• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meutia Nauly dan Raja Zalia Gustiana

Universitas Sumatera Utara meutia@indieacademy.org

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran persepsi ancaman terhadap perilaku menghindari Suku Laut yang dilakukan oleh Suku Melayu di Kepulauan Riau. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan 107 orang partisipan yang berasal dari Suku Melayu di Kepulauan Riau. Partisipan dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik incidental sampling. Hasil analisa penelitian yang diperoleh mendukung hipotesa penelitian bahwa persepsi ancaman memiliki peranan dalam perilaku menghindar yang dilakukan Suku Melayu terhadap Suku Laut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan persepsi ancaman memiliki peranan yang signifikan terhadap munculnya perilaku menghindar pada individu. Kecemasan antar kelompok adalah variabel yang paling berperan terhadap perilaku menghindar, diikuti oleh ancaman simbolik dan ancaman realistik.

Kata-kata kunci: Persepsi ancaman, perilaku menghindar, suku laut, suku melayu

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Di dalamnya hidup berbagai macam suku adat dan budaya yang berbeda. Salah satunya adalah Suku Laut yang hidup di sekitar perairan Kepulauan Riau. Sebagaimana halnya Suku Melayu, Suku Laut merupakan salah satu suku asli yang mendiami Kepulauan Riau. Namun, hal ini tidak membuat Suku Laut dan Melayu lepas dari konflik etnisitas antar suku. Konflik antar etnis ini tampak dari perilaku menghindar yang dilakukan oleh Suku Melayu. Di dalam penelitian ini, kami berasumsi bahwa respon menghindar yang dilakukan oleh Suku Melayu terhadap Suku Laut merupakan salah satu upaya untuk menghadapi konflik yang disebabkan oleh persepsi ancaman yang muncul dari perbedaan kepercayaan dan cara hidup pada Suku Laut. Sehubungan dengan asumsi ini kami mencoba untuk melihat seberapa besar peran persepsi ancaman dan aspek-aspek persepsi ancaman berperan terhadap perilaku menghindari ini.

Masalah etnisitas di Indonesia tampak pada relasi antar etnis dalam kehidupan sehari-hari maupun antara kelompok minoritas dan mayoritas di wilayah tertentu. Pada relasi antar etnis Suku Laut dan suku Melayu, penyebab utama isu etnisitas antar kelompok ini lebih mengacu pada perbedaan yang sangat mencolok pada kepercayaan dan cara hidup antara Suku Laut dan Suku Melayu. Masyarakat Melayu yang secara historis maupun secara sosiologis memiliki nilai adat yang sangat lekat dengan warna islami memiliki kepercayaan yang sangat bertolak belakang dengan kepercayaan Suku Laut yang sebagian besar masih menganut kepercayaan animisme-shamanisme (Chou, 2003). Perbedaan kepercayaan inilah yang kemudian membentuk kesadaran di antara orang Melayu dan orang Laut

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

kita‘ (kita/insider) dan ‗orang lain‘ (mereka/outsider), yang kemudian mempengaruhi pola-pola relasi di antara mereka sendiri (Chou, 2003).

Tajfel dan kolega (Tajfel, 1969; Tajfel dkk., 1971 dalam Withley & Kite, 2010) mengemukakan bahwa ketika individu mengidentifikasikan dirinya sebagai

ingroup dan melihat orang lain sebagai bagian dari outgroup, mereka melihat anggota dalam ingroup lebih positif dibandingkan dengan outgroup. Proses kategorisasi ini berakibat pada munculnya perspektif „us vs them‟ dan meningkatkan munculnya perasaan kompetisi antar kelompok (Stephan, Ybara & Morrison, 2009; Withley & Kite, 2010).

Ketika perasaan kompetisi muncul, seseorang mengembangkan rasa curiga dan kecemasan terhadap orang yang asing sebagai cara untuk melindungi diri dan kelompoknya dari kemungkinan bahaya yang ditimbulkan dari luar. Kebutuhan akan keselamatan kelompok dan ketakutan pada kehancuran kelompok dirasakan sebagai ketakutan personal. Akibatnya, individu cenderung memperlakukan

ingroup dengan lebih baik dan menampilkan rasa permusuhan kepada outgroup.

Outgroup diperlakukan secara bermusuhan bukan karena mereka anggota dari kelompok luar, tapi lebih karena kelompok tersebut memiliki ancaman tertentu terhadap ingroup (Tajfel & Turner, 1986 dalam Stephan, Ybara & Morrison, 2009; Withley & Kite, 2010).

Stephan dan Stephan berpendapat bahwa threat (ancaman) merupakan salah satu penyebab konflik yang muncul dalam kaitannya dengan hubungan antar kelompok. Kelompok luar yang mempunyai kekuatan untuk merugikan atau berbuat jahat kepada anggota kelompok dari individu adalah ancaman bagi kelompok (Stephan, Ybara & Morrison, 2009).

Dalam hubungannya dengan konteks intergroup threat theory, intergroup threat dialami ketika anggota dari kelompok dirugikan oleh kelompok luar.

Intergroup threat terjadi ketika tindakan, kepercayaan, atau karakteristik dari

outgroup menentang tujuan atau keselamatan dari ingroup. Ancaman ini bisa berbentuk realistik ataupun simbolik (Riek dkk, 2010; Stephan, Ybara & morrison, 2009). Ancaman realistik adalah ancaman yang berhubungan dengan fisik atau material yang nyata dan membahayakan individu seperti rasa sakit, siksaan, atau kematian. Sementara ancaman simbolik adalah ancaman yang berhubungan dengan agama, nilai-nilai, kepercayaan, ideologi, falsafah, moralitas, juga identitas sosial dan harga diri dari individu atau kelompok. Selain ancaman realistik dan simbolik, persepsi ancaman bisa berbentuk kecemasan. Kecemasan antar kelompok (intergroup anxiety), adalah ancaman yang berpusat pada perasaan cemas atau gelisah ketika individu berinteraksi dengan outgroup.

Sebuah ancaman (threat) bisa menyebabkan munculnya konflik. Hal ini dikarenakan ancaman mempengaruhi perilaku, persepsi, dan emosi. Konflik adalah persepsi dan/atau ketidaksesuaian yang nyata dalam nilai, harapan, proses, atau hasil dari dua pihak atau lebih pada masalah (Han, 2008). Sebuah konflik melibatkan stimulus yang tidak diinginkan dan/atau tidak pantas.

Perbedaan budaya dalam cara menghadapi konflik dan perilaku ketika berhadapan dengan konflik telah menjadi fokus dalam berbagai penelitian lintas

budaya. Dalam budaya barat seperti Amerika Serikat, nilai keterbukaan dalam menghadapi konflik sangat dihargai. Konsep keterbukaan ini termanisfestasi dalam berbagai perilaku seperti diskusi terbuka, dan konfrontasi langsung sebagai cara yang efektif untuk menghadapi konflik. Sebaliknya, menghindar sebagai upaya untuk menghadapi konflik dianggap sebagai strategi yang berguna dalam menghadapi konflik pada banyak negara di Asia (Morris, Williams, Leung, dkk, 1998, Tjosvold & Sun, 2002; Han, 2008). Hal ini dikarenakan pada masyarakat yang bersifat kolektif seperti Indonesia, menghindari masalah dipersepsikan mampu melindungi hubungan interpersonal antara dua pihak yang bermasalah dan mengurangi terjadinya konflik di antara mereka.

METODE

Partisipan

Partisipan pada penelitian ini adalah masyarakat suku Melayu yang pernah melakukan kontak atau mengetahui keberadaan Suku Laut. Partisipan pada penelitian ini berjumlah 107 orang yang terdiri dari 60 orang partisipan yang berjenis kelamin laki-laki dan 47 orang partisipan yang berjenis kelamin perempuan. Pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan teknik

nonprobability sampling secara incindental.

Prosedur dan alat ukur

Prosedur pelaksanaan dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama yaitu tahap persiapan. Pada tahapan ini kami mempersiapkan dan menyusun alat ukur berupa skala yang akan digunakan untuk mengukur variabel yang akan diteliti yaitu perilaku menghindar dan persepsi ancaman. Perilaku menghindar diukur dengan menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Neumann, Hulsenbeck, Seibt (2003) yang mengukur perilaku menghindar pada individu. Total skor yang dihasilkan skala perilaku menghindar menggambarkan sejauh mana tingkat perilaku menghindar yang dilakukan oleh individu. Semakin tinggi total skor pada skala perilaku menghindar maka semakin tinggi pula perilaku menghindar yang dilakukan oleh individu, begitu juga sebaliknya. Sementara itu, persepsi ancaman dapat diukur dengan menggunakan tiga buah skala oleh Stephan & Stephan (2000) yang dikembangkan untuk mengukur tiga tipe persepsi ancaman. Total skor yang dihasilkan skala persepsi ancaman menunjukkan sejauh mana individu mempersepsikan ancaman yang ditimbulkan oleh outgroup terhadap ingroup. Semakin tinggi total skor pada skala persepsi ancaman, maka akan semakin tinggi juga ancaman yang dirasakan oleh individu, begitu juga sebaliknya.

Tahap kedua yaitu tahap pelaksanaan. Pada tahap ini, kami memberikan alat ukur berupa skala perilaku menghindar, skala kecemasan antar kelompok, skala ancaman simbolik, dan skala ancaman realistik pada 107 orang partisipan penelitian yang dipilih secara incidental dan sesuai dengan karakteristik sampel untuk

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

penelitian. Setelah data pengukuran diperoleh, kami melakukan analisa data yang merupakan tahap ketiga dalam penelitian ini.

HASIL

Deskripsi data, normalitas, dan multikolinieritas

Deskripsi data penelitian ditujukan untuk memperoleh gambaran mengenai perilaku menghindar dan persepsi ancaman berupa kecemasan antar kelompok, ancaman simbolik, dan acaman realistik pada partisipan-partisian penelitian. Rata-rata perilaku menghindar adalah 39,29 (SD=13,87), kecemasan antar kelompok adalah 31,45 (SD=9,03), ancaman simbolik adalah 31,68 (SD=6,91) dan ancaman realistik adalah 34,12 (SD=7,71). Analisa one-sample t-test menunjukkan bahwa perilaku menghindar (t=29.30, p=0.00) dan kecemasan antar kelompok (t=36.01, p=0.00) yang lebih rendah dari norma pada alat ukur. Hasil ini memperlihatkan bahwa suku Melayu kurang memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku menghindar dan memiliki kecemasan yang rendah terhadap Suku Laut. Sementara itu, hasil analisa one sample T-Test menunjukkan bahwa partisipan memiliki ancaman simbolik (t=47.37, p=0.00) dan ancaman realistik (t=45.23) yang lebih tinggi dari norma pada alat ukur. Hasil ini memperlihatkan bahwa suku Melayu memiliki kecenderungan untuk memandang keberadaan Suku Laut sebagai ancaman bagi keselamatan individu (ancaman realistik) dan norma-norma serta nilai-nilai pada suku Melayu (ancaman simbolik).

Uji normalitas dilakukan dengan metode kolmogorov-Smirnov test. Hasil analisa menunjukkan bahwa masing-masing variabel terdistribusi normal dengan distribusi skor pada akala perilaku menghindar (D=.959, p=.316); skala kecemasan antar kelompok (D= .836, p=.487); skala ancaman simbolik (D= 1.189, p=.118); dan skala ancaman realistik (D= .844, p=.474).

Uji multikolinieritas dilakukan pada tiga tipe persepsi ancaman dengan menggunakan uji VIF (Variance Inflance Factor). Hasil analisa menunjukkan bahwa tidak terjadi multikolinieritas pada masing-masing variabel dengan nilai VIF pada kecemasan antar kelompok adalah sebesar 1.417; pada ancaman simbolik sebesar 2.193; dan pada ancaman realistik sebesar 2.518.

Perilaku menghindar dan persepsi ancaman

Hipotesis dalam penelitian ini adalah persepsi ancaman berperan terhadap perilaku menghindar pada Suku Laut yang dilakukan oleh suku Melayu di Kepulauan Riau. Hasil korelasi pearson memperlihatkan hubungan yang signifikan (r=.788, p=.000) dengan arah korelasi positif yang menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi ancaman, maka semakin tinggi pula perilaku menghindar yang akan muncul. Untuk mengetahui derajat pengaruh antara variabel-variabel pada persepsi ancaman terhadap variabel perilaku menghindar digunakan analisis regresi. Hasil analisa menunjukkan bahwa persepsi ancaman berperan terhadap perilaku menghindar. Hasil menunjukkan peran yang signifikan antara masing-masing variabel, (F=56.064, p=.00, R2=.62). Secara keseluruhan, persepsi ancaman

memiliki peran sebesar 62% terhadap munculnya perilaku menghindar. Kecemasan antar kelompok adalah variabel yang mempunyai peranan yang paling tinggi terhadap perilaku menghindar yaitu sebesar 46%, diikuti oleh variabel ancaman simbolik sebesar 1,3% dan ancaman realistik sebesar 0,7%.

DISKUSI

Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran persepsi ancaman terhadap perilaku menghindar yang dilakukan oleh suku Melayu kepada Suku Laut di Kepulauan Riau. Hasil analisa deskriptif menunjukkan perbedaan hasil penelitian dengan norma alat ukur yang digunakan. Perilaku menghindar dan kecemasan kelompok menunjukkan hasil yang lebih rendah dari norma alat ukur yang berarti bahwa suku Melayu memiliki perilaku menghindar dan kecemasan yang rendah terhadap Suku Laut. Sebaliknya, pengukuran pada ancaman simbolik dan ancaman realistik memiliki nilai yang lebih tinggi dari norma pada alat ukur yang berarti bahwa suku Melayu memiliki kecenderungan untuk memandang keberadaan Suku Laut sebagai ancaman bagi keselamatan individu (ancaman realistik) dan norma-norma serta nilai-nilai pada suku Melayu (ancaman simbolik).

Hasil deskripsi penelitian pada ancaman simbolik dan realistik pada penelitian ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lenhart (1997) dan Chou (2003). Namun, tidak begitu halnya dengan deskripsi penelitian mengenai perilaku menghindar dan kecemasan antar kelompok yang bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lenhart dan Chou. Lenhart dalam penelitiannya mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, suku Melayu memiliki kecenderungan untuk menghindari kontak dengan Suku Laut. Hal ini disebabkan oleh perbedaan yang sangat mencolok dalam pola hidup dan budaya serta agama yang dimiliki oleh masing-masing suku.

Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang positif (searah) pada persepsi ancaman yang berarti persepsi ancaman berperan pada munculnya perilaku menghindar pada individu. Jika individu merasa terancam, maka ia akan cenderung melakukan perilaku menghindar. Hasil penelitian ini senada dengan Stephan, Morrisson, dan Ybara (2009) yang berpendapat bahwa ancaman bisa menyebabkan munculnya konflik, dan respon perilaku yang muncul adalah menghindari atau mendekati sumber konflik. Morris et.al (1998) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa pada masyarakat dengan tingkat kolektivisme yang tinggi, menghindari sumber konflik adalah pilihan yang sering diambil untuk menghadapi konflik.

Selanjutnya, kami juga menyadari adanya berbagai kekurangan dalam penelitian ini. Pertama, kami hanya memperhatikan peran persepsi ancaman terhadap munculnya perilaku menghindar dan mengabaikan faktor-faktor yang lain. Namun, dari hasil penelitian diperoleh besar peran persepsi ancaman terhadap perilaku menghindar sebesar 62% dan 38% selebihnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti pada penelitian ini. Dengan demikian, maka disarankan kepada penelitian selanjutnya juga dapat melihat pengaruh faktor-faktor

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

lain pada perilaku menghindar, seperti yang dikemukakan oleh Stephan, Ybarra, & Morrison, 2009), yaitu faktor-faktor seperti hubungan antar kelompok, dimensi budaya, faktor situasional dan perbedaan individu.

Kedua, dalam penelitian ini, sumber penemuan-penemuan pada hubungan-hubungan dan kontak yang dilakukan oleh suku Melayu dan Suku Laut kami peroleh berdasarkan hasil penelitian dari peneliti yang berasal dari luar negeri dan hanya melakukan interaksi dengan partisipan penelitian selama penelitian berlangsung. Dengan demikian, akan sangat baik jika peneliti selanjutnya didasarkan pada pengamatan langsung pada partisipan penelitian sebelum melakukan penelitian.

Ketiga, Suku Melayu bukanlah satu-satunya suku yang melakukan kontak atau berhubungan dengan suku orang laut. Peneliti menyarankan untuk melihat juga persepsi ancaman yang dilakukan oleh kelompok-kelompok etnis pendatang yang bukan merupakan suku asli di Kepulauan Riau. Perbedaan sejarah yang ada juga bisa menjadi faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku menghindar pada individu.

REFERENSI

Chou, C. (2003). Indonesian sea nomads: Money, magic, and fear of the Orang Suku Laut. Don: Routledge Curzon.

Han, B. (2008). Face goals in conflict avoidance: A cross-cultural analysis. International Communication Association. Montreal, Canada.

Lenhart, L. (1997). Orang Suku Laut: Ethnicity and acculturation. I Riau in Transition: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (Vol. 153, ss. 577-604). Leiden.

Morris, M. W. (1998). Culture, conflict management style, and underlying values: Accounting for cross-national differences in styles of handling conflicts among US, Chinese, Indian and Filipina Managers. Graduate School of Business, Stanford University.

Morris, M. W., Williams, K. Y., Leung, K., Larrick, R., Mendoza, M. T., Bhatnagar, D., et al. (1998). Conflict management style: Accounting for cross-national differences. Journal of International Business Studies , 29 (4), 729-747. Neumann, R., Hulsenbeck, K., & Seibt, B. (2004). Attitudes toward people with AIDS and avoidance behavior: Automatic and reflective bases of behavior.

Journal of Experimental Social Psychology , 40, 543-550.

Riek, B. M., Mania, E. W., Gaertner, S. L., McDonald, S. A., & Lamoreaux, M. J. (2010). Does a common ingroup identity reduce intergroup threat? Group Processes Intergroup Relations , 13, 403-423.

Stephan, C. W., Stephan, W. G., Demitrakis, K. M., Yamada, A. M., & Clason, D. L. (2000). Women's attitudes toward men: An integrated threat theory approach.

Stephan, W. G., Ybarra, O., & Morrison, K. R. (2009). Intergroup threat theory. I T. D. Nelson (Ed.), Handbook of prejudice, stereotyping, and discrimination. New York : Psychology Press.

Tjosvold, D., & Sun, H. F. (2002). Understanding conflict avoidance: Relationship, motivations, actions, and consequences. The International Journal of Conflict Management , 13 (2), 142-164.

Whitley Junior, B. E., & Kite, M. E. (2010). The Psychology of prejudice and discrimination (2. ed.). USA: Wadsworth.

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

SIKAP GURU TERHADAP PEMBELAJARAN