• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan"

Copied!
289
0
0

Teks penuh

(1)

PROSIDING

Seminar Nasional

Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Jalan Doktor Mansyur 7, Kampus USU Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara 20155 20 September 2014

Hak Cipta Dilindungi Copyright ® 2014 ISBN: 979-458-771-0

Editor

Omar Khalifa Burhan, M.Sc Meutia Nauly, M.Si, Psikolog Ridhoi M. Purba, M.Si

Reviewer

Prof. Dr. Irmawati, Psikolog Rika Eliana, M.Si, Psikolog Zulkarnain, Ph.D Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, Psikolog

Layout editor

(2)

Jl. Universitas No. 9 Kampus USU Medan, Indonesia

Telp.061-8213737, Fax 061-8213737

Kunjungi kami di : http://usupress.usu.ac.id

Terbitan pertama 2014

USU Press Publishing & Printing 2014

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak, menyalin, merekam seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN 979 458 771 0

Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Prosiding Seminar Nasional Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan/ Omar Khalifa Burhan [et. al.] -– Medan: USU Press, 2014.

vii, 280 p. ; ilus.: 29 cm Bibliografi

ISBN: 979-458-771-0

(3)

PANITIA

Penasehat : Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K)

Penanggungjawab : Prof. Dr. Irmawati, Psikolog

Panitia inti

Ketua : Ari Widiyanta, M.Si, Psikolog Bendahara : Sherry Hadiyani, M.Psi, Psikolog Koordinator

kesekretariatan

: Sarah Fadilla, S. Psi

Koordinator publikasi dan

proceeding

: Omar Khalifa Burhan, M.Sc

Koordinator relasi publik : Ridhoi M. Purba, M.Si

Koordinator acara : Meutia Nauly, M.Si, Psikolog Koordinator seleksi

makalah

: Rika Eliana, M.Psi, Psikolog

Koordinator keamanan dan kebersihan

: Iskandar

Koordinator konsumsi : Lili Garliah, M.Psi, psikolog Koordinator penerima

tamu

: Indri Kemala, M.Psi, psikolog

Koordinator ruangan : Josetta M. R. Tuapattinaja, M.Psi, Psikolog Koordinator dokumentasi : Arif Khairul Dalimunthe

Pelaksana

Asisten ruang : Ajeng Diah Andhini, Cellia Elisabeth Sertifikat : Dina Maharani, Priscilla Debora, Yunita Notulen : Winda Lidya, Rizqa Rethiza, Niesya Harahap Penerima tamu : Laili Isrami, M. Yani Bagus, Rossie Janette,

Nurul Fadhillah, Shellani Raudoh, Wicaksono Aji, Natasha Irena, Debora Sitompul, Ahmad Yusuf Tamin, M.Rajief

Teknisi : Ahmad Khalid, Fauzi Rozi

(4)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

KATA PENGANTAR

Syukur, alhamdulillah kami panjatkan kepada Tuhan yang maha kuasa, karena atas ijinnya prosiding Seminar Nasional Hidup Harmoni dalam Kebhinekaan ini dapat terselesaikan. Prosiding ini merupakan hasil akhir dari seminar nasional yang sudah diselenggarakan pada tanggal 20 September 2014. Prosiding ini diharapkan akan memberikan penambahan wawasan dan mendorong para peneliti di Indonesia untuk melakukan riset-riset yang dapat memberikan pencerahan bagi terciptanya kehidupan nasional yang harmonis. Selesainya prosiding ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu terimakasih kami ucapkan kepada:

1) Gubernur Sumatera Utara beserta jajarannya.

2) Kepala Bagian Badan Kesbangpol dan Linmas Pemprovsu beserta jajarannya

3) Rektor Universitas Sumatera Utara beserta jajarannya.

4) Dekan Fakultas psikologi Universitas Sumatera Utara beserta jajarannya.

5) Seluruh panitia Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinekaan yang telah bahu membahu sehingga seminar tersebut dapat

menghasilkan sebuah prosiding.

6) Seluruh panelis dan peneliti dari berbagai wilayah Indonesia yang telah mempresentasikan makalahnya.

7) Seluruh pihak yang tidak dapat kami sebut satu persatu yang telah mendukung sampai akhirnya prodising ini dapat selesai.

Akhir kata semoga dukungan yang telah diberikan oleh berbagai pihak tersebut mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan yang maha kuasa. Selanjutnya keberadaan prosiding ini kami harapkan dapat menjadi penggugah semangat dan penambah wawasan bagi terciptanya kehidupan yang lebih baik dan harmonis di Indonesia

Medan, 30 November 2014

Ari Widiyanta, M.Psi, Psikolog

(5)

DAFTAR ISI

KEYNOTE SPEAKER & PANELIS ii

PANITIA iii

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI v

PERANAN KECERDASAN KULTURAL BAGI PENYELENGGARA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Adi Kristiawan dan Kuncono Teguh Yunanto

1

KARAKTER UTAMA PERAWAT SEBAGAI PELAYAN KESEHATAN YANG MULTIKULTURAL

Alhamdu

11

MODEL KESADARAN TENTANG KONSEP KEBERAGAMAN DAN TOLERANSI UNTUK MENGURANGI POLA PERILAKU KEKERASAN DI MASYARAKAT: STUDI DI LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN MALANG DAN GURUKULA BALI

Kadek Wiwik Indrayanti dan Ardhiana Puspitacandri

19

PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR

Ferry Novliadi dan Arief Tri Prabowo

29

TINGKAT TURNOVER KARYAWAN DITINJAU DARI BUDAYA ORGANISASI PADA KARYAWAN PT. ‗X‘ DI PALEMBANG

Dwi Hurriyati

35

KEBAHAGIAAN PADA BHANTE THERAVADA

Hakisukta dan Juliana Irmayanti Saragih 42

SELF CONSTRUALS DAN KONTAK SEBAGAI PREDIKTOR

UNIVERSAL-DIVERSE ORIENTATION (STUDI PADA PERGURUAN TINGGI DI KOTA MEDAN)

Meutia Nauly dan Moyang Kasih Dewimerdeka

51

HUBUNGAN SELF-EFFICACY DENGAN KEPUASAN KERJA PADA KARYAWAN PT. TELKOM MEDAN

Nenny Ika Putri

60

DINAMIKA PERSONAL ADJUSTMENT PADA MANTAN PSK

(6)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

KEPUASAN HIDUP PADA KOMUNITAS PEDAGANG PASAR TERAPUNG DAN PEDAGANG RUMAH LANTING DI PINGGIRAN SUNGAI SEKITAR BANJARMASIN

Sukma Noor Akbar

78

HUBUNGAN ANTARA RASA AMAN DI SEKOLAH DAN RESPONS BYSTANDER DALAM SITUASI BULLYING PADA SISWA SLTA

Aries Yulianto dan Sherly Mega Pratiwi

87

PENGARUH DARI JENDER PELAKU, KORBAN, DAN BYSTANDER TERHADAP RESPONS BYSTANDER PADA SITUASI BULLYING

Aries Yulianto dan Imaniar Agustina

99

HUBUNGAN PERSEPSI KONGRUENSI BUDAYA DENGAN

INTERGROUP CONTACT PADA SUKU BATAK TOBA TERHADAP SUKU NIAS DI KABUPATEN SIMALUNGUN

Tota Fierda R. A. Simbolon dan Omar Khalifa Burhan

112

KEHARMONISAN INTERAKSI ANTAR KOMUNITAS ETNIS DALAM PARTISIPASI PEMBANGUNAN

Sismudjito

119

PERSPEKTIF PSIKOLOGI HUMANISTIK ABRAHAM MASLOW DALAM MENINJAU MOTIF PENDULANG INTAN YANG PERNAH MENGALAMI KECELAKAAN KERJA

Silvia Kristanti Tri Febriana

126

MAKNA HIDUP PADA WANITA ACEH BERGELAR SYARIFAH YANG MELAJANG

Rizki Amanda dan Rahma Yurliani

132

PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA TERHADAP PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA PASANGAN BEDA ETNIS (BATAK TOBA – TIONGHOA)

Rentika Sinaga dan Liza Marini

141

PERANAN SELEKSI KERJA TERHADAP KOMITMEN DAN PENGEMBANGAN ORGANISASI

Rooswita Santia Dewi dan Neka Erlyani

148

PERAN DARI PERSEPSI ANCAMAN TERHADAP PERILAKU MENGHINDARI SUKU LAUT OLEH SUKU MELAYU DI KEPULAUAN RIAU

Meutia Nauly dan Raja Zalia Gustiana

159

SIKAP GURU TERHADAP PEMBELAJARAN BERMUATAN MULTIKULTURAL

Filia Dina Anggaraeni dan Fasti Rola

(7)

GAMBARAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA WANITA SANDWICH GENERATION ETNIS MINANGKABAU

Cassia Divina L. M. dan Liza Marini

175

PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP KOMITMENT KARYAWAN PADA PERUSAHAAN DISTRIBUSI

Dwiyana Savira dan Ferry Novliadi

185

PENYESUAIAN SOSIAL ANAK JALANAN YANG MENGALAMI KEKERASAN FISIK DAN PSIKOLOGIS DITINJAU DARI GAYA KELEKATAN DENGAN ORANGTUA

Emma Yuniarrahmah, Rooswita Santia Dewi, dan Herawati

194

TRUST MAHASISWA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TERHADAP DPRP KOTA MEDAN

Ari Widiyanta dan Rahmi Zuraida

203

DINAMIKA PENGAMBILA KEPUTUSAN UNTUK MENJADI PEKERJA SEKS KOMERSIAL

Juliana Irmayanti Saragih dan Josetta M.R. Tuapattinaja

213

PENYESUAIAN SEKSUAL PADA WANITA YANG MENIKAH

MELALUI PROSES TA‘ARUF

Rodiatul Hasanah Siregar dan Zukhrini Khalish Nasution

217

PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA DALAM ERA OTONOMI DAERAH

Muba Simanihuruk

226

KENDALA PENDIDIKAN INDONESIA DI DALAM MEWUJUDKAN HARMONI DALAM KEBHINNEKAAN PANCASILA DAN STANDAR NASIONAL PERGURUAN TINGGI SNPT

Jusuf Sutanto dan Vinaya

238

BIG FIVE PERSONALITY PADA SUKU BATAK TOBA

Armen Jenranly Samosir dan Etti Rahmawati 248

GAMBARAN MOTIF SOSIAL MAHASISWA SUKU SIMALUNGUN YANG BERDOMISILI DI KOTA MEDAN

Erika Hotmaulina Sinaga dan Ridhoi Meilona Purba

255

ISLAMISME, DEPRIVASI RELATIF, DAN PERSEPSI ANCAMAN PADA SEBAGIAN MASYARAKAT ISLAM DI MEDAN

Irmawati dan Omar Khalifa Burhan

(8)
(9)

PERANAN KECERDASAN KULTURAL BAGI

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

MULTIKULTURAL

Adi Kristiawan dan Kuncono Teguh Yunanto

Universitas Persada Indonesia YAI Jakarta adicapri@yahoo.com

ABSTRAK

Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas (Liliweri, 2005). Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat (Savage & Armstrong, 1996). Pendidikan multikultural dapat dijalankan dengan baik apabila didukung oleh kesadaran (awareness), pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan perilaku (behavior) yang tinggi atas suatu kondisi sosial yang mencerminkan adanya keberagaman budaya dari aktor-aktor yang terlibat di dalam pendidikan tersebut, terutama pada guru dan muridnya. Kesadaran, pengetahuan, sikap dan perilaku yang secara efektif difungsikan dan dikelola dalam situasi keberagaman budaya oleh para ahli disebut dengan kecerdasan kultural (cultural intelligence). Kecerdasan kultural mengkombinasikan dimensi emosi, kognitif dan perilaku dalam menghadapi kondisi lintas budaya dan memberikan kemampuan lebih efektif dalam berkomunikasi lintas budaya. Orang-orang dengan kecerdasan kultural yang tinggi diharapkan dapat secara efektif beradaptasi dan berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, serta mampu dengan cepat menyelesaikan masalah atau konflik yang berkaitan dengan perbedaan budaya. Tulisan ini mencoba menelaah secara kepustakaan pentingnya peranan kecerdasan kultural bagi individu bagi keefektifan pembelajaran yang berbasis multikultural.

Kata-kata kunci: Kecerdasan kultural, pendidikan multikultural

Negara Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain sehingga negara-negara Indonesia dapat disebut sebagai masyarakat

―multikultural‖. Bahkan dapat dikatakan Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Keberagaman tersebut semestinya menjadi sumber daya yang besar dalam upaya membangun bangsa. Namun sejarah bangsa ini mencatat beberapa peristiwa yang memilukan akibat konflik yang terjadi karena keragaman yang ada.

(10)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

individu satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, seperti diskriminasi, ketidakadilan, bahkan pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia seperti kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, kejahatan seksual, dan sebagainya.

Perlu adanya upaya kongkrit dalam menanggulangi masalah kemajemukan yang yang memiliki implikasi negatif tersebut. Salah satu upayanya yakni membangun kesadaran bersama akan pentingnya nilai-nilai kebersamaan di dalam masyarakat. Hal tersebut dapat diupayakan dengan penerapan pendidikan multikultural yang dapat ditanamkan baik di rumah, sekolah, tempat kerja, dan lainnya. Pendidikan multikultural bertujuan untuk menanamkan sikap yang dapat menerima dan menghargai perbedaan.

Pendidikan multikultural dapat dicapai apabila adanya peran serta, dukungan, dan

kerja-sama yang baik dari guru, institusi pendidikan dan para pengambil kebijakan pendidikan lainya. Guru selain memiliki sikap yang terbuka terhadap multikultural sebagai modal dasar juga perlu memahami konsep dan strategi pendidikan multikultural agar nilai-nilai utama yang terkandung dalam strategi dan konsep pendidikan tersebut seperti pluralisme, demokrasi, humanisme, dan keadilan dapat juga diajarkan sekaligus memberikan contoh-contoh kongkret, dan mempraktekkannya dihadapan para siswa.

Sebagai profesional, seorang pendidik diharapkan dapat menyampaikan materi pembelajaran secara efektif dan membuat kelas menjadi tempat yang menyenangkan untuk belajar. Pendidikan multikultural juga membutuhkan suatu keahlian (mastery) dari seorang pendidik. Hanya dengan mendapatkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi guru yang kompeten terhadap masalah kultural, guru diharapkan dapat mengaktualisasikan komitmen profesionalnya untuk tercapainya keberhasilan akademik bagi seluruh siswanya (Moule, 2012). Guru yang memiliki kecerdasan kultural akan lebih mudah mendapatkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan tersebut. Kecerdasan kultural merupakan kemampuan individu dalam menemukan, mencerna, memahami dan bertindak tehadap isyarat kultural dengan tepat dalam situasi dimana muncul adanya perbedaan budaya. Hal ini adalah suatu domain spesifik dan mempunyai relevansi khusus terhadap setting multikultural dan konsteks global (Earley & Ang, 2003).

Pendidikan multikultural

Pendidikan multikultural menurut Ameny-Dixon (2011) adalah suatu pendekatan belajar mengajar yang didasari oleh nilai-nilai demokratis yang menghargai adanya pluralisme budaya di dalam masyarakat yang berisikan budaya yang berbeda di tengah dunia yang saling bergantung seperti sekarang ini. Sedangkan menurut

(11)

Lebih lanjut, Banks, Banks dan McGee (1993) juga mendefinisikan pendidikan multikultural sebgai suatu ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa dengan bermacam-macam latar belakang akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah.

Sementara itu, Suparsa (dalam Sutijono, 2010) pendidikan multikultural didefinisikan sebagai suatu proses mengembangkan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok sebagai bagian dari proses menjadikan manusia tumbuh melalui pengajaran, pelatihan, proses, aktivitas dan melalui cara mendidik dan menghargai pluralitas dan heterogenitas. Lebih lanjut menurut Suparsa (dalam Sutijono, 2010) pendidikan multikultural meliputi: (1) pengetahuan tentang pentingnya memposisikan sesuatu, meletakkan apapun di tempat yang sebenarnya, berdasarkan pada nilai keadilan dan keseimbangan; (2) pemetaan dalam pendidikan multikultur sebagai keniscayaan untuk mencapai hasil yang sesuai dengan yang dikonsepkan. Pemetaan ini berujung pada keragaman, heterogenitas, pluralitas dan diversitas, 3) adalah pendidikan yang membentuk jati diri seseorang, yang berupaya menyeragamkan seluruh aspek kemanusiaannya, sehingga dapat mengangkat potensi seseorang dengan jati dirinya masing-masing.

Menurut Hanum, Raharja dan Rahmadona (2009), pendidikan multikultural paling tidak menyangkut tiga hal, yaitu:

1. Kesadaran Nilai Penting Keragaman Budaya

Kiranya perlu peningkatan kesadaran bahwa semua siswa memiliki karakteristik khusus karena usia, agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya tertentu yang melekat pada diri masing-masing. Perbedaan yang ada itu merupakan keniscayaan atau kepastian adanya namun perbedaan itu harus diterima secara wajar dan bukan untuk membedakan. Kesadaran akan keragaman (multikultural) berkontribusi pada perkembangan pribadi siswa. Pendidikan multikultural menekankan pada pengembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang positif, dan kebanggaan pada identitas pribadinya. Artinya, memiliki pemahaman yang lebih baik tentang dirinya yang ada akhirnya berkontribusi terhadap keseluruhan prestasi intelektual, akademis, dan sosial siswa.

2. Gerakan Pembaharuan Pendidikan

(12)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

kelompok sekolah favorit itu. Pendidikan multikultural bisa muncul berbentuk bidang studi, program dan praktik yang direncanakan lembaga pendidikan untuk merespon tuntutan, kebutuhan, dan aspirasi berbagai kelompok. Sebagaimana ditunjukkan oleh Grant dan Seleeten (dalam Sutarno, 2007), pendidikan multikultural bukan sekedar merupakan praktik aktual atau bidang studi atau program pendidikan semata, namun mencakup seluruh aspek-aspek pendidikan.

3. Proses Pendidikan.

Pendidikan multikultural yang juga merupakan proses pendidikan yang tujuannya tidak akan pernah terealisasikan secara penuh. Pendidikan multikultural adalah proses menjadi, proses yang berlangsung terus-menerus dan bukan sebagai sesuatu yang langsung tercapai. Tujuan pendidikan multikultural adalah untuk memperbaiki prestasi secara untuh bukan sekedar meningkatkan skor.

Banks, Banks dan McGee (1993) mengemukakan empat pendekatan yang mengintegrasikan materi pendidikan multikultural ke dalam kurikulum ataupun pembelajaran di sekolah yaitu:

1. Pendekatan kontribusi (the contributions approach)

Level ini yang paling sering dilakukan dan paling luas dipakai dalam fase pertama dari gerakan kebangkitan etnis. Ciri pendekatan kontribusi ini adalah dengan memasukkan pahlawan-pahlawan dari suku bangsa/etnis dan benda-benda budaya ke dalam pelajaran yang sesuai.

2. Pendekatan Aditif (Additive Approach)

Pada tahap ini dilakukan penambahan materi, konsep, tema, dan perspektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan dan karakteristik dasarnya. Pendekatan aditif ini sering dilengkapi dengan penambahan buku, modul atau bidang bahasan terhadap kurikulum tanpa mengubahnya secara substansif.

3. Pendekatan Transformasi (the transformation approach)

Pendekatan tranformasi berbeda secara mendasar dengan pendekatan kontribusi dan aditif. Pada pendekatan transformasi mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi siswa dalam melihat konsep, isu, tema, dan problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Banks, Banks & McGee (1993) menyebut ini proses multiple acculturation

sehingga rasa saling menghargai, kebersamaan dan cinta sesama dapat dirasakan melalui pengalaman belajar.

4. Pendekatan Aksi Sosial (the social action approach)

(13)

memperoleh pendidikan politis, sekolah membantu mereka menjadi kritikus sosial yang reflektif dan partisipan yang terlatih dalam perubahan sosial. Selanjutnya Ameny-Dixon (2011), mengemukakan tentang empat dimensi interaktif utama yang merupakan bagian dari kerangka kerja konseptual tentang perspektif global dari pendidikan multikultural yang terdiri dari: (1) kompetensi multikultural (multicultural competence), (2) kesetaraan pedagogi (equity pedagogy), (3) pembaharuan kurikulum (curriculum reform), dan (4) pengajaran tentang keadilan sosial (teaching toward social justice). Dalam tulisan ini, dari keempat dimensi di atas, hanya akan dibahas tentang kompetensi multikultural atau selanjutnya oleh penulis hanya akan disebut dengan kompetensi kultural, disebabkan literatur yang menjadi acuan penulis lebih banyak memakai istilah kompetensi kultural.

Kecerdasan kultural

Kecerdasan kultural melengkapi bentuk lain kecerdasan, seperti IQ (kemampuan mental umum; Schmidt & Hunter, 2000), EQ (emosional intelijen; Mayer & Salovey, 1993), kecerdasan sosial, dan kecerdasan praktis (Sternberg et al., 2000) karena kecerdasan lebih dari hanya kemampuan untuk memahami konsep-konsep dan memecahkan masalah dalam setting akademik (Ackerman, 1996; Gardner, 1993; Sternberg & Detterman, 1986). Bentuk-bentuk kecerdasan ini saling melengkapi karena norma-norma untuk interaksi sosial bervariasi antar budaya dan kecerdasan kognitif atau kecerdasan emosional tidak berfokus secara khusus pada kemampuan unik yang mempunyai relevansi dengan efektivitas interaksi dalam setting lintas budaya.

Kecerdasan kultural (Ang & Van Dyne, 2008; Ng, Van Dyne, & Ang, 2009) adalah kemampuan yang dapat ditingkatkan dengan keterlibatan aktif di bidang pendidikan, wisata, tugas internasional, dan pengalaman antar budaya yang lain. Earley dan Ang (2003) memposisikan kecerdasan kultural sebagai variabel multidimensi berdasarkan kerangka multiple intelligence dari Sternberg dan Detterman (1986). Secara khusus, Sternberg (1986) menyintesiskan perbedaan pandangan tentang kecerdasan sebelumnya, dengan mengajukan empat cara untuk memahami tingkatan kecerdasan individual, yaitu kecerdasan metakognitif, kognitif, motivasional dan perilaku. Metakognitif dan kognitif adalah kemampuan mental yang menggambarkan fungsi kognitif individu. Motivasi adalah juga kemampuan mental dan mengandung proses kognitif untuk mendorong dan memilih. Sementara kecerdasarn perilaku menunjuk pada kemampuan perilaku dalam fleksibilitas motorik dan menampakkan aksi-aksi verbal dan non verbal.

(14)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

mental untuk mengarahkan dan mempertahankan energi pada perilaku dalam situasi antar budaya. Kecerdasan kultural perilaku merefleksikan kemampuan melenturkan perilaku untuk sesuai dengan konteks perbedaan budaya. Keempat faktor dasar ini yang menjadi acuan bagi pengkuran tentang kecerdasan kultural. Individu dikatakan cerdas secara kultural apabila mempunyai kemampuan mental dalam memperoleh dan mengevaluasi pengetahuan kultural yang berfokus pada kesadaran dan pemantauan proses kognitif, mempunyai pengetahuan umum dan struktural tentang budaya dan perbedaan budaya, mempunyai kemampuan mental untuk mengarahkan dan mempertahankan energi pada perilaku dalam situasi antar budaya dan mempunyai kemampuan melenturkan perilaku untuk sesuai dengan konteks perbedaan budaya.

Kecerdasan kultural bagi seorang pendidik dapat membantu memperoleh standar kompetensi kultural yang dibutuhkan dalam pengembangan pendidikan multikultural. Standar kompetensi dalam pendidikan yang didasarkan pada multikulturalisme adalah untuk menciptakan warga masyarakat yang dapat hidup selaras dengan warga masyarakat lain tanpa memandang agama, ras, bahasa dan budaya, menghormati hak-hak, memberikan kesempatan kepada semua kelompok untuk mengembangkan budaya masing-masing dan mampu mengembangkan kerjasama bagi kejayaan bangsanya. Dari standar ini, kompetensi dasar yang harus dimiliki adalah (1) dapat menerima perbedaan etnik, agama, bahasa dan budaya dalam masyarakat, (2) dapat bekerja sama dalam konteks keragaman etnik, budaya dan agama untuk pengembangan ekonomi dan kekuatan bangsa, (3) dapat menghormati hak-hak orang lain tanpa harus memandang etnik, agama, bahasa dan budaya dalam semua aspek kehidupan, (4) dapat memberikan kesempatan yang sama untuk mengekspresikan ide dan aspirasi dan (5) dapat mengembangkan sikap adil.

Pendidik yang memiliki kecerdasan kultural yang baik akan memiliki kompetensi kultural. Menurut Diller dan Moule (2005) kompetensi kultural adalah kemampuan untuk memberikan pengajaran kepada murid-murid yang mempunyai budaya yang berbeda dengan guru agar supaya pengajaran yang diberikan itu berhasil. Pengajaran tersebut meliputi pengembangan kesadaran dan kepekaan personal dan interpersonal, pengembangan pengetahuan tentang budaya dan penguasaan atas sekumpulan keterampilan yang membuat pengajaran menjadi lebih efektif. Menurut Martin dan Vaughn (2007) kompetensi kultural adalah suatu proses mengembangkan keahlian untuk merespon secara efektif dalam suatu konteks lintas budaya, dimana individu, agen-agen yang terlibat dan sistem saling terintegrasi dan memperbaharui kesadaran atas asumsi, nilai-nilai, bias-bias dan pengetahuan tentang diri sendiri dan orang lain dengan cara memberi penghargaan terhadap perbedaan budaya, bahasa, status sosial ekonomi, ras, latar belakang etnik, agama, gender, orientasi seksual dan kemampuan. Kompetensi kultural mengenali, menguatkan, mendorong dan menilai keluatan individu, keluarga dan komunitas dan melindungi dan memelihara kodrat masing-masing.

(15)

dalam sekolah tempatnya bekerja dan dalam sistem pendidikan secara lebih luas. Keempat keterampilan tersebut dapat mendukung satu sama lain.

1. Menghargai perbedaan

Menerima dan menghargai perbedaan latar belakang budaya dan kebiasaan, perbedaan cara bekomunikasi dan perbedaan tradisi dan nilai-nilai.

2. Menjadi individu yang sadar budaya

Memahami tentang budaya sendiri, baik pengalaman, latar belakang, pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, nilai-nilai dan minat, akan dapat membentuk pemahaman tentang diri, menempatkan diri dalam keluarga, sekolah dan masyarakat dan bagaimana guru berinteraksi dengan murid. 3. Memahami dinamika interaksi budaya

Mengetahui bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi interaksi antar budaya, termasuk di dalamnya pengalaman akan sejarah budaya dan hubungan antar budaya dalam masyarakat sekitar.

4. Melembagakan pengetahuan budaya dan beradaptasi dengan perbedaan Merancang sistem pendidikan yang didasarkan pada pemahaman akan budaya-budaya para murid.

Guna mengembangkan sistem di mana kompetensi kultural dalam diterapkan dalam pendidikan, Cross dkk (1989) mengemukakan suatu model sistem yang dianggap kompeten:

1. Menghormati keunikan individu, dan pemahaman budaya sebagai kekuatan dalam membentuk perilaku, nilai-nilai dan institusi dan bahwa budaya mempunyai pengaruh pada pendidikan.

2. Memandang sistem alami (keluarga, komunitas) sebagai suatu mekanisme utama dalam mendukung perbedaan budaya.

3. Pengenalan konsep keluarga, komunitas dan semacamnya, adalah berbeda dalam tiap budaya dan bahkan bagi suatu sub-kelompok dalam suatu budaya.

4. Memahami murid dari suatu budaya tertentu biasanya dapat ditangani dengan baik oleh orang yang mempunyai latar belakang budaya yang sama. 5. Mengenali bahwa pola pikir, meskipun berbeda antar budaya, mempunyai

kesamaan kebenaran dan berpengaruh terhadap bagaimana murid melihat suatu masalah dan situasi.

6. Menghormati pilihan budaya sebagai suatu proses dibanding sebagai produk dan keselarasan dan keseimbangan dalam kehidupan seseorang dibanding hanya prestasi semata.

(16)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

diajarkan, didukung dan lebih mendasar lagi dapat dijadikan pedoman bagi berbagai fungsi dalam sekolah sehari-hari.

Dalam kaitannya dengan pendidikan multikultural, dibutuhkan guru dengan kualifikasi tertentu. Menurut Aldridge (dalam Rosyada, 2010) yang dikutip oleh Sutijono (2010), guru yang termasuk multikulturalis adalah (1) mampu menciptakan kelas yang bersih, tenang dan nyaman, (2) mampu memberikan kepada murid kesempatan mengakses semua bahan pelajaran, (3) menggunakan cara belajar kooperatif melalui diskusi dalam kelompok kecil, berdebat atau bermain peran, (4) mampu membuat murid menghubungkan informasi baru dan lama untuk memahami apa yang mereka pelajari, (5) mampu mendorong murid mengerjakan tugas melalui cara belajar intensif pada hal-hal baru, dan (6) membuat catatan kemajuan aktivitas belajar dan kemajuan para murid.

DISKUSI

Pendidikan multikultural terlihat akan menjadi bagian yang penting dalam kehidupan masyarakat di era global seperti sekarang ini. Orang-orang yang datang dari bermacam tempat dan beragam budaya akan berinteraksi dengan orang lain dari asal dan budaya yang berbeda. Hal ini berarti bahwa memahami budaya orang lain akan menjadi bagian dari masyarakat global. Pendidikan multikultural dapat membuat murid hidup dan menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya dan memahami orang lain.

Pendidikan multikultural merupakan suatu pendekatan yang bersifat progresif dalam upaya transformasi pendidikan atas kekurangan-kekurangan dalam pendidikan yang ada selama ini. Pendidikan multikultural didasarkan pada keadilan sosial, kesetaraan pendidikan dan meberikan pengalaman pendidikan dimana para murid dapat mencapai potensi sebagai pembelajar dan secara sosial sadar dan aktif dalam konteks lokal, nasional dan global. Pendidikan multikultural mengakui bahwa sekolah adalah pondasi yang penting bagi upaya transformasi masyarakat dan menghilangkan ketidakadilan.

Untuk dapat menjalankan pendidikan multikultural dengan efektif salah satunya diperlukan guru yang mempunyai kecerdasan kultural. Guru harus mempunyai kecerdasan kultural untuk menjalankan fungsi memberikan pengajaran kepada muridnya, di samping kompetensi-kompetensi lain yang sudah diwajibkan oleh undang-undang, seperti memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

(17)

latar belakang budaya, agama, ras, status sosial ekonomi, gender dan sebagainya. Sehingga murid diharapkan dapat mengembangkan sikap positif terhadap perbedaan, memecahkan masalah yang terkait dengan perbedaan dan merayakan perbedaan tersebut sebagai kodrat yang diberikan Tuhan kepada manusia.

Uraian tersebut menjelaskan bahwa guru atau pendidik yang akan mengajarkan pendidikan multikultural dapat dengan mudah mentransformasi nilai-nilai yang ada dalam pendidikan multikultural apabila guru atau pendidik tersebut memiliki kompetensi kultural yang akan muncul apabila guru memiliki kecerdasan kultural yang baik.

REFERENSI

Ameny-Dixon, G. M. (2011). Why multicultural education is more important in higher education now than ever: a global perspective. International journal of scholarly academic intellectual diversity , 1-9.

Ang, P. C. (2003). Cultural intelligence: Individual interactions across cultures.

Palo Alto, CA: Standford University Press.

Cross, T. L. (1988). Services to minority populations: What does it mean to be a culturally competent professional. Portland: Research and Training Center, Portland State University.

F. Hanum, S. R. (2009). Implementasi model pembelajaran di sekolah dasar di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Artikel Multikultural-Stranas .

Gardner, H. (1993). Multiple intelligences: The theory in practice. New York : Basic Books.

Gur, C. (2010). Cultural competence in high school. Research Journal of International Studies, Issue 16.

J. A. Banks, C. B. (1993). Multicultural education: Issues and perspectives.

Boston: Allyn adn Bacon.

M. A. Martin, &. B. (2007). Cultural competence: The nuts & bolts of diversity & inclusion. Dalam B. E. Vaughn, Strategic diversity & inclusion management magazine. San Fransisco: Diversity Training University International Publications Division.

Moule, J. (2012). Cultural competence: A primer for educators. United States: Wadsworth Cengage Learning.

Moule, J. V. (2005). Cultural competence: A primer for educators. Belmont: Thomas Wadsworth.

(18)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

Salovey, J. D. (1993). The intelligence of emotional intelligence. Intelligence, 17, 433-442.

T. L. Cross, B. J. (1989). Towards a culturally competent system of care, volume I.

(19)

KARAKTER UTAMA PERAWAT SEBAGAI PELAYAN

KESEHATAN YANG MULTIKULTURAL

Alhamdu

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Siti Khadijah Palembang Universitas Sriwijaya Palembang

alhamdu@ymail.com

ABSTRAK

Kualitas pelayanan kesehatan yang multikultural (tanpa membedakan latar belakang budaya, agama, suku, etnis, serta status sosial dan ekonomi) merupakan harapan masyarakat. Kenyataannya, harapan tersebut belum dapat terpenuhi secara maksimal dari sisi pasien dan keluarganya, dikarenakan perawat sebagai ujung tombak pelayan kesehatan diangap belum memiliki karakter sebagai seorang pelayan kesehatan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter utama perawat sebagai pelayan kesehatan yang multikultural dalam pandangan pasien dan keluarganya. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara dan kuesioner dengan analisis deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien dan keluarga pasien yang sedang dirawat dirumah sakit, dengan partisipan berjumlah 345 orang, yang terdiri dari 163 orang laki-laki, dan 182 orang perempuan, dengan karakteristik usia 25-50 tahun. Peneliti sebelumnya telah mendapatkan 15 karakter perawat yang diharapkan pasien dan keluarganya dalam studi pendahuluan. Berdasarkan 15 karakter tersebut peneliti mencari tiga karakter utama perawat yang dinginkan pasien dan keluarganya. Hasil penelitian mendapatkan tiga karakter utama perawat sebagai pelayan kesehatan yang diharapkan pasien dan keluarganya, yaitu karakter peduli 26.4%, terampil 22.6%, dan ramah 21.2%. sementara 29.8% sisanya tersebar dalam 12 karakter yang lainnya.

Kata-kata kunci: Karakter, perawat, pelayanan, kesehatan, multikultural

Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Selain itu, kesehatan juga merupakan salah satu unsur untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, yang berperan penting dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas, yang mempunyai ketahanan dan daya saing, serta mampu terlibat dalam pembangunan bangsa ini. Oleh karena itulah, kesehatan dianggap sebagai investasi penting dalam pembangunan suatu bangsa dan menjadi tanggung jawab semua pihak. Artinya, semua pihak baik itu pemerintah, swasta ataupun masyarakat secara umum mempunyai tanggung jawab dan peran yang tidak bisa diabaikan dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tanpa memandang asal dan latar belakang dari masyarakat tersebut.

(20)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

bahwa setiap pasien berhak untuk memperoleh layanan yang manusiawi, jujur, adil dan tanpa diskriminasi. Akan tetapi harapan dan hak tersebut belum dapat terpenuhi secara maksimal dari sisi pasien dan keluarganya. Diskriminasi dan perlakuan berbeda secara multikultural dalam pelayanan kesehatan masih saja terjadi di negeri yang menggaungkan keberagaman ini.

Sebenarnya, pemerintah telah menjamin warga negaranya yang tidak mampu dengan berbagai program kesehatan, seperti Jamkesmas, Jamkesos ataupun Jamkesda, akan tetapi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi tersebut sering diabaikan dan tidak diberikan pelayanan secara manusiawi dan maksimal. Sebagai contoh adalah kasus dibuangnya seorang pasien Rumah Sakit (RS) di Lampung yang bernama Suparman bin Sariun alias Mbah Edi (64 tahun) yang akhirnya meninggal (ROL, 3 Februari 2014), kasus meninggalnya pasien yang bernama Naila (2 bulan) didepan loket pendaftaran RS di Pinrang Sulawesi Selatan, karena ditolak pihak RS yang menganggap berkas keterangan miskin yang tidak lengkap (Kompas.com; 1 November 2013), kasus Dera, bayi berusia enam hari yang meninggal setelah ditolak oleh 10 RS di Jakarta dengan alasan tidak ada ruangan dan peralatan untuk perawatan (Tempo.com. 18 Februari 2013), serta masih banyak lagi kasus-kasus lain yang mengabaikan dan melakukan penolakan pemberian pelayanan kesehatan yang multikultural dan tanpa diskriminasi kepada para pasien.

Diskriminasi pelayanan kesehatan yang multikultural ini juga terjadi dalam perawatan terhadap pasien. Pasien-pasien yang berlatar belakang status sosial ekonomi yang rendah, atau pasien yang menggunakan kartu-kartu Jaminan Kesehatan (JK) dari pemerintah, serta pasien-pasien yang tidak mempunyai kedekatan secara kesukuan, etnis dan budaya, terkadang juga mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dibanding pasien-pasien yang datang dari strata sosial ekonomi yang tinggi, atau pasien-pasien yang menggunakan kartu-kartu asuransi dengan klaim yang besar, serta pasien-pasien yang mempunyai kedekatan dan hubungan secara kesukuan, etnis dan budaya. Fakta ini tidak lepas dari peran dan tugas para perawat sebagai orang yang bersentuhan langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien.

(21)

METODE

Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu pasien dan keluarga pasien yang sedang dirawat di RS, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, berusia antara 25 – 50 tahun. Berdasarkan karakteristik tersebut, dan dengan menggunakan purposive sampling didapatkan sebanyak 345 orang partisipan, yang terdiri dari 163 orang laki-laki dan 182 orang perempuan. Paritisipan dalam penelitian ini adalah pasien dan keluarganya yang sedang dirawat di empat (4) Rumah Sakit (RS) yang ada di Palembang, yaitu RS Islam Siti Khadijah, RS Muhammad Husin, RS Bari dan RS Muhammadiyah Palembang.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan

questionnaire. Wawancara digunakan pada pra-penelitian, dimana peneliti menanyakan kepada para pasien dan keluarganya tentang karakter apa saja yang seharusnya dimiliki oleh seorang perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan yang multikultural dari sisi pasien dan keluarganya. Hasilnya didapatkan 15 karakter yang diharapkan pasien dan keluarganya ada pada seorang perawat sebagai pelayan kesehatan, yaitu disiplin, cerdas, terampil, bertanggung jawab, jujur, peduli, ramah, sopan, sabar, baik, berani, santun, percaya diri, rajin dan teliti. Selanjutnya, peneliti menyusun 15 karakter tersebut menjadi sebuah questionnaire,

dan meminta pasien dan keluarganya untuk memilih satu (1) karakter utama dari 15 karakter tersebut yang seharusnya dimiliki oleh seorang perawat sebagai pelayan kesehatan.

Analisis Data

Penelitian ini bersifat kualitatif yang menekankan pada konteks dan latar alamiah atau naturalistic dengan analisis deskriptif untuk memotret dan menggambarkan tentang fenomena karakter utama perawat sebagai pelayan kesehatan yang multikultural. Oleh karena itulah, analisis data dalam penelitian ini menitik beratkan pada jawaban pasien dan keluarganya dalam proses wawancara dan melihat pilihan pasien dan keluarganya dalam menjawab questionaire yang diberikan, sehingga dari data tersebut diharapkan dapat menjelaskan konsep karakter utama perawat sebagai pelayan kesehatan yang multikultural dari sisi pasien dan keluarganya.

HASIL

(22)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

pasien dan keluarganya memilih satu (1) karakter utama dari 15 karakter tersebut yang seharusnya dimiliki oleh seorang perawat sebagai pelayan kesehatan.

Berdasarkan questionaire yang telah diberikan kepada 345 partisipan tersebut, maka peneliti mendapatkan 3 karakter utama perawat sebagai pelayan kesehatan yang multikultural dari sudut pandang pasien dan keluarganya, yaitu karakter peduli 26.4% atau dipilih oleh 91 responden, karakter terampil 22.6% atau dipilih oleh 78 responden, dan karakter ramah 21.2% atau dipilih oleh 73 responden. Sementara 29.8% sisanya tersebar dalam 12 karakter yang lainnya. Artinya 3 karakter utama perawat yang diinginkan pasien dan keluarganya ini (peduli, terampil dan ramah) mempunyai persentase yang sangat besar, yakni mencapai 70,2% atau dipilih oleh 242 responden, bila dibandingkan dengan 12 karakter lainnya yang hanya mengumpulkan 29,8% atau dipilih oleh 103 responden.

Perawat

Kata perawat atau yang dikenal juga dengan sebutan nurse berasal dari bahasa latin yaitu kata

nutrix yang bermakna merawat atau memelihara. Wardhono (1998) mengartikan perawat sebagai orang yang telah menyelesaikan pendidikan professional keperawatan, dan diberi wewenang untuk melaksanakan peran serta fungsinya sebagai seorang perawat. Sementara itu Kusnanto (2003), menjelaskan perawat sebagai seorang profesional yang mempunyai kemampuan, tanggung jawab dan kewenangan untuk melaksanakan pelayanan atau asuhan keperawatan pada berbagai jenjang pelayanan keperawatan. Berdasarkan dua penjelasan diatas maka dapat dikatakan bahwa perawat merupakan suatu bentuk profesi yang diberikan wewenang dan tanggung jawab berdasarkan kemampuan dan keilmuannya untuk membantu dan melakukan perawatan terhadap pasien.

(23)

Selanjutnya Kusnanto (2003) menjelaskan bahwa bentuk pelayanan profesional keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, yang bersandarkan pada ilmu keperawatan dan berbentuk pelayanan kesehatan yang komprehensif bagi setiap kalangan dan lapisan masyarakat. Artinya, bentuk layanan kesehatan yang professional yang diberikan oleh perawat hendaklah secara total dan menyeluruh sebagai bentuk pengabdian keilmuan secara professional yang membutuhkan karakter tersendiri yang harus dimiliki oleh seorang perawat sebagai pelayan kesehatan, karena bila pengabdian yang professional tersebut tidak diikuti oleh karakter perawat yang tepat, maka pelayanan kesehatan yang diberikan tidak akan maksimal. Oleh karena itu, penting bagi seorang perawat untuk mengetahui, membangun, menumbuhkan dan membekali dirinya dengan karakter keperawatan berdasarkan karakter-karakter utama yang dinginkan oleh masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan tersebut

Karakter

Secara umum istilah karakter sering disamakan orang dengan istilah kepribadian, personality, temperamen dan juga watak. Berdasarkan istilah tersebut, karakter sering didefinisikan orang sebagai bentuk ataupun gambaran dari kepribadian seseorang. Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dalam pengertian ini karakter menggambarkan sifat-sifat, akhlak dan budi pekerti yang menjadi ciri khas dan membedakan antara satu orang dengan orang lain. Selanjutnya, Hill (2005) menjelaskan karakter sebagai determeninasi yang menunjukkan kekhasan seseorang dalam berpikir dan bertindak, berdasarkan standar perilaku yang tinggi dalam berbagai situasi. Sementara itu, Alwisol (2005) mendefinisikan karakter sebagai gambaran tingkah laku seseorang yang menitik beratkan pada nilai atau value (benar-salah, baik-buruk) baik secara eksplisit maupun implisit. Sementara itu, peneliti sendiri mendefinisikan karakter sebagai bentuk kekhasan seseorang, baik dalam berpikir dan berperilaku berdasarkan nilai-nilai yang ada di masyarakat.

(24)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan Peduli

Peduli merupakan bentuk dari pengakuan dan pengahargaan terhadap orang ataupun lingkungannya. Orang yang peduli terhadap orang lain atau pun lingkungannya, akan secara sadar memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap orang atau pun lingkungannya. Pengakuan dan penghargaan disini lebih menitik beratkan pada adanya interaksi antara seseorang dengan orang lain dan lingkungannya. Wolf, Zuzelo & Costello (2004) mendefinisikan peduli sebagai cara pemeliharaan yang berhubungan dengan menghargai orang lain yang disertai perasaan memiliki dan tanggung jawab terhadap kondisi orang lain tersebut. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, peduli diartikan sebagai mengindahkan, memperhatikan, dan menghiraukan sesuatu. Sementara itu, kebanyakan pasien dan keluarganya dalam wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini mengartikan peduli sebagai bentuk perhatian terhadap pasien dan keluarganya. Oleh karena itulah, dalam penelitian ini, peneliti mengartikan peduli sebagai sikap perawat yang perhatian, memberikan penghargaan dan pengakuan terhadap keberadaan pasien dan keluarganya, yang disertai oleh rasa tanggung jawab, sehingga terjadi interaksi yang intens dan mendalam diantara perawat dan pasien serta keluarganya.

Terampil

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, terampil diartikan sebagai kecakapan, kemampuan dan kecekatan dalam menyelesaikan tugas. Sementara itu, pasien dan keluarganya, mengartikan terampil dalam penelitian ini sebagai keahlian, kecepatan, kemampuan, penguasaan ilmu, dan melakukan tindakan dengan baik dan benar. Berdasarkan pengertian dan pendapat diatas, maka peneliti mengartikan terampil dalam penelitian ini sebagai bentuk dari keahlian, kecakapan, dan kemampuan yang dimiliki oleh seorang perawat dalam melaksanakan tugasnya atau dalam memberikan bantuan kepada pasien dengan cepat, tepat, baik dan benar. Artinya, seorang perawat dikatakan terampil apabila perawat tersebut mampu melaksanakan tugasnya atau pekerjaannya sacara cepat, tepat, baik dan benar sesuai dengan kompetensi ilmu keperawatan dan standar yang berlaku dalam dunia keparawatan itu sendiri.

(25)

Ramah

Ramah merupakan kondisi psikologis individu yang tampak dari ekspresi dan perilaku individu tersebut dalam menghadapi atau berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, ramah diartikan sebagai baik hati dan menarik budi bahasanya, manis tutur kata dan sikapnya, suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan. Sementara itu, pasien dan keluarganya mengartikan ramah dengan istilah suka senyum dan menyapa, suka menegur dan mengajak bercerita, dan bertutur kata yang baik dan tidak marah-marah. Berdasarkan pendapat dan pengertian diatas, maka peneliti mengartikan ramah dalam penelitian ini sebagai sikap yang murah senyum, suka menyapa, dan suka bertutur kata yang baik, yang tampak dari ekpresi wajahnya, ataupun dari perilakunya terhadap pasien dan keluarganya. Ramah dalam penelitian ini lebih menekankan pada kondisi psikologis perawat dalam memberikan pelayan kesehatan kepada para paisen, sehingga dengan karakter ramah yang dimunculkan diharapkan dapat membantu mengurangi beban penderitaan pasien atau pun membantu kesembuhan pasien secara psikologis.

DISKUSI

Penelitian ini mendapatkan tiga karakter utama perawat sebagai pelayan kesehatan yang multikultural dari sudut pandang pasien dan keluarganya. Ketiga karakter yang didapatkan tersebut adalah karakter peduli, terampil dan ramah. Karakter peduli merupakan karakter perawat sebagai pelayan kesehatan yang menunjukkan sikap yang perhatian, memberikan penghargaan dan pengakuan terhadap keberadaan pasien dan keluarganya, yang disertai oleh rasa tanggung jawab, sehingga terjadi interaksi yang intens dan mendalam diantara perawat dan pasien serta keluarganya. Karakter terampil menjelaskan karakter perawat yang mempunyai keahlian, kecakapan, dan kemampuan dalam melaksanakan tugasnya atau dalam memberikan bantuan kepada pasien dengan cepat, tepat, baik dan benar. Dan karakter ramah menunjukkan bahwa seorang perawat sebagai pelayan kesehatan harus mempunyai sikap yang murah senyum, suka menyapa, dan suka bertutur kata yang baik, yang tampak dari ekpresi wajahnya, ataupun dari perilakunya terhadap pasien dan keluarganya.

(26)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

membentuk, mendidik, membina dan mengembangkan perawat-perawat yang mempunyai karakter tersebut. Hanya saja, untuk mewujudkan dan memastikan ketiga karakter tersebut dapat menjadi karakter utama perawat sebagai pelayan kesehatan, masih diperlukan penelitian lanjutan dalam bentuk studi eksperimental, sehingga dapat dilihat seberapa besar pengaruh ketiga karakter tersebut dalam pemberian pelayanan kesehatan secara multikultural.

REFERENSI

Alwisol. (2005). Psikologi kepribadian. Malang: UMM Press.

Asril, S., & Wadrianto, G. (2013, November 1). Bayi meninggal di loket. DPR RI tuntut tanggung jawab RSU Lasinrang. Dipetik Agustus 7, 2014, dari Kompas.com: http://regional.kompas.com/read/xml/2013/11/01/1630147/Bayi-Meninggal-di-Loket-DPRRI-Tuntut-Tanggung-Jawab-RSU-Lasinrang.

Depdikbud. (2008). Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Hill, T. (2005). Character first! Dipetik Agustus 10, 2014, dari Kimray Inc.: http://charactercities.org/downloads/publications/Whatischaracter.pdf.

Husen, A. J., & Kardiman, Y. (2010). Model pendidikan karakter bangsa; sebuah pendekatan monolitik di Universitas Negeri Jakarta. Jakarta: UNJ.

Iman, R., & J., M. (2013, Februari 3). Pasien dibuang di Lampung. Pemerintah harus tanggung jawab. Dipetik Agustus 7, 2014, dari Republika Online: http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/02/03/n0f697/Pasien-dibuang-di-Lampung-Pemerintah-harus-tanggung-jawab

Kusnanto. (2003). Pengantar profesi dan praktik keperawatan profesional. Jakarta: EGC.

Nursalam, S. (2007). Manajemen keperawatan: aplikasi dalam praktek keperawatan profesional. Jakarta: Salemba Medika.

Syailendra. (2013, Februari 18). Bayi meninggal setelah ditolak 10 rumah sakit. Dipetik Agustus 7, 2014, dari Tempo.com:

http://m.tempo.co.id/read/news/2013/02/18/083462143/Bayi-Meninggal-Setelah-Ditolak-10-Rumah-Sakit.

UU No. 4 tahun 2009. (2009). Dipetik Agustus 6, 2014, dari depkes.go.id: www.gizikia.depkes.go.id/UU-No.44-Th-2009-ttg-Rumah-Sakit.pdf.

Wardhono, S. (1998). Menuju keperawatan profesional. Semarang: Akper Depkes. Wolf, Z. R., Zuzelo, P. R., & Costello, R. e. (2004). Developmental and Testing of

(27)

MODEL KESADARAN TENTANG KONSEP

KEBERAGAMAN DAN TOLERANSI UNTUK

MENGURANGI POLA PERILAKU KEKERASAN DI

MASYARAKAT: STUDI DI LINGKUNGAN PONDOK

PESANTREN MALANG DAN GURUKULA BALI

Kadek Wiwik Indrayanti dan Ardhiana Puspitacandri

Universitas Merdeka Malang aricandri@gmail.com

ABSTRAK

Kajian dengan tema ―model kesadaran tentang konsep keberagaman dan toleransi untuk mengurangi pola perilaku kekerasan dimasyarakat‖ dilakukan multi years yang bertujuan untuk 1) mengidentifikasi program-program yang konsep keberagaman dan toleransi, kendala kendala yang dihadapi pengasuh sekolah dalam menerapkan konsep keberagaman dan toleransi. 2) menyempurnakan materi model dan melakukan uji coba model. Metode yang dipakai adalah wawancara dan Focus Group Discussion dan sampel nya adalah pondok pesantren (Islam) di Kota Malang , gurukula (Hindu) di Bangli Bali, desa multikultur dan Lembaga Swadaya Masyarakat Keagamaan. Hasilnya menunjukkan bahwa sekolah sekolah tersebut belum menerapkan secara maksimal pemahaman keberagaman dan toleransi. Materinya sudah diselipkan ke matapelajaran PKN dan tidak ada kendala-kendala dalam menyampaikan materi tersebut. Realitasnya sekolah sekolah tersebut belum memiliki program-program, kegiatan yang mendukung implementasi keberagaman dan toleransi. Penyusunan dan penyempurnaan materi model terdiri atas 8 modul dan hasil uji coba menunjukkan bahwa siswa-siswa perlu diberikan wawasan secara khusus karena jawaban yang diberikan oleh siswa pesantren pemahamannya masih rendah dibandingkan siswa gurukula. Kondisi tersebut terjadi mungkin disebabkan anak-anak di gurukula lebih banyak berinteraksi dengan pihak luar dan gurukula dipakai sebagai pusat kegiatan dari berbagai pihak. Uji coba belum maksimal, misalnya metode role play dan ceramah belum dipakai karena keterbatasan waktu.

Kata-kata kunci: Keberagaman, kekerasan bernuansa agama, model kesadaran dan toleransi

Hasil penelitian mengenai ―model kesadaran tentang konsep keberagaman dan

(28)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

Para guru menganggap bahwa program-program interfaith di kalangan murid-murid perlu dilakukan, akan tetapi Ponpes dan Gurukula belum sepenuhnya memiliki program-program yang mendukung pelaksanaan keberagaman dan toleransi. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Testriono (2011), bagaimana orang Indonesia bisa secara baik mendorong pluralisme dan penghormatan terhadap keyakinan orang lain tanpa melanggar kebebasan terhadap orang lain. Disamping itu pemberian peningkatan kapasitas bagi pengasuh, guru perlu dilakukan sehingga di dalam pemberian pemahaman pada peserta dapat mengedapankan beberapa hal yang bersifat universal, misalnya pemahaman terhadap aspek mutual respect atau penghormatan.

Selanjutnya menurut Irsyad Ridho multikulturalisme secara konteks sosial mempunyai komunikasi dua arah yaitu (kelompok sendiri) dan keluar (kelompok lain). Untuk interaksi ke dalam, bisa menggunakan bahasa yang sama yang akan memperkuat internal kelompok. Sedangkan untuk komunikasi ke luar, seharusnya menggunakan bahasa yang juga dipahami oleh kelompok lain. Tetapi jika memaksakan bahasa sendiri, maka kelompok lain bisa jadi tidak memahami. Masalahnya ketika masing-masing kelompok ngotot menggunakan bahasanya masing-masing untuk berkomunikasi keluar, maka yang akan terjadi ketidakpahaman yang pada tahap berikutnya dapat memunculkan konflik (Nurhayati, 2011). Lebih lanjut Irsyad mengatakan bahwa pendidikan multikultural hendaknya dirancang secara integratif untuk mengurangi prasangka sehingga mewujudkan kerjasama dan kemandirian sosial. Adapun aspek-aspek pendidikan multikultur: (1) pengurangan prasangka, (2) peningkatan kemandirian lokal, dan (3) pengembangan kerjasama lokal.

Atas dasar temuan kajian tahun pertama berupa draft materi model maka penelitian tahun kedua: (1) menyusun dan menyempurnakan materi model kesadaran tentang konsep keberagaman dan toleransi untuk mengurangi perilaku kekeraan di masyarakat, dan (2) melakukan uji coba atas materi model.

Konsep Keberagaman

Problem kehidupan beragama di Indonesia masih cukup banyak. Untuk menjalankan kehidupan beragama secara bersama-sama antar, walaupun wacana pluralisme dan toleransi antaragama sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, namun prakteknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, namun praktek di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu.

(29)

misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll. Ketiga, kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti ‖agama-agama pada hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan‖. Mungkin kalimat yang

lebih umum adalah ‖banyak jalan menuju Roma‖. Semua agama menuju pada

Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda. Perdebatan mengenai pluralisme masih sangat krusial karena terkait dengan masalah teologis sebagai sesuatu hal penting dan sensitif. Tidak semua umat beragama sepakat mengatakan ada kebenaran lain di luar agamanya. Ajaran kitab suci masing-masing agama selalu mengarahkan pemeluknya untuk meyakini bahwa hanya agama kita yang paling benar. Namun, dalam beberapa hal, kitab suci masing-masing agama secara tersirat menyatakan

adanya ‗jalan lain‘ di luar agamanya, yang bisa jadi merupakan jalan yang absah

juga untuk dilalui dalam prosesi menuju Tuhan (Moch Shofan, 2007).

Esensi dari Hinduisme adalah satu dalam keanekaragaman dan bukan keseragaman dan hal ini merupakan nilai universal yang tiada taranya. Bhagavad -GitaVI.11: Sejauhmana semua orang menyerahkan diri kepadaKU, AKU menganugrahi mereka sesuai dengan penyerahan dirinya itu. Semua orang menempuh jalanKU dalam segala hal, wahai putera Prtha. Beberapa sloka di atas mengejawantahkan pluralisme dari keimanan Hindu. Tak ada yang salah dalam dalam setiap tradisi keagamaan dan tradisi itulah sebenarnya yang menyebabkan satu suku bangsa maupun suatu bangsa bisa bertahan dari generasi ke generasi (Mantik dalam Donder, Teologi 2009 : hal 506).

Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha (2005: 11) mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (1) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (2) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.

(30)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran (Husaini, 2005). Kemampuan imajinatif untuk menghargai satu kenyataan yang tidak kita miliki adalah apa yang membuat kita menjadi manusia (human). Memiliki penghormatan yang sama terhadap semua agama tidak berarti kita mengambil agama lain. Tapi itu berarti,

‗memaksa saya untuk memahami sudut pandang mereka, untuk menghargai cahaya

kemana mereka melihat didalam agama mereka. Satu penghargaan yang sederajad (M. K Gandhi, 1962: hal 7).

Konsep toleransi

Toleransi sendiri berasal dari bahasa Latin, tolerare, yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Dari arti katanya berarti toleransi sendiri lebih pada sikap penghormatan kepada orang lain untuk melakukan sekehendak hatinya sesuai dengan keinginan dan hati nuraninya asal tidak saling mengganggu. Namun dalam perkembangannya di Indonesia istilah toleransi sangat erat kaitan dengan kehidupan beragama. Toleransi antar umat beragama diartikan sikap sabar membiarkan orang lain mempunyai keyakinan lain mengenai agama dan kepercayaannya itu. Implikasinya ada toleransi berarti tumbuh sikap hormat-menghormati antara pemeluk agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan tenang tanpa saling mengganggu bahkan saling menghormati dengan tolong-menolong. Selanjutnya teori pluralisme agama tidak bisa dipahami secara simplistis sebagaimana selama ini berlaku di media-media. Kebanyakan media menganggap bahwa pluralisme agama dianggap sama dengan toleransi beragama. Padahal kedua istilah ini merupakan entitas berbeda, yang tidak sama. Bedanya, kalau pluralisme

agama adalah mengakui agama lain sebagai absah atau ‖valid and authentic

(mengikuti istilah John Hick). Valid dan otentik inilah sebenarnya suatu pengakuan bahwa agama lain di luar agama seseorang sebagai yang absah. Sedangkan toleransi hanya mengakui keberadaan agama-agama lain sebagai gejala kemajemukan, tanpa harus menghilangkan keyakinan dalam agama diri sendiri. Tidak harus mengakui agama orang lain absah secara akidahnya, valid dan otentik. Toleransi, singkatnya, menghargai perbedaan. Jadi toleransi ada karena ada perbedaan. Kalau tidak ada perbedaan, maka tidak muncul istilah toleransi (Anis, 2005).

Menurut Frans Magnis Suseno toleransi yang sejati justru muncul sebagaimana

dikatakan; ‖meskipun saya tidak meyakini iman-kepercayaan anda, meskipun iman anda bukan kebenaran bagi saya, saya sepenuhnya menerima keberadaan anda. Saya gembira bahwa anda ada, saya bersedia belajar dari anda, saya bersedia bekerja sama‖.

Secara historis terdapat sejumlah bukti sejarah yang menunjukkan bahwa dalam Islam dimana Rasulullah SAW dan para sahabat menerapkan prinsip toleransi yang disebut dalam Al-Qur‘an dalam hubungannya dengan kelompok non muslim, Anatar lain perjanjian dengan kaum musyrik Makkah waktu itu yang pada dasarnya menunjukkan sikap toleransi yang luar biasa. Bahkan untuk menghormati hubungan yang berdasarkan kemanusiaan dan prinsip toleransi tadi, Allah SWT melarang umat Islam melukai perasaan non-muslim, dengan mencela ajarannya

(31)

―Janganlah kamu memaki patung –patung yang disembah kaum musyrik selain Allah. Perbuatan seperti itu memancing kemarahan mereka dengan memaki Allah dengan semena-mena dan melampui batas. Sembahan patung-patung sebagai

contoh bahwa setiap umat berbuat dengan tingkat kesiapan mereka.‖

Konsep dan macam kekerasan

Kekerasan atau violence berarti kekuasaan atau berkuasa adalah dalam prinsip dasar dalam hukum publik dan privat yang merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan. Kata kekerasan yang merupakan terjemahan dari violence artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang (Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2002, hal 19).

Selanjutnya Mochandas Gandhi menyatakan The roots of violence: wealth without work, pleasure without conscience, Knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, worship without sacrifice, politics without principles.

Sedangkan bentuk kekerasan secara umum meliputi yakni: kekerasan fisik kekerasan emosional, kekerasan ekonomi dan kekerasan seksual . Hubungan antara pola perilaku kekerasan di masyarakat dengan pemahaman konsep pluralisme biasanya disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor pertama adalah faktor internal berupa kedangkalan pengahayatan dari pihak anggota kelompoknya terhadap esensi perbedaaan (pluralisme) sebagai sebuah keniscayaan. Faktor kedua adalah faktor eksternal yakni campur tangan pihak luar yang ikut ambil dan mengelola perbedaan paham tersebut serta menjadikan sebagai sebuah aset manajemen konflik.

Indikator Kesadaran

Istilah kesadaran merupakan terjemahan dari istilah asing yaitu awareness. Kesadaran dapat mencakup dan berpengaruh pada aspek kognitif dan afektif dari seseorang. Kalau kesadaran itu cuma dibataskan pada permasalahan kognitif saja, maka konsekuensinya ialah bahwa ketaatan yang akan dibangkitkan dari kesadaran

semacam itu akan tak lebih daripada kesediaan subyek untuk ‖to comply‖ yakni sekedar meyesuaikan perilakunya secara formal, dalam wujud lahiriahnya saja. Namun jika kesadaran didefinisikan sampai pada aspek afektifnya maka akan melahirkan kesediaan seseorang untuk mentaati secara sukarela (Soetandyo, 2010).

Kesadaran yang dalam arti sempit ialah ‖menjadi tahu‖, hal itu terwujud

(32)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

hendak menanamkan pengetahuan baru (kognisi) saja, akan tetapi juga menggugah perasaan (afeksi) dan membentuk sikap positif (Soetandyo, 2010). Terkait dengan kesadaran beragama hendaknya penganut agama dan kepercayaan mengetahui dan melatih diri secara sempurna bagaimana mencintai Tuhan dan tidak seorangpun yang akan mengklaim agama dan keyakinannya lebih baik dari yang lainnya. Itu karena dia secara alamiah melihat bahwa kita semua memiliki Supreme Father. Yang hanya berbeda diantara kita adalah the level pemahaman spiritual yang kita miliki, dan bagaimana kita bersatu dengan The Supreme Being. Kebalikannya kita semua adalah sama, dan apapun badan kita dikondisikan mungkin bersifat sementara.

Kajian tentang Keberagaman dan Toleransi di Ponpes dan Gurukula

Dalam konteks pondok modern, pendidikan multikulturalisme sesungguhnya telah menjadi pendidikan dasar yang tidak hanya diajarkan dalam pengajar formal di kelas saja tapi juga dilakukan dalam kehidupan sehari-hari santri. Dapat diketahui dari muatan/isi kurikulum yang kentara mengajarkan wawasan santri akan keragaman keyakinan. Dalam kelompok bidang studi Dirasah Islamiyah, sebagai contoh, diajarkan materi khusus Muqaranat al-Adyan (Perbandingan Agama).

Selanjutnya bentuk lain dari lembaga pendidikan Hindu tradisional yang disebut dengan gurukula sudah ada sejak beratus-ratus dan Islam dengan pesantren. Dalam gurukula terdiri atas lima komponen dasar penting; (1) seorang pemimpin kharismatik yang disebut acarya atau guru; (2) siswa-siswa fulltime yang disebut

brahmacari; (3) fasilitas tempat tinggal yang disebut gurukula asrama; (4) sebuah tempat untuk sembahyang yang disebut temple atau mandir; dan (5) pustaka suci berdasarkan ajaran-ajaran dari masa lampau yang disebut Sastra Veda. Sedangkan Pondok Pesantren di Indonesia memiliki lima komponen dasar penting yaitu: (1) adanya seorang pemimpin karismatik, yaitu kiai; (2) santri yaitu para murid yang belajar fulltime; (3) pondok sebagai fasilitas tempat tinggal kiai dan santri; (4) Mesjid untuk sembahyang; dan (5) materi-materi pelajaran tertentu berdasarkan Kitab Salaf yang menjadi basis kurikulum (Raghava Swami, 2008).

Gandhi berpandangan bahwa dialog antar agama perlu ditumbuh kembangkan dan yang sudah menjalani dialog antar agama mengakui dengan tegas sebagai berikut: semakin mereka mengenal orang-orang dari keyakinan lain agama lain, semakin dalam mereka memahami dan meneguhkan keyakinan terhadap agama mereka sendiri; tidak hanya kita perlu satu sama lain, kita membutuhkan satu sama lain guna mengerti diri kita sendiri (Esllsberg, 2012). Dengan kesadaran bahwa seluruh makhluk (manusia) adalah satu keluarga (Vasudhaiva kutumbhakam), semua makhluk hendaknya sejahtera (sarvapranihitankarah), ajaran Ahimsa (tanpa kekerasan) dan Tat Tvan Asi yang secara literal berarti ―Itu adalah kamu‖, maka

(33)

METODE

Sekolah keagamaan tradisional yaitu yang berbasiskan agama yaitu pondok pesantren (Islam) dan gurukula (Hindu) serta masyarakat di desa Resapombo dusun Salamrejo Kecamatan Doko Kabupaten Blitar dan LSM ( FKUB) ditentukan secara

purposive. Proses penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu: 1) Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan kebutuhan materi model dan 2) Penyempurnaan materi model serta 3) Pelaksanaan uji coba model.

HASIL

Masyarakat multikultur

Penelitian tahun kedua ini dilakukan di Desa Resapombo dusun SalamrejoKecamatan Doko Kabupaten Blitar karena masyarakat di desa ini menerapkan perilaku toleransi antar pemeluk agama. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari bapak Tekad Mudhovir selaku kepala desa sbb; di dusun Salamrejo penduduknya menganut agama yang beragam yaitu ada Katolik, Kristen, Islam, Hindu dan Buddha. Mayoritas (60 persen) penduduk di dusun ini beragama Katolik. Ada beberapa aktivitas bersama yang dilakukan oleh masyarakat dimana mencerminkan perilaku toleransi yaitu kegiatan kerja bakti yang dilakukan setiap hari Sabtu. Hari Sabtu dipilih warga dengan pertimbangan karena hari Jumat adalah waktu untuk melakukan sholat bagi masyarakat muslim sedangkan jika hari Minggu waktu sembahyang bagi umat Katolik dan Kristen. Kemudian pada saat memperingati hari raya masing–masing agama yang dilakukan dengan mengadakan kunjungan bagi warga masyarakat ke rumah-rumah masyarakat yang merayakan hari raya. Misalnya ketika Idul Fitri atau Lebaran semua masyarakat dusun selain Islam mengunjungi rumah-rumah masyarakat yang beragama Islam untuk mengucapkan selamat begitu juga sebaliknya jika hari Natal tiba, umat yang beragama Katolik dan Kristen menerima kunjungan dari masyarakat Islam, Buddha dan Hindu. Ketika merayakan tahun baru dimana seluruh warga datang berkumpul dan ketika doa diadakan maka masing–masing umat dari berbagai agama mendapat kesempatan untuk memimpin doa menurut agamanya sedangkan umat yang lainnya mengikuti dengan khidmat. Begitu satu persatu dapat kesempatan untuk berdoa sementara umat penganut agama yang lainnya mengikuti.

Sejarah FKAUB dan FKUB Kota Malang

(34)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

Dengan berjalannya waktu FKAUB yang bersifat kultural tidak ada campur tangan pemerintah tetap berjalan sampai sekarang. Keanggotaan FKUB (structural) terdiri dari kelompok agama yang ada di Indonesia: Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu disesuaikan dengan PBM. Sedangkan untuk FKAUB (Kultural) anggotanya jauh lebih lengkap karena ada kelompok penghayat keyakinan. FKUB maupun FKAUB memiliki program di bidang keberagaman dan toleransi. Program keduanya hampir sama, karena anggota perwakilan di FKUB sekaligus menjadi anggota FKAUB. Program-progran dibidang keberagaman dan toleransi, antara lain: (a) safari/ kunjungan ke komunitas-komunitas agama/ kepercayaan, (b) dialog atau sarasehan ke komunitas-komunitas agama/ kepercayaan, (c) membedah pemahaman tentang agama-agama (peribadatan/teologi), serta mempromosikan dan sosialisasi kerukunan antar umat beragama.

Ada beberapa tambahan materi yang dimasukkan kedalam modul yaitu antara lain modul nomor 3 dan modul 7, sehingga keseluruhannya ada 8 modul. Setelah materi tersusun maka langkah kedua yang dilakukan adalah melakukan uji coba materi model di Gurukula dan Pesantren. Pelaksanaan uji coba model dilakukan pada tanggal 7 Juli 2014 di lingkungan Gurukula Bangli Bali dan anggal 28 Agustus 2014 di Pondok Pesantren X Malang. Berkaitan pemahaman siswa tentang konsep keberagaman, contoh kekerasan bernuansa agama, pemahaman toleransi dan cara yang harus dilakukan untuk mengurangi perilaku kekerasan di masyarakat. Ada 14 orang siswa yang dijadikan peserta dalam diskusi tersebut. Dari hasil uji coba di kedua sekolah agama tersebut menunjukkan bahwa pemahaman peserta didik akan konsep keberagaman, toleran

Gambar

Tabel 1. Statistik deskriptif
Tabel 2. Uji normalitas
Gambar 3.1.  Pembagian Kelompok Partisipan
Tabel 1 Statistik Deskriptif Usia, Jenis Sekolah, dan Tingkatan Kelas Partisipan Penelitian (N=160)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hak pasien adalah mendapatkan informasi secara benar, jelas, dan jujur tentang tindakan kebidanan yang akan dilakukan; meminta pendapat Bidan lain dan/atau tenaga

Adapun pendekatan yang digunakan yaitu psikologi sastra, yaitu mendeskripsikan motivasi hidup tokoh utama dengan menggunakan sudut pandang psikologi sastra yang

Pembinaan nasionalisme melalui jalur pendidikan dilaksanakan dalam rangka penguatan nilai – nilai karakter dan budaya bangsa di lingkungan pendidikan. Strategi utama

Namun untuk mengetahui perilaku balok kastella dengan sudut dan panjang bukaan optimal yang akan digunakan pada gedung bertingkat yang diperhitungkan terhadap beban gempa

Dalam tujuh ajaran Sunan Drajat, terdapat beberapa nilai yang menujukkan bahwa sisi kemanusiaan dapat dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk sosial..

jumlah sudut bias dengan sudut datang adalah 90 o yang termuat dalam bentuk. garafik

Pada Tabel 9, hasil uji logistik regresi tiga variabel independent yang berhubungan secara bermakna (jenis tempat perindukan, mobilitas penduduk, dan keadaan

Tokoh “aku” sebagai tokoh utama dalam novel Hidup Ini Brengsek dan Aku Dipaksa Menikmatinya digunakan pengarang untuk menggambarkan insting dan hawa nafsu seseorang dari sudut pandang