• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA HIDUP PADA WANITA ACEH BERGELAR SYARIFAH YANG MELAJANG

Rizki Amanda dan Rahma Yurliani

Universitas Sumatera Utara 10017sra@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna hidup wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang. Syarifah memiliki peradaban yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya, dimana seorang Syarifah diharuskan untuk menikah dengan laki-laki yang bergelar Sayyid. Penelitian ini dilakukan pada dua orang subjek bergelar Syarifah yang belum menikah karena adanya nilai budaya

yang tidak membolehkan mereka menikah dengan orang tidak sekufu‘ (setara). Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data yang utama. Teori yang digunakan pada penelitian ini menggunakan teori makna hidup dari Bastaman. Makna hidup dianggap sebagai hal yang dianggap penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan. Terdapat 5 tahapan pencarian makna hidup, yaitu tahap derita, penerimaan diri, penemuan makna, realisasi makna dan tahap kehidupan bermakna. Selain itu, ada 3 sumber nilai yang mendukung tahap pencarian makna hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua subjek menemukan makna hidupnya dalam menghadapi aturan sebagai seorang Syarifah. Subjek 1 menemukan makna hidup melalui nilai keimanan dan agama yang dianutnya. Subjek 1 menganggap aturannya sebagai seorang Syarifah adalah bentuk kecintaannya kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Subjek 2 menemukan makna hidup dari hikmah yang ia dapatkan saat kedua orang tuanya jatuh sakit. Ia merasa bersyukur ia hidup melajang dan bisa merawat kedua orang tuanya dengan baik. Dampak dari penemuan makna hidup bagi kedua subjek adalah penerimaan diri yang positif dan adanya harapan untuk terus lebih baik di kemudian hari.

Kata-kata kunci: Makna hidup, syarifah, melajang

Suku Aceh adalah salah satu suku yang mendiami bagian Utara Pulau Sumatera dan merupakan daerah paling Barat dari wilayah Nusantara (Sufi, 2004). Penduduk Aceh berasal dari berbagai keturunan suku, kaum dan bangsa. Salah satu suku bangsa yang mendiami daerah Aceh adalah bangsa Arab. Bangsa Arab yang ada di Aceh dikatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW, sehingga menjadi lapisan tersendiri dalam masyakat Aceh. Laki-laki keturunan bangsa Arab biasa disebut dengan Sayyid atau Habib, dan wanita disebut dengan Syarifah. Sebagai keturunan dari Nabi Muhammad SAW, para Sayyid/Syarifah diharuskan untuk mempertahankan keturunan yang mereka miliki. Hal ini menyebabkan bagi para Sayyid maupun Syarifah diharuskan untuk menikah dengan golongan mereka sendiri. Seorang Syarifah diharuskan untuk menikah dengan yang sekufu (sebanding/sederajat). Hal ini berarti, Syarifah harus menikah dengan laki-laki bergelar Sayyid. Aturan yang mengharuskan wanita Syarifah untuk menikah dengan Sayyid menimbukan banyak dari mereka yang tidak menikah dan hidup melajang hingga lanjut usia. Salah satu alasan Syarifah belum menikah dikarenakan memilih untuk menunggu jodoh datang (laki-laki bergelar Sayyid). Alasan lain bahwa ada Syarifah yang memilih untuk tidak menikah karena menyukai laki-laki

golongan biasa. Keadaan para Syarifah yang tidak menikah menyebabkan mereka tidak memenuhi tugas perkembangan mereka di masa dewasa awal, yaitu memilih pasangan dan membina rumah tangga.

Al Masyhur (2013) menyatakan bahwa hidup sebagai seorang Syarifah adalah nikmat yang diberikan Allah SWT. Namun keharusan mereka meneruskan keturunan dengan menikahi seorang Sayyid menjadi suatu penderitaan bagi sebagian Syarifah. Penderitaan lain yang dialami oleh Syarifah adalah mereka hidup melajang hingga usia lanjut. Frankl (2004) mengungkapkan bahwa penderitaan dan rintangan akan memberikan seseorang kesempatan sebagai proses untuk memaknai segala peristiwa hidupnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa, di balik penderitaan yang dialami sebagai seorang Syarifah, bukan berarti nilai dan arti kehidupan tidak dapat ditemukan. Frankl (2004) mengemukakan bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam semua situasi, termasuk dalam situasi penderitaan.

Menurut Bastaman (1996), penemuan makna hidup merupakan proses perubahan dari penghayatan hidup tidak bermakna menjadi hidup bermakna. Proses tersebut dapat dideskripsikan pada tahapan pengalaman tertentu yang dialami oleh individu. Ada lima tahapan penemuan makna hidup, yaitu tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna hidup, tahap realisasi makna hidup dan tahapan kehidupan bermakna. Tahap derita adalah tahapan dimana seseorang dihadapkan pada pengalaman hidup yang tragis dan penderitaan, yang mengakibatkan kehidupan yang dijalani hampa, bosan, tidak berarti, dan cenderung putus asa (tragic event dan meaningless life). Tahap penerimaan diri ditandai dengan proses pemahaman diri dan perubahan sikap pada individu (self-insight dan

changing attitude). Tahap penemuan makna merupakan tahap individu mampu memaknai peristiwa yang dialami dan mulai menentukan tujuan hidupnya. Tahap penemuan makna juga diiringi dengan tahap realisasi makna. Pada tahap ini, individu melakukan kegiatan-kegiatan yang terarah untuk pemenuhan makna dan tujuan hidup yang telah ditentukan. Tahap terakhir adalah tahap kehidupan bermakna. Seseorang yang berada pada tahap ini telah mencapai kehidupan bermakna yang ditandai dengan gairah hidup, semangat hidup, tujuan hidup yang jelas, kegiatan bermakna dan lainnya. Penghayatan kehidupan bermakna dapat dicapai apabila individu berhasil menemukan makna dan merealisasikannya sehingga menimbulkan perasaan bahagia.

Bastaman (2007) mengemukakan ada sumber-sumber nilai yang memungkinkan individu menemukan makna hidup di dalamnya. Nilai-nilai tersebut adalah nilai kreatif (creative values), nilai bersikap (attitude values), nilai penghayatan (experiential values), dan nilai harapan (hopeful values). Nilai kreatif merupakan nilai yang diperoleh melalui kegiatan berkarya, bekerja, dan melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab. Nilai bersikap adalah nilai yang diperoleh dari penerimaan dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian dari segala bentuk penderitaan yang dialami individu. Nilai penghayatan diperoleh dari keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keagamaan dan keimanan, serta cinta kasih. Nilai pengharapan merupakan

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

keyakinan akan terjadinya perubahan yang lebih baik, ketabahan menghadapi keadaan buruk saat ini dan adanya sikap optimis terhadap masa depan.

Berdasarkan teori dan fenomena yag telah dipaparkan, makna hidup tentu dapat ditemukan dalam kehidupan dan setiap orang seharusnya mampu untuk menemukan makna hidup, namun tidak selalu mudah untuk mencapai hidup bermakna (Bastaman. 2007). Setiap individu memiliki cara tersendiri untuk menemukan makna hidup. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengungkapkan bagaimana proses pencarian makna hidup pada wanita bergelar Syarifah, dan bagaimana sumber makna hidup ikut mempengaruhi proses pencarian makna pada wanita bergelar Syarifah.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Tipe penelitian studi kasus digunakan sesuai dengan fokus penelitian yang ingin mengetahui makna hidup pada wanita Aceh bergelar Syarifah yang hidup melajang.

Subjek penelitian

Subjek dalam penelitian ini berjumlah dua orang wanita suku Aceh yang bergelar Syarifah. Subjek berada di rentang usia dewasa madya hingga dewasa akhir (lanjut usia), dan belum/tidak menikah. Rentang usia tersebut berkaitan dengan tugas perkembangan yang harus dipenuhi dalam hidup seseorang. Subjek dipilih menggunakan pengambilan subjek berdasarkan teori, atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling).

Metode pengumpulan data

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam sebagai metode utama, dan metode observasi sebagai metode pendukung. Alat bantu pengumpulan data pada penelitian ini adalah pedoman wawancara, pedoman observasi dan tape recorder. Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori tahapan makna hidup dan sumber makna hidup.

Prosedur

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, dan tahap pencatatan data. Pada tahap persiapan penelitian, peneliti mengumpulkan data dan teori yang berkaitan dengan fenomena yang ingin diteliti yaitu kehidupan seorang wanita bergelar Syarifah, kemudian peneliti mencari literatur variabel yang ingin diteliti pada wanita bergelar Syarifah yaitu teori makna hidup. Peneliti juga membuat susunan pedoman wawancara yang disesuaikan dengan kerangka teori makna hidup dan sebelumnya telah melakukan wawancara awal mengenai fenomena yang ingin diteliti dan memperoleh data awal mengenai kehidupan wanita Aceh bergelar Syarifah.

Pada tahap pelaksanaan penelitian, peneliti awalnya melakukan proses membangun rapport dengan subjek penelitian dan memastikan keikutsertaan subjek

dalam penelitian disertai proses penandatanganan informed consent oleh subjek penelitian. Penelitian kemudian dilanjutkan dengan proses pengambilan data dengan proses wawancara yang direkam menggunakan tape recorder. Wawancara dilakukan sebanyak empat kali pada setiap subjek wawancara. Sebelum wawancara dilakukan, peneliti terlebih dahulu melakukan professional judgement dengan ahli yang mengetahui nilai budaya Sayyid/Syarifah. Pengambilan data pada subjek pertama dilakukan sebanyak empat kali proses wawancara yang dilakukan pada tanggal 2 Maret 2014, 7 Maret 2014, 13 Maret 2014, dan 31 Maret 2014. Pengambilan data pada subjek kedua dilakukan sebanyak empat kali proses wawancara yang dilakukan pada tanggal 21 Maret 2014, 29 Maret 2014, 5 April 2014, dan 14 April 2014.

Setelah menyelesaikan proses pengambilan data, peneliti melakukan tahap pencatatan data. Awalnya, data yang sudah direkam selama proses wawancara, kemudian ditulis kembali dalam bentuk verbatim. Awalnya data yang diperoleh masih dalam bahasa daerah (bahasa Aceh), sehingga peneliti kemudian melakukan penerjemahan data ke bahasa Indonesia yang kemudian diverbatimkan. Data observasi juga dicatat setiap selesai wawancara dilakukan mengikuti pedoman observasi. Setelah pencatatan data dilakukan, peneliti kemudian membuat koding pada data berdasarkan teori makna hidup. Hasil koding akan membantu peneliti dalam menganalisa dan menginterpretasikan data yang telah diperoleh.

HASIL

Penelitian ini dilakukan pada dua orang subjek, yaitu wanita bergelar Syarifah yang masih melajang. Subjek 1 adalah seorang wanita Syarifah, berusia 45 tahun dan bermarga Al Habsyi. Subjek 2 adalah wanita Syarifah, berusia 67 tahun dan bermarga Al Habsyi. Kedua subjek belum menikah karena posisinya sebagai seorang Syarifah. Seorang Syarifah diharuskan untuk menikah dengan laki-laki

yang sekufu‘ dengannya, yaitu laki-laki bergelar Sayyid (Imam al-Sayuthi dalam Al-Masyhur, 2013). Alasan inilah yang mendasari kedua subjek belum menikah hingga usianya saat ini.

Subjek 1

Subjek 1 menyatakan bahwa alasannya belum menikah karena masih menanti Sayyid untuk datang melamarnya. Subjek 1 mengaku bahwa ia memang masih ingin mempertahankan garis keturunannya sebagai seorang Syarifah. Ia tidak ingin melanggar aturannya sebagai seorang Syarifah dengan menikahi laki-laki bukan dari golongan Sayyid. Hal ini menyebabkan subjek 1 masih melajang hingga usianya memasuki masa dewasa madya, yaitu 45 tahun. Aturan sebagai Syarifah menjadi pengalaman yang kurang menyenangkan bagi subjek. Pengalaman tersebut merupakan tahap penderitaan yang harus dilalui subjek dalam proses pencarian makna hidup. Bastaman (1996) menyatakan bahwa tahap penderitaan adalah tahap awal yang dilalui seseorang ketika ia mengalami kondisi hidup tidak bermakna (the meaningless life) yang disertai dengan pengalaman tragis (tragic event) sehingga

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

dibutuhkan pemahaman diri (self-insight) untuk mengubah kondisi menjadi lebih baik.

Pada kasus subjek 1, berbagai pengalaman tragis dialami menyebabkan kehidupan subjek menjadi tidak sejahtera, kondisinya yang tidak sehat juga membuat subjek tidak dapat melakukan ibadah secara khusyuk, bahkan menganggu aktivitasnya sehari-hari. Aturannya sebagai seorang Syarifah menyebabkan ia masih melajang hingga usia 45 tahun, dan adanya permasalahan keluarga yang tidak kunjung selesai sejak ia kecil menambah penderitaan dalam hidup subjek. Namun subjek mengaku tidak pernah putus asa dengan keadaannya. Subjek menyadari bahwa ia tetap harus bertahan dengan kondisinya. Hal ini menimbulkan pemahaman akan dirinya yang terikat dengan kewajiban untuk tetap menjaga garis keturunan Nabi Muhammad SAW (self-insight). Pemahaman diri sebagai seorang Syarifah diakui subjek memicu dirinya untuk bersikap lebih positif memandang kehidupannya (changing attitude). Subjek memilih berserah diri kepada Allah SWT dan menemukan makna dari hasil doa dan beribadah kepada Allah SWT. Subjek mengaku kehidupannya lebih baik saat ia mendekatkan diri dengan Allah SWT. Subjek mengaku bahwa ia menemukan makna hidup melalui keyakinannya terhadap agama yang dianut. Melalui agamanya, subjek melakukan kegiatan bermakna dengan memperbanyak kegiatan sehari-hari dengan beribadah, seperti mengaji, berdzikir, dan memperbanyak ibadah sunnah lainnya.

Penemuan makna hidup melalui doa dan ibadah membuat subjek mampu memandang kehidupan dari sudut pandang yang lebih positif. Penemuan makna hidup pada subjek juga dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianggap penting dalam kehidupannya. Nilai yang menjadi sumber makna hidup pada subjek 1 adalah

attitudinal values dan experiential values. Subjek memilih bersabar akan pengalaman pahit yang ia rasakan (attitudinal values). Keyakinan subjek terhadap agama yang dianutnya dengan keimananya terhadap Allah SWT juga menjadikan kehidupan subjek menjadi lebih bermakna (experiential values). Adanya nilai pengharapan (hope values) dalam kehidupan subjek juga mendukung penghayatannya akan hidup bermakna. Subjek masih berkeinginan untuk menyelesaikan masalah yang menimpa keluarganya. Subjek juga berserah diri pada Allah SWT mengenai jodohnya. Ia masih berharap suatu saat akan memiliki pendamping hidup layaknya orang lain. Subjek selalu berharap dan berdoa mendapatkan yang terbaik dalam kehidupannya kelak. Ibadah dan berdoa memberi arti dan penghayatan yang penuh makna pada kehidupan subjek 1.

Dampak yang ditimbulkan setelah menemukan makna hidup pada subjek 1 adalah subjek pasrah akan kondisinya saat ini. Subjek menerima dengan ikhlas apapun yang terjadi pada dirinya dan menjalani kehidupan dengan optimis dan terus berharap mendapatkan kehidupan yang terbaik. Subjek tidak merasa sedih dengan keadaannya yang sudah berusia 45 tahun namun masih melajang. Subjek berserah diri pada Allah SWT dengan segala sesuatu yang terjadi pada kehidupannya. Ia percaya bahwa kehidupannya akan lebih baik jika ia terus mendekatkan diri pada Allah SWT.

Subjek 2

Subjek 2 menyatakan bahwa alasannya belum menikah karena ia pernah merasa sangat kecewa saat orang tuanya menolak lamaran laki-laki yang dekat dengannya. Orang tua subjek 2 tidak menerima lamaran laki-laki tersebut karena laki-laki itu berasal bukan dari golongan Sayyid. Orang tua subjek masih sangat memperhatikan nilai-nilai budaya mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, subjek 2 harus mengalami kekecewaan dengan tidak berjodoh dengan laki-laki tersebut. Saat itu, subjek 2 mengaku sangat kecewa, merasa putus asa dan berada dalam kehidupan yang tidak bermakna (tragic event dan meaningless life). Kondisi subjek yang bingung akan kehidupannya dan merasa memiliki kehidupan yang tidak bermakna menyebabkan subjek menolak untuk menerima banyak lamaran dari para Sayyid yang datang setelah kejadian penolakan lamaran orang yang ia sukai oleh orang tuanya. Subjek mengaku ia juga tidak mengerti mengapa ia menolak seluruh lamaran orang lain. Ia merasa masih sedih dengan keadaannya yang tidak berjodoh dengan laki-laki yang ia sukai.

Subjek pasrah dengan keadaannya dan terus melanjutkan hidupnya. Subjek menyadari posisinya sebagai seorang Syarifah (self-insight) sehingga subjek memilih untuk bersabar dengan keadaannya. Umur subjek semakin bertambah, dan ia belum menikah. Subjek tidak pernah menyesali keputusannya yang tidak menikah. Subjek kemudian merasa menemukan hikmah di balik keadaannya yang masih melajang saat orang tuanya jatuh sakit (tahap penemuan makna). Subjek mengaku merasa beruntung dan sangat bersyukur tidak menikah karena subjek dapat memberikan seluruh waktunya untuk menjaga kedua orang tuanya. Makna hidup subjek juga dipengaruhi nilai-nilai sebagai sumber makna hidup. Nilai yang mempengaruhi pencapaian makna hidup pada subjek 2 adalah experiential values

dan creative values. Subjek memiliki pekerjaan (creative values) yang ia senangi yakni sebagai seorang guru di Madrasah Ibtidaiyah Negeri. Subjek mengaku sangat mencintai profesinya sebagai guru. Subjek menemukan kepuasan tersendiri saat ia berada di sekolah dan bergaul dengan murid-muridnya. Pekerjaannya sebagai seorang guru juga membuat subjek memiliki penghasilan sendiri dan tidak bergantung secara finansial pada orang lain. Hingga usianya saat ini (67 tahun) subjek masih menerima gaji pensiun untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Nilai penghayatan (experiential values) juga menjadi sumber makna hidup pada kehidupan subjek. Subjek mampu menerima dan memberi cinta kasih dengan orang-orang di sekitarnya. Hal ini terlihat dari kedekatannya dengan murid-murid tempat ia mengajar. Subjek sangat disayangi oleh muridnya, begitu juga sebaliknya. Hal ini membuat subjek merasa kehidupannya baik-baik saja meski ia tidak menikah.

Dampak setelah menemukan makna hidup pada subjek 2 terlihat dari cara subjek menyikapi keadaannya (changing attitude). Subjek ikhlas dan tabah dengan segala kondisi yang menimpanya, dan memiliki berserah diri kepada Allah SWT dengan segala keadaan yang terjadi. Semangat hidup akan meningkat dan secara sadar subjek melakukan berbagai kegiatan bermakna untuk memenuhi makna hidup

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

yang telah dicapai. Pada kehidupan subjek, subjek menghabiskan seluruh hidupnya untuk bekerja sebagai guru. Ia juga menjalankan kewajibannya sebagai anak dengan penuh tanggung jawab untuk merawat kedua orang tuanya yang sakit. Subjek juga memperbanyak kegiatan keagamaan dengan beribadah kepada Allah SWT.

Tahapan hidup bermakna dapat dilalui dengan baik oleh subjek. Sejalan dengan pernyataan Bastaman (1996), bila tahapan pencarian makna hidup dapat dilalui maka akan ada perubahan kondisi hidup dari kehidupan tidak bermakna (meaningless life) menjadi kehidupan bermakna (the meaningful life) dan mendapatkan kebahagiaan sebagai hasil sampingan (happiness). Pada kehidupan subjek 2, ia mengaku mendapat kepuasan dengan kehidupan yang telah ia jalani. Subjek tidak pernah menyesali keputusannya melajang, dan mampu menemukan hikmah di balik kondisinya yang tidak menikah. Subjek memiliki semangat hidup yang tinggi, dan memiliki kesehatan yang baik di usia tuanya yakni 67 tahun. Subjek memiliki pekerjaan dan penghasilan sendiri tanpa harus bergantung secara finansial pada orang lain. Subjek mampu mendapatkan kebahagiaan sebagai ganjaran menemukan makna hidup dari seluruh pengalaman pahit yang ia alami.

Subjek juga masih memiliki harapan untuk selalu diberi kesehatan oleh Allah SWT. Harapan yang dimiliki subjek adalah nilai yang menurut Bastaman (1996) dapat menjadikan hidup seseorang lebih bermakna. Sebagai wanita yang memasuki tahapan lanjut usia, tentunya subjek tidak ingin merepotkan orang lain dengan kondisinya. Subjek juga masih berharap untuk bisa sekali lagi beribadah Umrah ke Tanah Suci Mekkah.

DISKUSI

Kedua subjek dapat disimpulkan mampu melewati tahapan pencarian makna hidup dengan baik sehingga keduanya mendapatkan hidup yang bermakna. Namun ada perbedaan antara subjek 1 dan subjek 2. Subjek 1 merasa kehidupannya lebih bermakna melalui keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Kehidupannya menjadi lebih baik saat ia melakukan kegiatan beribadah, baik melalui Shalat, mengaji, berdzikir dan kegiatan keagamaan lainnya. Subjek 2 menemukan makna hidup ketika kedua orang tuanya jatuh sakit. Subjek merasa bersyukur ia tidak menikah, dengan kondisinya yang melajang subjek bisa meluangkan seluruh waktunya untuk menjaga kedua orang tuanya yang sakit.

Nilai keimanan menjadi sumber makna hidup yang paling berperan dalam proses pencarian makna hidup subjek 1. Bagi subjek 1, hal terpenting dalam kehidupannya adalah menjalankan segala perintah Allah SWT dan meninggalkan semua larangannya, hal ini tentu berkaitan dengan aturannya sebagai Syarifah yang tidak boleh menikah dengan laki-laki bukan Sayyid. Subjek tetap ingin mempertahankan aturan tersebut, dan masih berkeinginan untuk mendapatkan pasangan hidup yang berasal golongan Sayyid. Sedangkan sumber makna hidup yang berperan dalam kehidupan subjek 2 berasal dari nilai kreatif (bekerja), nilai bersikap (tabah dengan keadaannya), dan nilai penghayatan (kemampuannya untuk

menerima dan memberi cinta kasih dengan orang-orang sekitarnya). Subjek 2 cukup puas dengan kehidupan yang ia miliki saat ini. Ia memiliki penghasilan sendiri, dan hingga sekarang ia masih menerima gaji pensiun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia juga memiliki keluarga yang menyayanginya, dan memiliki teman dan sahabat serta lingkungan di luar keluarga tempat berkomunikasi dan bergaul. Subjek memiliki kepuasan dengan kehidupan yang telah ia jalani, dan ia mampu merasakan kebahagiaan dari kehidupannya. Adanya nilai harapan (hope value) ikut berperan dalam kehidupan bermakna pada kedua subjek. Kedua subjek memiliki harapan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, berusaha meningkatkan iman dan taqwanya kepada Allah SWT, dan masih berkeinginan untuk bisa pergi menunaikan ibadah ke Tanah Suci.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa meskipun kedua subjek berasal dari keturunan yang sama, namun terdapat perbedaan sumber makna hidup yang paling berperan dalam kehidupan kedua subjek. Memenuhi salah satu sumber makna hidup bisa menjadi pemicu untuk mendapatkan kehidupan bermakna, namun kehidupan bermakna yang dirasakan tidak mencapai kebahagiaan sebagai dampak dari hidup yang bermakna.

Implikasi dari penelitian ini kepada subjek 1 untuk dapat membuka diri dengan orang-orang di sekitarnya dan lebih terbuka dengan kehidupan dan kebudayaan yang mereka miliki dengan dunia luar. Hal ini bertujuan agar subjek dapat mengenal orang-orang di luar dari kelompoknya dan memperluas wawasan dengan mengenal orang-orang lain yang berada di sekitarnya. Implikasi untuk subjek 2 adalah diharapkan untuk terus mengembangkan potensi diri dan membekali diri dengan kegiatan bermakna yang bermanfaat untuk mengisi kehidupan di masa usia lanjut. Subjek 2 juga diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi usianya yang lanjut, yaitu penyesuaian secara fisik dan sosial yang diharapkan agar subjek