• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA WANITA SANDWICH GENERATION ETNIS

MINANGKABAU

Cassia Divina L. M dan Liza Marini

Universitas Sumatera Utara 10090cdlm@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran subjective well-being pada wanita

sandwich generation etnis Minangkabau. Partisipan merupakan tiga orang wanita etnis Minangkabau dengan ciri-ciri mengurus ibu dan anak, memiliki suami, dan bekerja. Adapun pendekatan yang digunakan ialah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data utama. Teori yang digunakan adalah teori subjective well-being dari Eddington dan Shuman (2007). Istilah subjective well-being mengacu kepada evaluasi individu terhadap kehidupannya, terdiri dari penilaian kognitif dan evaluasi afektif, dimana terdapat beragam faktor yang mempengaruhi subjective well-being. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga partisipan memiliki gambaran subjective well-being yang berbeda sebagai sandwich generation etnis Minangkabau. Partisipan I menilai secara keseluruhan hidupnya memuaskan dan lebih sering merasakan afek positif sebagai seorang sandwich generation. Partisipan II dan III menilai hidupnya belum memuaskan secara keseluruhan karena adanya keinginan yang belum terwujud yang dipengaruhi oleh peran mereka sebagai sandwich generation. Partisipan II lebih sering merasakan afek negatif sedangkan partisipan III lebih sering merasakan afek positif dari perannya sebagai sandwich generation. Meskipun demikian, subjective well-being ketiga partisipan sebagai sandwich generation dipengaruhi faktor-faktor yang sama, antara lain kepuasan kerja, pernikahan, waktu luang, kejadian hidup, dan kompetensi. Sementara itu, faktor pendapatan juga mempengaruhi subjective well-being partisipan II dan III. Dan faktor kesehatan juga mempengaruhi

subjective well-being responden II.

Kata-kata kunci:Subjective well-being, wanita, sandwich generation, etnis Minangkabau

Struktur penduduk pada banyak negara telah mengalami perubahan dari penduduk berstruktur muda menjadi penduduk berstruktur tua (Dewi, Suratmi, Agustin dalam Silalahi dan Meinarno, 2010). Keasberry (dalam Silalahi dan Meinarno, 2010) menyatakan bahwa Indonesia juga mengalami peningkatan dalam jumlah penduduk lansia. Para lansia menghadapi konsekuensi menurunnya produktivitas dan kondisi kesehatan seiring dengan bertambahnya usia dan menurunnya kebugaran tubuh (Dewi, Suratmi, dan Agustin dalam Silalahi dan Meinarno, 2010).

Lazimnya, para lansia membutuhkan bantuan orang lain untuk merawat mereka. Sebuah asumsi kultural yang menyatakan bahwa mengasuh atau merawat adalah tugas dari seorang wanita. Hal ini menyebabkan anak perempuan yang paling diasumsikan memiliki tanggung jawab atas tugas tersebut (Antonucci; Mathews dalam Papalia, 2008). Sandwich generation merupakan individu dewasa madya, khususnya wanita, yang menemukan bahwa dirinya bertanggung jawab atas anak yang bergantung padanya dan juga bertanggung jawab atas orang tuanya yang lansia (Boston Women‘s Health Book Collective dalam Matlin, 2008).

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

Sistem nilai sosial budaya di Indonesia menempatkan para lansia sebagai warga terhormat, baik di lingkungan keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya hal ini tercermin pada tanggung jawab yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal dan tinggal dalam sebuah keluarga luas memiliki tanggung jawab terhadap penyantunan terhadap para lansia (Nurti, 2007). Peranan keluarga Minangkabau yang menganut sistem matrilineal terhadap keberadaan perempuan lansia ialah bertanggung jawab penuh untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya sehingga para lansia tersebut tidak terlantar dan merasa bahagia dengan kondisi keluarganya. Dijelaskan juga bahwa yang memiliki tanggung jawab atas tugas penyantunan ini ialah anak-anak dari perempuan lanjut usia tersebut (Nurti, 2007).

Dalam etnis Minangkabau, anak perempuan adalah penghias rumah gadang yang hidupnya hanya bekisar di sekitar rumah tersebut. Oleh karena itu, ia setiap hari dan setiap saat berhubungan dan bergaul dengan ibunya di rumah. Bagi seorang ibu, anak perempuan selalu menemani dan membantunya di rumah, baik dalam suka maupun duka (Witrianto, 2010). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa saat sang ibu sudah lanjut usia maka yang bertanggung jawab untuk mengurusnya adalah anak perempuannya.

Terdapat tugas yang tidak menyenangkan dan melelahkan bagi wanita dewasa madya dalam perannya mengasuh orang tua lansia. Ini dapat membuat wanita dewasa madya sering mengalami stres, sehingga menyebabkan efek kesehatan fisik dan mental yang buruk (E. M. Brody, Miller-Day, dan Vitaliano dalam Matlin, 2008). Kelelahan yang dirasakan oleh wanita dewasa madya tersebut merupakan hasil dari banyak faktor, seperti intensitas merawat orang tua (Miller, McFall, Montgomery; Mui dalam Belsky, 1997), serta jumlah peran tambahan lainnya,

seperti sebagai ibu, istri, ataupun nenek─yang harus ditangani dalam waktu yang

sama (Franks & Stephens dalam Belsky, 1997).

Namun, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yiengprugsawan, Seubsman, dan Sleigh di Thailand (2012) diketahui bahwa selain mengalami stress psikologis yang lebih tinggi daripada individu non pengasuh, pengasuh melaporkan memiliki kesehatan mental positif yang lebih tinggi (seperti self-esteem dan puas dengan hidup), kapasitas mental positif yang lebih tinggi (seperti mengatasi krisis), dan kualitas mental positif yang lebih tinggi (seperti menolong orang lain). Hal ini juga sesuai dengan temuan Kuuppelomaki; Ribeiro dan Paul (Yiengprugsawan, Seubsman, dan Sleigh, 2012) bahwa peran sebagai pengasuh memiliki dampak positif terhadap self-esteem dan juga kepuasan hidup. Diener (1984) menyatakan bahwa individu harus memiliki self-esteem agar puas dengan kehidupannya.

Kepuasan hidup merupakan komponen dari subjective well-being atau

happiness atau kebahagiaan. Selain itu, subjective well-being juga memiliki komponen afektif, yakni seberapa sering individu mengalami perasaan positif dan negatif (Sousa & Lyubomirsky, 2001). Diener (1984) menyatakan bahwa subjective well-being berfokus pada bagaimana dan mengapa individu merasakan kehidupannya dalam cara yang positif, dimana termasuk di dalamnya cognitive

judgments (penilaian kognitif) dan affective reactions (reaksi afektif). Setiap individu memiliki subjective well-being yang berbeda-beda, begitu pula halnya dengan individu sandwich generation etnis Minangkabau. Berdasarkan berbagai literatur diketahui bahwa tuntutan yang tinggi pada wanita sandwich generation ini dapat menimbulkan dampak negatif dan dampak positif. Dampak negatif yang dapat dialami oleh wanita sandwich generation ialah terbebani secara fisik, emosi, dan keuangan.

Tidak hanya mengalami dampak negatif saja, wanita sandwich generation

yang memiliki peran sebagai caregiver bagi anak dan orang tua lansia juga memiliki dampak positif terhadap self-esteem dan kepuasan hidup. Dimana, individu harus memiliki self-esteem agar puas dengan kehidupannya. Kepuasan hidup merupakan salah satu komponen subjective well-being. Hal ini menyebabkan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran subjective well-being pada wanita sandwich generation etnis Minangkabau serta faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being tersebut.

Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran

subjective well-being wanita sandwich generation etnis Minangkabau serta faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being tersebut.

Manfaat penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:

Manfaat teoritis: memberikan informasi tentang gambaran subjective well-being pada wanita sandwich generation etnis Minangkabau dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, khususnya di bidang Psikologi Perkembangan.

Manfaat praktis: (1) hasil penelitian diharapkan dapat menjadi referensi tambahan bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti hal yang berkaitan dengan penelitian mengenai subjective well-being pada wanita sandwich generation dan kaitannya dengan etnis Minangkabau, (2) untuk wanita sandwich generation, khususnya etnis Minangkabau, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan yang berguna dalam mencermati kehidupannya sebagai generasi sandwich generation

sehingga dapat meningkatkan subjective well-beingnya.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun tipe pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah studi kasus, dimana penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran subjective well-being pada wanita sandwich generation etnis Minangkabau. Teknik pengambilan partisipan berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct-sampling). Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Keseluruhan proses penelitian ini dilakukan di Kota Medan, Sumatera Utara.

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah tiga orang wanita sandwich generation

etnis Minangkabau. Adapun pemilihan partisipan dilakukan berdasarkan karakteristik, yaitu (1) wanita sandwich generation, (2) memiliki suami dan bekerja, serta (3) etnis Minangkabau.

Metode pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan wawancara dan observasi sebagai metode pengumpulan data. Penelitian ini menggunakan wawancara dengan pedoman umum, wawancara mendalam atau in depth-interview, serta berbentuk open-ended question. Dalam proses wawancara dengan pedoman umum, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, dimana berisikan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa menggunakan bentuk pertanyaan eksplisit. Selama wawancara berlangsung akan dilakukan observasi. Observasi dilakukan sebagai alat tambahan untuk melihat reaksi partisipan, antara lain ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, melihat bagaimana sikap dan reaksi partisipan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bagaimana keadaan partisipan saat wawancara, serta hal-hal yang sering dilakukan partisipan selama wawancara.

HASIL

Penelitian ini memiliki jumlah partisipan sebanyak tiga orang. Berikut pemaparan gambaran subjective well-being dari ketiga partisipan. Campbell, Convers, dan Rodgers (dalam Sipahutar, 2012) menyatakan bahwa komponen kognitif dari subjective well-being merupakan persepsi mengenai terpenuhi atau tidaknya kesenjangan antara hal yang diinginkan individu dengan kenyataan yang dimilikinya. Partisipan I menilai secara keseluruhan hidupnya sudah memuaskan karena domain terpenting baginya adalah keluarga. Ia juga merasa senang dan puas karena ia bisa melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis Minang untuk merawat ibunya, sekaligus mengurus keluarganya serta bekerja.

Komponen subjective well-being berikutnya adalah komponen afektif. Diener (dalam Sipahutar, 2012) menyatakan bahwa individu bereaksi dengan afek positif saat mereka menganggap sesuatu yang baik terjadi pada mereka, sedangkan individu bereaksi dengan afek negatif saat menganggap sesuatu yang buruk terjadi pada mereka. Partisipan I juga lebih sering merasakan afek positif daripada afek negatif dari berbagai tugas yang dimilikinya. Ia tidak pernah merasa bosan dan terbebani dengan semua tugasnya sebab ia ikhlas dalam melaksanakannya.

“Yah keinginan kita smua tuh udah terkabul yakan? Ngerawat orang tua, ama keluarga. Ibaratnya dah, dah sesuai dengan yang kita inginkan gitu.” (R1.W3/b.1664-1667/h.36)

“Iya ngejalaninya karna ikhlas makanya semuanya menyenangkan kan? Satu kerjaan kalo

gak kita sukai, gak nyenangkan pasti gak bisa yakan?” (R1.W4/b.2140-2143/h.45-46)

Sementara itu, partisipan II menilai secara keseluruhan hidupnya belum memuaskan karena ada keinginannya yang belum tercapai, yaitu memiliki rumah

besar dan melihat semua anaknya lulus dari bangku kuliah. Ia juga lebih sering merasakan afek negatif daripada afek positif dalam kehidupannya. Hal ini dikarenakan berbagai peran yang ia miliki, termasuk perannya sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus sang ibu. Partisipan II merasa terbebani karena pengeluarannya menjadi bertambah karena harus membiayai keperluan berobat sang ibu. Selain itu, ia juga keberatan karena tugasnya yang lain, seperti menyiapkan sarapan untuk keluarganya menjadi terbengkalai, karena ia harus menemani sang ibu saat opname di rumah sakit.

“Eceknya kayak itulah yakan mau tak mau keluar jugalah yakan? Kalo enggak kan lebih

irit lagi kita masak yakan? Namanya pegawai tante kan cewek smua, kan kasian juga ntah

orang itu kos yah kadang mau orang tuh gak makan saking iritnya, jadi tante bawakan.”

(R2.W4/b.1408-1413/h.32)

Tidak jauh berbeda dengan partisipan II, partisipan III juga menilai hidupnya belum memuaskan secara keseluruhan. Sebab, keinginannya untuk melaksanakan ibadah haji, ingin memiliki rumah pribadi, serta ingin melihat anaknya yang sudah dewasa segera menikah, belum juga terwujud. Penghasilan yang dimiliki partisipan III saat ini belum cukup untuk mewujudkan keinginannya tersebut, sebab ia harus membagi penghasilannya untuk membiayai keperluan hidup kedua orang tuanya bersamaan dengan membiayai keluarganya. Meskipun demikian, ia merasa senang karena dengan berbagai kesibukan yang dimilikinya, ia masih bisa melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus kedua orang tuanya. Partisipan III juga merasa enjoy dengan berbagai tugas yang dimilikinya saat ini, mulai dari mengurus kedua orang tua, mengurus keluarga, dan juga bekerja. Hal ini dikarenakan ia ikhlas dengan berbagai tanggung jawabnya tersebut sehingga bisa merasa senang.

“Yah banggalah kita bisa ngerawat orangtua kita kan? Jarang kali ada orang yang mau

ngerawat orang tuanya tapi kita bisa. Dengan kesibukan kita luar biasa, kita bisa sempat merawat orang tua kita. Bisa menyayanginya, memperhatikan dia, makan dia, kesehatan dia. Kan bangga kita, bukan bangga karna kita ngasih duit dia, tidak, tapi karna memperhatikan dia. Dia udah tua diperhatikan anaknya gitu. Walaupun dia gak tinggal sama ibu, pasti ibu perhatikan. Kayak itu mertua ibu jauh, ibu perhatikan. Ibu perhatikan

sambalnya, makan dia ini hari, dianter kesana sama anak. Apa lagi ibu kita gitu kan?”

(R3.W3/b.1589-1601/h.36)

Terdapat beragam faktor yang mempengaruhi subjective well-being, yang pertama adalah pendidikan. Menurut Sousa dan Lyubomirsky (2001) bahwa ada hubungan antara pendidikan dan kepuasan hidup, dimana terdapat fakta bahwa level pendidikan yang lebih tinggi berhubungan dengan pendapatan yang lebih besar. Ketiga partisipan menilai bahwa penghasilan yang mereka miliki dengan berdagang saat ini termasuk cukup besar untuk latar belakang pendidikan mereka, dimana latar belakang pendidikan mereka bertiga berbeda. Meskipun pendapatannya terbilang cukup besar untuk latar belakang pendidikan partisipan I, namun sesekali penghasilan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Walaupun demikian, partisipan I tetap bersyukur atas segala rejeki yang ia miliki saat ini. Hal ini berbeda dengan teori Eddington & Shuman (2007)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

bahwa individu yang kaya lebih bahagia daripada individu yang miskin. Sedangkan partisipan II dan partisipan III merasa belum puas dengan penghasilan yang mereka miliki saat ini meskipun dengan penghasilan tersebut mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, termasuk kebutuhan hidup orang tua mereka.

Selanjutnya, pekerjaan dianggap berhubungan dengan subjective well-being

karena pekerjaan menawarkan level stimulasi optimal sehingga individu dapat menemukan kesenangan (Csikszentmihalyi; Scitovsky dalam Eddington & Shuman, 2007). Baik partisipan I, partisipan II, maupun partisipan III merasa senang dengan pekerjaannya saat ini, dimana mereka bisa membantu sang suami untuk mencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka, termasuk memenuhi kebutuhan hidup orang tua.

Selain saling bekerja sama dalam mencari nafkah untuk keluarga, ketiga suami partisipan juga mendukung mereka untuk melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis Minangkabau, yaitu merawat orang tuanya. Banyak peneliti percaya bahwa pernikahan memberikan sebuah penyangga untuk melawan kesulitan hidup, menyediakan dukungan emosional dan finansial, yang bisa menghasilkan keadaan well-being yang positif (Coombs; Gove, Styles & Hughes; Kessler & Esser dalam Eddington & Shuman, 2007). Baik partisipan I, partisipan II, dan partisipan III mengakui bahwa mereka merasa senang dan puas dengan pernikahannya saat ini.

Seiring dengan bertambahnya usia baik partisipan I, partisipan II, dan partisipan III memiliki suatu penyakit. Eddington dan Shuman (2007) menyatakan bahwa kesehatan yang buruk dianggap mempengaruhi subjective well-being secara negatif karena mengganggu pencapaian tujuan. Hal ini sesuai dengan yang dialami oleh partisipan II, dimana ia mengakui bahwa semua aktivitasnya menjadi terganggu, misalnya berjualan, saat penyakit hipertensinya kambuh. Waktu luang juga merupakan faktor yang mempengaruhi subjective well-being.

Eddington dan Shuman (2007) menyatakan bahwa kegiatan pengisi waktu luang terpopuler di dunia modern ini adalah menonton televisi dan juga berlibur, yang merupakan sumber dari kebahagiaan dan relaksasi. Partisipan I, II, dan III lebih memilih istirahat untuk mengisi waktu luangnya. Hal ini dikarenakan banyaknya tugas yang mereka miliki sehingga mereka harus mempergunakan waktu luangnya dengan sebaik mungkin, yaitu dengan beristirahat.

Kejadian hidup juga dapat mempengaruhi subjective well-being. Menurut Larson (dalam Eddington & Shuman, 2007) bahwa mood yang lebih positif ditemukan pada individu saat bersama dengan temannya dibandingkan jika ia sendirian atau bersama keluarganya, dan kebahagiaan juga berhubungan dengan jumlah teman, frekuensi jumpa dengan teman, pergi ke pesta dan menari, serta termasuk ke dalam kelompok atau klub (Argyle & Lu dalam Eddington & Shuman, 2007). Namun, pada kasus partisipan I dan partisipan III, yang menyebabkan keduanya merasa senang karena mereka bisa melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus orang tuanya, dan sekaligus bisa mengurus keluarga serta bekerja. Sementara itu, menurut Scherer et al., (dalam Eddington & Shuman, 2007) bahwa kesuksesan bisa menjadi salah satu

penyebab seseorang merasa senang. Bagi partisipan III, bisa belanja keperluan dagang ke Pulau Jawa adalah sebuah pencapaian. Sebab, penghasilan yang didapatkannya menjadi lebih banyak jika dibandingkan saat ia belanja keperluan dagangnya masih di sekitar Kota Medan saja. Dan dengan penghasilan yang didapatkannya tersebut, partisipan III bisa memenuhi semua kebutuhan hidup keluarganya, termasuk biaya berobat sang ibu.

Dan faktor terakhir yang mempengaruhi subjective well-being adalah kompetensi, dimana kompetensi tersebut berhubungan dengan kecerdasan. Mirip dengan pendidikan, kecerdasan dapat menghasilkan aspirasi yang mungkin tidak dapat dipenuhi sebelumnya. Jika aspirasi tersebut tidak terpenuhi, maka dapat meningkatkan kesenjangan dalam pencapaian tujuan (Eddington & Shuman, 2007). Namun, kompetensi yang dimaksudkan dalam teori ini berbeda dengan kompetensi yang dimiliki oleh para partisipan. Partisipan I merasa senang dengan kompetensi yang dimilikinya, yaitu memasak. Sementara itu, partisipan II dan partisipan III juga merasa senang karena dengan kompetensi yang mereka miliki, yaitu berdagang. Ketiga partisipan merasa senang dengan kompetensi yang mereka miliki sebab dari kompetensi tersebut mereka bisa mendapatkan penghasilan yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan juga orang tuanya.

DISKUSI

Ketiga partisipan memiliki gambaran subjective well-being yang berbeda-beda sebagai seorang sandwich generation etnis Minangkabau. Partisipan I menilai secara keseluruhan hidupnya sudah memuaskan. Salah satu penyebabnya ialah karena ia bisa melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus sang ibu bersamaan dengan melaksanakan tugas-tugasnya yang lain, yakni mengurus keluarga dan juga bekerja. Sementara itu, partisipan II dan partisipan III menilai secara keseluruhan bahwa hidupnya belum memuaskan. Sebab, ada beberapa keinginan mereka yang belum bisa terwujud karena mereka memiliki tanggung jawab sebagai anak perempuan etnis Minangkabau untuk mengurus sang ibu atau pun ayah.

Partisipan I dan partisipan III juga lebih sering merasakan afek positif daripada afek negatif sebagai seorang sandwich generation etnis Minangkabau. Sementara itu, partisipan II lebih sering merasakan afek negatif daripada afek positif sebagai seorang sandwich generation etnis Minangkabau. Meskipun ketiga partisipan memiliki gambaran subjective well-being yang berbeda-beda, tetapi ada beberapa faktor yang sama yang mempengaruhi subjective well-being mereka sebagai

sandwich generation etnis Minangkabau. Faktor kepuasan kerja, pernikahan, waktu luang, kejadian hidup, dan kompetensi mempengaruhi subjective well-being ketiga partisipan sebagai sandwich generation etnis Minangkabau. Faktor pendapatan turut mempengaruhi subjective well-being partisipan II dan III sebagai sandwich generation etnis Minangkabau. Dan subjective well-being partisipan III sebagai seorang sandwich generation etnis Minangkabau juga dipengaruhi oleh faktor kesehatan.

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

REFERENSI

Afrida. (2010). Reinterpretasi tanggung jawab sosial terhadap orang tua dan mamak dalam masyarakat Minangkabau. Jurnal Antropologi , 5 (7).

Anwar, C. (1997). Hukum adat Indonesia: Meninjau hukum adat Minangkabau.

Jakarta: Rineka Cipta.

Belsky, J. (1997). The adult experience. Vallejo: West Publishing Company.

Bungin, B. (2003). Analisis data penelitian kualitatif: Pemahaman filosofis dan metodologis ke arah penguasaan model aplikasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Conceicao, P., & Bandura, R. (2008). Measuring subjective wellbeing: A summary review of the literature. New York: United Nations Development Programme (UNDP).

DeGenova, M. K. (2008). Intimate relationships, marriages, and families (7. ed.).

New York: McGraw Hill.

Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin , 95, 542-575. Diener, E., Sandvik, E., Seidlitz, L., & Diener, M. (1993). The relationship between

income and subjective well-being: Relative or absolute? Social Indicators Research, 28, 195-223.

Eddington, N., & Schuman, R. (2007). Subjective well-being (happiness).

Continuing Psychology Education Inc.

Gallagher, M. W., Lopez, S. J., & Preacher, K. J. (2009). The hierarchical structure of well-being. Journal of Personality , 77 (4), 1025-1050.

Genovese, R. G. (1997). Americans at midlife: Caught between generations.

Mishawaka: Bergin & Garvey Publishing.

Hasan, F. (1988). Dinamika masyarakat dan adat Minangkabau. Padang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Universitas Andalas. Indrizal, E. (2005). Problematika orang lansia tanpa anak di dalam masyarakat

Minangkabau, Sumatera Barat. Antropologi Indonesia , 29 (1), 69-92.

Lestari, A. G. (2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi pria usia dewasa madya terlambat menikah. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.

Matlin, M. W. (2008). The psychology of women (6. ed.). Belmont: Thompson Wadsworth.

Nasution, D. U. (2010). Kepuasan pernikahan pada istri yang memiliki pasangan beda agama. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Nurti, Y. (2007). Peranan keluarga matrilineal Minangkabau terhadap keberadaan perempuan lanjut usia, studi kasus di kelurahan Payonibung, kecamatan Payakumbuh Utara, Payakumbuh. Padang: Universitas Andalas.

Papalia, D. E., Olds, S., & Feldman, R. (2007). Human development (10. ed.). New York: McGraw-Hill.

Poerwandari, K. E. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Depok: LPSP3, Universitas Indonesia.

Retnowulandari, W. (2000). Hukum waris Islam dalam masyarakat Minangkabau.

Jakarta: Universitas Trisakti.

S, W. S. (2010, December 13). Hubungan orangtua dengan anak dalam keluarga di

Minangkabau. Retrieved June 19, 2014 from