka memusatkan pemerintahan mereka di wilayah Jakarta, yang dahulu dikenal dengan Sunda Kelapa yang akhirnya berganti nama menjadi Batavia setelah ditaklukkan oleh Jan Pieterszoon Coen pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia.
Periode penjajahan memberikan warna baru bagi perkembangan sosio-kultural di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai peninggalan sejarah baik peninggalan asli maupun hasil akulturasi antara bangsa penjajah dengan pribumi. Semua peninggalan tersebut memberikan ciri dari setiap periode kolonial. Bangsa Belanda yang memiliki periode terlama pada masa kolonial tentunya memberikan warna yang lebih dibandingkan bangsa lainnya. Namun demikian hal tersebut tidak menutup kemungkinan adanya bukti sejarah asli maupun hasil akulturasi dari bangsa lainnya, seperti beberapa peninggalan yang berhubungan dengan orang pribumi, orang Tionghoa, imigran Arab dan India.
Dalam perkembangannya orang Portugis yang semula merupakan tawanan Belanda kemudian dibebaskan, dan mereka mengembangkan kebudayaan Portugis pada kawasan tersebut (Heuken, 1997).
Saat ini, Kampung Tugu merupakan salah satu dari beberapa kampung khas dan daerah pemukiman dengan gedung-gedung yang menonjolkan serta mencirikan nilai arsitektural bersejarah sebagai kawasan yang dilindungi menurut Undang-undang No. 5 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah DKI Jakarta No. 9 tahun 1999 tentang benda cagar budaya. Kawasan ini termasuk ke dalam salah satu benda cagar budaya yang berada di wilayah Jakarta Utara. Oleh sebab itu, kawasan ini dilestarikan dan terintegrasi secara utuh dalam rencana pembangunan. Bila hal ini tidak dapat terealisasi maka Jakarta akan menjadi suatu kota yang tidak dapat memberikan inspirasi bagi penduduknya akan kekayaan warisan budaya dan sejarahnya.
Kawasan Kampung Tugu telah direncanakan sebagai salah satu objek wisata dalam kegiatan wisata pesisir oleh Pemerintah Daerah Jakarta Utara. Dalam pemanfaatannya sebagai objek wisata, kawasan Kampung Tugu seharusnya dapat memperkenalkan kekayaan sejarah dan budaya yang merupakan peninggalan periode kolonial kepada masyarakat Jakarta pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
wisata yang akan dilaksanakan dapat berjalan secara efektif dan dapat memberikan kenyamanan bagi pengunjung.
1.2. Tujuan
Kegiatan studi ini adalah menyusun suatu perencanaan lanskap wisata sejarah Kampung Tugu, agar aktifitas wisata sejarah dapat berjalan efektif dan menjaga kelestarian karakterisitik historiknya, dengan tetap mempertahankan aktifitas dan budaya masyarakat serta karakter unik dari lanskap Kampung Tugu.
1.3. Manfaat
Hasil studi diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam merencanakan dan mengembangkan daerahnya terutama dalam sektor kepariwisataan dan melestarikan keberadaan peninggalan sejarah, khususnya melalui kegiatan pariwisata.
1.4. Kerangka Pikir
Lanskap Kampung Tugu, Jakarta Utara, terdiri dari tiga lanskap utama, yaitu lanskap sejarah, lanskap wisata, dan lanskap permukiman. Lanskap sejarah terdiri dari nilai sejarah dari setiap objek serta atraksi yang terdapat pada tapak, kebutuhan, dan upaya pelestarian kawasan khususnya pada benda cagar budaya serta benda bernilai sejarah. Lanskap wisata sangat ditentukan oleh daya tarik dari setiap objek dan atraksi wisata, interpretasi yang dapat ditangkap oleh pengunjung, daya dukung yang sesuai bagi setiap objek dan kawasan tujuan wisata, dan kenyamanan yang diharapkan pengunjung. Lanskap permukiman merupakan lanskap yang didominasi oleh permukiman masyarakat sehingga dalam pengembangan wisata diperlukan persepsi masyarakat mengenai kawasan dan kegiatan wisata, serta partisipasi masyarakat pada kegiatan wisata yang akan dikembangkan.
2.1. Lanskap Sejarah
Lanskap sejarah (historical landscape) menurut Harris dan Dines (1988), secara sederhana dapat dinyatakan sebagai bentukan lanskap tempo dulu (landscape of the past), yang terdiri dari informasi fisik tentang keberadaan manusia pada suatu tempat. Lanskap sejarah mampu bertahan hingga keadaan masa kini namun tetap menampilkan keadaan pada masa lalu secara berkelanjutan, serta mengikuti perkembangan pembangunan. Lanskap sejarah juga memiliki fokus kepada lanskap budaya, diantara kontribusi manusia terhadap keadaan awal suatu tempat.
Lanskap sejarah merupakan bagian dari bentuk suatu lanskap budaya yang memiliki dimensi waktu didalamnya, yang juga dapat dinyatakan sebagai suatu kawasan geografis yang merupakan objek atau susunan (setting) atas suatu kejadian atau peristiwa interaksi yang bersejarah dalam keberadaan dan kehidupan manusia (Nurisyah dan Pramukanto, 2001).
Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), suatu bentukan lanskap dikatakan memiliki nilai sejarah bila memiliki minimal satu kriteria dan/atau alasan sebagai berikut:
1. Etnografis, yang merupakan produk khas suatu sistem ekonomi dan sosial suatu kelompok/suku masyarakat (etnik). Dua bentuk utama dari lanskap ini yaitu rural landscape (lanskap pedesaan) dan urban landscape (lanskap perkotaan).
- Urban landscape, yaitu bentuk lanskap yang berhubungan dengan pembangunan kota dan kehidupan perkotaan
2. Associative, suatu bentuk lanskap yang berasosiasi atau yang dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa, personal, masyarakat, legenda, pelukis, estetika, dan sebagainya.
3. Adjoining, adalah bentukan lanskap yang merupakan bagian dari suatu unit tertentu, bagian monumen, atau bagian struktur bangunan tertentu.
2.2. Pelestarian Lanskap Sejarah
Nurisyah dan Pramukanto (2001), mengungkapkan bahwa pelestarian lanskap sejarah dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan yang negatif atau yang merusak keberadaannya atau nilai yang dimilikinya.
Secara lebih spesifik dalam kaitannya dengan lanskap, Harris dan Dines (1988) mengajukan 4 (empat) hal utama dilakukannya tindakan preservasi untuk pelestarian lanskap sejarah ini, yaitu:
(1) Untuk menyelamatkan karakter estetik dari suatu areal, wilayah atau properti a. Untuk menekan kesinambungan antara masa lalu dengan masa sekarang b. Untuk melengkapi struktur kesejarahan
c. Untuk menahan degradasi karakter lingkungan
d. Untuk menginterprestasikan kehidupan sejarah dari seseorang, suatu kejadian, dan suatu tempat
(2) Untuk mengkonservasi sumberdaya
a. Untuk mempertahankan pepohonan, tanaman-tanaman semak, dan berbagai jenis tanaman lainnya
b. Untuk memperpanjang umur kehidupan dari suatusite features
d. Untuk mengurangi kegiatan pemeliharaan (3) Untuk memfasilitasi pendidikan lingkungan
a. Untuk mengilustrasikan nilai, cita rasa, proses, dan teknologi yang telah dimiliki pada masa yang lampau
b. Untuk mengevaluasi keterpakaian dari teknologi tempo dulu untuk digunakan pada saat sekarang
(4) Untuk mengakomodasi perubahan-perubahan kebutuhan akan hunian, baik yang terdapat dalam kawasan perkotaan, di tepi kota, maupun di kawasan pedesaan.
Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), kriteria untuk melakukan tindakan pelestarian atau preservasi didasarkan atas pertimbangan faktor-faktor:
(1) Makna sejarah (Historical significance)
- Pertimbangan didasarkan pada kepentingan relatif dari makna kesejarahan dan keunikannya
(2) Extant historic resources
- Pertimbangan didasarkan pada jumlah dan tipe dari features utama yang terkait dengan periode sejarah tapak tersebut
- Integritas historikal dari beberapa sumberdaya yang dapat dipertahankan keberadaannya (Historical integrity of surviving resources)
(3) Kondisi sumberdaya sejarah - Kondisi struktural
- Kondisi material tanaman (4) Seleksi periode sejarah
- Kepentingan dari asosiasi sejarah
- Keterkaitan antar sumberdaya eksisting dengan keterkaitan sejarah - Kondisi sumberdaya saat ini
- Ketersediaan informasi sejarah pada periode yang otentik untuk upaya restorasi
Bangunan dan daerah bersejarah tertentu dikatakan sebagai unsur kualitas perkotaan yang positif. Perlindungan (pemeliharaan) terhadap kawasan bersejarah tidak hanya mempunyai nilai intrinsik, melainkan juga mempunyai dampak ekstrensik sehingga dapat mendorong perbaikan daerah di sekitarnya. Menurut Catanese dan Snyder (1988), terdapat beberapa kategori perlindungan terhadap benda bersejarah, yaitu:
- Daerah alami
Daerah ini biasanya berbentuk daerah pantai, perkebunan, hutan, lereng perkebunan, dan lokasi-lokasi arkeologis. Kelompok pemelihara setempat biasanya bertindak sebagai konservator pada daerah lanskap.
- Skyline dan pemandangan koridor
Pada bangunan-bangunan tinggi diberlakukan pengendalian dan pembatasan ketinggian. Bentuk serta ketinggian skyline berada di bawah pengawasan secara seksama. Pembatasan tersebut ditujukan untuk menjamin bahwa pemandangan-pemandangan dari tempat lain serta dari bangunan-bangunan penting dan bersejarah dilindungi dari kerusakan.
- Wilayah
Kategori wilayah yang dilindungi biasanya merupakan daerah-daerah dengan konsistensi stylistis atau suatu tempat tradisional. Tempat-tempat tersebut dilindungi dari pembongkaran dan pengaruh orang luar atau perubahan-perubahan baru. Perhatian sebaiknya diberikan tidak hanya untuk memelihara daerah berciri arsitektur, tetapi juga ciri kehidupannya.
- Bentang jalan
hasil dari suburbanisasi banyak pusat perdagangan yang memburuk dan kehilangan perannya. Dalam beberapa kasus, usaha untuk memlihara jalan utama telah berada pada skala daerah dan mencakup rencana bagian arah pergerakan kendaraan dan tempat parkir. Namun, dalam kasus lain, sebagian besar perhatiannya dicurahkan bagi pemeliharaan penampilan tradisional jalan utama sebagai kenangan masa lalu.
- Bagian depan suatu gedung
Telah umum ditemukan beberapa gedung sejarah yang tetap mempertahankan bagian depan dari gedung tersebut, sementara perkembangan pembangunan terhadap gedung tersebut, seperti penyisipan bangunan yang lebih besar biasanya dilakukan pada bagian belakang gedung. Hal tersebut meupakan upaya dari perlindungan benda bersejarah, dengan dua tujuan utama, yaitu: (1) mempertahankan ciri jalan yang berada di bagian depan gedung bersejarah, dan (2) memungkinkan eksploitasi nilai lahan baru melalui konstruksi bangunan terhadap pasar real estate. Sasaran kritik terhadap metode pemeliharaan bersejarah ini mungkin melebihi dibandingkan pada bagian lain, karena makna (spirit) dari bangunan asli sering hilang bila dipenuhi dengan konstruksi baru dengan ciri dan skala yang berbeda.
- Bangunan
Pemeliharaan bangunan perorangan (individual) mempunyai sejarah paling lama dan merupakan tindakan pemeliharaan paling umum. Ini disebabkan adanya pola hak milik, bangunan tersendiri lebih mudah untuk dikendalikan dibandingkan dengan sekelompok bangunan. Hal ini juga dikarenakan pola dasar pemeliharaan yang hanya mengidentifikasikan bangunan bernilai tinggi, paling banyak, paling baik, paling tua untuk penyelamatan.
- Benda dan bagian bangunan (fragmen)
2.3. Benda Cagar Budaya
Benda cagar budaya memiliki dua definisi berdasarkan Undang-undang tentang Cagar Budaya No. 5 tahun 1992, yaitu:
1. Benda buatan manusia yang bergerak, maupun tidak bergerak yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
2. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, menjabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya, yaitu:
1. Tolok ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi simbol nilai kesejarahan pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
2. Tolok ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun.
3. Tolok ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya.
4. Tolok ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan simbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut.
Kepemilikan benda cagar budaya berdasarkan Undang-undang RI No. 5 tahun 1992 Bab III pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang.
Kegiatan pemugaran pada Benda Cagar Budaya harus sangat diperhatikan, terutama dari keaslian bentuk, bahan, tehnik pengerjaan, dan tata letak. Berikut adalah prasyarat kegiatan pemugaran benda cagar budaya (Suantra, 2010):
1). Keaslian Bentuk
Keaslian bentuk bangunan harus dikembalikan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan antara lain foto-foto lama, dokumen tertulis, saksi hidup, atau studi teknis.
2). Keaslian Bahan
a). Dalam pemugaran bahan bangunan yang harus digunakan adalah bahan asli dan harus dikembalikan ke tempatnya semula.
b). Apabila bahan bangunan mengalami rusak ringan maka harus dilakukan perbaikan dan pengawetan sehingga dapat digunakan kembali
c). Apabila telah rusak berat atau hilang, maka dapat diganti dengan bahan baru. Namun bahan pengganti harus sama, baik jenis maupun kualitasnya. 3). Keaslian Tata Letak
a). Tata letak bangunan harus dipertahankan dengan lebih dahulu melakukan pemetaan
b). Keletakan komponen-komponen bangunan seperti hiasan, arca, dan lain-lain harus dikembalikan ke tempat semula.
4). Keaslian Teknologi Pengerjaan
a). Teknologi pembuatan b). Teknologi konstruksi
Benda cagar budaya yang termasuk ke dalam bangunan museum memiliki beberapa persyaratan pendirian, diantaranya adalah dalam hal pendirian bangunan dimana berdasarkan bangunannya museum dapat dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu bangunan pokok (pameran tetap, pameran temporer, auditorium, kantor, laboratorium konservasi, perpustakaan, bengkel preparasi, dan ruang penyimpanan koleksi) dan bangunan penunjang (pos keamanan, museum shop, tiket box, toilet, lobby, dan tempat parkir). Selain dapat dikelompokan bangunan museum juga dapat berupa bangunan baru atau dapat juga memanfaatkan bangunan lama, dengan memperhatikan prinsip-prinsip konservasi (Direktorat Permuseuman, 2000). 2.4. Pemanfaatan Lanskap Sejarah Sebagai Kawasan Wisata
Wisatawan menurut Yoeti (1996) adalah setiap orang yang berpergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan tujuan menikmati perjalanan dan kunjungannya itu. Sedang pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu untuk menikmati perjalanan dan kunjungan itu (Yoeti, 1996).
Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2009), wisata merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dengan pergerakan manusia yang melakukan perjalanan dan persinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke satu atau beberapa tempat tujuan di luar dari lingkungan tempat tinggalnya. Kegiatan tersebut didorong oleh berbagai keperluan dan tanpa bermaksud untuk mencari nafkah tetap.
dikunjungi wisatawan; dan atraksi wisata adalah segala perwujudan dan sajian alam serta kebudayaan, yang secara nyata dapat dikunjungi, disaksikan dan dinikmati wisatawan di suatu kawasan wisata (Gunn, 1993).
Menurut Morley (1990) dalam Ross (1994) menyatakan bahwa permintaan akan pariwisata tergantung pada ciri-ciri wisatawan, seperti penghasilan, umur, motivasi, dan watak. Masing-masing dari ciri-ciri tersebut akan mempengaruhi kecenderungan orang untuk berpergian mencari kesenangan, kemampuannya untuk berpergian, dan pilihan tempat tujuan perjalanannya. Permintaan juga ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri tempat tujuan perjalanan, daya tariknya, harga dan efektif tidaknya kegiatan memasarkan tempat tujuan. Kebijaksanaan dan tindakan pemerintah dapat mendorong atau menurunkan permintaan akan pariwisata secara langsung dan sengaja, dan secara tidak langsung melalui faktor-faktor yang penting bagi wisatwan, seperti keamanan. Selain itu, faktor-faktor sosial dapat mempengaruhi permintaan, seperti sikap penduduk setempat pada para wisatawan dan minat yang dibangkitkan oleh budaya setempat.
Selain itu, menurut Allen, Long, Perdue dan Keiselbach (1988) dalam Ross (1994), terdapat tujuh aspek fungsi masyarakat: pelayanan umum, faktor ekonomi, faktor lingkungan, pelayanan kesehatan, peran serta warga, pendidikan formal dan pelayanan rekreasi bersama dan pembangunan pariwisata. Dimana dari ketujuh faktor tersebut peran serta warga, pelayanan umum dan lingkungan merupakan hal-hal yang paling peka dalam perkembangan pariwisata.
Menurut Pendit (2002), terdapat tiga kebutuhan utama yang harus dipenuhi oleh suatu daerah untuk menjadi tujuan wisata:
Sedangkan, untuk daerah tujuan wisata sejarah, termasuk didalamnya adalah kota-kota bersejarah yang mempunyai bangunan-bangunan bergaya arsitektur unik, monumen, balairung, teater, dan sebagainya.
Black (1990) dalam Ross (1994), mengatakan bahwa bangunan bersejarah memainkan peranan penting dalam memikat wisatawan dan sudah terbukti banyak pemasukan yang dapat diperoleh dari upaya pelestarian. Salah satunya adalah dengan menyesuaikan bangunan bersangkutan sehingga mempunyai nilai ekonomi.
2.5. Perencanaan Lanskap Wisata
Dalam kegiatan perencanaan lanskap, proses perencanaan dinyatakan sebagai suatu proses yang dinamis, saling terkait, dan saling mendukung satu dengan lainnya. Proses ini merupakan suatu alat terstruktur dan sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan awal dari suatu bentukan fisik dan fungsi lahan/tapak/bentang alam, keadaan yang diinginkan setelah dilakukan berbagai rencana perubahan, serta cara dan pendekatan yang sesuai dan terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan tersebut (Nurisyah dan Pramukanto, 2009).
Morley (1990) dalam Ross (1994) menyatakan bahwa dalam perencanaan pariwisata dibutuhkan pertimbangan berdasarkan tiga unsur dasar yang merupakan sendi model pariwisata, pertama wisatawan dan perjalanan, artinya orang yang melakukan perjalanan dan bermalam dan tempat tujuan. Kedua adalah organisasi dan fasilitas yang dinikmati wisatawan, karena pariwisata itu rumit, luas, dan membawa dampak. Ada lagi dampaknya pada ‘Pihak Lain’ atau pihak-pihak seperti pemerintah, masyarakat, ekonomi, dan orang-orang lain yang terlibat secara tidak langsung.
diklasifikasi melalui pengguna, area perencanaan atau level dari pelayanan pemerintah. Perbedaan ini dijelaskan melalui orientasi, skala analisis, dan produk dari perencanaan wisata.
Perencanaan suatu kawasan wisata juga membutuhkan perencanaan fasilitasnya, dimana seharusnya fasilitas wisata tersebut dikelompokkan menjadi satu wilayah. Selain itu, wilayah-wilayah khusus harus dibangun untuk menunjang keberadaan fasilitas wisata. Pembangunan fasilitas wisata harus lebih daripada sekedar menempatkan bangunan-bangunan, karena sebagian dari daya tarik wisata biasanya terletak pada pusat kota, tempat dengan nilai sejarah, dan sebagainya, dan biasanya dibangun dengan lokasi yang ditujukkan untuk faktor-faktor yang berbeda (Law, 1993).
Perencanaan wisata merupakan aliran sistematik dari antisipasi, sebab pelestarian maupun pengawasan terhadap perubahan yang berhubungan dengan kepentingan umum dan kepuasan pribadi. Perencanaan wisata juga merupakan proses yang berkelanjutan dari perubahan dalam respon terhadap nilai sosial, pola kehidupan, teknologi, legislasi, dan melihat ketersediaan dari sumberdaya.
DKI JAKARTA
Gambar 3. Tahapan Perencanaan Lanskap
Tahapan penelitian dalam proses perencanaan Kawasan Wisata Sejarah Kampung Tugu, Jakarta Utara ini dapat diuraikan, sebagai berikut:
1. Inventarisasi
Tahap ini merupakan tahap pengambilan data, berupa pengumpulan data primer melalui survei lapang dan pengumpulan data sekunder berdasarkan jenis data yang terkait dengan konsep perencanaan Kawasan Kampung Tugu melalui
Perkampungan Portugis Kampung Tugu Jakarta Utara
Lanskap Sejarah Aspek Wisata
Kondisi Lanskap: - Kondisi fisik alami - Pola Pemukiman - Elemen bersejarah - Pola RTH - Sosial-budaya
masyarakat - Landform, landuse
Kesejarahan: - Sejarah kawasan
Kampung Tugu - Kondisi dan elemen
yang mengandung nilai sejarah dan budaya
- Sistem pengelolaan/ pelestarian
Kondisi Fisik Penunjang Wisata: - Aksessibilitas - Sirkulasi - Fasilitas wisata
Kondisi Sosial-Ekonomi-Budaya: - Demografi dan
karakteristik penduduk
- Aktivitas sosial-ekonomi penduduk - Persepsi, harapan dan
pengaruh masyarakat sekitar
- Karakter pengunjung - Aktivitas pengunjung - Preferensi
pengunjung - Data pengunjung
Kebijakan/ Aspek Legal: - Tata ruang - Pengemb angan kawasan
1. Identifikasi Unit Lanskap Sejarah (Arsitektur Bangunan, Pola Pemukiman, Pola RTH) 2. Penilaian Daya Tarik Objek dan Atraksi WIsata
3. Kebijakan yang Mendukung 4. Keinginan Masyarakat
1. Konsep Pelestarian Lanskap 2. Konsep Pengembangan Wisata
Rencana Lanskap Kawasan Wisata Sejarah Kampung Tugu, Jakarta Utara (Zonasi Ruang Wisata, Jalur Interpretasi, Fasilitas dan Uitilitas Wisata, Sarana dan
Prasarana Wisata, Ruang Aktivitas, Tata Hijau, Aksessibilitas, Dan Sirkulasi) Inventarisasi
Analisis
Sintesis
Perencanaan
berbagai pihak antara lain pengelola kawasan Kampung Tugu, Ikatan Keluarga Besar Tugu (IKBT), serta beberapa dinas terkait, seperti sub dinas Kebudayaan Jakarta Utara, BMKG, Dinas Tata Ruang DKI Jakarta, BAPEDA DKI Jakarta, Balai Penelitian Tanah, dan Kelurahan Semper Barat.
Data yang diambil meliputi aspek lanskap sejarah, yaitu data pola pemukiman masyarakat Tugu di masa lalu serta pola pemukiman masyarakat asli Tugu di masa sekarang, fasilitas dan elemen bersejarah, sosial-budaya masyarakat, pola RTH, kesejarahan, serta pengelola atau pelestarian. Sedangkan data aspek wisata, meliputi kondisi fisik kawasan, kondisi sosial (pengunjung dan masyarakat), serta kebijakan atau aspek legal. Data dapat berbentuk data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung baik melalui survei lapang maupun wawancara, dan data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi pustaka (Tabel 2).
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang berhubungan dengan pengembangan tapak, seperti pengelola kawasan dan pemerintah daerah Jakarta Utara. Berdasarkan wawancara diperoleh informasi tentang kehidupan sosial dan ekonomi, aktivitas yang biasa dilakukan, serta keinginan atau preferensi pengunjung maupun masyarakat sekitar. Sedangkan, studi pustaka dilakukan untuk memperoleh data biofisik, kesejarahan, aspek legal, serta sosial-ekonomi masyarakat.
Tabel 2. Kelompok, Jenis dan Sumber Data
Kelompok Data Jenis Data Sumber
Lanskap Sejarah 1. Pola Pemukiman - Tata Letak - Bentuk Pemukiman 2. Fasilitas/Elemen Bersejarah - Jumlah
- Jenis - Letak - Kondisi Fisik 3. Pola RTH
- Tata Letak Vegetasi - Pola Penanaman
4. Sosial-Budaya Masyarakat 5. Sejarah Kawasan Kampung Tugu 6. Pengelolaan/Pelestarian
- Struktur Organisasi
- Jadwal Kegiatan Pengelolaan
Survei, Studi Pustaka Survei, Studi Pustaka
Wawancara, Survei, Studi Pustaka Wawancara, Survei, Studi Pustaka Wawancara, Survei, Studi Pustaka Wawancara, Survei, Studi Pustaka Survei
Survei, Studi Pustaka
Survei, Wawancara, Studi Pustaka Pengelola, Studi Pustaka
Kelompok Data Jenis Data Sumber
- Tenaga Kerja - Metode Kerja
Wawancara, Survei Wawancara, Survei Wisata 1. Biofisik
- Letak - Batas Tapak - Aksessibilitas - Luas - Iklim
a. Temperatur b. Curah Hujan c. Kelembapan - Tanah - Topografi - Hidrologi a. Kualitas b. Letak - Sirkulasi - Tata Guna Lahan - Kependudukan
a. Jumlah b. Kelompok Etnis c. Pola Penyebaran 2. Pengunjung - Jumlah - Perilaku
- Aktivitas Pengunjung - Lama Berkunjung - Keinginan Pengunjung 3. Masyarakat - Sosial-Ekonomi - Aktivitas
- Persepsi Dan Keinginan Masyarakat 4. Kebijakan/Aspek Legal
- Peraturan Tata Ruang
- Peraturan Pengembangan Wilayah
Kelurahan Semper Barat Kelurahan Semper Barat Survei PEMDA
Kelurahan Semper Barat BMKG
BMKG BMKG
Balai Penelitian Tanah
Kelurahan Semper Barat, Pengelola Survei
Survei Survei
Dinas Tata ruang DKI Jakarta Kelurahan Semper Barat Kelurahan Semper Barat Wawancara, Studi Pustaka Pengelola, Survei Survei
Survei, Wawancara Pengelola, Survei Wawancara
Kelurahan Semper Barat Survei
Wawancara
Sub Dinas Kebudayaan, Studi Pustaka Sub Dinas Kebudayaan, Studi Pustaka
2. Analisis
Tahap ini merupakan tahap pengolahan data yang telah terkumpul. Analisis yang dilakukan meliputi metode skoring, analisis spasial, dan analisis deskriptif. - Analisis dengan metode skoring dilakukan untuk menentukan titik lokasi
wisata sejarah antara lain keterkaitan zonasi dengan sejarah masyarakat Tugu, jumlah objek, tata guna lahan, pengaruh kepadatan penduduk, fasilitas wisata, dan variasi kegiatan.
Perhitungan analisis melalui metode scoring:
Interval Kelas (IK) = Skor maksimum (SMA)–Skor minimum (SMI) Jumlah Kategori (3)
= 12–0 3 = 4
Kategori : A. Tinggi = (SMI + 2.IK + 1) sampai SMA = (0 + 2.4 + 1) sampai 12
= 9 sampai 12
B. Sedang = (SMI + IK + 1) sampai (SMI + 2.IK) = (0 + 4 + 1) sampai ( 0 + 2.4)
= 5 sampai 8
C. Rendah = SMI sampai (SMI + IK) = 0 sampai ( 0 + 4)
= 0 sampai 4
- Analisis spasial merupakan tahapan analisis untuk menentukan tata ruang wisata dan tata ruang pelestarian sesuai dengan analisis skoring.
- Analisis deskriptif untuk mengetahui potensi dan kendala dari tapak dengan membuat deskripsi dari karakter lanskap pada tapak penelitian.
Hasil analisis yang diperoleh disajikan dalam bentuk deskripsi dan peta. Hasil ini selanjutnya akan diolah melalui tahapan sintesis.
3. Konsep
nilai-nilai dan elemen-elemen sejarah dan budaya masyarakat asli Tugu, dengan memanfaatkan atraksi budaya melalui hubungan antar zona kesejarahan.
4. Sintesis
Pada tahap ini dilakukan integrasi dari hasil-hasil analisis yang telah diperoleh dengan konsep yang akan dikembangkan. Hasil dari tahap sintesis adalah didapatkan tata ruang yang dikembangkan sebagai kawasan wisata sejarah Kampung Tugu. Tata ruang tersebut dikembangkan dalam bentuk konsep dasar, konsep ruang, konsep sirkulasi, konsep aktivitas dan fasilitas wisata, konsep vegetasi, konsep pelestarian kawasan, konsep interpretasi, dan konsep jalur wisata.
5. Perencanaan
4.1.1. Lokasi
Kawasan penelitian ini terletak pada wilayah Jakarta Utara, Kecamatan
Cilincing, Kelurahan Semper Barat, Kampung Tugu (Gambar 4). Kelurahan
Semper Barat memiliki batas wilayah, yaitu sebelah utara berbatasan dengan Jalan
Raya Cilincing/Kelurahan Kali Baru, sebelah timur berbatasan dengan Jalan Raya
Cilincing Kelurahan Semper Timur, sebelah barat berbatasan dengan Kali Cakung
Lama dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kali Gubuk Genteng. Kelurahan
Semper Barat memiliki luas kawasan sebesar 159,7 ha, yang terdiri dari 17 RW
dan 245 RT. Kelurahan ini berada pada ketinggian 2 meter dari permukaan laut,
dan berjarak 25 km dari pusat pemerintahan propinsi DKI Jakarta, 10 km dari
[image:40.612.97.514.358.660.2]pusat pemerintahan kotamadya, dan berjarak 5 km dari kecamatan.
Gambar 4. Peta Lokasi Kawasan Penelitian
Kawasan Kampung Tugu merupakan kawasan yang mengalami
pemekaran wilayah kelurahan pada November 1986. Daerah ini yang semula
termasuk pada wilayah administratif Kelurahan Tugu, setelah pemekaran terpecah
menjadi tiga wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Tugu Utara, Kelurahan Tugu
Selatan, dan Kelurahan Semper Barat (Dinas Museum dan Sejarah, 1993).
Kawasan Kampung Tugu yang menjadi objek studi ini berada pada daerah
administratif Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing.
Berdasarkan S. K. Gubernur Nomor Cb. 11/1/12/72, kawasan Gereja Tugu
sebagai benda cagar budaya memiliki zona perlindungan dalam radius 600 meter.
Namun, saat ini keberadaan kawasan disekitar Kawasan Gereja Tugu, tidak
memungkinkan untuk diberlakukan sebagai zona perlindungan. Hal tersebut
dikarenakan banyaknya pemukiman penduduk, kawasan industri, serta kawasan
perkantoran, sehingga tidak memperlihatkan karakter Portugis yang menjadi
karakter khas dari kawasan ini. Begitu juga dengan keberadaan elemen bersejarah
pada kawasan perlindungan, elemen yang terdapat saat ini hanya kawasan Gereja
tugu dan kawasan Rumah Tua. Pemukiman penduduk asli Tugu yang dahulu
berada di sekeliling Gereja Tugu saaat ini telah bercampur dengan penduduk lain,
sedangkan karakter Portugis telah hilang karena perubahan arsitektur rumah serta
pemukiman yang telah padat penduduk.
Oleh karena itu, kawasan penelitian yang memperlihatkan karakter
masyarakat Portugis berdasarkan denah Keluarga Tugu (Lampiran 1) yang
terdapat pada sekitar kawasan Gereja Tugu sampai dengan kawasan rumah tua
(Gambar 5). Adapun, kawasan industri berupa garasi truk kontainer akan diubah
fungsinya agar dapat menunjang kegiatan wisata, hal ini sesuai dengan penertiban
kawasan tersebut yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah Jakarta Utara1.
1
4.1.2. Aksessibilitas dan Sirkulasi
Aksessibilitas pada kawasan penelitian dapat ditempuh melalui beberapa
jalur sirkulasi. Jalur sirkulasi utama yang terdapat pada kawasan ini adalah Jalan
Raya Tugu (Gambar 6). Untuk mencapai jalur sirkulasi utama ini dapat ditempuh
hanya menggunakan jalur darat, karena transportasi air yang pernah ada pada
kawasan ini, yaitu Kali Cakung sudah tidak berfungsi lagi dikarenakan oleh
kondisi Kali Cakung yang sudah tercemar.
Jalur sirkulasi darat dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan
umum, baik berupa bus patas, metromini, mikrolet, koperasi wahana kalpika
(KWK), ojek dan becak, maupun dengan menggunakan kendaraan pribadi. Sarana
transportasi menuju kawasan penelitian memiliki jalur yang jelas serta mudah
untuk diakses.
Sarana transportasi umum yang menuju kawasan Kampung Tugu
memudahkan bagi para pengunjung, karena sarana transportasi ini tersedia mulai
dari terminal-terminal besar di Jakarta, seperti Terminal Bus Senen, Terminal Bus
Pulo Gadung, dan Terminal Bus Tanjung Priok.
Bagi wisatawan yang berangkat dari Stasiun Tanjung Priok, Jakarta
Utara, dapat melanjutkan perjalanan menuju kawasan Gereja Tugu dengan
angkutan kota bernomor 01 arah jalur Cakung-Cilincing. Setelah itu, berhenti di
jalan Raya Tugu,
Gambar 5. Lokasi Penelitian
Gambar 6. Peta Aksessibilitas Menuju Tapak ✆
kemudian tinggal berjalan kaki, dengan jarak sekitar 250 meter. Jika berangkat
dari Terminal Bus Senen, maka dapat menggunakan angkutan umum yaitu
Metromini bernomor 07 arah jalur Senen-Semper dan selanjutnya berhenti di
Pasar tugu untuk melanjutkan dengan KWK nomor 02 yang akan melewati Jalan
Raya Tugu. Begitu juga dengan wisatawan yang berangkat dari Terminal Bus
Pulo Gadung, dapat menggunakan angkutan umum, yaitu Metromini bernomor 41
arah jalur Pulo Gadung-Tanjung Priok, selanjutnya berhenti di Pasar Tugu dan
melanjutkan dengan KWK bernomor 02.
Wisatawan yang ingin berkunjung ke kawasan Kampung Tugu dengan
menggunakan kendaraan pribadi dapat melalui Jalan Yos Sudarso, Tanjung Priok,
dan selanjutnya menuju ke arah Semper melalui Pasar Ular Plumpang, setelah
melalui perlimaan Semper, mengambil jalur ke arah Pasar Tugu dan selanjutnya
melalui Jalan Raya Tugu.
Perkembangan jaman, menjadikan kawasan ini mengalami perubahan
fungsi menjadi kawasan industri, terutama karena letaknya yang dekat dengan
Pelabuhan Tanjung Priok. Perubahan fungsi ini juga berpengaruh terhadap jalur
sirkulasi menuju kawasan Kampung Tugu. Jalur sirkulasi menuju kawasan ini
padat dan seringkali terjadi kemacetan, terutama pada pagi dan sore hari.
Permasalahan sirkulasi menuju tapak juga terdapatnya kerusakan pada beberapa
bagian jalur sirkulasi berupa jalan yang berlubang maupun jalan yang
bergelombang. Maka, seharusnya jalur sirkulasi pada kawasan ini lebih
diperhatikan seperti menertibkan kegiatan industri dan pembuatan jalur khusus
bagi truk-truk besar agar tidak terjadi kepadatan dan tidak menganggu aktivitas
wisata yang nantinya akan dikembangkan.
Kawasan Kampung Tugu merupakan salah satu kawasan cagar budaya
yang terdapat di Indonesia dan dilestarikan secara khusus. Maka dari itu,
sebaiknya pemerintah memperhatikan jalur sirkulasi yang berada disekitar
kawasan Gereja Tugu maupun aksessibilitas menuju kawasan Kampung Tugu,
dengan memberikan penunjuk jalan yang jelas serta dapat dimengerti dengan baik.
Hubungan antara transportasi dan tata guna lahan sangatlah penting.
Bermacam-macam pola pengembangan lahan menghasilkan bermacam-macam
mempengaruhi pola pengembangan lahan. Pada lingkungan perkotaan, sistem
transportasi dan pola tata guna lahan saling berpengaruh, dengan berubahnya
salah satu dari bagian tersebut akan menghasilkan perubahan pada bagian yang
lain. Maka dari itu, harus dilakukan perbaikan terhadap sistem transportasi, salah
satunya data dilakukan dengan Transportation System Management (TSM).
Beberapa usaha yang dapat dilakukan dalam daftar TSM, meliputi: perbaikan arus
kendaraan, perlakuan istimewa bagi kendaraan berpenumpang banyak,
mengurangi periode puncak perjalanan, manajemen parkir, perbaikan angkutan
(kota) dan “angkutan pinggiran”, pembatasan penggunaan kendaraan atau
menggunakan kendaraan berpenumpang banyak, strategi manajemen angkutan,
dan manajemen perjalanan yang lebih baik yang berkenaan dengan pekerjaan.
4.1.3. Tata Guna Lahan
Berdasarkan data statistik wilayah DKI Jakarta tahun 2005, pengunaan
lahan pada kawasan Kecamatan Cilincing sebagian besar merupakan lahan
terbangun, antara lain pemanfaatan sebagai lahan pemukiman penduduk sebanyak
32.68%, lahan industri sebanyak 25.59%, kantor dan pergudangan sebanyak
4.81%. Sedangkan, lahan tidak terbangun pemanfaatannya hanya sebagai lahan
pertanian sebanyak 15.28%, serta terdapat pemanfaatan lahan lainnya sebanyak
Kelurahan Semper Barat merupakan kawasan dengan penggunaan lahan
sebesar 82.7% merupakan lahan terbangun. Dimana pemanfaatan lahan terbangun
sebagian besar merupakan kawasan pemukiman penduduk, pemanfaatan lain
adalah sebagai areal industri, perkantoran, dan pergudangan. Sedangkan untuk
penggunaan lahan yang merupakan lahan terbuka terdiri dari sungai, ruang
terbuka hijau, lahan pertanian, dan lahan kosong.
Kondisi penggunaan lahan pada Kelurahan Semper Barat mengalami
perkembangan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang menempati
kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan kondisi kawasan DKI Jakarta yang semakin
padat penduduk, sehingga semakin banyak lahan pertanian dan lahan terbuka
hijau lainnya yang semakin berkurang dan digantikan dengan lahan pemukiman.
Kawasan rawa dan hutan yang semula berada pada kawasan ini, saat ini sudah
[image:46.612.105.521.65.406.2]hilang dan digantikan dengan lahan terbangun. Perkembangan penggunaan lahan Gambar 7. Peta Tata Guna Lahan Kelurahan Semper Barat
terbangun sebagai lahan industri dikarenakan lokasi yang berdekatan dengan
Pelabuhan Tanjung Priok, sehingga banyak dibangun gudang penyimpanan peti
kemas serta garasi bagi truk-truk pengantar barang.
Kampung Tugu yang pada mulanya termasuk salah satu daerah pertanian
yang menghasilkan padi yang cukup potensial, sekarang sudah memasuki era
pembangunan. Sebagian daerah pertanian telah berkembang menjadi daerah
pemukiman dan daerah industri. Sawah-sawah yang tersisa, walaupun masih
dipakai sebagai tanah garapan, sudah tidak diolah lagi. Selanjutnya daerah
persawahan yang masih ada akan dijadikan daerah pemukiman dan industri sesuai
dengan rencana induk pembangunan Pemerintah DKI Jakarta. Di sepanjang jalan
raya sekarang tidak lagi kita jumpai pohon-pohon yang rindang atau padi yang
sedang menguning, melainkan sudah menjadi tempat pemukiman, pertokoan,
bengkel, dan gudang-gudang.
Lingkungan disekitar kawasan Kampung Tugu terdiri dari lahan terbangun
antara lain pemukiman pendudut yang rapat, kawasan industri sebagai garasi bagi
truk-truk container, dan lahan terbangun lainnya. Namun terdapat pula lahan
terbuka, seperti kawasan terbuka hijau, Kali Cakung, dan lahan tidak terbangun
(Gambar 8).
Kawasan industri yang berada di sekitar kawasan penelitian sangat tidak
sesuai bagi kegiatan wisata. Ketidaksesuaian tersebut terutama karena banyaknya
debu dan polusi yang disebabkan oleh padatnya kegiatan lalu lalang kendaraan
serta keadaan lingkungan yang kering dan sangat jarang terjadi hujan. Kawasan
industri akan lebih baik jika direlokasi menjadi satu kawasan khusus dan
digantikan dengan peruntukan lahan yang dapat menunjang kegiatan wisata.
Keberadaan lahan pemukiman yang padat penduduk di sekitar kawasan
penelitian dapat dimanfaatkan bagi kegiatan wisata, yaitu dengan memberikan
penyuluhan kepada masyarakat tentang kegiatan wisata maupun dengan
mempertahankan kegiatan sosial yang dapat mendukung kegiatan wisata. Namun
lahan pemukiman juga harus diperhatikan perkembangannya agar tidak semakin
mengurangi lahan terbuka yang berada di sekitar kawasan dengan melakukan
4.1.4. Biofisik
4.1.4.1. Klasifikasi Jenis Tanah
Kawasan Gereja Tugu berada dalam Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.
Berdasarkan peta jenis tanah (Gambar 9), kawasan Jakarta Utara memiliki jenis
tanah dengan simbol Ujung Petang (UPG).
Tanah dengan simbol UPG termasuk jenis tanah dengan taksonomi
Ustipsamments dan Tropaquents. Berdasarkan taksonomi tersebut dapat diketahui
Tanah entisol merupakan jenis tanah yang baru mulai berkembang yang
dicirikan oleh belum terjadinya perkembangan horizon tanah. Jenis tanah ini
penyebarannya sangat bervariasi di Indonesia, namun sebagian besar daerah
penyebarannya merupakan kawasan pantai dan rawa. Tekstur tanah entisol
cenderung berpasir baik pada lapisan tanah bagian atas maupun bagian bawahnya
(Soepardi, 1983).
Jenis tanah entisol yang biasanya dipergunakan sebagai lahan pertanian
dan perkebunan (Hardjowigeno, 2003). Hal ini memperkuat keadaan Kampung
Tugu yang dahulu merupakan daerah sawah, rawa, dan hutan.
4.1.4.2. Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan untuk peruntukan pertanian, perkebunan, maupun
peruntukan lainnya dipengaruhi oleh jenis tanah dan geologinya. Kesesuaian
lahan berdasarkan tipe penggunaan lahan tertentu, pada kawasan Kecamatan
Cilincing dapat dibagi menjadi peruntukan lahan untuk pekarangan, pertanian
lahan kering, pertanian lahan basah, peternakan, perikanan air payau, pengairan
[image:49.612.128.527.78.287.2]pasang surut, tanaman perdagangan, perhutan tanian, dan penghutanan kembali. UPG
Gambar 9. Peta Jenis Tanah
Jenis tanah entisol yang terdapat pada kawasan Kecamatan Cilincing
merupakan jenis tanah yang kurang baik dan kurang subur, karena jenis tanah ini
merupakan jenis tanah yang baru berkembang sehingga kesuburannya kurang.
Penggunaan lahan pada jenis tanah entisol hanya sesuai bagi peruntukan lahan
penghutanan kembali. Sedangkan bagi penggunaan lahan untuk pekarangan,
termasuk dalam sistem lahan yang tidak sesuai yang mempunyai faset kecil sesuai
didalamnya. Tipe penggunaan lahan lain tidak sesuai karena penggunaan lahan
pada kawasan ini tidak memungkinkan untuk dipakai secara tetap (Turkandi T.,
Sidarto, D. A. Agustyanto, dan M. M. P. Hadiwidjojo, 1992).
Berdasarkan kelas kesesuaian lahan menurut Jawatan Pengawetan Tanah
dan Air Amerika Serikat dikenal delapan kelas kesesuaian lahan. Dari kelas
kesesuaian lahan tersebut jenis tanah pada Kecamatan Cilincing, termasuk
kedalam kelas VIII, dimana lahan yang termasuk ke dalam kelas ini merupakan
lahan yang tidak boleh dipakai untuk produksi tanaman secara komersial.
Penggunannya hanya terbatas pada kegiatan rekreasi, cagar alam, sumber air dan
tujuan-tujuan keindahan. Biasanya tanah yang termasuk ke dalam kelas VIII
adalah pantai berpasir, tonjolan batu, dan daerah luapan sungai.
Kesesuaian lahan yang berada pada kawasan Kecamatan Cilincing
disesuaikan dengan pengunaannya untuk kegiatan wisata yang akan direncanakan
pada kawasan Kampung Tugu, seperti kemampuan untuk menunjang sarana dan
prasarana wisata. Hal lain yang harus diperhatikan adalah kondisi tanah yang
sangat sering dilalui oleh kendaraan-kendaraan berat. Kawasan Jakarta Utara
merupakan kawasan rawan banjir, karena letaknya yang merupakan tempat
bermuara sembilan sungai dan dua banjir kanal. Hal ini perlu dipertimbangkan,
khususnya bagi kegiatan wisata, agar kegiatan wisata dapat tetap berlangsung
tanpa terganggu oleh kemungkinan bencana banjir.
Keadaan kawasan Kampung Tugu saat ini sudah sangat memprihatinkan,
terutama dalam hal penggunaan lahan untuk menunjang bangunan-bangunan
bersejarah, banyak bagian bangunan yang mengalami keretakan dan bangunan
mengalami perubahan khususnya dalam hal kemiringan bangunan yang berubah
b. Drainase a. Kali Cakung
Perubahan dan kerusakan yang terjadi pada bangunan-bangunan tersebut, tidak
lepas dari permasalahan kendaraan-kendaraan berat yang melalui kawasan ini,
Maka sebaiknya pemerintah daerah memperhatikan hal tersebut dengan
melindungi kawasan bersejarah dan kawasan penting lainnya dari kawasan
industri.
4.1.4.3. Kondisi Hidrologi
Kawasan Kampung Tugu merupakan kawasan yang dikelilingi oleh
sumber air yang potensial sebagai sarana transportasi air, yaitu Kali Cakung.
Selain itu, hidrologi yang berada pada kawasan Kampung Tugu juga berasal dari
drainase besar yang berada pada sisi-sisi Jalan Raya Tugu (Gambar 10).
Drainase yang terdapat pada sisi Jalan Raya Tugu memiliki lebar 1 m dan
kedalaman 1 m, dengan bahan dasar semen yang dibentuk sesuai ukuran lebar dan
kedalaman drainase. Lokasi dari drainase tersebut adalah di sebelah utara dan
barat tapak yang berbatasan langsung dengan pagar yang membatasai kawasan
Gereja Tugu, dan juga pada sisi kiri serta kanan Jalan Raya Tugu. Fungsi saluran
drainase ini adalah untuk mengalirkan air yang berasal dari Jalan Raya Tugu
menuju Kali Cakung. Kondisi drainase kurang baik, karena air yang mengalir
pada saluran drainase ini sangat kotor, berwarna keruh, dan banyak terdapat
sampah, namun alirannya sangat lancar.
Kali Cakung dapat dimanfaatkan kembali sebagai sarana transportasi air
bagi masyarakat sekitar maupun bagi para wisatawan yang berkunjung ke
kawasan Gereja Tugu. Kali Cakung sebagai sarana transportasi air juga dapat
mendukung kegiatan wisata, karena dapat menghubungkan Gereja Tugu dengan
kawasan wisata lain di Jakarta Utara, seperti Jakarta Islamic Center dan Rumah Si
Pitung, karena Kali Cakung juga mengalir melalui kawasan-kawasan tersebut.
Namun pengembalian fungsi Kali Cakung sebagai transportasi air tidaklah mudah,
membutuhkan program pembersihan kondisi Kali Cakung yang tepat, agar dapat
tercipta kondisi yang sesuai untuk dimanfaatkan sebagai sarana transportasi yang
nyaman. Pemerintah dapat bekerja sama dengan warga sekitar Kali Cakung untuk
melakukan pembersihan Kali Cakung serta pengembalian kondisi air Kali Cakung
agar tidak berbau serta tidak berwarna dan jauh dari sampah.
4.1.4.4. Kondisi Iklim
Kawasan Gereja Tugu termasuk kedalam wilayah Jakarta Utara yang
merupakan kawasan pantai beriklim panas. Suhu udara rata-rata pada kawasan ini
28.660C, dengan suhu udara maksimum 33.950C, dan suhu udara minimum
23.630C. Sedangkan curah hujan rata-rata pada daerah ini sebesar 149.99
mm3/bln, tekanan udara 1009.86 mb, kecepatan angin 3.60 knot, penyinaran
Kondisi iklim pada kawasan studi ini merupakan kawasan dengan iklim
pantai yang panas. Iklim pantai yang panas menyebabkan kawasan ini menjadi
kawasan kering dan memiliki curah hujan yang rendah sehingga menyebabkan
banyaknya debu pada kawasan Kampung Tugu dan sekitarnya. Berdasarkan
pengamatan langsung di lapang, didapatkan hasil bahwa kenyamanan pada
kawasan penelitian sangat kurang khususnya dari segi iklim. Banyaknya debu dan
kendaraan yang lewat menyebabkan debu tersebut berterbangan dan menganggu
para pejalan kaki. Menurut Gambar 11. Intensitas hujan BMKG DKI Jakarta,
dapat dilihat bahwa kawasan Jakarta Utara termasuk kedalam kawasan dengan
intensitas hujan yang rendah, maka dari itu, keadaan curah hujan yang rendah
pada kawasan penelitian harus dipertimbangkan khususnya untuk pemilihan
[image:53.612.136.524.107.315.2]vegetasi yang akan ditanam dan untuk menunjang kenyamanan kegiatan wisata. Tabel 3. Data Iklim
Pengaruh keadaan iklim terhadap kenyamanan thermal yang merupakan
suatu kondisi yang dirasakan oleh manusia bukan oleh benda, binatang, dan
arsitektur, tetapi dikondisikan oleh lingkungan dan benda-benda sekitar
arsitekturnya (Surjamanto, 2000).
Keberadaan tapak yang berada pada kawasan pantai dengan sinar matahari
yang cukup menyengat dapat dilakukan dengan mengurangi radiasi matahari yang
masuk ke tapak dengan menggunakan sun shading (pembayangan matahari),
dimana pembayangan ini memiliki tiga tipe, antara lain pembayangan vertikal,
pembayangan horizontal, dan kombinasi pembayangan vertikal dan horizontal.
Tipe pembayangan yang terakhir adalah tipe yang paling efektif, karena sekaligus
dapat menyelesaikan arah sinar matahari vertikal dan horizontal.
4.1.4.5. Kondisi Vegetasi dan Satwa
Vegetasi memiliki peranan penting untuk mengontrol runoff, erosi,
stabilitas kemiringan tanah, iklim mikro, dan bising. Di dalam sebuah
perencanaan tapak vegetasi tidak hanya digunakan untuk mengontrol lingkungan,
tetapi juga untuk menambah keindahan, bingkai ruang, mempengaruhi perilaku
[image:54.612.185.479.75.280.2]pedestrian, dan mengontrol pembatas.
Kawasan Kampung Tugu merupakan kawasan yang terletak di sekitar
pantai utara Jakarta, sehingga iklim, tanah, serta kondisi fisik yang berada pada
kawasan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi pantai. Begitu juga dengan vegetasi
yang berada pada kawasan ini, sebagian besar merupakan pepohonan besar yang
dibiarkan tumbuh tanpa pola tertentu dan terdapat pula beberapa vegetasi khas dan
dominan berada pada kawasan sekitar Kampung Tugu.
Vegetasi khas secara budaya dan sejarah yang terdapat pada kawasan
Kampung Tugu, antara lain sawo kecik, sengon, dan ketapang (Gambar 12).
Selain vegetasi khas tersebut, terdapat pula beberapa vegetasi lain yang ditanam
pada kawasan ini seperti pohon asem yang sudah tumbuh rimbun dan besar,
pohon asem ini konon menurut narasumber2 disebutkan bahwa ditanam oleh
puteri mantan presiden Indonesia kedua, yaitu ibu Siti Hardianti Rukmana. Pohon
ini ditanam bersamaan dengan pohon sawo kecik. Hanya saja, sawo kecik sudah
tidak terdapat lagi pada kawasan Kampung Tugu.
Vegetasi yang terdapat pada kawasan Gereja Tugu, antara lain kamboja
yang banyak terdapat disekitar kuburan, cemara yang terdapat di luar pagar
pembatas kawasan Gereja Tugu, sengon, sawo Belanda, dan akasia yang banyak
terdapat di sekitar tempat parkir.
2
Beberapa vegetasi y
terdapat pada tapak seperti
ketapang (Terminalia catap
juga merupakan vegetasi kh
pantai.
Selain vegetasi yang
besar merupakan serangga
kupu-kupu, belalang, capung
Vegetasi serta satwa
kawasan Kampung Tugu
ataupun mengurangi keindah
ini berada kurang diperhatik
endemik yang dapat emper
dilakukan penataan vegetasi
dapat menambah keindahan
digunakan pepohonan yang
seperti yang telah ada pada
kenyamanan.
Ga (a) Pohon Asem (Tamar
i yang merupakan vegetasi pada masa kolonial m
rti pohon asem (Tamarindus indica). Selain itu, p
tappa) yang merupakan vegetasi eksisting pada
khas pada kawasan dan menandakan vegetasi kawa
ng beragam terdapat pula beberapa satwa, yang seb
a yang banyak terdapat di sekitar pepohonan, se
ng, nyamuk, semut dan ulat.
wa yang beragam dapat memberikan pengaruh terh
u sebagai kawasan wisata, karena dapat mena
ahan serta kenyamanan pengunjung. Vegetasi yang
tikan penataannya, serta kurang memperhatikan veg
erkuat identitas Kampung Tugu. Akan lebih baik
asi baik dari segi fungsi, bentuk, maupun letaknya,
an dan kenyamanan pengunjung. Selain itu, dapat
ang rindang dan pepohonan yang mengurangi p
da bagian luar pagar pembatas tapak, untuk mena Gambar 12. Vegetasi pada Tapak
marindus indica) (b) Pohon Sengon (Albazia fal
l masih
, pohon
a tapak
awasan ebagian seperti erhadap nambah ang saat egetasi
aik jika
ya, agar
at juga
polusi
4.1.5. Kependudukan
Kawasan Kampung Tugu termasuk ke dalam wilayah administrasi
Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Kelurahan Semper Barat terdiri dari 245 RT dan 17 RW. Jumlah penduduk
kelurahan Semper Barat pada tahun 2009 berjumlah 61.583 jiwa atau 13.312 KK,
dengan jumlah penduduk laki-laki 29.971 orang dan jumlah penduduk perempuan
31.574 orang.
Kelompok umur produktif manusia secara ekonomi (15 – 64 tahun) pada
Kelurahan Semper Barat berjumlah 44.423 jiwa. Tingginya jumlah masyarakat
produktif dapat membantu kegiatan pariwisata yang akan dilaksanakan pada
Kelurahan Semper Barat, dengan berpartisipasi sebagai pengelola kawasan
maupun kegiatan promosi kawasan wisata.
Kawasan Kampung Tugu merupakan kawasan yang pada jaman dahulu
dihuni oleh masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan keturunan Portugis.
Namun saat ini mayoritas penduduk pada kawasan tersebut beragama Islam, yaitu
sebanyak 41.661 orang atau 67.65%, dengan etnis yang beragam.
Data yang didapat dari monografi Kelurahan Semper Barat, jumlah
penduduk yang memiliki mata pencaharian sebanyak 24.166 orang atau 39.24 %
dari keseluruhan penduduk Kelurahan Semper Barat. Data tersebut menunjukkan
bahwa penduduk di Kelurahan Semper Barat sebagian besar belum memiliki
pekerjaan atau belum memiliki pekerjaan yang tetap. Permasalahan tersebut dapat
ditanggulangi melalui langkah-langkah yang tepat dari pemerintah untuk
menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan dan memperhatikan kesejahteraan
warganya. Salah satu lapangan pekerjaan yang dapat diciptakan untuk